Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 20


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 20



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   Bong Thian-gak menggeleng kepala seraya menghela napas panjang.

   "Walaupun tindakan yang dilakukan Tiopangcu serta Liong-tayhiap terlalu kejam dan tak berperasaan, namun orang-orang itu pun patut dikasihani, siksaan batin yang dialami selama dua puluh tahun membuat orang-orang itu jadi gila dan kalap. Mereka memang lebih bahagia mengalami kematian daripada harus hidup tersiksa, tapi di antara kita yang memasuki Bu-lim-bong hari ini, mungkin akan mengalami nasib yang sama dengan mereka. Mati kelaparan dalam Bu-lim-bong atau terluka sepanjang hidup di sini hingga tiada kesempatan lagi untuk melihat terangnya matahari."

   Berubah hebat paras muka Tio Tian-seng dan Long Oh-im setelah mendengar perkataan itu. Liong Oh-im tertawa dingin.

   "Liu Khi telah membawa serta Tang-hay-tocu Long Jit-seng dalam perjalanan kali ini. Betapa pun hebatnya perubahan alat rahasia dalam Bu-lim-bong ini, aku yakin Long Jit-seng pasti dapat memecahkannya serta membawa kami keluar dari Bu-lim-bong dengan selamat."

   "Betul, Long Jit-seng memang mempunyai kepandaian ilmu Pat-kwa, ilmu perbintangan, ilmu bangunan serta ilmu perangkap lainnya,"

   Kata Bong Thian-gak dingin.

   "Dan aku pun tahu bahwa Bu-lim-bong tak nanti bisa menyekapnya di sini, tapi sayang sekali Long Jit-seng adalah pembantu utama Hek-mo-ong Liu Khi. Bila kau tak percaya, tunggu saja sampai waktunya nanti!"

   Baru selesai ia bicara, mendadak terdengar seseorang berkata pula dengan suaranya yang merdu.

   "Apa yang diucapkan Jian-ciat-suseng memang benar. Liu Khi telah mengkhianati kita semua."

   Mendengar ucapan itu, serentak semua orang berpaling.

   Dari sudut ruangan bawah tanah itu muncul tiga orang.

   Mereka adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, perempuan tercantik dari wilayah Kanglam Ho Lan-hiang beserta kedua orang pembantu utamanya, Ji-kaucu serta Sim Tiong-kiu.

   Melihat kemunculan Ho Lan-hiang, Tio Tian-seng dan Liong Oh-im segera maju ke muka dengan langkah cepat, tanyanya.

   "Liu Khi telah berkhianat? Apa yang dia lakukan?"

   "Liu Khi memancing aku memasuki sebuah pintu mati yang dikenal sebagai telaga selaksa racun penghancur tulang, akhirnya Liu Khi bersama tabib sakti Gi Jian-cau dan Long Jitseng lenyap secara tiba-tiba." "Apakah perbuatan mereka bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kita?"

   Tanya Liong Oh-im hambar.

   "Sewaktu berada di telaga selaksa racun penghancur tulang, kami telah bertemu Hek-mo-ong. Dia tidak menyerang kami, melainkan mengambil sikap menawarkan suatu perundingan secara damai."

   Sampai di situ, tiba-tiba dia membungkuk dan tidak melanjutkan lagi perkataannya.

   "Perundingan secara damai macam apakah yang ia tawarkan kepada kalian?"

   Kembali Liong Oh-im bertanya.

   "Ia minta kepadaku untuk menyerahkan bagian peta rahasia harta karun yang menjadi milikku,"

   Sahut Ho Lanhiang sambil tertawa dingin. Seketika itu juga hati semua orang bergetar keras.

   "Apakah kau telah menerima tawaran itu?"

   Tanya Liong Ohim lagi.

   "Masih di dalam pertimbanganku."

   Tio Tian-seng menghela napas sedih, katanya kemudian.

   "Hekmo-ong telah menawarkan pula hal yang sama kepada kami."

   "Sejak memasuki Bu-lim-bong ini, teka-teki sekitar identitas Hek-mo-ong yang sesungguhnya makin lama makin kentara. Thio Kim-ciok bukan Hek-mo-ong dan aku rasa setiap orang telah mengetahui hal ini secara jelas."

   "Jadi maksudmu Hek-mo-ong adalah satu di antara lima jago tersisa dari sepuluh tokoh persilatan yang masih hidup saat ini?"

   Ujar Liong Oh-im sambil tertawa dingin.

   "Benar, satu di antara kelima orang yang masih hidup, malaikat sakti pedang iblis, delapan pedang salju beterbangan, tabib sakti, sastrawan berwajah tampan dan golok sakti berlengan tunggal pastilah Hek-mo-ong yang sedang kita cari."

   "Jika ada orang menaruh curiga kepadamu bahwa kau adalah Hek-mo-ong. Bagaimana penjelasanmu tentang tuduhan itu?"

   Jengek Liong Oh-im sambil tertawa dingin.

   "Aku tidak menyalahkan, jika kalian berpendapat demikian. Kalian memang wajar mempunyai kecurigaan semacam itu."

   "Padahal masalah siapakah Hek-mo-ong sesungguhnya sudah menjadi masalah basi dan tak ada artinya lagi. Sejak kita memasuki Bu-lim-bong, tujuan kita semua hanya satu, yakni melenyapkan Thio Kim-ciok dari muka bumi!"

   "Tapi aku kuatir jusru Thio Kim-ciok yang akan melenyapkan kita dari muka bumi."

   "Bagus, bagus sekali,"

   Kata Liong Oh-im tertawa.

   "Di saat Thio Kim-ciok sudah mampus nanti, di antara kita pun harus dicarikan suatu penyelesaian secara adil dan cepat, paling tidak harus ditentukan siapa yang lebih unggul di antara kita semua."

   "Sekarang kalian masih bisa berkata akan membunuh Thio Kim-ciok. Padahal tahukah kalian, bahwa kita justru sudah terperangkap oleh tipu muslihat Thio Kim-ciok sehingga keselamatan jiwa kalian terancam bahaya maut,"

   Kata Bong Thian-gak dingin. Ho Lan-hiang berpaling dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian katanya pula sambil tertawa ringan.

   "Apa yang diucapkan Jian-ciat-suseng memang benar, kita sudah terperangkap dalam Bu-lim-bong sehingga setiap salah langkah bisa mengakibatkan jiwa kita terancam bahaya maut."

   "Ho Lan-hiang, apa rencanamu sekarang? Tak ada salahnya diutarakan secara blak-blakan,"

   Seru Tio Tian-seng tiba-tiba. Perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam ini segera tertawa cekikikan.

   "Saat ini aku tak lain hanya ingin memberitahukan kepada kalian bahwa Liu Khi telah berhasil menarik Tan Sam-cing serta Gi Jian-cau berpihak kepadanya. Mereka berniat hendak melenyapkan kita dari muka bumi."

   "Jadi kau pun berniat mengajak Lohu dan Liong Oh-im untuk bekerja sama menghadapi mereka?"

   Kata Tio Tian-seng hambar.

   "Aku rasa hanya dengan berbuat demikianlah kekuatan kita baru akan berimbang."

   Tio Tian-seng mendengus dingin.

   "Ketika kita belum masuk ke dalam Bu-lim-bong, sudah kuduga kalau kau, Ho Lan-hiang akan melakukan pengacauan dari tengah. Ai, bila kita sampai berbuat begini, maka keselamatan jiwa kita semua yang berada dalam Bu-lim-bong ini benar-benar berbahaya sekali!"

   Ho Lan-hiang menarik muka secara tiba-tiba seraya berseru.

   "Apa yang ingin kuutarakan telah kusampaikan, apa yang menjadi keputusan terserah pada pilihan kalian sendiri."

   "Hm, dalam peristiwa pembunuhan yang dilakukan sepuluh tokoh persilatan terhadap Thio Kim-ciok pada tiga puluh tahun berselang, tak lain karena gara-gara dirimu."

   Berubah hebat paras muka Ho Lan-hiang setelah mendengar perkataan itu, segera bentaknya.

   "Tio Tian-seng, kau hendak mencari kesulitan bagi dirimu sendiri?"

   Dengan wajah serius Tio Tian-seng berkata lebih jauh.

   "Peristiwa itu telah berkembang menjadi begini sekarang, aku pun tak ingin melindungi lagi nama baik sepuluh tokoh persilatan. Ai, dulu sepuluh tokoh persilatan bukan cuma memperkosa istri orang lain, merampok harta kekayaan orang, bahkan membunuh pula korbannya. Perbuatan semena-mena ini boleh dibilang merupakan dosa besar yang tak akan dapat ditebus dengan kematian saja." "Tio Tian-seng,"

   Tiba-tiba Liong Oh-im membentak.

   "perbuatanmu ini benar-benar sudah keterlaluan."

   Di Tengah bentakan itu, tiba-tiba saja Liong Oh-im menggerakkan pedangnya melancarkan sebuah tusukan kilat ke depan.

   Bong Thian-gak segera membentak, sebuah bacokan dilepaskan pula ke muka, angin pukulan yang kuat dan dahsyat itu seketika menggetarkan tubuh Liong Oh-im hingga mundur sejauh tiga langkah.

   Sementara itu Tio Tian-seng telah berkata dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh.

   "Liong-heng, kuanjurkan kepadamu janganlah mengulang lagi perbuatan salah yang pernah kita lakukan bersama pada tiga puluh tahun berselang."

   Sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im tertawa dingin.

   "Tio Tian-seng, aku mau bertanya kepadamu, apa yang menjadi tujuan kedatanganmu ke Bu-lim-bong hari ini?"

   Tio Tian-seng tidak langsung menjawab, melainkan tertawa seram.

   "Yang menjadi tujuan utama kedatanganku ke Bu-limbong hari ini tak lain adalah untuk mengetahui apakah Thio Kim-ciok benar-benar masih hidup di dunia ini."

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera menyela dengan lantang.

   "Tio-locianpwe, Boanpwe dapat memberitahukan kepadamu, Thio Kim-ciok masih hidup segar bugar di dunia ini."

   "Bagus, bagus sekali,"

   Tio Tian-seng tertawa tergelak.

   "Kalau memang Thio Kim-ciok masih hidup segar bugar, maka kedatanganku ke Bu-lim-bong ini tanpa suatu maksud dan tujuan lagi. Andaikata dibilang ada maksud, maka maksudku tak lain adalah minta maaf kepada seseorang serta menyesali semua perbuatan yang pernah kulakukan dulu." "Apakah orang yang dimaksudkan Tio-pangcu adalah Thio Kim-ciok?"

   Tanya Bong Thian-gak lebih lanjut dengan suara dalam.

   "Benar, aku telah melakukan suatu perbuatan yang sangat memalukan dan amat salah terhadap Thio Kim-ciok."

   Dengan wajah berat dan serius Bong Thian-gak mendesak lebih lanjut.

   "Tadi Tio-pangcu mengatakan sepuluh tokoh persilatan telah memperkosa istri orang dan merampok harta kekayaannya. Apakah hal ini benar-benar pernah terjadi?"

   Tio Tian-seng menghela napas sedih.

   "Dari kesepuluh tokoh orang persilatan yang ada, kecuali seorang di antaranya yang merupakan wanita, hampir semuanya sudah pernah melakukan hubungan senggama dengan Ho Lan-hiang."

   Berubah hebat paras muka Bong Thian-gak setelah mendengar ucapan yang terakhir ini, segera serunya.

   "Apakah Ku-lo Hwesio, si pendeta agung dari Siau-lim-pay pun tak lolos dari perbuatan ini?"

   "Bila aku berbicara bohong barang sepatah kata saja, biar Thian menumpas diriku."

   Bong Thian-gak benar-benar amat terkejut.

   Walaupun hingga detik ini dia masih belum mau mempercayainya seratus persen, tetapi bila teringat akan kejalangan serta daya pikat yang dimiliki Ho Lan-hiang, mau tak mau dia harus percaya juga akan hal itu.

   Dengan wajah hijau membesi, Liong Oh-im tertawa seram, lalu serunya.

   "Tio Tian-seng, kau anggap setelah pengakuan dosamu itu lantas Thio Kim-ciok bakal mengampuni dosadosamu? Seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab dan selamanya tak kenal kata menyesal. Tak nyana kau adalah manusia pengecut semacam ini. Hm! Akulah orang pertama yang akan melenyapkan kau dari muka bumi."

   Liong Oh-im segera menggerakkan pedangnya sambil bersiap-siap melancarkan serangan.

   Mendadak pada saat itu di tengah ruangan terjadi getaran gempa bumi yang amat keras, sedemikian kerasnya hingga menggoyang semua dinding ruangan.

   Semua jago tak mampu berdiri tegak lagi oleh getaran itu, masing-masing segera jatuh terjungkal ke atas tanah.

   Bong Thian-gak sendiri merasa amat terperanjat atas terjadinya getaran keras yang muncul secara tiba-tiba itu, namun sepasang matanya yang tajam tetap mengawasi empat penjuru dengan seksama.

   Begitu memandang, Bong Thian-gak segera menyaksikan suatu perubahan alat rahasia yang amat luar biasa.

   Ternyata di tengah gempa bumi keras yang menggetar ruangan itu, keempat dinding ruangan besar dan semua pintu turut bergeser, bahkan permukaan ruangan pun pelan-pelan ikut bergerak naik ke atas.

   Gempa bumi yang sangat kuat itu berlangsung kurang lebih seperempat jam lamanya sebelum akhirnya berhenti.

   Namun pemandangan di sekeliling ruangan telah berubah sama sekali, kini dari sekeliling dinding ruangan telah muncul delapan buah lorong besar yang membentang jauh ke perut bumi sana.

   Tapi berhubung suasana di situ amat gelap, maka tiada seorang pun yang tahu betapa dalam setiap lorong yang ada di sana.

   Sementara semua orang masih bimbang dan kaget oleh perubahan yang terjadi secara amat mendadak itu, tiba-tiba dari tengah ruangan berkumandang suara seseorang yang berkata dengan aneh.

   "Para jago dengarkan baik-baik, sekarang pintu Pat-kwa-bun dari Bu-lim-bong telah tertutup semua. Dalam keadaan begini, sekalipun kalian mempunyai sayap jangan harap bisa meninggalkan Bu-lim-bong ini barang selangkah pun."

   Begitu mendengar suara ini, Bong Thian-gak segera melompat bangun dan membentak dengan suara keras.

   "Apakah kau adalah Hek-mo-ong?"

   Gelak tawa itu terhenti sejenak, kemudian baru terdengar ia menjawab.

   "Benar, aku adalah Hek-mo-ong. Sebenarnya orang yang hendak dibunuh Thio Kim-ciok hanya sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang, tapi kalian orang-orang yang berada di luar garis ternyata ikut mencari kematian bagi diri sendiri dengan ikut masuk ke dalam Bu-lim-bong. Hal ini tidak dapat menyalahkan aku kelewat kejam, salah sendiri kalian tak mau menuruti perkataanku?"

   Di tengah pembicaraan itu, dari balik delapan lorong yang tersebar di delapan penjuru itu bermunculan pula delapan orang.

