Pendekar Cacad 15
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 15
Pendekar Cacad Karya dari Gu Long
"Liong-sianseng, harap kau suka memaafkan kesulitan yang sedang kuhadapi, aku tak dapat menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok ini kepadamu."
Berubah paras muka Liong Oh-im, tapi sejenak kemudian telah pulih menjadi lembut dan ramah, katanya kemudian dengan suari tenang dan kalem.
"Rupanya Bong-tayhiap masih belum mengetahui kitab pusaka macam apakah Kuihok- khi-liok itu?"
"Benar, aku sama sekali tidak mengetahui tentang kitab itu, namun aku pun tidak ingin mengetahuinya."
"Andaikata kau mengetahui kitab macam apakah Kui-hokkhi- liok itu, kau tentu akan menyerahkannya kepadaku."
"Ah, belum tentu demikian."
Liong Oh-im menghela napas sedih, kemudian katanya.
"Apabila Bong-tayhiap menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok itu kepada Biau-kosiu, maka Mi-tiong-bun kami akan terancam bahaya maut."
"Apa maksudmu?"
Tanya Bong Thian-gak dengan kening berkerut. Sekali lagi Liong Oh-im menghela napas panjang.
"Sebenarnya pesoalan ini merupakan rahasia pribadi Mi-tiongbun kami, aku tidak ingin mengutarakan kepada orang lain."
Saat itu dalam hati Bong Thian-gak mulai muncul kebimbanga andaikata apa yang dikatakan Liong Oh-im itu memang sunggu sungguh dan benar, maka dia memang seharusnya menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya, tapi....
Tampaknya Liong Oh-im dapat mengetahui suara hati Bo Thian-gak, kembali dia menghela napas sedih sambil melanjutkan "Apabila Bong-tayhiap menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku, maka bagimu sama sekali tak akan menimbulkan kerugian apa-apa, malah sebaliknya tanpa kau sadari, kau telah menyelamatku jiwa banyak anggota Mitiong- bun yang terancam maut.
Budi dan jasa semacam ini boleh dibilang tiada taranya, segenap anggota Mi-tiong-bun pasti akan berterima kasih kepadamu dan tak akan melupakan jasa jasamu itu untuk selamanya."
Perkataan yang terakhir ini benar-benar mengandung daya tarik yang amat besar, tanpa disadari Bong Thian-gak merogoh ke dalam saku untuk mempersembahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya. Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
"Siangkong, kau harus memegang teguh kepercayaan orang yang meminta tolong padamu, jangan kau serahkan kitab itu kepada orang lain."
Saat Bong Thian-gak mendongakkan kepala, dia lihat perempuan cantik berbaju hijau sedang berlari mendekat, bau harum semerbak berhembus, ia telah berdiri di samping anak muda itu.
Ketika Liong Oh-im bertemu nyonya cantik berbaju hijau ini, paras mukanya segera berubah menjadi amat tak sedap dipandang, rasa gusar dan mendongkol menyelimuti seluruh wajahnya.
Andaikata perempuan itu tidak muncul tepat pada waktunya, niscaya Bong Thian-gak telah menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya.
Dengan sorot mata tajam Liong Oh-im mengawasi perempuan itu lekat-lekat, kemudian setelah mendengus dingin, tegurnya.
"Thamcu, kau berani mengkhianati aku?"
"Aku tidak berani mengkhianati Liong-huhoat,"
Jawab perempuan itu merdu. Liong Oh-im segera tertawa dingin.
"Selama puluhan tahun ini, aku telah mencari dirimu kemana-mana dan menelusuri semua pelosok tempat, tidak kusangka ternyata kau berada di Lok-yang."
"Apakah dikarenakan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok inilah Liong-huhoat mencari jejakku kemana-mana?"
Dari pembicaraan kedua orang itu, Bong Thian-gak mengambil kesimpulan bahwa kedua orang itu bukan saja sudah saling mengenal, juga berasal dari satu perguruan yang sama.
Bong Thian-gak benar-benar tak mengerti persoalan apakah yang sebenarnya menjadi pangkal perselisihan mereka sebagai sesama anggota Mi-tiong-bun? Pikirnya kemudian.
"Kalau aku terlibat dalam persoalan semacam Ini, wah, tidak ada harganya sama sekali."
Sementara itu Liong Oh-im telah berkata sambil tertawa dingin.
"Thamcu, sudah belasan tahun kau menghindari diriku, tujuanmu hanya ingin melindungi kitab pusaka Kui-hok-khi-liok agar tidak sampai aku dapatkan, tapi hari ini aku justru minta kepadamu untuk menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku, mengerti?"
Perempuan itu tertawa cekikikan.
"Sayang sekali kedatangan liong-huhoat terlambat satu langkah, kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu sudah tidak berada di dalam sakuku lagi." "Aku akan memerintahkan kepadamu untuk meminta kembali kitab itu dari tangannya."
Perempuan itu tertawa cekikikan.
"Kecuali Kui-kok Buncu hidup kembali. Kalau tidak, tiada seorang pun yang dapat memberi perintah kepadaku!"
"Oh, jadi kau tak percaya kalau aku sanggup memberi perintah kepadamu?"
Tanya Liong Oh-im sambil tersenyum. Selesai berkata, tiba-tiba ia mengeluarkan tongkat naga kemala putih dari sakunya dan diangkat tinggi-tinggi, kemudian bentaknya.
"Thamcu, coba kau lihat benda apakah ini?"
Menyaksikan tongkat kemala putih itu, gemetar keras sekujur badan perempuan itu, tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut ke atas tanah dan katanya dengan suara gemetar keras.
"Benda kekuasaan Buncu ... tongkat naga kemala putih."
Dengan perasaan ingin tahu Bong Thian-gak memperhatikan pula tongkat kemala itu dengan penuh perhatian, tongkat sebesar lengan anak-anak, di atas tongkat terukir seekor naga darah kecil dalam gaya siap terbang ke angkasa.
Sekilas pandang saja ia dapat mengetahui bahwa tongkat naga kemala putih itu amat berharga dan tak ternilai harganya, tapi Bong Thian-gak tidak menyangka tongkat naga kemala itu memiliki daya pengaruh yang begitu besar sehingga perempuan berbaju hijau itu segera menjatuhkan diri berlutut setelah melihat tongkat tadi.
Sambil mengangkat tongkat naga itu tinggi-tinggi, Liong Oh-im membentak.
"Thamcu, sekarang kuperintahkan padamu untuk merebut kembali kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dari tangannya."
Bong Thian-gak menjadi terperanjat, pada saat itulah perempuan cantik berbaju hijau melompat bangun dan mengayun telapak tangannya membabat dada Bong Thiangak.
Serangan yang dilancarkan itu amat cepat dan gencar, benar-benar ancaman yang berbahaya.
Serta-merta Bong Thian-gak menghindar ke samping.
Meski begitu, nyaris tubuhnya termakan juga oleh bacokannya ini, maka bentaknya.
"Nyonya, benarkah kau ingin meminta kembali kitab pusaka Kui hok-khi-liok itu?"
Nyonya itu tidak menjawab, namun wajahnya menunjukkan penderitaan dan kegelisahan yang luar biasa, kembali telapak tangan kirinya diayunkan ke depan menghajar Bong Thiangak.
Berada dalam keadaan begini, Bong Thian-gak benar-benar tidak tahu bagaimana dia mesti bertindak, namun dari mimik perempuan itu dapat diketahui bahwa dia telah didesak oleh keadaan sehingga terpaksa dan mau tak mau harus menyerang dirinya.
Kepandaian silat yang dimiliki perempuan itu benar-benar lihai, jurusnya aneh tapi sakti, biarpun Bong Thian-gak berhasil menghindar dari ketiga serangannya, namun ia dapat melihat musuh sama sekali tidak menggunakan tenaga penuh.
Pada saat itulah kembali terdengar Liong Oh-im membentak lagi.
"Thamcu, kuperintahkan padamu untuk menaklukkan lawan hanya dalam sepuluh gebrakan saja."
"Terima perintah,"
Jawab perempuan itu cepat.
Tiba-tiba permainan pukulannya berubah seperti kupu-kupu yang berterbangan di antara aneka bunga, serangan demi serangan dilancarkan secara beruntun dan tiada hentinya.
Dalam waktu singkat tampak bayangan telapak tangan berlapis-lapis, begitu dahsyat dan gencarnya serangan itu, membuat Bong Thian-gak harus mundur berulang kali.
Bong Thian-gak terkejut oleh keanehan dan kehebatan jurus serangan lawan, dalam waktu singkat perempuan itu sudah melancarkan sembilan serangan berantai.
Mendadak ia menghentikan gerakannya, namun sepasang telapak tangannya disiapkan satu di muka dan yang lain di belakang dengan posisi menyerang dan bertahan.
Bong Thian-gak memandang perempuan itu sekejap, wajahnya yang semula cantik jelita tiba-tiba dilapisi cahaya berkilau, sementara matanya yang jeli mengawasi wajah pemuda itu lekat-lekat.
Sudah jelas dia sedang memberi kode agar Bong Thian-gak secepatnya pergi meninggalkan tempat ini.
Pada saat itulah suara Liong Oh-im menggelegar kembali.
"Thamcu, kalau kau sudah menghimpun tenaga saktimu. Mengapa tidak kau lancarkan?"
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak membentak keras.
"Lio Oh-im, cepat suruh dia menghentikan serangannya. Bila ada persoalan kita rundingkan secara baik-baik."
Belum selesai berkata, perempuan itu sudah mendesis dan mengayunkan telapak tangannya.
Serangan yang dilepaskan olehnya itu dilancarkan amat sederhana dan enteng, bagaikan segulung angin hangat yang berhembus.
Tiba-tiba saja Bong Thian-gak merasakan sekujur badann gemetar lemas, sepasang bahunya bergetar keras dan tanpa terasa dan mundur selangkah.
Sebaliknya perempuan cantik berbaju hijau itu seakan-akan kehabisan tenaga dan segenap tulang belulangnya terlepas, ia terduduk di atas tanah dengan tubuh lemas tidak bertenaga, cahaya merah yang menyinari wajahnya telah hilang, pucatpias menghiasi mukanya.
Dalam kesepuluh jurus serangan itu, Bong Thian-gak sama sek tidak melancarkan serangan balasan.
Sekulum senyuman bangga menghiasi wajah Liong Oh-im di sisi arena, pelan-pelan ia berkata.
"Bong-tayhiap, kau sudah terkena ilmu pukulan Sau-yang-sin-kang."
Mendengar "Sau-yang-sin-kang", berubah paras muka Bong Thia gak, ia mengangkat kepala memandang sekejap ke arah perempuan berbaju hijau itu.
Sementara itu mata perempuan itu sudah dipenuhi oleh air mata dia seperti merasa bersalah terhadap Bong Thian-gak sehingga membu ia sedih dan pedih.
Bong Thian-gak menghela napas sedih, lalu katanya.
"Konon Sau yang-sin-kang adalah semacam ilmu pukulan yang teramat hebat, yang khusus melukai delapan nadi penting di tubuh manusia, korbannya tidak dapat hidup melebihi dua belas jam. Kalau begitu, aku pun tak jauh dari lembah kematian."
Liong Oh-im tertawa terbahak-bahak, sahutnya.
"Bongtayhiap setelah mengetahui umurmu hampir berakhir, mengapa kau tidak mempersembahkan kitab pusaka Kui-hokkhi- liok itu kepadaku?"
Bong Thian-gak menarik muka dan menjawab dingin.
"Apabila kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu sekarang juga, maka kematianku akan sama sekali tak ada artinya lagi."
Liong Oh-im kembali tertawa.
"Memangnya kau masih dapat lolos dari cengkeramanku?"
Sementara itu hawa membunuh menyelimuti wajah Bong Thian-gak, katanya tiba-tiba dengan dingin.
"Liong-sianseng, bila kau yakin dapat merampas kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dari tanganku, silakan saja mencoba!"
Liong Oh-im berpaling dan memandang sekejap ke arah perempuan itu, kemudian tanyanya.
"Thamcu, sudahkah kau lukai kedelapan nadi pentingnya dengan ilmu pukulan Sauyang- sin-kang?"
"Liong-huhoat,"
Kata perempuan cantik berbaju hijau itu penuh penderitaan.
"Kau telah memaksaku mencelakai seseorang yang sama sekali tiada sakit hati ataupun dendam kesumat denganku."
Liong Oh-im kembali tertawa dengan suara keras.
"Thamcu dapat membunuh Jian-ciat-suseng yang termasyhur, engkau telah menjadi pahlawan Mi-tiong-bun. Mengapa kau malah sedih dan menyesal?"
Sembari bicara, langkah demi langkah Liong Oh-im menghampiri Bong Thian-gak, kemudian terusnya.
"Barang siapa sudah terhajar oleh Sau-yang-sin-kang hingga terluka delapan nadi pentingnya, maka hawa darah dalam Mi-bun-hiat akan pudar dan tenaga murni akan musnah. Bong Thian-gak, kau sudah tak mampu menghimpun tenaga dalammu."
Mendadak ia mengayunkan telapak tangannya dan langsung dibacokkan ke tubuh Bong Thian-gak.
Baru saja angin pukulannya berhembus ke depan, Bong Thian-gak lelah melolos Pek-hiat-kiam, cahaya pedang bagaikan bianglala dan hawa pedang bagaikan sayatan, serentak menggulung ke muka.
Barang siapa dapat melihat hawa pedang yang terpancar dari erangan itu, dia akan mengetahui Bong Thian-gak sama sekali tidak terluka oleh pukulan Sau-yang-sin-kang.
Ketika perempuan berbaju hijau melihat itu, wajahnya segera nampak berseri dan amat gembira.
Sebaliknya Liong Oh-im menjerit kaget dan cepat menerobos keluar dari lapisan hawa pedang seperti seekor burung walet.
Setelah melayang turun, ia baru berkata.
"Ilmu pedang yang amat bagus, aku benar-benar dibikin melek dan bertambah pengetahuan. Gagal dengan serangan pedangnya, Bong Thian-gak melayang turun dengan bahu agak bergetar, katanya kemudian dengan suara dingin.
"Apakah kau ingin mencoba serangan pedangku yang kedua?"
"Oh, tentu saja,"
Jawab Liong Oh-im sambil tertawa paksa. Bong Thian-gak menyarungkan kembali Pek-hiat-kiam, kemudian katanya.
"Maaf."
Lalu dia melompat ke depan dan melesat cepat ke depan sana.
Liong Oh-im tertawa terbahak-bahak, bagaikan kuda terbang di angkasa, dia melesat ke depan dan mengejar dari belakang dengan ketat.
