Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 23


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 23



Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung

   

   Seru Hek Seng-thian tercengang.

   "Bukan baru satu dua hari mereka melakukan perzinahan, selama ini aku hanya mengawasi terus secara diam-diam, untuk sementara tidak bakal kusinggung rahasia ini, tapi bila kesempatan telah tiba...."

   "Apa yang hendak kau lakukan bila kesempatan telah tiba?"

   "Begitu kesempatan telah tiba, akan kuajak Che Toa-ho menyaksikan permainan busuk mereka, hmmm...

   hmmm...

   kalau sudah begitu, mana mungkin dia akan melepaskan Suto Siau begitu saja?"

   "Tapi...

   tapi...

   belum tentu Che Toa-ho sanggup menghadapi Suto Siau."

   Kontan Seng Toa-nio tertawa terkekeh.

   "Mungkin saja Che Toa-ho bukan tandingannya, tapi tujuh pendekar pelangi sehidup semati, jika Liong Kian-sik menyaksikan kejadian itu, memangnya dia hanya akan berpeluk tangan?"

   "Betul,"

   Seru Hek Seng-thian sambil tertawa pula.

   "sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki Suto Siau, bila sudah dikerubut dua jago pedang, niscaya dia akan mampus di tangan mereka. Sementara kita cukup berpeluk tangan sambil menonton...."

   "Tepat sekali, ternyata kau sudah mengerti."

   Hek Seng-thian menghela napas panjang.

   "Aaai...

   baru hari ini Siaute sadar, ternyata kecerdasan Toanio memang luar biasa, betapapun licik dan busuknya pikiran Suto Siau, kali ini dia bakal kenyang dijejali air bekas cuci kaki Toa-nio."

   "Itulah yang disebut orang, jahe semakin tua semakin pedas, jangan lupa dengan pepatah ini."

   "Siaute berharap Toa-nio bisa sukses besar dengan rencana besar ini, agar Siaute pun ikut kecipratan rezekinya"

   "Begitu berhasil, semua keuntungan dapat kita nikmati bersama.

   Aaai, Cun-hau si bocah itu kelewat keras kepala, maka dalam hal ini aku pun telah mengelabui dirinya, aku berharap kau jangan membocorkan dulu rahasia ini kepadanya."

   Hek Seng-thian tertawa lebar, katanya.

   "Siaute belum gila, tidak nanti kubocorkan rahasia besar ini."

   "Bagus sekali, kalau begitu kita putuskan kesepakatan ini."

   Bicara punya bicara, dengan membawa senyum kepuasan, berlalulah kedua orang itu dari situ.

   Un Tay-tay sendiri pun ikut menghembuskan napas dingin sehabis mendengar pembicaraan itu, tanpa sadar telapak tangannya telah basah oleh peluh dingin, selain terkejut, dia pun kegirangan, pikirnya.

   "Tampaknya Thian memang sengaja mengatur segalanya agar aku ikut mendengar rencana keji itu, asalkan aku belum mati, asal aku masih dapat berjumpa dengan mereka, berdasarkan apa yang telah kudengar, pasti akan kubuat mereka babak-belur."

   Dalam pada itu suara langkah Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian sudah semakin jauh dari sana sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran.

   Pada saat itulah si anak muda itu baru menghembuskan napas lega sambil berkata.

   "Ternyata perkataan Samsiok memang benar, asal kita bisa bersabar dan menahan diri, suatu saat kawanan tikus dan ular berbisa itu pasti akan saling cakar dan gontok sendiri."

   "Sejak kapan perkataan Samsiok pernah keliru,"

   Sahut si nona dengan suara sedih.

   "hanya saja... hanya saja dia orang tua berkata, Jiko dan Samko itu orang baik, orang baik selalu dilindungi Thian, cepat atau lambat mereka pasti akan kembali, aku ragu... benarkah perkataannya itu... ? Aaaai! Kekuatan yang kita miliki sangat sedikit, bila Jiko dan Samko tidak kembali, aku kuatir... aku kuatir...."

   Apa yang dia kuatirkan? Kelihatannya gadis itu tidak berani melanjutkan kembali kata-katanya.

   Pemuda itupun menghela napas panjang, dia hanya membungkam dalam seribu bahasa.

   Un Tay-tay yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak hatinya, cepat dia berpikir.

   "Jiko? Samko? Siapa yang dimaksud?"

   Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi berpikir lebih seksama, hanya secara lamat-lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres dengan persoalan ini.

   Persoalan apa yang tidak beres? Dia sendiri tidak bisa menjawab.

   Kembali mereka menempuh perjalanan selama setanakan nasi lamanya, tiba-tiba Un Tay-tay mengendus bau lembab yang sangat menusuk hidung menembus kain karung dan menyusup ke lubang hidungnya, kalau diendus dari baunya, kelihatan mereka sedang berjalan menelusuri sebuah lorong bawah tanah.

   Dia dapat merasakan permukaan tanah yang sedang dilalui makin lama semakin rendah, bau lembab yang menusuk hidung pun terasa semakin menyengat.

   Mendadak terdengar suara seseorang yang tua tapi penuh bertenaga sedang menegur.

   "Siapa itu?"

   "Ananda yang telah balik,"

   Sahut pemuda itu cepat.

   "Kemana saja kalian telah pergi? Ayo, cepat masuk!"

   Tiba-tiba terdengar lagi orang tua itu berseru tertahan, kemudian hardiknya.

   "Tampaknya lagi-lagi kau sembarangan turun tangan? Siapa yang kau bopong?"

   Sewaktu tidak marah pun suara orang tua itu sudah terdengar keras penuh wibawa, apalagi ketika naik darah, suaranya benar-benar menggidikkan hati.

   Biarpun Un Tay-tay belum sempat bertemu orang itu, tapi dia bisa membayangkan betapa angker dan seramnya wajah orang tua itu.

   Terdengar pemuda itu menyahut.

   "Dia punya hubungan erat dengan Suto Siau "Kalau memang musuh, tidak seharusnya kau turun tangan sembarangan!"

   Tukas kakek itu gusar.

   "Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau dan rombongan, tapi tidak berhasil menemukan mereka, maka ananda pikir ada baiknya membekuk dia, paling tidak jangan sampai mengganggu orang lain."

   "Pikirmu?"

   Ujar kakek itu semakin gusar.

   "kau anggap dalam menghadapi persoalan ini kau boleh berpikir sembarangan? Apakah tidak kau bayangkan bagaimana kondisi dan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang? Apakah tidak kau bayangkan aku harus menggigit bibir dan berjuang mati-matian untuk bersabar hingga hari ini? Tahukah kau kenapa aku berbuat begini? Apakah tidak kau bayangkan kenapa paman Sim kalian bisa terjatuh ke tangan musuh? Sekarang... sekarang kau berani berbuat semaunya, kau... kau anak tidak tahu diri, apakah kau benar-benar ingin mengubur semua jerih parah dan darah keringat yang telah kukorbankan selama ini di tanganmu seorang?"

   Makin bicara dia semakin gusar, Un Tay-tay dapat merasakan tubuh anak muda itu mulai gemetar keras, gemetar karena takut.

   Terdengar suara seseorang segera berkata.

   "Harap Toako jangan marah dulu, mari kita bicarakan setelah memeriksa siapa gerangan perempuan yang dia tangkap."

   Biarpun suara ini rendah, berat dan berwibawa namun nadanya jauh lebih lembut dan halus. Kakek itu segera mendengus dingin.

   "Kenapa masih belum diturunkan!"

   Hardiknya. Dengan nada gemetar pemuda itu mengiakan, kemudian dia menurunkan tubuh Un Tay-tay ke atas tanah. Kembali kakek itu berseru.

   "Kalian berdua berjaga di depan pintu, Samte, kau bebaskan totokan jalan darahnya."

   Belum selesai ia berbicara, sudah ada sebuah tangan menepuk tubuh Un Tay-tay.

   Begitu tertotok bebas jalan darahnya, Un Tay-tay menghela napas perlahan sambil menggeliat.

   Terdengar kakek itu kembali membentak gusar.

   "Sudah tiba di sini kau masih berani berbuat latah, memangnya sudah bosan hidup?"

   "Benar, aku memang sudah bosan hidup,"

   Jawab Un Tay-tay pedih. Kelihatannya kakek itu dibuat tertegun, sesaat kemudian kembali bentaknya.

   "Siapa kau?"

   Un Tay-tay tidak langsung menjawab, perlahan dia melepaskan karung goni yang menutupi kepalanya.

   Ternyata tempat dimana ia berada sekarang adalah sebuah gua yang tidak terlalu kecil, sebatang opor yang menancap di atas dinding menerangi seluruh ruangan.

   Di antara kilatan cahaya yang redup, terlihat seorang kakek berwajah penuh wibawa mengenakan jubah dengan warna yang sudah luntur dan berwajah penuh cambang bagaikan malaikat geledek, berdiri tegak persis di hadapannya.

   Di samping kakek itu berdiri pula seorang kakek lain, dia berperawakan tinggi dengan wajah yang lembut dan gagah, bisa dibayangkan semasa mudanya dulu dia pasti seorang pemuda tampan.

   Sementara muda-mudi yang menangkapnya tadi berdiri di sisi ruangan, yang lelaki bertubuh pendek kecil tapi kekar dan nampak gagah, sedangkan yang wanita meski berwajah cantik namun penampilannya tampak keras dan penuh semangat.

   Pakaian yang dikenakan keempat orang itu nampak amat buruk, penampilan wajah mereka pun nampak agak sayu, tapi sinar matanya tetap tajam penuh semangat, mendatangkan perasaan bergidik bagi yang melihatnya.

   Un Tay-tay memandang kakek itu sekejap, setelah menghela napas, ujarnya.

   "Ternyata apa yang kuduga tidak salah."

   "Apa yang kau duga?"

   Hardik kakek itu "Ternyata tampang dan penampilanmu persis seperti apa yang kuduga."

   Kakek itu kembali tertegun, paras mukanya kontan berubah hebat.

   Begitu pula dengan ketiga orang lainnya, air muka mereka ikut berubah.

   Kakek itu kembali maju selangkah, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya Un Tay-tay lekat-lekat, bentaknya.

   "Kau bisa membayangkan tampangku? Jadi kau sudah tahu siapakah Lohu?"

   "Benar, aku sudah mengetahui siapakah kau orang tua."

   "Siapa? Cepat katakan!"

   "Aku rasa kau orang tua adalah Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun...."

   Belum selesai ia berkata, kakek itu sudah menerkam ke depan, dengan tangan sebelah menarik tubuh Un Tay-tay, tangan yang lain diayunkan siap menampar wajah perempuan itu.

   Un Tay-tay sama sekali tidak meronta, dia pun tidak berusaha melawan, ditunggunya kakek itu menampar wajahnya dan ditatapnya kakek itu dengan pandangan tenang, lembut, sama sekali tak terlintas sedikit rasa takut pun.

   Ketika sampai di tengah jalan, mendadak kakek itu menarik kembali telapak tangannya, dengan suara keras kembali bentaknya.

   "Cepat katakan! Siapa kau? Darimana tahu asal-usulku? Hmmm, kalau berani bicara bohong, akan kusuruh kau menikmati siksaan yang paling keji dari Thiat hiat tay ki bun!"

   Di balik nada suaranya yang nyaring bagai guntur, terselip hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati! Tapi Un Tay-tay sama sekali tidak jeri, malah sedikitpun tidak ada rasa takut atau seram, sekulum senyuman manis tersungging di ujung bibirnya.

   "Sudah banyak kudengar tentang kehebatan siksaan yang berlaku dalam perguruan Tay ki bun, bahkan keseramannya sudah tersohor di seantero jagad, sayangnya, mati pun aku tidak takut, apa lagi yang mesti kutakuti? Bila kau mengancam dengan siksaan, biar sampai mati pun aku tak bakal bicara."

   Kakek itu tidak lain adalah Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun yang tersohor karena ketegasan serta watak keras kepalanya, Im Gi.

   Selama ini keangkeran serta kewibawaannya selalu membuat ciut hati siapa pun, belum pernah ada seorang pun yang tidak dibuat pecah nyali oleh perkataannya, tapi sekarang, dia benar-benar tidak menyangka perempuan di hadapannya begitu bernyali, berani membangkang perintahnya.

   Biarpun perasaannya sekarang penuh diliputi rasa gusar bercampur tercengang, tidak urung muncul juga suatu perasaan aneh di hatinya, dengan sorot mata berapi ditatapnya Un Tay-tay tanpa berkedip, kemudian ancamnya.

   "Jadi kau benar-benar tidak mau bicara?"

   Un Tay-tay mengedipkan mata sambil balik menatap kakek itu, lalu sambil tersenyum dia menggeleng.

   "Baik!"

   Bentak Im Gi gusar.

   Untuk kedua kalinya dia mengangkat telapak tangannya, tapi tindakannya itu segera dicegah kakek berwajah tampan.

   Dengan gusar teriak Im Gi.

   "Bukan saja perempuan ini datang sebagai mata-mata untuk mencari berita, dia bahkan begitu berani terhadapku...

   kau...

   kenapa kau menarikku? Memangnya kau masih ingin mempertahankan hidupnya?"

   Kakek berwajah tampan yang tidak lain adalah Im Kiu-siau, segera menyahut.

   "Kalaupun ingin turun tangan, rasanya belum terlambat bila kita tanyai dulu maksud kedatangannya."

   Orang ini selalu tampil tenang, halus, sama sekali tanpa emosi, sangat bertolak belakang bila dibandingkan watak Im Gi yang keras dan gampang naik darah.

   Kelihatannya Im Gi sangat menurut pada perkataannya, benar saja, dia segera menarik kembali tangannya sambil mundur tiga langkah ke belakang.

   Perlahan-lahan Im Kiu-siau berpaling kearah Un Tay-tay, kemudian katanya dengan lembut.

   "Bila kami gunakan cara kekerasan dan alat siksa, kau enggan berbicara, sebaliknya kalau kami perlakukan dirimu dengan baik, tentunya kau bersedia untuk bicara bukan?"

   "Benar", sambil tersenyum Un Tay-tay manggut-manggut.

   "Kalau memang begitu, kau boleh berbicara sekarang."

   Un Tay-tay menghela napas panjang, katanya.

   "Biar aku tidak pernah bersua dengan kalian, namun sudah sering mendengar dari orang lain tentang tindak-tanduk serta cara kalian bersikap, itulah sebabnya begitu bersua muka hari ini, aku segera dapat menebak siapakah kalian sebenarnya."

   Kemudian setelah tertawa, lanjutnya.

   "Aku yakin kau pastilah Im Kiu-siau, tokoh paling cerdas dan paling berakal dalam perguruan Tay ki bun, sementara dua orang yang ada di belakang pastilah Im Ting-ting serta Thiat Cing-su."

   Tampaknya Im Kiu-siau sendiri pun tidak menyangka gadis di hadapannya begitu menguasai tentang orang-orang perguruan Tay ki bun, paras mukanya sedikit berubah, ujarnya dengan suara berat.

   "Siapa yang mengatakan semua itu kepadamu?"

   "Im Ceng...

   Thiat Tiong-tong...."

   Paras muka Im Kiu-siau berubah makin hebat, sementara Im Ting-ting serta Thiat Cing-su menjerit tertahan.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Paras muka Im Gi kelihatan berubah hebat, gejolak emosi, umpatnya.

