Ceritasilat Novel Online

Golok Halilintar 3


Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 3



Golok Halilintar Karya dari Khu Lung

   

   Diluar dugaan, Thio Cin Houw menggelengkan kepalanya. Katanya dengan suara tegas.

   "Tidak! Tak sudi aku bersumpah, karena akupun tak sudi mempelajari ilmu kepandaian mereka."

   Tie-kong tianglo tercengang, Tak segera ia memaklumi keadaan Thio Sin Houw yang terlalu sedih memikirkan kematian ayah dan ibunya, Di sepanjang jalan, tidak hentihentinya ia memberikan pengertian yang mendalam dan mencoba membimbingnya kearah penglihatan yang lebih luas.

   Akan tetapi watak Thio Sin Houw terlalu keras tidak mudah dia menyerah, Malahan lebih baik mati tak berkalang tanah daripada menerima belas kasih lawan! Teringat hal itu, cepat cepat Tie kong tianglo keluar dari ruang pendopo, Kemudian berkata dengan suara perlahan.

   "Sin Houw, Ketika kubawa kau kemari, bukankah kau telah setuju untuk mohon belajar ilmu sakti kepada para pendeta Siauw-lim sie?, Kenapa kau kini mengingkari kesanggupanmu sendiri?"

   "Aku harus bersumpah tidak boleh menggunakan ilmu ajaran mereka untuk bermusuhan dengan pihak mereka,"

   Jawab Thio Sin Houw dengan suara menggeletak "bagaimana mungkin, sucouw? Bagaimana Mungkin? Bukankah mereka ikut serta membunuh ayah-bunda dan sekalian saudaraku?"

   "Benar."

   Sahut Tie-kong tianglo dengan menghela napas.

   "Tetapi kalau kau kini menolak ajaran mereka, dalam waktu satu tahun jiwamu akan melayang. Lantas bagaimana caramu untuk membalaskan dendam orang tua dan saudaramu yang mati penasaran? Karena itu yang paling penting sekarang, adalah menyelamatkan jiwamu dahulu. Kemudian engkau berlatih ilmu sakti yang banyak ragamnya di dunia ini. Masakan kau tak sanggup mengalahkan musuh-musuhmu dengan ilmu sakti yang lain? Kenapa kau hanya menganggap hanya ilmu sakti Siauw-lim pay saja yang bisa mengalahkan mereka?"

   Suatu cahaya berkelebat di dalam benak Thio Sin Houw, samar-samar ia seperti mengerti, apa sebab kakek-gurunya bersikap mengalah dan sama sekali tak mau menyinggung kematian muridnya, Mungkin sekali, inilah perhitungannya, Yang penting.

   menyelamatkan jiwanya dahulu, setelah itu perkara penuntutan dendam dapat dilaksanakan dengan perlahan-lahan.

   sepuluh tahun lagi, rasanya belum kasep.

   Dan memperoleh pengertian demikian, lantas saja ia menjawab.

   "Baiklah, sucouw, Cucu muridmu ini patuh kepada kebijaksanaanmu,"

   "Bagus!"

   Kata Tie-kong tianglo setengah berseru.

   "Kau mengerti maksud kakekmu ini, bukan? sekarang cepatcepatlah kau berlutut dihadapan mereka, sebelum mereka berubah pendirian. Kau bersumpahlah akan menepati Janji."

   Tie-kong tianglo kemudian membawa Thio Sin Houw memasuki ruang pendopo kembali.

   Waktu itu Cie-beng Taysu dan yang lainnya sudah berdiri tegak menunggu keputusannya, Dengan pandang berkilat-kilat mereka menatap wajah Thio Sin Houw yang pucat dan perawakannya yang kurus kering.

   "Bagaimana?"

   Tanya Cie-beng Taysu dengan suara tak sabar.

   Thio Sin Houw kemudian membungkuk hormat.

   *** DENGAN BERDIRI berjajar, Cie-beng Taysu dan rekanrekan seperguruannya menatap Thio Sin Houw seakan-akan dewa sakti turun dari langit hendak menebarkan maut.

   Kemudian berkata memutuskan.

   "Kalau begitu, mari kita masuk."

   Setelah berkata demikian, ia mendahului berjalan memasuki ruang kuil Siauw-lim sie, tanpa memperdulikan tetamunya.

   Dan Tie-kong tianglo yang sudah bebas dari semua bentuk ikatan tata-tertib keduniawian dengan tak merasa tersinggung membimbing tangan Thio Sin Houw mengikuti mereka.

   sebaliknya hati Thio Sin Houw semakin menjadi mendongkol, namun melihat kakek gurunya bersikap sabar dan tenang, lambat-laun ia menjadi tenang pula.

   Diserambi depan Thio Sin Houw diharuskan bersumpah.

   ia berlutut di hadapan Cie-beng Taysu, kemudian bersumpah.

   "Aku, Thio Sin Houw, berkat kemurahan dan keluhuran budi para pendeta kuil Siauw-liin sie menerima petunjukpetunjuk ilmu sakti pada hari ini. ilmu sakti ini bertujuan untuk menyembuhkan tubuhku yang menderita sakit. Karena itu, aku tidak akan mengajarkan ilmu sakti ini kepada siapapun juga, dan tidak akan menggunakan untuk memusuhi murid-murid pihak Siauw-lim pay. Jika sampai aku melanggar sumpah ini, biarlah aku terajang seperti ayah-ibuku."

   Tatkala mengucapkan perkataan ayah dan ibunya, hatinya tergetar.

   Hampir saja ia mengucurkan air mata.

   Dengan sekuat tenaga ia menahan perasaannya yang bergolak itu, akan tetapi mendadak ia jadi sakit hati, Dan tercetuslah sumpahnya didalam hatinya.

   Ayah dan ibu mati kena keroyok mereka, dikemudian hari masakan aku takkan mampu membalas dengan menggunakan ilmu sakti lainnya, Hm ..

   mudah-mudahan kalian masih hidup, agar kelak dapat merasakan betapa besar rasa dendamku ini.

   Sudah tentu pihak Cie-beng Taysu dan kawan-kawannya tidak mendengar gelora hati Thio Sin Houw, setelah dapat menerima bunyi sumpah Thio Sin Houw, ia berpaling kepada Tie-kong tianglo, Berkata Cie-beng Taysu dengan suara merasa menang.

   "Baiklah, sekarang juga kami akan membawa anak ini masuk ke dalam pertapaan, Dia akan memperoleh petunjuk petunjuk rahasia ilmu sakti kita dari seorang yang kami wajibkan menurunkan ilmu warisan kami. Tetapi ilmu sakti yang anda janjikan tadi ..."

   "Pinjamkan siauwto alat tulis,"

   Potong Tie-kong tianglo.

   "Sekarang juga siauwto pun hendak menulis seluruh rahasia ilmu sakti yang dimaksud. Nah, biarlah aku menulis didalam gardu penjagaan saja."

   "Baiklah,"

   Sahut Cie-beng Taysu.

   "Kalau begitu, silahkan tianglo menunggu digardu penjagaan, sementara kami menyediakan alat tulis dan beberapa hidangan sederhana."

   Thio Sin Houw waktu itu sudah berdiri.

   Mendengar maksud kakek gurunya hendak menulis pula ilmu sakti ciptaannya, menjadi penasaran sekali.

   Akan tetapi pada waktu itu ia tidak berdaya menentang, maka ia hanya patuh saja ketika diperintahkan mengikuti seorang pendeta memasuki ruang pertapaan.

   Kuil Siauw-lim sie bersandar pada sebuah pinggang bukit yang mempunyai penglihatan sangat luas, tempatnya tenang dan berhawa bersih.

   Dibandingkan dengan tempat bersemayam Tie-kong tianglo di atas gunung Boe-tong san, keindahannya menang beberapa kali lipat.

   Halamannya luas dan ditanami dengan berbagai macam pohon bunga.

   Maka sambil berjalan, hidung Thio Sin Houw menghirup udara semerbak wangi.

   Sesungguhnya hal itu dapat menyegarkan perasaan, akan tetapi Thio Sin Houw dalam keadaan murung.

   ia mengikuti Cie-goan Taysu, pendeta yang mengantarnya dengan kepala kosong.

   Setelah berjalan serintasan mulailah dia dibawa menyeberangi lapangan rumput.

   Kemudian memasuki petak hutan yang tampaknya sengaja ditanam, Apabila semak belukar yang berada didepannya tersibakkan, maka tampaklah batu yang berbentuk panjang.

   Bangunan itu mempunyai beberapa jalan batu yang bersih.

   "sementara di sebelah kiri dan kanannya sunyi lenggang. Tiada sebatang hidungpun yang nampak, akan tetapi Thio Sin Houw sudah terbiasa dibawa serta orang tuanya menyingkiri puluhan bentuk bahaya, ia memiliki pancaindera yang tajam. ia merasa dirinya selalu diikuti suatu pandang mata yang bersembunyi entah dimana, sehingga bulu kuduknya meremang. Ketika telah berada di dalam kuil, Cie-goan Taysu mengantarkan Sin Houw ke sebuah kamar kecil.

   "Siauw siecu, kau beristirahatlah disini,"

   Katanya.

   "Aku akan segera mengirim orang untuk mengajarkan ilmu kepadamu."

   Setelah berkata begitu, ia mengebas dengan lengan jubahnya dan jalan darah "Swee-hiat" (jalan darah yang jika tertotok menyebabkan orang tertidur pulas) Sin Houw, sehingga Sin Houw segera tertotok.

   Cie -goan Taysu adalah termasuk salah seorang pendeta pimpinan Siauw-lim sie.

   Tak usah dikatakan lagi, ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi sehingga setelah tertotok jalan darahnya, Sin Houw segera pulas tertidur dan menurut perhitungan ia baru akan tersadar empat Jam kemudian.

   Tetapi Cie-goan Taysu tidak mengetahui bahwa anak itu memiliki Lweekang atau tenaga sakti luar biasa, dan karena adanya tenaga sakti itu maka kedudukan jalan darahnya bisa berpindah-pindah.

   Oleh karena itu, baru pulas beberapa saat - ia sudah tersadar kembali.

   setelah ingatannya pulih, Thio Sin Houv mendengar suara Cie-goan Tay su yang berkata.

   "Tie-kong tianglo adalah seorang guru besar dari sebuah partai,sehingga kalau dia telah menyanggupi, ilmu yang ditulisnya pasti tidak palsu. Andaikata ia sengaja tidak menulis terang, sesudah mempelajarinya aku merasa pasti kita akan mengerti. Segera Sin Houw menjadi curiga, ia khawatir kalau-kalau pendeta itu akan berlaku curang. Oleh karenanya sengaja ia meramkan sepasang matanya berpura-pura berada dalam pengaruh totokan Cie-goan taysu.

   "Thay-kek koen hoat yang ditulis oleh Tie-kong tianglo dapat dipastikan tidak palsu, tetapi kita sendiri belum pernah mempelajari Siauw-lim Kiu-yang kang, Apakah untuk kepentingan orang luar, kita harus memohon-mohon dihadapan Cie-kong taysu?"

   Terdengar suara seseorang memberikan jawaban, seseorang yang entah siapa gerangan, karena baru sekali itu Sin Houw mendengar suaranya. Sementara itu Cie-goan taysu sudah berkata pula.

   "Karena perintah datangnya dari Ciang-bun Hong-thio (pemimpin partai dan pemimpin kuil), maka aku yakin Ciekong taysu tidak akan membantah."

   Seseorang itu terdengar menghela napas, tetapi kemudian berkata.

   "Sam-sute, pergilah kau membawa Sek-thungku (tongkat timah) dan memberi perintah kepada Cie-kong taysu, supaya ia menurunkan ilmu Kiu- yang-kang kepada anak she Thio itu."

   "Baiklah."

   Jawab Cie-goan taysu. Terdengar suara langkah kaki Cie goan Taysu yang meninggalkan ruangan itu, tetapi tidak melewati tempat Sin Houw rebah pura-pura pulas tertidur. Cukup lama, kemudian terdengar Cie-goan taysu kembali dan berkata.

   "Cie-kong sungguh aneh, Dia mengatakan bahwa setelah mengabdi kepada Sang Budha, ia tidak mau bertemu dengan orang luar. Tetapi karena Hongthio telah memerintahkan, maka dia bersedia untuk mengajarkan ilmu itu dengan cara Kay-tiang Coan-tang (Me-ngajar ilmu dengan teraling tirai).

   "Ikuti lah kehendaknya,"

   Sahut seseorang yang tadi.

   "Sebaiknya sute bawa anak itu kepada Cie Kong, setelah itu perintahkan pengurus dapur mengantarkan hidangan ke ruang Lip-soat teng, Biar bagaimanapun, Tie-kong tianglo adalah seorang pemimpin dari sebuah partai besar, dan kita tidak boleh tidak berlaku hormat."

   Sementara itu Thio Sin Houw terus berlagak pulas. setelah lewat sekian lama barulah datang seorang pendeta kecil yang membawakan makanan dan setelah selesai bersantap, pendeta kecil itu lalu berkata.

   "Siauw-sicu, ikutlah aku."

   "Ke mana?"

   Tanya Sin Houw.

   "Hong-thio memerintahkan aku membawamu kepada seseorang."

   Jawabnya.

   "Kepada siapa?"

   Tanya lagi Sin Houw.

   "Hong-thio memesan supaya aku jangan banyak bicara."

   Thio Sin Houw mengeluarkan suara dihidung, Diam-diam dia mentertawai Cie-goan Taysu, karena diluar tahu pendeta itu ia telah mengetahui bakal dibawa kepada Cie-kong.

   Tanpa mengajukan pertanyaan lain Sin Houw lalu mengikuti pendeta kecil itu.

   Sesudah melewati belasan bangunan dan pekarangan, akhirnya mereka tiba disebuah bangunan kecil yang dikurung dengan pohon-pohon Siong dan Pek.

   Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil itu berseru.

   "Siauw-sicu telah tiba!"

   "Masuk!"

   Terdengar suara seseorang memberikan jawaban.

   Thio Sin Houw lalu mendorong daun pintu dan bertindak masuk, sedang si pendeta kecil mengunci pintu itu.

   Thio Sin Houw mengawasi kesekitarnya, Kamar itu ternyata sebuah kamar kosong, kecuali terdapat sehelai tikar ditengah-tengah, tidak terdapat apapun juga.

   Sesudah mendengar bahwa Cie-kong Taysu akan memberikan pelajaran secara "Kay-tiang Coan-tang,"

   Ia menduga bahwa didalam kamar itu dipasang semacam tirai.

   Diluar dugaan, kamar itu bukan hanya kosong tiada isi, tetapi juga tidak mempunyai lain pintu.

   Sehingga tak dapat diduga entah dari mana datangnya suara manusia yang tadi mengundang masuk.

   Tetapi selagi ia sedang merasa heran, tiba-tiba terdengar lagi suara itu.

   "Duduk! Dengarkan aku menghafal Siauw-lim Kiu-yang kang, Aku hanya menghafal satu kali, Terserah kepadamu, berapa banyak yang dapat diingat olehmu. Hong-thio telah memerintahkan aku memberi pelajaran itu kepadamu dan aku menurut perintahnya, Tetapi apakah kau mengerti atau tidak adalah urusanmu sendiri."

