Pendekar Gelandangan 9
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 9
Pendekar Gelandangan Karya dari Khu Lung
Jarang sekali ada orang yang menyembunyikan guci araknya di kolong pembaringan.
Hanya di gedung-gedung besar, rumah-rumah orang kaya baru di simpan arak wangi, seringkali gedung-gedung megah itu memiliki gudang arak yang khusus.
Untuk mencuri arak yang disimpan dalam gudang arak, sudah barang tentu jauh lebih gampang daripada mencuri guci arak yang di simpan di kolong pembaringan.
Kepandaian Thi Kay-seng untuk mencuri arak meski tak bisa dibandingkan kepandaian Cia Siauhong, takaran-takaran araknya juga selisih tak sedikit.
Oleh karena itu, yang mabuk terlebih dulu tentu saja dia.
Entah mabuk sungguh-sungguh? Atau mabuk pura-pura? Mabuk seluruhnya? Atau mabuk setengah? Kata-kata yang diucapkan kenyataannya jauh lebih banyak daripada di hari-hari biasa, lagi pula apa yang di bicarakan adalah kata-kata yang di hari-hari biasa tak pernah dikatakan olehnya.
Tiba-tiba Thi Kay-seng bertanya.
"Saudara yang bernama Siau Te, apakah benar-benar bernama Siau Te......?"
Cia Siau-hong tak dapat menjawab, pun tak ingin menjawab.
"Siau Te sesungguhnya she apa? Kau suruh dia bagaimana mesti menjawab?"
"Tapi perduli dia bernama Siau Te atau bukan, yang pasti dia sudah bukan seorang Siau Te (adik kecil) lagi", sambung Thi Kay-seng lebih lanjut.
"Ya, dia bukan!"
"Sekarang dia sudah seorang lelaki sejati!"
"Kau menganggap dia adalah seorang lelaki sejati?"
"Aku hanya tahu, seandainya aku adalah dia, kemungkinan besar tak akan kuungkapkan isi surat itu!"
"Kenapa?"
"Karena akupun tahu bahwa dia adalah orangnya Thian-cun, ibunya adalah Buyung Ciu-ti!"
Cia Siau-hong termenung sampai lama sekali, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Ya, dia memang sudah seorang lelaki sejati!"
"Aku masih mengetahui juga akan satu persoalan!", kata Thi Kay-seng kembali.
"Persoalan apa?"
"Ia datang menolongmu, kau merasa sangat gembira bukan dikarenakan ia telah menyelamatkan jiwamu, melainkan karena ia telah datang"
Cia Siau-hong minum arak, lalu tertawa getir.
Walaupun arak itu dingin, walaupun terasa pula sedikit getir, apa mau dikata dalam hatinya justru penuh dengan kehangatan serta luapan rasa terima kasih.
Berterima kasih kepada seseorang yang bisa memahami suara hati serta jalan pemikirannya.
"Ada satu hal kau boleh tak usah kuatir, aku tak akan pergi mencari Si Ko-jin lagi!", kata Thi Kayseng. Si Ko-jin adalah perempuan seperti kucing itu.
"Karena meskipun ia berbuat salah, kesalahan itu disebabkan suatu paksaan, lagi pula ia telah menebus dosanya"
"Tapi......", bisik Cia Siau-hong.
"Tapi kau harus pergi mencarinya!", sambung Thi Kay-seng. Dengan suara yang keras ia melanjutkan.
"Walaupun aku tidak pergi mencarinya, kau harus pergi mencari dirinya"
Cia Siau-hong dapat memahami maksud hatinya.
Meskipun Thi Kay-seng melepaskan dirinya, Buyung Ciu-ti tak akan melepaskan dirinya dengan begitu saja.
Bahkan Cho Han-giok, dua bersaudara dari keluarga Wan, serta perusahaan Hong-ki-piaukiok pun sudah berada di bawah kekuasaan Thian-cun, dewasa ini masih ada persoalan apa lagi yang tak sanggup mereka lakukan? "Aku pasti akan pergi mencarinya!", Cia Siau-hong berjanji.
"Selain itu masih ada pula seorang lain yang mau tak mau harus kau temui juga!"
"Siapa?"
"Yan Cap-sa!"
Malam sudah kelam, udara serasa gelap gulita, inilah saat paling gelap menjelang tibanya fajar.
Cia Siau-hong memandang ke tempat kejauhan sana, ia merasa Yan Cap-sa seolah-olah berdiri di tempat kegelapan di kejauhan sana, seakan-akan telah melebur diri dengan kesepian malam yang dingin ini.
Ia belum pernah berjumpa dengan Yan Cap-sa tersebut.
Seseorang yang kesepian dan dingin.
Semacam rasa dingin, kaku dan letih yang telah merasuk ke tulang sumsum.
Ia letih karena ia sudah membunuh terlalu banyak orang, bahkan ada di antara mereka orangorang yang tidak seharusnya di bunuh.
Ia membunuh orang, karena ia tiada pilihan lain kecuali berbuat demikian.
Dari dasar hatinya yang paling dalam, Cia Siau-hong menghela napas panjang.
Ia dapat memahami perasaan semacam ini, hanya dia yang bisa memahami perasaan semacam ini paling mendalam.
Karena diapun membunuh orang, diapun sama-sama merasa letih, pedangnya dan nama besarnya seolah-olah telah menjadi sebuah bungkusan yang selamanya tak dapat ia tanggalkan, dengan berat menindih di atas bahunya, membuat untuk napaspun tersengkal rasanya.
Barang siapa menjadi pembunuh, seringkali akibat apakah yang akan diterimanya? Apakah dia harus mati pula di tangan orang lain? Tiba-tiba ia teringat kembali perasaan hatinya di saat menghadapi kematian tadi.
Di detik-detik terakhir sesungguhnya apa yang telah ia pikirkan di dalam hati? "Yan Cap-sa"
Setelah menyebutkan ke tiga patah kata ini, Thi Kay-seng yang sebenarnya sudah mabuk kepayang seolah-olah menjadi sadar kembali secara tiba-tiba. Sorot matanya pun ditujukan ke tempat kejauhan sana, lewat lama sekali pelan-pelan dia baru berkata.
"Selama hidupmu, manusia manakah yang pernah kau jumpai dan kau anggap paling menakutkan?"
"Dia adalah seorang asing yang belum pernah kujumpai", jawab Cia Siau-hong.
"Orang asing tidak menakutkan!"
Karena orang asing kalau toh tidak memahami perasaanmu, dia tak akan tahu pula titik kelemahanmu.
Hanya seorang sahabat yang paling akrab baru akan mengetahui tentang kesemuanya ini, menanti mereka telah mengkhianati dirimu, barulah serangan mereka akan membinasakan dirimu.
Kata-kata semacam ini sama sekali tidak ia utarakan, dia tahu Cia Siau-hong pasti dapat memahami pendapat tersebut.
"Tapi orang asing ini justru jauh berbeda dengan orang-orang yang lain......", Cia Siau-hong menerangkan.
"Apa perbedaannya?"
Cia Siau-hong tak sanggup menjawab. Oleh karena tak sanggup menjawab, maka hal ini barulah sangat menakutkan. Kembali Thi Kay-seng bertanya.
"Kau pernah menjumpainya di mana?"
"Di suatu tempat yang sangat asing bagiku."
Di tempat yang sangat asing itulah ia telah berjumpa dengan orang asing yang menakutkan, ia sedang berkumpul dengan seorang yang paling dekat dan akrab dengannya, sedang membicarakan ilmu pedang.
Sedang membicarakan ilmu pedangnya.
Apakah orang yang paling dekat dan paling akrab dengannya itu adalah Buyung Ciu-ti? "Menurut pendapatmu, orang asing tersebut mungkinkah Yan Cap-sa?", tanya Thi Kay-seng.
"Kemungkinan besar!"
Tiba-tiba Thi Kay-seng menghela napas panjang.
"Dalam kehidupan ini, orang paling menakutkan yang pernah kujumpai adalah dia, bukan kau!"
"Bukan aku?"
"Ya, sebab bagaimanapun juga kau toh tetap seorang manusia!"
Mungkin hal ini disebabkan karena aku telah berubah. Ucapan tersebut sama sekali tidak diutarakan oleh Cia Siau-hong, karena bahkan dia sendiri tak tahu mengapa dirinya dapat berubah.
"Yan Cap-sa justru bukan!", kata Thi Kay-seng.
"Dia bukan manusia?"
"Seratus persen bukan!"
Setelah termenung sejenak, pelan-pelan dia melanjutkan.
"Dia tak berkawan, tiada sanak saudara, walaupun ia sangat baik kepadaku, mewariskan ilmu pedangnya kepadaku, tapi belum pernah membiarkan aku bergaul mesra dan akrab dengannya, diapun belum pernah membiarkan aku tahu darimanakah dia datang, dan hendak pergi kemana?" ......Karena dia kuatir dirinya telah mengikat hubungan batin dengan seseorang. ......Karena untuk menjadi seorang pendekar pedang pembunuh manusia dia harus tak berperasaan. Kata-kata tersebutpun tidak diutarakan Thi Kay-seng, ia percaya Cia Siau-hong pasti dapat memahaminya. Lama sekali mereka membungkamkan diri dalam seribu bahasa, tiba-tiba Thi Kay-seng berkata lagi.
"Perubahan jurus ke empat belas dari Toh-mia-cap-sah-kiam tersebut, bukanlah hasil ciptaanmu!"
"Apakah dia?"
Thi Kay-seng manggut-manggut.
"Sejak lama ia sudah tahu tentang perubahan jurus yang ke empat belas ini, lagi pula diapun sudah lama mengetahui kalau di balik ilmu pedangmu masih terdapat sebuah titik kelemahan"
"Akan tetapi ia tidak mewariskannya kepadamu?", kata Cia Siau-hong.
"Ya, ia tidak mewariskannya kepadaku"
"Kau anggap dia sengaja menyembunyikannya?"
"Aku tahu ia tidak bermaksud demikian"
"Kau juga tahu kenapa ia bertindak demikian?"
"Ya, karena dia kuatir setelah kupelajari perubahan jurus pedangnya itu, maka aku akan datang mencarimu"
"Karena dia sendiripun masih belum mempunyai keyakinan yang mantap terhadap perubahan jurus itu", Cia Siau-hong menambahkan.
"Tapi kaupun sama juga tak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedangnya itu"
Cia Siau-hong tidak memberikan reaksi apa-apa. Thi Kay-seng menatapnya tajam-tajam, kemudian berkata.
"Aku tahu, kau sendiripun tidak mempunyai keyakinan, sebab ketika kugunakan jurus pedang tadi, seandainya kau mempunyai keyakinan sedari tadi kau sudah turun tangan, kaupun tak akan membiarkan dirimu kena disergap serta dilukai orang"
Cia Siau-hong masih belum mempunyai keyakinan.......
"Kunasehati dirimu lebih baik janganlah pergi mencarinya", kata Thi Kay-seng.
"oleh karena kalian berdua sama-sama tidak mempunyai keyakinan, aku tak ingin menyaksikan kalian berdua saling membunuh dan kedua-duanya terluka parah"
Cia Siau-hong kembali termenung sampai lama sekali, tiba-tiba ia bertanya.
"Seseorang di kala berada di saat menjelang kematiannya, apa yang biasanya dipikirkan?"
"Apakah dia akan mengenang kembali semua sanak keluarganya yang paling akrab selama hidup serta kenangan-kenangan di masa lampau?"
"Bukan!"
Ia menambahkan.
"Sebenarnya akupun beranggapan pasti hal-hal itu yang dipikirkan, tapi semenjak aku merasakan pula detik-detik menjelang saat kematian ternyata yang dipikirkan bukanlah persoalan-persoalan tersebut"
"Apa yang kau pikirkan ketika itu?"
"Jurus pedang itu, jurus pedang yang ke empat belas!"
Thi Kay-seng termenung akhirnya dia menghela napas panjang, dalam detik yang singkat itu, apa yang dipikirkan olehnya ternyata jurus pedang itu pula.
Seseorang apabila telah mengorbankan segenap kehidupannya untuk pedang, bagaimana mungkin di saat menjelang kematiannya dapat memikirkan persoalan yang lain? "Sebenarnya aku memang tidak memiliki keyakinan untuk mematahkan jurus pedang itu", kata Cia Siau-hong.
"tapi pada detik yang terakhir itulah, dalam hatiku seolah-olah telah melintas suatu ingatan sekalipun jurus pedang itu tampaknya tangguh kokoh dan tak mampu dipatahkan, tapi oleh sambaran kilat yang melintas dalam benakku itulah segera mengalami perubahan!"
"Berubah menjadi bagaimana?"
"Berubah menjadi sangat menggelikan!"
Jurus pedang yang sebenarnya menakutkan tiba-tiba saja berubah menjadi sangat menggelikan, perubahan semacam inilah baru benar-benar merupakan suatu perubahan yang mengerikan. Thi Kay-seng minum arak semakin banyak semakin cepat.
"Arak bagus!", serunya kemudian.
"Arak yang di dapatkan dengan jalan mencuri, biasanya memang arak bagus.....", kata Cia Siauhong.
"Setelah perpisahan hari ini, entah sampai kapan kita dapat mabuk bersama?"
Tiba-tiba Thi Kay-seng tertawa terbahak-bahak, sambil tertawa tergelak ia bangkit berdiri, lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun pergi dari situ.
Cia Siau-hong tidak berbicara apa-apa pula, dia hanya menyaksikan ia tertawa tergelak, menyaksikan ia pergi meninggalkan tempat itu.
Meskipun Thi Tiong-khi bukan ayah kandungnya, tapi demi menjaga serta melindungi nama baik Thi Tiong-khi, ia lebih suka mati, lebih suka menanggung dan memikul semua dosa tersebut, karena bagaimanapun juga mereka telah mempunyai hubungan batin antara seorang ayah dengan anaknya.
Cia Siau-hong tidak tertawa.
Teringat akan hal ini, dari mana mungkin bisa tertawa? Ia telah meneguk habis arak yang terakhir, ia tak dapat membedakan lagi apakah rasanya arak itu pedas? Atau getir? Perduli pedas atau getir, yang pasti tetap adalah arak, bukan air, juga bukan darah, tak seorangpun dapat memungkiri kenyataan ini.
Bukankah hal ini sama juga dengan hubungan batin antara ayah dan anaknya? Fajar telah menyingsing.
Kereta kuda itu masih ada, Siau Te pun masih ada pula.
Ketika Cia Siau-hong berjalan kembali, meski sudah hampir mabuk, anyir darah di tubuhnya justru jauh lebih tebal daripada bau harumnya arak.
Siau Te menyaksikan ia naik ke atas kereta, menyaksikan ia roboh di lantai, namun apapun tidak dibicarakan.
Tiba-tiba Cia Siau-hong berkata.
"Sayang sekali kau tidak ikut kami minum arak bersama-sama, arak itu benar-benar adalah arak bagus!"
