Ceritasilat Novel Online

Pendekar Panji Sakti 27


Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 27



Pendekar Panji Sakti Karya dari Khu Lung

   

   Dengan sekulum senyuman aneh dia menatap wajah Siang-tok Thaysu lekat-lekat, ujarnya perlahan.

   "Angkat wajahmu!"

   "Mau...

   mau apa kau?"

   "Tatap wajahku!"

   Kembali Hong Lo-su berkata. Tanpa sadar Siang-tok Thaysu mengangkat wajahnya, dan dia pun segera menyaksikan sepasang biji mata Hong Lo-su memancarkan cahaya aneh.

   "Celaka...."

   Pekiknya dalam hati. Dia ingin menghindar, tapi sayang keadaan sudah terlambat.

   "Dalam pertarungan yang terjadi tempo hari,"

   Ujar Hong Lo-su.

   "walaupun aku terkena racunmu, kau pun terpengaruh ilmu pembetot sukmaku, saat itu jiwa dan pikiranmu masih kuat, karenanya tidak sampai terpengaruh terlalu mendalam, kau masih sanggup mempertahankan diri meski tingkah lakumu sudah setengah gila, waktu itu orang lain dapat melihat tingkah gilamu, tapi kau sendiri sama sekali tidak merasakannya."

   Tiba-tiba nada ucapannya berubah sangat halus, ramah dan hangat, seperti seorang tua yang ramah sedang memberi wejangan kepada anak muridnya yang paling disayang.

   Siang-tok Thaysu membelalakkan matanya lebar-lebar, mengawasinya tanpa berkedip, dia mendengarkan semua perkataan itu tanpa membantah, bagaikan seorang anak penurut yang sedang mendengarkan wejangan gurunya.

   Terdengar Hong Lo-su berkata lagi.

   "Tapi sekarang, kau sudah terluka oleh senjata rahasia Hoa Bu-soat, biarpun kau sangat menguasai ilmu racun, namun tidak mampu memunahkan racun senjata rahasia yang dilepaskan Hoa Bu-soat, benar begitu?"

   Tanpa sadar Siang-tok Thaysu menganggukkan kepala.

   "Oleh sebab itu, kini kau sedang memusatkan seluruh pikiran dan perhatianmu untuk mencegah agar racun jahat itu tidak menyerang jantungmu, karena itu niat dan ketegaran jiwamu sangat lemah, sangat rapuh, kau sudah tidak mampu melawan aku lagi."

   Siang-tok Thaysu menghela napas panjang, tanpa terasa kembali dia mengangguk.

   "Nah, itulah dia, kini jalan pikiran dan kesadaranmu sudah berada dalam kendaliku, sekarang kau tidak akan mampu mengambil keputusan lagi, kau hanya mampu menuruti semua perkataanku, benar bukan?"

   Nada suara Hong Lo-su makin lama semakin lembut, halus dan hangat.

   Dengan termangu Siang-tok Thaysu menatap wajahnya beberapa saat, tapi akhirnya dia menundukkan kepala seraya mengangguk.

   "Benar!"

   "Mulai sekarang kau hanya mempunyai seorang majikan, apapun yang akan dia katakan, kau tidak akan melawan dan membangkang...

   tahukah kau, siapa majikanmu?"

   "Kau adalah majikanku,"

   Sahut Siang-tok Thaysu seperti orang mengigau.

   "Bagus, apa jadinya bila kau berani membangkang majikanmu?"

   Kata Hong Lo-su lagi.

   "Siap menjalani hukuman yang ditimpakan majikan kepadaku."

   "Mulai sekarang racun yang mengeram dalam tubuhmu sudah terbendung oleh kekuatan saktiku, racun itu tidak bakal kambuh lagi."

   Perlu diketahui, ilmu pembetot sukma yang digunakan di masa lalu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ilmu hipnotis zaman sekarang, ilmu ini berkhasiat juga untuk menyembuhkan penyakit.

   Tampak sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibir Siang-tok Thaysu, katanya.

   "Terima kasih banyak."

   "Tapi kau harus ingat,"

   Kata Hong Lo-su lebih jauh.

   "bila kau berani membangkang perintah majikanmu, racun itu segera akan bekerja lagi, dan bila sampai terjadi hal semacam ini, tidak ada lagi manusia di dunia ini yang sanggup menyelamatkan jiwamu, mengerti?"

   Senyuman di wajah Siang-tok Thaysu seketika hilang tidak berbekas, kembali dia menundukkan kepala seraya menyahut.

   "Mengerti!"

   Saat itulah senyum kepuasan terlintas di wajah Hong Lo-su, katanya perlahan.

   "Bagus, sekarang kau boleh memanggil balik si Dewa racun, beritahu kepadanya siapa saja yang menjadi anggota perguruan Tay ki bun, kemudian perintahkan kepadanya untuk membantai habis semua orang itu."

   "Terima perintah,"

   Sahut Siang-tok Thaysu. Tiba-tiba Hong Lo-su membalikkan tubuh sambil membentak.

   "Kapak sakti, ada dimana kau?"

   Sementara Siang-tok Thaysu berteriak pula dengan lantang.

   "Dewa racun, ada dimana kau?"

   Diiringi suara nyaring, deruan angin kapak dan bayangan manusia seketika reda dan lenyap.

   Tampak si Dewa racun meluncur ke sisi Siang-tok Thaysu dengan kecepatan bagaikan hembusan angin, sedang si lelaki bertelanjang kaki itu berjalan menghampiri Hong Lo-su dengan langkah lebar.

   Gi Beng serta Gi Teng yang berdiri di kejauhan hanya bisa menyaksikan perubahan mimik muka Siang-tok Thaysu, mereka sama sekali tidak mendengar perkataan apa yang diucapkan Hong Lo-su tentu saja perubahan yang terjadi sekarang membuat mereka jadi tercengang dan berdiri tertegun.

   Mereka semakin bingung dan tidak habis mengerti ketika melihat Dewa racun maupun lelaki bertelanjang kaki itu dipanggil balik.

   Sepasang muda-mudi ini hanya bisa saling bertukar pandang dengan wajah keheranan, siapa pun tidak dapat menebak dengan pasti peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi.

   Umpama waktu itu mereka berdua dapat mendengar perkataan Hong Lo-su, rasa kaget, keheranan dan tidak habis mengerti yang mencekam hati mereka pasti akan berlipat ganda.

   Waktu itu Hong Lo-su telah berkata kepada lelaki berkapak sakti itu.

   "Tahukah kau, sebenarnya kau adalah anggota perguruan Tay ki bun?"

   "Tahu!"

   Sahut lelaki kekar itu. Sambil menuding ke arah Pek Seng-bu, Hek Seng-thian dan Suto Siau, kembali Hong Lo-su berkata.

   "Ketiga orang yang kutuding itu adalah musuh bebuyutanmu, sekarang juga cepat kau cabut nyawa mereka bertiga."

   "Baik!"

   Dalam pada itu si Dewa racun kembali berpekik aneh, bagaikan hembusan angin kencang dia merangsek ke sisi tubuh Im Gi, lalu dengan sepasang cakar beracunnya dia serang tubuh orang tua itu.

   Im Kiu-siau yang kebetulan menyaksikan kejadian itu jadi kaget setengah mati, segera jeritnya.

   "Toako, hati-hati!"

   Cepat Im Gi menjatuhkan diri menggelinding di atas tanah, dalam waktu singkat dia sudah berkelit sejauh beberapa tombak.

   Gagal dengan serangannya, kembali Dewa racun melesat maju, kali ini sepasang cakar setannya mengancam tubuh Im Kiu-siau.

   Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, dengan tergopoh-gopoh Im Kiu-siau menghindarkan diri, teriaknya kemudian.

   "Cing-su, Ting-ting, hentikan serangan dan cepat mundur!"

   Keempat orang itu segera melarikan diri dengan berpencar ke empat penjuru, namun Dewa racun tidak tinggal diam, sambil berpekik nyaring dia mengejar terus di belakang mereka.