   Thio Sin Houw memasang telinga, Kini barulah ia mengetahui, bahwa suara itu datang dari tembok sebelah dan Cie-kong taysu berdiam di kamar sebelah.

   Pada hakekatnya, mengirim suara dari alingan tembok bukan kepandaian luar biasa, siapapun juga dapat melakukannya, Apa yang luar biasa adalah suara Cie-kong Taysu terdengar tegas sekali, seperti juga ia bicara saling berhadapan.

   "Tenaga dalam pendeta itu sungguh dahsyat,"

   Kata Sin Houw di dalam hati. Sesaat kemudian, orang itu berkata dengan suara perlahan.

   "Tubuh berdiri tegak, kedua tangan dirangkapkan dan di tempatkan di dada, Hawa tenang, semangat dipusatkan. Hati tenteram, paras muka mengunjuk sikap menghormat. inilah jurus pertama yang dinamakan Wie-hok Yan-couw, ingatlah baik-baik!" (Wie-hok Yan-couw = Wie-hok mempersembahkan gada). Orang itu berdiam sejenak, kemudian berkata pula.

   "Kedua tumit kaki ditancapkan di atas bumi, kedua tangan di rentangkan keluar dengan, rata, Hati tenang, hawa tenteram, Mata membelalak mengawasi ke depan, mulut terbuka, ini jurus kedua, Hoen-tan Hang-mo couw, Kau ingatlah baik-baik!" (Hoen-tan Hang-mo couw ~ Memikul gada untuk menaluki siluman). Seterusnya ia menghafal jurus ke tiga, keempat, kelima ... sampai pada jurus kedua belas. Mengenai jurus ke dua belas itu ia berkata.

   "Jurus ini dinamakan Tiauw-wie Yauw-tauw(Mengibas ekor, menggoyang kepala), dengan Kouw-koat seperti berikut. Iutut lurus, lengan dilonjorkan, Mendorong dengan tangan sehingga menjadi kena bumi, Mata membelalak, menggoyangkan kepala, semangat perlu dipusatkan sehingga menjadi satu. Sesudah itu, luruskan tubuh dan menjejak tanah dengan kaki, mengendurkan bahu, memanjangkan lengan, Menyabat tujuh kali kekiri-kanan dan selesai. ilmu Kiu-yang lekin, di kolong langit tiada tandingannya."

   Hampir berbareng dengan perkataan "dikolong langit tiada tandingannya, ia membentak.

   "Siapa mencuri mendengar diluar? Masuk!"

   "Brakkk!"

   Pintu terpental dan sesosok tubuh terlempar jatuh masuk.

   Orang itu ternyata adalah si pendeta kecil yang tadi mengantar Sin Houw ke kamar itu.

   Dia terjatuh meringkuk, kedua matanya meram dan pada mukanya terlihat rasa sakit yang hebat.

   Sin Houw terkejut, cepat-cepat ia mendekati untuk mem-bangunkannya.

   "Kau urus saja dirimu sendiri,"

   Kata orang dikamar sebelah.

   "Sekarang kau memerlukan semua kemampuan otakmu untuk menghafal Kouw-koat yang baru saja kuberitahukan tadi , tidak dapat kau memecah perhatianmu."

   "Ke-duabelas jurus itu sudah di ingat olehku seluruhnya,"

   Sahut Sin Houw.

   "Benarkah begitu, coba kau sebutkan."

   Kata Cie-kong taysu disebelah sana, Di dengar dari nada suaranya, ia merasa heran sekali.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Thio Sin Houw lantas menghafal Kouv-koat yang dimaksud, dari jurus pertama sampai pada jurus yang kedua belas, tak satupun yang salah.

   Untuk sesaat Cie-kong taysu di tembok sebelah tak dapat mengeluarkan suara apa-apa, Ketika menerima perintah dari Cie-goan taysu untuk mengajarkan Kiu-yang kang kepada orang luar, ia mendongkol dan kalau boleh ia tentu sudah menolak.

   Akan tetapi peraturan didalam kuil Siauw-lim sie selalu dipegang teguh dan perintah seorang Hong-thio merangkap Ciang- bunjin tak boleh dilanggar, Disamping itu, perintah Cie-goan Taysu hanya mengatakan "mengajar anak itu"

   Dan bukan "mengajar anak itu sampai paham".

   Oleh karena itu, menurut anggapannya apabila ia menghafal Kouwkoat cepat-cepat, paling banyak si bocah akan ingat satu-dua perkataan.

   Tetapi diluar perhitungannya, ternyata Thio Sin Houw berhasil memasukkan Kouw-koat selengkapnya ke dalam otaknya, ia merasa kagum bukan main, karena kecerdasan dan bakat yang begitu luar biasa sungguh jarang terdapat dalam dunia ini.

   Sementara itu, melihat si pendeta kecil terus meringkuk di lantai, Sin Houw merasa tidak tega dan lalu bertanya.

   "Siansu, dosa apakah yang telah dilakukan oleh siauwsuhu ini?" "Dia mencuri dengar pelajaran tadi dari luar pintu,"

   Jawabnya dengan suara tawar.

   "Aku telah menggunakan Kimkong Sian-ciang untuk menghajar adat kepadanya, jangan kuatir, dalam beberapa saat ia akan sembuh kembali."

   Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi.

   "Aku tak tahu, mengapa Hong-thio memerintahkan aku memberikan pelajaran Kiu-yang Sin-kang kepadamu. Aku tidak tahu siapa namamu dan kaupun tak usah menanyakan namaku, Aku tidak tahu, ilmu apa yang telah atau pernah dipelajari olehmu, akan tetapi aku merasa kagum akan kecerdasanmu. Dikemudian hari, kau mempunyai harapan yang tidak terbatas. Maka itu, aku bermaksud membantu kau untuk membuka Kie-keng Pat-meh (pembuluh darah) di seluruh tubuhmu, supaya kalau nanti kau berlatih dengan Kiuyang Sin-kang- kau tidak perlu mengalami banyak kesukaran."

   Sebelum Thio Sin Houw memberikan jawaban, mendadak tembok berlubang dan dua lengan muncul dari lubang itu ...! Sin Houw kaget bukan kepalang, ia mencelat dari tempat duduknya dan berseru dengan suara tertahan .

   "Kau ... kau ...!"

   Itulah kenyataan yang terlalu mustahil! Tetapi dengan matanya sendiri ia menyaksikan bahwa tembok yang "tebal itu sudah berlubang karena sodokan tangan Ciekong Taysu, seakan-akan tembok itu tidak lebih daripada tahu yang lunak.

   Sementara itu Cie-kong Taysu telah berkata kepada Sin Houw.

   "Tempelkan kedua telapak tanganmu dengan telapak tanganku, Aku tidak mengetahui she dan namamu, akupun tidak tahu kau muridnya siapa, Hari ini kita bertemu dan jodoh kita akan habis sampai disini."

   Melihat maksud orang yang sangat baik, pandangan Thio Sin Houw terhadap Cie Kong Taysu segera berubah.

   "Terima kasih atas bantuan Sian-su,"

   Katanya sambil meluruskan kedua tangannya dan menempelkan telapakannya ke tangan pendeta yang di anggap-nya aneh itu.

   "Kendurkan tulang-tulang dan otot-otot didalam tubuhmu, dan bebaskan pikiranmu dari segala ingatan,"

   Kata pula Ciekong Taysu.

   "Baiklah,"

   Sahut Sin Houw.

   Sesaat kemudian dari kedua telapak tangan Cie-kong Taysu keluar semacam hawa hangat yang terus menembus kedalam telapak tangan Sin Houw, terus naik ke lengan dan bahu.

   Hawa itu halus bagaikan sutera, tetapi terasa nyata sekali dan perlahan-lahan hawa itu masuk ke dalam pembuluh darah.

   Apabila menemui rintangan dan tidak dapat segera menembus, hawa itu berubah panas dan menerjang berulangkali sehingga rintangan dapat ditembus, sesudah delapan pembuluh darah besar ditembuskan, hawa itu jadi semakin cepat jalannya sehingga Sin Houw merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing sehingga ia bagaikan mau jatuh terguling.

   Akan tetapi dari telapak tangan pendeta aneh itu keluar semacam tenaga menyedot, sehingga telapak tangan Sin Houv melekat keras yang membuat Thio Sin Houw tidak sampai terjatuh, Dilain saat, Sin Houw merasakan seluruh badannya seperti dibakar.

   Kalau mungkin, ia tentu sudah lari keluar dan membuka baju untuk terjun ke dalam telaga, setelah lewat sekian lamanya, hawa panas itu meninggalkan tubuhnya dan kembali ke telapak tangan Cie-kong Taysu.

   Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari lubang itu, Cie-kong Taysu berkata dengan suara dingin.

   "Kau pergilah!"

   Thio Sin Houw menjenguk ke lubang itu, tetapi yang dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi pendeta yang dianggapnya aneh itu, ia lantas saja berkata.

   "Terima kasih banyak atas budi siansu yang sangat besar."

   Setelah berkata demikian, ia berlutut.

   Tetapi mendadak lengan Cie-kong Taysu muncul lagi di lubang itu dan mengibasnya, Hampir berbareng, tubuh Sin Houw terpental dan jatuh di luar pintu.

   Pendeta yang dianggapnya aneh itu ternyata tak ingin menerima kehormatan tadi.."Pergi kau beritahukan,.

   kepada Hong-thio, bahwa pelajaran Kiu-yang Sin-kang telah diturunkan semua kepada Siauwsiecu, juga bahwa Siauw siecu memiliki daya ingat yang sangat kuat dan semua pelajaran itu telah di ingat dengan baik olehnya."

   "baiklah,"

   Sahut si pendeta kecil yang telah tersadar dari pingsannya.

   Thio Sin Houw kemudian mengikuti, dan pendeta kecil itu mengantarkan ke ruangan Lip~soat teng, di mana Tie-kong tianglo telah menulis tiga puluh halaman lebih, tetapi masih kelihatan terus menulis dengan tekun.

   Melihat kerelaan dan pengorbanan kakek guru itu, Thio Sin Houw merasa sangat terharu, dengan butir-butir air mata berlinang ia berseru.

   "Thay-suhu! Kiu-yang Sin-kang telah seluruhnya diturunkan kepadaku oleh siansu.

   "

   Sang kakek guru girang.

   "Bagus!"

   Katanya dengan menyertai tawa.

   Tie-kong tiangLo kemudian menulis lagi sampai beberapa saat kemudian ia telah menyelesaikan pekerjaannya.

   Hasil tulisannya itu kemudian diserahkan kepada si pendeta kecil yang mengantarkan Thio Sin Houw dengan pesan untuk disampaikan kepada Cie-beng Taysu yang menunggu di ruangan lain, Disepanjang perjalanannya pendeta kecil itu memeriksa dan membaca tulisan Tie-kong tianglo, sementara Tie-kong tianglo yang mengetahui kejadian itu tidak menghiraukan.

   Karena menurut jalan pikirannya, ia telah menyerahkan rahasia ilmu sakti miliknya kepada pihak Siauw-lim secara sukarela sebagai "penukar"

   Nyawa Thio Siu Houw. Dari itu siapa saja yang membacanya, baginya sama saja. Ketika telah berada dihadapan Cie beng Taysu, pendeta kecil itu menyerahkan naskah tulisan Tie-kong tianglo sambil berkata.

   "Susiok, ilmu kepandaian sakti yang dikatakan milik Taysuhu dari Boe-tong pay itu, sebenarnya adalah asli kepunyaan golongan Siauw-lim. Apa yang ditulis oleh Tay-suhu itu, sudah pernah siauwtit pelajari."

   "Omong kosong!"

   Bentak Cie-beng Taysu.

   "Thay-kek Koenhoat adalah ilmu yang digubah oleh Tie-kong tianglo sendiri, bagaimana mungkin kau mengatakan sudah pernah belajar ilmu itu?"

   Tetapi wajah muka pendeta kecil itu tenang-tenang saja, sambil menuding kepada tumpukan naskah yang dipegang oleh Cie-beng Taysu ia berkata lagi.

   "Jika susiok tidak percaya kepada siauwtit, silahkan paman memeriksa bunyi naskah itu, dan siauwtit akan mengucapkannya secara di luar kepala."

   Setelah berkata demikian, pendeta kecil yang bernama Ku Cie Tat itu terus mengucapkan bunyi naskah Tie-kong tianglo diluar kepala, Mula-mula Cie-beng Taysu yang tetap didampingi oleh Cie-keng dan Cie-goan Taysu bersikap dingin terhadap perkataan Ku Cie Tat, tetapi setelah mendengar pendeta kecil itu dapat mengucapkan kata-kata bunyi naskah Tie-kong tianglo pada halaman satu dan dua dengan lancar, tertariklah mereka, Terus saja mereka seakan-akan berebutan membalik-balik halaman-halaman naskah, untuk kemudian saling mengangsurkan, memeriksa dan membaca secara bergantian serta mencocokkan dengan ucapan-ucapan Ku Cie Tat diluar kepala, sejenak kemudian Cie-keng Taysu berkata kepada Cie-beng Taysu.

   "Benar , benar!"

   Katanya.

   "Memang apa yang ditulis oleh Tie-kong tianglo adalah kalimat-kalimat yang terdapat didalam Kiu-im Cin-keng,"

   Tidaklah mudah Cie-beng Taysu mempercayai pernyataan itu.

   Akan tetapi Ku Cie Tat dapat membuktikan, dan apa yang diucapkannya diluar kepala, sepatah kata saja tiada yang salah atau terlampaui, Mau tak mau ia harus percaya penuh.

   setelah menimbang-nimbang sebentar, kemudian ia mengambil keputusan untuk menemui Tie-kong tianglo.

   Setelah berhadapan dengan pemimpin golongan Boe-tong pay itu, maka Cie-beng Taysu yang membuka bicara.

   "Ilmu silat Boe-tong bersumber dari Siauw-lim, benar saja, apa yang ditulis oleh Tianglo tidak banyak bedanya dari ilmu silat kami."

   Dan Cie-beng Taysu menyudahi perkataannya sambil mengembalikan naskah hasil tulisan Tie-kong tianglo. Tie-kong tianglo tertawa.

   "Apa yang telah ditulis oleh siauwto, sedikitpun aku tidak merasa menyesal,"

   Katanya.

   "Aku mengerti bahwa ilmuku itu sangat cetek dan tidak berharga, Apabila samwie tidak memer-lukannya, sebaiknya dibuang saja,"

   Ia tidak menyambuti tumpukan kertas yang diangsurkan kepadanya.

   "Dari kata-katamu, Tianglo. Agak-nya kau tidak percaya akan pengutaraan kami itu,"

   Kata Cie-keng ynng ikut bi-cara, Lalu ia berpaling kepada Cie Tat dan menyambung perkataannya.

   "Cie Tat - coba kau hafal isi kitab Kiu-im cinkeng yang pernah kau pelajari."

   "Baiklah,"

   Jawab pendeta kecil itu yang lantas saja membaca di luar kepala, semua hasil tulisan Tie-kong tianglo yang dilihatnya tadi. Tiba-tiba Thio Sin Houw menyelak bicara.

   "Thay-suhu, orang itu menghafal dengan membaca hasil tulisan dari Thay suhu, dan sekarang mereka mengatakan ilmu itu tiada berbeda dengan ilmu mereka, sungguh tak mengenal malu!"