"Arak hasil curian biasanya memang selalu adalah arak bagus!", jawab Siau Te. Itulah kata-kata yang pernah diucapkan Cia Siau-hong belum lama berselang. Cia Siau-hong segera tertawa terbahak-bahak.
"Sayang sekali betapapun baiknya arak tersebut, juga tak akan menyembuhkan luka yang kau derita", kembali Siau Te menambahkan. Perduli apakah luka itu berada di badan? Ataukah di hati? Kedua-duanya tak akan bisa disembuhkan. Cia Siau-hong masih juga tertawa.
"Untung saja ada sementara luka yang pada hakekatnya tak perlu disembuhkan lagi"
"Luka apakah itu?"
"Luka yang pada hakekatnya tak mungkin bisa disembuhkan!"
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siau Te memandang ke arahnya, lewat lama sekali baru pelan-pelan katanya.
"Kau mabuk!"
"Kaupun mabuk?", sambung Cia Siau-hong.
"Oya?"
"Kau harus tahu jenis manusia manakah di dunia ini yang paling gampang melepaskan diri dari segala-galanya?"
"Tentu saja orang mati!"
"Jika kau tidak mabuk, maka kalau memang kau berusaha keras untuk melepaskan diri dari kejaranku, mengapa pula justru datang menyelamatkan diriku?"
Siau Te menutup kembali mulutnya, tiba-tiba ia turun tangan menotok sebelas buah jalan darah di tubuhnya.
Paling akhir yang masih sempat dilihat olehnya adalah sepasang mata Siau Te, sepasang mata yang penuh dengan pancaran perasaan yang tak akan dipahami oleh siapapun juga.
Waktu itu sinar matahari sedang memancar masuk lewat daun jendela, menyinari sepasang matanya.
Ketika Cia Siau-hong tersadar kembali, pertama-tama yang dilihat olehnya juga mata, tapi bukan mata Siau Te.
Ada belasan buah mata yang dijumpainya.
Tempat itu adalah sebuah gedung yang sangat besar, keadaan maupun suasananyapun ikut megah pula.
Ia sedang berbaring di atas sebuah pembaringan yang sangat besar.
Belasan orang sedang mengelilingi pembaringan itu dan mengawasi dirinya, ada yang kurus tinggi, ada yang gemuk, ada yang tua, ada pula yang muda, pakaian maupun dandanan mereka amat perlente, muka merah segar, jelas orang itu adalah manusia-manusia yang sudah biasa hidup makmur dan senang.
Belasan pasang mata itu ada yang besar, ada pula yang kecil, sinar mata mereka tajam sekali, setiap mata mereka semua membawa semacam perasaan yang sangat aneh, seakan-akan segerombol penjagal yang sedang mengamati korban atau kambing jagalannya, tapi tak dapat mengambil keputusan dari manakah mereka akan mulai turun tangan.
Perasaan Cia Siau-hong bagaikan tenggelam ke dasar samudra yang tak terukur dalamnya.
Tiba-tiba ia menemukan bahwa seluruh kekuatan yang dimilikinya telah lenyap tak berbekas, bahkan tenaga untuk bangkit berdiripun sudah tak ada.
Sekalipun ia dapat bangkit berdiri, asal setiap orang dari belasan orang tersebut mendorongnya pelan dengan ujung jari masing-masing, maka dia akan berbaring kembali.
Sesungguhnya siapakah mereka ini? Kenapa mereka memandang ke arahnya dengan sorot mata seaneh ini? Tiba-tiba belasan orang itu membubarkan diri, mengundurkan diri jauh ke sudut ruangan sana dan berkumpul kembali sambil berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu.
Walaupun Cia Siau-hong tidak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, tapi ia tahu bahwa mereka pasti sedang merundingkan sesuatu persoalan yang sangat penting dan persoalan tersebut pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan dirinya.
Sebab sambil berunding, seringkali mereka masih berpaling dan diam-diam memperhatikan dirinya dengan ujung mata.
Apakah mereka sedang berunding dengan cara apakah hendak menghadapi dirinya? Menyiksa dirinya? Di manakah Siau Te? Akhirnya Siau Te muncul juga.
Selama beberapa waktu, tampaknya ia sangat lelah dan payah, wajahnya tampak layu dan mengenaskan.
Tapi sekarang ia telah berganti dengan satu stel pakaian yang baru dan indah, rambutnya di sisir pula dengan rapi dan licin.
Pada hakekatnya ia seperti telah berubah menjadi seseorang yang lain.
Persoalan apakah yang secara tiba-tiba membuat semangatnya bangkit kembali? Apakah karena pada akhirnya ia berhasil menemukan suatu cara yang paling bagus, akhirnya menjual Cia Siau-hong ke pihak Thian-cun untuk memperoleh pahala besar? Menyaksikan ia berjalan masuk, belasan orang itu segera mengerumuni dirinya, sikap mereka murung dan gelagapan.
Paras muka Siau Te serius, tanyanya dengan suara dingin.
"Bagaimana?"
"Tidak bisa!", jawab belasan orang itu hampir bersamaan waktunya.
"Tiada cara lain?"
"Tak ada!"
Siau Te segera menarik mukanya, sinar kegusaran memancar keluar dari balik matanya, tiba-tiba ia turun tangan dan mencengkeram kerah baju salah seorang di antaranya.
Orang itu berusia paling besar, gayanya pun paling mentereng, di tangannya masih memegang sebuah huncwe antik yang paling tidak harganya mencapai seribu tahil emas murni.
Akan tetapi di hadapan Siau Te pada hakekatnya ia seperti seekor kucing yang sedang menangkap tikus.
"Kaukah yang bernama Kian Hu-seng?", tegur Siau Te.
"Benar!"
"Konon orang lain memanggil dirimu sebagai Ki-si-hu-seng (Bangkit dari kematian hidup kembali) Kian Toa-sianseng?"
"Itu hanya julukan yang diberikan orang lain kepadaku, lohu sesungguhnya tak pantas menerima panggilan tersebut", jawab Kian Hu-seng. Siau Te memperhatikannya dari atas hingga ke bawah, tiba-tiba ia tertawa lagi.
"Ehmm.....! Pipa huncwe-mu tampaknya indah sekali", dia berseru. Meskipun Kian Hu-seng masih merasa sangat ketakutan, namun sinar matanya toh memancarkan juga sinar kebanggaan. Pipa huncwe itu terbuat dari batu kumala asli yang diukir, ia seringkali membawanya kemanapun ia pergi, bahkan sewaktu tidurpun ia selalu meletakkannya di bawah bantal. Setiap kali ia mendengar ada orang memuji pipa huncwe-nya, pada hakekatnya ia merasa lebih bangga daripada mendengar orang lain memuji-muji akan kehebatan ilmu pertabibannya. Siau Te tersenyum kembali, katanya.
"Agaknya pipamu itu terbuat dari sebuah batu kumala yang utuh, harganya paling tidak pasti di atas seribu tahil perak bukan?"
Tak tahan Kian Hu-seng ikut tertawa.
"Sungguh tak kusangka toa-sauya juga seseorang yang mengerti nilainya sebuah benda", serunya.
"Darimana kau dapatkan begitu banyak uang perak?"
"Itulah biaya yang diberikan para penyakitan kepadaku sewaktu selesai pengobatan"
"Tampaknya tidak sedikit biaya pengobatan yang kau terima"
Lama kelamaan Kian Hu-seng tak bisa tertawa lagi.
"Bolehkah pinjamkan kepadaku sebentar?", tanya Siau Te. Sekalipun Kian Hu-seng merasa sangat keberatan, namun iapun tak berani untuk tidak diberikan kepadanya. Siau Te menerima pipa huncwe itu, dan dinikmatinya sebentar, setelah itu gumamnya.
"Bagus, betul betul sebuah barang bagus, cuma sayang manusia semacam kau masih belum pantas untuk mempergunakan barang sebagus ini!"
Baru selesai ia berkata.
"Traaaak....!"
Pipa huncwe yang tak ternilai harganya itu tahu-tahu sudah dibantingnya sehingga hancur berkeping-keping.........
Paras muka Kian Hu-seng segera berubah hebat, berubah menjadi lebih jelek dari wajah seorang anak berbakti yang baru saja kematian ibu kandungnya, hampir saja dia akan menangis.
Siau Te segera tertawa dingin, katanya.
"Percuma kau disebut Tabib kenamaan, biaya pengobatan yang kau terima jauh lebih tinggi daripada siapapun, tapi luka ringan sekecil itupun tak sanggup kau sembuhkan, sebenarnya kau ini manusia maknya macam apa?"
Sekujur badan Kian Hu-seng menggigil keras, peluh dingin membasahi seluruh badannya, bibirnya tergagap tapi entah harus berbicara apa. Pemuda perlente yang berada di sampingnya segera tampil ke depan sambil memprotes.
"Luka semacam itu bukan suatu luka yang ringan, sedemikian parahnya luka yang diderita tuan itu, pada hakekatnya baru pertama kali ini kujumpai kasus seperti ini"
"Kau ini manusia macam apa?", seru Siau Te sambil melotot sekejap ke arahnya.
"Aku bukan barang, aku adalah manusia, bernama Kian Po-sia!"
"Kau anaknya Kian Hu-seng?"
"Benar!"
"Kalau toh kau bernama Kian Po-sia, aku pikir kau pasti sudah memperoleh seluruh warisan ilmu pertabiban yang dimilikinya, pengetahuanmu pasti tidak cetek!"
"Walaupun pelajaran yang kuterima masih terlalu cetek, akan tetapi pengetahuanku tentang luka bacokan serta cara pengobatannya masih mengetahui sedikit banyak"
Kemudian sambil menuding orang-orang di belakangnya, dia berkata kembali.
"Beberapa orang empek dan paman ini semuanya merupakan tabib berpengalaman dari daerah ini, jika kami beberapa orang tak sanggup menyembuhkan luka tersebut, jangan harap orang lain bisa menyembuhkannya"
Siau Te menjadi sangat gusar.
"Darimana kau tahu kalau orang lainpun tak dapat menyembuhkannya?", teriaknya.
"Luka yang berada di tubuh tuan ini seluruhnya berjumlah lima tempat, dua di antaranya adalah luka lama, sedang tiga lainnya baru dilukai pada dua hari berselang, meskipun tusukan itu tidak berada di tempat yang berbahaya atau mematikan, tapi setiap tusukan itu menghasilkan luka yang sangat dalam, luka itu sudah hampir menyentuh tulang persendian serta otot-otot pentingnya"
Setelah menghembuskan napas panjang, ia berkata lebih lanjut.
"Bila seseorang segera mencari pengobatan dan beristirahat penuh setelah terluka, mungkin luka itu tak akan sampai mendatangkan cacad badan, sayangnya bukan saja setelah terluka bekerja kelewat batas, bahkan masih juga minum arak, arak yang diminumpun sangat banyak, mulut lukanya sekarang sudah mulai membusuk"
Apa yang diucapkan memang semuanya jitu dan cocok dengan ke adaan yang sesungguhnya, maka Siau Te hanya mendengarkan saja di samping. Terdengar Kian Po-sia berkata lebih lanjut.
"Tapi yang paling parah keadaannya adalah dua buah luka lamanya itu, sekalipun kami berhasil, dia cuma bisa hidup tujuh hari lagi"
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan.
"Ya, tujuh hari yang terakhir!"
"Tapi bukankah ke dua buah luka lamanya sudah merapat kembali seperti sedia kala?", ucap Siau Te.
"Justru lantaran mulut lukanya sudah merapat kembali, maka paling banter ia cuma bisa hidup tujuh hari lagi"
"Aku tidak mengerti!"
"Kau tentu saja akan mengerti, dasarnya memang tidak banyak orang yang mengerti akan persoalan ini, lebih tidak beruntung ternyata ia telah mengenal seseorang bahkan secara kebetulan orang itu adalah sahabatnya"
"Sahabatnya?", Siau Te lebih-lebih tidak mengerti lagi.
"Setelah terluka kebetulan ia berjumpa dengan sahabatnya itu, kebetulan sahabatnya membawa obat luka yang paling baik, tapi kebetulan pula membawa racun Huan-kut-san (bubuk pembuyar tulang) yang paling beracun......."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya.
"Obat luka menutup kulit, bubuk penghancur tulang di kala mulut luka sudah merapat, racun keji itu sudah merasuk ke tulang, dalam tujuh hari mendatang, ke seratus tiga puluh tujuh batang tulang belulang di sekujur tubuhnya pasti akan melarut dan hancur sebagai gumpalan darah kental"
Siau Te menggenggam tangannya kencang-kencang, lalu berseru.
"Apakah ada obat mustika yang bisa memunahkan racun itu?"
"Tidak ada!"
"Juga tak ada orang yang bisa memunahkan racun ini?"
"Tidak ada!"
Jawaban singkat, tandas dan jelas, membuat orang tak bisa sangsi lebih baik lagi untuk tak percaya.
Tapi bila kenyataan ini harus dipercayai oleh Siau Te, maka hal tersebut merupakan suatu kejadian yang kejam, kejadian yang menyiksa perasaan dan batinnya.
Hanya dia seorang yang tahu siapakah sahabat yang dimaksudkan Kian Po-sia tersebut, justru lantaran dia tahu, maka batinnya merasa lebih menderita, lebih tersiksa.
Hanya penderitaan, lain tidak!.
Karena dia bahkan untuk membencipun tak dapat membenci.
Seharusnya yang dicintai ternyata tak dapat dicintai, seharusnya benci tak dapat di benci, berbicara bagi seorang pemuda yang darahnya belum mendingin seperti dia, bagaimana mungkin penderitaan tersebut dapat ditahan? Tiba-tiba ia seperti mendengar Cia Siau-hong sedang bertanya.
"Paling banter tujuh hari, paling sedikit berapa hari?"
Ia tak berani berpaling untuk menatap Cia Siau-hong, pun tak ingin mendengar jawaban dari Kian Po-sia. Tapi ia telah mendengar semuanya dengan jelas.
"Tiga hari!"
Walaupun jawaban dari Kian Po-sia masih tetap singkat, tandas dan jelas, namun nada suaranya telah membawa suatu kesedihan, suatu perasaan murung yang apa boleh buat.
"Paling sedikit mungkin hanya tiga hari"
Bagaimanakah perasaannya di kala seseorang secara tiba-tiba mengetahui bahwa kehidupannya tinggal tiga hari saja? Reaksi dari Cia Siau-hong ternyata sangat istimewa.
Ia tertawa.
Kematian bukan suatu kejadian yang menggelikan, pasti bukan!.
Lantas mengapa ia tertawa? Apakah lantaran ia sedang mengejek, mencemooh kehidupannya? Atau karena semacam pemandangan yang terbuka atas kehidupannya di dunia ini? Tiba-tiba Siau Te memutar badannya dan menerjang ke sisinya, lalu dengan suara keras berteriak.
"Mengapa kau masih tertawa? Kenapa kau masih bisa tertawa?"
Cia Siau-hong tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya.
