Pendekar Panji Sakti 24
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 24
Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung
Un Tay-tay tahu, bila Lui-pian Lojin dapat segera mengetahui sifat racun yang mengeram dalam tubuhnya, kemungkinan besar dia akan segera menemukan obat penawarnya, bila ditunda lebih lama lagi, apabila racun sudah menyerang makin ke dalam, sulit baginya untuk menyelamatkan jiwa.
Sayang perempun ini hanya bisa panik, dia sendiri pun tidak berdaya menghadapi situasi seperti ini.
Sambil menyeringai licik, kembali Seng Toa-nio berkata.
"Apalagi saat ini kau sedang menggunakan seluruh kekuatanmu untuk mendesak keluar racun yang mengeram di dalam tubuh, mana mungkin memiliki sisa kekuatan untuk menyerangku? Hmmm, padahal kau tahu dengan jelas, bila berani menggunakan hawa murnimu secara sembarangan, kau segera akan mati keracunan."
"Sekalipun harus mengalami nasib tragis, akan kugunakan sisa kekuatan yang Lohu miliki untuk menggempur kalian bertiga hingga hancur lebur! Kalau tidak percaya, ayo, segera majulah untuk mencoba."
Seng Toa-nio tertawa tergelak.
"Hahaha, kalau aku bertiga turun tangan bersama, memangnya kau berani menyerang? Hehehe, lagi pula buat apa kami mesti bersusah payah menggempurmu? Bukankah lebih enak menunggu kau mati keracunan sebelum turun tangan?"
Perkataannya ini memang merupakan titik kelemahan yang dimiliki setiap manusia...
siapa pun, sebelum tiba pada saat yang paling kritis, mereka tidak akan melepaskan setiap harapan yang ada untuk mempertahankan hidup.
Paras muka Lui-pian Lojin sebentar berubah merah sebentar berubah hijau, sepasang kepalannya yang menggenggam kencang terlihat gemetar saking emosi, tapi dia tidak berani turun tangan secara gegabah.
Saat ini keselamatan jiwanya sudah menyangkut keselamatan banyak orang, jika dia sampai tertimpa sesuatu, dapat dipastikan nyawa orang lain pun akan turut melayang.
Mendadak Liu Ji-uh menjatuhkan diri berlutut, pintanya dengan gemetar.
"Seng Toa-nio, aku mohon kepadamu, katakanlah racun apa yang telah kau gunakan, kami suami istri tidak ada dendam sakit hati denganmu, kenapa...
kenapa kau harus mencabut nyawanya?"
Seng Toa-nio tertawa terkekeh.
"Waaah... waaah... waaaah... Lan hong kiam khek yang selalu tampil angkuh pun hari ini memohon kepada orang lain? Bila tahu bakal ada kejadian begini, kenapa sejak dulu kau tidak bersikap lebih sopan kepadaku?"
Liu Ji-uh menggigit bibirnya kencang-kencang, sekuat tenaga dia berusaha menahan penghinaan, rasa sedih dan gusar yang berkecamuk...
sebetulnya perbuatan semacam ini tidak nanti akan dia lakukan, tapi hari ini, demi orang yang dicintainya, dia tidak segan untuk mengorbankan segalanya.
Dengan kepala tertunduk, kembali ujarnya gemetar.
"Bagaimanapun kumohon kau orang tua bersedia menyelamatkan jiwanya, selama...
selama hidup aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu."
Seng Toa-nio menatapnya sekejap, tiba-tiba dia tertawa seram, dari balik matanya terpancar sinar kebencian, kedengkian dan rasa iri yang mendekati kalap.
"Woow, sepasang suami istri yang begitu mesra,"
Ejeknya sambil menyeringai seram.
"demi dia, kau benar-benar rela mengorbankan segalanya? Kau benar-benar mencintainya dengan sepenuh hati?"
"Asal dia bisa hidup, aku... aku rela mati!"
Dengan kepala tertunduk dan air berlinang Liu Ji-uh menyahut.
Biarpun hanya sepatah kata yang sederhana, namun terkandung rasa cinta yang tidak terkirakan Cinta kasih yang begitu dalam, begitu mesra dan kuat, sudah lebih dari cukup untuk menggoyahkan hati manusia sekeras baja sekalipun.
Tapi sorot mata kedengkian yang mencorong keluar dari balik mata Seng Toa-nio justru nampak bertambah mengental, mimik mukanya semakin mendekati gila, berteriak sambil menye-ringai seram.
"Sebetulnya aku berniat menolongnya, tapi setelah menyaksikan cinta kasih kalian berdua yang begitu mendalam, aku justru tidak ingin menolongnya...
aku...
aku akan berdiri di sisi kalian dan menikmati penderitaan yang dia alami, akan kusaksikan dengan perlahan bagaimana dia mati karena tersiksa dan menderita."
"Ke...
kenapa kau harus berbuat begitu?"
Keluh Liu Ji-uh sedih.
Seng Toa-nio mengalihkan sorot matanya yang penuh kebencian ke tempat jauh, lama kemudian dia baru menjawab.
"Karena selama hidup aku paling benci menyaksikan suami istri yang bisa hidup bahagia, bisa hidup saling mencintai macam kalian, aku...
aku benci, kenapa suami istri yang lain bisa hidup saling mencintai, bisa hidup penuh kebahagiaan sementara kehidupan suami istri dalam keluarga Heng justru amburadul dan berantakan tidak keruan, aku...
aku benci dan menyesal kenapa tidak mampu memporak-porandakan kehidupan suami istri di dunia ini yang hidup saling mencintai."
Liu Ji-uh gemetar keras, ucapan itu sangat memukul perasaan hatinya, diiringi jeritan tertahan dia roboh terjungkal.
Dengan geram Lui-pian Lojin segera mengumpat.
"Kau...
dasar perempuan busuk berhati keji, sekalipun Thian telah mengganjar kau putus keturunan, rasanya masih belum cukup untuk menebus semua dosa dan kejahatan yang pernah kau lakukan."
Seng Toa-nio semakin naik pitam, jeritnya.
"Betul, aku keluarga Seng memang putus keturunan! Tapi bagaimana dengan keluarga Lui kalian? Toh kau pun bakal putus keturunan...
hahaha...
kalian ayah beranak sudah terkena Coat cing hoa tok (racun bunga pemutus cinta), memangnya masih ingin hidup terus?"
"Coat cing hoa?"
Jerit Lui-pian Lojin terkesiap.
Terdorong oleh rasa sakit, sedih dan emosi yang meluap, secara tidak sengaja Seng Toa-nio telah menyebutkan nama racun yang digunakan, kini mau mungkir pun sudah terlambat, maka sahutnya keras.
"Betul! Aku memang menggunakan racun Coat cing hoa! Bunga pemutus cinta milik tokoh sakti yang disebut orang sebagai Bong tiong Siancu (dewi dalam impian), kau tentu pernah dengar nama ini bukan? Kau pun tahu bukan racun dari bunga ini tak ada penawarnya?"
Dia kuatir Lui-pian Lojin dalam keputus-asaannya tiba-tiba melancarkan serangan mematikan kepadanya, maka secara diam-diam dia himpun tenaga dalamnya dan bersiap sedia.
Siapa tahu pukulan itu memang kelewat berat, bahkan Lui-pian Lojin sendiri pun tidak sanggup menerima kenyataan itu...
tidak tahan lagi dia jatuh terduduk ke tanah, untuk sesaat diahanya bisa duduk termangu.
Un Tay-tay pun tidak kalah kagetnya, kini pihaknya boleh dibilang sudah menderita kekalahan lotal, tidak seorang pun di kolong langit yang sanggup menyelamatkan mereka.
Lui-pian Lojin yang nama besarnya menggetarkan sungai telaga, kini keselamatan jiwanya sudah di ujung tanduk, sementara tujuh jago pedang pelangi yang tersohor pun sudah tercerai-berai.
Tapi yang paling memedihkan hati adalah para tokoh Thiat hiat tay ki bun yang selama ini berusaha menghindar dari kepunahan, kini justru sudah dihadapkan pada pilihan yang paling tragis.
Siapa pernah menduga, racun arak dalam ebuah buli-buli kecil ternyata memiliki kekuatan penghancur yang demikian dahsyatnya, siapa pula yang pernah menduga seorang tokoh maha sakti dunia persilatan, harus kehilangan nyawa di tangan manusia kurcaci, Siaujin tidak tahu malu macam Seng Toa-nio, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu...
kalau dibilang inilah kemauan takdir, maka kemauan takdir ini betul-betul keji dan sangat tiagis.
Dengan perasaan hampa Lui-pian Lojin bergumam.
"Racun bunga pemutus cinta merupakan benda paling beracun di alam semesta, racun tubuh Dewa racun justru merupakan racun paling jahat ciptaan manusia...
yang satu merupakan benda paling beracun di alam semesta, sedang yang lain merupakan benda paling beracun ciptaan manusia, bila dua jenis racun saling bertemu, hanya racun Coat cing hoa yang bisa mengatasi Tok-sin, dan hanya Tok-sin yang bisa mengendalikan racun Coat cing hoa...
tapi...
tapi...
kenapa semuanya bisa terjadi begitu kebetulan? Kenapa keduanya bisa muncul bersamaan?"
"Hahaha...."
Seng Toa-nio tertawa seram.
"kalau bukan sangat kebetulan, mana mungkin aku bisa mencelakaimu?"
Mendadak Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan bertanya.
"Coat cing hoa disebut juga dewi dalam impian, ini disebabkan bunga itu tumbuh di suatu tempat yang sulit ditemukan, darimana kau memperoleh benda beracun ini?"
Seng Toa-nio kembali tertawa terkekeh.
"Hahaha, dewi dalam impian! Sebuah nama yang tepat sekali, ketika kau berniat berjumpa dewi dalam impian, kau justru tidak pernah bermimpi, sebaliknya ketika kau tidak berhasrat menjumpainya, sang dewi justru muncul dalam impianmu...
Coat cing hoa, sesuai dengan nama dewi dalam impian, tentu saja begitu pula kenyataan."
"Tapi kami harus berterima kasih kepadamu,"
Kata Hek Seng-thian pula.
"kalau bukan gara-gara kau, tidak mungkin bisa kami peroleh bunga langka itu."
"Berterima kasih kepadaku?"
"Betul, harus berterima kasih kepadamu, kalau bukan gara-gara kau memaksa kami melakukan pemeriksaan di sekeliling sini, mustahil kami bisa tiba di tanah berawa-rawa yang begitu rahasia letaknya, apa mau dikata, ternyata Coat cing hoa yang diimpikan setiap orang itu justru tumbuh di tengah tanah berawa-rawa itu."
"Tanah berawa-rawa?"
Seru Un Tay-tay tertahan, satu ingatan segera melintas dalam benaknya.
Dia segera teringat kembali tanah berawa dimana dia kebumikan Sui Leng-kong di tengah tumpukan bunga, dia pun teringat bunga-bunga bercahaya aneh yang tumbuh memenuhi tanah berawa itu.
Tiba-tiba terdengar Hek Seng-thian membentak gusar.
"Buat apa banyak bicara lagi dengannya? Biar kucabut nyawanya, agar semua Enghiong di kolong langit tahu Lui-pian Lojin tewas di tangan siapa."
Belum selesai bicara, dia sudah melolos pedang yang tersoreng di pinggang Seng Cun-hau dan menerkam ke depan, di antara kilatan cahaya pedang bagaikan sambaran petir, dia langsung menusuk tenggorokan Lui-pian Lojin.
Un Tay-tay sadar, biarpun Lui-pian Lojin memiliki kepandaian silat yang amat dahsyat pun sulit rasanya menangkis atau meloloskan diri, di tengah jeritan kaget, dia siap menerkam ke depan untuk membendung serangan itu.
Siapa tahu belum sempat dia bergerak, terdengar Lui-pian Lojin membentak nyaring, tangannya dikebaskan ke depan, di antara alunan ujung bajunya yang melayang bagai segulung awan, dia sudah menyongsong datangnya cahaya pedang itu.
Biarpun hanya selembar ujung baju yang tipis dan ringan, saat itu justru memiliki kekuatan ribuan kati.
Hek Seng-thian merasakan tangannya bergetar keras, dadanya terasa panas sekali, segulung kekuatan yang sukar dibendung telah menumbuk dadanya, menyusul tubuhnya mencelat jauh ke belakang.
Cahaya hijau berkelebat, pedangnya sudah terpental hingga meluncur keluar dari mulut gua.
Berubah hebat paras muka Seng Toa-nio serta Pek Seng-bu.
Tampak Hek Seng-thian berjumpalitan beherapa kali di tengah udara sebelum melayang turun ke bawah, lagi-lagi dia mundur beberapa langkah dengan sempoyongan sebelum akhirnya berdiri tegak dengan menempel dinding.
Paras mukanya saat itu pucat-pias seperti mayat, pedang dalam genggamannya sudah mencelat entah kemana, masih untung ketika melancarkan serangan tadi dia masih menyisihkan jalan mundur bagi dirinya, bagaimanapun dia masih tetap menaruh rasa jeri dan ngeri terhadap Lui-pian Lojin, kalau tidak, mungkin nyawanya saat itu sudah melayang meninggalkan raga.
Dalam keadaan seperti ini, pecah sudah nyali orang itu, jangankan melancarkan serangan, bergerak pun tidak berani lagi.
Ulat berkaki seribu tidak pernah mati kaku...
kehebatan Lui-pian Lojin memang sungguh mengagumkan, sekalipun sudah keracunan, namun serangannya masih dahsyat dan mematikan...
gempuran ini sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan perasaan setiap orang.
Lui-pian Lojin sendiri pun agak kepayahan sehabis melancarkan gempuran itu, dia berdiri dengan napas terengah-engah.
"Kematian sudah di depan mata, buat apa kau ngotot ingin mengadu nyawa?"
Ejek Seng Toa-nio sambil tertawa dingin.
"Hmm! Sekalipun hari ini Lohu harus tewas di tempat ini, tidak nanti kubiarkan kalian budak-budak busuk yang tidak tahu malu menyentuh seujung bajuku, selembar rambutku!"
"Hahaha, bagus, bagus sekali,"
Kembali Seng Toa-nio tertawa terkekeh.
"kami tidak akan menyentuhmu, akan kubiarkan kau mampus dengan sendirinya, tapi bila kau sudah mampus, kami akan mencincang tubuhmu hingga hancur, akan kucabik-cabik tubuhmu, meludahi wajahmu... hmmmm, bisa apa kau? Memangnya waktu itu kau sanggup menghalangi ulah kami?"
Suara tertawanya begitu menyeramkan, seperti jeritan kuntilanak dari dalam kubur.
Saking gusarnya sepasang gigi Lui-pian Lojin gemerutuk keras, hampir saja dia mempertaruhkan jiwanya untuk melancarkan gempuran terakhir, untung saja niat itu segera diurungkan.
Berkilat sepasang mata Pek Seng-bu, katanya pula sambil tertawa dingin.
