Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 7


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 7



Pendekar Gelandangan Karya dari Khu Lung

   

   Hanya dia seorang yang mengerti bahwa pilihan Hoa Sau-kun adalah pilihan yang sangat tepat.

   Tongkat sesungguhnya merupakan sejenis senjata yang paling kuno bagi umat manusia kita.

   Sejak jaman dahulu kala, di saat manusia hendak berburu binatang untuk makan, atau sewaktu harus melindungi diri, mereka selalu mempergunakan senjata ini.

   Justru karena benda itu merupakan sejenis senjata yang terkuno, lagi pula setiap orang selalu mempergunakannya untuk memukul orang atau mengusir anjing, maka sedikit banyak orang akan memandang remeh senjata tersebut, padahal mereka lupa bahwa semua senjata yang ada di dunia ini pada dasarnya berkembang dari benda tersebut.

   Jurus-jurus serangan dari tongkat itu sendiri mungkin terlampau sederhana, tapi bila berada di tangan seorang jago silat yang benar-benar lihay, justru tongkat itu bisa dipakai sebagai tombak, sebagai pedang, sebagai senjata penotok jalan darah dan bisa juga digunakan sebagai senjata Poan-koan-pit.........

   Pokoknya semua perubahan jurus serangan dari aneka senjata tajam yang ada di dunia ini, sesungguhnya dikembangkan dari jurus-jurus sederhana dari gerakan tongkat itu sendiri.

   Hoa Sau-kun telah menyimpan sebuah tongkat yang sederhana sedemikian rapat dan rahasianya, inipun bukan cuma suatu perbuatan gila-gilaan, melainkan terhitung pula semacam pertarungan batin, bertarung terhadap batin sendiri.

   Ia harus menaruh rasa hormat dan sayang terlebih dulu terhadap tongkat itu, kemudian baru akan tumbuh kepercayaannya terhadap senjata tersebut......

   "Kepercayaan"

   Sesungguhnya merupakan senjata ampuh lagi pula terhitung senjata paling tajam dan paling manjur.

   Buyung Ciu-ti pun seorang yang pintar sekali, dengan cepat ia dapat memahami teori tersebut.

   Tapi masih ada satu hal yang tidak ia pahami! Ia tidak mengerti kenapa Hoa Sau-kun tidak mempergunakan tongkat emas, tongkat perak atau tongkat besi, melainkan justru memilih sebuah tongkat kayu yang segera akan kutung jika di tebas.

   Rasa percayanya kepadanya pun jauh tidak lebih mantap dari sebelum ini.

   Sang surya baru terbit, mata pedang membiaskan sinar berkilauan ketika tertimpa sinar sang surya, hingga kelihatan jauh lebih tajam dan cemerlang daripada sinar sang surya sendiri.

   Hoa Sau-kun telah bangkit berdiri, dia hanya memandang sekejap ke arah bininya dengan sinar mata terakhir, kemudian dengan langkah lebar berjalan menuju ke arah Cia Siau-hong.

   Selama ini Cia Siau-hong hanya berdiri tenang di sana, berdiri menantikan kedatangannya, paras mukanya tenang tanpa emosi, seakan-akan hatinya tidak terpengaruh oleh semua peristiwa yang telah berlangsung tadi.

   Untuk menjadi seorang pendekar pedang yang bagus dan luar biasa, maka syarat pertama adalah harus dingin, keji dan tidak berperasaan.

   Terutama sesaat sebelum menjelang berlangsungnya pertarungan, ia lebih-lebih tak boleh terpengaruh oleh suasana ataupun keadaan macam apapun yang sedang terjadi di hadapannya.

   .......Sekalipun binimu sedang tidur dengan laki-laki lain di hadapanmu, kaupun musti berpura-pura tidak melihatnya.

   Ucapan itu sangat populer sekali di antara para pendekar pedang pada jaman tersebut, sekalipun tak ada yang tahu siapa yang memulai dengan kata-kata semacam itu, tapi semua orang mengakui bahwa perkataan itu memang betul dan masuk di akal, hanya mereka yang bisa berbuat demikian, dia pula yang bisa hidup jauh lebih panjang dari orang lain.

   Agaknya Cia Siau-hong dapat berbuat demikian.

   Hoa Sau-kun mengawasinya lekat-lekat, rasa kagum dan hormat terpancar keluar dari balik matanya.

   Cia Siau-hong sedang mengawasi tongkat kayunya dengan termangu, tiba-tiba ia berkata.

   "Ehmm, suatu senjata yang bagus sekali!"

   "Ya, memang senjata yang bagus!"

   "Silahkan!"

   Hoa Sau-kun manggut-manggut, tongkat di tangannya telah dikebaskan ke luar, dalam waktu singkat ia telah melancarkan tiga buah serangan kilat.

   Ke tiga serangan tersebut dilancarkan secara berantai dengan perubahan yang cepat tapi lincah, yang digunakan ternyata bukan jurus-jurus ilmu pedang.

   Buyung Ciu-ti diam-diam menghela napas, ia dapat merasakan, asal Cia Siau-hong menggunakan sebuah jurus serangannya yang tangguh, niscaya tongkat kayu itu bakal kutung.

   Siapa tahu kenyataannya jauh berbeda dengan apa yang diduganya semula, ternyata Cia Siaubong tidak mempergunakan jurus serangan seperti apa yang diduganya semula, melainkan memukul tangan Hoa Sau-kun dengan punggung pedangnya.

   Mencorong sinar tajam dari balik mata Buyung Ciu-ti, hingga sekarang dia baru tahu kenapa Hoa Sau-kun mempergunakan tongkat kayu sebagai senjatanya.

   Sebab ia tahu, tak nanti Cia Siau-hong akan memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, Samsauya dari keluarga Cia tak akan mencari keuntungan di atas senjata.

   Bila ia tidak bersedia untuk memapas tongkat kayu itu dengan pedangnya, berarti dalam melancarkan seranganpun ia akan merasakan rintangan-rintangan yang menyulitkan diri sendiri.

   Oleh karena itulah pilihan Hoa Sau-kun untuk menggunakan tongkat kayu sebagai senjatanya merupakan suatu tindakan cerdik yang sama sekali di luar dugaan siapapun.

   Tak tahan lagi Buyung Ciu-ti tersenyum, ia maju ke muka dan mencekal tangan Cia Hong-hong yang dingin, kemudian bisiknya lembut.

   "Jangan kuatir, kali ini Hoa Sianseng tak bakal kalah!"

   Bila ada dua orang jago lihay sedang bertempur, seringkali menang kalahnya hanya ditentukan di dalam satu jurus gebrakan belaka, cuma jurus yang menentukan menang kalah itu tidak selalu harus jurus pertama, mungkin pada jurus yang ke sekian puluh, mungkin juga pada jurus yang ke sekian ratus.

   Sekarang pertarungan telah berlangsung lima puluh gebrakan, Hoa Sau-kun telah melancarkan tiga puluh tujuh jurus ,sebaliknya Cia Siau-hong hanya membalas tiga belas jurus.

   Sebab mata pedangnya setiap waktu setiap saat selalu harus berusaha untuk menghindari tongkat kayu dari Hoa Sau-kun.

   .......Apa yang menjadi tujuan serta cita-cita dari seorang pendekar pedang adalah mencari kemenangan, seringkali mereka tidak memperdulikan cara licik apapun yang musti dilakukan, yang penting tujuan tersebut berhasil diraih.

   Cia Siau-hong tidak melakukan hal tersebut, karena ia terlalu angkuh, terlalu tinggi hati.

   'Barangsiapa tinggi hati, dia pasti kalah' Terbayang akan ucapan tersebut, Buyung Ciu-ti merasa hatinya makin gembira.

   Pada saat itulah mendadak berkumandang memecahkan keheningan.

   "Plaaakk!", tongkat kayu itu menghantam di atas punggung pedang dan menggetarkan pedang Cia Siau-hong sehingga bergetar keras dan mencelat ke atas udara. Cia Siau-hong mundur beberapa langkah dari situ dan kemudian mengucapkan dua patah kata yang selama ini belum pernah diucapkan olehnya.

   "Aku kalah!"

   Selesai mengucapkan kedua patah kata itu dia putar badan dan tanpa berpaling turun dari tanah gundukan tersebut.

   Hoa Sau-kun tidak menghalangi, diapun tidak menyusulnya, justru Cia ciangkwe yang menyusulnya.

   Si Boneka ingin menyusul pula, tapi Buyung Ciu-ti segera menarik tangannya sambil berkata dengan lembut.

   "Mari ikut aku pulang, jangan lupa di tempatku sana masih ada seseorang yang menantikan kedatanganmu untuk merawatnya!"

   Sementara itu pedang tersebut telah terjatuh ke tanah dan persis menancap di samping Cia Honghong dengan gagang pedang menghadap ke atas, asal dia menggerakkan tangannya, maka senjata tersebut segera akan tercabut olehnya, seakan-akan ada orang yang secara khusus mengirim kembali pedang itu kepadanya.

   Cia Siau-hong telah pergi jauh, tapi Hoa Sau-kun masih berdiri di tempat tanpa berkutik barang sedikitpun jua.

   Dalam pertarungan ini, ia telah mengalahkan Cia Siau-hong yang tiada tandingannya di kolong langit dan melampiaskan rasa dendam yang telah tertanam selama dua puluh tahun dalam dadanya, tapi tiada sinar kemenangan yang terpancar pada wajahnya, malah sebaliknya kelihatan begitu murung, sedih dan masgul.

   Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berjalan balik, langkah kakinya tampak sangat berat, seakan-akan sedang menghela seuntai rantai besi yang beratnya bukan kepalang.

   Cia Hong-hong tidak bersorak gembira bagi kemenangan suaminya, diapun tidak mencabut pedang yang menancap di tanah, dengan mulut membungkam perempuan itu hanya maju ke depan dan menggenggam tangannya.

   Ia dapat memahami perasaan suaminya, diapun mengerti kenapa suaminya kelihatan sedih dan masgul setelah berhasil meraih kemenangan dalam pertarungan itu.

   "Kau sudah tidak menghendaki pedang itu lagi?", tiba-tiba Hoa Sau-kun bertanya.

   "Pedang itu milik keluarga Cia, sedang aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi!"

   Hoa Sau-kun memandang ke arahnya, pancaran sinar lembut dan terima kasih mencorong ke luar dari balik matanya. Lewat lama sekali, tiba-tiba ia berpaling ke arah Buyung Ciu-ti dan menjura dalam-dalam, katanya.

   "Aku ingin memohon bantuan tentang sesuatu dari hujin!"

   "Katakan saja!", ucap Buyung Ciu-ti.

   "Bersediakah hujin buatkan sebuah tugu batu di sisi pedang tersebut?"

   "Tugu? Tugu macam apa yang kau maksudkan?"

   "Cantumkan di atas tugu tersebut yang mengatakan bahwa pedang itu pedang Sam sauya, barang siapa berani mencabutnya untuk dipergunakan, maka Hoa Sau-kun pasti akan memburunya kembali, bukan saja pedang itu akan ku buru kembali, bahkan akan ku buru pula batok kepalanya sekalipun ia kabur ke ujung langit, aku tetap akan mengejarnya sampai dapat!"

   Kenapa ia melakukan hal itu bagi musuh besarnya? Tidakkah hal ini suatu peristiwa yang aneh? Buyung Ciu-ti tidak bertanya, pun tidak merasa keheranan, segera sahutnya.

   "Aku segera akan suruh orang buatkan tugu di sini, tak sampai setengah hari tentu sudah siap, cuma saja........"

   "Kenapa?"

   "Seandainya ada bocah nakal atau orang dusun yang kebetulan lewat di sini, lalu mencabut pedang tersebut dan membawanya kabur, bagaimana jadinya? Mereka toh tidak kenal dengan Sam sauya, tidak pula dengan Hoa sianseng, bahkan membaca tulisanpun belum tentu bisa, lantas apa yang musti dilakukan?"

   Ia tahu bahwa Hoa Sau-kun belum sampai berpikir ke situ, maka diapun mengemukakan idenya.

   "Biar kubangunkan sebuah gardu pedang di situ, lalu menyuruh orang menjaganya siang malam secara bergilir, entah bagaimana pendapat Hoa sianseng? Cocok dengan seleramu tidak!"

   Cara tersebut memang terhitung cara yang paling bagus dan sempurna, kecuali rasa terima kasih dan terharu, apalagi yang bisa dikatakan Hoa Sau-kun? Kembali Buyung Ciu-ti menghela napas sedih, katanya.

   "Kadangkala aku betul-betul merasa tak habis mengerti, perduli apapun yang ia lakukan terhadap orang lain, orang lain selalu bersikap sangat baik kepadanya"

   Hoa Sau-kun termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya.

   "Ya, mungkin hal ini disebabkan karena dialah Cia Siau-hong!"

   Di belakang bukit sana merupakan sebuah hutan pohon Hong dengan daunnya yang berwarna merah membara seperti api.

   Baru saja Cia Siau-hong mencari sebuah batu untuk duduk, Cia ciangkwe telah menyusul ke sana, tiada peluh yang membasahi tubuhnya, napaspun tidak tersengal-sengal.

   Setelah menjadi ciangkwe siapapun selama puluhan tahun dalam rumah makan, siapapun pasti akan berubah menjadi pandai bersandiwara, cuma siapa saja tentu akan tiba saatnya untuk lupa bersandiwara.

   Hingga kini, Cia Siau-hong baru merasakan bahwa dirinya belum pernah sungguh-sungguh memahami orang tersebut.

   Tak tahan ia bertanya kepada diri sendiri.

   "........Aku pernah sungguh-sungguh memahami siapa, Buyung Ciu-ti? Ataukah Hoa Sau-kun?"

   Cia ciangkwe menghela napas panjang, katanya.

   "Sejak kecil sampai kau menjadi dewasa, aku selalu mendampingimu, tapi hingga sekarang aku baru menemukan bahwa sesungguhnya aku sendiripun tak tahu manusia macam apakah dirimu itu, setiap perbuatan yang kau lakukan seakan-akan tak pernah kufahami!"

   Cia Siau-hong tidak memberitahukan kepadanya apa yang hendak ia ucapkan dalam hatinya, hanya dengan suara hambar dia bertanya.

   "Persoalan apakah yang tidak kau fahami?"

   Cia ciangkwe menatapnya lekat-lekat kemudian balik bertanya.

   "Kau benar-benar kalah?"

   "Kalah ya kalah, benar-benar atau tidak toh sama saja!"

   "Bibi ya bibi, perduli ia telah kawin dengan siapapun tetap sama saja!", sambung Cia ciangkwe.

   "Kalau kau sudah mengerti, itu lebih baik lagi!"

   Cia ciangkwe menghela napas panjang lalu tertawa getir.

   "Mengertipun tidak lebih baik, jadi orang memang lebih baik rada bodoh dan dungu!"

   Tampaknya Cia Siau-hong enggan untuk melanjutkan pembicaraannya tentang persoalan itu, dengan cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, tanyanya.

   "Sebenarnya bagaimana ceritanya sehingga kau bisa sampai di sini?"