"Mereka semua datang dari tempat yang jauh, sebagai tuan rumah mengapa kau tidak menyediakan arak untuk mereka?"
Tangan Kian Hu-seng masih saja gemetar keras, saat itu dia baru bisa menghembuskan napas panjang.
"Ya, aku pikir setiap orang memang membutuhkan secawan arak pada saat ini!"
Yang dimaksudkan 'secawan arak' pada umumnya bukan benar-benar cuma secawan belaka.
Setelah tiga cawan arak masuk ke perut Kian Hu-seng baru dapat memulihkan kembali perasaannya.
Arak memang dapat mengendorkan syarat orang, membuat perasaan orang menjadi tenang.
Seorang tabib yang sepanjang tahun bertugas menangani orang yang terluka memang tidak seharusnya memiliki sepasang tangan yang sering menggigil keras.
Cia Siau-hong memperhatikan terus tangannya dari samping, tiba-tiba ia bertanya.
"Kau sering minum arak?"
Kian Hu-seng sangsi sejenak, akhirnya dia mengakui juga.
"Ya, aku sering minum, cuma tidak banyak yang kuminum!"
"Bila seseorang seringkali minum arak, apakah hal ini lantaran dia gemar minum?"
"Mungkin begitulah!"
"Kalau memang gemar minum mengapa tidak minum agak banyak agar lebih puas?"
"Karena minum arak yang terlampau banyak akan merugikan kesehatan badan, oleh karena itu......."
"Oleh karena itu meski dalam hati kau ingin minum lebih banyak namun mau tak mau kau harus berusaha keras untuk mengencang napsu sendiri, bukan?"
Kian Hu-seng mengakuinya.
"Karena kau masih ingin hidup lebih lanjut masih ingin hidup beberapa tahun lagi, hidup makin lama semakin baik, maka meski mengencang napsu sendiri kaupun rela melakukannya?", Cia Siau-hong menambah. Kian Hu-seng lebih-lebih tak dapat menyangkal lagi........selembar nyawanya memang lebih berharga daripada arak, siapa yang tidak menyayangi nyawa sendiri? Cia Siau-hong mengangkat cawannya dan meneguk isinya sampai habis, kemudian katanya lagi.
"Di kala seseorang masih hidup dia tentu mempunyai banyak keinginan yang tak berani dilakukannya, karena bila seseorang ingin hidup lebih lanjut, ia tak akan terlepas dari pelbagai ikatan, pantangan maupun peraturan, bukankah.....demikian?"
Sekali lagi Kian Hu-seng menghela napas panjang, setelah tertawa getir, katanya.
"Dari kehidupan kita di alam semesta, siapakah yang dapat melepaskan diri dari ikatan, pantangan maupun peraturan? Siapakah yang dapat melakukan apa yang diinginkan dalam hatinya secara bebas dan leluasa?"
"Hanya sejenis manusia!", jawab Cia Siau-hong.
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Manusia yang mana?"
Cia Siau-hong tersenyum.
"Mereka yang tahu kalau usianya paling banter tinggal beberapa hari!"
Ia sedang tertawa tapi kecuali ia sendiri, siapa yang tega ikut tertawa? Siapa pula yang bisa tertawa? Di antara sekian banyak kesedihan yang di alami manusia, kesedihan manakah yang bisa menandingi kesedihan akibat suatu kematian? Semacam kesedihan yang tak terlukiskan........
Tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya.
"Andaikata kau tahu bahwa usiamu paling banter tinggal beberapa hari lagi, dalam beberapa hari yang teramat singkat itu, apa yang bakal kau lakukan? Bagaimana caramu mengatur jadwal kehidupanmu yang teramat singkat itu?"
OoooOOOOoooo Bab 27.
Tiga Hari Yang Penuh Keanehan Itulah suatu pertanyaan yang aneh, aneh tapi menarik, namun mengandung pula sindiran yang keji.
Mungkin ada banyak orang pernah bertanya kepada diri sendiri, di kala tengah malam mereka terbangun dan tak dapat tidur kembali.
Seandainya aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, dalam tiga hari yang singkat ini apa yang hendak kulakukan? Tapi orang yang bisa mengajukan pertanyaan ini untuk bertanya kepada orang lain tentu tak banyak jumlahnya.
Sekarang, ternyata Cia Siau-hong mengajukan pertanyaan ini, yang dia tanya bukan seseorang tertentu, melainkan setiap orang yang hadir di tempat itu.
Mendadak seseorang melompat bangun dari tempat duduknya dan berteriak keras.
"Kalau dia adalah aku, maka aku hendak membunuh orang"
Orang ini bernama Si Keng-meh.
Keluarga Si adalah sebuah keluarga yang termashur di sungai besar, kakek moyangnya dulu adalah seorang tabib kenamaan, ketika ilmu pertabiban tersebut diwariskan kepadanya, ia sudah merupakan keturunan yang ke sembilan dan setiap generasinya semuanya merupakan orang-orang terpandang yang terhormat dan tahu aturan.
Tentu saja diapun seorang lelaki sejati, jarang bicara, sopan santun dan tahu adat, tapi sekarang ternyata dia mengucapkan kata-kata tersebut, orang yang kenal dengannya tentu saja dibikin terperanjat.
Cia Siau-hong sebaliknya malah tertawa.
"Kau hendak membunuh orang? Berapa banyak yang hendak kau bunuh?", tanyanya. Agaknya Si Keng-meh dibikin terperanjat oleh pertanyaan itu, gumamnya seorang diri.
"Membunuh berapa orang? Berapa orang yang bisa kubunuh?"
"Kau ingin membunuh berapa orang?"
"Sebetulnya aku hanya ingin membunuh seorang, tapi setelah kupikir kembali, rasanya masih ada orang yang masih dibunuh pula!"
"Apakah mereka telah berbuat sesuatu yang menyalahi dirimu?"
Si Keng-meh menggigit bibirnya kencang-kencang, sinar berapi-api memancar keluar dari balik matanya, dan setiap waktu setiap saat, ia hendak memenggal batok kepala mereka. Cia Siau-hong menghela napas panjang, katanya.
"Sayang kau masih mempunyai waktu yang cukup lama untuk hidup, karena itu kaupun hanya bisa menyaksikan hidup aman sentosa dengan bebasnya, bahkan mungkin hidup mereka jauh lebih gembira dan bahagia daripada dirimu sendiri"
Sampai lama sekali Si Keng-meh berdiri termangu-mangu, pelan-pelan tangannya yang menggenggam mengendor kembali. Sinar berapi-api yang memancar keluar dari matanya juga mulai lenyap, ujarnya dengan sedih.
"Benar, justru karena aku harus hidup lebih lanjut, maka terpaksa aku pun membiarkan mereka hidup lebih jauh!"
Nada suaranya penuh dengan perasaan sedih dan apa boleh buat, baginya bisa hidup lebih jauh bukan merupakan suatu hal yang menggembirakan, sebaliknya justru berubah menjadi beban dan tanggung-jawab. Tanpa sadar ia mulai bertanya pada diri sendiri.
"Jika seseorang harus hidup lebih jauh, sesungguhnya kejadian ini adalah suatu kemujuran? Ataukah suatu ketidak-mujuran?"
Tiba-tiba Cia Siau-hong berpaling, sambil menatap wajah Kian Po-sia dia bertanya.
"Dan kau!"
Sebenarnya Kian Po-sia hanya termenung terus selama ini, maka pertanyaan yang diajukan kepadanya itu sangat mengejutkan hatinya.
"Aku?", dia berseru.
"Kau adalah seorang manusia yang punya bakat dan kepandaian, mana asal-usulnya baik, kepandaiannya baik, lagi pula gagah dan perkasa, aku pikir selama ini kau pasti dihormati setiap orang dan kau sendiri tentu saja tak akan berani melakukan perbuatan yang melanggar sopan santun dan adat istiadat!"
Kian Po-sia tidak menyangkal.
"Tapi seandainya hidupmu tinggal tiga hari lagi, apa yang bakal kau lakukan......?", tanya Cia Siauhong lagi.
"Aku.....aku akan baik-baik mengatur semua persiapan pada akhir hidupku dan kemudian menunggu kematian dengan tenang!"
"Sungguh?"
Sinar matanya lebih tajam dari sembilu, seakan-akan sedang menembusi hatinya dan mengorek isi hatinya.
"Jujurkah perkataanmu itu?"
Kian Po-sia tertunduk rendah-rendah, tapi dengan cepat mendongakkan kepalanya kembali sambil berteriak.
"Tidak, tidak jujur, aku sedang berbohong!"
Setelah meneguk tiga cawan arak, ia berkata lagi dengan suara lantang.
"Seandainya hidupku tinggal tiga hari, aku akan pergi makan besar, minum sepuasnya, berjudi dan akhirnya mengumpulkan semua pelacur yang ada di kota ini, menelanjangi mereka semua dan bermain petak-umpet dengan mereka"
Dengan perasaan terkejut ayahnya memandang ke arahnya, lalu berseru.
"Kau.....kau.....mengapa kau bisa berpikir melakukan perbuatan semacam ini?"
"Perbuatan semacam itu merupakan perbuatan yang paling menyenangkan, andaikata kau hanya bisa hidup tiga hari kemungkinan besar kaupun akan berbuat seperti apa yang kukatakan!"
"Aku......aku.......", Kian Hu-seng tergagap dan tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.
"Sayang, kalian semua masih hidup lebih lama lagi", kata Cia Siau-hong.
"maka sekalipun dalam hati ingin sekali, kalian hanya bisa memikirkannya saja dalam hati"
Akhirnya Kian Hu-seng menghela napas, setelah tertawa getir, ujarnya.
"Terus terang kukatakan pada hakekatnya untuk membayangkan saja aku tak berani"
Seorang nona berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan, kebetulan masuk ke dalam ruangan sambil membawa semangkuk besar itik masak angsio yang masih kebul-kebul. Tiba-tiba Siau-hong bertanya kepadanya.
"Seandainya kau bisa hidup tiga hari lagi, apa yang ingin kau lakukan....?"
Oleh pertanyaan tersebut, tampaknya nona tersebut merasa amat terkejut, ia menjadi tergagap dan tak mampu mengucapkan sepatah kata. Sambil menarik muka Siau Te segera membentak.
"Kalau memang Cia sianseng bertanya kepadamu, apa yang ingin kau katakan harus kau katakan dengan sejujurnya"
Dengan perasaan ya malu, ya takut, akhirnya nona itu menjawab juga dengan wajah merah.
"Aku ingin kawin!"
"Apakah selama ini kau belum pernah kawin?"
"Belum!"
"Kenapa tidak kawin?"
Dengan wajah tersipu-sipu, nona itu menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Semenjak kecil aku sudah dijual kepada orang untuk menjadi pelayan, manusia seperti aku mana mungkin bisa mendapat suami yang baik? Lagi pula lelaki mana yang bersedia mengawini diriku?"
"Tapi seandainya kau hanya bisa hidup tiga hari lagi, tentunya tak akan kau perdulikan bukan lelaki mana yang bakal mengawini dirimu?"
"Ya, asal dia seorang lelaki, seorang lelaki hidup, laki-laki tulen, itu sudah lebih dari cukup", jawab si nona. Tiba-tiba wajahnya bersinar dan tampak lebih bersemangat, dengan suara keras ujarnya kembali.
"Setelah itu akan kubunuh dirinya......!"
Kalau ada seorang nona yang berusia dua puluh delapan-sembilan tahunan ingin kawin, maka kejadian ini bukan sesuatu yang aneh, tapi kata-katanya yang terakhir justru membuat orang merasa tidak habis mengerti...............
Dengan perasaan terkejut, semua orang bertanya.
"Kalau kau memang berkeinginan untuk kawin dengannya, kenapa pula kau hendak membunuhnya?"
"Karena akupun belum pernah merasakan jadi seorang janda, aku ingin tahu bagaimanakah rasanya menjadi seorang janda!"
Semua orang saling berpandangan dan ingin tertawa, tapi tak seorangpun di antara mereka bisa tertawa, siapapun tidak menyangka kalau perempuan ini bisa berpikir begini hebat dan luar biasa, suatu angan-angan yang lain daripada yang lain.
"Sayang aku masih akan hidup lama di dunia ini!", ujar si nona kembali.
"oleh sebab itu bukan saja aku tak akan menjadi seorang janda, bahkan kemungkinan untuk kawinpun amat tipis!"
Ia menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, setelah meletakkan mangkuk ke meja, dengan kepala tertunduk ia mengundurkan diri dari ruangan itu. Lewat lama, lama sekali, dari atas pembaringan tiba-tiba terdengar seseorang bergumam.
"Andaikata aku hanya bisa hidup tiga hari lagi, aku pasti akan mengawininya"
Orang ini bernama Yu Cun-cay, diapun seorang tabib kenamaan bahkan seorang lelaki yang berjiwa ksatria dan gagah perkasa, apa lacur, ia memiliki bentuk tubuh yang aneh dan lucu, bukan cuma punggungnya bongkok, kakinya pincang, bahkan seluruh mukanya penuh dengan bopeng.
Justru lantaran dia punya nama.......bukan cuma nama dalam profesi bahkan nama besar karena kejelekannya, maka walaupun banyak mak comblang yang berusaha dengan segala cara dan akal mencarikan jodoh baginya, begitu pihak wanita mengetahui kalau jodohnya adalah "Ma Tay-hu"
Atau Tabib Bopeng, kontan saja mereka mengundurkan diri cepat-cepat, malah ada satu kali sang mak comblang kena diusir orang dengan sapunya.
"Kau betul-betul ingin mengawininya?", tiba-tiba Cia Siau-hong bertanya pelan.
"Perempuan itu mana bersih, mana montok, halus lagi kulit badannya, bisa mengawininya sebagai biniku, hal mana sudah terhitung rejekiku, cuma sayang....."
"Cuma sayang kau masih belum mati maka mau tak mau harus mempertahankan pula nama baik keluargamu, bagaimanapun tak mungkin akan mengawini seorang pelayan dan menjemputnya pulang dengan tandu besar yang digotong delapan orang", sambung Cia Siau-hong. Yu Cun-cay cuma mengangguk, menghela napas, tertawa getir dan meneguk arak. Cia Siau-hong kembali tertawa terbahak-bahak. Dengan keheranan semua orang menatap dirinya yang sedang tertawa. Pelan-pelan Cia Siau-hong berkata lagi.
"Tadi kalian semua ingin bertanya kepadaku, seorang yang dengan jelas tahu bahwa dirinya hampir mati, kenapa masih juga bisa tertawa tergelak? Sekarang mengapa kalian tidak bertanya lagi?"
Tak seorangpun yang menjawab, tak seorangpun dapat menjawab pertanyaannya itu. Cia Siau-hong segera memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri.
"Karena sekarang secara diam-diam kalian sedang mengagumi diriku, iri kepadaku, sebab apa yang ingin kalian lakukan ternyata tak berani dilakukan, sedang aku dapat melakukannya semua dengan bebas dan leluasa....."