"Kalau sudah marah, kenapa tidak segera turun tangan? Apa lagi yang kau tunggu? Memangnya menunggu orang lain datang menyelamatkan dirimu?"
"Sayang letak tempat ini kelewat rahasia,"
Sambung Seng Toanio sinis.
"tidak mungkin orang lain bisa menemukan tempat ini, sudahlah, tak usah bermimpi lagi, tidak nanti ada orang datang me nolongmu."
"Yang lebih menggelikan lagi adalah tempat ini kau pilih sendiri,"
Pek Seng-bu menambahkan lagi.
"kau anggap dirimu seorang jagoan nomor wahid di kolong langit, tidak tahunya kau justru memilih tempat ini untuk mengubur mayat sendiri."
"Hehehe... apalagi racun Coat cing hoa memang tidak mungkin dipunahkan oleh siapa pun, tidak seorang pun sanggup menyelamatkan jiwamu lagi, meski ada orang yang muncul sekarang, belum tentu dia mampu menolong dirimu."
Tanya jawab yang dilakukan kedua orang ini dipenuhi sindiran, ejekan serta umpatan, mereka sangka perbuatan itu pasti akan membuat Lui-pian loin semakin emosi, semakin naik darah.
Siapa tahu bukan saja Lui-pian Lojin sama sekali tidak menggubris, dia justru menundukkan kepala sambil memejamkan mata.
Orang tua yang pernah menggetarkan sungai telaga ini memang memiliki kemampuan yang luar biasa, sekalipun nyawanya di ujung tanduk, namun dia masih bersikeras mempertahankan pendiriannya dengan kukuh.
Sebelum mencapai titik darah terakhir, dia tidak akan melepaskan setiap kesempatan untuk mempertahankan hidup, sekalipun dadanya hampir meledak karena terpengaruh emosi, dia tetap mengertak gigi sambil menahan diri.
Un Tay-tay yang mendengar pembicaraan kedua orang itu, justru timbul perasaan menyesal di hati kecilnya.
Dia menyesal kenapa memutar balikkan petunjuk jalan rahasia yang ditinggalkan sepanjang jalan, andaikata dia tidak berbuat begitu, kemungkinan besar Gi Beng, Gi Teng serta Sun Siau-kiau telah menyusul ke situ, kendatipun mereka tidak sanggup memunahkan racun jahat itu, paling tidak dengan kekuatan mereka masih bisa menyelamatkan nyawa Thiat Cing-su serta Im Ting-ting.
Dia sadar, begitu tenaga dalam yang dimiliki Lui-pian Lojin punah terkikis oleh pengaruh racun, tubuhnya segera akan roboh terkapar, dalam keadaan demikian tidak nanti Seng Toa-nio sekalian akan melepaskan Thiat Cing-su dan Im Ting-ting begitu saja.
Padahal robohnya Lui-pian Lojin sudah tinggal menghitung waktu.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa sorot mata Un Tay-tay dialihkan ke wajah Thiat Cing-su serta Im Ting-ting, di balik sorot matanya terpancar perasaan sayang, kasihan serta rasa sesal yang mendalam.
Waktu itu Im Ting-ting serta Thiat Cing-su sedang berlutut mematung di samping Im Gi serta Im Kiu-siau yang tidak sadarkan diri, wajah mereka basah oleh air mata, wajah mereka pun diliputi perasaan sedih, gusar dan rasa dendam yang mendalam.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keempat buah mata mereka mengawasi terus wajah Seng Toanio dengan sinar berapi-api, sekalipun cahaya api seolah sudah membakar mata mereka berdua, namun sepasang muda-mudi ini masih mampu mengendalikan diri, tidak melakukan tindakan secara gegabah.
Un Tay-tay benar-benar menaruh perasaan sayang terhadap mereka berdua di samping rasa kagum yang luar biasa...
biar masih muda, namun mereka sanggup mengendalikan perasaan, satu sikap yang patut dikagumi.
Siksaan, penderitaan, cambukan serta pelatihan yang ber langsung bertahun-tahun telah menciptakan ketegaran yang luar biasa bagi setiap anggota Thiat hiat tay ki bun, membuat mereka sanggup bertahan, sanggup menahan diri.
Oleh sebab itu walaupun usia Thiat Cing-su dan Im Ting-ting masih muda, mereka sudah mempelajari bagaimana mengendalikan diri, bagaimana bersikap tegar, bagaimana harus mempertahankan hidup dan sebelum mencapai kesempatan terakhir tidak akan mengadu nyawa.
Perlahan-lahan Pek Seng-bu mengalihkan sinar matanya menatap kedua orang itu, tiba-tiba ejeknya pula sambil tertawa dingin.
"Apa lagi yang kalian nantikan? Kenapa belum turun tangan juga?"
Sambil tertawa dingin Seng Toa-nio menimpali.
"Orang bilang anggota perguruan Tay ki bun adalah jago berdarah panas berhati baja, ternyata kalian berdua tidak lebih hanya budak lemah yang takut mampus, baiklah, bila kalian takut mati, cepat berlutut dan minta ampun."
"Kalau kalian tidak berlutut minta ampun, aku...."
Belum selesai Pek Seng-bu berbicara, mendadak Thiat Cing-su membentak nyaring.
"Tutup mulut anjingmu!"
"Hahaha, kalau tidak tutup mulut, mau apa kau?"
Ejek Seng Toa-nio sambil tertawa terkekeh. Tiba-tiba Thiat Cing-su melompat bangun, jeritnya dengan suara parau.
"Aku... aku...."
"Mau apa?"
Seng Toa-nio tertawa dingin.
"memangnya kau masih berani turun tangan? Ayo, kemari... cepat kemari... cepat atau lambat toh bakal mampus, apa lagi yang mesti kau takuti?"
Thiat Cing-su menggigit bibir hingga berdarah, dia mengepal sepasang tinjunya kencang kencang.
"Kau... kau sudah lupa nasehat ayah?"
Bisik Im Ting-ting pedih. Thiat Cing-su menjerit keras, sekali lagi dia menjatuhkan diri berlutut.
"Lelaki lemah! Manusia yang tidak berguna!"
Ejek Seng Toa-nio sambil tertawa sinis.
"ternyata kau tidak berani, baiklah, bagaimanapun toh kau bakalan mampus, apa salahnya kuberi sedikit kesempatan lagi bagimu untuk hidup?"
Berkilat sepasang mata Pek Seng-bu, mendadak ujarnya sambil tertawa dingin.
"Gampang sekali kalau kita ingin dia segera mati."
Seng Toa-nio melirik Lui-pian Lojin sekejap, bisiknya.
"Tapi... dia... dia...."
Dengan kening berkerut Pek Seng-bu memberi kode dengan gerakan tangan, Un Tay-tay yang melihat gerakan tangan itu segera berpikir, Aduh celaka! Dia hendak menggunakan senjata rahasia.
Sementara ingatan itu melintas, sambil tertawa Seng Toa-nio telah berkata.
"Betul, memang seharusnya kita berbuat begitu, hampir saja aku lupa!"
Cepat tangannya merogoh ke dalam saku dan mengambil segenggam jarum Thian li ciam yang sangat mematikan.
Kebetulan waktu itu Seng Cun-hau baru sadar dari pingsannya, melihat tindakan yang dilakukan ibunya, cepat dia menggelinding ke depan dan mencengkeram tangan perempuan tua itu sambil teriaknya.
"Tidak boleh, kau tidak boleh berbuat begitu."
"Kenapa tidak boleh,"
Seng Toa-nio menyeringai seram.
"ketika anggota perguruan Tay ki bun ingin membunuh kami, perbuatan apapun sanggup mereka lakukan, kenapa kita tidak boleh? Lepas tangan... cepat lepas tangan!"
Namun mati-matian Seng Cun-hau menggenggam tangan ibunya dan tidak mau dilepas, pintanya.
"Aku mohon, aku mohon kau orang tua...."
"Binatang yang tidak berbakti!"
Umpat Seng Toa-nio penuh amarah.
"sudah kupelihara kau dengan susah payah hingga dewasa, sekarang malah membantu orang lain memohon kepadaku, enyah kau dari sini!"
Dengan penuh amarah dia melontarkan sebuah tendangan ke tubuh Seng Cun-hau. Sambil menggigit bibir menahan rasa sakit, Seng Cun-hau tetap menggengam tangan ibunya dan tidak mau dilepas. Seng Toa-nio makin gusar, makinya.
"Dasar binatang, anakjadah!"
Sambil memaki kalang kabut, kembali dia melepaskan tendangan berulang kali.
Seng Cun-hau tidak berani berkelit, dia pun tidak berani membalas, darah segar mulai bercucuran membasahi ujung bibirnya, air mukanya berubah semakin pucat, lambat-laun tubuhnya bertambah lemas dan mulai gontai tidak menentu.
Agaknya Pek Seng-bu tidak tega menyaksikan siksaan itu, buru-buru bujuknya sambil tertawa.
"Enso, sudahlah, biar dia lepas tangan, kenapa mesti...."
"Hmm, kalau tidak kubunuh anak jadah ini, percuma dia dibiarkan hidup!"
Teriak Seng Toa-nio gusar.
Lagi-lagi dia melepaskan dua kali tendangan dan satu pukulan.
Akhirnya Seng Cun-hau tidak kuasa menahan diri lagi, dia mundur sempoyongan hingga ke sudut gua, lalu jatuh terperosok ke bawah.
Menggunakan peluang itu Un Tay-tay menyelinap ke samping Thiat Cing-su dan Im Ting-ting, mereka bertiga mengepal tinjunya kuat-kuat...
kini keadaan sudah semakin gawat, situasi sudah berada di ujung tanduk, terpaksa mereka harus bersiap mengadu jiwa.
"Binatang kecil, serahkan nyawamu!"
Bentak Seng Toa-nio sambil tertawa seram.
Di tengah teriakan keras, telapak tangan-nya diayunkan ke depan...
Mendadak terdengar desingan angin tajam menyambar, sekilas cahaya tajam tahu-tahu sudah meluncur masuk dari luar gua bagaikan bianglala membelah angkasa.
"Triing!", diiringi dentingan nyaring, sebuah benda sudah terpantek di dinding batu.
Ternyata sebilah pedang telah menembus batu cadas, hal ini membuktikan betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki pelempar pedang itu.
Walaupun saat itu Seng Toa-nio telah mengayunkan tangannya, namun rasa kaget membuat dia seakan lupa melepaskan Thian li ciam, begitu pula dengan Hek Seng-thian, Pek Seng-bu, Seng Cun-hau, Un Tay-tay...
hampir semua yang ada dalam gua berdiri terperana.
Malahan Lui-pian Lojin pun membuka kembali sepasang matanya, memandang keluar gua dengan pandangan terperanjat.
Untuk sesaat suasana dalam gua terasa hening, sepi, tidak terdengar sedikit suara pun.
"Siapa di luar?"
Akhirnya Seng Toa-nio tidak mampu menahan diri dan segera menegur.
Tiada jawaban dari luar gua, di tengah keheningan hanya terdengar suara langkah kaki yang sangat berat bergerak mendekat...
makin lama semakin dekat.
Suara langkah kaki tunggal, tapi dalam uasana dan keadaan seperti ini justru memiliki daya pengaruh membetot sukma, membuat hati siapa pun tercekat, bergidik.
Langkah kaki itu semakin mendekat, semakin nyaring.
Semua orang merasakan jantungnya berdebar keras, makin lama berdetak makin kencang, hampir semuanya membelalakkan mata, mengawasi mulut gua tanpa berkedip.
Akhirnya sesosok bayangan manusia tinggi kekar, mengikuti suara langkah yang berat dan nyaring, muncul dari balik kegelapan, semakin mendekati orang-orang itu....
Mendadak langkah itu berhenti, tiba-tiba saja bayangan manusia itu berhenti di tengah kegelapan.
Jilatan api obor sulit menjangkau tempatnya berdiri, tidak seorang pun dapat melihat raut mukanya dengan jelas, mereka hanya merasa semacam hawa sesat yang menggidikkan hati seolah terpancar keluar dari tubuh orang itu.
Dua kali Seng Toa-nio menggerakkan mulutnya, namun tidak sepotong suara pun yang muncul.
Saat itulah sebuah suara yang dingin membetot sukma berkumandang dari balik kegelapan.
Terdengar orang itu berkata perlahan.
"Bagus sekali, ternyata di sini ada orang...
bagus sekali, ternyata Lui-pian Lojin pun hadir di sini...
inilah yang dinamakan mencari sampai sepatu bobrok tidak ketemu, justru ditemukan tanpa sengaja."
"Si...
siapa kau?"
Tanya Lui-pian Lojin. Bayangan manusia itu tertawa.
"Lui-pian Lojin yang menggetarkan sungai telaga ternyata tidak sanggup mengenali suara sahabat lama yang baru berpisah beberapa tahun, sungguh kejadian yang aneh."
Mendadak bibir Lui-pian Lojin mengejang keras, tubuhnya ikut bergetar kencang, seolah badannya secara tiba-tiba dililit seekor ular berbisa yang dingin dan menyeramkan.
Sampai lama dan lama sekali, dia baru menghembuskan napas panjang.
"Ternyata kau "Benar, memang aku."
"Mau apa kau datang kemari?" "Tentu saja mencari dirimu,"
Jawab bayangan manusia itu dengan suara menyeramkan.
"Darimana kau... kau bisa menemukan tempat ini?"
Bayangan manusia itu tertawa.
"Bagaimana caraku menemukan tempat ini? Sebuah pengalaman yang sangat menarik, sebenarnya aku hanya tahu daerah seputar bukit Lau-san, aku hanya tahu tempat itu lebat dan penuh dengan tebing curam, walaupun sudah mencari berhari-hari, aku belum juga menemukan jejakmu, sampai akhirnya tadi tanpa sengaja kutemukan dua orang yang mencurigakan sedang mencari sesuatu di balik semak...."
"Dua orang macam apa?"
Tak tahan Lui-pian lojin bertanya.
"Yang satu berusia empat puluh tahunan, berwajah licik dan penuh senyuman busuk, sedang yang lain masih muda tapi tampangnya licik dan jahat, hehehe... kelihatannya mereka berdua bukan manusia baik-baik."
Sekalipun orang itu menggambarkan secara singkat, namun semua tahu siapakah kedua orang yang dimaksud.
"Hmm, mereka pastilah Suto Siau dan Sim sun-pek, dua orang budak laknat,"
Kata Lui-pian lojin gusar.
Kembali bayangan manusia itu tertawa.
"Walaupun aku tidak kenal siapakah mereka, namun setelah melihat gerak-geriknya, timbul perasaan ingin tahuku, maka secara diam-diam aku menguntit dari belakang, ternyata di balik semak terdapat beberapa biji buah catur, tampaknya benda itu dipergunakan sebagai kode rahasia petunjuk jalan.
Melihat cara kerja mereka yang begitu rahasia dan misterius, aku semakin ingin tahu apa gerangan yang hendak mereka lakukan."
"Selama kau menguntit di belakang mereka, apakah mereka tidak menyadari?"