   "Dasar binatang! Binatang! Tidak kusangka kedua orang binatang ini berani membocorkan rahasia perguruan kepada orang lain, Losam, sudah kubilang lebih baik kita cabut nyawa mereka, tapi kau selalu menampik, coba lihat sekarang...

   aaai! Akhirnya mereka lakukan juga perbuatan terkutuk ini, kau...

   kau...

   apa lagi yang hendak kau katakan?"

   Im Kiu-siau menghela napas panjang, ia menundukkan kepala dan tidak bicara lagi.

   "Mereka mau bicara denganku, karena aku pun bukan orang luar,"

   Ujar Un Tay-tay lembut.

   "Apa... apa kau bilang?"

   Bentak Im Gi gusar.

   "Karena aku adalah istri Im Ceng!"

   Begitu perkataan itu diucapkan, semua orang tertegun dan berdiri bodoh, untuk beberapa saat mereka tidak mampu bergerak, bahkan mengucapkan sepatah kata pun tidak sanggup.

   Sekali lagi Im Gi membentak gusar, serunya sambil menghentakkan kaki berulang kali.

   "Berontak! Berontak! Dendam berdarah perguruan pun belum terbalas, binatang ini malah berani mencari bini di luaran, bedebah!"

   Dengan satu lompatan dia merangsek ke hadapan Un Tay-tay, kembali sebuah pukulan siap dilontarkan. Im Ting-ting menjerit kaget, cepat dia melompat ke muka dan menghadang di hadapan Un Tay-tay.

   "Minggir kau!"

   Bentak Im Gi semakin sewot.

   "Kalau dia memang bini Samko, kau... kau orang tua seharusnya...."

   "Lohu tidak mengakui perkawinan ini! Binatang, mau minggir tidak?"

   Tapi Im Ting-ting tetap menghadang dihadapannya, sementara air mata telah bercucuran membasahi pipinya.

   Sambil memeluk kaki ayahnya, gadis itu merengek dengan air mata berderai.

   "Bila kau orang tua tidak mau mengakui perkawinan ini, suruh saja mereka bercerai, kenapa mesti menghabisi nyawanya?"

   "Siapa bilang aku bersedia cerai dengannya?"

   Tiba-tiba Un Tay-tay berkata.

   Biarpun perkataan itu diucapkan dengan lembut, namun terkandung keteguhan hatinya yang sudah bulat.

   Im Gi semakin gusar, belum sempat mengucapkan sesuatu, Im Ting-ting sudah berkata lebih dulu.

   "Kau...

   buat apa kau memaksakan diri...."

   Un Tay-tay tertawa pedih, katanya.

   "Tidak seorang pun di dunia ini yang bisa merebutnya dari sisiku... selamanya dia akan menjadi milikku, tahukah kalian? Selamanya... selamanya...."

   Belum lagi orang lain memahami maksud perkataannya, dengan wajah berubah hebat Im Kiu-siau telah menjerit kaget.

   "Jangan-jangan dia... dia sudah...."

   Perlahan-lahan Un Tay-tay memejamkan mata, untaian air mata kembali berderai membasahi pipinya.

   "Selamanya kalian tidak bakal bisa bertemu lagi dengannya,"

   Gumamnya seperti orang sedang mengigau dalam mimpi.

   Kontan saja Im Ting-ting menjerit lengking, Thiat Cing-su roboh terduduk ke lantai, paras muka Im Kiu-siau pucat-pias bagai mayat, sementara Im Gi seperti kepalanya dipukul martil besar, seolah tertancap di tanah tanpa berkutik.

   Lewat lama kemudian tubuhnya yang tinggi kekar bagaikan bukit karang itu mulai gemetar keras, tiba-tiba dia menjerit lengking, sambil merobek pakaian di bagian dada, dia membentak nyaring.

   "Siapa yang telah mencelakainya?"

   Un Tay-tay menggeleng, dia hanya memejamkan mata tanpa menjawab. Dengan sekali sambaran, Im Gi mencengkeram rambut perempuan itu, jeritnya lagi.

   "Katakan! Cepat katakan! Hutang darah ini harus ditebus dengan lelehan darah!"

   Un Tay-tay masih tetap mengertak gigi, tidak sepatah kata pun yang diucapkan.

   Tiba-tiba Im Ting-ting menjatuhkan diri berlutut di hadapannya, dengan air mata berlinang, pintanya.

   "Kumohon...

   kumohon kepadamu, katakanlah nama musuh besar pembunuh Samkoku, kalau tidak...

   kalau tidak, aku akan segera bunuh diri di hadapanmu."

   Air mata mulai bercucuran membasahi wajah Un Tay-tay, katanya pedih.

   "Bukan aku enggan menyebutkan nama musuh besarnya, justru karena sudah kukatakan pun tidak ada gunanya...."

   "Kenapa? Kenapa tidak berguna?"

   Teriak Thiat Cing-su nyaring.

   "Karena tidak seorang pun di dunia ini yang sanggup membalaskan dendam sakit hatinya,"

   Kata Un Tay-tay sambil roboh ke tanah.

   "karena orang yang memaksanya mati adalah... adalah Jit ho Nio nio dari pulau Siang cun-to yang tak ada tandingannya."

   Sambil menjerit keras Im Gi mundur tiga langkah ke belakang, dia jatuh terduduk di atas sebuah batu hijau. Dengan wajah pucat keabu-abuan, seru Im Kiu-siau pula.

   "Dia sudah mati? Apakah Tiong-tong tahu?"

   Tiba-tiba Un Tay-tay mendongakkan kepala, sekarang dia sendiri pun tidak tahu yang meleleh di wajahnya itu air mata atau darah? "Thiat Tiong-tong sama sekali tidak tahu,"

   Sahutnya dengan suara parau.

   "karena... karena Thiat Tiong-tong sudah mati lebih dulu!"

   Sekalipun kawanan jago perguruan Tay ki bun terhitung manusia dengan hati sekuat baja pun, tak urung mereka sangat terpukul juga setelah mendengar berita ini.

   Ketika Un Tay-tay selesai berkata, perubahan mimik muka Im Gi sekalian benar-benar tak terlukiskan dengan perkataan apapun...

   memang tidak seorang pun yang tega melukiskan perubahan wajah orang-orang itu.

   Lama dan lama kemudian, Im Gi baru bertanya.

   "Ke...

   kenapa dia bisa mati?"

   Kakek yang selama ini tampil gagah dan ulet bagaikan lempengan baja itu sekarang gemetaran keras, semua kewibawaan dan keangkerannya seolah tersapu bersih oleh air mata.

   "Aku terlebih tidak boleh menyebut nama orang yang telah mencelakainya,"

   Jawab Un Tay-tay kaku.

   Mendadak Im Ting-ting melolos sebilah golok tajam dari balik bajunya, lalu ditempelkan di atas dada sendiri.

   Dengan air mata bercucuran dan mata memerah bagaikan darah, sepatah demi sepatah dia mengancam.

   "Kalau kau enggan bicara, aku segera akan bunuh diri!"

   Sambil mengertak gigi dan air mata berlinang Un Tay-tay tetap menggeleng.

   "Baiklah!"

   Mendadak Im Ting-ting menekan tangannya ke dalam, ujung golok pun seketika menghujam di atas dadanya, percikan darah segar berhamburan kemana mana, asal dia menghujam sedikit lebih ke dalam, niscaya ujung golok itu akan merobek jantungnya.

   Mati-matian Un Tay-tay menarik tangannya sambil menangis tersedu, jeritnya.

   "Apakah kalian ingin aku mengatakannya? Baik, akan kukatakan, orang yang telah mencelakai Thiat Tiong-tong adalah...

   adalah...

   Im Ceng...

   !"

   "Trangg!", golok itu jatuh rontok ke tanah.

   Im Ting-ting langsung jatuh tidak sadarkan diri, sementara Thiat Cing-su tidak sanggup bangkit berdiri.

   "Apa? Im Ceng?"

   Seru Im Kiu-siau pula seperti kehilangan sukma.

   "benarkah begitu?"

   "Tidak! Bukan begitu, kalian... lebih baik bunuhlah aku!"

   Sambil berseru dia segera menjatuhkan diri ke tanah.

   Cepat Im Kiu-siau membimbingnya bangun, katanya dengan nada mengenaskan.

   "Hidup sekian tahun memangnya aku belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Aku.

   , aku hanya merasa sayang, semestinya Tiong-tong adalah...

   adalah seorang bocah yang mempunyai kemampuan hebat...."

   "Betul,"

   Sambung Im Gi pula sambil manggut-manggut.

   "dia adalah seorang anak baik, bila Thian membiarkan dia hidup lebih lama lagi, niscaya dia akan melakukan karya maha besar untuk perguruan Tay ki bun kita, hanya sayang... hanya sayang...."

   Mendadak ia mendongakkan kepala sambil berteriak kesal.

   "Thian, oooh Thian! Kenapa kau biarkan dia mati muda? Perguruan Tay ki bun sangat membutuhkan tenaganya, kenapa kau biarkah dia mati? Bagaimana dengan kami sekarang? Selama hidup dia memang banyak melakukan kesalahan, tapi semua kesalahan, dia lakukan demi orang lain, kesalahan yang pantas dimaafkan...

   selama hidup dia belum pernah melakukan kesalahan karena urusan pribadi...."

   "Betul,"

   Ujar Un Tay-tay pula sambil menangis.

   "kalian semua telah salah menuduhnya, kalian sudah tahu bahwa dia itu orang baik, semasa hidupnya kenapa kalian selalu memojok-kan dirinya?"

   Sambil memukul tanah dengan tangannya, dia berteriak lebih jauh.

   "Bila kalian tahu semua perbuatannya selama ini hanya demi orang lain, demi perguruan Tay ki bun, kenapa semasa hidupnya kalian justru menuduhnya sebagai murid murtad, pengkhianat perguruan? Sekarang dia sudah mati, percuma kalian mengucapkan perkataan semacam itu, sudah kelewat terlambat! Selamanya dia...

   dia tidak akan mendengar lagi."

   Im Gi mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, meski tidak berbicara maupun bergerak, namun sorot matanya telah berubah jadi merah darah, rambutnya berdiri kaku bagai landak, tampangnya saat itu benar-benar menakutkan.

   Pada saat itulah, mendadak dari luar gua berkumandang suara pekikan nyaring yang menusuk pendengaran....

   Walaupun saat itu Thiat Tiong-tong belum mati, keadaannya sudah tidak berbeda jauh dengan orang mati.

   Istana bawah tanah yang semula indah dan megah, kini telah berubah menjadi neraka dunia yang amat mengenaskan, gelak tertawa, teriakan canda yang dulu mewarnai suasana di situ kini hanya tersisa isak tangis yang memedihkan hati.

   Tidak seorang pun di antara kawanan wanita itu yang bisa menghentikan isak tangisnya.

   Luka yang diderita San-san sebetulnya sudah mulai membaik, tapi sekarang tambah hari lukanya bertambah parah dan berat, sampai akhirnya dia kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, setiap hari kondisinya semakin memburuk dan tidak pernah sadar.

   Setiap kali mendusin dari pingsannya, dia pun mulai berteriak.

   "Tolong, maafkan aku...

   maafkan aku...

   aku mohon...."

   Dia berusaha sekuat tenaga bergelut melawan maut, karena dia tahu, begitu mati maka selamanya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menebus dosa.

   Hanya dikarenakan dorongan emosinya, semua orang harus menanggung akibatnya, terkubur hidup-hidup dalam ruang bawah tanah yang lebih mengenaskan daripada neraka, apakah kesalahan besar yang telah dilakukannya bisa ditebus hanya dengan sebuah kematian? Tapi yang membuatnya paling menyesal adalah gara-gara ulahnya Thiat Tiong-tong ikut terkurung dalam ruang bawah tanah, dia lebih suka pemuda itu mencincangnya hingga hancur berkeping-keping ketimbang menanggung rasa sesal yang membuatnya sangat tersiksa.

   Tapi sikap Thiat Tiong-tong terhadapnya justru amat tenang, pemuda itu malah menghiburnya.

   "Semuanya ini merupakan kehendak Thian, kau tidak perlu menyesal."

   Penampilan anak muda itu memang sangat tenang dan sama sekali tidak nampak panik, padahal siapa yang bisa membayangkan betapa menderita dan tersiksanya perasaan pemuda itu? Masa hidupnya belum terlalu lama, saat itu dia masih harus berjuang untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan besar, sementara orang yang paling dikasihi pun sedang menjalankan nasib tragis di luar sana.

   Tapi kini dia sama sekali tidak berdaya, dia tidak memiliki kemampuan untuk membantunya.

   Dia tidak boleh mati, dia pun tidak ingin mati, tapi sayang dia tidak berhasil menemukan cara yang tepat untuk hidup lebih jauh, dia pun tidak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk hidup terus....

   Kalau diharuskan hidup terus dalam ruangan bagaikan neraka ini, bukankah jauh lebih baik mati ketimbang hidup? Di samping semua itu, masih ada satu penyesalan besar yang masih mengganjal hatinya.

   Dia sempat bertanya kepada Ya-te, memohon penjelasan dari si Kaisar malam.

   "Aku mohon kepada kau orang tua, katakanlah rahasia yang menyelimuti perguruan Tay ki bun kami, bila kau orang tua enggan mengatakannya, aku betul-betul akan mati tidak meram!"

   Tapi jawaban dari Kaisar malam sungguh di luar dugaannya.

   "Rahasia apa? Siapa bilang ada rahasia?"

   Thiat Tiong-tong segera menjatuhkan diri berlutut, memohon kepadanya.

   Kaisar malam pun menjawab.

   "Sekalipun ada sesuatu rahasia, aku sendiri pun tidak tahu, lebih baik kau tidak usah mencari tahu, dengan begitu kau bisa mati dengan perasaan tenang, sebab kalau tidak, kau bisa menjadi gila, jadi sinting karena persoalan ini."

   Thiat Tiong-tong tidak paham maksud perkataannya itu, dia pun tidak mampu bertanya lagi.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebab sekalipun dia mengulang pertanyaan yang sama, belum tentu Kaisar malam bersedia menanggapi.

   Kakek maha sakti yang di masa lalu menggetarkan kolong langit itu, kini hanya duduk melongo siang maupun malam, bukan cuma tidak bergerak, makan pun enggan.

   Ketika dia enggan melakukan sesuatu, maka tidak seorang pun di kolong langit yang dapat memaksanya.

   Ketika dia enggan mengucap-kan sesuatu, siapa pula manusia di kolong langit ini yang bisa memaksanya mengucapkan sepatah kata saja? Kulit tubuhnya yang semula kencang penuh berotot, kian hari kian bertambah kusut dan layu, mulai muncul banyak kerutan, sorot matanya yang semula tajam bagaikan sembilu pun makin lama semakin rendup, semakin tidak bercahaya....

   Tampaknya kekuatan hidup yang cemerlang sudah berlalu seiring berjalannya sang waktu, seinci demi seinci bergerak lenyap dari dalam tubuhnya.

   Pelapukan yang terjadi tanpa suara dan tanpa wujud ini nampaknya segera akan memusnahkan seluruh kehidupannya, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa menghalanginya, tidak seorang pun dapat menolongnya.

   Manusia luar biasa kelihatannya segera akan roboh.

   Tidak jauh berbeda dengan keadaan yang dialami Thiat Tiong-tong, kekuatan apa pula yang dia miliki untuk menopang kehidupan ini? Kalau seseorang sudah kehilangan harapan, mungkinkah akan tumbuh semangat juang dalam dirinya? Di tengah keputus asaan, kematian makin lama semakin mendekat! Thiat Tiong-tong hanya bisa berdoa kepada Thian.