"Bila seseorang bisa hidup bebas dan leluasa selama beberapa hari dengan penuh keriangan dan kegembiraan tanpa segala ikatan dan batasan-batasan, aku percaya pasti ada banyak orang yang secara diam-diam iri dan kagum kepadanya"
Yu Cun-cay sudah menghabiskan dua cawan arak, tiba-tiba ia bertanya.
"Bagaimana dengan kau sendiri? Selama beberapa hari ini, apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku minta kau mengawininya!", jawab Cia Siau-hong. Sekali lagi Yu Cun-cay terperanjat.
"Mengawini siapa?"
"Adik angkatku!"
"Adik angkatmu? Siapa adik angkatmu?"
Mendadak Cia Siau-hong menyerbu ke depan dan menarik masuk si nona pelayan yang selama ini bersembunyi di luar pintu dan diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Dialah adik angkatku!", Cia Siau-hong menerangkan. Yu Cun-cay tertegun. Si nonapun tertegun.
"Kau she apa? Siapa namamu?", tanya Cia Siau-hong lebih lanjut. Si nona menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Sebagai pelayan orang, dari mana datangnya nama she (marga)? Majikan hanya memberi nama Hong-bwe kepadaku!"
"Mulai sekarang kau punya nama she, kau she Cia!", kata Cia Siau-hong lagi.
"She Cia?"
"Mulai sekarang kau sudah menjadi adik angkatku, aku she Cia, kalau tidak ikut she Cia lantas she apa?"
"Tapi kau.....kau....."
"Aku adalah Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng, telaga Liok Sui-oh, bukit Cui-im-kok"
Agaknya Hong-bwe pernah mendengar nama itu, dia mengulangi.
"Sam sauya dari keluarga Cia? Cia Siau-hong?"
"Ya, perduli siapapun setelah menjadi adik angkatnya Sam sauya dari keluarga Cia, kejadian ini sudah pasti bukan merupakan kejadian yang memalukan!"
Lalu sambil menuding ke arah Yu Cun-cay, dia melanjutkan.
"Walaupun orang ini bukan tergolong tampan, tapi dia adalah seorang suami yang baik"
Kepala Hong-bwe tertunduk semakin rendah. Cia Siau-hong menarik tangannya dan diletakkan di atas genggaman Yu Cun-cay, kemudian berkata lebih lanjut.
"Detik ini ku umumkan bahwa kalian sudah menjadi suami isteri, adakah seseorang merasa keberatan?"
Tak ada! Tentu saja tak ada! Karena kejadian ini adalah suatu peristiwa perkawinan suatu perkawinan yang luar biasa, tidak menuruti aturan permainan, bahkan agak sedikit tak masuk di akal.
Tapi, perkawinan dalam bentuk macam apapun selalu akan mendatangkan kegembiraan dan kobaran semangat bagi siapapun.
Hanya Si Keng-meh yang duduk terpekur dengan wajah murung dan sedih.
Pelan-pelan Cia Siau-hong menghampirinya, tiba-tiba ia bertanya.
"Apakah orang itu adalah sahabatmu?"
"Orang yang mana?", tanya Si Keng-meh.
"Orang yang telah berbuat kesalahan kepadamu!"
Si Keng-meh mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, katanya.
"Aku.......aku selalu menganggapnya sebagai sahabatku, tapi dia........dia.......!"
"Ternyata dia telah melakukan perbuatan yang menyalahi diriku......?"
Si Keng-meh menutup mulutnya rapat-rapat, sepatah katapun tidak diucapkan, tapi air matanya sudah jatuh bercucuran membasahi pipinya, agaknya ia tak tega untuk mengutarakan kisah tersebut.
Betapapun besarnya rasa benci dan dendam, betapapun dalamnya penderitaan dan siksaan, ia dapat menerimanya sambil mengertak gigi, tapi ia tak kuasa menahan rasa malu dan aib yang diberikan peristiwa ini kepada dirinya.
Cia Siau-hong memandang ke arahnya, memandang dengan penuh rasa simpatik.
"Aku dapat melihat bahwa kau adalah seorang yang amat jujur!"
Si Keng-meh menundukkan kepalanya makin rendah, katanya dengan amat sedih.
"Aku tak lebih hanya seorang manusia yang tak berguna!"
Orang jujur bisa diartikan pula dengan seorang manusia yang tak ada gunanya.
"Tapi paling tidak kau pernah bersekolah", kata Cia Siau-hong.
"Mungkin lantaran aku pernah bersekolah, maka aku baru berubah menjadi begini tak ada gunanya"
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada, kau ada gunanya"
Si Keng-meh tertawa, suatu tertawa yang penuh dengan ejekan dan cemoohan terhadap diri sendiri.
"Berguna? Apa gunanya?", ia berkata.
"Kadangkala dengan pena pun orang bisa membunuh sesamanya", Cia Siau-hong berkata.
"Dengan pena juga bisa membunuh orang?"
"Kau tidak percaya?"
"Aku......."
"Di atas meja sana toh ada pena dan tinta, apa salahnya untuk pergi mencobanya?"
"Bagaimana cara mencobanya?"
"Kau hanya cukup menulis tiga patah kata dan ketiga patah kata itu sudah cukup untuk merenggut nyawa seseorang"
"Tiga patah kata?"
"Ya, tiga patah kata! Nama orang itu!"
Si Keng-meh mendongakkan kepalanya memandang wajahnya dengan penuh rasa terkejut.
Hingga sekarang ia baru menyadari bahwa orang yang hampir mati dan berdiri di hadapannya sekarang ternyata membawa sesuatu kekuatan yang misterius dan menakutkan, setiap saat setiap waktu dapat melakukan suatu perbuatan yang tidak menguntungkan bagi orang lain.
"Cepat kau tulis nama orang itu", Cia Siau-hong berkata lagi.
"selesai menulis simpanlah dalam sampul dan tutuplah dengan rapat, kemudian serahkan kepadaku, aku jamin di sini tak seorangpun yang bisa membocorkan rahasiamu"
Akhirnya Si Keng-meh bangkit juga, berjalan mendekati meja dan mengambil pena.
Kekuatan misterius dari orang itu sungguh membuatnya tak sanggup melakukan perlawanan, apa yang dia ucapkan juga tak bisa tidak untuk dipercayainya...........
Sampul yang diberi segel telah berada di tangan Cia Siau-hong, dalam sampul hanya berisi selembar kertas dan sebuah nama.
"Kecuali kau seorang, aku jamin tiada orang lain yang tahu siapakah nama yang tercantum dalam sampul tertutup ini", kata Cia Siau-hong. Si Keng-meh manggut-manggut, wajahnya yang pucat mengejang jeras karena gembira dan tegang, tak tahan ia bertanya.
"Bagaimana selanjutnya?"
"Selanjutnya hanya seorang yang bisa melihat nama tersebut!"
"Siapa?"
"Seorang yang pasti dapat menyimpan rahasia ini dengan sebaik-baiknya"
Ia berpaling ke arah Siau Te dan melanjutkan.
"Tentu saja sudah kau duga bukan kalau orang tersebut adalah kau?"
"Ya!", Siau Te mengangguk.
"Setelah kau membaca nama orang itu, tentu saja nyawa orang itu tak akan hidup lebih lama bukan?"
"Tentu saja!"
"Dan kematiannya tentu saja jauh di luar dugaan?"
"Betul!"
Ia mengulur tangannya dan menerima sampul surat tersebut dari tangan Cia Siau-hong, tangannya semantap dan setenang tangan Cia Siau-hong.
Setiap orang sedang memandang ke arah mereka semua, mimik wajah mereka entah sedang menampilkan rasa kagumkah? Ataukah jeri? Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam sekejap mata telah menentukan mati hidup seseorang.
Sesungguhnya siapakah ke dua orang itu? Mengapa mereka memiliki kekuatan sebesar ini? Peluh sebesar kacang telah membasahi seluruh jidat Si Keng-meh, mendadak ia menerjang ke muka, merampas surat itu dari tangan Siau Te, melumat-lumatnya menjadi satu, kemudian dijejalkan ke dalam mulut, melumatnya menjadi hancur, lalu ditelan dan akhirnya mulai muntahmuntah.
Cia Siau-hong hanya menyaksikan tindak-tanduknya itu dengan pandangan dingin, ia tidak bicara, pun tidak menghalangi perbuatannya.
Paras muka Siau Te lebih tenang lagi, tanpa emosi di atas wajahnya.
Hingga ia selesai muntah, Cia Siau-hong baru bertanya dengan suara hambar.
"Kau tak tega melihat dia mati?"
Si Keng-meh menggelengkan kepalanya dengan sepenuh tenaga, air mata dan peluh dingin mengucur keluar bersama-sama.
"Kalau kau toh membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum, mengapa pula kau tak tega membiarkan dia mati?", tanya Cia Siau-hong.
"Aku........aku........"
"Di sana masih tersedia kertas dan pena, aku bisa memberi sebuah kesempatan lagi kepadamu!"
Sekali lagi Si Keng-meh menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Aku benar tak ingin dia mati, benar-benar tak ingin!", serunya. Cia Siau-hong tertawa.
"Ternyata rasa bencimu kepadanya tidaklah begitu mendalam seperti apa yang kau bayangkan semula!", katanya. Sambil tersenyum ditariknya Si Keng-meh yang hampir lemas tak bertenaga itu dari atas tanah, lalu katanya lebih lanjut.
"Bagaimana juga kau toh sudah memiliki kesempatan untuk membunuhnya, tapi kau telah melepaskannya kembali, asal kau teringat akan hal ini maka hatimu akan terasa jauh lebih lega dan tenang"
Ruangan itu amat gelap, tapi wajahnya seakan-akan bersinar, tanpa terasa semua orang berpaling ke arahnya, mimik wajah mereka hanya menampilkan rasa hormat tanpa rasa ngeri dan seram.
Sebuah sampul, secarik kertas, sebuah nama, dalam waktu singkat telah melenyapkan rasa benci dan dendam yang telah tertanam dalam-dalam di hati seseorang.
Sesungguhnya siapakah dia? Kenapa bisa memiliki kekuatan sedahsyat dan semisterius begini? Arak telah memenuhi seluruh cawan, setiap orang sedang meneguk arak dengan mulut membungkam, meneguk hingga habis, setiap orang mengerti secawan arak itu mereka minum untuk menghormati siapa? Mungkin hanya tiga hari, dalam tiga hari ini apa pula yang hendak dia lakukan? Cia Siau-hong menghembuskan napas panjang, gelak tertawanya semakin riang, terhadap segala sesuatunya ia tampak merasa amat puas.
Ia gemar minum arak, iapun suka orang lain menghormatinya, walaupun kedua macam persoalan ini sudah lama terlupakan, tapi sekarang lambat-laun mulai merembes dalam tubuhnya dan mendatangkan rasa hangat di seluruh badan.
"Yang harus pergi, cepat atau lambat dia pasti akan pergi", ditatapnya sekejap semua orang, kemudian melanjutkan.
"di antara kalian sekarang, masih adakah seseorang yang bersikeras hendak menahanku tetap tinggal di sini?"
Sekali lagi Siau Te mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, kemudian sepatah demi sepatah kata menjawab.
"Tidak ada, tentu saja tidak ada!"
Sekali lagi semua orang mengangkat cawannya dan meneguk isi cawan hingga habis, setiap orang sedang memperhatikan Cia Siau-hong. Hanya Kian Po-sia yang tertunduk selalu, tiba-tiba ia bertanya.
"Sekarang, apakah kau sudah seharusnya pergi?"
"Benar!", jawab Cia Siau-hong. Ia beranjak dan menghampirinya, lalu sambil menggenggam lengan Kian Po-sia, tambahnya.
"Mari kita berangkat bersama!"
"Kita berangkat bersama?", akhirnya Kian Po-sia mendongakkan juga kepalanya.
"kau hendak mengajak aku kemana?"
"Pergi makan besar, minum sepuasnya, bermain judi dan bermain pelacur......!"
"Kemudian?"
"Kemudian aku pergi mati, sedang kau kembali ke rumah untuk meneruskan kedudukanmu sebagai seorang kuncu!"
Tanpa berpikir untuk kedua kalinya, Kian Po-sia segera beranjak.
"Baik, mari kita berangkat!"
Menyaksikan mereka keluar bersama, setiap orang tahu, bahwa kepergian Cia Siau-hong kali ini sudah pasti tak akan kembali lagi untuk selama-lamanya.
Tapi bagaimana dengan Kian Po-sia? Apakah dia bisa kembali lagi untuk meneruskan kedudukannya sebagai seorang kuncu? Baru keluar dari pintu gerbang, tiba-tiba Kian Po-sia berhenti lagi, katanya.
"Sekarang kita masih bisa pergi?"
"Kenapa?"
"Sebab kau adalah Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong!"
Ini bukan alasan yang tepat, maka Kian Po-sia segera menambahkan.
"Setiap orang yang berada di sini pada tahu bahwa ilmu pedang Sam sauya dari keluarga Cia adalah ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini, tapi tak seorangpun pernah menyaksikannya!"
Cia Siau-hong mengakuinya.
Nama besarnya memang diketahui oleh seantero jagad, tapi tak banyak orang yang bisa menyaksikan ilmu pedangnya dengan mata kepala sendiri.
~Bersambung ke Jilid-17 Jilid-17 Bila Sam-sauya telah mati, siapa pula yang bisa menyaksikan lagi ilmu pedang Sam-sauya yang maha sakti itu? Tentu saja tak ada, seorangpun tidak! Karenanya Kian Po-sia berkata lebih jauh.
"Dari tempat yang sangat jauh semua orang datang kemari, mungkin yang hendak mereka lihat bukan penyakit yang di derita, Sam-sauya tidak seharusnya memberi rasa kecewa yang mendalam kepada mereka semua"
Itulah suara pernyataan yang jujur, penyakit Sam-sauya memang tidak menarik untuk di lihat, yang menarik justru adalah ilmu pedang Sam-sauya yang tiada bandingannya. Cia Siau-hong tertawa. Sambil tersenyum ia berpaling, lalu tanyanya.
"Di sini ada pedang?"
Di sini ada pedang? Tentu saja ada! Pedang memang ada, cuma bukan pedang antik, juga bukan pedang kenamaan, hanya sebilah pedang bagus, pedang bagus yang ditempa dari baja asli.
Apakah sebilah pedang bagus dapat berubah menjadi sebilah pedang antik, sebilah pedang kenamaan, biasanya harus dilihat pula siapa yang menggunakannya? Bila sebilah pedang bisa mendapatkan seorang majikan yang baik, setiap kali di gunakan pasti menang, tentu akan ternama pula pedang itu.
Bila pedang itu tidak memperoleh majikan yang baik, pedang itu akan patah, akan musnah dan lenyap, tak meninggalkan nama harum yang dikenang sepanjang masa, apalagi dipakai melindungi diri.
Ya, kehidupan seorang manusia di dunia ini bukankah juga demikian? Pedang itu sudah diloloskan dari sarungnya.