   Kedelapan orang itu tak lain adalah Biau-kosiu, nenek berambut putih serta Biau-han-thian suami-istri yang berada dalam satu kelompok, lalu Gi Jian-cau, Tan Sam-cing serta Long Jit-seng, pada rombongan ketiga adalah Kim Toa-hay yang sudah sinting itu.

   Dari sekian jago yang memasuki Bu-lim-bong, hanya Liu Khi seorang yang tidak nampak hadir di situ sekarang.

   Ho Lan-hiang memandang sekejap ke arah semua jago yang hadir, lalu tertawa cekikikan, gumamnya.

   "Hanya Liu Khi seorang yang tidak muncul di sini. Kalau begitu, dia adalah Hek-mo-ong sesungguhnya."

   Sementara itu Gi Jian-cau sekalian berdelapan yang baru muncul dari balik lorong hampir semuanya dalam keadaan sangat mengenaskan dan ada yang terluka, di antaranya Long Jit-seng yang tampaknya menderita luka paling parah, tubuhnya harus dibimbing oleh Tan Sam-cing agar tidak roboh.

   Dengan suara keras Bong Thian-gak segera membentak.

   "Hek-mo-ong, aku rasa setiap orang sudah mengetahui siapakah dirimu sekarang. Bukankah kau adalah Liu Khi?"

   Dari balik ruangan bergema suara gelak tawa penuh kebanggaan, terdengar dia menyahut.

   "Dalam keadaan seperti ini, tentu saja kalian sudah tahu siapakah aku. Benar, Hek-moong adalah Liu Khi. Tapi sayang, kalian terlalu lambat mengetahui akan hal ini."

   Dengan suara dalam tabib sakti Gi Jian-cau berseru.

   "Betul, Liu Khi adalah Hek-mo-ong dan Hek-mo-ong adalah komplotan Thio Kim-ciok, sudah sejak dahulu Hek-mo-ong menerima permintaan Thio Kim-ciok untuk membunuh habis sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang. Hari ini kita sudah terjebak oleh perangkapnya."

   "Hehehe,"

   Kembali terdengar suara tertawa licik Hek-moong dari balik ruangan.

   "Gi Jian-cau, apa yang kau ucapkan memang benar. Sejak tiga puluh tahun berselang, Liu Khi sudah menerima permintaan Thio Kim-ciok untuk membinasakan kalian."

   Kemudian Ho Lian-hiang berseru pula sambil tertawa cekikikan.

   "Liu Khi, apa balas jasa yang dijanjikan Thio Kimciok kepadamu sebagai imbalan dalam pembunuhan ini?"

   "Peta rahasia dari bukit tambang emas."

   "Akhirnya bukankah kau sendiri pun dikhianati oleh Thio Kim-ciok?"

   Jengek Ho Lan-hiang lagi sambil tertawa.

   "Tidak, aku sama sekali tidak dikhianati oleh Thio Kimciok."

   "Bila kau tidak dikhianati oleh Thio Kim-ciok, mengapa Thio Kim-ciok merobek peta rahasia tambang emasnya menjadi sebelas bagian dan dibagikan kepada sepuluh tokoh persilatan serta aku?"

   Hek-mo-ong tertawa seram.

   "Tujuan Thio Kim-ciok berbuat demikian tak lain adalah untuk mengadu domba kalian, agar kalian saling gontok dan bunuh demi memperebutkan peta rahasia itu. Dengan cara begitu pula aku baru dapat membunuh kalian dengan mudah. Itulah sebabnya pembagian peta rahasia itu menjadi sebelas bagian sebetulnya merupakan salah satu rencanaku, hanya saja Thio Kim-ciok tak pernah menyangka kalau sepuluh tokoh persilatan bakal bekerja sama dengan Ho Lan-hiang untuk membinasakan dirinya."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau benar-benar adalah Liu Khi?"

   Tiba-tiba Tio Tian-seng membentak. Hek-mo-ong tertawa tergelak.

   "Tio-pangcu, apakah kau menemui kesulitan? Silakan sampaikan, aku pasti akan membantu memecahkan kesulitanmu itu."

   "Benar, aku memang mempunyai banyak persoalan yang tidak kupahami. Pertama, kami ingin membuktikan lebih dahulu benarkah kau adalah Liu Khi yang asli? Untuk itu harap kau tampil lebih dahulu."

   Hek-mo-ong tertawa licik.

   "Tio-pangcu, aku tidak akan tampil seperti apa yang kau inginkan, tetapi aku dapat memberitahukan kepadamu bahwa aku memang golok sakti berlengan tunggal yang asli. Bila kurang percaya, tanyakan saja kepada Gi Jian-cau."

   "Benar, dia adalah Liu Khi. Tapi ada satu hal yang sulit dipercaya, yakni Thio Kim-ciok ternyata berada sekomplotan dengannya."

   "Hm, mengapa aku tidak bisa berkomplotan dengan Thio Kim-ciok?"

   Seru Hek-mo-ong lagi dengan tertawa dingin.

   "Pertama, aku Liu Khi tidak pernah berzinah dengan istrinya. Kedua, di saat sepuluh tokoh persilatan bekerja sama membunuh Thio Kim-ciok pada tiga puluh tahun berselang, aku pun tidak turut ambil bagian."

   "Dalam peristiwa pengeroyokkan yang terjadi atas Thio Kim-ciok tempo hari, Tan Sam-cing tak turut ambil bagian,"

   Kata Tio Tian-seng.

   "Sekalipun Tan Sam-cing tidak turut ambil bagian dalam peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan atas Thio Kim-ciok dulu, namun secara diam-diam ia mencintai Ho Lan-hiang. Jadi soal perempuan, ia tetap terlibat secara langsung."

   Mendadak Bong Thian-gak membentak.

   "Liu Khi, walaupun kau tidak turut serta dalam peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan atas Thio Kim-ciok, tapi sesungguhnya kaulah dalang yang mengatur peristiwa itu, kaulah otak dari peristiwa berdarah ini."

   Hek-Mo-ong tertawa terbahak-bahak.

   "Justru aku adalah Hek-mo-ong, maka aku pula yang menjadi otak semua peristiwa ini. Biarpun begitu, nyatanya Thio Kim-ciok bersedia bekerja sama denganku."

   Tiba-tiba Biau-kosiu membentak pula.

   "Hek-mo-ong, apakah ayahku Kui-kok Sianseng mati di tanganmu?"

   Hek-mo-ong tidak menjawab, kemudian baru berkata.

   "Tidak, bukan aku yang membunuh."

   "Lantas siapakah pembunuhnya?"

   Bentak Biau-kosiu lebih jauh.

   "Tio Tian-seng yang melakukan, tapi boleh dibilang juga Ho Lan-hiang yang telah membunuh ayahmu itu."

   Paras muka Biau-kosiu kontan berubah hebat, keningnya berkerut dan hardiknya kepada Tio Tian-seng.

   "Tio-pangcu, benarkah apa yang dikatakan Hek-mo-ong?"

   Bong Thian-gak amat terperanjat, ditatapnya Thio Tianseng tanpa berkedip. Dalam hati dia sangat berharap jago tua itu menyangkal tuduhan itu. Akan tetapi Tio Tian-seng segera menghela napas panjang.

   "Ya benar, Kui-kok Sianseng memang tewas di ujung pedangku, tetapi pertarungan itu berlangsung secara jantan dan terbuka. Aku sama sekali tak menggunakan tipumuslihat."

   "Mengapa kau membunuh ayahku? Ayo cepat katakan!"

   Bentak Biau-kosiu dengan marah. Suara tertawa licik Hek-mo-ong sekali lagi bergema, terdengar ia berkata.

   "Tio Tian-seng membunuh Kui-kok Sianseng demi perempuan paling cantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang, sebab waktu itu Kui-kok Sianseng sedang gilagilanya mencintai Ho Lan-hiang, sedangkan Tio Tian-seng adalah seorang pelindung Ho Lan-hiang. Dalam situasi samasama cemburu dan ingin merebut hati sang pujaan hati, tidak heran mereka bertarung mati-matian."

   "Hek-mo-ong,"

   Bentak Biau-kosiu dengan marah.

   "kau jangan ngaco-belo bicara sembarangan. Aku tidak percaya ayahku berbuat demikian."

   Gelak tawa Hek-mo-ong kembali berkumandang, selanya tiba-tiba.

   "Bukan cuma Kui-kok Sianseng yang mampus garagara cemburunya terhadap perempuan ini, bahkan Oh Cionghu pun tewas di ujung pedang Tio Tian-seng karena alasan yang sama."

   Paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, dengan suara dalam ia segera bertanya kepada Tio Tian-seng.

   "Benarkah apa yang dikatakan Liu Khi barusan?"

   "Ya, semua yang dikatakannya memang benar,"

   Tio Tianseng menghela napas panjang. Biau-kosiu tak mampu menahan gejolak emosinya lagi, dia segera membentak.

   "Tio Tian-seng, bersiap-siaplah kau menerima kematianmu!"

   Sembari berkata gadis itu maju tiga langkah dan sepasang tangannya dengan cepat melolos dua bilah pisau belati yang bersinar tajam.

   "Nona Biau,"

   Tio Tian-seng segera berkata dengan suara dalam.

   "aku tak ingin membunuh orang lagi, harap kau jangan bergerak sembarangan."

   "Siapa membunuh orang, dia harus membayar dengan nyawanya sendiri. Bagaimana pun juga aku tetap akan membalas dendam bagi kematian ayahku,"

   Bentak Biau-kosiu sambil melotot.

   Di tengah pembicaraan, tubuhnya bergerak maju ke depan, seperti sebuah gasing yang sedang berputar dia mendesak maju, sementara sepasang pisau belatinya bagaikan dua titik cahaya bintang menusuk ke bagian mematikan di tubuh Tio Tiang-seng.

   Segera Tio Tian-seng melompat ke belakang, kemudian bentaknya.

   "Nona Biau, dengarkan dulu perkataanku! Aku membunuh ayahmu serta Oh Ciong-hu tak lain karena tindakan melindungi diri sendiri, dalam suatu pertarungan yang tak bisa dihindarkan bisa jatuh korban di salah satu pihak."

   "Kau tak usah banyak bicara,"

   Tukas Biau-kosiu sambil menahan geramnya.

   "Jika punya kepandaian, bunuhlah aku!"

   Di tengah bentakannya, pisau belatinya kembali menyergap jalan darah mematikan di tubuh Tio Tian-seng dengan kecepatan bagaikan sambaran petir.

   Setiap jurus serangan dilakukan secara cepat dan merupakan ancaman serius.

   Di bawah sergapan pisau belatinya yang bertubi-tubi, selangkah demi selangkah Tio Tian-seng mundur terus, namun ia sempat berbicara lagi.

   "Nona Biau, aku sudah merasa menyesal karena pernah diperalat oleh Ho Lan-hiang sehingga membunuh orang. Hari ini aku tak berkeinginan melukaimu."

   "Tapi aku pun berharap kau jangan mendesak dan memojokkan aku. Jika kau ingin membalas dendam, tunggulah setelah kita keluar dari Bu-lim-bong ini dengan selamat, waktu itu aku pasti akan memberi keadilan kepadamu,"

   Tambah Tio Tan-seng. Mendadak terdengar Bong Thian-gak membentak pula.

   "Nona Biau, harap kau hentikan dulu seranganmu itu."

   Sambil berseru pemuda itu menerjang masuk ke dalam arena. Telapak tangan kanannya segera diayunkan ke muka melepaskan sebuah pukulan, angin serangan yang tajam segera membendung datangnya ancaman Biau-kosiu.

   "Kau berniat membantunya?"

   Bentak Biau-kosiu dengan marah, keningnya berkerut kencang. Dengan wajah serius dan nada bersungguh-sungguh Bong Thian-gak berkata.

   "Nona Biau, dengarkan nasehatku, untuk sementara waktu janganlah kau menyerang secara sembarangan."

   "Dendam kesumat terbunuhnya ayahku lebih dalam daripada samudra, aku tak bisa melepaskannya begitu saja."

   "Biarpun Tio Tian-seng adalah musuh besar pembunuh ayahmu, tapi Ho Lan-hiang adalah otak di belakang layar yang memberi perintah kepadanya. Apakah perempuan ini tak pantas dibunuh?"

   Biau-kosiu tertawa dingin.

   "Hm, setelah membunuh Tio Tian-seng nanti, Ho Lan-hiang pun tak bakal lolos dari kematian."

   Ho Lan-hiang yang selama ini hanya menonton dari samping segera tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya.

   "Nona Biau, aku berani bertaruh kepadamu, orang-orangmu tak bakal mampu menandingi kehebatan Tio Tian-seng. Percaya tidak?"

   "Hm, sekalipun bukan tandingannya, aku tetap akan mengadu kepandaian dengannya,"

   Jawab gadis itu. Bong Thian-gak segera berkata dengan suara dalam.

   "Nona Biau, harap kau suka mendengarkan perkataanku baik-baik, semua jago persilatan yang hadir dalam Bu-lim-bong saat ini hampir semuanya mempunyai niat busuk, mereka berharap ada satu pihak yang bertarung lebih dulu, sementara mereka akan menjadi nelayan beruntung yang tinggal memungut hasilnya. Apakah kau tak dapat merasakan gejala itu?"

   Biau-kosiu mendengus dingin.

   "Asal aku berhasil mengalahkan Tio Tian-seng, dengan sendirinya para jago lain pun dapat kutaklukkan. Nah, Jian-ciat-suseng, harap kau mundur dari situ."

   Tio Tian-seng kembali menghela napas panjang.

   "Ai, sebenarnya aku ingin menyimpan sedikit tenaga untuk menghadapi Ho Lan-hiang lebih dulu, sungguh tak disangka nona Biau justru mendesakku terus-menerus. Kalau kau ingin cepat membalas dendam bagi kematian ayahmu, silakan segera turun tangan!"

   Tio Tian-seng segera melintangkan pedangnya di depan dada dan berdiri dengan serius, sementara dari balik matanya memancar sinar tajam yang menggidikkan.

   "Tunggu sebentar,"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak membentak.

   "Aku ingin bertanya dulu kepada Tio-pangcu, apa sebabnya kau membunuh Oh Ciong-hu?"

   Tio Tian-seng memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, lalu menghela napas.

   "Tentang segala budi dendam yang menyangkut sepuluh tokoh persilatan, tentunya Bong-laute sudah mengetahui sedikit banyak, bukan? Kalau ditanya apa alasanku membunuh Oh Ciong-hu, maka hal ini tak lain disebabkan karena perempuan jalang itu." "Apakah Oh Ciong-hu pernah mencintai Ho Lan-hiang?"

   "Ho Lan-hiang adalah perempuan jalang dan pandai memikat perhatian lelaki."

   "Sepuluh tokoh persilatan bukan orang suci, tentu saja mereka tak akan lolos dari rayuan mautnya, apalagi Oh Cionghu dan Ho Lan-hiang adalah saudara seperguruan, mereka pernah saling mencintai di masa lalu. Bagaimana mungkin Oh Ciong-hu bisa lolos dari perangkap mautnya?"

