Ceritasilat Novel Online

Golok Halilintar 10


Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 10



Golok Halilintar Karya dari Khu Lung

   

   ia yakin dapat merobohkan Sin Houw dalam tiga jurus saja.

   Sekiranya tidak demikian, paling tidak akan bisa membuat pemuda itu kelabakan.

   Diluar dugaan, gerakan-gerakan pemuda itu yang nampaknya sederhana saja, ternyata gesit dan licin luar biasa, Betapa dia menghujani pukulan-pukulan deras dengan berbagai tipu-tipu muslihat tinggi, tetap saja tak mampu menyentuh tubuh Sin Houw, Keruan saja ia jadi terkejut dan terheran-heran, Dirasakannya suatu keanehan yang sangat tak dapat dimengerti.

   Mengapa pukulan-pukulan dan gerakan-gerakannya yang sederhana itu, tak dapat terkejar oleh pukulan Tangan Besi yang termashur kecepatannya sejak puluhan tahun yang lalu? Sama sekali ia tak pernah mimpi, bahwa diatas puncak gunung Hoa-san, seorang petapa sakti bernama Bok Jin Ceng, telah berhasil meniupkan nyawa baru ke dalam jurusjurus Hok-houw ciang yang sederhana.

   Dan pemuda itu telah mewarisinya dengan sangat sempurna, ia pun tak pernah mengira pula, bahwa seorang pendekar besar lainnya bernama Bok-siang Tojin, telah mewariskan ilmu kepandaian "Mengejar Angin"

   Kepada pemuda itu, Maka ditangan pemuda itu.

   Hok-houw Ciang mendadak saja berubah kemujijatannya.

   Tubuhnya berkelebatan tak ubah bayangan saja! Keruan saja Kam Song Si makin lama makin menjadi sibuk.

   Bagaimana ia berusaha, tetap saja tak dapat mendekati tubuh Sin Houw, ia malah merasa diri kena libat terusmenerus.

   Akhirnya ia berpikir didalam hati.

   "Teranglah sudah, bahwa ia tidak bermaksud jahat terhadapku agar aku tak usah menanggung malu, Meskipun demikian kalau kesudahannya aku tak dapat berbuat sesuatu, bocah setan itu akan memperolok aku juga, Lantas bagaimana baiknya?"

   Dirumun pikirannya sendiri , kesibukannya berubah menjadi rasa cemas.

   Dengan serta-merta ia menghimpun seluruh kepandaiannya, lalu melancarkan serangan dengan sungguhsungguh dan cermat.

   Gerakannya dipercepat, sedang tiap pukulannya membawa ancaman maut, Meskipun demikian, tetap saja nihil, seakan-akan tiada bedanya dengan pukulannya yang pertama.

   Pada saat itu Sin Houw berpikir didalam hati.

   Sesungguhnya tidak mudah orang memiliki ilmu Tangan Besi setinggi dia, aku harus berani mengalah, agar dia tak usah menanggung malu menghadapi si mulut jail Giok Cu..."

   Setelah memperoleh keputusan demikian, ia sengaja menggelincirkan sebelah kakinya, seketika itu juga geraknya menjadi lambat.

   Kam Song si girang melihat adanya suatu lowongan.

   Tetapi didalam hati tiada niatnya hendak mencelakai pemuda itu, ia hanya ingin merobek kain bajunya saja, artinya ia sudah memperoleh kemenangan.

   Demikianlah, dengan cepat diterkamnya pundak Sin Houw, Bidikannya tepat, tetapi kesudahannya ia heran bukan kepalang, Jelas sekali terkamannya sudah berhasil mencekeram daging, tetapi tibatiba daging yang dicengkeramnya itu menjadi keras dan licin.

   ia kaget dan cengkeramannya itu menjadi luput seperti seorang menangkap belut yang tiba-tiba lolos dari tangannya.

   jelas ia tidak mengetahui bahwa hal itu terjadi, berkat baju mustika Bok-siang Tojin yang dihadiahkan kepada pemuda itu beberapa tahun yang lalu.

   Sin Houw tahu diri, ia lantas lompat mundur sambil berkata.

   "Aku menyerah!"

   "Akh! Kau sengaja mengalah!"

   Sahut Kam Song Si setengah mengeluh tetapi dengan rela hati ia tersenyum sambil membungkuk hormat. Justru pada saat itu, si mulut jail menimbrung.

   "Memang dia mengalah, kau tahu atau tidak? syukur, apabila kau tahu!"

   Merah padam wajah Kam Song Si disemprot Giok Cu.

   sebagai seorang pemimpin suatu perserikatan, tersinggunglah kehormatannya, segera ia hendak membuka mulutnya untuk mempertahankan kehormatannya, mendadak terjadilah suatu peristiwa lain.

   Diseberang sungai beberapa puluh orang datang berbondong-bondong dengan membawa obor menyala.

   Mereka berteriak-teriak.

   "Mana anak itu? Bawa kemari! Kami ingin mengiris dagingnya demi menenteramkan arwah Jie Cu Pang!"

   Giok Cu menoleh. Melihat datang puluhan orang hendak menuntut balas kepadanya, mau tak mau hatinya menjadi kuncup, segera ia memepetkan tubuh kepada Sin Houw.

   "Kam Cay Sim! Bawalah seseorang kemari !"

   Perintah Kam Song Si.

   Dengan cepat, sampai lah rombongan itu ditepi sungai.

   Akan tetapi perahu A siong berada agak jauh dari tepi.

   Dua orang lantas terjun kedalam air, mereka berenang timbul-tenggelam seakan akan dua ekor ikan terbang.

   Dalam sekejap saja sudah meloncat keatas geladak.

   "Bungkusan emas sudah di lemparkan anak setan itu ke dalam air, panggil teman-temanmu dan cari bungkusan emas itu"

   Teriak Wong Bun Cit sambil menuding kearah terlemparnya bungkusan emas.

   Dan menerima perintah ketuanya mereka berdua lantas saja terjun ke sungai lagi.

   Ciok Cu yang memepetkan badannya pada Sin Houw, menarik lengan pemuda itu dan berkata dengan suara memohon.

   "Mereka hendak membunuh aku tolonglah aku!"

   Thio Sin Houw menoleh, ia melihat wajah Giok Cu yang sedih mengibakan hati. Lantas saja ia memanggut.

   "Kalau begitu, kau tariklah jangkarnya selagi mereka sibuk mencari bungkusan emas itu!"

   Bisik Giok Cu yang merasa bersyukur.

   Gerak-gerik Giok Cu sudah barang tentu tak lepas dari perhatian Kam Song Si, segera ia bertindak, Akan tetapi ia kalah sebat.

   Tiba-tiba saja Giok Cu menyambar sebuah bangku tempat bergadang, yang terletak ditepi perahu lalu dilemparkannya kearah ketiga musuhnya.

   Inilah kejadian diluar dugaan.

   Su Eng Nio dan Wong Bun Cit yang tidak menduga sama sekali bakal diserang secara mendadak, tak sempat lagi mengelakkan diri, Mereka berdua tercebur ke dalam air.

   Kie Song Si masih sempat menangkis sambaran bangku itu, Dengan tangannya yang kuat bagaikan besi, ia menangkap kaki bangku itu, Lalu dengan sekali remas kaki bangku itu patah berantakan.

   Berbareng dengan itu, ia melompat ketepi perahu.

   ia bebas dari serangan Giok Cu, akan tetapi bingung melihat kedua rekannya tercebur ke dalam sungai.

   Itulah sebabnya, lantaran ia tahu kedua rekannya itu tak pandai berenang.

   sedangkan Kam Cay Sim dan kawannya pada waktu itu sudah menyelam kedasar sungai, dan jaraknya agak jauh, Tetapi ia seorang yang berpengalaman, segera ia menjangkau sebuah bangku yang berada di tangannya, sambil menggenggam sebelah kaki bangku itu erat-erat, Maksudnya, agar mereka berdua dapat menyambar ujung kaki bangku masing-masing sebelah.

   Kemudian segera akan dihentakkan keatas, Tiba-tiba saja hatinya menjadi panas ketika teringat kepada Giok Cu.

   Menuruti kata hatinya, tak sudi ia membiarkan anak itu tak berbalas, Maka ia lemparkan bangku itu ke sungai sambil berseru.

   "Apungkan diri kalian dengan memegang bangku itu sebagai alat pengapung! Anak itu biarlah kuhajarnya mampus dahulu!"

   Berbareng dengan seruannya, ia menyambar penggayuh salah seorang anak buah A siong. Giok Cu pun berbuat demikian pula dengan membolangbalingkan penggayuh itu sebagai penggada, Giok Cu melindungi mukanya rapat-rapat.

   "Kau tariklah jangkarnya, cepat!"

   Serunya kepada Sin Houw.

   Dengan sebat sekali Thio Sin Houw menyambar tali jangkar, kemudian dihentakkan.

   Dan jangkar itu terangkat naik dari gili-gili dan melayang keperahu, Hebat perbawa jangkar yang sedang melayang itu, Nampaknya seperti wajar saja akan jatuh diatas geladak, Tetapi sebelum itu, mendadak saja bisa menyelonong menyambar dada Kam Song Si.

   Keruan saja orang tua itu kaget.

   Cepat-cepat ia melompat menyingkir Giok Cu pun berbuat demikian pula.

   Dengan demikian mereka jadi berpisah.

   Dan pada saat itu, perahu bergerak mengikuti arus sungai.

   sedang Sin Houw menyambar jangkar yang akan jatuh di atas geladak dengan tenang-tenang saja.

   Kam Song Si kagum menyaksikan tenaga Sin Houw, yang dapat menyambut datangnya jangkar.

   selagi demikian, hatinya tercekat pula melihat bergeraknya perahu makin lama makin cepat.

   Kalau sampai terpisah dari kawan-kawan nya, bakal celaka.

   Maka dengan sekali menjejakkan kakinya, ia melesat ke tebing sungai.

   Tetapi, perahu sudah terlanjur bergerak menjauhi tebing sungai jaraknya melebihi limabelas meter.

   Dengan sekali melihat, tahulah Sin Houw bahwa orang tua itu tak akan mampu mencapai tebing.

   Cepat-cepat ia mengangkat jembatan perahu dan dilemparkan keatas air.

   Waktu itu Kam Song Si sudah mengeluh.

   Tak dapat dielakkan lagi, bahwa ia bakal tercebur di dalam air.

   selagi demikian, ia melihat kelebatnya selembar papan di depannya.

   Betapa girang rasa hatinya, tak ter-katakan lagi.

   Terus saja ia mendarat pada papan itu, kemudian dengan menjejakkan kakinya, ia melompat ke darat.

   Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih kepada pemuda itu, berbareng mengaguminya.

   "Hai!"

   Seru Giok Cu mendongkol.

   "Untuk kesekian kalinya kau berbaik hati terhadap orang tua itu, Heh, sebenarnya kau hendak membantu aku apa dia? Biarkan dia tercebur ke dalam sungai, bukankah dia tidak bakal mati?"

   Thio Sin Houw tahu bahwa tabiat pemuda itu aneh, karenanya tak mau ia melayani.

   Terus saja ia masuk ke dalam gubuk dan merebahkan diri.

   Giok Cu jadi kian mendongkol, ingin ia mendampratnya tetapi Sin Houw bersikap membungkam mulut.

   Maka terpaksalah dia merangkaki gubuknya pula dengan muka bersungut.

   ***** KEESOKAN HARINYA tatkala matahari hampir condong ke barat, sampailah perahu A siong di Sin-bun.

   Thio Sin Houwmenghaturkan terima kasih kepada Lim Tek Lin, kemudian memberikan bayaran kepada A siong.

   Tetapi Lim Tek Lin mencegah.

   Katanya.

   "Jangan! Biarkan aku yang membayar."

   Saudagar itu merasa berhutang budi terhadap pemuda itu.

   seumpama tak ada dia, barang-barangnya bakal diludaskan oleh perampok tadi malam.

   Thio Sin Houw tak mau mengecewakan kehendak Lim Tek Lin yang ingin membalas jasa, setelah menghaturkan terima kasih, segera ia berpamit, Di luar dugaan, Giok Cu pun hendak mendarat pula, Kata pemuda itu kepada Lim Tek Lin.

   "Aku juga tahu, bahwa kau tak akan mengijinkan aku pula untuk membayar sewa perahu.

   Tetapi aku tak sudi kau perlakukan demikian, Aku seorang penumpang, dan aku akan tetap membayar."

   Dan setelah berkata demikian, ia meraup segenggam uang emas dan ditariknya diatas meja.

   "A Siong, inilah beaya perjalananku, Kau ambillah!"

   A siong sebenarnya adalah seorang mata duitan, tetapi setelah mengenal perangai dan tabiat penumpangnya yang muda itu, tak berani ia menerima pembayaran itu lantaran takut kena salah. Maka dengan lagak berpura-pura bodoh, ia menyahut.

   "Eh, siauw-ya, Aku tidak mempunyai uang pengembalian ..."

   "Siapa yang kesudian menerima uang kembalian. itu untukmu semua!"

   A siong tercengang, Mulutnya sebenarnya sudah mengilar, tetapi ia tak berani buru-buru menerima rezeki itu, ia jadi nampak berbimbang, sahutnya dengan suara gemetar.

   "Tak usah sebanyak itu ..."

   "Akh! Kau juga termasuk bangsa cerewet!"

   Bentak Giok Cu.

   "Kalau kau tak mau menerima, aku akan membocorkan perahumu!"

   Diancam demikian, A siong kaget seperti disambar petir, gugup ia menyahut.

   "Oh, kalau begitu terima kasih."

   Giok Cu kemudian membuka bungkusannya.

   Begitu terbuka, sinar gemerlapan memantul keluar oleh cahaya matahari.

   Dengan serta merta ia meletakkan di atas alas meja, lalu dihitungnya, semuanya berjumlah tiga ratus potong emas, ia membagi menjadi dua bagian, yang sebagian segera dimasukkannya ke dalam bungkusan pakaiannya dengan cekatan.

   Dan sebagian lagi disorongkan ke depan Sin Houw.

   "lni bagianmu!"

   Katanya.

   "Apa?"

   Sin Houw tercengang. Giok Cu tertawa puas, dan wajahnya mendadak saja kelihatan manis. Katanya.

   "Apakah kau mengira aku benar-benar telah membuang emas rampasan ini ke dalam sungai? Huh! Masakan aku sebodoh itu. Mereka boleh menggerayangi seluruh dasar sungai. Sekiranya berhasil, mereka akan menemukan sebungkusan batu saja ..."

   Setelah berkata begitu, lantas saja ia tertawa geli.

   Thio Sin Houw menghela napas.

   Giok Cu lebih muda dari pada dirinya, tetapi umur semuda itu sudah bisa mengelabui Kam Song Si, seorang pemimpin gerombolan perampok yang sudah banyak makan garam, Benar-benar mengagumkan! "Saudara Giok Cu, aku tak membutuhkan uang emas itu, Kau ambillah untukmu sendiri- Kalau tadi aku membantumu bukan lantaran uang emasmu ...."

   Kata Sin Houw.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tetapi ini pemberianku kepadamu"

   Kata Giok Cu cepat.

   "Uang emas ini, bukannya kau yang merampas. Jadi bagimu, merupakan uang emas halal! Kenapa kau berlagak sebagai seorang pendekar berhati palsu?"

   Thio Sin Houw tetap menggelengkan kepala, ia tak mau menerima uang emas pemberian Giok Cu.

   Lim Tek Lin adalah seorang saudagar besar.