Sejak awal Bong Thian-gak sudah menduga Liong Oh-im bakal melakukan pengejaran, maka ketika berada di udara dia melolos pedangnya, cahaya bianglala yang amat tajam secepat kilat langsung menusuk ke tubuh Liong Oh-im.
Berada di tengah udara, Liong Oh-im mengebas ujung bajunya ke depan, segulung angin pukulan tak berwujud yang sangat kuat segera menyapu ke muka.
Siapa tahu serangan yang dilancarkan oleh Bong Thian-gak cuma serangan tipuan, di saat angin pukulan Liong Oh-im yang maha dahsyat itu menyapu tiba, dia sudah menarik kembali senjatanya dan melompat ke muka.
Lompatannya atas bantuan angin serangan Liong Oh-im yang kuat, tak heran gerakannya sangat cepat dan selisih jarak di antara mereka pun semakin bertambah jauh.
Setelah menjejak tanah sekali lagi, Bong Thian-gak melompat ke depan, dalam waktu singkat ia sudah puluhan tombak di depan sana, lalu lenyap.
Menyadari dirinya tertipu oleh siasat musuh, Liong Oh-im merasa sangat jengkel dan mendongkol sekali, dia mendepakdepakkan kakinya berulang kali ke atas tanah, lalu serunya sambil tertawa seram.
"Bocah keparat, tidak kusangka hari ini aku Liong Oh-im bakal dipecundangi anak muda macam kau. Hm, ingin kulihat dengan cara apa kau hendak menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada Biau-kosiu."
Seusai berkata ia memandang sekejap ke arah perempuan berbaju hijau, kemudian membalikkan badan dan mengejar ke arah Lok-yang.
Sementara itu Bong Thian-gak mengerti bahwa Liong Ohim pasti midah menyiapkan jaring dan perangkap untuk menghalangi dirinya memasuki rumah penginapan Ban-heng, karena itu setelah masuk ke dalam kota, ia tidak menuju ke rumah penginapan itu, melainkan pergi ke kota sebelah selatan.
Sesudah keluar pintu kota sebelah selatan dan tiba di tanah pekuburan yang terpencil dan sepi, dia memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil duduk bersila, gumamnya.
"Setelah terluka oleh pukulan Sau-yang-sin-kang, mungkin sekali jiwaku tak akan tertolong lagi. Ai, saat ini dari kedelapan nadi pentingku, ada dua di antaranya yang secara lamat-lamat mulai terasa sakit."
Bong Thian-gak duduk di depan sebuah batu nisan sambil mendongakkan kepala memperhatikan awan di angkasa, hatinya teramat masgul.
"Ai, sebenarnya kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu berisi apa?"
Berpikir begitu, tanpa terasa dia mengeluarkan kitab itu dari dalam sakunya, tapi setelah berpikir sebentar, pemuda itu memasukkan kembali gulungan kitab itu ke dalam sakunya.
Matahari sudah tenggelam ke langit barat, Bong Thian-gak hampir satu jam lamanya duduk di kuburan itu.
Selama satu jam dia sudah mencoba untuk mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, namun yang aneh sama ekali dia tidak merasakan cidera atau luka apa pun pada nadi-nadi penting di dalam tubuhnya, bahkan rasa sakit yang semula mencekam tubuhnya pun lambat-laun lenyap.
Rasa gembiranya ini membuat Bong Thian-gak segera melompat bangun dari atas tanah dan berseru.
"Aha, ternyata aku tidak menderita luka apa pun oleh serangan Sau-yang-sinkang itu."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekonyong-konyong terdengar suara dingin dan menyeramkan di belakangnya.
"Sekalipun Sau-yang-sin-kang tidak melukaimu, namun ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang akan merenggut selembar nyawamu."
Ucapan itu bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong, dengan terperanjat Bong Thian-gak segera berpaling ke samping.
Tapi dengan cepat dia dibuat tertegun.
Di belakang tubuhnya, di depan sebuah kuburan yang amat besar, telah berdiri seorang perempuan cantik bagai bidadari dari kahyangan berbaju biru.
Perempuan itu bukan lain adalah Si-hun-mo-li Thay-kun.
Di samping Si-hun-mo-li Thay-kun, berdiri pula seorang berbaju hijau.
Orang berbaju hijau itu berwajah pucat-pias, dingin, kaku dan sama sekali tiada warna darah, bahkan tiada berbau hawa manusia.
Bong Thian-gak berkerut kening, rasanya orang berbaju hijau itu mengenakan topeng kulit manusia sehingga menutupi wajah aslinya.
Tapi siapakah orang itu? Bong Thian-gak kaget, tercengang, bingung dan tidak habis mengerti.
Mengapa ia bisa berada bersama Si-hun-mo-li Thaykun? Bong Thian-gak memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, cahaya matahari yang berwarna kuning keemas-emasan menyinari tanah pekuburan itu, namun di sana tidak nampak manusia lain kecuali mereka berdua.
Bong Thian-gak telah memperoleh sebutir pil Hui-hun-wan dan persoalan pertama yang ingin segera diselesaikan olehnya adalah menemukan Si-hun-mo-li dan memberi pil Hui-hun-wan itu kepadanya agar Thay-kun bisa memperoleh kembali pikiran dan kesadarannya seperti semula.
Sekarang Thay-kun sudah berada di depan mata, asal dia menelan pil Hui-hun-wan, berarti usahanya akan berhasil.
Namun hal ini bukanlah perbuatan yang amat gampang.
Dia tahu untuk menyelesaikan tugas itu, kemungkinan besar dia harus membayar mahal, bahkan bisa kehilangan selembar nyawanya.
Orang berbaju hijau yang berada di hadapannya sekarang terlalu menyeramkan dan menggidikkan.
Mungkinkah orang ini adalah Hek-mo-ong? Berpikir sampai di sini, Bong Thian-gak segera menghimpun pikiran dan perhatian mengawasi gerak-gerik orang berbaju hijau itu.
Orang itu tertawa dingin, ujarnya.
"Apabila kau ingin meloloskan diri dari ancaman kematian, lebih baik serahkan saja kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku."
Tertegun Bong Thian-gak, segera tanyanya.
"Apa? Jadi kau pun menghendaki kitab pusaka Kui-hok-khi-liok dari Mi-tiongbun?"
Paras muka orang berbaju hijau itu masih tetap tenang tanpa perubahan sedikit pun, sahutnya.
"Apabila kau mengerti rahasia kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, setiap orang yang berada di dunia ini rasanya ingin mendapatkannya."
"Siapakah kau?"
Tanya Bong Thian-gak sambil tersenyum.
"Kau tak perlu mengetahui siapakah aku. Yang penting bagimu hanya memilih dua jalan yang kutawarkan kepadamu, mau hidup atau mati, silakan segera tentukan!"
"Aku ingin mengetahui lebih dulu dengan mengandalkan ilmu silat apakah kau hendak menghukum mati diriku?"
"Serangan Si-hun-mo-li dan sergapan mendadak yang kulancarkan nanti!"
Bong Thian-gak kembali tersenyum.
"Yakinkah kau pasti akan dapat merenggut nyawaku?"
"Bila kau yakin dapat meloloskan diri dari cengkeraman mautku, maka kau tak perlu mengeluarkan kitab pusaka Kuihok- khi-liok."
Bong Thian-gak termenung dan berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia bertanya.
"Dari kemampuanmu memberi perintah kepada Si-hun-mo-li, tentunya kau pun dapat membuat Sihun- mo-li jatuh tak sadarkan diri bukan?" "Apa maksudmu?"
"Oh, itu rahasia pribadiku dan merupakan syarat yang hendak kuajukan sebagai pertukaran."
"Harap kau suka memberi penjelasan secara terperinci."
"Boleh saja kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok kepadamu, namun kau harus dapat merobohkan Si-hun-mo-li lebih dulu hingga tak sadar kan diri."
"Setelah Si-hun-mo-li tak sadarkan diri, maka kau bisa menandingi diriku bukan?"
"Ya, terpaksa harus dicoba,"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Kitab pusaka Kui-hok-khi-liok sudah berada di sakumu, aku bisa turun tangan merampasnya dari tanganmu."
"Kau tetap harus menguatirkan sesuatu."
"Apa yang mesti kukuatirkan?"
"Kekalahan."
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
"Ehm, nampaknya kau masih mempunyai sedikit otak untuk berpikir."
"Ah, seandainya tiada suatu yang dikuatirkan, sedari tadi kau telah turun tangan merebutnya dari tanganku."
"Kau keliru besar,"
Ujar orang berbaju hijau itu sambil tertawa seram.
"Yang kukuatirkan justru tindakanmu menghancurkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok sebelum penyerahan nanti, itulah sebabnya aku tidak turun tangan hingga detik ini."
"Terima kasih banyak atas petunjukmu itu,"
Bong Thiangak tertawa.
"Aku benar-benar tak berpikir begitu."
Orang berbaju hijau itu mendengus dingin.
"Hm, belum pernah aku bicara sebanyak ini dengan orang lain, kau harus mengambil keputusan secepatnya?" "Aku yang mesti mengambil keputusan sendiri ataukah kau yang menyuruh aku mengambil keputusan?"
"Baiklah, aku akan menuruti keinginanmu dengan merobohkan Si hun-mo-li hingga tak sadarkan diri, tapi pada saat bersamaan kau harus melemparkan kitab pusaka Kui-hokkhi- liok jauh ke sana."
"Baik, aku setuju dengan usulmu itu."
"Masih ada satu hal lagi, apakah kau sudah melihat kitab pusakm Kui-hok-khi-liok?"
"Belum."
"Bagus sekali, sekarang aku akan menghitung sampai angkal sepuluh dan kau harus melemparkan kitab pusaka Kuihok- khi-liok itul ke depan sana."
"Di saat kulihat Si-hun-mo-li roboh tak sadarkan diri nanti, aku pasti akan melemparkan kitab pusaka itu ke depan."
"Aku akan menghitung sampai angka sepuluh, saat itu Sihun- mo li pasti sudah roboh tak sadarkan diri!"
Demi menyelamatkan selembar jiwa Thay-kun, Bong Thiangak telah mengambil keputusan hendak mengingkari janjinya dengan Biau-kosiu.
Biarpun saat ini kitab pusaka Kui-hok-khiliok diserahkan kepada lawan, namun ia yakin masih memiliki kemampuan untuk merebutnya kembali.
Sebaliknya bila Si-hun-mo-li kabur lagi, usahanya menyelamatkan jiwa perempuan itu akan menemui kesulitan yang lebih banyak lagi.
Itulah sebabnya Bong Thian-gak mengambil keputusan akan mengingkari janji terhadap Biau-kosiu.
Tiba-tiba sepasang mata orang berbaju hijau itu memancarkan cahaya dingin kehijau-hijauan, pelan-pelan dia mulai memanggil.
"Si-hun-mo-li!"
Panggilan itu penuh diliputi nada menyeramkan, aneh dan menggidikkan.
Ketika mendengar suara yang menggidikkan itu, pelanpelan Si-hun-mo-li membalik badan, namun ketika sinar matanya saling bentur dengan sorot mata orang berbaju hijau itu, ia nampak seperti tersengat lebah.
Seketika itu juga sukma dan pikirannya seolah-olah terbetot oleh pandangan mata itu, dia berdiri melongo seperti sebuah patung.
Sementara itu orang berbaju hijau sudah menghitung dengan cara melengking tapi lambat.
"Satu ... dua ... tiga ... empat...."
Pada saat itulah dari balik kuburan tiba-tiba muncul seseorang yang menerjang ke punggung orang berbaju hijau dengan kecepatan tinggi.
Dengan sorot mata Bong Thian-gak yang amat tajam, ia sudah melihat dengan jelas bahwa orang yang baru saja muncul itu bukan lain adalah perempuan berbaju hijau yang menyerahkan kitab pusaka Kui-hok khi-liok kepadanya itu.
Kemunculannya yang sangat mendadak ini segera menggetarkan perasaan Bong Thian-gak, ia tahu persoalan bakal runyam.
Belum habis ingatan itu, suara orang berbaju hijau yang sedang menghitung itu pun terhenti secara mendadak.
Kemudian secepat kilat dia membalik badan seraya melancarkan bacokan kilat ke depan.
Angin pukulan yang kuat dan tajam secara telak menghantam tubuh perempuan berbaju hijau itu.
Jerit kesakitan bergema, tubuh perempuan berbaju hijau itu segera terlempar bagaikan layang-layang yang putus benang.
Dengan cepat Bong Thian-gak melejit ke udara dan melayang turun di hadapan perempuan berbaju hijau itu.
Sementara itu paras muka perempuan berbaju hijau itu sudah berubah pucat-pias seperti mayat, darah segar muntah dari mulutnya.
Dengan cepat Bong Thian-gak membimbing bangun, kemudian menempelkan telapak tangannya di atas jalan darah Mi-bun-hiat di punggungnya.
Segulung hawa panas segera menyusup ke tubuh perempuan itu melalui jalan darah Mi-bun-hiat, hawa darah bergolak dengan kuat dalam tubuhnya, perempuan itu pun segera berkata.
"Bong-siangkong, kau tak boleh menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada orang lain, kau tak boleh mengingkari janjimu terhadap Biau-kosiu."
"Ai, harap kau sudi memaafkan aku,"
Ujar Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang. Saat itu Bong Thian-gak benar-benar menyesal dan tidak keruan rasanya. Perempuan berbaju hijau itu memandang sekejap ke arahnya, kemudian dengan air mata bercucuran katanya.
"Bong-siangkong, kemungkinan besar aku akan segera mati. Sebelum ajalku tiba, aku minta kau bersedia menyanggupi keinginanku, kau harus melindungi kitab Kui-hok-khi-liok itu hingga diserahkan terhadap Biau-kosiu. Apabila kau tak mampu menyerahkan kepadanya, tolong hancurkan dan musnahkan kitab itu."
Paras muka perempuan berbaju hijau itu pucat-pias seperti mayat, dari balik matanya memancar sinar permohonan, ditatapnya wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip.
Dia hendak menanti jawaban Bong Thian-gak, sebab dia tahu asalkan pemuda yang berada di hadapannya sudah menganggukkan kepala memberikan persetujuan, biar langit ambruk pun, pendiriannya tak pernah akan berubah.
Tapi Bong Thian-gak masih tetap termenung dan sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Sebab perasaan dan pikirannya saat ini sangat kalut, dia tak bisa mengambil keputusan dengan segera, bagaimana pun menyelamatkan Thay-kun merupakan harapannya yang terbesar.
Sekarang dia telah mendapat kesempatan baik yang tak mungkin bisa dijumpai lagi di kemudian hari.
