Pendekar Panji Sakti 26
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 26
Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung
Lanjut Im Gi dengan suara dalam.
Perlu diketahui, siapa pun dari Angin, Hujan, Kilat maupun Guntur yang menampakkan diri, kejadian itu sudah cukup menggetarkan seluruh dunia persilatan, apalagi sekarang mereka muncul berempat, muncul bersama-sama, jelas peristiwa semacam ini sangat menghebohkan.
Gi Beng segera bergumam.
"Waaah, dengan kehadiran mereka berempat, lembah ini bakal lebih ramai lagi, aaaai! Siapa pun dari mereka berempat sudah lebih dari cukup untuk memporak-porandakan tempat ini."
"Kalau begitu lebih baik...
lebih baik kita pergi saja,"
Ajak Thiat Cing-su tergagap.
"dengan kehadiran mereka berempat di sini...."
Tapi setelah melirik Im Gi sekejap, dia segera menelan kembali perkataan yang belum sempat diucapkan.
Biarpun perkataan berikut tidak berani dia ucapkan, tapi orang lain pun bisa menebak apa yang hendak dia katakan.
"Dengan kehadiran mereka berempat, apa arti kepandaian silat yang kita miliki? Apa pula yang bisa kita lakukan?".
Tentu saja jika kungfu yang mereka miliki dibandingkan dengan kemampuan Coh Sam-nio berempat, boleh dibilang ibarat cahaya kunang-kunang dibandingkan dengan sinar rembulan.
"Betul,"
Bisik Gi Beng.
"mumpung saat ini mereka sedang cakar, kenapa kita tidak segera meloloskan diri? Andai...."
"Jangan mengungkit soal pergi lagi!"
Tukas Im Gi tiba-tiba dengan penuh amarah.
"Tapi meski tidak pergi, apa...."
"Saat ini mereka sedang gontok-gontokan, bisa dipastikan tidak sempat buat mereka memperhatikan urusan orang lain, inilah kesempatan paling baik buat kita untuk bertindak."
"Bertindak?"
Gi Beng mengedipkan mata.
"Betul, bertindak! Aku yakin orang-orang Ngo-hok-beng pasti sedang bersembunyi di balik padang rumput ini, tadi mereka kabur terbirit birit, berarti saat ini belum sempat berkumpul jadi satu."
"Betul, kawanan manusia itu merupakan kelompok manusia busuk yang takut mampus,"
Gi Beng manggut-manggut.
"dalam keadaan seperti ini mereka pasti tidak berani sembarangan bergerak, mereka pun belum tentu akan berkumpul jadi satu di tempat yang sama."
Mendengar nona itu ikut mengumpat musuh besarnya, tanpa terasa timbul perasaan simpati Im Gi terhadapnya, setelah melirik sekejap, katanya sambil tertawa.
"Betul sekali, inilah saat mereka berada dalam kondisi tercerai-berai, saat paling tepat buat kita untuk menggempurnya, bila ada di antara mereka yang bertemu Lohu, itulah saat orang itu harus mampus, akan kubuat mereka ketemu satu mati satu, ketemu dua mampus sepasang!"
"Bagus sekali!"
Sorak Gi Beng sambil bertepuk tangan.
"tinggalkan Suto Siau si bajingan mogor itu untukku."
"Bagus, kebetulan Lohu memang ingin menyaksikan kehebatan tujuh pedang pelangi!"
Melihat hubungan antar kedua orang itu telah berjalan normal kembali, diam-diam Thiat Cing-su merasa girang, tapi setelah melirik Im Gi sekejap, keningnya kembali berkerut.
Ujarnya tergagap.
"Tapi kekuatan kau orang tua...." "Melihat batok kepala musuh sudah berada di depan mata golok, semua racun yang mengeram di tubuh Lohu lenyap tidak berbekas,"
Kata Im Gi dengan suara berat.
"yang tersisa sekarang hanya rasa dahaga, haus untuk menghirup darah segar mereka."
"Dibandingkan arak tua yang berusia ratusan tahun pun, darah segar musuh pasti lebih mantap,"
Sambung Gi Beng sambil tertawa.
"Anak pintar, ternyata kau mengerti sekali soal seleraku."
"Tapi barusan aku sempat memakimu!"
"Huuh, apalah arti makian, hanya orang berjiwa terbuka yang berani memaki orang tanpa tedeng aling-aling, jauh lebih bagus ketimbang mereka yang tahunya mengikut, menurut, segala mengiakan, seperti orang yang tidak punya pendirian saja, ayo, jalan!"
Tanpa membuang waktu dia segera beranjak pergi dari situ dengan langkah lebar.
Mengawasi bayangan punggungnya yang menjauh, diam-diam Gi Beng menjulurkan lidah, kemudian sambil berpaling ke arah Thiat Cing-su, bisiknya sambil tertawa.
"Orang tua ini betul-betul manusia aneh, kalau dia sudah tidak senang denganmu, segala perbuatanmu dianggapnya salah, tapi begitu dia merasa cocok denganmu, biar dimaki pun tidak jadi masalah."
"Jangan-jangan umpatanmu tadi sangat mengena, kalau tidak...."
"Kalau tidak kenapa?"
Thiat Cing-su menghela napas panjang, bisiknya.
"Kalau tidak, mungkin aku tidak bisa bertemu lagi denganmu."
"Apa... apa hubungannya denganku?"
Paras muka Gi Beng kontan bersemu merah.
"Mungkin buatmu tidak masalah, tapi sangat bermasalah bagiku,"
Bisik Thiat Cing-su sambil menundukkan kepala.
Beberapa patah kata itu diucapkan tanpa sadar, apa yang diungkapkan pun merupakan pengakuan yang paling jujur dari sanubarinya.
Perlu diketahui, bila orang berada dalam posisi senasib, biasanya saat seperti itulah paling gampang mengungkap perasaan hati dengan sejujurnya, tidak kecuali Thiat Cing-su dan Gi Beng waktu itu.
Tanpa terasa Gi Beng melirik sekejap ke arahnya, menyaksikan ketulusan dan keseriusan pemuda itu, tanpa terasa dia pun ikut mengutarakan perkataan yang seharusnya enggan diucapkan.
"Kemudian bisiknya dengan lembut.
"padahal aku pun merasa ikut bersalah."
Begitu selesai bicara, bagaikan sedang terbang saja dia langsung meluncur maju ke depan.
Tidak terlukiskan rasa gembira Thiat Cing-su setelah mendengar perkataan itu, dia merasa tubuhnya seolah berubah lebih enteng, cepat dia menyusul di belakangnya dengan ketat, atas semua bencana dan mara bahaya yang mengancam di depan mata pun dia merasa seolah sudah lupa.
Im Gi bergerak lebih dulu paling depan, terhadap pembicaraan yang dilakukan sepasang muda-mudi itu dia seolah sama sekali tidak mendengar, bahkan berpaling pun tidak.
Semenjak bertemu Un Tay-tay dan Gi Beng...
sejak mendengar berita kematian Thiat Tiong-tong dan Im Ceng, watak orang tua ini seakan benar-benar telah tejadi perubahan, perubahan yang amat drastis.
Berlarian di tengah padang rumput sesungguhnya merupakan tindakan yang berbahaya, karena tidak gampang menghindari pengamatan orang lain, masih untung waktu itu Hong Lo-su sedang saling kejar sehingga banyak membantu kelancaran gerak ketiga orang itu.
Mendadak terlihat cahaya tajam berkilat, sebilah pedang tahu-tahu menusuk keluar dari balik rerumputan langsung mengancam dada Im Gi, serangan itu datang sangat cepat, ganas dan sama sekali tidak menimbulkan suara.
"Ternyata datang juga!"
Bentak Im Gi nyaring.
Kelihatannya dia sudah membuat persiapan, walaupun tusukan pedang itu muncul secara tiba-tiba, meski serangannya ganas dan telengas, namun bagi Ciang bunjin Thiat hiat tay ki bun ini, erangan itu sama sekali tidak dipandang sebelah mata pun.
Tampak dia menekuk pinggangnya ke samping, tahu-tahu tusukan itu sudah menyambar lewat di sampingnya, menyusul dia pentang kesepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan dan langsung mencengkeram pergelangan tangan lawan yang menggenggam pedang.
"Bajingan busuk, hebat juga kau,"
Bentak orang di balik rerumputan gusar.
Tampak seseorang menerjang keluar dari tempat persembunyiannya sambil memutar pedang dengan kalap, ternyata dia adalah Gi Teng.
Dengan perasaan terkejut bercampur girang, Gi Beng segera berseru.
"Im-locianpwe, ampuni jiwanya!"
Im Gi tertegun, cepat dia menarik kembali serangannya sambil mundur.
Gi Teng menarik pula pedangnya sambil melompat mundur, untuk sesaat dia pun hanya berdiri tertegun dengan mata terbelalak.
Ketika kakak beradik saling bertemu, tidak terlukiskan rasa terkejut dan gembira mereka berdua.
Sun Siau-kiau yang mengintil di belakang Gi Teng segera berseru pula.
"Adikku, ternyata kau, hampir saja kami mengalami bencana besar, betul-betul air bah menghanyutkan kuil raja naga."
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru pula dari balik rerumputan, berkata sambil tertawa ringan.
"Sun Siau-kiau, saudara Gi, kenapa kalian kabur? Memangnya aku benar-benar akan mencelakai kalian? Cepat kemari, cepat kemari, asal kita berkumpul, makin banyak jumlahnya semakin enak cara kerjanya."
Perkataan itu disampaikan dengan suara rendah dan perlahan, jelas cara kerja orang itu amat teliti dan berhati-hati.
"Su...."
Berubah hebat paras muka Gi Beng. Baru saja dia mengucapkan sepatah kata, mulutnya sudah dibekap Gi Teng.
"Betul,"
Bisik Sun Siau-kiau di samping telinganya.
"dia memang Suto Siau, sewaktu aku bersama kakakmu berusaha menyusup masuk ke dalam padang rumput, kami telah bertemu dengan ketiga orang bajingan tengik itu, ternyata dia... dia tidak mempedulikan hubungan di masa lalu...."
Ketika bicara sampai di situ, tiba-tiba dia bungkam, paras mukanya berubah merah jengah. Terpaksa Gi Beng berlagak seolah tidak paham, katanya lirih.
"Kebetulan sekali kedatangan kalian."
Sementara itu Im Gi dengan sinar mata berkilat dan wajah diliputi napsu membunuh telah berkata.
"Pancing mereka kemari."
Beberapa orang itu bukan manusia bodoh, begitu mendengar perkataan itu, Gi Beng dan Thiat Cing-su segera mengikuti Im Gi membaringkan diri bersembunyi, sementara Gi Teng dengan pedang terhunus bersiap sedia.
Dengan cepat Sun Siau-kiau menghampiri Suto Siau, serunya manja.
"Kau sungguh tidak akan mencelakaiku?"
"Tentu saja sungguh,"
Sahut Suto Siau sambil tertawa.
"dimana mereka sekarang?"
"Ada di sini, masa kalian belum mendengar?"
"Baiklah, kali ini kalian jangan kabur secara sembarangan, apa yang kucapkan tadi tidak lebih hanya mengajak kalian bergurau saja.."
Belum habis perkataan itu berkumandang, Suto Siau, Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu telah menyusup tiba, mereka langsung mengurung Sun Siau-kiau dan Gi Teng di tengah arena.
Paras muka mereka sama sekali tidak dihiasi senyuman, apalagi wajah Suto Siau, dia nampak dingin, kaku bagaikan bongkahan salju, seakan perkataan yang barusan diucapkan bukan berasal dari mulutnya.
"Akhirnya kalian tertipu juga,"
Kata Pek Seng-bu ketus.
"Akan kulihat, kali ini kalian akan kabur kemana lagi?"
Sambung Hek Seng-thian. Sun Siau-kiau pura-pura terkejut, jeritnya tergagap.
"Mau apa... mau apa kalian?"
"Tidak mau apa-apa, hanya ingin mencabut nyawa kalian berdua,"
Kata Suto Siau perlahan.
"Apakah kau... kau sedang bergurau?"
Suto Siau tertawa dingin.
"Dalam keadaan begini, siapa yang punya selera mengajak kalian bergurau? Hek-heng, Pek-heng, kenapa tidak segera turun tangan? Mau menunggu sampai kapan lagi?"
"Tunggu sebentar!"
Bentak Sun Siau-kiau cepat.
"Apa lagi yang ingin kau katakan?"
Jengek Pek Seng-bu dingin.
"Kedatangan tujuh pedang pelangi khusus untuk membantu kalian, kenapa kalian malah...."
"Hmmm, tujuh pedang pelangi hanya sekelompok manusia yang pagar makan tanaman,"
Ujar Suto Siau sambil tertawa dingin.
"sudah lama aku berniat membasmi kalian, kini saatnya sangat tepat, inilah kesempatan emas yang diberikan Thian kepadaku."
"Tapi... tapi... masa kau sudah mengabaikan hubungan lama kita...."
"Tutup mulut!"
Tukas Suto Siau gusar. Sun Siau-kiau tertawa terkekeh.
"Sekarang aku mengerti,"
Katanya.
"ternyata kau memang berniat membungkam mulutku untuk selamanya, karena itu timbul niat untuk menghabisi nyawaku, dasar bajingan tengik berhati busuk, kau memang pantas mampus."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau memang begitu, mau apa kau? Mulutmu yang banyak bicara memang sudah waktunya untuk dibungkam selamanya,"
Kata Suto Siau sambil tertawa seram.
"Memang sudah waktunya untuk tutup mulut, cuma ada satu persoalan perlu kusampaikan."
"Soal apa?"
"Belalang menubruk tonggeret, burung nuri mengintai dari belakang.
Masa kau lupa dengan perkataan ini? Kalau kurang percaya, tidak ada salahnya berpaling dan periksa sendiri, coba lihat siapa sajayangberdiri di belakangmu?"
"Hahaha, kau pun ingin membohongi aku dengan permainan anak-anak semacam itu?"
Suto Siau tertawa tergelak.
Ketiga orang itu benar-benar licik dan banyak akal muslihat, ternyata tidak seorang pun yang bersedia berpaling.
Serentak mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, katanya.
"Kami tidak bakal menoleh, dan kau pun jangan harap bisa kabur...."
Belum selesai mereka tertawa, tiba-tiba dari belakang tubuh terdengar seseorang berkata dingin.
"Lebih baik kalian berpaling."
Begitu ucapan itu berkumandang, tanpa berpaling pun mereka tahu siapa gerangan yang berada di belakang, tidak tahan hawa dingin seketika muncul dari tulang belakang dan bulu kuduk pun berdiri.
Suto Siau berdehem berulang kali, kemudian ujarnya sambil tertawa paksa.
"Bagus sekali, kebetulan sekali, ternyata kita bersua kembali."
"Betul, sangat kebetulan kita bisa bersua lagi...."
Ujar Hek Seng-thian dan Pek Seng-bu pula sambil tertawa paksa. Sementara berbicara, tubuh mereka secara diam-diam bergeser ke samping dan berusaha pindah ke arah lain.
"Berhenti!"
Bentak Im Gi nyaring.