   Melihat kejadian ini, Gi Beng dan Gi Teng kaget setengah mati, sebaliknya Suto Siau sekalian justru merasa amat girang Sayang sebelum mereka sempat tertawa terbahak-bahak karena kegirangan, lelaki bertelanjang kaki dengan kapak mautnya telah muncul di hadapan mereka, bahkan kapak raksasanya diputar bagaikan pusingan roda dan disertai deru angin tajam langsung dibacokkan ke arah kepala mereka.

   Kekuatan kapak maut tidak jauh berbeda dengan cakar beracun Dewa racun, tiada kekuatan manusia di dunia ini yang sanggup menandingi-nya.

   Suto Siau, Pek Seng-bu serta Hek Seng-thian pun terpaksa melarikan diri terbirit-birit ke empat penjuru, namun deru angin kapak yang tajam dan dahsyat seolah tidak pernah meninggalkan belakang tubuh mereka.

   Dalam waktu singkat dalam ruangan itu terlihat delapan sembilan sosok bayangan saling menerjang ke kiri, menerobos ke kanan diiringi teriakan, jeritan serta pekikan aneh yang menusuk pendengaran.

   "Menarik, menarik, sangat menarik...."

   Seru Hong Lo-su sambil bertepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak.

   "Hong-locianpwe,"

   Jerit Suto Siau dengan perasaan kaget.

   "kenapa kau... kenapa kau "Hahaha, lelaki bertelanjang kaki itu memang anggota perguruan Tay ki bun,"

   Seru Hong Lo-su sambil tertawa tergelak.

   "tentu saja dia akan mencari kalian untuk membuat perhitungan, buat apa kau berteriak-teriak memanggil aku... ?"

   Di pihak lain Gi Beng pun berteriak keras.

   "Coh... Coh-locianpwe... kenapa kau...."

   Coh Sam-nio tertawa terkekeh.

   "Hahaha, Leng It-hong memang anggota Ngo hok beng, apa salahnya kalau dia mencari anggota perguruan Tay ki bun untuk menuntut balas? Buat apa kau berteriak memanggil aku? Coba lihat, mereka yang terlibat dalam pertarungan saat ini, siapa yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian dan perselisihan itu? Orang luar mana yang terlibat dalam pertarungan itu? Bukankah cara kerja Sam-nio sangat adil?"

   Gi Beng merasa terkejut bercampur gusar, jeritnya.

   "Kau memang betul-betul keji! Kalian semua memang jahat dan kejam! Bukan saja kalian menghendaki seluruh anggota perguruan Tay ki bun punah, kalian pun berharap semua anggota Ngo hok beng mampus, sebenarnya apa maksud kalian melakukan hal ini?"

   "Bila mereka semua sudah mampus, bukankah kolong langit akan jauh lebih aman dan tenteram?"

   Sahut Coh Sam-nio sambil tersenyum.

   Gi Beng menarik napas dingin, kini dia benar-benar tidak tahu perkataan apa lagi yang bisa dikatakan.

   Mendadak dari luar celah dinding yang roboh terdengar seseorang membentak nyaring.

   "He, apa-apaan kalian semua? Mau memberontak? Semuanya berhenti!"

   Sesosok bayangan manusia meluncur masuk dengan kecepatan tinggi, ternyata dia adalah Hoa Bu-soat.

   "Hoa Bu-soat, kau tidak boleh ikut campur dalam urusan itu, cepat kemari,"

   Coh Sam-nio segera membentak keras.

   Di tengah suara bentakan itu, mendadak dia turun tangan secepat sambaran petir, Gi Beng hanya merasakan pandangan matanya kabur, belum sempat melihat jelas apa yang terjadi, tahu-tahu Sui Leng-kong yang berada dalam pelukannya telah direbut Coh Sam-nio.

   Hoa Bu-soat membalikkan tubuh dan meluncur ke hadapan Coh Sam-nio, tegurnya sambil tertawa dingin.

   "Budak ketiga, rupanya kau, sejak kapan kau berani memberi perintah kepadaku?"

   "Jici, baik-baikkah kau?"

   Sahut Coh Sam-nio sambil tertawa.

   "coba kau perhatikan, siapa-kah dia?"

   Begitu menyaksikan Sui Leng-kong yang berada dalam pelukannya, berubah hebat paras muka Hoa Bu-soat, teriaknya.

   "Putriku... kembalikan kepadaku, putriku.."

   Dalam pada itu Coh Sam-nio sudah mundur sejauh beberapa tombak dari posisi semula, katanya sambil tertawa.

   "Asal Jici tidak ikut campur persoalan ini, tentu saja Siaumoay akan segera mengembalikan putrimu."

   Hoa Bu-soat seperti akan menubruk lagi ke muka, tapi akhirnya dia urungkan niatnya, ujarnya sambil tertawa terkekeh.

   "Hahaha, bagus, budak ketiga, aku turuti perkataanmu, tapi jangan kau lukai putriku walau seujung rambut pun."

   "Aku saja senang melihat bocah perempuan ini, mana mungkin melukainya, Jici, kau tak usah kuatir, coba lihatlah, betapa menariknya pertarungan mereka."

   Dewa racun mengejar ketat anggota perguruan Tay ki bun, kecuali anak murid perguruan ini, dia tidak pernah menengok sasaran lain.

   Begitu pula dengan lelaki bertelanjang kaki itu, dia hanya mengejar Suto Siau bertiga, sementara mati hidup orang lain dia tidak peduli.

   Ketika anggota perguruan Tay ki bun saling bersimpangan dengan Suto Siau sekalian dalam kaburnya, setiap kali bersua, dalam kerepotan mereka masih sempat saling melepaskan pukulan untuk merobohkan lawan.

   Pemandangan waktu itu boleh dibilang sangat kalut, suasana pun terasa mengerikan dan menakutkan.

   Mendadak terlihat langkah Pek Seng-bu sempoyongan, diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati dia termakan bacokan maut kapak raksasa lelaki itu hingga tubuhnya terbelah jadi dua bagian.

   Sekalipun Gi Beng menaruh kesan jelek terhadap Pek Seng-bu, tidak urung kematiannya yang begitu mengenaskan membuat bulu kuduk-nya berdiri, dia merasakan segulung hawa dingin muncul dari dasar kakinya dan menyusup hingga ke atas kepala.

   Sementara itu lelaki bertelanjang kaki dengan mengayunkan kapak raksasanya yang penuh berlepotan darah sedang mengejar Hek Seng-thian.

   Biarpun Hek Seng-thian keji, jahat dan tidak berperasaan, namun kematian saudara angkatnya yang sudah mati hidup ber saman ya selama puluhan tahun seketika membuat matanya memerah, jeritnya pilu.

   "Jite,kau...."

   Belum selesai dia menjerit, percikan darah segar Pek Seng-bu yang menempel di mata kapak telah menodai seluruh pakaiannya, menyusul kemudian sebuah ayunan kapak langsung menghajar batok kepalanya.

   Belum selesai dia menjerit ngeri, batok kepalanya sudah terpenggal hingga mencelat jauh ke sudut ruangan.

   Suto Siau yang menyaksikan kejadian itu bergidik, nyalinya pecah berantakan, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan tertawa keras, tertawa kalap seperti orang gila.

   "Bagus sekali suara tawamu, bagus sekali suara tawamu ejek Hong Lo-su sambil tertawa aneh.

   Mendadak Suto Siau menerjang maju ke depan, lalu secepat kilat tubuhnya menerkam ke muka dan dia memeluk sepasang kaki Hong Lo-su kencang-kencang.

   Tindakan ini sama sekali di luar dugaan Hong Lo-su, mimpi pun dia tidak pernah mengira Suto Siau bakal berbuat begitu.