   "Aku mendengar orang bilang kau berada di sini, maka tanpa berhenti ku larikan kuda menyusul kemari, sebelum kau berhasil kutemukan, nona Buyung telah menemukan diriku lebih dulu!"

   "Kemudian?"

   "Kemudian ia membawaku menuju ke rumah penginapan kecil di bawah tebing sana. Ketika ia pergi menjumpai dirimu, kami disuruh menunggu di luar, tentu saja kami tak berani sembarangan menerjang masuk ke dalam sana!"

   "Bukankah kalian tak berani masuk karena kuatir mengganggu perbuatan baik kami?", tegur Cia Siau-hong dingin. Cia ciangkwe segera tertawa getir.

   "Terlepas dari semua persoalan, bagaimanapun jua hubungan kalian toh jauh lebih istimewa daripada orang lain"

   Cia Siau-hong tertawa dingin tiada hentinya, tiba-tiba ia bangkit berdiri, lalu serunya.

   "Sekarang kau telah bertemu denganku, sudah boleh pulang kau dari sini!"

   "Kau tidak pulang?"

   "Sekalipun aku hendak pulang, rasanya tak perlu kau membawakan jalan bagiku, aku masih cukup tahu jalan mana yang musti di tempuh untuk kembali ke rumah sendiri"

   Cia ciangkwe menatapnya tajam-tajam, kemudian bertanya.

   "Kenapa kau tidak pulang? Sesungguhnya kesulitan apakah yang terkandung di dalam hatimu sehingga enggan memberitahukannya kepada orang lain......?"

   Cia Siau-hong tidak menjawab, ia telah bersiap-sedia untuk pergi meninggalkan tempat itu.

   "Kau hendak pergi ke mana?", Cia ciangkwe segera bertanya.

   "apakah masih seperti waktu-waktu yang lalu, pergi bergelandangan dan menyiksa diri sendiri?"

   Pada hakekatnya Cia Siau-hong sama sekali tidak memperdulikan kata-katanya lagi. Mendadak Cia ciangkwe melompat bangun, lalu serunya dengan suara lantang.

   "Aku sama sekali tak ingin mengurusi persoalanmu, tapi ada satu hal yang bagaimanapun jua musti kau urusi"

   Akhirnya Cia Siau-hong memandang juga sekejap ke arahnya, kemudian bertanya.

   "Urusan apakah itu?"

   "Bagaimanapun juga kau tidak seharusnya membiarkan anakmu mengawini seorang pelacur!"

   "Pelacur?", bisik Cia Siau-hong sambil menyipitkan matanya.

   "Aku tahu dua bersaudara dari suku Biau itu adalah sahabatmu, akupun tahu bahwa mereka berdua adalah orang baik, akan tetapi......"

   "Darimana kau bisa tahu tentang kesemuanya itu?", tukas Ciau Siau-hong cepat. Sebelum Cia ciangkwe sempat buka suara, dari luar hutan kedengaran seseorang menimpali.

   "Akulah yang memberitahukan kesemuanya itu kepadanya!"

   Orang itu berada di luar hutan, suaranya masih amat jauh.

   Secepat anak panah yang terlepas dari busurnya, Cia Siau-hong menyusup ke luar dari hutan dan mencekal tangan orang itu.

   Tangan itu dingin sekali seperti seekor ular berbisa.........Bukankah Tiok Yap Cing adalah sejenis ular paling beracun di antara pelbagai jenis ular beracun yang ada? "Kau belum mampus.....?", tegur Cia Siau-hong sambil tertawa dingin tiada hentinya.

   Tiok Yap-cing tersenyum.

   "Hanya bukan orang baik yang berumur panjang. Aku bukan orang baik-baik!"

   "Kau ingin mampus?"

   "Tidak ingin!"

   "Kalau begitu lebih baik kau cepat angkat kaki dan menyingkir jauh-jauh dari sini, selama hidup jangan sampai berjumpa lagi denganku......"

   "Sebetulnya aku memang hendak pergi, cuma ada sebuah hadiah yang musti kusampaikan terlebih dulu sebelum pergi meninggalkan tempat ini!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hadiah apa?", sekali lagi kelopak mata Cia Siau-hong menyipit menjadi kecil sekali.

   "Tentu saja hadiah perkawinan untuk nona suku Biau itu dengan Siau Te, apalagi perkawinan ini diselenggarakan oleh Buyung Ciau-ti hujin dengan Yu-liong-kiam-kek suami isteri sebagai saksi, bagaimanapun juga hadiah ini harus dihantar sampai ke tempat tujuannya"

   Sesudah tersenyum, kembali ia bertanya.

   "Apakah Sam-sauya pun berminat untuk mengirim hadiah kepadanya?"

   Sepasang tangan Cia Siau-hong telah berubah menjadi dingin bagaikan es......

   "Hujin menaruh belas kasihan atas nasib dan penderitaan yang dialami nona Biau-cu selama ini", kata Tiok Yap-cing kembali.

   "dia pun tahu bahwa Sam sauya amat menaruh belas kasihan kepada orang lain, maka akhirnya diputuskan untuk mengawinkannya kepada Siau Te"

   Mendadak sepasang tangan Cia Siau-hong mengepal kencang. Peluh dingin segera bercucuran membasahi wajah Tiok Yap-cing, buru-buru ujarnya kembali.

   "Tapi aku tahu bahwa Sam sauya pasti tak akan setuju dengan perkawinan tersebut!"

   Dengan merendahkan suaranya ia berkata lebih jauh.

   "Cuma sejak kecil Siau Te pun mempunyai tabiat yang keras kepala, bila ada orang yang melarangnya mengerjakan sesuatu, mungkin ia malah sengaja melakukannya, oleh karena itu jika Sam sauya ingin menyelesaikan persoalan ini, cara yang terbaik adalah melenyapkan sang pembawa perkara!"

   Ada semacam manusia tampaknya sejak dilahirkan telah berbakat untuk menyelesaikan persoalan rumit dari orang lain, tak bisa disangsikan lagi Tiok Yap-cing adalah manusia semacam ini.

   Tanpa kobaran api, tak mungkin makanan apapun yang di masak dalam kukusan dapat matang, tanpa pengantin perempuan, tentu saja pesta perkawinan tak mungkin bisa diselenggarakan.

   Sepasang tangannya yang mengepal kini telah mengendor, Cia Siau-hong kembali bertanya.

   "Sekarang mereka berada di mana?"

   Tiok Yap-cing menghembuskan napas panjang, sahutnya.

   "Betul semua orang di kota ini tahu bahwa di sini ada seorang manusia yang bernama Toa-tauke, tapi tidak banyak yang pernah berjumpa dengannya, lebih-lebih lagi yang mengetahui tempat tinggalnya"

   "Kau tahu?", Cia Siau-hong bertanya. Sekali lagi Tiok Yap-cing memperlihatkan senyumannya.

   "Untung saja aku tahu!"

   "Mereka berada di situ?"

   "Ciu Ji sianseng, Tam Ci-hui serta Yu-liong-kiam-khek suami isteri juga berada di situ, mereka semua amat setuju dengan perkawinan tersebut dan tak mungkin akan biarkan orang lain membawa kabur pengantin perempuannya!"

   Setelah tersenyum ujarnya kembali.

   "Untung saja mereka sudah lelah sekali, malam ini mereka pasti akan tertidur lebih awal, setelah malam tiba, asal ada aku yang membawa jalan, maka Sam sauya hendak pergi dengan membawa siapapun akan bisa kau lakukan dengan leluasa"

   Cia Siau-hong menatapnya tajam-tajam, lalu berkata dingin.

   "Kenapa kau musti menaruh perhatian yang begitu besar terhadap persoalan ini?"

   Tiok Yap-cing menghela napas panjang.

   "Aaaai......nona Biau-cu pasti menaruh kesan yang kurang baik kepadaku, sedangkan Siau Te justru adalah putra tunggal hujin, bila perkawinan ini jadi dilangsungkan, maka di kemudian hari aku kuatir tak akan ada kehidupan yang baik lagi bagiku!"

   Setelah memandang sekejap mulut luka Cia Siau-hong, ia berkata lebih lanjut.

   "Tapi penghidupanku sekarang masih terhitung lumayan, dalam setiap pelosok kota ini masih terdapat tabib pintar, masih ada arak bagus, dan aku mengetahui semuanya....."

   Malam telah kelam.

   Pelan-pelan Hoa Sau-kun merangkak bangun dari pembaringannya, mengenakan pakaian kemudian pelan-pelan membuka pintu dan berjalan keluar dari ruangan itu.

   Cia Hong-hong sama sekali tidak tertidur, iapun tidak memanggilnya dan bertanya hendak ke mana ia pergi? Ia cukup memahami perasaan suaminya, ia tahu dalam keadaan seperti ini ia pasti ingin berjalanjalan seorang diri di tempat luaran.

   Selama banyak tahun belakangan ini meski mereka amat jarang tidur bersama seperti hari ini, tapi setiap kali ia selalu dapat membuat istrinya merasa puas dan bahagia, terutama sekali pada hari ini, kelembutan dan kepuasan yang diberikan kepadanya, hakekatnya seperti pengantin baru saja........

   Ia memang seorang suami yang baik, ia telah berusaha dengan keras untuk menunaikan semua kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami, bagi seorang kakek yang telah berusia enam puluh tahun lebih, hal itu sudah terhitung tidak gampang.

   Memandang bayangan punggungnya yang tinggi besar dan kekar itu berjalan ke luar dari ruangan, luapan terima kasih dan sayang menyelimuti perasaan perempuan itu.

   Ia berharap dirinyapun telah melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang isteri dengan sebaik-baiknya, agar ia dapat hidup beberapa tahun lagi, dan melewatkan beberapa tahun penghidupan yang tenang dan penuh kegembiraan, melupakan perhatian dunia persilatan, melupakan Cia Siau-hong dan melupakan pertarungan di atas bukit tersebut.

   Ia berharap di kala ia kembali nanti, semuanya telah terlupakan olehnya, ia sendiripun enggan untuk berpikir terlalu banyak.

   Kemudian dalam kelelapan tersebut, iapun tertidur, tertidur lama sekali, tapi Hoa Sau-kun belum juga kembali.

   Kebun bunga yang besar dan lebar berada dalam keheningan dan kegelapan luar biasa.

   Seorang diri Hoa Sau-kun duduk dalam gardu persegi enam di luar jembatan Kui-ci-kiau, ia duduk lama sekali di sana.

   Setelah melampaui suatu hubungan yang mesra dan penuh keriangan dengan istrinya, ia masih belum juga dapat tertidur.

   Ia tak dapat melupakan pertarungan di atas bukit tersebut, perasaannya penuh diliputi penderitaan, penyesalan dan rasa sedih.

   Malam semakin kelam, ketika ia hendak kembali ke kamarnya untuk tidur, tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari belakang bukit-bukitan sana, di atas bahunya seakan-akan membopong sesosok tubuh manusia.

   Ketika ia menyusul ke situ, ternyata bayangan itu sudah lenyap tak berbekas.

   Tapi dari gunung-gunungan sana, ia seakan-akan menangkap suara dari Tiok Yap-cing sedang berkata.

   "Sekarang apakah kau telah percaya bahwa orang yang dibawa pergi olehnya itu adalah si Boneka?"

   Suara Tiok Yap-cing masih penuh dengan nada pancingan, kembali katanya.

   "Pada malam ibumu tukar cincin, ia telah membawa kabur ibumu dari sisi tunangannya, dan sekarang ia membawa kabur binimu, bahkan aku sendiripun tidak habis mengerti, kenapa ia senang melakukan perbuatan semacam itu?"

   "Tutup mulut!", tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda membentak dengan penuh kegusaran. Tentu saja pemuda tersebut adalah Siau Te. Tiok Yap-cing tidak berusaha untuk tutup mulut, kembali ujarnya.

   "Aku pikir saat ini mereka pasti telah kembali ke rumah si Boneka yang dulu, meskipun tempatnya kuno dan bobrok, tapi tenang dan bersih, mereka menyangka tak akan ada orang yang bisa menemukan mereka di situ, lebih baik kaupun ikut ke sana, sebab......."

   Belum lagi ia menyelesaikan kata-katanya, sesosok bayangan tubuh telah meluncur ke luar dari balik gunung-gunungan secepat sambaran kilat.

   Untung saja ketika itu Hoa Sau-kun telah melompat naik ke atas gunung-gunungan dan mendekam di atas puncaknya.

   Ia kenali orang itu sebagai Siau Te, dan diapun kenali orang yang berjalan di belakangnya bukan lain adalah Tiok Yap-cing.

   Tapi untuk sementara waktu ia masih belum menampakkan diri, karena ia telah bertekad untuk membongkar intrik keji ini hingga sama sekali terbuka.

   Ia bertekad melakukan suatu perbuatan baik bagi Cia Siau-hong.

   Sambil bergendong tangan Tiok Yap-cing berjalan cepat pelan-pelan menelusuri jalanan kecil dan dengan cepat menemukan ruangan tempat tidurnya yang bermandikan cahaya.

   Ia tinggal dalam ruangan terpencil yang tak jauh letaknya dari gunung-gunungan itu, di luar bangunan tumbuh beratus-ratus batang bambu serta beberapa kuntum bunga seruni.

   Bila kamar itu berlampu, berarti Ki Ling masih menantikan kedatangannya, hari itu setiap persoalan yang dilakukan seakan-akan semuanya berjalan lancar, ia berhak untuk menikmati malam itu dengan penuh kegembiraan dan keasyikan, bahkan mungkin diiringi dengan sedikit arak.

   Pintu itu tak terkunci, orang yang tinggal di situpun tak perlu mengunci pintu, sebab dikuncipun tak ada gunanya.

   Ia telah membayangkan bagaikan Ki Ling dengan tubuhnya yang bugil sedang berbaring di atas pembaringan menantikan kedatangannya, tapi tidak mengira kalau masih ada seseorang yang lain berada di situ.

   Ternyata Ciu Ji sianseng pun sedang menantikan kedatangannya.

   Di depan lampu ada arak, arak tersebut sudah habis di minum, agaknya tak sedikit yang diminum Ciu Ji sianseng, berarti pula sudah lama ia menanti di situ......

   Duduk di sampingnya sambil menuang arak adalah Ki Ling.

   Ia sama sekali tidak telanjang bulat, ia mengenakan pakaian, bahkan mengenakan dua stel.

   Tapi, meskipun mengenakan dua stel pakaian, sekalipun digabungkan juga tak lebih tipis daripada selapis kabut.

   "Ooooh.....tak kusangka kalau Ciu Ji sianseng pun pandai menikmati suasana", tegur Tiok Yapcing sambil tertawa. Ciu Ji sianseng meletakkan cawan araknya, kemudian berkata.

   "Sayang sekali arak ini arakmu, perempuan itupun perempuanmu, sekarang kau telah kembali, maka setiap waktu setiap saat kau boleh menerimanya kembali"

   "Oooh, tak perlu!"

   "Tak perlu?"

   Tiok Yap-cing tertawa, ujarnya.