   Tie-kong tianglo juga menyadari hal itu, ia tertawa sambil mengawasi pendeta kecil itu. Lalu berkata .

   "Selagi pinto minta bantuanmu mengantarkan naskah itu untuk di sampaikan kepada Cie-beng Taysu, siauw suhu pasti sudah menghafalkan hasil tulisan pinto itu, Kepintaran dan kecerdasanmu itu tidak dimiliki oleh pinto, bolehkah pinto mengetahui she dan namamu?"

   "Thay-suhu jangan memuji begitu tinggi,"

   Jawab pendeta kecil itu, yang kemudian menambahkan lagi.

   "Boanpwee she Ku, bernama Cie Tat."

   "Ku siauwtit,"

   Kata pula guru besar itu dengan suara sungguh-sungguh2.

   "Dengan kecerdasanmu, apapun juga yang dipelajari olehmu pasti akan berhasil.

   Pinto hanya mengharap, kau jangan mengambil jalan yang salah, Dengan mempergunakan kesempatan ini, pinto ingin mempersembahkan kata-kata seperti berikut.

   Dengan kejujuran memperlakukan orang lain, dengan kerendahan hati membatasi diri."

   Melihat sinar mata guru benar itu yang tajam bagaikan pisau, Ku Cie Tat bergidik. Tetapi dengan hati mendongkol ia berkata.

   "Terima kasih atas petunjuk Thay suhu, tetapi boanpwee adalah murid Siauw-lim, dan mempunyai supeh, suhu, dan susiok untuk mendidik boanpwee."

   "Benar,"

   Kata Tie-kong tianglo sambil tertawa.

   "memang aku si orang tua terlalu rewel."

   Waktu itu Cie-keng Taysu telah mengangsurkan lagi tumpukan kertas yang ditulisnya tadi.

   Kali ini Tie-kong tianglo menyambut sambil mengirim tenaga dalam dengan perantaraan kertas itu, Hampir berbareng sipendeta terhuyung dan Ku Cie Tat yang berdiri di sampingnya, segera berusaha memeluknya tetapi tenaga bertahan Cie-keng Tay-su besar sekali dan pendeta kecil yang kena didorong, lantas saja terpental keluar ruangan dan jatuh di tanah.

   Ketika mengirim tenaga dalamnya itu, Tie-kong tianglo hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang tidak bermaksud jahat.

   Maka itu, begitu mengerahkan tenaga dalam kebagian kakinya, Cie-keng Taysu sudah bisa berdiri tegak.

   Sambil bersenyum maka ia berkata.

   "Itu tadi adalah salah-satu jurus dari ilmu Thay-kek Koen

   KANG ZUSI WEBSITE
http.//cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )*** hoat, dan kini terbukti bahwa meskipun kalian berdua paham akan ilmu itu - tetapi kalian belum mempunyai kesempatan untuk berlatih.

   Selamat tinggal!"

   Dengan sekali mengibas tangan diudara berterbanganlah kepingan-kepingan kertas yang halus.

   Kertas berisi ilmu Thaykek Koen-hoat yang ditulisnya tadi, Sambil menuntun sebelah tangan Sin Houw, tanpa menoleh lagi Tie-kong tianglo meninggalkan gunung Siauw-sit san.

   Pihak Cie-beng Taysu saling mengawasi dengan mulut terbentang.

   Mereka merasa kagum dan takluk akan kepandaian orang tua-itu.

   Disamping itu, merekapun merasa agak menyesal.

   "llmu itu sangat lihay,"

   Kata Cie-keng Taysu didalam hati.

   "Apakah Cie Tat sudah menghafalkan seluruhnya? Apabila satu huruf saja yang terlupa, Siauw-lim akan menderita kerugian besar . .." ***** DALAM PADA ITU, Tie-kong tianglo berdua Thio Sin Houw telah meninggalkan gunung Siauw-sit san. Setelah memperoleh tempat penginapan, Tie-kong tianglo segera memerintahkan Sin Houw melatih diri menurut ajaran-ajaran ilmu sakti yang diperolehnya dari Cie-kong Taysu di kuil Siauw-lim sie. Karena tak ingin melihat gaya latihan Thio Sin Houw yang bersumber dari rumah perguruan lain, sengaja Tie-kong tianglo mengambil dua kamar yang letaknya berpisahan. Namun demikian, karena ilmu sakti Tie-kong tianglo telah mencapai puncaknya walaupun tidak mendengar isti.lahistilahnya akan tetapi dengan melihat cara duduk Thio Sin Houw dan cara mengatur pernapasannya, dengan sendirinya ia dapat menangkap inti rahasianya, Apalagi dia melihat pula caranya menjalankan peredaran darahnya. inilah yang tidak dikehendakinya. sebagai seorang yang memegang tampuk pimpinan suatu aliran tersendiri, tak boleh ia berbuat demikian. itulah sebabnya pula, betapa cara Thio Sin Houw memperoleh kemajuan melalui ajaran Cie-kong Taysu, tak pernah ditanyakan pula. Tie-kong tianglo memang seorang petapa yang saleh dan jujur hati, Karena kejujurannya, ia mengukur keadaan hati orang lain dengan keadaan hatinya sendiri. Maka ia percaya benar kepada para pendeta pemimpin kuil Siauw-lim sie, ia yakin, mereka pasti memegang janji. walaupun mereka agak sempit pikiran dalam menghadapi persoalan harga diri mengenai rumah perguruannya - akan tetapi, betapapun juga mereka adalah tokoh-tokoh tertinggi dari suatu partai yang tertinggi pula. Kata-katanya seumpama undang-undang. Karena itu, apa yang mereka katakan tentulah dapat dipercaya, Kalau sudah berjanji mengajarkan ilmu kepada Thio Sin Houw, pasti pula tidak akan melakukan tipu muslihat atau berdusta. Tie-kong tianglo menjadi girang tatkala disepanjang jalan ia melihat wajah Thio Sin Houw makin hari semakin cerah dan bersemu merah. itulah suatu tanda bahwa bocah itu telah memperoleh kemajuan. Diam-diam ia berpikir , bila Thio Sin Houw telah mendapat ajaran asli dari ilmu golongan Boe-tong dan Siauw-lim sehingga bisa saling mengisi kekurangannya masing-masing, tentu daya gunanya dikemudian hari akan banyak bertambah. Dengan berbekal dua bagian ilmu sakti Kiu-im Cin-kang dan Kiu-yang Cin-kang, pastilah racun Hian-beng Sin-ciang yang mengeram didalam sungsumnya akan bisa terhapus sirna. Di hari keempat mereka telah tiba ditepi sungai Han-sui. Untuk mengurangi lelah, mereka menumpang sebuah perahu dagang, sedang kuda mereka dijual sebagai penambah bekal. Disepanjang perjalanan itu Tie-kong tianglo terkenang pada masa mudanya ketika ia masih merupakan seorang pendekar, seringkali ia dikejar kejar lawan, dan kebanyakan tertolong oleh perahu-perahu yang berada ditepi sungai. Tatkala itu ia masih muda belia, dan sama sekali tidak pernah di duganya sendiri - bahwa pada hari itu ia menjadi tokoh utama dari golongan Boe-tong yang derajatnya sama besar dan sama tinggi dengan golongan Siauw-lim-pay. sedangkan pada hari ini Thio Sin Houw malah sudah berhasil merangkap ilmu kepandaian dua golongan itu. Maka sudah dapat dibayangkan, bahwa masa depan bocah itu pasti akan lebih gemilang daripada dirinya sendiri. Oleh rasa puas itu, ia mengelus-elus jenggotnya yang telah putih seluruhnya. Selagi ia mengelus-elus jenggotnya sambil tersenyum sendiri,tiba-tiba Thio Sin Houw berteriak dengan suara gemetar.

   "Thay-suhu ... aku ... aku ..."

   Dan wajah muka-anak itu berubah hebat. Merah membara seperti dibakar. Dan diantara warna merah membakar tersembullah warna hijau semu pula. Rasa terkejut Tie-kong tianglo tidak terkirakan, setengah menjerit ia bertanya.

   "Kau... kenapa?"

   "Aduh ... aduh ... sakit! Tak tahan aku ..."

   Sahut Thio Sin Houw dengan tubuh menggigil.

   setelah berkata demikian, tubuhnya bergeliat dan terlempar lah ia keluar perahu.

   Cepat-cepat Tie-kong tianglo mengulurkan tangan kirinya menyambar pergelangan tangan Sin Houw, sedangkan tangan kanannya terus menahan punggungnya.

   segera ia menyalurkan tenaga dalamnya membantu Thio Sin Houw, melawan hawa berbisa yang mengamuk di dalam tubuh.

   Tak disangka tenaga sakti Tiekong tianglo yang disalurkan lewat punggungnya, ternyata menembus seluruh bagian urat nadi pada detik itu juga sehingga Thio Sin Houw menjerit tinggi dan jatuh pingsan.

   Tie-kong tianglo menjadi sangat terkejut tidak kepalang, Dengan cepat kesepuluh jari-jari tangannya bekerja menutup aliran darah yang penting, Di dalam hati ia menjadi heran, Pikirnya.

   "Mengapa seluruh urat nadinya dapat kutembus dengan mendadak, padahal seluruh tubuhnya terkena gumpalan gumpalan hawa berbisa yang luar biasa dahsyatnya, Betapa mungkin urat nadinya yang penting-penting dapat tertembus dengan sekaligus! Kalau urat-urat nadinya menjadi begini lancar, hawa berbisa yang mengeram dalam sumsumnya akan segera merangsang jantung. Hai,sekarang dan untuk selamalamanya hawa berbisa yang sudah meruap begini hebat terang sekali tidak dapat dihilangkan lagi". Menghadapi keadaan demikian, walaupun Tie-kong tianglo sudah berusia sembilanpuluh tahun lebih, kesadaran dan ketenangannya sudah terlatih sampai ke puncaknya, namun tidak urung ia merasa bingung juga hingga keringat dingin membasahi jidatnya, Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ilmu sakti Kiu-yang Cin-kie dari Siauw-lim pay begitu hebat luar biasa. Tak pernah pula diduganya bahwa seseorang yang baru saja terlatih beberapa hari saja sudah dapat terbuka seluruh urat nadinya, Menurut pendapatnya, hal itu tidak mungkin terjadi. sedangkan murid-muridnya sendiri yang sudah berlatih belasan tahun lamanya, belum tentu dapat juga menembus urat nadinya sampai aliran darahnya menjadi lancar. Masakan ilmu sakti pihak Siauw lirn lebih mujijat daripada ilmu sakti milik Boe-tong? Harus diketahui, apabila Tie-kong tianglo mau membantu dengan tenaga saktinya kepada murid-muridnya, sudah tentu bukan soal sulit untuk menembus seluruh urat nadi peredaran darah mereka. Tetapi tenaga bantuan yang datangnya dari luar, betapa baikpun tidaklah sebaik dan sesempurna tenaga yang timbul dari badan sendiri yang sesungguhnya jauh lebih kuat, jauh lebih murni dan dapat diandalkan, itulah sebabnya Tie-kong tianglo tak mau membantu murid-muridnya menghimpun tenaga saktinya. ia berharap murid muridnya akan mencapai kemajuannya sendiri, setindak demi setindak dengan berbekal kemauannya masing-masing, walaupun hal itu terjadi sangat lambat. Tatkala itu perahu mereka telah melaju sampai ditengah sungai.Baik arus maupun gelombangnya tidak terlalu keras. Meskipun demikian perahu kecil mereka tetap tergoyanggoyang. sebaliknya hati Tie-kong tianglo tergon-cang jauh lebih hebat, daripada ombak-ombak kecil yang menggoncangkan perahunya. Setelah lewat beberapa waktu, perlahan-lahan Thio Sin Houw memperoleh kesadarannya kembali. Kedua belas tempat peredaran darahnya sudah tertutup. Hawa berbisa Hian-beng Sin-ciang untuk sementara dapat tertahan, sehingga tidak sampai menjalar ke jantung, Tetapi tangan dan kaki Thio Sin Houw tak bisa berkutik lagi,dalam keadaan demikian Tie-kong tianglo tak perduli lagi akan pandang orang. ia pun tidak menghiraukan bahwa gerak-gerik maupun perkataannya dapat menimbulkan kecurigaan orang. Segera ia bertanya kepada Thio Sin Houw.

   "Sin Houw, ilmu yang kau peroleh dari kuil Siauw-lim itu, sesungguhnya, bagaimana macamnya? Apa sebab seluruh urat nadimu dan peredaran darahmu menjadi lancar semuanya, seolah-olah ada tenaga besar yang telah menembusnya?" "Thay-suhu,"

   Sahut Thio Sin Houw.

   "Yang menembus jalan darahku itu adalah Cie-kong Taysu, Dia berkata akan dapat membantu aku mempercepat meyakinkan ilmu Kiu-yang Cinkie golongan Siauw-lim."

   "Bagaimana cara dia menolongmu?"

   Tie-kong tianglo minta keterangan.

   Maka berceritalah Thio Sin Houw tentang semua pengalamannya di dalam pertapaan Siauw-lim sie.

   Bagaimana mula pertama ia dibawa sampai dia mengetahui nama seorang sakti yang bersembunyi dibalik dinding.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Menurut kata yang didengarnya, orang sakti itu bernama Cie-kong Taysu, Diterangkan pula bagaimana cara Cie-kong Taysu melancarkan seluruh peredaran darahnya.

   Mendengar keterangan Thio Sin Houw beberapa saat lamanya Tie-kong tianglo termangu-mangu.

   setelah bermenung dia berkata.

   "Jika demikianlah syarat untuk mempercepat peresapan ilmu Kiu-yang Cin-khie, masakan aku tak bisa? sebenarnya menurut perasaanmu orang yang menamakan diri Cie-kong Taysu bermaksud baik atau buruk?"

   "Beberapa kali ia berkata kepadaku begini. Aku tak kenal kau bernama siapa"

   Thio Sin Houw memberikan keterangan .

   "Akupun tidak tahu kau datang dari aliran atau golongan apa. sebaliknya kaupun tak perlu mengetahui namaku, juga tidak perlu mengenal wajahku! Akupun tidak perlu mengenal wajahmu pula."

   Tie-kong Tianglo menjadi heran mendengar penjelasan itu, sejenak kemudian ia bicara bagaikan pada dirinya sendiri .

   "Cie-kong Taysu! Cie-kong Taysu! Agaknya aku belum pernah mengenal nama seorang tokoh Siauw-lim seperti itu... dia mau menolong kau tanpa mengenal namamu, tanpa mengetahui pula dari golongan atau aliran apa kau datang, Jika begini, rasanya ia memang tidak mengetahui hubunganmu dengan aku. untuk menolong dirimu, dia harus mengorbankan tenaga murni yang di himpunnya paling tidak sepuluh sampai dua puluh tahun lamanya. Kalau pengorbanan ini tidak timbul dari hati nuraninya yang bersih, mustahil dia rela berkorban?"

   Setelah itu Tie-kong tianglo minta kepada Thio Sin Houw agar mengucapkan kembali kalimat-kalimat sakti ilmu yang diperoleh Thio Sin Houw di dalam kuil Siauw-lim.