Begitu sang pedang lolos dari sarungnya segera berubahlah menjadi sejalur sinar yang cemerlang, serentetan cahaya berkilauan yang tajam, mentereng dan indah.
Cahaya tajam itu sedang bergerak, sedang melayang-layang jauh di atas sana, setiap orang merasa bahwa sinar tersebut seolah-olah bergerak di depan mata sendiri, tapi tak seorangpun yang bisa menduga di manakah sinar itu sebenarnya berada? Perubahannya hampir saja telah melampaui batas-batas kemampuan dari umat manusia, hampir saja membuat orang tak dapat mempercayainya.
Tapi ia benar-benar berada di situ, bahkan di manapun berada.
Tapi, di kala setiap orang sedang berusaha menebak letaknya yang sesungguhnya, mendadak ia lenyap tak berbekas.
Tiba-tiba suatu keanehan telah terjadi dan keanehan itupun tiba-tiba lenyap kembali.
Semua gerak-gerik maupun perubahan telah tercapai keseluruhannya dalam sekejap mata dan akhirnya terhenti sama sekali.
Seperti sebuah meteor.
Seperti juga petir yang menyambar, tapi dalam kenyataannya jauh lebih aneh dari pada meteor maupun sambaran petir.
Karena kekuatan dari semua perubahan tersebut terpancar keluar dari tubuh seseorang.
Seorang manusia biasa, manusia yang punya darah dan daging.
Menanti sinar pedang itu lenyap, pedangnya masih ada, tapi manusianya sudah lenyap tak berbekas.
Pedang itu berada di atas wuwungan rumah.
Dengan termangu-mangu semua orang memperhatikan pedang tersebut, entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar seseorang menghembuskan napas panjang.
"Dia tak akan mati!"
"Kenapa?"
"Karena di dunia ini sebenarnya terdapat semacam manusia yang selamanya tak akan mati!"
"Apakah Cia Siau-hong adalah manusia macam itu?"
"Benar!"
"Kenapa?"
"Karena perduli kemanapun orangnya pergi, dia pasti selalu hidup dalam hati kita semua, hidup untuk selama-lamanya"
Malam sudah kelam, cahaya lentera menerangi setiap bangunan rumah, terang benderang bermandikan cahaya. Mereka sudah mulai dipengaruhi oleh air kata-kata, lebih-lebih Kian Po-sia, ia malah sedang bergumam.
"Orang-orang itu tentu sedang keheranan, mengapa secara tiba-tiba aku bisa berkeinginan untuk melakukan perbuatan semacam ini, padahal selama ini aku adalah seorang anak baik-baik"
"Manusiakah kau?", tanya Cia Siau-hong.
"Tentu saja!"
"Asal dia manusia, entah manusia macam apapun juga, untuk belajar berbuat jelek biasanya jauh lebih mudah daripada belajar berbuat kebaikan, apalagi manusia yang suka makan minum, judi dan bermain perempuan, pada hakekatnya tak perlu dipelajari lagi!"
Kian Po-sia segera menyatakan persetujuannya atas pendapat tersebut.
"Ya, agaknya semenjak dilahirkan setiap orang memang sudah mewarisi kepandaian untuk berbuat demikian", katanya.
"Tapi seandainya kau benar-benar ingin memahami pengetahuan yang lebih mendalam tentang hal-hal tersebut, maka hal ini sudah tidak terhitung gampang lagi"
"Bagaimana pula dengan kau?"
"Aku adalah seorang ahli!"
"Lantas kau bermaksud membawa aku ke mana?"
"Mencari uang!"
"Apakah seorang ahli yang hendak melakukan perbuatan semacam inipun harus menghamburkan uang juga?"
"Justru karena aku adalah seorang ahli, maka aku harus menghamburkan uang, bahkan uang yang ku hamburkan biasanya jauh lebih banyak daripada orang lain"
"Kenapa?"
"Karena pekerjaan semacam ini adalah pekerjaan yang harus menghamburkan uang, jika enggan menghamburkan uang, lebih baik pulang saja menggendong anak!"
Perkataan semacam ini memang cocok sebagai perkataan seorang ahli.
Hanya seseorang yang betul-betul ahli baru akan memahami makna dan alasan yang sebenarnya dari teori tersebut.
Jika sudah pingin mencari kepuasan, segala sesuatunya diperinci sedetil-detilnya, manusia macam beginilah baru pantas di sebut bibit penyakit dari pekerjaan semacam ini, karena sekalipun mereka dapat mengerti beberapa tahil perak, namun dalam pandangan orang lain justru akan berubah menjadi sepeserpun tak ada harganya.
Sebagai seorang ahli tentu saja mempunyai kesulitan sebagai seorang ahli biasanya kesulitan yang terutama hanyalah satu hal.....yakni uang.
Sebab bagaimanapun juga menghamburkan uang selamanya jauh lebih gampang daripada mencari uang, tapi dalam soal ini agaknya hal tersebut masih belum terlampau menyulitkan Cia Siau-hong.
Ia membawa Kian Po-sia bergelandangan ke sana ke mari menelusuri jalan raya, tiba-tiba mereka memasuki sebuah warung penjual barang kelontong yang bobrok dan kotor.
Bagaimanapun kau mencoba untuk memperhatikan, tak akan kau jumpai hal-hal yang membiarkan petunjuk bahwa tempat itu adalah suatu tempat yang bisa memperoleh uang dengan mudah.
Dalam warung penjual barang kelontong hanya duduk seorang kakek yang sudah melamur matanya, setengah buta, setengah tuli, manusia macam begitu sedikitpun tidak mirip seperti seseorang yang memiliki banyak uang.
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kian Po-sia mulai keheranan.
Kami tidak ingin membeli minyak, juga tak ingin membeli cuka, mau apa ia mengajak kemari? Cia Siau-hong telah masuk ke dalam, membisikkan sesuatu ke sisi telinga sang kakek dengan suara yang amat lirih.
Mimik wajah kakek itu segera berubah, tiba-tiba saja sikapnya berubah bagaikan seekor tikus yang secara tiba-tiba dikerumuni oleh delapan ekor kucing.
Kemudian ia membawa Cia Siau-hong masuk ke ruang dalam, melewati sebuah pintu kecil di belakang yang tertutup oleh sehelai tirai kumal.
Terpaksa Kian Po-sia harus menunggu di luar.
Untung saja Cia Siau-hong telah muncul kembali dengan cepatnya, begitu keluar dia lantas bertanya.
"Tiga puluh laksa tahil perak cukup tidak kita hamburkan?"
Tiga puluh laksa tahil perak? Darimana datangnya tiga puluh laksa tahil perak? Dari sebuah warung yang bobrok dan kotor, ternyata dalam waktu singkat bisa diperoleh uang sebesar tiga puluh laksa tahil perak, hakekatnya Kian Po-sia hampir tak percaya.
Akan tetapi Cia Siau-hong benar-benar sudah memiliki tiga puluh laksa tahil perak.
Kakek itu belum juga keluar, tak tahan Kian Po-sia mulai berbisik.
"Sesungguhnya tempat apakah ini?"
"Tentu saja suatu tempat yang baik!"
Setelah tersenyum ia menambahkan.
"Tempat yang ada uangnya, selalu boleh dianggap sebagai tempat yang baik"
"Masakah di tempat seperti ini juga ada uangnya?"
"Daging bakpao tak akan kau jumpai di luar, apakah seseorang punya uang atau tidak, tak akan bisa dilihat dari luarannya saja!"
"Jadi kakek itu kaya raya?"
"Bukan cuma kaya raya, kemungkinan besar dia adalah orang yang terkaya di wilayah delapan ratus li di sekitar tempat ini"
"Kalau memang demikian, mengapa dia masih melewatkan penghidupannya dalam keadaan seperti ini?"
"Justru karena ia bersedia melewatkan penghidupannya dalam keadaan seperti ini, maka ia baru menjadi kaya"
"Kalau dia sendiripun sampai merasa berat hati untuk menghamburkan uangnya, mana mungkin ia bersedia menghadiahkan uang sebesar tiga puluh laksa tahil perak kepadamu?"
"Tentu saja aku punya akal!"
Kian Po-sia mengerdipkan matanya berulang kali, lalu sambil merendahkan suaranya dia melanjutkan.
"Apakah akalmu itu? Bukankah hitam makan hitam?"
Cia Siau-hong tertawa, dia cuma tertawa tidak menjawab. Kian Po-sia makin tertarik dan ingin tahu, tak tahan ia bertanya kembali.
"Apakah kakek itu adalah seorang pentolan penyamun yang bercokol di sini sambil menantikan pembagian hasil?"
Cia Siau-hong tersenyum.
"Lebih baik jangan kau tanyakan persoalan semacam ini dalam keadaan seperti ini!"
"Lantas apa yang harus kutanyakan?"
"Tanyalah kepadaku, hendak ku ajak kemanakah dirimu untuk menghamburkan uang ini?"
Kian Po-sia ikut tertawa. Entah bagaimanapun juga, menghamburkan uang memang merupakan suatu pekerjaan yang paling menggembirakan. Dengan cepat ia bertanya.
"Kita akan pergi ke mana untuk menghamburkan uang?"
Belum sempat Cia Siau-hong buka suara, kakek itu sudah munculkan diri dari balik tirai sambil menjawab.
"Di sini!"
Tempat itu adalah sebuah kedai yang bobrok dan kotor, sekalipun semua barang dagangannya diborong sampai habis juga tak akan lebih dari lima ratus tahil perak. Tentu saja Kian Po-sia harus bertanya.
"Di sinipun ada tempat untuk menghamburkan uang?"
Sambil memicingkan matanya kakek itu memperhatikannya beberapa kejap, kemudian kepalanya ditarik kembali seakan-akan merasa malas untuk bercakap-cakap dengan mereka. Cia Siau-hong tertawa, katanya.
"Kalau di sini tak ada tempat untuk menghamburkan uang, darimana pula datangnya uang sebesar tiga puluh laksa tahil perak tersebut?"
Masuk di akal juga perkataan itu, tapi Kian Po-sia tak urung masih merasa agak curiga juga.
"Di sinipun ada perempuan?"
"Bukan cuma saja ada, bahkan perempuan terbaik yang ada di sekitar delapan ratus li dari sini, semuanya berkumpul di tempat ini"
"Arak terbaikpun yang ada pada delapan ratus li di sekitar sinipun terdapat di tempat ini?"
"Betul!"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Karena aku adalah seorang ahli!"
Di bagian belakang warung bobrok itu hanya terdapat sebuah pintu.
Sebuah pintu yang kecil lagi sempit dengan sebuah tirai kain yang kumal dan penuh tambalan sebagai tabir.
Di manakah araknya? Di manakah perempuannya? Apakah berada di balik pintu kecil yang bertabirkan selembar kain tirai yang kumal dan penuh tambalan ini? Kian Po-sia tak kuasa menahan diri, dia ingin menyingkap tabir itu dan mengintip ke dalam, tapi belum lagi kepalanya dijulurkan ke dalam, tiba-tiba terendus bau harum yang semerbak.
Bau harum semerbak yang luar biasa.
Kemudian diapun jatuh tak sadarkan diri.
Ia tak tahu apa yang kemudian terjadi, diapun tak tahu apa yang selanjutnya menimpa dirinya.....
Ia hanya merasa kepalanya pusing tujuh keliling, kemudian apapun tak bisa diingat lagi.
ooooOOOOoooo Bab 28.
Kelompok Kaum Penjudi Ketika ia tersadar kembali, Cia Siau-hong sudah mulai minum arak, bukan minum arak seorang diri, melainkan terdapat banyak sekali perempuan cantik yang menemaninya minum arak.
Entah araknya adalah arak yang terbaik atau bukan, tapi yang pasti perempuan-perempuan itu semuanya bahenol cantik mendebarkan hati.
Dengan sempoyongan Kian Po-sia bangkit berdiri, lalu dengan sempoyongan menghampirinya, ia menyambar secawan arak lalu diteguk sampai habis.
Ternyata arak itu betul-betul arak bagus.
Para cewek sedang memandang ke arahnya sambil tertawa, sewaktu tertawa mereka tambah lebih cantik dan menarik.
Kian Po-sia memandang sekejap ke arah mereka, lalu memandang pula ke arah Cia Siau-hong.
"Apakah kau juga mengendus bau harum yang semerbak?", ia bertanya.
"Tidak!", Cia Siau-hong menggeleng.
"Kalau aku mengendus bau tersebut, kenapa kau tidak?"
"Sebab aku telah memencet hidungku sendiri!"
"Mengapa kau pencet hidungmu sendiri!"
"Sebab aku sudah tahu bau harum macam apakah itu!"
"Bau harum apa?"
"Obat pemabuk!"
"Kenapa kau harus merobohkan aku dengan obat pemabuk?"
"Dengan begitu kau baru akan merasa agak aneh dan misterius!"
Setelah tersenyum ia menambahkan.
"Sesuatu yang makin misterius akan mendatangkan daya tarik yang makin besar, makin besar daya tariknya, makin puas pula kau merasakannya"
Kian Po-sia memandang ke arahnya, lalu memandang pula cewek-cewek itu, akhirnya tak tahan lagi dia menghela napas panjang.
"Tampaknya kau benar-benar seorang ahli, seorang ahli seratus persen......"
"Mengapa semua orang selalu menyebutkan makan, minum, bermain perempuan lalu berjudi, mengapa tidak dikatakan berjudi, main perempuan, minum, kemudian baru makan........?"
"Entahlah!"
"Aku tahu!"
"Kenapa?"
"Sebab berjudi adalah paling hebat, entah bagaimanapun caramu makan, caramu minum, caramu bermain perempuan, tak akan habis hartamu dalam sekejap mata, tapi bila sudah berjudi maka kemungkinan besar segala sesuatunya akan ludas dalam waktu singkat! Asal harta sudah ludas mau makan juga tak ada yang bisa di makan, mau minum juga tak ada yang bisa di minum, apalagi bermain perempuan, perempuan lacur manakah yang sudi kau gerayangi tanpa mendapat imbalan yang sesuai dengan tarifnya?"
"Ya, ya, betul juga perkataan itu!"
"Makanya soal judi selalu diatur pada bagian yang terakhir!"
"Betul, betul, sedikitpun tak salah!"
"Sekarang, apakah kita sudah tiba pada gilirannya untuk berjudi?"
"Agaknya memang begitulah!"
"Kau bermaksud membawaku kemana untuk bermain judi?"
Belum lagi Cia Siau-hong menjawab, tiba-tiba kakek itu sudah menongolkan kembali kepalanya dari balik pintu seraya menjawab.
"Di sini saja, apapun yang kau inginkan, bisa kau dapatkan semua di sini!"
Tentu saja tempat itu sudah bukan warung bobrok yang kotor lagi.
Tempat ini adalah sebuah bangunan rumah yang sangat indah, mempunyai dekorasi yang indah, perempuan yang cantik, hidangan yang lezat dan arak yang terbaik.
Boleh dibilang apapun yang kau kehendaki bisa kau dapatkan di tempat ini.