Apakah dia harus melepaskan kesempatan yang sangat baik itu begitu saja? Melihat pemuda itu hanya membungkam tanpa menjawab, perempuan berbaju hijau itu menjadi sangat kecewa, air matanya segera bercucuran membasahi wajahnya.
Diiringi jeritan yang memilukan, perempuan berbaju hijau itu sekali lagi memuntahkan darah segar, tiba-tiba saja dia tewas dalam keadaan penuh kecewa.
Tak terlukiskan rasa terkejut Bong Thian-gak, sementara dia masih tertegun, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar orang berbaju hijau itu berkata dengan dingin.
"Dia bukan mati karena mendongkol kepadamu. Ketahuilah, barang siapa sudah termakan oleh pukulanku, maka dia tak akan mampu hidup lebih seperempat jam."
Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan dan menatap orang itu lekat-lekat, kemudian ujarnya.
"Tenaga pukulan yang kau miliki memang benar-benar amat dahsyat dan tajam, tapi yakinkah kau bahwa seranganmu pasti dapat menghabisi nyawaku?"
"Sebelum mendapatkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, aku tak nanti turun tangan melukaimu."
"Sekarang aku sudah berubah pikiran,"
Ucap Bong Thiangak dengan suara dingin.
"Aku tak jadi menyerahkan kitab pusaka itu kepadamu, akan kulindungi kitab Kui-hok-khi-liok ini hingga saat penyerahan nanti."
Orang itu tertawa seram mendengar perkataan itu.
"Bagus sekali, kau mencari jalan kematian bagi dirimu sendiri."
Mendadak Bong Thian-gak melolos Pek-hiat-kiam, kemudian berkata.
"Apabila kau bermaksud mencabut nyawaku, maka tak ada salahnya kau mencoba menerima beberapa buah tusukanku ini."
Pemuda itu melompat ke muka dan melepaskan sebuah tusukan kilat.
Sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata segera berkelebat ke depan.
Orang itu sama sekali tidak menggeser badan menghindarkan diri, sebaliknya Si-hun-mo-li yang berada di sisinya bagaikan sesosok arwah gentayangan telah menyelinap ke depan dan menghadang di hadapan orang itu, sementara telapak tangannya yang putih bersih ditolakkan ke muka menghantam mata pedang itu.
Sebenarnya Bong Thian-gak bisa saja berganti jurus dengan membacok pergelangan tangannya, namun ia sama sekali tidak berbuat demikian.
Menghadapi ancaman itu, dia menarik balik pedangnya.
Si-hun-mo-li sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk banyak bertindak, kembali tubuhnya berkelebat maju dan menerjang sisi kiri Bong Thian-gak, sementara telapak tangannya yang lain segera dihantamkan ke bahu kiri anak muda itu.
Sejak bertemu Si-hun-mo-li, ilmu silat yang dimiliki Bong Thian-gak seolah-olah mengalami kemunduran yang amat pesat.
Dalam keadaan demikian, seharusnya ia dapat menggerakkan pedangnya untuk melepaskan tusukan, namun ia tidak berbuat demikian, tubuhnya malah melompat mundur untuk menghindarkan diri dari ancaman itu.
Siapa tahu pada saat itulah telapak tangan kiri Si-hun-mo-li telah diayun ke depan dan membacok tubuh Bong Thian-gak dengan mempergunakan Soh-li-jian-yang-sin-kang.
Cahaya tajam yang berwarna merah darah segera menyambar, pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang yang maha dahsyat bagaikan putaran roda kereta langsung menggulung ke muka.
Bong Thian-gak segera membentak, mendadak Pek-hiatkiam diputar kencang menciptakan kabut pedang yang tebal, bukannya mundur dia malah maju.
Ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan ilmu pukulan yang maha dahsyat dan amat termasyhur dalam Bulim.
Mimpi pun orang berbaju hijau itu tak mengira permainan kabut pedang yang diciptakan Bong Thian-gak itu mampu mementalkan sergapan tenaga Sinkang itu.
Benar-benar di luar dugaannya, serangan maut yang begitu tajam dan dahsyat dari Soh-li-jian-yang-sin-kang berhasil dipunahkan begitu saja oleh putaran hawa pedang Bong Thian-gak.
Sebaliknya tubuh Bong Thian-gak sendiri berputar ke hadapan Si-hun-mo-li dengan kecepatan luar biasa, lalu kaki kanan Bong Thian-gak diayunkan ke muka dan menendang jalan darah kaku di pinggang Si-hun-mo-li.
Tendangan yang dilancarkan olehnya itu benar-benar dilepaskan secara jitu dan manis, diikuti jeritan tertahan, tubuh Si-hun-mo-li segera roboh terjungkal ke atas tanah.
Pada saat itulah Bong Thian-gak membuang Pek-hiat-kiam, lalu mementang kelima jari tangannya, dia cengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li.
Bong Thian-gak tahu ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang yang dimiliki Si-hun-mo-li terletak pada tangan kirinya, oleh sebab itu ia langsung mencengkeram bagian vital itu dengan harapan dapat mengendalikan gerak-gerik perempuan itu.
Sejak Bong Thian-gak memutar pedang sambil mendesak maju hingga dia merobohkan Si-hun-mo-li dengan tendangan, beberapa gerakan itu dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat dan dilakukan secara beruntun.
Menanti orang berbaju hijau tahu Si-hun-mo-li tak mungkin mampu menghadapi serangan Bong Thian-gak, urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li sudah berhasil dicengkeraman Bong Thian-gak.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang berbaju hijau itu mendengus penuh amarah, dari kejauhan dia lepaskan bacokan maut ke tubuh pemuda itu.
Tapi Bong Thian-gak dengan membopong tubuh Si-hunmo- li malah melompati dua buah kuburan besar untuk menghindarkan diri.
Ketika tenaga pukulan yang dilancarkan orang berbaju hijau itu menghantam batu nisan, terjadilah suara ledakan yang amat keras disusul robohnya batu nisan dan debu pasir beterbangan ke udara.
Gagal dengan serangan mautnya, orang itu bagaikan sukma gentayangan mendesak maju, sewaktu berada di muka Bong Thian-gak, kembali tangan kanannya diayunkan siap melepaskan pukulan maut lagi.
Padahal Bong Thian-gak baru saja berhasil berdiri tegak ketika musuh telah berdiri di hadapannya, gerakan tubuh yang sedemikian cepatnya ini membuat anak muda itu tertegun.
Sambil tertawa dingin, orang berbaju hijau itu berkata.
"Asal kau berani menggerakkan tubuhmu, tenaga pukulan yang telah kuhimpun ini secepat kilat akan menghajar tubuhmu."
Waktu itu tangan Bong Thian-gak sedang mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li. Ketika mendengar ancaman itu, ia segera tertawa dingin sambil ujarnya.
"Tenaga pukulanmu itu mungkin akan menghajar Sihun- mo-li."
Agaknya rahasia hati orang berbaju hijau itu berhasil ditebak Bong Thian-gak secara tepat. Ia segera berpikir beberapa saat, setelah itu baru ujarnya dengan suara dingin.
"Apa yang ingin kau lakukan terhadap dirinya?"
"Mencabut nyawanya."
"Bila dia mati, kau pun jangan harap bisa hidup lebih lama,"
Ancam orang berbaju hijau itu segera.
"Betul, itulah sebabnya tak ada salahnya bila kita bertukar syarat."
"Apa syaratmu?"
Bong Thian-gak berpikir sejenak, kemudian katanya dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Harap kau segera mundur dari sini! Aku tak akan mengganggu keselamatan jiwanya."
"Sekarang segenap tenaga pukulanku telah terhimpun di telapak tangan, sesungguhnya yang mendapat ancaman bukan aku, melainkan kau,"
Ucap orang berbaju hijau itu dengan nada menyeramkan.
"Aku tahu. Meski tenaga pukulanmu amat tajam dan menakutkan, namun belum tentu dapat melukaiku."
"Setiap kali melepas pukulan, belum pernah pukulanku meleset."
"Bukankah ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang Si-hunmo- li pun belum pernah meleset, tapi terbukti sudah bahwa ia tak mampu melukai aku."
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
"Hm, aku memang tidak mengerti apa sebabnya kabut pedang yang kau ciptakan tadi bisa mematahkan ancaman Soh-li-jian-yang-sin-kang yang begitu hebat."
"Karena sebenarnya aku telah berhasil melatih semacam ilmu sakti yang dapat menandingi pengaruh Soh-li-jian-yangsin- kang itu,"
Kata Bong Thian-gak sambil tersenyum. Tampaknya orang itu seperti berhasil menebak, dengan terkejut ia segera bertanya.
"Apakah tenaga sakti yang kau pergunakan barusan adalah Tat-mo-khi-kang?"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Ya benar, memang Tat-mo-khi-kang. Itulah sebabnya berani aku katakan tadi, bahwa tenaga seranganmu belum tentu dapat melukai diriku."
"Sekalipun mempelajari Tat-mo-khi-kang, bukan berarti sudah tiada tandingan di kolong langit?"
"Tapi paling tidak kan aku sanggup menerima serangan mautmu tanpa kuatir terancam keselamatan jiwaku."
"Sekarang aku tidak ingin lagi melancarkan serangan lebih dahulu kepadamu, lebih baik kita saling bertahan pada posisi demikian saja!"
Yang paling menjengkelkan dan membingungkan Bong Thian-gak sekarang adalah dia tidak memiliki tangan kanan sehingga sama sekali tak mampu mengeluarkan pil Hui-hunwan itu dan dicekokkan ke mulut Si-hun-mo-li.
Kabut malam sudah makin menyelimuti angkasa, sementara sang surya sudah tenggelam ke langit barat, tanah pekuburan itu mulai dicekam kegelapan.
Mendadak dari balik tanah pekuburan berkumandang suara orang bicara.
"Apabila keadaan saling bertahan semacam ini berlangsung lebih lama, akhirnya Jian-ciat-suseng akan menderita kekalahan sebelum pertarungan dimulai."
Mendengar perkataan itu, hati Bong Thian-gak bergetar.
"Siapa di situ?"
Bentak orang berbaju hijau itu dingin.
Dari balik sebuah kuburan besar muncul seorang berjubah panjang warna hitam, lengan kanan orang itu sudah kutung sementara sebilah golok panjang tersoreng di pinggangnya.
Berjumpa dengan manusia berlengan tunggal itu, Bong Thian-gak terkejut bercampur girang, segera pekiknya dalam hati.
"Ah, tenyata Liu khi. Andaikata ia bersedia membantuku, niscaya keselamatan jiwa Thay-kun akan terjamin."
Kemunculan Liu Khi tentu saja memberi harapan baru yang amat besar bagi Bong Thian-gak, tapi pada saat itu pula tibatiba Bong Thian-gak merasa kepalanya sangat pening.
"Aduh celaka,"
Pekik Bong Thian-gak dalam hati.
Dengan cepat ia menyambar tubuh Si-hun-mo-li, kemudian sekuat tenaga melompat ke depan dimana Liu Khi berada.
Baru saja Bong Thian-gak menggerakkan tubuh, jurus serangan orang berbaju hijau yang telah disiapkan sedari tadi dilontarkan ke muka.
Suara dengusan tertahan segera memecah keheningan.
Tubuh Bong Thian-gak dan Si-hun-mo-li mencelat ke belakang.
Tenaga yang dilontarkan oleh orang berbaju hijau itu hampir saja membuyarkan tenaga Tat-mo-khi-kang yang dihimpun Bong Thian-gak.
Dalam keadaan setengah sadar, dengan cepat Bong Thiangak melepas cengkeramannya pada urat nadi pergelangan tangan kiri Si-hun-mo-li, kemudian tangannya merogoh ke dalam saku mengeluarkan pil Hui-hun-wan dan sekali lompat dia sudah menindih di atas tubuh Si-hun-mo-li, ia jejalkan pil Hui-hun-wan itu ke dalam mulut perempuan itu.
Pada saat itulah Bong Thian-gak merasa tengkuknya amat dingin, sebuah cengkeraman maut yang sangat kuat bagaikan jepitan baja telah mencengkeram tengkuknya.
Menyusul suara bentakan menggema.
"Hek-mo-ong, terimalah bacokanku ini!"
Liu Khi tahu-tahu telah melepas goloknya dengan kecepatan luar biasa.
Di antara berkelebatnya cahaya putih mata golok itu, orang itu segera melompat mundur untuk menghindarkan diri.
Begitu musuh mundur, Liu Khi menyarungkan kembali goloknya, lalu berseru dengan terkejut.
"Agaknya kau mampu juga menghindarkan diri dari bacokan golokku ini?"
"Hm, benar-benar permainan golok yang luar biasa cepatnya,"
Jengek orang berbaju hijau itu dengan suara dingin dan menyeramkan.
"Hampir saja lenganku terpapas kutung oleh sambaran golokmu itu."
Di bawah sinar bintang dan rembulan yang remangremang, orang berbaju hijau itu telah kehilangan sebagian ujung baju tangan kirinya. Liu Khi tertawa dingin setelah mengamati lawannya itu, kembali ia menegur dengan suara ketus.
"Engkau adalah Hekmo- ong?"
"Hm! Atas dasar apa kau menuduh aku sebagai Hek-moong?"
Balas orang berbaju hijau itu dengan suara tak kalah seram. Kembali Liu Khi tertawa seram.
"Hm, aku sudah tiga hari menguntit dirimu, aku pun telah meneliti semua mayat yang tewas di tanganmu, semuanya mati dengan isi perut hancur, hanya sayang tidak kujumpai lambang tengkorak hitam yang khas itu." "Liu Khi, sejak tadi aku telah mengetahui kau mengikuti diriku,"
Kata orang berbaju hijau itu. Liu Khi tertawa dingin.
"Oleh sebab itulah kedelapan belas orang anak buahmu sekarang telah berubah menjadi setan-setan tanpa kepala."
"Kecepatan permainan golokmu benar-benar di luar dugaanku."
"Ketajaman pukulan tangan kosongmu pun tak di bawah permainan golok saktiku."
"Apa maksudmu?"
"Ilmu silat Jian-ciat-suseng yang sekarang menggeletak di tanah ttu belum tentu di bawah kita, dengan ketajaman ilmu pukulanmu ternyata kau sanggup menghajarnya secara telak. Bukankah ketajaman Ilmu pukulanmu benar-benar membikin hati orang bergidik?"
Sementara itu Bong Thian-gak yang menggeletak di atas tanah merasakan seluruh tubuhnya lemas, tulang-belulangnya seperti sudah terlepas, namun dia tidak jatuh pingsan, dengan demikian semua pembicaraan Liu Khi dan orang berbaju hijau itu dapat didengar semua olehnya dengan jelas.
Diam-diam Bong Thian-gak merasa amat terkejut, segera pikirnya.