   Thio Sin Houw segera mengucapkan kalimat-kalimat sakti yang pertama sampai yang ketiga diluar kepala, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi , dengan sekali mendengar saja Tie-kong tianglo segera mengetahui betapa hebat intisari ilmu itu.

   Cepat-cepat ia memutus.

   "Sudahlah, tak usah kau teruskan. Maksudku tadi hanya ingin menguji palsu atau tidaknya ilmu sakti yang diajarkan kepadamu, itulah sebabnya aku minta kau membacakannya, selanjutnya ilmu itu janganlah kau kabarkan kepada siapapun juga, ingatlah sumpah yang pernah kau ucapkan. seorang ksatria sejati pantang melanggar sumpah yang telah diucapkan!"

   "Ya, Thay-suhu."

   Sahut Thio Sin Houw.

   Ketika dilihatnya suara sang kakek guru agak bergemetar, apalagi kedua matanya basah berkaca-kaca, tahulah Thio Sin Houv menebak keadaan hati orang tua itu.

   ia seorang anak yang dianugerahi alam suatu kepintaran luar biasa, cerdik dan cerdas bukan main.

   Pada saat itu sadarlah dia, bahwa hidupnya hanya tinggal sisa waktu yang singkat saja, sehingga walaupun tidak mengucapkan sumpah kepada pihak para pendeta Siauw-lim sie artinya sama saja.

   ia tidak mempunyai waktu lagi, untuk mengajarkan ilmu yang diperolehnya dari kuil Siauw-lim kepada orang lain, Sejenak kemudian pikirannya bergerak , dan ia berkata kepada Tie-kong tianglo.

   "Thay-suhu, apakah jiwaku tidak dapat dipertahankan lagi, sampai aku bisa pulang ke Boe-tong san?"

   "Janganlah kau berkata seperti itu, Betapapun hebatnya lukamu, aku pasti berusaha menolongmu"

   Sahut Tie-kong tianglo yang berusaha membendung air matanya.

   "Sucouw, aku tidak mengharapkan apa-apa lagi, asal saja aku bisa melihat supeh Cia Sun Bie untuk sekali saja."

   Kata Thio Sin Houw.

   "Apa sebab?"

   Tanya Tie-kong tiang lo heran.

   "Sucouw, Cia supeh adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa aku masih mempunyai seorang kakak perempuan. Aku ingin membeberkan rahasia ilmu sakti Kiuyang Cin-kang golongan Siauw-lim kepadanya lewat Cia supeh. Dengan berbekal ilmu kepandaian ayah dan dilengkapi dengan ilmu sakti Kiu-yang Sin-kang golongan Siauw-lim, dia akan menjadi seorang pendekar perempuan yang kelak dapat menuntut balas sakit hati ayah dan ibu. Aku sendiri, setelah mengabarkan ajaran ilmu sakti itu kepada Cia supeh, segera akan bunuh diri, Dengan demikian aku bertanggung jawab atas pelanggaran janjiku ini kepada pihak para pendeta Siauwlim sie. Maka sedikit banyak aku tidak terlalu mengecewakan pesan ayah dan ibu."

   Mendengar perkataan Thio Sin Houw, Tie-kong tianglo terperanjat bukan kepalang.

   Kemudian kagum dan terharu.

   Sama sekali tak terlintas dalam benaknya, bahwa anak sekecil itu ternyata sudah pandai menjangkau hari depan begitu jauh, oleh rasa kagetnya, kagum dan terharu, maka Tie-kong tianglo menyahut sejadi-jadinya.

   Katanya.

   "Sin Houw, janganlah kau berkata yang bukan-bukan."

   "Tay-sucouw, tiap kali aku membuka mata dan setiap kali aku tertidur lelah, serasa aku mendengar suara ayah dan ibu yang selalu memperingatkan aku agar aku menuntut balas kepada lawan sebenarnya, Juga aku selalu mendengar teriakan koko Sin Han yang begitu menyayatkan hati, ketika ia mati terjungkal ke dalam jurang entah berapa ribu meter dalamnya."

   Kata Thio Sin Houw dengan suara gemetar.

   Perkataan Thio Sin Houv itu membuat hati Tie-kong tianglo terasa hancur luluh.

   Tanpa dikehendakinya sendiri, maka terbayanglah wajah muka Thio Kim San, almarhum ayahnya Thio Sin Houw.

   Untuk urusannya Lim Tiauw Kie yang menghilang tanpa jejak,pada suatu hari pernah Tie-kong tianglo memerintahkan melakukan perjalanan ke Kanglam guna mengadakan penyelidikan.

   Sebelum berangkat, pada malam harinya Thio Kim San keluar dari kamarnya dengan hati gelisah, Ketika tiba di ruangan tempat berlatih ilmu silat, dari jauh ia melihat kehadirannya gurunya, Untuk sesaat Thio Kim San berdiri dibelakang suatu tiang tanpa bergerak, sampai tiba-tiba ia melihat gurunya mengangkat tangan kanannya dan menulis huruf-huruf ditengah udara.

   Dengan memperhatikan gerakan tangan gurunya, Thio Kim mengetahui bahwa yang ditulis gurunya adalah dua huruf "Songloan" ( = kesedihan , kekalutan) .

   setelah mengulangnya beberapa kali, guru itu menulis dua huruf lain, yakni "To tok" (- penganiayaan hebat, melakukan pengrusakan).

   Segera Thio Kim San menyadari, bahwa gurunya sedang menulis "Songloan tiap"

   Dari Ong Hie Cie, Tetap sambil bersembunyi di belakang tiang, Thio Kim San terus memperhatikan gerakan tangan gurunya yang menulis seperti berikut.

   "Hie Cie toen-sioe, song-loan oie kek3 sian-bok aay-lie to tok3 toei-wie kouv seng.

   " (= Hie Cie memberi hormat , kesedihan dan kekalutan melampaui batas. Kuburan leluhur diubrak-abrik, kalau diingat sungguh hebat perasaan duka.) Lewat beberapa saat, Thio Kim San merasakan bahwa setiap coretan yang dibuat oleh gurunya mengandung kedukaan dan secara mendadak, ia berhasil menyelami perasaan Ong Cie Hie sendiri pada waktu menulis Song-loan tiap itu. Ong Hie Cie adalah seorang sasterawan besar pada zaman kerajaan Cin Timur, Pada waktu itu, negara Cina kacau balau dan bangsa asing menentang kekuasaannya, Dalam kesedihan dan kekalutan hebat (song-loan), murid-murid Ong Hie Cie telah melarikan diri ke wilayah Cina sebelah selatan. Bukan saja manusia, tetapi makam-makam pun turut dirusak sehingga dapatlah dibayangkan, kedukaan dan kegusaran rakyat yang sangat menghormati makam leluhur mereka, penderitaan yang hebat itu, semuanya dilukiskan dalam Songioan tiap itu. Dalam keadaan biasa selagi diliputi suasana gembira, Thio Kim San tak bisa memahami maksud yang sebenarnya dari "tiap"

   Itu. Tetapi kini selagi ia sendiri dalam keadaan duka berhubung ulah Liam Tiauw Kie yang bahkan telah menghilang tanpa meninggalkan jejak, maka secara mendadak ia dapat menyelami arti "Song-loan"

   Dan "To-tok".

   Sementara itu setelah menulis beberapa kali, Tie-kong tianglo menarik napas panjang lalu masuk ke ruangan tengah dimana ia duduk termenung beberapa saat lamanya, Tiba-tiba ia mengangkat pula tangan kanannya dan menulis huruf-huruf ditengah udara.

   Kali ini huruf-huruf itu berbeda dengan hurufhuruf Song-loan tiap, Huruf-huruf pertama adalah "Boe"

   Sedangkan yang kedua "Lim" (Boe-lim = Rimba persilatan).

   ia menulis terus sampai mencapai duapuluh empat huruf.

   Dengan memperhatikan gerakan tangan gurunya, Thio Kim San mengetahui bahwa yang ditulisnya adalah Boe-lim aieooen, po-sun...

   Tiba-tiba Thio Kim San menyadari bahwa apa yang sedang ditulis oleh gurunya itu, sebenarnya beliau sedang memahamkan serupa ilmu silat yang sangat tinggi.

   Setiap huruf yang ditulisnya, berarti setiap pukulan yang sangat dahsyat! Thio Kim San yang bersembunyi di balik tiang, menjadi semakin tertarik perhatiannya dan memusatkan segala kemampuannya untuk diam-diam menghafal semua gerakan yang dilakukan oleh gurunya.

   Hampir dua jam lamanya Tiekong tianglo berlatih terus, sampai kemudian ia bersiul nyaring.

   Telapak tangannya menyabat dari atas ke bawah.

   Bagaikan menyambarnya sehelai sinar pedang.

   Sabetan yang dahsyat itu merupakan coretan terakhir dari huruf yang ditulisnya.

   Sehabis menyabat, guru itu menoleh kearah Kim San dan berkata.

   "Kim San, bagaimana pendapatmu mengenai Soe-hoat ini?" (Soe-hoat = seni menulis huruf indah). Thio Kim San terkejut. Tidak disangkanya bahwa kehadirannya telah diketahui oleh gurunya, Cepat-cepat ia mendekati sambil menjawab.

   "Hari ini teecu bernasib baik karena sempat melihat ilmu silat suhu yang luar biasa, apakah boleh teecu memanggil Toa-suko dan yang lainnya supaya merekapun bisa ikut menyaksikan?"

   Tie-kong tianglo menggelengkan kepalanya, Katanya .

   "Kegembiraanku telah sirna, sehingga mungkin sekali aku tak dapat menulis lagi, Disamping itu mereka tidak menyukai sastra, belum tentu mereka bisa menarik banyak manfaatnya."

   Setelah berkata demikian, sambil mengibaskan lengan bajunya Tie-kong tianglo berjalan masuk ke ruangan dalam.

   Thio Kim San tak berani tidur karena khawatir ia akan melupakan ilmu silat itu, Oleh karenanya segera ia bersilat dan menjernihkan pikirannya, untuk mengingat-ingat setiap coretan yang baru saja dilihatnya, Entah berapa lamanya ia berlatih terus dengan amat tekunnya, sampai akhirnya ia berhasil menguasai seluruh ilmu silat itu yang digubah berdasarkan huruf-huruf yang dibuat oleh gurunya tadi.

   ***** TERINGAT dengan kenangan lama tanpa terasa air mata Tie-kong tianglo berlinang keluar dan membasahi mukanya bahkan terus menetes jatuh ke jubahnya.

   Cepat-cepat orang tua itu memutar tubuh supaya jangan terlihat oleh Thio Sin Houw, dan ia membentak dengan suara parau.

   "Sin Houw, Tak boleh lagi kau berpikir yang bukan-bukan!"

   Orang tua itu kemudian berusaha tenangkan diri, setelah berhasil memperoleh ketenangannya, kembali ia memutar tubuh menghadapi Sin Houw dan berkata .

   "Seorang ksatria sejati, harus bersih hati dan jujur kepada diri sendiri, ia harus memperlihatkan dadanya pada saat apa saja, dimanapun ia berada dan dalam keadaan betapa sulitpun juga, Kau telah berjanji kepada para pendeta Siau-lim, bahwa kau tidak bakal mengajarkan ilmu yang diberikannya kepadamu pada lain orang. Maka sejak saat itu pula, kau harus dapat memegang teguh janjimu sendiri sampai detik terakhir. Sebab saksinya adalah hidupmu sendiri!"

   Kata-kata Tie-kong tianglo terdengar penuh semangat dan berwibawa, sehingga Thio Sin Houw menjadi tertegun, Tanpa merasa ia mengangguk.

   Sebenarnya semenjak ia sadar hidup diantara ayah-bunda dan kedua saudaranya, ia terlatih menjadi seorang ksatria sejati.

   Namun didalam pengalaman hidupnya akhir-akhir ini, iamenghadapi manusia-manusia licik yang demi tujuan mereka banyak menggunakan berbagai tipu-daya licik yang bertentangan dengan angan-angan jiwa ksatria, janji belum tentu harus ditepati, semuanya tergantung pada keadaan.

   Baru setelah berada di kuil Boe-tong pay, semua pamanpaman gurunya memberikan contoh bagaimana sepak-terjang seorang ksatria sejati.

   Dan bahwasanya janji bagi seorang ksatria harus dipegang teguh sampai mati barulah untuk yang pertama kalinya didengarnya lewat mulut kakek gurunya.

   Walaupun demikian, kata-kata Thio Sin Houw itu telah menusuk kalbu Tie-kong tianglo.

   Pikir orang tua itu di dalam hatinya.

   "Anak ini tahu bahwa beberapa hari lagi, jiwanya akan melayang, Akan tetapi sama sekali ia tak gentar atau menjadi kecil hati, malahan lantas teringat dengan pesan ayah

   KANG ZUSI WEBSITE
http.//cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )*** bundanya bahwa ia harus bisa membalas dendam terhadap musuhnya yang benar.

   Demi baktinya kepada ayah-bundanya, ia rela membunuh diri setelah mengalihkan rahasia suatu ilmu sakti yang dianggapnya bisa mencapai angan-angannya itu kepada Cia Sun Bie, agar Cia Sun Bie diharapkan meneruskan kepada kakaknya perempuan.

   Kalau dipertimbangkan, sesungguhnya hal itu sesuai dengan panggilan jiwa ksatria, Akh, mengapa Tuhan tidak melindungi seorang yang memiliki jiwa demikian besar ini?"

   Selagi orang tua ini memuji jiwa Thio Sin Houw didalam hati, tiba-tiba terdengarlah suatu kumandang suara di kejauhan sana. Nyaring benar suara itu terdengarnya.

   "Heeeeyyy! Kau serahkan saja bocah itu! Dan kau akan kami ampuni... kalau membangkang, janganlah mengutuk kami dengan mengatakan kami seorang makhluk yang kejam dan bengis!"

   Suara itu terbawa oleh angin, tiap patah kata-katanya terdengar sangat jelas, itulah suatu tanda, bahwa pemilik suara itu pastilah memiliki tenaga dalam yang tinggi.

   Dan mendengar bunyi kata-kata itu, Tie-kong tianglo tertawa didalam hati, Katanya kepada dirinya sendiri.

   "Entah siapa dia, sampai berani memerintah aku agar menyerahkan bocah ini kepadanya ..."

   Kata-kata itu diucapkan sangat perlahan, sehingga telinga Thio Sin Houw tidak mendengar.

   Dengan perlahan-lahan ia memutar badannya, Dan pada saat itu ia melihat sebuah perahu kecil tengah meluncur sangat deras.

   Penumpangnya seorang laki-laki berberewok lebat, usianya kira-kira baru mencapai duapuluh tahunan.

   ia berada diantara dua kanakkanak yang melindungi diri didepan dadanya, sedang pemuda berberewok lebat itu, dengan semangat menyala-nyala mendayung perahu kecilnya bagaikan kalap.

   Hebat perawakan pemuda berberewok itu.

   Tubuhnya tegap, dadanya bidang sehingga dapat melindungi dua bocah yang bersembunyi di depannya.

   Tie-kong tianglo segera memperhatikan dua bocah itu, yang satu laki-laki dan yang lain seorang perempuan berwajah cantik mungil.