"Huuh, kalau hanya mengandalkan kemampuan mereka berdua, mana mungkin bisa menangkap gerak-gerikku.
Hmmm...
hmmmm! Kecuali kau, siapa lagi manusia di kolong langit saat ini yang bisa tahu jejakku?"
"Manusia mampus! Betul-betul dua orang mampus!"
Maki Lui-pian Lojin gusar.
"Sepanjang jalan aku mengikuti terus sampai di luar dinding tebing, akhirnya kedua orang itu menghentikan perjalanan, tidak usah ditanya pun sudah jelas kalau telah tiba di tempat tujuan, tapi kedua orang itu masih nampak ragu, yang muda bertanya.
"Aneh, kenapa penunjuk jalan mengarahkan kita ke dasar jurang?"
Mendengar sampai di sini, Lui-pian Lojin pun ikut merasa keheranan.
Kecuali Un Tay-tay yang menggeser posisi petunjuk jalan, hampir semua orang yang hadir dalam gua itu merasa tercengang dan tidak habis mengerti.
Terdengar bayangan manusia itu berkata lagi.
"Kedua orang itupun mulai berunding, sampai akhirnya lelaki berwajah licik itu berkata.
"Seharusnya tempat persembunyian yang dipilih tua bangka itu sangat rahasia dan tersembunyi letaknya, kemungkinan besar letaknya di dasar jurang, apapun yang terjadi kita harus berusaha untuk menuruninya"
Setelah tertawa tergelak, terusnya.
"Waktu itu aku pun merasa tercengang bercampur keheranan, siapa yang mereka sebut si "tua bangka"
Itu, hahaha... sekarang aku baru tahu, ternyata tua bangka yang dimaksud adalah kau."
"Kenapa kau tidak mengikuti mereka berdua turun ke dasar jurang?"
Tanya Lui-pian Lojin gusar.
"Kau mesti menyalahkan kedua orang itu, tampaknya mereka punya niat jahat, sebelum turun kebawah, arah jalan telah mereka alihkan ke posisi yang lain, yaitu menunjuk ke dinding bukit sebelah ini.
"Sebelum bergerak turun, pemuda itu sempat berkata sambil tertawa.
"Asal kita pindah arah petunjuk jalan ini, kawanan manusia dungu itu bakal mengenaskan nasibnya!". Maka sambil Tertawa licik mereka berdua pun merangkak turun kebawah. Aku tidak ingin jejakku ketahuan mereka, maka aku pun menunggu dulu berapa saat."
Un Tay-tay yang mengikuti pembicaraan itu diam-diam menghela napas, pikirnya.
"Ternyata segala sesuatunya sudah ditentukan oleh takdir, tidak kusangka arah petunjuk jalan yang sudah kurubah, kini dirubah lagi oleh orang lain dan menunjuk ke arah yang betul."
Terdengar bayangan manusia itu kembali berkata.
"Siapa tahu baru saja aku menunggu beberapa saat, tiba-tiba muncul lagi dua orang gadis dan seorang pemuda, mereka berjalan sambil bergurau...."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaah, mereka adalah Sun Siau-kiau, Gi Beng dan Gi Teng,"
Tidak tahan Un Tay-tay berseru, kalau mereka bertiga sudah sampai di sini, kenapa tidak nampak batang hidungnya? Mereka bertiga kini...
kini berada dimana?"
Bayangan manusia itu tidak menjawab, dia berkata lebih lanjut.
"Ternyata mereka bertiga pun sedang mencari petunjuk jalan, kusangka kali ini mereka bakal salah alamat, siapa tahu kejadian di dunia ini memang aneh dan mukjizat, yang salah ternyata benar, yang benar ternyata malah salah.
Setelah mencari setengah harian, akhirnya ketiga orang itu berhasil menemukan lorong rahasia ini, kalau bukan lantaran mereka bertiga, mana mungkin aku bisa menemukan padang rumput yang sangat langka seperti ini, kalau bukan lantaran pedang itu menancap di luar gua, mana mungkin aku tahu di balik padang rumput yang luas dan lebat ternyata terdapat sebuah gua yang begini rahasia?"
Bicara sampai di sini, tidak tahan lagi dia tertawa terbahak-bahak.
Semua orang mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, siapa pun tidak menyangka kedua kejadian yang tidak sengaja justru mendatangkan perubahan yang luar biasa besarnya, bahkan akan merubah segala sesuatunya.
Di tengah keheningan yang mencekam, akhirnya selangkah demi selangkah bayangan manusia itu muncul.
Di bawah cahaya api, terlihat dia mengenakan jubah berwarna merah darah dan berwajah merah bagaikan kobaran api.
"Siang-tok Thaysu!"
Begitu melihat wajahnya, semua orang menjerit kaget.
Terdengar Un Tay-tay berteriak keras.
"Kau telah apakan Gi Beng bertiga? Kau sudah turun tangan menyelamatkan mereka bersaudara, tidak sepantasnya kau mencelakai mereka sampai mati."
"Hmmm, hanya andalkan kemampuan mereka bertiga masih belum pantas bagiku untuk mencabut nyawanya,"
Sahut Siang-tok Thaysu dingin.
"saat ini mereka bertiga masih hidup, hanya untuk sementara waktu tidak mampu bergerak."
Kemudian sambil memandang Seng Cun-hau dan Che Toa-ho yang tergeletak di sudut gua, kembali ujarnya sambil tertawa seram.
"Tidak kusangka dua orang kelinci percobaan yang telah membantu aku menjajal tubuh Dewa racun masih berada di sini, tapi...
kenapa sampai sekarang kalian belum mampus?"
Sekali lagi dia memandang sekejap orang orang yang keracunan dalam gua itu, mendadak wajahnya berubah, cepat dia berjongkok, memeriksa kelopak mata Lui Siau-tiau dan mengawasinya beberapa saat.
Tiba-tiba paras mukanya berubah makin hebat, teriaknya tertahan.
"Coat cing hoa...
Coat cing hoa! Siapa yang telah membuat racun dari Coat cing hoa? Orang she Lui, jangan-jangan kau pun sudah terkena racun Coat cing hoa?"
Lui-pian Lojin hanya mendengus dingin. Tiba-tiba Siang-tok Thaysu membentak.
"Dewa racun ada dimana?"
Baru selesai dia berteriak, sesosok bayangan manusia bagaikan sukma gentayangan telah muncul di hadapan semua orang.
Sekujur tubuhnya kaku bagai baja, mukanya kaku, sorot matanya tajam bagaikan dua kaitan yang siap membetot sukma siapa pun.
Kelihatannya tubuh orang itu sudah kaku secara keseluruhan, bukan saja tidak bisa ditekuk, bahkan caranya bergerak sangat bebal dan kaku, Biarpun begitu, gerakan tubuhnya cepat tanpa menimbulkan suara apapun, dalam satu kelebatan tahu-tahu sudah muncul di depan semua orang.
Hawa dingin yang menggidikkan hati seketika muncul dari dasar kaki semua orang dan mencekam perasaan siapa pun, namun semua orang berusaha membuka matanya lebar-lebar, siapa pun ingin melihat macam apakah makhluk aneh itu.
Namun begitu memandang, sorot mata mereka seolah sudah melekat di tubuh orang itu dan tak mampu digeser kembali.
Seng Toa-nio memandang beberapa saat, tiba-tiba dengan perasaan bergidik, bisiknya lirih.
"Leng It-hong!"
Siang-tok Thaysu tertawa seram.
"Leng It-hong sudah mampus, yang muncul sekarang hanya tubuh kasarnya...."
Setelah mundur setengah langkah, dia tepuk punggung Dewa racun itu sambil menghardik nyaring.
"Dewa racun, dengarkan perintah."
Begitu tapukan itu dilontarkan, tubuh si Dewa racun segera bergetar aneh, jelas dibalik tepukan itu tersembunyi daya pengaruh yang luar biasa, daya pengaruh yang bisa mengendalikan pikiran Dewa racun.
Terdengar Siang-tok Thaysu berseru dengan suara dalam.
"Tubuh Dewa racun muncul, tiada tandingan di kolong langit, perguruan pemakan racun, malang melintang di sungai telaga...
Dewa racun, cepat bunuh semua orang yang berada dalam gua ini! Jangan pedulikan lelaki perempuan, tua muda, semuanya bantai sampai ludes, jangan biarkan seorang pun tetap hidup...
pergi!"
Sambil berkata dia mundur sejauh tujuh langkah lebih, sementara si Dewa racun perlahan-lahan mengangkat sepasang tangannya.
BAB 38 Gara-gara Bencana Mendapat Rezeki Tebing curam itu tidak terlalu terjal, ketinggiannya pun tidak terlalu menjulang, namun Suto Siau serta Sim Sin-pek harus menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk mencapai dasar jurang itu.
Ketika tiba di dasar jurang, pakaian yang mereka kenakan sudah compang-camping tidak keruan, topi yang dikenakan pun entah sudah lenyap entah kemana, selain tubuhnya dekil, rambut pun sudah kotor oleh semak, keadaannya sangat mengenaskan.
"Tua bangka itu benar-benar rada aneh,"
Seru Suto Siau jengkel.
"kenapa memilih tempat macam begini untuk bertemu, bikin susah kita saja."
Sim Sin-pek menghela napas panjang, ujarnya.
"Kalau Tecu menengadah memandang ke atas, aku benar-benar tidak percaya kalau tadi kita turun dari tempat itu, kalau sekarang Tecu disuruh merangkak sekali lagi, mungkin Tecu bakal jatuh terpeleset."
"Itulah sebabnya aku suruh kau merangkak tanpa memandang ke bawah, kalau tidak, mungkin kau sudah mati terpeleset sejak tadi."
Begitulah, dua manusia busuk yang sehati itu melanjutkan perjalanannya sambil bergurau dan berbincang.
Dasar jurang itu merupakan bentangan hutan yang berpohon rendah, daunnya sangat rimbun.
Dengan pedang terhunus Sim Sin-pek berjalan lebih dulu membuka jalan, sementara Suto Siau membuntuti dari belakang, perjalanan itu boleh dibilang amat sulit dilalui, sepanjang jalan mereka berdua harus menembus semak lebat dan menerobos onak tajam, tidak heran pakaian mereka semakin compang-camping tidak keruan.
Selesai menembus hutan belukar itu, mereka berdua belum juga menemukan sesuatu tanda atau jejak manusia.
"Sialan!"
Umpat Suto Siau dengan kening berkerut.
"dimana tua bangka itu menyembunyikan diri?"
"Jangan-jangan kita salah jalan?"
Suto Siau mendengus dingin, dia berebut berjalan lebih dulu untuk membuka jalan, tapi sepertanakan nasi kemudian mereka makin merasa gelagat tidak benar.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Suto Siau, cepat dia menghentikan larinya sambil berseru.
"Celaka, kita benar-benar salah jalan!"
"Tapi petunjuk jalan itu jelas mengarah kemari, mana mungkin...."
"Kita pun bisa mengalihkan petunjuk jalan itu, memangnya orang lain tidak bisa melakukan hal yang sama?"
Tukas Suto Siau cepat.
"besar kemungkinan ada orang yang tiba lebih dulu di situ dan mengalihkan petunjuk jalan itu ke arah lain."
Sim Sin-pek tertegun, serunya kemudian.
"Benar juga, pasti begitu kejadiannya."
Memandang penampilan sendiri yang amat mengenaskan, tidak kuasa lagi dia mencaci-maki kalang-kabut.
"Manusia terkutuk mana yang telah melakukan perbuatan tidak tahu malu ini, bikin susah kami saja, tidak ada hujan tidak ada angin kami mesti menderita banyak siksaan dan penderitaan dengan percuma."
Dia seolah lupa dirinya sendiri pun seorang lelaki terkutuk yang tidak tahu malu, bahkan kebusukannya tidak di bawah orang lain.
Terbukti mereka pun ikut memindahkan tanda petunjuk jalan itu ke arah lain, hanya bedanya perbuatan mereka belum sempat mencelakai orang lain, awak sendiri yang menderita terlebih dulu.
Setelah menghela napas panjang dan tertawa getir, kembali Suto Siau berkata.
"Tadi kita telah mengubah posisi petunjuk jalan itu ke arah lain, ternyata kesalahan yang sengaja kita lakukan justru menunjukkan ke arah yang benar."
"Bagaimana baiknya sekarang?"
"Bagaimana baiknya? Tentu saja harus secepatnya balik ke atas."
Baru saja mereka berdua hendak membalikkan tubuh, mendadak dari kejauhan terdengar suara orang berteriak keras, kedua orang itu segera saling berpandangan sekejap, kemudian tanpa membuang waktu, mereka bergerak cepat menuju ke arah sumber teriakan itu.
Tapi suasana di sekeliling tempat itu sangat hening, suara jeritan yang terdengar tadi pun tiba-tiba lenyap tidak berbekas.
Kembali kedua orang itu menempuh perjalanan beberapa saat lamanya, tapi tidak selang lama, kembali mereka berdua kehilangan arah dan tidak tahu lagi posisi mata angin.
Sim Sin-pek tidak tahan segera berseru.
"Kalau kita berjalan lagi terus ke depan, mungkin arah untuk balik pun bakal tidak ketemu, menurut pendapat Tecu, lebih baik sekarang juga kita balik ke tempat semula!"
"Tapi suara teriakan itu terdengar sangat aneh,"
Kata Suto Siau dengan kening berkerut.
Mengikuti pandangan matanya, Sim Sin-pek ikut berpaling, tampak olehnya sebuah hutan bunga merah bagaikan kobaran api telah muncul di depan mata, cahaya aneh yang menyilaukan mata serasa memancar keluar dari balik pepohonan itu.
Sekalipun dia bukan termasuk orang yang suka bunga, tidak urung pujinya juga.
"Ooh, sungguh indah...
Tecu tidak pernah menyangka di kolong langit terdapat bunga segar seindah dan secantik ini."
Berbeda dengan Sim Sin-pek, Suto Siau justru mengernyitkan kening makin kencang, sesudah termenung sesaat, ujarnya.
"Aneh, kenapa di tengah hutan dan rawa-rawa yang begini terpencil dan berbahaya justru tumbuh bunga segar seindah dan secantik ini, aku yakin pasti ada yang tidak beres dengan bunga itu, mari kita tengok ke sana."
Sebagai orang yang sangat berhati-hati, begitu masuk ke dalam hutan bunga, dia segera memperlambat langkahnya, bukan saja ayunan kakinya bertambah lambat, bahkan makin ringan, seolah-olah kuatir suara langkahnya akan mengagetkan seseorang.
Sim Sin-pek memandang sekejap sekeliling tempat itu, tidak tahan serunya.
"Tempat ini...."
"Ssttt!"
Tidak sampai kata berikut diucapkan, Suto Siau sudah menempelkan jari tangannya ke atas mulut. Terpaksa Sim Sin-pek memperkecil nada suaranya dan berbisik.
"Dalam hutan bunga itu tidak nampak bayangan manusia, kenapa mesti berhati-hati?"
Suto Siau tertawa dingin.