"Betulkah orang berbaju hijau itu adalah Hek-moong?"
Bong Thian-gak segera teringat bagaimana orang itu melancarkan serangan yang tepat mengenai perempuan berbaju hijau tadi, kecepatan serta kehebatan serangannya memang sungguh mengerikan.
Perempuan berbaju hijau itu bukan termasuk seorang lemah, namun nyatanya orang itu sanggup menghajarnya hingga tewas dalam satu gebrakan saja.
Benar-benar menggidikkan.
Apabila Liu Khi harus berduel melawan orang berbaju hijau itu, dapatkah Liu Khi meraih kemenangan? Bong Thian-gak berharap kemampuan Liu Khi sanggup menahan mang berbaju hijau itu hingga tenaga dalamnya pulih atau kalau tidak, ia bersama Thay-kun pasti akan menemui bencana besar.
Sementara itu Thay-kun sejak dicekoki pil Hui-hun-wan masih tetap tidak sadarkan diri, keadaannya tak ubahnya sesosok mayat, sama sekali tidak bergerak, tubuhnya masih tertindih Bong Thian-gak.
Tiba-tiba terdengar orang berbaju hijau itu menegur dengan suara menyeramkan.
"Liu Khi, apa yang hendak kau lakukan sekarang?"
"Pertama-tama, aku ingin bertanya kepadamu, benarkah kau adalah Hek-mo-ong?"
Tanya Liu Khi sambil tertawa dingin.
"Jika aku adalah Hek-mo-ong, hari ini aku datang mengenakan topeng kulit manusia, kau tak akan mengenali juga raut wajah asliku."
"Itulah sebabnya aku ingin bertanya kepadamu dan kau harus memberikan ketegasan dalam jawabanmu, ya atau tidak."
"Aku tak dapat memberikan jawaban yang meyakinkan padamu."
Liu Khi tertawa dingin tiada hentinya.
"Seandainya golok yang berada dalam genggamanku ini berhasil mengunggulimu?"
"Aku ingin balik bertanya kepadamu, ada urusan apa kau mencari Hek-mo-ong?"
Untuk kesekian kalinya Liu Khi tertawa dingin.
"Mungkin kau sudah mengetahui rahasiaku." "Tentu saja tahu, di dunia persilatan terdapat seorang pembunuh yang kerjanya khusus membunuh orang berdasarkan order, dia adalah orang misterius dan tak membedakan antara yang sesat dan lurus. Asal ada orang memberi uang kepadanya, dia akan membunuh siapa pun seperti yang diinginkan si pemesan."
Liu Khi tertawa terbahak-bahak serunya.
"Tentunya orang yang kerjanya membunuh berdasarkan order ini adalah Liu Khi, bukan?"
"Benar, memang Liu Khi."
Bong Thian-gak terkejut serta ingin tahu.
Dia ingin tahu, karena selama ini belum pernah terdengar olehnya di dunia persilatan terdapat pekerjaan membunuh berdasarkan order seperti apa yang dikatakannya itu.
Dia terkejut karena sama sekali tidak menyangka Liu Khi adalah orang yang mempunyai pekerjaan membunuh berdasarkan order itu.
Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng pernah berkata kepada Bong Thian-gak.
"Aku mencurigai Liu Khi...."
Sesungguhnya Bong Thian-gak merasa kurang puas terhadap kecurigaan Tio Tian-seng itu, namun sekarang dia harus mengakui akan ketajaman mata, kematangan pengetahuan serta pengalaman Tio Tian-aeng, rupanya dia telah mengetahui rahasia Liu Khi itu.
Sambil tertawa Liu Khi berkata.
"Benar-benar sangat hebat, padahal sedikit umat di Kangouw saat ini yang mengetahui rahasiaku."
"Sekali lagi aku ingin bertanya kepadamu, apakah ada orang yang telah membayar tinggi kepadamu untuk membunuh Hek-mo-ong?"
"Benar, Liu Khi telah menerima order itu,"
Liu Khi tertawa.
"Hek-mo-ong adalah seorang yang luar biasa. Entah berapa besar harga yang telah dibayarkan kepadamu?"
"Untuk membunuh Hek-mo-ong, harganya tak dapat ditentukan dengan emas, intan atau permata lainnya."
Orang berbaju hijau tertawa dingin, katanya lebih jauh.
"Dapatkah kau memberitahu kepadaku siapa yang mengundangmu?"
"Apakah kau tidak tahu bahwa persoalan semacam ini tak dapat diutarakan?"
Seru Liu Khi sambil tertawa terbahakbahak. Mendadak orang berbaju hijau itu memasukkan tangannya ke dalam saku, bersamaan lengan tunggal Liu Khi telah memegang pula gagang golok yang tersoreng di pinggangnya, kemudian bentaknya.
"Kau jangan mencoba melepas racun, sebelum datang kemari Liu Khi telah menelan pil anti bisa yang bisa menawarkan berbagai macam pengaruh racun."
Tangan kiri orang berbaju hijau itu masih tetap berada di dalam saku, tak bergerak, katanya dingin.
"Aku memang sudah tahu Liu Khi kebal terhadap aneka serangan racun, tentu saja aku tak akan berbuat nebodoh ini dengan melepaskan racun terhadapmu."
Liu Khi tertawa dingin.
"Bila tangan kirimu meninggalkan saku, maka golokku akan terlolos pula dari sarung!"
Ancamnya. Tiba-tiba orang berbaju hijau itu memandang sekejap bintang yang bertebaran di angkasa, kemudian katanya pelan.
"Liu Khi, aku ingin mengundangmu untuk membunuh orang. Bersediakah kau menerima orderku ini?"
"Sebelum Liu Khi menerima order, terlebih dulu harus kuketahui persoalan macam apakah itu, karenanya kau harus mengatakannya lebih dulu kepadaku siapa yang hendak kau bunuh?" "Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng!"
Jawab orang berbaju hijau itu dengan suara hambar. Liu Khi termenung beberapa saat, setelah itu baru berkata.
"Sulit untuk membunuh Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng, rasanya kesulitan itu tidak di bawah Hek-mo-ong sendiri."
"Bagaimana pun juga kau adalah wakil ketua Kay-pang. Boleh dibilang siang malam kalian bergaul, kesempatanmu untuk membunuh amat banyak."
Liu Khi tertawa dingin.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lantas berapa hendak kau bayar?"
"Aku akan membantumu merebut kursi ketua Kay-pang ditambah emas murni dan mutiara sepuluh laksa tahil."
"Apakah kau tak sanggup membayar lebih mahal lagi?"
Jengek Liu Khi sambil tertawa dingin. Orang berbaju hijau memandang sekejap ke arahnya, kemudian baru sahutnya.
"Untuk membunuh Tio Tian-seng, balas jasa apakah yang kau kehendaki? Silakan kau utarakan sendiri."
Dengan muka sungguh-sungguh Liu Khi berkata.
"Aku minta kitab pusaka Kui-hok-khi-liok Mi-tiong-bun."
Sekali lagi Bong Thian-gak terkejut mendengar ucapannya itu, segera pikirnya.
"Sebetulnya kitab pusaka macam apakah Kui-hok-khi-liok yang berada dalam sakuku sekarang? Mengapa mereka berusaha mendapatkannya?"
Dalam pada itu orang berbaju hijau telah berkata pula dengan suara hambar.
"Bila kau mendapatkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, maka jangan harap kau bisa meloloskan diri dari pengejaran segenap jago Mi-tiong-bun. Mengapa kau mencari kesulitan bagi diri sendiri?"
Liu Khi tertawa misterius.
"Bukankah kau sendiri pun sudah menyadari bila merebut kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, maka kau akan dikejar segenap jago lihai yang dikirim Mi tiong-bun, tapi mengapa kau sendiri pun berusaha mendapatkannya?"
"Sekarang aku mengajakmu membicarakan soal transaksi. Maaf, permintaanmu tidak dapat kuterima."
"Kalau begitu malam ini kita harus melangsungkan duel yang seru. Bilamana kau menganggap hal ini perlu, silakan saja segera turun tangan!"
"Aku tidak dapat membiarkan kau merampas kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, tentu saja barang harus diserahkan sendiri sebagai tanda jadi."
"Mengapa hingga sekarang kau belum juga turun tangan?"
Kata orang berbaju hijau itu.
"Aku sedang menunggu kesempatan baik."
"Selama hidup kau tak akan mendapatkan kesempatan baik itu!"
"Siapa bilang tidak?"
Tahu-tahu Liu Khi melolos golok.
Gerakannya sewaktu melolos golok cepat sekali, seperti sambaran petir, dalam keadaan begitu tak mungkin orang dapat meloloskan diri.
Mata golok secara langsung menyambar lambung orang berbaju hijau itu, serangannya gencar, dahsyat dan sangat mengerikan.
Tangan kiri si orang berbaju hijau yang selama ini disembunyikan di balik saku segera disapukan pula ke depan dengan kecepatan tinggi, ia sambut datangnya ancaman golok Liu Khi dengan kekerasan.
Tetapi mungkinkah ada orang di dunia yang sanggup menerima bacokan golok dengan sabetan tangan kosong? Suara benturan keras memecah keheningan.
Tubuh Liu Khi seperti seekor bangau abu-abu langsung berkelebat menuju ke arah kiri.
Desingan angin tajam menderu, segulung angin pukulan yang amat kuat segera menyambar lewat dasar kaki Liu Khi.
Pertarungan yang berlangsung antara kedua orang itu sama-sama dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, tahu-tahu Liu Khi melayang turun, goloknya juga telah disarungkan kembali.
Sebaliknya orang berbaju hijau dengan tangan kosong masih tetap berdiri tegak di tempat.
Dari sorot mata kedua orang itu, mereka sama-sama terperanjat oleh ketangguhan lawan.
Tanpa berkedip, mereka saling pandang.
Tiba-tiba Liu Khi berkata.
"Senjata tajam apakah yang telah kau gunakan untuk menyambut bacokan golokku tadi?"
"Hanya sebuah sarung tangan!"
Jawab orang berbaju hijau dingin.
"Sebuah sarung tangan?"
Liu Khi bertanya keheranan.
"Ketajaman golokku tak akan bisa dibendung oleh senjata tajam macam apa pun di dunia ini, aku pikir sarung tanganmu itu tentu sudah robek bukan?"
"Betul, memang agak robek sedikit, itulah sebabnya kau dapat mengundurkan diri secara aman."
Liu Khi tertawa.
"Seandainya kau berusaha mencengkeram mata golokku tadi, maka telapak tanganmu itu mungkin akan terpisah dengan tubuhmu."
"Liu Khi, kau sudah terkena pukulanku yang sangat lihai,"
Kata orang berbaju hijau itu dingin. Paras muka Liu Khi segera berubah hebat, katanya.
"Tenaga pukulanmu itu sama sekali tak pernah mengenai tubuhku." "Dalam kedua serangan yang aku lancarkan tadi, satu berwujud dan yang satu tak berwujud, kau dapat meloloskan diri dari serangan tangan kananku yang berwujud, tapi ketika kau melayang turun tadi, pukulanku yang tak berwujud telah menghajar tubuhmu secara telak, tenaga serangan ini aku lancarkan melalui tangan kiri, apabila kau tak percaya silakan saja mengatur pernapasanmu, rasakan sendiri apakah jalan darah Hian-koan-hiat di belakang pinggangmu terasa linu dan sakit atau tidak?"
Liu Khi termenung sejenak.
"Sungguh amat lihai, ternyata aku memang benar-benar sudah termakan oleh serangan gelapmu, namun sayang kekuatannya tidak dapat membuatku terluka."
"Untuk sementara waktu aku masih belum ingin melukaimu, aku hanya berniat mendemonstrasikan kemampuanku yang lihai ini agar kau tidak terlampau sombong dan takabur."
Liu Khi mendengus dingin.
"Hm! Bersiaplah menyambut serangan bacokanku yang kedua."
"Tunggu sebentar,"
Tiba-tiba orang berbaju hijau itu membentak.
"Apalagi yang hendak kau katakan?"
"Bila kita bertarung sekali lagi, rasanya salah seorang di antara kita akan terluka, kau tidak punya keyakinan untuk bisa mengungguliku, demikian pula aku. Buat apa mesti bersikeras meneruskan pertarungan yang sama sekali tak ada gunanya ini?". Liu Khi tersenyum.
"Tapi aku tak bisa membiarkan kau merampas, kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dengan gampang."
"Kalau kau menginginkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu, biarlah aku mengalah saja?"
Seusai berkata, mendadak orang berbaju hijau itu mengerahkan Ginkang dan segera berlalu dari situ.
Tampaknya Liu Khi sama sekali tidak menyangka orang berbaju hijau itu akan meninggalkan arena begitu saja, dia berdiri lama di tempat dengan wajah termangu-mangu, setelah tidak berhasil menemukan sesuatu gejala aneh, dia pun bergumam seorang diri.
"Benarkah dia rela meninggalkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok begitu saja, hm ...."
Namun dalam waktu singkat di atas tanah pekuburan itu telah muncul kembali si orang berbaju hijau yang misterius tadi.
Orang berbaju hijau itu memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak serta Liu Khi, kemudian tertawa dingin penuh kelicikan dan perasaan bangga.
"Jian-ciat-suseng betul-betul jago muda persilatan, nyatanya si pembunuh bayaran pun tak dapat menghabisi nyawamu, sungguh mengagumkan."
Seusai berkata, kembali dia tertawa dingin tiada hentinya dengan suara menyeramkan.
"Sebenarnya siapakah kau?"
Tegur Bong Thian-gak dengan nada suara dalam. Berhubung orang berbaju hijau itu mengenakan topeng kulit manusia, maka tidak nampak perubahan wajahnya, dia balik bertanya.
"Dan menurut dugaanmu, siapakah aku?"
"Hek-mo-ong,"
Sahut Bong Thian-gak setelah tertegun sejenak. Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
"Atas dasar apa kau menuduhku sebagai Hek-mo-ong?"
Bong Thian-gak tertegun dan tak dapat menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba Liu Khi menimbrung sambil tertawa dingin.
"Walaupun kau bukan Hek-mo-ong, namun termasuk salah seorang yang dicurigai nebagai Hek-mo-ong."
"Berapa banyak jago lihai dalam Kangouw yang dicurigai sebagai Hek-mo-ong?"
Tanya orang berbaju hijau itu.
"Ada beberapa orang yang dicurigai, rasanya tak usah ditanyakan tapi kepadaku, kau sendiri jauh lebih jelas daripada siapa pun?"
"Kalau begitu, kau pun sudah tahu siapa diriku?"
Ucap orang itu dengan suara mengerikan.