   "Sekarang arak itu arakmu dan perempuan itu perempuanmu, tak ada salahnya kalau kau memakainya dan menikmatinya pelan-pelan!"

   "Dan kau sendiri......?"

   "Aku akan menyingkir"

   Ternyata ia benar-benar hendak menyingkir dari situ. Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, rasa kaget, tercengang dan curiga menyelimuti sorot matanya, menanti ia saksikan orang sudah akan keluar dari pintu, tiba-tiba serunya dengan keras.

   "Tunggu sebentar!"

   Tiok Yap-cing segera berhenti sambil bertanya.

   "Masih ada perkataan apa lagi yang hendak kau katakan?"

   "Aku hanya ingin berkata sepatah kata saja!"

   Tiok Yap-cing memutar badannya menghadap ke arahnya dan menantikan jawabannya. Ciu-ji sianseng menghela napas panjang, katanya.

   "Ada sementara persoalan sebetulnya tidak pantas untuk kutanyakan kepadamu, tapi aku amat ingin tahu sebenarnya manusia macam apakah kau ini? Dan sesungguhnya jalan pikiran apakah yang mendekam dalam ingatanmu itu.....?"

   Tiok Yap-cing kembali tertawa, katanya.

   "Aku tidak lebih hanya seorang manusia yang gemar bersahabat, terutama sekali bersahabat dengan seorang teman seperti kau!"

   Ciu Ji sianseng pun ikut tertawa. Wajahnya masih tertawa, tapi kelopak matanya telah menyurut kecil, kembali ia bertanya.

   "Masih ada berapa orang sahabatmu lagi yang telah kau jual?"

   "Hei, apa yang sedang kau katakan?", seru Tiok Yap-cing hambar.

   "sepatah katapun tidak kufahami?"

   "Semestinya kau mengerti, karena hampir saja kau menghianati diriku satu kali!"

   Ia tidak memberi kesempatan bagi Tiok Yap-cing untuk buka suara, kembali katanya.

   "Hek-sat sebetulnya temanmu pula, tapi kau telah mempergunakan Mao It-leng untuk membunuh mereka. Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua itu bila datang membantu tepat pada saat yang telah direncanakan, Mao It-leng pun tidak akan sampai mati, tapi kau sengaja melepaskan tanda terlalu lambat, karena kau masih ingin meminjam tangan Cia Siauhong untuk membunuh Mao It-leng"

   Tiok Yap-cing tidak membantah, pun tidak mendebat, ia malah menarik sebuah bangku dan duduk dengan santai sambil mendengarkan pembicaraan tersebut. Ciu Ji sianseng berkata lebih jauh.

   "Siau Te sebenarnya juga sahabatmu, tapi kau telah menjualnya kepada Cia Siau-hong, sekalipun Cia Siau-hong tidak tega membunuhnya, tapi mungkin ia akan menumbukkan kepalanya sendiri ke atas dinding, apalagi melihat perempuannya sendiri dibawa kabur orang. Hmm...., kecuali kau yang sanggup menahan diri dalam keadaan semacam ini, tak ada orang lain yang bisa berpeluk tangan belaka semacam kau!"

   Tangannya telah meraba gagang pedang di meja, katanya lebih lanjut.

   "Oleh karena itu sengaja aku hendak bertanya kepadamu, sampai kapan kau baru akan menghianatiku? Dan kepada siapa akan hendak kau jual?"

   Tiok Yap-cing kembali tertawa, sambil berdiri dan menoleh ke jendela, ujarnya.

   "Di luar udara dingin mencekam, Hoa sianseng, kalau toh sudah kemari, kenapa tidak masuk untuk minum dulu beberapa cawan arak?"

   OoooOOOOoooo Bab 18.

   Senyuman Di Balik Pisau Daun jendela tidak bergerak, pintupun terbuka sendiri tanpa hembusan angin.

   Lewat lama sekali, pelan-pelan Hoa Sau-kun baru berjalan masuk lewat ke dalam.

   Empat puluh tahun berselang, sudah beratus-ratus kali pertarungan yang pernah ia alami, entah sudah berapa kali pula dipecundangi orang.

   Hingga kini ia masih dapat hidup, hal ini disebabkan ia adalah seorang manusia yang selalu waspada dan berhati-hati.

   Ditatapnya Tiok Yap-cing dengan dingin lalu katanya.

   ~Bersambung ke Jilid-13 Jilid-13

   "Sebenarnya aku tak pantas datang, tapi sekarang telah datang, kata-kata semacam itu semestinya tak pantas kudengar, tapi sekarang telah kudengar, maka dari itu akupun ingin bertanya kepadamu, sesungguhnya manusia macam apakah kau ini? Perhitungan apa yang sesungguhnya telah kau rencanakan dalam hatimu?"

   Tiok Yap-cing tersenyum, sahutnya.

   "Aku tahu bahwa pada malam ini Hoa sianseng tentu tak dapat tidur, kau tentu masih teringat dengan pertarungan pagi tadi, maka sedari tadi aku sudah berencana untuk menghantar arak wangi bagi Hoa sianseng untuk menghilangkan kemasgulan dan kekesalan hatimu!"

   Jawaban yang sama sekali tiada hubungan dengan apa yang ditanyakan tadi, seakan-akan ia tidak mendengar apa yang diucapkan Hoa Sau-kun barusan dan telah membebaskan dirinya secara mudah dari semua tuduhan yang dilontarkan kepadanya tadi.

   Betul juga, paras muka Hoa Sau-kun segera berubah hebat, dengan suara lantang bentaknya.

   "Kenapa aku tak bisa tidur? Kenapa aku musti menghilangkan kemasgulan dan kemurungan?"

   "Sebab Hoa sianseng adalah seorang kuncu, seorang laki-laki sejati!"

   Tiba-tiba senyuman di bibirnya berubah menjadi penuh kelicikan dan sindiran, ia menambahkan.

   "Cuma sayang, kaupun bukan betul-betul seorang kuncu sejati!"

   Sepasang tangan Hoa Sau-kun telah gemetar keras, jelas ia sedang berusaha keras untuk mengendalikan hawa amarahnya.

   "Siapakah yang menang dan siapa yang kalah dalam pertarungan pagi tadi, aku pikir kau pasti lebih jelas dari pada siapapun"

   Tangan Hoa Sau-kun gemetar semakin keras, tiba-tiba ia menyambar separuh guci arak di meja dan sekaligus meneguknya sampai habis.

   "Jika kau adalah seorang kuncu sejati, kau sudah mengakui kekalahanmu ketika berada di hadapan binimu tadi"

   Hoa Sau-kun mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian katanya dengan suara gemetar.

   "Lanjutkan kata-katamu!"

   "Bila kaupun seperti aku, seorang manusia siaujin yang tulen, maka tak akan kau pikirkan persoalan semacam itu dalam hati, sayang sekali kaupun bukan seorang siaujin tulen, oleh karena itu hatimu baru menderita dan tersiksa karena merasa malu, menyesal dan merasa dirimu telah berbuat kesalahan kepada Cia Siau-hong!"

   Setelah berhenti sebentar, dengan suara dingin ia melanjutkan.

   "Maka dari itu bila sekarang ada orang bertanya kepadamu, manusia macam apakah sesungguhnya dirimu, maka tiada halangan bagimu untuk memberitahu kepadanya bahwa kau bukan saja seorang kuncu gadungan, kau merupakan juga seorang munafik!"

   Hoa Sau-kun menatapnya tajam-tajam kemudian selangkah demi selangkah maju menghampirinya sambil berkata.

   "Benar, aku adalah manusia munafik, tapi aku toh sama saja dapat membunuh orang!"

   Tiba-tiba suaranya menjadi kabur dan tidak jelas, sorot matanya ikut membuyar dan menjadi sayu dan kuyu.........

   Menyusul kemudian iapun roboh terkapar di tanah.

   Dengan terkejut Ciu Ji sianseng memandang ke arahnya, dia ingin bergerak namun tidak bergerak sedikitpun.

   "Bukankah kau tidak habis mengerti kenapa secara tiba-tiba ia bisa roboh terkapar?", tanya Tiok Yap-cing tiba-tiba.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia mabuk.......?"

   "Dia sudah merupakan seorang kakek yang bertubuh lemah, apalagi minum arak begitu cepat, seandainya dalam arak itu tidak kucampuri dengan obat pemabuk, mungkin ia masih belum roboh juga"

   "Obat pemabuk?", seru Ciu Ji sianseng dengan paras muka hebat.

   "Walaupun obat pemabuk jenis ini berbau keras dan rasanya getir, namun bila dicampurkan ke dalam arak Tiok Yap-cing yang berusia tua, maka tidaklah gampang untuk membedakannya, aku telah mencobanya beberapa kali dan setiap kali rasanya cukup mendatangkan hasil yang diharapkan"

   Tiba-tiba Ciu Ji sianseng membentak gusar, dia ingin menubruk ke depan, tapi tubuhnya segera menumbuk meja hingga jatuh tertelungkup. Tiok Yap-cing tersenyum, katanya.

   "Padahal kaupun mestinya dapat membayangkan sendiri sebagai seorang siaujin semacam aku, masa dapat memberikan arak sebagus ini untuk dinikmati orang lain?"

   Ciu Ji sianseng yang tergeletak di tanah berusaha untuk berpegangan di sisi meja dan bangun berdiri, tapi baru saja bangun kembali ia sudah roboh ke tanah.

   "Sesungguhnya akupun musti berterima kasih kepadamu", kata Tiok Yap-cing kembali.

   "Hoa Saukun sudah tersohor karena ketelitian serta kewaspadaannya, andaikata ia tidak melihatmu minum arak tersebut, tak nanti dia akan minum juga arak tersebut, siapa tahu justru karena kau minum arak amat lambat, maka obat pemabuk itu baru bekerja pada saat ini........"

   Ciu Ji sianseng merasa ucapannya itu kian lama kian bertambah jauh, orang yang berdiri di hadapannya pun makin lama semakin jauh, kemudian apapun tak terdengar lagi olehnya, dan apapun tidak terlihat lagi olehnya.

   Tiba-tiba Ki Ling menghela napas panjang, katanya sambil tertawa getir.

   "Sebetulnya aku mengira ambisimu tak lain hanya ingin menjatuhkan Toa-tauke belaka, tapi sekarang.........sekarang bahkan aku sendiripun tak tahu manusia apakah sebetulnya dirimu ini dan apa saja yang kau rencanakan dalam hatimu?"

   "Ya, selamanya kau tak akan tahu!", Tiok Yap-cing tertawa. Ketika Cia Hong-hong terbangun dari impian buruknya, seluruh badannya basah kuyup oleh keringat dingin. Dalam mimpinya ia saksikan suaminya pulang dan berdiri di depan pembaringan dengan tubuh berlumuran darah, darah itu menindih tubuhnya hingga membuat ia tak sanggup bernapas. Ketika ia tersadar kembali hanya kegelapan yang menyelimuti sekitar tempat itu, lampu yang disulut suaminya tadi kini telah padam. ooooOOOOoooo Bab 19. Keturunan Keluarga Kenamaan Dalam ruangan tiada cahaya lampu, seorang diri Cia Siau-hong duduk dalam kegelapan, duduk di atas kursi di mana tempat itu selalu mereka kosongkan bila sedang bersantap dan khusus disediakan buat tuan putri. ......Semenjak dilahirkan, semestinya dia adalah seorang tuan putri, bila bertemu dengannya, maka kau pasti akan menyukainya, kami merasa bangga karena dia. Api dalam tungku telah padam, bahkan abupun telah dingin. Dapur nan sempit dan kecil, selamanya tak akan memancarkan kehangatan lagi seperti dulu, bau harum kuah daging yang dapat menghangatkan badan sampai ke lubuk hatipun selamanya tak akan terendus kembali. Tapi di tempat itulah ia pernah merasakan kepuasan dan ketentraman yang sebelumnya tak pernah ia rasakan atau jumpai. ......Aku bernama A-kit, A-kit yang tak berguna. ......Hari ini tuan putri kita pulang makan, kita semua akan mendapat daging untuk bersantap, setiap orang akan mendapatkan sepotong daging, sepotong daging yang besar, besar sekali. Ketika daging dihidangkan, sorot mata setiap orang mencorong tajam, setajam sinar pedang. Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang memancar ke empat penjuru, darah berhamburan ke mana-mana dan musuh besar roboh tak bernyawa. ......Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, akulah Cia Siau-hong. ......Akulah Cia Siau-hong yang tiada keduanya dalam dunia ini. Sesungguhnya siapakah di antara kedua orang ini yang jauh lebih gembira dan bahagia? A-kit? Atau Cia Siau-hong? Pelan-pelan pintu didorong orang, sesosok bayangan tubuh yang ramping dan halus masuk ke dalam. Tempat itu adalah rumahnya, ia sangat hapal dengan setiap macam benda yang berada di sana, sekalipun tidak melihatnya, iapun dapat merasakannya. Orang yang membawanya pulang adalah seorang laki-laki asing yang bertubuh gemuk, tapi memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh lebih enteng daripada seekor burung walet, mendekam di atas tubuhnya bagaikan berjalan di atas awan. Ia tidak kenal dengan orang itu. Ia mau mengikutinya karena ia berkata ada orang sedang menantikannya, lantaran orang yang menunggu dirinya adalah Cia Siau-hong. Pelan-pelan Cia Siau-hong bangun berdiri lalu berkata.

   "Duduklah!"

   Tempat itu khusus mereka sediakan baginya, bila ia pulang maka tempat itu sepantasnya diberikan kepadanya.

   Siau-hong masih ingat, ketika untuk pertama kalinya melihat dia duduk di kursi itu dengan rambut yang hitam dan panjang terurai di bahu, sikapnya yang lembut dan anggun itu mengingatkan kita kepada seorang Tuan Putri sungguhan.

   Waktu itu ia hanya berharap sebelum perjumpaan tersebut mereka tak pernah berkenalan, ia berharap perempuan itu adalah seorang tuan putri sungguhan.

   .......Bagaimanapun juga kau tak dapat membiarkan keturunan keluarga Cia mengawini seorang pelacur sebagai istrinya.

   .......Ya, Pelacur! Lonte! Tanpa terasa ia terbayang lagi kembali kejadian ketika pertama kali bertemu dengannya, teringat pula rasa panas yang memancar ke luar dari selangkangan si nona ketika tangannya menekan tempat 'itu' nya, terbayang pula olehnya liuk-liuk tubuhnya ketika berbaring di tanah sambil memamerkan seluruh bagian tubuhnya yang terlarang itu.....

   .......Aku baru berusia lima belas tahun, cuma saja tampaknya jauh lebih besar dari orang lain.

   Siau Te masih seorang bocah.

   .......Tak ada orang yang suka melakukan pekerjaan semacam itu, tapi setiap orang membutuhkan hidup, setiap orang perlu makan.

   .......Gadis itu adalah satu-satunya harapan bagi ibunya dan kakaknya, ia harus memberi daging untuk mereka.

   Tapi Siau Te baru berusia lima belas tahun, Siau Te adalah darah daging keluarga Cia.

   Si Boneka telah duduk, ia duduk seperti seorang tuan putri sungguhan, sepasang matanya yang jeli memancarkan sinar terang di tengah kegelapan itu.