"Hutan bunga ini amat luas, darimana kau bisa yakin disini tidak ada orang lain?"
Tegurnya.
Sim Sin-pek tertegun, serunya kemudian tergagap.
"Tecu...
Tecu tidak yakin."
"Nah, itulah dia, bila di dalam hutan bunga yang amat misterius ini terdapat seseorang, dapat dipastikan dia adalah seorang tokoh yang misterius pula, apa salahnya kita bertindak lebih hati-hati."
"Benar juga perkataan kau orang tua,"
Sim Sin-pek tertawa paksa.
Belum lagi perkataan itu selesai diucapkan, mendadak dari bawah tumpukan bunga muncul sepasang telapak tangan seperti cakar burung, satu dari kiri yang lain dari kanan, secepat petir langsung menyambar tungkai kaki kedua orang itu.
Kontan saja tubuh kedua orang itu jatuh terjerembab, dalam kaget dan terkesiapnya, mereka menjerit keras.
Tapi kedua belah tangan aneh itu telah bergeser naik, dari tungkai kaki kini secepat kilat membekap mulut mereka, kemudian terdengar suara seseorang meski agak menyeramkan namun terasa sangat dikenal bergema di sisi telinga.
"Jangan berisik!"
Tanpa terasa kedua orang itu memutar biji matanya dan menengok, dari balik kerumunan bunga terlihat orang itu bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, matanya tajam bagai mata elang, ternyata dia bukan lain adalah Hong Lo-su.
"Kenapa kau orang tua bisa berada di sini?"
Tegur Suto Siau keheranan.
"Sstt, jangan berisik, cepat bersembunyi kemari,"
Bisik Hong Lo-su dengan suara lirih.
"kalau sampai terdengar gembong iblis lain yang berada di seberang sana, kita bakal mampus semua."
Dengan cepat Suto Siau dan Sim Sin-pek bersembunyi ke balik pepohonan bunga, meski begitu, timbul juga perasaan sangsi bercampur heran di hati mereka, tidak mereka sangka manusia macam Hong Lo-su pun bisa menunjuk-kan perasaan ketakutan semacam ini, bisa dibayangkan betapa lihainya gembong iblis yang dimaksud....
Kedua orang itu semakin tidak berani bersuara, bahkan napas pun nyaris ikut ditahan.
Sambil menahan panas, ketiga orang itu menunggu beberapa saat lamanya.
Mendadak terdengar suara senandung berkumandang dari balik pepohonan di seberang sana.
"Melarikan kuda menuju pintu timur, jauh memandang pepohonan nan hijau.
Pohon siong di pinggir jalan raya, di bawah pohon telentang orang mati....
Tidur nyenyak di alam baka, selamanya tidak pernah mendusin kembali...."
Suara nyanyian itu merdu dan memikat hati, membuat siapa pun yang mendengar ikut merasa sedih, bahkan Suto Siau sekalian pun ikut termangu dibuatnya, mereka tidak tahu harus ikut sedih atau gembira.
Terlepas harus merasa sedih atau gembira, rasa tercengang yang menyelimuti perasaan mereka jauh melebihi rasa sedih dan gembira.
Mimpi pun Suto Siau dan Sim Sin-pek tidak menyangka kalau gembong iblis yang membuat Hong Lo-su begitu ketakutan ternyata tidak lain hanya seorang gadis yang menyanyikan senandung sedih itu.
Walaupun suara nyanyian telah berhenti, namun masih bergaung di tengah pepohonan bunga.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Hong Lo-su berbisik lagi.
"Jangan bergerak, sudah datang, sudah datang!"
Terasa angin lembut berhembus lewat, terjadi gelombang kecil di tengah kerumunan bunga.
Dari balik rimbunnya pepohonan terlihat seorang wanita cantik berbaju indah, berambut hitam dengan tusuk konde mutiara menghiasi kepalanya, perlahan-lahan berjalan mendekat, tangan kirinya membawa sebuah keranjang bunga, sedang tangan kanan membawa sebuah cangkul kecil.
Dipandang dari kejauhan, terlihat wajahnya cantik bagaikan lukisan, kulitnya putih bersih bagai salju, gerak-geriknya anggun bagai bidadari, bahkan setiap langkahnya seolah mengandung daya tarik yang luar biasa.
Ketika cahaya bunga bertatapan dengan wajah perempuan itu, meski sang bunga terlihat indah, namun tidak dapat mengungguli kecantikan wanita itu.
Kembali terjadi riak kecil di tengah bebungaan, dia berjalan menembus bebungaan dengan begitu santai dan indahnya, walaupun gelombang bunga memancarkan suasana alami, namun dibandingkan daya tarik yang terpancar dari tubuhnya, terasa wanita itu jauh lebih alami, jauh lebih menarik beribu kali lipat.
Hampir terperana Suto Siau dan Sim Sin-pek menyaksikan keanggunan wanita itu, perasaan tercengang pun seketika menyelimuti hatinya.
"Wanita ini cantik bak bidadari dari langit, aneh, kenapa Hong Lo-su begitu ketakutan? Mungkinkah wanita lemah lembut ini justru memiliki kepandaian silat yang maha dahsyat? Siapakah dia?"
Wanita cantik berbaju indah itu masih berjalan santai, mimik mukanya menunjukkan kesepian, keriangan yang terpancar membawa keseriusan yang luar biasa, seolah perasaannya selalu tercekam dalam kemurungan yang berkepanjangan dan tiada putusnya.
Namun sepasang matanya yang jeli, bergerak tiada hentinya ke sekeliling tempat itu, setiap kali bertemu bunga yang bentuknya kelewat besar atau warnanya kelewat cerah, dia selalu mengayunkan cangkulnya dan memindahkan sang bunga merah itu ke dalam keranjangnya.
Caranya memacul kelihatan begitu lincah, begitu indah, tapi Suto Siau dapat menangkap, sekalipun hanya sebuah gerakan mencangkul yang ringan, paling tidak telah disertai tenaga dalam hasil latihan selama puluhan tahun lamanya.
Ayunan tangannya nampak begitu tepat, penggunaan tenaganya begitu berimbang...
hanya meleset setengah inci saja mana bisa bunga segar itu melayang masuk ke dalam keranjang dengan tepat? Perlahan dia berjalan mendekat, berjalan mendekati tempat dimana mereka bersembunyi.
Kembali Suto Siau lihat biarpun wanita itu cantik bak bidadari, namun kecantikannya sudah mulai dimakan usia, rona ketuaan mulai muncul di wajahnya yang halus, di ujung kelopak mata terlihat pula kerutan yang mulai menumpuk.
Biarpun usianya bertambah tua, namun tidak menutup daya tariknya yang luar biasa, daya tarik yang dapat membuat orang rela mengeluarkan tenaga, rela mengorbankan segalanya demi perempuan itu.
Kecantikannya yang luar biasa, seakan berhasil mengatasi berjalannya usia, berhasil mengalahkan ketuaan yang tidak berperasaan.
Waktu itu telapak tangan Hong Lo-su masih menggenggam pergelangan tangan kanan Suto Siau, kini Suto Siau dapat merasakan jari tangannya yang dingin bagai es mulai gemetar seperti orang kedinginan.
Suto Siau serta Sim Sin-pek sendiri meski tidak merasakan sesuatu yang menakutkan pada diri perempuan cantik itu, namun terpengaruh oleh sikap Hong Lo-su, tanpa terasa timbul juga perasaan bergidik.
Mereka bertiga berbaring di atas tanah berlumpur, tidak berani bernapas keras, tidak berani pula bergerak.
Entah sejak kapan seekor semut merayap naik ke ujung hidung Hong Lo-su, tapi sambil menggigit bibir Hong Lo-su menahan rasa gatal yang luar biasa, dia tidak berani menggerakkan tangannya untuk membunuh semut itu.
Langkah perempuan cantik berbaju indah itu sangat lambat, tapi akhirnya berjalan lewat juga dari hadapan mereka...
biarpun hanya beberapa menit, namun bagi Suto Siau, saat penantian itu sungguh lebih lama ketimbang menunggu selama sepuluh tahun.
Kembali Suto Siau menemukan sesuatu yang luar biasa, tanah lumpur bekas dilalui perempuan cantik itu ternyata sama sekali tidak meninggalkan bekas, ujung gaun serta sepatunya yang indah tidak nampak kotor, bahkan terkena sedikit noda pun tidak.
Padahal tanah rawa itu penuh dengan lumpur becek...
Andaikata dia bergerak cepat dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, hal itu bukanlah sesuatu kejadian yang aneh, tapi sekarang dia berjalan begitu santai, mengayunkan langkahnya dengan begitu lambat....
Tidak tahan Suto Siau menghembuskan napas dingin, bisiknya.
"Kungfu yang hebat! Kungfu yang luar biasa!"
"Omong kosong,"
Sahut Hong Lo-su dingin.
"kalau dia tidak lihai, kenapa aku begitu takut kepadanya? Terus terang saja, selama hidup Lohu tidak pernah takut langit dan bumi, tapi yang paling kutakuti adalah nenek busuk itu."
Suto Siau menggerakkan bibirnya seperti ingin menanyakan sesuatu, namun niat itu diurungkan, sampai pada akhirnya dia tidak tahan dan bertanya juga.
"Sebenarnya siapakah dia?"
Waktu itu perempuan cantik misterius itu sudah pergi sangat jauh, itulah sebabnya dia baru berani mengajukan pertanyaan itu, namun suaranya tetap sangat lirih.
Sedemikian lirihnya suara bisikan itu sampai Sim Sin-pek yang berada di sisinya pun tidak dapat mendengar dengan jelas.
Siapa tahu, baru saja dia selesai bicara, segulung hembusan angin lirih telah menyambar lewat, gaun indah perempuan cantik itu tahu-tahu sudah meluncur balik persis di hadapannya.
Saking takutnya, kontan saja Suto Siau merasakan detak jantungnya nyaris berhenti berdebar.
Terdengar perempuan cantik itu membuka suara dan bertanya dari balik bebungaan, suaranya amat merdu.
"Siapakah kau?"
Suto Siau mendekam semakin rapat di atas tanah, jangankan bergerak, menjawab pertanyaan itupun tak berani.
Hong Lo-su yang berada di sisinya dengan cepat mencubit pahanya dengan keras, sekalipun tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun maksudnya sangat jelas, artinya.
"Kau yang mencari gara-gara, kau juga yang harus bertanggung jawab, kenapa masih mendekam di situ?"
Bisa dibayangkan betapa keras dan kuatnya cubitan Hong Lo-su, saking sakitnya hampir saja Suto Siau melompat bangun, tapi sebelum dia melakukan sesuatu, sebuah cangkul tahu-tahu sudah menyambar tiba dan menggaet baju bagian dadanya.
Tidak ampun lagi tubuhnya tergaet keluar dari tempat persembunyian, Suto Siau mencoba meronta namun tidak berhasil, mau kabur pun gagal, bahkan usahanya untuk mendekam kembali ke tanah pun tidak mampu, terpaksa dia hanya bisa berdiri mematung.
Perempuan cantik itu mengernyitkan alis matanya, seperti murung dan juga marah, tapi suara tegurannya masih terdengar begitu halus dan lembut.
"Ayo, bicaralah!"
"Boanpwe...
Boanpwe...."
Walaupun dia ingin sekali berbicara, apa daya sepasang giginya beradu keras saking takutnya, dalam keadaan begini, mana mungkin dia anggup mengucapkan sesuatu? Kembali perempuan cantik itu menghela napas, katanya.
"Masih ada dua orang lagi, silakan keluar semua!"
Baru selesai suara teguran itu berkumandang, sesosok bayangan manusia telah meluncur keluar dari balik bebungaan dengan kecepatan luar biasa, bayangan itu diiringi jeritan kaget langsung menerjang ke tubuh perempuan cantik itu, sementara bayangan manusia yang lain terlihat kabur ke arah belakang.
Siapa tahu pada saat bersamaan perempuan cantik itu sudah menggeser tubuhnya tiga langkah ke samping, begitu cangkulnya diayunkan, tubuh Suto Siau malah meluncur ke depan menyongsong kedatangan tubuh Sim Sin-pek.
"Bruukk", diiringi suara benturan, dua orang itu seketika roboh terjungkal ke tanah.
Terdengar perempuan cantik itu berseru.
"Oooh, rupanya Hong Lo-su, ayo, balik kemari!"
Sekilas benang berwarna keperak-perakan kembali meluncur dari balik ujung bajunya.
Benang perak itu meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, arah yang ditujupun sangat lurus, tapi bukan tubuh Hong Lo-su yang dituju, dalam sekejap mata tahu-tahu benang perak tadi sudah melampaui tubuh Hong Lo-su.
Dalam gugupnya Suto Siau masih menyempatkan diri mencuri lihat, baru saja dia keheranan, tahu-tahu benang perak yang sudah melampaui tubuh Hong Lo-su itu meledak dan memercikkan selapis hujan berwarna keperak-perakan.
Cahaya hujan keperak-perakan itu bagaikan bunga api yang memencar ke empat penjuru, ada yang menyebar ke samping memotong jalan pergi Hong Lo-su, ada pula yang menyongsong wajah Hong Lo-su.
Ternyata benang perak yang lurus bagai toya itu tidak lain adalah bintang perak sebesar kacang kedelai yang dirangkai menjadi satu, ujung depan serta ujung ekor meluncur berhimpitan dan menyerang hampir berbareng.
Walaupun sekilas pandang kecepatannya hampir sama, padahal terdapat selisih waktu cukup banyak...
ujung depan meluncur jauh lebih lambat ketimbang ujung ekor, hanya saja selisih waktunya begitu kecil hingga mustahil bisa ditangkap dengan mata telanjang.
Karena ada selisih kecepatan antara bintang perak yang di depan dan belakang, sewaktu melampaui tubuh Hong Lo-su, bintang perak yang da di belakang menumbuk bintang perak di depannya, sekilas cahaya perak pun meledak menjadi selapis hujan perak yang menyilaukan mata.
Ketika terjadi benturan keras, bila kekuatan-nya meleset ke samping, maka bintang perak itu akan menyebar kedua belah sisi, sebaliknya bila kekuatan bintang perak sebelah belakang agak lemah, maka cahaya itu akan terbentur cahaya depan yang memantul hingga meluncur ke arah tubuh Hong Lo-su.
Kelihatannya saja perempuan cantik itu mengayunkan senjata rahasia sekenanya, padahal arah, sasaran, kecepatan, kekuatan serta ketepatan yang dia lakukan terhadap setiap untaian bintang perak itu benar-benar luar biasa, boleh dibilang kemampuannya mengendalikan setiap senjata rahasianya sudah mencapai tingkat kesempurnaan, tidak terbayangkan.
Tidak terlukiskan rasa kaget Suto Siau setelah menyaksikan kehebatan perempuan cantik lu, dia berdiri terbelalak dengan mulut melongo, lagaknya persis ayam dari batu.