   Sekalipun kepandaian silat yang dimilikinya sepuluh kali lipat lebih hebat daripada kepandaian yang dimiliki Suto Siau, namun sepasang kakinya yang secara di luar dugaan dipeluk dan ditubruk orang kuat-kuat, membuat tubuhnya limbung dan tidak ampun seketika jatuh terguling ke bawah meja altar.

   Dalam waktu singkat kedua orang itu saling bergulingan di atas tanah.

   Terdengar Suto Siau berteriak sambil tertawa seram.

   "Kau menginginkan kematianku? Baik, aku pun menginginkan kematianmu...."

   Belum selesai perkataan itu diucapkan, kapak maut lelaki bertelanjang kaki itu sudah diayunkan ke bawah, langsung membacok batok kepala Suto Siau dan sisa kekuatannya masih sempat membacok kutung sepasang kaki Hong Lo-su.

   Diiringi jerit kesakitan yang memilukan hati, Hong Lo-su roboh tidak sadarkan diri, kelihatannya dia pun tidak bisa hidup lebih lanjut.

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sungguh tragis nasib jagoan yang tangguh dan berhati keji ini, pada akhirnya dia harus tewas di ujung senjata hambanya.

   Dalam waktu relatip singkat, sudah empat orang tewas dalam keadaan mengenaskan, bahkan kematian mereka yang satu jauh lebih tragis daripada yang lain, semuanya mati dengan tubuh hancur dan tidak utuh....

   Menyaksikan percikan darah segar yang muncrat ke empat penjuru dan menggenangi permukaan lantai, tidak kuasa lagi Gi Beng bergidik dengan bulu kuduk berdiri, biarpun sudah cukup lama dia berkelana dalam dunia persilatan, namun baru pertama kali ini dia saksikan pertempuran yang demikian seru dan mengerikan.

   Tidak kuasa menahan gejolak emosi dalam dada, gadis itu merasakan kakinya jadi lemas dan roboh terjengkang ke tanah.

   Coh Sam-nio sendiri pun tidak melangka akan terjadinya peristiwa tragis semacam itu, dengan wajah berubah hebat dia hentakkan kakinya berulang kali ke lantai, serunya.

   "Losu...

   Losu, kau...

   kau...."

   Untuk sesaat dia pun tidak sanggup melanjutkan perkataannya.

   Begitu menyaksikan tubuh Hong Lo-su roboh terjungkal, tiba-tiba Siang-tok Thaysu merasakan tubuhnya bergetar keras, sukmanya seakan-akan untuk sesaat kehilangan kendali, dia bangkit berdiri dengan wajah kebingungan.

   Lelaki bertelanjang dada pun ikut menghentikan gerakan tubuhnya dan berdiri mematung di tempat, mengawasi tetesan darah segar yang mengalir dari mata kapaknya, tiba-tiba sekulum senyuman bodoh tersungging di ujung bibirnya.

   Melihat semua musuh besarnya sudah tewas mengerikan di tangan saudaranya, Im Gi merasa terkejut bercampur girang, tapi melihat Dewa racun masih mengejar terus tiada hentinya, mendadak sambil menggigit bibir dia membentak keras.

   "Semua anggota perguruan Tay ki bun cepat berkumpul kemari."

   Im Kiu-siau, Im Ting-ting serta Thiat Cing-su serentak berlarian mendekat.

   Terdengar Im Gi berteriak lebih jauh.

   "Dendam kesumat perguruan Tay ki bun sudah terbalas, kini aku orang she Im bisa pergi tanpa sesal, aku tidak mau lagi dikejar dan dihina orang terus menerus, Leng It-hong, kemari kau!"

   Mendadak dia menghentikan langkahnya sambil membalikkan tubuh, kemudian secepat kilat menerjang ke hadapan Dewa racun.

   "Toako! Jangan...."

   Jerit Kiu-siau kaget. Tapi sayang, waktu itu cakar beracun Dewa racun telah tiba di hadapan Im Gi. Sambil tertawa seram, teriak Im Gi.

   "Dialah musuh besar terakhir perguruan Tay ki bun kita, biar aku mengadu jiwa dengannya."

   Bukannya menghindar, dia justru memapak datangnya serangan itu, sambil merentangkan sepasang lengannya dia menerkam ke depan dan memeluk tubuh Dewa racun kuat-kuat.

   Tubuh kedua orang itupun jatuh ke lantai dan saling bergulingan.

   Menyaksikan adegan yang menegangkan ini, semua orang merasakan anggota tubuhnya jadi dingin dan kaku, sukma seraya melayang meninggalkan raga.

   Tampak kedua orang jago itu bergulingan beberapa saat kian kemari, namun tiba-tiba mereka tidak bergerak lagi.

   Dengan nada pedih Im Kiu-siau segera menjerit.

   "Toako...

   Toako...."

   Im Ting-ting serta Thiat Cing-su ikut menangis tersedu-sedu, mereka tidak tahan menyaksikan keadaan gurunya.

   Baru saja ketiga orang itu siap menubruk ke depan jenazah Im Gi, tiba-tiba tubuh Dewa racun melejit dan berdiri kembali, berdiri bagai mayat hidup dengan sepasang cakar beracunnya diluruskan ke depan.

   Dalam waktu singkat suasana jadi hening, semua napas seolah berhenti secara tiba-tiba, sepasang cakar maut Dewa racun seakan-akan telah mencekik tenggorokan semua orang.

   Pada saat bersamaan itulah tiba-tiba dari luar pintu berkumandang suara tertawa seseorang yang merdu.

   "Aku tidak berbohong, di dalam sana pasti ada orang...

   Cihuku sayang, cepatlah ikut aku!"

   Biarpun suara tawanya merdu merayu, namun bagi pendengaran semua orang serasa mengandung nada misterius yang aneh.

   Di tengah gelak tertawa, empat orang berjalan masuk ke dalam ruangan dengan Leng Cing-peng berjalan paling depan, di belakangnya mengikut Im Kian, Hay Tay-sau yang jarang menampakkan diri serta Liu Ho-ih, si nona berbaju hijau yang ada di desa pandai besi.

   Kemunculan mereka bertiga di tempat ini sungguh di luar dugaan siapa pun, mereka tidak mengira akan terjadi hal seperti ini.

   Rupanya dalam pengembaraannya, Hay Tay-sau telah bertemu dengan Im Kian di padepokannya, perjumpaan yang tidak terduga ini membuat mereka berdua merasa cocok satu dengan lainnya.

   Hubungan mereka berdua semakin bertambah erat setiap kali Hay Tay-sau menyinggung soal Thiat Tiong-tong serta memuji kegagahan serta jiwa kependekarannya.

   Biarpun Hay Tay-sau orang yang tinggi hati, boleh dibilang dia amat mengagumi kehebatan Thiat Tiong-tong, padahal hubungan batin Im Kian dengan Thiat Tiong-tong pun amat akrab, maka kedua orang inipun sering bersulang demi kesela-matan anak muda itu.

   Im Kian yang cetek takaran minumnya sering dibuat mabuk kepayang, suatu ketika dalam mabuknya, sambil melelehkan air mata dia membeberkan rahasia besar pribadinya....

   Mengetahui rahasia itu, Hay Tay-sau yang tinggi hati kontan mencaci-maki Im Kian habis-habisan, dia menganggap tidak seharusnya Im Kian sebagai seorang lelaki sejati hidup mengasingkan diri, apapun yang bakal terjadi, apapun yang bakal menimpa dirinya, seharusnya dia berani tampil ke depan....

   Di bawah desakan yang berulang kali, akhirnya Im Kian membuang jauh semua sikapnya selama ini, dia pun keluar dari pondoknya yang telah dihuni selama ini dan bersama Hay Tay-sau terjun kembali ke dunia persilatan.

   Dalam perjalanan mengarungi dunia Kangouw, suatu hari kedua orang itu lewat di dusun pandai besi, di sana mereka bertemu Liu Ho-ih yang kehilangan akal dan kesadarannya sedang berdiri seorang diri di bawah pohon.

   Berdiri dengan termangu seperti orang gila.