"Ya, aku dapat menebak enam bagian."
"Kalau begitu, coba katakan siapakah diriku?"
Liu Khi termenung beberapa saat, kemudian sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kau adalah si tabib sakti Gi Jian-cau."
Hati Bong Thian-gak bergetar keras, pikirnya.
"Pesan terakhir Keng-tim Suthay memintaku membunuh Gi Jian-cau, mungkinkah Hek-mo-ong adalah jelmaan Gi Jian-cau?"
Sementara itu orang berbaju hijau itu sudah bertanya lagi dengan suara hambar.
"Liu Khi, sudah pernahkah kau berjumpa dengan si tabib sakti Gi Jian-cau?"
"Delapan belas tahun berselang, kami pernah berjumpa satu kali,"
Jawab Liu Khi sambil tertawa.
"Apakah kau masih ingat raut wajahnya?"
Kembali Liu Khi tertawa.
"Sekalipun tubuhnya hancur menjadi abu, aku masih tetap dapat mengenalinya."
Tiba-tiba orang berbaju hijau itu melepas topeng kulit manusia yang melekat di wajahnya sehingga muncul wajahnya di hadapan Bong Thian-gak serta Liu Khi. Begitu menjumpai paras muka orang itu, Bong Thian-gak segera berseru kaget.
"Bukankah kau adalah Pat-kiam-huihiang Tan Sam-cing?"
Orang berbaju hijau itu sama sekali tidak menggubris perkataan Bong Thian-gak, dengan suara dingin dan kaku kembali dia bertanya' kepada Liu Khi.
"Coba kau tatap lagi wajahku dengan seksama, benarkah aku adalah Gi Jian-cau."
Selesai berkata, dia mengenakan kembali topeng kulit manusia itu. Liu Khi termangu-mangu, kemudian ucapnya sambil menghela napas.
"Ai, tidak kusangka dugaanku meleset."
"Liu Khi,"
Kata orang berbaju hijau dengan suara dingin.
"bila sekarang kutuduh kaulah Hek-mo-ong, apa yang hendak kau katakan?"
Liu Khi tertawa terbahak-bahak.
"Apabila kau pernah berjumpa dengan bayangan iblis Hek-mo-ong, maka kau tidak akan menaruh curiga kepadaku."
"Apa maksudmu?"
"Karena Hek-mo-ong bukan seorang berlengan tunggal."
Tiba-tiba orang berbaju hijau itu mengalihkan sorot matanya ke wajah Bong Thian-gak, katanya.
"Sekarang aku telah memperlihatkan raut wajah asliku, Si-hun-mo-li juga telah menelan pil Hui-hun-wan, tentunya kau dapat menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku saat ini bukan?"
Tak terlukiskan rasa kaget dan tercengang Bong Thian-gak, tanpa terasa ia berkata.
"Darimana Tan-locianpwe bisa tahu dia telah menelan pil Hui-hun-wan?"
"Si-hun-mo-li sudah sekian lama kehilangan kesadaran dan kejernihan otaknya, keadaannya tak ubahnya patung kayu yang menurut saja perintah orang, tapi kenyataan sekarang dia dapat tertidur begitu nyenyak dan tak mau menuruti perintah orang lagi. Jelas dia telah diberi pil Hui-hun-wan."
"Tan-locianpwe,"
Kembali Bong Thian-gak bertanya dengan nada tak mengerti.
"ada suatu hal yang tidak kupahami, bagaimana caramu menemukan Si-hun-mo-li, apakah kau pun sudah bergabung dengan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?"
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
"Si-hun-mo-li tidak lebih cuma boneka, asal seseorang memahami ilmu pengendali sukma, maka ia dapat memerintah sekehendak hati kepada perempuan ini. Mengapa harus jadi anak buah Cong-kaucu lebih dulu baru memberi perintah kepadanya?"
Bong Thian-gak menggeleng kepala, ia berkata.
"Gerakgerik Tan-locianpwe benar-benar membuat aku bingung dan tidak mengerti."
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
"Ingin kutanya padamu, sebenarnya kau ingin menyelamatkan Jiwa Si-hun-mo-li ataukah tetap mempertahankan kitab Kui-hok-khi-liok itu?"
"Bila aku punya cukup kemampuan, keduanya kuhendaki."
"Kalau begitu jangan salahkan bila aku turun tangan keji padamu."
"Tunggu sebentar,"
Teriak Bong Thian-gak.
"Boanpwe ingin menanyakan satu hal lagi kepada Locianpwe."
"Persoalan apa? Cepat katakan."
"Boanpwe ingin tahu sebetulnya Locianpwe musuh atau sahabat?"
"Hm, musuh atau sahabat, kaulah yang menetapkan sendiri."
Kembali Bong Thian-gak menghela napas sedih, katanya lagi.
"Sungguh tidak kusangka, bersusah payah Tio Tian-seng memancing kau muncul kembali dalam Kangouw, nyatanya perbuatan ini tak lebih cuma memancing harimau turun gunung."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak punya waktu untuk diam terus,"
Tukas orang berbaju hijau itu dingin.
"Sekarang aku telah menghimpun kekuatan di telapak tangan kananku yang telah siap kuhantamkan ke tubuh Si-hun-mo-li yang masih tertidur nyenyak di atas tanah. Apabila kau masih belum juga menyerahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadaku, terpaksa aku harus memusnahkan jiwanya lebih dulu sebelum membunuhmu."
Bong Thian-gak menghela napas.
"Baiklah, akan kuserahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadamu."
Bong Thian-gak segera merogoh sakunya dan siap mengeluarkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu. Tiba-tiba dari kejauhan sana terdengar suara bentakan nyaring.
"Tunggu dulu, dia bukan Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing."
Sesosok bayangan yang ramping dan tinggi semampai bagaikan burung walet yang lincah mendekat dengan kecepatan luar biasa.
Di bawah cahaya bintang dan rembulan terlihat orang itu adalah gadis yang cantik, dia bukan lain adalah Biau-kosiu.
Bong Thian-gak memandang sekejap ke arahnya, lalu tanyanya.
"Atas dasar apa nona mengatakan dia bukan Patkiam- hui-hiang Tan Sam-cing?"
Sementara itu si orang berbaju hijau telah menegur sambil tertawa dingin.
"Kaukah si perempuan siluman rase dari wilayah Biau?"
Biau-kosiu tertawa merdu.
"Pat-kiam-hui-hiang Tan Samcing yang asli telah tiba!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, di tanah pekuburan itu telah muncul pula seorang Tosu berjenggot hitam.
Dengan seksama Bong Thian-gak mengawasi Tosu itu beberapa saat, ia tertegun dengan wajah melongo, sebab Tosu yang berada di hadapannya sekarang memang tak lain adalah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing yang pernah dijumpainya di kuil Sam-cing-koan tempo hari.
Tapi bukankah raut wajah asli si orang berbaju hijau tadi pun mirip Tan Sam-cing? Dalam pada itu Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing hanya berdiri di kejauhan, tegurnya dengan suara lantang.
"Sebenarnya siapakah kau? Mengapa memakai nama dan dandanan Pinto buat membohongi orang?"
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
"Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing belum pernah memasuki kuil Sam-cing-koan, justru aku yang hendak bertanya kepadamu, mengapa kau mencatut nama dan wajahku untuk menipu orang?"
Bong Thian-gak tertawa seraya menimbrung.
"Kau bukan saja telah mencatut nama dan dandanan orang, bahkan wajah pun kau catut. Benar-benar menggelikan, untung aku sudah mengenali Tan Sam-cing Totiang lebih dulu sehingga dapat kubedakan mana yang asli dan yang gadungan."
"Jian-ciat-suseng,"
Kata orang berbaju hijau itu dengan suara menyeramkan.
"sejak kapan kau kenal Tan Sam-cing?"
"Sejak kemarin."
"Dimana?"
"Dalam kuil Sam-cing-koan." "Sebelum kau bertemu Tan Sam-cing, kenalkah kau dengan orang yang bernama Tan Sam-cing?"
"Aku hanya tahu kau adalah manusia keparat yang mencatut nama orang. Kenapa aku mesti banyak bicara denganmu?"
Mencorong hawa membunuh dari balik mata orang berbaju hijau itu, katanya.
"Satu-satunya lambang Tan Sam-cing adalah kehebatan ilmu Pat-kiam-hui-hiang, Jian-ciat-suseng, apakah kau tak ingin melihatnya?"
"Mengapa tidak?"
Jawab Bong Thian-gak sambil tersenyum.
"Di dalam ujung bajuku terdapat delapan bilah pedang terbang, bila dilepaskan, kepala manusia tentu akan bergelindingan, selama ini belum pernah ada orang yang sanggup meloloskan diri."
"Biarpun harus mempertaruhkan nyawa, pasti akan kuiringi kemauanmu itu,"
Jawab Bong Thian-gak cepat. Mendadak terdengar Liu Khi membentak keras.
"Tunggu sebentar, Bong-laute."
Bong Thian-gak masih tetap duduk bersila di atas tanah, dia memandang sekejap ke arah Liu Khi, kemudian tanyanya.
"Ada urusan apa, Liu-sianseng?"
Liu Khi tertawa.
"Bong-laute, siapakah di antara mereka berdua adalah Tan Sam-cing yang asli, apa pula hubungannya dengan kita? Jika ingin dibuktikan siapa yang palsu, biar saja urusan itu diselesaikan mereka sendiri."
Mendengar ucapan itu, hati Bong Thian-gak bergetar keras, segera pikirnya.
"Betul juga apa yang diucapkan Liu Khi. Mengapa aku begini bodoh mencampuri urusan orang?"
Tiba-tiba terdengar orang berbaju hijau itu menjengek.
"Jian-ciat-suseng, apakah kau hendak menarik kembali tantanganmu itu?" "Ya, bisa saja kutarik kembali,"
Jawab Bong Thian-gak. Tiba-tiba terdengar Biau-kosiu mendengus sambil mengejek hina.
"Huh, tak punya semangat. Kalau begitu aku telah salah menilai dirimu."
Merah padam wajah Bong Thian-gak, ia segera terbungkam. Sam-cing Totiang yang berada di sisinya cepat menimbrung pula sambil tertawa dingin.
"Nona Biau, cepat kau minta kembali kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu dari tangannya, Jian-ciat-suseng bukan seorang yang dapat dipercaya lagi."
Tiba-tiba Bong Thian-gak tertawa keras, kemudian katanya.
"Nona Biau, dengar baik-baik. Aku bersedia memenuhi permintaanmu pergi mengambilkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok ini lantaran aku ingin membalas budi kebaikanmu beberapa hari berselang. Sekarang harap kau terima kembali kitab pusaka Kui-hok-khi-liok secepatnya, sehingga aku tak berhutang apa-apa lagi kepadamu."
Lantas Bong Thian-gak merogoh sakunya dan mengeluarkan bungkusan kain hijau yang berisi kitab pusaka Kui-hok-khi-liok.
Tiba-tiba seseorang berkelebat, tahu-tahu orang berbaju hijau itu sudah mendesak maju dan menghadang di depan Bong Thian-gak, kemudian bentaknya.
"Barang siapa berani maju untuk menerima kitab pusaka Kui-hok-khi-liok, dia harus merasakan dulu pedang terbangku."
"Benarkah di balik ujung bajumu itu tersimpan pedang terbang?"
Tanya Bong Thian-gak tertegun. Orang berbaju hijau itu melirik ke arah Bong Thian-gak, jawabnya.
"Apakah kau masih belum percaya aku adalah Patkiam- hui-hiang?"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Dunia persilatan yang penuh tipu-daya yang licik dan berbahaya, memang sulit bagi orang untuk mempercayai."
"Bila begitu aku perlu beritahukan kepada kalian, Tosu di hadapan kalian sebetulnya adalah Hek-mo-ong."
Sam-cing Totiang tergelak.
"Ngaco-belo, Pinto sudah puluhan tahun mengasingkan diri dari keramaian dunia, sungguh tak disangka kemunculanku kembali ke dunia Kangouw ternyata harus bertemu orang edan yang mencatut namaku."
Dengan suara mengerikan orang berbaju hijau itu tertawa dingin tiada hentinya, ia berkata.
"Oh, jadi kau mengaku sebagai Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing. Tentunya kau pun pandai mempergunakan pedang terbang bukan?"
"Tentu saja dapat,"
Jengek Sam-cing Totiang.
"Ilmu pedang terbang Tan Sam-cing amat termasyhur di kolong langit, aku tidak percaya kau sanggup mempelajari ilmu silat yang amat tangguh ini."
Sambil berkata orang itu menggetarkan ujung baju kirinya.
Sejalur cahaya putih bagaikan sambaran petir segera meluncur kemuka.
Cahaya putih itu langsung melesat ke udara dan menyambar Sam-cing Totiang yang berdiri di hadapannya.
Sam-cing Totiang segera melompat ke belakang, di tengah udara ia mengebaskan pula ujung bajunya sehingga muncul pula cahaya putih menyongsong datangnya sambaran cahaya putih orang berbaju hijau itu.
Suara benturan nyaring berkumandang, kedua jalur cahaya putih saling tumbuk, setelah berputar satu lingkaran, kedua jalur cahaya putih itu terbang kembali ke dalam genggaman orang berbaju hijau serta Sam-cing Totiang.
Demonstrasi ilmu pedang terbang yang sangat hebat dan luar biasa ini membuat para jago membuka mata lebar-lebar.
Dengan jelas Bong Thian-gak melihat senjata dalam genggaman orang berbaju hijau adalah pedang kecil setipis daun yang panjangnya hanya tiga inci.
Sebaliknya senjata dalam genggaman Sam-cing Totiang berupa sebilah pedang kecil yang memancarkan cahaya putih.
Sambil tertawa dingin orang berbaju hijau itu segera berkata.
"Kepandaianmu memang amat sempurna, tak nyana kau mampu memukul mundur pedang terbangku."
Sam-cing Totiang tertawa.
"Aku pun tidak mengira kau benar-benar telah melatih ilmu pedang terbang."
"Mengapa kau tidak ingin mencoba ketujuh pedang yang lain?"
Tantang orang berbaju hijau itu dingin.
"Berapa pun jumlah pedang terbang yang kau miliki, silakan saja digunakan semua."
"Silakan kau maju ke depan untuk mencoba kepandaianku ini."
"Mengapa bukan kau saja yang maju?"
"Hm, kau anggap aku tak mampu?"
Kali ini orang berbaju hijau itu menerjang ke depan bagaikan burung rajawali sakti.
Baru saja tubuhnya menerjang ke muka, cahaya putih secara beruntun meluncur ke depan menimbulkan desingan tajam.
Sam-cing Totiang melejit ke tengah udara, dari tangannya nampak pula cahaya putih berkelebat ke depan dengan kecepatan tinggi.