   Dalam tata hidup persoalan harta benda, bukan merupakan hal asing baginya, Dengan sendirinya, ia mengenal baik manusia dan perangainya.

   Akan tetapi melihat kedua pemuda itu, ia heran sekali.

   Yang seorang tak dapat menghargai arti uang emas, dan yang lainnya menganggapnya masalah ringan.

   Yang seorang mendesak hendak memberi, dan yang lain menolak dengan keras.

   selama hidup melampaui setengah abad, belum pernah ia melihat peristiwa demikian ! "Tak perduli kau mau apa tidak, aku harus memberikannya kepadamu!"

   Kata Giok Cu dengan suara nyaring, Tiba-tiba ia melompat ke darat.

   Thio Sin Houw tertegun, tetapi segera tersadar, iapun melompat memburu.

   Akan tetapi Giok Cu dapat berlari cepat, Sayang, ia ketemu batunya, Dengan sekejapan saja Sin Houw dapat melombainya.

   "Tunggu!"

   Kata Sin Houw sambil memegat larinya.

   "Kau bawa sajalah emasmu ini!"

   Giok Cu berusaha menerobos melalui samping kiri dan kanan, namun sia-sia belaka, Tanpa mampu ia melintasi Sin Houw, Dengan sengitnya, tiba-tiba ia menyerang muka Sin Houw.

   Thio Sin Houw menangis serangan-nya, dengan tangan kiri ia menolak, sebenarnya ia tidak menggunakan tenaga dalamnya, akan tetapi Giok Cu kena di dorong mundur tiga langkah.

   Merasa diri tak akan sanggup lolos dari pegatan Sin Houw, mendadak saja Giok Cu menjatuhkan diri dan duduk bersimpuh diatas tanah.

   Dengan tiba tiba pula ia menangis tersedu.

   "Apakah aku menyakitimu?"

   Tanya Sin Houw dengan hati cemas. ia mengira tangkisannya tadi, membuat Giok Cu kesakitan lengannya.

   "Siapa bilang aku kesakitan?"

   Seru Giok Cu sambil melompat bangun.

   Dengan tiba-tiba saja ia melesat tinggi melampaui Sin Houw yang sedang berjongkok.

   Thio Sin Houw jadi tercengang-cengang, Dengan mata tak berkedip, ia mengawasi kepergian Giok Cu yang tak lama kemudian lenyap dari penglihatan.

   "Benar-benar aneh tabiatnya ...."

   Sin Houw bergumam seorang diri, ia kagum akan kecerdikan pemuda itu. Tetapi ia heran pula terhadap tabiatnya yang aneh, Dengan hati geli, terpaksalah ia membawa bungkusan emas yang diperuntuk kan baginya. pikirnya sambil berjalan memasuki kota.

   "Tak enak hatiku, sebelum dapat mengembalikan emas ini kepadanya. Aku membantunya semata-mata bukan karena uangnya. Kalau aku menerima emasnya seolah-olah menerima bagianku,Dikemudian hari, bukankah aku bisa dituduh orang bersekutu dengan dia?"

   PADA MALAM HARINYA Thio Sin Houw menginap di sebuah rumah penginapan.

   Di dalam kamarnya, berbagai pertimbangan memenuhi pikirannya.

   Tujuannya memasuki wilayah perbatasan hendak mencari gurunya.

   Tak terduga ditengah jalan ia menemukan suatu peristiwa yang mengikat.

   Bagaimana kelak ia harus mempertanggung jawabkan emas yang dibawanya itu kepada gurunya.

   Rasanya sukar ia memberikan pertanggungan jawab, Maka makin kuatlah ketetapannya hendak mencari Giok Cu sampai ketemu, kemudian emas itu harus diserahkan kembali.

   Apabila ia menolak, akan ditinggalkannya saja.

   Kalau tak salah, pernah ia menyebut-nyebut nama dusun Kie-lok cun, dan keluarganya disebut-sebut orang keluarga Thio dari Cio-liang pay.

   Mengapa tidak kususul saja? pikirnya didalam hati.

   Keesokan harinya, ia segera berangkat mencari jalan menuju ke dusun Kie-lok cun, Ternyata dusun itu berada disebelah barat gunung Leng-san.

   Untuk mencapai dusun itu, setidak-tidaknya membutuhkan waktu dua hari.

   Dalam usahanya mencari keluarga Thio, didusun itu Sin Houw bertanya kepada seorang petani perempuan.

   "Subo, bolehkah aku minta petunjukmu?"

   Tanyanya. Petani perempuan itu menatap wajahnya, dengan ramah ia menyahut.

   "Tentu, Tetapi aku ini orang dusun , nak. petunjuk apa yang akan kau minta?"

   "Tahukah subo, dimanakah keluarga Thio dari Cio-liang pay bertempat tinggal ?"

   Mendadak saja wajah perempuan itu berubah, keramahannya tadi lenyap. Lalu menyahut kasar.

   "Aku tak tahu, cari saja sendiri ...!"

   Setelah menyahut demikian ia melanjutkan pekerjaannya. Thio Sin Houw heran, apa sebab perempuan itu berubah sikapnya? sambil berjalan, ia mencoba menebak-nebak teka teki itu, Ditengah jalan ia bertemu dengan seorang pedagang keliling.

   "Nah, mungkin dia bisa memberi petunjuk."

   Pi-kirnya. Lantas saja ia mendekati sambil bertanya.

   "Heng-tiang, bolehkah aku numpang bertanya? Dimanakah tempat tinggalnya keluarga Thio dari Cio-liang pay?"

   Pedagang keliling itu berhenti, ia memperhatikan pemuda yang menanya, kemudian menegas.

   "Apa perlunya saudara menanyakan tempat tinggalnya keluarga itu?"

   "Aku hendak mengembalikan bungkusan titipannya."

   "Kalau begitu, anda sahabatnya, bukan? sebaiknya anda cari saja sendiri, apa perlunya bertanya kepadaku?"

   Untuk kedua kalinya, Sin Houw menjadi heran.

   selain itu, ada perasaan malu menyelomot lubuk hatinya.

   Mengapa orang itu tiba-tiba jadi kasar.

   Apakah penduduk sekitar gunung Leng-san memang manusia-manusia kasar? Kemudian ia mencari seorang kanak kanak yang berusia kurang dari sepuluh tahun untuk menanyakan keterangan.

   seorang kanak-kanak dibawah umur sepuluh tahun, masih bersih tabiatnya, setelah menyelipkan dua cie uang didalam tangannya, ia bertanya ramah.

   "Adik, tahukah kau tempat tinggal keluarga Thio dari Cioliang pay?"

   Anak itu sudah menggenggam mata uang pemberiannya, tetapi tiba-tiba saja mengembalikannya sambil menuding.

   "Kau mencari rumahnya? ItuI istana yang besar itu!"

   Dan setelah berkata demikian, bocah itu lari menjauhi.

   Kembali Thio Sin Houw heran, Tetapi dia sesungguhnya bukan pemuda yang tak pandai berpikir.

   Sejak ia bertemu dan melihat perubahan sikap petani perempuan, segera dapat menebak delapan bagian.

   Kalau saja ia minta keterangan lagi kepada seorang pedagang keliling dan seorang bocah, semata-mata lantaran ingin memperoleh keyakinan.

   Bukankah orang yang memperkenalkan namanya Thio Kun Cu dahulu itu, sepak-terjangnya bengis dan kejam, Terhadap saudaranya sendiri, sampai hati ia membunuhnya demi memperoleh kitab sakti warisan Gin coa Long-lun, juga Giok Cu, adalah seorang pemuda yang kejam dan aneh tabiatnya.

   Bagi orang dusun yang berwatak dan hidup sederhana, tabiat Giok Cu yang aneh itu pastilah dibencinya.

   Rumah yang disebut sebagai istana oleh sibocah cilik tadi, sebenarnya bukanlah sebuah istana dalam arti kata yang sebenamya, Rumah itu hanya besar dan berhalaman luas, kesannya mentereng dan angker.

   letaknya disebuah bukit yang terlindung oleh gerombol pepohonan lebat.

   Dari dalam halaman yang luas, Sin Houw mendengar suara riuh orang.

   Kemudian muncullah duapuluh ampat orang petani dengan membawa pacul dan kapak.

   Para petani itu berkerumun dan merundingkan sesuatu diluar pagar batu.

   Kemudian masuk halaman lagi sambil berteriak-teriak.

   "Hei! Kalian dari Cio-liang pay! Kalian telah membunuh tiga orang teman kami! jangan enak-enak berpeluk lutut! Apakah kalian boleh berbuat seenaknya? Hayo, ganti jiwa ketiga teman kami itu ...! "

   Diantara mereka, terdapat delapan orang perempuan yang membiarkan rambutnya kusut masai dan terurai.

   Mereka menangis menggerung-gerung sambil memaki.

   Melihat hal itu, tergeraklah hati Sin Houw, ia jadi teringat pada pengalamannya sendiri, yang merasa diperlakukan tidak adil oleh hidup, Maka ia mendekati, kemudian bertanya.

   "Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?"

   Seseorang menoleh kepadanya.

   Menjawab.

   "Saudara agaknya seorang pendatang, pastilah tidak mengetahui apa yang telah terjadi.

   Keluarga Thio dari Cioliang pay merupakan tataran tinggi diantara penduduk sini, sejak dahulu keluarga itulah yang memegang kendali penghidupan.

   Mereka semua pandai berkelahi, sehingga menjagoi wilayah sini,"

   Seorang lain lagi, menambahkan keterangan itu.

   "Mereka keluarga tuan tanah yang bengis, kekayaan mereka adalah himpunan darah kami, Kemarin mereka mendatangi nenek Jung Cin, menagih uang sewa tanah - nenek Jung Gin minta waktu pelunasan pembayaran sewa tanah dalam beberapa hari saja, Mereka menjadi gusar, nenek yang sudah keropos tulang belulangnya itu, didorongnya dengan kasar. Tentu saja kena dorong mereka, ia mundur sempoyongan dan jatuh terbalik. Kepalanya membentur batu, dan ia mati pada saat itu juga, Anak dan keponakan nenek Jung Cin menuntut balas, mereka melabrak dengan nekad tetapi kena dihajar roboh sehingga luka-luka berat. Apakah tindakan mereka itu tidak kejam?"

   Selagi orang itu memberi keterangan kepada Thio Sin Houw, seorang petani lain sedang menumbuk-numbukkan bajaknya pada pintu depan yang tertutup rapat, Dan pemudapemuda lainnya melempari batu.

   Sekonyong-konyong terbukalah pintu depan, dan sesosok bayangan melesat keluar, sebelum orang-orang melihat tegas bayangan itu, tujuh orang temannya telah roboh terpelanting, kepala mereka bermandikan darah! "Dia keji sekali!"

   Pikir Sin Houw yang lantas menajamkan matanya, agar memperoleh penglihatan yang lebih jelas lagi.

   Bayangan itu berperawakan jangkung kurus, kulit mukanya bersemu kuning, Dengan sepasang alisnya yang berdiri tegak, siapa saja akan segera memperoleh kesan bahwa dia seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.

   "Kalian benar-benar sekumpulan anjing dan babi!"

   Bentaknya dengan garang .

   "Mengapa kalian merusak rumah kami? Apakah kalian tak mengenal aturan ?"

   Biasanya, orang memaki untuk memperoleh jawaban. Tetapi sebelum para petani sempat membuka mulutnya, dia bergerak lagi dengan gesit. Tujuh orang terlempar jatuh menungkurup ditanah.

   "Hebat tenaga orang ini,"

   Pikir Sin Houw.

   "seperti potongan jerami saja ia melemparkan orangi pastilah dia adalah salah seorang keluarganya Giok Cu, Kalau dia dahulu menyertai Giok Cu tak perlulah aku membantunya. Kegesitan dan kekuatannya, bisa menandingi Kam Song Si dengan leluasa sekali ...

   "

   Pada waktu itu, seorang petani berusia kurang lebih empat puluh tahun, memajukan diri, ia diikuti oleh dua orang pemuda yang berdiri di sampingnya - kata orang itu.

   "Kalian telah membunuh orang. Apakah kami hanya berhak menabuh kentongan saja? Benar, kami ini sekumpulan manusia-manusia miskin, tetapi kami bukan sekumpulan anjing atau babi seperti katamu itu, jiwa kamipun sama harganya dengan jiwa kalian!Hidung sama-sama satu, dan telinga sama-sama dua ..."

   Orang jangkung kurus itu tertawa mendengus. sahutnya.

   "Jika belum aku bunuh beberapa orang lagi, rasa-rasanya kalian anjing-anjing ini masih saja menyalak terus."

   Sekali berkelebat, ia menangkap petani yang membuka mulutnya itu, Tiba-tiba tubuhnya kena dijunjung tinggi. Kemudian dilemparkan keluar pagar batu.

   "Enyah!"

   Bentaknya nyaring.

   Kedua orang pemuda yang menyertai petani itu, menjadi gusar, Berbareng mereka menyerang dengan paculnya, Yang diserang menangkis dengan tangan kirinya, dan kedua pacul mereka kena dihentakkan tinggi diudara lalu jatuh di atas tanah, selagi mereka berdiri terkejut, orang jangkung kurus itu sudah berhasil menangkap tengkuknya masing-masing, Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi dan dilemparkan kearah sebuah batu besar, Jelas sekali maksud orang jangkung kurus itu, dia hendak menghancurkan kepala mereka pada batu, Keruan saja gerombolan petani-petani lainnya menjerit kaget.

   Thio Sin Houw mengambil keputusan hendak melihat gelagat dahulu, meskipun hatinya ikut menjadi panas menyaksikan kelakuan orang jangkung kurus itu, pikirnya.

   "Aku ingin bertemu dengan Giok Cu, kalau belum-belum aku menerbitkan perkara, bukankah bakal menghadapi kesukaran?"

   Tetapi pada waktu itu, dia melihat melayangnya tubuh kedua pemuda itu hendak terbentur pada batu, Kalau dibiarkan saja, kepala mereka berdua bakal pecah berantakan.

   Meremanglah bulu tengkuknya, Mendadak ia lupa kepada segala pertimbangannya.

   Terus saja ia melesat dengan menggunakan ilmu mengejar angin ajaran Bok-siang Tojin, lantaran kesempatannya yang sempit.

   Dengan kedua tangannya, ia menangkap tubuh mereka berdua dan diturunkan perlahan-lahan diatas tanah.

   Orang jangkung kurus itu terkejut, pikirnya didalam hati.

   "Anjing-anjing dan babi-babi itu berani memasuki pekaranganku, tak tahunya mereka mempunyai jago andalan..."

   Memperoleh pikiran demikian, ia membentak sengit.

   "Hei, sahabat! Apakah kau jago undangan mereka untuk mempersulit kami."

   Thio Sin Houw memutar tubuh, membungkuk hormat sambil menjawab.

   "Maafkan kelancanganku, sebenarnya tiada sangkutpautku dengan mereka. Kalau aku mengulurkan tangan, semata-mata karena melihat adanya ancaman jiwa, saudara mempunyai kepandaian begini tinggi, kenapa adatmu tiada beda dengan orang-orang dusun itu?"

   Menyaksikan sikap hormat Sin Houw, orang jangkung kurus itu heran. ia pun mendengar tutur-kata Sin Houw yang diucapkan dengan halus. ia memuji pula kepandaiannya. Rasa curiga dan marahnya lantas saja lenyap sebagian. Tanyanya.

   "Sebenamya siapakah kau, sahabat? Apa sebab kau ikutikutan pula mengunjungi rumah kami?"