"Kau tidak usah kuatir, sekalipun kau tidak datang mencari kami, kami tetap akan mencarimu, setelah saling berjumpa, kenapa kami mesti menyingkir?"
"Kalau begitu, balik tubuhmu, mari kita berduel sampai mati."
Suto Siau memandang sekeliling tempat itu sekejap, lalu ejeknya dengan licik.
"Kalian berlima sementara kami bertiga, dengan lima lawan tiga pihak kalian ingin meraih kemenangan dengan jumlah banyak, hehehe...
masa orang perguruan Tay ki bun akan berbuat begitu?"
"Buat apa membicarakan peraturan dunia persilatan dengan bajingan tidak tahu malu macam kalian,"
Hardik Gi Beng gusar.
"Enci Sun, mari kita bersama-sama meringkus dan menghabisi nyawa anjingtuaini!"
"Memang sejak lama aku ingin menjagal bajingan tua ini."
Serentak kedua orang itu merangsek ke muka, satu di depan dan yang lain dari belakang, langsung menyerang Suto Siau dengan garang.
Gi Teng mengayunkan pedangnya ikut menusuk Pek Seng-bu, sedang Thiat Cing-su setelah sangsi sejenak akhirnya ikut menerjang maju, secara beruntun dia melancarkan tiga serangan berantai sambil berteriak.
"Heng-tay, aku datang membantumu."
"Hahaha, bagus! Bagus sekali!"
Seru Hek Seng-thian sambil mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"tinggalkan ketua perguruan Tay ki bun ini untukku!"
Meskipun gelak tertawanya amat nyaring, namun dapat terdengar suara tawanya agak gemetar.
"Kau masih belum mau membalikkan badan?"
Tegur Im Gi.
"Cepat atau lambat toh pasti akan bertarung juga, buat apa kau terburu napsu?"
Perlu diketahui, walaupun jawabannya masih ketus dan keras, namun hatinya sudah mengkeret, rasa takut yang luar biasa telah mencekam hatinya, dia sadar, begitu berpaling maka pertarungan mati hidup segera akan berlangsung, bayangkan saja, mana mungkin dia berani cepat-cepat berpaling? "Hmm, kau anggap tanpa berpaling lantas Lohu tidak berani menyerangmu?"
Tegur Im Gi lantang.
"Ma... masakah Ciangbunjin perguruan Tay ki bun akan membokong orang dari belakang"
Sahut Hek Seng-thian, tapi belum selesai dia berkata, tahu-tahu pandangan matanya kabur dan Im Gi sudah berdiri tegak persis di hadapannya.
"Hehehe, kau tidak berani berpaling, memangnya Lohu tidak bisa muncul sendiri di hadapanmu? Ayo, cepat bertarung,"
Terdengar Im Gi tertawa seram, sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke arah dadanya.
Belum lagi bertarung, Hek Seng-thian sudah ciut hatinya, apalagi menghadapi serangan yang begitu dahsyat dengan kekuatan yang menggetarkan sukma, lima gebrakan kemudian dia sudah bermandikan keringat dingin.
Di pihak lain, walaupun Suto Siau harus seorang diri melawan Sun Siau-kiau dan Gi Beng, namun pertarungan masih berjalan seimbang, justru posisi Pek Seng-bu yang paling berbahaya, dia sudah terdesak hebat hingga berulang kali harus menghadapi situasi yang amat berbahaya, panik dan takut membuat dia bermandikan peluh dingin.
Cahaya pedang, angin pukulan, tenaga serangan menggetarkan sekeliling tempat itu, membuat rerumputan tumbang tidak keruan, terpapas kutung sebagian dan beterbangan di angkasa, ada di antaranya yang terbang dan melekat di wajah Suto Siau sekalian yang berkeringat, ada pula yang beterbangan di seputar tubuh mereka yang sedang bertarung, membuat orang-orang itu nampak amat mengenaskan.
Melihat ketiga orang musuh besarnya yang paling dibenci sudah tercecar hebat dan hampir kehilangan nyawa, Im Gi merasa semangatnya semakin berkobar, makin bertarung dia pun semakin perkasa.
Tampak jenggot panjangnya berkibar terhembus angin, sepasang kepalannya melepaskan pukulan bagai hujan badai, angin pukulan yang menderu-deru ibarat tindihan bukit karang yang berat, membuat Hek Seng-thian susah bernapas, membuat ia terengah-engah.
"Sungguh memuaskan! Sungguh menggembirakan tidak tahan Im Gi berseru sambil tertawa nyaring.
Jika ketiga orang itu mampus, berarti persekutuan Ngo hok beng ikut tumbang, rasa benci dan dendam kesumat yang sudah tersimpan selama puluhan tahun pun akhirnya bisa terlampiaskan, dalam kondisi seperti ini, tentu saja dia merasa sangat puas dan gembira.
"Hmm, apa yang kau gembirakan?"
Tiba-tiba Suto Siau menjengek sambil tertawa dingin.
"sekalipun hari ini aku Suto Siau bakal mampus, toh bukan mati di tangan anggota perguruan Tay ki bun, siapa bilang dendam kesumatmu sudah terbalaskan?"
Im Gi melengak, tapi segera teriaknya gusar.
"Kau...."
Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Gi Beng sudah menyela lebih dulu.
"Siapa bilang kau bukan mampus di tangan anggota perguruan Tay ki bun?"
"Hehehe, memangnya kau anggota perguruan Tay ki bun?"
Ejek Suto Siau sambil tertawa dingin.
"Siapa bilang bukan!"
Kontan Suto Siau mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Pelacur cilik, sejak kapan kau jadi anggota perguruan Tay ki bun?"
Jengeknya.
"kecuali dalam waktu relatif singkat, kau menjadi bini si bocah dungu perguruan Tay ki bun."
Walaupun saat itu Thiat Cing-su sedang bertempur melawan musuh, namun semua pembicaraan dapat didengarnya dengan jelas.
Dalam gusarnya dia siap melontarkan umpatan, namun Gi Beng sudah berkata lebih dulu.
"Dugaanmu tepat sekali, aku memang sudah menikah dengan murid perguruan Tay ki bun, itulah sebabnya sekarang aku pun terhitung anggota perguruan Tay ki bun, apa lagi yang hendak kau ucapkan? Serahkan nyawa anjingmu!"
Begitu perkataan itu diutarakan, Suto Siau kontan melengak, sementara Im Gi merasa terkejut bercampur kegirangan.
Rasa girang dan kaget yang dialami Thiat Cing-su pun tidak terlukiskan dengan perkataan.
Gi Teng mula-mula tertegun, kemudian dengan perasaan girang serunya.
"Kionghi, kionghi...."
"Terima kasih,"
Sahut Thiat Cing-su dengan wajah memerah.
Tanpa terasa semangat kedua orang pemuda itupun makin berkobar, tiga gebrakan kemudian Pek Seng-bu sudah tercecar hebat hingga napasnya tersengal-sengal.
Di pihak lain Suto Siau juga berhasil didesak Gi Beng hingga mulai menunjukkan tanda terdesak.
Posisi Hek Seng-thian yang paling gawat, dia sudah tercecar hebat dan terjerumus dalam posisi bahaya.
Andai ketiga tonggak utama persekutuan Ngo hok beng ini tumbang, niscaya kekuatan persekutuan itupun akan hancur berantakan.
Di saat yang amat kritis itulah sekonyong-konyong terlihat sesosok bayangan manusia meluncur datang.
Padahal sebelum munculnya bayangan manusia itu, suara bentakan dan umpatan mereka sudah berkumandang lebih dulu, hanya sayang beberapa orang itu sedang asyik terlibat dalam pertarungan seru sehingga siapa pun tidak mendengar kedatangan mereka.
Bayangan manusia itu tidak lain adalah Hong Lo-su, ketika melintas di sana, dia segera melihat pertarungan yang sedang berlangsung, tiba-tiba tubuhnya berjumpalitan di udara, lalu dengan cepat meluncur ke arah Im Gi.
Dalam terkesiapnya, buru-buru Im Gi melepaskan sebuah pukulan, siapa tahu Hong Lo-su menggeser kakinya ke samping dan secepat kilat berputar ke belakang tubuhnya, mengguna-kan kesempatan itu dia mendorong tubuh lawan-nya ke depan.
Im Gi terkejut, cepat dia melejit ke tengah udara dan berusaha menghindari dorongan yang datang dari belakang.
Pada saat bersamaan Dewa racun telah mengejar tiba, karena Im Gi melejit ke udara, maka tindakan ini sama artinya dia menyongsong kedatangannya, menanti sadar akan mara bahaya yang mengancam dan berusaha menghindar, keadaan sudah terlambat.
Tampak Dewa racun menyodokkan tangannya ke depan mengarah dada lawan, dalam posisi begini Im Gi tidak sanggup menghindar lagi.
Gi Teng, Gi Beng maupun Thiat Cing-su terkesiap melihat kejadian itu, cepat mereka tinggalkan lawan masing-masing sambil menerjang ke depan, tapi siapa di antara mereka yang mampu membendung pukulan maut Dewa racun? Untunglah di saat yang amat kritis, kembali terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, rupanya bayangan manusia yang berada di belakang Dewa racun telah melampaui tubuhnya dan mendorong tubuh Im Gi ke samping.
Gerakan itu kelihatannya saja amat gampang dan sederhana, padahal tanpa ilmu meringankan tubuh yang sempurna, jangan harap orang lain bisa melakukannya.
Terdengar Hong Lo-su mengumpat dengan rasa kaget.
"Perempuan sialan, ternyata selama ini kau mengintil terus di belakangku."
Kini di hadapan Dewa racun tidak ada penghalang lagi, dia pun kembali mengejar Hong Lo-su.
Dalam kondisi demikian, Hong Lo-su tidak sempat lagi memaki lebih jauh, buru-buru dia melejit ke udara dan kembali melarikan diri.
Dewa racun pun segera mengejar kembali dari belakang.
Baru saja Im Gi meluncur turun ke atas tanah, dia segera mendengar suara tertawa ringan seorang wanita sambil berseru.
"Akulah yang telah menyelamatkan nyawamu, jangan lupa hal ini."
Baru saja ucapan itu bergema, tubuh perempuan itu kembali meluncur ke depan, bahkan suara tawanya berasal dari sana.
"Coh Sam-nio, tunggu sebentar,"
Teriak Im Gi.
"bukankah kau adalah Coh Sam-nio?"
Waktu itu bayangan manusia tadi sudah lenyap di balik rerumputan, tapi terdengar suara yang halus dan lembut, diiringi suara tertawa ringan bergema dari kejauhan sana.
"Benar, aku memang Coh Sam-nio."
Im Gi mencoba memandang ke tempat jauh, namun tidak melihat apa-apa. Dalam pada itu Gi Beng, Gi Teng, Thiat Cing-su serta Sun Siau-kiau sudah mengerubung datang sambil bertanya.
"Kau orang tua tidak apa-apa bukan?"
Im Gi menghela napas panjang, sahutnya dengan gegetun.
"Biarpun aku tidak kekurangan sesuatu apapun, tapi bagaimana caraku membayar budi pertolongan ini?"
Setelah berhenti sejenak, sambil menengok sekitar sana, tiba-tiba serunya lagi dengan wajah berubah.
"Celaka!"
Ketika semua orang ikut berpaling, mereka baru tahu Suto Siau, Hek Seng-thian serta Pek Seng-bu telah memanfaatkan kesempatan ketika terjadi kekalutan tadi untuk melarikan diri.
Keadaan Gi Beng dan Gi Teng masih agak mending, Im Gi serta Thiat Cing-su justru merasa gusar, kaget, kecewa serta perasaan campur aduk lain yang susah dilukiskan dengan perkataan.
"Kejar!"
Bentak Im Gi kemudian dengan wajah memerah, merah karena marah.
Dengan Im Gi dan Thiat Cing-su berjalan paling depan, Gi Beng serta Gi Teng melakukan perlindungan dari kedua sisi dan Sun Siau-kiau berada di barisan paling belakang, berangkatlah kelima orang itu untuk melakukan pengejaran, bergerak dalam formasi kipas.
Anggota perguruan Tay ki bun memang tidak malu disebut Hohan berhati tegar bersemangat baja, walaupun berada dalam kondisi gusar bercampur kecewa, ternyata gerak-gerik mereka tetap tidak gegabah.
Berada di padang rumput yang luas dan lebat, posisi pemburu serta mereka yang diburu sama sekali tidak ada bedanya, siapa pun di antara mereka berani bertindak ceroboh, niscaya akan mengalami celaka di tangan lawan.
Pekikan aneh serta umpatan gusar Hong Lo-su masih bergema tiada hentinya, kelihatannya permainan petak umpetnya dengan Coh Sam-nio masih berlangsung seru, namun sayang dia tidak mampu berbuat banyak.
Yang membuat semua orang tercengang adalah teriakan serta umpatannya yang begitu keras dan nyaring kenapa tidak memancing kemunculan si Hujan gerimis Hoa Bu-soat serta Siang-tok Thaysu? Kemana perginya kedua orang jago silat itu? Apa yang sedang mereka lakukan? Sebenarnya persoalan ini patut dicurigai dan perlu dibahas lebih mendalam, tapi sayang Im Gi sekalian sedang dibakar api dendam dan amarah yang tidak terlukiskan, kobaran api amarah dan dendam itu membuat mereka seolah melupakan segalanya.
Gi Beng berjalan di sisi Thiat Cing-su, berulang kali mereka saling pandang dengan mesra, kerlingan demi kerlingan membuat wajah mereka memerah dan buru-buru melengos ke arah lain.
Didera api dendam dan api asmara yang sama-sama membara, pemuda yang baru pertama kali terjun ke dunia persilatan ini benar-benar sangat menderita dan tersiksa.
Mendadak Im Gi berjongkok dengan gerakan cepat.
Walaupun orang lain tidak mendengar suara apapun, tidak pula melihat sesuatu, namun Im Gi adalah pemimpin mereka, melihat sang pemimpin berjongkok, otomatis orang lain pun serentak ikut berjongkok.
Terdengar Im Gi berbisik dengan suara lirih.
"Hati-hati, di depan sana ada jejak musuh."
Suara itu sangat lirih, biarpun Gi Beng, Gi Teng serta Sun Siau-kiau tidak mendengar dengan jelas, namun tanpa mendengar pun mereka dapat menebak apa yang terjadi, kontan jantung mereka berdebar keras.
Dengan perasaan dag-dig-dug, mereka mulai bergerak ke depan, bergerak dengan merangkak.
Sebenarnya posisi mereka saat ini sebagai pemburu atau yang diburu? Mereka sedang mengurung orang lain sebagai buruan, atau justru sedang bergerak masuk ke dalam perangkap lawan? Mereka tidak tahu, mereka pun tidak jelas posisi sendiri, bahkan tidak seorang pun berani berpikir ke situ.
Dalam kondisi yang serba tidak jelas dan penuh kontradiksi ini, semua orang merasa ketegangan perasaan mereka sudah mencapai puncaknya.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya terdengar suara manusia bergema dari balik rerumputan, meski tidak keras namun sudah lebih dari cukup membuat semua orang merasa terkesiap.