   Cia Siau-hong sangsi sejenak, akhirnya ia berkata.

   "Aku telah berjumpa dengan toako-mu!"

   "Aku tahu!"

   "Agaknya luka yang dideritanya telah mulai sembuh, sekarang tak nanti ada orang akan pergi mencarinya lagi!"

   "Aku tahu!"

   "Aku kuatir kau merasa kurang leluasa, maka kusuruh Cia ciangkwe untuk menjemputmu"

   "Aku tahu!"

   Tiba-tiba si Boneka tertawa lebar, katanya lebih jauh.

   "Akupun tahu kenapa kau membawaku ke mari"

   "Kau tahu?", tanya Cia Siau-hong keheranan.

   "Ya, kau minta aku kemari karena tak boleh kawin dengan Siau Te!"

   Ia masih tertawa. Pelan-pelan ia berkata lebih lanjut.

   "Karena kau merasa aku tak pantas untuk mendampinginya, kau sangat baik kepadaku, memperhatikan diriku, semuanya itu tak lebih karena kau kasihan kepadaku, menaruh belas kasihan kepadaku, tapi dalam hati sesungguhnya sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku"

   "Aku......."

   "Kau tak perlu memberi penjelasan kepadaku,"

   Tukas si Boneka.

   "aku cukup mengerti tentang keadaan yang sedang kuhadapi, orang yang benar-benar kau sukai masih tetap Buyung hujin tersebut, karena ia memang ditakdirkan bernasib seorang nyonya besar, karena ia tak perlu menjual diri untuk membiayai hidup keluarganya, ia tak perlu menjadi seorang pelacur...........!"

   Air matanya jatuh bercucuran amat deras, mendadak sambil menangis tersedu-sedu, katanya.

   "Tapi tak pernahkah kau berpikir bahwa pelacurpun manusia, pelacurpun berharap bisa memperoleh pasangan yang baik, berharap ada orang yang benar-benar mencintainya"

   Cia Siau-hong merasa hatinya amat sakit, seperti ditusuk-tusuk dengan pisau, setiap ucapannya seakan-akan sebatang jarum yang menghujam ulu hatinya.

   Tak tahan lagi ia maju menghampirinya dan membelai rambutnya yang lembut, dia ingin menghibur dengan kata-kata yang lembut, tapi ia tak tahu bagaimana harus berkata.

   Si Boneka tak kuasa menahan dirinya lagi, ia menubruk ke dalam pelukannya dan menangis tersedu-sedu.

   Baginya, bisa berbaring dalam pelukannya sudah merupakan suatu penghiburan yang paling besar baginya.

   Cia Siau-hong pun tahu, bagaimanapun jua ia tak tega untuk menyingkirkan gadis itu dari pelukannya.

   "Tiba-tiba....."Blaaang!", pintu di dorong orang keras-keras, seorang pemuda berwajah pucat tahutahu muncul di luar pintu, sorot matanya penuh pancaran rasa sedih, menderita dan penuh kebencian. Siapa yang tahu berapa besarkah kekuatan dari suatu dendam sakit hati, sehingga membuat orang melakukan berapa banyak peristiwa yang menakutkan? Siapa tahu kesedihan yang sebenarnya bagaimana rasanya? Mungkin Siau Te telah mengetahuinya. Mungkin Cia Siau-hong juga telah mengetahuinya. Mayat Hoa Sau-kun ditemukan orang satu jam berselang dalam gardu persegi enam. Tenggorokannya sudah digorok orang hingga kutung, bajunya, tangannya dan jenggotnya penuh berlepotan darah. Tak seorangpun yang bisa membayangkan bagaimanakah rasa sedih, menderita dan gusar yang mencekam perasaan Cia Hong-hong sewaktu menjumpai mayat suaminya. Dalam waktu singkat ia seakan-akan berubah menjadi seekor binatang liar yang sedang kalap. Ia menangis meraung-raung, berteriak seperti orang histeris, mencakar muka sendiri, menarik rambut sendiri, kalau bisa ia hendak mencabik-cabik tubuh sendiri, lalu membakarnya dengan api lalu menumbuknya menjadi bubuk dan memusnahkannya dari muka bumi. Ada tujuh-delapan pasang tangan yang kuat menahan tubuhnya, hingga satu jam kemudian ia baru dapat menenangkan kembali hatinya. Namun air mata masih jatuh bercucuran dengan deras. Hubungan suami isteri yang berlangsung selama dua puluh tahun, senang sama dicicipi, sengsara sama di atasi, hubungan batin tersebut hakekatnya telah meresap hingga ke dalam lubuk hati. ......Sekarang ia telah menjadi tua, kenapa ia musti mati duluan? Kenapa ia harus mati dalam keadaan yang mengenaskan? Kesedihan yang melewati batas ini tiba-tiba saja berubah menjadi dendam kesumat, katanya mendadak dengan suara dingin.

   "Kalian lepaskan aku, biarkan aku duduk sendiri!"

   Fajar sudah hampir menyingsing, lentera meja masih memancarkan sinarnya dan menerangi wajah Buyung Ciu-ti, paras mukanyapun tampak pucat pias.

   Cia Hong-hong telah duduk dihadapannya, air mata telah mengering, yang masih tertinggal di balik matanya hanya dendam kesumat.

   Kesedihan yang sungguh-sungguh melewati batas dapat membuat orang menjadi gila, dendam kesumat yang betul-betul meresap ke tulang dapat membuat orang menjadi tegang.

   Dengan pandangan dingin, dia awasi sinar lampu yang berkedip-kedip, lalu tiba-tiba berbisik.

   "Aku keliru, kaupun keliru!"

   "Mengapa kau keliru?"

   "Karena kita semua telah tahu bahwa pertarungan pagi tadi bukan dimenangkan Hoa Sau-kun, melainkan oleh Cia Siau-hong, tapi kita semua tidak mengutarakan keluar!"

   Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal.

   Seandainya pedang Cia Siau-hong betul-betul mencelat karena getaran tenaga, maka tak nanti senjata tersebut akan menancap persis di samping Cia Hong-hong.

   Ia dapat meminjam tenaga getaran orang untuk mengembalikan pedang tersebut ke tangan Cia Hong-hong, tenaga serta kemampuan semacam itu pada hakekatnya telah digunakan secara jitu dan hebat.

   "Sebetulnya bukan saja Cia Siau-hong dapat mengalahkannya, diapun dapat membunuhnya!", kata Cia Hong-hong lebih lanjut.

   "tapi Cia Siau-hong tidak berbuat demikian, maka orang yang membunuhnya pasti bukan Cia Siau-hong"

   Buyung Ciu-ti tak dapat menyangkal akan kebenaran ucapan tersebut. Cia Hong-hong menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata lagi.

   "Oleh karena itu aku ingin bertanya kepadamu, kecuali Cia Siau-hong, masih ada siapakah di tempat ini yang sanggup menggorok kutung lehernya dengan pedang?"

   Buyung Ciu-ti termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, lewat lama sekali baru sahutnya.

   "Hanya ada seorang!"

   "Siapa?"

   "Dia! Dia sendiri!"

   Cia Hong-hong menggenggam tangan sendiri kencang-kencang, jari-jari tangannya sampai menembusi telapak tangan sendiri, serunya dengan suara tergagap.

   "Maksudmu......maksudmu dia.......dia bunuh diri?"

   "Ehmmm, begitulah!"

   Sekali lagi Cia Hong-hong gelengkan kepalanya berulang kali, teriaknya dengan suara keras.

   "Tidak mungkin, hal ini tidak mungkin, demi aku tak nanti ia akan berbuat demikian!"

   Buyung Ciu-ti menghela napas panjang.

   "Aaaaiii....siapa tahu kalau ia justru berbuat demikian demi dirimu?"

   Sebelum perempuan itu menjawab, ia telah berkata lebih jauh.

   "Karena ia telah tahu, bahwa kaupun mengetahui bila orang yang betul-betul kalah adalah dia, kau tak tega mengatakannya keluar, dia sendiri tentu saja lebih baik tak berkeberanian untuk menceritakannya keluar, penghinaan, penderitaan serta rasa malu itu selalu menyiksa hatinya, sekalipun ia gagah dan keras hati, tapi lama kelamaan mana sanggup untuk mempertahankan diri?"

   Cia Hong-hong menundukkan kepalanya rendah-rendah, ia berbisik.

   "Tapi......."

   "Tapi kalau tiada Cia Siau-hong, diapun tak akan mati", Buyung Ciu-ti melanjutkan. Ia sendiri adalah seorang perempuan, tentu diapun memahami perasaan seorang perempuan. Bila kaum perempuan sedang sedih dan marah dan kebetulan rasa sedih serta marahnya tiada tempat pelampiasan, seringkali semua hal tersebut akan dilampiaskan kepada orang lain. Betul juga, Cia Hong-hong segera mendongakkan kepalanya, lalu berkata.

   "Cia Siau-hong sendiripun cukup mengetahui wataknya, mungkin ia telah memperhitungkan sampai ke situ, maka ia sengaja berbuat demikian!"

   Buyung Ciu-ti menghela napas panjang, katanya.

   "Aaaaii.....berbicara sesungguhnya, keadaan semacam ini bukannya tidak mungkin terjadi"

   Lompatan kobaran api memancar ke luar dari balik mata Cia Hong-hong, ia menatap lama sekali wajah perempuan itu, tiba-tiba serunya.

   "Konon aku dengar kau seorang yang mengetahui titik kelemahan dalam ilmu pedang Cia Siauhong"

   Buyung Ciu-ti tertawa getir.

   "Aku memang tahu, tapi apa gunanya sekalipun aku mengetahuinya?"

   "Kenapa tak berguna?"

   "Sebab kekuatanku tidak cukup hebat, kecepatan gerakkupun tidak cukup meyakinkan, sekalipun dengan jelas ku tahu dimana letak titik kelemahan tersebut, menunggu serangan tersebut kulancarkan, mungkin keadaan sudah tidak sempat lagi"

   Setelah menghela napas panjang, ia berkata kembali.

   "Seperti juga walaupun dengan jelas kulihat ada seekor burung gereja di atas pohon, tapi menunggu aku memanjat pohon dan ingin menangkapnya, burung tersebut sudah keburu terbang"

   "Tapi paling tidak kau sudah tahu cara menangkap burung gereja itu, bukan?", seru Cia Honghong.

   "Ehm, benar!"

   "Sudahkah kau beritahukan rahasia ini kepada orang lain?"

   "Hanya memberitahukan kepada seseorang karena hanya pedang miliknya yang sanggup menghadapi Cia Siau-hong!"

   "Tapi siapakah orang itu?"

   "Yan Cap-sa!"

   Siau Te telah putar badan menerjang keluar, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia putar badan dan kabur dari situ.

   Dengan mata kepala sendiri ia saksikan mereka berangkulan, saling berpelukan dengan mesra, dalam keadaan begini, apa lagi yang dapat ia katakan.

   .......Sekalipun kejadian yang disaksikan dengan mata kepala sendiri, belum tentu hal itu merupakan kenyataan.

   Ia belum sempat memahami ucapan tersebut, pun tak ingin mendengarkan penjelasan itu, dia hanya ingin menyingkir sejauh-jauhnya, makin jauh semakin baik.

   Karena ia merasa dirinya telah tertipu, hatinya telah terluka, sekalipun terhadap si Boneka ia tak menaruh rasa cinta, tapi gadis itupun tidak seharusnya menghianati dia, lebih-lebih Cia Siau-hong, tidak seharusnya ia berbuat begini.

   Cia Siau-hong dapat memahami perasaan hatinya sekarang.

   Sebab ia pernah tertipu, pernah juga terluka hatinya, diapun pernah menjadi seorang pemuda berdarah panas yang keras hati dan penuh kobaran emosi.

   Dengan cepat ia mengejar keluar, dia tahu Cia ciangkwe dapat merawat si Boneka baginya, dan ia sendiri harus baik-baik mengawasi Siau Te.

   Hanya dia seorang yang dapat melihat kelemahan dalam perasaan pemuda yang tampaknya keras hati dan dingin tersebut.

   Maka dia harus melindunginya, tidak membiarkan ia menerima penderitaan maupun siksaan lagi.

   Walaupun Siau Te tahu bahwa ia mengikuti di belakangnya, namun ia sama sekali tak berpaling.

   Ia tak ingin berjumpa lagi dengan orang itu, tapi diapun tahu jika Cia Siau-hong telah bertekad untuk menguntil seseorang, maka siapapun kau jangan harap bisa lolos dengan begitu saja.

   Cia Siau-hong tidak buka suara.

   Karena diapun tahu bila pemuda tersebut telah bertekad tak akan mendengarkan penjelasan orang, perduli apapun yang kau katakan kepadanya juga percuma.

   Fajar telah menyingsing langit terang benderang dan sinar emas memancar ke empat penjuru.

   Dari lorong yang sempit mereka menuju ke jalan yang ramai, dari jalanan yang ramai memasuki pinggiran kota yang sepi, lalu dari pinggiran kota yang sepi menuju ke jalan raya menuju ke luar kota.

   Di atas jalan raya, para pejalan kaki sedang melakukan perjalanan masing-masing dengan cepat dan tergesa-gesa.

   Kini masa panen telah lewat, inilah saatnya semua orang memperhitungkan untung ruginya setelah membanting tulang sepanjang tahun.

   Ada sebagian orang yang buru-buru membawa pulang hasil jerih payah mereka untuk dinikmati bersama keluarganya.

   Ada pula yang membawa pulang hati yang kesal, badan yang penat serta segudang hutang.

   Tak tahan Cia Siau-hong bertanya kepada diri sendiri.

   ........Apakah selama setahun ini ia giat menanam budi kebaikan? Lalu apa hasilnya? ........Sepanjang setahun ini adalah aku merugikan orang lain, ataukah orang lain yang telah merugikan dirinya? Ia tak sanggup memberi jawabannya.

   Ada sementara hutang yang sesungguhnya memang tak mungkin bisa diselesaikan oleh siapapun.

   Tengah hari menjelang tiba.

   Mereka telah masuk kembali dalam sebuah kota dan menelusuri sebuah jalan yang teramat ramai di kota tersebut.

   Meskipun berbeda kota, tapi manusianya adalah sama saja, mereka bekerja keras demi nama dan kedudukan, merekapun dibikin pusing oleh dendam ataupun perselisihan.

   Tanpa terasa Cia Siau-hong menghela napas panjang, ketika mendongakkan kepalanya, ia baru menyaksikan Siau Te telah berhenti dan sedang memandang ke arahnya dengan dingin.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia berjalan menghampirinya, tapi sebelum bersuara, tiba-tiba Siau Te bertanya.

   "Selama ini kau mengikuti terus diriku, apakah karena kau telah bertekad untuk baik-baik merawat dan memperhatikan diriku?"

   Cia Siau-hong mengakuinya. Secara tiba-tiba ia menemukan bahwa Siau Te memahami perasaannya, seperti juga ia memahami perasaan Siau Te.

   "Aku sudah lelah sekali melakukan perjalanan, lagi pula laparnya setengah mati", kata Siau Te lagi.

