Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cacad 5


Pendekar Cacad Karya Gu Long Bagian 5



Pendekar Cacad Karya dari Gu Long

   

   "Sekarang orang yang menjadi kekuatan inti gedung Bu-lim Bengcu adalah Ko-siauhiap, Thia Leng-juan Laute, Angtayhiap, Goan-ko Taysu, Ui-hok Totiang beserta kami Suhengte. Semua rahasia yang kita ketahui tak mungkin bocor ke telinga orang lain, bila rahasia itu sampai bocor, berarti Capgo- kaucu Put-gwa-cin-kau berada di antara kita bersembilan dalam gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimana pendapat kalian?"

   Kata Ho Put-ciang.

   "Betul,"

   Ujar Thia Leng-juan cepat.

   "apa yang kita bicarakan hari ini menyangkut keselamatan dunia persilatan, jelas siapa pun dilarang membocorkan keluar."

   Yu Ciang-hong, Ang Thong-lam dan Goan-ko Taysu sekalian segera bersumpah pula untuk memegang rahasia itu rapat-rapat.

   Malam itu lewat tanpa kejadian, para jago pun kembali ke kamar masing-masing untuk mengatur pernapasan dan merawat luka.

   Keesokan harinya, luka yang diderita Ui-hok Totiang serta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui telah sembuh, sementara luka yang diderita Oh Cian-giok sudah jauh membaik.

   Bong Thian-gak dan Thia Leng-juan bersama-sama tidur di loteng sebelah barat, pada hari ketiga luka tusukan pada bahu kiri Bong Thian-gak pun telah sembuh.

   Selama tiga hari itu dari pihak Bu-lim Bengcu telah mengirim banyak mata-mata untuk menyelidiki keadaan serta gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau, anehnya puluhan li di seputar kota Kay-hong ternyata tidak dijumpai satu pun orang persilatan, tentu saja tidak diketahui pula gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau.

   Keadaan itu tentu saja mendatangkan perasaan tak tenang bagi para jago yang berkumpul dalam gedung Bu-lim Bengcu.

   Setiap orang tahu, sebelum datangnya hujan badai biasanya didahului oleh suasana sunyi senyap yang aneh.

   Tengah hari itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bersama pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak bertiga berkumpul di ruangan tengah bangunan loteng sebelah barat.

   "Ho-toako, menurut pendapatmu mungkinkah orang-orang Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri secara diam-diam dari kota Kay-hong?"

   Pertanyaan itu ditujukan kepada Ho Put-ciang dengan suara lantang. Ho Put-ciang menggeleng.

   "Dalam tiga hari ini suasana memang terasa kurang beres. Jika orang-orang Put-gwa-cin-kau masih berada di kota Kay hong, mata-mata yang kita kirim paling tidak akan menemukan jejak mereka."

   "Aku pikir Jit-kaucu tak mungkin meninggalkan tempat ini begitu cepat,"

   Seru Bong Thian-gak pula.

   "Ko-heng, apa maksudmu?"

   Tanya Thia Leng-juan cepat.

   "Jit-kaucu mendapat tugas menghancurkan gedung Bu-lim bengcu, sebelum tugas yang dibebankan ke atas pundaknya diselesaikan, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan kota Kay-hong? Menurut dugaanku, Put-gwa-cin-kau masih akan melakukan penyerangan secara besar-besaran terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita!"

   "Bagaimana Ko-heng bisa berkata demikan? Kalau dibilang Jit-kaucu mendapat perintah untuk menghancurkan gedung Bu-lim Bengcu, apa sebabnya pada penyerbuan musuh tempo hari kita tak menjumpai Jit-kaucu?"

   "Sebab rencana penyerbuan gedung Bengcu yang terjadi dua hari lalu bukan atas prakarsa Jit-kaucu."

   "Kalau bukan diprakarsai dia, lantas siapa?"

   "Orang berkerudung berbaju hitam itu!"

   Tiba-tiba Thia Leng-juan berseru tertahan, sambil berpaling ke arah Ho Put-ciang katanya.

   "Ho-toako, orang berkerudung itu pernah memperkenalkan diri. Katanya dia adalah pentolan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau, dengan kepandaian silatnya yang hebat serta sikapnya yang angkuh, mestinya pasukan pengawal tanpa tanding mempunyai kedudukan tinggi dalam Put-gwa-cin-kau."

   "Bisa jadi pasukan pengawal tanpa tanding merupakan pelindung Kaucu Put-gwa-cin-kau,"

   Pendapat Ho Put-ciang.

   "Benar, pasukan pengawal tanpa tanding adalah para pelindung Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."

   Thia Leng-juan segera termenung sambil berpikir sejenak, lalu katanya.

   "Perkataan Ko-heng memang benar, kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau akan melakukan serbuan kedua terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita ini."

   "Tapi anehnya mengapa hingga kini belum juga dilakukan?"

   Tanya Ho Put-ciang dengan kening berkerut.

   "Sebuah pukulan dahsyat Ko-heng yang bersarang tepat di tubuh orang berkerudung berbaju hitam itu menyebabkan mereka tak berani menganggap enteng kekuatan kita,"

   Kata Thia Leng-juan mengemukakan pendapatnya.

   "Selain itu, nampaknya mereka masih menaruh curiga terhadap kematian Ku-lo Supek."

   Ho Put-ciang manggut-manggut.

   "Benar, Jit-kaucu pun terhajar hingga terluka oleh Ku-lo Supek dan dengan jumlah anggota Put-gwa-cin-kau yang berada di kota Kay-hong + -sekarang, mereka memang belum berani melakukan penyerbuan lagi. Kemungkinan mereka belum berani berkutik dalam beberapa hari mendatang, bisa jadi sedang minta bala bantuan sambil menyiapkan serangan berikutnya."

   "Ai, tapi yang pasti, orang yang memimpin penyerbuan kedua ini pun pasti bukan Jit-kaucu!"

   Kata Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang.

   "Ko-heng, siapa menurut dugaanmu?"

   "Kemungkinan besar Cong-kaucu yang akan memimpin secara langsung penyerangan ini."

   Paras muka Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berubah hebat mendengar perkataan itu, katanya cepat.

   "Lantas bagaimana cara kita menghadapi?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, hari ini aku baru menemukan gelagat kurang baik, bila kita hendak meminta bantuan orang sembilan partai besar, aku rasa air yang berada di tempat jauh tak mungkin bisa memadamkan api di depan mata!"

   "Tapi kita bisa membendung air bah, kita hadapi serbuan lawan dengan kekuatan, asal kita bertekad berjuang sampai titik darah penghabisan, aku rasa kekuatan musuh masih dapat kita imbangi."

   "Aku pikir lebih baik kita mundur saja dari gedung ini sambil melindungi kekuatan yang tersisa,"

   Ucap Bong Thian-gak dengan wajah serius. Belum habis perkataan Bong Thian-gak, mendadak dari bawah anak tangga sana terdengar suara langkah kaki, disusul kemudian munculnya Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui.

   "Yu-sute, ada urusan penting apa?"

   Ho Put-ciang segera berpaling dan menegur. Dengan suara lantang Yu Heng-sui menyahut.

   "Seorang mata-mata yang kita utus untuk mencari berita telah berjumpa dengan seorang perempuan misterius di luar kota Kay-hong sebelah barat. Perempuan itu telah menitipkan sepucuk surat kepada mata-mata kita supaya diampaikan kepada Kosiauhiap."

   Sembari berkata, dari dalam sakunya dia mengeluarkan sepucuk iiiiat berwarna biru. Bong Thian-gak segera menerima surat itu, di atas sampul tertera beberapa huruf dengan gaya tulisan yang sangat indah.

   "Ditujukan khusus untuk Ko Hong."

   Bong Thian-gak berkerut kening, setelah berpikir sebentar, lalu tanyanya.

   "Siapakah perempuan itu?"

   Terus saja ia merobek sampul surat itu dan membacanya isinya.

   "Tidak mudah untuk mempertahankan hidup ini, cepat pergi dari sini untuk hidup seratus tahun lagi."

   Di bawah surat tidak dicantumkan tanda tangan. Selesai membaca, Bong Thian-gak segera menyerahkan surat itu kepada Ho Put-ciang serta Thia Leng-juan sekalian.

   "Siapa penulis surat ini?"

   Thia Leng-juan bertanya kemudian.

   "Jit-kaucu,"

   Sahut Bong Thian-gak sambil menghela napas panjang. Ho Put-ciang menghela napas pula.

   "Kejadian ini semakin membuktikan dugaan kita tak salah, Put-gwa-cin-kau memang sudah mempersiapkan diri memusnahkan gedung kita."

   "Ai, belum tentu begitu, kemungkinan juga sasaran mereka hanya aku seorang."

   "Bukankah dia sudah memberi peringatan kepada Ko-heng? Tak mungkin dia turun tangan keji terhadap Ko-heng!"

   Kata Thia Leng-juan lagi.

   "Jit-kaucu adalah seorang gadis yang berwatak aneh, senang gusarnya tidak menentu, lagi pula semua gerakgeriknya seakan-akan sudah berada di bawah cengkeraman Cong-kaucu."

   Ho Put-ciang bertanya kepada Yu Heng-sui.

   "Yu-sute, siapakah mata-mata itu? Cepat kau panggil dia agar menghadap kemari."

   "Baik!"

   Sahut Toan-jong-hong-Iiu Yu Heng-sui dari bawah loteng.

   Tak selang lama kemudian Yu Heng-sui telah muncul kembali diikuti seorang lelaki berbaju hitam.

   Begitu melihat raut wajah lelaki itu, Pa-ong-kiong Ho Putciang segera mengetahui dia adalah komandan pasukan matamata angkatan kedelapan yang bernama Tan Thiam-ka.

   Sesudah memberi hormat kepada semua orang, Tan Thiam-ka segera berdiri di samping dengan kedua tangan diluruskan ke bawah.

   "Komandan Tan, darimana kau dapatkan surat ini?"

   Ho Putciang berkata dengan suara nyaring.

   "Di sebelah barat kota Kay-hong, lebih kurang empat-lima li di luar kota."

   "Macam apakah bentuk wajah orang yang menyerahkan surat itu kepadamu?"

   Sela Thia Leng-juan.

   "Dia adalah seorang gadis yang berusia enam-tujuh belas tahunan, berwajah jelek tapi bersuara amat merdu dan manis. Awalnya dia bertanya kepadaku apakah merupakan anggota gedung Bengcu, setelah itu ujarnya lagi, katanya dia ada surat yang hendak diserahkan kepada Ko Hong Siauhiap, maka surat itu pun diserahkan kepada hamba sebelum pergi meninggalkan tempat itu."

   Mendengar penjelasan itu, paras muka Ho Put-ciang sekalian segera berubah hebat, dalam hati mereka berpikir.

   "Berwajah jelek? Kalau begitu orang itu bukan Jit-kaucu?"

   Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekalian belum pernah menyaksikan raut wajah Jit-kaucu, namun Bong Thiangak pernah melukiskan paras mukanya yang cantik ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan, lagi pula usianya juga tidak cocok.

   "Komandan Tan, apakah kau tidak salah melihat?"

   Ho Putciang segera bertanya.

   "Tecu tak bakal salah melihat."

   Ho Put-ciang manggut-manggut. 'Baiklah kalau begitu, komandan Tan dan Yu-sute boleh mengundurkan diri dari sini."

   "Baik!"

   Seru mereka berdua bersama-sama. Seusai berkata, mereka membalikkan badan siap meninggalkan Irmpat itu.

   "Tunggu sebentar!"

   Mendadak Bong Thian-gak berseru.

   "Ada urusan apa Ko-siauhiap?"

   Ho Put-ciang segera bertanya.

   "Ho-bengcu, aku ingin membawa komandan Tan berkunjung ke tempat penyerahan surat itu."

   "Apakah luka Ko-siauhiap telah sembuh?"

   "Tak usah kuatir, Bengcu, lukaku sudah tak jadi masalah lagi."

   "Apakah Ko-siauhiap kenal si pengantar surat itu?"

   "Tidak!"

   Bong Thian-gak menggeleng.

   "Belum pernah kujumpai wanita itu."

   "Musuh kita amat licik dan mempunyai banyak tipu muslihat, mungkinkah kepergian Ko-siauhiap akan terjebak siasat licik mereka?"

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   "Aku kuatir Ko-siauhiap salah menduga akan si pengirim surat itu."

   "Andaikan musuh menantangmu secara terang-terangan untuk berduel, mereka kuatir kita mempersiapkan diri lebih dahulu, maka dia sengaja mengirim surat itu untuk memancing rasa ingin tahumu hingga kau melakukan penyelidikan seorang diri. Akhirnya kau termakan oleh tipu muslihat mereka."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak tersenyum.

   "Untuk mewujudkan tugas yang dibebankan Ku-lo Sinceng kepadaku, sudah seharusnya aku mulai bertindak sekarang."

   "Kalau begitu apakah Ko-siauhiap membutuhkan bantuan orang kami?"

   "Tidak usah,"

   Bong Thian-gak menampik sambil menggeleng.

   "Sekarang juga aku akan berangkat."

   Ho Put-ciang lantas berpaling ke arah lelaki berbaju hitam itu sambil berpesan.

   "Komandan Tan, dampingi Ko-siauhiap, kau harus menuruti semua petunjuk dan perintah Ko-siauhiap tanpa membantah."

   "Baik!"

   Sahut Tan Thiam-ka dengan hormat. Setelah berkata, dia lalu berpaling ke arah Bong Thian-gak sambil bertanya.

   "Ko-siauhiap, apakah akan berangkat sekarang juga?"

   Bong Thian-gak berkata kepada Ho Put-ciang sekalian.

   "Setiap saat aku akan mengadakan kontak dengan kalian, harap Bengcu tak usah kuatir, kami segera akan berangkat."

   Selesai berkata Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka segera pula berangkat meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu. Setelah perjalanan selama setengah jam lebih, sampailah Tan Thiam-ka dan Bong Thian-gak di depan sebuah hutan buah-buahan.

   "Di sinikah kau bertemu dengan gadis berwajah jelek itu?"

   Bong Thian-gak bertanya.

   "Ya, waktu itu hamba sedang duduk beristirahat di bawah pohon kelengkeng, mendadak muncul perempuan berwajah jelek itu."

   Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang sekejap ke arah hutan buah-buahan itu.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kebun buah-buahan itu luas sekali, mungkin mencapai belasan hektar lebih.

   Empat penjuru dikelilingi pagar pendek terbuat dari bambu, jelas tempat itu merupakan kebun buahbuahan yang dijaga orang.

   Bong Thian-gak bertanya.

   "Apakah sekeliling tempat ini terdapat perkampungan atau dusun?"

   "Dua li dari sini terdapat sebuah dusun kecil, hanya sekitar dua puluh kepala keluarga."

   "Apa hasil penyelidikanmu terhadap dusun itu?"

   Tan Thiam-ka termenung sejenak, kemudian sahutnya.