   "Namaku Sin Houw, salah satu sahabatku mungkin tinggal disini..."

   "Siapakah sahabatmu itu? Akupun merupakan salah seorang anggauta keluarga Thio dari Cio-lang pay."

   "Sahabatku itu bernama Giok Cu, usianya kurang lebih delapan atau sembilan belas tahun. Parasnya cakap sekali, dan mengenakan pakaian seorang pelajar."

   Orang jangkung kurus itu lantas manggut memaklumi, kemudian berputar menghadapi gerombolan petani yang belum bubar juga, Dengan sikap bengis ia menantang.

   "Apakah kalian hendak mencari mati ? Mengapa masih saja berkumpul disini."

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Melihat Sin Houw berbicara dengan si orang jangkung kurus itu seperti sahabat lama, gerombolan petani jadi bimbang hatinya, Mereka melihat, Sin Houw berkepandaian tinggi pula, Maka seorang demi seorang lantas memutar tubuh dan pergi.

   sebentar saja, mereka telah bubar seperti sekawanan burung sawah kena halau.

   "Sahabat, mari masuk!"

   Undang si jangkung kurus.

   Thio Sin Houw menerima baik undangan itu.

   segera ia mengikutinya dari belakang, memasuki halaman rumah yang luas, Rumah itu sendiri, memang seperti istana, Berpendopo luas dan bertiang sentausa, Di dinding tengah, terbacalah sederet tulisan yang berbunyi.

   Thio Kan Thong, lahir dan mati seorang diri! Alangkah sombong bunyi tulisan itu, akan tetapi penuh keyakinan akan kekuatan diri sendiri.

   Thio Sin Houw segera menyiratkan pandang kepada perabotan rumah yang serba mentereng.

   Diam-diam ia heran.

   pikirnya.

   "Perabotan ini terdiri dari barang barang mahal, sedang rumah ini berada di dusun. perlengkapan demikian kalau bukan karena besarnya pengaruh, pastilah lantaran kekejamannya memaksa penduduk untuk mencari alat mengangkutnya. Seumpama kedua-duanya tidak, tentunya keluarga ini kaya raya sehingga mampu membeli dan mendatangkan perabot rumah yang mahal-mahal dari jauh."

   Thio Sin Houw menyadari bahwa hati tuan rumah masih merasa tak senang terhadapnya, walaupun nampaknya ia ramah, itulah sebabnya., ia bersikap merendahkan hati dan berhati-hati.

   "Aku harap saudara mau memanggil sahabatku Giok Cu, agar aku bisa menyerahkan barangnya."

   Katanya mencoba.

   "Giok Cu adalah adikku,"

   Sahut orang itu.

   "aku sendiri bernama Kun Jie, Adikku sedang bepergian, kau tunggulah sebentar!"

   Sebenarnya Thio Sin Houw tak sudi berada didalam rumah keluarga itu lama-lama, tetapi ia harus mengembalikan bungkusan emas itu kepada Giok Cu, maka terpaksalah ia menyabarkan diri, Namun sampai siang hari, Giok Cu tak muncul-muncul juga, ia menjadi gelisah.

   Apakah bungkusan emas itu diserahkan saja kepada Kun Jie? Akh, rasanya kurang kena, ia berpikir pulang-balik.

   Dalam pada itu Kun Jie memanggil para pembantu rumah tangganya, menghidangkan makan siang, Lezat laukpauknya, terdiri dari masakan daging babi dan ayam.

   Benar-benar keluarga itu memiliki harta bertimbun, Sin Houw menggurumiti hidangan makan siang itu dengan berdiam diri.

   Dalam hati, ia mencoba menjauhkan kesan-kesannya yang buruk.

   Namun, ia tetap seorang pemuda jujur, Makin ia berusaha menjauhi, makin merumunlah kesan kesan buruknya.

   Sampai matahari condong ke barat, Giok Cu belum juga muncul.

   Habislah sudah kesabarannya, Lantas ia meletakkan bungkusannya diatas meja, Sekarang, ia memutuskan hendak menyerahkan barang itu kepada Kun Jie saja, Bukankah dia salah seorang anggauta keluarganya? Dan yang penting didalam hal ini, yalah jangan sampai dirinya membawa-bawa emas yang tidak syah.

   Maka katanya.

   "Saudara Kun Jie! inilah bungkusan milik adikmu, Tolong, sampaikan kepadanya, sekarang idzinkan aku ..."

   Belum selesai ucapannya, ia mendengar suara orang tertawa riuh datang dari luar rumah.

   Diantaranya terdengar suara tertawa seorang perempuan, ia merasa kenal bunyi tertawa itu, lantas saja ia menoleh.

   Bukankah itu suara tawa Giok Cu? Dan benarlah dugaannya.

   Di antara mereka, nampak Giok Cu berjalan bergandengan.

   "Ha, itulah! Adikku sudah pulang!"

   Kata Kun Jie. ia bangun dari kursinya dan keluar pendopo hendak menyambut kedatangan mereka, Sin Houw pun akan ikut serta, akan tetapi Kun Jie buru-buru mencegahnya. Katanya dengan suara memerintah.

   "Saudara Sin Houw, duduk sajalah ditempatmu!"

   Thio Sin Houw heran.

   Akan tetapi ia tak dapat membangkang kehendak tuan rumah.

   setelah menunggu sekian lamanya, tetap saja Giok Cu tak muncul dihadapannya, sebaliknya yang menemuinya lagi adalah Kun Jie.

   sewaktu hendak minta penjelasan, Kun Jie berkata ramah.

   "Adikku sedang ganti pakaian. sebentar lagi ia akan keluar menemui saudara."

   Pemuda itu ternyata masih harus menunggu sampai sekian lamanya, sampai kemudian Giok Cu muncul dengan wajah nampak berseri-seri, Katanya setengah berseru.

   "Saudara Sin Houw! Aku sangat girang, kau sudi mengunjungi rumahku."

   "Kau lupa membawa bungkusanmu .."

   Sahut Sin Houw sambil menuding kepada bungkusan yang tadi diletakkan di atas meja. Melihat bungkusan itu, wajah Giok Cu berubah. Tegurnya.

   "Ternyata kau benar-benar tidak menghargai aku." "Bukan begitu."

   Sahut Sin Houw cepat.

   "Nah, sekarang idzinkan aku pergi."

   Segera ia bangkit dari kursinya dan membungkuk hormat untuk berpamitan. Tetapi Giok Cu menolak pemberian hormatnya , ia menekap pergelangan tangan Sin Houw, Berkata.

   "jangan! Kularang kau pergi!"

   Sin Houw kaget berbareng heran. ia merasakan tangan Giok Cu sangat lunak.

   "Ada satu hal yang hendak kutanyakan kepadamu, saudara Sin Houw, Maka kuharap kau sudi bermalam disini!"

   "A... aku mempunyai urusan penting, tak dapat aku bermalam disini... kelak, kalau urusanku sudah selesai aku akan singgah dan bermalam disini."

   Sin Houw menolak dengan suara gugup.

   "Tidak! Kau harus bermalam disini ...!"

   Giok Cu memaksa. Tiba-tiba Kun Jie yang selama itu duduk diantara mereka, menimbrung.

   "Kalau saudara Sin Houw memang mempunyai urusan penting, tak dapat kita memaksanya. janganlah kita menghambat perjalanannya."

   Giok Cu bersungut, wajahnya muram - setelah menyenak napas, ia berkata mengalah.

   "Baiklah, kalau kau hendak segera berlalu. Tetapi bawalah bungkusan ini serta, saudara Sin Houw, Rumahku memang tak pantas, dari itu kau tak sudi bermalam disini. Artinya kau tidak menghargai aku, Baiklah ... silahkan!"

   Sin Houw jadi berbimbang-bimbang, Hatinya merasa tak enak membuat kecewa kenalannya itu yang bermaksud baik, Tetapi ia harus cepat-cepat berangkat mencari gurunya, setelah berdiri menimbang beberapa saat lamanya, akhirnya ia memutuskan.

   "Saudara Giok Cu, kau sangat baik kepadaku, Baiklah, biarlah malam ini aku menginap disini."

   Mendengar keputusan Sin Houw, maka Giok Cu menjadi girang bukan kepalang, wajahnya berubah berseri-seri dan terus saja ia berteriak memanggil para pembantu rumah tangganya, memberi perintah.

   "Kau sediakan makanan dan minuman hangat!"

   Kun Jie nampak tak senang hati mendengar keputusan Sin Houw, Meskipun demikian, ia tak meninggalkan tempat itu, Masih saja ia duduk menemani mereka.

   Hanya saja, ia bersikap membungkam.

   Giok Cu sangat gembira.

   ia berbicara tentang senandung, tentang dongeng rakyat, kepercayaan penduduk, ilmu silat dan lain sebagainya.

   Sebab pada waktu itu pikirannya sedang risau hendak menyusul gurunya yang berada dimedan perang secepatnya maka terhadap seni budaya dan segala yang diceritakan oleh Giok Cu, ia merasa kurang tertarik.

   pikirnya.

   "Giok Cu ini luas pengetahuannya, akan tetapi tabiatnya aneh ..."

   Sebaliknya perhatian Kun Jie berbeda dengan adiknya, nampaknya ia paham benar akan ilmu silat, Akan tetapi mengenai seni budaya, ia buta sama sekali - jelas sekali, ia menjadi muak mendengarkan obrolan Giok Cu tentang seni budaya dan lain sebagainya.

   Namun tetap saja ia duduk diatas kursinya.

   Lambat laun, Sin Houw menjadi perasa, setiap kali ada kesempatan, ia mengalihkan pembicaraan kepada ilmu silat.

   Kun Jie lantas merasa memperoleh tempat, Dengan penuh semangat, ia lantas menyambung.

   Akan tetapi baru saja setengah jalan, Giok Cu memotongnya dan kembali lagi Giok Cu membicarakan seni budaya atau ilmu perang.

   Mau tak mau Sin Houw merasa diri seakan-akan dipaksa untuk mengenal tabiat dan perangai mereka berdua.

   Giok Cu seorang pemuda periang hati, ia berbicara dengan perasaannya.

   Sebaliknya Kun Jie, dia pendiam dan angkuh, walaupun katanya kakak Giok Cu, namun nampak nya ia segan terhadap adiknya itu.

   Terasa sekali ia selalu menghindar bentrokan-bentrokan.

   Malahan manakala Giok Cu menegurnya, tak berani ia membantah.

   Tak terasa sore hari datang diam-diam, hidangan sore segera di antarkan para pelayan.

   Masakannya, minuman dan lain sebagainya lebih lengkap dan hebat dari pada siang hari tadi, semua serba istimewa.

   setelah makan, Giok Cu yang berada dalam keadaan gembira, segera hendak melanjutkan pembicaraan.

   ia ingin berbicara sebanyak-banyaknya.

   Tentu saja menurut seleranya sendiri.

   Sin Houw sebenarnya bersedia melayani.

   sebagai seorang tamu, kedudukannya berada dibawah tuan rumah.

   Tetapi melihat Kun Jie yang nampak tersiksa, ia jadi tak enak hati.

   Maka cepat-cepat ia berkata.

   "Saudara Giok Cu, aku lelah. Perkenankan aku beristirahat terlebih dahulu."

   Giok Cu nampak kecewa, tetapi segera ia sadar. Menyahut.

   "Saudara Sin Houw, sejak kanak-kanak, aku hidup di dusun. jarang sekali dirumahku ada tamu seperti kau. Malahan untuk yang pertama kali inilah, aku mempunyai tamu sendiri. Begitu gembira dan terima kasih hatiku, sampai ingin mereguk dan menikmati semua perasaanku sekaligus. Maafkan perangaiku yang tak tahu diri ini. sebenarnya, aku ingin menyalakan lampu sebesar besarnya untuk mengajakmu berbicara, Tetapi ternyata kau lelah. Baiklah, esok hari saja kita ngobrol lagi."

   "Saudara Sin Houw! Mari kau tidur dikamarku saja."

   Tibatiba Kun Jie mengajak.

   "Apa?"

   Giok Cu melotot.

   "Dalam kamarmu, mana ada tempat untuk tetamu ? Biarlah dia tidur dikamarku!"

   Wajah Kun Jie berubah.

   "Apa?"

   Menegas, seolah-olah tak percaya kepada pendengarannya sendiri.

   "Ya, Kenapa?"

   Sahut Giok Cu.

   "Aku sendiri, biarlah tidur bersama ibu."

   Kun Jie bungkam. Tetapi ia tidak senang mendengar ketetapan itu, Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan ruang tamu, Dan kembali lagi Sin Houw menjadi tak enak hati.

   "Maafkan dia, orang dusun memang kerap kali kasar."

   Giok Cu mengomel.

   "Akupun orang desa. Tak perlu kau memikirkan diriku berlebih-lebihan..."

   Kata Sin Houw mencegah. Giok Cu tersenyum. sahutnya tak perduli.

   "Kau ikutlah aku."

   Dengan membawa lentera ditangan ia mendahului berjalan.

   Sin Houw mengikuti dari belakang, ia dibawa berjalan melintasi dua pekarangan dalam.

   sampai di ruangan ketiga, Giok Cu membelok kearah utara melalui lorong rumah yang agak panjang, Dan setelah melintasi dinding batas pagar halaman, sampailah ia pada sebuah kamar yang pintunya segera dibukanya, Eh, benar-benar seperti istana raja-raja, bentuk rumah keluarga Thio dari Cio-liang pay ini, pikir Sin Houw didalam hati.

   Dan begitu pintu terbuka, mata pemuda itu silau.

   Bau harum menusuk hidungnya.

   Kamar itu terang-benderang oleh nyala limabelas lampu antik.Masing-masing terbuat dari bahan perak.

   Api menyala terang, Pada tembok sebelah kiri, tergantung sebuah lukisan pemandangan alam yang indah.

   Dan tempat tidurnya, merupakan perabot yang mahal harganya.

   Didepan ranjang terdapat sebuah meja kecil model kerajaan Song, kemudian sebuah jairibangan dengan bunga yang harum semerbak.

   Didekatnya berdiri sebuah kurungan persegi panjang dengan dua ekor burung nuri yang selalu bergerak gerak.

   Sejak kanak-kanak Sin Houw tak pernah mempunyai kesempatan melihat tata indah, setelah hidup sebagai yatim piatu, ia berada diatas gunung.

   Tak mengherankan, melihat keindahan itu ia menjadi kagum dan benar-benar merasa seperti berada dalam sebuah istana.

   "inilah kamarku,"

   Kata Giok Cu.

   "Malam ini kau tidur saja disini."

   Setelah berkata demikian, ia keluar kamar tanpa menunggu ucapan tamunya.

   Thio Sin Houw lantas memeriksa seluruh ruangan kamar dengan cermat, ia merasa biasa hidup dikejar-kejar lawan.

   Dan seringkali pula melihat tata muslihat orang.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka terhadap sesuatu yang baru dan asing, ia selalu menaruh curiga.

   Apabila tiada kesan-kesan yang mencurigakan, segera ia menutup pintunya, Kemudian perlahan-lahan ia membaringkan diri, Mendadak ia mendengar daun pintu diketuk hati-hati dari luar.

   "Siapa?"

   Ia bangkit. Pintu terbuka perlahan-lahan. Kemudian muncul seorang pelayan cantik berusia enam belas tahun. wajahnya sedap dan nampak cerdik. ia datang dengan membawa sebuah nampan.

   "Thio sianseng, sebelum tidur silahkan makan bubur halus lebih dulu, Kami juga membawa seguci arak."