Terdengar salah seorang di antaranya menjerit.
"Seng Toa-nio, kau benar-benar ingin bermusuhan denganku?"
"Tepat sekali, aku memang ingin bermusuhan denganmu,"
Jawab seorang wanita dengan suara aneh.
Im Gi dapat mengenali suara orang terakhir adalah suara Seng Toa-nio, sedang suara orang pertama meski tidak dikenalnya, namun bisa diduga orang itupun berasal satu kelompok dengannya.
Im Gi mulai mengertak gigi, wajahnya mulai mengejang kencang, emosi dan rasa dendam membuatnya nyaris tak kuasa mengendalikan diri.
Musuh besar berada di depan mata, seharusnya dia menerjang maju dan membunuhnya, tapi ingatan lain segera melintas, bukan saja dia berjongkok makin rendah, bahkan gerak-gerik serta tindak-tanduknya makin berhati-hati.
Ketika orang tua itu tidak bergerak, dengan sendirinya semua orang semakin tidak berani bertindak gegabah.
Kini Im Gi benar-benar sudah bertiarap di tanah, dia mencoba mengintip dari sela-sela rerumputan yang lebat.
Seorang pemuda berwajah tampan tapi penuh kelicikan duduk di sana, tangan kanannya menggenggam pedang sementara tangan kirinya membopong tubuh seorang gadis.
Gadis itu berbaring membujur di situ, rambutnya yang panjang berwarna hitam terkulai di atas tanah, meski dadanya naik turun namun berada dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Seng Toa-nio berada lebih kurang lima kaki di depan mereka, rerumputan yang memisahkan mereka pun kelihatan sudah hampir rata karena terinjak-injak, kelihatannya di tempat itu pernah terjadi pertarungan yang amat sengit.
Perempuan tua itu menggenggam toya baja di tangan kanannya dan membopong seorang gadis di tangan kirinya, gadis itu berada dalam keadaan tudak sadar, ternyata dia tidak lain adalah Im Ting-ting.
Seng Cun-hau pun belum mendusin, dia masih berbaring di sampingnya, tapi di sisi Seng Cun-hau berbaring pula seseorang yang lain, orang itu berambut putih dan berjenggot panjang.
Im Gi tidak perlu melirik untuk kedua kalinya karena dia segera mengenalinya sebagai Im Kiu-siau.
Begitu pemandangan itu melintas di depan mata Im Gi, mencorong sinar merah dari mata orang tua itu.
Kini saudara serta putri kesayangannya sudah terjatuh ke tangan musuh besarnya dan sama sekali tidak berkutik, bagaimana mungkin orang tua ini berani bertindak gegabah meski rasa gusar dan sedih telah mencekam benaknya? Thiat Cing-su, Gi Beng serta Gi Teng pun telah menyaksikan hal itu, mereka ikut kaget, gusar dan berubah hebat wajahnya.
Yang dikuatirkan Gi Beng dan Gi Teng adalah keselamatan Sui Leng-kong, sementara yang dikuatirkan anggota perguruan Tay ki bun adalah paman serta keponakannya, walaupun sasarannya beda, namun kecemasan dan rasa panik yang mereka alami tidak jauh berbeda.
Terdengar pemuda licik itu, Sim Sin-pek, berkata.
"Tadi kita masih sempat bekerja sama membekuk tuan muda anggota perguruan Tay ki bun, masa sekarang sudah berganti memusuhi kami?"
"Hmm, lain tadi lain sekarang, masa kau tidak paham perkataan itu?"
Ujar Seng Toa-nio sambil tertawa dingin.
"cukup melihat sikapmu yang tidak sopan, tidak tahu membedakan mana lebih tua mana lebih muda dan seenaknya membahasakan kau-aku, sudah cukup beralasan bagiku untuk mencabut nyawa anjingmu."
"Kau... kau juga melupakan persekutuan Ngo hok beng?"
"Betul, gara-gara urusan ini maka sampai sekarang aku belum juga turun tangan, asal kau bersedia melepaskan gadis itu, aku akan segera memberi jalan hidup untukmu."
"Perempuan itu adalah musuh besar kita bersama, kenapa kau...."
Paras muka Sim Sin-pek berubah hebat.
"Binatang, kau sangka aku tidak dapat menebak pikiran busukmu?"
Bentak Seng Toa-nio penuh gusar.
"cukup melihat sepasang mata bangsatmu, aku sudah tahu pikiran cabul apa yang sedang melintas dalam benakmu."
Dengan mata jalangnya Sim Sin-pek melirik sekejap tubuh Sui Leng-kong yang molek, kemudian sahutnya.
"Betul, aku memang berniat menggagahi gadis ini...." "Binatang! Kau..."
Seng Toa-nio semakin gusar.
"Bila aku berhasil menggagahi gadis ini, pertama, bisa melampiaskan semua rasa benci dan dendamku, agar Thiat Tiong-tong si bajingan cilik itu jadi setan pun tetap harus memakai topi hijau."
Mendengar sampai di sini baik Im Gi maupun Thiat Cing-su sekalian merasa gusar, saking jengkelnya mereka harus mengertak gigi untuk menahan diri...
menahan siksaan batin yang sangat menyakitkan.
Terdengar Sim Sin-pek berkata lebih lanjut.
"Kedua, gadis ini sudah dianggap Hoa Bu-soat sebagai putrinya, jika berhasil kugagahi hingga nasi menjadi bubur, mau tidak mau Hoa Bu-soat tentu akan menerima aku menjadi menantunya."
Dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, lanjutnya.
"Kalau aku sudah menjadi menantu Hoa Bu-soat, dapat dipastikan Hoa Bu-soat akan mendukung persekutuan Ngo hok beng, berarti sekali timpuk dapat dua, kenapa kau malah melarang aku melakukannya?"
Seng Toa-nio termenung beberapa saat, mendadak bentaknya lagi dengan penuh amarah.
"Tidak bisa, tidak bisa, bagaimanapun juga gadis itu dilahirkan oleh menantu keluarga Seng, siapa pun tidak boleh menggagahinya."
Sebetulnya semua orang sedang heran, mereka tidak habis mengerti kenapa Seng Toa-nio begitu melindungi Sui Leng-kong, tapi setelah mendengar penjelasannya, semua orang pun menjadi sadar.
Paras muka Sim Sin-pek sama sekali tidak berubah, katanya kalem.
"Sekalipun dia adalah anggota keluarga Seng, memangnya kawin denganku berarti mempermalukan dia?"
"Dasar binatang, kau lebih rendah dan busuk ketimbang anjing,"
Umpat Seng Toa-nio sewot.
"Tidak masalah kau ingin mengumpat dengan kata-kata kotor macam apapun, cuma aku ingatkan saja, kalau sampai terdengar guruku, hehehe... kau bakal mendapat kesulitan."
Semakin pemuda itu berlagak santai dan acuh, hawa amarah Seng Toa-nio semakin menjadi-jadi, hanya saja dia tidak ingin Suto Siau sekalian kehilangan muka, maka hingga saat itu masih enggan turun tangan.
Tapi ejekannya yang terakhir sangat menyinggung perasaannya, sekarang dia tidak ambil peduli urusan lain lagi, dengan penuh amarah bentaknya.
"Baik, hari ini juga aku akan menjagal kau si bangsat cilik, bajingan busuk yang tidak tahu malu, akan kulihat apa yang bisa diperbuat Suto Siau sekalian terhadapku?"
Toyanya langsung dihantamkan ke atas kepalanya.
Melihat kejadian itu, semua merasa girang, mereka berharap pertarungan yang berlangsung bisa makin seru dan ganas, dengan begitu mereka akan mendapatkan kesempatan bagus untuk menyelamat kan Im Ting-ting sekalian.
"Wesss!", desingan angin tajam membuat rerumputan bergoncang keras.
Biar Seng Toa-nio sudah tua, serangan tuanya sama sekali tidak ikut tua, kekuatan pukulan yang dilontarkan saat ini boleh dibilang luar biasa dahsyatnya.
Sim Sin-pek tidak berani ayal, apalagi menghadapi serangan itu dengan keras lawan keras, cepat dia melompat mundur.
Waktu itu tubuhnya sudah menyusup kembali ke balik rerumputan, ini membuat gerak-geriknya kembali tidak leluasa, Im Gi sekalian segera bersiap, mereka menunggu sampai Seng Toa-nio mengejar sambil melepaskan serangan lagi baru ikut maju mengembut.
Betul saja, Seng Toa-nio kembali mengayun toyanya siap melancarkan serangan lagi.
Kali ini Sim Sin-pek tidak menghindar maupun menangkis, tiba-tiba bentaknya.
"Tunggu sebentar! Ada satu perkataan harus kusampaikan dulu."
"Baik, akan kudengarkan dulu perkataanmu,"
Seng Toa-nio menarik kembali serangannya.
Memang tidak sia-sia dia menekuni ilmu toyanya selama puluhan tahun, begitu pergelangan tangannya yang kurus digetarkan, toya baja seberat puluhan kati itu sudah ditarik kembali.
"Kau mengandalkan umur tuamu untuk menganiaya aku yang muda, jelas aku bukan tandinganmu."
"Kalau sudah tahu, lebih baik segera menyerah,"
Tukas Seng Toa-nio sambil tertawa dingin.
Sim Sin-pek balas tertawa dingin.
"Tapi bila kau nekad mengayunkan toyamu lagi, hmm, biar bakal terhajar toyamu pun akan kutusuk mampus anakmu terlebih dulu, kemudian akan kubantai putrimu ini, aku mau lihat apa yang bisa kau perbuat?"
Seng Toa-nio melengak, toya yang sudah terangkat di tengah udara pun segera diturunkan kembali.
"Bluuuk!", ujung toya segera ditancapkan ke dalam tanah.
"Kau.. kau berani?"
Tegur Seng Toa-nio dengan nada gemetar, rambutnya yang beruban nampak bergetar keras karena menahan emosi.
"Kenapa aku tidak berani?"
"Kau... kau...."
Tiba-tiba Im Kiu-siau yang sedang berbaring di atas tanah melejit ke tengah udara, kemudian secepat kilat secara beruntun dia menotok tujuh buah jalan darah penting di punggung Seng Toa-nio.
Waktu itu Im Gi sekalian sedang kecewa karena Seng Toa-nio urung melancarkan serangan, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba itu membuat mereka kegirangan setengah mati, tanpa membuang waktu serentak mereka meluruk maju ke depan.
Waktu itu tubuh Seng Toa-nio baru saja roboh terjungkal ke tanah.
Tatkala Sim Sin-pek masih dibuat terperana oleh perubahan yang terjadi secara mendadak, tahu-tahu dari balik rerumputan telah muncul beberapa sosok bayangan manusia, kenyataan ini membuat dia semakin tercekat hingga sepasang kakinya lemas.
Menanti dia berniat melarikan diri, keadaan sudah terlambat, Gi Teng, Thiat Cing-su serta Gi Beng telah mengepungnya dari tiga penjuru, menyusul kemudian terlihat cahaya pedang berkelebat dan bayangan pukulan menderu-deru.
Tidak ampun Sim Sin-pek seketika roboh terkapar di tanah.
Kemenangan ini diraih begitu cepat, Im Kiu siau seketika dibuat kegirangan setengah mati.
Sambil menepuk bahu saudaranya, Im Gi turut berkata sambil tertawa tergelak.
"Samte, kau memang hebat, kusangka kau benar-benar tidak mampu bergerak lagi, siapa tahu rupanya kau sedang berlagak bodoh, kemampuanmu sungguh membuat Toako sangat gembira."
"Kemunculan Toako yang tiba-tiba ibarat malaikat langit turun dari kahyangan, Siaute pun amat kagum,"
Seru Im Kiu- siau sambil tertawa.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi? Cepat kau ceritakan."
"Sewaktu aku dan Ting-ting terpisah dari Toako, sebenarnya aku berencana memulihkan kembali kekuatanku sebelum bergabung, siapa tahu muncul kedua orang itu secara tiba-tiba dan melancarkan serangan bokongan...."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya.
"Waktu itu kondisi tubuhku belum pulih, tenaga dalam juga belum balik, aku sadar biar melawan pun pada akhirnya bakal kalah juga, maka aku pura-pura tidak mampu bergerak dan membiarkan binatang kecil she Sim itu menotok jalan darahku."
"Kalau memang jalan darahmu sudah tertotok, kenapa tiba-tiba bisa melancarkan serangan?"
Tanya Im Gi keheranan.
Dengan senyum menghiasi bibir, sahut Im Kiu-siau.
"Waktu itu secara diam-diam aku memperhatikan gerak serangannya, melihat dia berniat menotok jalan darah Khi hay hiatku maka secara diam-diam aku sembunyikan tanganku ke sisi jalan darah tadi dan siap membebaskannya, maka sewaktu dia menotok, aku pun menggunakan kesempatan di saat jalan darahku belum tersumbat untuk menotok bebas jalan darah itu, maka biar dia sudah menotok jalan darahku, padahal sebenarnya tidak menotok apa-apa."
Im Gi segera bertepuk tangan memuji, serunya.
"Sejak dulu aku sudah bilang, Samte adalah orang paling cerdas dalam perguruan kami, ternyata dugaan itu tidak salah, Cing-su, kau mesti mencontoh kehebatan paman ketigamu Ini."
Gembira karena dapat berkumpul kembali, ditambah rasa bangga karena berhasil meraih kemenangan mutlak, untuk sesaat meredam rasa benci dan dendam di dada setiap orang.
Tapi di saat sorot mata Im Gi beralih kembali ke wajah Seng Toa-nio, senyum di wajahnya seketika hilang tidak berbekas.
Waktu itu Gi Beng dan Gi Teng telah merebut Sui Leng-kong dari pelukan Sim Sin-pek, sedang Thiat Cing-su juga telah membebaskan jalan darah Im Ting-ting yang tertotok.
Im Kiu-siau menendang tubuh Sim Sin-pek hingga mencelat ke samping Seng Toa-nio, kemudian tanyanya.
"Toako, mau kita apakan kedua orang ini?"
"Bunuh! Bunuh! Bunuh! Kecuali dibunuh, apa lagi yang bisa kita lakukan?"
"Mau dibantai di sini juga?"
"Benar, di sini juga dan sekarang."
Pada saat itulah semacam hubungan batin antara ibu dan anak membuat Seng Cun-hau yang selalu berbakti kepada orang tuanya, tiba-tiba tersadar kembali dari pingsannya.
Walaupun selama ini dia berada dalam keadaan tidak sadar, namun seolah menyadari akan terjadinya perubahan itu, maka begitu sadar dari pingsannya, dia langsung merangkak bangun sambil berteriak.
"Kalau ingin membunuh ibuku, bunuhlah aku terlebih dulu!"
Belum sempat Im Gi menanggapi, Gi Beng dan Gi Teng sudah bersama-sama menjatuhkan diri berlutut.
Dengan suara serius, ujar Gi Teng.
"Walaupun nasib Seng-toako kurang beruntung hingga musti dilahirkan sebagai musuh bebuyutan perguruan Tay ki bun, namun selama ini dia tidak pernah melakukan perbuatan jahat atau busuk terhadap anggota perguruan Tay ki bun, harap Locianpwe sudi mengampuninya."