   "Sekarang pun aku lihat masih ada juga mereka yang terpikat oleh rayuannya hingga rela menjual nyawa baginya."

   "Apakah Tio-pangcu turun tangan membunuh musuh cintamu karena kuatir perempuan jalang itu terjatuh ke dalam pelukan orang lain?"

   Tio Tian-seng sekali lagi menghela napas panjang.

   "Kemungkinan besar Bong-laute tidak akan percaya dengan perkataanku, tapi cerita yang sesungguhnya adalah Oh Cionghu yang kuatir aku merampas perempuan jalang ini hingga turun tangan lebih dulu membunuhku."

   Bong Thian-gak menggeleng kepala. - "Sekarang Oh Ciong-hu telah mati, tentu saja aku tak akan percaya dengan pengakuan dari seorang yang masih hidup seperti kau."

   Kembali Tio Tian-seng menghela napas.

   "Seandainya Ho Lan-hiang tidak bohong, dia pasti akan membeberkan duduk persoalan yang sesungguhnya kepadamu."

   Mendengar ucapan itu, tanpa terasa Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya ke arah Ho Lan-hiang. Perempuan paling cantik dari wilayah Kanglam itu segera tertawa ringan, katanya cepat.

   "Alasan utama Tio Tian-seng membunuh Oh Ciong-hu tak lain disebabkan hendak membalas dendam atas sebuah pukulan yang pernah diterimanya dulu."

   "Ho Lan-hiang, kau berbohong,"

   Bentak Tio Tian-seng. Bong Thian-gak menghela napas seraya berkata.

   "Tiopangcu, tak usah berdebat lagi tentang masalah kematian yang menimpa Oh Ciong-hu, sebab aku sudah tidak berhasrat untuk menyelidiki lebih lanjut Pertikaian antara sepuluh tokoh persilatan dengan Thio Kim-ciok serta perselisihan kalian dengan Hek-mo-ong, lebih baik kalian sendiri yang menyelesaikannya!"

   "Ai, saat ini aku justru merasa agak menyesal karena ikut terseret ke dalam persoalan ini."

   Tiba-tiba Biau-kosiu mendengus dingin sambil mengumpat.

   "Huh, manusia tak becus, lelaki banci. Sudah tahu gurunya terbunuh, kau malah menyatakan cuci tangan dari persoalan itu. Andaikata arwah Oh Ciong-hu di alam baka tahu hal ini, ia pasti akan menyesal telah menerima murid yang tak bertanggung-jawab macam kau."

   "Nona Biau, hati-hati kalau bicara,"

   Tegur Bong Thian-gak dengan serius.

   "Memangnya aku salah mengumpatmu?"

   Kembali Biaukosiu menjengek secara sinis.

   "Tentang pertikaian sepuluh tokoh persilatan dengan Thio Kim-ciok, aku telah mengetahui persoalan itu sejelasnya. Sepuluh tokoh persilatan telah terayu oleh kejelitaan Ho Lanhiang, saling cemburu, saling membenci dan akhirnya saling membunuh. Perbuatan busuk semacam ini jelas merupakan perbuatan rendah dan memalukan, aku rasa hanya Tio Tianseng seorang yang berani mengungkapnya. Oleh sebab itu aku merasa amat kagum atas keberanian Tio-pangcu."

   "Dan kini aku sudah mengetahui dengan jelas bahwa guruku pernah melakukan perbuatan rendah yang sangat memalukan. Apakah aku harus mencari gara-gara lagi secara membabi-buta tanpa membedakan mana yang benar dan yang salah?"

   "Ai, yang lebih menggemaskan lagi adalah dengan ilmu silat serta nama besar sepuluh tokoh persilatan, ternyata mereka rela dipikat dan dirayu oleh seorang perempuan jalang sehingga nama baik hancur, orangnya pun binasa. Peristiwa ini benar-benar amat tragis."

   Perkataan Bong Thian-gak yang diutarakan secara blakblakan ini kontan membuat paras muka Tio Tian-seng, Tan Sam-cing, Gi Jian-cau dan Liong Oh-im berubah merah padam, dengan mulut terbungkam mereka menundukkan kepala.

   Sementara itu dengan wajah bimbang Biau-kosiu bergumam pula.

   "Mungkinkah ayah pun ikut terpikat oleh perempuan jahat itu?"

   Ho Lan-hiang tertawa terkekeh-kekeh, dengan suara jalang ujarnya.

   "Bagus sekali umpatanmu itu Jian-ciat-suseng, tetapi kau tentu tahu bahwa bencana keluarnya dari mulut. Hari ini kau sudah dipastikan harus mati di sini."

   Sampai di situ, dia segera mengulap tangan kanan. Kakek berbaju hitam yang berada di sampingnya yaitu Sim Tiong-kiu segera melangkah maju, sambil bentaknya.

   "Jian-ciat-suseng, bersiap-siaplah kau menerima kematian!"

   Bong Thian-gak sudah pernah bertarung melawan Sim Tiong-kiu, dia tahu kakek itu memiliki ilmu jari yang lihai sekali. Oleh sebab itu segera dia menghimpun seluruh tenaga dan perhatiannya dengan memperhatikan jari telunjuk tangan kiri lawan.

   "Sim Tiong-kiu!"

   Katanya kemudian sambil tertawa dingin.

   "jika kau sudah mendengar kisah hubungan gelap sepuluh tokoh persilatan dengan Ho Lian-hiang, apakah kau masih terpikat oleh kegenitan dan kecantikannya hingga rela berbakti terus kepadanya? Padahal dengan tampangmu, wahai Sim Tiong-kiu, benarkah kau memperoleh kasih sayang sejati darinya?"

   Ucapan Bong Thian-gak itu penuh dengan sindiran, membuat paras muka Sim Tiong-kiu seketika itu juga berubah merah padam dan untuk sesaat lamanya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Berubah pula paras muka Ho Lan-hiang, segera bentaknya keras.

   "Sim Tong-kiu, kau berani melanggar sumpahmu?"

   Tatkala mendengar teguran itu, tiba-tiba saja sekujur badan kakek berbaju hitam Sim Tiong-kiu gemetar keras, jari telunjuk tangan kirinya segera ditekuk, kemudian melakukan sentilan keras ke depan.

   Serangan jari yang dahsyat dan luar biasa itu bagaikan sambaran halilintar segera meluncur ke muka dan langsung menyerang jalan darah kematian di dada Bong Thian-gak.

   Bong Thian-gak memang sudah tahu Sim Tiong-kiu memiliki ilmu jari yang sangat hebat dengan daya penghancur yang luar biasa, maka di saat Sim Tiongrkiu baru saja menggerakkan jari tangannya, ia sudah menerjang ke muka.

   Diiringi suara bentakan yang keras, pedang kayu di tangannya langsung dicabut dan menusuk iga kiri Sim Tiongkiu.

   Ilmu pedang yang diiringi terjangan kilat ini dilakukan dengan gerakan yang mengerikan, tak heran paras muka kawanan jago yang hadir berubah hebat.

   Serta-merta Sim Tiong-kiu menggeser kaki kirinya ke samping, lalu meluncur mundur untuk meloloskan diri dari serangan pedang pemuda itu.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menyaksikan serangan jari tangan Sim Tiong-kiu yang istimewa dan luar biasa itu gagal membunuh lawan, kembali paras muka Ho Lan-hiang berubah hebat, segera serunya.

   "Mundur kau, apakah sebelum ini kalian sudah pernah bertarung?"

   Sim Tiong-kiu segera mengundurkan diri ke sampingnya, lalu menjawab.

   "Ya, ketika berada di kuil Hong-kong-si tempo hari, kami sudah pernah bertarung."

   Setelah memukul mundur Sim Tiong-kiu dengan serangan pedangnya, Bong Thian-gak tidak melanjutkan dengan serangan kedua, sebaliknya sambil melintangkan pedang di depan dada, ia berkata dengan lantang.

   "Ho Lan-hiang, ilmu jarinya yang merupakan senjata maut pencabut nyawa sudah tak mampu melukai diriku lagi, bahkan rahasia pedang Cingtong- kiam milik Ji-kaucu pun sudah kuketahui dengan jelas. Oleh karena itu kedua orang utusan pelindung bungamu sudah tidak sanggup lagi melindungi keselamatan jiwamu, mengapa kau tidak turun tangan sendiri untuk bertarung melawanku?"

   Tantangan Bong Thian-gak yang diucapkan secara blakblakan dan terus terang ini segera membuat Ho Lan-hiang mengernyitkan alis, hawa membunuh segera menyelimuti wajahnya, dia berseru.

   "Ji-kaucu!"

   Ji-kaucu yang berada di sisi kirinya segera menyahut dengan suara lantang.

   "Siap!"

   "Kau tampil ke muka dan bunuh keparat itu!"

   "Harap Cong-kaucu jangan kelewat emosi,"

   Kata Ji-kaucu dengan kalem tanpa luapan perasaan.

   "Aku rasa waktu untuk membunuhnya belum tiba."

   Ketika mendengar ucapan ini, hawa membunuh yang semula telah menyelimuti wajahnya mendadak lenyap, sebagai gantinya ia segera menampilkan wajah lembut dan ramah, setelah tertawa terkekeh, katanya.

   "Ji-kaucu, kau memang tak malu menjadi tangan kananku. Kecerdasan otakmu sungguh mengagumkan."

   Sebaliknya Bong Thian-gak segera menjengek sambil tertawa dingin.

   "Ji-kaucu, kau tidak usah mencoba menyimpan tenaga lagi. Hari ini aku ingin mencoba kelihaian ilmu silatmu."

   Saat itu Bong Thian-gak telah berdiri dengan pedang dilintangkan di depan dada, sepasang matanya memancarkan sinar tajam, sementara hawa membunuh telah menyelimuti wajahnya.

   Setiap jago dalam arena dapat melihat bahwa pemuda itu telah menghimpun tenaga murninya dan siap melepaskan serangan pedang terbangnya.

   Keadaan Bong Thian-gak yang sudah siap melepaskan serangan pedang terbangnya saat ini ibarat anak panah yang sudah berada di gendewa yang ditarik.

   Oleh karena itu Jikaucu yang menyaksikan keadaan itu segera mengerti bahwa dia tak bisa meloloskan diri lagi dari ancaman.

   Kaki kiri Ji-kaucu segera maju setengah langkah, tangan kanannya secepat kilat mencabut pedang bercahaya hijau dari pinggang, lalu setelah tertawa seram, katanya.

   "Jian-ciatsuseng, hari ini kita memang harus bertarung!"

   "Dendam sakit hati yang telah terjalin di antara kita berdua rasanya cepat atau lambat harus dituntaskan, pertarungan memang tak dapat dihindari lagi,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil tersenyum.

   "Selama ini kau tak lebih cuma panglima yang kalah perang, aku rasa hari ini pun kau tak akan lolos dari nasib kekalahan konyol."

   Bong Thian-gak segera mendengus dingin.

   "Hm, seandainya aku menderita kekalahan lagi di tanganmu, biar mati pun aku tak menyesal!"

   Selesai berkata Bong Thian-gak segera menggerakkan bahunya bergerak ke muka, pedangnya dengan jurus pelangi panjang menutupi matahari langsung meluncur.

   "Serangan bagus!"

   Bentak Ji-kaucu.

   Di tengah kilauan cahaya pedang berwarna hijau serta lejitan bintang merah berkilauan, tiba-tiba berkumandang suara gemerincingan yang amat nyaring.

   Serangan pedang Bong Thian-gak yang dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat itu tahu-tahu sudah terbendung.

   Dalam pengaruh hawa murninya yang disalurkan ke tubuh pedang itu, pedang bambu yang lemah telah berubah menjadi keras dan tajam bagaikan pedang sungguhan.

   Itulah sebabnya ketika bentrokan yang barusan terjadi, pedang bambunya tidak menjadi putus karena ketajaman pedang lawan.

   Begitu pedang bambu Bong Thian-gak digetarkan terpental ke belakang, tangan kirinya segera diputar kencang, pedangnya seperti seekor naga sakti yang sedang membalik badan, menyambar dari bawah ke atas langsung merobek lambung Ji-kaucu.

   Ilmu pedang yang sangat aneh dan luar biasa semacam ini pada hakikatnya di luar dugaan siapa pun juga.

   Mimpi pun Ji-kaucu tidak mengira gerak serangan Bong Thian-gak yang berhasil dibendung itu dalam waktu singkat telah berubah arah, menyergap bagian mematikan di tubuhnya.

   Sementara dia masih terperanjat menghadapi perubahan itu, tahu-tahu ujung pedang Bong Thian-gak sudah menempel di atas baju Ji-kaucu yang menutupi lambungnya.

   Dalam keadaan demikian, sekalipun ada malaikat turun dari kahyangan, rasanya tak mampu menolong Ji-kaucu lolos dari musibah ini.

   Bisa dibayangkan betapa cepatnya sambaran pedang jagojago lihai yang sedang bertarung.

   Waktu itu tiada kesempatan lagi bagi Ji-kaucu untuk memutar otak, mendadak hawa membunuh memancar dari wajahnya, pedangnya segera dibalik, lalu ditusukkan pula ke dada Bong Thian-gak.

   Dalam anggapan para jago, serangan pedang Ji-kaucu itu tak lebih cuma gerakan sia-sia, karena ancaman itu tak ada artinya.

   Padahal waktu itu serangan pedang Bong Thian-gak sudah hampir mengenai tubuh Ji-kaucu, andaikata menyerang pun Ji-kaucu tentu akan tewas lebih dulu di ujung senjata Bong Thian-gak.

   Itulah sebabnya serangan Ji-kaucu ini pada hakikatnya tidak akan memberikan manfaat apa pun.

   Tapi siapakah yang dapat menduga kalau di balik serangan Ji-kaucu itu sesungguhnya ia sedang melakukan tindakan nekat mengajak lawan mengadu jiwa.

   Pedang tembaga berwarna hijau itu bukan saja dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai kehendak hati, bahkan bagian tengah pedang yang kosong itu telah dia isi dengan semacam cairan beracun yang bisa menyembur keluar apabila tombol rahasianya dipencet Di saat yang amat kritis itulah mendadak sesosok bayangan orang secepat sambaran kilat meluncur tiba, disusul segulung angin pukulan berpusing yang sangat kuat menumbuk tubuh Bong Thian-gak serta mementalkan tubuhnya hingga mencelat ke samping kanan.

   Tenaga pukulan yang maha dahsyat itu memiliki kekuatan sangat mengerikan, Bong Thian-gak merasa tubuhnya tak mampu dikendalikan lagi, setelah mencelat ke belakang, dia mesti mundur sebelum berhenti.

   Suara semburan air beracun bergema, dari ujung pedang Ji-kaucu memancar tiga gulung cairan hitam.

   Begitu jatuh ke atas tanah, segera tertampak asap hitam mengepul ke udara, dalam waktu singkat lantai berbatu itu sudah terbakar hangus hingga muncul bekas lekukan sedalam beberapa inci.