   "Di tempat itu tidak kutemukan sesuatu, pada pagi dan siang hari kebanyakan rumah petani tutup, hanya ada beberapa anak kecil bermain di luar pagar rumah, benar-benar suasana dusun kaum petani."

   Pada saat itulah mendadak dalam kebun buah-buahan itu berkumandang suara bentakan serta caci-maki. Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berkata.

   "Mari kita tengok!"

   Suara bentakan itu berasal setengah li dari tempat itu, suaranya tidak begitu keras.

   Buru-buru Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka berputar ke kebun buah sebelah utara, di situ mereka menyaksikan sekelompok orang mengerubuti seseorang.

   Menyaksikan itu, hati Bong Thian-gak terkesiap.

   Rombongan itu terdiri dari tiga belas orang, mereka mengenakan baju hijau penuh tambalan, tak usah ditanya lagi mereka adalah orang-orang Kay-pang.

   Orang yang sedang dikepung ketiga belas orang Kay-pang itu adalah seorang gadis berbaju hitam.

   Bong Thian-gak dapat melihat pula raut wajah gadis berbaju hitam ttu dengan jelas, dia berkulit hitam dengan hidung besar, mulut lebar dan mata melotot.

   Tampang semacam itu benar-benar jelek setengah mati.

   Bong Thian-gak terkejut, sambil menarik tangan Tan Thiam-ka menuju ke tempat peristiwa itu, bisiknya lirih.

   "Komandan Tan, coba kau perhatikan, diakah yang menyampaikan surat itu kepadamu?"

   Setelah melihat jelas paras muka gadis berbaju hitam itu, Tan Thiam-ka berseru tertahan.

   "Ah, betul! Ko-siauhiap, dialah orangnya."

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Bagus sekali, mari kita lihat keadaan dan berpeluk tangan dulu."

   Sementara itu kawanan pengemis Kay-pang dan gadis berwajah jelek itu sudah melihat pula kehadiran Bong Thiangak serta Tan Thiam-ka.

   Sebenarnya orang-orang Kay-pang itu mengira Bong Thiangak dan Tan Thiam-ka adalah teman gadis berwajah jelek itu, mereka baru menyadari kesalahan itu setelah menyaksikan kedua orang itu berhenti.

   Mendadak terdengar gadis berwajah jelek itu tertawa, kemudian menegur.

   "Kalian kawanan pengemis tak tahu diri, di siang hari bolong begini pun berani membegal aku?"

   Salah seorang di antara pengemis itu, yang berusia agak lanjut, tertawa aneh.

   "Hehehe, bocah perempuan jelek, pentang matamu lebar-lebar, kami anggota Kay-pang bukan manusia yang membiarkan diri dihina orang semaunya sendiri. Sekarang aku si pengemis tua hanya ingin bertanya saja kepadamu, siapa dua orang gadis yang baru saja kau bunuh itu?"

   Gadis berparas jelek itu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Hehehe, kalian kawanan pengemis rudin, untuk mencari makan sehari tiga kali saja sudah sulit, ternyata berani mencampuri urusan orang lain. Aku cuma menasehatimu secara baik-baik, kalau mau hidup langgeng, lebih baik cepat tinggalkan tempat ini dan jangan ceritakan apa yang telah kau lihat tadi, kalau tidak, kalian akan mampus di sini tanpa liang kubur."

   Mendadak pengemis tua itu membentak gusar.

   "Bocah perempuan jelek, kenalkah kau dengan Lohu?"

   "Kau tak lebih dari seorang pelindung hukum ruang siksa Kay-pang?"

   Kata si nona hambar. Pengemis tua itu tertawa dingin.

   "Seorang pelindung hukum ruang siksa Kay-pang mempunyai hak menurunkan perintah membantai setiap musuh yang dijumpai. Bila tahu diri, lebih baik cepat sebutkan identitas serta asal-usul kedua orang itu."

   Mendadak gadis yang berwajah jelek itu menarik muka dan mencorongkan sinar membunuh dari balik matanya, dengan suara dingin dia berkata.

   "Sekarang kalian sudah mengetahui rahasiaku membunuh orang, kukira sudah sepantasnya bila kubunuh kalian agar rahasia ini tidak bocor ke orang lain, hm, belum lagi aku melakukan pembunuhan itu, sungguh tak nyana kalian telah memojokkan aku dengan perkataanmu itu."

   Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini berpikir dalam hati.

   "Aduh celaka, gadis ini sudah diliputi hawa membunuh."

   Sementara dia berpikir, pengemis tua telah berteriak.

   "Bagus sekali! Arak kehormatan tidak mau, kau justru memilih arak hukuman. Pengawal! Tangkap dulu budak jelek itu!"

   Begitu bentakan dilontarkan, empat orang anggota Kaypang segera menerjang ke depan sambil memutar tongkat bambu mereka.

   Siapa tahu, dengan satu lejitan tahu-tahu gadis berwajah jelek itu sudah menyongsong kedatangan keempat orang itu.

   Menyusul "Plak! Plokl Plak! Plok!", empat kali tamparan nyaring berkumandang memecah keheningan.

   Keempat orang pengemis yang melakukan terjangan itu masing-masing mendengus tertahan, kemudian tergeletak di tanah dan tidak berkutik lagi.

   Ilmu pukulan yang demikian cepat dan luar biasa ini membuat Hong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu mengerut dahi.

   Sementara para pengemis Kay-pang diliputi perasaan kaget, ngeri dan tertegun.

   Agaknya gadis berwajah jelek itu sudah didorong nafsu untuk melakukan pembunuhan secara besar-besaran guna melenyapkan semua saksi hidup, dengan suatu gerakan yang amat cepat dia menyerbu ke tengah kerumuman orang banyak.

   Segera berkumandang jeritan kaget tertahan serta jerit kesakitan disana-sini.

   Bayangan orang mencelat dan berkelebat ke sana kemari, dalam waktu singkat telah ada dua belas orang anggota Kay-pang tergeletak di tanah.

   Dalam keadaan seperti ini, Bong Thian-gak tidak mengetahui apakah dia harus mencampuri urusan ini atau tidak? Sementara itu si nona berwajah jelek sudah berjalan menuju ke depan pengemis tua itu begitu berhasil membinasakan kedua belas anggota Kay-pang tadi.

   Mendadak Bong Thian-gak membentak nyaring.

   "Tahan!"

   Waktu itu si nona berwajah jelek sudah mengangkat telapak tangan siap melancarkan serangan maut, ketika mendengar suara bentakan itu, gerakannya segera dihentikan.

   Dengan suatu gerakan cepat Bong Thian-gak menghampiri nona berwajah jelek itu, kemudian katanya.

   "Nona, jangan kau lakukan pembantaian secara besar-besaran."

   "Ko-siangkong, harap menyingkir dulu,"

   Kata gadis berwajah jelek itu pelan.

   "Sekarang aku telah membinasakan dua belas orang anggota partainya dan aku tak boleh membiarkan dia kabur untuk membocorkan rahasia ini."

   Paras muka Bong Thian-gak berubah hebat sesudah mendengar perkataan itu, ujarnya.

   "Nona, kepandaian silat yang kau miliki lihai sekali, justru karena aku tak bisa mengambil keputusan dengan cepat, akibatnya aku tak sempat mencegah perbuatan kejimu."

   "Siangkong, apabila kau menghalangi perbuatanku ini, maka kau bakal menyesal sepanjang masa. Harap kau segera menyingkir."

   Dalam pada itu si pengemis tua masih berdiri di situ dengan wajah termangu. Bong Thian-gak yang menyaksikan hal itu segera membentak.

   "Hei, mengapa kau tak segera melarikan diri? Kau hendak menunggu sampai kapan?"

   Pengemis tua itu terkejut sesudah mendengar seruan itu. Dia segera membalikkan badan dan melarikan diri. Mendadak gadis itu mengayunkan pergelangan tangan kanan.

   "Sret", setitik cahaya bintang yang terang bagaikan sambaran petir dengan cepat menyambar ke belakang tubuh si pengemis tua itu. Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira gadis berwajah jelek itu bakal melancarkan serangan dengan menggunakan senjata rahasianya, ia membentak keras, telapak tangan kirinya segera diayun ke depan melepaskan pukulan kosong membabat ke titik cahaya bintang itu. Walaupun dia bertindak agak terlambat, senjata rahasia tadi tersapu juga oleh sambaran angin pukulannya, dengan begitu kekuatan serangannya menjadi berkurang dan tak menyeramkan lagi.

   "Aduh!"

   Berkumandang jerit kesakitan yang memilukan hati.

   Pengemis tua itu sempoyongan, lalu melarikan diri makin cepat meninggalkan tempat itu.

   Di saat Bong Thian-gak mengayunkan telapak tangan kirinya melancarkan serangan tadi, tangan kanannya juga secepat kilat menghantam bahu gadis berwajah jelek itu.

   Dengan cekatan gadis berwajah jelek itu mundur tigaempat langkah, ujarnya setelah menghela napas sedih.

   "Siangkong, dengan perbuatanmu ini hanya akan menambah kesulitanku saja, bahkan bisa jadi akan mempengaruhi situasi dunia persilatan."

   "Mengapa?"

   Tanya Bong Thian-gak dengan suara dalam.

   "Siangkong, tahukah kau siapakah kawanan pengemis itu?"

   Tanya gadis berwajah jelek itu sambil menghela napas sedih.

   "Para anggota Kay-pang!"

   "Kay-pang adalah perkumpulan paling besar di Bu-lim dewasa ini. Pengaruh organisasi itu meliputi hampir setiap pelosok dunia persilatan, kini kau telah membiarkan pengemis tua itu melarikan diri, mungkin tidak sampai dua belas jam kemudian, pihak Kay-pang sudah akan mengutus jagojagonya datang kemari mencari balas."

   "Nona, kalau kau tak ingin disusahkan oleh orang-orang Kay-pang, mengapa pula kau membunuh anggota mereka?"

   Dengan polos gadis berwajah jelek itu menjawab.

   "Asalkan kau tidak menghalangiku tadi, maka aku akan berhasil membunuh mereka semua, perbuatanku ini tak akan diketahui siapa pun, bahkan aku bisa mengalihkan balas dendam mereka ke arah yang salah. Bukankah ini justru akan mendatangkan keuntungan bagi diriku?"

   "Nona kau berasal dari perguruan atau aliran mana?"

   Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut. Gadis berwajah jelek itu tertawa cekikikan.

   "Aku tidak punya perguruan maupun partai."

   "Bukankah nona yang menyuruh dia mengantar surat untukku?"

   I.inya Bong Thian-gak lagi dengan suara dalam. Sembari berkata dia menunding ke arah Tan Thiam-ka yang berdiri di samping.

   "Betul! Aku yang menitipkan surat itu kepadanya,"

   Gadis berwajah jelek itu membenarkan.

   "Seingatku belum pernah berjumpa atau berkenalan dengan nona, darimana nona mengenali diriku? Apa pula maksud nona mengirim surat itu kepadaku?"

   "Walaupun aku tidak kenal padamu, tapi besar kemungkinan majikan kami kenal Ko-siangkong."

   "Ai, apakah kau masih mempunyai majikan? Siapakah nama majikan kalian itu?"

   "Aku juga tidak mengetahui siapa nama majikan kami."

   Kali ini Bong Thian-gak benar-benar dibikin bingung dan tak habis mengerti, sebenarnya dia mengira Jit-kaucu Thay-kun yang menyuruh gadis ini menyampaikan surat kepadanya, siapa tahu kenyataan sama sekali berbeda dengan apa yang diduganya semula.

   Lantas siapakah majikannya? Ilmu silat gadis berwajah jelek itu kelihatan amat aneh dan istimewa, boleh dibilang Bong Thian-gak sama sekali tak mengenalinya.

   Setelah termenung dan memutar otak, Bong Thian-gak bertanya.

   "Nona, dapatkah kau mengajakku pergi menjumpai majikanmu?"

   "Tentu saja boleh, cuma aku kuatir majikan tidak bersedia bertemu denganmu."

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, katanya.

   "Dalam surat itu, dia menyuruh aku datang menjumpainya."

   "Kau tidak bohong?"

   Gadis berwajah jelek itu menegas.

   "Tidak!"

   Gadis itu memandang ke arah Tan Thiam-ka sekejap, kemudian katanya.

   "Majikan kami tak mengizinkan orang lain menjumpainya."

   Tentu saja Bong Thian-gak cukup memahami maksud ucapannya itu, maka katanya kepada Tan Thiam-ka.

   "Komandan Tan, kau boleh pulang lebih dulu."

   "Baik!"

   Sahut Tan Thiam-ka. Dengan mengerahkan Ginkang, dia lantas kembali ke gedung Bu-lim Bengcu. Sepeninggal Tan Thiam-ka, gadis itu baru berkata sambil tersenyum.

   "Siangkong, mari kita berangkat!"

   Selesai berkata dia lantas membalik badan dan berangkat ke arah utara. Bong Thian-gak juga tidak banyak bicara, dengan ketat dia mengikut di samping kiri gadis bermuka jelek itu. Mendadak gadis itu berkata.

   "Siangkong, apakah kau tidak mencurigai diriku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau?" "Ehm, aku sudah menduga ke situ,"

   Sahut Bong Thian-gak dengan suara hambar.

   "Seandainya aku benar-benar anggota Put-gwa-cin-kau, apa yang hendak Siangkong lakukan?"

   "Akan kubunuh dirimu sekarang juga!"

   Gadis bermuka jelek itu tertawa cekikikan.

   "Tak usah kuatir,"

   Katanya.

   "kedua gadis yang kubunuh tadi tak lain adalah anggota Put-gwa-cin-kau."

   "Mengapa kau membinasakan mereka,"

   Tanya si pemuda dengan terkejut bercampur keheranan.

   "Sebab aku sedang melaksanakan perintah majikan!"

   "Sesungguhnya siapa majikanmu itu?"

   Desak Bong Thiangak tiba-tiba sambil menghela napas.

   "Bagaimana pun juga kau bakal bertemu dengannya, setelah bersua nanti kau akan tahu dengan sendirinya."

   "Majikanmu itu seorang lelaki atau perempuan?"

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Seorang perempuan."

   Kini Bong Thian-gak diliputi perasaan bimbang, tidak habis mengerti dan curiga, namun dia tidak berdaya mengatasi kecurigaan itu, maka selain membuang jauh-jauh pikiran itu untuk sementara waktu, sorot matanya dialihkan ke sekeliling tempat itu sambil mengawasi pemandangan alam.

   Lambat-laun matahari tenggelam di langit barat, senja pun menjelang tiba.

   Suasana tengah malam yang sepi berlapiskan cahaya keemas-emasan yang sangat indah.

   Akhirnya sampailah mereka di depan sebuah hutan kecil, dari balik hutan lamat-lamat nampak sebuah kuil.

   "Kita sudah hampir sampai,"

   Bisik gadis itu tiba-tiba.