   Tiba-tiba suara guntur yang menggelegar membelah pohon besar itu jadi dua bagian, Liu Ho-ih pun jatuh tidak sadarkan diri.

   Menyaksikan kejadian ini, tentu saja Im Kian dan Hay Tay-sau tidak berpangku tangan, cepat mereka menyelamatkan Liu Ho-ih yang pingsan dan menyelamatkan jiwanya dengan memberi pil mujarab.

   Siapa sangka gara-gara bencana itu Liu Ho-ih justru memperoleh keberuntungan, sambaran geledek yang menggetarkan tubuhnya justru memulihkan kembali kesadaran serta ingatannya.

   Dia pun mulai teringat dirinya adalah Hoa Ling-ling, putri kesayangan si Hujan Gerimis Hoa Bu-soat, dia pun teringat ketika kabur dari rumah gara-gara perkawinannya yang tidak disetujui.

   Suatu hari, di tengah hujan guntur yang deras, dia berdiri termenung di bawah pohon sambil membayangkan kekasihnya, sambaran petir saat itu membuatnya jatuh tak sadarkan diri.

   Ketika mendusin kembali, dia seakan lupa segalanya, maka semenjak itulah setiap kali berjumpa dengan hujan geledek, dia tak tahan untuk berlari keluar dari rumah dan berdiri di bawah pohon, dia seperti menantikan datangnya sesuatu.

   Sampai hari itu, kesadaran dan ingatannya yang sudah terenggut oleh sambaran petir, akhirnya balik lagi kepadanya....

   Mendengar kisah semacam ini, Im Kian serta Hay Tay-sau hanya bisa menggelengkan kepala sambil berdecak.

   Hoa Ling-ling yang berhasil memperoleh kembali ingatan serta kesadarannya pun tidak menetap lagi di dusun pandai besi, setelah berpamitan dengan saudara-saudara angkatnya, dia pun ikut Hay Tay-sau berdua mengembara dalam dunia persilatan.

   Sebenarnya dia masih tidak ingin pulang, dia hanya berharap bisa berjumpa lagi dengan Lui Siau-tiau.

   Ketika tiba di seputar tempat itu, dia pun mendengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan bahwa Lui-pian Lojin pernah diketahui jejaknya muncul di seputar bukit itu.

   Dengan cepat mereka bertiga naik bukit sambil melakukan pencarian, ketika sedang melakukan pelacakan, secara kebetulan mereka jumpai Sun Siau-kiau dengan membopong Sim Sin-pek sedang melarikan diri keluar dari celah bukit rahasiaku.

   Hay Tay-sau langsung membekuk Sim Sin-pek, Sun Siau-kiau yang pintar melihat gelagat buru-buru menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi.

   Maka mereka bertiga pun memasuki padang rumput, dimana mereka menjumpai Leng Cing-peng sedang mengembara seorang diri.

   Tentu saja Leng Cing-peng kenal Im Kian, tapi kesadaran dan ingatannya yang terganggu membuat dia seolah lupa bahwa Im Kian pernah mati, dia hanya tahu dia adalah iparnya, maka Im Kian pun menanyakan kejadian di tengah padang rumput itu.

   Akhirnya dia pun mengajak mereka memasuki gua rahasia itu.

   Begitu masuk ke dalam gua, Hoa Ling-ling langsung berteriak keras.

   "Ibu!"

   Im Kian dengan mata memerah berteriak pula.

   "Ayah!"

   Sedang Leng Cing-peng sambil tertawa berseru pula.

   "Ayah, ternyata kau berada di sini."

   Suara ketiga orang itu bercampur-baur tidak jelas, tapi masing-masing segera berlarian menuju ke arah orang yang di kasihnya.

   Mula-mula Hoa Bu-soat nampak tertegun, menyusul kemudian serunya sambil tertawa tergelak.

   "Hahaha, ternyata kaulah Ling-hng, gadis itu bukan...

   gadis itu bukan...

   oooh, Ling-ling putriku sayang, ibu amat merindukanmu."

   Im Kian yang menubruk ke atas jenazah Im Gi telah menangis tersedu-sedu.

   Bagaimana dengan Leng Cing-peng yang menubruk ke atas tubuh Dewa racun? Tentu saja Dewa racun Leng It-hong tidak mengenali putrinya lagi, ketika merasa ada orang menerkam tubuhnya, dia langsung mengayunkan telapak tangannya sambil melepaskan satu pukulan.

   "Duuuk!", diiringi suara benturan keras, Leng Cing-peng roboh terjungkal ke tanah, ternyata dia telah membunuh putri kesayangan-nya.

   Menjelang ajalnya, Leng Cing-peng sempat berseru sambil tertawa.

   "Ooh, ayah! Kau telah membunuh putrimu sendiri....

   kau telah membunuh putri kandungmu sendiri....

   menyenangkan....

   sungguh menyenangkan"

   Suara gelak tertawanya terdengar begitu memilukan hati, membuat perasaan orang hancur lebur.

   Genangan darah kental mulai meleleh membasahi permukaan lantai, namun kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya memang jauh melebihi kekuatan apapun.

   Gelak tertawa yang kalap dan mengenaskan membuat Dewa racun yang sebenarnya sudah mati rasa dan hilang pikiran merasakan tubuhnya bergetar keras, perlahan-lahan dia membalikkan tubuh, dengan mata melotot besar diawasinya wajah Siang-tok Thaysu tanpa berkedip.

   Begitu Siang-tok Thaysu pulih kembali pikirannya, racun yang mengeram dalam tubuh-nya pun mulai kambuh, begitu racun mulai bekerja, kesadarannya semakin terang.

   Tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan tertawa keras, teriaknya.

   "Bagus, bagus, aku hampir mati, Dewa racun perguruanku juga tidak boleh dipergunakan siapa pun...."

   Ketika dia melompat turun dari atas altar, kebetulan Dewa racun sedang berjalan menghampirinya, dalam waktu singkat kedua orang itu saling bergumul, mereka berguling, saling menghantam, saling mencakar...

   akhirnya suara tertawa pun makin melemah sebelum akhirnya sama sekali tidak bergerak lagi.

   Kali ini mereka benar-benar tidak bergerak lagi, mereka mati karena senjata makan tuan, Siang-tok Thaysu yang selama hidup bermain racun, akhirnya harus tewas di tangan Dewa racun, perguruan racun yang sudah lama membawa bencana dan sengsara bagi umat persilatan pun punah semenjak itu.

   Dalam waktu singkat suasana dalam ruangan itu jadi kalut.

   Kekacauan, kepedihan, kengerian, kesedihan bercampur-aduk jadi satu, suasana ketika itu betul-betul tidak bisa dilukiskan dengan ucapan.

   Paras muka Coh Sam-nio pucat pias tidak berdarah, tiba-tiba sambil tertawa seram dia berjalan menghampiri anggota perguruan Tay ki bun.

   Padahal saat itu semua anggota perguruan Tay ki bun masih berdiri dengan wajah tertegun, melongo dan tidak tahu harus berbuat apa, kematian Im Gi sang Ciangbunjin yang tiba-tiba, kemunculan Im Kian yang di luar dugaan, ditambah semua kengerian, kepedihan yang terjadi secara tiba-tiba telah membuat semangat mereka hancur berantakan.

   Jangankan manusia yang terdiri dari darah daging, manusia baja pun tidak akan tahan menghadapi perubahan seperti ini.

   Gi Beng jadi kaget melihat hal itu, dengan sigap teriaknya.

   "Hati-hati...

   Coh Sam-nio akan...."

   Sekonyong-konyong...

   "Kraaaak!", diiringi suara keras, dua buah patung dewa raksasa itu membelah jadi dua, disusul kemudian terlihat dua orang manusia berjalan keluar dari belahan patung itu.

   Orang yang berjalan paling depan adalah nenek tua berambut putih yang wajahnya penuh keriput, dia tidak lain adalah si nenek yang membawa sampan penyeberang di pulau Siang cun-to...