Di tengah dentingan nyaring, terdengar suara orang mendengus tertahan.
Dari tengah udara tampak sesosok bayangan roboh ke atas tanah, ternyata orang itu adalah Sam-cing Totiang.
Pada saat bersamaan orang berbaju hijau itu melayang turun ke sisi Bong Thian-gak.
Ternyata bahu kiri Sam-cing Totiang telah tertancap pedang kecil, waktu pedang itu dicabut, darah kental segera memercik membasahi seluruh rubuhnya.
Paras muka orang berbaju hijau yang tertutup topeng kulit manusia sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun, malah ujarnya.
"Hek-mo-ong, ilmu pedang terbangmu masih kalah setingkat. Hm, sebenarnya kau dapat melepas paku tengkorakmu tadi untuk merenggut nyawaku, mengapa kau tidak berbuat demikian?"
Paras muka Sam-cing Totiang berubah hijau membesi, sesudah tertawa dingin ia berkata.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu?"
"Kau seharusnya mengakui dirimu sebagai Hek-mo-ong, bukan Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing."
Sam-cing Totiang kembali tertawa seram.
"Bila aku benarbenar Hek-mo-ong, maka sulit bagimu untuk hidup lewat tiga hari lagi."
"Bila kau berharap bisa mendapatkan kitab pusaka Kui-hokkhi- liok malam ini, maka kau harus memperlihatkan wujud aslimu sebagai Hek-mo-ong, dan melangsungkan pertarungan berdarah. Siapa tahu hal ini akan membuatmu berhasil mendapatkan kitab itu?"
Sementara dia berbicara, tiba-tiba Biau-kosiu berjalan menuju ke belakang punggung Bong Thian-gak, kemudian tangannya berkelebat ke depan menyambar kitab pusaka Kuihok- khi-liok dalam genggaman anak muda itu. Orang berbaju hijau segera membentak.
"Jian-ciat-suseng, jangan kau serahkan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepadanya."
Kembali orang berbaju hijau mengebaskan ujung bajunya, sebilah pedang segera melesat ke udara dan langsung menyambar pergelangan tangan Biau-kosiu.
Sesungguhnya sedari tadi Bong Thian-gak memang sudah berniat mengembalikan kitab pusaka Kui-hok-khi-liok itu kepada Biau-kosiu, bukan saja ia tidak berusaha menghindar, malahan tangan tunggalnya didorong ke depan dan dengan cepat menarik kitab pusaka itu.
Menyusul ia memutar pergelangan tangannya, lalu menjepit pedang kecil yang menyambar datang itu dengan jepitan jari tengah dan telunjuknya.
Ketika melepas pedang kecil tadi, orang berbaju hijau menerjang pula ke depan, telapak tangan kanannya langsung menghantam Biau-kosiu.
Setelah berhasil mendapatkan kitab pusaka Kui-hok-khiliok, dengan cekatan Biau-kosiu melompat mundur, gerakan tubuh nona itu benar-benar cepat, sekalipun jurus serangan yang digunakan orang berbaju hijau itu amat cepat dan luar biasa, akan tetapi ancaman itu segera mengenai tempat kosong.
Orang berbaju hijau mendengus dingin.
"Hm, mau kabur kemana kau?"
Berbareng dia meluncur ke depan melakukan pengejaran. Bong Thian-gak cukup tahu betapa lihainya kepandaian silat orang berbaju hijau, karena kuatir Biau-kosiu tidak berhasil meloloskan diri dari pengejaran, maka segera teriaknya.
"Silakan kau menerima kembali pedang kecilmu!"
Bong Thian-gak segera menyambitkan pedang kecil yang dijepit jari tangannya itu ke arah lawan dengan kekuatan luar biasa.
Mau tak mau orang berbaju hijau harus menghentikan langkah untuk membalikkan badan dan menyambut datangnya serangan pedang kecil itu.
Lantaran terhadang sejenak itulah untuk kedua kalinya Biau-kosiu melejit ke udara, dalam waktu singkat dia telah berada di kejauhan.
Orang itu sangat mendongkol, sambil mendengus dingin katanya.
"Jian-ciat-suseng, aku benar-benar sangat membencimu. Suatu ketika aku akan mencincang tubuhmu hingga hancur guna melampiaskan rasa benciku ini."
Setelah berteriak penuh amarah, dia menjelit ke udara melakukan pengejaran.
Dalam waktu singkat bayangan tubuh Biau-kosiu dan orang berbaju hijau lenyap dari pandangan.
Sementara itu Sam-cing Totiang yang berdiri di hadapan mereka memandang sekejap ke arah Liu Khi dan Bong Thiangak, kemudian setelah tertawa dingin dia pun membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
Suasana di tanah pekuburan kembali hening, Bong Thiangak serta Liu Khi duduk bersila di atas tanah dan mengatur pernapasan.
Beberapa saat kemudian terdengar Liu Khi berkata.
"Bonglaute, dapatkah kau menunjukkan siapa di antara mereka berdua adalah Tan Sam-cing yang asli?"
"Tentu saja Totiang itu, dialah Pat-kiam-hui-hiang Tan Sam-cing yang asli,"
Jawab Bong Thian-gak dengan suara lantang. Liu Khi menggeleng berulang kali.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dugaan Bong-laute keliru besar, padahal orang berbaju hijau itulah Tan Sam-cing yang asli."
"Sewaktu masih berada di dalam kuil Sam-cing-koan, aku pernah berjumpa Tan Sam-cing Locianpwe. Sam-cing Totiang adalah ketua Sam-cing-koan, yang nama aslinya adalah Patkiam- hui-hiang Tan Sam-cing!"
Sekali lagi Liu Khi menghela napas panjang.
"Andaikata Tojin itu adalah Pat-kiam-hui-hiang yang asli, maka ilmu pedang terbangnya tak nanti lebih lemah daripada kemampuan orang berbaju hijau itu. Dari pertarungan ilmu pedang terbang yang barusan mereka lakukan, terbukti kepandaian silat Tojin itu masih kalah setengah tingkat."
"Liu-sianseng, pernahkah kau berjumpa Tan Sam-cing?"
"Aku rasa di kolong langit dewasa ini, hanya Tio Tian-seng seorang yang pernah berjumpa Tan Sam-cing. Oleh sebab itu, hanya dia seorang yang mengetahui siapakah Pat-kiam-huihiang Tan Sam-cing yang sebenarnya."
"Kita kan bisa mencari Tio-pangcu untuk memecahkan teka-teki ini."
"Apakah Bong-laute mengetahui Tio Tian-seng berada dimana sekarang?"
Tanya Liu Khi sambil tersenyum.
"Tio-pangcu berada di rumah penginapan Ban-heng di dalam kota Lok-yang."
Tiba-tiba Liu Khi menghela napas panjang, katanya.
"Bonglaute, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan padamu, pernahkah Tio Tian-seng menyinggung persoalan yang menyangkut diriku?"
Satu ingatan segera melintas di dalam benaknya, Bong Thian-gak berpikir.
"Apakah aku harus berkata terus terang kepadanya bahwa Tio Tian-seng telah menaruh curiga kepadanya?"
Bong Thian-gak pun menggeleng kepala seraya berkata.
"Tidak pernah ... cuma aku rasa sikap Liu Khi terhadap Tio Tian-seng Pangcu seperti kurang terbuka dan jujur."
Liu Khi tertawa dingin.
"Bong-laute, tahukah kau di dunia persilatan dewasa ini terdapat beberapa orang yang dulunya pernah saling sebut sebagai saudara dan bergaul sangat akrab, tapi lantaran sebuah teka-teki, mereka justru saling bermusuhan dan adu kepintaran."
"Lantaran teka-teki apakah itu?"
Liu Khi menghela napas sedih.
"Ai, soal teka-teki itu sebenarnya menyangkut nama baik beberapa tokoh yang amat termasyhur, oleh sebab itu siapa saja tidak ingin mengungkap teka-teki itu secara terbuka, namun setiap orang justru berdaya upaya dengan segenap kemampuan untuk mencari jawaban teka-teki itu."
"Oh, dengan cara apakah kalian hendak mencari?"
"Asalkan kita berhasil menemukan jejak Hek-mo-ong, maka teka-teki itu akan terungkap dengan sendirinya."
Bong Thian-gak mengerut dahi, kemudian bertanya lagi.
"Apakah Liu-sianseng juga belum berhasil menemukan jejak Hek-mo-ong?"
Liu Khi menggeleng.
"Belum! Namun aku sudah menyelidiki setiap orang yang aku curigai sebagai Hek-mo-ong."
"Dapatkah Liu-sianseng mengungkapkan siapa saja yang kau curigai sebagai Hek-mo-ong?"
"Boleh saja."
"Kalau begitu harap kau suka bicara!"
Liu Khi menarik napas panjang, kemudian katanya.
"Dari mereka yang aku curigai termasuk juga mereka yang telah mati, semuanya berjumlah sembilan orang."
Bong Thian-gak tertegun, diam-diam pikirnya.
"Sam-cing Totiang dan Tio Tian-seng, keduanya mengatakan ada empat orang yang patut dicurigai, sedangkah Liu Khi mengatakan ada sembilan. Sebenarnya siapa saja kesembilan orang itu?"
Liu Khi berhenti sejenak, kemudian sambungnya.
"Yang sudah menjadi almarhum ada tiga orang ... mereka adalah pendeta sakti dari Siau-lim-pay Ku-lo Hwesio, Thi-ciang-kankun- hoan Oh Ciong-hu serta ketua perguruan Mi-tiong-bun, Kui-kok Sianseng."
Begitu mendengar ketiga nama itu, paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, katanya.
"Berdasar apa Liusianseng mencurigai mereka?"
Liu Khi menghela napas panjang, kemudian katanya.
"Aku tahu Ku-lo Hwesio dan Oh Ciong-hu adalah mendiang gurumu, tapi kau pun harus tahu, aku tidak bermaksud menodai nama baik mereka. Ai, aku mencurigai mereka bertiga sebagai Hekmo- ong, bukan asal mencurigai saja, tapi berdasarkan bukti dan data-data yang berhasil kukumpulkan."
"Dapatkah Liu-sianseng menjelaskan bukti-bukti yang berhasil kau kumpulkan itu?"
Liu Khi tertawa dingin.
"Apabila kuungkap bukti-bukti yang berhasil kukumpulkan itu, maka hal ini akan semakin menjatuhkan nama baik mereka ke lembah kenistaan."
"Bila Liu-sianseng tidak mengungkapkan buktinya, mana kau boleh menuduh dan menodai nama baik seseorang begitu saja? Biarpun Ku-lo Hwesio dan Oh Bengcu telah meninggal dunia, namun kebajikan dan kebaikan yang pernah mereka perbuat selama hidup dulu, bukanlah bisa diputar-balikkan oleh sembarang orang dengan seenaknya sendiri."
Paras muka Liu Khi berubah hebat, katanya pula.
"Bonglaute, tahukah kau, badai pembunuhan yang melanda dunia persilatan selama enam puluh tahun terakhir ini disebabkan apa?"
"Silakan Liu-sianseng memberi keterangan."
"Singkatnya saja, biang-keladi kekacauan dan malapetaka ini sesungguhnya seorang wanita."
"Seorang wanita?"
Tanya Bong Thian-gak terkejut.
"Siapakah dia?"
"Dia tak lain adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau yang sedang merajalela saat ini."
"Dia?"
Bong Thian-gak semakin terperanjat.
"Bukankah dia"
Bong Thian-gak seakan-akan telah memahami suatu persoalan.
Dan persoalan itu seperti pula apa yang dikatakan Liu Khi, bilamana diterangkan sejelas-jelasnya, maka hal itu akan merugikan dan menodai nama baik banyak jago-jago persilatan.
Liu Khi menengok sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya pula.
"Semasa hidupnya dulu, Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu serta Kui-kok Sianseng mempunyai hubungan gelap dengan perempuan itu, bahkan luar biasa mesranya. Itulah sebabnya apa yang kukatakan bukan cuma isapan jempol."
Bong Thian-gak sangat terkejut, juga bingung dan tidak habis mengerti.
Sebenarnya perempuan macam apakah Cong-kaucu Putgwa- cin-kau ini? Dengan cara apakah dia telah membuat dunia Kangouw menjadi kalut dan tidak tenang? Bagaimana pula ia membuat para orang gagah mengorbankan jiwa baginya dan ribut karena dirinya? Walaupun pada saat ini banyak persoalan yang ingin ditanyakan Bong Thian-gak, akan tetapi dia tak berani mengutarakan, maka setelah termenung lama sekali, akhirnya dia bertanya.
"Selain ketiga orang itu. siapakah keenam orang lainnya?"
"Dari keenam orang itu, dua di antaranya sampai sekarang masih belum diketahui nasib dan mati hidupnya."
"Siapakah kedua orang itu?"
"Song-ciu suami-istri."
Bong Thian-gak berkerut kening.
"Song-ciu suami-istri? Belum pernah kudengar nama orang ini."
Liu Khi segera tersenyum.
"Sesungguhnya Song-ciu suamiistri memang amat jarang melakukan perjalanan dalam Kangouw. Tapi sejak puluhan tahun berselang, Song-ciu suami-istri adalah dua orang jago lihai yang tidak boleh dianggap enteng."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya.
"Tatkala Mo-kiam-sinkun Tio Tian-seng merajai kolong langit, dia berhasil mencantumkan nama besarnya dalam urutan sepuluh orang jago paling tangguh waktu itu, Song-ciu suami-istri pun tercantum namanya di antara kesepuluh orang jago lihai ini."
"Siapa sajakah kesepuluh jago lihai itu?"
Tanya Bong Thiangak.
"Kesepuluh jago itu adalah Kui-kok Sianseng ketua perguruan Mi-tiong-bun, Liong Oh-im, Ku-lo Hwesio, Oh Ciong-hu, Song-ciu suami-istri, Gi Jian-cau, Tan Sam-cing, perempuan paling cantik di daerah Kanglam Ho Lan-hiang dan aku Liu Khi."
Tiba-tiba Bong Thian-gak berseru tertahan, kemudian tanyanya.
"Perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam Ho Lan-hiang? Apakah dia adalah kakak sepeguruan mendiang guruku Oh Ciong-hu?"
Liu Khi memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian sahutnya.
"Benar, Ho Lan-hiang memang berasal satu perguruan dengan Oh Ciong-hu."
"Tahukah Liu-sianseng akan jejaknya saat ini?"
Tanya Bong Thian-gak lagi. Liu Khi termenung, jawabnya.
"Tentu saja aku tahu jelas jejaknya, namun aku pun telah berjanji kepadanya takkan membocorkan rahasia ini. Jadi harap Bong-laute sudi memaafkan."
Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak, gumamnya lirih.
"Ya, aku tahu sekarang ... aku sudah tahu siapakah orang itu."
Paras muka Liu Khi berubah pula, serentak dia melompat bangun dari atas tanah, katanya.
"Apakah Bong-laute masih ada perkataan lain yang hendak ditanyakan kepadaku? Kalau tidak ada, untuk sementara, waktu aku hendak mohon diri lebih dahulu."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, kemudian katanya.
"Harap Liu-sianseng sudi menerangkan padaku, siapa empat orang lainnya?"
"Keempat orang itu adalah Tan Sam-cing, Tio Tian-seng, Gi Jian-cau serta Liong Oh-im."
"Tahukah Liu-sianseng di antara mereka yang dicurigai, siapakah di antaranya yang paling dicurigai?"
Liu Khi menghela napas panjang.
"Ai, setiap orang mempunyai kemungkinan sebagai Hek-mo-ong, di antara mereka pun setiap saat akan mencurigai diriku pula." "Bukankah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau mengetahui siapakah Hek-mo-ong? Mengapa kalian tidak mencarinya dan ditanyakan saja kepada perempuan itu?"
Kata Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang pula. Liu Khi menggeleng.
"Dia sendiri pun tidak mengetahui siapakah Hek-mo-ong."
"Liu-sianseng tak berbohong?"
Liu Khi tertawa.
"Masih ingatkah Bong-laute akan perkataan si orang berbaju hijau yang mengatakan aku adalah seorang pembunuh bayaran?"
Bong Thian-gak tertegun, kemudian menjawab.
"Ya, pekerjaan Liu-sianseng memang mengerikan. Entah siapa orang yang mengundangmu untuk membunuh Hek-mo-ong?"
"Orang itu tidak lain adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau,"
Jawab Liu Khi tersenyum. Sekali lagi Bong Thian-gak dibuat tertegun, ujarnya.
"Liusianseng, apa yang kau bicarakan pada malam ini sungguh membuat orang semakin kebingungan."
"Dendam kesumat yang berkobar dalam Bu-lim dewasa ini pada hakikatnya memang merupakan persoalan yang sangat rumit dan tidak dapat dipahami orang begitu saja. Barang siapa di antara jago persilatan yang melibatkan diri dalam kancah budi dan dendam itu, maka keadaannya tak ubahnya seperti sukma gentayangan tanpa tujuan atau boneka tanpa nyawa."
Sampai di situ mendadak perkataannya terhenti, dengan wajah diliputi perasaan kaget dan ngeri, katanya.
"Bong-laute, pembicaraan kita hari ini hanya sampai di sini saja, sampai jumpa lain kesempatan."
Selesai berkata, Liu Khi membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan kecepatan tinggi.
Sebenarnya Bong Thian-gak hendak menahan kepergian Liu Khi, dia ingin menanyakan berbagai masalah yang masih tidak dipahami olehnya, akan tetapi gerakan Liu Khi benarbenar cepat sekali, hanya dengan beberapa kali lompatan saja bayangannya sudah lenyap dari pandangan mata.
Bong Thian-gak memandang sekeliling tempat itu, tanah pekuburan terasa sepi.
Di tempat yang begitu hening dan menyeramkan itu, selain dia serta Thay-kun yang masih berbaring di atas tanah tertidur pulas, tiada manusia ketiga yang berada di situ.
Pelan-pelan Bong Thian-gak berdiri, kemudian berjalan menuju ke sisi Si-hun-mo-li, kemudian setelah menghela napas sedih, dia pun duduk bersila di sampingnya.
Walaupun Si-hun-mo-li telah menelan pil Hui-hun-wan, namun Bong Thian-gak masih tetap menguatirkan apakah perempuan itu dapat sadar atau tidak? Malam begitu kelam, namun Bong Thian-gak dengan pandangan kuatir masih saja mengamati wajah Thay-kun tanpa berkedip, dia benar-benar merasa sangat resah dan bingung.
Dari berbagai bukti yang berhasil dikumpulkan, Bong Thiangak telah berhasil menebak siapa gerangan Cong-kaucu Putgwa- cin-kau.
Orang itu besar kemungkinan adalah perempuan paling cantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang adanya.
Namun Bong Thian-gak masih tetap tidak mengerti tentang budi dendam dan perselisihan yang berlangsung selama ini, sesungguhnya siapakah yang menjadi dalang peristiwa itu? Ho Lan-hiang? Atau Hek-mo-ong? Siapa pula Hek-mo-ong? Dari ucapan Liu Khi tadi, Tio Tian-seng termasuk juga kesepuluh orang yang kemungkinan adalah Hek-mo-ong.
Mendadak suara rintih yang lirih memotong jalan pikiran Bong Thian-gak yang bergelombang tidak menentu itu.
Dengan perasaan tegang Bong Thian-gak segera mengalihkan sorot matanya ke depan.
Dia lihat mata Si-hun-mo-li yang terpejam mulai bergerakgerak, kemudian terbuka lebar.
Kejut dan gembira Bong Thian-gak, segera ia berseru.
"Thay-kun ...Thay-kun"
Setelah membuka mata, paras muka Si-hun-mo-li diliputi perasaan bingung dan bimbang.
Pelan-pelan dia menekuk pinggang dan duduk, sementara sorot matanya dialihkan memandang sekeliling tempat itu, akhirnya berhenti di depan Bong Thian-gak dan mengamatinya lekat-lekat.
Bong Thian-gak kembali berseru.
"Thay-kun ... Thay-kun! Sudah sadarkah perasaan dan pikiranmu?"
Paras muka Si-hun-mo-li kelihatan begitu tenang dan hambar, sulit rasanya membedakan apakah dia sedang gembira, gusar, sedih atau senang.
Dengan pandangan tenang dia mengawasi wajah Bong Thian-gak tanpa berkedip, sementara mulut tetap membungkam.
Bong Thian-gak yang menyaksikan mimik wajah perempuan itu, dalam hati membatin.
"Ya benar, untuk beberapa saat lamanya kesadaran dan kejernihan pikirannya belum dapat dipulihkan secara keseluruhan."
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berpikir demikian, dengan suara rendah Bong Thian-gak berseru.
"Thay-kun masih kenalkah kau pada diriku? Aku ... aku adalah Bong Thian-gak."
Paras muka Si-hun-mo-li nampak agak berubah, akhirnya muncul juga kata-katanya yang pertama.
"Mengapa aku bisa berada di sini? Kaukah yang telah menolongku?"
Bong Thian-gak benar-benar merasa gembira, sambil melompat kegirangan, serunya.
"Thay-kun, kau benar-benar telah pulih."
Sambil berkata, tanpa terasa pemuda itu maju ke muka dan berusaha memeluk gadis itu. Belum sempat ia memeluk perempuan itu, Si-hun-mo-li telah merentang tangan dan menangkis lengan pemuda itu, kemudian tegurnya dengan dingin.
"Aku harap kau sedikit sopan, aku tidak kenal padamu!"
Bong Thian-gak terbahak-bahak.
"Benar, kau tidak mengenal aku, tapi tentunya kenal orang yang bernama Ko Hong bukan."
Kemudian Bong Thian-gak berjalan menuju ke sebuah kuburan dan membungkukkan badan untuk memungut Pekhiat- kiam yang disampuk mencelat oleh orang berbaju hijau tadi. Kemudian dia membalikkan badan berjalan ke hadapan Sihun- mo-li, pelan-pelan ujarnya.
"Thay-kun, mungkin kau pun bisa mengenali pedang ini?"
Tiga tahun enam-tujuh bulan, meski tidak terhitung panjang, namun bukan waktu yang teramat singkat pula.
Selama itu dia selalu hidup dalam suasana terpengaruh pikiran dan kesadarannya, selama ini seperti mayat berjalan yang tidak berpikiran, perasaan dan sukma.
Dalam ingatan Thay-kun, dia hanya tahu pada tiga tahun berselang dirinya jatuh ke tangan Cong-kaucu Put-gwa-cinkau, sedang mengenai perbuatan yang telah dilakukannya sejak menjadi Si-hun-mo-li dia sama sekali tidak mengetahuinya.
Dia bagaikan baru mendusin dari impian panjang dan tidurnya kali ini mencapai tiga tahun tujuh bulan.
Setelah mendusin dari tidurnya, segala kejadian sebelum ia tertidur segera teringat kembali, sudah barang tentu Pek-hiatkiam pun sangat dikenal Thay-kun.
Pedang itu dibuat olehnya bersama Keng-tim Suthay dengan membuang waktu selama satu tahun dan bahan obat yang tak terhitung jumlahnya.
Pedang itu merupakan tanda kepercayaan Hiat-kiam-bun ...
Pek-hiat-kiam.
Mengapa pedang itu bisa jatuh ke tangan pemuda berlengan tunggal ini? Thay-kun mengerut dahi sambil secara diam-diam menghimpun tenaga dalam ke dalam telapak tangan, tegurnya dengan suara dingin.
"Pedang itu adalah Pek-hiat-kiam, darimana kau peroleh senjata itu?"
Melihat perempuan itu dapat menyebut pedang itu, Bong Thian-gak segera tahu perempuan itu telah memperoleh kembali pikiran serta kesadarannya, maka dengan penuh gembira dia berseru.
"Thay-kun, aku adalah Ko Hong!"
"Ko Hong?"
Nama itu berputar tiada hentinya dalam benak perempuan itu, bayangan tubuh, nada suara, Thay-kun begitu mengenalnya.
Namun dalam pikiran Thay-kun, orang bernama Ko Hong sudah meninggal dunia.
Lagi pula raut wajah Bong Thian-gak sekarang sama sekali tidak mirip dengan wajah Ko Hong di masa lalu.
Oleh sebab itu muncul sinar bimbang dari balik mata Thaykun, ia menggeleng kepala, kemudian berkata.
"Kau bukan Ko Hong, Ko Hong telah mati."
"Benar, diriku yang sekarang bukan Ko Hong, aku adalah Bong Thian-gak,"
Seru pemuda itu penuh emosi.
"Oh Thaykun, tahukah kau sejak menelan pil penghilang sukma, kau telah kehilangan pikiran dan kesadaranmu selama tiga tahun tujuh bulan."
Paras muka Thay-kun berubah hebat, serunya tertahan.
"Kau mengatakan aku telah menelan pil pelenyap sukma?"
Bagaikan orang menggigau, dia bergumam.
"Benar, aku memang menyaksikan Suhu memasukkan pil pelenyap sukma ke mulutku."
Kemudian setelah menghela napas sedih, Thay-kun kembali bertanya.
"Siapakah kau? Mengapa kau menyelamatkan aku?"
Kembali Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Thay-kun, masih ingatkah kau peristiwa pada tiga tahun berselang, ketika kau bersama Ko Hong pergi ke kaki bukit Cui-im-hong di luar kota Lok-yang untuk mencari si tabib sakti Gi Jian-cau?"
"Aku adalah Ko Hong, nama itu adalah nama samaranku. Pada waktu itu raut wajahku telah kuubah dengan obat penyaru muka, sebab itu saat ini kau tak kenal aku lagi, namun kau bisa memeriksa diriku dari sorot mata dan bentuk tubuhku. Coba pandanglah, apakah mirip dengan Ko Hong di masa lalu?"
Sejak tadi Thay-kun mengawasi Bong Thian-gak dari atas kepala hingga ujung kaki, dia seakan sedang mengumpulkan kembali kenangannya di masa lalu. Akhirnya perempuan itu menghela napas sedih, lalu berkata.
"Kau telah kehilangan sebuah lenganmu, nada suaramu juga berubah lebih tua."
Ketika berbicara sampai di sini, air mata yang sudah mengembeng sejak tadi segera jatuh bercucuran membasahi pipinya yang halus. Dengan suara lirih Bong Thian-gak berkata.
"Sumoay, sudah kau kenali diriku?" "Oh, Suheng,"
Sahut Thay-kun sedih. Ia segera menubruk ke dalam pelukan Bong Thian-gak dan menangis tersedu-sedu. Dengan lengan tunggalnya Bong Thian-gak merangkul perempuan itu, kemudian bisiknya.
"Thay-kun, menangislah sepuas hatimu. Selama tiga tahun tujuh bulan sudah banyak persoalan yang kita alami."
"Oh Suheng, aku bukan sedih, aku merasa gembira, tak kusangka kau masih hidup. Ketika Cong-kaucu mengatakan kau sudah mati, waktu itu hatiku benar-benar hancur-lebur karena sedih."
"Ya, tiga tahun berselang aku memang nyaris mati konyol, hampir saja aku tak bisa hidup lagi,"
Bong Thian-gak menghela napas sedih. Mendadak Thay-kun menghentikan isak-tangisnya, kemudian bertanya.
"Dengan cara apakah kau berhasil selamat, bersediakah kau memberitahukan segala sesuatunya kepadaku?"
"Tentu saja aku akan menceritakan semua itu kepadamu. Mari kita duduk dulu sebelum bicara!"
Kedua orang itu segera duduk berjajar di atas pagar pekarangan tanah pekuburan itu.
Di situlah Bong Thian-gak mengisahkan semua penderitaan dan pengalaman yang dialaminya selama tiga tahun tujuh bulan ini.
Kemudian ia menceritakan pula semua perubahan yang telah menimpa dunia persilatan selama ini.
Sebab dia tahu Thay-kun tentu merasa amat asing terhadap situasi tiga tahun terakhir ini.
Ketika selesai mendengar penuturan itu, dengan sedih dan murung Thay-kun menghela napas panjang, katanya kemudian.
"Semua itu benar-benar seperti alam impian, tapi setelah mendusin, segala sesuatunya hanya tinggal kesedihan dan kemurungan. Ai, dunia begini luas, kemana aku harus pergi selanjutnya?"
Entah apa yang sedang dirasakan olehnya, nada suaranya begitu sedih sehingga membuat siapa pun merasa pedih setelah mendengar ucapannya. Bong Thian-gak memeluk pinggang perempuan itu, lalu bisiknya.
"Thay-kun, aku pasti akan membantu., selamanya akan membantumu menciptakan karya besar dalam Bu-lim."
Thay-kun berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu dengan air mata bercucuran ia berkata sedih.
"Ambisiku untuk menjagoi dunia Kangouw kini sudah lenyap, dalam hati sekarang aku sudah tidak memiliki ambisi semacam itu."
Hati Bong Thian-gak bergetar keras, katanya.
"Thay-kun, sekarang kau sudah memperoleh kebebasan, sepantasnya kau sambut kebebasan ini dengan hati gembira. Mengapa kau.."
Thay-kun tertawa pedih, ujarnya.