   Kata pelayan itu dengan suara halus.

   Dan ia meletakkan guci arak diatas meja.

   Selamanya, belum pernah Sin Houw bergaul atau berbicara ramah dengan seorang gadis cantik.

   Gadis cantik yang pernah dilihatnya dulu hanyalah kekasih paman gurunya, sedang yang pernah bergaul rapat dengannya, Lie Hong Kiauw -seorang gadis dusun yang kebenaran berparas biasa saja.

   Keruan saja melihat seorang gadis rupawan memasuki kamarnya - ia menjadi likat, ia membalas tersenyum dengan muka bersemu merah.

   "Namaku Ong Wu Lan, panggil saja namaku Wu Lan."

   Gadis itu memperkenalkan diri sambil tertawa manis.

   "Aku diperintahkan majikan untuk melayani siangkong, Apabila siangkong memerlukan sesuatu, jangan segan-segan memanggil.

   "Aku ... eh ... aku untuk sementara tak memerlukan sesuatu."

   Sahut Sin Houw kaku, Memang tiada acara lain pada malam itu, kecuali hendak tidur.

   "Baik, Kalau begitu perkenankan aku mengundurkan diri."

   Kata Ong Wu Lan, ia membalikkan tubuh hendak berlalu. Tibatiba ia berputar menghadap lagi, sambil berkata.

   "Oh, ya. Yang membuat ?bubur halus itu, majikan sendiri. siangkong silahkan makan, pasti istimewa..."

   Thio Sin Houw tercengang, ia seperti merasa ada sesuatu yang meraba kedua belah pipinya, sehingga ia tak mengerti apa yang harus dikatakan.

   Ong Wu Lan waktu itu telah menjauhi sambil tertawa perlahan, kemudian menutup pintu dengan hati-hati sebelum tubuhnya hilang dari penglihatan.

   Sin Houw menghela napas yang terasa menjadi sesak.

   Tanpa mengacuhkan semangkok bubur itu, ia melompat diatas tempat tidur, segera berselimut Dan begitu berlimut, bau harum menusuk hidungnya.

   "Apakah pemuda diseluruh dunia ini, selain aku menaburi wewangian di atas tempat tidurnya?"

   Pikirnya didalam hati, Dan karena pikiran itu, ia jadi malu sendiri merasa diri jorok, Dan selagi pikirannya dirumun persoalan itu, ia telah tertidur pulas dengan tak setahunya sendiri.

   THIO SIN HOUW kini adalah seorang pemuda yang berilmu kepandaian tinggi.

   Meskipun sedang tidur lelap, panca inderanya perasa sekali.

   Menjelang tengah malam, tiba-tiba ia tergugah oleh kepekaannya sendiri.

   ia seperti mendengar suara, lantas saja dilemparkannya pandangnya pada jendela yang berada didepannya.

   "Tuk - tuk - tuk!"

   Daun jendela terketuk perlahan tiga kali, Kemudian terdengar seseorang tertawa lembut. setelah itu terdengar bisiknya.

   "Saudara Sin Houw! Apakah kau masih berkelana dalam alam mimpimu? Lihatlah, bulan menerangi bumi, Malam begini, sungguh sayang kalau dilalui -tanpa bergadang terlebih dahulu. Keluarlah, alam sangat indahnya ..."

   Segera Sin Houw mengenali suara Giok Cu. ia menajamkan penglihatannya, Diluar jendela, cahaya bulan nampak cerah. Terus saja ia melompat bangun. Sambil memperbaiki letak pakaiannya, ia menyahut.

   "Baik, Tunggu sebentar!"

   Sejak memasuki rumah keluarga Thio, diam-diam perhatiannya tergerak, sekarang ia menyaksikan untuk ke sekian kalinya, lagak lagu tuan rumah yang aneh, Terdorong oleh rasa ingin tahu, terus saja ia membuka daun jendela.

   Kemudian melompat keluar.

   Ternyata di depan kamar itu adalah sebuah taman bunga yang sedang bermekaran.

   "Mari!"

   Ajak Giok Cu yang berada tujuh langkah didepan, Sambil membawa guci arak, ia berjalan mendahului.

   Sin Houw lantas mengikuti tanpa membuka mulut, sambil menebarkan matanya.

   Cekatan Giok Cu membawa Sin Houw keluar taman, setelah berada di luar taman, ia berlari-lari cepat menuju ke sebuah bukit yang berada disebelah barat daya.

   Pagar batu diloncatinya, dan sepak terjangnya seakan-akan tidak menghiraukan segalanya.

   Thio Sin Houw terus mengikuti dengan tetap berdiam diri, iapun meloncati pagar dinding itu, Giok Cu sendiri tidak pernah menoleh.

   setelah sampai di puncak bukit, ia menikung dua kali, Dan tibalah pada suatu tempat yang berpemandangan luas.

   Dingin halus meraba tubuh, dan kebun bunga mawar yang sedang bermekaran menebarkan keharumannya, jenisnya merah merekah dan putih bersih bercampur-baur seperti tersulam.

   Di tengah bulan cemerlang, alangkah jadi indah bersemarak.

   "indah benar tempat ini, Mirip sebuah pertapaan!"

   Seru sin Houw kagum didalam hati, Lalu berkata.

   "Saudara Giok Cu, apakah aku sedang bermimpi?"

   "Tidak!"

   Sahut Giok Cu sambil tertawa manis.

   "Bungabunga ini, aku sendiri yang menanamnya. Kecuali ibu, para pelayan perempuan, aku larang memasuki petamanan ini."

   "Kenapa?"

   Sin Houw heran.

   "Laki-laki terlalu kasar bersin-tuhan dengan bunga."

   "Akh!"

   Sin Houw terkejut.

   "Kalau begitu, tak berani aku ..."

   "Aku yang membawamu kemari. siapapun tak dapat melarangnya."

   Potong Giok Cu cepat sambil tertawa, ia melanjutkan perjalanan menyeberangi petamanan bunga.

   Setelah mendaki gundukan pendek, nampaklah sebuah rumah kecil muncul di antara gerombolan bunga sedap malam.

   Di rumah kecil itulah tujuan Giok Cu terakhir ia mempersilahkan Sin Houw duduk diserambi depan.

   "Apakah kau pernah merasakan arak simpanan yang sudah puluhan tahun?"

   Sin Houw menggelengkan kepalanya, bersenyum.

   "Kau cicipilah barang dua mangkok, nanti kau bakal ketagihan."

   Thio Sin Houw tertawa, ia melayangkan pandangnya ke bawah. suatu keindahan meresap didalam dirinya, Tidak hanya itu, dirasakannya suatu kehangatan yang manis sekali. Entah apa sebab-nya. Dan untuk beberapa saat lamanya, ia berdiri terpaku.

   "Sekarang aku akan meniup seruling, kau boleh mencicipi arakku."

   Kata Giok Cu sambil memperlihatkan sebatang seruling ditangan kanannya, Katanya lagi .

   "Apakah kau bisa memetik khim?"

   Tak terasa Sin Houw manggut.

   "Bagus!"

   Seru Giok Cu girang, terus saja ia lari memasuki ruangan dalam dan keluar lagi sudah menjinjing sebuah alat musik petik yang disebutnya khim.

   Melihat alat tabuhan itu, teringatlah Sin Houw kepada gurunya, Bok-siang Tojin, Hampir dua tahun lamanya, ia dipaksa mengiringi kehendak gurunya yang bertabiat aneh itu, Tetapi justru demikian, ia kini jadi bisa memetik tabuhan itu, Namun didepan Giok Cu, berkata merendah.

   "Aku belajar memetik Khim tanpa guru, kebiasaanku hanya mengiringi senandung orang, sama sekali aku tak mengenal sebuah lagupun."

   "Akh! Kau terlalu merendahkan diri."

   Giok Cu tak percaya.

   Kemudian secara acuh tak acuh ia mengangkat serulingnya kedepan mulut.

   Pada saat itu juga Giok Cu meniup lagu kegemarannya.

   Mula-mula perlahan seperti berbisik kemudian mengalun tinggi dan melengking menembus kesunyian malam.

   Mendengar tiupan seruling itu Sin Houw tertegun sampai lupa memetik alat Khim-nya.

   ia merasa dirinya terbawa mengapung diantara awan yang bergerak.

   Aneh! selama hidupnya, belum pernah ia memperoleh perasaan demikian.

   Padahal seringkali ia mendengar gurunya meniup seruling, Dan apabila Giok Cu meletakkan serulingnya diatas pangkuannya kembali, ia menghela napas karena kagum - katanya.

   "Saudara Giok Cu! Tak pernah kusangka, kau seorang pemuda serba bisa, Mengapa kau begini cerdas?"

   "Akh, jangan memperolok aku! Mengapa kau tak memetik khim-mu? Apakah tiupanku tadi, tak dapat kau iringi? Coba katakan kepadaku, lagu apa yang kau sukai?"

   "Saudara Giok Cu, aku berkata sebenarnya bahwa kecerdasan dan pengetahuanmu jauh berada diatasanku, Bagaimana aku bisa memilih sebuah lagu yang indah, sedangkan rasa keindahan itu sendiri belum aku mengarti sebaik baiknya?"

   Kata Sin Houw sungguh-sungguh. Mau tak mau Giok Cu tertawa senang, Didunia ini, siapakah yang tidak senang memperoleh pujian setulus hati demikian? sahutnya.

   "Benarkah begitu? Kalau benar begitu, biarlah aku yang memilih lagunya dan cobalah kau memetik "khim,"

   Tanpa menunggu jawaban, Giok Cu lantas meniup serulingnya kembali.

   Sin Houw menunggu sebentar, kemudian mulailah ia memetik alat tabuhannya.

   Dan begitu kedua alat tabuhan itu berpadu, malam sunyi dan bulan yang cemerlang terasa menjadi agung.

   Dua orang pemuda itu terpekur sejenak, setelah lagu yang dibawakan telah selesai.

   Keindahannya yang halus -meresap didalam perbendaharaan hati.

   Sin Houw sebenarnya sering mengiringi Bok-siang Tojin bermain Khim.

   Gurunya yang lain, Bok Jin Ceng pandai meniup seruling pula, Akan tetapi, tiupan Giok cu mempunyai bentuk keindahannya sendiri.

   Dan keindahan itu membawa suatu perasaan yang aneh, sampai detik itu, belum juga ia menemukan sebab-sebabnya.

   "Bagaimana? Dapatkah kau menikmati keindahannya?"

   Tanya Giok Cu.

   "Sungguh! selama hidupku, baru malam ini aku seperti mengarti tentang keindahan hidup."

   Sahut Sin Houw sejadi jadinya.

   "Dahulu, aku mengira hidup ini penuh siksa dan derita, Mimpipun tak pernah, bahwa pada suatu kali aku diberi kesempatan mereguk keindahannya yang sejati walaupun hanya sesaat saja, Akh, apakah begini kenikmatan sorga yang di janjikan kepada umat manusia?"

   Giok Cu tertawa geli, Kata-kata Sin Houw terlalu berlebihan, namun ia segan mengusiknya.

   Bahkan ia duduk beringsut mendekati.

   Dan begitu berdekatan - Sin Houw mencium bau harum yang meremangkan bulu romanya.

   ini bukan bau harum bunga yang bertebaran didepannya, tetapi bau harum ...

   tak berani Sin Houw menyelesaikan dugaannya.

   "Sebenarnya, kau senang atau tidak aku meniup seruling?"

   Tiba-tiba tanya Giok Cu.

   "TentuI Kenapa kau tanyakan? Begitu mendengar tiupan serulingku, ingatanku terbawa pada masa-masa lalu tatkala masih berada diatas puncak gunung Hoa-san."

   Sahut Sin Houw.

   Giok Cu menoleh dan menatap wajahnya.

   Mulutnya bergerak-gerak hendak mengucap kata-kata, tetapi batal sendiri.

   sebagai ganti, ia meniup serulingnya lagi, Dan Sin Houw seakan-akan mempunyai kewajiban untuk segera mengiringkan dengan petikan khim.

   Selagi nada lagu memasuki kata-kata pertengahan, tibatiba Giok Cu berhenti dengan mendadak.

   seruling yang berada dimulut diletakkan kebawah, Ke-mudian dipatahkan menjadi dua! "Hei, kenapa?"

   Sin Houw kaget berbareng heran.

   "Serulingmu sangat bagus, kaupun pandai meniupnya, Mengapa kau ...?"

   Giok Cu menundukkan kepala, Kata-nya perlahan.

   "Belum pernah selama hidupku, aku meniup seruling untuk seseorang, Mereka semua hanya gemar membicarakan tentang senjata tajam dan berkelahi, serta uang dan cita-cita, Hmm!"

   "Tetapi aku senang sekali melihat dan mendengar kau meniup seruling. Tak percayakah kau pernyataanku ini?"

   Ujar Sin Houw dengan suara tinggi.

   "Seumpama benar demikian, kaupun esok pagi akan pergi jauh, Dan begitu kau pergi, kesunyian hidup kembali lagi, apakah perlunya aku meniup seruling malam ini?"

   Sahut Giok Cu dengan suara agak gemetar. Thio Sin Houw tercengang, Dan oleh rasanya itu, ia berpaling menatap wajah Giok Cu yang putih bersih.

   "Memang, tabiatku sangat buruk, hal itu aku telah menyadari,"

   Kata Giok Cu lagi.

   "Entah apa sebabnya, aku seakan-akan tak dapat menguasai suatu rangsang yang datang dengan tiba-tiba. Aku tahu, kau benci aku. walaupun kau sangat baik kepadaku, akan tetapi hatimu tersiksa karena sifat burukku, Bukankah begitu?"

   Thio Sin Houw terdiam, mulutnya seakan-akan terkunci rapat.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Benar begitu, bukan?"

   Giok Cu mengulang kata sambil menghela napas pendek.

   "ltulah sebabnya, mulai esok hari kau tak bakal sudi melihatku lagi, Malahan, seumpama aku tidak menahanmu, malam ini juga kau ingin sekali meninggalkan rumahku."

   Mendengar perkataan Giok Cu, mendadak saja Sin Houw merasa menjadi bingung, itulah disebabkan semua perkataan Giok Cu benar belaka, sulit ia mencoba berkata.

   "Saudara Giok Cu, Dalam hidupku, inilah yang untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa merantau. Kau bilang aku benci melihat perangaimu. Memang, aku harus membenarkan perkataanmu itu. Tadinya memang aku benci terhadapmu tetapi kini, tidak!"

   "Tidak? Kenapa?"

   Giok Cu menegas dengan suara perlahan. ia mengawasi Sin Houw dengan hati yang cemas dan penuh selidik.

   "Sekarang aku tahu, apa sebab kau bertabiat aneh. sekarang akupun mengerti, apa sebab kau merasa tak dapat menguasai suatu rangsangan yang datang dengan tiba-tiba, Aku yakin, hal itu terjadi lantaran hatimu selalu diliputi perasaan duka-cita. Entah duka cita apa - aku tak tahu, Tetapi pasgi begitu..."

   Kata Sin Houw dengan suara yakin. Kemudian meneruskan dengan hati-hati.

   "Maukah kau menceritakan kedukaan hatimu kepadaku?"

   Wajah muka Giok Cu berubah.

   Tiba-tiba saja matanya berlinangan, Cepat ia menundukkan kepala dan membuang pandang - sampai sekian lamanya ia terpekur dan mencoba menguasai diri, setelah menegakkan kepalanya kembali, ia menatap muka Sin Houw sambil berkata perlahan.