   Im Toa-nio, di sisi tubuhnya mengikut seseorang sambil membopong putrinya, dia tidak lain adalah Leng Cing-soat.

   Kembali terjadi kegaduhan, kembali terjadi kekalutan....

   Im Toa-nio memandang sekejap sekeliling tempat itu, memandang pula Im Kiu-siau yang selalu dicintainya, biarpun pemandangan tragis terpampang di hadapannya membuat emosinya bergelora, namun mimik mukanya sama sekali tidak menampilkan perubahan apapun.

   Dengan suara perlahan dia menegur.

   "Coh Sam-nio, kau masih tidak mau menghentikan langkahmu?"

   Coh Sam-nio berpaling, kemudian sahutnya sambil tertawa sedih.

   "Bagus, bagus, akhirnya penghuni pulau Siang cun-to datang juga kemari...."

   Mendadak tubuhnya jadi lemas, tidak tahu kenapa tiba-tiba dia roboh ke tanah.

   "Biarpun aku sudah datang, sayang kedatanganku kelewat terlambat,"

   Kata Im Toa-nio perlahan.

   "dendam kesumat perguruan Tay ki bun sudah terbalas, tapi begini tragis akhirnya... semua anggota perguruan Tay ki bun dengarkan baik-baik, apakah kalian tahu dengan pasti asal-muasal perselisihan ini?"

   Sambil menahan rasa sedih yang luar biasa, Im Kiu-siau maju ke depan, ujarnya sambil memberi hormat.

   "Mohon diberi petunjuk."

   Im Toa-nio tak berani menatapnya, sambil mengertak gigi, ujarnya.

   "Untuk mengetahui kejadian ini, aku harus bercerita mulai awal Ternyata Im dan Thiat sebagai cikal-bakal pendiri perguruan Tay ki bun meski sepak terjangnya gagah dan berjiwa ksatria, namun sikap mereka terhadap istri masing-masing justru sangat buruk.

   Im-hujin berasal dari marga Cu, sedang Thiat-hujin bermarga Hong, kedua orang Hujin ini bukan saja berjiwa saleh, mereka pun memiliki kepandaian silat tangguh.

   Cu-hujin mempunyai watak yang lebih keras, ketika hubungan suami istri kurang harmonis, dia pun mengembara jauh ke luar lautan dengan mendirikan perguruan sendiri, yakni Siang cun-to.

   Saat setiap anggota perguruan Tay ki bun menyia-nyiakan istrinya, dia pun segera menjemput mereka dan ditampung di pulau terpencil itu.

   Akibatnya pamor perguruan Tay ki bun kian hari kian bertambah suram dan merosot, sementara Siang cun-to makin lama semakin berjaya.

   Sementara itu Hong-hujin yang lebih lemah pendiriannya, tidak sanggup menahan siksaan batin yang menahun, akhirnya dia tewas secara mengenaskan.

   Adik Hong-hujin merasa sedih bercampur gusar melihat kakaknya mati tragis, dalam gusarnya dia berniat membalas dendam sakit hati ini.

   Namun bagaimanapun juga dia masih mempunyai hubungan dekat dengan pihak perguruan Tay ki bun, tentu saja tidak mungkin baginya untuk tampil sendiri, maka dia pun mengumpulkan murid-muridnya dari marga Seng, Leng, Pek, Hek dan Suto untuk membentuk persekutuan Ngo hok beng dan memerintahkan mereka untuk berontak.

   Sejak itu persekutuan Ngo-hok-beng bermusuhan dengan perguruan Tay ki bun, secara diam-diam jagoan perguruan Hong membantu usaha mereka, sementara pihak Siang cun-to berpeluk tangan tidak mencampuri urusan itu.

   Walaupun leluhur Ngo hok beng pernah berhutang budi kepada Im dan Thiat, namun budi yang diberikan kedua orang Hujin itu jauh melebihi kedua orang itu, karenanya sewaktu mereka membangun kuil untuk menyatakan rasa terima kasih, mereka pun membuat ruang kuil yang tidak kalah megahnya untuk memperingati kedua orang Hujin itu.

   Justru karena sikapnya itu, keluarga Hong baru bersedia membantu mereka secara diam-diam.

   Tapi kekuatan perguruan Tay ki bun waktu itu sangat hebat, kepopuleran mereka sedang pada puncaknya, dengan mengandalkan kekuatan beberapa orang, jelas tidak akan berhasil menghancur-kannya.

   Untuk keberhasilan rencana ini, keluarga Hong pun menghubungi beberapa orang tokoh sakti pada waktu itu untuk membantu mereka, kawanan jago itu tidak lain adalah para leluhur Lui-pian Lojin, Coh Sam-nio, Hoa Bu-soat serta Siang-tok Thaysu Ketika menurun sampai generasi berikutnya, meskipun beberapa keluarga persilatan ini tidak lagi ikut memusuhi perguruan Tay ki bun, namun mereka tetap menyimpan rapat rahasia besar itu, bahkan segera menunjukkan sikap tidak mencampuri urusan ini.

   Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Adapun leluhur Kaisar malam tidak lain adalah keluarga dekat Cu-hujin....

   Maka pertikaian perguruan Tay ki bun pun melibatkan banyak sekali jagoan lihai dunia persilatan, hanya saja karena tidak ingin kejadian itu menimbulkan gelombang yrang lebih besar, leluhur perguruan Tay ki bun maupun Ngo hok beng tidak pernah menjelaskan rahasia ini kepada anak cucunya.

   Kini setelah Im-toanio dengan kalimat yang paling sederhana menceritakan semua kejadian ini, sekalipun belum mengungkap detil yang lebih dalam, namun sudah lebih dari cukup untuk membuat para jago yang hadir bermandikan keringat dingin.

   Terdengar Im-toanio berkata.

   "Jit ho Nio nio yang berada di Pulau Siang cun-to saat ini tidak lain adalah istri Im Gi di masa lalu, ketika beliau mendengar tentang badai yang sedang berlangsung di sini, meski belum jelas duduknya persoalan, namun dia bisa menduga pasti ada sangkut-pautnya dengan perguruan Tay ki bun, maka beliau menitahkan aku datang kemari untuk memberi penjelasan, siapa tahu...

   aaaai! Ternyata sudah terjadi perubahan yang begini tragis, sekalipun aku menguasai jalan pintas gua rahasia ini, akhirnya toh datang terlambat juga."

   Kuil persembahan di tempat itu merupakan kuil untuk menyembah leluhur para penghuni pulau Siang cun-to, tidak heran Jit ho Nio nio pun mengetahui rahasia lorong rahasia ini, sementara Leng Cing-soat begitu tahu persoalan itu menyangkut perselisihannya dengan perguruan Tay ki bun, segera merengek kepada Im-toanio agar mengajaknya....

   Ketika selesai mendengar penjelasan itu, tiba-tiba Im Kiu-siau berseru dengan air mata berlinang.

   "Kalau memang pulau Siang cun-to tidak pernah mau mencampuri urusan perguruan Tay ki bun, kenapa sekarang....

   "Sebab Jit ho Nio nio pernah bersumpah,"

   Tukas Im toa-nio cepat.

   "asal ada seorang anak murid dari perguruan Tay ki bun yang mau mengorbankan nyawanya demi istrinya, maka dia akan...."

   Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba dari bawah altar terdengar seseorang menangis tersedu-sedu, ternyata orang itu tidak lain adalah Un Tay-tay yang telah ditotok jalan darahnya oleh Suto Siau.

   Im-toanio segera membebaskan totokan jalan darahnya sambil berkata dengan lembut.

   "Anak baik, jangan menangis...

   bukankah Jit ho Nio nio adalah ibu kandung Im Ceng? Siapa tahu dia tidak tega membiarkan putranya benar-benar mati? Siapa tahu di bawah tebing jurang itu ada tuan penolong yang menyelamatkan jiwanya..."

   "Sesungguhnya dia...

   dia masih hidup atau sudah mati?"