   "Kalau begitu mari kita bersantap!"

   "Bagus sekali!"

   Di mana ia berhenti adalah persis di bawah merek emas dari Cong-goan-lo. Baru saja putar badan, ciangkwe gemuk yang bermuka hok-kie itu telah membungkukkan badan kepada mereka sambil tersenyum simpul.

   "Siapkan delapan hidangan panas, empat masakan barang berjiwa, empat macam masakan barang tak berjiwa, siapkan dulu delapan piring kecil untuk teman minum arak, lalu hidangkan enam macam hidangan utama. Udang bago, Yan-oh, H-sit, ayam lengkap, bebek lengkap, semuanya siapkan komplit, jangan ada semacampun yang ketinggalan."

   Itulah sayur yang dipesan oleh Siau Te. Sambil tersenyum dan bungkukkan badan memberi hormat, ciangkwe gemuk itu segera menyahut.

   "Bukannya siaujin bicara ngibul, kecuali rumah makan kami, jangan harap bisa ditemukan hidangan sekomplit ini dalam waktu yang begini tergesa-gesa di tempat lain"

   "Ya, asal hidangan bisa dibikin sebaik mungkin dan secepat mungkin, uang persen tak akan lupa"

   "Entah berapa orang tamu yang hendak di undang? Sampai kapan baru tiba di sini?"

   "Tak ada tamu lainnya"

   "Hanya kalian berdua?", ciangkwe gemuk itu melototkan sepasang matanya bulat-bulat.

   "kenapa memesan sayur begini banyaknya?"

   "Asalkan aku lagi senang, tidak habis di makan, mau dibuang ke pecomberan pun urusanku, buat apa kau turut campur?"

   Ciangkwe gemuk itu tak berani bersuara lagi, dengan munduk-munduk ia lantas mengundurkan diri dari situ. Tapi saat itulah dari meja lain kedengaran ada orang sedang tertawa dingin sambil menyindir.

   "Heeeeehhhh....... heeeeehhhhh........ heeeeehhhhh..... entah bocah keparat itu lagi kaya mendadak? Ataukah sudah kelaparan hingga mendekati sinting?"

   Siau Te seakan-akan tak mendengar sindiran tersebut, hanya gumamnya seorang diri.

   "Sayur-sayur itu merupakan hidangan kegemaranku, cuma sayang dihari-hari biasa tidak mudah bagiku untuk menikmatinya!"

   "Asal kau lagi gembira, bisa makan berapa banyak makanlah!", Cia Siau-hong menimpali. Tak seorang manusiapun dapat menghabiskan hidangan sebanyak ini, setiap macam Siau Te hanya mencicipi sekerat, lalu sambil menggerakkan kembali sumpitnya ia berkata.

   "Aku sudah kenyang!"

   "Tidak banyak yang kau makan", kata Cia Siau-hong.

   "Jika sekepingpun sudah dapat dirasakan bagaimana rasanya, buat apa kita musti makan terlalu banyak?"

   Setelah menghembuskan napas panjang dan memukul meja, ia berseru dengan suara lantang.

   "Bawa rekeningnya ke mari!"

   Tidak terlalu banyak tamu semacam dia ini, semenjak tadi ciangkwe gemuk telah menunggu di sampingnya, segera ujarnya sambil tertawa paksa.

   "Hidangan semeja penuh yang dipesan adalah delapan tahil perak, ditambah arak wangi seluruhnya berjumlah sepuluh tahil empat mata uang"

   "Ehmmmm, tidak mahal!"

   "Rumah makan kami selamanya berdagang menurut aturan, tak pernah kami mengambil untung terlalu banyak untuk tamu-tamu kami", kata ciangkwe gemuk dengan cepat. Siau Te lantas berpaling ke arah Cia Siau-hong sambil berkata.

   "Bila ditambah dengan uang tip, bagaimana kalau kita bayar dua belas tahil perak saja?"

   "Ya, seharusnya memang demikian"

   "Kenapa kau belum juga membayarnya?"

   "Karena satu tahil perakpun tidak kumiliki!"

   Siau Te tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja di mana suara tertawa dingin tadi berasal.

   Di sekitar meja tersebut duduk empat orang tamu, kecuali seorang pemuda berbaju kasar yang kelihatan agak ketolol-tololan, minum arak paling sedikit dan berbicara paling sedikit, tiga orang lainnya merupakan pemuda-pemuda gagah yang berusia dua puluh tahunan, gagah, ganteng dan kelihatan amat perkasa.

   Di atas meja terdapat tiga bilah pedang, bentuknya sangat antik dan indah, sekalipun belum diloloskan dari sarungnya, tapi siapapun tahu bahwa pedang tersebut pastilah sebilah pedang yang tajam.

   Orang yang tertawa dingin tadi mengenakan baju paling perlente dan bersikap paling angkuh.

   Ketika menyaksikan Siau Te berjalan ke arahnya, sekali lagi ia tertawa dingin.

   Siau Te tidak memperhatikan wajahnya melainkan pedang antik yang berada di atas meja itu, tibatiba ia menghela napas panjang kemudian berbisik lirih.

   "Ehmm, sebilah pedang yang bagus!"

   "Kau juga mengerti tentang pedang?", ejek orang itu sambil tertawa dingin.

   "Konon dahulu ada seorang Si Lu-cu, Si taysu yang mempunyai kepandaian membuat pedang yang hebat dan tiada tandingannya di kolong langit, dengan air dari telaga pelepas pedang di bukit Bu-tong, ia telah menempa tujuh bilah pedang tajam, oleh sang ciangbunjin ke tujuh pedang tersebut diberikan kepada tujuh orang muridnya yang terlihay dengan pesan pedang ada orang hidup, pedang hilang nyawa lenyap, setelah mati pedang itu harus diserahkan kembali kepada ketuanya untuk dioperkan ke orang lain....."

   Setelah tersenyum iapun bertanya.

   "Entah pedang tersebut apa betul merupakan salah satu diantaranya?"

   Pemuda yang tertawa dingin itu masih juga tertawa dingin tiada hentinya, sedangkan seorang pemuda berbaju ungu yang ada disampingnya segera berseru memuji.

   "Suatu ketajaman mata yang luar biasa!"

   "Boleh aku tahu siapa nama margamu?"

   "Aku she Wan, juga she Cho!"

   "Jangan-jangan kau adalah murid yang termuda dan tertampan di antara tujuh orang murid Butong- pay yang disebut Cho Han-giok itu?"

   "Suatu ketajaman mata yang mengagumkan!", kembali orang berbaju ungu itu berseru.

   "Kalau begitu kau pastilah toa-kongcu dari keluarga Wan berbaju ungu itu dari kota Kim-leng?"

   "Bukan, aku adalah Lo-ji bernama Wan Ji-im, dialah toako kami, Wan Hui-im!", kata manusia berbaju ungu itu memperkenalkan diri. Wan Hui-im duduk tepat di sampingnya, jenggot sudah tumbuh pada janggutnya.

   "Dan yang ini?"

   Orang yang ditanya Siau-te adalah pemuda berbaju kasar yang kelihatan amat jujur itu, katanya lebih lanjut.

   "Burung Hong tak akan sudi terbang bersama burung gagak, aku pikir saudara inipun pastilah sauya kongcu dari keluarga kenamaan juga?"

   "Aku bukan!", pemuda berbaju kasar itu menjawab singkat.

   "Bagus sekali!"

   Di bawah dua patah kata tersebut jelas masih ada perkataan lain, pemuda berbaju kasar itu justru sedang menantikan kata-kata selanjutnya.

   Orang jujur biasanya tidak banyak berbicara, pun tidak banyak bertanya......

   Betul juga, ternyata Siau Te yang berkata lebih jauh.

   "Di tempat ini paling tidak masih ada orang yang tiada perselisihan maupun dendam sakit hati dengannya"

   "Siapakah dia?", tanya Wan Ji-im.

   "Itulah orang yang seharusnya membayar rekening, tapi nyatanya setahil perakpun tidak ia miliki"

   "Apakah kami semua mempunyai dendam kesumat dengannya?"

   "Agaknya memang ada sedikit!"

   "Dendam macam apakah itu? Dan perselisihan macam apa pula yang kau maksudkan?"

   "Bukankah kalian bersaudara mempunyai seorang paman yang disebut orang persilatan sebagai Cian-hong-kiam-kek (Jago pedang selaksa merah)?"

   "Benar!", sahut Wan Ji-im.

   "Bukankah Cho kongcu ini juga mempunyai seorang kakak yang bernama Peng......?, tanya Siau Te lebih jauh.

   "Benar!"

   "Bukankah mereka berdua telah tewas dalam perkampungan Sin-kiam-san-ceng....?"

   Paras muka Wan Ji-im segera berubah hebat.

   "Apakah orang yang kau maksudkan tadi adalah......."

   "Ya, dia tak lain adalah Sam sauya dari perkampungan Sin-kim-san-ceng di lembah Cui-im-kok, telaga Liok-sui-oh, atau yang lebih di kenal sebagai Cia Siau-hong!"

   "Criiiiing!", pedang Cho Han-giok telah diloloskan dari sarungnya, dua bersaudara Wan telah meraba pula gagang pedang mereka.

   "Kaukah Cia Siau-hong?"

   "Ya, benar!"

   Cahaya pedang berkelebat lewat, tiga bilah pedang telah mengurung rapat Cia Siau-hong.

   Paras muka Cia Siau-hong sama sekali tidak berubah, tapi ciangkwe gemuk itu sudah ketakutan setengah mati sehingga paras mukanya berubah menjadi pucat kehijau-hijauan.

   Tiba-tiba Siau Te maju ke depan dan menarik ujung bajunya, lalu bertanya dengan suara lirih.

   "Tahukah kau, cara apa yang terbaik untuk makan gratis tanpa digebuki orang lain?"

   Ciangkwe gemuk itu menggelengkan kepalanya berulang kali. Siau Te segera tertawa, jawabnya.

   "Caranya cukup sederhana, carilah beberapa orang untuk melangsungkan pertarungan sengit, bila suasana telah menjadi kalut, maka secara diam-diam kaupun kabur dari tempat itu!"

   OoooOOOOoooo Bab 20.

   Pemberani Tak Akan Jeri Siau Te telah ngeloyor pergi.

   Ketika ia mengatakan hendak kabur, ia betul-betul telah kabur dengan cepat, menunggu si ciangkwe gendut berpaling kembali, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.

   Dalam keadaan begini, ciangkwe gemuk itu tak bisa berbuat lain kecuali tertawa getir.

   Dia bukannya tidak tahu cara tersebut, dulu pernah ada orang yang melakukan cara yang sama, dan kemudian haripun pasti masih ada orang yang akan menggunakan cara tersebut.

   Sebab cara itu memang paling manjur untuk dipergunakan makan gratis.

   Tengah hari di sebuah jalan raya yang amat panjang.

   Dengan menyelusuri bayangan gelap di bawah wuwungan rumah, Siau Te berjalan menuju ke depan.

   Setelah melepaskan diri dari kuntitan Cia Siau-hong, sesungguhnya adalah suatu peristiwa yang patut digembirakan, tapi ia sama sekali tidak berperasaan demikian.

   Dia hanya ingin lari ke tana lapang yang luas dan berteriak-teriak seorang diri, diapun ingin lari ke puncak bukit yang tinggi dan menangis sepuas-puasnya.

   Mungkin hanya dia seorang yang tahu kenapa ia dapat berpikir demikian, bahkan mungkin dia sendiripun tak tahu.

   Dapatkah Cia Siau-hong melayani tiga orang anak jadah cilik yang sepasang matanya hanya berada di atas kepala? Siapa menang siapa kalah, apa pula sangkut pautnya dengan diriku? Sekalipun mampus semua, hanya bapak dan emak mereka yang akan menangisi kematiannya, tapi kalau aku mati, siapa pula yang akan meneteskan air mata bagiku? Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa terbahak-bahak.

   Semua orang di jalanan berpaling ke arahnya, memandangnya dengan terperanjat, mereka menganggapnya sebagai orang gila.

   Tapi ia sendiri sedikitpun tidak ambil perduli, orang lain mau menganggap dirinya sebagai manusia macam apapun, dia tak akan ambil perduli.

   Sebuah kereta besar berjalan lewat dari tikungan jalan raya sebelah depan sana, kereta itu dihela oleh dua ekor kuda.

   Badan keretanya masih baru dan berwarna hitam, masih mengkilap seperti sebuah cermin.

   Sebuah panji kecil berwarna merah tersembul di antara daun jendelanya.

   Sang kusir yang mengenakan ikat pinggang berwarna merah duduk di tempatnya dengan angkuh dan jumawa, cambuknya di ayunkan berulang kali, gayanya sok benar.

   Tiba-tiba Siau Te menerjang ke depan menghadang di depan kuda, karena kemunculan yang tibatiba itu, sang kuda segera meringkik panjang dan mengangkat ke dua belah kakinya ke atas.

   Tentu saja kusirnya mencaci maki penuh kegusaran, sambil mengayunkan cambuknya ia berteriak.

   "Hei, bajingan cilik! Kau ingin mampus?"

   Siau Te masih belum ingin mampus, iapun tak ingin dimakan cambuk, maka tangan kirinya segera menahan gagang cambuk tersebut, kontan sang kusir terjengkang ke tanah dan keretapun berhenti.

   Dari balik jendela kereta muncul sebuah kepala manusia, itulah wajah yang garang dengan rambut yang tersisir rapi dan sepasang mata yang buas penuh keseraman.

   Siau Te maju menghampirinya, setelah menarik napas panjang-panjang ia bergumam.

   "Ehmm.....rambut yang indah, harum....semerbak.....seperti bunga melati!"

   "Mau apa kau, kunyuk kecil?", bentak orang itu sambil melotot gusar ke arahnya.

   "Aku mau mati!"

   "Heehhh..... heeehhh... heehhhh... itu mah gampang!", kembali orang itu berseru setelah tertawa dingin. Siau Te tersenyum.

   "Aku memang tahu bahwa aku sudah mencari tempat yang benar, menemukan orang yang benar"

   Kemudian ditatapnya sekejap sepasang tangan laki-laki kekar itu beserta otot hijau yang menonjol keluar serta jari tangan yang besar lagi kasar.

   Hanya manusia bertenaga gwakang yang sudah berpengalaman dalam melangsungkan pertarungan baru memiliki sepasang tangan semacam ini.

   Tangan tersebut mungkin tak becus untuk melakukan pekerjaan yang lain, tapi untuk mematahkan tengkuk orang, jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang menyulitkan.

   Siau Te menjulurkan lehernya dan membuka pintu kereta, lalu sambil tersenyum katanya.

   "Silahkan!"

   Orang itu malah berubah agak sangsi, bagaimanapun jua memang tidak banyak manusia di dunia ini yang tanpa sebab datang menghantar kematiannya sendiri.

   Dalam ruang kereta masih terdapat seorang perempuan yang mendekam di lantai kereta bagaikan kucing, ia sedang memperhatikan Siau Te dengan sepasang matanya yang indah bagaikan sinar rembulan.