"Benar,"
Kata Gi Beng pula.
"bukan saja Seng-toako tidak bisa dianggap sebagai musuh besar perguruan Tay ki bun, sebaliknya dia justru sahabat karib Thiat Tiong-tong. Locianpwe, memandang wajah Thiat Tiong-tong, kau tidak boleh melukainya."
Im Gi mengepal sepasang tinjunya kuat-kuat, dia berdiri mematung tanpa bergerak.
Dengan suara lirih Thiat Cing-su ikut berkata.
"Kebaikan putranya masih belum cukup untuk menebus kejahatan yang pernah dilakukan ibunya."
"Bila kau ingin membunuhnya, bunuhlah aku terlebih dulu!"
Ancam Gi Beng.
Dengan jengkel Thiat Cing-su menghentak-kan kaki berulang kali dan tidak bicara lagi.
Untuk sesaat semua jago hanya berdiri dengan mulut membungkam, tampak dada Im Gi naik turun dengan kerasnya, terdengar dengusan napasnya makin lama semakin bertambah berat dan kasar.
Mendadak terlihat seseorang membelah rerumputan dan berjalan mendekat.
Waktu itu pikiran semua orang sedang dicekam gejolak emosi yang luar biasa, ternyata tidak seorang pun yang menaruh perhatian dengan cara apa orang itu muncul di situ, ketika tahu-tahu melihat kehadiran orang itu, dengan perasaan terkejut serentak mereka mundur selangkah ke belakang.
Orang itu mengenakan baju berwarna hijau, rambutnya yang panjang nampak kusut, walaupun paras mukanya terhitung cantik dan menawan, namun mimik mukanya seperti orang bloon, bagai orang kehilangan ingatan.
Ketika melihat ada begitu banyak orang berkumpul di situ, dia tidak nampak gembira, tidak kaget juga tidak ketakutan, sebaliknya sambil memiringkan kepala mengawasi seputar arena, katanya sambil tertawa.
"Waah, ternyata di sini terdapat banyak orang!"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ooh, rupanya kau,"
Seru Gi Beng kemudian sambil menghembuskan napas lega.
"Betul,"
Nona itu manggut-manggut dan tertawa.
"memang aku, kalau bukan aku siapa lagi?"
"Siapa kau?"
Tegur Im Gi dengan nyaring.
"Siapa aku? Ooh, betul, aku bernama Leng Cing-peng."
"Leng Cing-peng?"
Berubah paras muka Im Gi.
"jangan-jangan kau adalah putri Leng It-hong?"
Sekarang dia baru teringat gadis itu tidak lain adalah orang yang menyampaikan berita di kuil kuno beberapa tahun berselang, bila dibandingkan saat itu, kini nona itu kelihatan jauh lebih tua, sayu dan kusut, sehingga untuk sesaat sulit baginya untuk mengenalinya.
"Leng It-hong?"
Terlihat Leng Cing-peng menyahut dengan wajah kebingungan.
"Ehmmm, betul, dia adalah ayahku, baru saja aku melecutinya dengan cambuk, hehehe... lucu sekali, mana ada anak menggebuki bapak sendiri? Menarik tidak? Menarik tidak?"
Selesai berkata, kembali dia tertawa cekikikan.
Sayang orang lain sama sekali tidak ingin tertawa, semua orang hanya bisa mengawasinya dengan tertegun, mereka tidak tahu harus merasa iba atau terperanjat.
Sambil mengedipkan matanya berulang kali, kembali Leng Cing-peng berkata sambil tertawa.
"Siapa sih kalian? Aku...
aku seperti merasa pernah kenal...
tapi seperti juga tidak pernah kenal, aku...
aku merasa seperti pernah bertemu dengan kalian, tapi sepertinya belum pernah bertemu Tiba-tiba dia mengayunkan tangannya memukul kepala sendiri, memukul dengan sepenuh tenaga, lalu serunya dengan jengkel.
"Kepala, kepala, kau memang kepala yang menjengkelkan! Terkadang kau sepertinya bisa mengingat banyak urusan, kenapa tiba-tiba bisa melupakan semuanya? Biar kuhajar kau, kuhajar kau...."
Semakin memukul semakin keras, makin menghantam makin nyaring, akhirnya Im Ting-ting merasa tidak tega, cepat dia melompat ke depan, menggenggam tangannya dan berseru.
"Kau pernah bertemu kami, waktu itu kita berada dalam sebuah kuil kuno, bila kau tidak datang, mungkin kami...."
"Ya, betul, betul, kuil kuno, kuil kuno...."
Tiba-tiba Leng Cing-peng bersorak sambil bertepuk tangan.
"Kuil kuno, kau masih ingat?"
"Tentu saja masih ingat, kuil kuno itu sangat menyenangkan! Ada banyak benda aneh dan lucu, juga ada dua orang sedang berkelahi, mereka terbang ke sana kemari...."
"Yang aku maksud bukan kuil kuno seperti itu, dulu...."
"Betul, betul, aku tidak berbohong, kuil kuno itu sangat menyenangkan, dindingnya merah, atapnya kuning, kuning sekali seperti...
seperti kuning emas."
Kembali semua orang saling pandang tanpa bicara sepatah kata pun, namun di hati mereka terasa kecewa bercampur iba, khususnya Im Ting-ting, dia tidak bisa menahan rasa sedihnya lagi hingga air mata jatuh berlinang membasahi pipi.
Sambil menghela napas, ujar Im Gi.
"Kelihatannya gadis ini sudah gila, mengingat budi kebaikannya di masa lalu, aaaai! Biarlah dia pergi! Walau mengajaknya bicara lebih banyak pun tidak bakal bisa diperoleh keterangan apapun."
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Im Kiu-siau, serunya.
"Tunggu sebentar!"
"Kau ingin menahannya? Kenapa?"
Tanya Im Gi keheranan.
"Orang yang ingatannya sedang terganggu, kadang perkataannya justru paling bisa dipercaya."
"Maksudmu?"
Tanya Im Gi keheranan. Im Kiu-siau tidak menjawab pertanyaan itu, dia berbalik sambil menegur.
"Nona Leng, apakah kau pernah pergi ke kuil kuno itu?"
"Tentu saja, malah aku baru saja keluar dari situ,"
Sahut Leng Cing-peng sambil tertawa dan manggut-manggut.
"Mana mungkin di padang rumput yang begini luas terdapat kuil kuno?"
Sambil menghela napas Im Gi menggelengkan kepala berulang kali.
"Aku rasa dia...."
Cepat Im Kiu-siau menggoyangkan tangan menukas perkataannya, kemudian tanyanya.
"Apakah kau melihat dengan jelas orang yang sedang berkelahi dalam kuil kuno itu?"
"Tentu saja aku melihatnya dengan jelas, bahkan jelas sekali!"
"Bagaimana bentuk dandanan mereka?"
Leng Cing-peng memiringkan kepala sambil termenung sejenak, setelah itu sahutnya.
"Mereka...
ahh, betul, mereka adalah seorang lelaki dan seorang wanita, yang laki malah masih terhitung guru ayahku! Aku tidak boleh memberitahukan kepada orang lain...."
Padahal dia sudah memberitahukan kepada orang lain, tapi mulutnya masih mengoceh tidak boleh memberitahu orang lain, jelas kesadaran gadis ini memang sudah hilang, di samping merasa iba, mereka pun merasa terkejut, kaget karena Siang-tok Thaysu ternyata berada di situ.
Tergerak perasaan Im Gi, cepat katanya.
"Jangan-jangan wanita yang sedang bertarung melawannya adalah Hoa Bu-soat? Tidak heran mereka berdua tidak muncul, nona...
nona Leng, berada dimana kuil kuno itu?"
"Ada di sana,"
Seru Leng Cing-peng sambil tertawa.
"belok kiri, belok kanan, lalu belok kiri lagi, belok kanan lagi Setelah berpikir sejenak, lanjutnya.
"Kemudian belok lagi ke kiri, belok lagi ke kiri, dan tetap belok lagi ke kiri...."
"Jangan belok melulu, cepat ajak kami ke situ!"
Tukas Im Gi akhirnya sambil tertawa getir.
Mendadak Leng Cing-peng menutup wajah sendiri dengan kedua belah tangannya sambil berteriak.
"Aku tidak mau ke situ, aku tidak mau ke situ...
aku tidak mau pergi ke sana lagi."
"Kenapa tidak mau ke situ?"
"Biarpun tempat itu menyenangkan, tapi menakutkan sekali, aku merasa seakan dari empat penjuru muncul setan...
setan! Ya, setan! Banyak sekali setannya! Aku tidak mau ke situ...
aku tidak mau...."
"Ini...
ini...
aaaai!"
Dengan mendongkol Im Gi menghentakkan kaki berulang kali.
Tiba-tiba Im Kiu-siau berseru sambil tertawa.
"Aaah, aku tahu, kau sedang berbohong bukan?"
"Tidak, tidak...
aku tidak membohongi mu."
"Sudah jelas kau tidak pernah ke situ, malah sama sekali tidak tahu dimana letak kuil itu, karena sedang berbohong, maka kau enggan mengajak kami ke situ bukan? Aaah, ternyata dia pembohong, ayo, kita tidak usah menggubris dia lagi."
"Aku bukan pembohong, baik, baik...
aku...
aku akan mengajak kalian ke situ, tapi...
aku tidak mau masuk ke dalam, boleh bukan aku hanya menunggu di depan pintu?"
"Asal mau mengajak kami ke situ, ikut masuk atau tidak terserah padamu,"
Sahut Im Kiu-siau kegirangan.
"Baik, ayo, kita berangkat!"
Perlahan dia membalikkan tubuh, beranjak menelusuri padang rumput.
Kini secara lamat-lamat semua orang dapat menduga di balik kuil kuno misterius itu pasti tersimpan sejumlah rahasia luar biasa, melihat gadis itu beranjak pergi, tanpa terasa semua orang mengintil di belakangnya.
"Bagaimana dengan kedua orang ini...."
Bisik Im Kiu-siau.
"Seng Toa-nio...."
Im Gi termenung dan berpikir sejenak, kemudian sambil menghentakkan kaki dan menghela napas, sahutnya.
"Sekalipun ingin mencabut nyawanya, tidak mungkin kita lakukan di hadapan anak berbakti-nya."
"Siaute juga berpendapat begitu,"
Sahut Im Kiu-siau.
Perlahan dia memandang sekejap sekitar sana, dilihatnya Gi Beng telah membopong Sui Lengkong, Gi Teng juga sudah memayang Seng Cun-hau, dia pun melihat seorang wanita lain...
Sun Siau-kiau, dia sedang mengawasi Sim Sin-pek dengan terkesima.
Sejenak kemudian dia pun berseru.
"Cing-su, kemari kau!"
Sambil membalikkan badan, tanya Thiat Cing-su.
"Paman ketiga, kau ada perintah apa?"
"Kau saja yang membopong Seng Toa-nio, bila terjadi perubahan di luar dugaan,...."
Bicara sampai di situ dia pun membuat gerakan menggorok, lanjutnya.
"Mengerti?"
"Tecu mengerti,"
Tanpa banyak bicara pemuda itupun membopong Seng Toa-nio.
"Terima kasih, Hengtai,"
Seru Seng Cun-hau cepat.
"terima kasih pula para Cianpwe, Cayhe... Cayhe...."
Setelah menghela napas panjang, dia menundukkan kepala dan tanpa bicara lagi berjalan mengintil di belakang Gi Teng. Kini sinar mata Im Kiu-siau beralih ke wajah Sun Siau-kiau, sapanya.
"Nona ini...."
"Kau suruh aku membopongnya? Baik!"
Kata Sun Siau-kiau sambil tertawa. Tanpa menunggu Im Kiu-siau berbicara, dia langsung membopong tubuh Sim Sin-pek dan berjalan di belakang dua bersaudara Gi.
"Kenapa kau suruh dia...."
Bisik Im Gi dengan kening berkerut.
"Toako tidak usah kuaur,"
Tukas Im Kiu-siau sambil tertawa.
"Siaute akan mengintil ketat di belakangnya."
Sambil menyingkirkan rumput dengan kedua belah tangannya, Leng Cing-peng berjalan paling depan, walaupun sedang berjalan di tengah padang rumput yang penuh dengan ancaman bahaya, ternyata dia menelusurinya dengan santai dan tenang, seolah-olah sedang berjalan di taman saja.
Justru orang-orang yang mengikut di belakangnya yang merasa kuatir dan kebat-kebit hatinya, tapi kejadian sudah makin berkembang, terpaksa mereka pun mengikut tanpa banyak bicara.
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya gadis itu mulai berbelok.
"Berjalan di tengah padang rumput, buat apa dia mesti berbelok?"
Tanya Im Gi dengan kening berkerut. Im Kiu-siau tertawa getir.
"Bukankah kita yang meminta dia sebagai penunjuk jalan? Ikuti saja kemauannya."
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil menghela napas Im Gi tidak bicara lagi.
Tidak selang beberapa saat kemudian, suara pekikan dan makian Hong Lo-su kembali bergema semakin mendekat, terdengar iblis itu berteriak lantang.
"Coh Sam-ci, aku mengaku kalah, sebenarnya apa maumu? Cepat katakan!"
"Sudah cukup umpatanmu?"
Tegur Coh Sam-nio dengan suara lembut tapi melengking.
"Sejak kapan Siaute berani mengumpat Sam-ci? Siaute...." "Kalau bukan sedang memaki aku, siapa pula yang sedang kau maki?"
"Tadi...
tadi...
aku sedang memaki diriku sendiri, aku memang bangsat, binatang, aku bukan manusia baik-baik, aku memang bajingan tengik, bajingan busuk...."
"Selanjutnya?"
"Selanjutnya apapun yang Sam-ci katakan, Siaute pasti akan menurut, bila Sam-ci menyuruh aku berjumpalitan, aku segera akan jumpalitan, bila Sam-ci menyuruh aku makan tahi, aku akan makan tahi."
"Kalau kau ingkar janji, tidak pegang ucapanmu, apa yang akan kuperbuat?"
"Terserah...
terserah apapun yang hendak Sam-ci lakukan."
"Terserah aku? Aku tidak memaksamu, kau yang berjanji sendiri...."
"Betul, aku berjanji, aku sendiri yang berjanji, Sam-ci, nyonya besarku, ampunilah aku! Makhluk itu bukan manusia, sedang aku...
jelek-jelek begini juga manusia, aku tidak sanggup menangkan larinya...."
"Baiklah, kalau begitu ikuti aku!"
Ujar Coh Sam-nio sambil tertawa.
Semua pembicaraan itu berkumandang datang mengikuti hembusan angin, terkadang terasa jauh sekali, terkadang terasa sangat dekat, tak bisa diketahui dengan jelas berasal darimana suara itu.
Ketika mendengar sampai di situ, semua orang hanya sempat menangkap bayangan punggung Dewa racun yang berwarna abu-abu melesat ke depan dan tahu-tahu sudah mendahului di depan Hong Lo-su.
Menanti semua orang melihat dengan lebih jelas, ternyata ketiga orang itu sudah lenyap dari pandangan.