   "Apakah kuil di depan sana?"

   Pemuda itu bertanya.

   "Ya, kuil kaum Nikoh!"

   Sementara pembicaraan berlangsung, mereka berdua sudah memasuki halaman muka kuil itu. Saat itulah si nona yang bermuka jelek itu baru menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah Bong Thiangak, katanya.

   "Harap kau suka menunggu sebentar di luar kuil!"

   Tidak menanti jawaban Bong Thian-gak, dia sudah menerobos ke balik pintu gerbang kuil itu.

   Meminjam sinar senja berwarna keemas-emasan, Bong Thian-gak mencoba mengawasi kuil itu, ternyata kuil itu bernama Keng-tim-an.

   Kuil Keng-tim-an tidak terhitung besar, namun juga tidak kecil.

   Seluruh bangunan terdiri dari lima lapis halaman.

   Waktu itu di ruang tengah amat sepi dan tidak nampak sesosok bayangan orang pun.

   Suasana diliputi oleh keheningan, kesepian yang luar biasa.

   Diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Andaikata tempat ini hanya merupakan suatu perangkap Put-gwa-cin-kau, bagaimana caraku menghadapi mereka dan meloloskan diri?"

   Belum habis dia berpikir, tiba-tiba nampak gadis bermuka jelek itu sudah berjalan keluar dari ruang tengah, kemudian katanya dengan suara dingin.

   "Siangkong, kau pandai berbohong. Dalam suratnya, majikan kami tidak mengundangmu kemari!"

   "Tak usah marah-marah, nona, sesungguhnya terdorong oleh rasa ingin tahuku, maka aku kemari ingin berjumpa dengan majikan kalian." "Gara-gara ulahmu itu, akibatnya aku yang didamprat majikan habis-habisan. Untung majikan mempunyai pandangan lain kepadamu sehingga dia bersedia bertemu dengan kau."

   "Terima kasih banyak atas bantuan nona, harap kau suka membawaku masuk ke dalam!"

   "Setelah masuk ke dalam kuil nanti, harap kau jangan mengusik para Nikoh."

   "Apakah ada Nikoh yang berdiam di sini?"

   "Ya, mereka adalah Nikoh yang menjalani pantangan berat, jumlahnya mencapai tujuh puluhan orang."

   Sementara berbicara, gadis itu sudah berjalan lebih dahulu untuk menunjukkan jalan.

   Sesudah memasuki pintu kuil, benar juga pada sisi pagar bangunan itu nampak ada puluhan orang Nikoh sedang menyirami bunga, menanam sayur dan membabat rumput.

   Mereka langsung menuju ke ruang tengah.

   Di depan patung Buddha di ruang tengah, nampak asap dupa mengepul memenuhi angkasa, tiga orang Nikoh sedang berdoa di situ dengan khidmat.

   Gadis bermuka jelek itu langsung mengajak Bong Thiangak menuju ke halaman lapis keempat.

   Waktu itu dalam semua kamar di masing-masing halaman telah diterangi cahaya lentera.

   Gadis berwajah jelek itu membawa Bong Thian-gak menuju ke depan sebuah rumah yang terpencil di tengah halaman.

   Dari luar tampak sesosok bayangan orang sedang duduk di tepi jendela.

   Bayangan tubuh seorang perempuan cantik dan menarik, Bong Thian-gak seakan-akan pernah mengenalinya di suatu tempat.

   Pada saat itulah, gadis itu berkata dengan sikap hormat.

   "Lapor majikan, Ko-siangkong telah tiba."

   Dari dalam ruangan segera berkumandang suara merdu dan lembut.

   "Silakan Siangkong masuk!"

   "Siangkong, silakan masuk!"

   Kata gadis itu. Sekali pun Bong Thian-gak diliputi perasaan bingung dan penuh curiga, namun terdorong rasa ingin tahunya yang besar, ia segera beranjak memasuki ruangan itu. Setibanya dalam ruangan dia mendongakkan kepala.

   "Ah, kau!"

   Bong Thian-gak segera menjerit kaget. Di bawah cahaya lentera yang terang-benderang, seraut wajah yang cantik jelita muncul di hadapannya. Waktu itu Jit-kaucu tidak menampilkan perasaan girang, gusar maupun murung, dia hanya berkata hambar.

   "Suheng, silakan duduk."

   Dipanggil "Suheng"

   Oleh gadis itu, Bong Thian-gak merasakan suatu perasaan canggung.

   Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia lantas mengambil tempat duduk.

   Pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bangkit dan menuang secawan air teh, kemudian disodorkan ke hadapan Bong Thian-gak, katanya.

   "Silakan minum air teh!"

   Memandang kesepuluh jari tangannya yang putih dan ramping, tanpa terasa Bong Thian-gak menerima angsuran cawan teh itu dengan cepat, namun tidak segera meneguknya. Beberapa saat sesudah termenung, pemuda itu baru berkata.

   "Jadi kau yang menulis surat itu?"

   "Ya, aku yang menulis,"

   Jit-kaucu Thay-kun mengangguk.

   "Tindak-tandukmu sungguh membuat aku bingung dan merasa tak habis mengerti."

   Jit-kaucu menarik wajah, kemudian berkata.

   "Cong-kaucu telah menurunkan perintah agar aku membinasakan dirimu."

   "Cepat atau lambat perintah ini akan diturunkan juga!"

   "Kau memang tolol,"

   Tegur Jit-kaucu dingin.

   "Memang kau harus memperlihatkan kebolehanmu? Seandainya pada tiga hari lalu kau tidak melukai komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding, tak nanti Cong-kaucu memandang serius dirimu."

   Mendapat teguran itu, timbul perasaan aneh dalam hati Bong Thian-gak, dia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaannya waktu itu, karenanya dia hanya menerima teguran itu dengan mulut bungkam. Kembali Jit-kaucu Thay-kun berkata.

   "Sembilan hari lagi, Cong-kaucu akan datang sendiri ke kota Kay-hong ini."

   "Kalau begitu sembilan hari lagi merupakan saat ajal bagimu,"

   Kata Bong Thian-gak sambil tertawa dingin. Paras muka Jit-kaucu Thay-kun lantas saja berubah hebat, serunya tanpa terasa.

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   "Setelah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memerintahkan kau membunuh Ku-lo Hwesio dan aku, maka sasaran ketiga adalah dirimu sendiri! Sesungguhnya kehadirannya di kota Kay-hong tak lain adalah untuk membunuhmu!"

   "Ku-lo Sinceng benar-benar telah meninggal dunia?"

   Bong Thian-gak mengangguk.

   "Ya, sudah meninggal dunia! Tapi dia bukan mati lantaran terhajar oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang."

   "Ai, dunia persilatan telah kehilangan seorang tokoh yang luar biasa,"

   Gumam Jit-kaucu sedih.

   "Sumoay,"

   Bisik Bong Thian-gak lirih. Dia hanya mampu menyebut itu saja, kemudian paras mukanya berubah merah padam dan tak mampu berkata lebih lanjut. Jit-kaucu sendiri paras mukanya mengunjuk suatu perubahan sangat aneh mendengar panggilan "Sumoay"

   Itu. Sepasang mata mereka saling pandang tanpa berkedip ... lama-lama ... lebih kurang sepeminunan teh kemudian Bong Thian-gak baru melanjutkan kata-katanya.

   "Semua perkataanku bukan cuma bualan belaka."

   Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening, lalu gumamnya.

   "Dengan susah-payah Suhu mendidikku selama dua puluh tahun lebih, entah berapa banyak pikiran dan tenaga yang telah dikorbankan untukku, mungkinkah dia akan ...."

   Bicara sampai di situ, mendadak gadis itu menghentikan gumamannya dan tidak dilanjutkan. Bong Thian-gak menghela napas sedih, ujarnya.

   "Dari dulu hingga sekarang, banyak benggolan dunia persilatan yang cuma mengutamakan keuntungan dan keberhasilan pribadi mereka, seakan sudah kehilangan hati nurani, bahkan terhadap anak kandung sendiri pun tega untuk di korbankan."

   "Suhu mendidik dan membinaku justru karena ingin mewujudkan cita-citanya menguasai dunia Kangouw, kenapa dia harus melenyapkan aku?"

   "Untuk mencapai ambisi gilanya, dia telah mengubah kau dari seorang gadis biasa menjadi luar biasa, tujuannya tak lain adalah untuk menjadikan kau sebagai alatnya dalam menaklukkan dunia persilatan. Kini orang yang dia segani dan takuti telah mati semua, maka dia pun tidak memerlukan alat itu lagi, bila alat yang lihai ini dibiarkan hidup terus, hal itu akan menimbulkan ketidak-tenangannya di masa-masa mendatang."

   "Mengapa bisa begitu?" "Alasan yang terutama adalah karena ilmu Soh-li-jian-yangsin- kang yang kau miliki justru merupakan tandingan kepandaian silatnya."

   Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening.

   "Darimana kau tahu Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan tandingan segenap kepandaian sakti guruku? Apakah kau sudah mengetahui asalusul Cong-kaucu?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai ... aku memang tidak jelas tentang asal-usul Cong-kaucu, namun persoalan ini diketahui Ku-lo Sinceng sesaat sebelum dia meninggal dunia."

   Thay-kun tertawa dingin.

   "Begini cara sembilan partai besar dari daratan Tionggoan mengadu domba kekuatan kami?"

   Ejeknya. Bong Thian-gak menarik muka dan berkata dengan wajah serius.

   "Semua perkataan yang kuucapkan hari ini adalah sejujurnya, kuucapkan dengan maksud dan tujuan baik."

   Mendadak Jit-kaucu Thay-kun bertanya.

   "Apakah si jelek telah menyampaikan sesuatu kepadamu?"

   "Si jelek? Si jelek yang mana?"

   "Gadis yang membawamu kemari itu."

   Bong Thian-gak menggeleng.

   "Tidak!"

   "Mengapa kau tidak menyayangi keselamatan jiwamu sendiri?"

   Pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bertanya.

   "Dilahirkan saja sukar, siapa bilang aku tidak menyayangi jiwaku?"

   "Sekarang Cong-kaucu sudah berhasrat melenyapkan kau dari muka bumi, apa rencanamu untuk menghadapinya?"

   "Melawan sampai titik darah penghabisan." "Kau harus tahu, Put-gwa-cin-kau memiliki kekuatan luar biasa, mengertikah kau akan hal ini?"

   "Kecuali kau, aku yakin masih mampu menghadapi yang lain."

   "Tampaknya kau menaruh kepercayaan yang kelewat besar terhadap kemampuan ilmu silatmu?"

   "Aku sudah pernah mengalahkan beberapa orang jago lihai Put-gwa-cin-kau."

   "Bagaimana menurut pendapatmu tentang ilmu silat komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding itu?"

   "Lihai sekali."

   "Sampai dimanakah taraf kelihaianmu?"

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian baru berkata.

   "Jauh lebih lihai daripada Sam-kaucu, tapi aku yakin masih bisa mengalahkan dia, bahkan sekalian mencabut jiwanya."

   Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih.

   "Ai, orang itu merupakan salah seorang jago muda yang berhasil dididik Cong-kaucu hanya dalam tujuh tahun. Dari tingkat ilmu silat orang itu, tentunya kau bisa membayangkan bukan sampai taraf macam apakah kepandaian silat Cong-kaucu!"

   "Selain Cong-kaucu, ilmu silat Ji-kaucu (ketua kedua) serta komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding juga luar biasa hebatnya, sampai dimanakah kehebatan mereka bahkan aku sendiri pun tak bisa menduganya secara tepat."

   "Terutama Ji-kaucu, bukan saja ilmu silatnya sangat lihai, dia pun memiliki berbagai ilmu hitam dan ilmu sesat lainnya yang mengerikan. Dia menjabat sebagai Kunsu (juru pikir) Put-gwa-cin-kau, semua rencana dan ide keluar dari benak orang ini, aku benar-benar kuatir dia datang ke kota Kay-hong ini."

   Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam terperanjat, tapi rasa terkejut tidak diperlihatkan di mukanya.

   "Dapatkah kau sebutkan nama mereka?"

   Tanyanya kemudian dengan suara lembut. Paras muka Jit-kaucu Thay-kun bertambah berat, tegasnya dengan nada dingin,"Sudah terlalu banyak rahasia yang kuutarakan kepadamu."

   "Terima kasih banyak, Sumoay!"

   "Untuk menyelamatkan jiwamu, hari ini aku telah menitahkan si jelek untuk membunuh anggota Put-gwa-cinkau. Dengan matinya mereka, untuk sementara rahasia pertemuan kita dapat dipertahankan, oleh sebab itu dalam sembilan hari kau harus menghindarkan diri, kau harus menghindari pengejaran dan usaha pembunuhan orang-orang Put-gwa-cin-kau."

   Bong Thian-gak menghela napas pelan.

   "Sumoay, belakangan ini gara-gara aku, kau telah mengkhianati Put-gwa-cin-kau, mengapa kau tidak melepaskan jalan sesat untuk kembali ke jalan yang benar saja?"

   Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih.

   "Aku harus menanti...."

   Sampai di situ dia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya.

   "Sumoay, apa yang sedang kau nantikan?"

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tidak percaya Cong-kaucu adalah seorang yang tidak berdarah dan berdaging, masakah dia sama sekali tak berperasaan."

   Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak jadi girang, pikirnya.

   "Dari kata-katanya, bukankah terbukti dia sudah punya perasaan tidak percaya terhadap Cong-kaucu .... Kalau sekarang dia masih belum menantangnya secara langsung dan terang-terangan, sesungguhnya kejadian ini pun merupakan peristiwa yang lumrah. Bagaimana pun juga Cong-kaucu adalah gurunya, penolong yang telah memelihara dan mendidiknya hingga dewasa. Perasaan itu memang lebih dalam daripada samudra dan mustahil bisa dilupakan orang begitu saja. Oleh sebab itu kendati dia tahu pada akhirnya Cong-kaucu hendak turun tangan keji kepadanya, tapi untuk membuktikan hal ini terpaksa dia harus menanti sampai Congkaucu benar-benar memperlihatkan wajah yang sesungguhnya."

   Kemudian Bong Thian-gak bertanya.

   "Apakah kuil Kengtim- an ini merupakan salah satu markas besar Put-gwa-cinkau?"

   Jit-kaucu Thay-kun menggeleng.

   "Put-gwa-cin-kau sama sekali tidak tahu aku sedang berada di kuil Nikoh ini."

   "Siapakah Hongtiang (ketua) kuil Keng-tim-an ini?"

   "Suhunya si jelek."

   "Mengapa si jelek menyebutmu sebagai majikan?"

   Jit-kaucu Thay-kun mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian dia tersenyum sambil berkata.

   "Aku adalah majikan kuil Keng-tim-an ini, termasuk Hongtiangnya, mereka memanggilku sebagai majikan."