Tapi di sana tiada tempat untuk berjudi.
Kalau ingin berjudi maka judi itu harus diselenggarakan sepuas-puasnya, bila kau dengan seorang perempuan telah melakukan perbuatan lain yang amat memuaskan hatimu, dapatkah kau berjudi dengannya hingga sepuas-puasnya? Kecuali perempuan semacam ini, di situ hanya ada Cia Siau-hong seorang.
Tentu saja Kian Po-sia tak ingin berjudi dengan Cia Siau-hong.
Hal ini bukan dikarenakan Cia Siau-hong adalah sahabatnya, sahabatpun bisa berjudi dengan sahabatnya.
.......Antara sahabat dengan sahabat, kadangkala bisa terjadi pula saling bertaruh antara mati dan hidup, malah seringkali karena berjudi berubah menjadi musuh bebuyutan.
.......Akan tetapi bila modalmu untuk berjudi kau dapatkan dari sahabatmu itu, mana mungkin kau bisa berjudi dengannya? Kakek itu telah menarik kembali kepalanya di balik tabir, terpaksa Kian Po-sia harus bertanya kepada Cia Siau-hong.
"Bagaimana caranya kita berjudi?"
"Terlepas bagaimana caranya berjudi, asal ada yang bisa dipertaruhkan itu sudah lebih dari cukup"
"Apakah cuma kita berdua saja?"
"Tentu saja masih ada orang lain"
"Tapi di mana orangnya?"
"Dengan cepat orangnya akan tiba di sini"
"Siapa, siapa saja mereka itu?"
"Entahlah!"
Tapi setelah tersenyum Cia Siau-hong menambahkan.
"Tapi aku tahu, lawan-lawan yang akan dicari si kakek pastilah calon-calon yang baik!"
"Maksudmu?"
"Yang kumaksudkan calon adalah seorang ahli dalam berjudi, atau dengan perkataan lain, apapun yang ingin kita pertaruhkan, sistim pertaruhan apapun yang kita inginkan, mereka pasti dapat melayani keinginan kita itu!"
"Maksudmu bisa melayani keinginan kita, berarti mereka sanggup membayar kekalahan apapun yang akan dideritanya?"
Cia Siau-hong tertawa.
"Mungkin saja tak akan kalah, mungkin yang kalah adalah kita sendiri!"
Bertaruh sama artinya dengan berjudi, siapapun tak bisa bermain curang, siapapun tidak berkeyakinan untuk meraih kemenangan.
"Hari ini kita akan bertaruh apa?", tanya Kian Po-sia. Belum sempat Cia Siau-hong menjawab, kakek itu sudah menongolkan kembali kepalanya dari balik pintu sambil menjawab.
"Hari ini kita bertaruh pedang!"
Kemudian sambil memandang ke arah Cia Siau-hong dengan mata terpicingkan, ia menambahkan.
"Kujamin calon-calon yang ku undang datang hari ini adalah calon-calon yang terbaik"
Selama ini, dalam dunia persilatan terdapat tujuh buah partai persilatan yang paling besar, mereka adalah Bu-tong-pay, Tiam-cong-pay, Hoa-san-pay, Kun-lun-pay, Lam-hay-pay, Go-bi-pay dan Khong-tong-pay.
Oleh karena anak murid Siau-lim-pay tidak mempergunakan pedang, maka partai Siau-lim tidak termasuk dalam bilangan.
Semenjak Thio Sam-hong menemukan inti ilmu pedang yang tertinggi dalam dunia persilatan, partai Bu-tong selalu dianggap sebagai partai terbesar dalam ilmu pedang, anak murid yang belajar pedang dalam perguruan tersebut tak terhitung jumlahnya, jago lihay yang berhasil dalam sejarah tiada habisnya.
Dari kawanan jago pedang partai Bu-tong yang paling termashur menonjolkan namanya mereka disebut Su-leng-siang-giok.
Pemimpin dari Su-leng (empat sakti) adalah Ouyang Im-hok, semenjak terjun ke dalam dunia persilatan, ia sudah mempunyai reputasi tiga puluh enam kali pertarungan besar maupun kecil, selama karirnya dia hanya pernah kalah setengah jurus dari Ku Tojin, seorang tokoh sakti dari dunia persilatan yang bercokol di bukit Pa-san.
Ouyang Im-hok memiliki perawakan yang tinggi semampai dan gagah perkasa, bukan saja merupakan pujaan dari sesama saudara perguruan, reputasinya di mata masyarakat pun juga baik.
Sejak pertarungan di bukti Pa-san, hampir boleh di bilang ia sudah diakui oleh kalangan umum sebagai orang yang paling berharapan untuk meneruskan tampuk pimpinan partai Bu-tong, sedang ia sendiripun cukup pandai menjaga diri dan memelihara nama baik serta kewibawaannya.
Akan tetapi hari ini ternyata ia telah munculkan diri di tempat seperti ini.
Orang pertama yang dilihat Cia Siau-hong juga dirinya.
Tampaknya si kakek memang tidak berbohong, sebab Ouyang Im-hok benar-benar seorang jagoan yang baik.
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ilmu pedang Khong-tong-pay sebenarnya berasal dari satu aliran dengan ilmu pedang aliran Butong- pay, hanya saja aliran pedang tersebut lebih suka berjalan menyimpang daripada berjalan lurus.
Jurus pedang yang berjalan menyimpang bukan berarti tidak baik, malahan kadangkala tampak lebih ganas, keji dan tak kenal ampun.
Gerakan pedang dikatakan muncul dari perasaan watak seorang jago pedang, seringkali pula akan berubah-ubah seperti juga unsur ilmu pedang yang dipelajarinya.
Oleh karena itu sebagian besar anak murid partai Khong-tong kebanyakan berhati keji, ganas dan menyeramkan.
Sebab itu pula meskipun ilmu pedang aliran Khong-tong-pay terhitung juga sebagai suatu ilmu pedang aliran lurus, tapi jarang sekali ada orang yang mengakui ilmu pedang Khong-tong-pay sebagai ilmu silat kaum lurus, hal mana menyebabkan anak murid Khong-tong-pay lebih mudah tersinggung, cepat marah, dan lebih garang, mereka lebih-lebih segan untuk berhubungan dengan kawanan jago dari aliran lain.
Tapi orang persilatan tidak lantas memandang rendah diri mereka lantaran persoalan ini, sebab setiap orang tahu bahwa dalam tahun belakangan ini mereka telah berhasil menciptakan kembali serangkaian ilmu pedang yang lebih menakutkan lagi, konon jurus pedang itu tidak terdiri dari banyak jurus serangan, tapi setiap gerakannya justru merupakan jurus pembunuh yang mematikan lawan.
Untuk bisa mempelajari ilmu pedang semacam ini, sudah barang tentu tak bisa dikatakan mudah, kecuali Tiang-bun Cinjin beserta ke empat orang tianglo-nya, konon dari anak murid Khong-tongpay hanya seorang saja yang sanggup mempergunakan beberapa jurus serangan yang mematikan ini.
Orang itu adalah Chin To-siu! Kebetulan orang yang berjalan mengikuti di belakang Ouyang Imhok adalah Chin To-siu.
Tentu saja Chin To-siu juga seorang jago pedang yang tangguh dan luar biasa.
Bukit Hoa-san letaknya terjal dan berbahaya, ilmu pedang aliran Hoa-san pun amat berbahaya.
Anak murid partai Hoa-san selamanya tidak banyak, sebab untuk menjadi seorang anggota perguruan Hoa-san, setiap orang harus memiliki tekad yang membara, tahan uji, ulet dan pantang menyerah.
Ketua partai Hoa-san yang lampau memiliki watak yang angkuh, aneh, dan suka menyendiri, terhadap anak muridnya selalu ketat, keras dan tegas, selamanya dia melarang anak muridnya meninggalkan bukit barang selangkahpun.
Bwe Tiang-hoa adalah satu-satunya orang yang bisa naik turun bukit Hoa-san secara bebas dan leluasa, dia adalah satu-satunya murid partai Hoa-san yang melakukan perjalanan dalam dunia persilatan.
Sebab ia menaruh kepercayaan penuh terhadap kemampuan dan ketangguhan Bwe Tiang-hoa.
Tak bisa diragukan lagi, Bwe Tiang-hoa pun seorang jago pedang yang tangguh dan luar biasa.
Ilmu pedang Hui-liong-kiu-si (Sembilan gerakan naga terbang) dari partai Kun-lun termashur dalam dunia persilatan dan menggetarkan seluruh dunia, namun di antara murid-muridnya hanya ada satu yang merupakan naga.
Thian Cay-liong adalah naga tersebut.
Tak dapat disangkal lagi, Thian Cay-liong pun seorang jago pedang yang tangguh luar biasa.
Bukit Tiam-cong-san mempunyai pemandangan alam yang indah, empat musim berlalu bagaikan musim semi, anak muridnya sejak kecil sudah masuk perguruan dan dibesarkan dalam suasana seperti ini, sebagian muridnya adalah manusia-manusia sejati yang lemah lembut dan berhati mulia, terhadap nama dan kedudukan sikap mereka terlalu hambar.
Sekalipun ilmu pedang aliran Tiam-cong enteng, lincah dan cepat, namun jarang ada jurus-jurus ampuh yang mematikan.
Meski begitu tak seorang jago silatpun yang berani memandang enteng partai Tiam-cong, karena partai Tiam-cong mempunyai serangkaian ilmu pedang andalan yang tak akan membiarkan orang lain memandang rendah apa lagi mencemoohnya.
Cuma saja rangkaian ilmu pedang itu harus dilakukan oleh tujuh orang sekaligus, dengan kekuatan bertujuh, ilmu pedang itu baru akan menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, dalam perguruan Tiam-cong setiap generasi pasti terdapat tujuh orang murid utama, orang persilatan selalu menyebut mereka sebagai Tiam-cong-jit-kiam (Tujuh jago pedang dari partai Tiam-cong).
Selama tiga ratus tahun belakangan ini, Tiam-cong-jit-kiam dari setiap generasi selalu merupakan jago-jago pedang yang amat tangguh dan mengerikan.
Go To adalah manusia paling top di antara Tiam-cong-jit-kiam generasi ini.
Tentu saja Go To pun seorang jago pedang yang tangguh dan luar biasa sekali.
Hay-lam-pay letaknya di Lam-hay (Lautan selatan) jauh di luar daratan dan letaknya jauh terpencil dari keramaian manusia, bila tiada keyakinan untuk meraih kemenangan, tak nanti mereka akan mengutus orangnya untuk mengarungi samudra dan datang ke barat.
Dalam sepuluh tahun belakangan ini, jago-jago pedang dari Hay-lam-pay hampir musnah dari atas daratan Tionggoan, dalam keadaan seperti inilah tiba Le Peng-cu munculkan diri.
Orang ini baru berusia tiga puluh tahun, berlengan tunggal, pincang, jelek lagi tampangnya, namun ia memiliki serangkaian ilmu pedang yang manis dan indah, asal sudah turun tangan, maka ia dapat membuat orang segera merasa lupa bahwa dia adalah manusia pincang yang berlengan tunggal, lebih-lebih lagi terhadap kejelekan wajahnya.
Manusia semacam ini, sudah barang tentu merupakan seorang jago yang tangguh dan luar biasa pula.
Tak dapat disangkal lagi, ke enam orang ini merupakan inti kekuatan dari kawanan jago muda generasi sekarang, setiap orang merupakan manusia pilihan yang menonjol dengan kemampuan yang mengerikan, mereka sudah pasti jauh berbeda dengan yang lain-lainnya.
Tapi yang paling istimewa bukanlah mereka, melainkan Lei Tin-tin yang disebut orang persilatan sebagai Lo-sat Siancu (Dewi iblis cantik).
Gunung Go-bi adalah sebuah gunung yang sangat indah.
Semenjak Biau-in Suthay memegang tampuk pimpinan perguruan tersebut, kekuatan partai Go-bi agaknya sudah terhimpun semua pada murid-murid perempuan.
Tentu saja Lei Tin-tin adalah seorang perempuan.
Semenjak Liau-in Suthay memegang tampuk pimpinan perguruan, murid perempuan partai Go-bi selalu harus mencukur rambutnya dan menjadi seorang nikouw (rahib perempuan).
Tapi Lei Tin-tin terkecuali, dia adalah satu-satunya murid perempuan yang dikecualikan dari peraturan tersebut.
Ketua partai Go-bi angkatan yang lalu adalah orang yang paling tua usianya di antara tujuh orang ciangbunjin lainnya, ketika masuk menjadi anggota partai Go-bi dan mencukur rambutnya menjadi nikouw, usianya telah mencapai tiga puluh tahunan.
Tak seorang manusiapun yang tahu, pada usia sebelum mencapai tiga puluh tahunan, perbuatan apa saja yang pernah dilakukan, tiada pula orang yang mengetahui sejarah maupun asal-usulnya di masa lampau, lebih-lebih lagi tiada yang menyangka pada usianya yang ke enam puluh tiga, ia berhasil menjadi ciangbunjin dari partai Go-bi.
Karena pada saat itu banyak tersiar berita sensasi dalam dunia persilatan, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa dulunya dia adalah seorang pelacur kenamaan dari kota Yang-ciu.
Terlepas dari masalah manusia macam apakah dia di masa lalunya, semenjak masuk menjadi anggota perguruan Go-bi, ia dapat melakukan semua perbuatan yang tak mungkin bisa dilakukan oleh perempuan istimewa macam apapun juga.
Sejak rambutnya dicukur gundul dan menjadi pendeta, ia tak pernah tertawa lagi......atau paling tidak, tak pernah ada orang menyaksikan ia tertawa.
Ia makan makanan berpantang, hidup menyiksa diri, setiap hari hanya makan sekali, itupun semangkuk nasi beras merah dan semangkuk kecil air tawar.
Sebelum menjadi pendeta sebetulnya ia bertubuh montok dan segar, tapi tiga tahun kemudian tubuhnya sudah berubah menjadi kurus bagaikan lidi.
Ketika menjabat sebagai ketua partai Go-bi, bobot badannya tinggal tiga puluh sembilan kati saja, mereka yang pernah berjumpa dengannya tak seorangpun yang percaya kalau di dalam tubuhnya yang kurus kecil itu bisa tersimpan kekuatan yang demikian besar serta tekad yang begitu kuat.
Ia mengharapkan anak murid perguruannya bisa menirukan pula cara hidupnya, pantang makanan berjiwa, hidup menyiksa diri, tak boleh mengumbar napsu, lebih-lebih tak boleh minum arak.
Menurut anggapannya setiap gadis remaja pasti akan terdapat banyak napsu yang normal maupun abnormal, tapi jika ia seringkali berada dalam keadaan setengah lapar, maka tak mungkin pikirannya akan melayang memikirkan hal-hal yang lain.
Tapi sikapnya terhadap Lei Tin-tin ternyata jauh berbeda.