Sambil menghela napas, ujar Im Gi.
"Ternyata nama besar si Sambaran petir Coh Sam-nio memang bukan nama kosong belaka, bicara kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, mungkin termasuk Kaisar malam pun belum tentu bisa mengunggulinya."
"Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si Sambaran petir Coh Sam-nio memang tiada dua-nya di kolong langit,"
Im Kiu-siau manggut-manggut.
"kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa mempermainkan Hong Lo-su semaunya?"
"Hanya saja... benda apa yang sebenarnya dia pinjam dari Hong Lo-su? Kalau dibilang benda itu adalah manusia, manusia mana di kolong langit yang sanggup menghadapi racun si Dewa racun?"
"Kalau bukan manusia, lalu benda aneh apakah itu?"
"Aaaai, hanya Thian yang tahu benda setan apakah itu."
BAB 42 Cahaya Mentari Menyinari Panji Sakti Padang rumput teramat luas, berjalan di tempat seperti ini semua orang merasa seolah berjalan di alam yang tidak bertepian.
Rombongan itu masih berjalan mengintil di belakang Leng Cing-peng, entah sudah berapa lama mereka bergerak.
Akhirnya habis sudah kesabaran Im Gi, ujarnya.
"Jangan-jangan budak ini sedang mempermainkan kita?"
"Aku rasa tidak begitu,"
Jawab Im Kiu-siau sambil tertawa.
Im Gi mendengus dingin, setelah termenung beberapa saat, mendadak ujarnya lagi.
"Tapi...
andaikata kita berhasil menemukan kuil kuno itu, lalu apa gunanya?"
"Di tengah padang rumput yang berada dalam lembah terpencil, terdapat sebuah kuil kuno, bisa diduga dalam kuil kuno itu tentu tersimpan banyak sekali kejadian misterius, bila rahasia itu menyangkut urusan dunia persilatan, aku percaya rahasia itu tentu ada sangkut-pautnya pula dengan perguruan kita,"
Ujar Im Kiu-siau.
"Benar, hampir semua rahasia yang beredar dalam dunia persilatan selama puluhan tahun terakhir, sedikit banyak tentu ada sangkut-pautnya dengan perguruan Tay ki bun kita, khususnya rahasia persilatan yang beredar di enam propinsi utara sungai Huang-ho."
Setelah mengernyitkan alis matanya yang tebal, dia melanjutkan.
"Tapi sekarang Hoa Bu-soat serta Siang-tok Thaysu berada di situ, padahal kedua orang itu bukan sahabat dan juga bukan musuh kita, bukankah kehadiran kita di tempat itu hanya mencari penyakit sendiri?"
Im Kiu-siau menghela napas panjang.
"Toako, menurut pendapat Siaute, budi dendam perguruan kita menyangkut sebuah rangkaian besar dan rumit, masalahnya tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan selama ini."
"Tentanghal ini...
aku pun tahu."
"Oleh sebab itu bila kita ingin membalas dendam hanya mengandalkan kekuatan perguruan sendiri, rasanya hal ini mustahil bisa berhasil, lagi pula amat sulit...
aaaai! Ditambah lagi dalam setahun terakhir, kekuatan perguruan kita semakin tercerai-berai...."
"Semoga saja Thian mau membantu kita..."
Sela Im Gi sambil tertawa.
Berkilat sepasang mata Im Kiu-siau, ujarnya.
"Sekarang dengan situasi semacam inilah kesempatan emas yang dilimpahkan Thian untuk kita."
"Apa maksudmu?"
"Kini hampir semua tokoh silat berilmu tinggi telah berkumpul di sini, mereka ada yang otaknya kurang waras, ada yang banyak curiga dan busuk akalnya, di antara mereka sendiri juga terlibat banyak pertikaian dan sengketa, kenapa kita tidak memanfaatkan situasi yang tidak menentu ini untuk menciptakan situasi yang menguntungkan pihak kita?"
"Walaupun perkataanmu benar, tapi...."
"Sepintas kawanan jago itu nampaknya memang bukan sahabat kita, melainkan musuh yang menakutkan, namun bila kita hadapi secara baik-baik, bukan saja mereka tidak akan memusuhi kita, sebaliknya bisa jadi akan membantu kita secara diam-diam, misalkan saja Hoa Bu-soat, putri kesayangannya telah berada dalam genggaman kita, kenapa kita tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk memaksanya melakukan beberapa hal yang menguntungkan kita."
"Tapi...
tindakan semacam ini rasanya...."
"Siaute memahami maksud Toako,"
Tukas Im Kiu-siau sambil menghela napas.
"kau ingin mengatakan tindakan semacam ini tidak gagah, tidak mencerminkan perbuatan seorang ksatria, namun kita memikul beban dan tanggung jawab yang berat, kita harus membalas dendam kesumat perguruan, demi keberhasilan balas dendam ini, apa salahnya kita pun menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan?"
"Hanya saja cara ini...."
Tiba-tiba terdengar Leng Cing-peng berseru.
"Sudah sampai...."
Dengan perasaan girang semua orang segera mengalihkan pandangan ke depan, betul saja, di tepi padang rumput yang tidak bertepian itu muncul sebuah tanah perbukitan batu, bukit itu berdiri tegar tanpa terpengaruh oleh getaran dahsyat yang terjadi tadi.
Tapi bukit cadas itu nampak gundul dan gersang, tiada rerumputan yang tumbuh di situ, tiada pula pepohonan yang nampak, apalagi bayangan kuil kuno.
"Mana kuil kunonya?"
Tegur Im Gi gusar "Ada di bawah bukit sana."
"Bawah bukit? Kuil kuno itu berada di bawah bukit?"
Tanya Gi Beng keheranan. Leng Cing-peng tertawa cekikikan.
"Aku belum selesai bicara,"
Katanya.
"adikku, kenapa kau tidak sabar?"
"Aku mohon, cepat jelaskan, aku sudah hampir mampus karena tidak sabar."
"Di bawah bukit terdapat sebuah gua kecil, asal menundukkan kepala, kau dapat segera masuk ke dalam, setelah masuk, maka kau harus membelok ke kiri, kemudian belok ke kiri lagi dan belok ke kiri lagi."
"Biar aku pergi memeriksanya,"
Seru Im Gi tidak sabar, dengan cepat dia bergerak maju lebih dulu.
Semua orang pun segera mengintil di belakang, ketika tiba di bawah tebing, terlihat rumput tumbuh dengan lebatnya mengelilingi sekeliling tanah perbukitan itu, sekilas pandang tak nampak ada tanda-tanda gua di seputar situ Tapi setelah diperiksa dengan lebih seksama, terlihatlah di sekitar sana terdapat sebagian rerumputan seperti bekas terinjak manusia, bahkan secara lamat-lamat terdengar suara hembusan angin yang muncul dari arah tebing di belakang rerumputan itu.
"Kemungkinan besar berada di sini,"
Kata Im Kiu-siau kemudian.
"Benar, memang berada di situ,"
Seru Leng Cing-peng sambil berdiri di tempat jauh.
"kalian masuklah, aku akan pergi dari sini."
Sambil membenahi rambutnya yang kusut dan menyisihkan rerumputan, gadis itu benar-benar beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Mengawasi bayangan punggungnya yang semakin menjauh, semua orang hanya bisa berdiri termangu.
"Jangan-jangan di belakang sana terdapat jebakan?"
Kata Im Gi dengan suara berat.
"Benar,"
Kata Thiat Cing-su pula.
"siapa tahu gua itu hanya sebuah perangkap yang sengaja dipersiapkan untuk menjebak kita? Bisa juga gadis itu hanya berlagak gila, agar kita tertipu dan masuk perangkap."
"Tidak mungkin,"
Bantah Gi Beng sambil menggeleng.
"dia bukan gadis semacam itu."
"Kalau dia adalah gadis semacam itu, buat apa pula dia mempertaruhkan nyawa memberi peringatan kepada kita waktu itu,"
Ujar Im Ting-ting pula dengan sedih.
"bahkan dia menaruh perasaan cinta terhadap Thiat-jiko, mana mungkin dia mencelakai kita."
"Siapa tahu jiwanya sudah terpengaruh oleh ilmu pembetot sukma dan kedatangannya kali ini untuk melaksanakan perintah?"
Kata Thiat Cing-su cepat.
"bukankah dia berada satu rombongan dengan Siang-tok Thaysu? Aku... aku rasa besar sekali kemungkinan semacam ini."
Im Ting-ting nampak tertegun, serunya kemudian dengan tergagap.
"Kalau soal ini.... Aaaai!"
Semua orang saling pandang tanpa bicara, mereka merasa apa yang diucapkan Gi Beng maupun Im Ting-ting ada benarnya, tapi mereka pun berpendapat perkataan Thiat Cing-su sangat masuk akal, untuk sesaat semua orang jadi bimbang, tidak seorang pun bisa mengambil kesimpulan dan keputusan.
Akhirnya sinar mata semua orang dialihkan ke wajah Im Gi, menunggu orang tua ini mengambil keputusan.
Sambil berpaling ke arah Im Kiu-siau, tanya Im Gi kemudian.
"Samte, bagaimana menurut pendapatmu?"
Im Kiu-siau termenung, berpikir sejenak, lalu memutuskan.
"Bagaimanapun kita sudah tiba di sini, biar perangkap sekalipun kita harus masuk untuk memeriksanya."
"Betul, kalau tidak memasuki sarang macan, bagaimana mungkin bisa mendapatkan anak harimau!"
Sambung Im Gi bersemangat.
Tinggi mulut gua di balik rerumputan itu hanya empat kaki, benar saja, semua orang harus menundukkan kepala sebelum menerobos masuk ke dalam, biar tidak luas, namun jelas kelihatan mulut gua itu hasil karya manusia.
Di balik dinding gua yang sudah dipenuhi lumut hijau, lamat-lamat terlihat bekas pahatan.
Waktu itu Im Kiu-siau sudah siap melangkah masuk, cepat dia mundur kembali, dengan merobek secarik kain dia gosok lumut di atas dinding gua itu kuat-kuat, tidak selang beberapa saat, ukiran yang tertera di atas dinding pun nampak lebih jelas, benar saja, ternyata ukiran yang tertera di situ sangat indah.
Di atas dinding gua seluas empat kaki yang mengelilingi mulut gua itu, hampir semuanya dihiasi ukiran tokoh manusia berdandan Busu, ada yang sedang menunggang kuda, menjajal pedang, ada pula yang sedang terlibat pertempuran sengit Sekalipun ukiran itu hasil pahatan yang sudah lama, hingga ada bagian yang mulai kabur, namun sekilas pandang setiap tokoh yang terpahat di sana hampir semuanya nampak hidup, seolah tokoh silat itu sedang menjebol dinding untuk tampil keluar.
"Toako, coba lihat,"
Kata Im Kiu-siau dengan suara berat.
"ternyata tempat ini memang ada hubungannya dengan dunia persilatan"
"Aku akan masuk lebih dulu, kau lindungi aku dari samping,"
Bisik Im Gi.
Begitu selesai bicara, dia langsung membungkukkan tubuh dan menerobos masuk ke dalam gua.
Im Kiu-siau sekalian segera mengintil di belakangnya, Gi Beng sambil membopong Sui Lengkong berjalan paling belakang.
Tiba-tiba dia jumpai Im Ting-ting tidak ikut masuk, rupanya nona itu masih mengamati ukiran di atas dinding dengan terpesona.
"Ayo, masuk, apa bagusnya ukiran itu?"
Ujar Gi Beng sambil tertawa.
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku merasa ukiran ini sedikit aneh,"
Sahut Im Ting-ting serius.
"Rada aneh?"
Gumam Gi Beng, tanpa terasa dia ikut memperhatikan.
Biarpun tokoh silat yang terukir di atas dinding itu sangat banyak, namun ketika diamati lebih seksama, ternyata raut muka yang ditampilkan tidak jauh berbeda, dari sekian ratus tokoh yang tertera, paling hanya mewakili wajah empat lima orang.
"Sudah dapat menangkap arti di balik ukiran itu?"
Tanya Im Ting-ting kemudian.
"Ehmmm! Kelihatannya pahatan ini berhubungan satu dengan lainnya, seperti sedang menceritakan sebuah kisah, pada lukisan pertama dikisahkan ada seorang lelaki dibokong orang dan menderita kekalahan, lalu pada lukisan kedua...."
Mendadak dari dalam gua terdengar Gi Teng berteriak.
"Ji-moay, cepat masuk!"
"Ayo, jalan!"
Ujar Gi Beng sambil tertawa.
"sekalipun pahatan ini mengisahkan sebuah cerita, tidak mungkin cerita itu ada hubungan atau sangkut-pautnya dengan kita...."
Dia segera menarik tangan Im Ting-ting dan diajak masuk ke dalam gua.
Im Ting-ting yang ditarik tangannya mau tidak mau ikut masuk ke dalam gua, namun berulang kali dia masih menoleh mengawasi pahatan itu, seakan pahatan kuno itu sudah mendatangkan semacam daya tarik yang aneh baginya.
Mengapa begitu? Dia sendiri pun tidak tahu.
Setelah memasuki gua, di hadapan mereka terbentang sebuah lorong rahasia yang berliku-liku dan gelap.
Untuk membangun lorong bawah tanah yang begitu berlikuliku menembus perut bukit, bisa dibayangkan berapa banyak orang dan tenaga yang dilibatkan tempo dulu, dinding sepanjang lorong itu halus dan berkilat, setiap belasan langkah terdapat sebuah lentera tembaga yang berbentuk aneh dan antik menghiasi dinding batu.
Hanya sayang, waktu yang tidak berperasaan telah menelanjangi lapisan luarnya yang dulu mungkin berkilat indah, yang tersisa kini hanya bekas noda minyak yang mirip sisik ikan.
Tapi justru karena itu suasana dalam lorong rahasia itu jadi terkesan misterius, mengenaskan serta penuh dicekam hawa pembunuhan yang menggidikkan.
Ketika semua orang memasuki tempat itu, pemandangan yang muncul di hadapan mereka adalah suasana mengenaskan yang penuh diliputi kemisteriusan, hidung mereka pun mengendus bau lembab yang busuk dan basah.
Perasaan ini persis sama seperti orang yang berjalan memasuki kompleks kuburan, begitu berat, dingin dan menyesakkan napas.
Bukan hanya muda-mudi itu saja, bahkan Im Gi yang berpengalaman pun mau tak mau harus memperlambat langkahnya.
Dari dasar hatinya yang paling dalam dia seolah mendapat firasat jelek...
seolah-olah di dalam kuil kuno, di ujung lorong rahasia itu sudah ada semacam nasib yang paling tragis sedang menanti kedatangannya.
Sayangnya walaupun dia sudah tahu begitu, namun mustahil baginya untuk berbalik lagi, dari dalam tubuhnya seolah terdapat semacam kekuatan iblis yang sedang mendorong-nya, minta dia jangan menghentikan langkah, memacu dia meneruskan perjalanan menuju ke sana.
Biar langkah kakinya sangat lamban, sekalipun mimik mukanya menunjukkan keseriusan dan murung, namun jantungnya justru berdebar penuh keriangan, berdetak dengan rasa gembira yang luar biasa....