   "Aku tidak mengerti,"

   Kata Bong Thian-gak sambil menggeleng kepala dengan perasaan tidak mengerti. Jit-kaucu Thay-kun termenung sejenak, katanya.

   "Sekarang masih belum waktunya, aku tak ingin membongkar rahasia ini lebih dulu. Sebentar akan kuperkenalkan dirimu dengan Kengtim Suthay, apabila kau menemui kesulitan di kemudian hari, mereka akan membantumu."

   Jit-kaucu Thay-kun segera bangkit, setelah mengangkat kepala memandang cuaca, dia pun berbisik lirih.

   "Waktu sudah tidak pagi, aku tak bisa berdiam lebih lama di sini."

   Baru selesai dia berkata, mendadak dari luar ruangan terdengar suara langkah kaki berkumandang datang, menyusul terdengar seorang berkata dengan suara yang lembut dan manis.

   "Lapor majikan, apakah akan bersantap di sini?"

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera tahu orang yang berada di luar sana adalah si nona muka jelek.

   "Tidak usah,"

   Jawab Jit-kaucu Thay-kun dengan suara merdu.

   "Aku akan segera pergi meninggalkan tempat ini, lebih baik kau sediakan hidangan malam untuk Ko-siangkong saja."

   Bong Thian-gak ikut bangkit, katanya.

   "Tidak usah, aku harus buru-buru kembali."

   Tidak menanti Bong Thian-gak berkata lebih jauh, Jit-kaucu Thay-kun menukas.

   "Si jelek, apakah Keng-tim Suthay telah menyelesaikan semedinya?"

   "Ibu telah menyelesaikan sembahyang malamnya,"

   Jawab nona itu dengan hormat, dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan pelan.

   "Jika begitu harap kau mengundangnya kemari,"

   Perintah Jit-kaucu.

   "Baik!"

   Sahut si nona. Dia segera membalikkan badan dan berlalu dari ruangan itu. Sepeninggal nona bermuka jelek, Jit-kaucu berkata kepada Bong Thian-gak.

   "Suheng, tak ada salahnya kau bersantap malam dulu di sini sebelum pergi, kau pun perlu berbincangbincang dengan Keng-tim Sulhay dan si jelek agar kedua belah pihak saling kenal lebih mendalam."

   Sesungguhnya Bong Thian-gak memang menaruh perasaan bingung, curiga dan ingin tahu terhadap kuil Keng-tim-an.

   Dalam hati pemuda itu bersedia tetap tinggal di situ melakukan penyelidikan.

   Selang beberapa saat kemudian dari luar ruangan terdengar lagi nara langkah kaki manusia, dengan cepat muncul bayangan orang dari luar ruangan.

   Tampak seorang Nikoh setengah umur yang mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, membawa tasbih di tangan, berdiri di depan pintu, di belakangnya mengikut si nona bermuka jelek itu.

   Dengan sorot mata tajam Nikoh setengah umur itu memandang sekejap wajah Bong Thian-gak, kemudian dia merangkap tangan dan memberi hormat kepada Jit-kaucu Thay-kun.

   "Pinni sedang bersemedi dalam ruangan hingga tak mengetahui kedatangan majikan di sini, bilamana tak menyambut kedatanganmu harap majikan sudi memaafkan."

   Sekarang Bong Thian-gak baru sempat melihat wajah Nikoh setengah umur itu, mukanya bulat dengan kulit putih bersih, panca indranya sempurna dan memancarkan keanggunan. Menyaksikan hal itu, tanpa terasa dia berpikir.

   "Mungkinkah dia adalah ibu si jelek?"

   Lalu ia memperkenalkan diri.

   "Namaku Ko Hong, harap Suthay sudi banyak memberi petunjuk."

   Jit-kaucu Thay-kun menuding ke arah Nikoh setengah umur itu sembari berkata.

   "Dia adalah Hongtiang kuil ini, Keng-tim Suthay, sedang ini adalah Ko-siauhiap."

   Keng-tim Suthay tersenyum dan manggut-manggut, katanya.

   "Ko-siauhiap, belakangan ini nama besarmu menggetarkan dunia persilatan, sudah lama Pinni mendengar nama besarmu." "Ah, aku hanya seorang pemuda yang baru terjun ke dunia persilatan, Suthay terlampau memuji!"

   "Keng-tim Suthay,"

   Kata Jit-kaucu pula.

   "harap kalian menemani Ko-siangkong berbincang-bincang, bilamana Siangkong membutuhkan bantuan kalian di kemudian hari, harap kalian suka membantu sepenuh tenaga. Maaf, aku harus segera pergi."

   "Apakah majikan masih akan meninggalkan pesan lain?"

   "Sembilan hari lagi, bila aku belum kembali di kuil Kengtim- an ini, kau boleh menyampaikan semua petunjuk itu kepada Siangkong."

   Selesai berkata ia segera berkelebat dan tanpa menimbulkan sedikit suara pun berlalu dari situ. Menyaksikan ilmu meringankan tubuh Jit-kaucu Thay-kun ya begitu sempurna, diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Kepandai silatnya benar-benar sudah mencapai puncak kesempurnaan."

   Sementara dia masih termenung, Keng-tim Suthay berkata dengan suara lembut.

   "Siangkong, harap minum air teh."

   Sembari berkata, nona bermuka jelek dan Keng-tim Suthay masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian memenuhi cawan Bong Thian-gak dengan air teh baru. Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Suthay, ucapannya sebelum pergi tadi sungguh membuat hati orang merasa kuatir."

   Keng-tim Suthay tersenyum.

   "Ko-sicu tak usah murung. Segala sesuatunya telah diatur oleh takdir."

   "Suthay, aku mempunyai beberapa persoalan yang tak kupahami, bersediakah kau memberi petunjuk?"

   Tanya Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut. Keng-tim Suthay tertawa.

   "Majikan telah berpesan, oleh karena saatnya belum tiba, kurang baik untuk membongkar rahasia itu. Maaf apabila Pinni tak bisa banyak membantumu."

   Mendengar ucapan itu, kembali Bong Thian-gak berpikir.

   "Kalau dilihat dari kemampuan si nona bermuka jelek dalam melakukan pembunuhan atas kedua belas orang anggota Kaypang itu, sudah dapat diketahui dia adalah seorang jago lihai yang berilmu tinggi, sedangkan Keng-tim Suthay juga bermata amat tajam, tampaknya kesempurnaan tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan. Dengan bekal kepandaian ilmu silat yang begitu tinggi, nyatanya sikap mereka terhadap Jit-kaucu Thay-kun begitu hormat, sesungguhnya hubungan apakah yang terjalin di antara mereka bertiga?"

   Sementara dia termenung memikirkan persoalan itu, mendadak tampak paras muka Keng-tim Suthay berubah hebat, kemudian tanyanya dengan lirih.

   "Siangkong, apakah kau datang bersama sahabatmu?"

   Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera pasang telinga baik-baik, segera ia tahu di atas atap rumah telah kedatangan dua orang pejalan malam.

   Bong Thian-gak agak kuatir kalau mereka adalah anggota gedung Ilu-lim Bengcu, siapa tahu mereka tidak tega membiarkan dia pergi seorang diri, maka secara diam-diam mengutus orang menguntit.

   Maka untuk beberapa saat dia tidak mampu menjawab pertanyaan Keng-tim Suthay.

   Sementara itu Keng-tim Suthay sudah membentak dengan suara dalam.

   "Sicu darimanakah yang telah mengganggu ketenangan kami? Mengapa tidak segera turun?"

   "Hehehe,"

   Suara tawa menyeramkan berkumandang memecah keheningan malam.

   Kemudian "Sret", di tengah halaman telah bertambah dengan dua sosok manusia.

   Dengan suatu lompatan kilat, Bong Thian-gak menyusup keluar melalui jendela, sementara Keng-tim Suthay dan nona bermuka jelek itu pun telah keluar ruangan.

   Di bawah cahaya lentera yang memancar keluar dari dalam ruangan, tampak dua orang aneh berbaju putih telah berdiri di tengah halaman, jubah putih mereka diberi beberapa tambalan dari kain kuning.

   Begitu melihat siapa gerangan dua orang tamu tak diundang itu, diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dalam hati.

   "Aduh celaka! Rupanya anggota Kay-pang yang telah kemari."

   Sementara itu si nona bermuka jelek pun mengeluh dalam hati. Dalam pada itu Keng-tim Suthay telah merangkap tangan di depan dada sambil menegur.

   "Omitohud, apakah Sicu berdua adalah anggota Kay-pang?"

   Kedua orang lelaki berbaju putih itu berusia empat puluh tahunan, orang di sebelah kiri berperawakan tinggi kekar, memelihara jenggot pendek.

   Sedangkan orang di sebelah kanan berwajah bersih tapi mencorong tajam sinar matanya, jelas dia lebih cekatan dan hebat.

   Sejak menampakkan diri di situ, mereka berdua dengan tajam mengawasi nona bermuka jelek dan Bong Thian-gak tanpa berkedip, wajah mereka dihiasi hawa amarah yang amat tebal.

   Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih menyahut sambil tertawa dingin.

   "Benar, kami berdua adalah Hiangcu ruang hukuman Kay-pang."

   Dari mimik wajah mereka yang kurang cerah, Keng-tim Suthay tahu kedatangan mereka disebabkan suatu persoalan, dia merangkap tangan kembali, tanyanya.

   "Entah ada urusan apa Hiangcu berdua berkunjung ke kuil kami?"

   "Hm, tanyakan kepadanya bila ingin tahu,"

   Seru lelaki bermuka bersih sambil menunjuk ke arah nona bermuka jelek itu. Keng-tim Suthay berpaling dan memandang sekejap ke arah nona bermuka jelek itu, tanyanya pula.

   "Si jelek, apa yang telah kau lakukan sehingga membuat marah mereka berdua? Ayo cepat minta maaf kepada kedua Sicu ini!"

   "Minta maaf?"

   Jengek lelaki bertubuh kekar itu ketus.

   "Hm, tak segampang itu urusan bisa dibikin selesai."

   "Ibu, aku telah membunuh dua belas orang mereka,"

   Bisik nona bermuka jelek itu lirih. Setelah mengetahui duduk persoalannya, Keng-tim Suthay baru menyadari betapa gawatnya persoalan itu, dengan suara dalam dia lantas menegur.

   "Si jelek, mengapa kau melakukan perbuatan tolol itu?"

   Bong Thian-gak tahu semua kesulitan itu gara-garanya, coba kalau dia memberi kesempatan nona bermuka jelek itu menghabisi nyawa pengemis terakhir tadi, sudah pasti tak akan terjadi kesulitan seperti ini.

   Kay-pang merupakan perkumpulan terbesar yang mempunyai kekuasaan paling luas dalam Bu-lim, jago-jago lihainya banyak, tak bisa dihitung, cara kerja mereka pun antara sesat dan lurus, baik golongan putih maupun hitam biasanya suka mengalah terhadap masalah-masalah yang melibatkan pihak kaum pengemis.

   Menghadapi situasi saat ini mau tak mau Bong Thian-gak harus memutar otak mencari akal.

   Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih itu berkata dengan suara dingin.

   "Hutang uang bayar uang hutang nyawa harus dibayar nyawa, kami akan pergi dari sini bila pembunuhnya telah diserahkan!"

   Tiba-tiba Bong Thian-gak maju sembari menjura, kemudian katanya.

   "Saudara berdua, peristiwa terbunuhnya beberapa orang anggota perkumpulan kalian di tangan nona ini, di kemudian hari aku pasti akan berkunjung sendiri ke markas besar kalian di Sucwan untuk memberikan keadilan kepada kalian. Bagaimana kalau kalian berdua menyudahi persoalan sampai di sini dulu?"

   Lelaki berwajah bersih itu tertawa dingin.

   "Siapa namamu? Apakah dengan bekal beberapa katakatamu itu kami harus menghabisi dendam kesumat sedalam lautan begitu saja?"

   "Aku she Ko bernama Hong. Harap kau sudi memberi petunjuk,"

   Kata Bong Thian-gak menahan sabar. Nama "Ko Hong"

   Ini sudah berubah menjadi nama yang amat termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini, paras muka kedua orang Hiangcu Kay-pang itu segera berubah hebat.

   "Bagus!"

   Seru lelaki bertubuh kekar sambil tertawa tergelak.

   "Ji-siauya partai kami Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat berwajah pualam) To Siau-hou pernah menyinggung nama besarmu setelah sadar dari pingsannya tempo hari, katanya bila ingin mengetahui Put-gwa-cin-kau paling baik menemukan dirimu. Hari ini kau harus mengikuti kami pergi dari sini."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Sebetulnya aku bersedia mengikuti kalian pergi dari sini, sayang aku masih ada urusan penting lainnya yang harus segera diselesaikan, hingga...." "Kuanjurkan kepada saudara, lebih baik jangan mengikat tali permusuhan dengan Kay-pang!"

   Bentak lelaki kekar itu dengan wajah membesi. Tiba-tiba saja paras muka Bong Thian-gak berubah pula, dingin seperti es, ucapnya ketus.

   "Kalian tak akan mampu menyelesaikan persoalan ini secara baik-baik, kuanjurkan kepada kalian lebih baik cepat pulang saja, tak usah mencari penyakit buat diri sendiri."

   Beberapa patah kata itu kontan membuat kedua orang Hiangcu itu naik darah.

   Kedudukan Hiangcu dalam Kay-pang hanya sedikit di bawah Tongcu, merupakan orang ketiga yang berkuasa dalam perkumpulan, apalagi mereka adalah Hiangcu ruang hukuman, kekuasaan maupun kedudukannya tinggi sekali.

   Lelaki berwajah bersih itu tertawa seram.

   "Hehehe, mendengar perkataanmu itu, kami jadi tak tahu diri dan ingin sekali mengetahui apa yang menjadi modalmu hingga berani bersikap jumawa!"

   Si nona bermuka jelek yang selama ini hanya diam saja, mendadak berkata.

   "Bukankah kalian berdua ingin mengajakku pergi? Baiklah, aku bersedia pergi bersama kalian."

   Si jelek berpaling ke arah Keng-tim Suthay, kemudian berkati pelan.

   "Ibu, siapa membunuh orang, dia harus membayar dengan nyawa pula, putrimu merasa sudah sepantasnya mengikuti mereka untuk menerima hukuman, harap kau orang tua jangan kuatir."

   Kemudian sambil berpaling ke arah kedua orang itu, dia berkata lagi.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Semua perbuatan itu merupakan tanggungjawabku, mari kita pergi!"

   Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu punya firasat permainan apakah yang hendak dilakukan gadis bermuka jelek itu.

   Namun berhubung perkembangan peristiwa itu telah mencapai keadaan seperti ini, tentu saja dia tak dapat menghalangi niatnya lagi.

   Dalam hati dia hanya bisa berdoa secara diam-diam.

   "Semoga Thian mengampuni dosa-dosanya!"