Cahaya perak berkilat, hujan cahaya berhamburan ke empat penjuru, sambil meraung keras, sekuat tenaga Hong Lo-su melontarkan sepasang tangannya ke depan, tubuhnya berjumpalitan di tengah udara, maksudnya ingin melewati kerumunan tanaman bunga itu.
Perempuan cantik itu segera menggetarkan cangkulnya, hujan cahaya perak yang berada puluhan kaki jauhnya itu seakan bernyawa saja, tahu-tahu berbalik arah dan semuanya meluruk ke belakang tubuh Hong Lo-su.
Begitu mendengar desingan angin tajam berkumandang dari belakang tubuhnya, pecah nyali Hong Lo-su saking takutnya, tubuhnya yang masih melambung di udara tidak sanggup lagi menghindarkan diri.
"Brukkk!", dia langsung jatuh terjerembab di tengah bebungaan. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, Suto Siau tidak bakal percaya di kolong langit terdapat senjata rahasia yang begitu hebat dan mengerikan... gerakan senjata rahasia seakan dikendalikan tenaga iblis, sanggup bergerak dan berputar sekehendak hati.
"Triiing, traaang, trriing... traaang...."
Di tengah dentingan nyaring, tiba-tiba cahaya perak itu lenyap tidak berbekas, hujan cahaya pun mereda.
Bagaikan rombongan lebah yang pulang sarang, puluhan titik cahaya perak itu tiba-tiba meluncur balik ke arah cangkul bunga itu, ternyata di balik cangkul itu terdapat besi magnit yang berkekuatan besar, daya tarik itu berhasil menarik kembali seluruh senjata rahasia yang telah dipancarkan.
Begitu menyimpan kembali semua senjata rahasianya ke dalam saku, perempuan cantik itu menghela napas dan berseru.
"Hong Lo-su, ayo bangun!"
Hong Lo-su masih berbaring di atas tumpukan bunga, sama sekali tak bergerak.
"Hong Lo-su, kenapa kau berlagak mampus?"
Kembali perempuan cantik itu menegur. Hong Lo-su masih belum bergerak.
"Aaaai!"
Perempuan cantik itu menghela napas panjang.
"kalau kau memang ingin cepat mampus, baiklah, biar aku tambahi dengan satu cangkulan lagi."
Sambil berkata, dia mengayunkan cangkulnya dan langsung dibabatkan ke tubuh Hong Lo-su yang masih tergeletak kaku.
Begitu diancam, Hong Lo-su baru menjerit keras sambil melompat bangun dari tumpukan bunga, sembari membenahi pakaiannya yang compang-camping dan penuh lumpur, dia tertawa cekikikan dan berkata.
"Jici, baik-baikkah kau? Siaute memberi salam untukmu."
Lagaknya persis seperti seorang badut kecil, keangkeran dan kewibawaannya sebagai seorang tokoh aneh dunia persilatan seolah sudah punah sama sekali.
"Untung masih agak baikan, tidak mati lantaran dibuat jengkel oleh ulah kalian,"
Sahut perempuan itu lagi sambil menghela napas.
"Kapan siaute pernah membuat jengkel Jici?"
"Baiklah, kalau begitu aku ingin tanya, setelah melihat aku, kenapa kau justru bersembunyi macam kadal ketakutan dan tidak berani menjumpai aku?"
Hong Lo-su menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tertawa paksa, sahutnya tergagap.
"Soal ini... soal ini...."
"Kenapa? Cepat jawab!"
Tiba-tiba Hong Lo-su menuding ke arah Suto Siau dan serunya.
"Dia yang menyuruh aku bersembunyi."
Saking terperanjatnya, Suto Siau sampai merangkak bangun, jeritnya.
"Boanpwe... aku...."
Biasanya dia pandai bersilat lidah, tapi setelah berhadapan dengan wanita cantik bak bidadari dari kahyangan ini, entah mengapa mulutnya seperti susah dibuka, jangankan membantah, mau bersuara pun susah.
"Tidak usah takut,"
Kata perempuan cantik itu.
"aku tahu memang bukan kau."
"Tapi jelas dia... dia yang menyuruh... ya, dia yang menyuruh....
"teriak Hong Lo-su.
"Hong Lo-su, lagi-lagi kau membohongi aku, dia sama sekali tidak mengenali siapa aku, itulah sebabnya dia bersuara untuk bertanya padamu... benar bukan?"
Kelihatannya perasaan perempuan ini dipenuhi oleh kemurungan dan kemasgulan, setiap kali selesai mengucapkan sesuatu dia selalu menghela napas panjang, namun helaan napas yang penuh kemasgulan itu bagi pendengaran Suto Siau justru jauh lebih menyeramkan ketimbang jeritan ngeri seseram apapun.
Hong Lo-su yang di hari biasa tampil garang dan galak pun saat ini dibuat lemas badannya karena ngeri oleh suara helaan napas itu, ujarnya tergagap.
"Jici...
Siaute...."
"Hanya kau seorang yang tahu kalau aku adalah Jicimu, hanya kau yang tahu aku memetik bunga di sini karena sedang meramu senjata rahasia yang sangat beracun."
"Aku tidak tahu...
aku tidak tahu...."
Sekuat tenaga Hong Lo-su menggelengkan kepala berulang kali.
Untuk kesekian kalinya perempuan cantik itu menghela napas.
"Kau tahu dan kau sangat tahu, bahkan kau pun tahu, setiap kali aku sedang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan senjata rahasia, aku paling pantang ada orang mengintip, bila kutemukan ada orang sedang mengawasi pekerjaanku, dia pasti akan kubunuh!"
Tercekat perasaan Suto Siau, tanpa sadar dia latuh berlutut.
"Aku tidak mencuri lihat... aku tidak mencuri lihat...."
Jerit Hong Lo-su keras Perempuan cantik itu menghela napas sedih, katanya.
"Coat cing hoa memang butuh darah segar untuk diramu jadi obat, dengan campuran itu sifat racunnya baru bekerja prima, hanya sayang....
aaaii! Darahmu masih kelewat sedikit"
"Betul! Betul! Betul!"
Seru Hong Lo-su cepat, darahku memang kelewat sedikit, bahkan bau sekali... darah yang dimiliki dua orang muda itu pasti lebih banyak dan lebih segar...."
Suto Siau jadi ketakutan setengah mati, jeritnya dengan suara gemetar.
"Darah...
darahku pun sedikit dan...
dan sangat bau...."
"Aaaai!", darah dari lelaki tidak tahu malu macam kalian memang semuanya bau dan dingin, memakai darah yang bau dan dingin untuk meramu obat racun justru sangat bagus hasilnya."
"Darahku harum...
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ehm, harum sekali..."
Jerit Hong Lo-su.
Tiba-tiba dia menggigit lengan sendiri, percikan darah segar segera berhamburan, sambil menyodorkan lengannya yang hitam dan kurus itu dihadapan si perempuan cantik, katanya lagi sambil tertawa terkekeh.
"Betul-betul harum, kalau tidak percaya coba enduslah, ehmmm...
harum...
sungguh harum Lagaknya sekarang sudah tidak mirip badut lagi, tapi sudah seperti seorang gila.
"Ehmm, ternyata memang harum...
lebih bagus lagi kalau harum baunya,"
Ujar perempuan cantik itu perlahan. Bergetar keras sekujur badan Hong Lo-su, secara beruntun dia mundur tiga langkah, jeritnya.
"Kau... kau...."
"Apakah kalian ingin memaksa aku turun tangan sendiri?"
Tiba-tiba Hong Lo-su melompat bangun, umpatnya.
"Dasar perempuan siluman, perempuan berhati busuk, kau memang edan, sinting...
tidak waras otaknya, memang kau sangka aku Hong Lo-su betul-betul takut kepadamu? Boleh saja orang lain takut, tapi aku Hong Lo-su justru tahu, kau tidak lebih hanya orang sinting...
kau...
biarpun penampilanmu kelihatan waras, padahal sejak putrimu kabur meninggalkan dirimu, kau sudah sinting, sudah edan!"
Sambil melompat bangun dan memukul dada sendiri, dia mencaci-maki kalang-kabut, begitu asyiknya dia mengumpat sampai air liur pun ikut beterbangan kemana-mana, bahkan semakin memaki, perkataan yang digunakan semakin jahat, kotor dan sadis.
Waktu itu Suto Siau sudah ketakutan setengah mati hingga kaki dan tangannya dingin bagaikan es, wajahnya pucat-pias bagai mayat, menurut perkiraannya, kali ini perempuan cantik itu pasti tidak akan melepaskan mereka begitu saja.
Siapa tahu begitu mendengar umpatan itu, bukan saja perempuan cantik itu tidak menjadi marah, sebaliknya secara tiba-tiba dia malah mulai menangis terisak, butiran air matanya jatuh berlinang bagaikan seuntai kalung mutiara yang putus tali.
Hong Lo-su yang mencaci-maki kalang-kabut akhirnya merasa kelelahan, dia berhenti memaki sambil mengatur napasnya yang tersengal, tapi begitu melihat perempuan cantik itu malah menangis, dia jadi tertegun hingga berdiri melongo dengan mata terbelalak.
Makin menangis, perempuan cantik itu cmakin sedih, akhirnya dia menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan dan menangis tersedu-sedu, bukan cuma cangkulnya saja yang sudah terlepas dari genggaman, bahkan keranjang bunga berikut bunga segar yang ada dalam keranjang pun ikut berserakan di tanah.
"Ling-ling! Oooh...
anakku, putri sayangku,"
Jeritnya sambil menangis.
"ucapan pria busuk itu benar juga, sejak kepergianmu, ibu sudah jadi gila...."
Saat ini kecantikannya yang anggun bagai bidadari dan penampilannya yang menawan hati seolah hilang tidak berbekas, dia tidak jauh berbeda dengan perempuan mana pun di dunia ini yang sedang dicekam perasaan sedih.
Mendadak dari balik tumpukan bunga segar terdengar suara rintihan.
Suara rintihan itu terdengar begitu lirih, lemah, membuat iba hati siapa pun yang mendengar.
Suto Siau maupun Sim Sin-pek yang masih tercekam perasaan ngeri, semakin tertegun dibuatnya.
Perempuan cantik itu segera menerjang maju, ujung bajunya dikebaskan berulang kali, di antara bebungaan yang beterbangan di udara, terlihat dari balik tumpukan bunga merah muncul selembar wajah cantik.
Mula-mula perempuan cantik itu kelihatan terkejut, kemudian sesudah tertegun, isak tangisnya kontan berhenti, dia mundur tiga langkah sambil mendongakkan kepala, lalu tertawa keras, cepat dia menubruk maju dan membopong tubuh orang yang berada di balik tumpukan bunga.
Walaupun orang yang berada di balik tumpukan bunga itu merintih lirih, namun dia masih berada dalam keadaan tidak sadar.
Dengan penuh kegembiraan wanita cantik itu menciumi tangannya, mencium pipinya, sambil menangis bercampur tertawa, jeritnya seperti orang gila.
"Ling-ling...
Ling-ling...
ooh, putriku, putriku sayang, anakku sayang...
ternyata selama ini kau bersembunyi di balik tumpukan bunga, tidak heran ibu tidak menemukan dirimu...."
Saat ini Suto Siau maupun Sim Sin-pek sudah melihat dengan jelas orang yang baru dikeluarkan dari tumpukan bunga itu tidak lain adalah Sui Leng-kong, mereka berdua saling pandang dan berdiri terperangah.
Akhirnya Suto Siau tidak mampu menahan diri lagi, tegurnya.
"Jadi...
jadi Sui Leng-kong adalah putrinya?" "Bukan,"
Hong Lo-su menggeleng sambil tertawa licik.
"dia jadi edan karena memikirkan anaknya."
Waktu itu sebenarnya dia sudah siap mengeluyur pergi, tapi perubahan yang terjadi di luar dugaan ini membuatnya menghentikan langkahnya, kini dia malah berdiri menonton sambil tertawa dingin.
Kembali perempuan cantik itu menangis bercampur tertawa, sebentar dia membelai sebentar dia mencium, setelah beberapa saat lamanya tubuh Sui Leng-kong baru dibaringkan kembali ke atas tumpukan bunga yang digunakan sebagai pembaringan.
Paras muka Sui Leng-kong pucat-pias bagaikan mayat, giginya terkatup kencang, nona ini masih dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Perempuan cantik itu menundukkan kepala dan menempelkan wajahnya di atas pipi Sui Lengkong, lalu ujarnya dengan lembut.
"Anakku sayang, setelah bertemu ibu, kenapa kau masih tidak mau bicara?"
Berputar biji mata Hong Lo-su, mendadak serunya.
"Putrimu sudah terkena serangan racun jahat, untung aku segera menolongnya dan membawa dia kemari, aku memang sengaja menguburnya di bawah Coat cing hoa, agar racun yang ada di dalam tubuhnya saling berlawanan dtngan racun bunga itu, coba kalau bukan begitu, dia sudah mati sejak tadi, tapi kelihatannya dia sudah keracunan hebat, sekalipun nyawanya bisa diselamatkan, namun sulit rasanya untuk bisa bicara lagi."
Perempuan cantik itu segera melompat bangun, bentaknya.
"Keracunan? Siapa yang berani meracuni putriku?"
"Soal ini... aaaai! Lebih baik tidak usah dibicarakan lagi!"
Dengan satu gerakan kilat perempuan cantik itu mencengkeram tubuhnya, lalu teriaknya nyaring.
"Mau bicara tidak?"
Hong Lo-su menghela napas panjang.
"Bukannya Siaute enggan bicara, tapi... aaai! orang orang yang melepaskan racun jahat itu kelewat lihai, aku rasa Jici sendiri pun belum tentu mampu menandingi mereka."
"Kentut!"
Umpat perempuan cantik itu gusar.
"cepat katakan!"
"Tapi setelah Siaute katakan, lebih baik Jici jangan mencari mereka untuk menuntut balas, kalau tidak, bila sampai Jici pun ikut dicelakai, bukankah Siaute akan merasa sangat tidak tenang?"
Makin mendengar, perempuan cantik itu semakin gusar, jeritnya.
"Kentut busuk, kentut busuk! Cepat katakan, katakan!"
Akhirnya Hong Lo-su menghela napas panjang.
"Dia adalah Siang-tok Thaysu...."
Mula-mula perempuan cantik itu agak tertegun, kemudian sambil menghentakkan kaki, dia berseru gemas.
"Bagus sekali, ternyata ulah si makhluk tua beracun itu, padahal aku tidak punya dendam tidak punya sakit hati dengannya, kenapa dia...
dia...
mencelakai putriku dengan racun?"
"Yang meracuni memang Siang-tok Thaysu, tapi otak yang memberi perintah adalah orang lain."
"Siapa?"
"Coh Sam-nio, Lui-pian Lojin, lalu Jit ho Nio nio...."
"Bagus, bagus sekali,"
Perempuan cantik itu semakin menjerit lengking.
"ternyata kawanan makhluk tua itu yang bersekongkol menganiaya putriku, anakku manis, kau benar-benar sangat menderita."
Kembali dia membopong tubuh Sui Leng kong, katanya lagi.
"Putriku sayang, kau tidak perlu takut, sekalipun sudah terkena racun si makhluk tua beracun itu, asal bertemu ibu, segala sesuatunya akan beres, di kolong langit hanya ibu seorang yang sanggup memunahkan racun makhluk jahat itu."
Dari dalam sakunya dia mengeluarkan ebuah kotak pualam kecil, dari dalam kotak pualam itu dikeluarkan empat lima butir pil berwarna merah darah, dia masukkan semua pil itu kedalam mulutnya, kemudian setelah dikunyah hingga hancur, obat itu baru dilolohkan ke mulut Sui Leng-kong.
Kemudian ujarnya lagi dengan lembut.
"Ling-ling, anakku sayang, setelah minum obat mujarab buatan ibu dan tidur sebentar, kau akan segera segar kembali...
kemudian ibu akan membalaskan dendam."
"Bagus, bagus sekali,"
Gumam Hong Lo-su, tak kusangka karena menghadapi bencana, budak kecil itu malah dapat rezeki, bukan saja berhasil mtndapatkan kembali nyawanya, bahkan mendapat pula seorang ibu sehebat ini."
"Apa kau bilang?"
Mendadak perempuan cantik itu menoleh.
Buru-buru Hong Lo-su tertawa paksa sambil menyahut.
"Ooh, Siaute sedang berpikir, kalau Jici saja tidak tahu kawanan makhluk tua itu berada dimana, bagaimana mungkin bisa membalaskan dendam bagi keponakan sayangku?"
"Aku bisa menemukan mereka...
aku pasti dapat menemukan mereka!"
Kemudian sambil mengulapkan tangannya, dia berkata lebih lanjut.
"Berhubung hari ini aku berhasil menemukan putriku, aku pun tidak ingin menyusahkan kalian, cepat pergi, biar dia bisa beristirahat sejenak dengan tenang."
Hong Lo-su sama sekali tidak bergeser, begitu pula Sim Sin-pek dan Suto Siau, mereka hanya saling pandang tanpa bicara.
Kalau tadi mereka kuatir tidak sanggup meloloskan diri, maka sekarang mereka justru tidak ingin pergi "Kenapa kalian belum juga pergi?"
Tegur perempuan cantik itu dengan kening berkerut.
"Siaute yang telah menyelamatkan nyawa Ling-ling, apa Jici sudah lupa?"
"Jasamu bisa dipakai untuk menutup kesalahan, sekarang kita sudah impas, kalau masih cerewet lagi hingga membangunkan putriku, hmmm, jangan salahkan aku tidak akan berlaku sungkan lagi!"
Hong Lo-su menjulurkan lidah sambil tertawa licik.
"Kalau memang begitu, Siaute...."
Belum selesai dia bicara, mendadak Sim Sin-pek menerjang maju ke muka dan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan cantik itu, sesudah menyembah tiga kali, katanya.
"Tecu memberi hormat kepada Suhu."
Perempuan cantik itu tertegun, teriaknya kemudian dengan gusar.
"Siapa yang menjadi gurumu? Kau anggap dirimu itu siapa? Memangnya pantas jadi muridku?"
"Biarpun Tecu bukan siapa-siapa, paling tidak masih ada gunanya."
"Apa kegunaanmu?"
Tidak tahan perempuan itu bertanya.
Sekulum senyuman licik segera tersunging di ujung bibir Sim Sin-pek, katanya.
"Bila bukan Tecu yang membuka jalan, entah sampai kapan Suhu baru bisa menemukan musuh besar putrimu, tapi bila Tecu yang menjadi petunjuk jalan...."
"Jadi kau tahu jejak mereka?"
Tiba-tiba perempuan cantik itu bangkit berdiri sambil menukas.
"Bila Tecu tidak tahu, mana berani bicara sembarangan di sini?"
"Kalau begitu cepat bawa aku ke sana!"
"Jadi kau orang tua pun sudah bersedia menerima Tecu yang tidak becus ini menjadi muridmu?"
Tanya Sim Sin-pek sambil mengedipkan matanya.
"Kau berani mengancam aku?"
Bentak perempuan itu gusar.
Sambil membenturkan kepalanya di atas tanah, jawab Sim Sin-pek.
"Biar Tecu punya nyali macan pun tidak berani melakukan ancaman, hanya saja bila Tecu mengajak kau orang tua pergi ke sana, pasti banyak orang akan membenci Tecu hingga merasuk tulang sumsum, padahal kepandaian silat yang kumiliki sangat cetek, bukankah kepergianku hanya akan mengantar kematian saja? Beda kalau Tecu menjadi murid kau orang tua, biar bernyali pun belum tentu mereka berani bertindak sembarangan."
Perkataan itu disampaikan disertai alasan yang sangat masuk akal, lagi pula kepandaian jilat pantatnya telah digunakan tepat pada sasaran. Benar saja, perempuan cantik itu segera manggut-manggut.
"Benar juga!"
Katanya.
"perkataanmu memang sangat masuk akal, baik! Bangunlah, aku akan melindungi keselamatanmu, selamanya tidak mungkin ada orang yang berani menganiaya dirimu lagi"
"Terima kasih banyak Insu,"
Dengan kegirangan kembali Sim Sin-pek menyembah beberapa kali.
Suto Siau yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil tertawa getir, gumamnya.
"Luar biasa, luar biasa, bocah ini meski masih muda ternyata pandai sekali memanfaatkan kesempatan, di kemudian hari...
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aaai! Di kemudian hari dia bisa sangat menakutkan!"
"Betul,"
Kata Hong Lo-su pula.
"aku lihat bukan saja bocah itu lebih licik ketimbang kau, bahkan tiga bagian lebih busuk daripada aku sendiri, sekarang dia sudah punya tulang punggung yang sangat tangguh, nampaknya termasuk kita berdua pun tidak berani mengusik-nya lagi."
Kemudian sambil menepuk bahu Sim Sin-pek, katanya.
"Bocah muda, kini kau sudah menjadi muridnya, tapi sudah tahu belum nama gurumu?"
"Biarpun Tecu belum tahu, tapi sudah dapat kutebak,"
Sahut Sim Sin-pek sambil tertawa.
"Coba katakan."
"Tecu tidak berani menyebut langsung nama guru."
"Tidak masalah,"
Ujar perempuan cantik itu pula.
"katakan saja, aku tidak akan menegurmu."
Sim Sin-pek menarik napas, ujarnya.
"Kecantikannya tiada duanya, kehebatan senjata rahasianya tiada tandingan, ketajaman mata dan pendengarannya tiada lawan, manusia paling aneh di daratan Tionggoan...
dialah guruku, Yan-yu (si Hujan gerimis) Hoa Bu-soat."
"Baik laki maupun perempuan, biar tua maupun muda, bunuh semuanya tanpa kecuali!"
Ketika ucapan terakhir Siang-tok Thaysu meluncur dari mulutnya, sepasang tangan Dewa racun sudah diayunkan ke depan berulang kali.
Di bawah cahaya api, terlihat sepasang telapak tangannya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang memancarkan cahaya merah di balik warna kehitaman, cahaya ungu di balik sinar merah, bahkan di balik cahaya ungu terkandung warna siluman yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Sepasang telapak tangannya kelihatan jauh lebih menakutkan daripada cakar setan.
Tanpa terasa Un Tay-tay, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su saling berdempetan satu dengan lainnya, tubuh mereka gemetar keras karena ketakutan.
Tubuh Seng Toa-nio, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu gemetar jauh lebih keras ketimbang mang lain.
Liu Ji-uh memeluk kencang tubuh suaminya, sementara sepasang matanya melotot besar mengawasi telapak tangan yang menakutkan itu, rsa sedih yang mencapai puncaknya membuat perempuan ini seolah lupa dengan rasa takut.
Lui-pian Lojin mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, sepasang matanya memancarkan sinar kemerahan yang menakutkan.
Dia mengawasi terus sepasang cakar setan Dewa racun, sementara mulutnya berteriak berulang kali.
"Kalian yang bisa kabur, cepatlah melarikan diri, bisa selamatkan satu nyawa cepat selamatkan itu nyawa!"
Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Bantai semua sampai ludes, jangan biarkan seorang pun tetap hidup, aku akan berjaga di mulut gua, jangan harap seorang pun di antara kalian bisa melarikan diri dari sini, serahkan nyawamu!"
Dalam pada itu Dewa racun telah merentangkan sepasang cakar mautnya ke atas batok kepala Che Toa-ho.
"Craaat!", diiringi suara tertahan, kelima jari tangannya yang lebih tajam dari baja itu sudah menembus tulang kepala korbannya. Tidak ampun isi otak Che Toa-ho berhamburan kemana-mana disertai percikan darah segar, belum sempat menjerit kesakitan dia sudah roboh terjungkal ke tanah. Im Ting-ting menjerit kaget, peristiwa mengerikan yang terbentang di hadapannya membuat dia ketakutan setengah mati. Dewa racun menarik kembali cakar setannya, sekali lagi dia melancarkan serangan maut. Waktu itu Pek Seng-bu sekalian ingin sekali melarikan diri, namun keempat anggota badan mereka menjadi lemas saking takutnya, jangankan kabur, mau bergeser satu langkah pun tidak mampu. Tiba-tiba Lui-pian Lojin meraung keras, teriaknya.
"Lohu akan mengadu jiwa denganmu!"
Ulat berkaki seribu memang tidak kuatir mati kaku! Biarpun kakek yang luar biasa ini sudah keracunan hebat, namun dia telah mempersiapkan sisa kekuatan yang dimilikinya untuk menerjang ke arah Dewa racun.
Belum sampai tubuhnya menerkam ke muka, segulung desingan angin tajam telah menyambar.
Pukulan itu benar-benar luar biasa dahsyatnya, bahkan disertai kekuatan untuk membelah batu cadas.
Tampaknya Siang-tok Thaysu tidak menyangka dalam detik terakhir lawannya masih memiliki tenaga pukulan sedahsyat itu, tanpa sadar leriaknyakaget.
"Dewa racun, hati-hati!"
"Blaaaam!", di tengah benturan dahsyat, pukulan terakhir yang dilontarkan Lui-pian Lojin lelah bersarang telak di tubuh Dewa racun.
Walaupun tubuh Dewa racun keras bagai lempengan baja, ternyata dia tidak mampu menahan gempuran yang maha dahsyat itu, tubuhnya mencelat ke belakang hingga membentur dinding batu, dinding yang kena ditumbuk pun retak dan hancur berantakan, batu dan debu beterbangan memenuhi angkasa.
Sementara itu tubuh Lui-pian Lojin sendiri pun ikut terpental hingga mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, meskipun sekuat tenaga dia berusaha berdiri tegar, namun akhirnya tidak tahan dan roboh terjungkal ke tanah.
Un Tay-tay sekalian merasakan tekanan yang luar biasa menyelimuti seluruh ruangan, sedemikian sesaknya hingga napas seakan ikut berhenti, kini mereka hanya berharap Lui-pian Lojin masih memiliki sisa tenaga, mereka pun berharap Dewa racun yang roboh terjungkal tidak pernah bangkit lagi untuk selamanya.
Siapa tahu dengan sekali lompatan si Dewa Racun telah melompat bangun kembali, bukan saja tubuhnya tidak menderita luka, bahkan cahaya siluman yang terpancar keluar dari matanya pun sama sekali tidak berkurang.
Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak, ejeknya.
"Wahai, orang she Lui, hari ini kau sudah tahu kelihaian si Dewa racun bukan? Sekalipun kau pertaruhkan nyawa tuamu pun sulit mencederai Dewa racun."
"Hmm, ayo, maju lagi...."
Seru Lui-pian Lojin dengan napas terengah.
Kembali Siang-tok Thaysu tertawa dingin.
"Begitu tanganmu menyentuh tubuh Dewa racun, racun jahat segera akan menyerang jantung mu, buat apa mesti mengadu jiwa? Baiklah, biar aku kabulkan permintaanmu, memberi kematian yang lebih memuaskan untukmu!"
Kembali dia tepuk punggung Dewa racun sambil bentaknya.
"Maju!"
Angin berhawa dingin kembali menderu, di tengah kilatan cahaya api, sekali lagi Dewa racun menerjang ke depan Lui-pian Lojin.
Biarpun Seng Toa-nio sekalian amat membenci Lui-pian Lojin, bahkan rasa benci mereka sudah merasuk ke tulang sumsum, namun saat ini mau tidak mau mereka harus ikut berdoa, mereka berharap Lui-pian Lojin bisa sekali lagi bangkit berdiri dan secara mukjizat melancarkan pukulan maut lagi.
Bagaimanapun kini Lui-pian Lojin sudah menjadi harapan terakhir mereka, asal Lui-pian Lojin tewas, maka jangan harap siapa pun yang hadir dalam gua saat ini bisa pergi dalam keadaan selamat.
Suasana amat hening, sedemikian heningnya sampai napas setiap orang pun serasa ikut berhenti Dada Lui-pian Lojin masih berombak naik turun, napasnya masih tersengal, mengawasi Dewa racun yang selangkah demi selangkah berjalan makin dekat, tangan dan kakinya terasa mulai mendingin, sementara butiran keringat sebesar kedelai jatuh bercucuran.
Sejak ternama dan menghadapi pertempuran selama puluhan tahun, sudah beratus kali pertarungan besar maupun kecil yang dia alami, tapi tidak sekali pun pernah merasakan penghinaan dan kehilangan muka seperti yang dialaminya hari ini, mimpi pun dia tidak menyangka dengan posisi serta statusnya saat ini, dia masih bisa dijagai orang tanpa mampu membalas.
Baginya kematian bukan masalah, tapi penghinaan dan kehilangan muka sulit diterima begitu saja.
Tiba-tiba Siang-tok Thaysu tertawa terbahak-bahak, ejeknya.
"Asal Dewa racun maju satu langkah lagi, niscaya kau akan kehilangan nyawa!"
Lui-pian Lojin seketika merasa hawa amarah yang mendidih menerjang naik ke atas kepalanya, sambil meraung keras tubuhnya yang tinggi kekar tiba-tiba bangkit berdiri...
berdiri tegak bagaikan sebatang tombak.
Un Tay-tay sekalian merasa terkejut bercampur girang, saking terperananya mereka seperti lupa untuk bersorak-sorai.
Siang-tok Thaysu seperti terkena pukulan dahsyat, tanpa sadar dia mundur selangkah dari posisi semula.
Dalam waktu yang amat singkat itu, sesungguhnya Lui-pian Lojin sendiri pun dibuat tertegun, bahkan dia sendiri pun tidak tahu darimana datangnya kekuatan itu, tapi saat dan situasi yang dihadapinya sekarang tidak memberi kesempatan baginya untuk berpikir lebih jauh.
Cakar setan Dewa racun telah menyerang kembali.
Lui-pian Lojin membentak keras, sepasang kepalannya dilontarkan bersama.
"Blaaaam!", kembali sebuah pukulan dahsyat bersarang telak di dada si Dewa racun. Kembali sekujur tubuh Dewa racun bergetar keras, tubuhnya mencelat ke udara dan menumbuk lagi di atas dinding batu. Kelihatannya tenaga pukulan yang dia lontarkan kali ini jauh lebih dahsyat ketimbang serangan yang pertama tadi, namun kali inipun tubuh Lui-pian Lojin terpental mundur ke belakang dengan sempoyongan sebelum akhirnya roboh terduduk di tanah. Berubah hebat paras muka Siang-tok Thaysu, tapi sambil tertawa paksa serunya lagi.
"Manusia she Lui, apakah kau masih memiliki tenaga untuk bangkit kembali?"
Sambil mengertak gigi, diam-diam Lui-pian Lojin mencoba mengatur pernapasan, mendadak dia menjumpai aliran tenaga dalamnya makin lama semakin bertambah lancar, bahkan jauh lebih lancar ketimbang waktu sebelum bertarung melawan Dewa racun.
Waktu itu Dewa racun telah berdiri kembali, berhadapan dengan musuh tangguh membuat Lui-pian Lojin tidak sanggup berpikir lebih jauh apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Un Tay-tay ikut termenung sambil memutar otak, sesaat kemudian dia pun menjadi sadar kembali apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tak tahan serunya dengan gembira.
"Rupanya racun Coat cing hoa telah bertemu dengan racun dari si Dewa racun, pertarungan antara dua jenis racun membuat kekuatan racun yang ada di tubuhmu jadi punah.
Semakin banyak kau menerima racun dari Dewa racun, semakin cepat pula tenaga murnimu pulih kembali."
Kontan Lui-pian Lojin merasakan semangat nya berkobar kembali, dia mendongakkan kepala dan berpekik panjang, serunya.
"Benar! Wahai makhluk tua beracun, ayo, suruh saja Dewa racunmu menyerangku, coba buktikan Lohu menjadi takut atau tidak!"
Sambil bicara dia kembali melompat bangun.
Sebenarnya Siang-tok Thaysu sudah siap menepuk punggung Dewa racun, namun setelan mendengar perkataan itu, dia jadi ragu untuk melanjutkan tepukannya, tanpa terasa peluh dingin mulai bercucuran membasahi jidatnya.
Sementara itu Lui-pian Lojin sudah mulai menerjang lagi ke depan.
Sambil menggigit bibir, terpaksa Siang-tok Thaysu menepuk kembali punggung Dewa racun ambil berteriak.
"Maju!"
Semua orang hanya merasakan pandangannya kabur, tahu-tahu...
"Blaaaam!", benturan dahsyat bergema memenuhi seluruh ruangan, terlihat dua sosok bayangan manusia kembali terpental ke belakang. Untuk kesekian kalinya tubuh Dewa racun mencelat ke udara dan kembali menumbuk dinding batu. Walaupun Lui-pian Lojin ikut terhuyung mundur beberapa langkah, namun kali ini tubuhnya cuma sekali tidak roboh, sementara si Dewa racun meski mampu bangkit berdiri lagi, namun gerakan tubuhnya sudah jauh lebih lamban. Perubahan situasi yang di luar dugaan ini membuat Seng Toanio, Thiat Cing-su, Pek Seng-bu, Im Ting-ting... menjadi kebingungan sendiri, mereka tidak tahu harus gembira atau sedih, mereka pun tidak tahu pihaknya sebagai teman atau lawan. Dengan wajah gembira, gumam Un Tay-tay.
"Karena bencana malah dapat rezeki... karena bencana malah dapat rezeki, kalau dia tidak terkena racun Coat cing hoa terlebih dulu, mungkin tidak seorang pun di antara kita sekarang masih bisa hidup bugar."
Di tengah kilatan cahaya api, tampak Lui-pian Lojin berdiri tegar dengan wajah angker dan penuh wibawa, kegagahannya di masa lampau kini sudah tumbuh kembali di tubuhnya.
Di bawah cahaya obor, dia gagah bagaikan malaikat langit.
Siang-tok Thaysu berdiri dengan wajah pucat, keringat dingin bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Padahal kepandaian silat yang dimilikinya sekarang boleh dibilang sangat tangguh, bila ditambah kekuatan Dewa racun, belum tentu Lui-pian Lojin sanggup menandingi kerubutannya, apalagi tenaga dalamnya belum seratus persen pulih kembali.
Namun semua perubahan yang terjadi kelewat cepat dan di luar dugaan, kekuatan Lui-pian Lojin terlalu cepat pulih kembali, hal ini membuat Siang-tok Thaysu menjadi keder terlebih dulu sebelum sempat melakukan pertarungan.
"Ayo, maju!"
Terdengar Lui-pian Lojin membentak lagi dengan suara menggelegar.
"ayo, maju lagi!"
Tiba-tiba Siang-tok Thaysu membalikkan tubuh Dewa racun dan berteriak nyaring.
"Kabur!"
Belum habis dia menghardik, tubuh Dewa racun sudah melesat keluar meninggalkan gua.
Sambil mementangkan sepasang cakarnya, Lui-pian Lojin merangsek keluar gua, tubuhnya melambung bagaikan seekor rajawali raksasa, cakar tajamnya langsung mencekik tenggorokan Siang-tok Thaysu.
Tampaknya Siang-tok Thaysu tidak berani menangkis datangnya ancaman itu, cepat dia membalikkan tubuh sambil kabur keluar, biarpun sudah cukup cepat dia menghindar, ternyata masih belum cukup cepat untuk menghindari datangnya ancaman.
"Breeett...
!", jubah berwarna merah yang dikenakan Siang-tok Thaysu segera tersambar oleh cakar maut yang dilancarkan Lui-pian Lojin dan sobek sebagian.
Traaaang!", sebuah benda terjatuh dari balik saku bajunya yang robek dan menggelinding beberapa jengkal ke samping, di bawah timpaan cahaya api, tampak benda itu memantulkan cahaya terang.
Sebenarnya Lui-pian Lojin hendak mengejar lebih jauh, namun baru saja kakinya bergerak, akhirnya dia urungkan kembali niatnya itu.
Lama sekali dia memandang keluar gua dengan tubuh mematung, akhirnya sesudah menghela napas panjang dia berjalan balik lagi ke dalam gua, dadanya nampak naik turun dengan cepat, dengus napas yang memburu sampai lama kemudian baru reda.
Sekalipun pertarungan yang barusan berlangsung tidak nampak seru, namun bukan saja pertarungan itu merupakan pertarungan habis-habisan, bahkan mempertaruhkan keselamatan jiwa semua orang yang ada di dalam gua saat itu.
Kini bukan hanya Lui-pian Lojin saja yang berdiri dengan napas tersengal, semua orang yang menonton pun sudah basah kuyup tubuhnya karena keringat dingin, begitu tegang dan paniknya mereka seolah terlibat langsung dalam pertempuran tadi Akhirnya sambil membesut keringat yang membasahi jidatnya, Lui-pian Lojin bergumam.
"Berbahaya! Sungguh berbahaya!"
"Mungkinkah dia...
dia akan balik lagi?"
Gumam Un Tay-tay gemetar.
"Selama ini makhluk tua bangkotan itu selalu mundur teratur bila gempurannya tidak mendatangkan hasil, aku rasa kali inipun tidak terkecuali, bisa jadi dia tidak akan balik kemari lagi."
Walaupun ucapan itu disampaikan dengan tegas, padahal dalam hati tidak terlalu yakin dugaannya benar.
Dia memang sengaja bicara begitu, tujuannya tidak lain adalah untuk menghibur serta menenteramkan hati orang lain, di samping tentu saja untuk menenteramkan hati sendiri, dia sadar, bila Siang-tok Thaysu sampai balik kembali, belum tentu dia memiliki keberanian yang cukup untuk menghadapinya.
Un Tay-tay menghela napas panjang.
"Semoga saja dia memang tidak balik lagi..."
Gumamnya. Mendadak sorot matanya terbentur benda berkilat di sudut ruang gua, benda yang memancarkan cahaya silau ketika tertimpa sinar obor.
"Benda apa itu?"
Serunya tak tahan. Mengikuti arah yang ditunjuk, semua orang berpaling. Ternyata benda itu mirip sekali dengan sebuah buli-buli arak, hanya besarnya sekepalan dan terbuat dari batu kemala hijau.
"Dari mana datangnya benda itu?"
Tegur Lui-pian Lojin dengan mata berkilat.
"Kelihatannya terjatuh dari saku Siang-tok Thaysu."
Mendadak wajah Lui-pian Lojin berubah jadi sangat tegang, dia seperti terkejut dan juga kegirangan, kembali tanyanya dengan suara dalam.
"Kau sempat melihatnya dengan jelas?"
"Benar, aku melihatnya dengan jelas,"
Un Tay-tay mengangguk. Mendadak satu ingatan melintas, kemudian serunya pula dengan girang.
"Jangan-jangan buli-buli itu berisi obat penawar racun?"
Tidak menunggu perempuan itu selesai bicara, Lui-pian Lojin telah menerjang maju ke depan dan memungut benda kemala itu, setelah diperiksa sejenak di bawah cahaya api, mimik girang segera tersungging di wajahnya.
"Apakah ada... ada tulisan di sana?"
Tanya Un Tay-tay.
Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hahaha, Thian memang maha adil, akhirnya kita mendapatkan kesempatan untuk hidup terus, hahaha...
mimpi pun Lohu tidak menyangka kalau secara tanpa sengaja bisa menemukan benda penolong nyawa"
Sambil tertawa terus, dia pun menggapai; "Kemarilah, coba kau ikut memeriksa."
Sebetulnya Un Tay-tay sudah tidak sabar untuk ikut memeriksa benda itu, cepat dia maju mendekat, berita gembira yang muncul di sela-sela putus harapan ini seketika mendatangkan tenaga kehidupan yang lebih segar di tubuhnya.
Betul saja, di atas buli-buli batu kemala itu tertera beberapa huruf kecil, huruf itu berbunyi.
"obat mestika, penawar segala racun". Ternyata dugaanku tidak salah...."
Dengan penuh kegembiraan Un Tay-tay segera bersorak.
"tak nyana dugaanku tepat sekali, isi buli-buli itu memang obat mustika penawar segala racun ramuan makhluk tua beracun itu, sekarang semua orang bakal tertolong."
Im Ting-ting, Thiat Cing-su maupun Liu Ji-uh seketika merasakan semangatnya berkobar kembali, mereka sangat gembira, sementara Pek Seng-bu, Hek Seng-thian serta Seng Toanio hanya bisa saling pandang dengan wajah lesu, sedih bercampur kecewa.
"Semoga saja obat penawar racun ini bisa memunahkan pengaruh jahat racun Coat cing hoa,"
Gumam Liu Ji-uh dengan suara gemetar.
Lui-pian Lojin tertawa.
"Walaupun Siang-tok Thaysu si makhluk tua beracun itu edan dan tidak tahu malu, namun kemampuannya menggunakan racun harus diakui sebagai jago nomor wahid di kolong langit, kemampuannya memang tanpa tandingan...."
Katanya.
"Setiap orang yang pandai menggunakan racun, pasti pandai pula memunahkan pengaruh racun,"
Sela Un Tay-tay tidak tahan.
"kalau memang kepandaian makhluk tua beracun itu dalam menggunakan racun merupakan jago nomor wahid di kolong langit, semestinya kemampuan nya untuk menawarkan segala racun pun bisa diandalkan."
"Betul, kalau dia sampai berani mengatakan obat mujarabnya bisa menawarkan segala racun, aku rasa ucapan itu sudah pasti bukan omongan sembarangan."
Tidak menunggu sampai perkataan itu selesai, Liu Ji-uh sudah menubruk ke depan, berlutut di lantai dan memeluk sepasang kaki Lui pian Lojin dengan air mata bercucuran, jangan dilihat di hari biasa dia tampil angkuh dan dingin, saat ini wajahnya penuh diliputi rasa terharu dan gembira yang luar biasa.
Buru-buru Lui-pian Lojin berseru.
"Kalau ada yang ingin dibicarakan, bicaralah baik-baik, buat apa kau mesti bersikap begitu?"
"Aku mohon kepada kau orang tua, berilah sebutir pil mujarab itu untuk menolong Kian-sik, boanpwe...
selama hidup Boanpwe tidak akan melupakan budi kebaikanmu,"
Kata Liu Ji-uh dengan nada parau.
Lui-pian Lojin kembali tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, sekalipun kau tidak memohon kepadaku, aku tetap akan memberinya...
setiap orang yang hadir di sini dan keracunan, berhak memperoleh sebutir.
Tidak ada pengecualian."
"Tapi bagaimana kalau jumlah obatnya tidak cukup?"
Tiba-tiba saja Lui-pian Lojin tertegun.
"Soal ini... soal ini...."
Saking gembiranya, dia seolah sudah melupakan akan hal ini.
Paras muka Un Tay-tay berubah makin hebat sesudah mendengar perkataan itu, sebab ucapan itu telah menyentuh kembali luka dalam hatinya, dia teringat pengalaman getir yang pernah dialaminya, dia pun teringat akan Sui Leng-kong.
Dengan wajah mengejang karena menahan rasa sedih dan penderitaan yang mendalam, dia berbisik dengan suara gemetar.
"Benar, kalau obatnya tidak cukup, apa yang harus kita lakukan? Siapa yang akan ditolong? Siapa pula yang tidak akan ditolong? Siapa yang harus ditolong? Siapa pula yang tidak pantas ditolong?"
Perlahan sinar matanya menyapu sekejap orang-orang yang berada di sana, Im Gi, Im Kiu-siau, Lui Siau-tiau, Liong Kian-sik...
hampir semuanya dalam kondisi kritis, napasnya sangat lemah dan setiap orang perlu obat penawar untuk secepatnya menyelamatkan nyawa mereka.
Bukan cuma beberapa orang itu, Lui-pian Lojin sendiri pun masih perlu obat penawar, lalu Seng Cun-hau...
bukankah kondisi orang inipun sama seperti Lui-pian Lojin? Tiba-tiba Un Tay-tay menjerit keras.
"Siapa yang harus ditolong? Siapa pula yang tidak harus ditolong?"
Benaknya seolah sudah dipenuhi oleh berbagai masalah, yang membuatnya pening, membuatnya berkunang-kunang, hampir saja dia tidak sadarkan diri.
Terdengar Liu Ji-uh berkata lagi dengan gemetar.
"Itulah sebabnya Boanpwe mohon kepada kau orang tua, bagaimanapun hadiahkan sebutir pil penawar racun untuk Kian-sik, dia...
dia tidak boleh mati."
"Dia tidak boleh mati, siapa pun tidak boleh mati, memangnya hanya Cun-hau yang pantas mati?"
Mendadak terdengar Seng Toa-nio ikut berteriak keras.
"Bila Kian-sik mati, aku pun tidak ingin hidup sendiri,"
Ujar Liu Ji-uh lagi dengan air mata bercucuran.
"nyawa orang lain hanya selembar, tapi nyawa kami adalah dua lembar yang tergabung jadi satu." "Kentut! Kentut! Kau...."
Teriakan Seng Toa-nio makin keras.