   "Benar, Kau seperti dewa peramal, Pandang matamu seperti kuasa menembus kabut rahasia hidup. Baiklah, aku akan menceritakan kepadamu segala penderitaan batinku. Tetapi ... tetapi jangan-jangan kau lantas memandang rendah diriku, setelah mendengar keadaan diriku."

   "Walaupun aku masih muda, seumpama seorang anak yang belum pandai apa apa, aku berjanji kepadamu bahwa hal itu tak mungkin terjadi!"

   Seru Sin Houw dengan suara menyala-nyala. Beberapa saat lamanya, Giok Cu menatap wajah Sin Houw mencari keyakinan, kemudian ia mengumpulkan ketabahannya untuk menceritakan riwayat hidupnya, katanya.

   "Baiklah, aku percaya kepadamu, biarlah aku ceritakan siapa diriku."

   Thio Sin Houw balas menatap wajah Giok Cu, Dengan sungguh-sungguh ia menaruh perhatian dan siap mendengarkan setiap patah kata-kata yang membersit dari mulut Giok Cu.

   "Tatkala ibumu masih muda remaja, aku sudah dihamilkan olehnya..."

   Giok Cu memulai.

   "Maksudku, ketika ibu masih remaja, ia kena diperkosa oleh seorang laki-laki busuk. Dan akibat dari perkosaan itu, lahiriah aku, Kakek tentu saja tidak tinggal diam. Dengan berbekal kepandaiannya, ia melabrak lelaki busuk itu. Akan tetapi kakek kalah". Karena penasaran, kakek mengumpulkan sepuluh orang teman-temannya, dan barulah manusia busuk itu bisa terusir dari rumah. Tetapi dengan demikian, aku jadi tak mempunyai ayah lagi. Nah, tahulah kau kini bahwa aku ini anak seorang manusia busuk. Hasil dari suatu perkosaan, sekarang hinalah aku!"

   Thio Sin Houw tahu tabiat Giok Cu aneh, tetapi tak pernah menyangka bahwa jalan pikirannya pun aneh juga.

   Maka cepat-cepat ia menjawab.

   "Sudah tentu kau sendiri tak dapat disalahkan.

   Kalau memang harus ada yang disalahkan, haruslah si manusia busuk itu."

   "Akh, kau hanya menghibur hatiku saja!"

   Ujar Giok Cu dengan suara dalam.

   "Seumpama kau berada diantara sepuluh orang, yang sembilan orang berpikir lain, Kata mereka, justru dirikulah yang menyebabkan dan yang membuat ibu serta manusia busuk itu terangsang napsunya. Memang, dihadapanku mereka tak berani berkata demikian, tetapi dibelakang aku, mereka mencemooh, mencaci dan mengutuk diriku, Merekapun memaki-maki ibu pula."

   "Hm! siapakah yang telah berani menghina kau dan menghina ibumu?"

   Tanya Sin Houw dengan mata menyala.

   "Baik aku berjanji kepadamu, akan membantumu meng hajar mereka sampai jera. Manusia jail mulut itu, tak pantas kita kasihani, saudara Giok Cu, setelah mendengar kisah hidupmu, kini tiada lagi sisa rasa benciku kepadamu, Dan demi Tuhan, sekiranya kau sudi menganggap diriku sebagai salah seorang sahabatmu, aku pasti akan datang lagi kepadamu dan bersedia menyertaimu ke manapun kau pergi."

   "Oh, benarkah itu?"

   Seru Giok Cu girang.

   Dan karena rasa girangnya, kedua matanya menjadi basah, Rasa haru menyelinap ke dalam lubuk hatinya.

   Mendadak ia lompat bangun dan memeluk Sin Houw, kemudian ia menari-nari kegirangan ! Menyaksikan kelakuan Giok Cu, sejenak Sin Houw menjadi tercengang, ia kaget tatkala kena dipeluk.

   Lengannya lembut halus.

   Bau harum rambutnya, terasa sedap.

   selagi demikian Giok Cu menari -nari, sehingga mau tak mau ia tertawa geli juga.

   "Saudara Sin Houw, lihatlah! Aku begini girang, tahukah kau apa sebabnya ...?"

   Kata Giok Cu menguji.

   "Apakah karena aku bersedia menyertaimu ke manapun kau pergi?"

   "Benar! Kau berjanji dengan sesungguhnya, bukan?"

   Giok Cu berhenti menari dan menegas.

   "Tak pernah aku berdusta terhadap siapapun juga, Guruku sering berkata, bahwa untuk suatu janji seorang laki-laki harus berani mengorbankan diri sendiri. Kalau perlu, jiwa dan hartanya ..."

   Jawab Sin Houw dengan suara meyakinkan.

   Sekonyong-konyong terdengarlah suara gemerisik dibawah gundukan.

   Sin Houw lompat bangun dan menoleh ke arah suara itu, sesosok bayangan muncul di antara gerombol bunga, lalu terdengar ia mendengus menggerendeng.

   "Hm! Di malam buta kalian mengadakan pertemuan."

   Bayangan itu bertubuh jangkung kurus, siapa lagi, kalau bukan Kun Jie? Wajahnya muram, ia berdiri sambil bertolak pinggang.

   Terang sekali, ia dalam keadaan marah.

   Giok Cu terkejut, Tetapi begitu mengenali Kun Jie, segera ia menegur dengan kata-kata pedas.

   "Kau sendiri keluyuran sampai di sini, Kenapa?"

   "Kau jawablah pertanyaanmu sendiri !"

   Sahut Kun Jie.

   "Aku sedang bergadang menikmati bulan purnama dengan saudara Sin Houw, apa salahnya?"

   Jawab Giok Cu cepat.

   "Dia berada disini karena aku yang undang, sebaliknya kau? siapa yang mengundangmu? Coba bilang, bukankah siapa saja mengetahui, kalian kularang memasuki wilayah ini? Di dunia ini, kecuali ibu, siapapun tak diperkenankan memasuki pertamananku. Cu suciok sendiri yang menetapkan undangundangnya, mengapa sekarang kau berani melanggar?"

   Kun Jie mendengus. sambil menuding Sin Houw, ia berkata.

   "Dan dia? Kenapa dia datang ke mari?"

   "Bukankah telingamu tadi sudah mendengar? Dia datang kemari karena aku yang undang! Berani kau mencampuri urusanku?"

   Bentak Giok Cu. Tak enak hati Sin Houw menyaksikan pertengkaran mulut itu, lantaran ia sendiri. segera ia menengahi.

   "Kukira sudah cukup kita bergadang menikmati sinar bulan. Biarlah aku mengundurkan diri saja."

   "Tidak, jangan pulang dulu!"

   Giok Cu mencegah.

   "Kau duduk sajalah."

   Sin Houw yang sudah berdiri, lalu kembali duduk ditempat semula. ia melihat muka Kun Jie semakin muram. Meskipun dia tak berani membantah kata-kata Giok Cu, namun jelas sekali hatinya mendongkol.

   "Bunga-bunga yang kutanam di sini adalah hasil jerihpayahku sendiri, boleh aku cabuti atau aku jual atau aku pertontonkan kepada orang lain,"

   Ujar Giok Cu galak.

   "Siapapun tak dapat mengingkari hakku itu, sekarang, kularang kau menonton bunga-bungaku!"

   "Tetapi, aku terlanjur melihat semua tanaman bungamu!"

   Kata Kun Jie kekanak-kanakan.

   "Hanya saja, aku belum pernah menciumnya, Sekarang, biarlah aku menciumnya." "Tidak boleh!"

   Giok Cu melarang menjerit.

   Kali ini Kun Jie berani membangkang, ia menghampiri serumpun tanaman bunga itu lalu menciumnya.

   Meluap amarah Giok Cu.

   Serta merta ia meloncat dari tempatnya.

   sekali melesat ia menyambar tangkai bunga itu, lalu dicabutnya, setelah dilemparkan ke tanah, ia mencabut yang lain demikianlah sampai tiga-ampat kali.

   "Nah, kau sekarang puas, bukan? Benar-benar puas?"

   Jerit Giok Cu.

   "Kau menghina aku!"

   Giok Cu berteriak.

   "Kenapa kau cium bungaku? Biar kucabuti saja, Biar kau dimarahi susiok - bukankah kau tahu, siapa saja aku larang melihat bungaku? Kenapa kau malahan telah menciumnya? Biar kucabuti sajal"

   Tiba-tiba ia lantas menangis sambil masih mencabuti tanaman bunganya.

   Hebat sepak-terjangnya, seperti tadi, ia mengamuk.

   sebentar kemudian taman bunganya telah menjadi rusak.

   Thio Sin Houw tak dapat mencegah.

   ia seperti tergugu melihat watak Giok Cu.

   Tanaman bunganya, benar-benar diKun Jie tetap gusar, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, Melihat kira-kira ada empatpuluh batang bunga yang tercabut berantakan, ia memutar tubuh dan berjalan dengan penasaran.

   Tatkala hendak menuruni gundukan, ia menoleh dan berkata.

   "Aku selalu bersikap baik terhadapmu kenapa kau perlakukan aku begini rupa? Coba kau pikir baik-baik, Kau mempunyai budi pekerti atau tidak?"

   Giok Cu masih menangis, jawabnya dengan ketus.

   "Siapa yang menghendaki kau bersikap baik kepadaku? Jika kau tidak senang melihatku, silahkan kau mengadu kepada paman.

   Biarkan aku diusir dari sini! Malam ini aku akan tetap berada disini bersama saudara Sin Houw, nah, adukanlah hal ini kepada paman.

   sama sekali aku tidak takut."

   Kun Jie menghela napas.

   ia menundukkan kepala.

   Hatinya pedih bukan main.

   Dengan berdiam diri, ia menuruni gundukan.

   Setelah bayangan Kun Jie hilang dari pengamatan, Giok Cu kembali memasuki paseban dan duduk disamping Sin Houw.

   Kedua pipinya basah dengan air mata.

   "Mengapa sikapmu begitu keras kepada kakakmu sendiri?"

   Tanya Sin Houw.

   "Dia bukan kakak kandungku,"

   Sahut Giok Cu diantara isak tangisnya.

   "Dia anak pamanku yang menguasai rumah kakek, dia kakak misanku. Akh, andaikata aku mempunyai ayah, pastilah aku tidak akan tinggal di rumah ini. Dengan mempunyai rumah sendiri, tak akan aku dihina orang."

   Berkata sampai disitu, tangisnya kian menjadi-jadi, Sin Houw tetap belum mengerti perangai Giok Cu yang dianggapnya aneh, jalan pikirannya sukar dimengerti. Maka terpikir oleh Sin Houw.

   "Rumah ini adalah rumah kakeknya, kini dikuasai oleh pamannya. Bukankah tetap satu keluarga? Mengapa dia merasa dirinya dihina keluarga pamannya?"

   Berpikir demikian, Sin Houw lalu berkata .

   "Kulihat dia bersikap baik kepadamu, justru kau yang terlalu galak terhadapnya."

   Giok Cu mengangkat kepalanya, dan tiba-tiba ia tertawa, Sahutnya.

   "Sekiranya aku tidak bersikap galak kepadanya, pastilah dia bakal memperlakukan aku yang bukan-bukan."

   Jawaban Giok Cu terasa aneh bagi Sin Houw, ia bahkan berkesimpulan Giok Cu bukan manusia lumrah, pemuda itu bisa menangis menggerung-gerung dan tertawa riang secara mendadak.

   inilah tanda-tanda seorang manusia berbahaya! Walaupun demikian, karena Giok Cu seorang yatim seperti dirinya, hatinya bersimpati juga.

   "Ayahku juga binasa karena aniaya orang seperti ayahmu."

   Kata Sin Houw, menghibur.

   "Waktu itu, aku baru berumur tujuh atau delapan tahun, ibuku juga binasa pada hari yang sama."

   "Apakah kau sudah menuntut balas...?"

   Tanya Giok Cu.

   "Sampai hari ini, aku belum memperoleh kesempatan untuk ..."

   "Kalau begitu, catatlah namaku didalam hatimu! Bila kau hendak menuntut balas, dengan sepenuh hati aku hendak membantumu"

   Giok Cu memutus perkataan Sin Houw dengan suara prihatin.

   "Tak perduli musuhmu sangat lihay ilmu kepandaiannya, aku akan membantumu."

   Mendengar ucapan Giok Cu, Thio Sin Houw geli bercampur haru, Tadinya ia hendak menghibur dan memberitahukan betapa sikapnya terhadap orang-orang yang telah membunuh ayah dan ibunya.

   Bahwasanya walaupun hati menyimpan dendam sedalam lautan, tak boleh mengumbar adat seenaknya sendiri.

   Tetapi sekarang, dia justru dihibur oleh Giok Cu, Tak terasa terucaplah kata-katanya kepada teman barunya itu.

   "Saudara Giok Cu, aku sangat berterima kasih terhadapmu!"

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Giok Cu memegang pergelangan tangan Sin Houw, dan Sin Houw membalas pegangannya, Giok Cu membiarkan dan berkata.

   "Dalam hal ilmu silat, aku kalah beberapa puluh kali lipat dari padamu, Akan tetapi mengenai sikap hidup didalam pergaulan, rupanya kau belum berpengalaman banyak. Dikemudian hari aku perlu menyumbangkan pikiranku."

   "Akh, kau baik sekali kepadaku,."

   Kata Sin Houw terharu.

   "Selama hidupku - belum pernah aku mempunyai seorang teman seusiamu."

   "Benarkah begitu? Tetapi tabiatku sangat buruk."

   Giok Cu mengakui dengan menundukkan kepalanya.

   "Yang aku khawatirkan, janqan-jangan dikemudian hari aku akan berbuat kesalahan terhadapmu."

   "Aku telah mengenal tabiatmu sejak pertemuan kita yang pertamar"

   Sahut Sin Houw.

   "Umpama kau melakukan kesalahan terhadapku, tidak akan aku masukkan ke dalam hatiku benar-benar."

   Mendengar ucapan Sin Houw, Giok Cu merasa bersyukur bukan main sampai ia menghela napas lega, Tiba-tiba, di luar dugaan ia berkata.

   "Tetapi justru demikian, hatiku jadi merasa tak tenang."

   "Mengapa?"

   Giok Cu tak segera memberikan jawaban, ia semakin menundukkan kepalanya. Melihat sikap sahabatnya itu, Sin Houw semakin heran. Mengapa sehabatnya kali ini begitu lembut? Kebengisan serta kegalakannya lenyap sama sekali dari perbendaharaan hatinya.

   "Saudara Giok Cu!"

   Kata Sin Houw dengan suara bergetar.

   "Sebenarnya ingin aku mengajakmu berbicara. Tetapi entah kau sudi mendengarkan atau tidak?"

   Giok Cu menegakkan pandangnya lagi. Menjawab meyakinkan.

   "Di dalam dunia ini, hanya tiga orang saja yang kudengar perkataannya, Yang pertama, ibuku. Kedua, pamanku, Cu susiok. Dan yang ketiga adalah kau!"

   Hati Sin Houw semakin tergerak. Berkata.

   "Terima kasih. Kau ternyata menghargai diriku terlalu tinggi. sebenarnya, perkataan siapapun asal memang pantas, harus kau dengar."

   "Tidak!"

   Giok Cu menolak dengan tegas.