   Begitulah dua orang Hiangcu dari Kay-pang segera membawa nona bermuka jelek itu berlalu dari situ. Memandang bayangan punggung mereka lenyap dari pandangan, Keng-tim Suthay menghela napas sedih, katanya.

   "Dosa! Dosa! Dendam berdarah ini makin lama semakin mendalam, tampaknya ikatan permusuhan ini tak bakal berakhir untuk selamanya."

   "Semoga saja sejak kini hilang semua bukti-bukti nyata, kalau tidak, entah bagaimana akhirnya nanti?"

   "Omitohud,"

   Bisik Keng-tim Suthay pelan.

   "Ko-siangkong, silakan duduk di dalam."

   Bong Thian-gak dan Keng-tim Suthay masuk dan duduk di ruang dalam. Saat itulah Keng-tim Suthay berkata.

   "Siangkong, apakah kau telah menyaksikan pertarungan itu?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Menjelang senja tadi, putrimu dikejar oleh tiga belas jago Kay-pang ...."

   Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan bagaimana peristiwa pembunuhan itu terjadi. Begitu selesai mendengar penuturan itu, Keng-tim Suthay menghela napas panjang dan berkata.

   "Ai, perbuatan yang dilakukan si jelek memang tugas yang dibebankan majikan kepada kami menyangkut keselamatan seluruh umat persilatan, apabila rahasia itu sampai dibocorkan anggota Kaypang, bukan saja keselamatan jiwa majikan kami terancam bahaya, bahkan akan menyangkut keselamatan jiwa puluhan orang lainnya."

   Bong Thian-gak terperanjat mendengar perkataan itu, katanya.

   "Apa maksud perkataanmu itu?"

   "Di kemudian hari Siangkong bakal tahu dengan sendirinya, ai! Kekuatan Put-gwa-cin-kau saat ini mengancam keselamatan umat persilatan, kekuatan sembilan partai besar dunia persilatan pun sudah dipaksa musuh hingga berada dalam posisi tak mampu melawan lagi."

   Keng-tim Suthay berhenti sejenak, lanjutnya pula.

   "Untuk menyelamatkan dunia persilatan dari berbagai pembunuhan itu, Put-gwa-cin-kau harus ditumpas sampai ke akar-akarnya dan untuk itu tampaknya hanya ...."

   Berkata sampai di sini Keng-tim Suthay menutup mulut. Makin mendengar Bong Thian-gak makin memahami akan suatu rahasia besar dunia persilatan, lekas dia bertanya.

   "Hanya apa? Mengapa Suthay tidak melanjutkan perkataanmu dengan terus-terang?"

   Keng-tim Suthay memandang sekejap ke arah Bong Thiangak, lalu ujarnya.

   "Siangkong adalah orang pandai, tentunya telah menduga garis besar duduknya persoalan bukan? Yang jelas sembilan hari lagi di Bu-lim akan muncul suatu organisasi baru yang berkekuatan besar."

   "Ah! Mengapa aku belum mendengar persoalan ini,"

   Seru Bong Thian-gak dengan terperanjat.

   "Siapa yang memimpin perkumpulan baru ini? Apakah dia?"

   Pada saat itulah dalam ruangan telah berjalan masuk si nona bermuka jelek itu, hanya kali ini dia muncul dengan pakaian bernoda darah dan peluh membasahi jidat.

   Bong Thian-gak maupun Keng-tim Suthay tahu apa yang telah diperbuat nona itu, kendatipun demikian dia tak tahan untuk tidak bertanya.

   "Nona, bagaimana caramu menghukum mereka?"

   "Membantainya sampai mampus!"

   Sahut nona itu dengan hambar. Bong Thian-gak berkerut kening dan bergumam.

   "Korban yang mengenaskan nasibnya."

   "Bila kita tidak melenyapkan mereka, pihak Kay-pang pasti akan mencari balas tiada hentinya."

   "Apa sebabnya nona tak menyembunyikan diri sementara waktu? "Si jelek, perkataan Ko-siangkong memang benar,"

   Sahut Keng-tim Suthay.

   "Untuk sementara waktu kau bersembunyi saja dalam kuil sembari menunggu petunjuk selanjutnya dari majikan."

   Bong Thian-gak segera bangkit, kepada Keng-tim Suthay ia berkata.

   "Aku tak bisa berdiam lebih lama lagi di sini, untuk sementara waktu mohon diri dahulu, tapi sebelum pergi bolehkah aku bertanya kepada Suthay, apakah kau mengetahui tempat tinggal majikan kalian?"

   "Majikan pernah memberitahu kepada Pinni bahwa Putgwa- cin-kau telah menurunkan perintah untuk membunuh Siangkong. Kini Siangkong menanyakan tempat kediaman majikan, apakah kau hendak mengantar diri ke mulut harimau?"

   Paras muka Bong Thian-gak berubah serius, katanya dengan nada sungguh-sungguh.

   "Kini keselamatan jiwanya berada dalam bahaya, bagaimana pun juga aku harus melindunginya secara diam-diam." "Majikan telah dilindungi keselamatan jiwanya oleh empat orang jago lihai, aku pikir keselamatan jiwanya tidak terlampau berbahaya."

   "Tapi lebih banyak yang melindunginya lebih baik? Kehadiranku hanya akan mendatangkan keuntungan saja baginya?"

   "Tapi jika sampai terjadi mengusik rumput mengejutkan ular, bagaimana?"

   Bong Thian-gak menghela napas panjang.

   "Ai, aku mendapat perintah melindungi keselamatan jiwanya, bagaimana pun juga aku harus berupaya dengan segala kemampuanku untuk melaksanakan tugasku sebaik-baiknya, andai aku harus mencari secara membuta, tindakan itu malahan akan mengusik rumput mengejutkan ular dan mempengaruhi situasi."

   "Omitohud, tak nyana ketajaman lidah Siangkong tidak berada di bawah kepandaian ilmu silatmu,"

   Kata Keng-tim Suthay kewalahan. bong Thian-gak tersenyum.

   "Sungkan! Sungkan, harap Suthay utarakan dengan cepat!"

   "Kantor cabang Put-gwa-cin-kau didirikan di kota Kay-hong, berada dalam sebuah kampung petani kecil, lebih kurang tiga puluh li di luar kota sebelah utara, kepala kampung tempat itu pun anggota Put-gwa t in-kau, apabila Siangkong ingin menyelundup ke dalam dusun itu, aku rasa hal ini jauh lebih sulit daripada mendaki langit."

   "Terima kasih banyak atas petunjuk Suthay, sekali pun harus mendaki bukit golok atau menembus sarang naga gua harimau, aku akan tetap berupaya menyusup ke sana."

   Kembali Keng-tim Suthay menghela napas panjang.

   "Ai, baiklah kalau Siangkong berkeras kepala, tampaknya Pinni harus menanggung resiko bakal ditegur majikan."

   Sembari berkata, dari sakunya Keng-tim Suthay mengeluarkan sebatang panah pendek tanpa bulu.

   Panah itu panjangnya cuma tiga inci dengan kepala panah terbuat dari emas murni, sementara batang panah berwarna hitam, agaknya terbuat dari kayu besi.

   Di atas panah itu tertera banyak ukiran, hanya tidak diketahui ukiran apakah itu.

   Sambil memegang panah kecil tak berbulu itu, Keng-tim Suthay berkata.

   "Panah kecil ini merupakan lencana Put-gwakim- ciam-leng dari Put-gwa-cin-kau, lencana itu melambangkan Cong-kaucu. Di dalam Put-gwa-cin-kau, orang yang mempunyai lencana panah emas ini pun hanya Ji-kaucu sampai Kiu-kaucu ditambah tiga orang komandan pasukan pengawal tanpa tanding."

   Setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh.

   "Aku harap lencana emas ini kau simpan dengan sebaik-baiknya!"

   Setelah menerima anak panah kecil itu, Bong Thian-gak berkata.

   "Apakah anak panah emas ini milik majikanmu?"

   Keng-tim Suthay menggeleng.

   "Bukan!"

   Sahutnya sambil tertawa. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, katanya kemudian.

   "Kalau begitu, Suthay juga ...."

   "Ya, dulu Pinni memang anggota Put-gwa-cin-kau, tapi sekarang bukan."

   "Bolehkah aku tahu apa kedudukan Suthay dalam perkumpulan tempo hari?" "Pinni adalah seorang di antara tiga komandan pasukan pengawal tanpa tanding, ai! Kejadian sedih di masa lampau tak usah dibicarakan lagi."

   Dalam diamnya Bong Thian-gak mengangguk, pikirnya pula.

   "Sungguh tak kusangka dia pun salah seorang anggota Putgwa- cin-kau, tampaknya pada waktu yang lampau dia mengalami suatu peristiwa yang amat memedihkan hatinya."

   Berpikir sampai di situ, anak muda itu segera bertanya.

   "Tolong tanya Suthay, bagaimana caraku mempergunakan anak panah emas ini?"

   "Kecuali terhadap dua belas orang pentolan Put-gwa-cinkau, terhadap anggota perkumpulan yang lain kau boleh menggunakan lencana panah emas ini dan memberikan perintah kepada mereka."

   "Dengan membawa lencana ini kau bisa masuk keluar di dalam perkampungan itu dengan leluasa."

   "Terima kasih banyak, Suthay!"

   Untuk kesekian kalinya Keng-tim Suthay memberi peringatan.

   "Ingat baik-baik, kedua belas pentolan Put-gwacin- kau itu saling mengenal wajah masing-masing, kau tak boleh membiarkan mereka tahu lencana panah emas ini!"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Aku pasti mempergunakannya dengan hati-hati,"

   Sahutnya. Keng-tim Suthay mengangkat kepala dan termenung beberapa saat, kemudian berkata.

   "Harap Siangkong suka memperhatikan baik-baik, terutama terhadap Ji-kaucu, orang ini licik, berbahaya, kejam dan penuh dengan tipu daya, selain matanya tajam, dia pun gampang menaruh curiga terhadap seseorang, boleh dibilang dia merupakan manusia paling berbahaya di dunia ini, dengarkan baik-baik, Pinni akan mencoba melukiskan raut wajah orang itu."

   "Suthay begitu menaruh perhatian kepadaku, sungguh membuat aku merasa berterima kasih sekali."

   Keng-tim Suthay tersenyum.

   "Di kemudian hari kita akan menjadi rekan seperjuangan dalam Bu-lim, harap Siangkong tak usah sungkan-sungkan lagi."

   Setelah berhenti sejenak, sambungnya pula.

   "Ji-kaucu berusia lima puluh tahun, tapi dipandang dari luar, usianya seperti jauh lebih muda, berdandan seorang sastrawan dan gemar memakai jubah warna hijau, potongan badannya tinggi gagah seperti potongan seorang dewa. Yang menjadi ciri khas darinya, ia mempunyai sebuah tahi lalat berwarna hitam pada ekor alis mata sebelah kirinya, dia pun suka menggembol pedang tembaga hijau di pinggangnya."

   "Dandanan semacam ini tidak sukar untuk dikenal,"

   Kata Bong Thian-gak.

   "Tentang ilmu silat Ji-kaucu ini, kepandaian silatnya yang lihai adalah ilmu beracun yang membunuh orang tak nampak darah, bila bertemu dengannya, lebih baik jangan berdiri bertentangan dengan arah datangnya angin."

   "Majikan kalian pernah menyinggung pula tentang berbahayanya Ji-kaucu ini, aku pasti akan bertindak menurut keadaan. Beruntung sekali aku telah bertemu dengan Suthay hari ini sehingga banyak rahasia Put-gwa-cin-kau yang berhasil kuketahui, umat persilatan pasti akan berterima kasih atas petunjuk Suthay ini."

   "Aku minta kau jangan memberitahukan apa yang kita bicarakan hari ini kepada orang lain, tentunya Siangkong dapat menjaga rahasia secara baik-baik bukan?"

   "Mengapa?"' "Ada satu hal mesti kau tahu, dalam gedung Bu-lim Bengcu terdapat mata-mata yang mendekam di situ, bahkan orangorang Put-gwa-cin-kau menganggap Pinni sudah meninggal dunia sejak belasan tahun berselang. Apabila rahasia ini sampai terbongkar, sudah pasti pihak Put-gwa-cin-kau akan turun tangan membekuk semua jago, hal ini dapat mempengaruhi berpuluh-puluh jiwa jago berilmu tinggi."

   Bong Thian-gak termenung beberapa saat lamanya, setelah itu katanya.

   "Hingga sekarang di dalam gedung Bu-lim Bengcu masih terdapat seorang mata-mata yang mendekam di situ, konon adalah Cap-go-kaucu. Apakah Suthay mengetahui asalusul Cap-go-kaucu ini?"

   "Sudah belasan tahun Pinni tak pernah mencampuri urusan perkumpulan, rahasia semacam itu hanya diketahui majikanku saja."

   "Persoalan ini tak mungkin bisa ditunda-tunda lagi, aku ingin mohon diri sekarang juga."

   "Apakah Siangkong tidak bersantap dulu? Bersantaplah sebelum pergi!"

   "Terima kasih banyak, sampai bertemu lagi di lain kesempatan."

   Selesai berkata, dengan cepat pemuda ini berangkat meninggalkan kuil Nikoh itu.

   Setelah keluar dari kuil, Bong Thian-gak menentukan arah tujuannya, kemudian dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya buru-buru berangkat kembali ke gedung Bu-lim Bengcu.

   Sementara Ho Put-ciang sekalian sudah menunggu di halaman tengah, mereka sedang menanti dengan perasaan sangat gelisah.

   Orang-orang itu menjadi amat gembira setelah menyaksikan Bong Thian-gak muncul kembali dalam keadaan selamat.

   Pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan segera bertanya.

   "Ko-heng, apakah menemukan sesuatu perkembangan baru?"

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Ya, tidak sia-sia perjalananku kali ini."

   "Apa yang berhasil Ko-siauhiap temukan? Apakah kau dapat memberitahukan?"

   Dengan cepat Bong Thian-gak menggeleng.

   "Aku telah berjanji kepada orang lain untuk tidak membocorkan rahasia itu, harap saudara sekalian sudi memaafkan, cuma kalian pun tak akan menanti terlalu lama."

   "Sembilan hari lagi segala sesuatunya akan menjadi terang."

   "Sebagai anggota persilatan, janji memang harus ditepati, kalau begitu Ko-siauhiap tak usah mempersoalkan itu."

   "Sembilan hari lagi, dunia persilatan akan mengalami suatu perubahan yang amat pesat, sekarang aku harus melaksanakan tugas pertama yang dibebankan Ku-lo Sinceng sebelum ajal, yaitu melindungi keselamatan Jit-kaucu."

   "Apakah kau telah berhasil menemukannya?"

   "Ya, aku telah berhasil menemukan jejaknya!"

   "Jadi orang-orang Put-gwa-cin-kau belum meninggalkan kota Kay-yang?"

   Tiba-tiba Thia Leng-juan berkata.