   Tiba-tiba sambil tertawa cekikikan perempuan itu berkata.

   "Kalau toh dia ingin mati, kenapa kau tidak penuhi saja harapannya itu? Sejak kapan sih Oh-toaya berubah menjadi seorang pengecut yang untuk membunuh orangpun tak berani?"

   Suaranya seperti pula orangnya, lemah lembut penuh kemanjaan, tapi di balik kelembutan itu justru terselip sindiran yang lebih tajam dari pada kucing. Sinar buas segera mencorong ke luar dari balik mata Oh-toaya, katanya kemudian dengan dingin.

   "Sedari kapan kau pernah menyaksikan aku Oh Hui membunuh seorang manusia tanpa nama seperti dia?"

   Si gadis seperti kucing itu tertawa cekikikan.

   "Dari mana kau bisa tahu kalau dia adalah manusia tanpa nama? Betul usianya masih muda, tapi tidak sedikit kan orang muda yang punya nama lebih besar darimu? Siapa tahu kalau dia adalah Cho Han-giok dari Bu-tong-pay, atau mungkin juga dia adalah Toa sauya dari keluarga Wan asal Kanglam? Ya, sudah pasti dalam hati kecilmu jeri kepadanya, maka kau tak berani turun tangan secara gegabah"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Selembar wajah Oh Hui seketika berubah menjadi merah padam.

   Gadis itu memang lembut dan menggemaskan, tapi setiap patah katanya justru mengena dasar hatinya.

   Ia tahu Cho Han-giok dan dua bersaudara Wan telah tiba di situ, bila pemuda tersebut tak punya asal usul yang besar, kenapa ia berani kurang ajar dihadapannya? Tiba-tiba Siau Te berkata.

   "Bukankah Oh toaya ini adalah Thi-cing (Telapak tangan baja) Oh Hui dari perusahaan ekspedisi Hong-ki-piaukiok?"

   Oh Hui segera membusungkan dadanya dan menjawab dengan lantang.

   "Sungguh tak kusangka kalau kau masih mengenali juga diriku!"

   Bila seorang jago persilatan mendengar orang lain dapat menyebutkan nama besarnya, sedikit banyak dalam hatinya tentu akan timbul rasa bangga, apalagi kalau pihak lawan bisa di bikin merat setelah mengetahui nama besarnya, tentu saja hal ini jauh lebih baik lagi.

   Siau Te menghela napas panjang, katanya lagi.

   "Aku sendiripun tidak menyangka"

   "Tidak menyangka apa?"

   "Tidak menyangka kalau perusahaan ekspedisi Hong-ki-piaukiok bisa memiliki daya pengaruh yang begini besarnya dengan kekuasaan yang begini hebatnya, sehingga seorang piausu kecil dalam perusahaanpun berani memperlihatkan gaya yang begini soknya!"

   Ya, berbicara sesungguhnya, kuda jempolan dengan kereta yang indah ditambah gadis yang cantik, tak mungkin bisa dimiliki oleh seorang piausu biasa seperti dia.

   Betul, Hong-ki-piaukiok mempunyai nama yang besar, betul congpiautaunya Thi-khi-kuay-kiam (Si Pedang Kilat) Thi Tiong-khi dengan ilmu Tui-hong-jit-cap-ji-si (Tujuh puluh dua gerakan pengejar angin) dan Ji-cap-pwe-ci-cuan-im-cian (Dua puluh delapan batang panah penembus awan) nya menggetarkan dunia persilatan, tapi bekerja sebagai piautau dalam suatu perusahaan ekspedisi, paling banyakpun gaji bulanannya cuma beberapa puluh tahil perak saja.

   Paras muka Oh Hui semakin merah oleh ucapan tersebut, dengan gusar katanya.

   "Aku mau sok atau tidak, apa pula sangkut pautnya dengan dirimu?"

   "Ooooh....sama sekali tak ada sangkut pautnya!"

   "Kau she apa? Bernama siapa? Berasal dari mana?"

   "Aku tak punya she maupun nama, akupun tak punya asal usul, aku....aku......"

   Sebenarnya soal itu merupakan soal yang paling menyakitkan hatinya, walaupun perkataannya tidak menyinggung orang lain, tapi justru telah menyinggung diri sendiri.

   Seperti misalnya Cho Han-giok yang merupakan keturunan orang ternama, bila ia musti menyinggung soal asal-usul sendiri, tentu saja tak akan timbul perasaan pedih seperti yang dialaminya.

   Oh Hui segera merasakan hatinya lega, dengan suara keras bentaknya.

   "Walaupun aku tidak membunuh manusia tanpa nama, tapi hari ini bisa saja aku melanggar kebiasaan itu"

   Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, ia melompat ke luar dari kereta itu, sepasang telapak tangannya di bacok bersama membabat tenggorokan Siau Te.

   "Walaupun kau bersedia melanggar kebiasaan, tapi sekarang aku telah berubah pikiran, aku jadi tak ingin mati!", seru Siau Te. Ketika beberapa patah kata itu selesai diucapkan, ia sudah menghindarkan diri dari ke dua puluh jurus serangan Oh Hui, tiba-tiba badannya berputar dan....."Criiit!", ketika jari tangannya disentil keluar, ujung jarinya segera menotok telak di atas pinggang Oh Hui. Seketika itu jua Oh Hui merasakan separuh badannya menjadi kaku, pinggang bagian bawah mana linu mana lemas, tak ampun lagi ia jatuh berlutut di atas tanah. Gadis seperti kucing itu kembali tertawa cekikikan, katanya tiba-tiba.

   "Oh toa-piautau, kenapa secara tiba-tiba kau jadi begitu banyak adat......?"

   "Kau.....kau perempuan rendah yang tak tahu malu.....pagar makan tanaman.....", jerit Oh Hui sambil menggigit bibir menahan rasa bencinya yang meluap.

   "Eeeehh....eeeeh....siapa yang pagar makan tanaman? Aku makan apamu?", seru gadis seperti kucing itu.

   "huuuuhh....cuma seorang piausu kecil yang tak punya apa-apa, kau kira mampu untuk memelihara aku?"

   Kemudian sambil berpaling ke arah Siau Te, ia berkata lebih jauh.

   "Barusan, hanya satu hal yang kau salah menduga!"

   "Oya?"

   "Selama ini adalah aku yang memeliharanya, bukan dia yang memelihara aku!"

   Oh Hui membentak amat gusar, dia ingin menubruk ke depan, tapi tubuhnya kembali roboh ke tanah.

   "Belakangan ini kau makan terlalu banyak, badan gemuk semacam kau paling baik kalau mengurangi naik kereta dan memperbanyak berjalan kaki", kata gadis seperti kucing itu. Lalu dengan sepasang matanya yang jeli seperti rembulan, ia melirik sekejap ke arah Siau Te, kemudian katanya.

   "Tapi akupun merasa takut jika musti naik kereta seorang diri, menurut kau apa yang musti kulakukan?"

   "Inginkah kau mencari seorang teman yang bersedia menemanimu?"

   "Tentu saja ingin, bahkan inginnya setengah mati, tapi di sini aku merasa sing, siapapun tidak kenal, kemana aku musti mencari seorang teman yang bersedia menemani aku?"

   "Tak usah jauh-jauh, di sinipun ada!"

   "Siapa?"

   "Aku!"

   Sambil berlutut di tanah, Oh Hui menyaksikan Siau Te naik ke dalam kereta, menyaksikan kereta itu pergi dengan menimbulkan debu yang tinggi, tapi tidak melihat kalau ada seorang lain, tanpa menimbulkan sedikit suarapun telah muncul di belakang tubuhnya.

   Ruangan kereta penuh dengan bau harum semerbak yang memabukkan.

   Sambil mengangkat sepasang kakinya ke atas Siau Te duduk di sebuah kursi yang empuk sambil memandang si gadis seperti kucing yang lagi mendekam di sudut kereta.

   Gadis itupun sedang memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata.

   "Sebetulnya siapakah yang sedang mengejarmu dari belakang? Kenapa membuatmu sedemikian takutnya?"

   Siau Te sengaja berlagak tak mengerti, katanya.

   "Siapa yang bilang kalau aku sedang di kejar orang?"

   Gadis seperti kucing itu tertawa.

   "Walaupun kau bukan orang baik, tapi tak nanti merampas kereta orang tanpa sebab, kau sengaja mencari gara-gara dengan Oh Hui oleh karena kau justru tertarik oleh bendera merah di atas kereta tersebut. Bersembunyi di dalam kereta milik Hong-ki-piaukiok bagaimanapun jua jauh lebih aman dibandingkan bersembunyi di tempat lain"

   Sepasang matanya memang lebih tajam dari mata kucing. Dalam sekilas pandangan ia dapat menebak apa yang sedang direncanakan orang lain.

   "Dari mana kau bisa tahu kalau aku tertarik oleh panji merah di atas kereta, dan bukannya tertarik oleh kecantikanmu?", kata Siau Te sambil tertawa. Gadis seperti kucing itu ikut tertawa.

   "Bocah yang menyenangkan hati, sungguh manis selembar bibirmu itu!", bisiknya. Ia berkedip-kedip sambil mempermainkan bola matanya, kemudian ujarnya kembali.

   "Kalau kau memang tertarik olehku, mengapa tidak mendekatiku dan membopong tubuhku?"

   "Aku takut!"

   "Apa yang musti kau takuti?"

   "Aku takut di kemudian haripun kau akan meninggalkan aku, seperti kau lagi membuang ingus!"

   Gadis seperti kucing itu tertawa cekikikan.

   "Aku hanya membuang laki-laki yang pada dasarnya memang seperti ingus, apakah kau juga lakilaki seperti ingus?"

   "Agaknya tidak!"

   Tiba-tiba ia sudah duduk di sisinya dan sekejap kemudian telah membopong tubuhnya bahkan kemudian memeluknya erat-erat.

   Dengan pengalaman hidupnya yang penuh kesengsaraan dan penderitaan, semenjak kecil dalam hatinya telah tertanam rasa tak puasnya terhadap segala persoalan, karena itu setiap perbuatan yang dilakukan tanpa mempergunakan otak yang waras.

   Karena itu jangan heran kalau sepasang tangannya tidak jujur......

   Tiba-tiba gadis seperti kucing itu menarik muka, lalu berkata dengan dingin.

   "Sungguh besar amat nyalimu!"

   "Nyaliku selamanya memang tak pernah kecil!", jawab Siau Te.

   "Tahukah kau siapa aku ini?"

   "Kau adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik jelita!"

   "Gadis yang cantik kebanyakan sudah menjadi milik orang lelaki, kau tahu aku adalah perempuannya siapa?"

   "Aku tak perduli dulu kau milik siapa, pokoknya sekarang kau adalah mutlak milikku!"

   "Tapi....tapi.....bahkan siapa namamu pun aku tak tahu"

   "Aku tak punya nama, aku....aku adalah seorang anak jadah yang tak punya ayah tak punya ibu!"

   Menyinggung kembali persoalan ini, segulung rasa sedih dan benci kembali menyerbu ke luar dari dasar hatinya.

   Ia merasa di dunia ini belum pernah ada orang yang memandang berharga dirinya, lalu kenapa pula ia musti menghargai orang lain? Gadis seperti kucing itu memperhatikan terus perubahan wajahnya, muka yang tampan itu sudah memerah, seperti lagi malu, seperti juga lagi ketakutan, dengan suara gemetar ia lantas berbisik.

   "Apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu? Bukankah kau hendak memperkosa aku?"

   "Benar!"

   Kepalanya sudah dijulurkan ke depan, mencari bibirnya yang mungil........

   Tapi......"Kraaaak", daun jendela terbuka sendiri, seakan-akan terhembus angin, tapi menanti ia mendongakkan kepalanya, dihadapannya telah bertambah lagi dengan seseorang, wajahnya yang pucat tercermin rasa sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   Siau Te segera menghela napas panjang.

   "Aaaai.......lagi-lagi kau telah datang!", keluhnya.

   "Ya, aku telah datang kembali!", jawab Cia Siau-hong. Ruang kereta itu sangat luas, sebetulnya paling tidak bisa muat enam orang, tapi sekarang walau hanya tiga orangpun sudah terasa sesak sekali.

   "Aku tahu sejak kecil dulu kau adalah seorang kongcu romantis, perempuan simpananmu tak terhitung jumlahnya", kata Siau Te. Cia Siau-hong tidak menyangkal. Tiba-tiba Siau Te melompat bangun, kemudian teriaknya keras-keras.

   "Kenapa kau tak pernah mengijinkan akupun mempunyai seorang perempuan? Apakah kau berharap agar selama hidup aku menjadi seorang hweesio.....?"

   Mimik wajah Cia Siau-hong segera menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh, lewat lama sekali ia baru berkata.

   "Kau tak perlu menjadi hweesio, tapi perempuan ini tak boleh kau jamah.......!"

   "Kenapa?", teriak Siau Te penasaran. Gadis seperti kucing itu mendadak menghela napas.

   "Aaaaai......karena aku adalah miliknya!", ia berbisik. Paras muka Cia Siau-hong pucat pias seperti mayat. Gadis seperti kucing itu sudah duduk kembali sambil meraba pipinya, dengan lembut ia berkata.

   "Beberapa tahun sudah kita tak bersua, kau lebih kurus dari dulu, apakah dikarenakan perempuanmu terlalu banyak? Ataukah kau menjadi kurus karena memikirkan aku?"

   Cia Siau-hong tidak bergerak, iapun tidak berbicara. Siau Te mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, memandang adegan di depan matanya, iapun tidak bergerak, iapun tidak bersuara. Gadis seperti kucing itu kembali berkata.

   "Kenapa kau tidak beritahu kepada adik kecil ini, siapakah aku dan apakah hubunganku denganmu?"

   Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa terbahak-bahak.

   "Apa yang kau tertawakan?", tegur gadis seperti kucing itu.

   "Aku lagi mentertawakan kau sedari tadi aku sudah tahu siapakah kau, buat apa kau musti menyuruh orang lain yang memberitahukannya kepadaku?"

   "Kau benar-benar tahu siapakah aku?"

   "Ya, kau adalah seorang pelacur!"

   Kemudian sambil tertawa keras ia mendobrak pintu kereta dan melompat keluar.

   Sambil tertawa keras, ia kabur terus tanpa tujuan.

   Apakah Cia Siau-hong masih juga akan mengikutinya? Apakah orang di sepanjang jalan akan menganggapnya sebagai orang gila? Sekarang ia tak ambil perduli.

   Ia kabur kembali ke pusat kota, merek emas 'Cong-goan-lo' masih memancarkan sinarnya seperti sedia kala.

   Ia menerjang masuk ke dalam, menerjang naik ke atas loteng.

   Di atas loteng tiada darah, tiada mayat, pun tiada bekas-bekas suatu pertarungan, hanya ciangkwe gemuk masih berdiri di atas loteng, dan memandang keadaannya dengan terkejut.

   Barusan Cho Han-giok dan dua bersaudara dari keluarga Wan kena dihajar sampai kabur? Ataukah sama sekali tak sampai terjadi pertarungan? Siau Te tidak bertanya, ia lalu menyeringai kepada ciangkwe gendut sambil katanya.