   "Dalam dunia ini, tiada suatu kewajiban yang mengatakan begitu. seorang yang berbicara terlalu pantas, biasanya banyak ulatnya. sebab katakata saja belum tentu membawa sikap dirinya. sebaliknya, seseorang yang memperlakukan diriku sangat baik dan akupun berkenan padanya, meskipun kadangkala katakatanya tidak pantas, akan tetap kudengarkan perkataannya, sebaliknya, apabila hatiku jemu terhadapnya, walaupun katakatanya pantas didengar, aku akan bersikap tuli."

   Thio Sin Houw tertawa geli, Katanya.

   "Cara berpikirmu masih kekanak-kanakan, Sebenarnya, berapa umurmu kini?"

   "Delapan atau sembilan belas tahun. Dan kau?"

   "Mungkin lebih tua tiga atau empat tahun."

   Giok Cu menundukkan kepalanya lagi. wajahnya mendadak bersemu merah lalu katanya dengan suara perlahan.

   "Sejak masih kanak-kanak, aku hidup sebatangkara dengan ibu, Tidak mempunyai kakak maupun adik, Bagaimana kalau kita mengangkat saudara? Maukah kau menerimaku sebagai ..."

   Thio Sin Houw seorang pemuda yang cermat, lantaran digodok oleh pengalamannya yang pahit sejak masih kanakkanak, itulah sebabnya, tak dapat ia menerima Giok Cu dengan segera.

   Ia belum kenal Giok Cu sedalam da1amnya.

   juga ibunya maupun keluarganya, Tercetaklah dalam ingatannya siang tadi, bahwa keluar Giok Cu merupakan musuh para penduduk setempat, oleh pertimbangan itu, ia jadi ragu-ragu.

   Giok Cu ternyata sangat perasa, ia seperti dapat meraba keadaan hati Sin Houw, terus saja ia berputar tubuh dan lari menuruni tanjakan, Keruan saja Sin Houw jadi terkejut, dan cepat-cepat ia memburu.

   Dalam sekejap saja bayangan Giok Cu terlihat sudah mulai mendaki bukit yang berada disebelah depan.

   "Dia mudah tersinggung, lantaran tabiatnya keras dan aneh. Akh, tidak boleh aku mengecewakan hatinya, Dia bisa bersakit hati, dan kalau sampai hatinya merasa kulukai, jangan-jangan..."

   Pikir Sin Houw selagi mengejar.

   ia khawatir, Giok Cu akan nekat bunuh diri terjun ke dalam jurang.

   Menilik adatnya yang aneh dan sukar diduga, bukan mustahil ia bisa berbuat begitu, Oleh pikirannya itu, segera Sin Houw menggunakan ilmu sakti Bok-siang tojin, Dalam beberapa rintasan saja, ia sudah dapat mendahului.

   Kemudian berdiri menghadang.

   Benar saja dugaannya, Giok Cu berusaha mengelakkan hadangannya dengan nyelonong ke sebelah kiri, Cepat Sin Houw melompat menghadang kembali sambil berseru.

   "Giok Cu Hiantee, apakah kau marah kepadaku?"

   Mendengar Sin Houw memanggil adik kepadanya, Giok Cu girang bukan kepalang, serentak ia berhenti, kemudian duduk bersimpuh dan perlahan-lahan ia menegas dengan hati-hati.

   "Benarkah kau sudi memanggil adik kepadaku? Bukankah diriku tidak cukup berharga untuk kau panggil demikian?"

   "Sejak kapan aku tidak menghargai dirimu?"

   Sahut Sin Houw terharu.

   "Mari! Di tempat ini kita saling mengangkat saudara, Kau mau, bukan?"

   Terus saja Giok Cu bangkit dan berdiri tegak, kemudian masing masing mengiris kulit pergelangan tangannya sampai keluar darah, setelah itu, mereka memanunggalkan darah mereka masing masing dengan memipitkan pergelangan tangan.

   Dengan disaksikan oleh langit dan bumi, mereka bersumpah saling mengangkat saudara.

   Lalu Sin Houw memanggil adik kepada Giok Cu dan Giok Cu memanggil kakak kepada Sin Houw, perlahan ia mengucapkan perkataannya, lantaran hatinya terharu.

   Lega hati sin Houw setelah selesai upacara itu, kemudian ia mengajak pulang karena hari sudah larut malam.

   Giok Cu tidak membantah, dan mereka saling berendeng berjalan pulang, sampai didepan pintu kamar, Sin Houw berpesan.

   "Jangan sampai ibu terbangun. Kita tidur disini saja!"

   Mendengar perkataan Sin Houw, wajah Giok Cu merah dengan mendadak. ia tertawa manis seraya menolak tangan Sin Houw, Katanya.

   "Kau... kau... sampai besok pagi ! "

   Dan setelah itu, ia lari keluar.

   "Aneh!"

   Pikir Sin Houw yang merasa tidak mengerti.

   ***** SEPERTI BIASANYA, pada keesokan harinya Sin Houw bangun pada pagi buta, ia bersemedi dulu agar memperoleh kesegaran dalam dirinya.

   Satu jam kemudian, pelayan perempuan yang semalam datang mengantarkan air teh hangat.

   Cepat-cepat Sin Houw melompat turun dari ranjangnya, dan mengucapkan terima kasih.

   setelah mencuci muka, ia makan pagi yang juga telah tersedia dihadapannya, Dan selagi makan, Giok Cu muncul diambang pintu memasuki kamarnya.

   "Marilah kita makan pagi bersama ..."

   Sin Houw menawari. Giok Cu tertawa, Sahutnya.

   "Terima kasih. Apakah Sin-ko akan melihat suatu keramaian?"

   "Keramaian apakah itu?"

   Tanya Sin Houw heran.

   "Seorang gadis datang pada pagi hari buta tadi, untuk menagih emas, Mari kita lihat!"

   Sebenarnya Sin Houw ingin minta keterangan tentang kata-kata "menagih"

   Itu, Tetapi karena Giok Cu sudah mengajaknya, ia lantas mangut dan berkata.

   "Baik!"

   Berdua mereka memasuki sebuah gedung yang mempunyai ruangan olah raga, Di ruangan itu, mereka melihat seorang gadis sedang bertempur melawan Kun Jie, Dan dua orang lain, nampak duduk di atas kursi diluar gelanggang, Yang seorang bersenjata sebatang tongkat, dan yang lainnya bertangan kosong.

   Giok Cu mendekati orang yang bersenjata tongkat, ia membisik.

   Orang itu menoleh kepada Sin Houw, ternyata dia seorang yang sudah berusia lima puluhan tahun lebih.

   Rambutnya, kumisnya dan jenggotnya sudah banyak ubannya, ia menatap Sin Houw beberapa saat lamanya dengan penuh perhatian, kemudian memanggut-manggut.

   Thio Sin Houw hanya membalas memandang beberapa detik, kemudian mengalihkan perhatiannya kepada gadis yang sedang bertempur melawan Thio Kun Jie, ia seorang gadis berumur sembilan belas tahunan, wajahnya cantik sekali.

   Gerak-geriknya gesit, pakaiannya berwarna merah.

   Diam-diam Sin Houw mencoba menduga duga siapakah gadis itu, setelah pertempuran berlangsung sepuluh jurus.

   Gadis berpakaian merah itu gesit gerakannya dan cantik orangnya, hati Sin Houw tercekat, ia melihat sua tu gerakan pedang yang sangat dikenalnya.

   ujung pedang itu menyambar pundak Kun Jie, lalu dengan tiba-tiba berbelok sasaran menikam leher, inilah gerakan salah satu jurus ajaran gurunya, Bok Jin Ceng! Mereka berdua memang bertempur dengan menggunakan senjata, Gadis itu memegang sebatang pedang, dan Kun Jie menggunakan sebatang golok.

   Masing-masing nampak mahir sekali menggunakan senjata andalannya.

   Tadi gadis itu menyambar pundak, Kun Jie segera menangkis dengan mengadu tenaga.

   Kena tangkisan Kun Jie, pedang gadis itu terpental.

   justru pada saat itu, mendadak pedangnya menikam leher.

   Kun Jie kaget sampai melesat mundur tiga langkah, namun gadis itu tak sudi memberi waktu bernapas.

   Gesit sekali, ia melesat, sebelah tangan dan kedua kakinya bekerja saling menyusul.

   Menyaksikan hal ini, Thio Sin Houw ber-bimbang hati, jurus itu jelas bukan merupakan ajaran gurunya, Maka pikirnya didalam hati.

   "Bagaimanapun juga, dia pasti sudah pernah menerima jurus-jurus ajaran suhu. Setidak-tidaknya, termasuk golongan suhu, Jangan-jangan dia adalah murid salah seorang saudara seperguruanku. Sekiranya dia tidak memiliki ilmu pedang itu, takkan mungkin ia bisa membuat Kun Jie benar-benar repot,"

   Gerak-gerik gadis itu memang cepat dan gesit, pedangnya berkelebatan.

   Namun dibandingkan dengan kepandaian Thio Kun Jie, ia masih kalah ulet, Tak perduli pedangnya garang bagaikan jari maut, namun dia bukan tanding Kun Jie.

   Sin Houw melihat, dalam beberapa gebrakan lagi, gadis itu akan segera terdesak.

   Dan penglihatannya ternyata tepat.

   Beberapa jurus kemudian, Kun Jie yang sudah tenang kembali, mulai melancarkan serangan-serangan yang berbahaya.

   Dan gadis itu mundur selangkah demi selangkah dengan berputaran.

   "Hemm!"

   Dengus Giok Cu.

   "Dengan berbekal kepandaian begitu, dia sudah berani main labrak disini!"

   Giok Cu tertawa tawar.

   "Dia bukan tanding kakak misanku, bagaimana menurut pendapatmu ?"

   Thio Sin Houw belum menjawab atau ia melihat berkelebatnya babatan golok Kun Jie yang berbahaya sekali.

   waktu itu, gerakan lawannya mulai kendor, itulah kesempatan sebaik-baiknya bagi Kun Jie untuk memperkembangkan ilmu goloknya.

   Setelah merangsak beberapa kali, goloknya bergerak melintang.

   Dan gadis itu terancam pinggang serta lengannya sekaligus! Hati Thio Sin Houw tercekat, Melihat suatu kegentingan, tanpa berpikir panjang lagi ia melompat memasuki gelanggang pertempuran.

   Kedua tangannya menyekat garis tengah.

   Itulah berbahaya sekali, karena kedua orang itu sedang mengayunkan senjata, Giok Cu yang menyaksikan hal itu, memekik kaget.

   Dan kedua orang tua yang berada diluar gelanggang meloncat bangun, tetapi baik Giok Cu maupun kedua orang tua itu tak sempat lagi mencegah perbuatan Sin Houw.

   Thio Sin Houw sudah barang tentu menyadari akan ancaman bahaya itu, Tetapi pada detik yang menentukan tangan kanannya menolak lengan Kun Jie dengan perlahan, dan tangan kirinya menangkap pergelangan tangan si gadis dengan perlahan pula.

   Berbareng dengan gerakannya itu, ia mengendapkan diri, Dengan demikian, terbebaslah dirinya dari ancaman maut.

   Gerakan Thio Sin Houw nampaknya sederhana saja, hanya akibatnya diluar dugaan siapapun.

   Tatkala mengendapkan diri, ia menggempur tekanan tenaga mereka dengan ilmu saktinya yang lunak.

   Begitu terpotong, baik pedang maupun golok, gagal mencapai sasaran.

   Dalam keadaan demikian, Thio Sin Houw bisa leluasa merampas senjata mereka.

   Namun ia tak berbuat begitu, karena khawatir akan menyinggung kehormatan diri Kun Jie, sebaliknya karena gerakan ilmu saktinya utuh, kudakuda mereka berdua kena digempur sampai mundur sempoyongan dua-tiga langkah.

   Keruan saja mereka kaget sampai memekik tertahan.

   Setelah bisa memperbaiki diri, mereka menjadi gusar dengan alasannya masing-masing.

   Terlebih hati Thio Kun Jie yang memang sudah dengki terhadap Sin Houw.

   Didepan adik misannya, harga dirinya runtuh.

   ia malu sekali sampai tak dapat memejamkan mata satu malam suntuk, sekarangpun dirinya diperlakukan sangat ringan dihadapan adik misannya, malahan kedua orang tua yang berada di luar gelanggang pula.

   Tak mengherankan hatinya menjadi panas seperti dibakar.

   Sebaliknya gadis itu gusar, lantaran mengira Sin Houw membantu Kun Jie, Menurut kata hati, ingin ia menggerakkan pedangnya, Tetapi segera ia menyadari, bahwa kepandaian pemuda itu sangat tinggi.

   Maka dengan terpaksa ia mengendalikan rangsangan hatinya, kemudian mundur dua langkah dan hendak mengangkat kaki.

   "Kouwnio, tunggu!"

   Seru Sin Houw.

   "Aku ingin bicara denganmu!"

   "Tak dapat aku melawanmu!"

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut gadis itu diantara rasa marahnya.

   "Tetapi seseorang berkepandaian beberapa kali lipat tingginya dariku, akan datang mengambil emasnya kembali. Mau berbicara apa lagi?"

   Thio Sin Houw mendekati, memberi hormat dan berkata lagi.

   "Jangan kau menuruti kata hati saja, bersabarlah sedikit, sebenarnya siapakah namamu, dan dari mana asalmu? Bolehkah aku ..."

   "Tak tahu malu!"

   Gadis itu ber-sungut dan meludah dilantai, lalu sekali loncat ia sudah keluar pintu, Thio Sin Houw segera mengejarnya.

   Akan tetapi, ia membiarkan gadis itu mencapai serambi depan dulu, Kemudian, dengan sekali loncat ia melesat bagaikan terbang.

   Tahu-tahu ia sudah menghadang didepan gadis itu, katanya setengah membisik.

   "Sst! jangan pergi dulu, Aku akan membantumu ..."

   Gadis itu tercengang sampai menghentikan langkahnya, sambil menatap wajah Sin Houw, ia menegas.

   "Siapakah kau?"

   "Aku Sin Houw!"

   Gadis itu mengerutkan dahinya, ia menatap wajah Sin Houw kian tajam, Menguji.

   "Kenalkah dengan Nie susiok?"

   Mendengar pertanyaan itu, Sin Houw menggigil. siapa lagi yang disebut Nie susiok, kalau bukan si paman bisu? Terus saja ia memperkenalkan nama lengkapnya.

   "Aku Thio Sin Houw, bukankah kau Cie Lan?"

   Mendadak saja, wajah gadis itu berseri-seri, oleh rasa girang, ia lupa diri, Terus saja disambarnya tangan Sin Houw, dan ditariknya mendekati serunya.

   "Benar, aku Ci Lan! Dan kau ....? Benar-benarkah kau sin Houw koko?"

   Tetapi setelah mengucap demikian, justru ia tersadar, Dengan wajah merah, ia melepaskan pegangannya. Tepat pada saat itu, terdengar Thio Kun Jie berkata.

   "Akh, kukira siapa kau saudara Sin Houw, Kiranya kau adalah mata-mata dari Thio Su Seng yang merembes kemari!"

   Thio Sin Houw tercengang.

   ia me mang mengetahui nama Thio Su Seng sebagai pahlawan pejuang, dan gurunya bahkan merupakan pembantu utama dari pahlawan pejuang itu.

   Tetapi kalau dia kini datang ke rumah keluarga Thio sebagai mata-mata dari pejuang itu, sama sekali tidak benar, Maka berkatalah ia memberikan keterangan.