   "Oya, hampir saja aku lupa memberi keterangan kepada kalian, dalam sembilan hari ini, pihak Put-gwa-cin-kau akan mendatangkan semua jago intinya ke kota Kay-hong, mungkin pertempuran akan segera berlangsung, kita harus bersiap menghadapi setiap perubahan."

   "Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau pandai dalam ilmu beracun dan membunuh orang tanpa wujud, kita harus berhati-hati terhadap orang Ini, jangan sampai dia berhasil menyelundup ke dalam gedung Bu-lim Bengcu dan meracuni kita semua. Ciri muka Ji-kaucu adalah.... Secara ringkas Bong Thian-gak melukiskan raut wajah maupun ciri khas Ji-kaucu Put-gwa-cin-kau ini kepada para jago. Setelah para jago dalam gedung Bu-lim Bengcu mendapat berita itu dari mulut Bong Thian-gak, mereka mulai melakukan persiapan menghadapi setiap perubahan yang bakal terjadi. Sementara itu Bong Thian-gak sendiri sudah meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu berangkat ke tempat tujuan. oo Sebelah utara kota Kay-hong merupakan sebuah padang rumput, luasnya mencapai puluhan li, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh Bong Thian-gak melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa. Kurang lebih setengah jam kemudian dia sudah menempuh perjalanan dua puluh li. Diam-diam Bong Thian-gak berpikir.

   "Menurut keterangan Keng-tim Suthay, perkampungan itu terletak tiga puluh li di sebelah utara kota ini, berarti aku sudah makin mendekati sasaran."

   Berpikir demikian, dia lantas mempertinggi kewaspadaan dan melanjutkan perjalanan ke depan.

   Padang rumput yang liar kini telah menjadi sawah yang berpetak-petak, luasnya mencapai puluhan li.

   Bong Thian-gak harus berjalan menelusuri jalan yang diapit ole hektaran sawah yang tiada batasnya, akhirnya dia menangkap titik-titi cahaya lampu di kejauhan sana.

   Rupanya dia telah mendekati sebuah perkampungan deng bangunan yang berlapis-lapis.

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekeliling perkampungan itu dipagari dinding kayu besar ya amat tinggi, sepintas keadaan mirip sebuah benteng yang kokoh.

   Bong Thian-gak segera memperlambat gerak tubuhnya, bebera kali lompatan saja dia sudah mencapai bawah dinding sebelah barat.

   Setelah mendongakkan kepala dan memperhatikan sekej keadaan sekeliling tempat itu, tanpa menimbulkan sedikit suara pun menyelinap ke balik pagar yang tingginya mencapai satu depa lebih.

   Mendadak segulung bayangan hitam dengan membawa bau busuk menerkam datang dengan kecepatan luar biasa, Bong Thian-gak sangat terkejut, dengan cepat dia memutar tubuh seperti gangsingan dan menyelinap, menanti dia membalikkan badan, pemuda itu terperanjat.

   Rupanya di hadapannya mendekam seekor serigala yang besarnya seperti anak kerbau, bulunya yang putih dengan sepasang mata berwarna hijavi sedang melotot gusarnya ke arahnya, dilihat dari gayanya, dia sedang bersiap melancarkan tubrukan kedua.

   Selama hidup belum pernah Bong Thian-gak menyaksikan serigala sebesar itu, hatinya kontan bergidik, cepat dia memutar otak mencari suatu akal, pikirnya.

   "Kalau aku melarikan diri, pasti serigala itu akan menggonggong, sebaliknya kalau tidak pergi, bisa jadi serigala-serigala lain akan berdatangan dan semakin memusingkan kepala."

   Baru saja ingatan itu melintas, serigala itu sudah menerjang datang lagi bagai segulung angin puyuh yang menderu-deru.

   Bong Thian-gak menghindar, dia hanya sedikit menggeser bahu kirinya, lalu tangan kiri disodokkan ke atas, secara telak mencengkeram serigala itu, menyusul telapak tangan kanan diayunkan ke bawah melancarkan sebuah bacokan maut.

   Ilmu silat Bong Thian-gak telah mencapai puncak kesempurnaan, cengkeraman ini dilakukan setajam bacokan pedang atau golok.

   Seketika itu juga tulang leher serigala itu terbabat putus, apalagi ditambah bacokan telapak tangan kanannya, tak sempat bersuara lagi mampuslah serigala besar itu.

   Selesai membinasakan serigala itu, Bong Thian-gak segera membuang bangkai serigala itu ke tengah sawah, kemudian melompat melewati tembok pekarangan, tanpa berhenti dia meluncur naik ke atas atap rumah.

   Malam itu tak berbulan, hanya bintang bertaburan di angkasa membiaskan cahaya redup, namun bagi Bong Thiangak yang bertenaga dalam sempurna, ia dapat menyaksikan pemandangan yang berada setengah li di sekeliling tempat itu.

   Sambil mendekam di atas atap rumah Bong Thian-gak mencoba mengamati keadaan sekeliling sana.

   Rupanya tempat itu merupakan sebuah perkampungan yang terdiri dari dua ratus orang kepala keluarga, kebanyakan merupakan rumah petani yang sederhana, hanya di sudut utara sana berdiri kokoh sebuah gedung yang sangat besar.

   Satu-satunya keistimewaan dusun ini adalah setiap rumahnya teratur rapi dan bersih dengan jalan raya yang lebar, di tepi jalan tertanam pepohonan yang rindang, betulbetul sebuah perkampungan yang sangat nyaman.

   Mendadak Bong Thian-gak menyaksikan dari jalan raya dalam perkampungan bermunculan kawanan serigala melakukan perondaan kian-kemari, tampaknya serigalaserigala itu memang sengaja disebar di setiap sudut perkampungan sebagai penjaga.

   Terkesiap Bong Thian-gak menyaksikan kejadian itu, diamdiam pikirnya.

   "Tak heran perkampungan petani ini tanpa seorang pun, rupanya mereka menggunakan serigala untuk melakukan perondaan malam."

   Hampir saja Bong Thian-gak kehabisan daya setelah menyaksikan begitu banyak anjing serigala yang berkeliaran di sana, dia tak tahu dengan cara bagaimana dirinya harus menyelundup ke perkampungan petani itu.

   Waktu itu baru menjelang malam, namun perkampungan petani yang amat luas itu tak nampak seorang pun yang berlalu-lalang, dari dua ratus kepala keluarga yang berdiam di situ, hanya beberapa rumah saja yang memancarkan cahaya.

   Kembali Bong Thian-gak berpikir.

   "Kepala perkampungan tani ini mungkin berdiam dalam gedung yang megah itu, bila Jit-kaucu Thay-kun berada dalam perkampungan ini sudah pasti dia berada di dalam situ."

   Berpikir demikian, dengan berhati-hati Bong Thian-gak melompat ke atas atap rumah dan bergerak menuju ke arah gedung megah di sebelah timur laut dengan gerakan hati-hati sekali.

   Dia tahu betapa tajam daya penciuman serta pendengaran serigala-serigala itu, tubuhnya bergerak seperti burung walet dan secepat sambaran kilat meluncur ke muka tanpa menimbulkan sedikit suara pun.

   Akhirnya dia berhasil melewati pengawasan kawanan serigala itu dan melayang turun di atas sebatang pohon Pekyang yang berada di balik bangunan gedung megah itu.

   Setibanya di atas pohon Pek-yang yang rimbun itu, sekali lagi Bong Thian-gak mengamati keadaan sekeliling tempat itu.

   Di sekitar halaman bangunan itu tidak nampak seekor serigala pun, juga tak nampak orang melakukan perondaan, semua itu membuat Bong Thian-gak lega.

   Dia hanya takut terhadap serigala, namun tidak takut kepada para peronda.

   Dengan sepasang matanya yang tajam bagaikan burung hantu Bong Thian-gak memusatkan segenap perhatian memeriksa keadaan di situ, siapa tahu dia menemukan sesuatu.

   Mendadak dari kejauhan sana terdengar suara langkah kaki manusia yang berkumandang makin mendekat.

   Dengan cepat Bong Thian-gak mendongakkan kepala.

   Dari balik sebuah pintu gerbang, tampak dua orang berjubah hijau muncul dan berjalan ke arah pohon Pek-yang dimana Bong Thian-gak bersembunyi.

   Dengan terkesiap anak muda itu berpikir.

   "Ah, janganjangan dia sudah mengetahui jejakku?"

   Berpikir demikian, tanpa terasa dia meningkatkan kewaspadaan untuk menjaga segala kemungkinan yang tak diinginkan.

   Tampak kedua orang berjubah hijau itu berjalan menuju ke bawah pohon Pek-yang dan tiba-tiba berhenti.

   Orang yang agak pendek sebelah kiri berdehem pelan, lalu dengan suara rendah, berat dan parau ia berkata.

   "Hay-heng, bukankah Ji-kaucu akan datang pada malam nanti?"

   Mendengar nama Ji-kaucu, Bong Thian-gak berkesiap, segera pikirnya.

   "Ah, gembong iblis itu akan datang, betulbetul suatu kejadian yang sama sekali di luar dugaan, mungkin keadaan rada kurang beres."

   Berpikir sampai di situ, orang she Hay itu menjawab agak dingin.

   "Angheng, Ji-kaucu memang seharusnya sampai di sini sejak kemarin malam."

   "Hay-heng, tahukah kau bahwa kehadiran Ji-kaucu di kantor cabang kota Kay-hong ini menunjukkan duduk persoalan agak sedikit luar biasa?"

   Kembali orang berjubah hijau she Ang itu bertanya.

   "Ya, betul! Duduknya persoalan memang terasa agak luar biasa, kalau tidak, Ji-kaucu tak akan mengutus kita berdua untuk datang kemari tiga hari lebih awal!"

   Orang she Ang itu tertawa kering.

   "Kita berdua adalah utusan pembuka jalan Ji-kaucu, setiap kali Ji-kaucu hendak berkunjung ke suatu tempat, kita berdualah yang selalu diutus melakukan penyelidikan terlebih dahulu keadaan di sekitar daerah kunjungannya, kebanggaan seperti ini sesungguhnya kita patut gembirakan."

   Dari pembicaraan itu Bong Thian-gak segera tahu bahwa kedua orang ini adalah orang kepercayaan Ji-kaucu, menyaksikan cara mereka berjalan maupun bertingkah-laku, bisa diduga ilmu silat yang mereka miliki bukan kepandaian silat kelas dua.

   Kenyataan itu membuat Bong Thian-gak semakin tak berani bertindak gegabah, bahkan untuk bernapas pun dia telah menggunakan ilmu Kui-si-hoat (ilmu bernapas kura-kura).

   Tiba-tiba terdengar orang she Hay berkata kembali.

   "Sekali pun tugas yang dibebankan kepada kita merupakan suatu kebanggaan tersendiri, namun tanggung-jawabnya besar sekali, bahkan sedikit kesalahan pun tak boleh terjadi. Ketika kemari, sebenarnya aku merasa sedikit kurang tenang."

   "Mengapa?"

   "Mengapa? Tidakkah kau lihat, berapa banyak sudah pentolan dari tingkat lencana panah emas yang berdatangan ke gedung ini?"

   "Kan baru Jit-kaucu, Liok-kaucu, Kiu-kaucu serta komandan pasukan pengawal tanpa tanding nomor dua!"

   "Dari empat orang pentolan tingkat lencana panah emas yang telah hadir itu, tiga di antaranya adalah murid Cong kaucu yang paling disayang, terutama sekali kedudukan Jitkaucu, mereka sama-sama mempunyai kekuasaan besar."

   "Hay-heng, keanehan apa yang terdapat di balik semua itu?"

   Tanya orang she Ang itu keheranan. Orang she Hay tertawa dingin.

   "Ehm, masa kau tak pernah mendengar pepatah mengatakan, 'Di atas sebuah bukit tak boleh dihuni sepasang harimau'? Baik Jit-kaucu maupun Jikaucu boleh dibilang sama-sama punya kekuasaan besar dalam Put-gwa-cin-kau, menurut pendapatmu, apa sebabnya Cong-kaucu mengirim mereka berdua ke satu tempat yang sama? Itulah sebabnya bisa kuduga di sini telah terjadi suatu peristiwa maha besar."

   Orang she Ang termenung beberapa saat, lalu berkata.

   "Hay-heng, menurutmu, kekuasaan Jit-kaucu dan Ji-kaucu sama besarnya, tapi menurut pendapatku, kedudukan Ji-kaucu jauh lebih tinggi."

   "Ah, kau ini tahu apa?"

   Kata orang she Ang dingin. Setelah berhenti sejenak, ia berkata lebih jauh.

   "Ang-heng baru tiga tahun bergabung dengan perkumpulan kita, tentu saja kau tidak mengetahui rahasia besar Cong-kaucu kita itu."

   "Rahasia besar apa?"

   Tiba-tiba orang she Hay itu merendahkan suaranya dan berkata.

   "Ang-heng, aku bersedia memberitahu soal ini kepadamu, tapi jangan beritahukan lagi kepada orang lain."

   "Tak usah kuatir Hay-heng, aku merasa amat cocok denganmu, bahkan kau sudah kuanggap sebagai saudara sendiri, masa aku bakal mengkhianati dirimu?"

   "Kalau begitu kuberitahukan kepadamu, meski Jit-kaucu adalah anak angkat serta murid Cong-kaucu, padahal yang benar Jit-kaucu merupakan Suhu Cong-kaucu."

   Orang she Ang seperti terkejut sekali, segera tanyanya dengan perasaan tidak habis mengerti.

   "Hay-heng, kau bilang Jit-kaucu adalah guru Cong-kaucu? Atas dasar apa kau berkata demikian?"

   "Sebab ilmu silat Cong-kaucu adalah atas ajaran Jit-kaucu,"

   Bisik mang she Hay.

   "Beberapa tahun berselang, aku pernah ditugaskan memikul tanggung-jawab sebagai komandan pasukan pengawal dari istana bagian dalam, itulah sebabnya aku mengetahui persoalan ini."

   Ketika mendengar perkataan itu, dengan suara heran orang she Ang berseru.

   "Jadi kalau begitu ilmu silat Jit-kaucu masih jauh di atas kepandaian Cong-kaucu?"

   Dengan cepat orang she Hay menggeleng kepala berulangkali.

   "Soal itu aku kurang tahu,"

   Sahutnya. Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan.

   "Ang-heng, oleh sebab itu hubungan Jit-kaucu dengan Cong-kaucu sesungguhnya sangat kacau, kendatipun dibilang kedudukan serta kekuasaan Jitkaucu masih di bawah Ji-kaucu, namun karena Jit-kaucu mempunyai hubungan yang amat istimewa dengan Congkaucu maka atas dasar apa kau mengatakan kedudukan siapa lebih tinggi dari siapa?"

   Mendadak orang she Ang merendahkan suaranya, sambil berbisik.

   "Hay-heng, menurut pendapatmu, kejadian apakah yang mungkin akan terjadi di sini?"

   Dengan cepat orang she Hay menggeleng kepala berulangkali.