   "Oooh, Thian, kumohon kepadamu berilah kehidupan yang layak untuk Im Ceng, dialah satu-satunya harapan untuk membangkitkan kembali kejayaan perguruan Tay ki bun, semua harapan yang tersisa kini hanya ada di atas pundaknya."

   Tapi...

   dimanakah Im Ceng sekarang? Apakah dia pun masih hidup? Thiat Tiong-tong rela mengorbankan segalanya asal bisa memperoleh berita tentang Im Ceng, tapi seandainya saat itu dia benar-benar memperoleh berita tentang Im Ceng, mungkin pemuda ini sudah membenturkan kepalanya ke atas batu cadas dan bunuh diri.

   BAB 36 Badai di Padang Rumput Pintu gua menuju ke markas besar perguruan Tay ki bun sebenarnya terletak sangat rahasia dan tertutup rapat, tapi suara pekikan nyaring yang berkumandang saat itu justru bersumber dari luar gua, begitu nyaring suaranya membuat semua orang merasa bergetar, membuat gendang telinga semua orang terasa sakit.

   "Sungguh amat sempurna tenaga dalam yang dimiliki orang ini!"

   Batin Un Tay-tay dengan perasaan terkesiap.

   Baru saja ingatan itu melintas, pikiran lain kembali menyelimuti perasaannya, dia teringat kembali suara pekikan panjang Lui-pian Lojin sewaktu menggetarkan pintu gerbang kuil Siau-lim-si tempo hari, pikirnya.

   "Jangan-jangan yang datang adalah Lui-pian Lojin? Tapi kenapa pula dia berpekik nyaring seorang diri di luar sana?"

   Apa yang sebenarnya terjadi? Un Tay-tay tidak perlu berpikir lebih jauh karena segera diperoleh jawabannya. Selesai berpekik nyaring, Lui-pian Lojin berseru.

   "Hei, manusia yang bersembunyi dalam gua, cepat menggelinding keluar!"

   Semua orang terperanjat, tiba-tiba Im Gi melompat bangun, dengan satu gerakan cepat dia tampar wajah Thiat Cing-su dengan keras.

   Dengan perasaan kaget bercampur ketakutan, teriak Thiat Cing-su gemetar.

   "Kau...

   kau orang tua "Kalau bukan gara-gara kau membocorkan jejak kita, mana mungkin dia bisa menemukan kita di sini?"

   Teriak Im Gi gusar. Pucat keabu-abuan wajah Thiat Cing-su saking takutnya, bibirnya gemetar keras seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak sepatah kata pun sanggup diucapkan.

   "Samte, segera laksanakan hukum perguruan..."

   Tukas Im Gi lagi. Baru saja dia menyebut soal hukuman, suara pekikan yang bergema di luar gua kembali sudah berkumandang.

   "Kenapa kalian belum juga menggelinding keluar?"

   Teriak Lui- pian Lojin dari luar gua.

   "hemmm... hemmm.... Lohu sudah menduga di balik padang rumput pasti bersembunyi sesuatu, percuma saja kalian bersembunyi terus...."

   Begitu mendengar perkataan itu, Im Kiu-siau segera menghembuskan napas lega, ujarnya sambil menghela napas.

   "Ternyata dia belum berhasil menemukan jejak kita, saat ini dia baru menaruh curiga saja, pekikan nyaring yang dia lakukan tak lebih hanya gertak sambal belaka, untuk menakut-nakuti kita."

   Diam-diam Thiat Cing-su ikut menghembuskan napas lega, dia berdiri sambil menundukkan kepala.

   Im Gi berdiri mematung dengan sepasang kepalannya menggenggam kencang, wajahnya nampak tersiksa dan penuh penderitaan.

   Melihat mimik muka orang tua itu, Un Tay-tay ikut menghela napas, pikirnya.

   "Kelihatannya orang tua ini mulai menyesal karena salah menghajar Thiat Cing-su, tapi dengan tabiatnya yang keras.... Aaaai, dia lebih suka batinnya tersiksa ketimbang menghibur orang lain, orang macam begini tak nanti mau mengakui kesalahan sendiri"

   Ternyata dugaannya keliru, tiba-tiba Im Gi dengan tangan gemetar keras mulai membelai kepala Thiat Cing-su.

   Pemuda ini lahir dalam perguruan Tay ki bun, tumbuh dewasa di Tay ki bun, selama dua puluh tahun belum pernah ia lihat Ciang bunjin melakukan tindakan seperti ini, untuk sesaat dia malah berdiri tertegun dibuatnya.

   Dia sangka Ciang bunjin ingin menghukum dirinya lagi, tubuhnya gemetar keras saking takutnya, meski begitu dia tetap berdiri di tempat sambil mengertak gigi, sama sekali tidak berani menghindar.

   Im Gi semakin tersiksa batinnya setelah melihat kejadian ini, sambil menghela napas panjang, katanya.

   "Kau tak usah takut, nak, aku...

   aku hanya....

   Aaaai!"

   Setelah menghentakkan kaki berulang kali, lanjutnya.

   "Aku telah salah bersikap terhadap saudara tuamu, kini sudah seharusnya aku bersikap lebih baik terhadapmu, tapi... aaai! Watak kerasku tidak pernah bisa berubah."

   Perkataan semacam inipun belum pernah didengar Thiat Cing-su sebelumnya, dia nyaris tidak percaya dengan pendengaran sendiri, wajah-nya segera menampilkan perasaan terkejut bercampur gembira.

   Sepasang mata Im Gi pun menampilkan cahaya berkilat, dadanya nampak naik turun tidak beraturan, lewat beberapa saat kemudian akhirnya dia berkata kembali.

   "Nak, aku telah salah menuduhmu...

   kau jangan membenciku."

   Thiat Cing-su segera menjatuhkan diri berlutut ke atas tanah, katanya dengan suara parau.

   "Sudah sepantasnya bila kau orang tua melakukan suatu tindakan terhadap anak-anak, kau tidak usah berkata begitu...

   setelah ananda mendengar perkataan kau orang tua hari ini, sekalipun harus segera mati pun aku...

   aku tetap merasa gembira...."

   Pemuda keras kepala yang sebenarnya mempunyai watak keras bagaikan seekor kerbau ini kontan mengucurkan air mata sehabis mendengar perkataan itu.

   Im Gi berdiri mematung bagaikan sebuah arca, diam-diam dia melelehkan juga air matanya, air mata sedih.

   Sementara Im Kiu-siau diam-diam manggut manggut, dia ikut terharu menyaksikan adegan itu, sedang Im Ting-ting mengawasi wajah ayahnya dengan penuh rasa hormat, sikapnya begitu santun seakan sedang memandang malaikat dari langit.

   Un Tay-tay sendiri pun ikut terhanyut oleh suasana itu, untuk sesaat dia tak tahu haruskah merasa sedih, girang, manis atau getir? "Berubah, berubah...."

   Gumamnya dalam hati.

   "akhirnya orang tua ini berubah juga, tapi apa alasannya hingga orang tua yang keras kepala ini tiba-tiba berubah?"

   Terdengar Im Gi berkata dengan suara perlahan.

   "Kini anggota Thiat hiat tay ki bun tinggal kita berempat, mulai sekarang sampai hari kematianku, aku pasti akan bersikap baik kepada kalian, karena...."

   Mendadak dia melengos ke arah lain sambil memejamkan mata, setelah mengatur napas beberapa saat, akhirnya dia berhasil juga menahan air matanya yang nyaris meleleh keluar.

   Katanya dengan sedih.

   "Karena mulai sekarang, keadaan kita akan semakin sulit, kehidupan kita pun akan lebih sengsara ketimbang dulu, penderitaan yang harus kalian terima sudah lebih dari cukup...."

   "Toako, lebih baik pergilah beristirahat dulu!"

   Bujuk Im Kiu-siau sambil menghela napas. Im Gi tertawa getir.

   "Bagaimanapun juga, aku harus menyampaikan dulu perkataan ini,"

   Katanya.

   "Tapi...

   tapi...

   biar tidak Toako katakan pun, kami semua sudah tahu."

   "Kau tahu...

   aaai! Tahukah kau, dalam menghadapi pertarungan yang sudah di depan mata, berapa besar kemungkinan kita untuk meraih kemenangan? Nyaris boleh dikata tanpa harapan Tiba-tiba nada suaranya berubah penuh emosi, lanjutnya.

   "Tapi mustahil bagi kita untuk menghindari pertarungan itu, biar tahu bukan tandingannya pun kita tetap akan bertarung sampai titik darah penghabisan.

   Inilah kewajiban yang harus kita berempat laksanakan sebagai anggota Thiat hiat-Tay ki bun yang penuh semangat...."

   "Bukan berempat, tapi berlima!"

   Mendadak Un Tay-tay menyela. Perkataan itu kontan membuat paras muka hn Gi, Im Kiu-siau, Im Ting-ting maupun Thiat Cing-su berubah hebat.

   "Siapa bilang kau anggota perguruan Tay ki bun?"

   Hardik Im Gi.

   "Aku adalah bini Im Ceng, tentu saja termasuk anggota perguruan Tay ki bun, semasa hidupnya dulu Im Ceng belum mengucurkan darahnya demi perguruan Tay ki bun, apa salahnya sekarang aku mewakilinya berjuang."

   "Kau sungguh akan melakukannya?"

   Im Gi menatap tajam wajahnya sampai lama sekali sebelum bertanya. Un Tay-tay tertawa sendu, sahutnya.

   "Kalau bukan lantaran ingin berbuat begitu, mungkin sejak dulu aku sudah menyusul Im Ceng ke alam baka!"

   Baru saja ia bicara sampai di situ, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sudah mengucurkan air mata.

   Im Gi sendiri pun seketika terpengaruh oleh gejolak emosinya, serunya.

   "Kau pasti sudah mengetahui apa yang barusan kukatakan, perguruan Thi (Thiat) hiat tay ki bun bakal memasuki masa yang paling sengsara dan tersiksa, apakah kau sanggup menerima penderitaan semacam itu?"

   "Kalau kuatir sengsara, aku sudah bunuh diri sejak dulu."

   Tiba-tiba Im Gi melototkan sepasang matanya, bentaknya.

   "Kau benar-benar rela mengorbankan nyawa demi perguruan Tay ki bun?"

   "Un Tay-tay hidup sebagai anggota perguruan Tay ki bun, mati pun ingin jadi setan perguruan Tay ki bun."

   "Apakah kau tahu apa arti Thiat-hiat (darah baja) dari perguruan kami?"

   Mula-mula Un Tay-tay tertegun, tapi dengan cepat dia menyadari apa artinya, tanpa banyak bicara dia sambar golok milik Im Ting-ting yang terjatuh di tanah dan langsung dibabatkan ke atas bahu sendiri.

   Dimana mata golok menyambar, percikan darah segera menyembur kemana-mana.

   Tanpa berubah wajahnya, bahkan berkerut kening pun tidak, Un Tay-tay menyahut lantang.

   "Inilah arti Thiat-hiat!"

   Baru selesai dia bicara, Im Ting-ting sudah memburu maju dan menegur dengan suara gemetar.

   "Enso... kau... kau sangat menderita."

   Kembali Un Tay-tay tertawa getir.

   "Setelah mendengar sebutan Enso darimu, biar lebih sengsara pun apa artinya?"

   Dengan pandangan mata yang lembut, ditatapnya luka di atas dada Im Ting-ting, sebaliknya Im Ting-ting memperhatikan pula luka di bahunya.

   Luka yang diderita kedua orang ini tidak terlampau parah, tapi babatan yang telah mereka lakukan bukan saja memperlihatkan keberanian serta tekad mereka yang melebihi orang lain, bahkan disertai pula kobaran emosi yang membara.

   Mendadak Im Gi mendongakkan kepala dan tertawa keras, gumamnya.

   "Perempuan hebat! Perempuan bagus! Hanya perempuan dengan semangat semacam ini yang pantas menjadi anggota Thiat hiat tay ki bun kami.

   Biarpun nasib perguruan sedang mengenaskan, tidak disangka justru dapat bertemu perempuan bersemangat macam kalian."

   "Di masa lampau, ananda pun sudah banyak melakukan kesalahan,"

   Bisik Un Tay-tay lirih.

   "Manusia bukan nabi, siapa sih yang tidak pernah melakukan kesalahan? Kesalahan di masa lampau tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting mulai sekarang tidak melakukan tindakan yang melanggar peraturan perguruan."

   Pada saat itulah suara pekikan panjang kembali bergema memekakkan telinga, bahkan berasal dari suatu tempat yang dekat sekali dari tempat mereka.

   Terdengar Lui-pian Lojin berteriak.

   "Jadi kalian benar-benar tidak mau keluar? Baiklah, Lohu sendiri pun tidak berminat tetap tinggal di padang rumput ini, akan Lohu hitung sampai empat, jika kalian belum mau keluar juga, Lohu segera akan membakar habis padang rumput ini...

   akan kulihat tokoh macam apakah kalian?"

   Setelah berhenti sejenak, dengan suara menggelegar bagai guntur dia mulai menghitung.

   "Satu...."

   Apabila padang rumput itu sampai dibakar, maka dapat dipastikan kebakaran hebat akan melanda tempat itu, sekali kebakaran terjadi, siapa pun tidak akan mampu menyelamatkannya, terlebih tidak seorang pun mampu bersembunyi lagi di balik rerumputan.

   Berubah hebat paras muka Im Kiu-siau, katanya.

   "Celaka, didengar dari suara menggelegar yang memekakkan telinga, jelas orang ini memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, biasanya orang semacam ini akan melaksanakan ancaman-nya bila tidak dituruti."

   "Jadi kalian belum tahu siapakah orang itu?"

   Tanya Un Tay-tay.

   "Sudah cukup lama kami bersembunyi di balik padang rumput, baru semalam kami mendapat tahu Suto Siau sekalian telah tiba di sini, tapi kami tidak mengira mereka memiliki jago silat setangguh ini, kami pun tidak tahu siapa gerangan orang itu?"

   "Dia tidak lain adalah Lui-pian Lojin!"

   Bisik Un Tay-tay sambil menarik napas panjang.

   Begitu mendengar nama itu, sekujur tubuh Im Gi sekalian gemetar keras.

   Dengan wajah berubah, kata Im Kiu-siau.

   "Rupanya tokoh silat yang di masa lalu hanya mendengar namanya dari cerita dongeng, kini sudah bermunculan di depan mata, bahkan sejalan dengan Suto Siau sekalian?"

   "Aaaai...

   panjang untuk diceritakan sebab musabab di balik semua itu, tapi ananda yakin kawanan jago tangguh itu sedikit banyak pasti tersangkut urusan dendam dengan perguruan Tay ki bun kita."

   Baru bicara sampai disitu, kembali suara hitungan menggelegar.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dua...."

   Sambil menundukkan kepala, Im Kiu-siau menghela napas.

   "Apabila Lui-pian Lojin sejalan dengan Suto Siau sekalian, berarti harapan menang bagi kita semakin tipis, kini apa yang harus kita lakukan? Toako, silakan menurunkan perintah."

   Im Gi ragu-ragu sejenak, kemudian serunya.

   "Terjang... keluar!"

   Biar hanya kata yang singkat, namun terkandung perasaan gusar, sedih dan putus asa yang kental.

   Sambil mengertak gigi, ujar Im Kiu-siau pula.