   "Aku memang mengagumi pahlawan pejuang bangsa itu, dan aku bahkan kenal dengan panglima Thio Hian Cong tetapi tidak benar apabila aku dikatakan sebagai mata-mata dari mereka. Mengapa kau bisa menuduh demikian? Apakah karena aku kenal gadis ini? Dialah sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. sepuluh tahun lebih kami berdua tidak pernah bertemu pandang. sekarang bolehkah aku minta keterangan kepadamu, apa sebabnya kau bentrok dengan sahabatku ini? Bagaimana pendapatmu mana-kala aku memberanikan diri, untuk mendamaikan perselisihan kalian berdua?"

   "Apabila emas yang kuminta bisa dikembalikan, barulah persoalan selesai!"

   Kata Cie Lan.

   "Hemm! Begitu gampang?"

   Dengus Kun Jie.

   "Saudara Kun Jie, mari kuperkenalkan ..."

   Sin Houw mencoba meredakan ketegangan.

   "Dia bernama Cie Lan, seperti kataku tadi, sejak kanak-kanak kami berdua pernah hidup dibawah satu atap, sampai pada hari ini, lebih dari sepuluh tahun lamanya kami tak pernah bertemu, Mari, aku perkenalkan ..."

   Kun Jie tetap bersikap dingin. ia mengawasi Cie Lan dengan pandang tegang. Melihat hal itu, hati Sin Houw menjadi tak enak, Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan. Katanya kepada Cie Lan.

   "Bagaimana kau segera mengenali diriku?" "Tanda bekas luka didahimu, sebelah kanan!"

   "Tanda bekas luka?"

   Thio Sin Houw meraba dahinya dengan tercengang.

   "Bagaimana aku bisa melupakan kejadian dulu itu, tatkala kau dilukai, penculik yang mencoba melarikan aku, seumpama kau tidak berusaha menolong diriku dengan mati-matian, entahlah bagaimana akibatnya. Apakah peristiwa itu tak pernah terkenang lagi olehmu?"

   Merah wajah muka Sin Houw, sambil menurunkan tangan dari dahinya, ia menyahut.

   "Tak mungkin kulupakan. Bukankah waktu itu kita sedang bermain-main?"

   Giok Cu yang selama itu mendengarkan pembicaraan mereka, tiba-tiba ikut bicara.

   "Kalau masih hendak berbicara berkepanjangan lagi, masuklah ke dalam !"

   Tetapi Sin Houw tidak menghiraukan, gelisah ia minta keterangan kepada Cie Lan.

   "Sebenarnya, bagaimana asal mulanya, kau sampai bentrok dengan saudara Kun Jie?"

   "Aku dan ciu suheng kena pegat."

   Cie Lan memberikan keterangan.

   "Ciu suheng? siapakah dia?"

   Tanya Sin Houw.

   "Dia adalah keponakan luar dari Siok-hu Thio Hian Cong."

   Kata Cie Lan menerangkan.

   "Kami berdua sedang mengantarkan uang mas milik Thio Su Seng untuk propinsi Ciat-kang. Dan orang busuk itu tiba-tiba merampasnya!"

   Dan Cie Lan menunjuk Giok Cu.

   Sekarang, barulah jelas bagi Sin Houw bahwa uang emas rampasan Giok Cu sesungguhnya milik laskar pejuang yang dipimpin oleh Thio Su Seng, Dan setelah ia mengetahui uang perbekalan itu kena dirampas, sudah seharusnya ia tidak akan tinggal diam, jangan lagi terhadap pahlawan pejuang bangsa itu, seumpama uang emas itu milik CieLan atau ibunya, dalam keadaan demikian ia akan berpihak padanya.

   sekalipun terhadap Giok Cu.

   Lagipula, uang emas itu pasti sangat penting artinya untuk perbekalan perjuangan bangsa.

   Karena itu sudah seharuanyalah kalau ia membantu-nya! Setelah memperoleh keputusan demikian, ia berkata kepada Giok Cu.

   "Hiantee! Maukah kau mengembalikan uang emas itu kepadanya?"

   "Hmm!"

   Giok Cu mendengus.

   "Menghadaplah sendiri kepada kedua pamanku itu. Ajaklah beliau berbicara!"

   Mendengar syarat itu, Thio Sin Houw segera menghampiri.

   Karena dia telah menjadi saudara angkat Giok Cu dan ternyata kedua orang tua itu adalah pamannya, maka tiada jeleknya apabila dia berlutut untuk memberi hormat kepada mereka, Demikian, setelah berhadapan maka Sin Houw bergegas hendak berlutut.

   Orang tua yang memegang tongkat cepat-cepat berkata.

   "Hey! Tak berani aku menerima penghormatanniu. Anak muda, kau bangunlah!"

   Dimulut dia berbicara demikian manis, tetapi setelah ia menyandarkan tongkatnya, dengan tangannya ia memegang bahu Sin Houw, Kemudian diangkatnya sambil mengerahkan himpunan tenaga saktinya.

   Thio Sin Houw terperanjat tatkala kena angkat orang tua itu, Apabila membiarkan diri, ia akan terlempar ke udara.

   Maka iapun segera mengerahkan tenaga dalamnya agar badannya jadi seberat gunung.

   Dengan menggunakan ilmu sakti itu, ia berhasil tetap berlutut dengan tubuh tak bergeming.

   Didalam hati, orang tua itu menjadi sangat terkejut, Pikirnya.

   "Hebat anak ini! sekian puluh tahun aku melatih menghimpun tenaga sakti , namun masih tak sanggup aku mengangkat tubuhnya,"

   Ia lantas tertawa berkakakan sambil berkata.

   "Selamat! selamat! pantas keponakanku memujimu sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi. Benarbenar tak tercela, dan aku telah membuktikannya sendiri!"

   Giok Cu yang berada di belakang Sin Houw maju ke samping dan berkata memperkenalkan "lnilah pamanku yang ketiga, Sam-susiok. Dan ini adalah pamanku yang ke lima, Go-susiok ..."

   Baik sang paman yang ketiga maupun yang ke lima, membungkam mulut.

   Mereka seperti tak senang diperkenalkan kepada Thio Sin Houw.

   Pemuda itu menjadi perasa, diam-diam ia merasa mendongkol.

   Tetapi ia seorang pemuda yang pandai membawa diri, segera ia menoleh kepada Giok Cu dan berkata dengan suara tegas.

   "Hiantee, aku minta dengan hormat agar emas itu segera kau kembalikan ke pada adikku!"

   "Adik! Adik!"

   Giok Cu jadi iri-hati.

   "selalu saja kau sebut dia adik, Begitu besar perhatianmu kepadanya mengapa aku tak memperoleh perhatianmu yang layak?"

   "Giok Cu Hiantee! Kita semua adalah golongan ksatrya, kalau tak mau di sebut sebagai golongan pendekar. Jangan kau bergurau keterlaluan!"

   Kata Sin Houw tak memperdulikan ocehan Giok Cu.

   "Emas itu kau rampas, karena kau tidak mengetahui siapa pemiliknya, Tak apalah! siapapun bisa berbuat salah. Dan hidup ini cukup lapang untuk me maafkan kesalahanmu itu. Tetapi setelah mengetahui bahwa uang emas itu adalah milik laskar perjuangan, sudah seharusnyalah kau kembalikan dengan segera, Malahan kita wajib mohon maaf yang sebesar-besarnya,"

   Thio Ceng Sam yang menjadi Sam-susiok dari Giok Cu dan Thio Ceng Go sang paman kelima, jadi tak enak hati.

   Tadinya mereka mengira, bahwa uang emas itu milik seorang saudagar besar yang sedang sial, Tak tahunya uang emas itu milik laskar perjuangan yang dipimpin oleh Thio Su Seng, sekarang setelah mereka mengetahui, seumpama gadis itu dapat diusir pergi, Thio Su Seng pasti akan mengirimkan laskarnya, siapa yang mampu menghadapi laskar yang besar jumlahnya? inilah ancaman yang sangat membahayakan kesejahteraan keluarga Co-liang pay! Memperoleh pertimbangan demikian, kembali Thio Ceng sam tertawa, lalu ia berkata kepada Giok Cu.

   "Keponakanku, demi persahabatanmu dengan dia, kau kembalikanlah uang emas itu!"

   Girang hati Thio Sin Houw mendengar perintah Thio Ceng Sam. inilah suatu keputusan yang bijaksana, Diluar dugaan, Giok Cu menyahut galak.

   "Tidak, paman! Tak dapat aku kembalikan uang emas itu"

   Thio Sin Houw tercengang. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya, maka segera ia berkata.

   "Oh, ya, Yang sebagian memang berada padaku, Biarlah aku mengembalikan dahulu kepadanya, bagaimana?"

   "Jika yang sebagian kau yang menghendaki, aku akan segera menyerahkan kepadamu,"

   Kata Giok Cu.

   "Selamanya tak pernah aku menganggap sebungkus emas sebagai barang mustika dunia. Te- tapi kalau dia yang menghendaki aku mengembalikan uang emas yang telah aku rampas, hmm ... tak sudi aku menyerahkannya!"

   Berkata demikian Giok Cu menuding Cie Lan dengan mata berapi-api. Cie Lan menjadi gusar, ia maju selangkah dan berkata bengis.

   "Kau mau mengembalikan atau tidak ? Atau kau ada syarat-syarat tertentu? sebutkan!"

   Giok Cu tak menghiraukan reaksi Cie Lan, masih saja ia menatap Thio Sin Houw, Menegas kepada pemuda itu.

   "Sebenarnya kau berpihak dimana? Dia atau aku?"

   Memperoleh pertanyaan demikian, Thio Sin Houw jadi bimbang, Hati-hati ia memberikan jawaban.

   "Sebenarnya aku tidak memihak siapapun, hanya saja aku patuh kepada guruku."

   "Gurumu? siapakah gurumu itu?" "Guruku salah seorang panglima penting dalam laskar Thio Su Seng."

   "Hemm!"

   Dengus Giok Cu mendongkol.

   "Pulang-balik, kau hanya membantu dia. Baiklah, Emas itu memang berada di sini. Tetapi kau sendiri tahu, betapa sulitnya aku mempertahankan emas itu. Malahan kalau tidak bernasib baik dan berakal jitu, pastilah jiwaku sudah melayang ditengah perjalanan. Karena aku memperoleh emas itu dengan akal dan keringat, maka kaupun harus merebutnya kembali dengan akal dan keringat pula, Aku beri waktu tiga hari, kau rebutlah emas itu. Tetapi bila dalam waktu tiga hari kau tak berhasil merebutnya, maka akupun tak akan bersegan-segan lagi terhadapmu!"

   Thio Sin Houw menyambar tangan Giok Cu, dan diajaknya menyendiri. Katanya.

   "Adikku, semalam kau berjanji mau mematuhi dan taat kepadaku, tetapi belum lagi setengah hari kata-katamu sudah berubah. Mengapa?"

   "Jika kau perlakukan diriku dengan baik sekali, pastilah aku akan patuh pada setiap patah perkataanmu. Bukankah aku berkata begitu?"

   Sahut Giok Cu cepat.

   "Apakah aku bersikap tak baik kepadamu?"

   Sin Houw tak mengerti.

   "Benarkah aku tak dapat mengambil uang emas itu kembali?"

   Kedua mata Giok Cu menjadi merah basah. Katanya.

   "Baru semalam kau mengangkat diriku sebagai saudaramu, Tetapi begitu bertemu dengan sahabat lama, kau sudah tidak menaruh perhatian lagi kepadaku. seumpama aku hendak mengangkangi emas Thio Su Seng, apa yang aku andalkan? Paling-paling aku pasti mati, Ya, memang sebenarnya aku harus tahu diri, bahwa didunia ini tiada seorangpun yang menaruh belas kasih kepadaku.."

   Hati Sin Houw tergetar. Tetapi jawaban Giok Cu tidak juga membuatnya puas, maka ia berkata untuk memberikan pengertian.

   "Kau adakah adik angkatku, dan dia adalah puteri sahabatku, Baik dia maupun kau, kupandang sebagai bagian dari hidupku sendiri. Tiada sama sekali aku membedabedakan, mengapa kau bersikap kaku begini?"

   "Sudahlah, jangan bicara berkepanjangan!"

   Bentak Giok Cu.

   "Kalau mempunyai akal, kau ambil saja emas itu dalam waktu tiga hari..."

   Dan setalah berkata demikian, ia lari kedalam.

   Thio Sin Houw menarik napas.

   Hatinya masgul luar biasa.

   Karena menumbuk suatu kegagalan, terpaksalah ia membawa Cie Lan keluar dari rumah keluarga Thio, dan menginap dirumah seorang keluarga petani.

   Di rumah ini, Sin Houw minta keterangan asal-mula terjadinya perampasan uang emas itu kepada Cie Lan, Dan Cie Lan memberi keterangan terlalu sederhana.

   ia seperti belum percaya penuh kepada Thio Sin Houw, Katanya, ia berdua Ciu suheng yang katanya menjadi keponakannya Thio Hian Cong pada suatu kali berpisah, dan pada saat itu enam kawalannya kena dirampas Giok Cu.

   Karena emas itu menjadi tanggung jawabnya, ia lantas menyusul ke rumah keluarga Cio-liang pay.

   "Selanjutnya, kau sendiri menyaksikan bagaimana kesudahannya,"

   Cie Lan menutup ceritanya.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat Cie Lan berbimbang-bimbang terhadap dirinya, Sin Houw membatalkan maksudnya yang hendak mengetahui latar belakang persoalannya, ia segera mempersiapkan diri dalam usahanya, hendak merebut uang emas itu kembali dari tangan Giok Cu.

   Pada malam harinya, sekitar jam dua Sin Houw mengajak Cie Lan untuk mengintai gerak-gerik pihak Cio-liang pay.

   Begitu melompat diatas genting, ia melihat gedung pertemuan terang-benderang oleh nyala api.

   Thio Ceng Sam dan Thio Ceng Go duduk berhadap-hadapan dengan Giok Cu dan Kun Jie mereka makan-minum diseling pembicaraan yang menggembirakan, seolah olah sedang berpesta.

   Sin Houw mencoba menguping pembicaraan mereka.

   siapa tahu dengan tak sadar mereka menyinggung tentang uang emas yang disembunyikan.

   selagi demikian, ia mendengar Giok Cu berkata seperti kepada dirinya sendiri.

   "Bungkusan emas memang ada disini - siapa saja yang merasa diri mempunyai kepandaian, boleh ambil."

   Dan setelah berkata demikian, ia tertawa melalui dadanya. Cie Lan menarik lengan Sin Houw, Bisiknya.

   "Rupanya dia sudah mengetahui kita berada disini."

   Thio Sin Houw mengangguk.

   Meskipun demikian, pandang matanya tak beralih, ia melihat Giok Cu meletakkan dua buah bungkusan diatas meja, segera ia membukanya, dan terpantullah sinarnya yang bergemerlapan.

   itulah emas yang dipertaruhkan.

   Kemudian ia meletakkan pedangnya disampingnya.

   Kun Jie yang duduk disampingnya, meletakkan pula goloknya diatas meja, Kemudian mereka meneguk minumannya dan menikmati penganan yang disediakan.

   "Mereka sengaja memperlihat emasnya, dengan penjagaan yang rapi dan kuat, Tiada jalan lain, kecuali mengadu kekerasan. perlukah aku berbuat begitu?"

   Pikir Sin Houw didalam hati, ia menoleh kepada Cie Lan untuk memperoleh pertimbangan tetapi gadis itu hanya membungkam mulut saja.

   Setengah jam lamanya Sin Houw dan Cie Lan menunggu, mereka yang berada didalam gedung tetap saja duduk dikursinya masing-masing, Akhirnya terpaksa Sin Houw mengalah.