   "Aku kurang jelas dan tak berani memastikan. Pokoknya kita berdua harus melaksanakan tugas seperti apa yang diperintahkan Ji-kaucu, setia dan taat pada pekerjaan serta perintah."

   Bicara sampai di situ, dia mendongakkan kepala dan memandang sekejap keadaan cuaca, kemudian melanjutkan.

   "Ang-heng, malam ini kau bertugas sampai tengah malam nanti, sedang tengah malam nanti sampai pagi adalah giliranku!"

   "Ah, tanpa terasa setengah jam sudah kita lewatkan untuk berbincang-bincang. Hay-heng, silakan pergi beristirahat!"

   "Silakan Ang-heng!"

   Seru orang she Hay.

   Sembari berkata, orang she Hay membalikkan badan dan masuk kembali ke dalam gedung.

   Kini di bawah pohon Pek-yang tinggal lelaki berjubah hijau she Ang itu seorang.

   Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak, segera pikirnya.

   "Mengapa aku tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk melenyapkan kedua orang ini lebih dulu."

   Tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya.

   "Bila mereka dilenyapkan dan Ji-kaucu tiba kemari, bagaimana jadinya?"

   Baru saja dia berpikir sampai di situ, mendadak orang she Ang itu sudah lenyap tak ketahuan kemana perginya. Bong Thian-gak berkerut kening, pikirnya.

   "Ilmu silat orang ini sangat lihai, tak nyana gerak-geriknya sama sekali tak menimbulkan suara."

   Untuk beberapa saat Bong Thian-gak duduk termangu di bawah pohon Pek-yang, selang tak lama dia baru mengeluarkan sebuah botol obat dan mengambil sebutir di antaranya, lalu dengan kukunya merobek kulit obat tadi, diletakkan di atas telapak tangan dan digosok-gosok sebentar, kemudian dioleskan ke wajah sendiri.

   Paras muka Bong Thian-gak yang semula pucat-pias itu mendadak berubah merah padam, usianya yang berumur sekitar dua puluh lima-enam tahun pun sekarang nampak sepuluh tahun lebih tua.

   Ternyata isi botol obat itu adalah Pek-pian-gi-yong-wan (Pil perubah selaksa wajah) peninggalan Jian-bin-hu-li Ban Li-biau di masa lampau.

   Pil obat semacam ini merupakan obat sangat mujarab, ketika Ban Li-biau dikejar umat persilatan di masa lampau, dengan mengandalkan pil penyaru muka inilah dia berhasil meloloskan diri dari pengejaran sehingga orang persilatan tak pernah menemukan dirinya.

   Selesai mengubah wajah, sementara itu Bong Thian-gak sudah melompat turun dari atas pohon Pek-yang.

   Dia lantas berpikir.

   "Sekarang aku telah mengubah wajah, meski berjumpa orang yang kukenal, belum tentu mereka bisa mengenali diriku dengan gampang."

   Karena berpendapat demikian, nyali Bong Thian-gak semakin besar, pertama-tama dia mengelilingi gedung itu satu lingkaran lebih dulu, kemudian melakukan penelitian terhadap setiap sudut halaman gedung itu.

   Mendadak dari balik pintu halaman sebelah kiri Bong Thiangak mendengar suara nyaring, dengan cekatan pemuda itu menyelinap di balik pepohonan dan menyembunyikan diri.

   Tampak sesosok bayangan menerobos keluar dari balik jendela.

   Di bawah cahaya bintang yang redup, dia dapat melihat orang itu seorang dayang berbaju biru.

   Usia dayang itu antara tujuh-delapan belas tahun, dengan amat seksama dia memeriksa keadaan sekeliling tempat itu, kemudian berjalan menuju ke sebuah kebun bunga kecil di sebelah utara.

   Bong Thian-gak merasa betapa mencurigakan gerak-gerik dayang itu, didorong perasaan ingin tahu, secara diam-diam dia menguntitnya.

   Dengan ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna, tentu a)a gerak-geriknya tidak diketahui pihak lawan.

   Setelah masuk ke dalam kebun bunga, mendadak dayang berbaju bini itu duduk di atas gunung-gunungan sambil bertopang dagu, sementara sorot matanya dialihkan ke atas entah sedang memikirkan apa? Atau mungkin juga ia sedang menantikan seseorang? Dengan sabar dan tenang Bong Thian-gak menunggu beberapa saat, ketika tidak menjumpai sesuatu yang mencurigakan, sebenarnya dia hendak berlalu dari sana.

   Siapa tahu pada saat inilah dari balik kebun bunga muncul sesosok bayangan orang yang bergerak seperti sukma gentayangan.

   Orang itu berjubah panjang berwarna hijau, berperawakan gemuk tapi kekar.

   "Ah! Bukankah dia orang she Ang."

   Ya, orang itu memang salah satu di antara dua petugas yang diutus Ji-kaucu dan tadi sedang berbincang-bincang di bawah pohon Pek-yang itu. Orang she Ang itu langsung berjalan menuju ke arah dayang berbaju biru, ia berkata.

   "Cong-kaucu telah mengambil keputusan tak datang ke kota Kay-hong, yang datang adalah Ji-kaucu."

   "Kapan Ji-kaucu sampai di sini?" "Seharusnya kemarin malam, tapi sampai sekarang belum nampak muncul di sini, mungkin malam nanti atau mungkin juga besok."

   Tanya-jawab dilakukan kedua orang ini secara singkat, tapi jelas sebelumnya tidak saling menyapa, tampaknya kedua belah pihak sama-sama didesak oleh waktu. Selesai mendengar tanya jawab itu, tergerak hati Bong Thian-gak, ia lantas berpikir.

   "Oh, rupanya orang she Ang ini seorang mata-mata! Tapi mata-mata siapa? Mungkinkah mata-mata yang dikirim oleh Jit-kaucu Thay-kun?"

   Berpikir sampai di situ, Bong Thian-gak jadi teringat perkataan yang pernah disampaikan Keng-tim Suthay kepadanya.

   "Di sekeliling Jit-kaucu terdapat banyak jago lihai yang melindungi keselamatannya."

   Belum habis dia berpikir, dayang berbaju biru berkata.

   "Majikan bertanya, apakah keadaanmu aman?"

   "Aman sekali,"

   Jawab orang she Ang.

   Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tolong sampaikan kepada majikan, katakan aku sudah dipergunakan oleh Jikaucu."

   "Majikan berpesan, bila menjumpai sesuatu yang aneh, segera meloloskan diri, jangan melakukan pengorbanan siasia."

   "Ehm, aku tahu, hubungan kita malam ini sampai di sini dulu."

   Dayang berbaju biru tak bicara lagi, mendadak ia bangkit dan siap berlalu dari situ. Siapa tahu pada saat itu juga mendadak dari balik kebun bunga melompat keluar sesosok bayangan orang.

   "Ah!"

   Dengan terkejut dayang berbaju biru berteriak.

   Dengan cekatan orang she Ang pun membalikkan badan, tapi segera pula ia tertegun pula.

   Bong Thian-gak melihat pula kehadiran orang itu.

   Orang yang muncul dari balik kebun bunga itu berwajah dingin menyeramkan, dia adalah orang berjubah hijau she Hay itu.

   Dengan terkejut bercampur heran Bong Thian-gak membatin.

   Dia menyadari apa gerangan yang sebenarnya terjadi.

   Sementara itu orang she Ang sudah tahu rahasianya terbongkar, dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

   "Hahaha, belum tidur saudara,"

   Dengan senyum yang amat tenang orang she Ang itu menegur pelan. Orang she Hay tertawa dingin.

   "Ang Teng-siu, aku sudah cukup liima menantikan kedatanganmu di sini."

   Sembari berkata, selangkah demi selangkah orang she Hay itu menuju ke kebun dekat gunung-gunungan dan langsung menghampiri dayang berbaju biru serta orang she Ang itu.

   "Hay Tiong-kim, kau terlalu menyiksa diri!"

   Seru Ang Tengsiu sambil tertawa. Hay Tiong-kim menarik wajah dan berkata dingin.

   "Siapakah dayang ini? Asal kau mau mengaku terus-terang, aku orang she Hay masih akan mengingat hubungan kita di masa lampau dengan memohonkan hukuman yang lebih ringan dari Ji-kaucu, kalau tidak, hm, malam ini kau Ang Tengsiu sudah ditakdirkan untuk mampus!"

   "Siapa yang bakal mampus, saat ini masih sukar untuk diduga, lebih baik jangan bicara sembarangan,"

   Kata Ang Teng-siu tertawa.

   Sambil berkata, seperti sambaran angin puyuh Ang Tengsiu menerjang ke arah Hay Tiong-kim.

   Dengan cekatan Hay Tiong-kim bersiap melancarkan serangan httlasan.

   Siapa tahu, pada saat itulah dari belakang tubuhnya berhembus datang segulung angin pukulan yang sangat kuat, Hay Tiong-kim segera merasakan isi perutnya hancur berantakan, tak sempat mendengus lagi tubuhnya mencelat ke depan dan roboh terjengkang ke atas tanah.

   Kebetulan sekali Ang Teng-siu juga sedang melancarkan serangan ke depan.

   "Duk!", bagaikan layang-layang putus benang, tubuh Hay Tiong-kim mencelat.

   "Blam", debu dan pasir beterbangan memenuhi angkasa, setelah Hay Tiong-kim tak pernah merangkak bangun lagi. Kepandaian silat Ang Teng-siu memang lihai, begitu serangannya bersarang di tubuh Hay Tiong-kim, dia segera merasakan tubuh musuh bagaikan sesosok mayat saja, segulung tenaga perlawanan pun tidak ada. Maka dengan cekatan dia menyelinap ke depan, kemudian membangunkan mayat Hay Tiong-kim itu. Tampak darah kental mengucur dari tujuh lubang indra Hay Tiong-kim, jantungnya waktu itu sudah berhenti berdenyut. Sementara itu dayang berbaju biru telah menerjang datang pula, melihat Hay Tiong-kim sudah tewas, ia berkata sambil menghela napas panjang.

   "Kepandaian silat Ang-tayhiap benar-benar luar biasa, malam ini sepasang mataku benarbenar terbuka."

   Dengan wajah serius Ang Teng-siu bangkit, kemudian dengan sorot mata tajam bagaikan kilat dia mengawasi keadaan sekeliling tempat itu. Lama, lama kemudian, dia baru menghela napas panjang.

   "Ai, Hay Tiong-kim bukan mati di tanganku,"

   Dia berkata.

   "Di dunia dewasa ini mungkin hanya majikan seorang yang memiliki tenaga pukulan sehebat itu dan mampu membinasakan musuh dalam sekali pukulan saja."

   "Apa? Hay Tiong-kim bukan mati di tanganmu?"

   Seru dayang berbaju biru itu terkejut. Ang Teng-siu menggeleng kepala berulang kali.

   "Dengan kepandaian silat Hay Tiong-kim, tak mungkin aku orang she Ang sanggup membunuhnya dalam sekali ayunan tangan saja."

   Paras dayang berbaju biru itu segera berubah hebat.

   "Tapi majikan...."

   "Kenapa dengan majikan?"

   "Satu jam berselang majikan telah pergi bersama Kiukaucu!"

   Sementara itu Bong Thian-gak yang bersembunyi pelanpelan telah melangkah keluar dari tempat persembunyiannya dan maju menghampiri mereka.

   Pandangan Ang Teng-siu dan dayang berbaju biru itu serentak dialihkan ke wajah Bong Thian-gak dan menatapnya lekat-lekat.

   Mendadak Bong Thian-gak berhenti, berhenti di hadapannya.

   "Siapakah kau?"

   Ang Teng-siu menegur dengan suara rendah.

   Bong Thian-gak mengangkat tangan kirinya, sekilas cahaya emas memancar keempat penjuru, tahu-tahu tangannya telah bertambah dengan sebilah anak panah kecil tanpa bulu.

   Paras muka Ang Teng-siu berubah hebat, segera serunya dengan terkejut.

   "Ai, lencana Put-gwa-kim-ciam-leng!"

   Dengan cepat Bong Thian-gak menyimpan kembali lencana panah emas itu ke dalam sakunya, kemudian berkata pelan.

   "Segala sesuatunya telah kusaksikan dengan jelas."

   "Apakah kau komandan pasukan ketiga pengawal tanpa tanding?"

   Pertanyaan itu diajukan Ang Teng-siu dengan suara agak gemetar, sudah jelas dia dicekam perasaan takut.

   "Ang Teng-siu!"

   Ujar Bong Thian-gak kemudian.

   "Kalian tak usah takut, apa yang telah kusaksikan malam ini, tak akan kuberitahukan kepada orang kedua, tapi kalian pun jangan memberitahukan pihak ketiga kalau telah berjumpa denganku."

   Selesai berkata, dia membalikkan badan dan siap berlalu dari situ. Mendadak seru Ang Teng-siu.

   "Saudara, harap tunggu sebentar!"

   "Masih ada urusan apa?"

   Tanya Bong Thian-gak seraya berpaling.

   "Tolong tanya, apakah Hay Tiong-kim tewas oleh pukulanmu?"

   "Benar, oleh karena aku muak menyaksikan tingkahlakunya, maka aku telah membunuhnya."

   Ternyata Bong Thian-gak kuatir pertarungan antara Ang Teng-siu dan Hay Tiong-kim bisa mengejutkan orang lain, maka dia mengerahkan ilmu Tat-mo-khi-kang yang maha dahsyat, serangan itu kontan saja membuat isi perut Hay Tiong-kim hancur.

   Ang Teng-siu segera menghembuskan napas lega, sesudah mengetahui Hay Tiong-kim tewas di tangan Bong Thian-gak, dia seperti lepas dari tindihan batu cadas seberat seribu kati.

   Dengan hormat dia menjura dalam-dalam kepada Bong Thian-gak, lalu ujarnya.

   "Terima kasih banyak atas bantuan yang telah kau berikan kepadaku."

   Bong Thian-gak tertawa dingin.

   "Bila Ji-kaucu datang nanti, bagaimana caramu menghadapinya?" "Itu soal gampang, asal kubuatkan suatu cerita yang seram lalu melenyapkan jenazah Hay Tiong-kim, urusan akan menjadi beres dengan sendirinya."

   "Kalau memang begitu, kalian boleh segera bekerja!"

   Selesai berkata, dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ, namun baru berjalan beberapa langkah, dia sudah membalikkan badan seraya berkata.

   "Cengcu berdiam dimana?"

   "Di halaman lapis keempat, ada urusan apa kau mencarinya?"

   "Baru saja aku kemari, sekarang aku membutuhkan suatu tempat untuk beristirahat."

   Tergerak hati Ang Teng-siu mendengar perkataan itu, cepat dia berkata.

   "Kini Hay Tiong-kim sudah mati, bila kau tidak menaruh curiga, silakan menginap semalam di loteng itu."

   "Di loteng itu, selain kau dan Hay Tiong-kim, masih ada siapa?"

   "Hanya kami berdua!"

   Bong Thian-gak manggut-manggut.

   "Bagus sekali, kalau begitu aku jalan duluan!"

   Dengan sepasang mata terbelalak lebar, Ang Teng-siu dan dayang berbaju biru itu menyaksikan bayangan punggung Bong Thian-gak lenyap di ujung kebun sana. Setelah bayangan pemuda itu hilang dari pandangan, dayang berbaju biru itu baru berkata lirih.

   "Ang-tayhiap, gerak-gerik orang ini amat mencurigakan, sebenarnya siapa orang ini?"

   Ang Teng-siu menggeleng kepala berulang-kali.

   "Seandainya orang ini benar-benar merupakan salah satu pentolan Put-gwa-cin-kau, sudah pasti dia Go-kaucu atau Su kaucu, atau bisa jadi komandan pasukan ketiga pengawal tanpa tanding."

   "Kalau dilihat dari tenaga serangannya yang dipakai untuk membunuh Hay Tiong-kim, sudah jelas dia menggunakan ilmu pukulan bertenaga dalam dahsyat. Orang ini berwajah biasa tapi kelihaian ilmu silatnya tak bisa ditandingi oleh kau maupun aku."

   "Jika majikan sudah pulang nanti, cepat laporkan bentuk wajah orang itu untuk mendapat kepastian. Soal jenazah Hay Tiong-kim, biar aku saja yang mengurus."

   Ang Teng-siu dan dayang berbaju biru itu pun berpisah untuk melakukan pekerjaannya masing-masing.

   Dalam pada itu Bong Thian-gak telah menuju ke loteng seorang diri, lentera dalam ruangan belum padam, dalam ruangan yang besar nampak meja kursi lengkap, segala sesuatunya diatur sangat rajin dan bagus, kamar tidur berada di atas loteng dan terbagi dalam empat bilik tersendiri.

   Bong Thian-gak memeriksa setiap bagian rumah itu secara seksama, dua di antaranya nampak bekas dipakai.

   Sementara dua ranjang lain masih tetap rapi dan rajin, selimut maupun seprei masih licin dan rapi.

   Bong Thian-gak memilih kamar yang tak berlampu untuk tinggal di situ, mula-mula dia membuka daun jendela, kemudian menutup pintu dan duduk bersila sambil mengatur pernapasan.

   Kurang lebih setengah jam kemudian dari atas loteng terdengar suara langkah kaki dan kemudian terdengar suara Ang Teng-siu bertanya.

   "Tuan, kau berdiam di kamar yang mana?"

   "Ruang ketiga."

   "Aku ingin berbicara denganmu,"

   Kembali Ang Teng-siu berkata dari luar ruangan.

   "Pintu kamar hanya dirapatkan, masuklah!"

   Ang Teng-siu yang berada di luar pintu nampak agak sangsi, sesaat kemudian pelan-pelan dia membuka pintu kamar dan masuk ke dalam dengan sepasang telapak tangannya disilangkan di depan dada.

   "Apakah jenazah Hay Tiong-kim sudah kau bereskan?"

   "Seujung rambut pun tak tertinggal."

   "Persoalan apakah yang hendak kau sampaikan kepadaku?"

   "Hamba ingin mengetahui nama dan kedudukanmu di dalam jiei kumpulan kita?"

   "Tanyakan saja kepada Jit-kaucu, dia pasti tahu."

   "Ada satu hal yang tidak hamba ketahui, mengapa kau membunuh Hay Tiong-kim? Andaikata peristiwa ini sampai berhasil diselidiki Ji-kaucu ...."

   Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak menukas.

   "Lencana panah emas mempunyai kekuasaan menentukan hidup mati seseorang, atas dasar apa Ji-kaucu hendak mengurus tindakan ini?"

   "Walaupun perkataanmu benar, tapi kau telah mengikat tali permusuhan pribadi dengan Ji-kaucu ...."

   Belum habis perkataan itu diucapkan, mendadak Bong Thian-gak bertanya.

   "Hei, coba dengar, suara apakah itu?"

   Ang Teng-siu agak tertegun mendengar perkataan itu, katanya.

   "Ah, suara apa? Aku tidak mendengar suara apa pun."

   Rupanya Bong Thian-gak telah menangkap serentetan suara irama musik yang berkumandang datang secara lamatlamat dari kejauhan sana.

   Suara musik itu ada tambur, gembrengan serta aneka macam alat musik lainnya, irama yang dibawakan juga irama yang aneh sekali, sedemikian anehnya hingga siapa pun yang mendengar seakan-akan tertidur.

   Dalam pada itu Ang Teng-siu telah mendengar suara musik itu.

   Dengan paras muka berubah hebat ia menjerit kaget.

   "Ah, Ji-kaucu telah datang!"

   Mendengar nama "Ji-kaucu", hati Bong Thian-gak bergetar keras, dia berkata.

   "Kau maksudkan Ji-kaucu telah datang?"

   "Irama musik itu merupakan irama Im-siau-biau-hun-lok (Buaian awan sukma melayang) dari Ji-kaucu."

   Bicara sampai di situ mendadak Ang Teng-siu seperti teringat akan sesuatu, dia segera berpikir.

   "Aneh, mengapa ia tidak memahami irama Im-siau-biau-hun-lok dari Ji-kaucu?"

   Sementara itu walaupun Bong Thian-gak sudah menduga secara lamat-lamat Ang Teng-siu adalah komplotan Jit-kaucu Thay-kun, namun berhubung dia belum berjumpa dengan Thay-kun, maka ia tak bisa menerangkan identitas sendiri secara terang-terangan.

   Dalam pada itu irama musik makin lama terdengar semakin jelas, tentu mereka sudah semakin dekat dengan perkampungan petani itu.

   Tiba-tiba Ang Teng-siu bertanya lagi.

   "Sebenarnya siapa kau? Sebentar lagi Ji-kaucu akan tiba di sini, kita harus mencari akal untuk menghadapi keadaan ini."

   "Siapakah aku, untuk sementara waktu tak usah kau urus, pokoknya aku sealiran dan setujuan denganmu."

   "Sebentar lagi Ji-kaucu sudah sampai di perkampungan petani ini, apa yang hendak kau lakukan?"

   "Aku telah mempersiapkan segalanya bagi diriku sendiri, lebih baik kau mengerjakan saja pekerjaanmu."

   
Pendekar Cacad Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau begitu aku harus pergi menyambut kedatangan Jikaucu." "Silakan pergi."

   "Kau harus baik-baik menjaga diri."

   Selesai berkata Ang Teng-siu membalik badan dan berjalan keluar ruangan, lalu turun dari loteng.

   Bong Thian-gak sendiri masih tetap duduk bersila di atas pembaringan, sementara benaknya berputar, berusaha menemukan cara terbaik untuk menghadapi keadaan itu.

   Tugasnya sekarang adalah melindungi keselamatan jiwa Jitkaucu Thay-kun secara diam-diam, tapi sekarang Thay-kun tidak berada dalam perkampungan, apa yang harus dilakukan? Pikir punya pikir, bagaikan sambaran angin berpusing Bong Thian-gak melompat turun dari pembaringan dan menerobos keluar melalui jendela dan melayang ke atas atap rumah.

   Bintang bertaburan di angkasa, udara malam itu amat bersih, tapi suasana hening mencekam seluruh perkampungan petani itu.

   Waktu itu setiap rumah penduduk telah memasang lentera, kelihatan bayangan orang bergerak kian kemari.

   Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, beberapa kali lompatan saja Bong Thian-gak telah sampai di depan pintu gerbang halaman muka dan membaurkan diri di antara kerumunan orang banyak.

   Sementara itu suara musik yang sangat aneh dan membuai peiasaan itu sudah semakin mendekati tempat itu.

   Akhirnya dari ujung jalan perkampungan muncul serombongan Delapan orang pemusik berjubah panjang warna hijau dengan diiringi sebuah tandu besar yang megah dan mewah pelan-pelan berjalan mendekat, tandu itu sangat besar dan digotong oleh delapan orang berjubah panjang warna hijau pula.

   Bong Thian-gak berbaur dengan orang banyak dan menyaksikan gaya jumawa Ji-kaucu, diam-diam menyumpah dalam hati.

   "Keparat cucu kura-kura, pandai sekali dia mencari kenikmatan hidup."

   Dalam waktu singkat tandu itu sudah berhenti di depan pintu gerbang, irama musik pengiring berhenti pula, seorang lelaki berjubah panjang warna hijau berseru dengan suara lantang.

   "Ji-kaucu tiba ...."

   Ucapan terakhir sengaja ditarik panjang, suara yang nyaring berkumandang hingga sejauh sepuluh li lebih di tengah keheningan malam. Semua serentak membungkukkan badan memberi hormat pada tandu besar itu sambil berseru.

   "Menyambut dengan hormat kedatangan Ji-kaucu!"

   Bong Thian-gak yang mencampurkan diri di antara kerumunan orang ikut menundukkan kepala, pada kesempatan itu ia mendongakkan kepala dan menyapu sekejap ke arah orang-orang yang berada di sekitar sana.

   Pada barisan depan dekat pintu gerbang berdiri seorang aneh berambut awut-awutan, di kiri-kanannya masing-masing berdiri dua orang berbaju perlente berkerudung.

   Kecuali terhadap tiga orang yang dikenal Bong Thian-gak sebagai Liok-kaucu serta dua orang pengawal tanpa tanding, yang lain semuanya berwajah asing dan tak seorang pun yang dikenalnya.

   Dalam arena tak nampak Jit-kaucu Thay-kun, Kiu-kaucu Ni Kiu-yu serta orang berkerudung berjubah hitam yang dikenal sebagai komandan pasukan kedua pengawal tanpa tanding.

   Dari mulut dayang berbaju biru, Bong Thian-gak tahu Jitkaucu serta Kiu-kaucu telah meninggalkan perkampungan petani itu dan hingga kini belum pulang, tapi kemana pula perginya si orang berkerudung hitam? Sementara dia melamun, kain tirai tandu disingkap orang, lalu pelan-pelan berjalan keluar seorang sastrawan berbaju hijau.

   Dia berwajah keren dengan jenggot sepanjang dada, sorot matanya tajam bagaikan sembilu, perawakan tubuhnya jangkung dan berwajah cerah, sekilas pandang siapa pun tak akan menduga dia seorang kakek berusia lima puluh sembilan tahun, karena wajahnya seperti jauh lebih muda sepuluh tahun.

   Di bawah petunjuk Keng-tim Suthay, Bong Thian-gak sudah tahu ciri khas Ji-kaucu ini, betul juga pada ujung alis mata sebelah kirinya terdapat sebuah tahi lalat hitam, sebilah pedang antik tersoreng di pinggangnya.

   Begitu dia turun dari tandu, Liok-kaucu maju menyambut kedatangannya sambil berbisik-bisik membicarakan sesuatu dengan suara amat lirih.

   Kemudian Ji-kaucu mendongakkan kepala dan memandang wajah semua orang sekejap, mendadak dia bertanya.

   "Mana Jit-kaucu, Kiu-kaucu dan komandan Siau?"

   Sementara itu Ang Teng-siu dan seorang lelaki setengah umur berdandan petani telah maju menyambut ke depan. Lelaki setengah umur berdandan petani itu berkata lebih dulu.

   "Lapor Ji-kaucu, komandan Siau masih berbaring di ranjang untuk merawat luka-lukanya, oleh sebab itu dia tidak dapat menyambut kedatangan Ji-kaucu. Sedangkan Jit-kaucu dan Kiu-kaucu telah meninggalkan perkampungan satu jam yang lalu untuk menyelesaikan suatu persoalan."

   Ji-kaucu memandang sekejap petani itu, kemudian bertanya.

   "Mungkin kaukah kepala kantor cabang kota Kayhong, Ki Su-teng?"

   "Benar, hamba adalah Ki Su-teng!"

   Jawab lelaki setengah umur berdandan petani dengan hormat.

   Ji-kaucu mengulap tangan menitahkan dia mundur, kemudian rombongan pun meneruskan perjalanannya masuk ke halaman tengah.

   Bong Thian-gak kuatir jejaknya ketahuan lawan, dia tak berani membuntuti masuk ke dalam, secara diam-diam dia menyelinap ke halaman belakang.

   Sementara dia tak tahu apa yang harus dilakukan.

   Mendadak dari balik kegelapan sana muncul sesosok bayangan kecil mungil, sambil berjalan mendekat katanya dengan suara merdu.

   "Siangkong, payah amat, kucari dirimu kemana-mana."

   Bong Thian-gak mendongakkan kepala, ternyata gadis yang berjalan mendekat itu adalah si dayang berbaju biru yang dijumpainya dalam kebun tadi. Waktu itu tubuhnya basah oleh peluh, napasnya tersengalsengal dan wajahnya nampak tegang.

   "Ada urusan apa?"

   Bong Thian-gak segera bertanya. Mendadak dayang berbaju biru itu menarik tangan kiri Bong Thian-gak sambil berujar.

   "Ayo cepat sedikit, tempat ini bukan tempat untuk berbincang-bincang."

   Ia mengajak Bong Thian-gak berlalu dari situ dengan langkah amat cepat, dalam waktu singkat mereka sudah melalui dua lapis halaman yang sangat lebar dan tiba di sebuah bangunan mungil di sisi kebun bunga.

   Dari dalam bangunan mungil itu nampak cahaya lentera memancar keluar, dua sosok bayangan orang tertera jelas di balik jendela.

   "Siangkong tiba ...."

   Kata dayang berbaju biru.

   Sembari berkata dia mendorong pintu, lalu bersama Bong Thian-gak masuk ke dalam ruangan.

   Bong Thian-gak tahu satu di antara kedua sosok bayangan itu adalah Jit-kaucu Thay-kun, maka dia masuk ke kamar baca dengan langkah cepat.

   Betul juga, Jit-kaucu Thay-kun sedang duduk dekat jendela bersama seorang dayang berbaju biru.

   Waktu itu Thay-kun sedang bermuram durja, sepasang alis matanya bekernyit, sorot matanya memancarkan sinar pedih.

   Ketika Thay-kun melihat paras muka Bong Thian-gak, dia nampak agak tertegun, kemudian katanya.

   "Dandananmu sekarang benar-benar jelek dan amat tak sedap dilihat."

   Bong Thian-gak tersenyum.

   "Bagaimana pun aku menyaru, nampaknya tak pernah lolos dari ketajaman matamu!"

   "Tadi He Hong melaporkan kejadian itu kepadaku, sudah kuduga pasti kau yang datang, ayo cepat duduk!"

   Bong Thian-gak tahu, yang dimaksud sebagai He Hong pastilah si dayang yang membawanya kemari barusan. Dia mencari sebuah kursi, lalu duduk, katanya pelan.

   


Kuda Binal Kasmaran -- Gu Long Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung Ular Belang Putih -- Kauw Tan Seng

Cari Blog Ini