   Tanya Un Tay-tay sambil terisak. Im Toa-nio termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata.

   "Mati atau hidup, lebih baik pergilah periksa sendiri!"

   Kemudian sambil melompat naik lagi ke atas meja altar, ujarnya seraya menghela napas.

   "Kini urusanku sudah selesai, sudah saatnya aku harus pergi."

   "Terima kasih untuk perjalanan Hujin,"

   Bisik Im Kiu-siau sambil menahan rasa sedih.

   "Hujin, kau...."

   Tampaknya Im-toanio tidak kuasa menahan diri untuk menengok sekejap ke arahnya, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun akhirnya tidak sepatah kata pun yang diucapkan.

   Ketika berpaling ke arah lain, tidak tahan air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.

   Akhirnya perempuan yang hidup dalam kepedihan ini pergi dari situ, pergi dengan perasaan remuk.

   Kalau toh Im Kiu-siau sudah tidak mengenalinya, buat apa dia harus melemparkan perasaan cintanya lagi? Kalau kekasih sudah berubah jadi orang asing, daripada bersua lebih baik tidak bertemu muka, berjumpa hanya meninggalkan kepahitan dan kegetiran.

   Ketika patung dewa menutup kembali, Leng Cing-soat pun berlarian menghampiri Im Kian.

   Setiap kejadian yang berlangsung saat ini, kalau bukan kesedihan yang luar biasa tentu merupakan kegembiraan yang luar biasa, ketika kesedihan bertautan dengan kegembiraan, manusia mana yang mampu menahan diri? Akhirnya suasana menjadi tenang kembali, yang tersisa kini hanya kegetiran dan kepahitan yang membekas.

   Saat itulah Hoa Ling-ling memohon kepada semua orang untuk mencarikan jejak Lui-pian Lojin dan putranya.

   Benar saja, di bawah reruntuhan bebatuan cadas, mereka menemukan tubuh Lui-pian Lojin dan putranya serta tubuh Liu Ji-uh dan Liong Kian-sik.

   Lui-pian Lojin dan putranya duduk berhimpitan di bawah sudut gua yang tidak runtuh, ternyata tidak menderita luka parah.

   Perjumpaan sepasang kekasih yang lama berpisah tentu saja dilalui dalam suasana yang tidak terlukiskan.

   Sui Leng-kong yang baru tersadar dari pingsannya hanya bisa duduk sedih menyaksikan adegan itu.

   Melihat sepasang kekasih yang saling bertemu, melihat ibu anak yang berkumpul kembali, lalu melihat pula Gi Beng yang bersandar di pundak Thiat Cing-su, tiba-tiba satu perasaan pedih muncul di hatinya.

   Akhirnya meledaklah isak tangis gadis itu, teriaknya.

   "Tiong-tong...

   Tiong-tong...

   Thiat Tiong-tong..

   kenapa justru kau seorang yang mati!"

   "Thiat Tiong-tong tidak mati!"

   Tiba-tiba Lui Siau-tiau berbisik.

   "Apa... apa kau bilang?"

   Jerit Sui Leng-kong sambil mencengkeram bajunya.

   "Sewaktu berbaring di atas tanah tadi, aku sempat mendengar ada suara pembicaraan bergema dari bawah tanah, ada seorang kakek berkata.

   "Thiat Tiong-tong, aku telah menyusahkan dirimu, apakah kau menyesal?". Seorang yang lain, aku rasa pasti Thiat Tiong-tong segera menjawab.

   "Mati hidup ditentukan Thian, kenapa aku harus menyalahkan kau orang tua? Selama hidup aku Thiat Tiong-tong tidak pernah memalukan langit dan bumi, kenapa mesti takut menghadapi kematian?"

   Sui Leng-kong segera melompat bangun, jeritnya gemetar.

   "Sung... sungguh?"

   Sambil tertawa tergelak Hay Tay-sau berseru.

   "Hahaha, aku yakin pasti benar, kecuali Thiat Tiong-tong, manusia mana lagi di dunia ini yang sanggup berbicara segagah itu? Hahaha...

   Thiat Tiong-tong, wahai Thiat Tiong-tong, aku sudah menduga kau tidak bakal mati, jika kau mampus, akan jadi apa dunia ini? Hahaha, semua peristiwa yang tragis sudah lewat, yang tersisa sekarang hanya kegembiraan.

   Suatu hari nanti, aku pasti akan membujuk Bi Lek-hwe untuk kembali jadi orang preman dan ikut aku mengembara dalam dunia persilatan, jadi orang biasa pasti lebih enak daripada jadi Hwesio...."

   Berita yang baru diterima membuat semua orang terkejut bercampur gembira, tanpa membuang waktu lagi semua orang bekerja keras menggali tanah.

   Dengan tenaga gabungan beberapa orang jago tangguh ini, tidak sampai setanakan nasi mereka telah berhasil menggali hingga mencapai gua bawah tanah dimana Kaisar malam berada.

   Tapi yang mereka jumpai di sana hanya hancuran batu yang berserakan bagai kuburan, sama sekali tidak nampak bayangan manusia pun.

   Kemana perginya mereka? Kenapa tidak ada manusia di situ? Semua orang menelusuri setiap jengkal lorong, namun tetap tidak ditemukan sesosok bayangan manusia pun....

   Kemana perginya Kaisar malam, Thiat Tiong-tong serta kawanan gadis itu? Kemana mereka pergi? Kegembiraan yang datang kelewat cepat, selalu mendatangkan kekecewaan yang berat.

   Kembali semua orang bahu membahu menggali reruntuhan bebatuan itu, namun yang mereka jumpai tetap lorong rahasia yang kosong.

   Kemana perginya Thiat Tiong-tong? Kenapa jejaknya tidak ditemukan? Di antara sekian banyak orang, hubungan Im Kiu-siau, Im Ting-ting, Thiat Cing-su serta Im Kian terbatas hanya hubungan persaudaraan dengan Thiat Tiong-tong, sedang hubungan Sui Leng-kong adalah hubungan cinta yang mendalam, sebaliknya Un Tay-tay menganggap pemuda itu sebagai idola yang susah dilupakan.

   Bukan hanya mereka, Hay Tay-sau, Leng Cing-soat, Hoa Lingling serta Seng Cun-hau pun merasa pernah berhutang budi pada pemuda ini.

   Kegagalan mereka menemukan jejak Thiat Tiong-tong seketika mendatangkan pukulan batin yang berat bagi orang-orang itu, untuk sesaat semua terpekur murung, isak tangis bergema memecah keheningan.

   Dengan air mata bercucuran, ujar Gi Beng.

   "Aku tidak pernah punya keinginan apa-apa dalam hidupku, tapi sekarang ada satu keinginan yang mencekam perasaanku, aku menyesal kenapa tidak punya kesempatan bersua dengan Thiat Tiong-tong, aku...."

   "Tidak usah bicara lagi,"

   Tiba-tiba Hay Tay-sau membentak nyaring.

   "Thiat Tiong-tong toh belum mati, kita masih punya kesempatan untuk bertemu lagi dengannya, dia...

   dia tidak mungkin mati, siapa tahu saat ini dia sudah berada di luar samudra, hidup bagaikan seorang dewa...."

   "Bisa jadi dia masih terkurung dalam gua ini,"

   Sambung Sui Leng-kong sambil menangis.

   "tidak berhasil menemukan jalan keluar, harus menahan lapar, menahan dahaga...."

   "Kalian semua pergilah"

   Sela Im Kian.

   "biar aku tetap tinggal disini, biar aku yang pergi mencari."

   "Aku pun akan tetap tinggal di sini"

   Serentak Sui Leng-kong, Un Tay-tay, Im Ting-ting, Thiat Cing-su, Hay Tay-sau serta Leng Cing-soat berseru.

   "Baik,"

   Ucap Im Kiu-siau dengan air mata berlinang.