   Sesudah menyaksikan itu, Bong Thian-gak baru sadar bahwa orang itu telah menyelamatkan jiwanya.

   Tapi dia pun telah menyelamatkan jiwa Ji-kaucu.

   Tatkala sorot mata para jago dialihkan ke wajah pendatang itu, mendadak air muka mereka segera berubah menjadi pucat.

   Itulah mimik wajah kaget, ngeri, seram, tegang serta berbagai perubahan lainnya.

   Pendatang itu seorang kakek berbaju hijau yang memelihara jenggot berwarna hitam, berwajah segar dan berwibawa, akan tetapi bagi pandangan para jago dalam arena justru lebih menyeramkan dan mengerikan daripada melihat setan atau memedi.

   Bong Thian-gak menjerit kaget lebih dulu.

   "Thio Kim-ciok! Thio-locianpwe!"

   Kakek berjenggot hitam berbaju hijau itu memang tak lain adalah Thio Kim-ciok.

   Sementara itu dari balik sebuah pintu rahasia di tengah ruangan pelan-pelan berjalan keluar Song Leng-hui serta Thay-kun.

   Setelah suasana agak hening, Thio Kim-ciok baru berkata dengan suara hambar.

   "Bong-laute, tak ada artinya kau mengadu jiwa dengan lawan. Itulah sebabnya aku telah melancarkan Kun-goan-khi-kang untuk mendorongmu dari ancaman bahaya."

   Biarpun cuma beberapa patah kata yang sederhana, namun sudah menjelaskan betapa berbahayanya situasi waktu itu.

   Kemunculan Thio Kim-ciok membuat para jago merasa kaget dan bergidik, tapi juga merubah suasana di arena menjadi tegang dan menyeramkan.

   Ancaman pertempuran setiap detik dapat meledak di situ.

   Dari sekian jago yang hadir, kecuali Bong Thian-gak, Song Leng-hui serta Thay-kun tiga orang, empat orang dari sepuluh tokoh persilatan maupun Ho Lan-hiang serta Biau-kosiu sekalian sama-sama telah meraba senjata masing-masing, bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Bong Thian-gak melayangkan pandangannya dan memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan kening berkerut dia berpikir.

   "Tampaknya semua telah bekerja sama untuk menghadapi Thio Kim-ciok."

   Dalam pada itu Thio Kim-ciok dengan mata yang memancarkan cahaya tajam telah memandang sekejap wajah orang-orang di situ, kemudian ujarnya dingin.

   "Mungkin kalian tak pernah mengira bukan kalau aku masih hidup di dunia ini?"

   Tio Tian-seng segera menghela napas panjang dengan nada sedih, sahutnya.

   "Ya, kenyataan kau memang masih hidup!"

   "Tio Tian-seng,"

   Kata Thio Kim-ciok lagi dengan suara dingin.

   "Aku tahu kau sudah menyesal, tapi Thio Kim-ciok tetap tak akan memaafkan dirimu."

   Kembali Tio Tian-seng tertawa pedih.

   "Aku tahu, Thio Kimciok adalah seorang yang berhati kejam, buas dan membunuh orang tanpa berkedip. Jangankan terhadap musuh-musuh besarmu, bahkan terhadap orang yang tiada sangkut-pautnya dengan dirimu pun sudah berapa banyak yang tewas di tanganmu." "Kalian semua tak akan lolos dari kematian!"

   Ujar Thio Kimciok lagi dengan suara dingin dan menyeramkan. Tiba-tiba sinar matanya dialihkan ke wajah Ho Lan-hiang. Dalam pada itu sekulum senyum manis telah tersungging di ujung bibir Ho Lan-hiang, katanya dengan suara yang amat tenang.

   "Orang pertama yang hendak kau bunuh tentu diriku, bukan?"

   "Aku akan menghancur-leburkan tubuhmu serta mencincangnya,"

   Sahut Thio Kim-ciok dengan wajah dingin dan suara hambar. Kembali Ho Lan-hiang tertawa merdu.

   "Tiga puluh tiga tahun berselang kau tidak memiliki kemampuan untuk melukaiku. Tiga puluh tiga tahun kemudian, lebih-lebih jangan harap dapat melukai seujung rambutku."

   Pada saat itulah Bong Thian-gak dapat melihat Tio Tianseng, Tan Sam-cing, Liong Oh-im, Gi Jian-cau bersama Ho Lan-hiang, Ji-kaucu, serta Sim Tiong-kiu sekalian secara pelanpelan telah bergerak maju mengurung Thio Kim-ciok rapatrapat.

   Melihat itu, mendadak Bong Thian-gak mengayunkan pedangnya sambil membentak nyaring.

   "Berhenti kalian semua. Bila ada yang berani maju selangkah lagi, jangan salahkan pedangku akan segera melukai orang."

   Tiba-tiba Tio Tian-seng berseru.

   "Bukankah Bong-laute telah mengambil keputusan untuk melepaskan diri dari kancah pertikaian yang penuh dengan budi dan dendam ini?"

   Dengan suara dalam Bong Thian-gak membentak.

   "Mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak merupakan suatu perbuatan terkutuk serta memalukan."

   Tiba-tiba Thio Kim-ciok berpaling ke arah anak muda itu, lalu berkata sambil tertawa.

   "Bong-laute, dari sikap serta perbuatan mereka itu, tentu kau tak akan menyalahkan aku andaikata kubunuh mereka dari muka bumi?"

   "Thio-locianpwe berniat membantai semua orang yang ada di sini?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar keras.

   "Aku tidak dapat melepaskan seorang pun di antara sepuluh tokoh persilatan serta perempuan jalang itu."

   Bong Thian-gak menghela napas, kemudian katanya.

   "Thian maha penyayang. Apakah Thio-locianpwe tak merasa bahwa dendam yang kau perlihatkan sekarang telah melanggar ajaran Thian?"

   Thio Kim-ciok tertawa dingin.

   "Andaikan setiap umat persilatan di dunia ini dapat memahami apa artinya ajaran Thian, aku rasa tidak bakal terjadi lagi badai pembunuhan serta mengalirnya anyir darah dalam persilatan. Sepuluh tokoh persilatan mempunyai kedudukan yang agung dan terhormat, tetapi nyatanya mereka bisa juga melakukan perbuatan terkutuk yang amat memalukan itu."

   Bong Thian-gak sadar bahwa dia tak mampu lagi menghalangi niat Thio Kim-ciok untuk melampiaskan rasa dendam kesumatnya, maka setelah menghela napas panjang, dia pun bertanya.

   "Yakinkah Thio-locianpwe bahwa harapanmu itu bakal tercapai?"

   "Walaupun aku tidak mempunyai keyakinan sepenuhnya, namun dapat kupertaruhkan dengan selembar nyawaku."

   Mendadak terdengar Ho Lan-hiang yang berada di samping arena berseru sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   "He si tua Thio, saat ini kau telah dikepung oleh semua jago. Aku tidak percaya kau masih mempunyai kesempatan untuk melarikan diri ke dalam alat rahasiamu."

   Dalam sekejap di empat penjuru sudah berdiri Tio Tianseng, Gi Jian-cau, Tan Sam-cing, Liong Oh-im, Ho Lan-hiang, Sim Tiong-kiu serta Ji-kaucu dengan senjata terhunus.

   Tampaknya pertarungan sengit tak bisa dihindari lagi.

   Bong Thian-gak segera berpikir.

   "Sanggupkah Thio Kimciok menandingi kerubutan tujuh jago lihai dunia persilatan ini?"

   Dengan pandangan sinis Thio Kim-ciok memperhatikan sekejap, kemudian berkata.

   "Kepungan kalian mirip barisan pembunuh yang dipakai untuk menghadapiku tiga puluh tiga tahun berselang, hanya sayang di sini sudah tak nampak beberapa wajah."

   "Thio Kim-ciok!"

   Dengan wajah serius dan nada bersungguh-sungguh Tio Tian-seng berkata.

   "sebenarnya aku merasa malu untuk mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak, tapi aku pun tahu bahwa kau adalah seorang licik yang berhati busuk serta banyak akal muslihatnya. Oleh karena itu mau tak mau terpaksa kami harus mempergunakan cara mengerubut yang tidak gagah ini untuk menghadapimu."

   "Andaikata aku merasa takut untuk menghadapi kerubutan kalian, tidak nanti aku menampilkan diri,"

   Sahut Thio Kim-ciok dingin. Liong Oh-im tertawa seram.

   "Thio Kim-ciok, kau mempunyai kemampuan seberapa besar hingga dapat menembus kepungan kami bertujuh?"

   "Andaikata aku berniat membunuh kalian, maka hal ini bisa aku lakukan secara mudah dan tak usah membuang tenaga."

   Belum habis perkataan Thio Kim-ciok, Thay-kun yang selama ini berdiri di samping menyela dengan suara merdu.

   "Di saat terjadinya gempa bumi yang menggetarkan seluruh permukaan gua tadi, seluruh alat rahasia dalam lorong bawah tanah ini sudah tertutup seluruhnya. Biarpun kalian sanggup membunuh Thio Kim-ciok saat ini, tetapi kalian sendiri pun tidak bakal terlepas dari Bu-lim-bong yang sudah tersumbat ini, akhirnya kalian bakal mampus juga karena kelaparan."

   Beberapa patah kata Thay-kun ini kontan membuat paras muka kawanan jago itu berubah hebat. Liong Oh-im segera tertawa licik.

   "Bagus, bagus sekali, kalau semua orang bisa mati bersama di dalam Bu-lim-bong, hal itu jauh lebih baik lagi."

   Dengan suara dingin menyeramkan Thio Kim-ciok berkata pula.

   "Aku tak ingin menyaksikan kalian mampus tanpa memberi perlawanan, aku pun tak ingin membiarkan kalian mampus dalam Bu-lim-bong ini."

   Beberapa patah katanya yang terakhir ini terasa sangat aneh dan bertentangan dengan apa yang dikatakan sebelumnya, tapi para jago mengerti, di balik semua itu tentu masih terdapat latar belakang lainnya.

   Sambil tertawa licik Liong Oh-im segera berkata.

   "Kalau begitu, tentunya jalan keluar dari Bu-lim-bong ini sesungguhnya bukan merupakan hasil karya Thio Kim-ciok bukan?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Thio Kim-ciok tidak menjawab, tapi Thay-kun telah berseru dengan suara merdu.

   "Betul, orang yang menggerakkan alat rahasia untuk menutup seluruh lorong rahasia dalam Bu-limbong ini bukan Thio-locianpwe, melainkan Hek-mo-ong. Dia hendak mengurung kalian dalam Bu-lim-bong ini."

   Mendadak dari balik ruangan yang luas itu berkumandang kembali suara Hek-mo-ong yang dingin serta misterius itu.

   "Thio Kim-ciok, aku tidak menyangka kau bakal mengingkari janjimu sendiri."

   Thio Kim-ciok tertawa dingin, sahutnya dengan suara keras.

   "Hek-mo-ong, aku sama sekali tidak mengingkari janji, aku hanya tak rela membiarkan musuh-musuh besarku ini tewas di tanganmu." "Thio Kim-ciok!"

   Kembali suara Hek-mo-ong berkumandang lagi.

   "apakah kau yakin dapat membinasakan Ho Lan-hiang bertujuh?"

   Thio Kim-ciok tertawa dingin.

   "Termasuk kau, berarti berjumlah delapan orang. Aku yakin tak seorang pun di antara kalian yang dapat meloloskan diri dalam keadaan selamat."

   Hek-mo-ong tertawa terkekeh, katanya.

   "Sebagai imbalan dari usaha bantuan membinasakan Ho Lan-hiang sekalian adalah janjimu menyerahkan peta rahasia tambang emas kepadaku dan sekarang kau telah berbalik ingin membunuh sendiri musuh-musuh besarmu itu. Apakah kau pun berniat membatalkan perjanjian di antara kita?"

   "Kita telah berjanji. Setelah kau membantu aku membinasakan Ho Lan-hiang sekalian, maka antara aku dan kau pun akan dilangsungkan pertarungan sengit yang akan menentukan mati hidup di antara kita,"

   Sahut Thio Kim-ciok dingin.

   "Tapi aku takut kemampuanmu sangat terbatas sehingga gagal membunuh Ho Lan-hiang sekalian, sebaliknya malah mencelakakan diri sendiri. Oleh sebab itu kuanjurkan kepadamu lebih baik serahkan saja penyelesaian nyawa mereka kepadaku."

   Dari tanya-jawab yang berlangsung antara Hek-mo-ong dan Thio Kim-ciok ini. Secara garis besar semua orang sudah mulai memahami apa yang sebenarnya direncanakan kedua orang yang berkomplot itu. Mendadak Tio Tian-seng membentak dengan suara keras.

   "Liu Khi, bila kau memang bernyali, ayo cepat keluar untuk berduel mati-matian denganku."

   "Hahaha,"

   Gelak tawa nyaring Hek-mo-ong segera bergema memenuhi seluruh ruangan.

   "Tio Tian-seng, tahukah kau bahwa di dasar tanah dalam ruangan dimana kalian berpijak sekarang telah ditanam beratus-ratus obat mesiu yang setiap saat dapat meledak? Bila kusulut sumbu mesiu itu, maka aku yakin dalam seperempat jam, kalian akan mampus dengan tubuh hancur berkeping-keping."

   Kawanan jago yang hadir dalam arena kontan terkesiap. Bong Thian-gak segera memandang sekejap ke arah Thio Kimciok, lalu tanyanya.

   "Thio-locianpwe, benarkah apa yang dikatakannya itu? "Benar, di dasar lantai ruangan ini memang sudah ditanam obat peledak dalam jumlah besar. Seandainya benar-benar meledak, maka daya kekuatannya mampu menenggelamkan seluruh perkampungan ini ke dasar tanah."

   Mendengar sampai di sini, Bong Thian-gak segera menghela napas panjang.

   "Apa rencana Thio-locianpwe selanjutnya untuk menghadapi situasi demikian ini?"

   Tiba-tiba Thay-kun tersenyum, selanya.

   "Bong-suheng tidak usah kuatir, aku percaya Thio-locianpwe pasti sudah mempunyai rencana yang rapi untuk menghadapi semua itu."

   Dalam pada itu para jago yang berada di dalam ruangan bawah tanah itu tak berani bertindak lagi secara gegabah, mereka cuma bisa mengawasi wajah Thio Kim-ciok dengan mata terbelalak dan pandangan termangu.

   Mendadak terdengar lagi suara Hek-mo-ong berseru lantang dari balik ruangan.

   "Thio Kim-ciok, dengarkan baikbaik. Andaikata aku bertekad membatalkan niatku untuk mendapatkan rahasia peta bukit tambang emas itu dengan menyulut sumbu mesiu yang berada di sini, entah bagaimana perasaanmu?"

   Thio Kim-ciok tertawa dingin.