Hampir boleh dikata Lei Tin-tin dapat melakukan setiap persoalan yang menjadi idaman hatinya, belum pernah ada orang yang melarangnya atau memberi batasan-batasan kepadanya.
Sebab walaupun Lei Tin-tin amat memperhatikan soal makanan dan minuman memperhatikan soal pakaian, meskipun wataknya kasar dan berangasan, binal, liar, sukar diatur, namun belum pernah melakukan kesalahan, seperti matahari yang tak pernah salah terbit dari sebelah barat.
Selama ini dunia persilatan adalah dunianya kaum lelaki, perasaan lelaki jauh lebih keras daripada kaum perempuan, kekuatan tubuh merekapun jauh lebih kuat ketimbang kaum perempuan, dari sekian banyak pahlawan dan jago kenamaan dalam dunia persilatan selamanya jarang sekali muncul nama perempuan.
Tapi hal itu tidak berlaku untuk Lei Tin-tin.
Selama beberapa tahun belakangan ini, ia selalu berjuang untuk menegakkan kewibawaan partai Go-bi, mengangkat nama serta martabat perguruannya, bahkan pekerjaan yang dilakukan olehnya, jauh lebih banyak daripada pekerjaan yang dilakukan sekian banyak anak murid dari perguruan lainnya.
Selain kesemuanya itu, Lei Tin-tin pun merupakan seorang gadis yang cantik jelita.
Hari ini dia mengenakan gaun panjang yang berwarna hijau muda, bahan kainnya, model bajunya maupun potongannya semua termasuk nomor satu, sekalipun tak bisa dikatakan terlalu tembus pandangan, tapi di tempat yang terang benderang semacam ini, lamat-lamat masih dapat tertangkap lekukan pinggangnya yang ramping, payudaranya yang montok, pahanya yang mulus serta kakinya yang ramping.
Tempat itu sangat terang, walaupun sinar sang surya tak dapat menyorot masuk, tapi di bawah sinar lampu yang terang benderang, hakekatnya pakaian yang ia kenakan ibaratnya selapis kabut tebal yang menyelimuti sekujur badannya.
Tapi dia tak ambil perduli, sedikitpun tidak ambil perduli, malahan sedikit rada acuh.
Apa yang suka ia kenakan diapun mengenakannya dengan bebas tanpa menguatirkan sesuatu apapun juga.
Karena dialah Lei Tin-tin, perduli pakaian apapun yang dia kenakan, orang tak akan berani memandang enteng dirinya, apalagi memandang hina atau mencemoohnya.
Begitu masuk ke dalam ruangan, dia langsung berjalan menghampiri Cia Siau-hong, berdiri di hadapannya dan menatap Sam-sauya dari keluarga Cia ini lekat-lekat Cia Siau-hong pun menatapnya lekat-lekat, tak pernah ia tolak tatapan orang lain dengan begitu saja.
Sebab dialah Sam-sauya dari keluarga Cia.
Sam-sauya dari perkampungan Sin-kiam-san-ceng, telaga Liok-sui-oh, lembah Cui-im-kok.
Tiba-tiba gadis itu tertawa.
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu!", katanya pelan.
"aku tahu semua jalan pemikiranmu"
Setelah berhenti sejenak dan tertawa, ia berkata lebih jauh.
"Kau pasti ingin tahu apakah aku seringkali menemani kaum lelaki naik ranjang dan tidur bersama mereka?"
Itulah kata-katanya yang pertama! Suatu ucapan yang aneh, janggal dan sama sekali di luar dugaan siapapun.
ooooOOOOoooo Bab 29.
Bertaruh Pedang Ada sementara orang yang rupanya sejak dilahirkan sudah memiliki perbedaan daripada orang lain.
Entah berada dalam saat apapun, di tempat manapun, selalu gemar mengucapkan kata-kata yang menggemparkan, melakukan perbuatan yang menggetarkan hati.
Tak bisa disangkal lagi Lei Tin-tin adalah manusia semacam ini.
Cia Siau-hong dapat memahami perasaan manusia semacam ini, sebab dahulupun ia adalah manusia semacam ini, dia gemar pula membuat orang lain merasa terkejut.
Maka ia sama sekali tidak menampilkan rasa terkejut, walaupun hanya sedikitpun juga, hanya tanyanya dengan hambar.
"Apakah kau ingin mendengarkan kata-kataku yang jujur?"
"Tentu saja ingin!"
"Kalau begitu biar kuberitahukan kepadamu, aku hanya ingin tahu dengan cara apakah aku baru akan berhasil mengajakmu naik ke tempat tidur dan menemani aku semalam?"
"Kau hanya mempunyai satu cara!", jawab Lei Tin-tin cepat.
"Cara yang bagaimana?"
"Bertaruh!"
"Bertaruh?"
"Asal kau dapat menangkan aku, apapun yang kau kehendaki pasti akan kuturuti!"
"Seandainya aku yang kalah, maka apapun yang kau kehendaki, aku harus mengabulkannya pula?", tanya Cia Siau-hong.
"Tepat sekali!"
"Hmm.....! Taruhan ini cukup besar"
"Kalau sudah ingin bertaruh lebih baik bertaruh yang agak besaran, sebab makin besar taruhannya semakin menarik"
"Apa yang ingin kau pertaruhkan?"
"Bertaruh pedang!"
Cia Siau-hong segera tertawa.
"Kau benar-benar ingin bertaruh pedang denganku?", katanya.
"Kau adalah Cia Siau-hong, jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, Cia Siau-hong. Kalau aku tidak bertaruh pedang denganmu, apa pula yang musti ku pertaruhkan denganmu? Apakah kau akan suruh aku seperti bocah cili bertaruh gundu di atas tanah?"
Sambil mendongakkan kepalanya, ia berkata lebih jauh.
"Bila bertaruh dengan setan arak, maka musti bertaruh arak, jika ingin bertaruh dengan Cia Siauhong, maka harus bertaruh pedang, bila bertaruh yang lain sekalipun, memang juga tiada artinya"
Mendengar perkataan itu Cia Siau-hong tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeeeehhhh....... heeeeeehhhhhh....... heeeeehhhhhhh........ bagus, Lei Tin-tin memang tidak malu disebut Lei Tin-tin"
Lei Tin-tin kembali tertawa.
"Sungguh tak kusangka Sam-sauya yang termashur namanya di seantero jagad ternyata tahu juga akan namaku"
Kali ini ia benar-benar tertawa, bukan tertawa penuh ejekan dan cemoohan seperti apa yang diperlihatkannya tadi, juga bukan tertawa khas seorang pendekar perempuan.
Tertawanya kali ini adalah tertawa asli dari seorang perempuan, seorang perempuan tulen.
Cia Siau-hong berkata.
"Sekalipun kau belum pernah melihat mutiara, ketika pandangan pertama kau melihat mutiara tersebut, otomatis kau akan mengetahui dengan sendirinya bahwa benda itu adalah mutiara"
Ia tersenyum, setelah menatapnya lekat-lekat, terusnya.
"Ada sementara orang persis pula dengan mutiara tersebut sekalipun kau belum pernah berjumpa dengannya, tapi di kala kau bertemu dengannya untuk pertama kalinya, kaupun akan segera mengenalinya dengan cepat......."
Suara tertawa Lei Tin-tin makin menawan hati, katanya.
"Tak heran kalau orang lain selalu berkata, bahwa Sam-sauya dari keluarga Cia bukan saja memiliki sebilah pedang yang dapat menggetarkan perasaan kaum lelaki, iapun memiliki selembar bibir yang bisa menggetarkan hati kaum wanita"
Sesudah menghela napas panjang, terusnya.
"Sayangnya, di kala para perempuan sudah mulai tergerak hatinya, diapun akan segera menghadapi kenyataan yang pahit, kenyataan yang dapat membuat orang merasa sedih"
"Tahukah kau seseorang yang selalu dapat membuat orang lain merasa sedih, suatu ketika diapun akan mengalami juga saat untuk merasa sedih.....!"
Walaupun suara Siau-hong masih tetap tenang, namun telah membawa suatu nada kekesalan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Lei Tin-tin menundukkan kepalanya, lalu menjawab.
"Ya, seseorang yang selalu membuat orang lain merasa sedih, suatu ketika dia sendiripun akan mengalami saatnya untuk bersedih hati......"
Setelah mengulangi kembali kata-kata itu dengan lembut, tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan menatap laki-laki itu lekat-lekat, katanya lebih lanjut.
"Perkataan ini pasti akan kuingat terus untuk selamanya!"
Cia Siau-hong tertawa terbahak-bahak.
"Haaaahhhh....... haaaaaahhhhh....... haaaaaahhhhh...... bagus! Menurut kau, bagaimana caranya kita hendak bertaruh?"
"Akupun sering mendengar orang berkata bahwa sewaktu Sam-sauya mencabut pedangnya, ia sudah tak berperasaan lagi, belum pernah ia memberi peluang bagi orang lain!"
"Pedang baja memang merupakan sebuah benda yang tak berperasaan, jika di ujung pedang masih berperasaan, apa pula gunanya untuk dicabut keluar?"
"Oleh sebab itu asal pedangmu sudah diloloskan, pihak lawan segera akan mati di ujung pedangmu itu, hingga kini belum pernah ada orang yang sanggup menahan tiga jurus seranganmu!"
"Mungkin! Hal itu dikarenakan dalam tiga jurus saja, aku telah mengerahkan segenap kekuatan yang kumiliki!"
"Dalam tiga jurus itu, jika kau tak bisa meraih kemenangan, mungkinkah segera akan kalah?"
"Ya, kemungkinan besar", Cia Siau-hong tersenyum, lalu dengan nada hambar lanjutnya.
"untung saja hingga kini aku belum pernah mengalami keadaan seperti ini!"
"Siapa tahu akan kau jumpai pada saat ini?", sambung Li Tin-tin tiba-tiba.
"Oya?"
Lei Tin-tin telah berpaling, sedangkan Ouyang Im-hok, Chin To-siu, Bwe Tiang-hoa, Thian Cayliong, Go To serta Le Peng-cu masih tetap berdiri di belakangnya dengan mulut membungkam. Ia memandang sekejap ke arah mereka, lalu ujarnya.
"Kau kenal dengan beberapa orang ini?"
"Walaupun belum pernah bersua muka, semestinya akupun bisa mengenali mereka semua!"
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus, aku bertaruh setiap orang dari mereka semua sanggup menerima tiga jurus seranganmu!"
"Setiap orang?"
"Ya, setiap orang ! Bila ada seorang saja di antara mereka tak sanggup menerima ke tiga jurus seranganmu itu, anggap saja aku yang kalah.........."
Setelah tertawa ewa, gadis itu berkata kembali.
"Pertaruhan semacam ini, mungkin juga tak bisa dianggap adil, tentu saja kau boleh menolak ajakanku ini, sebab kalau betul kau sudah mengerahkan segenap tenagamu di saat melancarkan ke tiga buah jurus serangan itu, maka di kala bertarung dengan orang yang terakhir, kemungkinan besar tenaga dalammu sudah banyak berkurang"
"Pertarungan antara sesama jago persilatan yang di adu bukan tenaga melainkan taktik pertarungan, toh kita bukan banteng-banteng yang hendak mengukur kekuatan?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Lei Tin-tin, serunya setengah berteriak.
"Jadi kau bersedia untuk bertaruh?"
"Kedatanganku hari ini khusus untuk bertaruh secara besar-besaran, masih adakah cara bertaruh lain yang jauh lebih menggembirakan dan lebih memuaskan daripada pertaruhan ini?"
Cia Siau-hong mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak, terusnya.
"Bisa berjumpa muka dengan tujuh orang jago paling top dari tujuh partai pedang terbesar di dunia dalam seharian saja, baik menang atau kalah peristiwa ini betul-betul merupakan suatu peristiwa yang paling menggembirakan hatiku!"
"Bagus! Cia Siau-hong memang tak malu disebut sebagai Cia Siau-hong......!", puji Lei Tin-tin.
"Apakah kau telah bersiap-siap untuk turun tangan lebih dulu pada babak pertama?"
"Aku tahu Sam-sauya selalu enggan untuk bertarung melawan kaum wanita, mana aku berani berebutan dengan mereka? Apalagi......."
Setelah tersenyum manis, terusnya.
"Walaupun pertarungan antara jago lihay yang di adu adalah teknik pertarungan, bukan tenaga, orang yang turun tangan lebih dulu toh pada akhirnya akan menderita kerugian juga, mana mungkin suheng-suheng ku ini tega membiarkan aku menderita kerugian?"
"Ehmm.......masuk di akal juga perkataanmu itu"
Lei Tin-tin tertawa manis.
"Sedikit atau banyak di kala seorang perempuan berada di hadapan kaum lelaki, pasti akan menunjukkan sikap tak tahu aturan, maka sekalipun aku telah salah berbicara, semua orang juga tak akan membenci kepadaku........"
Ouyang Im-hok, Chia To-siu, Bwe Tiang-hoa, Thian Cay-liong, Go To serta Le Peng-cu masih saja berdiri termenung di sana, entah dikarenakan mereka tak sanggup berbicara, entah karena apa yang ingin mereka katakan telah diutarakan oleh Lei Tin-tin.
Cia Siau-hong menatap sekejap ke arah mereka, kemudian ujarnya.
"Siapakah yang akan turun tangan lebih dahulu?"
"Aku!", jawab seseorang sambil pelan-pelan tampil ke depan. Cia Siau-hong segera menghela napas panjang.
"Aaaaiiii....! Aku tahu, pasti kau yang akan tampil lebih dahulu!"
Orang ini tentu saja Ouyang Im-hok.
Bagaimanapun juga partai Bu-tong memang sebuah perguruan kenamaan dari partai lurus, dalam keadaan seperti ini tak mungkin akan mengundurkan diri dan bersembunyi seperti cucu kura-kura.
Cia Siau-hong kembali menghela napas panjang, katanya.
"Jika bukan kau yang turun tangan lebih dulu, mungkin aku akan merasa kecewa sekali, jika kau yang turun tangan lebih dahulu, akupun merasa amat kecewa!"
"Kecewa?", kata Ouyang Im-hok.
"Konon belakangan ini pihak Khong-tong-pay berhasil menciptakan sejenis ilmu pedang ampuh yang berbahaya dan ganas, sebenarnya aku mengira anak murid Khong-tong-pay akan saling berebut denganmu"
Perduli siapapun itu orangnya, mereka pasti akan mendengar bahwa di balik ucapan tersebut terselip sindiran yang tajam, hanya Chin To-siu seorang yang seakan-akan sama sekali tidak mendengarnya.
"Khong-tong-pay atau Bu-tong-pay, asalnya dari satu sumber yang sama, siapa yang maju duluan sama saja"
Pelan-pelan Cia Siau-hong mengangguk, sahutnya.
"Betul, siapa yang turun tangan lebih dulu sama saja!"
Ketika kata terakhir diutarakan keluar, ia sudah turun tangan lebih duluan.
Sebetulnya Go To berdiri di paling jauh, tapi begitu badan Siau-hong berkelebat lewat, tahu-tahu ia sudah mencabut keluar pedang yang tersoren di pinggang Go To.