   "aku tahu, inilah keinginan kalian, sayang aku masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, aku tidak bisa menemani kalian, semoga tiga bulan kemudian ketika aku balik kemari lagi, kalian telah berhasil menemukannya, bila saat itu kalian... kalian tidak menemukannya... maka aku...."

   Isak tangis membuatnya tidak mampu melanjutkan perkataannya.

   Sebenarnya Thiat Tiong-tong masih hidup atau sudah mati? Dalam tiga bulan mendatang apakah mereka berhasil menemukannya? Persoalan semacam ini memang amat pelik, susah untuk menemukan jawabannya.

   Tapi bagaimanapun juga, bila pemuda berhati baja ini masih hidup, dia pasti akan Melakukan karya lain yang lebih menggemparkan, bila sudah mati, diapun akan menjadi seorang setan berjiwa ksatria.

   Badai yang melanda padang rumput akhirnya mereda, kini yang tersisa hanya selembar panji sakti yang berkibar dibawah timpaan cahaya sang surya.

   TAMAT Catatan akhir cerita Berikut adalah kisah penutup Pendekar panji sakti.

   Ketika Thiat Tiong-tong bersama Ya-te berhasil meloloskan diri dari lorong bawah tanah, mereka menjumpai Sui Leng-kong sekalian yang sedang melakukan pencarian di sepanjang pesisir laut, betapa senangnya semua orang saat itu, apa lagi buat Sui Leng-kong selain bisa bertemu kekasihnya juga bisa bertemu dengan ayahnya yang baru pertama kali di lihatnya.

   Kaisar Malam sendiri juga seperti lupa pada sumpahnya.

   Dalam suatu kesempatan Thiat Tiong-tong bertanya pada Sui Leng-kong tentang pernikahannya dengan Cu Cau, ketika tahu kesalahan fatal itu tidak sampai terjadi, tidak terlukiskan rasa girang hati Thiat Tiong-tong.

   Maka setelah berhasil membangun kembali perguruan Thi hiat tay ki bun dan menjadi ketuanya, Thiat Tiong-tong pun menikah dengan Sui Leng-kong, sedang yang menjadi buah hati mereka adalah "Coh Liu-hiang"

   Yang tentu saja harus bermarga "Thiat.

   Jit ho Nio nio yang tahu Im Ceng adalah putra kandungnya, tentu saja tidak membiarkan putranya mati ketika melompat ke dalam jurang, sesuai dengan sumpahnya, bila ada anak murid Thi hiat tay ki bun yang rela mengorbankan nyawa demi kekasih hatinya, dia akan melupakan semua perselisihannya dengan perguruan itu, jadi dia pun menolong Im Ceng dan menjodohkannya dengan Un Tay-tay.

   Buah hati dari perkawinan Im Ceng dan Un Tay-tay tidak lain adalah Ci Peng-eng.

   Sesuai dengan maksud dan tujuan perguruan Thi hiat tay ki bun, maka Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Ci Peng eng bersama-sama mengembara dalam dunia persilatanserta menghadapi dan membela detisp ketidak-adilan yang terjadi dalam dunia persilatan.

   Tamat.

   Sekilas catatan tentang Pendekar Harum Pendekar Harum merupakan karya Gu Long yang berbau detektif dengan lakon bernama Coh Liu-hiang, tokoh yang romantis, tenang, berpikiran cermat dan berjiwa setia kawan.

   Tentang tokoh yang satu ini, Gu Long hanya mengisahkan perjalanan hidupnya, asal-usulnya hanya disinggung secara sepintas.

   Banyak pembaca curiga Ya-te (Kaisar Malam) adalah guru Coh Liu-hiang, tapi ternyata tidaklah begitu, Gu Long belum pernah menjelaskan secara detil asal-usul pendekar yang satu ini.

   Mari kita menelaah asal-usul Pendekar Harum Coh Liu-hiang.

   1.

   Pertama kali Gu Long menyinggung asal usul Coh Liu-hiang adalah dalam cerita Peristiwa Burung Kenari (hal 348-349).

   Lamkiong Yan menepekur sebentar seperti sedang mengingat tingat, katanya kemudian lebih kalem.

   "Orang ini seperti pula Coh Liu-hiang, orang Kang-ouw tiada satu pun yang tahu asal-usul ilmu silat mereka, yang diketahui mereka semula dari keturunan keluarga besar yang turun temurun, sejak kecil kegemarannya berlatih silat, maka dirumahnya mengundang banyak sekali guru silat, tapi kepandaian silat asli yang mereka bekal sekarang, bukan hasil didikan guru-guru silat di rumahnya itu."

   Oh Thi-hoa tersenyum sambil mengangguk kepala, katanya.

   "Ya, sedikit pun tidak salah."

   Oleh karena itu banyak orang curiga, dalam keluarga mereka ada tokoh silat yang amat lihai bersembunyi di rumahnya dan secara rahasia mendidik dan mengajar ilmu silat kepada mereka.

   Tapi ada pula yang curiga, mereka menemukan buku pelajaran silat peninggalan entah Cianpwe yang mana."

   Oh Thi-hoa tetap tertawa, ujarnya.

   "Kau bisa tahu begini banyak, tentu tidak mudah mendapat bahan-bahannya."

   Lamkiong Yan tidak menghiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut.

   "Akan tetapi, meski dibesarkan bersama Coh Liu-hiang, ilmu silat mereka justru jauh berbeda, ilmu silat yang dipelajari mengutamakan kekerasan, mirip ilmu silat Thi hiat tay ki bun masa lalu."

   Kini Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, kulit mukanya terasa kaku dan mulut pun melongo keheranan. Tapi dia melirik pun tidak, Lamkiong Yan meneruskan uraiannya.

   "Dulu setelah Thi Tiong-tong (Thiat Tiong tong-Pendekar Panji Sakti) menegakkan perguruan Thi hiat tay bun ki, Ya-te ayah beranak lantas pesiar keluar lautan dengan seorang Cianpwe yang bernama Ji cu-han, mereka pernah lewat di kampung kelahiran orang ini, maka menurut dugaan, ilmu silat yang dipelajari Coh Liu-hiang didikan langsung dari Ya-te (Kaisar Malam), sementara Ji cu-han (lelaki telanjang kaki-Pendekar Panji Sakti) menerima orang ini sebagai murid."

   Oh Thi-hoa menghela napas, katanya seperti mengigau.

   "Tebakanmu meski tidak tepat juga tidak meleset terlalu jauh, tidak heran orang Kangouw gentar terhadap kalian, agaknya kalian punya kebolehan yang lebih unggul dari orang lain."

   Dari penuturan di atas, jelas telah di beberkan asal-usul Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa.

   Tatkala Lamkiong Yan mengatakan.

   "Ilmu silat yang dipelajarinya mengutamakan kekerasan, mirip ilmu silat Thi hiat tay ki bun masa lalu".

   Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, kulit muka nya terasa kaku dan mulut pun melongo keheranan.

   Hal ini menyimpulkan bahwa Oh Thi-hoa memang ada hubungan erat dengan perguruan Thi-hiat-tay-ki-bun.

   Kemudian ketika Lamkiong Yan menduga ilmu silat Coh Liu-hiang hasil didikan Ya-te, sedang si lelaki bertelanjang kaki (Ji-cu-han) menerima Oh Thi-hoa sebagai murid, waktu itu Oh Thi-hoa menghela napas, katanya seperti mengigau.

   "Tebakanmu meski tidak tepat juga tidak meleset terlalu jauh...."

   Hal ini menunjukkan bahwa ilmu silat Coh Liu-hiang bukan dipelajari dari Ya-te dan Ji cu-han pun bukan guru Oh Thi-hoa, namun menunjukkan pula bahwa Oh Thi-hoa maupun Coh Liu-hiang mempunyai hubungan erat dengan perguruan Thi hiat tay ki bun.

   2.

   Dari judul buku Pendekar harum (Coh Liu-hiang Toan-ki) disebut juga Thi hiat toan ki (Kisah darah baja), sementara Tayki-Enghiong-toan) disebut juga Thi hiat tay ki (Panji sakti darah besi).