   "Daripada kita semua dipaksa keluar oleh kobaran api, lebih baik sekarang juga kita menyerbu keluar, toh sama-sama bakal mati, kenapa tidak mati dalam kondisi yang lebih gagah."

   Sambil tertawa Im Gi menggeleng, tukasnya.

   "Bagus! Kau memang tidak malu menjadi Samteku."

   Un Tay-tay tidak menyangka Im Kiu-siau yang begitu lembut penampilannya ternyata memiliki semangat begitu gagah, diam-diam dia merasa kagum.

   Dalam pada itu Im Kiu-siau telah melirik sekejap ke arah perempuan itu, kemudian katanya sambil menghela napas.

   "Hanya saja...

   nona...

   nona Un, kau baru bergabung dengan perguruan kami, tapi kini harus berhadapan dengan situasi yang sangat tidak mengenakkan, kau...

   apakah kau tidak sangat menderita?"

   "Kenapa mesti dirisaukan? Belum tentu kita bakal mati dalam pertarungan hari ini."

   "Kalau bukan mati dalam pertarungan, memangnya kita mesti menyerah?"

   Sela Im Gi gusar. Buru-buru Un Tay-tay berseru.

   "Ananda bukan bermaksud begitu, walaupun saat ini Lui-pian Lojin berada satu rombongan dengan Suto Siau sekalian, namun ananda punya akal untuk memecah belah mereka menjadi beberapa kelompok."

   Kejut bercampur girang hati Im Gi sehabis mendengar perkataan itu, katanya.

   "Asal Lui-pian Lojin bersedia tidak mencampuri urusan ini, kekuatan kita masih lebih dari cukup untuk bertarung melawan Suto Siau sekalian... tapi bagaimana caramu?"

   Belum sempat Un Tay-tay menjawab, suara hitungan di luar telah bergema lagi.

   "Tiga...."

   Dengan perasaan terkejut Im Gi segera berseru.

   "Waktu sudah tidak banyak lagi, cepat katakan caramu itu!"

   "Di balik akal yang hendak ananda laksanakan, masih terkandung hubungan yang sangat pelik, persoalan ini tak mungkin bisa dijelaskan dalam sepatah dua patah kata, tapi ananda yakin akal ini tak bakalan meleset."

   "Lantas apa yang harus kami lakukan?"

   Tanya Im Gi dengan kening berkerut.

   "Ananda tidak berani bicara."

   "Urusan telah berkembang jadi begini, kenapa kau tidak berani menjelaskan?"

   Seru Im Gi gusar. Un Tay-tay menundukkan kepala semakin rendah, katanya.

   "Ananda hanya berharap kau orang tua diam, apapun yang akan kukatakan, apapun yang hendak kulakukan, harap kau orang tua tidak melakukan tindakan apapun."

   Belum selesai dia memberi penjelasan, Im Gi lelah menunjukkan kemurkaan yang luar biasa, bentaknya.

   "Jadi kau suruh kami menjadi bonekamu?"

   Buru-buru Im Kiu-siau menimbrung.

   "Biarpun kita baru saja bertemu dengan bocah ini, tapi dapat kulihat kecerdasannya tidak berada di bawah Tiong-tong, aku percaya dia pasti punya alasan yang kuat sebelum mengucapkan perkataan itu."

   "Tapi...

   bagaimana mungkin perguruan Tay ki bun kita...."

   Im Kiu-siau menghela napas panjang.

   "Asal Tay ki bun masih punya kesempatan untuk menuntut balas, biarpun hari ini kita harus tersiksa dan menerima penghinaan pun, semuanya berharga untuk dilakukan, apalagi bocah ini sudah menjadi anggota perguruan kita."

   Im Gi terbungkam beberapa saat, akhirnya sambil menghentakkan kaki, dia berseru.

   "Kalau begitu, baiklah!"

   Dalam pada itu suara hitungan telah bergema lagi dari luar gua.

   "Empat...."

   Tidak membuang waktu, Un Tay-tay segera melejit dan meluncur keluar dari gua dengan kecepatan luar biasa.

   Dia kurang menguasai situasi jalan dalam lorong gua itu, sepanjang perjalanan entah sudah beberapa kali tubuhnya dibuat lecet oleh gesekan batu cadas, namun perempuan itu sama sekali tidak merasa sakit, dengan cepat dia berlari keluar dari mulut gua sambil berteriak keras.

   "Kami sudah keluar!"

   Di antara rerumputan yang bergelombang karena hembusan angin, suasana terasa hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun di sana.

   "Bagus!"

   Mendadak terdengar gelak tertawa Lui-pian Lojin bergema kembali.

   "akhirnya muncul juga... hehehe... kalian selalu berkeras mengatakan padang rumput ini tidak ada penghuninya, masih untung Lohu orang yang banyak curiga, coba lihat, buktinya ada orangnya bukan?"

   Di tengah gelak tertawanya, terlihat sesosok bayangan manusia melayang keluar dari balik rerumputan.

   Rumput yang tumbuh di sana tingginya melampaui manusia, apalagi tangkainya kecil dan sangat lentur, bukan sembarang manusia dapat meluncur melalui atas rerumputan itu dengan mudah, dari sini bisa diketahui ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu benar-benar luar biasa.

   Tampak bayangan manusia itu bergerak di atas rerumputan bagaikan sedang berjalan di tanah datar, tanpa dipandang raut mukanya lagi juga Un Tay-tay segera tahu orang yang muncul adalah Lui-pian Lojin.

   Lui-pian Lojin pun nampak sangat terperanjat setelah mengetahui yang muncul adalah Un Tay-tay, begitu tubuhnya meluncur turun ke atas tanah, teriaknya keras.

   "Aaaah, ternyata kau!"

   "Kau masih mengenali aku?"

   Tegur Un Tay-tay sambil tertawa.

   Lui-pian Lojin tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kau adalah bakal menantu yang kupilih sendiri, tentu saja aku masih mengenali-mu, tapi...

   bukankah kau berada di pulau Siang cun-to? kenapa bisa muncul di sini?"

   "Terus terang aku tidak kerasan tinggal di pulau Siang cun-to, di situ hidup menyendiri dan selalu kesepian, aku benar-benar tidak betah, karena itu aku...

   aku pun diam-diam minggat."

   "Bagus! Bagus sekali! Memang tepat kau minggat dari situ!"

   Lui-pian Lojin kembali tertawa tergelak.

   Pada saat itulah dari balik rerumputan kembali terdengar suara manusia.

   Un Tay-tay segera memutar biji matanya, ujarnya cepat.

   "Saat ini aku mempunyai banyak masalah yang ingin kubicarakan dengan kau orang tua, tapi...

   tapi aku tidak ingin didengar orang lain, menurut kau bagaimana baiknya?"

   Tidak sampai perempuan itu menyelesaikan perkataannya, Lui-pian Lojin telah membentak nyaring.

   "Balik, balik semua!"

   Dari balik rerumputan segera terdengar suara orang menyahut, tidak lama kemudian suara berisik itu sudah semakin menjauh.

   Sepeninggal suara itu, kembali dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Un Tay-tay, sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibirnya, ujarnya.

   "Biarpun kau telah berbuat tidak pantas terhadapku, namun aku masih tetap menyukaimu, sebab setelah kuperhatikan lebih seksama, kecuali kau, rasanya di kolong langit saat ini belum ada orang kedua yang lebih pantas menjadi menantu-ku, hanya saja...

   apakah sekarang kau sudah berubah pikiran?"

   Un Tay-tay mengerling genit.

   "Tentu saja aku sangat gembira bisa menjadi menantumu,"

   Katanya.

   "tapi sebelum itu aku ingin tahu dulu, apakah kau orang tua pun bersedia melenyapkan musuh besarku dan melindungi sahabat-sahabatku?"

   "Tentu saja aku bersedia,"

   Sahut Lui-pian Lojin kegirangan.

   "bila kau menjadi menantuku, berarti musuhmu adalah musuh Lohu juga, sahabatmu pun akan menjadi sahabatku."

   Baru selesai ia bicara, tiba-tiba dilihatnya Im Gi dan rombongan berjalan keluar dari balik gua dengan langkah lebar, paras mukanya seketika berubah, dengan sorot mata setajam sembilu, tegurnya.

   "Siapakah orang-orang itu?"

   "Mereka adalah sahabatku,"

   Sahut Un Tay-tay sambil tersenyum.

   "Oooh,"

   Lui-pian Lojin tertawa tertahan.

   "budak kecil, rupanya kau sudah sedia payung sebelum hujan, kalau memang mereka adalah sahabatmu, tentu saja Lohu pun tidak akan menyusahkan mereka... tapi paling tidak suruhlah mereka datang mendekat dan memberi hormat kepadaku."

   Sembari berkata dia mengawasi tajam wajah Im Gi.

   Sementara itu Im Gi dengan sorot mata yang tajam sedang mengawasi pula dirinya...

   biarpun sinar mata itu sangat tajam, namun hawa membunuh pada diri Im Gi justru jauh lebih mengerikan.

   Dua orang kakek yang sama-sama garang dan penuh wibawa saling berhadapan dengan sinar mata tajam, walaupun yang seorang berpakaian perlente sementara yang lain berbaju rombeng, namun kewibawaan serta keangkeran yang terpancar tidak jauh berbeda.

   Oleh karena kedua orang ini sama-sama berstatus seorang ketua perguruan, tidak heran penampilan mereka sama-sama keras dan kaku, begitu sinar mata mereka saling beradu, terjadilah gesekan hebat seolah-olah menimbulkan percikan bunga api.

   Dengan satu gerakan cepat Lui-pian Lojin langsung meluruk maju ke hadapan Im Gi.

   Sedemikian cepat gerakan tubuhnya, membuat siapa pun yang melihat merasa terperanjat, namun paras muka Im Gi yang kaku bagaikan sebuah baja itu sama sekali tidak berubah, bahkan sepasang matanya pun sama sekali tidak berkedip.

   Begitu tiba di hadapan Im Gi, dengan suara garang Lui-pian Lojin segera menghardik.

   "He, aku suruh kau memberi hormat kepadaku, dengar tidak?"

   Dada Im Gi kelihatan naik turun menahan emosi, dia tetap membungkam.

   "He, jangan-jangan si tua bangka ini tuli?"

   Kembali Lui-pian Lojin menegur dengan gusar. Tiba-tiba Im Gi balas membentak.

   "Kenapa Lohu mesti memberi hormat kepadamu?"

   Bentakan itu sungguh dahsyat, suaranya keras bagaikan guntur yang membelah bumi di siang liari bolong, bukan saja membuat semua orang terkejut, bahkan Lui-pian Lojin pun ikut terperanjat.

   Sesaat kemudian, dengan penuh amarah dia membentak.

   "Kalau kau enggan memberi hormat, Lohu akan memberi pelajaran kepadamu."

   Sepanjang hidup, jarang ada orang berani turun tangan melawannya, ini disebabkan sekalipun orang lain tidak mengetahui identitas-nya, paling tidak mereka dibuat keder oleh penampilannya yang angker.

   Apalagi dilihat dari sorot matanya yang tajam bagai sembilu serta nada suaranya yang keras bagai bunyi genta, orang langsung tahu dia memiliki tenaga dalam yang amat sempurna.

   Tapi kini, bukan saja Im Gi tidak dibuat keder, malahan dengan suara lantang segera menyahut.

   "Coba saja!"

   Begitu selesai bicara, sebuah gempuran sedahsyat sambaran guntur telah dilontarkan, meski jurus serangan yang digunakan tidak terlalu istimewa, namun tenaga pukulannya benar-benar menakutkan.

   Dengan perasaan terperanjat Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, bentaknya.

   "Tua bangka, berani amat kau turun tangan, sudah tahu siapakah Lohu?"

   "Coba kalau bukan Lui-pian, kau tidak pantas bertarung melawanku,"

   Im Gi balas menghardik.

   Di satu pihak kedua orang tua itu sudah saling berhadapan sambil saling mengancam, di pihak lain Im Kiu-siau tiada hentinya memberi kode kedipan mata kepada Un Tay-tay dan memintanya untuk mencegah pertarungan antara kedua orang itu.

   Siapa tahu Un Tay-tay berlagak seolah tidak melihat, dia hanya menonton sambil tersenyum.

   Tidak terlukiskan rasa kaget, gusar dan panik yang dirasakan Im Kiu-siau, namun dia pun tidak berani turun tangan membantu....

   Ketika Im Gi sedang bertarung melawan seseorang, sampai mati pun dia enggan menerima bantuan dari orang lain.

   Tentu saja Im Kiu-siau tidak tahu Un Tay-tay sesungguhnya sudah mengenal sangat jelas watak Lui-pian Lojin, orang ini lebih suka dihadapi secara kekerasan ketimbang cara halus, orang semacam ini memang perlu ditaklukkan oleh kekerasan watak manusia macam Im Gi.

   Perempuan inipun tahu, walaupun kungfu yang dimiliki Im Gi masih bukan tandingan Lui-pian Lojin, namun wataknya yang keras kepala dan berangasan sama sekali tidak di bawah kekerasan watak kakek cambuk geledek ini.

   Jiwa keras orang-orang Thiat hiat tay ki bun memang tiada duanya di kolong langit.

   Benar saja, begitu Im Gi selesai membentak, Lui-pian Lojin malah mendongakkan kepala dan lertawa terbahak-bahak, tertawa keras yang membuat orang-orang perguruan Tay ki bun lertegun.

   Terdengar Lui-pian Lojin berkata.

   "Pepatah mengatakan, burung rajawali tidak akan berkelompok dengan burung walet, Kilin tidak akan berkawan dengan rase, ternyata teman-teman Un Tay-tay memang bukan bangsa kurcaci."

   Kemudian sambil menepuk bahu Im Gi, katanya pula.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mari, mari, mari, kita dua orang tua bangkotan memang pantas saling berkenalan, ayo ikut aku, kita harus meneguk beberapa cawan arak dan minum sampai mabuk."

   Satu ingatan segera melintas dalam benak Un Tay-tay, mendadak tanyanya.

   "Bukankah kau orang tua memiliki sebuah buli-buli?"

   "Benar,"

   Sahut Lui-pian Lojin setelah tertegun sejenak.

   "Apakah buli-bulimu saat ini berisi arak?"

   "Kalau tidak berisi arak, buat apa Lohu menggembol buli-buli kosong?"

   "Mana buli-bulimu itu?"

   "Eeei, budak cilik, pertanyaanmu makin lama terasa makin aneh, mana mungkin Lohu meniru gaya orang sinting yang tiap hari memegang buli-buli arak di tangan, buli-buliku tentu saja kugantung di atas dinding, tapi kenapa kau mesti menanyakan persoalan ini?"

   Sekalipun sudah cukup lama berkenalan, namun dia masih belum bisa menebak maksud di balik pertanyaan Un Tay-tay itu.

   Un Tay-tay hanya mengedipkan matanya berulang kali dan tersenyum tanpa menjawab.

   "Kalau kau ingin mengatakan sesuatu, kenapa tidak kau katakan segera?"

   Tanya Lui-pian Lojin lagi keheranan.

   "Aku masih belum bisa menjelaskan sekarang."

   "Harus menunggu sampai kapan?"

   "Sampai bertemu dengan Seng Toa-nio."

   Lui-pian Lojin menggelengkan kepala berulang kali sambil tertawa.

   "Dasar budak yang banyak akal,"

   Serunya.