   Perahu yang ditumpangi Tie-kong tianglo berada diluar tikungan,sehingga setiap perahu yang datang harus muncul terlebih dahulu dari balik tikungan .

   Demikianlah setelah perahu pemuda berberewok lebat itu masuk ke dalam tikungan, muncullah sebuah perahu lagi.

   Perahu yang memasuki tikungan ini berukuran besar, sehingga jalannya agak lambat.

   Penumpangnya berjumlah delapan orang, mereka mengenakan pakaian seragam tentara Mongol, perahu ini agaknya hendak mengejar perahu si berewok.

   Dengan berteriak-teriak nyaring, seorang laki-laki yang berada di depan mengancam dan memperingatkan.

   Akan tetapi pemuda berberewok itu tidak mengindahkan.

   Dengan suatu tenaga yang luar biasa kuatnya, ia menggayuh cepat sekali, sebentar saja, perahunya sudah hampir melewati perahu Tie-kong tianglo.

   Melihat perahu pemuda itu semakin lama makin menjadi jauh, pengejarnya lantas menghujani anak panah.

   Diantara puluhan anak panah yang menyambar pemuda berberewok itu, terdengarlah sebatang yang mendesing sangat tajam itulah suatu tanda, bahwa pembidiknya bertenaga kuat.

   "Akh!"

   Kata Tie-kong tianglo di dalam hati.

   "Kiranya mereka memerintahkan pemuda itu meninggalkan atau menyerahkan kedua bocah yang dilindungi. Kukira seruan tadi ditujukan kepadaku ...

   "

   Sebenarnya Tie-kong tianglo hanya sebagai penonton belaka.Akan tetapi, sejak masa mudanya ia membenci terhadap gerombolan tentara Mongol.

   Apalagi, manakala mereka sedang melakukan perbuatan sewenang-wenang menindas rakyat jelata yang lemah tidak berdaya, Maka Tie-kong tianglo bermaksud hendak menolong pemuda berberewok itu.

   Tetapi selagi hatinya gergerak hendak memberikan pertolongan, tiba-tiba teringatlah dia kepada masalahnya sendiri.

   Thio Sin Houw yang tidur di sampingnya, sedang terancam pula jiwa-nya, Meskipun jiwanya tidak bakal terengut oleh suatu senjata, tetapi bila tidak memperoleh pertolongan dengan segera, ia akan mati pula.

   Teringat akan hal itu, hati Tie-kong tianglo menjadi terharu dan berduka, ia jadi merasa bimbang hendak menolong pemuda berberewok yang terancam keselamatannya.

   Dalam pada itu, pemuda berberewok yang melindungi kedua bocah didepannya, menangkis hujan anak panah yang menyambar kearahnya, dengan tangan kanannya, Gerakgeriknya tangkas dan berani, sehingga diam-diam Tie-kong jadi menaruh perhatian lagi.

   pikirnya didalam hati.

   "llmu kepandaian pemuda itu tidak rendah, ia berani dan tenang menghadapi ancaman bahaya, Apakah aku akan tetap berpeluk tangan, menyaksikan dia mati tertembus panah?"

   Memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi perintah kepada pemilik perahu.

   "Siauwko! Potong perjalanan mereka ..."

   Pemilik perahu itu sudah tentu menjadi kaget, mendengar kehendak penyewanya, Memotong jalan kedua perahu itu, berarti bunuh diri.

   Sebab perahu besar yang berada dibelakangnya sedang menghujani anak panah bagaikan hujan turun, mengarah perahu pemuda berberewok yang berada didepannya, Maka dengan Suara gemetar ia berkata.

   "Tianglo, apakah maksudmu hanya bergurau saja?"

   Sebenarnya Tie-kong tianglo ingin mengesankan, bahwa ia bermaksud menolong pemuda berberewok itu.

   Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang sudah kenyang makan garam, tahulah dia bahwa pemilik perahu dalam ketakutan, Tatkala ia menoleh, keadaan pemuda berberewok itu berada dalam bahaya.

   Sedikit terlambat, jiwanya takkan tertolong lagi, Maka tanpa bicara lagi, Tie-kong tianglo merebut penggayuh dan terus meluncurkan perahunya memotong perjalanan.

   Lalu ia berputar menyongsong kedatangan perahu besar.

   Tepat pada saat itu, ia mendengar suatu pekik melengking yang menyayatkan hati.

   Anak laki-laki yang berlindung didepan dada pemuda berberewok kena terbidik, sebatang anak panah yang kuat luar biasa, menembus punggungnya dengan amat dalamnya, bukan main kagetnya pemuda berberewok itu, dengan gugup ia menelungkup hendak melindungi berbareng memeriksa.

   Akan tetapi pada saat itu pula, beberapa batang anak panah menancap pada lengan dan pundaknya, ia tak menghiraukan sama sekali.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sayang, ketika ia hendak meraih anak laki-laki yang dilindungi, penggayuhnya jatuh terkulai didalam permukaan air, seketika itu juga, perahunya yang sudah berada di depan perahu Tie-kong tianglo berputar-putar bagaikan sebuah gangsingan Dalam sekejap saja, perahu besar yang mengejarnya sudah berhasil mendekati.

   Empat tentara Mongolia melompat ke dalam perahunya, akan tetapi pemuda bermuka berewokan itu tak sudi menyerah mentah-mentah.

   Walaupun tidak bersenjata, ia melawan dengan tinju dan kakinya.

   Tie-kong tianglo terhenyak sebentar ketika mendengar pekik teriak bocah itu yang mati tertembus anak panah, ia sampai lupa kepada tujuannya semula, setelah perahu besar lewat di sampingnya dan kemudian merahu perahu pemuda berewokan itu, barulah ia tersadar Terus saja ia berseru nyaring.

   "Siauw enghiong, jangan berkecil hati! Aku akan menolongmu!"

   Tanpa berpikir lagi, ia mengangkat dua papan dari dalam perahunya lalu dilemparkan kedalam air.

   Begitu dua papan terapung diatas permukaan air, Tie-kong tianglo melompat turun.

   Jarak antara perahunya dan perahu mereka yang sedang bertempur tidak begitu jauh, maka setelah Tie-kong Tianglo melompat-lompat dari papan ke papan bagaikan mengembah papan jembatan sampailah dia diburitan perahu.

   Ia lantas melompat tinggi keudara, jubahnya berkibar-kibar tak ubah sepasang sayap burung rajawali.

   Dua tentara penjajah yang berada didalam perahu, kaget melihat kedatangannya, mereka lantas melepaskan anak panah.

   Akan tetapi dengan sekali mengebaskan lengan bajunya, Tie-kong tianglo mementalkan dua batang anak panah itu runtuh ke dalam sungai, dan begitu mendarat di atas geladak perahu tangannya memukul.

   seorang tentara yang berperawakan tinggi besar terpental kena pukulannya dari jauh, dan dengan berjungkir-balik tentara yang sial itu tercebur didalam sungai! Kedatangan Tie-kong tianglo benar-benar tak ubah malaikat turun dari langit.

   Dengan sekali bergerak, ia bisa mementalkan dua batang panah dan melontarkan seorang tentara penjajah yang berperawakan tinggi besar, inilah suatu kepandaian yang sukar dibayangkan, maka tak mengherankan tujuh tentara yang berada didalam perahu itu, tertegun seperti kena pukau.

   Sejenak kemudian, seorang tentara yang mengenakan pakaian perwira, berteriak keras.

   "Hei, kakek ! Tiada geledek tiada angin, apa sebab kau mencampuri urusan ini? Pergi sebelum kasep!"

   "Hemm ..."

   Gerendeng Tie-kong tianglo.

   "Kau anjing penjajah,berani benar membuka mulut besar didepanku... entah sudah berapa kali, kalian mencelakai rakyat jelata, Hayo, perintahkan kawan-kawanmu pergi secepat mungkin!"

   "Eh, kakek! Hatimu sebenarnya mulia - akan tetapi kau salah alamat... Tahukah kau, siapa mereka bertiga itu? Mereka adalah anak-anaknya si penghianat Ciu Kong Bie!"

   Mendengar disebutnya nama Ciu Kong Bie, hati Tie-kong tianglo tercekat.. Serentak ia berpaling mengamat-amati pemuda berberewok dengan dua bocah yang dilindunginya, pikirnya didalam hati.

   "Benarkah mereka anak-anaknya Ciu Kong Bie?"

   Ciu Kong Bie adalah pembantu Thio Su Seng yang sedang giat melakukan gerakan menentang kaum penjajah bangsa Mongolia di daratan Cina.

   sebelah utara, jasanya sudah banyak terdengar di kalangan kaum rimba persilatan maupun rakyat jelata, Oleh karena itu Tie-kong tianglo semakin bertekad hendak memberikan pertolongan.

   "Perlu apa kalian begitu kejam?"

   Tanya Tie-kong tianglo kepada si perwira tentara Mongolia itu.

   "Siapa kau? Mengapa kau berani mencampuri urusan kami?"

   Balik tanya si perwira dengan aseran. Tie-kong tianglo tertawa.

   "Siapa yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia menolong,"

   Jawabnya .

   "Segala urusan dikolong langit boleh dicampuri oleh manusia dikolong langit!"

   Perwira itu melirik kawan-kawannya, tetapi bertanya lagi kepada Ti e-kong tianglo.

   "Siapakah nama Totiang, dan dimana letak kuilmu?"

   Mendadak dua orang perwira lain mengangkat golok mereka, dan membacok pundak Tie-kong tianglo.

   Kedua senjata itu menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang sempit.

   sungguh sukar untuk mengelakannya, tetapi dengan sekali miringkan badan guru besar itu sudah dapat menghindar dari sambaran senjata musuh.

   Hampir berbareng, Tie-kong tianglo mengeluarkan kedua tangannya yang lalu ditempelkan di punggung kedua penyerang itu.

   "Pergilah!"

   Bentaknya sambil mendorong, dan tubuh kedua perwira itu lantas saja "terbang"

   Dan jatuh diatas perahu mereka sendiri.

   Sudah puluhan tahun Tie-kong tianglo tidak pernah bergebrak.

   Kini dengan menguji kepandaiannya kembali, ternyata segala-galanya dapat dilakukannya dengan sesuka hati, Meskipun para perwira tentara penjajah itu merupakan jago-jago pilihan, akan tetapi menghadapi ilmu sakti Tie-kong tianglo yang tiada bandingnya itu, boleh dikatakan mereka mati kutu, Oleh rasa terkejutnya, perwira itu sampai termangu, Kemudian ia berkata dengan suara tidak lancar.

   "Apakah kau ... kau ..."

   Tetapi pada saat itu Tie-kong tianglo sudah mengebaskan lengan bajunya lagi. bentaknya.

   "Selama hidupku, aku paling gemar membunuh kaum penjajah!"

   Berbareng dengan perkataannya dua orang perwira merasa sesak dadanya.

   Untuk sejenak mereka tak dapat bernapas .

   Apabila Tie-kong tianglo menarik kembali pukulannya, wajah mereka menjadi pucat lesi, Terus saja mereka berebutan mencari penggayuh.

   Dan dengan cepat-cepat menjauhkan perahu mereka, sedangkan kawan-kawan mereka yang tercebur di sungai segera ditolongnya, sebentar lagi perahu mereka hilang di kelokan sungai.

   Melihat panah-panah yang menembus pemuda berewokan dan anak perempuan itu, Tie-kong tianglo segera mengeluarkan obat pemunah racun.

   Setelah ditelankan kemulut mereka, ia menolong mencabut panah-panah itu.

   Segera ia mendayung perahu kecil itu untuk mendekati perahu tambangannya, setelah berdempetan, ia lalu membungkuk hendak memayang pemuda itu pindah ke perahunya.

   Tak terduga, pemuda itu ternyata seorang yang luar biasa.

   Tiba-tiba ia bangkit, sebelah tangannya memondong mayat anak laki-laki tadi dan yang satunya lagi mengempit anak perempuan.

   Dengan satu lompatan enteng, ia sudah menyeberang keperahu Tie-kong tianglo.

   Diam-diam Tie-kong tianglo memuji didalam hati, pemuda itu terluka parah, tetapi masih begitu setia terhadap majikannya.

   Benar-benar seorang lelaki sejati.

   Menimbang kegagahannya, pantaslah rasanya ia memberikan pertolongannya.

   Tie-kong tianglo kemudian melompat kembali kedalam perahunya.

   Setelah memeriksa luka panah pemuda itu dan anak perempuan yang dibawanya, segera ia membubuhi obat luar, Dalam pada itu perahunya telah menepi diseberang.

   Sekilas terpikir oleh Tie-kong tianglo didalam hati.

   "Seluruh tubuh Thio Sin Houw sekarang dalam keadaan lumpuh, ia sama sekali tidak dapat menggerakkan kakinya. Jika aku meneruskan perjalanan, rasanya kurang menguntungkan. Pemuda bermuka berewok dan kedua anak yang dibawanya kini menjadi buronan pihak pemerintah penjajah , jika aku harus melindungi mereka bertiga rasanya agak sukar juga."

   Ia merenung sejenak, Kemudian ia memberikan uang sewa kepada pemilik perahu, dan berkata.

   "Siecu, apakah kau masih sanggup membawa kami pada suatu tempat yang kira-kira terdapat sebuah rumah penginapan?"

   Tukang perahu itu tadi menyaksikan betapa tangkasnya Tie-kong tianglo menghajar dan mengusir tentara penjajah yang bersenjata, Hatinya kagum luar biasa, dengan sendirinya ia menaruh hormat sekali.

   Kini ia mendapat uang sewa, jumlahnya terlalu banyak pula.

   Maka tak mengherankan, ia segera memanggut dan cepat-cepat meneruskan perjalanan.

   Dalam pada itu sipemuda bermuka berewok kemudian berlutut didepan Tie-kong tianglo sebagai pernyataan terima kasih, katanya dengan suara haru.

   "Atas budi pertolongan totiang, dengan ini aku menghaturkan terima kasih. Totiang, aku bernama Cie siang Gie. Sejak hari ini, aku bersumpah kepada Tuhan bahwa selama hidupku takkan kulupakan budi Tianglo."

   Cepat-cepat Tie-kong tianglo membangunkannya, sahutnya.

   "Akh, kau tak perlu berlutut begini terhadapku ..."

   Tiba-tiba ia menyentuh telapak tangan pemuda itu, ia menjadi kaget. Telapak tangan pemuda itu terasa sangat dingin bagaikan es, maka cepat-cepat ia bertanya.

   "Apakah kau mendapat luka juga di dalam tubuhmu?"

   "Benar, tianglo. Aku membawa ke dua anak majikanku ini. Di sepanjang perjalanan aku harus bertempur sampai empat kali berturut-turut, aku kena terhajar punggung dan dadaku. Apakah aku terluka berat?"

   Dengan berdiam diri Tie-kong tianglo memegang urat nadi pemuda itu.

   Denyutnya terasa sangat lemah.

   Dengan hati bercekat Tiekong tianglo membuka baju pemuda itu dan memeriksa lukanya.

   Begitu melihat luka yang di deritanya, orang tua itu makin bercekat hatinya.

   Bekas-bekas pukulan nampak bengkak hebat, itulah suatu tanda bahwa luka pemuda itu bukan luka enteng.