   "Si tukang makan gratis kembali datang, tolong siapkan satu porsi sayur seperti apa yang pernah ku pesan tadi, atau kalau tidak, kuhancurkan rumah makan Cong-goan-lo ini. Meja perjamuan kembali dipersiapkan. Delapan macam sayur, empat hidangan daging, empat hidangan sayuran telah dihidangkan untuk teman minum arak, kemudian menyusul enam macam hidangan utama, yang terdiri dari Udang Bago, Yan-oh, Hi-sit, ayam komplit, bebek komplit dan babi komplit, semacampun tak ada yang kurang. Tapi kali ini hanya sesumpitpun Siau Te tidak mencobanya. Dia minum arak. Satu guci arak Tiok Yap-cing yang terdiri dari dua puluh kati, hampir diteguknya tinggal setengah guci dalam waktu singkat. Ia sudah hampir mabuk oleh arak. Tapi dimanakah Cia Siau-hong? Kenapa Cia Siau-hong tidak ikut datang? Apakah ia sedang menemani pelacur itu tidur? Ya, bila ada seorang perempuan macam begitu yang menemaninya, kenapa ia musti datang lagi? Siau Te tertawa lagi, tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dari luar loteng berkumandang suara roda kereta yang amat nyaring, serombongan kereta perusahaan pengawalan barang sedang berjalan di jalan raya. Ada kereta barang, ada pula panji perusahaan. Piau-ki atau panji perusahaan merupakan pelindung bagi orang melakukan pengawalan, panji merupakan pula kebanggaan dari perusahaan pengawalan barang, panji yang berkibar pada kereta-kereta barang itu ternyata adalah Hong-ki (Panji merah). Merah sekali warnanya, jauh melebihi merahnya darah. Panji besar yang berkibar pada kereta barang pertama bersulamkan sebuah huruf "Thi"

   Yang sangat besar.

   Pada kebalikannya terukirlah sebilah pedang, pedang yang bersinar kilat serta dua puluh delapan batang panah penembus awan.

   Itulah panji komando dari congpiautau perusahaan pengawalan Hong-ki-piaukiok.

   Bila panji itu tampak berkilat, itu berarti barang kawalannya kali ini dikawal langsung oleh Thi-khi-kuay-kiam, si pedang kilat pribadi......

   Bila panji tersebut sedang berkibar, maka para orang gagah dari golongan rimba hijau yang berada di sekitar tempat itu, meski tak perlu menyingkir jauh-jauh, tiada orang pula yang mengusik atau mengganggu barang kawalannya.

   Justru karena ada panji itulah, maka pada delapan belas propinsi di utara dan selatan sungai besar berdiri sebaris kantor-kantor cabang dari perusahaan Hong-ki-piaukiok.

   Oleh sebab itulah dalam hal ini bukan cuma menyangkut martabat serta nama baik dari seseorang saja, tapi mempengaruhi juga mangkuk kehidupan dari dua ribu lebih anggota keluarga anak buahnya yang bekerja pada delapan belas perusahaan tersebut.

   Perduli siapapun berani mencemooh panji tersebut, maka dua ribu lebih anggota perusahaan Hong-ki-piaukiok akan mempertaruhkan jiwa raganya untuk melakukan pembelaan.

   Sebab, siapapun yang berani mengganggu perusahaan itu, berarti pula mengganggu nafkah pencarian dari dua ribu orang lebih, berarti mempengaruhi soal isi perut anggota keluarga dari dua ribu orang anggotanya, siapa yang tak akan beradu jiwa, siapa yang tak akan menjadi nekad, bila hal tersebut sudah menyangkut soal perut? Siau Te kembali tertawa, tertawa tergelak-gelak, seperti secara tiba-tiba saja ia teringat akan suatu kejadian yang lucu dan menarik hatinya.

   Di tengah gelak tertawa yang keras, ia telah melompat turun dari atas loteng itu dan menerjang masuk ke tengah barisan kereta barang, kemudian sekali tinju ia hajar piausu pelindung panji hingga terjungkal ke tanah.

   Belum puas sampai di situ, tubuhnya kembali melejit ke udara, disambarnya panji perusahaan itu, lalu sekali menggetarkan sepasang tangannya, panji kebesaran dari perusahaan Hong-ki-piaukiok yang sudah termashur namanya di utara dan selatan sungai besar itupun patah menjadi dua bagian.

   Ia membuang panji yang sudah patah itu dan diinjak-injak dengan kakinya hingga hancur.

   ooooOOOOoooo Bab 21.

   Membunuh Tiada Ampun Suara roda kereta yang berputar, suara derap kaki kuda yang ramai, suara teriakan petugas mencari jalan, tiba-tiba berhenti serentak dalam waktu yang hampir bersamaan.

   Awan gelap menyelimuti sang surya di angkasa, serentetan kilat melejit di balik awan, dan suara guntur menggelegar memecahkan kesunyian, menggetarkan perasaan orang dan memekakkan telinga siapapun.

   Tapi semua orang seolah-olah sudah tidak mendengar suara guntur lagi, semua orang berdiri tertegun dengan mata terbelalak lebar, dengan mata setengah melotot mereka awasi pemuda di atas atap kereta, serta panji kebesaran mereka yang patah dan robek akibat diinjak-injak.

   Tak seorangpun yang pernah menduga bahwa peristiwa semacam ini bisa menimpa diri mereka, tak ada orang yang bisa menduga kalau dalam dunia dewasa ini betul-betul masih terdapat manusia gila yang tak doyan hidup semacam dia, sehingga berani melakukan perbuatan semacam itu.

   Piausu pelindung panji yang kena ditinju hingga terjungkal dari pelana kudanya itu sudah meronta dan merangkak bangun dari tanah.

   Orang itu she Thio bernama Si, sudah dua puluh tahun melakukan pengawalan barang, selamanya ia melakukan pekerjaan dengan ulet dan teliti.

   Selama lebih dua puluh tahun hidup bergelimpangan di ujung golok, entah berapa banyak sudah kejadian besar yang pernah di alaminya, karena ketenangan dan keuletannya menghadapi setiap persoalan, maka rekan-rekannya menghadiahkan sebuah julukan Si-sim-bok-tau-jin (Manusia kayu berhati ulet) kepadanya.

   Itu bukan berarti dia bodoh, dungu dan tak berguna, tapi menunjukkan bahwa dalam menghadapi persoalan apapun, dia dapat menjaga ketenangannya dan menghadapinya dengan hati yang tenang.

   Tapi sekarang, Si-sim-bok-tau-jin sendiripun berdiri dengan wajah pucat dan sekujur tubuhnya gemetar keras.

   Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan siapapun, terlalu mengejutkan hati orang, kejadian itu berlangsung begitu mendadak sehingga semua orang menjadi gelagapan serta tak tahu apa yang musti dilakukan.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Waktu kejadian berlangsung, setiap orang merasakan hatinya sangat kalut, kalu tidak sekalipun Siau Te memiliki kepandaian silat yang luar biasapun, belum tentu akan berhasil dengan serangannya, sekalipun beruntung bisa membawa hasil yang diharapkan, sekarangpun tubuhnya pasti telah dicincang menjadi berkeping-keping.

   Menyaksikan perubahan paras muka dari orang-orang itu, bahkan Siau Te sendiripun tak mampu tertawa, dia cuma merasa ada segulung hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari dasar alas kakinya dan menerjang naik ke atas kepala, seluruh tubuhnya menjadi dingin, kaku dan bahkan mulai menggigil.

   Kembali guntur menggelegar membelah angkasa.

   Di tengah menggelegarnya guntur yang keras, lamat-lamat seperti terdengar ada orang menyerukan kata "bunuh!", menyusul kemudian suara gemerincing berkumandang memecahkan keheningan, puluhan bilah golok dan pedang bersama-sama diloloskan dari sarungnya.

   Suara nyaring yang berkumandang kali ini, kedengarannya jauh lebih mengerikan dari pada suara guntur yang menggelegar di tengah hari tadi.........

   Cahaya golok mengkilap bersama, lalu meluncur datang dari depan, belakang, kiri, kanan, empat arah, delapan penjuru.

   Meskipun langkah kaki mereka amat cepat tapi teratur dan tidak kacau, dalam sekejap mata kereta kuda tersebut telah berada dalam kepungan.

   Cukup berdasarkan barisan penyerang yang melakukan pengepungan secara teratur ini, bisa diketahui bahwa nama besar Hong-ki-piaukiok bukan diperoleh secara kebetulan saja.

   Thio Si pun lambat laun dapat menenangkan kembali hatinya, empat puluh tiga orang piausu dan peneriak jalan dari perusahaannya sedang menunggu dirinya, asal ia memberi komando, maka golok dan pedang akan diayunkan bersama untuk mencincang tubuh lawan, darah segar segera akan berhamburan membasahi permukaan tanah.

   Dalam keadaan demikian, Siau Te malah tertawa.

   Ia sama sekali tidak takut.

   Pada hakekatnya dia memang datang untuk mencari kematian, walaupun tadi ia masih rada tegang dan takut, tapi sekarang perasaannya malah begitu kendor, begitu gembira hingga sukar dilukiskan dengan kata-kata.

   .......Seluruh kejayaan, kenistaan, budi maupun dendam yang membuat pusing orang dalam jagad, kini sudah terbuang jauh-jauh dari pikirannya.

   .......Aku adalah seorang sinting juga boleh, seorang anak jadah yang tidak berayah dan beribu juga boleh, semuanya tak menjadi soal lagi baginya.

   Dengan amat santainya ia mulai duduk di atas atap kereta, kemudian sambil tertawa terbahakbahak serunya.

   "Senjata kalian telah diloloskan dari sarung, kenapa tidak datang ke mari untuk membunuhku?"

   Persoalan ini merupakan persoalan yang semua orang ingin tanyakan kepada Thio Si, sebab dalam perusahaan ia terhitung orang paling tua, paling berpengalaman, setiap kali congpiauthau tak di rumah, maka para piausu selalu menganggapnya sebagai pemimpin mereka.

   Thio Si masih agak sangsi, ia berkata.

   "Bukan suatu masalah yang sulit untuk membunuhmu, dalam sekali bergerak saja mungkin tubuhmu sudah akan kami cincang dan hancur berkeping-keping, cuma saja....."

   "Cuma saja kenapa?", seorang piausu bersenjata Siang-bun-kiam yang berada di sampingnya segera bertanya. Thio Si termenung sejenak, lalu sahutnya.

   "Aku lihat orang ini memang bermaksud datang untuk menghantar kematiannya sendiri!"

   "Kalau memang begitu, lantas apa yang musti kita lakukan?"

   "Bila orang itu berniat buruk untuk mati, maka di balik persoalan itu pasti ada rahasia lain yang bagaimanapun juga musti kita selidiki dulu sampai jelas, apalagi siapa tahu kalau di belakangnya masih ada orang lain yang mendalangi perbuatannya ini"

   Piausu bersenjata Siang-bun-kiam itu segera tertawa dingin.

   "Kalau begitu mari kita lenyapkan dulu sepasang tangan dan kakinya sebelum memikirkan yang lain"

   Pedangnya segera dikembangkan, lalu menerjang ke muka paling dulu.

   Ia menusuk jalan darah Huan-tiau-hiat di atas lutut Siau Te.

   Siau Te sedikitpun tidak takut mati, tapi sebelum ajalnya tiba, ia enggan dihina orang, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara, lalu menendang pedang lawan.

   ~Bersambung ke Jilid-14 Jilid-14 Tendangan yang dilancarkan secara tiba-tiba itu menyambar tanpa menimbulkan bayangan, itulah ilmu Hui-ti-liu-seng-tiok (Tendangan kilat kaki meteor), salah satu ilmu sakti dari tujuh ilmu sakti lainnya milik dari keluarga Buyung di daerah Kanglam, jangankan hanya manusia, ibaratnya meteorpun bisa ditendangnya, jadi bisa dibayangkan betapa cepatnya tendangan tersebut.

   Tapi kecuali pedang siang-bun-kiam tersebut, masih ada dua puluh tujuh bilah golok kilat dan lima belas bilah senjata tajam yang sedang menantikan dirinya.

   Sewaktu pedang siang-bun-kiam itu mencelat ke belakang, ada tiga bilah golok dan dua bilah pedang telah menusuk tiba, yang ditusuk adalah bagian-bagian tubuhnya yang mematikan.

   Cahaya golok beterbangan seperti menari, cahaya pedang menyambar seperti rantai, tiba-tiba terdengar........."Triiiiiing!", ketiga bilah golok dan dua bilah pedang itu mendadak telah patah semua menjadi dua bagian.

   Ujung golok mata pedang segera rontok jatuh ke bawah, menyusul menggelinding lewat dua biji benda bulat yang melejit-lejit di atas atap kereta dan menggelinding ke bawah.

   Ternyata dua biji benda bulat itu adalah dua biji mutiara.

   Sekarang, di atas atap kereta telah bertambah seseorang, dia berwajah pucat dan di tangannya masih membawa sekuntum bunga mutiara yang biasanya dipakai untuk menghias rambut kaum wanita, cuma bagi orang yang bermata tajam, dengan cepat akan diketahui bahwa butiran-butiran mutiara itu telah berkurang lima butir.

   Lima bilah senjata telah patah, tapi suara yang terdengar hanya sekali, ternyata orang ini telah mempergunakan lima biji mutiara yang kecil untuk mematahkan lima bilah senjata dalam waktu yang hampir bersamaan.

   Sebagian besar pekerja dalam perusahaan pengawalan barang rata-rata adalah jago kawakan yang luas dalam pengalaman, tapi kepandaian semacam itu bukan saja tak pernah dilihatnya, bahkan dibayangkanpun belum pernah.

   Suara guntur kembali menggelegar di udara, hujan deras mulai turun mengguyur seluruh permukaan tanah.

   Orang itu masih berdiri tak bergerak di tempat semula, wajahnya yang kaku seakan-akan sama sekali tidak beremosi.

   Dengan dingin Siau Te memandang ke arahnya, lalu berkata.

   "Lagi-lagi kau yang datang!"

   "Ya, lagi-lagi aku yang datang!", orang itu menyahut. Hujan deras turun dengan hebatnya, butiran-butiran air hujan menitik di atas wajah dan kepala mereka serta membasahi sekujur tubuhnya, wajah-wajah itu entah memancarkan rasa sedihkah? Gembirakah? Gusarkah? Atau benci? Siapapun tak dapat melihatnya. Semua orang hanya tahu bahwa orang itu pastilah seorang jago tangguh yang ilmu silatnya sukar diukur dengan kata-kata, orang itu pasti mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pemuda yang telah mematahkan panji perusahaan mereka. Thio Si berhasil menghalangi rekan-rekannya untuk maju, bahkan piausu bersenjata siang-bunkiam yang masih penasaranpun tak berani berkutik lagi secara sembarangan, dia hanya bertanya.

   "Sobat, siapakah namamu?"

   "Aku she Cia!"

   Paras muka Thio Si segera berubah hebat, jago lihay yang berasal dari marga Cia cuma satu.