   "terkadang Lohu pun bisa kau tipu habis-habisan, sudah, tidak usah menggubris dia lagi, ayo kita teguk tiga cawan arak."

   Sekali lagi dia menepuk bahu Im Gi, lalu membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.

   Memandang bayangan punggungnya, Im Gi pada sangsi sejenak, tapi akhirnya dia mengikut dari belakang dengan langkah lebar.

   Kedua orang ini bukan saja memiliki perawakan tubuh yang sama, gaya, watak maupun penampilannya pun tidak banyak berbeda, jadi tidak aneh kalau mereka berdua saling tertarik.

   Bedanya, Lui-pian Lojin selalu hidup santai dan mengembara dalam dunia persilatan sebagai orang yang latah, dia tidak pernah memandang sebelah mata pun terhadap umat persilatan di dunia, karena itu sikapnya lebih terbuka dan seenaknya.

   Berbeda dengan Im Gi yang mesti memikul dendam kesumat perguruan, bertanggung jawab atas keselamatan serta keutuhan perguruan Tay-ki-hun, dalam keadaan seperti ini, tidak aneh dia selalu tampil serius dan jarang sekali tertawa.

   Begitulah, rombongan manusia itu berangkat menerobos masuk ke balik padang rumput, sepanjang jalan hanya rerumputan lebat yang terbentang di depan mata, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun.

   Mendadak Lui-pian Lojin menghentikan langkahnya sambil memasang telinga mendengarkan sesuatu, paras mukanya seketika berubah jadi serius, agaknya dia berhasil mendengar sesuatu suara yang mencurigakan.

   Diam-diam Un Tay-tay tertawa geli, pikirnya, Mana mungkin ada seseorang di situ? Jangankan manusia, bayangan setan pun mungkin tidak ada, tidak heran semua orang mengatakan sepanjang hari dia hanya curiga melulu.

   Berpikir sampai di situ, tidak tahan serunya.

   "Kau...."

   Tapi belum sempat dia menyelesaikan perkataannya, tahu-tahu mulutnya sudah dibekap oleh Lui-pian Lojin.

   Terdengar kakek itu berbisik di sisi telinganya.

   "Di sana ada manusia yang sangat mencurigakan, entah apa yang sedang mereka bicarakan, ayo kita tengok ke situ."

   Dia baru saja berbicara dengan menggunakan ilmu Coan im ji bit (ilmu menyampaikan gelombang suara), sebuah kepandaian tingkat tinggi dalam dunia persilatan, kecuali Un Tay-tay, siapa pun tidak mendengar apa yang sedang dia katakan.

   Pada saat bersamaan, kembali dia berbisik pula ke telinga semua orang yang lain.

   "Harap kalian menunggu sejenak di sini, jangan bicara, jangan bergerak, Lohu segera akan balik lagi kemari."

   Suara itu meski dikirim dengan ilmu menyampaikan gelombang suara, namun setiap patah kata dapat didengar Im Gi sekalian dengan jelas sekali.

   Tanpa terasa Im Gi saling bertukar pandang sekejap dengan Im Kiu-siau, dengan perasaan kagum, pikirnya.

   "Sebuah kepandaian yang sangat hebat, ternyata nama besarnya bukan nama kosong belaka, tapi sekeliling tempat ini sepi tidak nampak bayangan manusia pun, kenapa secara tiba- tiba dia mengajak pergi Un Tay-tay? Apa yang hendak dia perbuat?"

   Sebaliknya Un Tay-tay juga sedang berpikir.

   "Mana mungkin ada yang sedang berbicara di situ? Mungkin orang tua ini salah dengar, mendingan tidak usah ke sana!"

   Tapi lantaran mulutnya dibekap, maka perkataan itu tidak mungkin diucapkan keluar.

   Pada saat itulah terasa tubuhnya sudah melayang meninggalkan permukaan tanah, hanya dalam dua tiga kali lompatan saja mereka sudah meninggalkan Im Gi dan rombongan sejauh belasan kaki lebih.

   Gerakan tubuh Lui-pian Lojin sama sekali tidak menimbulkan suara, selain ringan juga sangat cepat, baru saja Un Tay-tay mengagumi kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, mendadak dari sisi kiri dia mendengar ada suara seperti orang sedang berbicara.

   Ternyata Lui-pian Lojin memang tidak salah mendengar, di tempat itu benar-benar ada orang sedang berkasak-kusuk, yang hebat adalah suara pembicaraan itu sangat lirih bagaikan suara bisikan serangga, namun dia yang berada sejauh dua puluhan kaki masih dapat mendengarnya dengan jelas.

   Un Tay-tay semakin kagum, pikirnya.

   "Siapa lagi yang sedang berbincang? Jangan-jangan Suto piau sekalian pun sedang merundingkan siasat buruk? Wah, kalau dia pun mengundang Hek Seng-thian untuk mencelakai Seng Toa-nio, ini baru hebat namanya!"

   Tampak paras muka Lui-pian Lojin berubah jadi serius, agaknya dia sedang menguping pembicaraan yang sedang berlangsung.

   Un Tay-tay mencoba ikut mendengarkan, sayang dia hanya mampu menangkap suara pembicaraan yang kabur, sama sekali tidak jelas apa yang sedang dibicarakan.

   Dalam gelisahnya, satu ingatan cerdas melintas dalam benaknya, cepat dia menempelkan telinganya ke atas permukaan tanah, kebetulan kedua orang yang berada di seberang sana pun sedang berbicara sambil menempelkan tubuh ke tanah, dengan begitu dia dapat mengikuti jalannya pembicaraan itu dengan jelas.

   Terdengar salah satu di antaranya sedang berkata.

   "Setelah berada di tempat yang begini rahasia, sekalipun ada orang lain, rasanya kita pasti akan mengetahui kehadirannya, kenapa Hengtai masih harus berbicara sambil berbaring di tanah? Apakah Hengtai tidak merasa tindakanmu kelewat berlebihan?"

   Kalau didengar dari logat bicaranya, orang itu seharusnya seorang anak muda, tapi Un Tay-tay belum pernah mendengar nada suara orang ini sehingga dia tidak dapat menebak siapa gerangan orangitu.

   Terdengar seseorang yang lain segera menjawab.

   "Saudara Liong, kau tidak tahu, ketajaman pendengaran ayahku luar biasa hebatnya, aku berani bilang kehebatannya tiada duanya di kolong langit, bila kita bersikap sedikit gegabah saja, biarpun dia berada puluhan kaki jauhnya dari posisi kita, suara pembicaraan kita berdua pasti dapat kedengaran olehnya."

   Begitu mendengar suara orang ini, Un Tay-tay betul-betul dibuat tertegun, mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang yang sedang berkasak-kusuk saat ini ternyata tidak lain adalah putra Lui-pian Lojin sendiri.

   Sebenarnya dia mempunyai rahasia apa? Kenapa harus bicara secara sembunyi-sembunyi di tempat itu? Kenapa dia harus mengelabui ayahnya? Manusia macam apa pula pemuda marga Liong itu? Sementara itu pemuda she Liong itu sudah bertanya kembali.

   "Apakah persoalan yang hendak Hengtai sampaikan kepada Siaute tidak boleh diketahui ayahmu?"

   "Betul, ayahku memang tidak boleh tahu."

   Diam-diam Un Tay-tay mencoba melirik sekejap, terlihat olehnya Lui-pian Lojin sedang berdiri dengan wajah penuh amarah.

   Walaupun timbul rasa ingin tahu di hati kecilnya, tidak urung Un Tay-tay mulai kuatir juga atas keselamatan pemuda itu, bagaimanapun juga pemuda ini pernah membantu dia dan Im Ceng, dia merasa berhutang budi kepadanya.

   Terdengar pemuda she Liong itu menghela napas, ujarnya.

   "Walaupun Siaute kurang tahu persoalan apa yang membuat Hengtai harus mengelabui ayahmu, tapi asalkan Siaute dapat menyumbangkan sedikit tenaga bagi Hengtai, Siaute pasti akan melakukannya."

   "Sebetulnya Siaute hanya ingin menanyakan satu hal kepada Hengtai."

   "Soal apa?"

   Kelihatannya pemuda she Liong itu agak keheranan.

   Kembali putra Lui-pian Lojin menghela napas.

   "Persoalan ini sudah tersimpan lama dalam hati kecilku, persoalan yang membuat Siaute makan lidak enak tidur pun tidak nyenyak, apa mau dikata justru Siaute tidak sanggup menyelesaikan sendiri persoalan ini."

   "Katakan saja Hengtai."

   "Belakangan, nama besar tujuh pedang pelangi sudah tersohor di seantero jagad, khususnya nama besar Hek liong lan hong (angin biru naga hitam) yang sudah dikenal sampai kemana-mana, karena itulah Siaute ingin mencari tahu kabar seseorang."

   Kini Un Tay-tay baru tahu pemuda she Liong itu ternyata tidak lain adalah salah satu tokoh penting dalam kelompok tujuh pedang pelangi...

   si jago pedang naga hitam Liong Kian-sik.

   "Kabar siapa yang ingin Hengtai ketahui?"

   "Orang itu adalah seorang wanita, sahabat karib Siaute di masa lalu, tapi selama beberapa tahun belakangan Siaute justru kehilangan jejaknya, bahkan sama sekali tidak kuketahui kabar beritanya lagi."

   "Kalau toh dia adalah sahabat Hengtai, kenapa Hengtai bisa kehilangan jejaknya?"

   Tanya Liong Kian-sik keheranan.

   Untuk kesekian kalinya putra Lui-pian menghela napas panjang.

   "Aaaai! Bicara sejujurnya, antara dia dan aku sebenarnya sudah terikat tali perkawinan, apa lacur...

   aaai! Ibunya tidak pernah akur dengan ayahku, maka...."

   "Maka perkawinan kalian pun terhalang?"

   "Tepat sekali, dalam sedih dan kecewanya dia pergi meninggalkan aku, aaai! Yang paling kusesali adalah tidak seharusnya dia pergi tanpa pamit, bahkan memberi kabar pun tidak, selama ini dia pun tidak pernah berkirim surat kepadaku, aaai...

   dengan wataknya yang keras kepala, dapat dipastikan banyak penderitaan dan kesedihan yang harus dia alami dalam dunia persilatan."

   Di balik nada suaranya yang rendah dan berat, masih terselip perasaan cinta yang mendalam. Diam-diam Un Tay-tay berpikir.

   "Tidak aneh dia enggan mengawini aku, ternyata dia sudah mempunyai kekasih hati, hanya saja... sikap dan tindakan yang diambil perempuan itu memang sedikit kelewatan, selain pergi tanpa pamit, dia pun enggan mengirim kabar, sementara pemuda ini... walaupun hatinya dibuat sedih, kecewa dan gelisah, namun sama sekali tidak menggerutu ataupun menyalahkan perempuan itu, sebaliknya dia justru menaruh rasa kuatir terhadapnya, dari sini bisa disimpulkan bahwa pemuda ini memang seorang lelaki yang romantis... aaaai, lelaki yang begitu teguh memegang rasa cintanya."

   Berpikir sampai di situ, tanpa terasa timbul perasaan kasihan dan simpatik yang sangat mendalam terhadap putra Lui-pian ini, selain itu dia pun dibuat trenyuh, orang lain masih ada yang dirindukan, sementara dia sendiri? Kini dia harus hidup sebatang kara bagaikan sukma gentayangan, jangankan orang yang dicintai, seseorang yang pantas dipikirkan dan dirindukan pun tidak ada.

   Tampaknya Liong Kian-sik pun dibuat sangat terharu oleh ucapan itu, setelah termenung beberapa saat, kembali dia bertanya.

   "Boleh aku tahu siapa nama nona itu?"

   "Dia adalah putri Yan-yu (si Hujan gerimis) Hoa Ji-nio!"

   "Aaah, rupanya putri Yan-yu Hoa Ji-nio!"

   "Betul, apakah belakangan Hengtai pernah mendengar orang persilatan menyinggung tentang nama orang ini?"

   "Tidak, tidak pernah."

   Setelah berhenti sejenak, tambahnya.

   "Kalau memang dia putri Hoa Ji-nio apalagi kekasih Hengtai, kepandaian silat maupun status sosialnya jelas tidak perlu diragukan lagi, bila nona semacam ini terjun ke dalam dunia persilatan, aku yakin tidak sampai dua bulan nama besarnya akan menggetarkan sungai, telaga, tapi hingga hari ini Siaute belum pernah mendengar orang menyinggung nama ini, jadi aku kira...."

   "Dengan tabiatnya yang keras, tidak mungkin dia betah hidup menyendiri di tengah gunung yang terpencil dan jauh dari pergaulan,"

   Tukas putra Lui-pian cepat.

   "Siaute sudah lama bergaul dengannya, berdasarkan hal ini aku yakin dia bakal berganti nama andai terjun ke dalam dunia persilatan, bila dia... dia sudah melangkah keluar rumah, dapat dipastikan dia pun tidak ingin ditemukan kembali oleh ibunya, Hoa Ji-nio."

   "Waah, kalau dia sudah berganti nama, hal ini semakin susah lagi,"

   Keluh Liong Kian-sik sambil menghela napas.

   "Hengtai, coba kau pikir lagi dengan seksama, apakah belakangan dalam dunia persilatan pernah muncul seorang gadis yang gemar mengenakan baju berwarna hijau, berilmu silat tinggi dan berwajah dingin, kaku dan angkuh?"

   "Rasanya tidak ada,"

   Sahut Liong Kian-sik setelah berpikir sejenak.

   Dengan perasaan kecewa putra Lui-pian menghela napas panjang.

   "Sepanjang tahun Siaute selalu mengikuti ayahku, meski hatiku gelisah, namun kurang leluasa bagiku untuk pergi sendiri mencari jejaknya, aku berharap bila Hengtai berkelana dalam dunia persilatan, tolong bantu aku memperhatikan soal ini, untuk itu Siaute mengucapkan banyak terima kasih...

   aaaai! Sekalipun Siaute beruntung menjadi putra Lui-pian, tapi...

   tapi...

   justru karena itu aku tidak memiliki seorang sahabat pun Semacam perasaan kesepian yang mendalam terlintas di balik perkataannya itu.

   Tiba-tiba Un Tay-tay teringat akan sesuatu, dia jadi terbayang kembali wajah nona berbaju hijau yang meski berwajah cantik namun dinginnya bagaikan es, nona yang pernah dijumpai di dusun tukang besi.

   Dengan perasaan girang segera pikirnya.

   "Bukankah nona berbaju hijau itu cantik tapi dingin dan angkuh? Bukankah dia gemar mengenakan baju hijau dan berilmu tinggi? Jangan-jangan dia adalah... Hoa Ling-ling, putri Hoa Ji-nio yang sedang dia cari?"

   Dalam pada itu Liong Kian-sik telah berkata.

   "Pesan dari Hengtai pasti akan Siaute perhatikan."

   "Kalau begitu Siaute ucapkan banyak terima kasih, Hengtai, bila...."

   "Belum selesaikah pembicaraanmu?"

   Tiba-tbia Lui-pian Lojin menghardik dengan suara berat. Tidak terlukiskan rasa kaget kedua orang yang berada di balik semak itu, dengan hati tercekat mereka berdua segera melompat bangun.

   "Ayah... rupanya... rupanya kau?"

   Seru putra Lui-pian tergagap.

   "Apa lagi yang kau tanyakan? Cepat kemari!"

   Hentak Lui-pian Lojin lagi.