   Apabila orang lain yang kena pukulan demikian, pastilah sudah tidak tahan lagi.

   Tetapi nyatanya pemuda ini masih kuat melarikan diri sejauh itu dengan membawa dua kanak-kanak, dan di sepanjang jalan ia melakukan perlawanan dengan sekuat tenaga, Benar-benar harus dipuji ketangkasan dan jiwanya yang penuh keperwiraan, maka ia tidak mengajak berbicara lagi kepadanya, ia hanya mempersilahkan agar pemuda itu merebahkan diri di dalam perahu untuk beristirahat.

   Kira-kira menjelang tengah malam, sampailah perahu tambangan itu di sebuah kota kecil.

   Tie-kong tianglo mencoba mencari ramuan obat, setelah itu ia kembali ke perahu.

   Anak perempuannya Ciu Kong Bie yang dibawa oleh pemuda bermuka berewokan itu, berumur kurang lebih sembilan tahun.

   ia sangat cantik jelita.

   Waktu itu ia duduk disamping mayat kakaknya tanpa bergerak.

   Menyaksikan hal itu, hati Tie-kong tianglo tersayatsayat.

   Lalu ia bertanya dengan suara lembut.

   "Siapa namamu, anak manis?"

   "Ciu Sin Lan,"

   Jawab anak perempuan itu sambil berdiri dengan sopan.

   "Apakah titlie boleh mengetahui nama Tay-suhu?"

   Heran dan kagum Tie-kong tianglo mendengar pertanyaan gadis cilik itu, yang dapat dikatakan belum cukup umur, Akan tetapi didalam keadaan yang begini kusut, masih dapat ia berlaku sopan dan beradat.

   Tiba-tiba saja terbersitlah rasa sayang dalam dada Tie-kong tianglo, sahutnya sambil tersenyum.

   "Siauw-to bernama Tie-kong."

   "Ha?"

   Seru gadis cilik itu dengan terkejut.

   "Ha?"

   Seru pemuda bermuka berewokan itu dengan terkejut. Waktu itu ia masih rebah diatas geladak perahu, Mendadak saja ia bangkit, meneruskan dengan suara setengah berseru.

   "Jadi tianglo adalah Tie-kong tianglo, guru-besar dari Boetong pay? Pantaslah thay-suhu sangat sakti tiada tandingnya. Hari ini siauwtit benar-benar sangat berbahagia, dapat bertemu dan berhadap-hadapan dengan Thay-suhu."

   Tie-kong tianglo tertawa dan berbasa-basi merendahkan diri.

   Didalam hati ia merasa senang sekali, melihat Cie Siang Gie berdua Ciu Sin Lan amat sopan santun.

   "Kalian terluka berat.

   Lebih baik jangan berbicara lagi.

   Nah, beristirahatlah selagi ada kesempatan yang baik."

   Akhirnya kata Tie Kong tianglo. ***** PADA WAKTU makan malam, pemilik perahu sudah selesai memasak, Tie-kong tianglo mempersilahkan Cie Siang Gie dan ciu Sin Lan makan dahulu, karena ia hendak menyuapi Thio Sin Houw yang tak dapat bergerak itu.

   "Sebenarnya ia menderita penyakit apa?"

   Cie Siang Gie minta keterangan dengan penuh perhatian.

   Segera Tie-kong tianglo memberi keterangan, bahwa Thio Sin Houw kena racun jahat yang kini menyerang bagian perut.

   itulah sebabnya, ia terpaksa menghentikan peredaran darahnya untuk menyelamatkan jiwanya.

   Thio Sin Houw ikut mendengarkan keterangan kakek gurunya itu, ia makin menyadari, bahwa jiwanya takkan tertolong lagi.

   Diam-diam ia menjadi terharu dengan jerihpayah kakek gurunya itu yang berjuang untuk menyelamatkan jiwanya, Oleh rasa haru, ia tak sanggup makan lagi, Kerongkongannya terasa tersumbat.

   Tatkala Tie-kong tianglo hendak memasukkan suapan yang ketiga kalinya, ia menggelengkan kepalanya.

   Tiba-tiba Ciu Sin Lan yang selama itu menaruh perhatian kepadanya, datang mendekati.

   ia mengambil mangkok nasi yang berada ditangan Tie-kong tianglo, dan berkata dengan lemah lembut.

   "Thay-suhu, biarlah aku yang menyuapinya, Sejak petang tadi, Thay-suhu telah bekerja keras, silahkan makan dahulu."

   Tercengang hati Tie-kong tianglo melihat sikap gadis cilik itu, yang begitu pandai membawa diri, Tatkala itu ia mendengar Thio Sin Houw menyanggah kepada Ciu Sin Lan.

   "Terima kasih. Aku sudah kenyang. Tak bisa aku makan lagi."

   Ciu Sin Lan menoleh kepada Tie-kong tianglo, minta keterangan.

   "Thay-suhu, siapakah namanya?"

   Dengan bersenyum Tie-kong tianglo menjawab.

   "Thio Sin Houw."

   Setelah mendengar nama Thio Sin Houw, maka Ciu Sin Lan menoleh kepadanya, berkata dengan suara halus.

   "Sin Houw koko, jika kau tidak mau makan, pastilah Thaysuhu akan bersedih hati, dan Thay-suhu pun tidak akan bernapsu makan pula, Bukankah kau membuat Thay-suhu lapar?"

   Thio Sin Houw diam menimbang-nimbang, Pikirnya, benar juga alasan anak perempuan itu, Maka, tatkala Ciu Sin Lan menyuapkan nasi kemulutnya, ia lantas menelannya.

   Ciu Sin Lan ternyata sangat telaten menyuapi.

   sebelum menyuapkan, ia membuangi tulang-tulang ikannya dahulu dan setiap suapan ditambaninya dengan sedikit kuah.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Oleh pelayanan yang begitu sempurna, Thio Sin Houw menjadi makan secara lahap.

   Tanpa disadarinya sendiri, ia telah menghabiskan semangkok nasi.

   Selama itu Tie-kong tianglo menaruh perhatian kepada mereka.

   Melihat Thio Sin Houw dapat menghabiskan semangkok besar nasi, ia menjadi agak lega, pikirnya didalam hati.

   "Sin Houw ini benar-benar anak yang bernasib malang, ia tidak hanya ditinggalkan kedua orang tuanya, tetapipun oleh kedua saudaranya pula, sekarang ia menderita sakit begini berat memang, untuk menghibur dirinya seharusnya ada seorang perawat yang sebaya dengan umurnya."

   Ia menoleh kepada Cie Siang Gie, Meskipun sedang terluka parah, akan tetapi pemuda itu makan dengan lahap dan bernapsu, Dalam sekejap saja, ia telah menghabiskan tiga mangkok nasi penuh-penuh.

   Kena pandang Tie-kong tianglo, pemuda itu berhenti mengunyah, menengadah sambil berkata.

   "Akh, hampir saja aku menghabiskan persediaan makan Thay-suhu. silahkan Thay-suhu makan."

   "Tidak, Aku mempunyai persediaan sendiri. Aku senang melihat kau dapat menghabiskan tiga mangkok nasi dengan sekaligus, hal itu perlu sekali untuk menjaga kesehatanmu Kulihat tenagamu hebat sekali, dikemudian hari kau bisa mengembangkan tenagamu itu."

   Cie Siang Gie meletakkan mangkok-nya, menyahuti.

   "Akh, Thay-suhu, sekalipun andaikata aku mempunyai tenaga sebesar gajah, kurasa tiada gunanya, Sebab aku ini orang yang kasar."

   Dengan pandang penuh perhatian, Tie-kong tianglo menatap wajahnya, Kemudian berkata sambil mengurut jenggotnya.

   "Cie siauwhiap, berapa umurmu?"

   Dengan cepat Cie Siang Gie menjawab.

   "Duapuluh tahun tepat."

   Dibandingkan dengan usia Tie-kong tianglo, umur Cie Siang Gie baru seperlimanya, Akan tetapi karena ia memelihara berewok, maka nampaknya seram luar biasa, Apabila dilihatnya sekilas pandang, kesannya seperti sudah berumur tiga puluh tahun lebih.

   Dalam pada itu Tie-kong tianglo mengangguk-angguk dan berkata dengan hati lapang.

   "Hm, kau masih sangat muda, siauw hiap, Hari depanmu masih sangat panjang , semoga kelak kau bisa bergaul lebih luas lagi untuk mengangkat nama sendiri."

   Cie siang Gie mengucapkan terima kasihnya, Dan esok harinya Tie-kong tianglo bermaksud hendak melanjutkan perjalanannya, dengan mengambil jalan darat. Maka ia segera memondong Thio Sin Houw dan berkata kepada Cie Siang Gie.

   "Baiklah kita berpisah sampai di sini saja, mudah-mudahan kau dapat mencapai tujuan dengan selamat."

   Setelah berkata demikian, ia melompat ke darat hendak meninggalkan perahu. Dengan berdiri tegak, berulangkali Cie Siang Gie dan Ciu Sin Lan mengucapkan terima kasih tak terhingga. Sedang Ciu Sin Lan sempat berkata dengan lemah lembut kepada Sin Houw.

   "Siri Houw koko, tiap hari kau harus makan yang kenyang. Dengan demikian kau tidak akan membuat sedih Thay suhu."

   Terharu hati Thio Sin Houw mendengar perkataan Sin Lan, entah apa sebabnya tiba-tiba saja air matanya mengalir di kedua pipinya. sahutnya dengan suara tak lancar.

   "Terima kasih atas perhatianmu, Tetapi ... tetapi beberapa hari lagi aku akan tidak bisa makan nasi, atau meneguk air ..."

   Mendengar perkataan itu hati Tie-kong tianglo seperti tersayat. Dengan terharu ia mengusap air mata bocah itu.

   "Apa katamu? Kau ... kau ... kenapa?"

   Tanya Sin Lan kaget. Thio Sin Houw tak kuasa menjawab pertanyaan Sin Lan, dan Tie-kong tiang lo ganti menjawab.

   "Anak manis, hati nuranimu sangat baik. Mudah-mudahan Tuhan memilihkan jalan yang benar bagimu. Aku sendiri selalu berdoa, agar kau jangan terjerumus ke jalan yang sesat."

   "Terima kasih, Thay-suhu,"

   Sahut Ciu Sin Lan dengan tulus. Tiba-tiba Cie siang Gie ikut bicara.

   "Thay-suhu, ilmu saktimu sangat tinggi. walaupun ribuan macam racun berada dalam tubuh adik kecil ini, pastilah Thaysuhu dapat menyembuhkan."

   "Ya, tentu ..."

   Sahut Tie-kong tianglo singkat.

   Akan tetapi sebelah tangan yang berada dibawah tubuh Thio Sin Houw nampak digoyang-goyangkan beberapa kali.

   Terang sekali maksudnya bahwa luka yang diderita Thio Sin Houw terlalu berat, sehingga tiada harapan untuk dapat disembuhkan kembali.

   Hanya saja, tak pernah ia memberitahukan hal itu kepada Thio Sin Houw.

   Melihat goyangan tangan Tie-kong tianglo yang dimaksud sebagai aba-aba itu, maka Cie Siang Gie menjadi kaget.

   Katanya lagi.

   "Thay-suhu, luka yang kuderita tidak ringan pula, Aku bermaksud mencari salah-seorang pamanku yang pandai mengobati, ia terkenal sebagai seorang tabib sakti. Tidakkah lebih baik apabila adik kecil ini pergi bersama sama aku, untuk menemui pamanku itu?"

   Tie-kong tianglo mendengarkan perkataan Cie Siang Gie dengan penuh perhatian, tetapi sesaat kemudian ia menggelengkan kepalanya, Sahutnya.

   "Urat-urat nadinya sudah tertembus, sehingga bisa racun yang jahat meresap ke dalam perutnya, Kurasa obat dewa sekalipun sukar sekali menyembuhkannya, Diseluruh dunia ini tiada seorangpun yang sanggup menyembuhkannya, sehingga..."

   "Tetapi pamanku mempunyai kepandaian menghidupkan orang mati!"

   Cie Siang Gie memutus dengan sungguhsungguh. Tie-kong tianglo tercengang. Mendadak teringatlah dia kepada seseorang, lalu katanya mencoba.

   "Apakah nama pamanmu itu Tiap-kok le-sian?"

   "Benar, memang dia!"

   Seru Cie Siang Gie girang.

   "Kiranya Thay-suhu kenal nama pamanku itu."

   Tie-kong tianglo diam termenung, ia nampak bimbang. Memang pernah didengarnya nama Tiap-kok le-sian yang aneh dan sakti itu, dan yang namanya disegani oleh orangorang Rimba persilatan. Akan tetapi dia adalah dari golongan "Beng-kauw"

   Yang menurut anggapan orang banyak merupakan agama sesat.

   Oleh karena itu kalau orang yang sakit atau terluka merupakan orang dari golongannya, ia segera menolongnya dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran apapun juga, sebaliknya kalau yang memerlukan pertolongan bukan pengikut golongannya, biarpun dibayar dengan jutaan tail emas ia tidak akan sudi menolongnya.

   Melihat Tie-kong tianglo berbimbang-bimbang, segera Cie Siang Gie dapat menebak.

   Katanya membujuk.

   "Thay-suhu, Pamanku itu meskipun selamanya tidak sudi mengebati orang-orang diluar golongannya, akan tetapi Thaysuhu sudah menanam budi demikian luhur menolong jiwa kami, Kurasa paman ku akan melanggar kebiasaan sendiri. Aku sendiri sebenarnya bukan merupakan pembantu dari gerakan Ciu Kong Bie sebaliknya ayahkulah yang merupakan salah-seorang pembantu setia dari Thio Su Seng dan diperbantukan kepada Ciu Kong Bie. Tatkala ayah meninggal, beliau berpesan kepadaku hendaklah aku membawa dua putera-puteri Ciu Kong Bie untuk diselamatkan dari kejaran pihak tentara penjajah, Karena aku sudah menyanggupkan diri, maka aku membawanya pergi ke tempat pamanku yang sekaligus merupakan atasanku, Beliau, adalah Han Sam Tong, yang menentang pemerintah penjajah dibawah Panji Beng-kauw..."

   Sejenak Cie Siang Gie menunda bicara sambil menatap muka Tie-kong tianglo, lalu ia berkata lagi.

   "Thay-suhu adalah seorang pemimpin besar dari suatu perguruan yang juga maha-besar, dan juga merupakan seorang yang memuliakan agama, sebagai seorang beragama yang saleh, betapa mungkin Thay-suhu membiarkan diri memohon bantuan kepada pamanku yang digolongkan dari aliran sesat. Tabiat pamanku memang aneh pula, belum tentu ia bisa menerima kedatangan Thay-suhu dengan semestinya, Apabila terjadi demikian, kedua-duanya akan susah. Maka biarlah adik kecil ini aku yang membawanya seorang diri saja. Namun aku tahu, Thay-suhu menyangsikan nilai budi golongan kami, karena itu aku mohon kepada Thay-suhu, biarlah Ciu kouwnio. Siauw-kouwnio ini mengantarkan Thay-suhu pulang ke gunung Boe-tong sebagai jaminan. Kelak apabila adik kecil ini sudah sembuh, akan aku menjemputnya kembali."