   "Seandainya kau berbuat demikian, maka kau sendiri pun tak akan terlepas dari ancaman kematian. Aku yakin dalam seperempat jam, kau tak akan mampu melepaskan diri dari sini serta menyingkir ke tempat yang lebih aman." "Bila aku sudah bertekad untuk mengadu jiwa, apa yang dapat kau lakukan?"

   "Aku rasa kau tidak bakal berbuat demikian,"

   Jengek Thio Kim-ciok sambil tertawa dingin.

   "Bagus, kalau begitu tunggu saja!"

   Jengek Hek-mo-ong sambil tertawa seram. Begitu selesai berkata, di dalam ruangan itu sudah tak terdengar lagi suara Hek-mo-ong. Dengan wajah serius Thio Kim-ciok berkata dingin.

   "Bila Hek-mo-ong sudah memperhitungkan secara tepat bahwa dalam seperempat jam dia mampu meninggalkan Bu-lim-bong secara aman, maka pada saat itu dia pasti akan menyulut sumbu mesiu dan meledakkan perkampungan ini. Dan sekarang aku pun telah memutuskan akan mengajak kalian meninggalkan Bu-lim-bong ini, tapi di saat kalian telah meninggalkan Bu-lim-bong, saat itu juga aku akan mulai turun tangan membunuh setiap musuh besarku yang masih berkeliaran! Nah, apa yang kukatakan sudah selesai kuutarakan. Harap kalian mengikuti aku!"

   Selesai berkata, Thio Kim-ciok segera membalikkan badan dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dengan pedang terhunus, Liong Oh-im segera menghadang jalan perginya, sambil tertawa ia berseru.

   "Thio Kim-ciok, sesudah keluar Bu-lim-bong, kami pun tak punya kesempatan untuk melanjutkan hidup. Apa salahnya kita berduel saja di dalam Bu-lim-bong ini untuk menentukan siapa yang harus mampus di antara kita berdua?"

   "Pertarungan berdarah dalam Bu-lim-bong bisa menyebabkan semua yang hadir tewas,"

   Kata Thio Kim-ciok dingin.

   "tapi bila hal ini terjadi di luar Bu-lim-bong, maka keadaannya berbeda. Sekalipun akhirnya kalian akan mampus juga di tanganku, tapi paling tidak kalian masih dapat hidup lebih lama lagi."

   Tan Sam-cing tertawa dingin, serunya.

   "Thio Kim-ciok, bacotmu itu benar-benar kelewat besar dan takabur. Setelah keluar dari Bu-lim-bong nanti, Tan Sam-cing orang pertama yang akan mencoba ilmu silatmu."

   "Baik!"

   Sahut Thio Kim-ciok sambil manggut-manggut.

   "sesudah meninggalkan Bu-lim-bong nanti, orang pertama yang akan kubunuh adalah kau."

   Ketika berbicara sampai di situ, Thio Kim-ciok sudah lewat di samping Liong Oh-im dan berjalan menuju ke sebuah lorong bawah tanah.

   Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, para jago mengikut di belakang Thio Kim-ciok memasuki lorong itu, makin ke dalam luas lorong itu bertambah lebar.

   Tapi suasana di situ pun makin lama semakin gelap sehingga akhirnya untuk melihat jari tangan sendiri pun susah.

   Bong Thian-gak bersama Thay-kun dan Song Leng-hui mengikut di belakang Thio Kim-ciok.

   Di saat mereka melewati lorong bawah tanah yang gelap gulita itu, suasana amat hening dan tak seorang pun yang berbicara, tapi perasaan setiap orang berat sekali, berbagai ingatan berkecamuk dalam benak mereka.

   Terutama mereka yang berjalan paling belakang seperti Ho Lan-hiang, malaikat sakti pedang iblis, tabib sakti, delapan pedang salju beterbangan serta sastrawan berwajah tampan.

   Masing-masing dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara saling merundingkan tindakan selanjutnya yang harus dilakukan setelah meninggalkan Bu-lim-bong, bagaimana caranya membinasakan Thio Kim-ciok dari muka bumi.

   Mendadak terdengar Bong Thian-gak menghela napas panjang, kemudian bertanya.

   "Thio-locianpwe, benarkah kau harus membunuh mereka semua?" "Dendam sakit hati sedalam lautan cuma dapat dihapus dengan pembunuhan terhadap musuh-musuhnya,"

   Sahut Thio Kim-ciok hambar.

   "Apalagi sejak puluhan tahun berselang, aku punya rencana untuk menghabisi nyawa kesepuluh tokoh persilatan itu."

   Bong Thian-gak terkejut sekali, segera tanyanya.

   "Thiolocianpwe, apa maksudmu?"

   "Puluhan tahun berselang, di saat aku mengangkat kesepuluh tokoh persilatan menjadi guru untuk belajar silat, dalam hati kecilku sudah tumbuh niat dan ambisi untuk menguasai dunia persilatan."

   Ketika mendengar sampai di situ, Bong Thian-gak seolaholah teringat akan suatu persoalan, segera ujarnya.

   "Kalau begitu tindakan sepuluh tokoh persilatan membinasakan Locianpwe pada tiga puluh tiga tahun berselang adalah disebabkan.."

   Mendadak Bong Thian-gak menutup mulut dan tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi sambil tertawa dingin Thio Kim-ciok telah berkata.

   "Sesungguhnya sebab-musabab sepuluh tokoh persilatan bekerja sama membunuh diriku, selain dikarenakan mereka berzinah dengan istriku Ho Lan-hiang dan mengincar harta karun milikku. Tujuan utama ialah kuatir bila aku mengkhianati mereka sebagai guru serta menguasai seluruh dunia. Itulah sebabnya mereka turun tangan lebih dahulu."

   "Ku-lo Hwesio mempunyai pengetahuan yang paling luas di antara rekan-rekannya. Di saat ia mewariskan ilmu silat kepadaku dulu, rupanya ia berhasil menemukan tulang pemberontak yang tumbuh di atas kepalaku, merupakan pertanda bahwa di kemudian hari aku akan mengkhianati perguruan serta menciptakan bencana serta keonaran di seluruh dunia." "Apakah Thio-locianpwe benar-benar mempunyai niat semacam itu?"

   Tanya Bong Thian-gak lagi dengan perasaan kaget.

   "Benar, di atas kepalaku memang tumbuh tulang pemberontak. Waktu itu aku memang berniat jahat serta bertabiat kejam, buas dan licik,"

   Jawab Thio Kim-ciok sambil tertawa seram. Ketika mendengar sampai di sini, tanpa terasa Bong Thiangak bergidik, katanya kemudian.

   "Apakah sampai kini tabiat Thio-locianpwe itu belum juga berubah?"

   Thio Kim-ciok tertawa dingin.

   "Merubah bukit dan alam itu mudah, tapi merubah watak sulit."

   Setelah memperdengarkan suara tawa dinginnya yang licik, keji dan buas, dia berkata lebih jauh.

   "Sepanjang hidupku, aku paling kagum terhadap seorang saja yaitu Thay-kun. Sekilas pandang saja ia sudah dapat mengetahui bahwa aku adalah seorang raja pembunuh yang keji, buas dan licik. Tapi akhirnya Thay-kun mengizinkan juga Song Leng-hui menyembuhkan penyakitku agar Lohu dapat memiliki kembali kekuatan yang kumiliki dulu. Tapi dengan perbuatan Thay-kun itu, sama artinya telah menyelamatkan jiwa kalian semua. Sebab menuruti tabiatku, kalian pun jangan harap bisa lolos dari cengkeraman mautku."

   Tak terlukiskan rasa kaget dan ngeri Bong Thian-gak mendengar itu, mimpi pun dia tak menyangka Thio Kim-ciok sesungguhnya memang seorang jahat, buas, kejam dan licik bagai seekor ular berbisa.

   Tapi dari beberapa patah kata Thio Kim-ciok itu pula dia dapat merasakan juga bahwa badai pembunuhan berdarah sudah mengancam ketenangan dunia persilatan.

   Perasaan Bong Thian-gak waktu itu sangat berat dan masgul.

   Sebetulnya ia sudah bertekad tak akan mencampuri pertikaian itu, tapi sekarang tentu saja ia tak bisa berpeluk tangan menyaksikan Thio Kim-ciok membunuh sesamanya secara keji dan tak berperasaan.

   Tapi antara dia dan Thio Kim-ciok pun tak pernah terjalin perselisihan atau sakit hati apa pun, bagaimana mungkin ia dapat turun tangan mencegah dirinya membalas dendam terhadap sepuluh tokoh persilatan serta Ho Lan-hiang.

   Padahal sesungguhnya Ho Lan-hiang sekalian bukanlah manusia baik-baik, bukankah mereka pun merupakan gembong-gembong iblis yang keji, buas, cabul serta banyak melakukan kejahatan? Sementara Bong Thian-gak masih pusing memikirkan masalah itu, mendadak terdengar Thio Kim-ciok berteriak.

   "Hek-mo-ong telah mulai menyulut sumbu mesiu, seperempat jam lagi seluruh permukaan bumi ini akan tenggelam. Ayo cepat kabur dari sini, siapa tahu dapat meloloskan diri dari musibah?"

   Rupanya pada saat itu semua orang dapat menangkap suara sumbu mesiu dibakar.

   Di samping itu, hidung mereka pun dapat mengendus bau mesiu yang amat menusuk.

   Entah bagaimanakah sistim bangunan dalam lorong Bu-limbong itu, nyatanya begitu sumbu mesiu disulut, dalam waktu singkat api telah menutup setiap sudut lorong.

   Paras muka para jago segera berubah hebat, mereka sudah tak berminat lagi memikirkan bagaimana cara menghadapi Thio Kim-ciok.

   Tampak Thio Kim-ciok meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi, sementara para jago lainnya mengikut di belakangnya secara membabi-buta.

   Lorong bawah tanah itu sangat gelap dan tak ada setitik cahaya pun, semua orang merasa telah menempuh suatu perjalanan yang amat jauh.

   Mendadak terdengar Thio Kim-ciok berseru keras dari ujung lorong bawah tanah itu.

   "Tempat ini merupakan daerah perkampungan, sekarang aku akan menyulut sumbu mesiu yang tersembunyi di sini untuk meledakkan dinding batu di atas sana."

   Sambil berkata, tampak cahaya api memancar dalam lorong, tahu-tahu Thio Kim-ciok telah menyulut sebuah sumbu hitam sebesar jari tangan yang tergantung di atas dinding ruangan.

   Dalam waktu singkat cahaya api memancar kemana-mana, sumbu yang disembunyikan di atas dinding lorong pun mulai terbakar.

   Di antara kawanan jago yang hadir di situ, ada di antaranya yang tidak percaya kepada Thio Kim-ciok, namun sewaktu ingin menghalangi perbuatannya itu, keadaan sudah terlambat.

   Sementara itu terdengar Thio Kim-ciok telah berkata kembali.

   "Untuk mencapai pusat bahan peledak di atas dinding batu itu, kita membutuhkan waktu tiga menit. Seandainya dinding batu itu meledak sebelum bahan peledak di dasar lorong itu meletus, berarti kita akan mampus terkubur di tempat ini"

   Biarpun para jago tidak percaya penuh terhadap perkataannya itu, namun di saat jiwa terancam di depan mata, tak urung setiap orang merasakan juga hatinya berdebar keras.

   Puluhan pasang mata bersama-sama ditujukan ke atas sumbu mesiu yang sedang terbakar dan merambat ke atas dengan cepatnya itu.

   Dengan harap-harap cemas mereka berdoa agar api segera mencapai puncak dan meledakkan dinding batu di atas permukaan tanah.

   Biarpun waktu tiga menit itu sangat pendek, namun dalam perasaan mereka waktu itu lamanya bagaikan tiga tahun.

   Pada saat itulah terdengar Thio Kim-ciok berkata lagi.

   "Tindakan Hek-mo-ong menyulut sumbu mesiu di dasar lorong rupanya telah memperpanjang umur kalian semua."

   "Thio-locianpwe, apa maksudmu?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan tidak mengerti.

   "Kini sumbu mesiu di dasar lorong Bu-lim-bong telah menyala setiap saat bakal meledak hebat. Kekuatan yang tercipta akibat ledakan itu bisa menenggelamkan lorong ini dan kehebatan goncangan yang dihasilkan tak akan mampu dilawan oleh siapa pun. Oleh sebab itu, di saat dinding batu itu meledak nanti, bila kalian masih menginginkan nyawa, berlarilah sekuat tenaga melampaui lorong ini. Kalau tidak, kalian jangan harap bisa lolos dari ancaman maut."

   "Tapi dengan begitu berarti juga aku sudah tak punya kesempatan untuk membantai kalian semua. Bukankah ini berarti Hek-mo-ong telah memperpanjang nyawa kalian?"

   "Tapi setelah aku berhasil mencapai di atas, aku bakal balik kemari mencari kalian satu per satu serta membalas dendam."

   Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak terdengar suara ledakan yang dahsyat.

   Seluruh permukaan lorong bergoncang keras, disusul guguran batu dan tanah berhamburan di hadapan mereka, ternyata dinding di atas permukaan telah hancur berantakan dan sinar fajar memancar masuk ke dalam lorong itu.

   Di antara pasir dan debu yang beterbangan, Thio Kim-ciok sudah melompat keluar lebih dulu, kabur secepat-cepatnya menuju ke muka, sambil berlari kencang pekiknya.

   "Cepat kabur!"

   Semua jago yang berada dalam lorong bawah tanah segera berhamburan keluar dari liang ledakan yang merekah dan berusaha secepat-cepatnya melarikan diri dari tempat itu.

   Akibat saling berebutnya para jago menyelamatkan diri, akhirnya Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui malah ketinggalan paling akhir.

   Angin dingin berhembus, kabut amat tebal, rupanya kentongan kelima baru saja lewat, fajar pun mulai menyingsing dari ufuk timur.

   Bong Thian-gak serta Thay-kun dan Song Leng-hui berdiri sekejap di tepi liang, mereka saksikan bayangan orang sedang melarikan diri ke empat penjuru dengan kecepatan luar biasa dan lenyap di balik kabut pagi yang tebal.

   Bong Thian-gak berpaling ke sebelah barat.

   Di sana ternyata ada perkampungan.

   Menyaksikan itu, mereka menjadi tertegun.

   Apa yang baru saja dialaminya, serasa bagaikan dalam alam impian.

   Terdengar Thay-kun berseru cemas.

   "Bong-suheng, kemungkinan besar apa yang dikatakan Thio Kim-ciok itu benar, mari kita pergi secepatnya dari sini!"

   Dia segera menarik tangan Bong Thian-gak serta Song Leng-hui, diajak kabur menjauhi ke arah timur. Dengan ragu-ragu Bong Thian-gak berkata.

   "Thio Kim-ciok adalah manusia licik dan banyak akal muslihatnya, semua perkataan maupun tindak-tanduknya sungguh membuat orang sukar untuk percaya."

   "Aku sendiri tidak percaya,"

   Sambung Song Leng-hui.

   "Andaikata apa yang dikatakan memang benar, ingin sekali kusaksikan peristiwa tenggelamnya lorong yang dimaksud."