   Rerumputan disingkap orang, dengan kepala tertunduk Liong Kian-sik dan putra Lui-pian berjalan keluar.

   Diam-diam Un Tay-tay merasakan jantungnya berdebar keras, dia ikut menguatirkan keselamatan kedua orang itu.

   Tampak Lui-pian Lojin menatap tajam wajah putranya, kemudian bertanya perlahan.

   "Kau masih memikirkan dia?"

   "Benar ayah,"

   Jawab pemuda itu tertunduk lesu.

   "Dia pergi tanpa pamit, selama ini menulis secarik kertas pun tidak pernah, bahkan Hoa Ji-nio menganggap kau seperti ular berbisa, tapi kenyataannya, kau masih memikirkan dia?"

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar ayah,"

   Kembali sahut putra Lui-pian sambil menggigit bibir.

   Tiba-tiba Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa seram.

   "Hahaha, bagus, Lui Siau-tiau wahai Lui Siau-tiau, tidak kusangka kau memang benar-benar seorang lelaki romantis sejati, aku sungguh merasa kagum kepadamu."

   Un Tay-tay dapat menangkap rasa gusar yang luar biasa di balik gelak tawa seram kakek itu, Lui Siau-tiau, putra Lui-pian itu tertunduk semakin rendah, dia makin tidak berani bicara.

   Mendadak Lui-pian Lojin berhenti tertawa, bentaknya.

   "Cepat berlutut!"

   Lui Siau-tiau tidak berani membantah, cepat dia berlutut.

   Terpaksa Liong Kian-sik ikut menemaninya.

   Sambil menuding ke arah Un Tay-tay, kembali Lui-pian Lojin berseru.

   "Sudah kau lihat dia?"

   "Sudah, ananda sedang keheranan...."

   "Apa yang kau herankan? Ingat, dia adalah binimu, sejak hari ini kau tidak boleh memikirkan dia lagi, kecuali dia ini, siapa pun tidak boleh kau pikirkan lagi!"

   Berubah hebat paras muka Lui Siau-tiau, serunya.

   "Tapi dia... dia adalah...."

   "Apa?"

   Tukas Lui-pian Lojin gusar.

   "kau tidak usah mencampuri urusan lain, cepat berdiri dan ikut aku, berani membantah sepatah kata saja, akan kupatahkan kakimu!"

   Habis berkata dia segera membalikkan tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar.

   Lui Siau-tiau masih berlutut, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi dengan cepat Un Tay-tay menarik bajunya sambil mengerling sekejap memberi tanda, Lui Siau-tiau tertegun, namun akhirnya dia bangkit berdiri.

   Sambil memiringkan kepala, Un Tay-tay mengangkat tangannya dan digoyang sekejap, setelah menuding diri sendiri, dia manggut-manggut.

   Melihat itu Lui Siau-tiau kegirangan.

   Un Tay-tay pun sambil tersenyum beranjak pergi dari situ.

   BAB 37 Rejeki dan Bencana Seonggok api unggun menyala di dalam sebuah ruang gua yang gelap, lidah api yang bergoyang terhembus angin menambah suasana misterius dalam gua itu.

   Seng Toa-nio, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu duduk berkerumun di sekeliling api unggun, ketiga orang itu tidak bicara maupun bergerak, mereka hanya mengawasi jilatan api dengan termangu.

   Jago pedang angin biru Liu Ji-wu duduk dengan kepala menengadah, kening berkerut seakan sedang memikirkan sesuatu...

   dia sedang berpikir, ada apa Lui Siau-tiau mengajak keluar suaminya, apa yang sedang mereka lakukan? Biarpun di dalam gua terdapat empat orang, namun suasana terasa sangat hening dan tak terdengar sedikit suara pun.

   Di sudut ruang gua terlihat tumpukan beberapa karung goni, tampaknya karung berisi rangsum, sementara di atas sebuah batu yang cekung tergeletak sebuah buli-buli arak besar berwarna merah darah.

   Mendadak terdengar suara langkah kaki manusia, Seng Toanio segera berseru.

   "Aaah, mereka sudah kembali!"

   Dengan cepat Liu Ji-wu berpaling ke arah mulut gua, betul saja yang muncul memang suami kesayangannya, cuma orang yang berjalan masuk paling dulu adalah Lui-pian Lojin serta Un Tay-tay.

   Di belakangnya mengikut Im Gi, Im Kiu-siau, Im Ting-ting, Thiat Cing-su, Liong Kian-sik serta Lui Siau-tiau berenam.

   Wajah keenam orang ini semuanya murung dan dingin bagaikan es.

   Begitu melihat kemunculan Un Tay-tay, Seng Toa-nio kelihatan terkejut sekali, hatinya semakin tercekat setelah menyaksikan semua kekuatan perguruan Tay ki bun muncul di situ, saking kagetnya dia seakan merasa nyawanya ikut terbang.

   Dengan cepat ketiga orang itu melompat bangun, berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, untuk sesaat mereka tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

   Orang-orang perguruan Tay ki bun sebenarnya sudah menduga mereka pasti berada di situ, namun begitu saling berhadapan dengan musuh bebuyutannya, tidak kuasa lagi darah mereka terasa mendidih, wajah berubah hebat.

   Terlihat dada Im Gi naik turun tidak beraturan, mukanya merah padam bagai orang mabuk, sinar berapi-api memancar keluar dari balik matanya, dia butuh mengeluarkan banyak tenaga untuk bisa menahan diri dan tidak turun tangan secara gegabah.

   "He, apa yang terjadi?"

   Tegur Lui-pian Lojin dengan mata berkilat. Cepat Seng Toa-nio berseru.

   "Kenapa mereka bisa...

   "Orang-orang itu seru Hek Seng-thian.

   "Kenapa kau orang tua...."

   Teriak Pek Seng-bu pula. Karena mereka bertiga berebut bicara, perkataan yang terucap pun jadi berbaur menjadi satu, akibatnya perkataan dari ketiga orang itu tidak dapat didengar dengan jelas.

   "Semuanya tutup mulut!"

   Bentak Lui-pian lojin gusar. Kemudian sambil berpaling ke arah Un Tay-tay, katanya.

   "Kau saja yang bicara!"

   Bukan menjawab, sebaliknya Un Tay-tay malah balik bertanya.

   "Apakah kau orang tua sudah lupa dengan apa yang telah kau katakan tadi?"

   "Mana mungkin Lohu lupa...."

   Sahut Lui-pian Lojin gusar.

   "cepat jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?"

   Un Tay-tay tersenyum, dengan jari jemarinya yang ramping bagai ujung pisau dia menuding ke arah Seng Toa-nio sekalian dan sepatah demi sepatah kata ujarnya.

   "Merekalah musuh besarku, bukankah kau orang tua berjanji akan membantu ananda untuk melenyapkan mereka!"

   Semua orang semakin terkesiap sehabis mendengar ucapan itu, tidak terkecuali para jago perguruan Tay ki bun, sebab hingga kini mereka masih belum bisa meraba hubungan apa yang sebenarnya terjalin antara Un Tay-tay dengan Lui-pian Lojin? Paras muka Seng Toa-nio bertiga berubah, kembali mereka mundur beberapa langkah.

   "Jadi mereka...

   mereka adalah musuh besarmu?"

   Seru Lui-pian Lojin setelah termangu beberapa saat.

   "Tepat sekali, kenapa kau orang tua belum juga turun tangan?"

   Timbul perasaan serba salah salah di wajah Lui-pian Lojin, dengan posisi dan kedudukannya saat ini, bagaimana mungkin dia bisa turun tangan keji terhadap orang yang sudah berhari-hari berkumpul bersamanya? Dengan suara gemetar Hek Seng-thian segera berseru.

   "Sudah cukup lama Boanpwe mengikuti kau orang tua, selama inipun aku selalu bersikap hormat dan menurut atas semua perintahmu.

   Tidak seharusnya kau membantu orang-orang perguruan Tay ki bun untuk menghadapi kami."

   Tiba-tiba Lui-pian Lojin berpaling, ditatapnya Im Gi lekat-lekat, kemudian tegurnya.

   "Jadi kau bermarga Im?"

   "Benar,"

   Jawab Im Gi dengan suara berat.

   "Hahaha, seharusnya bisa kuduga sejak awal, kecuali Ciang bunjin dari Thiat hiat tay ki bun, siapa lagi manusia di kolong langit saat ini yang memiliki jiwa dan kegagahan macam kau!"

   "Apakah kau akan menuruti perkataan orang di kanan kirimu dengan mengabaikan janji?"

   Sela Un Tay-tay dengan nada sedih.

   "apa yang telah kau kabulkan, semestinya dilakukan terlebih dulu, masalah lain bisa dibicarakan nanti saja."

   "Soal ini...."

   Dengan perasaan serba salah Lui-pian Lojin mengelus jenggotnya.

   Tiba-tiba dia tertawa tergelak, terusnya.

   "Hahaha, saat ini kau toh belum menjadi menantuku, apa salahnya aku baru membantumu turun tangan setelah kau menjadi menantuku nanti, sedang saat ini...

   Lohu tidak bisa membantumu."

   Un Tay-tay tertegun, baru saja akan mengucapkan sesuatu, mendadak terlihat olehnya buli-buli merah itu, akhirnya dia urung bicara lebih jauh.

   Sementara itu Hek Seng-thian telah berseru kegirangan.

   "Tepat sekali, asalkan kau orang tua tidak membantunya, maka kami pun...."

   "Selama Lohu tidak turun tangan, siapa pun yang berada di sini tidak boleh turun tangan! Mengerti?"

   Hardik Lui-pian Lojin gusar.

   "semuanya duduk, saksikan Lohu meneguk beberapa cawan arak bersama Im-ciangbunjin."

   Im Gi mengepalkan sepasang tinjunya kuat-kuat sambil berdiri mematung, saat itulah Lui-pian Lojin telah mengambil buli-buli yang berisi arak.

   "Arak itu tidak boleh diminum!"

   Tiba-tiba Un Tay-tay berteriak.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Lui-pian Lojin gusar.

   "Bila kau orang tua ingin minum arak ini, ada baiknya suruh Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian mencicipi seteguk lebih dulu."

   Perempuan ini yakin Seng Toa-nio serta Hek Seng-thian pasti sudah melakukan perbuatan busuknya di kala semua orang tidak berada di tempat.

   Dengan kening berkerut Lui-pian Lojin berpaling dan menatap tajam wajah Seng Toa-nio maupun Hek Seng-thian.

   Tidak terlukiskan rasa takut Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian waktu itu, paras mukanya berubah pucat pasi, tubuhnya menggigil keras.

   Berkilat sorot mata Lui-pian Lojin, selangkah demi selangkah dia berjalan menghampiri mereka, langkahnya selain berat juga terasa sangat lambat, tapi akhirnya sampai juga di hadapan mereka berdua.

   Dalam keadaan begini, Seng Toa-nio maupun Hek Seng-thian sudah tidak sanggup berdiri tegak lagi, tubuh mereka gontai seolah-olah setiap saat bakal roboh terjengkang.

   Perlahan-lahan Lui-pian Lojin menyodorkan buli-buli araknya, mendadak dia membentak.

   "Ayo, minum satu teguk!"

   Hek Seng-thian bermandikan keringat dingin, dia tergagap sampai tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

   Dengan menggunakan segenap kekuatan dan berupaya semampu mungkin dia membuka mulutnya, apa lacur, perkataan yang diutarakan justru tidak berwujud perkataan, siapa pun tidak idayang tahu perkataan apa yang dia ucapkan "Ayo, diminum!"

   Bentak Lui-pian Lojin lagi.

   "Blukkk!", mendadak tubuh Hek Seng-thian roboh terjungkal ke tanah, tapi sebelum mencium lantai tubuhnya sudah dicengkeram lebih dulu oleh Lui-pian Lojin sembari hardiknya lagi.

   "Mau minum tidak?"

   Pertanyaan itu diulang sampai beberapa kali, namun Hek Seng-thian tidak juga menyahut, keempat anggota tubuhnya lemas terkulai, badannya sama sekali tidak bergerak, ternyata dia sudah jatuh pingsan saking takutnya.

   "Budak anjing yang tidak berguna!"

   Maki Lui-pian Lojin gusar, dengan satu ayunan dia lemparkan tubuh Hek Seng-thian keluar.

   "Blaaamm!", tubuhnya menumbuk di atas dinding batu dan tidak bergerak lagi.

   Pek Seng-bu seperti ingin maju menolong, namun setelah melirik Lui-pian Lojin sekejap dia tidak berani melanjutkan langkahnya.

   Kini Lui-pian Lojin menyodorkan buli-buli arak itu ke hadapan Seng Toa-nio, bentaknya.

   "Kau saja yang minum!"

   Pucat pasi wajah Seng Toa-nio.

   "Boanpwe tidak berani...."

   Sahutnya tergagap.

   "Kenapa tidak berani?"

   Tukas Lui-pian Lojin gusar.

   "apakah kau tahu arak ini beracun? Jangan-jangan kau yang meracuni arak ini? Bicara! Ayo, cepat mengaku!"

   "Mana berani Boanpwe meracuni arak milik Cianpwe?"

   "Kalau memang arak ini tidak beracun, coba minumlah satu tegukan."

   "Boanpwe tidak berani mencicipi arak milik Cianpwe."

   "Kentut!"

   Umpat orang tua itu gusar.

   "hari ini kau harus meneguk habis arak ini, tidak mau pun tetap harus diminum!"

   Sambil berkata dia melemparkan buli-buli arak itu ke hadapan Seng Toa-nio, lanjutnya.

   "Akan kuhitung sampai tiga, kalau tidak kau habiskan, akan kucabut nyawamu!"

   Dari sikap maupun perubahan wajah kedua orang itu, semua orang segera tahu Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian pasti sudah mencampuri arak itu dengan racun, dalam keadaan begini, siapa lagi yang berani tampil ke depan membantu Seng Toa-nio bicara.

   Dengan sorot mata mohon dikasihani Seng Toa-nio mencoba menengok ke orang lain, tapi semua orang segera berlagak seolah tidak melihat, apalagi Pek Seng-bu, dia sudah berdiri jauh-jauh dari arena, bahkan berusaha tampil seolah tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini.

   "Satu...."

   Lui-pian Lojin mulai menghitung.

   Seng Toa-nio mencoba memandang ke empat penjuru, teriaknya dengan suara parau.

   "Aku sudah tua, badanku lemah, tidak kuat lagi meneguk arak keras.

   Kian-sik, Seng-bu, memandang wajah Cun-hau, tolong wakili aku meneguk arak itu!"

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tampaknya Liong Kian-sik tidak sanggup menahan diri lagi, baru saja tubuhnya bergerak, Liu Ji-wu telah menarik lengannya kuat-kuat, sekalipun dia terhitung seorang pendekar wanita, namun rasa setia kawannya tidak terlalu mendalam, bagaimanapun dia tidak tega membiarkan kekasih hatinya mewakili orang lain meneguk arak beracun.

   Di saat yang kritis itulah tiba-tiba terdengar hembusan ujung baju tersampuk angin, terlihat seseorang berlari masuk ke dalam ruang gua dengan langkah lebar.

   Orang itu berwajah merah, beralis tebal dan berperawakan tinggi besar, rupanya Seng Cun-hau lelah muncul persis pada saatnya.

   Kelihatannya dia sudah mendengar semua pembicaraan semenjak masih berada di mulut gua, itulah sebabnya dia berlari masuk dengan sepenuh tenaga.