Lalu ketika kata terakhir diucapkan tadi, ia sudah tiba kembali di hadapan Chian To-siu, mendadak sambil memutar balik mata pedang, ia sentuhkan gagang pedang tersebut kepada Chin To-siu.
Menghadapi kejadian seperti ini, Chin To-siu tertegun, terpaksa ia menerima pedang itu.
Siapa tahu secepat kilat Cia Siau-hong telah turun tangan kembali dan meloloskan pedang yang tersoren di pinggangnya.
Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu mata pedang sudah berada di depan mata Chin Tosiu.
Sekalipun sedang menghadapi mara-bahaya, Chin To-siu tidak menjadi gugup, sambil memutar pedangnya ia sambut datangnya ancaman tersebut.
"Criiiiing....! Dentingan nyaring berkumandang memecahkan kesunyian, sebilah pedang sudah tergetar lepas dari genggaman dan mencelat ke tengah udara. Cahaya pedang itu dari hijau berubah menjadi biru, inilah pedang Cing-im-kiam yang terbuat dari baja asli. Pedang semacam ini seluruhnya berjumlah tujuh bilah, pedang yang khusus digunakan oleh Thiam-cong-jit-kiam, cuma sekarang telah berada di tangan Chin To-siu, kemudian dari tangan Chin To-siu mencelat kembali ke tengah udara. Menanti cahaya pedangnya sudah lenyap, pedang itu sudah berada kembali di tangan Cia Siauhong, sementara pedang milik Chin To-siu telah disarungkan kembali ke dalam sarung yang tersoren di pinggang Chin To-siu. Semua orang menjadi tertegun oleh kejadian tersebut. Paras muka Chin To-siu sendiri telah berubah menjadi pucat pias bagaikan mayat. Baginya peristiwa yang barusan terjadi hakekatnya bagaikan sebuah impian yang buruk. Apa lacur impian buruk tersebut justru merupakan suatu kenyataan yang tak bisa dibantah. Cia Siau-hong tidak memandang lagi ke arahnya, walau hanya sekejappun, ia berjalan ke depan menghampiri Go To, lalu katanya.
"Ini pedangmu?"
Ia mengangsurkan kembali pedang itu dengan sepasang telapak tangannya, terpaksa Go To harus menyambarnya, tangan yang menyambut pedang itu masih menggigil keras, kemudian secara tiba-tiba ia menghela napas panjang, katanya dengan sedih.
"Tak usah bertarung lagi, aku mengaku kalah"
"Kau benar-benar mengaku kalah?", Lei Tin-tin menegaskan. Pelan-pelan Go To mengangguk.
"Jangan kuatir, aku tak akan melupakan janji kita!", katanya.
"Aku percaya kepadamu!"
Go To berpaling kembali ke arah Cia Siau-hong, dia seakan-akan ingin mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah katapun yang sanggup di utarakan keluar, akhirnya tanpa berpaling lagi ia memutar badannya dan pergi meninggalkan tempat itu.
"Kalau menang ya menang, kalau kalah ya kalah, anak murid Thiam-con-pay benar-benar seorang lelaki sejati!", puji Cia Siau-hong.
"Untung saja aku bukan seorang lelaki sejati!", tiba-tiba Le Peng-cu berkata dengan dingin.
"Apa baiknya kalau bukan laki-laki sejati?"
"Justru lantaran aku bukan lelaki sejati, maka aku tak akan berebut untuk turun tangan lebih dulu"
Mencorong sinar tajam dari balik matanya yang tunggal, sekulum senyuman licik menghiasi wajahnya yang jelek, katanya lebih lanjut.
"Orang yang turun tangan terakhir bukan saja tak perlu bersusah payah lagi, pula mempunyai banyak kesempatan untuk meraba jalannya ilmu pedangmu, meski tak dapat membinasakan kau di ujung pedangnya, paling tidak bukan suatu kesulitan untuk menyambut ketiga jurus seranganmu"
"Kau betul-betul bukan seorang lelaki sejati", kata Cia Siau-hong.
"kau adalah seorang siaujin!"
Ia masih saja tertawa, katanya kembali.
"Tapi siaujin asli paling tidak jauh lebih baik daripada seorang kuncu gadungan, paling tidak siaujin asli masih mau berbicara sejujurnya"
Mendadak Bwe Tiang-hoa tertawa dingin ujarnya.
"Kalau begitu orang yang paling rugi adalah manusia semacam aku ini"
"Kenapa?", tanya Cia Siau-hong.
"Aku bukan seorang kuncu (manusia sejati) pun bukan seorang siaujin (manusia rendah), sekalipun tak ingin berebut duluan, akupun enggan untuk ketinggalan paling akhir"
Pelan-pelan ia tampil ke depan, ditatapnya Cia Siau-hong lekat-lekat, kemudian katanya.
"Kali ini kau bermaksud untuk meminjam pedang siapa?"
"Pedangmu!"
Buat sementara orang, pedang tak lebih hanya sebuah senjata, sebuah senjata yang terbuat dari baja, bisa dipakai untuk melindungi keselamatan sendiri, bisa pula dipakai sebagai alat pembunuh.
Tapi bagi sementara orang yang lain, makna dari sebilah pedang tidaklah demikian.
Karena mereka telah mempersembahkan segenap kehidupannya untuk pedang mereka, nyawa mereka, kehidupan mereka telah melebur menjadi satu dengan pedang mereka.
Sebab hanya pedang baru bisa mendatangkan nama dan kedudukan bagi mereka, dengan pedang mereka bisa meraih kekayaan serta kejayaan, tapi dengan pedang pula mereka akan memperoleh penghinaan, rasa malu bahkan kematian.
Selama pedang masih ada, orangnya tetap ada, pedangnya hancur, orangnya ikut mampus.
Buat mereka, pedang bukan hanya berarti sebilah pedang saja, pedang dapat pula menjadi satusatunya sahabat mereka yang paling dipercaya, sedang dalam anggapan mereka memiliki kehidupan, memiliki nyawa.
Jika dibilang mereka rela kehilangan bini daripada kehilangan pedang miliknya, perkataan ini bukan suatu kata-kata bualan belaka, pun bukan suatu perkataan yang berlebihan.
Go To adalah manusia semacam ini.
Dalam anggapannya perduli dalam keadaan macam apapun, kehilangan pedang milik sendiri merupakan suatu kesalahan yang tak dapat diampuni, suatu aib yang tak bisa dicuci bersih dengan pembalasan macam apapun, maka sesudah kehilangan pedangnya, ia merasa tak punya muka lagi untuk tetap tinggal di sana.
Bwe Tiang-hoa juga merupakan tipe manusia begini.
Setelah ada Go To sebagai contoh yang paling jelas, tentu saja ia semakin berhati-hati untuk melindungi serta menjaga pedangnya.
Sekarang secara terang-terangan Cia Siau-hong mengatakan di hadapannya bahwa dia hendak meminjam pedangnya.
Mendengar ucapan itu Bwe Tiang-hoa tertawa, tertawa terbahak-bahak.
Tangannya menggenggam gagang pedang itu kencang-kencang, otot hijau pada punggung tangannya telah menonjol keluar semua karena penggunaan tenaga yang kelewat besar.
Tak seorangpun dapat merampas pedang tersebut dari tangannya, kecuali berikut tangannya dipenggal sekali.
Terhadap kemampuannya ia menaruh kepercayaan yang tinggi, tapi ia sudah memandang rendah kemampuan Cia Siau-hong.
Di kala ia mulai tertawa, Cia Siau-hong sudah turun tangan.
Tak seorangpun dapat melukiskan bagaimana cepatnya serangan yang dia lancarkan itu, tiada orang pula yang bisa melukiskan kelincahan serta kehebatan gerakan tubuhnya.
Sasaran serangannya bukan pedang di tangan Bwe Tiang-hoa, melainkan sepasang matanya.
Bwe Tiang-hoa melompat mundur sambil putar tangannya meloloskan senjata.
Meloloskan pedang terhitung pula sebagai kepandaian paling penting dalam ilmu pedang, terhadap hal tersebut anak murid Hoa-san-pay tak pernah memandang enteng atau memandang remeh.
Gerak Bwe Tiang-hoa sewaktu meloloskan pedang cepat sekali, tapi sewaktu melancarkan serangan ternyata jauh lebih cepat lagi, baru saja cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu mata pedang sudah berada di bawah iga kiri Cia Siau-hong.
Siapa tahu pada saat itulah, mendadak sikutnya didorong orang dengan pelan, kontan keseimbangan tubuhnya lenyap dan tak berbekas, ia menjadi sempoyongan dan merasakan tubuhnya seolah-olah sedang melayang di tengah mega.
Menanti ia berhasil mengendalikan keseimbangan badannya, tahu-tahu pedang yang berada di tangannya itu sudah berpindah tangan.
Kini pedang tersebut berada di tangan Cia Siau-hong.
Peristiwa ini bukan suatu kejadian yang aneh, juga bukan karena pengaruh ilmu sihir, inilah gerakan To-thian-huan-jit-toh-kiam-si (Mencuri langit berantai dari gerakan merampas pedang) yang tiada keduanya milik Sam-sauya dari keluarga Cia.
Silas pandangan, tampak jelas bahwa gerakan tersebut tidak rumit ataupun membingungkan, tapi setiap kali dipergunakan maka sekalipun tak pernah meleset.
Senyuman yang menghiasi wajah Bwe Tiang-hoa segera berubah menjadi beku, semacam mimik wajah yang aneh tapi misterius dengan cepat menyelimuti seluruh wajahnya.
Tiba-tiba berkumandang suara pekikan nyaring memenuhi seluruh angkasa, suara itu seakanakan datang dari luar langit.
Serentetan cahaya pedang berkelebat lewat menyusul berkumandangnya suara pekikan tersebut, setelah berputar satu lingkaran di tengah udara, mendadak secepat kilat meluncur ke bawah dan menyergap dengan hebatnya.
Inilah jurus Hui-liong-kiau-si (Sembilan gerakan naga terbang) yang termashur dari partai Kun-lun, pedangnya berkelebat cepat bagaikan seekor naga sakti, orangnya meluncur seakan-akan dibungkus selapis awan, kehebatan dari serangan ini hakekatnya tak bisa ditandingi oleh gerakan pedang dari perguruan manapun juga.
Sayang sekali sasarannya adalah Cia Siau-hong.
Pedang Cia Siau-hong ibaratnya segulung angin, bagaimanapun besarnya kekuatan lawan maka pada akhirnya akan berhembus lewat menimpa di tubuhnya.
Meski angin itu lembut, tapi dinginnya serasa membekukan badan.
Darah yang beredar dalam tubuhnya seakan-akan berubah menjadi beku, tubuhnya dengan cepat terjatuh kembali keras-keras.
ooooOOOOoooo Bab 30.
Antara Hidup dan Mati Angin telah berhenti berhembus.
Napas manusia seakan-akan ikut pula berhenti.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar Ouyang Im-hok menghela napas panjang.
"Aaaaiii....! Benar-benar suatu ilmu pedang yang tiada tandingannya di kolong langit!"
"Sayang sekali, caranya melancarkan serangan tidak terlampau jujur", sambung Lei Tin-tin dingin.
"dengan kedudukannya sebagai Sam-sauya dari keluarga Cia, tidak seharusnya dia mencari kemenangan dengan mengandalkan kecerdikan!"
Tiba-tiba Kian Po-sia berkata.
"Ia sedang menderita sakit, di bawah kepungan kalian tujuh orang jago lihay, tentu saja ia musti menggunakan taktik bertarung cepat dan membereskan musuh lebih duluan, kalau tidak begitu, mana mungkin bisa meraih kemenangan?"
"Kau juga mengerti tentang ilmu pedang?", tanya Lei Tin-tin.
"Aku tidak mengerti soal pedang, tapi teori semacam ini dapat ku pahami"
Mendadak ia menghela napas panjang, pelan-pelan terusnya.
"Padahal belum tentu dia harus menangkan pertaruhan ini, sayangnya dia adalah Cia Siau-hong, asal sehari dia masih hidup, maka dia hanya boleh menang, tak boleh kalah, karena ia tak boleh membiarkan nama baik perkampungan Sin-kiam-san-ceng hancur di tangannya"
Tiba-tiba Lei Tin-tin tertawa, katanya.
"Masuk di akal, perkataanmu memang masuk di akal, Sam-sauya dari keluarga Cia memang tidak boleh kalah!"
"Bila ia tak kalah, maka kaulah yang bakal kalah, apa yang musti kau gembirakan?", seru Kian Posia.
"Kau tidak mengerti?"
"Aku tidak mengerti!"
"Sungguh tak kusangka di dunia ini ternyata masih terdapat manusia yang tak tahu urusan seperti kau"
Air mukanya bagaikan perubahan cuaca di udara, baru saja senyumannya menghiasi bibir, ia telah menarik muka kembali seraya berkata.
"Kalau kau memang tidak mengerti, kenapa aku musti memberitahukan kepadamu?"
"Biar aku saja yang memberitahukan kepadamu!", tiba-tiba Le Peng-cu berteriak keras. Paras muka Lei Tin-tin segera berubah hebat, serunya dengan cepat.
"Apa yang telah kalian ucapkan masih termasuk dalam hitungan tidak?"
"Apa yang barusan kita bicarakan? Aku sudah melupakannya!"
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku belum lupa", kata Ouyang Im-hok. Sikapnya berubah menjadi serius dan hebat, katanya lebih lanjut.
"Kami telah menyanggupi permintaannya sebelum menang kalah ditentukan, rahasia yang lain tak akan dibicarakan"
Lei Tin-tin menghembuskan napas lega setelah mendengar perkataan itu.
"Untung saja kau adalah seorang kuncu yang memegang janji"
"Dia adalah seorang kuncu, bila dia harus memegang janji maka itu adalah urusannya", kata Le Peng-cu dingin.
"sedangkan aku tak lebih hanya seorang siaujin, perkataan dari seorang siaujin boleh dianggap bagaikan kentut busuk!"
Tangannya sudah menggenggam gagang pedang erat-erat, katanya lebih lanjut.
"Bila kentutku sudah akan kulepaskan, siapapun tak akan mampu menghalangi niatku"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Cia Siau-hong, sambil tersenyum katanya.
"Berkentut pun merupakan salah satu pekerjaan besar dalam kehidupan manusia, kujamin tak akan ada orang yang sanggup menghalangi dirimu!"
"Kalau begitu bagus sekali!"
Sinar matanya pun memancarkan sinar yang berkilauan, lanjutnya lebih jauh.
"Kali ini kami bisa datang bertaruh pedang denganmu, karena perempuan inilah yang datang mencari kami!"
"Bisa kuduga sebelumnya!"
"Tapi kau tak akan menduga, kalau ia telah bertaruh dengan kami setiap orang!", kata Le Peng-cu lagi.
Mayat Kesurupan Roh -- Khu Lung Kedele Maut Karya Khu Lung Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id