"Suheng, aku ingin memberitahu satu hal padamu, Thay-kun adalah seorang perempuan. Baginya yang terpenting adalah kesucian, dia berharap dapat mempersembahkan kesuciannya untuk orang yang dicintainya."
"Tapi sekarang dia telah menjadi seorang ternoda, semua harapan telah musnah. Apakah dia masih dapat bergembira?"
Bong Thian-gak tertegun, tanyanya.
"Kau telah menemukan kekasih?"
Thay-kun tertawa sedih.
"Sejak empat tahun berselang, aku telah menemukan orang yang kucintai, namun belum pernah kukatakan cinta kepadanya, aku akan tetap selamanya mencintai dirinya."
Tiba-tiba Bong Thian-gak bangkit, wajahnya tampak menderita, sementara sorot matanya dialihkan ke angkasa dan memandang jauh. Pada saat itu dalam hati dia pun sedang membatin.
"Ternyata orang yang dicintai Thay-kun selama ini bukan aku. Ai ... tak kusangka aku telah mencintainya selama empat tahun tanpa balas, aku hanya bertepuk sebelah tangan."
Saat itu Bong Thian-gak benar-benar merasa sedih, kesal dan murung.
Baru sekarang dia benar-benar menyadari bahwa ia memang sangat mencintai Thay-kun.
Setelah tertegun beberapa saat, Bong Thian-gak baru membalikkan badan kemudian setelah tertawa sedih dia berkata.
"Sumoay, orang yang merasa sedih di kolong langit bukan hanya kau seorang, aku pun seorang yang diliputi kesedihan."
"Persoalan apakah yang membuat kau merasa bersedih?"
Tanya Thay-kun lirih. Bong Thian-gak menggeleng sambil menghela napas panjang.
"Ai, tidak usah dibicarakan lagi."
"Apakah Bong-suheng juga dibuat murung oleh persoalan cinta? Song Leng-hui adalah seorang gadis suci dan bersih, dia telah mempersembahkan kesucian tubuhnya untukmu. Apakah kau masih merasa kurang puas?"
Hati Bong Thian-gak bergidik, diam-diam batinnya.
"Ya, benar, mengapa aku harus menyia-nyiakan kemurnian cinta Song Leng-hui."
Tapi hubungan antara laki perempuan memang kadang begitu aneh.
Empat tahun berselang Bong Thian-gak mengintip tubuh Thay-kun yang tidur telanjang, sejak itu pula ia tak dapat menghapus bayangan Thay-kun yang menawan hati dari dalam benaknya, sekalipun semasa dia berada di gunung yang terpencil, belum pernah dapat melupakan Thaykun.
Hanya saja perasaan itu disembunyikan di dasar hatinya.
Tujuan utama Bong Thian-gak adalah ingin mengetahui nasib Thay-kun, selama beberapa bulan terakhir ini dia pun selalu berdaya-upaya mendapatkan pil Hui-hun-wan serta menyelamatkan Thay-kun dari keadaan yang menyengsarakan dirinya.
Thay-kun yang pintar sudah barang tentu mengetahui rahasia hati Bong Thian-gak.
Padahal secara diam-diam dia pun sangat mencintai Bong Thian-gak, rasa cintanya melebihi segala-galanya.
Akan tetapi Thay-kun memiliki watak yang lain daripada yang lain, sejak diketahuinya Bong Thian-gak telah memperoleh cinta Song Leng-hui di pegunungan terpencil, dia sudah berhasrat menyerahkan cintanya kepada orang lain.
Apalagi dia pun tahu sepasang tangannya telah berlumuran darah, dia sudah banyak melakukan kejahatan dan dosa.
Mungkinkah baginya untuk mengenyam hidup bahagia bersama Bong Thian-gak? Sementara itu terdengar Bong Thian-gak bergumam.
"Song Leng-hui adalah istriku, selama hidup aku tak akan melupakan dirinya. Namun mungkinkah aku bisa melupakan kekasihku yang kucintai sejak dahulu?"
"Ai, cinta memang sesuatu yang aneh, membuat orang tak bisa menduga dan memahaminya."
"Siapa kekasihmu yang pertama?"
Tiba-tiba Thay-kun bertanya dengan suara hambar. Bong Thian-gak melirik sekejap ke arahnya, lalu menggeleng kepala sambil menghela napas.
"Mencintai orang, namun tidak dicintai oleh orangnya. Kejadian macam ini paling memedihkan hati, sebaliknya mengucapkan nama dari orang yang kucintai justru lebih memedihkan hati. Thay-kun, harap kau jangan mendesakku."
"Bong-suheng,"
Kata Thay-kun dengan air mata bercucuran.
"kita adalah orang senasib sependeritaan, namun rasa sedihku mungkin jauh melebihi dirimu."
"Benar, aku memang lebih beruntung daripada dirimu,"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Bong-suheng, untuk sementara waktu lebih baik kita jangan membicarakan persoalan pribadi."
Bong Thian-gak mengangguk.
"Kita tak usah membicarakan cinta muda-mudi lagi, sekarang akan kuceritakan semua pengalamanku selama beberapa hari ini."
Secara ringkas Bong Thian-gak mengisahkan pengalamannya selama beberapa hari ini, bagaimana dia dan Mo-kiam-sin-kun pergi ke Sam-cing-koan hingga akhirnya terjadi peristiwa di pekuburan ini. Thay-kun mengerut dahi, tanyanya dengan wajah serius.
"Bong-suheng, kau bilang telah menerima kartu kematian tengkorak hitam dari Hek-mo-ong?"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Benar, di dalam kartu maut itu telah tercantum dengan jelas hari kematianku akan jatuh bulan delapan tanggal delapan tengah hari."
Paras muka Thay-kun segera berubah, katanya dengan suara dalam.
"Kalau Hek-mo-ong berani menyebar kartu undangan mautnya untuk Tio Tian-seng, agaknya dia sudah bersiap untuk melangsungkan pertarungan melawan sepuluh jago persilatan."
Bong Thian-gak menengok sekejap ke arah Thay-kun, kemudian tanyanya.
"Apakah kau pun mengetahui persoalan ini?"
Thay-kun mengangguk.
"Ya, sejak dahulu aku sudah tahu Hek-mo-ong, hanya tidak diketahui siapakah orang itu?"
"Menurut Liu Khi, tampaknya Hek-mo-ong adalah seorang di antara sepuluh jago persilatan?"
Thay-kun manggut-manggut.
"Benar."
"Menurutku, di antara kesepuluh jago itu, Gi Jian-cau paling besar kemungkinannya sebagai Hek-mo-ong. Thay-kun, kau pernah tahu Gi Jian-cau? Sesungguhnya manusia macam apakah dia?"
Thay-kun termenung beberapa saat, kemudian berkata.
"Kenapa Bong-suheng mencurigai Gi Jian-cau sebagai Hekmo- ong?"
Bong Thian-gak menghela napas, katanya pula.
"Dari kematian yang menimpa Keng-tim Suthay, Gi Jian-cau sudah pasti bukan seorang baik. Kalau tidak, tak mungkin Keng-tim Suthay mencuri sebutir pil Hui-hun-wan miliknya dan secara diam-diam disembunyikan di dalam Hud-timnya."
Thay-kun manggut-manggut.
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dugaanmu memang benar, sejak dulu pun aku menaruh curiga kepada Gi Jian-cau. Cuma saat ini kita tidak perlu menduga-duga siapa gerangan Hek-mo-ong, yang penting dimanakah dia berada sekarang."
"Apalagi setelah kudengar penuturan tentang orang berbaju hijau serta Sam-cing Totiang tadi, bisa jadi salah seorang di antara mereka adalah Hek-mo-ong." "Ah, memangnya salah seorang di antara mereka adalah Hek-mo-ong? Tapi yang mana?"
"Bisa jadi Sam-cing Totiang, cuma apa yang kukatakan hanya dugaan belaka. Bila dugaan ini benar, maka kau dan Tio Tian-seng sudah terkena serangan gelap Hek-mo-ong."
Berubah paras muka Bong Thian-gak, katanya.
"Darimana kau bisa berkata demikian?"
Thay-kun menghela napas.
"Sewaktu berada di dalam lorong gua Sam-cing-koan, kalian pernah berada cukup lama bersama Sam-cing Totiang. Andaikata orang itu adalah Hekmo- ong, berarti kau dan Tio Tian-seng tak akan lolos dari serangan gelapnya."
"Tio Tian-seng kenal Tan Sam-cing. Seandainya Sam-cing Totiang adalah Tan Sam-cing gadungan, aku pikir Tio Tianseng tak akan berhasil mengenali dirinya."
"Kita harus secepatnya menemukan Tio Tian-seng,"
Kata Thay-kun kemudian dengan suara dalam.
"Teka-teki ini mesti dibikin jelas lebih dahulu, andaikata kalian berdua benar-benar sudah terkena serangan gelap mereka, maka kita harus berusaha secepatnya mencari pertolongan guna menyembuhkan luka kalian itu."
Bong Thian-gak memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian katanya.
"Malam kembali akan berakhir. Berarti batas waktu yang ditentukan Hek-mo-ong dalam kartu undangannya tinggal dua malam lagi, mari kita berangkat!"
Bersama Thay-kun, berangkatlah dia meninggalkan pekuburan itu.
Kabut tebal masih menyelimuti permukaan bumi, sejauh mata memandang hanya warna putih.
Mendadak segulung angin berhembus, lalu terendus bau bunga anggrek yang menyebar kemana-mana.
Paras muka Bong Thian-gak dan Thay-kun segera berubah hebat, serentak kedua orang itu menghentikan langkah, kemudian memeriksa keadaan sekeliling tempat itu.
Akhirnya mereka melihat tiga sosok bayangan yang berdiri di situ, tampaknya mereka sudah cukup lama menanti di sana.
Dengan wajah kaget dan ngeri Thay-kun memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, lalu bisiknya dengan suara gemetar.
"Mereka adalah Cong-kaucu, Ji-kaucu serta komandan pasukan pengawal nomor satu Sim Tiong-kiu."
Bong Thian-gak tertawa dingin, jengeknya.
"Aku memang sudah dapat melihatnya."
Dalam pada itu jarak bayangan itu dengan mereka masih ada tujuh tombak lebih, namun kedua belah pihak sama-sama berdiri tak bergerak, kabut putih yang menyelimuti sekitar sana seakan-akan bertindak sebagai penyekat yang memisahkan kedua rombongan itu.
Mendadak terdengar Bong Thian-gak membentak.
"Ho Lanhiang, serahkan nyawa anjingmu!"
Cahaya pedang berwarna merah secepat kilat membelah angkasa, menembus lapisan kabut tebal dan membabat tubuh orang yang berdiri di tengah.
Ilmu pedang Bong Thian-gak sudah lama termasyhur.
Setiap kali senjatanya dilolos dari sarungnya, belum pernah ada orang yang mampu menghadang ataupun membendungnya.
Cahaya pedang berkelebat, bayangan orang segera menghindar ke samping.
Sekalipun serangan pedang yang dilancarkan Bong Thiangak ini mengenai tempat kosong, namun sudah cukup menggetarkan sukma ketiga orang musuh tangguhnya itu.
Ternyata separoh baju yang dikenakan orang di tengah sudah terpapas robek dan melayang turun dari udara.
Dengan gerakan cepat Thay-kun menyerobot pula ke sisi tubuh Bong Thian-gak, dengan demikian selisih jarak antara kedua orang itu tinggal tiga tombak saja.
Mereka pun sudah dapat melihat raut wajah masing-masing dengan jelas.
Betul juga, ketiga orang di hadapan mereka adalah Ji-kaucu yang berdandan sebagai sastrawan berbaju hijau, si kakek berbaju hitam berlengan tunggal Sim Tiong-kiu serta seorang perempuan cantik yang berdandan anggun tapi bersikap tengik, dia adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau.
Saat itu wajah Cong-kaucu diliputi penuh kesiap-siagaan, katanya dengan suara dingin.
"Anak Kun, kau telah membocorkan namaku di hadapannya!"
"Tidak,"
Sahut Thay-kun sambil tertawa seram.
"Sekalipun aku hendak membunuhmu, tak nanti kusebutkan nama baumu itu."
Cong-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, kembali dia menegur dengan suara rendah.
"Jian-ciat-suseng, siapakah yang telah memberitahukan namaku kepadamu?"
Bong Thian-gak tertawa sinis.
"Hm, ternyata kau benar-benar perempuan tercantik dari Kanglam Ho Lan-hiang. Padahal entah berapa banyak jago persilatan yang sudah mengetahui nama serta asal-usulmu itu, hanya saja tak seorang pun di antara mereka yang berani mengutarakannya. Aku benar-benar tidak mengerti, dengan cara apakah kau berhasil menguasai mereka hingga mulut mereka tetap membungkam?"
Cong-kaucu tertegun, kemudian setelah terkekeh-kekeh, katanya.
"Jian-ciat-suseng, tahukah kau apa yang akan menimpa dirimu setelah mengetahui nama serta asal-usulku?" "Semua kelicikan dan kekejianmu sudah cukup banyak yang kualami,"
Kata Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
"Namun tak satu pun di antaranya yang sanggup merenggut nyawaku, agaknya kau telah kehabisan akal."
Cong-kaucu tersenyum.
"Jian-ciat-suseng, sudah tiga empat puluh tahun lamanya aku tak pernah bertarung melawan orang. Nampaknya hari ini aku harus melakukan pembunuhan."
Bong Thian-gak tertegun. Sementara dia masih melongo, Cong-kaucu telah membentak.
"Sastrawan cacat, sambutlah pukulanku ini!"
Telapak tangannya segera diayun ke depan dengan gerakan yang enteng dan seenaknya.
Sekali lagi Bong Thian-gak menggerakkan Pek-hiat-kiam untuk menyongsong datangnya ancaman itu dengan sebuah bacokan kilat.
Tapi ketika jurus serangan Bong Thian-gak itu membacok sampai di tengah jalan, tiba-tiba saja cahaya pedang yang berkilauan lenyap, nampak sekujur tubuh Bong Thian-gak gemetar keras dan Pek-hiat-kiam yang digunakan untuk melancarkan serangan terjatuh ke atas tanah.
Thay-kun terperanjat sekali, buru-buru serunya.
"Bongsuheng, kenapa kau?"
Dengan paras muka pucat-pias, Bong Thian-gak berkata dengan suara gemetar.
"Aku sudah terkena pukulannya. Kau ... cepat kau melarikan diri."
Baru saja perkataan itu selesai diutarakan, sepasang kaki Bong Thian-gak sudah lemas, kemudian dia roboh terjungkal.
Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Beruang Salju -- Sin Liong Pendekar Kembar Karya Gan KL