   
Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mustahil tanpa sebab Gu Long memberi judul Thi hiat toan ki untuk cerita Coh Liu-hiang Toan-ki, hal ini menunjukkan Oh Thi-hoa maupun Coh Liu-hiang memang benar mempunyai hubungan dengan Thi-hiat tay ki bun.

   Tapi apa hubungannya? Pada halaman 185 cerita Peristiwa Burung Kenari, dikatakan.

   Entah mengapa pada detik-detik sebelum ajal, pikirannya mendadak melayang ke tempat nan jauh di sana, di suatu tempat di pucuk utara yang bertanah salju.

   Terbayang olehnya waktu dirinya masih kecil, waktu dia bersuka ria bergulingan dengan Oh Thi-hoa di bukit salju, secara diam-diam Oh Thi-hoa menyusup kan segenggam salju yang dingin ke dalam lubang baju di lehernya.

   Gumpalan salju itu terus melorot turun sampai di dada, dia merasa di waktu kecil dulu mirip benar dengan keadaan sekarang.

   Kehidupan mereka amat susah, hal ini bukan hanya satu kali Gu Long menyinggungnya, mustahil mereka berasal dari keluarga persilatan kenamaan, keturunan keluarga persilatan kenamaan tidak akan mengalami kehidupan susah seperti Coh Liu-hiang, terlebih tidak mungkin bisa membentuk watak tenang, tidak gampang panik.

   Bagi yang telah membaca Tay ki Enghiong toan (Pendekar Panji Sakti) pasti tahu bahwa semua anak murid perguruan Thi hiat Tay ki bun dibesarkan di wilayah bersalju di luar perbatasan, padahal Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa pun tumbuh dewasa di tanah bersalju.

   Dari sini bisa disimpulkan bahwa Coh Liu-hiang maupun Oh Thi-hoa sesungguhnya adalah anggota perguruan Thi hiat tay ki bun, bisa jadi mereka she Thi (Thiat) dan she Im, sedang nama yang mereka gunakan adalah nama samaran.

   Dari julukan Su Coh Liu Hiang (Hokkian) atau Si Chu Liu Xiang (Pinyin), empat penjuru meninggalkan bau harum, bila kita buang huruf Su atau Si nya, maka tinggal Coh Liu-hiang (Chu Liu Xiang).

   Sementara julukan Hoa ou-tiap (Hu Tie Hoa), bunga kupu-kupu, bunyinya persis sama dengan nama Oh Thi-hoa.

   Hal ini membuktikan nama Oh Thi-hoa pun palsu.

   Bila guru Coh Liu-hiang bukan Ya-te, lalu siapa? Dari perkataan Lamkiong Yan, jelas Coh Liu-hiang menguasai ilmu silat Thi hiat tay ki bun dan ilmu silat Ya-te.

   Dalam Pendekar panji sakti, dimana Thiat Tiong-tong (Thi Tiong-tong) terkurung di bawah lorong bawah tanah selama tiga bulan bersama Ya-te, pada saat itu Ya-te telah mewariskan segenap kepandaian silatnya kepada Thiat Tiong-tong, waktu itu Thiat Tiong-tong mengira dialah penyebab terjadinya perkawinan antar saudara, Sui Leng-kong dengan Cu Cau, sehingga untuk menghilangkan tekanan batin yang dideritanya, dia mengalihkan seluruh konsentrasinya mempelajari ilmu silat.

   Dengan ilmu Kia ie sin kang (Ilmu baju pengantin) yang dimiliki, dia berhasil mempelajari seluruh kepandaian silat Ya-te hanya dalam waktu tiga bulan saja.

   Ketika kemudian Thiat Tiong-tong terjun kembali kedalam dunia persilatan, tentu saja ilmu silat yang dia gunakan adalah ilmu silat Ya-te, dari sini bisa disimpulkan bahwa Coh Liu-hiang tanpa perlu belajar langsung dari Ya-te mampu menguasai ilmu silatnya, sebab Coh Liu-hiang mempelajari dari Thiat Tiong-tong.

   Dari sini bisa ditarik kesimpulan kalau ilmu silat yang dipelajari Coh Liu-hiang berasal dari Thiat Tiong-tong.

   Bukankah Coh Liu-hiang murid Thi hiat tay ki bun? Dengan sendirinya Thiat Tiong-tong sebagai Ciangbunjin perguruan itu akan mewariskan seluruh ilmu silatnya kepada anak muridnya.

   Lalu bagaimana dengan aliran silat Oh Thi-hoa? Karena Oh Thi-hoa pun murid Thi hiat tay ki bun, lagi pula aliran silatnya bersifat keras, tentu saja dia mempelajarinya dari Im Ceng serta Im Kian.

   Kalau benar Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa adalah murid perguruan Thi hiat tay ki bun, berarti mereka pun mempunyai hubungan darah dengan Thiat Tiong-tong serta Im Ceng, padahal ilmu silat Coh Liu-hiang dipelajari dari Thiat Tiong-tong, maka besar kemungkinan antara Thiat Tiong-tong dan Coh Liu-hiang ada hubungan darah.

   Dari cerita Legenda Kelelawar hal 457-458.

   "Ksatria besar yang kumaksudkan itu ialah ketua Tay ki bun (Perguruan Panji Besar), pendekar besar yang tiada bandingannya, jago nomor satu di dunia, Thi-tayhiap, Thi Tiong-tong!"

   Demikian sekata demi sekata Gui Heng-liong menjelaskan.

   Thi Tiong-tong! Demi mendengar nama ini, mendadak suasana menjadi sunyi senyap, semua orang sama menahan napas.

   Selama ratusan tahun ini, kalau ada seorang tokoh persilatan yang benar-benar dihormati dan dikagumi serta pantas mendapat predikat 'nomor satu di dunia', maka orang itu adalah Thi Tiong-tong!"

   Lalu terdengarlah orang banyak menghela napas panjang. Sampai agak lama barulah Ci-lotoa mengembuskan napasnya, lalu bertanya pula.

   "Anda kenal Thi-tayhiap?"

   Lantaran nama Thi Tiong-tong', panggilannya kepada Gui Heng-liong seketika berubah menjadi sungkan pula....

   "Thi-tayhiap memang terkenal dingin di luar, panas didalam.

   Terhadap orang paling jahat sekalipun dia tetap memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki diri, dalam hal ini dia memang sama dengan Coh-hiangswe,"

   Ujar Ci Put-coan.

   Dari kalimat terakhir, semakin membuktikan bahwa antara Thiat Tiong-tong (Thi Tiong-tong) dengan Coh Liu-hiang kemungkinan besar mempunyai hubungan darah, apalagi ketenangan Coh Liu-hiang dalam menghadapi persoalan, kecermatan dan ketelitiannya dalam mengatasi keadaan, kesetiakawanan serta kebajikannya sangat mirip Thiat Tiong-tong.

   Jika antara mereka berdua tidak ada hubungan, mengapa dalam Legenda Kelelawar Gu Long merasa perlu membahas Thiat Tiong-tong panjang lebar? Maka 90% Coh Liu-hiang adalah anak Thiat Tiong-tong dengan Sui Leng-kong.

   Judul Kisah Pendekar Harum seharusnya Kisah darah besi, sedang Kisah Pendekar panji sakti seharusnya berjudul Panji Sakti Darah Besi.

   Bila Coh Liu-hiang dari she Thiat, kemungkinan besar Oh Thi-hoa dari she Im, sebab Gu Long selalu mengisahkan dua keluarga itu serta latar belakang perguruan Thi hiat tay ki bun.

   Karena usia Oh Thi-hoa jauh lebih tua ketimbang Coh Liu-hiang, maka besar kemungkinan Oh Thi-hoa adalah putra Im Kian dengan Leng Cing-soat.

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   Tiraikasih WEBSITE
http.//kangzusi.com

   

   

   

   

Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong Neraka Hitam -- Khu Lung

Cari Blog Ini