   Kini dengan napas tersengal dia berlari mendekat, merampas buli-buli arak itu dan teriaknya.

   "Biar aku yang mewakili ibu meneguk arak ini."

   Berubah paras muka Seng Toa-nio, serunya kaget.

   "Kau... kau tidak boleh meneguknya...."

   Tapi belum selesai dia berkata, Seng Cun-h iu telah meneguk dua tiga tegukan isi buli-buli itu, menyaksikan hal ini Seng Toa-nio menjerit keras dan roboh tidak sadarkan diri.

   Pada saat itulah kembali muncul seorang, dia adalah Che Toa-ho, tapi lantaran semua orang sedang memusatkan perhatian pada Seng Cun-hau, maka tidak seorang pun yang memperhatikan kehadirannya.

   Tubuh Seng Cun-hau berdiri tegak bagaikan sebatang toya, tiada penderitaan di wajahnya, tiada pula rasa ngeri atau takut, yang tertinggal hanya perasaan sedih, malu dan menyesal yang mendalam.

   Dengan termangu Un Tay-tay memperhatikan wajahnya, tidak kuasa lagi dia berkeluh sambil menghela napas.

   "Dasar bodoh...

   dasar bodoh...

   kenapa kau memaksa diri meneguk arak itu...."

   "Kenapa kau harus meneguk arak itu?"

   Bentak Lui-pian Lojin pula.

   "Karena ibuku enggan meneguknya, maka Tecu harus mewakilinya."

   "Apakah kau tahu arak ini beracun?"

   Kembali Seng Cun-hau tertawa pedih.

   "Apalagi kalau arak ini benar-benar beracun, Tecu wajib meneguknya,"

   Dia berkata.

   "dilahirkan sebagai putranya, sudah menjadi kewajibanku untuk berbakti kepadanya, aku rasa tindakanku ini sangat lumrah."

   Im Gi yang selama ini hanya berdiri kaku tiba-tiba ikut menghela napas, ujarnya.

   "Orang bilang jago pedang berhati merah adalah seorang pendekar yang sangat berbakti, ternyata berita itu bukan berita kosong...

   Cing-su, Ting-ting, mulai hari ini dan seterusnya, kalian tidak boleh menyusahkan orang ini."

   "Tapi dia...

   dia pun...."

   Kata Thiat Cing-su tergagap.

   "Selama hidup, Lohu paling menghormati lelaki yang berbakti dan orang yang setia,"

   Tukas Im Gi keras.

   "aku melarang anggota perguruan Tay ki bun memusuhi manusia setia dan berbakti, aku harap kalian semua mengingatnya baik-baik!"

   "Bagus... ucapan yang bagus!"

   Lui-pian Lojin ikut manggut-manggut.

   Seng Cun-hau berpaling memandang Im Gi, sepasang matanya nampak mulai berkaca-kaca, ujarnya sedih.

   "Bicara soal tiong (setia) dan gi (setia kawan), Cayhe masih jauh tertinggal dibandingkan Thiat Tiong-tong, hanya sayang...

   hanya sayang aku tidak berjodoh bertemu lagi dengannya."

   Mengungkit kembali soal Thiat Tiong-tong, semua anggota perguruan Tay ki bun kembali tercekam dalam kepedihan mendalam.

   "Thiat Tiong-tong?"

   Seru Lui-pian Lojin.

   "aku rasa dia pasti seorang Enghiong."

   "Betul,"

   Sahut Un Tay-tay.

   "darimana kau orangtua tahu tentang dirinya?"

   "Biarpun Lohu tidak tahu tentang dia, namun kalau dia bukan seorang Enghiong, mana mungkin musuhnya pun memuji kehebatannya? Dimanakah dia sekarang?"

   Dengan sedih Un Tay-tay berdiam diri, sementara anggota perguruan Tay ki bun yang lain tertunduk lesu.

   "Jangan-jangan dia sudah mati?"

   Agak berubah wajah Lui-pian Lojin.

   "Betul!"

   Dengan sedih Im Gi manggut-manggut, kemudian menghela napas panjang.

   Lui-pian Lojin segera menghentakkan kaki berulang kali, kembali dia berpaling ke arah Seng Cun-hau dan bentaknya gusar.

   "Heran, kenapa para jago muda yang ada dalam dunia persilatan saat ini tidak berumur panjang? Sebaliknya kawanan manusia kurcaci yang tidak tahu malu justru dibiarkan hidup sampai tua...."

   Kelihatannya dia sangat emosi, dadanya naik turun tidak beraturan, untuk sesaat hanya terdengar suara napas yang berat dan memburu dari orangtua itu.

   "Aaah, tidak benar!"

   Mendadak terdengar Liu Ji-uh berseru tertahan.

   "Apanya yang tidak benar?"

   Tanya Lui-pian lojin dengan kening berkerut.

   Sambil memandang ke arah Seng Cun-hau, kembali Liu Ji-uh berkata.

   "Bila bibi Seng berniat mencelakai Lui-locianpwe, semestinya racun yang dia campurkan ke dalam arak adalah racun yang paling ganas...."

   "Seharusnya begitu,"

   Kata Lui-pian Lojin sambil tertawa seram.

   "kalau racunnya tidak keras, mana mungkin dia bisa mencelakai aku?"

   "Kalau begitu, sepantasnya racun itu sudah mulai bekerja begitu Seng-toako meneguk arak beracun dari buli-buli,"

   Tukas Liu Ji-uh lagi.

   "tapi kenyataan hingga sekarang Seng-toako masih dalam keadaan baik-baik."

   Semua orang segera mengalihkan sorot matanya ke wajah Seng Cun-hau, betul saja, paras mukanya masih nampak merah bersinar, sorot matanya berkilat tajam, sama sekali tidak nampak gejala keracunan.

   "Kalau begitu arak itu tidak beracun?"

   Tanya Lui-pian Lojin dengan wajah berubah, sinar matanya segera beralih ke wajah Un Tay-tay.

   "Tapi... tapi...."

   Un Tay-tay sendiri pun merasa terkejut bercampur heran.

   "Hmm! Apa lagi yang bisa kau ucapkan?"

   Tukas Lui-pian Lojin gusar.

   "Sana, segera menyingkir ke samping. Kalau lain kali kau berani bicara sembarangan lagi, Lohu pasti akan memberi pelajaran kepadamu!"

   Sikapnya terhadap Un Tay-tay memang sama sekali berbeda...

   andaikata orang lain yang berbuat begitu, sekalipun dia adalah putranya, mungkin saat ini dia sudah turun tangan memberi pelajaran, tidak mungkin menunggu sampai lain kali.

   Sekalipun begitu, kejadian itu cukup membuat Un Tay-tay merasa sesak napas dan serba salah.

   Seng Cun-hau menghembuskan napas lega, kini dia menghampiri ibunya dan memayangnya bangun, begitu juga dengan Pek Seng-bu, dia tidak bersembunyi lagi di sudut gua dan segera membangunkan Hek Seng-thian.

   Suasana yang semula tegang pun berangsur mengendor kembali, Lui-pian Lojin sekali lagi mengambil buli-buli berisi araknya, tapi sebelum diteguk, kembali dia mengawasi Seng Cun-hau beberapa kejap, agaknya dia ingin memastikan apakah lelaki itu keracunan atau tidak.

   Setelah yakin aman, Lui-pian Lojin baru meneguk arak dalam buli-buli itu, kemudian dia sodorkan buli-buli tadi ke hadapan Im Gi dan bertanya sambil tertawa.

   "Bagaimana?"

   Im Gi tidak menjawab, disambutnya buli-buli itu, kemudian meneguknya, kemudian dia melirik sekejap ke arah Im Kiu-siau.

   Sambil tertawa Im Kiu-siau menyambutnya dan ikut meneguk pula.

   Un Tay-tay sendiri meski tidak percaya arak itu tidak beracun, namun setelah menyaksikan paras muka Seng Cun-hau, mau tidak mau dia lurus mempercayainya juga, kendatipun hati kecilnya sangat gelisah, namun dia tidak berani banyak bicara lagi.

   "Ananda juga ingin meneguk arak itu,"

   Ujar Lui Siau-tiau sambil tertawa. Lui-pian Lojin tertawa terbahak-bahak.

   "Hahaha, kepandaianku yang lain enggan dipelajari, kemampuan minum arakku justru sudah kau pelajari dengan sempurna, baiklah, si rakus cilik, kau boleh minum satu tegukan,"

   Katanya.

   Sambil tersenyum Lui Siau-tiau menerima buli-buli itu dan meneguknya, kemudian secara diam-diam dia sodorkan buli-buli itu ke hadapan Liong Kian-sik, maka Liong Kian-sik pun ikut minum satu tegukan.

   Jago persilatan mana yang tidak suka arak? Melihat orang lain meneguknya dengan nikmat, siapa pun tidak tahan untuk ikut minum, menanti Liong Kian-sik selesai meneguknya, isi arak dalam buli-buli itu sudah tidak tersisa lagi.

   "Waah, gede amat mulut orang ini,"

   Teriak Lui-pian Lojin sambil tertawa.

   "hanya sayang...."

   "Celaka!!"

   Mendadak terdengar Liu Ji-uh berteriak lagi.

   "Apa yang terjadi?"

   Tegur Lui-pian Lojin dengan kening berkerut.

   "Kenapa Che... Che sam-ko berubah jadi begini?"

   Seru Liu Ji-uh dengan wajah memucat.

   Kembali sorot mata semua orang dialihkan ke wajah Che Toa-ho.

   Waktu itu Che Toa-ho sudah tidak sanggup berdiri tegak lagi, dia berdiri sambil bersandar di dinding batu, mukanya yang kurus kering kini sudah berubah hitam pekat, sinar matanya sama sekali tidak bercahaya lagi.

   Semua yang hadir boleh dibilang merupakan jago persilatan yang sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, sekilas pandang saja semua orang tahu apa yang terjadi.

   Paras muka Seng Cun-hau maupun Liong Kian-sik seketika berubah hebat.

   "Apakah dia...

   dia keracunan?"

   Tanya Liu Ji-uh tergagap.

   "Tidak disangkal lagi, dia pasti keracunan!"

   Sahut Lui Siau-tiau dengan suara berat.

   "Tapi... tapi apa yang telah terjadi? Yang minum arak beracun tidak keracunan, yang tidak minum justru keracunan, darimana datangnya racun itu?"

   Lui-pian Lojin termenung sambil berpikir sebentar, kemudian tanyanya.

   "Apakah sepanjang perjalanan, kalian berdua telah menjumpai sesuatu? Kenapa Suto Siau dan Sun Siau-kiau sekalian hingga kini belum sampai di sini?"

   "Sewaktu dalam perjalanan tadi, Tecu sekalian memang telah berjumpa dengan satu kejadian aneh,"

   Sahut Seng Cun-hau cepat.

   "gara-gara terhadang peristiwa yang barusan terjadi, hampir saja Tecu lupa melaporkan."

   "Kalau begitu cepat katakan."

   "Biasanya Tecu selalu menempuh perjalanan bersama Siau-kiau sekalian, berhubung kali ini Tecu dan Toa-ho ada urusan lain, maka kami minta Siau-kiau melakukan perjalanan bersama dua bersaudara Gi...."

   "Siapa pula dua bersaudara Gi itu?"

   Bentak Lui-pian Lojin.

   "Mereka adalah saudara satu persekutuan dengan Tecu, mereka datang terlambat karena ada urusan lain...."

   "Hmm!"

   Lui-pian Lojin mendengus.

   "lanjutkan!"

   "Tecu bisa datang lebih cepat karena sebelumnya sudah mengantar Cianpwe datang kemari lebih dulu, sedangkan Siau-kiau sekalian harus mengikuti petunjuk rahasia yang ditinggalkan, itulah sebabnya Tecu bisa sampai di sini lebih dulu."

   Mendengar sampai di situ, satu ingatan segera melintas dalam benak Un Tay-tay, pikirnya.

   "Tak heran Suto Siau dan Sun Siau- kiau sekalian belum sampai di sini, mereka tidak tahu kalau petunjuk jalan sudah kukacaukan, biar ditunggu sehari semalam lagi pun belum tentu mereka dapat menemukan lorong rahasia ini"

   Biarpun dalam hati merasa geli, tentu saja dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terdengar Seng Cun-hau berkata lebih lanjut.

   "Sewaktu Tecu dan Toa-ho berjalan separoh jalan, tiba-tiba dari sisi jalan di balik hutan melompat keluar seorang Thauwto berbaju merah, tanpa sebab dia langsung menghadang jalan pergi kami...."

   "Seorang Thauwto berbaju merah?"

   Berubah paras muka Lui-pian Lojin.

   "apakah kungfunya sangat hebat?"

   "Kehebatan ilmu silat yang dimiliki orang ini sungguh menggidikkan hati, biarpun Tecu dan Toa-ho sudah beberapa kali berganti gerakan tubuh, usaha kami untuk berkelit darinya selalu gagal, terpaksa kami pun menegur, mengapa dia menghadang jalan pergi kami?"

   "Benar, apa alasannya menghadang jalan pergi kalian?"seru Liu Ji-uh pula.

   "Thauwto berbaju merah itu hanya mengucapkan sepatah kata.

   "Ikuti aku!", dengan perasaan apa boleh buat Tecu berdua pun mengintil di belakangnya, setiba di dalam hutan, kami menemukan lagi kejadian lain yang lebih mencengangkan!"

   Kelihatannya apa yang terlihat waktu itu memang satu kejadian yang mencengangkan, sebab ketika bercerita sampai di situ, paras mukanya kembali berubah. Tidak tahan Lui Siau-tiau serta Liong Kian-sik bertanya hampir bersamaan.

   "Kejadian aneh apa?"

   Seng Cun-hau menghembuskan napas panjang, katanya.

   "Kejadian itu adalah...."

   Ternyata sewaktu Seng Cun-hau dan Che Toa-ho masuk ke dalam hutan, mereka lihat ada seseorang tergantung di atas dahan pohon, orang itu berkulit hitam bagai baja dan mengenakan celana pendek.

   Di bawah pohon itu berdiri seorang gadis dengan rambut awut-awutan dan wajah penuh air mata, dilihat lagaknya, dia mirip seorang gadis yang tidak waras otaknya, dengan sebatang rotan tidak hentinya dia melecuti tubuh orang yang tergantung di atas pohon.

   Yang aneh, setiap kali dia melecuti tubuh orang itu, air matanya kembali bercucuran, jelas hatinya amat sedih dan tersiksa, namun pecutnya masih tidak hentinya dicambukkan ke tubuh orang itu, bahkan caranya memukul pun tanpa belas kasihan.

   Yang lebih aneh lagi, orang yang tergantung di atas pohon itu meski tubuhnya sudah kaku dan matanya terbelalak lebar, namun setiap kali rotan itu mencambuk tubuhnya, dia sama sekali tidak terlihat kesakitan atau menderita.

   Biarpun Seng Cun-hau dan Che Toa-ho udah lama berkelana dalam dunia persilatan, tidak urung mereka dibuat tertegun juga setelah menyaksikan kejadian ini, untuk sesaat mereka hanya bisa saling berpandangan tanpa mengucap-k in sepatah kata pun Lewat beberapa saat kemudian, akhirnya Seng Cun-hau bertanya.

   "Thaysu, apakah kau ada petunjuk? Sebenarnya karena persoalan apa kau membawa kami kemari? Maaf, Cayhe berdua masih ada urusan lain, kami harus segera pergi dari sini."