   Selama hidupnya Tie-kong tianglo belum pernah mencurigai seseorang.

   Tetapi mengingat Thio Sin Houw adalah keturunan satu-satunya dari murid kesayangannya, Thio Kim San - maka ia bersikap sangat hati-hati.

   Sebab jika keturunan anak muridnya itu di kemudian hari sampai masuk ke dalam aliran sesat, bagaimana ia mempertanggung jawabkan kepada arwah ayahnya, itulah sebabnya masih saja ia ragu-ragu.

   Akan tetapi bisa racun yang mengamuk didalam tubuh Thio Sin Houw sudah terlalu hebat.

   Betapapun juga akhirnya kalau tidak hidup ya mati.

   Bahaya yang bakal mengancam dirinya, apa perlu diperpanjang dan dipertimbangkan berkepanjangan? Olah pertimbangan itu, segera Tie-kong tianglo menjawab.

   "Cie siauwhiap, baiklah, Kita saling berjanji, aku akan merawat Ciu siauw kouwnio ini baik-baik. Dan tolong kau rawat Sin Han baik-baik pula, kelak apabila racun yang mengamuk di dalam dirinya sudah sirna, hendaklah kau membawanya sendiri ke Boe-tong san."

   "Memperoleh kepercayaan seseorang apalagi mendapat tugas demikian mulia, aku harus bersedia,"

   Sahut Cie Siang Gie.

   "Thay-suhu, legakan hatimu, Aku akan menjaganya dengan mempertaruhkan nyawaku sendiri."

   Setelah berkata demikian, ia melompat ke darat.

   ia menggali liang kubur dengan sebatang golok, liang itu berada dibawah pohon besar.

   setelah selesai ia menghampiri mayat anak laki-laki yang menjadi kakaknya Sin Lan.

   Mayat itu kemudian ditelanjangi bulat-bulat, kemudian ditaruhnya dengan hati-hati ke dalam liang kubur.

   Cara meletakkannya ditengkurapkan sehingga hidungnya mencium bumi, setelah selesai, dengan penuh baru mayat itu mulai ditimbuni tanah.

   Ciu Sin Lan menangisi kuburan kakaknya dengan sedihnya, Sedang Cie Siang Gie hanya berdiri tegak tanpa berkata sepatah katapun.

   ia tidak berdoa atau bersembahyang.

   Demikianlah, setelah puas menyatakan rasa duka-citanya, perlahan-lahan mereka memutar badannya dan menghampiri Tie-kong tianglo.

   Kala itu pagi hari nampak cerah, Tie-kong tianglo hendak segera meneruskan perjalanannya pulang ke gunung Boetong san dengan membawa Ciu Sin Lan, arahnya tepat ke timur.

   sedangkan Cie Siang Gie membawa Thio Sin Houw ke selatan.

   Setelah tiada berayah-bunda lagi, Thio Sin Houw menganggap Tie-kong tianglo seperti kakeknya sendiri.

   itulah sebabnya perpisahan pada pagi hari itu sangat mengharukan hatinya, sehingga air matanya-bercucuran.

   sebelum berangkat, Tie-kong tianglo mencoba membesarkan hati Sin Houw.

   Katanya.

   "Sin Houw, aku percaya penyakitmu akan sembuh. Apabila penyakitmu sudah sembuh kembali, pastilah kakakmu Cie Siang Gie membawamu pulang kembali ke gunung Boe-tong san. Kita hanya berpisah hanya beberapa bulan saja, karena itu tak perlu kau bersedih hati."

   Thio Sin Houw belum dapat menggerakkan anggauta badannya.

   ia hanya mengangguk, namun air matanya mengucur semakin deras.

   Tiba-tiba saja Ciu Sin Lan kembali ke perahunya, lalu balik kembali dengan membawa saputangan bersulam sekuntum bunga Mawar, Saputangan itu dimasukkan kedalam baju Sin Houw, lalu menghampiri Tiekong tianglo dan siap untuk berangkat.

   Tergerak hati Tie-kong tianglo menyaksikan perbuatan Ciu Sin Lan.

   pikirnya.

   "Gadis kecil ini begini cantik, Kelak apabila telah dewasa, pastilah akan tumbuh menjadi seorang gadis yang elok luar biasa, Apabila Sin Houw dapat disembuhkan, aku wajib tidak akan mengijinkan pertemuannya dengan gadis ini. Sebab apabila kedua-duanya sampai saling jatuh cinta, bukankah Sin Houw akan dapat terseret memasuki golongan sesat?"

   Catatan.

   Yang dimaksud dengan golongan sesat oleh Tiekong tianglo pada waktu itu, adalah golongan Beng-kauw yang bahkan dikemudian hari dapat mengusir tentara penjajah dan membangun kerajaan "Beng" (Ming) dengan Cu Goan Ciang yang menjadi kaisar pertama kerajaan Beng).

   Demikianlah dengan pandang mata yang berat, Thio Sin Houw menyaksikan Tie-kong tianglo membawa pergi Sin Lan.

   Tiada hentinya dara cilik itu menoleh dan melambaikan tangan, sampai tubuhnya hilang teraling pohon-pohon yang lebat.

   ***** PADA WAKTU ITU, terasa di dalam hati Thio Sin Houw, bahwa dirinya hidup sebatang kara, Alangkah sunyi dan hampa rasanya, oleh karena itu kembali ia menangis sedih.

   "Sin Houw. Berapa umurmu sekarang?"

   Tanya Cie Siang Gie tiba-tiba sambil mengerutkan kening.

   "Mungkin duabelas tahun,"

   Sahut Thio Sin Houw.

   "Bagus, seorang yang sudah berumur dua belas tahun tidak boleh dibilang anak kecil lagi, Masakan kau menangis demikian rupa, hanya disebabkan suatu perpisahan saja? Apa kau tidak malu?"

   Kata Siang Gie sungguh-sungguh.

   "Dahulu, ketika aku berumur duabelas tahun, entah sudah berapa ratus kali aku kena dihajar orang, Akan tetapi selama itu setetespun tak pernah aku mengeluarkan air mata, Seorang laki-laki sejati, hanya mengalirkan darah tidak air mata.

   Jika kau terus menangis lagi begini manja, aku akan segera menghajarmu!"

   Pandang wajah Cie Siang Gie bersungguh-sungguh, sehingga kelihatan sangat bengis. Hati Sin Houw merasa gentar juga, pikirnya diam-diam.

   "Huh, baru saja Thay-suhu berangkat, kau sudah berlagak terhadapku. Apalagi di kemudian hari, entah penderitaan bagaimana lagi yang akan ku-tanggung."

   Meskipun hatinya gentar dan takut, akan tetapi tak sudi Sin Houw mengalah, sahutnya.

   "Aku menangis sebab berpisah dengan Thay-suhu. Tetapi kalau dipukul orang, tidak bakal aku menangis. Kau hendak memukul aku, hayo pukullah aku. Hari ini boleh kau memukul aku, akan tetapi satu kali kau memukulku, di kemudian hari aku akan memukulmu kembali sepuluh kali ..."

   Cie Siang Gie tercengang, sejenak kemudian ia tertawa terbahak-bahak dengan mata berseri-seri, kemudian ia berkata penuh syukur.

   "Adikku yang baik, Beginilah kau baru dapat disebut seorang laki-laki sejati. Kau begini hebat, terus terang saja aku tidak berani memukulmu!"

   "Kau tahu aku tak dapat bergerak sama sekali, kenapa kau bilang aku hebat? Hayo, pukullah aku!"

   Seru Sin Houw dengan kalap.

   "Jika sekarang aku memukulmu, aku takut akan pembalasanmu di kemudian hari. Sebab dengan berbekal ilmu sakti Thay-suhumu tadi, bagaimana aku sanggup melawanmu?"

   Sahut Cie Siang Gie, dengan tertawa.

   Mendengar dan melihat Cie Siang Gie terus tertawa, mau tak mau Sin Houw terpaksa turut tertawa geli juga.

   Sekarang tahulah dia, meskipun kakak ini berwajah bengis, tetapi sesungguhnya hatinya baik sekali.

   ia nampak bengis, karena mukanya penuh berewok tebal.

   Karena pertolongan orang-orang kampung, Cie Siang Gie memperoleh seekor kuda, Dengan menunggang kuda ia membawa Thio Sin Houw mengarah ke selatan.

   Siang dan malam Siang Gie meneruskan perjalanan itu, hampir-hampir boleh dikatakan tidak mengenal istirahat.

   Untuk sekian lamanya, Sin Houw pernah mengikuti orang tuanya berkuda dari satu tempat ke tempat lainnya.

   Walaupun selalu diancam bahaya, hatinya selalu tegar karena ditengah-tengah keluarga.

   sekarang, benar ia masih hidup - tetapi ia tak dapat menggerakkan anggauta tubuhnya.

   Lagipula dibawa oleh seseorang yang baru saja dikenalnya.

   Tak mengherankan, hatinya terasa menjadi hampa dan sedih luar biasa.

   Sebenarnya ingin ia menangis, akan tetapi takut kena marah Cie Siang Gie.

   Setiap hari , diwaktu matahari berada di titik-tengah, bisa racun yang berada didalam tubuhnya mengamuk hebat.

   Dan diwaktu kumat, rasa deritanya luar biasa, ia harus mempertahankan diri dan menguatkan hatinya kurang lebih setengah jam lamanya.

   Untuk mengenyahkan rasa sakit, ia selalu menggigit bibir, setelah setengah Jam mati-matian, sedikit demi sedikit rasa sakit itu berkurang.

   Kemudian ia melepaskan gigitannya, akan tetapi bibirnya sudah terlanjur matang biru, Tak setahunya, serangan racun itu makin lama semakin sering dirasakan.

   Malahan tidak hanya selama setengah jam, kadang-kadang sampai hampir mencapai satu jam.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sepuluh hari kemudian, sampailah Cie Siang Gie di Kwanpo, sebelah bawah Cip-keng.

   Di kota ini ia menjual kudanya yang sudah kelelahan, kemudian menyewa sebuah kereta besar yang lebih kokoh dan sentausa, Beberapa hari lagi sampailah mereka di Beng-kong, sebelah timur Hong-yang.

   Cie Siang Gie cukup mengenal tabiat pamannya yang sangat aneh, pamannya adalah seorang tabib sakti yang tidak senang apabila diketahui tempat ,tinggalnya, itulah sebabnya, pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li dari Lie-san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil menggendong Sin Houw, ia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki.

   Diluar dugaan, baru saja ia berjalan kurang-lebih satu li, mendadak langkahnya makin lama semakin menjadi perlahan.

   seluruh badannya merasa linu dan napasnya tersengalsengal.

   "Mengapa jadi begini?"

   Pikirnya. Thio Sin Houw walaupun masih berumur dua belas tahun, akan tetapi kaya dalam pengalaman, segera ia mengetahui apa yang menyebabkan langkah-kaki Cie Siang Gie makin lama semakin perlahan. Dengan lesu ia berkata.

   "Cie toako, tak apa kau berjalan perlahan. Apa perlu kau berkutat untuk berjalan secepat-cepatnya? Bukankah dengan demikian dirimu akan cepat lelah pula?"

   Cie Siang Gie ternyata seorang pemuda yang mudah sekali tersinggung kehormatannya.

   ia menjadi gopoh, katanya mengandung gusar.

   "Sehari aku sanggup berjalan sejauh duaratus li, dan sedikitpun tak pernah aku merasa letih.

   Masakan karena cuma kena dua kali pukulan pendeta bangsat itu, bisa membuat langkahku makin lama semakin pendek?"

   Oleh rasa penasarannya ia mencoba mempercepat langkahnya dengan mengerahkan seluruh tenaga penuhpenuh.

   Tetapi sebenarnya hal itu merupakan pantangan besar bagi seseorang yang mendapat luka dalam, ia tidak boleh menjadi gopoh atau marah, apalagi sampai mengerahkan seluruh tenaga secara berlebih-lebihan, Apabila hal itu sampai terjadi, maka luka dalam yang dideritanya akan menjadi lebih parah lagi.

   Tak mengherankan, baru saja ia alangkah seratus meter, seluruh sendi-sendi tulangnya terasa seakan-akan mau lepas, namun masih saja ia tak sudi menyerah.

   Tak sudi pula ia beristirahat dahulu, dan selangkah demi selangkah ia memaksa diri untuk maju terus.

   Dengan demikian perjalanannya jadi lambat sekali.

   Cuaca sudah mulai gelap akan tetapi belum juga ia mencapai setengah perjalanan.

   Sedangkan jalan pegunungan yang berada di depannya, nampak melingkar-lingkar penuh dengan batu tajam.

   Hal itu membuat hati Cie Siang Gie jadi semakin gugup.

   Sekali lagi ia memaksa dan memaksa untuk berjalan secepat-cepatnya, Apabila malam hari tiba, sampailah ia di tepi sebuah rimba.

   Segera ia memasukinya dengan tak ragu-ragu lagi, lalu meletakkan Thio Sin Houw ke tanah dengan hati-hati.

   Dan barulah ia beristirahat, untuk meluruskan napasnya, sambil mengunyah bekal makanan, ia segera memberi keterangan kepada Thio Sin Houw bahwa seorang yang menyandang sebagai pendeta telah memukulnya dua kali berturut-turut.

   Yang pertama pada dadanya, yang kedua menghantam punggungnya.

   Tatkala bertempur, ia tidak memikirkan akibat pukulan itu, ia menganggap sebagai suatu pukulan yang lumrah.

   Tak tahunya kini benar-benar menyita tenaganya.

   Setelah beristirahat kira-kira satu jam lamanya, Cie Siang Gie bermaksud hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi Thio Sin Houw segera menyanggahnya.

   ia menyarankan agar bermalam saja dalam rimba itu, esok pagi setelah matahari muncul diudara barulah melanjutkan perjalanan.

   Cie Siang Gie mempertimbangkannya saran Thio Sin Houw, Benar, meskipun malam ini mereka dapat mencapai tempat tujuan, akan tetapi tabiat pamannya terlalu aneh.

   Jangan-jangan karena gusar, ia lalu memutuskan tidak mau menolong, Apabila dia sudah bilang tidak, bukankah persoalan akan menjadi runyam? Dari menuruti pikiran demikian, ia menerima saran Thio Sin-Houw.

   Demikianlah mereka menginap pada sebuah pohon dan tidur dengan aman dan tenteram.

   Kira-kira, tengah malam, Jam tiga penyakit Sin Houw kumat tiada hentinya, Khawatir kalau membuat kaget Cie Siang Gie, ia "

   Mempertahankan diri dengan membungkam mulut sambil menggigil bibir agar tidak sampai mengeluarkan suara. Pada saat-saat itulah dari jauh terdengar beradunya senjata tajam, kemudian, teriakan beberapa orang...

   "Hayo Kalian Iari kemari? "Cegat di sebelah timur".

   "kurung dia di dalam rimba itu!"

   Jaga dia dan jangan beri kesempatan melarikan diri!"

   Hampir berbareng dengan hilangnya kumandang suarasuara itu, terdengarlah langkah kaki seseorang yang cepat sekali, Kemudian beberapa orang memasuki rimba.

   oleh suara berisik itu Cie siang Gie terbangun.

   segera ia menghunus goloknya.