Sekalipun nasib sangat tragis sedang menantinya di perjalanan berikut, namun entah mengapa, bukan saja dia enggan menghindar, malahan justru terburu-buru ingin segera menghadapinya, menjumpainya....
Perasaan Im Kiu-siau, Thiat Cing-su serta Im Ting-ting tidak jauh berbeda, perasaan aneh seakan menyelimuti hati mereka....
Kuil kuno di dalam gua rahasia ini bagi anggota perguruan Tay ki bun seakan memiliki semacam daya tarik yang aneh dan sesat, daya tarik ini membuat mereka dapat menghadapi nasib tragis dengan perasaan gembira, sekalipun harus menghadapi kematian.
Akhirnya mereka tiba di ujung lorong rahasia.
Lagi-lagi selapis pintu tebal...
pintu dengan ornamen penuh pahatan indah.
Ketika tiba di situ, Im Gi sudah tidak mampu mengendalikan gejolak emosi, dia tidak ambil peduli apakah di balik pintu terdapat orang lain atau tidak, dia pun tidak peduli ruang macam apa yang terdapat di balik pintu itu, tiba-tiba saja dia seperti lupa segala-galanya, sambil membentak keras langsung menerobos masuk dengan kalap.
Kakek yang di waktu biasa selalu bersikap tenang, tiba-tiba saja berubah jadi begitu emosi dan tidak sabar, sudah tahu berada di tempat rahasia yang berbahaya dan penuh dengan ancaman maut, dia bukan hanya berteriak keras, bahkan menerjang masuk bagai orang kalap, kenyataan ini membuat semua orang terperanjat, serentak mereka ikut menerobos masuk ke dalam.
Ruang kuil kuno penuh diliputi debu yang beterbangan karena getaran suara teriakannya, Im Gi berdiri kaku di tengah ruangan dengan wajah tertegun, tubuhnya sama sekali tidak bergerak.
Ternyata ruangan itu berada dalam keadaan sepi, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Diam-diam Gi Beng menarik napas dingin, gumamnya.
"Ternyata Hoa Bu-soat maupun Siang-tok Thaysu tidak berada di sini...
masakah nona Leng benar-benar telah membohongi kita?"
Dia tidak tahu harus merasa kecewa atau bersyukur, tapi setelah mengawasi seluruh ruangan beberapa saat lamanya, sesudah memeriksa setiap sudut ruangan itu, kembali gumamnya.
"Ternyata dia tidak berbohong... dia tidak membohongi aku."
Kalau dibilang tempat itu adalah sebuah ruang kuil kuno, lebih cocok kalau dikatakan tempat itu merupakan sebuah ruang yang bobrok dan kotor.
Ruang itu berbentuk setengah lingkaran, di bawah atap bulat yang penuh ukiran, terpancang delapan tiang batu yang sangat besar, luasnya mencapai belasan kaki, di belakang undak-undakan batu yang sangat rapi terdapat sebuah meja altar yang megah, di atas meja altar berjajar dua buah patung dewa yang nampak angker.
Biarpun debu yang melapisi tempat itu sangat tebal, meskipun lumut hijau amat tebal, bahkan di setiap sudut ruangan yang gelap tersisa bekas sarang burung dan hewan yang kotor, sarang laba-laba yang tebal, namun semua itu tidak menutupi kemegahan ruangan itu di masa lalu, hingga kini siapa pun yang berada di sana akan muncul rasa hormat dan segan luar biasa, perasaan haru yang membuat mereka nyaris menjatuhkan diri untuk menyembah.
Tapi ketika debu mulai mereda, ketika suasana sudah terang benderang, mereka menjumpai hampir setiap tonggak, dinding batu dan sekeliling meja altar, penuh bertaburkan butiran benda yang memancarkan cahaya berkilauan.
Kilauan cahaya yang gemerlapan rasanya tidak sebanding dengan bangunan kuil yang kuno dan kotor, bagaimana mungkin di balik suasana yang gelap dan lembab bisa bertaburkan cahaya berkilauan yang begitu indah? Tanpa sadar semua orang mulai memperhatikan benda itu dengan lebih seksama, tidak lama kemudian mereka tahu bahwa setiap benda yang berkilauan itu ternyata tidak lain adalah senjata rahasia yang mematikan.
Senjata rahasia itu terdiri dari aneka bentuk yang berbeda, ada mutiara Ngo bong cu, ada jarum Bwe hoa ciam, ada duri beracun Gin ji li, ada pasir Toh hun sah...
biarpun senjata rahasia itu terdiri dari berbagai jenis, namun Im Kiu-siau sekalian masih dapat mengenali bentuk-nya satu per satu.
Namun selain bentuk yang diketahui, ternyata di situ pun terdapat puluhan jenis senjata rahasia lain yang berbentuk aneh, ada senjata rahasia mirip gembrengan terbang, gunting, golok, pedang, gangsingan, malah ada pula yang berbentuk lembut sebesar butiran beras, bentuk yang sedemikian kecil hingga susah dilihat dengan jelas.
Biarpun Im Kiu-siau sekalian sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, walaupun pengetahuan dan pengalaman mereka sangat luas, namun selama hidup bukan saja tidak pernah menyaksikan senjata rahasia semacam ini, bahkan mendengar pun belum pernah.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah benda lembut dan kecil yang nampaknya begitu ringan, bahkan untuk menembus kain tebal pun belum tentu sanggup, kini justru menghujam dalam di atas batu cadas.
Dari sini dapat diketahui orang yang melepaskan senjata rahasia itu bukan saja memiliki kepandaian yang hebat, tenaga dalamnya pun amat sempurna.
Semua orang saling berpandangan sambil berpikir.
"Dalam dunia persilatan, kecuali si Hujan gerimis Hoa Bu-soat, siapa pula yang sanggup melepaskan berbagai jenis senjata rahasia yang aneh itu serta mampu menghujamkan senjata rahasia itu menembus batu dan kayu?"
"Ternyata nona Leng memang tidak membohongi kita,"
Kata Gi Beng.
"rupanya si Hujan gerimis Hoa Bu-soat memang pernah bertarung habis-habisan di sini melawan Siang-tok Thaysu, cuma...."
"Cuma... entah mereka berdua saat ini telah pergi kemana?"
Lanjut Thiat Cing-su.
"Kira-kira siapa yang berhasil memenangkan pertarungan ini?"
Kata Im Kiu-siau dengan kening berkerut. Sinar matanya kembali menyapu sekejap senjata rahasia yang berkilauan itu, kemudian pikirnya.
"Bila Siang-tok Thaysu ingin meloloskan diri dari kepungan hujan Am-gi si Hujan gerimis, rasanya lebih sulit daripada memanjat ke langit."
Biarpun para jago tidak sempat menyaksikan sendiri jalannya pertempuran yang mendebarkan hati itu, namun ditinjau dari bekas yang tertinggal di medan pertempuran, bisa dibayangkan betapa seru dan dahsyatnya pertarungan tadi.
Terdengar Gi Beng menghela napas sambil bergumam.
"Sayang kedatangan kita terlambat satu langkah, sayang terlambat selangkah...."
Tiba-tiba nampak Im Ting-ting berlari cepat menaiki anak tangga, sekalipun dia berlari dengan kecepatan tinggi, namun sepasang matanya mengawasi terus kedua patung dewa yang ada di meja altar tanpa berkedip.
Wajah kedua patung dewa itu sudah tertelan di balik lumut yang tebal, boleh dibilang sama sekali tidak terlihat raut muka sebenarnya, namun Im Ting-ting tetap mengawasinya dengan kesemsem, bahkan sewaktu lututnya terantuk sisi meja altar yang keras pun dia seolah tidak merasa kesakitan.
Dengan sekali lompatan dia naik ke atas meja altar, kemudian merobek ujung bajunya dan merangkak naik lagi ke atas bahu patung dewa raksasa itu.
"Ting-ting, apa yang hendak kau lakukan?"
Tegur Im Kiu-siau dengan kening berkerut.
Im Ting-ting sama sekali tidak berpaling, dia seolah tidak mendengar teguran itu, dengan tangannya yang gemetar dia mulai mengusap wajah patung dewa yang kotor dan membersihkan semua lumut tebal yang ada.
Baru saja Im Kiu-siau hendak menegur, tiba-tiba dia menyaksikan Im Gi berdiri pula dengan sikap yang aneh...
sepasang mata orang tua itu sedang menatap wajah patung dewa itu tanpa berkedip, bahkan dia mengamatinya dengan begitu terpesona.
Dalam waktu singkat hati Im Kiu-siau bergetar keras, darah panas langsung memenuhi kepalanya, secara tiba-tiba dia ikut melupakan segalanya, yang dia lakukan saat itu hanya mengawasi wajah patung dewa itu dengan terkesima.
Gi Beng bersaudara yang menyaksikan perubahan aneh wajah orang-orang itu segera merasakan hatinya bergidik, semacam firasat jelek seketika melintas di hati mereka, seolah-olah sebentar lagi akan terjadi satu peristiwa yang menyeramkan.
Lumut tebal akhirnya berhasil dibersihkan, kini wajah patung dewa itupun tampil lebih jelas.
Selembar wajah angker, berwibawa, pemberani dan ulet, alis matanya kelihatan begitu tebal, menampilkan sebuah tekad dan ambisi yang luar biasa.
Hanya sekilas pandang Gi Teng segera merasakan hatinya berdebar keras...
dia merasa wajah patung dewa itu begitu dikenal, seperti belum lama menjumpainya.
Mendadak terdengar Gi Beng berteriak keras.
"Bukan.
, bukankah itu wajah Im-locianpwe"
Baru saja dia menjerit, terlihat Im Gi dan Im Kiu-siau telah menjatuhkan diri berlutut.
Dalam waktu singkat, paras muka kedua orang ini telah terjadi perubahan yang luar biasa, perubahan yang sulit dilukiskan...
mimik muka itu seperti terkejut, gembira, sedih, seperti juga diliputi gejolak emosi yang luar biasa.
Malah butiran air mata telah jatuh berlinang membasahi wajah Im Ting-ting.
Sambil menggigit bibir, kembali dia menyeka lumut yang menodai wajah patung dewa itu, ketika hendak berjongkok, tiba-tiba lututnya lemas dan dia pun terjatuh tertelungkup di atas meja altar, tepat di depan patung raksasa itu.
Sun Siau-kiau yang menyaksikan kejadian itu jadi melongo, diam-diam dia menghampiri Gi Beng sambil berbisik.
"Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Aku sendiri pun kurang tahu,"
Sahut Gi Beng sambil menggeleng, padahal secara lamat-lamat dia sudah dapat menebak apa gerangan yang telah terjadi.
Hanya saja untuk sesaat dia tidak berani menerima hal itu sebagai kenyataan, susah baginya untuk percaya bahwa di dunia ini ada kejadian yang begitu kebetulan.
Semua anggota perguruan Tay ki bun telah menjatuhkan diri berlutut, wajah mereka basah oleh air mata.
"Ternyata benar...
ternyata benar...."
Bisik Im Ting-ting dengan nada gemetar.
"Betul... betul...."
Ucap Im Kiu-siau pula dengan air mata berlinang.
"Sebenarnya apa...."
Tidak tahan Sun Siau kiau berseru.
Belum selesai pertanyaan itu diajukan, terdengar Im Gi telah berseru sambil menengadah ke atas.
"Thian...
oooh, Thian, mimpi pun Tecu tidak menyangka akan berjumpa dengan wajah Cosuya berdua di tempat ini, tampaknya sudah saatnya bagi perguruan Tay ki bun untuk membalas dendam."
Bergetar hati Sun Siau-kiau, gumamnya dengan perasaan-tercekat.
"Jangan-jangan... jangan-jangan kedua orang Cianpwe itu adalah Cosuya mereka yang mendirikan perguruan Tay ki bun?"
Kini semua orang merasa bahwa wajah patung dewa yang berada di sebelah kiri sangat mirip dengan wajah Im Gi, Ciang bunjin perguruan Tay ki bun yang sedang berlutut di tanah.
Serentak Gi Beng maupun Gi Teng ikut berlutut.
Paras muka Seng Cun-hau berubah hebat, gumamnya pula.
"Kemauan takdir...
kehendak takdir...."
Sementara itu Im Ting-ting sudah merangkak bangun dari atas meja altar, tiba-tiba jeritnya.
"Ayah, di atas meja terdapat ukiran tulisan"
"Apa yang dikatakan?"
Sambil menyeka tulisan itu dengan kain agar nampak lebih jelas, baca Im Ting-ting.
"Dipersembahkan untuk Im, Thiat dua orang Inkong, semoga anak cucu turun temurun, keluarga makmur keturunan sentosa."
"Semoga anak cucu turun temurun, keluarga makmur keturunan sentosa,"
Im Gi mengulang perkataan itu sambil tertawa getir.
Terbayang bagaimana keturunannya tercerai-berai, keluarganya hancur berantakan, tidak kuasa lagi air mata berlinang membasahi wajah tuanya.
Terdengar Im Ting-ting dengan nada gemetar melanjutkan.
"Di bawahnya tertera tanda tangan beberapa orang, mereka adalah...."
Tiba-tiba nada suaranya dipenuhi rasa benci, dan rasa dendam kesumat yang sangat mendalam, lanjutnya.
"Keluarga Seng, Lui, Leng, Pek, Hek dan Suto enam orang!"
Ketika nama itu diucapkan, Seng Cun-hau tidak kuasa menahan rasa bergidiknya lagi, bulu kuduknya berdiri.
"Enam keluarga mempersembahkan ucapan yang hebat, hahaha...
semoga anak cucu turun temurun, keluarga makmur keturunan sentosa...
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku tahu, kalian enam keluarga justru sangat membenci keluarga Im dan Thiat, kalian berharap kami tertumpas dari muka bumi...
tertumpas untuk selamanya...."
Teriak Im Gi sambil tertawa pedih.
Di tengah gelak tertawa yang menyeramkan, dia melompat bangun sambil mencengkeram Seng Toa-nio, jeritnya.
"Takdir...
kehendak takdir...
takdirlah yang menghendaki kalian datang kemari hari ini, agar kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang ditinggalkan leluhur kalian, sekarang...
apa yang hendak kau katakan lagi?"
Seng Toa-nio memejamkan mata rapat-rapat, sambil mengertak gigi dia membungkam.
"Seng Cun-hau!"
Kembali Im Gi berteriak keras.
"kalau kau memang seorang anak berbakti, tahukah kau bila hari ini kau masih berbakti kepada ibumu, hal ini sama artinya tidak berbakti kepada leluhurmu?"
"Boanpwe... Boanpwe...."
Dengan sedih Seng Cun-hau menghela napas.
"aaaai! Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi."
"Kalau memang tidak bisa berkata lagi... bagus, Seng Toa-nio, memandang wajah anakmu hari ini, Lohu berikan satu kesempatan lagi kepadamu...."
Setelah menepuk bebas jalan darah Seng Toa-nio, bentaknya gusar.
"Bangun, mari kita selesaikan persoalan hari ini dengan berduel!"
Dia mundur dua langkah, berbalik tubuh menghadap ke arah dua patung dewa itu dan ujarnya lagi dengan suara gemetar.