   "Kalau ingin pergi dari sini gampang sekali, setiap saat aku bisa membebaskan kalian, cuma kalian berdua harus menyanggupi dulu satu permintaanku."

   "Soal apa? Asal...."

   "Persoalan ini sama sekali tidak merugikan kalian berdua,"

   Tukas Thauwto berbaju merah itu.

   "Kalau memang begitu, silakan Thaysu memberi petunjuk."

   "Asal kalian berdua mau menggunakan seluruh tenaga dalam yang kalian miliki dan menghantam dengan keras tubuh orang yang tergantung di atas pohon itu, setiap saat kalian boleh pergi."

   Permintaan ini jauh di luar dugaan Seng Cun-hau serta Che Toa-ho, kedua orang itu malah melongo.

   Sesaat kemudian kembali Seng Cun-hau berkata.

   "Cayhe tidak punya dendam sakit hati dengan orang ini, mana tega aku melukainya? Lagipula dia sudah Thaysu tangkap, kenapa bukan Thaysu sendiri yang turun tangan?"

   "Kau tahu apa hubunganku dengannya?"

   "Tentu saja musuh besarnya."

   "Keliru, dia adalah satu-satunya muridku."

   Sekali lagi Seng Cun-hau tertegun, tanyanya keheranan.

   "Apakah dia telah melanggar peraturan perguruan? Kalau memang begitu, seharusnya Thaysulah yang melaksanakan hukuman itu, kenapa mesti Cayhe yang turun tangan?"

   Bukan menjawab, Thauwto berbaju merah itu malah balik bertanya.

   "Tahukah kau, siapa gadis yang sedang melecutinya sekarang?"

   Senyuman misterius yang selalu tersungging di ujung bibirnya kini nampak semakin kentara dan jelas.

   "Kalau soal ini... Cayhe semakin tidak bisa menebak."

   "Gadis itu adalah putrinya,"

   Ujar Thauwto berbaju merah itu.

   Tidak terlukiskan rasa terperanjat Seng Cun-hau serta Che Toa-ho, mereka berdua sampai berdiri terbelalak dengan mulut melongo, tidak sepatah kata pun mampu diucapkan Sambil tersenyum, kembali Thauwto berbaju merah itu berkata.

   "Dari sini bisa dibuktikan permintaanku kepada kalian bukan muncul atas niat jahat, apa lagi yang kalian pertimbangkan? Ayo, cepatlah turun tangan."

   Che Toa-ho tertegun beberapa saat, gumamnya.

   "Kalau sampai putrinya pun menghajar dia, kenapa tidak kita lakukan?"

   Betul saja, dia segera meluncur maju ke depan dan langsung melepaskan sebuah pukulan dengan sepenuh tenaga.

   Dia bukanlah seorang jagoan tanpa nama, bisa dibayangkan betapa dahsyat dan luar biasanya serangan itu.

   Meski badan orang itu terlempar karena tenaga getaran, ternyata dia sama sekali tidak menunjukkan kesakitan.

   Menyaksikan keadaan itu, otomatis Seng Cun-hau tidak bisa menghindar lagi, terpaksa dia pun melepaskan sebuah pukulan.

   Ketika Seng Cun-hau bercerita sampai di sini, paras muka semua orang berubah hebat...

   bagaimanapun peristiwa ini penuh mengandung keanehan, kecurigaan dan kemisteriusan yang membuat orang susah untuk menduga.

   Terdengar Seng Cun-hau menghela napas panjang, kembali ujarnya.

   "Setelah Tecu melepaskan sebuah pukulan, betul saja, Thauwto berbaju merah itu benar-benar melepaskan Tecu berdua, tapi...

   tapi sampai sekarang pun Tecu belum bisa menduga apa maksud dan tujuannya berbuat begitu?"

   Dengan kening berkerut Lui-pian Lojin termenung sambil berpikir, kalau dia saja tidak inggup menjawab, tentu saja orang lain semakin tidak sanggup menjawab persoalan itu.

   Dalam pada itu Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian telah mendusin dari pingsannya, mereka berdua hanya duduk tertegun, tertegun karena kaget bercampur takut.

   Di bawah cahaya api, tampak peluh sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi wajah Un Tay-tay, bibirnya gemetar seperti ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak berani bicara.

   Melirik sekejap wajah perempuan itu, Lui-pian Lojin segera menegur.

   "Apa yang ingin kau katakan?"

   Un Tay-tay menarik napas dingin, gumamnya.

   "Tubuh Dewa racun."

   Berubah hebat paras muka Lui-pian Lojin, cepat dia menarik ujung bajunya sambil membentak nyaring.

   "Apa kau bilang? Coba ulangi sekali lagi."

   "Tubuh Dewa racun!"

   Sepatah demi sepatah Un Tay-tay berucap.

   Mendadak sekujur badan Lui-pian Lojin gemetar keras, perlahan dia mengendorkan tangannya, lalu mundur sejauh tiga langkah, sepasang matanya melotot, rambutnya bergetar seperti dihembus angin, gumamnya.

   "Tubuh Dewa racun...

   betul, tubuh Dewa racun, seharusnya sudah terpikir olehku sejak tadi."

   Tiba-tiba dia membalikkan badannya menghadap ke arah Seng Cun-hau, lanjutnya.

   "Apakah Thauwto berbaju merah itu berperawakan tinggi dengan kepala yang amat besar, selain kepalanya bahkan sepasang alis mata pun berwarna merah darah?"

   "Betul, tapi...

   darimana Cianpwe tahu?"

   Tanya Seng Cun-hau keheranan.

   "Lohu kenal orang ini."

   "Siapakah dia?"

   "Dia adalah rasul dari selaksa racun, Siang-lok Thaysu."

   Beberapa patah kata itu begitu diucapkan, setiap patah kata seolah mempunyai berat ribuan kati, membuat semua orang merasa tertindih, sesak napas, mukanya mengejang dan tidak sanggup htrkata-kata.

   Mendadak Lui-pian Lojin menghentakkan kaki ke atas tanah, serunya.

   "Lohu tidak tahu sejak kapan "tubuh Dewa Racun"

   Berhasil terbentuk, tapi kalau memang "tubuh Dewa racun"

   Sudah terbentuk, ini bahaya jadinya, aku...

   aku pun tidak tahu bagaimana baiknya?"

   Ketika semua orang menyaksikan Lui-pian lojn yang terhitung seorang jagoan ampuh dan tidak pernah takut terhadap masalah apapun kini menunjukkan perasaan ngeri dan kaget yang luar biasa setelah mendengar tentang "tubuh Dewa Racun", tidak urung semua orang pun ikut terkesiap dan merasa ngeri.

   "Sebenarnya apa yang disebut "tubuh Dewa Racun?"

   Tidak tahan Seng Cun-hau bertanya.

   Lui-pian Lojin memandang sekeliling tempat itu sekejap, kemudian sahutnya dengan suara dalam.

   "Tubuh Dewa racun merupakan dewa dari segala racun, kedahsyatan racun yang terkandung tiada taranya, barang siapa tersentuh oleh tubuhnya, maka tanpa sadar dia akan keracunan hebat, sebab racun itu tanpa wujud, tanpa bentuk maupun tanpa rasa."

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Liu Ji-uh menjerit kaget, menjerit sekeras-kerasnya.

   Ternyata tubuh Liong Kian-sik secara mendadak mengejang keras, kemudian roboh terjungkal ke tanah.

   Dengan satu gerakan cepat Lui-pian Lojin melompat ke depan, lalu bagaikan sambaran petir secara beruntun dia totok delapan belas jalan darah penting di nadi sebelah kiri Lui Siau-tiau dan Liong Kian-sik.

   Im Gi dan Im Kiu-siau ikut menjatuhkan diri bersila, raut muka mereka mengejang kencang.

   Dengan kecepatan luar biasa Lui-pian Lojin melayang di hadapan kedua orang itu, kembali tangan kiri dan kanannya bekerja cepat, dalam waktu singkat dia telah menotok pula jalan darah penting di tubuh mereka berdua.

   Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu singkat, seketika suasana dalam ruang gua itu kacau-balau, Pek Seng-bu, Hek Seng-thian maupun Seng Toa-nio serentak melompat bangun dan berdiri saling berdempetan.

   Che Toa-ho dengan buih meleleh dari mulutnya sudah berada dalam keadaan tidak sadar semenjak tadi, sementara Thiat Cing-su dan Im Ting-ting berdiri dengan air mata berlinang.

   Lama sekali Lui-pian Lojin berdiri mematung, akhirnya dia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan, dengan sorot mata berapi-api penuh amarah, ditatapnya wajah Seng Toa-nio sekalian tanpa berkedip.

   "Arak itu beracun...."

   Gumam Un Tay-tay dengan suara gemetar.

   "ternyata dalam arak itu benar-benar beracun." "Kalau... kalau arak itu beracun, kenapa aku tidak keracunan?"

   Tanya Seng Cun-hau.

   "Aku sendiri pun kurang jelas, mungkin saja karena dalam tubuhmu sudah terdapat racun dari "tubuh Dewa racun", maka sehabis meneguk arak beracun itu terjadi bentrok antara racun yang itu dengan racun yang lain, akibatnya semua racun tidak bisa bekerja lagi.

   Gara-gara bencana, kau malah mendapat keberuntungan, hanya sayang...."

   Dia memandang sekejap ke arah Lui-pian lojin ayah beranak serta dua bersaudara Im, kemudian dengan sedih menutup mulutnya kembali.

   Seng Cun-hau berdiri termangu, rasa sedih dan duka yang mendalam menghiasi wajahnya, gumamnya.

   "Kalau begitu, justru akulah yang telah mencelakai mereka."

   Sementara itu terdengar suara isak tangis Liu Ji-uh yang amat memilukan hati bergema memecah keheningan, perempuan itu hanya meratapi Liong Kian-sik tanpa mempedulikan yang lain.

   Menyaksikan Lui Siau-tiau, Im Gi serta Im Kiu-siau yang duduk kaku bagaikan patung, kontan saja dia merasa amat sedih, dengan perasaan hancur-lebur, teriaknya.

   "Aku pantas mati! Aku pantas mati!"

   Ketika selesai mengucapkan perkataan yang terakhir, darah segar menyembur keluar dari mulutnya, seketika lelaki itu roboh terkapar ke tanah dan tidak sadarkan diri.

   Diam-diam Un Tay-tay mencoba untuk melakukan analisa, dalam liang gua saat itu tinggal tujuh orang yang belum keracunan, mereka adalah Seng Toa-nio, Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Im Ting-ting, Thiat Cing-su, Liu Ji-uh serta dirinya.

   Dari ketujuh orang itu, tiga di antaranya merupakan musuh besar yang cukup tangguh, berdasarkan analisa yang dia buat, dengan kepandaian silat yang dimiliki keempat orang yang ada sekarang, betapapun hebatnya kungfu yang dimilikinya, rasanya masih bukan tandingan lawan.

   Apalagi posisi Liu Ji-uh masih tanda tanya besar, apakah dia musuh atau sahabat? Sampai sekarang dia tidak tahu.

   Sedangkan Im Ting-ting serta Thiat Cing-su masih berada dalam kondisi sedih dan terpukul batinnya, kesadaran mereka jelas terganggu, hal ini akan menyebabkan kehebatan ilmu silat mereka pun melemah.

   Menyadari situasi yang sangat tidak menguntungkan, perasaan bergidik seketika menyelimuti hatinya, kini dia hanya bisa berdoa, berharap Lui-pian Lojin dapat mengendalikan racun yang bersarang dalam tubuhnya dan tidak ikut roboh.

   Benar saja, Lui-pian Lojin berhasil mempertahankan diri, dia tidak sampai roboh terjungkal.

   Waktu itu Seng Toa-nio, Hek Seng-thian maupun Pek Seng-bu sudah merasa kegirangan setengah mati, sedemikian girangnya hingga sulit untuk melukiskan perasaan mereka.

   Semula mereka berharap hanya Lui-pian Lojin seorang yang roboh keracunan, seorang pun sudah membuat meraka amat puas, siapa tahu kenyataan bicara lain, bukan saja orang tua itu berhasil mereka racuni, bahkan dua bersaudara Im yang merupakan musuh bebuyutan pun ikut keracunan.

   Sudah lama mereka berupaya melenyapkan musuh bebuyutannya itu dari muka bumi, tapi usahanya tidak pernah berhasil, sebaliknya setiap tahun mereka harus menghadapi sergapan mematikan dari sisa kekuatan perguruan Tay ki bun.

   Maka begitu rancangan mereka membuahkan hasil yang di luar dugaan, bisa dibayangkan betapa girangnya orang-orang itu, nyaris mereka bertiga tertawa terbahak-bahak saking gembiranya.

   Tapi begitu mereka bertiga menyaksikan tubuh Lui-pian Lojin yang masih berdiri tegar, perasaan girang yang berkecamuk dalam benak mereka seketika lenyap tidak berbekas.

   Sebetulnya sejak tadi mereka bertiga sudah siap menerkam ke depan, namun berhubung Lui-pian Lojin masih berdiri tegar, maka mereka jadi ragu untuk melancarkan serangan, bagi mereka bertiga, pengorbanan sebesar apapun tetap akan mereka bayar asalkan Lui-pian Lojin roboh terjungkal.

   Kenyataan bukan saja Lui-pian Lojin tidak loboh, sebaliknya selangkah demi selangkah justru berjalan menghampiri mereka.

   Perasaan bergidik bercampur ngeri seketika berkecamuk dalam benak Seng Toa-nio bertiga, tanpa sadar mereka mundur terus berulang kali, mundur hingga punggung mereka menempel di dinding batu yang dingin "Benarkah kalian yang meracuni arakku? Katakan! Racun apa yang kalian gunakan?"

   Hardik Lui-pian Lojin dengan mata berapi-api. Seng Toa-nio tertawa terkekeh.

   "Racun apa? Aduh mak, aku sudah lupa jengeknya. Walaupun dia ingin sekali memperdengarkan suara gelak tertawa penuh kebanggaan, namun di bawah ancaman serius Lui-pian Lojin, dia betul-betul tidak mampu tertawa, yang muncul justru suara aneh mirip suara katak yang sedang meraung. Tapi berada dalam situasi dan keadaan seperti ini, suara semacam itu justru terdengar sangat menyeramkan, suara yang membuat bulu roma berdiri. Lui-pian Lojin mengepal tinjunya semakin kencang, kembali hardiknya.

   "Mau bicara tidak?"

   Suara bentakan yang menggelegar bagai bunyi geledek itu kini terdengar agak sumbang, hal ini menunjukkan bahwa meski dia berhasil mengendalikan bekerjanya racun dengan mengandalkan tenaga dalam hasil latihannya selama puluhan tahun, namun racun jahat itu sudah mulai merasuk ke dalam isi perutnya.

   Akibat susupan racun jahat, tubuhnya yang kekar bagai terbuat dari baja dan kekuatannya yang dahsyat bagai guntur membelah bumi itu mulai terkikis oleh pengaruh racun yang tidak berwujud itu dan mulai melemah.

   Nyali Seng Toa-nio bertambah besar, ejeknya.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalau aku tidak bicara, kau mau apa?"

   "Kalau tidak mau bicara, kucabut nyawamu!"

   "Memangnya setelah aku katakan, kau akan membebaskan diriku begitu saja? Hehehe, omongan yang cuma bisa membohongi anak kecil pun ingin kau gunakan untuk membohongi aku?"

   


Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Sang Ratu Tawon -- Khulung

Cari Blog Ini