   "Apakah kau datang dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng, lembah Cui-im-kok, telaga Liok-suioh?"

   "Benar!"

   "Apakah kau adalah Sam sauya dari keluarga Cia?", suara Thio Si kedengaran makin gemetar.

   "Ya, akulah Cia Siau-hong!"

   Cia Siau-hong Tiga suku kata ini bagaikan sebuah 'Hu' atau ajimat yang bisa mengusir gangguan dari pelbagai siluman.

   Ketika mendengar nama itu, tak seorang manusiapun berani berkutik lagi.

   Tiba-tiba seseorang berlarian datang di tengah curahan hujan deras sambil teriaknya keras-keras.

   "Congpiautau telah datang......congpiautau telah datang........."

   Tiga puluh tahun berselang, ketika para penyamun dari delapan belas markas bukit Lian-san sedang jaya-jayanya meraja-lela, tiba-tiba muncul seseorang dengan seekor kuda yang datang menyatroni bukit mereka.

   Dengan sebilah pedang perak dan dua puluh delapan panah penembus awannya ia berhasil menyapu rata delapan belas markas penyamun di bukit Lian-san rata dengan tanah, ada sembilan belas luka besar dan kecil yang di deritanya ketika itu.

   Tapi ia belum sampai mati, ternyata ia masih memiliki sisa tenaga untuk mengejar Pa Thian-pa, penyamun paling ganas dari gerombolan bukit Lian-san yang sempat melarikan diri.

   Setelah menempuh perjalanan sehari semalam lamanya, ia berhasil juga memenggal batok kepala Pa Thian-pa pada suatu tempat delapan ratus li jauhnya dari bukit semula.

   Orang itu bukan lain adalah Congpiautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok Thi-khi-kuay-kiam (si pedang kilat) Thi Tiong-khi, pemilik dari perusahaan pengawalan barang itu.

   Maka ketika mereka semua mendengar bahwa congpiautau-nya telah datang, empat puluhan orang piausu dan peneriak jalan bersama-sama menghembuskan napas lega.

   Mereka semua percaya bahwa congpiautau-nya pasti dapat menyelesaikan persoalan ini.

   Cia Siau-hong menghela napas pula dalam hatinya.

   Ia tahu, dalam peristiwa ini Siau Te-lah yang bersalah, tapi ia tak bisa mengatakan bahwa ia enggan mengurusi persoalan ini, sebab bagaimanapun juga, mau tak mau ia musti mengurusinya juga.

   Ia tak dapat membiarkan bocah itu tewas di tangan orang lain, karena orang itu adalah satusatunya orang yang ia merasa pernah berbuat hal yang tak wajar kepadanya......

   kepada anaknya.

   Butiran air hujan masih menyelimuti udara bagaikan sebuah tirai.

   Empat orang manusia dengan merentangkan payung berjalan lambat-lambat menembusi hujan deras, orang yang di paling depan adalah seorang pemuda berbaju hijau, berkaus kaki putih dengan sepatu hitam yang berwajah lebar.

   Ternyata dia adalah si pemuda polos yang duduk semeja dengan Cho Han-giok ketika berada di atas loteng Cong-goan-lo tadi.

   Kenapa Thi Tiong-khi tidak datang? Kenapa ia harus datang? Setelah bertemu dengan pemuda tersebut, semua piausu serta peneriak jalan dari perusahaan Hong-ki-piaukiok bersama-sama membungkukkan badan memberi hormat, wajah mereka semua menunjukkan sikap menghormat yang amat besar, semua orang tunduk kepadanya dan menyanjung dirinya.

   Kemudian dengan penuh rasa hormat, semua orang menyapa bersama.

   "Congpiautau!"

   Apakah Cong-piautau dari perusahaan Hong-ki-piaukiok telah diganti oleh seorang pemuda polos yang tampak agak kebodoh-bodohan ini? Dari atas sampai bawah dua ribu orang anggota perusahaan Hong-ki-piaukiok, kebanyakan terhitung jago-jago kenamaan yang sudah punya pengalaman luas serta reputasi yang hebat, apakah hanya mengandalkan seorang pemuda polos yang jujur semacam ini, maka semua jagojago kawakan tersebut bersedia mendengarkan perintahnya? Tak mungkin hal ini berlangsung dengan begitu saja, tentu saja ada alasan lain lagi.

   Bendera perusahaan di patah orang, piausu-piausunya dihina orang, sekalipun Thio Si adalah seorang jago kawakan, tak urung dibikin gelagapan juga oleh peristiwa tersebut.

   Tapi pemuda itu ternyata masih dapat berjalan mendekat dengan langkah yang sangat lambat, wajahnya yang lebar sedikitpun tidak menunjukkan rasa gusar, gugup atau kaget, ketenangan serta ketebalan iman yang dimilikinya sungguh luar biasa sekali, jarang ada seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang sanggup melakukan hal seperti ini.

   Hujan masih turun dengan derasnya, tanah mulai berlumpur dan kotor.....

   Pemuda itu masih berjalan amat lambat, namun di atas alas sepatunya yang hitam dengan kaus yang berwarna putih hanya sedikit yang ternoda oleh lumpur, bila tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, jangan hal ini bisa dilakukannya.

   Perasaan Cia Siau-hong mulai tertekan, mulai terasa tak enak, seakan-akan terjatuh dari suatu tempat yang tinggi.

   Ia telah mengetahui bahwa kemungkinan besar pemuda ini jauh lebih sukar dihadapi daripada Thi Tiong-khi.

   Untuk membereskan persoalan ini jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang.

   Ternyata pemuda itu tidak menegurnya, bahkan melirik sekejap ke arah mereka pun tidak.

   Walaupun dengan jelas ia tahu kalau bendera perusahaannya dipatahkan orang, walaupun tahu kalau ada orang yang mematahkan bendera perusahaannya ada di depan mata, tapi dia seolaholah tidak mengetahuinya, seakan-akan tidak melihatnya.

   Sambil memegang payungnya, pelan-pelan ia berjalan mendekat, lalu bertanya dengan suara hambar.

   "Piausu manakah yang hari ini bertanggung jawab melindungi bendera perusahaan?"

   Thio Si segera menampilkan dirinya ke depan, setelah memberi hormat, menyahut.

   "Aku!"

   "Berapa usiamu tahun ini?", kembali pemuda itu bertanya sambil menatapnya lekat-lekat.

   "Aku termasuk shio sapi, jadi tahun ini genap berusia lima puluh tahun.....!"

   Pemuda itu manggut-manggut, lalu berkata lagi.

   "Sudah berapa tahun kau bekerja dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok kita ini?"

   "Semenjak lo-piautau mendirikan perusahaan pengawalan barang ini, aku telah bekerja di sini!"

   "Ehmmm.....! Itu berarti sudah dua puluh enam tahun lamanya dari sekarang?"

   "Ya, sudah dua puluh enam tahun lamanya!"

   Pemuda itu menghela napas panjang.

   "Watak mendiang ayahku keras lagi berangasan, kau bisa berbakti kepadanya selama dua puluh enam tahun jangka waktu tersebut sudah terhitung tidak gampang"

   Thio Si menundukkan kepalanya rendah-rendah dan memperlihatkan wajah sedih, lama sekali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

   Mendengar sampai di situ, Siau Te pun telah mengetahui bahwa lo-piautau yang mereka maksudkan tak lain adalah Thi-khi-kuay-kiam Thi Tiong-khi yang mendirikan perusahaan Hong-kipiaukiok, pemuda itu menyebutnya sebagai "mendiang ayahku"

   Berarti pula dia adalah putranya.

   Ayah meninggal anak menggantikan, tak heran kalau dengan usianya yang masih muda ia telah memegang tampuk pimpinan dalam perusahaan tersebut.

   ooooOOOOoooo Bab 22.

   Hukum Yang Tegas Pengaruh Thi-lo-piautau masih tertanam dalam hati masing-masing orang, karena itu semua orang tak bisa tidak harus tunduk kepadanya.

   Yang mengherankan, kenapa dalam keadaan dan situasi seperti ini tiba-tiba saja ia menyinggung soal rumah tangganya, sedang soal bendera perusahaan yang patah dan piausu yang dihina malahan tidak disinggungnya sama sekali.

   Berbeda dengan Cia Siau-hong, ia dapat menangkap bahwa di balik pertanyaan sekitar rumah tangga perusahaannya itu, pemuda tersebut sesungguhnya mempunyai maksud yang mendalam.

   Kesedihan yang mencekam wajah Thio Si, tampak jelas bukan dikarenakan terkenang oleh budi kebaikan Thi lo-piautau, melainkan merasa murung dan menyesal karena ia telah melalaikan kewajiban serta tanggung jawabnya.

   Pemuda itu menghela napas panjang, tiba-tiba tanya lagi.

   "Bukankah kau menikah pada usia tiga puluh sembilan tahun?"

   "Benar!", jawab Thio Si.

   "Konon istrimu lemah lembut dan amat pintar, terutama dalam bidang masak memasak"

   "Beberapa macam sayur yang sederhana memang masih bisa dimasak olehnya dengan lumayan!"

   "Berapa anak yang kau peroleh darinya?"

   "Tiga orang, dua lelaki satu perempuan!"

   "Asal ada seorang ibu bijaksana yang mendidik anak-anaknya, di kemudian hari anak-anakmu itu pasti dapat sukses dalam usahanya"

   "Semoga saja demikian!"

   "Ketika mendiang ayahku meninggal dunia, ibuku selalu merasa kekurangan seorang pembantu di sisinya, bila kau tidak keberatan, suruhlah istrimu pindah ke ruang belakang untuk menemani dia orang tua"

   Thio Si jatuhkan diri berlutut, kemudian......."Blang, blang, blang!", menyembah tiga kali di hadapan pemuda tersebut seolah-olah ia merasa berterima kasih sekali atas kebijaksanaan dari si anak muda itu mengaturkan keluarganya.

   Pemuda itu tidak menghalangi perbuatannya, menunggu ia selesai menyembah, baru tanyanya lagi.

   "Apakah kau masih ada pesan lainnya?"

   "Tidak ada lagi!"

   Sekali lagi pemuda itu menatapnya lekat-lekat, kemudian setelah menghela napas, katanya sambil mengulapkan tangannya.

   "Kalau begitu, pergilah!"

   "Baik!"

   Ketika ucapan tersebut selesai diutarakan, tiba-tiba tampak butiran darah memercik ke manamana, menyusul kemudian Thio Si roboh terkapar di tanah.

   Tangannya masih menggenggam sebilah pedang, pedang yang telah menggorok leher sendiri.

   Sepasang tangan dan kaki Siau Te mulai dingin.

   Hingga sekarang ia baru mengerti kenapa pemuda tersebut mengajukan pertanyaan sekitar rumah tangganya dalam keadaan begini.

   Peraturan hukum dalam perusahaan Hong-ki-piaukiok memang ketat, siapapun di dunia ini mengetahuinya.

   Thio Si telah melalaikan tanggung-jawabnya untuk melindungi panji perusahaan, sudah sepantasnya kalau ia dijatuhi hukuman mati.

   Tapi bila kita lihat dari kemampuan pemuda tersebut untuk membuat seorang kakek yang susah payah bekerja selama dua puluh enam tahun dalam perusahaan menggorok leher sendiri dengan hati yang rela, bahkan berterima kasih, dapat diketahui bahwa kepintaran pemuda itu serta ketegasannya menghadapi persoalan jauh di luar dugaan siapapun.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Darah yang berceceran di tanah dalam sekejap mata telah terguyur bersih oleh aliran hujan yang deras, namun rasa jeri dan ngeri yang terpancar di wajah piausu-piausu tersebut bagaimanapun derasnya hujan juga tak akan mengguyurnya hingga lenyap.

   Terhadap congpiautau yang masih muda belia ini, jelas orang menaruh perasaan jeri dan takut yang amat tebal.

   Air muka pemuda itu masih tetap tenang dan sama sekali tak beremosi, kembali ujarnya dengan tawar.

   "Oh piautau, di mana kau?"

   Seorang laki-laki yang selama ini berdiri di belakang sambil menundukkan kepala dan menutupi wajahnya dengan payung, segera menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar perkataan itu, berlutut di atas genangan air hujan yang bercampur dengan darah.

   "Oh Hui ada di sini!", sahutnya lirih. Pemuda itu sama sekali tidak berpaling untuk melihat sekejap ke arahnya, kembali tanyanya.

   "Sudah berapa lama kau bekerja di perusahaan kami?"

   "Belum sampai sepuluh tahun!"

   "Berapa banyak gaji yang kau terima setiap bulannya?"

   "Menurut peraturan seharusnya adalah empat belas tahil, tapi berkat kebaikan congpiautau, setiap bulannya aku mendapat tambahan sebesar enam tahil perak"

   "Berapa harga pakaian ditambah ikat pinggang dan topi yang kau kenakan sekarang?"

   "Dua......dua belas tahil!", jawab Oh Hui ragu-ragu.

   "Di belakang kota sebelah barat kau punya sebuah gedung besar, berapa besar biaya pengeluaranmu setiap bulannya?"

   Wajah Oh Hui mulai mengejang keras, air hujan dan peluh dingin bercucuran bersama membasahi sekujur badannya, bahkan suarapun ikut menjadi parau.

   "Aku tahu kau adalah seorang yang amat memperhatikan soal makan dan minum", kata pemuda itu lagi.

   "sampai dapur yang dipakai dalam rumahpun merupakan dapur rumah makan Cong-goanlo yang kau boyong pulang dengan membayar tinggi, tanpa dua tiga ratus tahil perak sebulannya aku rasa sulit bagimu untuk melanjutkan hidup"

   "Semua.......semuanya itu dibayar orang lain untukku, aku.....aku tak pernah ke luar ongkos sendiri, walau cuma satu-dua tahil pun!"

   Pemuda itu segera tertawa.

   "Tampaknya kepandaianmu cukup hebat juga, sehingga orang lain begitu rela mengeluarkan uang beberapa ratus tahil perak setiap bulannya untuk kau gunakan, cuma........."

   Senyuman yang menghiasi wajahnya lambat-laun menjadi lenyap, katanya lebih jauh.

   "Kawan-kawan dalam dunia persilatan mana bisa tahu kalau kau memiliki kepandaian sehebat ini? Ketika mereka saksikan seorang piausu dari perusahaan Hong-ki-piaukiok pun bisa hidup mewah semacam itu, di hati kecilnya mereka pasti keheranan, kenapa Hong-ki-piaukiok bisa begitu sosial dan punya uang banyak? Jangan-jangan mereka memang bersekongkol dengan para orang gagah dari golongan Liok-lim sehingga berhasil mendapat untung besar?"

   Oh Hui yang mendengar ucapan-ucapan tersebut menjadi menggigil saking takutnya, sambil menyembah berulang kali serunya.

   "Lain kali aku pasti tak akan melakukan perbuatan semacam itu lagi, aku sudah tobat, lain kali pasti tak akan diulang lagi"

   


Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Kait Perpisahan -- Gu Long Perguruan Sejati -- Khu Lung

Cari Blog Ini