"Suco berdua, hari ini Tecu Im Gi sengaja akan menyelesaikan semua dendam kesumat perguruan Tay ki bun di hadapan kalian berdua, akan Tecu gunakan darah segar musuh untuk menyembah arwah kalian di alam baka!"
Selesai berkata dia rentangkan sepasang tangannya dan siap membalikkan badan....
Mendadak terdengar suara seseorang berkumandang datang dari atas patung dewa itu.
Suara itu datang mengalun dan terdengar sangat misterius, seakan-akan suara yang berasal dari roh gentayangan.
Sekata demi sekata dia berkata.
"Im Gi, wahai Im Gi, kau keliru besar, jangan dianggap pertikaian dan dendam kesumat yang dialami perguruan Tay ki bun bisa diselesaikan segampang itu, sekalipun Seng Toa-nio berhasil kau bunuh, tapi apa gunanya?"
Begitu ucapan itu bergema, semua jago dibuat terkesiap dan tercekat perasaannya.
Siapa yang tidak kaget? Siapa yang tidak bergidik ketika secara tiba-tiba di tengah ruang kuil yang misterius, dari belakang patung Dewa yang antik dan kuno, tiba-tiba muncul suara manusia? Sekujur tubuh Im Gi gemetar keras, dia mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, serunya tergagap.
"Kau...
kau...."
Saking kaget dan tercekatnya dia sampai tidak mampu melanjutkan kembali perkataannya.
Terdengar suara itu kembali bergema.
"Kerumitan serta kekalutan di balik semua pertikaian dan dendam kesumat yang menimpa perguruan Tay ki bun tidak semudah dan sesederhana yang kau bayangkan, untung di antara mereka yang terlibat masih banyak yang hidup, hari ini mereka akan berdatangan semua ke tempat ini."
"Darimana kau tahu?"
Dengan memberanikan diri Im Gi berteriak.
"Darimana aku tahu?"
Jawab suara itu.
"urusan apa lagi di dunia ini yang tidak kuketahui?"
"Siapa kau?"
Tiba-tiba Im Kiu-siau membentak nyaring.
Sekarang dia sudah tahu suara itu berasal dari belakang patung dewa, di tengah bentakan nyaring, tubuhnya melambung ke udara dan secepat kilat menubruk ke belakang patung itu.
Siapa tahu, belum lagi tubuhnya mencapai tempat itu, tiba-tiba segulung desingan angin meluncur keluar dari belakang patung, meskipun gulungan angin itu tidak terlampau kuat, namun sudah lebih dari cukup untuk menggetarkan tubuh Im Kiu-siau hingga mesti bersalto beberapa kali di udara dan sewaktu melayang turun, mundur lagi dengan sempoyongan.
Terkejut bercampur gusar, kembali Im Gi membentak.
"Sebenarnya siapa kau?"
Suara itu tertawa terkekeh, sahutnya.
"Hahaha, baru saja aku menyelamatkan nyawamu, masa sekarang kau sudah lupa?"
"Coh Sam-nio!"
Seru Im Gi terperanjat.
"Betul, aku adalah Coh Sam-nio, karena tadi aku telah menyelamatkan nyawamu, tentu saja sekarang pun aku tidak berniat mencelakai-mu, kenapa kau tidak percaya dengan nasehat serta bujukanku?"
"Apa...
apa yang kau inginkan?"
"Bila kau sungguh ingin menyelesaikan semua pertikaian dan dendam kesumat yang menimpa perguruan Tay ki bun, ikutlah aku."
Di tengah pembicaraan, terlihat sesosok bayangan manusia melintas keluar dari balik patung dewa, tubuhnya bagaikan naga terbang, seperti juga sambaran halilintar, hanya berkelebat sekejap di depan semua orang dan tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak berbekas.
Tapi di saat yang amat singkat itulah semua orang telah melihat sebuah lorong rahasia dari balik kedua patung dewa itu, dari tempat itulah Coh Sam-nio muncul.
Besar kemungkinan di balik lorong rahasia itu tersimpan ancaman bahaya maut yang lebih besar dan menakutkan, namun bagi Im Gi sekalian tidak punya pilihan lain kecuali mempertaruhkan nyawa ikut menerobos masuk ke dalam.
"Semua anggota perguruan Tay ki bun, ikut aku!"
Bentak Im Gi nyaring. Tanpa membuang waktu, dia menerobos masuk terlebih dulu. Sebelum ikut masuk, Im Kiu-siau berpaling memandang Seng Toa-nio sekejap, tegurnya.
"Apakah kau masih...."
Sambil tertawa dingin Seng Toa-nio menukas.
"Tidak perlu kau kuatirkan, setelah urusan berkembang jadi begini, memangnya aku bakal kabur?"
Setelah sangsi sejenak, dia membungkukkan tubuh membopong tubuh putra kesayangannya, kemudian beranjak mengintil di belakang Im Gi sekalian.
Benar saja, di belakang patung dewa terdapat sebuah lorong rahasia.
Tentu saja lorong rahasia itupun berliku-liku bahkan jauh lebih gelap dan lembab, menelusuri lorong rahasia itu, perasaan Im Gi sekalian terasa jauh lebih bergolak, gejolak emosinya makin membara.
Bayangan tubuh Coh Sam-nio sudah lenyap, tapi gelak tawanya tiada henti berkuman-dang dari balik kegelapan di depan sana, kelihatannya suara tertawa itu digunakannya untuk memberi petunjuk jalan bagi rombongan ini.
Semua orang merasakan hawa dingin yang menggidikkan makin lama semakin bertambah mencekam, ketika berjalan beberapa saat kemudian, tiba-tiba dari depan sana terdengar suara bentakan serta pekikan tajam yang menusuk pendengaran.
Pekikan tajam itu tampaknya berasal dari Dewa racun Leng It-hong.
Menyusul terdengar suara Coh Sam-nio yang berseru dari kejauhan.
"Sudah hampir sampai, ayo, besarkan nyali dan cepat kemari!"
Kemudian dari arah depan sana lamat-lamat mulai terlihat ada cahaya terang.
Saat ini tidak seorang pun buka suara, yang terdengar hanya debaran jantung yang makin lama semakin bertambah nyaring, langkah kaki semua orang pun tanpa terasa diayunkan makin cepat....
Mendadak pemandangan di depan sana mulai bertambah lebar dan cerah.
Sebuah lapisan pintu yang lebih tinggi dan besar terbentang di depan mata.
Suasana di balik pintu itu sangat terang, rupanya sebuah ruang pertemuan yang lebar, bangunan ini jauh lebih megah, mentereng dan mewah ketimbang bangunan pertama, di belakang meja altar terdapat pula dua buah patung dewa yang tinggi besar, sekalipun raut wajahnya sudah tertutup oleh lapisan lumut tebal, namun anehnya ternyata kedua patung itu berupa patung wanita, sisi kiri ruangan yang sangat megah itu ternyata sudah roboh sebagian, tumpukan batu berserakan dimana-mana, dari celah dinding yang roboh itulah cahaya matahari memancar masuk ke dalam dan menerangi seluruh sudut.
Biarpun banyak hal aneh yang dijumpai di situ, namun semua orang tidak sempat memperhatikan dengan seksama, karena di tengah ruangan terdapat kejadian mengejutkan lain yang jauh lebih menarik perhatian mereka.
Suara bentakan yang menggetarkan pendengaran, suara pekikan yang tinggi melengking serta suara deru angin yang bergelombang sedang menyelimuti seluruh ruang megah bak istana itu.
Dua sosok bayangan manusia bergerak cepat kian kemari, mereka sedang terlibat pertarungan yang amat seru, seluruh suara aneh itu tidak lain berasal dari tubuh kedua orang yang sedang terlibat pertarungan sengit ini.
Kedua orang itu, seorang di antaranya berpekik nyaring tiada hentinya sambil melompat kian kemari bagaikan sesosok mayat hidup, tanpa melihat raut mukanya pun semua orang tahu dia tidak lain adalah Dewa racun.
Sementara yang lain membentak gusar tiada hentinya, sebilah kapak raksasa yang diputar dalam genggamannya menimbulkan bayangan kapak yang berlapis bagai bukit dan suara deru angin yang memekakkan telinga, begitu kerasnya suara deruan itu hingga ujung baju Im Gi sekalian yang berdiri puluhan tombak dari situ pun ikut berkibar kencang.
Tubuh orang itu seakan memiliki tenaga sakti yang tiada habisnya, kapak raksasa yang berada dalam genggamannya diputar bagaikan roda kereta, begitu rapat dan berlapis-lapis hingga angin dan hujan susah menembus.
Biarpun Dewa racun berteriak gusar, namun jangan harap sepasang cakar racunnya mampu menyentuh tubuh orang itu, dia hanya bisa berpekik nyaring berulang kali sambil berputar mengelilingi bayangan manusia itu dan menanti bayangan kapaknya muncul celah kosong.
Sayang orang itu seolah memiliki kekuatan alam yang luar biasa, kekuatan yang membuatnya tidak pernah lelah, begitu dahsyat dan kuatnya orang itu seakan dia memiliki kemampuan untuk memutar kapak itu selamanya.
Selama hidup belum pernah kawanan jago itu menyaksikan pertarungan sedahsyat ini, tanpa terasa semua orang berdiri melongo dengan pandangan terbelalak.
Seakan menyadari akan sesuatu, Gi Beng segera berseru.
"Ternyata 'benda' yang disebut Hong Lo-su adalah orang ini, tapi siapakah dia? Kenapa bisa memiliki tenaga sesakti itu? Jangan-jangan dia pun bukan...
bukan manusia?"
Ketika berpaling, dia jumpai Im Gi sedang mengawasi bayangan manusia itu tanpa berkedip, begitu besar dia melotot sampai biji matanya seolah-olah mau melompat keluar.
Setelah mengamati beberapa saat, akhirnya dia berteriak nyaring.
"Sim-te! Dia adalah Sim-te!"
"Sim-te!"
Terdengar Im Kiu-siau ikut berteriak keras.
"kenapa kau bisa berada di sini?"
Dipengaruhi gejolak emosi yang meluap, kedua orang itu hampir saja menubruk maju ke depan, tapi sebelum melangkah, tiba-tiba pandangan jadi kabur, tahu-tahu Coh Sam-nio sudah merintangi jalan pergi mereka sambil merentangkan sepasang tangannya.
Terdengar dia berkata dengan suara berat.
"Betul, dia memang adik Sim kalian, dan dia pula satu-satunya orang di dunia ini yang mampu membendung keganasan Dewa racun, aku sengaja mengajaknya kemari tidak lain karena ingin menggunakan kemampuannya untuk bertarung melawan Dewa racun."
"Tapi adik Sim, dia...
kelihatannya...."
"Benar,"
Tukas Coh Sam-nio sambil tertawa.
"kesadarannya memang kelihatan tidak beres, karena jiwanya memang sudah dibetot dengan ilmu pembetot sukma, karena tidak sadar maka dialah yang paling cocok bertarung menghadapi si Dewa racun."
"Aku sebagai Ciangbunjin perguruan Tay ki bun tidak bisa membiarkan dia menderita, apalagi membiarkan dia bertarung seorang diri, Lohu... biar mempertaruhkan nyawa pun harus..."
"Orang yang sudah kehilangan kesadaran mana mungkin tahu menderita? Sekarang dia telah mengeluarkan seluruh tenaganya yang tersembunyi untuk melakukan pertarungan, saat ini dia justru telah menjadi satu-satunya jago paling tangguh dari perguruan Tay ki bun, sementara si Dewa racun Leng It-hong tidak dapat disangkal telah menjadi jagoan yang paling tangguh pula dari persekutuan Ngo hok beng, pertarungan yang berlangsung saat ini pada hakikatnya merupakan pertempuran antara perguruan Tay ki bun melawan persekutuan Ngo hok beng, apa salahnya membiarkan dia bertempur? Dengan kemampuan silatmu sekarang, ikut dalam pertarungan itu hanya merupakan tindakan ceroboh, membuang tenaga dengan percuma."
Biarpun ucapan yang terakhir disampaikan dengan bahasa yang sopan, namun maksudnya jelas sekali.
"Jika kau ikut campur, pada hakikatnya hanya mengantar nyawa dengan percuma".
Im Gi termangu beberapa saat, akhirnya sambil menghentakkan kaki dan menghela napas panjang, dia membungkam.
Akhirnya sorot mata semua orang pun dialihkan ke tubuh Dewa racun dan lelaki bertelanjang kaki itu.
Sementara itu Gi Beng menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, dia lihat di bawah meja altar dan di bawah patung dewa yang berjarak tiga kaki, duduk bersila dua orang, orang yang bersila di sebelah kiri ternyata adalah Hong Lo-su, kelihatannya dia sudah menggunakan tenaga kelewat banyak hingga sekarang perlu duduk mengatur pernapasan.
Sementara di sampingnya duduk bersila pula seseorang, ternyata dia adalah Siang-tok Thaysu, wajahnya yang semula merah darah kini telah berubah jadi hijau keabu-abuan, hal ini menandakan dia sudah menderita luka dalam.
Mereka berdua sebenarnya adalah musuh bebuyutan, tapi kini justru duduk berdampingan di atas meja altar yang sama, kejadian ini semakin menunjukkan kedua orang ini sudah bertarung habis-habisan hingga tak punya tenaga lagi untuk bergerak, kalau masih punya kekuatan, mana mungkin mereka duduk tenang? Mungkin pertarungan mati hidup kembali akan berkobar dengan serunya.
Ketika memeriksa lagi ke belakang meja altar, tampak ada tiga kepala manusia muncul dari balik kegelapan, saat itu mereka sedang mengawasi Im Gi dengan penuh kebencian, ternyata ketiga orang itu adalah Hek Seng-thian, Pek Seng-bu dan Suto Siau.
Begitu melihat kehadiran ketiga orang itu, tidak tahan Gi Beng berseru keheranan.
"Aneh, mereka bertiga bisa muncul di sini, kenapa Hoa Bu-soat...."
"Hoa Bu-soat sedang pergi mencari putrinya,"
Terdengar Coh Sam-nio menyela sambil tertawa.
"Lalu nona Un?"
"Un Tay-tay sudah terjatuh ke tangan Suto Siau."
"Aduh! Bagaimana baiknya!"
Gi Beng menjerit tertahan. Coh Sam-nio tersenyum.
"Dulu Un Tay-tay memang bini muda Suto Siau, kalau sekarang dia balik lagi ke samping Suto Siau juga bukan suatu kejadian yang aneh, itu lumrah, kenapa kau mesti cemas pada keselamatannya?"
Gi Beng menjadi tertegun beberapa saat, tapi setelah menghela napas panjang, dia pun tidak berbicara lagi...
kalau kejadian sudah begini, perkataaan apa lagi yang bisa disampaikan? Im Kiu-siau yang ikut memandang sekejap sekeliling tempat itu diam-diam merasa girang.
Kini Hoa Bu-soat sudah pergi, Hong Lo-su dan Siang-tok Thaysu sudah terluka, jago lihai yang tersisa pun tinggal Coh Sam-nio seorang, padahal dilihat dari sikapnya, jelas Coh Sam-nio tidak menaruh niat jahat terhadap perguruan Tay ki bun.