"Bila ayah mati, aku pun tidak ingin hidup,"
Teriak Im Ting-ting pula. Liu Ji-uh menangis semakin keras, rengeknya.
"Aku mohon kepadamu... aku mohon...."
Suara teriakan histeris ditambah suara isak tangis yang memedihkan hati seketika menyelimuti seluruh ruang gua, membuat suasana di situ jadi sangat kalut.
Lui-pian Lojin menghentakkan kaki berulang kali, hardiknya.
"Tutup mulut! Semuanya tutup mulut!"
Setelah menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu dan menunggu hingga suasana reda, dia berkata lebih jauh.
"Kita masih belum tahu berapa biji obat yang tersimpan di situ, buat apa kalian ribut lebih dahulu?"
Kemudian setelah sedikit sangsi, dia sodorkan buli-buli kemala itu ke tangan Un Tay-tay, katanya lagi.
"Coba kau periksa, ada berapa butir obat di situ?"
Bukannya menerima, Un Tay-tay malah menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan sambil menjerit sedih.
"Aku tidak mau lihat... aku tidak mau lihat"
"Di sini hanya posisimu yang paling istimewa,"
Tegur Lui-pian Lojin gusar.
"hampir semua orang yang keracunan tidak punya hubungan khusus denganmu, kalau bukan kau yang memeriksa, memangnya siapa yang pantas memeriksa?"
"Aku... aku air mata makin deras berlinang membasahi wajah Un Tay-tay. Dia benar-benar merasa sangat terpukul, dia merasa pendiriannya telah hancur berantakan, dia tidak ingin memikul kembali beban yang sangat berat itu. Tapi waktu itu Lui-pian Lojin telah menyodorkan buli-buli kemala itu ke tangannya. Bersentuhan dengan batu kemala yang halus dan lembut, bagi Un Tay-tay seolah bersentuhan dengan ular atau kalajengking berbisa, tubuhnya gemetar keras, bahkan perasaannya pun ikut tergetar.
"Semoga saja jumlah obat penawarnya cukup... semoga cukup dibagi..."
Doanya dalam hati.
Padahal di hari biasa sia tidak percaya dengan segala dewa dan Buddha, tapi kini dalam kondisi kritis dan terdesak, tiba-tiba saja dia seperti teringat untuk berdoa, mohon bantuan para dewa untuk memenuhi keinginannya, asal jumlah obat penawar itu cukup dibagi, dia rela untuk menanggung segala penderitaan orang-orang itu.
Setelah dituang, ternyata ada tujuh butir pil penawar racun.
Tujuh butir pil berwarna merah darah bergulingan di atas telapak tangan Un Tay-tay yang dingin bagaikan es dan gemetar keras karena tekanan batin, bergulingan dengan memancarkan selapis cahaya aneh.
Un Tay-tay menggenggam kencang semua pil penawar racun itu, ketika semua syarafnya mulai mengendor, setelah ketegangannya men-capai puncak, dia merasa seluruh kekuatan tubuhnya seolah lenyap, hampir saja dia roboh terjungkal.
Tapi air mata masih bercucuran tiada hentinya, dia tidak tahu itu air mata kegirangan atau kesedihan, sambil merangkap tangannya di depan dada, dia menengadah dan mulai menjerit.
"Thian...
oooh, Thian...."
Menyaksikan perubahan wajahnya itu, semua orang merasa deg-degan, semua orang merasa tegang, paras muka mereka ikut berubah hebat.
"Ada... ada berapa butir?"
Dengan suara gemetar Lui-pian Lojin bertanya.
"Tujuh butir... tujuh butir....
"jawab Un Tay-tay dengan air mata berlinang. Lui-pian Lojin mundur tiga langkah, dia beolah tertegun secara tiba-tiba. Sampai lama kemudian orang tua itu baru menghela napas panjang, serunya.
"Cukup! Cukup!"
"Cukup... cukup...."
Liu Ji-uh, Im Ting-ting, semuanya ikut bersorak-sorai kegirangan.
"Benar, bukan cuma cukup, malah kelebihan satu butir,"
Un Tay-tay menambahkan Seluruh ketegangan, semua kepedihan, dalam waktu singkat berubah jadi kegembiraan yang meluap.
Hek Seng-thian memutar biji matanya, tiba-tiba dia berkata sambil tertawa dingin.
"Tujuh butir? Hehehe...
rasanya begitu kebetulan."
"Hahaha, inilah yang dinamakan Thian mengabulkan permintaan umatnya, kejadian yang patut digembirakan."
"Aku hanya merasa kejadian ini sangat kebetulan."
"Apa maksud perkataanmu itu?"
Berubah paras muka Lui-pian Lojin.
"Kenapa Cianpwe tidak berpikir, siapa tahu obat penawar itu memang sengaja ditinggalkan Siang-tok Thaysu dengan maksud agar kalian masuk perangkapnya."
"Betul,"
Sambung Pek Seng-bu pula.
"di luar botolnya memang tertulis obat mustika penawar racun, tapi siapa yang berani menjamin kalau isinya justru obat racun penghancur usus? Tanpa harus bersusah payah, dia mampu merobohkan kalian, hehehe... satu siasat yang hebat! Siasat yang amat jitu!"
"Kentut!"
Bentak Lui-pian Lojin gusar.
"kau... kau... kalian berdua telah meracuni arakku, belum lagi Lohu membikin perhitungan, sekarang kau malah berani bicara sembarangan."
Sekalipun di luar dia menuduh ucapan itu sembarangan, padahal dalam hati dia tahu dengan pasti bahwa kemungkinan semacam itu tetap ada, kembali paras muka Un Tay-tay dan Liu Ji-uh sekalian berubah hebat.
Sambil tertawa dingin, kembali Hek Seng-thian berkata.
"Aku sengaja mengingatkan kalian karena tumbuh dari niat baik saja, soal mau percaya atau tidak terserah kalian sendiri, kenapa aku malah dituduh bicara sembarangan?"
Lui-pian Lojin tidak bicara apapun, mendadak dia melompat maju dan mencengkeram bajunya.
"Mau... mau apa kau?"
Teriak Hek Seng-thian terperanjat.
"Lohu akan membunuh dirimu!"
"Tapi aku... aku kan berniat baik."
"Kentut!"
Hardik Lui-pian Lojin gusar.
"kau memang sengaja bicara begitu agar kami semua tidak berani menelan obat penawar itu, agar kami menunggu mati di sini. Kau memang berhati busuk, berhati keji, memangnya Lohu tidak tahu niatmu?"
"Kalau Cianpwe memang tidak percaya, kenapa tidak dicoba saja?"
"Kentut!"
Kembali Lui-pian Lojin mengumpat marah.
"persoalan yang menyangkut mati hidup memangnya boleh dicoba semaunya?"
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Un Tay-tay, segera teriaknya.
"Ada akal!"
"Apa akalmu?"
Lui-pian Lojin segera berpaling.
"Bukankah kita punya kelebihan sebutir obat penawar?"
"Kalau ingin mengatakan sesuatu, cepat katakan, tidak usah berputar-putar lagi."
"Kalau memang kita memiliki kelebihan sebutir obat penawar, kenapa tidak kita cekokkan saja kepadanya? Kalau obat itu betul-betul penawar racun, sudah pasti dia tetap sehat, kalau memang racun...
aaaai! Manusia macam dia tidak perlu disayangkan kalau mampus, kalau memang keracunan, biarkan saja diamati."
"Hahaha, bagus! Bagus sekali! Akal bagus! Akal bagus!"
Tidak terlukiskan rasa gusar Hek Seng-thian sesudah mendengar perkataan itu, kontan saja dia mencaci-maki kalang-kabut.
"Dasar wanita bejat, perempuan jadah berhati busuk, pelacur tidak laku kawin, semenjak jadi gundik Suto Siau, aku sudah tahu manusia macam kau memang bukan manusia baik-baik."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan saja dia mencaci-maki dengan suara keras, bahkan bahasa yang digunakan pun amat kasar dan busuk, untuk sesaat Im Ting-ting, Thiat ling-su maupun Lui-pian Lojin hanya bisa mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri mematung.
Hingga saat itu mereka baru tahu asal-usul Un Tay-tay yang sebenarnya, mimpi pun mereka tak mengira perempuan itu dulunya adalah gundik kesayangan Suto Siau.
Menyaksikan reaksi itu, Hek Seng-thian semakin senang dan makiannya pun semakin kotor dan tidak sedap didengar.
Terdengar dia mengumpat kembali.
"Sejak waktu itu aku sudah tahu kau sering main serong dengan lelaki lain, apalagi ketika masih muda dan berpipi putih, kau lahap semua dengan rakus, karena itulah orang she Im itu...."
"Tutup mulut!"
Tiba-tiba Lui-pian Lojin membentak keras.
Di tengah suara bentakan, dia langsung mengayunkan tangannya dan menampar wajah Hek Seng-thian dengan keras.
"Ploook!", kontan separoh wajah Hek Seng-thian merah bengkak, beberapa biji giginya ikut rontok.
Tapi dia masih belum mau berhenti mengoceh, kembali teriaknya.
"Tapi...
tapi aku bicara sejujurnya."
"Tidak peduli ucapanmu benar atau tidak, tidak peduli dulunya Un Tay-tay manusia macam apa, setelah hari ini Lohu menginginkan dia menjadi menantuku, siapa pun tidak dapat merubahnya lagi."
Berlinang air mata Un Tay-tay setelah mendengar perkataan itu, selain terharu, dia pun sangat berterima kasih.
Namun Im Ting-ting dan Thiat Cing-su yang mendengar ucapan itu kembali tertegun dibuatnya.
Diam-diam mereka berdua saling pandang, sedang dalam hati berpikir.
"Bukankah dia sudah berjanji akan tetap menjanda? Kenapa sekarang malah jadi menantu Lui-pian Lojin?"
Terdengar Lui-pian Lojin kembali berkata dengan suara keras.
"Mulai hari ini, barang siapa berani mengungkit kembali masa lalu Un Tay-tay, Lohu bersumpah akan mencincangnya hingga hancur berkeping-keping!"
Dia, segera mengambil sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Hek seng-thian, kemudian dengan sekali tepukan ditenggorokannya, mau tak mau Hek seng-thian segera menelan pil itu kedalam perutnya.
Dalam keadaan begini, hilang sudah nyali Hek seng-thian, dia terperosok lemas dan roboh terkapar diatas tanah.
BAB 39 Langit Ambruk Bumi Merekah Angin masih berhembus sepoi, jilatan api obor masih memancarkan cahayanya.
Semua orang menahan napas, mengawasi perubahan mimik muka Hek Seng-thian setelah dicekoki obat, sementara air muka Hek Seng-thian pucat-pias bagai mayat, peluh sebesar kedelai jatuh bercucuran membasahijidatnya.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak terdengar Hek Seng-thian menjerit kesakitan, dia mulai memegangi perutnya dengan kedua belah tangan dan meringis menahan rasa sakit.
"Kenapa kau?"
Tegur Lui-pian Lojin dengan wajah berubah.
"Aduh, sakit... sakit.. racun!"
Keluh Hek Seng-thian dengan suara gemetar.
Begitu mendengar kata "racun", paras muka Liu Ji-uh serta Im Ting-ting segera berubah hebat, bagai disambar petir di siang hari bolong tubuh mereka gemetar keras.
Tiba-tiba Lui-pian Lojin mendongakkan kepala dan tertawa keras, suaranya menggaung sampai lama sekali.
Pada mulanya Un Tay-tay merasa kecewa, menyusul kemudian tercengang dan akhirnya ikut tersenyum.
"Jadi obat itu beracun?"
Tandasnya sambil tertawa.
"Beracun... racun jahat... aaah, sudah menembus ususku, aku... aduuuh, perutku sakit sekali seperti dililit,... aaah, mungkin aku... aku tidak bisa hidup lebih lama lagi."
Mendadak Lui-pian Lojin menghentikan gelak tawanya dan berteriak keras.
"Ambilkan pisau!"
"Ambil pisau buat apa?"
Tanya Un Tay-tay sambil mengedipkan matanya.
"Kalau memang dia sudah keracunan, sudah pasti sebentar lagi nyawanya akan hilang, daripada dia menderita lebih lama, lebih baik Lohu bantu dia, agar matinya tidak usah tersiksa."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Hek Seng-thian sudah melompat bangun sambil berteriak.
"Tidak ada racunnya... aku tidak keracunan...."
Semua orang merasa terkejut bercampur gembira, mereka masih belum paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sambil tertawa, ujar Un Tay-tay.
"Agar kami semua tidak berani menelan pil pemunah itu, kau sengaja berlagak keracunan hebat, dasar berhati busuk, kau memang kejam setengah mati.
Padahal kau lupa bahwa racun yang dimiliki Siang-tok Thaysu bukan sembarang racun, tidak mungkin racunnya bisa dibandingkan racun biasa.
Boleh saja kau berlagak sakit perut, padahal sejak awal sandiwaramu sudah ketahuan, kalau aku saja sulit dibohongi, mana mungkin kau bisa menipu dia orang tua?"
Paras muka Hek Seng-thian pucat-pias, dengan kepala tertunduk dia bungkam dalam seribu bahasa. Sambil tertawa, kembali Un Tay-tay berkata.
"Sekarang sisa obat penawar ini persis enam butir, ayo, kita telan dulu bersama-sama!"
Sambil berkata, diambilnya sebutir pil pemunah racun itu dan disodorkan ke hadapan Liu Ji-uh.
Tidak lama setelah menelan pil penawar racun itu, semua sudah mulai menunjukkan reaksinya.
Liong Kian-sik keracunan paling ringan, mula-mula dia memuntahkan segumpal air berwarna hijau, setelah kejang beberapa saat, lambat-laun tubuhnya mulai dapat bergerak, kesadaran yang semula hilang pun perlahan pulih kembali.
Dengan air mata berlinang Liu Ji-uh menanti dengan tenang, akhirnya dia tidak mampu menahan diri lagi dan segera memeluk tubuh suaminya erat-erat, serunya dengan nada gemetar.
"Kian-sik...
Kian-sik...
kau telah kembali, kau telah kembali...."
Jangan dilihat di hari biasa perempuan ini berpenampilan dingin dan angkuh, sekali perasaan hatinya terbuka, maka tampaklah kobaran api cintanya yang membara....
Bukankah bara lahar panas gunung berapi selalu tersembunyi di balik bebatuan yang dingin dan kaku? Menyusul Lui Siau-tiau, Im Gi, Im Kiu-siau menunjukkan reaksinya, sekalipun kekuatan mereka belum pulih seperti sedia kala, namun masalah itu hanya soal waktu saja.
Liu Ji-uh, Im Ting-ting, Thiat Cing-su serta Un Tay-tay semuanya diliputi perasaan gembira yang meluap, sedemikian girangnya hingga untuk sesaat melupakan rasa benci dan dendamnya terhadap Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu.
"Ternyata kepandaian Siang-tok Thaysu dalam memunahkan racun memang nomor satu di kolong langit,"
Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung Kait Perpisahan -- Gu Long