   "Jika ingin melihat, paling tidak kita harus lari lebih dulu sebelum berhenti untuk menonton!"

   Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki ketiga orang ini memang amat sempurna, mereka meluncur cepat meninggalkan tempat itu.

   Pada saat itulah mendadak suatu ledakan dahsyat bergema memecah keheningan.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menyusul ledakan yang maha dahsyat ini, tampak jilatan lidah api membumbung tinggi ke tengah udara.

   Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui bertiga segera merasakan permukaan tanah bergoncang sangat keras bagaikan dilanda gempa bumi berkekuatan besar, kepala mereka jadi pusing, pandangan berkunang-kunang dan sepasang kaki mereka tak mampu lagi berdiri tegak di atas permukaan tanah.

   Menyaksikan itu, Thay-kun berseru dengan cemas.

   "Permukaan tanah akan tenggelam, kita harus segera melompat ke depan."

   Bong Thian-gak tidak menyangka peristiwa yang dianggap bagaikan dalam impian itu bakal berubah menjadi kenyataan, dalam terkejutnya mereka bertiga segera mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk berlari ke muka.

   Serentetan ledakan yang sangat dahsyat kembali bergema susul-menyusul.

   Bong Thian-gak telah melihat permukaan tanah di hadapannya merekah dan tenggelam akibat ledakan dahsyat itu.

   Cepat mereka bertiga menjejakkan kaki ke atas permukaan tanah yang belum tenggelam, lalu dengan sekuat tenaga melompat ke muka dan berlari kencang.

   Di saat ujung kaki mereka menjejak tanah untuk kedua kalinya, suatu kekuatan dahsyat telah menggelegar.

   Seluruh permukaan bumi bagaikan bergoncang keras, ketiga orang itu tak mampu berdiri tegak lagi dan segera terlempar ke atas tanah.

   Bumi bergoncang hebat membuat Bong Thian-gak, Thaykun serta Song Leng-hui merasakan kepala pusing, mata berkunang-kunang dan tak sanggup berdiri tegak.

   Terpaksa mereka harus merangkak di atas tanah, merangkak dengan sekuat tenaga menuju ke depan dan melawan goncangan tanah yang makin menghebat.

   Diam-diam Bong Thian-gak berpikir dalam hati.

   "Habis sudah riwayatku! Kami bertiga pasti akan terkubur untuk selamanya di sini."

   Sementara itu Thay-kun menggenggam tangan Song Lenghui, mereka berdua segera berteriak.

   "Engkoh Gak, dimanakah kau?"

   Bong Thian-gak mendongakkan kepala, ia saksikan kedua orang gadis itu tak jauh dari sisi tubuhnya, namun berhubung permukaan tanah bergoncang terlalu hebat mengakibatkan pandangan mata menjadi kabur dan kedua orang gadis itu tak sempat menjumpai dirinya.

   "Aku berada di sini,"

   Sahut Bong Thian-gak dengan suara keras.

   Sambil berteriak Bong Thian-gak berusaha keras merangkak ke depan dan menghampiri mereka, goncangan yang begitu dahsyat dan hebat membuatnya sama sekali tak mampu bergerak lagi.

   Pada saat itulah Thay-kun melihat Bong Thian-gak, sambil menangis teriaknya lagi.

   "Engkoh Gak, jika kita harus mati, biarlah kita bertiga dikubur bersama-sama. Kau cepatlah kemari!"

   Kedua gadis itu berusaha keras merangkak ke depan mendekati Bong Thian-gak.

   Tenaga goncangan yang makin menghebat itu membuat mereka tak sanggup lagi memberikan perlawanan.

   Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui merasakan tekanan udara yang menggencet tubuh mereka semakin bertambah berat.

   Mereka bertiga segera merasakan bernapas kian bertambah susah, kesadaran pun makin menurun.

   Rupanya pada saat itu permukaan tanah mulai tenggelam ke bawah.

   Tenggelamnya permukaan tanah menimbulkan pusaran angin yang sangat kuat membuat udara sekeliling situ membumbung ke atas, akibatnya udara sekeliling tempat itu menjadi kekurangan zat asam.

   Itulah sebabnya Bong Thiangak bertiga merasa sukar untuk bernapas.

   Kembali terjadi ledakan yang maha dahsyat, diikuti goncangan yang sangat kuat.

   Matahari serasa tidak bersinar lagi, dunia seolah-olah berubah menjadi gelap-gulita.

   Bong Thian-gak, Song Leng-hui serta Thay-kun tidak mampu bertahan diri lagi, mereka jatuh tak sadarkan diri.

   Peristiwa aneh dengan tenggelamnya permukaan tanah ke dalam perut bumi pun tak sempat lagi mereka saksikan.

   Tatkala mereka sadar dari pingsannya.

   Pertama-tama yang masih dirasakan adalah bumi yang masih bergoncang serta kepala pening dan mata berkunang-kunang.

   Bong Thian-gak yang pertama-tama membuka mata lebih dulu.

   Ia saksikan langit nan merah, cahaya matahari yang lembut di langit belah barat, rupanya senja telah menjelang datang.

   Suasana dan pemandangan di sekeliling tempat itu pun samakali telah berubah.

   Tempat dimana mereka berada sudah dipenuhi air lumpur.

   Dari balik liang besar yang menganga bagaikan telaga, nampak asap putih yang panas masih mengepulkan asap seperti peristiwa timbulnya kawah ini di pegunungan berapi.

   Menyusul Thay-kun dan Song Leng-hui sadar dari pingsannya, dua nona ini segera dibuat tertegun dan melongo oleh pemandangan aneh yang terbentang di depan mata, tanpa terasa mereka bergumam.

   "Nerakakah ini?"

   "Tidak, kita masih berada di alam semesta,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil menghela napas sedih.

   "Musibah telah berlalu dan ternyata kita masih hidup di dunia ini."

   Andaikata waktu itu mereka berlari kurang cepat, niscaya tubuh mereka bertiga sudah mati terkubur di dalam perut bumi.

   Rupanya setelah mengalami ledakan dahsyat yang berakibat tenggelamnya tanah dalam perut bumi ini, tanah padang rumput kini telah berubah menjadi sebuah kubangan.

   Bukan cuma itu, pada permukaan tanah terjadi pula retakan bumi yang sangat besar, yang kecil menjadi selokan, sedangkan yang besar berubah menjadi sungai.

   Malah semua pepohonan tumbang, sedang rerumputan menjadi layu.

   Betapa dahsyat serta mengerikannya peristiwa ledakan yang baru saja berlangsung itu.

   Thay-kun memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dengan paras muka berubah hebat katanya sambil menghela napas.

   "Entah berapa banyak obat peledak yang telah ditanam Thio Kim-ciok pada dasar Bu-lim-bong itu? Nyatanya ledakan yang terjadi bisa berakibat tenggelamnya permukaan tanah. Ai! Bila dilihat dari rekahan tanah dan hancurnya bebatuan di sini, bisa diduga dasar Bu-lim-bong tentu sudah berubah menjadi sebuah gunung berapi kecil."

   Matahari senja masih memercikkan sinar, membuat permukaan tanah nampak merah membara.

   Bagaikan baru terlepas dari peristiwa mengerikan, Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui bertiga pelan-pelan berjalan menuju ke arah timur dengan wajah kusut.

   Setelah mengalami peristiwa luar biasa ini, tampaknya perasaan mereka sudah dingin dan hambar.

   Persoalan apa pun yang terjadi di dunia persilatan sudah tak ada daya tarik lagi untuk mereka campuri.

   Dengan langkah yang lelah dan lemas, mereka keluar dari tempat itu mencari tempat terpencil untuk hidup mengasingkan diri.

   Mendadak terdengar suara pekikan nyaring yang amat keras berkumandang datang mengikuti hembusan angin.

   Dengan perasaan kaget dan terkesiap mereka bertiga segera mendongakkan kepala.

   Mereka saksikan ada seseorang sedang mengejar orang yang lain.

   Yang kabur sudah jelas pihak yang kalah, sambil berlari dia masih memberikan perlawanan gigih, namun rambutnya sudah terurai kusut.

   Meskipun pedang di tangannya berulang kali masih melancarkan serangan gencar dan mematikan, namun sudah jelas ia tidak mampu lagi menghadapi serangan maut pedang pendek lawan.

   Suatu ketika tampak cahaya pedang berkelebat, pedang pendek sang pengejar telah berhasil menghujam ke tubuh pihak yang kalah itu.

   Jeritan keras yang mengerikan pun bergema.

   Dengan langkah terhuyung-huyung orang yang menderita kekalahan itu melarikan diri terbirit-birit menuju ke hadapan Bong Thiangak bertiga.

   Orang yang kalah bertarung itu sudah melihat dengan jelas paras Bong Thian-gak bertiga, kulit wajahnya nampak mengejang keras menahan penderitaan luar biasa, sementara sorot matanya memancarkan sinar merengek yang amat mengibakan.

   Mendadak Thay-kun berseru tertahan.

   "Ah, rupanya Tan Sam-cing Locianpwe!"

   Biarpun orang yang kalah bertarung itu sudah berlepotan darah di seluruh wajahnya hingga kelihatan amat menakutkan, namun Bong Thian-gak bertiga masih dapat mengenali dirinya.

   Dia memang tak lain adalah Tan Sam-cing, seorang di antara sepuluh tokoh persilatan.

   Sang pemenang dengan garang dan gagahnya melompat turun di hadapan lawan.

   Kembali Bong Thian-gak bertiga berseru tertahan.

   "Ah, rupanya Thio Kim-ciok Locianpwe."

   Betul, Thio Kim-ciok. Waktu itu tangan kanannya menggenggam pedang pendek yang memancar sinar putih berkilauan, wajah kelihatan dingin, kaku, sadis, buas dan mengerikan. Dalam pada itu Tan Sam-cing telah berseru dengan nada merengek.

   "Jian-ciat-suseng, tolonglah aku, bantulah diriku"

   Bong Thian-gak menggeleng dengan hambar, sahutnya dengan wajah serius.

   "Kami sudah tak ingin terlibat dalam kasus bunuh-membunuh yang berlangsung di antara kalian."

   "Tapi dia bukan cuma ingin membunuh sepuluh tokoh persilatan saja, dia pun akan membantai setiap umat persilatan yang ada di dunia ini,"

   Jerit Tan Sam-cing dengan perasaan kaget bercampur ketakutan. Thio Kim-ciok segera tertawa menghina, jengeknya.

   "Tan Sam-cing, bukankah kau nampak gagah dan perkasa selagi berada di dalam Bu-lim-bong tadi? Sungguh tak kusangka kau berubah menjadi begini lemah. Kasihan ... oh benar-benar mengenaskan. Siapa orangnya di dunia ini yang tidak merasa takut menghadapi kematian? Dan siapa pula yang bisa lolos dari maut? Aku rasa kau pun tak perlu menyesal lagi."

   Sampai di situ, pedang pendeknya yang sudah diangkat tinggi-tinggi itu pelan-pelan digerakkan ke bawah menusuk dada Tan Sam-cing.

   Tampaknya Tan Sam-cing sudah dalam keadaan tak mampu melakukan perlawanan lagi dan hanya bisa membelalakkan mata menyaksikan pedang pendek itu pelanpelan menusuk ke tubuhnya.

   Perasaan ngeri, seram, ketakutan serta berbagai perasaan lainnya serentak bermunculan dari balik matanya.

   Ia nampak begitu mengenaskan, patut dikasihani dan sangat menyedihkan.

   Mendadak Bong Thian-gak berteriak.

   "Tunggu sebentar, Thio-locianpwe."

   Namun Thio Kim-ciok sama sekali tidak menggubris, pedang pendek di tangannya juga tidak berhenti karena teriakan Bong Thian-gak itu.

   Dalam waktu singkat mata pedang yang putih dan dingin telah menembus badan Tan Sam-cing.

   Ketika pedang pendek itu dicabut kembali, mata pedang masih kelihatan putih bersih bagaikan salju, tapi cairan darah segar telah memancar dari mulut luka di dada Tan Sam-cing.

   Jeritan ngeri yang memilukan hati pun berkumandang memecah keheningan.

   Jeritan yang begitu mengerikan sekali lagi bergema di luar dugaan siapa pun.

   Bong Thian-gak segera mengernyitkan alis sambil diamdiam berpikir.

   "Apa seramnya suatu kematian? Hm, namanya saja seorang jago silat yang tercantum dalam deretan sepuluh tokoh persilatan, mengapa baru terkena sekali tusukan saja ia sudah menjerit-jerit macam begitu? Sungguh tak tahu malu."

   Agaknya Thay-kun serta Song Leng-hui mempunyai perasaan yang sama.

   Dalam pada itu agaknya Thio Cim-ciok tak rela membiarkan Tan Sam-ceng menemui ajalnya dalam waktu singkat.

   Oleh sebab itu, tusukan pedangnya sama sekali tidak tertuju ke bagian mematikan.

   Jerit kesakitan Tan Sam-cing itu bagi pendengaran Thio Kim-ciok justru mendatangkan perasaan gembira yang luar biasa, ia segera tertawa terbahak-bahak dengan penuh kegembiraan.

   Dengan nada seram dan ketakutan kembali Tan Sam-cing berseru.

   "Thio Kim-ciok, kumohon kepadamu cepatlah cabut nyawaku, janganlah kau siksa diriku lagi!"

   Thio Kim-ciok mendengus dingin.

   "Hm, tiga puluh tiga tahun berselang, racun Hok-teng-ang telah cukup membuatku tersiksa dan menderita. Siksaan yang kurasakan waktu itu benar-benar tak dapat diutarakan dengan perkataan, sekarang aku tak lebih cuma menusuk tubuhmu dengan sebilah pedang pendek, apakah siksaan dan penderitaan yang kau rasakan jauh lebih hebat daripada siksaan Hok-teng-ang?"

   "Pedangmu itu sudah kau rendam dengan racun keji,"

   Teriak Tan Sam-cing dengan ketakutan.

   "ketika menusuk ke dalam tubuh, rasa sakitnya bukan kepalang. Kau ... kau sangat keji, buas, tidak berperikemanusiaan. Kumohon ... kumohon padamu, cepatlah hadiahkan sebuah pukulan lagi untuk menghabisi nyawaku secepatnya!"

   Tatkala Bong Thian-gak bertiga mendengar perkataan Tan Sam-cing ini, paras mukanya berubah hebat.

   "Thio-locianpwe, benarkah di atas pedangmu sudah kau olesi dengan racun?"

   Thay-kun segera menegur dengan suara ngeri. Thio Kim-ciok tertawa terbahak-bahak penuh rasa bangga, katanya.

   "Betul, pedangku ini merupakan sebilah pedang manusia cacat yang kuciptakan selama puluhan tahun dan direndam dalam sari racun selama banyak tahun. Bukan saja pedang ini mengandung seratus jenis racun yang keji, mata pedangnya amat tajam, bila tertusuk ke dalam tubuh manusia yang berdarah panas akan menimbulkan penderitaan dan siksaan yang tak terlukiskan."

   Baru sekarang Bong Thian-gak bertiga mengerti apa sebabnya Tan Sam-cing, jago tua yang gagah dan perkasa ternyata memperdengarkan suara jeritan kesakitan yang begitu memilukan walau hanya termakan sebuah tusukan saja.

   Dari sini dapatlah disimpulkan betapa kejam, buas dan jahatnya Thio Kim-ciok.

   Bila dia ingin membalas dendam, seharusnya sekali tusukan saja musuhnya dapat tertusuk mati, tapi dia tidak ingin berbuat demikian, dia hendak menyiksa lawannya secara keji dan buas, agar lawannya mati setelah menderita siksaan luar biasa.

   Berubah paras muka Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, ujarnya kemudian setelah menghela napas sedih.

   "Thiolocianpwe, buat apa kau menyiksa orang dengan cara begitu keji dan buas? Kumohon kepadamu, berilah sebuah kematian yang cepat untuk Tan Sam-cing!"

   Thio Kim-ciok tertawa seram.

   "Andai aku harus membunuh dalam sebuah tusukan, lebih baik aku tak usah membunuhnya. Hm! Kematian adalah suatu peristiwa yang amat sederhana, asal mata sudah terpejam maka segala sesuatunya tak diketahui lagi. Itulah sebabnya aku akan membuat musuh-musuh besarku merasakan siksaan dan penderitaan yang paling keji di kolong langit sebelum membiarkan dia mampus." "Bong-laute, sekali lagi kuperingatkan kepadamu, jangan sekali-kali mencampuri urusan pribadiku atau aku pun akan menggunakan cara yang sama kejinya untuk membinasakan kalian."

   Seusai berkata, kembali Thio Kim-ciok menggunakan pedangnya menusuk lambung Tan Sam-cing.

   Penderitaan serta siksaan yang dialami Tan Sam-cing saat ini benar-benar tak terlukiskan dengan kata-kata.

   Tubuhnya seperti ditusuk-tusuk jarum tajam, kulit dagingnya serasa disayat pisau, penderitaannya seratus kali lipat lebih hebat daripada siksaan macam apa pun.

   Pedang manusia cacat mendatangkan siksaan dan penderitaan yang mengerikan.

   Mungkin hanya mereka yang pernah merasakan tusukan itu yang dapat melukiskan.

   Kembali Tan Sam-cing memperdengarkan jerit kesakitan yang memilukan, jeritannya seperti babi disembelih, mendatangkan perasaan ngeri dan seram bagi siapa saja yang mendengar.

   Tan Sam-cing tak sanggup menahan diri lagi, dia segera mengayun telapak tangannya siap menghabisi nyawa sendiri.

   Tapi pedang pendek Thio Kim-ciok segera diayunkan ke depan dan telapak tangannya pun terpapas kutung menjadi dua.

   Ketika ia mencoba menggigit putus lidahnya untuk bunuh diri, jari telunjuk tangan kiri Thio Kim-ciok kembali menotok jalan darah di atas gerahamnya sehingga mulut itu tak dapat tertutup.

   Pokoknya dia harus merasakan siksaan keji lebih dulu sebelum mengakhiri perjalanan hidupnya.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akhirnya Tan Sam-cing menemui ajal.

   Di atas tubuhnya, seluruhnya terdapat empat puluh dua tusukan pedang.

   Sejak tusukan pertama pedang manusia cacat menembus tubuh Tan Sam-cing, dia harus merasakan siksaan dan penderitaan selama tiga jam sebelum akhirnya mati secara mengenaskan.

   Segala penderitaan dan siksaan tak bakal mempengaruhi dirinya lagi.

   Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui telah menyaksikan cara membunuh orang yang paling sadis, kejam dan buas yang pernah ada di dunia ini.

   Mereka tak mampu mencegah perbuatan keji Thio Kim-ciok dan hal ini telah mendatangkan perasaan menyesal yang amat mendalam bagi perasaan mereka.

   Suatu kejadian yang amat memalukan, karena sebagai seorang pendekar dari golongan lurus, mereka berpeluk tangan membiarkan orang lain menderita dan terpaksa mati secara keji dan sadis! Selesai membinasakan Tan Sam-cing, Thio Kim-ciok berkata.

   "Bong-laute, keteguhan imanmu sungguh mengagumkan, akhirnya kau tidak mencampuri urusanku serta mendatangkan kesulitan bagi dirimu sendiri. Aku merasa amat kagum."

   Dengan suara hambar Bong Thian-gak bertanya.

   "Agaknya Tan Sam-cing adalah korban pertama Thio-locianpwe setelah meninggalkan lorong bawah tanah Bu-lim-bong?"

   Thio Kim-ciok mendesis dingin.

   "Hitung-hitung Tan Samcing memang termasuk orang yang bernyali. Tatkala daratan itu sudah tenggelam, dia tidak berusaha melarikan diri dari sini, sebaliknya justru datang sendiri mencari aku. Itulah sebabnya dia menempati urutan pertama sebagai korbanku."

   "Siapa pula yang akan menjadi korbanmu yang kedua?"

   Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan nada serius. Thio Kim-ciok tertawa terbahak-bahak.

   "Mungkin orang itu adalah sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im!"

   Sementara itu Song Leng-hui telah berkata pula dengan air mata bercucuran.

   "Thio-locianpwe, kumohon padamu janganlah membunuh orang lagi, sebab setiap kali kau membunuh orang, sama artinya dengan aku yang telah membunuh orang itu."

   Thio Kim-ciok tertawa terbahak-bahak pula.

   "Benar, engkaulah yang telah menciptakan diriku menjadi seorang raja baru di dunia persilatan, kau mestinya merasa bangga kepada semua orang dan menjadi seorang sombong karena kemampuanmu. Nona Song, apa pula yang kau sedihkan?"

   "Raja pembunuh ... raja baru dunia persilatan? Apakah kau ingin menguasai seluruh jagat?"

   Tanya Thay-kun terkejut. Thio Kim-ciok tertawa tiada hentinya.

   "Yang menjadi ambisiku bukan menjadi seorang raja dalam Kangouw saja, tapi seorang kaisar kerajaan besar. Hahaha, tatkala aku sudah selesai menyiksa serta membunuh segenap musuh-musuhku, maka mata pedangku akan kutunjukkan kepada dinasti kerajaan ini. Aku akan mengumpulkan pasukan dan memberontak. Waktu itu aku tentu membutuhkan banyak sekali tenaga dukungan dan bantuan dari kaum muda yang pintar dan berbakat macam kalian. Andaikan kalian bertiga memiliki pula ambisi sebesar itu, silakan membantu usahaku ini, mari kita bekerja sama membangun satu kerajaan baru di negeri ini."

   Thay-kun, Bong Thian-gak serta Song Leng-hui menjadi tertegun dan berdiri terbelalak dengan mulut melongo.

   Saat itu Bong Thian-gak sekalian baru mengerti apa sebabnya Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si rela melakukan perbuatan terkutuk dengan berusaha membinasakan Thio Kim-ciok.

   Mengusir bangsa Tartar dan memulihkan kembali bangsa dan negara dari kaum penjajah memang merupakan tugas suci setiap insan yang merasa dirinya bangsa Han.

   Tapi dengan kekejaman, kebuasan serta kesadisan manusia macam Thio Kim-ciok ini, bukan saja tidak akan berhasil menciptakan pekerjaan besar demi kesejahteraan masyarakat, bahkan sebaliknya akan membawa setiap orang terjerumus ke dalam penderitaan dan siksaan yang tak terhingga.

   Bong Thian-gak bertiga bukan manusia bodoh yang mudah dipedaya begitu saja, sudah barang tentu mereka pun dapat melihat bahwa Thio Kim-ciok bukanlah juru selamat yang akan membawa rakyat bangsa Han menuju ke suatu kehidupan yang lebih cerah.

   Oleh karena itu bukan saja Bong Thian-gak bertiga tidak dapat membantu usaha Thio Kim-ciok, malahan sebaliknya perkataan dan ungkapan ambisi orang itu telah membangkitkan hawa membunuh dalam hati mereka.

   Ketiga muda-mudi itu tahu dalam kehidupan bermasyarakat yang cinta damai ini, jangan sekali-kali raja setan pembunuh manusia semacam ini dibiarkan hidup terus.

   Akan tetapi Bong Thian-gak sekalian pun sadar bahwa ilmu silat yang dimiliki Thio Kim-ciok sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, tak mungkin kekuatan mereka bertiga mampu melenyapkan dia pada saat ini.

   Thio Kim-ciok sendiri pun bukan seorang bodoh.

   Dari perubahan wajah serta cara bicara ketiga muda-mudi itu, dia mengerti bahwa Bong Thian-gak sekalian tak bakal membantu ambisinya itu.

   Maka sesudah tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Biarpun aku termasuk orang yang keji, tapi dalam kehidupan seharihari aku dapat membedakan mana budi dan dendam. Asalkan Bong-laute sekalian tidak berniat mencampuri urusan dunia persilatan lagi, maka aku pun tak akan mengusik kalian, lebih baik kalian bertiga hidup mengasingkan diri di tempat terpencil dan tak usah mengurusi masalah lain. Tapi ingat, satu kali kalian berniat mencampuri urusan dunia persilatan, maka aku pun tak akan diam. Nah, sampai ketemu lagi di lain waktu."

   Begitu selesai berkata, Thio Kim-ciok segera melejit ke tengah udara dan beberapa kali loncatan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

   Senja makin redup, angin dingin berhembus kencang, suasana di jagat raya ini terasa seram dan mengerikan.

   Memandang mayat Tan Sam-cing yang terkapar di atas tanah dalam keadaan mengerikan itu, Bong Thian-gak menghela napas sedih seraya berkata.

   "Thay-kun, kita harus berusaha keras mencegah perbuatan Thio Kim-ciok melakukan pembunuhan lebih lanjut."

   "Masih untung kita tidak berusaha menghalangi perbuatannya hari ini. Kalau tidak, mungkin kita pun tak akan lolos dari musibah ini,"

   Sahut Thay-kun hambar. Kembali Bong Thian-gak menghela napas.

   "Tapi apakah kita harus membiarkan seorang raja iblis pembunuh manusia membantai orang dengan semena-mena?"

   "Perbuatan Thio Kim-ciok yang mencari balas terhadap sepuluh tokoh persilatan bukanlah suatu perbuatan berdosa."

   "Thio Kim-ciok mempunyai tulang pemberontak di kepalanya, ambisi yang terkandung dalam dadanya sudah bukan melulu menguasai dunia persilatan. Dengan kepandaian silat yang dimilikinya serta didukung oleh kekayaannya yang berlimpah-ruah, dia benar-benar bisa mengumpulkan tentara untuk memberontak serta membuat keonaran dimana-mana, dia akan menciptakan suatu badai pembunuhan yang mengerikan di negeri ini."

   "Ya, siapa pun di dunia ini memang tak akan kenal puas,"

   Ucap Thay-kun sambil manggut-manggut.

   "Bisa jadi Thio Kim ciok akan mewujudkan ambisinya mengumpulkan pasukan serta melakukan pemberontakan."

   "Tapi bila kita bertiga ingin mencampuri urusan ini, kemungkinan besar kita pun akan tewas secara mengerikan di ujung pedang iblis Thio Kim-ciok."

   "Apabila kita bisa bekerja sama dengan Tio Tian-seng sekalian, aku pikir kita masih mampu melawan Thio Kim-ciok,"

   Kata Bong Thian-gak dengan suara dalam. Thay-kun segera tersenyum.

   "Bila ingin menandingi Thio Kim-ciok, kita butuh bantuan dari orang-orang berkepandaian silat macam Tio Tian-seng sebanyak enam-tujuh orang. Dengan himpunan kekuatan sebesar ini, Thio Kim-ciok baru bisa ditanggulangi."

   "Sekarang dengan kekuatan kita bertiga, ditambah Tio Tian-seng atau sastrawan berwajah tampan, berarti kita masih kekurangan tenaga satu dua orang lagi. Apakah kita pun harus bekerja sama dengan Ho Lan-hiang?"

   "Kebusukan dan kesesatan Ho Lan-hiang rasanya tidak kalah dengan kejahatan Thio Kim-ciok,"

   Kata Bong Thian-gak dingin.

   "Benar,"

   Sambil tersenyum Thay-kun manggut-manggut.

   "Bukan hanya Thio Kim-ciok seorang dalam persilatan ini yang bisa mendatangkan bencana dan kemusnahan bagi umat persilatan. Itulah sebabnya kita wajib memberi kesempatan kepada Thio Kim-ciok untuk membantai habis manusiamanusia seperti Hek-mo-ong dan Ho Lan-hiang sekalian."

   "Tetapi orang kedua yang akan dibunuh Thio Kim-ciok adalah Liong Oh-im bukan Hek-mo-ong atau Ho Lan-hiang seperti yang kau maksudkan."

   "Di sinilah kecerdikan serta perhitungan Thio Kim-ciok yang hebat, dia memang sengaja menjadikan sastrawan berwajah tampan menjadi korbannya yang kedua, karena dia kuatir Liong Oh-im akan bekerja sama dengan orang lain."

   "Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?"

   Thay-kun termenung sebentar, kemudian katanya.

   "Gaksuheng, menurut pendapatku, lebih baik kita mengundurkan diri saja dari keramaian dunia persilatan."

   Lalu ia memandang sekejap ke arah Song Leng-hui, terusnya lebih jauh.

   "Kini adik Hui sudah berbadan dua. Andaikata Suheng mengalami sesuatu yang tak diinginkan, bagaimana pula dengan nasib adik Hui?"

   Bong Thian-gak terperanjat sekali, tapi sebelum ia sempat berkata, terdengar Song Leng-hui berkata pula.

   "Enci Thaykun, setiap kali Thio Kim-ciok membinasakan satu orang, sama artinya dengan akulah yang melakukan pembunuhan itu. Bagaimana pun juga aku harus membuat Thio Kim-ciok mati atau paling tidak tubuhnya cacat."

   "Aku harus berbuat demikian, sebab dengan begitu hati nurani baru merasa tenteram."

   "Ucapan adik Hui memang benar,"

   Sambung Bong Thiangak pula.

   "Biarpun tubuh kita hancur-lebur, kita mesti berupaya membinasakan Thio Kim-ciok."

   Mendengar perkataan itu, Thay-kun segera menghela napas panjang.

   "Ai, kalau begitu mari kita cepat pergi dari sini!"

   "Kita harus pergi kemana?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan wajah tertegun.

   "Pergi mencari Tio Tian-seng."

   "Tapi kemanakah kita harus mencarinya?"

   "Dunia begini luas, tentu saja harus mencarinya ke empat penjuru!"

   Saat ini Bong Thian-gak sendiri tak tahu dimana Tio Tianseng berada.

   Oleh sebab itu mereka mengambil jalan menuju ke timur.

   Tiga-empat hari sudah lewat, perjalanan cepat ditempuh tiada hentinya, penyelidikan dilakukan di sana-sini, akan tetapi Bong Thian-gak sekalian belum berhasil juga menemukan je|ak Tio Tian-seng sekalian.

   Orang-orang itu bagaikan batu yang tenggelam di tengah samudra, hilang lenyap begitu saja.

   Hari ini Bong Thian-gak mengajak kedua nona Itu menginap di sebuah rumah penginapan.

   Sambil bermuram-durja Bong Thian-gak duduk termenung di bawah lampu.

   Tiba-tiba Thay-kun dan Song Leng-hui muncul dalam ruangan, Bong Thian-gak segera berpaling dan memandang sekejap, ujarnya sambil menghela napas.

   "Satu hari kembali sudah lewat!"

   "Suheng,"

   Tiba-tiba Thay-kun berkata dengan penuh rahasia.

   "bila dugaanku tidak keliru, tengah malam nanti kita akan mendapat kabar."

   "Sumoay, kalau begitu kalian tidurlah cepat,"

   Seru Bong Thian-gak sambil menghembuskan napas panjang.

   "Engkoh Gak,"

   Kata Song Leng-hui pula dengan suara lembut.

   "tengah hari tadi enci Thay-kun telah menemukan tanda-tanda yang mencurigakan, agaknya gerak-gerik kita sudah diikuti orang selama dua hari lebih."

   Bong Thian-gak kelihatan terperanjat sekali, serunya kaget.

   "Ada orang menguntit kita? Mengapa aku tidak merasa sama sekail?"

   "Tampaknya orang yang mengikuti kita punya gerak gerlk yang lihai dan luar biasa,"

   Thay-kun menerangkan.

   "Padahal aku sendiri pun hanya berhasil menemukan tanda-tanda rahasia yang ditinggalkan olehnya setiap kali dia menguntit kita sampai di suatu tempat, sementara bayangan tubuhnya sendiri tidak kutemukan sama sekali."

   Ketika mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera berseru.

   "Thay-kun, apakah tanda yang kau maksudkan itu adalah kupu-kupu warna putih?"

   "Benar, memang kupu-kupu putih. Masih ingatkah Suheng bahwa di setiap sudut dinding rumah penginapan yang kita tempati ini selalu terdapat lukisan kupu-kupu yang dibuat dengan kapur?"

   "Tapi siapakah yang menggunakan lambang kupu-kupu putih?"

   Seru Bong Thian-gak. Dengan cepat Thay-kun menggeleng kepala, katanya.

   "Siapakah si kupu-kupu putih itu sampai sekarang belum kuketahui, tapi aku percaya si kupu-kupu putih ini pastilah orang yang dikirim oleh salah satu di antara sepuluh tokoh persilatan untuk menghubungi kita."

   "Darimana Sumoay bisa berkata seyakin ini?"

   Seru Bong Thian-gak dengan kening berkerut.

   "Sebab selama beberapa hari terakhir ini, kita selalu berusaha mencari berita Tio Tian-seng, Gi Jian-cau serta Liong Oh-im sekalian. Bisa jadi berita ini pun sudah terdengar oleh Tio Tian-seng sekalian, karena mereka ingin membuktikan apakah berita itu benar atau tidak, maka dikirimnya seseorang untuk menguntit kita."

   Bong Thian.gak menggeleng, katanya.

   "Sumoay, perkataanmu makin membingungkan. Kalau Tio Tian-seng sekalian sudah tahu kita sedang mencari jejaknya, mengapa mereka tidak secara langsung menampakkan diri serta bertemu dengan kita?"

   "Karena Tio Tian-seng sekalian tetap kuatir kita menjadi antek Thio Kim-ciok."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak baru mengerti, segera serunya.

   "Ya benar, Tio Tian-seng sekalian pasti akan mencurigai hal ini."

   Dengan wajah murung dan masgul, Thay-kun segera berkata lebih jauh.

   "Dan aku yakin pada saat ini pun Thio Kimciok berusaha keras menemukan Tio Tian-seng sekalian."

   Bong Thian-gak menjadi terkejut, serunya kemudian.

   "Andaikata Thio Kim-ciok menguntit di belakang kita, bukankah urusan akan bertambah runyam?"

   "Ya, benar, andaikata hal ini sampai terjadi, maka kita telah menjadi pembantu Thio Kim-ciok."

   "Ai, semoga saja persoalan ini tidak sampai berkembang menjadi semacam itu."

   Thay-kun segera memandang sekejap keadaan cuaca di luar jendela, kemudian katanya lagi.

   "Kentongan ketiga sudah hampir tiba, aku rasa si kupu-kupu putih segera akan menampakkan diri untuk berhubungan dengan kita."

   "Benarkah si kupu-kupu putih akan muncul?"

   "Bagi umat persilatan yang seringkah melakukan perjalanan, berlaku suatu peraturan di antara mereka, yaitu bila dia sedang menguntit seseorang untuk menyelidiki apakah dia teman sealiran, maka orang itu pasti akan melakukan pengintaian selama tiga hari tiga malam sebelum menampakkan dirinya dan seandainya orang itu adalah musuh yang dicari, setelah penguntitan itu dia baru akan turun tangan."

   Baru saja Thay-kun bicara sampai di situ, mendadak dari luar ruangan bergema suara langkah kaki manusia, disusul seseorang mengetuk pintu sambil menyapa.

   "Bong-siangkong, apakah kau sudah tidur?"

   "Siapa?"

   Tegur Bong Thian-gak sesudah tertegun sejenak.

   "Pelayan,"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut orang yang berada di luar. Sebelum Bong Thian-gak sempat menjawab, Thay-kun telah berseru dengan cepat.

   "Ada urusan apa? Cepat masuk."

   Pintu itu memang tak dikunci, maka sesosok bayangan orang segera bekelebat masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang lelaki berdandan pelayan.

   Bong Thian-gak sekalian sebagai jago lihai memiliki ketajaman mata luar biasa, di saat lelaki itu menyelinap masuk ke dalam tadi, mereka sudah dapat melihat bahwa orang ini bukan seorang pelayan yang sebenarnya.

   Dia seorang lelaki kekar yang amat cekatan sekali, begitu masuk ke dalam ruangan, sambil menjura segera katanya.

   "Harap Bong-siangkong sudi memaafkan, hamba bernama Tan Long."

   "Tan-heng, ada urusan apa kau datang berkunjung di tengah malam buta begini?"

   Pelan-pelan Bong Thian-gak bertanya. Dengan sorot matanya yang tajam, Tan Long memandang sekejap ke arah Thay-kun serta Song Leng-hui, kemudian sahutnya.

   "Kalau tak ada urusan penting tentu tidak akan berkunjung ke kuil Sam-po-tian. Aku mendapat titipan dari seseorang untuk mengundang kalian bertiga menjumpainya."

   "Tolong tanya, Tan-cuangsu dapat titipan dari siapa?"

   Tanya Thay-kun sambil tersenyum.

   Menurut perkiraan Bong Thian-gak bertiga semula, Tan Long bukan lain adalah orang yang meninggalkan tanda kupukupu di atas dinding ruangan.

   Tapi sekarang tampaknya di belakang layar masih terdapat seorang yang lain.

   Lalu siapakah manusia yang bernama kupu-kupu putih itu? Ada urusan apa si kupu-kupu putih mencarinya? Sambil tertawa Thay-kun berkata.

   "Dapatkah Tan-cuangsu mempersilakan si kupu-kupu putih yang datang kemari?"

   Pada wajah Tan Long segera muncul perasaan serba susah, sahutnya.

   "Berhubung gerak-gerik si kupu-kupu putih kurang leluasa, maka tolong kalian bertiga saja yang datang ke sana."

   "Apakah kita akan berangkat sekarang juga?"

   Tanya Thaykun.

   "Ya, lebih cepat memang lebih baik."

   "Kalau memang begitu, harap Tan-cuangsu segera mengajak kita ke sana!"

   Bong Thian-gak, Thay-kun serta Song Leng-hui segera mengikuti lelaki yang mengaku bernama Tan Long ini meninggalkan rumah penginapan, mereka berempat menuju keluar kota dan menempuh perjalanan cepat selama lebih kurang setengah jam.

   Tiba-tiba Tan Long menghentikan langkah.

   Dengan heran Bong Thian-gak bertanya.

   "Sudah sampaikah, Tan-heng?"

   Dengan cekatan Thay-kun melayangkan pandangannya sekejap memperhatikan sekeliling tempat itu.

   Rupanya tempat itu merupakan tanah hutan yang sepi dan penuh semakbelukar liar, tak nampak setitik cahaya lentera pun.

   Dia mengernyitkan alis sambil berpaling memperhatikan wajah Tan Long dengan seksama.

   Sementara itu Tan Long memperlihatkan rasa kaget bercampur heran, lalu bisiknya.

   "Aduh celaka, kita telah dikejar orang."

   "Darimana kau bisa tahu?"

   Tanya Bong Thian-gak setelah tertegun sejenak.

   Rupanya sejak mereka meninggalkan rumah penginapan hingga kini, Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak merasakan kalau ada orang yang sedang menguntit jejak mereka.

   Dengan suara dalam Tan Long berkata.

   "Benar, kita telah dikejar dan diawasi, si penguntit mempunyai gerak-gerik yang amat rahasia dan secepat bayangan iblis. Tadi pihak lawan berhenti di balik kegelapan di tepi jalan sana, namun dalam sekejap mata bayangan itu sudah lenyap."

   "Tan-heng, mungkin syarafmu sudah terganggu,"

   Jengek Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.

   Seraya berkata, pemuda itu segera berjalan menuju ke arah pohon di hadapannya itu.

   Mendadak terdengar Bong Thian-gak menjerit kaget, secepat kilat tubuhnya menerjang ke arah tempat gelap itu.

   Thay-kun serta Song Leng-hui bergerak pula mengejaran dari belakang, seru mereka hampir bersamaan.

   "Apa yang telah ditemukan?"

   Tapi dengan cepat kedua nona itu sudah melihat di bawah pohon besar itu tergantung sesosok mayat.

   Mayat itu menyeramkan sekali, dia mati dengan mata melotot dan lidah melelet keluar, sangat mengerikan sekali tampangnya.

   Akan tetapi setelah menyaksikan raut wajah orang itu, Bong Thian-gak, Thay-kun dan Song Leng-hui segera menjerit kaget sambil mundur tiga langkah dengan perasaan ngeri.

   Yang membuat mereka kaget bukanlah tampang sang korban yang menyeramkan, melainkan wajah mayat itu.

   Dengan suara gemetar Bong Thian-gak segera berseru.

   "Sungguh tak nyana secepat ini Liong Oh-im menemui ajalnya."

   Biarpun berada dalam kegelapan, namun dengan ketajaman mata beberapa orang itu, mereka masih dapat melihat dengan jelas tampang sang korban.

   Memang tak salah, mayat yang mati digantung ini bukan lain adalah sastrawan berwajah tampan Liong Oh-im.

   Sebagaimana diketahui, Thio Kim-ciok pernah berkata bahwa orang yang akan menjadi korban kedua adalah Liong Oh-im dan satu hal yang mengerikan adalah Liong Oh-im memang menemui ajalnya dalam waktu singkat.

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, kini Liong Oh-im telah mati. Entah siapakah yang akan menjadi korban berikutnya dari pedang manusia cacat Thio Kim-ciok?"

   Mendadak terdengar Thay-kun berseru tertahan, lalu dengan langkah cepat berjalan mendekati mayat yang tergantung itu. Kemudian setelah diperiksa beberapa saat, dia berseru.

   "Liong Oh-im bukan tewas di tangan Thio Kim-ciok."

   "Lalu tewas di tangan siapa?"

   Tanya Bong Thian-gak tertegun. Dengan wajah serius Thay-kun berkata.

   "Rasa benci Thio Kim-ciok terhadap sepuluh tokoh persilatan boleh dibilang merasuk ke tulang sumsum. Dari sikap Thio Kim-ciok ketika membantai Tan Sam-cing sedemikian kejinya, bisa diduga Liong Oh-im tak akan mampus dengan tubuh utuh. Oleh sebab itu dapat disimpulkan kalau kematian Liong Oh-im bukan disebabkan pedang manusia cacat Thio Kim-ciok."

   Seperti memahami akan sesuatu, Bong Thian-gak segera berpikir.

   "Ya, benar juga! Dari luka yang menyebabkan kematian Liong Oh-im, dimana wajahnya hitam gelap dan tidak ditemukan luka luar yang mematikan, jelas kematiannya dikarenakan terjerat seutas kawat baja yang kuat pada lehernya. Tapi siapakah yang memiliki kemampuan sehebat ini sehingga dalam sekali gerakan saja berhasil menggantungnya sampai mati?"

   Thay-kun memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, setelah itu tanyanya.

   "Suheng, dapatkah kau ketahui apa yang menyebabkan kematiannya?"

   Bong Thian-gak menggeleng kepala.

   "Pada hakikatnya aku tak berani percaya kalau kematian Liong Oh-im disebabkan jeratan kawat baja di lehernya itu. Ilmu silat yang dimiliki Liong Oh-im sangat hebat dan dia bukan seorang jago silat biasa yang mudah dirobohkan begitu saja. Siapakah yang mempunyai kemampuan sehebat ini untuk menjerat lehernya serta menggantungnya sampai mati?"

   Thay-kun menggeleng pula, katanya.

   "Luka yang menyebabkan kematian Liong Oh-im bukan jeratan kawat baja pada lehernya itu, tetapi karena serangan sejenis racun yang amat dahsyat daya kerjanya, dia mati karena keracunan. Liong Oh-im baru digantung setelah dia putus nyawa."

   Bong Thian-gak nampak ragu-ragu, kemudian dia maju mendekat dan bermaksud membopong jenazah itu serta memeriksanya dengar lebih seksama. Mendadak ia mendengar Thay-kun berseru dari belakang tubuhnya.

   "Suheng, jangan kau sentuh mayat itu."

   Dengan terkesiap Bong Thian-gak segera menarik tangannya, lalu bertanya.

   "Mengapa?"

   "Seluruh tubuh Liong Oh-im telah ternoda oleh racun yang maha keji, bila kita menyentuh tubuhnya dengan tangan atau menyentuh salah satu bagian pakaian yang dikenakan, niscaya kita pun akan keracunan juga."

   Bong Thian-gak mengamati wajah Thay-kun lekat-lekat, lalu tanyanya.

   "Apakah kita biarkan mayat itu diterjang air hujan dan dikeringkan panasnya matahari?" "Kita kan bisa memutus kawat penggantung itu dengan pedang, lalu mengubur jenazahnya tanpa menyentuh badan atau pakaiannya."

   Mendadak Bong Thian-gak berpaling, lalu berseru tertahan.

   "Mana Tan Long?"

   Ternyata Tan Long yang semula berdiri di belakang mereka kini sudah lenyap, entah sejak kapan dia telah pergi meninggalkan tempat itu? Thay-kun dan Song Leng-hui merasa heran juga atas kepergian Tan Long yang tanpa pamit itu.

   Thay-kun yang cekatan dan banyak curiga segera teringat akan satu hal, cepat dia berseru.

   


Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Pedang Abadi -- Khu Lung Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L

Cari Blog Ini