   Dengan hati kesal ia mengajak Cie Lan pulang ke tempat pemondokannya.

   Malam itu mereka merasa gagal merampas emasnya kembali.

   Keesokan harinya sikap Cie Lan agak beda, ia tak menaruh sangsi lagi kepada Sin Houw, sekarang ia menceritakan tentang keadaan ibunya yang katanya dalam keadaan sehat dan seringkali membicarakannya.

   Sin Houw lalu mengambil gelang emas kecil dari dalam sakunya, yang diperlihatkan kepada Cie Lan.

   Katanya.

   "lnilah gelang emas pemberian ibu mu, tatkala aku hendak berangkat mendaki gunung Hoa-san. Dahulu, pergelangan tanganku tidak sebesar sekarang, Karena itu gelang emas pemberian ibumu hanya kusimpan didalam saku, Aku selalu membawanya ke mana saja aku pergi."

   Cie Lan tertawa. ia memperhatikan lengan Sin Houw dan gelang emas itu, lalu katanya mengalihkan pembicaraan mereka.

   "Sepuluh tahun lebih kita tidak pernah bertemu, akupun tak pernah mendengar beritamu, Sesungguhnya, selama itu apa saja yang telah kau kerjakan?"

   "Setiap hari aku hanya berlatih dan mendalami ilmu ajaran suhu."

   Jawab Sin Houw sederhana.

   "Pantas saja ilmu kepandaianmu hebat sekali."

   Cie Lan memuji.

   "Sewaktu kemarin kau menolak tubuhku, kedudukanku gempur."

   "Tetapi, dari mana kau memperoleh ilmu pedang itu?"

   Sin Houw minta keterangan .

   "Siapakah yang memberimu pelajaran ?"

   Memperoleh pertanyaan itu, tiba-tiba kelopak mata Cie Lan basah, jawabnya.

   "Ciu suheng yang mengajari, Bukankah dia termasuk salah seorang murid golongan Hoa-san?"

   Hati Sin Houw tercekat melihat kelopak mata Cie Lan yang menjadi basah dengan tiba-tiba. Tanyanya menebas.

   "Apakah dia terluka dalam perjalanan ini?"

   "Tak mungkin dia terluka ..."

   "Kalau begitu, mengapa kau bersedih hati?"

   "Aku dibiarkan berjalan seorang diri, dia berpisah dan meninggalkan aku tanpa pamit."

   Cie Lan menundukkan kepalanya.

   Thio Sin Houw tak mau mendesak.

   Ia lantas mengalihkan pembicaraan tentang kemungkinan nanti malam, dalam usaha merebut kembali uang emas, Dan apabila sudah memperoleh kata sepakat, mereka lalu bersemedi menghimpun tenaga dalam masing-masing.

   Larut malam, mereka mengintai lagi dari atas genting gedung pertemuan, seperti kemarin malam, Meja itu tetap terjaga oleh empat orang, Hanya saja kedudukan Thio Ceng Go ditempati oleh lain orang, Pastilah mereka itu termasuk pula anggauta keluarga Cio-liang pay.

   Menurut keterangan Giok Cu, semua pamannya berjumlah lima orang.

   Bila hanya dua orang memperlihatkan diri secara terang-terangan, tentunya yang tiga orang sedang bersembunyi di suatu tempat tertentu.

   Thio Sin Houw seorang pemuda yang cermat, lantaran tergodok oleh pengalaman hidupnya sejak kanak-kanak.

   Memperoleh dugaan demikian, segera ia mengisiki Cie Lan.

   "Waspadalah! Pasti ada beberapa orang yang bersembunyi disekitar tempat ini, Kita mau mengintai mereka, jangan-jangan justru kita yang mereka intai."

   Cie Lan manggut.

   Sekonyong-konyong kedua alisnya berkerut, Tanpa minta pertimbangan, ia melompat turun.

   Gerakan itu membuat hati Sin Houw terkesiap, segera ia mengejar dengan maksud mengawal dari belakang.

   Cie Lan ternyata mengarah ke belakang gedung.

   ia mencari dapur dan terus menyalakan api.

   sebelum Sin Houw sempat memberi pertimbangan, dapur sudah dibakarnya, sebentar saja api menjilat tinggi sampai keatap gedung, seketika itu juga, seluruh anggauta rumah tangga menjadi kacau-balau, Gugup mereka lari berserabutan mencari air dan merobohkan ranting-ranting pohon untuk memadamkan api, Dan pada saat itu, Cie Lan lari balik keatap gedung pertemuan.

   Tahulah Sin Houw akan maksud gadis itu.

   ia hendak mengalihkan perhatian empat orang yang berada di dalam gedung pertemuan itu, Dan akal itu memang tepat sekali.

   Tatkala mereka berdua telah berada diatas atap gedung pertemuan kembali, keempat orang tadi tiada nampak lagi.

   Cie Lan girang, ia merasa dirinya cerdas dan akalnya berjalan dengan baik sekali.

   Terus saja ia berseru kepada Sin Houw.

   "Mereka sedang sibuk memadamkan api, mari kita bekerja!"

   Dan segera ia melompat turun melalui jendela, Sin Houw mencontoh perbuatannya, tetapi ia berhenti bergelantungan di luar jendela, untuk menjaga kemungkinannya.

   "lkut aku!"

   Ajak Cie Lan.

   Gadis itu tiba diatas lantai dan hendak segera menghampiri meja.

   Sin Houw terpaksa pula mengikuti.

   ia melihat bungkusan emas itu berada diatas meja tanpa penjaga.

   Dan dengan bernapsu Cie Lan maju selangkah.

   Tangannya menyambar.

   Mendadak saja Sin Houw merasakan suatu keanehan.

   Lantai yang di injaknya terasa lunak dan bergoyang, segera sadarlah dia, bahwa lantai itu merupakan lobang jebakan.

   Cepat tangannya bergerak menjangkau tubuh Cie Lan, sambil melompat ke samping.

   Tetapi terlambat! sambaran tangannya gagal, pada detik itu juga, Cie Lan terjeblos kedalam lubang jebakan.

   Sin Houw menjejakkan kakinya pada lantai yang menjeblak kedalam, tangannya menyambar dan berhasil mencapai tiang yang berada di sebelah meja.

   Kemudian ia menurunkan kakinya pada dasar tancapan tiang itu, ia selamat, tetapi kaget dan cemas memikirkan nasib Cie Lan.

   Dengan jantung bertebaran keras ia berpaling kearah jendela, Dan seseorang yang merasa terancam bahaya, biasanya menjadi peka oleh rasa naluriahnya, Apalagi Sin Houw seorang pemuda yang mempunyai pembawaan cerdas luar biasa.

   Tiba-tiba saja ia menaruh curiga terhadap jendela itu, menurut dugaannya, pada jendela itulah terletak pesawat penggerak lantai jebakan.

   Memperoleh dugaan demikian, terus saja ia melompat hendak menyelidiki.

   Selagi badannya terapung diudara, angin tajam menyambar padanya.

   Tahulah dia, seseorang menyerang dari belakang punggungnya, Cepat ia menangkis, suatu bentrokan terjadi.

   Prak! Dan orang itu terdorong mundur, Namun dia ternyata gesit, Begitu roboh diatas lantai, dia meletik bangun.

   Thio Sin Houw tak sudi kena dilibat oleh perkelahian ia melompat ke atas genting, Tetapi orang itupun menyusul dengan sebat pula.

   pemuda itu mendongkol juga, ia memutar pandang dan pada saat itu, bulu kuduknya menggeridik, sebab dengan tiba-tiba saja, ia telah kena kepung.

   Beberapa orang yang berperawakan tak rata memandang padanya dengan bengis.

   Yang langsung berhadapan dengan dia, seorang laki-laki berperawakan pendek kecil setengah cebol.

   Disampingnya seorang laki-laki pula, berperawakan tinggi besar.

   Orang itu nampak perkasa sekali.

   Dua orang itu didampingi empat orang lagi yang bersenjata lengkap.

   Dan karena mereka berdiri membelakangi cerah bulan.

   Sin Houw tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

   Sin Houw lantas memperhatikan orang yang menyusulnya, ternyata dia adalah Kun Jie, Dan begitu melihat Kun Jie, segera ia menyadari siapakah mereka.

   Jelas mereka adalah sisa tiga orang pamannya Kun Jie yang belum pernah dilihatnya.

   Hanya ia belum mengetahui apakah mereka benar-benar hendak mencelakai dirinya.

   Memperoleh pikiran itu, ia bersikap waspada dan hati-hati.

   Diantara mereka yang mengepung kecuali Kun Jie, ia mengenal tiga orang dengan segera.

   Yang pertama adalah Thio Ceng Sam, kemudian Thio Ceng Go dan yang ketiga Giok Cu, Tatkala ia bermaksud hendak menegurnya, tiba-tiba orang yang berperawakan tinggi besar tertawa terbahakbahak.

   Hebat perbawanya, atap yang diinjaknya bergetar dan suara tertawanya nyaring sekali.

   "Kami berlima tinggal di sebuah dusun yang sunyi!"

   Katanya nyaring.

   "Tak pernah kami duga, bahwa pada hari ini salah seorang bawahan Thio Su Seng sudi mengunjungi rumah kami."

   Thio Sin Houw maju selangkah. ia memanggut hormat seraya menyahut.

   "Perkenankan aku memperkenalkan diri terhadap susiok sekalian."

   "Tidak usah. Bukankah kau bernama Thio Sin Houw?"

   Orang itu menukas dengan galak. Giok Cu yang berdiri di belakang mereka, maju menengahi, Katanya memperkenalkan paman-pamannya.

   "inilah pamanku yang paling tua, Ceng It, Dan ini pamanku yang kedua, Ceng Jie, Dan ini yang keempat, Ceng Sie. Dan dia kakak misanku yang lain, Kun Cie, puteranya paman Ceng it ..."

   Thio Sin Houw memanggut hormat, setiap kali Giok Cu menyebut nama mereka masing-masing. Didalam hati ia berpikir.

   "Rupanya keluarga mereka menggunakan nama Ceng untuk golongan tertua, dan Kun untuk yang muda-muda. Entah apalagi untuk generasi berikutnya, dan entah apa pula maksud mereka,"

   Diantara kelima bersaudara, Ceng Jie yang beradat berangasan.Dengan segera ia menegur.

   "Hey, anak muda! usiamu belum seberapa, tetapi sudah pandai membakar rumah. Bagus! sesungguhnya kepandaian apakah yang kau andalkan?" "ltulah perbuatan temanku yang semberono."

   Sahut Sin Houw dengan sopan.

   "Aku sangat menyesal atas terjadinya pembakaran itu. syukurlah, api tidak begitu besar. Biarlah esok pagi, akan kuperintahkan ia menghaturkan maaf kepada paman sekalian."

   Ceng Jie melotot marah. Memang, api telah dapat dipadamkan, akan tetapi hatinya masih saja panas. Ceng Sie yang berperawakan tinggi jangkung dengan punggung agak melengkung, maju ke depan. Katanya menimbrung.

   "Puluhan tahun kami tinggal disini, selama itu belum pernah kami terusik oleh pekerti siapapun. Mereka yang datang kemari, hanyalah untuk menghaturkan rasa hormat mereka. sebaliknya kau yang masih begini muda, berani membuat onar disini, sebenarnya siapakah gurumu?"

   "Guruku berada dalam laskar Thio pekhu."

   Sahut Sin Houw dengan tenang.

   "Kedatanganku kemari semata-mata untuk memohon, agar paman sekalian sudi mengembalikan emasnya Thio Pekhu. Aku berjanji hendak membujuk guruku, agar beliau sudi berkirim surat kepada paman sekalian untuk menyatakan rasa terima kasih."

   Thio Ceng Sie mendengus. sekian panjangnya pemuda mengoceh, akan tetapi nama gurunya tidak pernah disinggungnya, selagi hendak membuka mulut, kakaknya yang tertua, Ceng It, membentak nyaring kepada pemuda itu.

   "Siapakah gurumu?"

   Thio Sin Houw mendehem. Menyahut.

   "Guruku jarang sekali berkelana atau memperkenalkan diri, Karena itu, tak berani aku menyebutkan nama beliau, lagi pula, bagi paman sekalian tiada artinya sama sekali."

   "Hemm!"

   Ceng Jie tak sabar lagi, Memang adatnya berangasan. lantas saja ia memutuskan.

   "Jadi kau masih hendak sembunyikan nama gurumu? Apakah kau kira, kami tidak dapat mengenal gurumu? Kami mempunyai cara lain, kau berhati-hatilah!"

   Dan dengan wajah merah padam ia berseru kepada Kun Cie.

   "Kun Cie! Coba kau bermain main sebentar dengan anak itu!"

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seorang pemuda yang tadi diperkenalkan sebagai puteranya Ceng It, dengan gesit masuk ke gelanggang, Terus saja tangannya bergerak menampar pipi, kemudian kakinya menyusul membuat suatu tendangan.

   Thio Sin Houw mengelak, dan Kun Cie melepaskan tinju kirinya.

   Pikir Sin Houw didalam hati.

   "Mereka berjumlah banyak.

   "Kalau mereka maju satu demi satu, aku bisa celaka karena lelah, Bila aku tidak melawannya dengan cepat, sulit untukku meloloskan diri."

   Oleh pikirannya itu, ia menyambut tinju kiri Kun Cie dengan berhadap-hadapan, Tangan kanannya berkelebat menyambar tinju itu, lalu dilemparkan ke belakang sambil melompat kesamping.

   Kun Cie tak berkesempatan lagi untuk membebaskan dirinya yang kena disambar.

   Belum lagi ia menancapkan kakinya, tubuhnya sudah tertarik ke depan, Tidak dikehendaki sendiri, ia menyelonong ke depan.

   Tatkala kakinya menginjak atap, genting yang diinjaknya pecah.

   Dan ia terjeblos ke bawah.

   Syukurlah pada saat itu, Ceng sam masih berkesempatan menyambar dirinya.

   Sekiranya tidak demikian, pastilah dia bakal terbanting kelantai, Mukanya merah padam oleh rasa malu, dengan penasaran ia menyerang lagi.

   Thio Sin Houw sudah bersiaga, sama sekali ia tak bergeming tatkala lawannya menyerang dengan dahsyat.

   ia agaknya hendak mengadakan perlawanan dengan berhadaphadapan, Tetapi mendadak saja, ia memutar tubuhnya berbareng menarik kaki kirinya.

   Dak! Dan Kun Cie roboh terjungkal.

   Sin Houw ternyata tidak hanya mendupakkan kaki kirinya saja, iapun menggerakkan tangan kanannya selagi kaki kirinya ditarik, Dengan suara deras, tangan kanannya menyambar pantat Kun Cie, ia mencengkeram dan mengangkatnya oleh gerakannya itu, tak sampai Kun Cie mencium tanah.

   ia malahan dapat berdiri kembali dengan tak kurang suatu apa.

   Bukan main rasa mendongkol Kun Cie, Akan tetapi tak dapat ia berkelahi lagi, ia harus tahu diri.

   Meskipun matanya masih melototi terpaksa ia mengundurkan diri.

   "Hey! Anak ini benar-benar hebat!"

   Seru Ceng Jie dengan hati gusar.

   "Biarlah aku mencoba-coba mengadu kepandaian dengan murid seorang sakti."

   Setelah berseru demikian, ia maju sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba Giok Cu melompat ke samping orang tua itu, dan membisik.

   


Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Pedang Abadi -- Khu Lung

Cari Blog Ini