   Dengan sebelah tangan membopong Sin Houw, ia bersiaga bertempur.

   "Cie toako, agaknya bukan kita yang diarah."

   Bisik Sin Houw.

   Cie Siang Gie mengangguk.

   Akan tetapi didalam hati ia sudah mengambil keputusan, hendak melindungi jiwa Sin Houw meskipun dengan mempertaruhkan nyawa sendiri.

   Hanya saja, ia dalam keadaan luka parah.

   Tiba-tiba terasalah bahwa ilmu kepandaiannya sudah punah semua, maka ia menjadi gugup dan khawatir.

   Dengan cepat ia membawa Sin Hong bersembunyi di belakang pohon besar.

   Dengan mata penuh kecemasan, ia mengintip segala yang bergerak di depannya.

   Dan terlihatlah berkelebatnya tujuh atau delapan sosok bayangan sedang mengepung orang yang mengenakan jubah abu-abu.

   Dalam cuaca gelap, wajah mereka semua tidak nampak dengan jelas, dengan demikian baik Sin Hong maupun Cie Siang Gie tidak segera dapat mengetahui siapa mereka sebenarnya.

   Yang mereka ketahui dengan jelas adalah orang yang berada di tengah-tengah mereka.

   Tanpa bersenjata orang itu mempertahankan diri dari pengeroyokan terhadap dirinya.

   Kedua tangannya bergerak cepat luar biasa, sehingga para pengepungnya tidak berani bertindak sembarangan.

   Tak lama kemudian, pertarungan mereka makin lama semakin mendekati pohon tempat bersembunyi Cie Siang Gie dan Sin Houw, Kebetulan sekali pada saat itu cahaya bulan menembus mega-mega putih.

   sinarnya yang- cerah memasuki celah-celah mahkota daun, sehingga Siang Gie berdua Sin Houw kini dapat melihat dengan jelas seperti penglihatan mereka yang pertama, orang yang dikepung itu menyandang sebagai pendeta, berjubah warna abu-abu.

   Perawakannya tinggi kurus, kira-kira berusia limapuluh tahunan.

   Sedangkan para pengepungnya terdiri dari bermacam-macam golongan.

   Ada yang seperti pendeta, adapula yang mengenakan pakaian serba ketat - dan ada pula dua orang wanita.

   Sesudah memperhatikan pertarungan sengit itu, Cie Siang Gie nampak terkejut.

   Segera ia mengetahui bahwa para pengepung itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, yang berada diatasnya, Dua orang yang menyandang sebagai pendeta, menggunakan senjata tongkat dan golok.

   Dua orang lainnya bersenjata seutas rantai panjang dan penggada, Dua orang ini bergulingan diatas tanah, mungkin sekali mereka hendak menyerang kaki orang berjubah abuabu itu.

   Hebat gerak gerik mereka, semua pukulan-pukulan mereka, membawa angin keras yang menggoncangkan daundaun kering sehingga rontok berguguran.

   Salah seorang pengeroyok yang bersenjata pedang, gesit luar biasa.

   Kecuali cepat, gerakannya aneh pula.

   Kadang-kadang ia melesat ke kanan, kadang kekiri.

   pedangnya berkeredep diantara cahaya bulan.

   Sedang kedua wanita yang bersenjata pedang pula berperawakan langsing.

   ilmu pedangnya ternyata sangat ringat dan gesit.

   Dalam pertarungan semakin sengit, tiba-tiba salah seorang wanita itu memalingkan kepalanya.

   wajahnya kena sinar cahaya bulan yang terang benderang.

   Dan melihat wajah wanita itu, hampir saja Sin Houw memanggil.

   "Hoa kouwnio!"

   Memang wanita muda itu adalah Hoa Kie Lian.

   Dia merupakan salah seorang murid partai Go-bie yang pernah berkunjung ke Boe tong-san, karena dia adalah tunangannya Tan Boen Kiat, murid keempat dari Tie-kong Tianglo.

   Mula-mula tatkala melihat tujuh delapan orang mengeroyok seorang yang menyandang jubah abu-abu, Sin Houw diamdiam mengutuk di dalam hati.

   Inilah suatu pertempuran yang tidak adil.

   Maka ia berdoa, mudah-mudahan orang berjubah abu-abu itu dapat membobolkan kepungan mereka, dan segera melarikan diri.

   Akan tetapi setelah melihat bahwa salah seorang pengepungnya adalah Hoa Kie Lian, ia jadi berpikir lain.

   Dua tahun yang lalu, ketika tersiar berita bahwa Thio Kim San dan keluarganya berhasil mendaki gunung Boe-tong san walaupun dalam keadaan sudah menjadi mayat, Hoa Kie Lian ikut pula mendaki gunung Boe-tong san bersama guru dan sekalian saudara seperguruannya.

   Mereka ternyata juga bermaksud memperoleh keterangan dimana Golok Halilintar berada! walaupun demikian Hoa Kie Lian yang diketahuinya menjadi tunangannya Tan Bun Kiat, maka Sin Houw berkesan baik terhadap nona yang gagah perkasa itu, inilah sebabnya, kini ia berada dipihaknya.

   Dalam pada itu, Cie Siang Gie juga penasaran melihat suatu pertempuran yang tidak adil itu.

   Perlahan-lahan ia menggerendeng.

   "Heran, delapan orang mengeroyok seorang, benar-benar memalukan. Entah siapa mereka ini,"

   Thio Sin Houw mendengar gerendeng Siang Gie, segera ia membisiki.

   "Dua wanita itu adalah dari golongan Go-bie pay, dan dua pendeta itu pastilah orang-orang Siauw-lim pay."

   Setelah mengamat-amati sebentar, ia berkata lagi.

   "Dan orang yang bersenjata pedang itu mungkin sekali dari golongan Kun-lun pay, lihatlah betapa keji tipu-tipu serangannya, Akan tetapi tiga orang lainnya entahlah, mereka entah dari golongan mana ..."

   "Apakah mereka bukan dari Khong-tong pay?"

   Tanya Siang Gie.

   "Bukan,"

   Jawab Sin Houw, Mereka menggunakan ilmu silat Tee-tong To-hoat, Didalam Tee-tong To-hoat Khong- tong pay, orang harus menggunakan sebatang golok yang dipegang di tangan kanan, dan sebatang toya di tangan kiri. Orang itu menggunakan sepasang golok."

   Mendengar keterangan dari Sin Houw yang sangat nalar itu, diam-diam Cie Siang Gie kagum bukan main, pikirnya didalam hati.

   "Anak macan, pasti melahirkan macan pula, Dia cucu murid Tie-kong tianglo, tidak mengherankan bahwa pengetahuannya tidak mengecewakan ."

   Akan tetapi sebenarnya pengetahuan Thio Sin Houw bukan diperoleh dari rumah perguruan Tie-kong tianglo.

   Itulah berkat pengalamannya selama dibawa merantau ayah-bundanya, dari tempat ke tempat.

   Dan selama itu, entah sudah beberapa puluh kali ia dibawa bertempur sehingga secara wajar ia paham serta mengenal baik segala tipu serangan musuh-musuh ayah-bundanya.

   Itulah sebabnya pula, dengan yakin ia memberi kisikan kepada Siang Gie bahwa tiga orang yang bersenjata rantai serta penggada bukanlah orang-orang Khong-tong pay.

   Mereka bertempur belasan jurus lagi, dan tiba-tiba kawannya Hoa Kie Lian menjadi gelisah.

   Maklumlah, sekian lamanya mereka berdelapan mengepung seorang lawan, akan tetapi belum juga berhasil.

   Bahkan tenaga pukulan orang berjubah abu-abu itu makin lama menjadi semakin dahsyat, perubahannya sukar sekali diduga, Kadang-kadang cepat, kadang-kadang pula lambat.

   Sewaktu cepat, telapak tangannya seakan akan tidak kelihatan.

   sebaliknya apabila bergerak lambat, mereka semua merasakan seperti tertindih sebuah batu sebesar gunung.

   Sejenak kemudian terdengarlah salah seorang berseru.

   "Serang saja dengan senjata rahasia!"

   Dua orang laki-laki lantas keluar gelanggang.

   Pada saat itu, nampak berkeredepnya berpuluh-puluh golok terbang (hoei-to) menghantam orang berjubah abu-abu itu, Menghadapi serangan ini, orang berjubah abu-abu itu nampak repot juga, sedangkan orang yang bersenjata pedang lantas membentak.

   "Siangkoan Hong! Kami bukan bermaksud hendak mengambil jiwamu. Mengapa kau berkelahi mati-matian? Asal saja kau sudi menyerahkan anak perempuan yang kau bawa dua tahun lalu, bernama Thio Sin Lan - segera kami akan pergi. Bukankah urusan lantas saja menjadi beres?"

   Mendengar orang itu menyebut nama Siangkoan Hong, Cie Siang Gie kaget. Bisiknya perlahan.

   "Oh, jadi dialah supeh Siangkoan Hong?"

   Thio Sin Houw mendengar bisik Cie Siang Gie, tetapi ia sibuk dengan pikirannya sendiri, itulah disebabkan orang menyerukan nama Thio Siu Lan.

   Kalau begitu, Thio Siu Lan masih hidup.

   Thio Siu Lan adalah kakak perempuannya, yang dahulu masih nampak berkelahi mati-matian mempertahan diri.

   "Jadi dia masih hidup!"

   Seru Sin Houw dalam hati, Pada saat itu berbagai pikiran menusuk benaknya. pikirnya lagi di dalam hati.

   "Benar, Waktu itu aku melihat seseorang mengenakan jubah abu-abu, apakah dia? Cie toako menyebut dia sebagai "soepeh", jelas dia kenal. Apakah Siangkoan Hong itu orang Beng-kauw?"

   Segera terdengar Siangkoan Hong menjawab dengan suara lantang.

   "Keluarga Thio Kim San yang kalian kejar-kejar, telah mati semua. Mengapa kau menyebut-nyebut seorang yang bernama Thio Siu Lan? Siapa dia?"

   "Akh, jangan kau berlagak pilon!"

   Bentak orang itu.

   "Bukankah perempuan yang kau bawa bernama Thio Siu Lan? Dialah anak satu-satunya dari Thio Kim San yang masih hidup!"

   Siangkoan Hong tertawa terbahak-bahak, serunya dengan suara tetap lantang.

   "Benar-benar kalian ini sudah kalap. Aku tahu, aku tahu, Kalian menghendaki jiwa anak perempuan Thio Kim San, bukankah kalian berharap dapat mengompes mulutnya tentang dimana adanya golok mustika itu? Bah! Kalian yang menamakan diri orang-orang dari golongan lurus, sebenarnya berhati iblis!"

   Mendengar orang-orang itu mengungkat-ungkat nama ayahnya, dan menyebut juga nama saudara perempuannya, hati Sin Houw jadi berduka.

   ia belum tahu pasti bagaimana kedudukan orang berjubah abu-abu itu yang menyebut dirinya Siangkoan Hong, Akan tetapi, hatinya tiba-tiba berpihak kepadanya, Katanya didalam hati.

   "Dahulu aku melihat dia muncul didekat jembatan penyeberangan.

   Menilik pembicaraan para pengepungnya ini, agaknya dia membawa Siu Lan cici.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kalau cici berada ditangannya, agaknya lebih terjamin keselamatan Jiwanya."

   Tanya-jawab itu tidak membuat mereka berhenti bertempur.

   Tetap dengan gesit, Siangkoan Hong melayani mereka, Gerakan tangannya tidak pernah ayal, Lawannya yang bersenjata pedang itu, sengaja mengajak berbicara dengan maksud memecahkan perhatiannya.

   Tak terduga, ilmu kepandaian Siangkoan Hong memang sangat tinggi.

   Kecerdasannya juga melebihi orang lain, Kalau hanya karena tipu-tipu semacam itu, betapa bisa menjebaknya, Hanya saja para pengepungnya itu adalah jago-jago terkemuka dari berbagai golongan.

   Beberapa kali ia berusaha menerjang keluar, akan tetapi masih saja gagal.

   Tiba-tiba dua orang yang berada diluar gelanggang berteriak kaget dengan berbareng.

   "Aduh, celaka! senjata rahasia habis !"

   Mendengar seruan mereka, ke enam rekan lainnya lantas menelungkupkan badan serata tanah, Dan pada detik itu, lima sinar berkeredepan menyambar di udara.

   itulah lima pisauterbang yang dengan kecepatan luar biasa membidik Siangkoan Hong, Kiranya seruan senjata rahasia habis merupakan kata-kata sandi mereka, itulah sebabnya mereka lantas saja mendekam serata tanah begitu kedua temannya menyerukan tanda tanda sandi.

   Kelima pisau terbang menyambar dengan cepatnya, sasarannya membidik dada Siangkoan Hong.

   Dalam keadaan biasa, asal Siangkoan Hong membungkukkan badannya, mendoyongkan badan ke belakang, pisau-pisau itu akan dapat dihindarinya, Akan tetapi dia harus memperhitungkan keenam lawannya yang berada diatas tanah.

   Mereka semua menyerang berbareng mengarah kaki.

   Maka tak dapat ia bergerak dengan leluasa.

   Hati Thio Sin Houw cemas bukan kepalang.

   Tiba-tiba ia melihat Siangkoan Hong melompat tinggi diudara, dan lima pisau terbang yang menyambar padanya lewat dibavah kaki.

   Akan tetapi, pada saat itu tongkat dan golok kedua pendeta Siauw-lim menyerang dengan berbareng.

   Juga pedang orang dari Kun-lun pay sudah menikam kedua kakinya.

   Dalam keadaan terapung di udara, terpaksalah Siangkoan Hong mengeluarkan gerak tipu untung-untungan.

   Telapak tangannya lantas menghantam kepala seorang pendeta Siauw-lim dengan tepat sekali, kemudian tangan kanannya menyambar golok.

   Setelah dapat merampas senjata itu ia menangkis tongkat.

   Dan dengan meminjam tenaga pentalan ia melesat menjauhi.

   Pendeta Siauw-lim sie yang kena terhantam kepalanya, mati seketika itu juga, Tentu saja kawan-kawannya yang lain berteriak-teriak penuh kegusaran, terus saja mereka melesat merubung dengan berbareng.

   Mendadak pada saat itu nampak langkah Siangkoan Hong tidak wajar lagi, ia seperti kena terkait sesuatu, Hampir-hampir ia terpeleset jatuh, karena itu ketujuh lawannya kembali dapat mengepungnya rapat-rapat.

   Yang paling kalap adalah sisa pendeta Siauw-lim sie yang seorang, ia bertempur bagaikan kerbau edan.

   Tongkatnya menyambar-nyambar tak hentinya sambil berteriak-teriak.

   "Siangkoan Hong! Kau berani membunuh adikku, karena itu malam ini aku hendak mengadu jiwa denganmu!"

   Dalam pada itu berkali-kali orang dari Kun-lun pay juga berteriak.

   "Kakinya kena tikaman pedangku! Kawan-kawan, pedangku ini beracun, sekejap lagi racunnya tentu menjalar ke seluruh tubuhnya, Dan dia akan mampus terjengkang."

   


Lembah Nirmala -- Khu Lung Rahasia Peti Wasiat -- Gan K L Pedang Abadi -- Khu Lung

Cari Blog Ini