Ketika mencoba menganalisa kekuatan musuh, dari pihak lawan Seng Toa-nio sudah terjatuh ke tangan mereka, Seng Cun-hau sudah tidak bisa bertarung dan tidak mau bertarung lagi, sisanya Hek Seng-thian, Pek Seng-bu serta Suto Siau sudah bukan ancaman yang menguatirkan lagi, berarti asal lelaki bertelanjang kaki itu tidak kalah, dendam kesumat sedalam lautan perguruan Tay ki bun bisa terbalaskan hari ini.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa sekulum senyuman menghiasi bibirnya.
Tidak membuang waktu lagi dia segera menarik ujung baju Im Gi sambil berbisik dengan suara dalam.
"Kesempatan emas sudah di depan mata dan peluang ini segera akan lenyap bila tidak dimanfaatkan, kalau tidak turun tangan sekarang, kita mau menunggu kapan lagi?"
"Benar!"
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Im Gi dengan semangat berkobar. Dia segera memberi tanda sambil terusnya.
"Cing-su, Ting-ting, kalian menghadapi Pek Seng-bu, aku menghadapi Suto Siau, sedang Hek Seng-thian kuserahkan kepadamu Samte!"
Baru selesai bicara, dia sudah melesat ke depan.
Angin serangan kapak dan bayangan manusia nyaris menyelimuti seluruh ruangan itu, terpaksa Im Gi harus menelusuri pinggir ruangan.
Thiat Cing-su, Im Kiu-siau serta Im Ting ting cepat menyusul dari belakang.
Keempat orang itu penuh diliputi gejolak hawa darah yang menggelora, napsu membunuh menghiasi wajah semua orang, bahkan Im Ting-ting yang biasanya halus lembut pun kini sudah diliputi hawa napsu membunuh yang menakutkan, dia seolah ingin segera membunuh musuhnya dan memadamkan kobaran api dendamnya dengan darah lawan.
Menyaksikan bayangan punggung beberapa orang itu, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibir Coh Sam-nio, ujarnya sambil manggut-manggut dan tertawa.
"Bagus, bagus, memang seharusnya begitu, memang seharusnya begitu Kemudian sambil menarik kembali pandangan serta senyumannya, dia melanjutkan dengan nada dalam.
"Tapi persoalan ini merupakan pertikaian orang-orang perguruan Tay ki bun dan Ngo hok beng, kecuali kalian yang terlibat langsung, siapa pun tidak boleh ikut campur dalam persoalan ini, mengerti?"
"Aku toh boleh ikut terlibat,"
Sela Seng Toa-nio sambil tertawa dingin.
Baru saja dia menurunkan tubuh Seng Cun-hau, mendadak tubuhnya gemetar keras, di tengah jeritan kagetnya, mendadak tubuhnya terjungkal ke atas tanah.
Rupanya Seng Cun-hau dengan mengerahkan segenap sisa kekuatan yang dimilikinya telah menotok jalan darah ibunya.
Ibu dan anak pun sama-sama jatuh bergulingan di atas tanah.
Tidak terlukiskan rasa kaget bercampur gusar Seng Toa-nio, jeritnya histeris.
"Cun-hau! Apa-apaan kau?"
Dengan air mata bercucuran, sahut Seng Cun-hau memelas.
"Ananda memang pantas dibunuh, tapi... tapi ananda...."
"Binatang!"
Umpat Seng Toa-nio makin gusar.
"dasar binatang yang tidak berbakti!"
"Kau tidak perlu memakinya,"
Kata Coh Sam-nio sambil tertawa.
"bocah itu berbuat begitu juga demi kebaikanmu sendiri, dengan begitu, siapa yang akan keluar sebagai pemenang, di kemudian hari kau boleh cuci tangan dan berdiri sebagai penonton, apa tidak lebih menyenangkan?"
Terdengar suara bentakan nyaring menggelegar memecah keheningan, kepalan baja Im Gi telah dilontarkan ke depan menghantam dada Suto Siau.
"Bagus, orang she Im, kau sangka aku Suto Siau benar-benar takut kepadamu?"
Seru Suto Siau sambil tertawa keras.
Karena sadar tidak mungkin bisa menghindari pertarungan itu, terpaksa dia harus membesarkan nyali dan menyambut datangnya serangan itu.
Di arena lain, Hek Seng-thian dan Im Kiu-siau sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, begitu bertemu, masing-masing pihak saling melancarkan tujuh jurus serangan, sedang Thiat Cing-su bekerja sama dengan Im Ting-ting terlibat pula dalam pertempuran seru melawan Pek Seng-bu.
Dendam kesumat yang sudah tersimpan selama belasan tahun dalam dada mereka seketika dilampiaskan keluar semua, jurus demi jurus serangan yang digunakan pun ganas, telengas dan sama sekali tidak kenal ampun, tampaknya mereka ingin secepatnya menghabisi nyawa musuh bebuyutannya.
Pek Seng-bu bertiga pun sadar, bila dalam pertarungan kali ini tidak berhasil ditentukan hidup-mati, mustahil pertempuran akan disudahi begitu saja, dalam keadaan seperti ini, kecuali mengadu jiwa, memang tiada pilihan lain lagi bagi mereka.
Dalam waktu singkat, tampak angin pukulan bayangan kepalan menderu dan menggulung di udara, suara pekikan keras bagai gulungan ombak di samudra serasa membawa hawa pembunuhan yang menakutkan, sedemikian hebatnya pertarungan yang berlangsung sampai Gi Beng yang berdiri belasan kaki dari arena pun dapat merasakan betapa menekannya hawa pembunuhan itu.
Biarpun ilmu silat yang dimiliki beberapa orang itu belum bisa dibilang sangat luar biasa, namun hawa pembunuhan yang terpancar justru cukup membuat hati orang berdebar, apalagi bagi Gi Beng, jantungnya berdebar keras, diam-diam dia selalu berdoa demi keselamatan Thiat Cing-su.
Coh Sam-nio melirik sekejap ke arahnya sambil tersenyum, tiba-tiba ujarnya.
"Kelihatannya walaupun bukan anggota perguruan Tay ki bun, namun kau ingin sekali membantu pihak mereka, bukankah begitu?"
"Siapa pun wajib membela dan menegakkan kebenaran!"
"Ehmmm, membela dan menegakkan kebenaran! Sebuah perkataan yang bagus, hanya sayang...
aaaai!"
Coh Sam-nio menghela napas panjang.
Dia sengaja menghentikan perkataannya dan tidak dilanjutkan kembali.
Betul saja, Gi Beng tidak kuasa menahan diri, segera tanyanya.
"Sayang kenapa?"
"Sayang kelompok jago yang membela dan menegakkan kebenaran ini mungkin akan tertumpas untuk selamanya pada hari ini."
Berubah paras muka Gi Beng setelah mendengar perkataan itu, tapi sejenak kemudian sambil tertawa dia menggeleng, katanya.
"Kalau hanya mengandalkan kemampuan Hek Seng-thian dan Suto Siau bertiga, bagaimana mungkin mereka mampu menandingi kekuatan mereka? Mungkin kelompok Ngo-hok-beng yang bakal tertumpas untuk selamanya!"
"Oya...
lantas bagaimana dengan Dewa racun itu?"
"Bukankah sudah ada orang yang mampu menghadang si Dewa racun?"
"Betul,"
Coh Sam-nio tersenyum.
"memang ada orang lain yang mampu membendung sepak terjang Dewa racun, tapi si lelaki bertelanjang kaki itu hanya mampu membendung, itupun sudah menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya, ingin melenyapkan dirinya? Mustahil bisa dia lakukan. Lagi pula tenaga manusia itu ada batasnya, paling setengah jam lagi dia pun tidak akan mampu membendung serangan mautnya."
"Lalu... lalu bagaimana baiknya?"
Seru Gi Beng terkejut.
"Pada saat itulah kelompok yang akan membela dan menegakkan kebenaran ini akan tertumpas dan musnah untuk selamanya."
"Kalau sampai terjadi seperti ini, apapun yang bakal terjadi kita harus mencari cara untuk menghadapi Dewa racun...."
Seru Gi Beng sambil menggigit bibir.
Tiba-tiba Coh Sam-nio menarik wajahnya seraya menegur.
"Hanya mereka yang terlibat langsung dalam pertikaian ini yang boleh ikut campur, kau sudah lupa dengan perkataan itu?"
"Tapi...
tapi...
masa akan kau biarkan mereka mati konyol?"
Seru Gi Beng dengan wajah berubah.
"Cara kerjaku selalu menjunjung tinggi keadilan, bila aku tidak mengizinkan orang lain membantu pihak Ngo hok beng, tentu saja aku pun akan melarang siapa pun membantu pihak perguruan Tay ki bun, bila ada yang berani turun tangan secara sembarangan, dia mesti melewati dulu aku Coh Sam-nio."
Gi Beng tertegun beberapa saat, kemudian jeritnya.
"Kau sengaja berkata begitu karena tahu pihak perguruan Tay ki bun bakal mengalami bencana tragis, kau jelas berat sebelah, katanya saja bersikap adil, tapi nyatanyakau...
kau...."
"Besar amat nyalimu,"
Hardik Coh Sam-nio keras.
"di hadapan Sam-nio pun berani bicara kurangajar, memangnya kau sangka aku tidak mampu membungkam mulutmu?"
Sekali lagi Gi Beng dibuat melengak, akhirnya dia berpaling ke arah lain, sementara butiran air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Gi Teng sendiri pun merasa sangat gusar dan mendongkol, tapi selama berada di hadapan jago lihai dunia persilatan ini, selain bersabar dan menahan diri, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Memangnya mereka ingin mengantar kematian dengan percuma? Lewat beberapa saat kemudian terdengar Coh Sam-nio berkata lagi.
"Keadaan sudah berkembang jadi begini, apa gunanya kau menangis? Coba lihat ke arah sana!"
Tidak tahan Gi Beng segera berpaling ke arah yang ditunjuk, tampak Im Gi masih menyerang dengan garangnya, tapi sayang walaupun semua serangannya ganas dan hebat, Suto Siau dengan mengandalkan gerakan tubuhnya yang lincah dan gesit berhasil berkelit dari semua ancaman itu, untuk sesaat nampaknya dia belum akan terkalahkan.
Im Kiu-siau sendiri walaupun berhasil merebut posisi di atas angin, namun dia pun mengalami kesulitan menyelesaikan pertarungan dalam waktu singkat.
Hanya keadaan Pek Seng-bu yang paling mengenaskan, dikerubut dua orang jago dari kiri kanan, posisinya makin lama semakin tercecar dan terjerumus dalam keadaan sangat berbahaya.
Im Ting-ting serta Thiat Cing-su ibarat dua ekor harimau yang baru turun gunung, jurus serangan macam apapun yang digunakan Pek Seng-bu, ternyata mereka berdua selalu menghadapinya dengan keras lawan keras.
Peluh sebesar kacang kedelai telah membasahi seluruh tubuh Pek Seng-bu, tiba-tiba dia melepaskan sebuah pukulan, sementara iga kirinya dibiarkan terbuka dari pertahanan.
Melihat datangnya kesempatan emas, Thiat Cing-su tidak mau melepaskannya dengan sia-sia, sambil membentak dia merangsek maju.
Siapa tahu walaupun Pek Seng-bu bukan tandingan mereka, namun pengalamannya dalam pertarungan jauh mengungguli lawan, kali ini dia memang sengaja membuka pertahanannya agar pihak lawan masuk perangkap.
Ketika Thiat Cing-su merangsek maju, mendadak tangan kiri Pek Seng-bu melepaskan sebuah pukulan, padahal waktu itu si anak muda itu sudah telanjur merangsek setengah jalan, sulit baginya untuk menghindarkan diri.
"Aduh celaka!"
Pekik Gi Beng kaget.
Baru dia berteriak, Thiat Cing-su sudah termakan sebuah pukulan hingga tubuhnya mencelat ke belakang.
Biarpun serangan itu bersarang di tubuh Thiat Cing-su, namun seakan menghajar dada Gi Beng, seketika membuat gadis itu menjerit kaget dan kesakitan, hampir saja tanpa mempedulikan segala sesuatunya dia akan menerkam ke depan.
Tampak tubuh Thiat Cing-su bergulingan di atas tanah, tapi segera melompat bangun lagi.
Rupanya walaupun pukulan Pek Seng-bu tadi bersarang telak, namun karena hadangan Im Ting-ting, serangan itu tidak sampai menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya.
Im Gi yang menyaksikan kejadian itu segera membentak keras.
"Anak baik, ayo, maju lagi!"
"Baik!"
Sahut Thiat Cing-su tidak kalah kerasnya.
Benar saja, dia langsung merangsek maju lagi, biarpun pukulan tadi membuatnya kesakitan hingga wajahnya berubah dan bermandikan keringat dingin, namun rasa sakit sama sekali tidak melenyapkan semangat tempurnya yang luar biasa.
Gi Beng yang melihat hal itu merasa hatinya pedih bercampur girang...
perempuan mana di dunia ini yang tidak senang menyaksikan pujaan hatinya seorang lelaki berhati baja? "Kelihatannya perhatianmu terhadap anak muda itu sangat besar,"
Kata Coh Sam-nio sambil tertawa.
"Hmmm!"
Gi Beng mendengus sambil melengos ke arah lain, mendadak dia lihat di belakang tubuhnya telah berkurang dua orang...
rupanya menggunakan kesempatan terjadinya kekalutan tadi, secara diam-diam Sun Siau-kiau telah membopong Sim Sin-pek kabur dari situ.
Tapi saat itu dia tidak punya waktu untuk menggubris Sun Siau-kiau lagi, karena pada waktu bersamaan Hong Lo-su yang semula duduk bersemedi tiba-tiba melompat bangun.
Gi Beng serta Gi Teng seketika terkesiap.
"Hong Lo-su pun tidak termasuk salah satu orang yang terlibat dalam pertikaian ini, kau harus mencegahnya untuk ikut terlibat dalam pertarungan ini,"
Buru-buru Gi Beng berseru.
"Tidak usah kuatir,"
Coh Sam-nio tersenyum.
"dia tidak bakal turun tangan."
Benar saja, Hong Lo-su sama sekali tidak menengok ke arah arena pertarungan, setelah bangkit berdiri, perlahan-lahan dia berjalan menuju kehadapan Siang-tok Thaysu.
Menyaksikan hal itu, Gi Beng pun menghembuskan napas lega.
Tampak sekilas senyuman puas yang misterius terlintas di wajah Coh Sam-nio.
Rupanya dia sudah menduga Hong Lo-su bakal melakukan satu perbuatan yang mengejutkan.
Sewaktu melihat Hong Lo-su berjalan menuju ke hadapannya, paras muka Siang-tok Thaysu berubah hebat, kelihatannya dia belum siap untuk menghadapi serangan, bila Hong Lo-su sampai melancarkan serangan, niscaya Siang-tok Thaysu tidak akan sanggup melakukan perlawanan.
Anehnya ternyata Hong Lo-su tidak melancarkan serangan.
Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung