Ceritasilat Novel Online

Golok Halilintar 7


Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 7



Golok Halilintar Karya dari Khu Lung

   

   Kemudian pintu terbuka, dan muncullah Cu kauwcu dengan wajah berseri-seri.

   "Dalam rumah penginapan sesunyi ini, Thio hiantee datang kemari. inilah bagus!"

   Kata Cu kauwcu dengan suara ramah. Thio Sin Houw masuk. Dan nampak didepan matanya se

   Jilid buku dan sehelai peta diatas meja, itulah sehelai peta sebuah kerajaan baru, Khawatir ia bakal dicurigai Cu kauwcu, cepat cepat ia mengalihkan pandangnya, Dan pada saat itu, Cu kauwcu minta keterangan kepadanya asal-usul dirinya.

   Thio Sin Houw tidak menyembunyikan riwayat hidupnya.

   Dengan terus terang ia berkata, bahwa dirinya adalah putera Thio Kim San yang menemui ajalnya diatas gunung Boe-tong.

   Kemudian dia kini berada dipinggang gunung Beng-san, untuk menyembuhkan penyakitnya.

   "Oh...!"

   Cu Goan Ciang berseru tertahan.

   "Ayahmu seorang pendekar golongan putih bersih. Kami juga menghargainya ..."

   Mendengar Cu kauwcu menghargai ayahnya, hati Thio Sin Houw tergerak. Lantas saja ia merasa dekat sekali dengan kauwcu itu, dengan kata-kata merendah ia menyahut.

   "Penghargaan kauwcu terhadap almarhum ayah kami, sangat mengharukan hatiku. Akan tetapi tak berani aku menerima penghargaan kauwcu yang terlalu tinggi."

   Cu Goan Ciang tertawa lebar. Katanya.

   "Thio hiantee, inilah yang dinamakan jodoh. Kita bisa bertemu disini dan berbicara dari hati ke hati, Besok hiantee akan mendaki gunung pula, bukan? Biarlah besok kuperkenalkan kepada segenap para hadirin disini..Kau dapat membuktikan sendiri, bahwa mereka semua mengenal nama ayahmu dan menghargai kegagahannya.Kutanggung hiantee akan merasa gembira sekali."

   Bangga hati Thio Sin Houw mendengar perkataan Cu kauwcu, segera ia berbicara panjang lebar tanpa segan-segan lagi, ia membicarakan tentang kancah perjuangan, ilmu tatasakti dan ilmu ketabiban yang dikenalnya dengan baik, Dan mendengar perkataan Thio Sin Houw, diam-diam Cu kauwcu tercengang, pikir Cu kauwcu didalam hati.

   "Anak ini nampaknya luas sekali pengetahuannya, jarang sekali aku menjumpai seorang anak seperti dia. Anak seperti dia sangat dibutuhkan dalam perjuanganku, biarlah kubawanya serta didalam pertemuan-pertemuan resmi. Siapa tahu, dikemudian hari ada gunanya,"

   Mereka berdua berbicara sampai larut malam.

   Apabila suasana di situ bertambah sunyi-senyap, barulah Thio Sin Houw kembali ke kamarnya, Lie Hong Kiauw ternyata belum memejamkan matanya.

   Seperti biasanya, ia menunggu kedatangan Thio Sin Houw dengan setia.

   Dan dengan semangat menyala-nyala, maka Sin Houw segera menceritakan pengalamannya berada bersama Cu kauwcu, Dan seperti biasanya juga, Lie Hong Kiauw bersikap mendengarkan saja, wajahnya sangat tenang, dan tiada nampak perubahan atau kesan sesuatu, Entah dia ikut bersyukur lantaran perkenalan itu atau tidak, hanya malaikat dan Tuhan sendiri yang tahu...

   ***** PADA HARI keempat adalah hari yang dijanjikan Cu Goan Ciang hendak membawa Thio Sin Houw untuk diperkenalkan dengan para pendekar pendukung gerakannya, atau para anggauta Beng-kauw yang datang dari segala penjuru.

   Sebelum bertemu dengan Cu Goan Ciang, Thio Sin Houw dan Lie Hong Kiauw dibawa Gouw Cin Kie mendaki dan menuruni bukit-bukit tak keruan juntrungnya, Kadang-kadang setelah sampai di pinggang gunung, dibawanya turun kekaki gunung kembali.

   Kadangkala melintasi pedusunan dan lamping bukit.

   Dan seperti kanak-kanak belajar berjalan, ia dibawa pula beringsut-ingsut dari keblat ke keblat, walaupun hati Thio Sin Houw kerapkali merasa kesal, namun tahulah dia bahwa maksud Gouw Cin Kie untuk menyesatkan penglihatan orang-orang tertentu yang tidak dikehendaki.

   Tatkala Thio Sin Houw hendak berangkat meneruskan perjalanan mendaki puncak gunung, Lie Hong Kiauw datang menghampiri dan menyerahkan sebuah kantung berisi ramuan obat, Kata gadis itu.

   "Didalam pertemuan besar ini, mungkin kita berdua akan duduk berpisahan, Maka kau bawalah kantong obat pemunah racunmu ini. setiap kali dirimu merasa akan kambuh kembali, cepat-cepatlah menelan tiga butir."

   "Cici akan ke mana?"

   Thio Sin Houw bercekat.

   "Aku? Akupun berada diantara para hadirin. Hanya saja, rasanya akan mengganggu dirimu, sebab pastilah Cu Kauwcu akan membawamu duduk berdampingan. Kalau akupun duduk mendampingimu - akan menimbulkan berbagai pertanyaan.

   "Kenapa begitu?"

   Thio Sin Houw tidak mengerti.

   Lie Hong Kiauw tidak menjawab.

   ia hanya tersenyum.

   Kemudian berangkat meninggalkan kamarnya.

   Menjelang tengah hari, sampailah mereka dipinggang gunung, Belasan orang berdiri menyambut dengan nampan penuh hidangan.

   setelah berhenti sebentar untuk bersantap dan minum serta beristirahat pula, mereka yang mendaki gunung meneruskan perjalanannya kembali.

   Sejak itu terus-menerus terdapat gardu-gardu penjagaan yang ketat, Mereka bertanya dan memeriksa sangat sopan.

   Tatkala giliran memeriksa tiba pada Thio Sin Houw dan Lie Hong Kiauw, Cu Goan Ciang hanya memanggutkan kepalanya.

   Lantas saja mereka diidzinkan melintasi penjagaan tanpa pertanyaan lagi, malahan barisan penjaga bersikap hormat terhadap rombongannya.

   "Sungguh berbahaya ..."

   Kata Thio Sin Houw didalam hati.

   Makin sadarlah dia, betapa besar pengaruh Cu Goan Ciang, ia bergirang dan bersyukur didalam hati, karena semalam dapat berbicara secara akrab sekali .

   Hanya saja belum dapat menduga-duga apa yang bakal terjadi nanti.

   Tatkala tiba waktu magrib, sampailah mereka diatas gunung, Ratusan orang berdiri dan berbaris dengan rapih, mereka menyambut kedatangan para tetamu.

   sikap mereka angker, tetapi begitu melihat kedatangan Cu Goan Ciang, ketua perkumpulan Beng-kauw, lantas maju menyambut.

   Kemudian dengan bergandengan tangan, mereka berdua masuk ke dalam sebuah rumah pesanggrahan yang besar.

   Dikiri-kanan pesanggrahan itu terdapat berpuluh-puluh bangunan yang berpencaran letaknya, Yang paling besar adalah rumah tadi, yang dimasuki oleh Cu Goan Ciang, Sama sekali tidak ada panggung atau pagar-pagar ketat dan kokoh, sehingga keadaannya tiada mirip dengan sarang penyamun.

   Diatas bangunan bangunan itu terpancang sehelai bendera berwarna hijau dan kuning, itulah bendera yang disebut orang sebagai bendera Beng-kauw.

   Bagi Thio Sin Houw, semua penglihatan itu merupakan pengalaman baru.

   Belasan tahun ia berkelana, akan tetapi baru kali inilah ia merasa berkumpul dengan ratusan manusia yang nampaknya bersatu padu.

   Dengan penuh selidik ia mengamat-amati wajah setiap orang yang dilihatnya, mereka semua bergaul rapat sebagai sahabat.

   Akan tetapi, wajah mereka nampak berduka.

   inilah aneh! Lie Hong Kiauw yang berpakaian sebagai seorang pemuda, mendapat sebuah kamar bersama Thio Sin Houw, Karena mereka berdua termasuk dalam rombongan Cu Goan Ciang, pelayanannya lebih sempurna, Akan tetapi hidangan yang disediakan berupa nasi putih dan sayur mayur belaka, sama sekali tiada daging atau ikan.

   "Cici,"

   Kata Thio Sin Houw.

   "Guru katanya berada disini, dan kita kinipun berada disini pula, Mengapa guru tidak Cepatcepat menemui kita? Apakah mereka justeru tidak menghendaki pertemuan dengan kita?"

   Lie Hong Kiauw hanya mendengus, sama sekali ia tidak menjawab atau memberi keterangan.

   Thio Sin Houw yang kenal tabiat Lie Hong Kiauw, tak mau mendesak pula, Akan tetapi dengan demikian ia jadi bermenung-menung seorang diri, Kepalanya penuh teka-teki yang tak dapat segera menemukan jawabannya.

   Pada keesokan harinya, Lie Hong Kiauw dan Thio Sin Houw dibangunkan sebelum pagi hari tiba, setelah mandi dan makan pagi, mereka berdua berjalan jalan menyusuri tepi kepundan gunung, Kali ini mereka melihat orang-orang yang cacad tubuhnya, ada yang hanya memiliki sebelah tangan atau sebelah kaki dan wajah-wajah mereka bekas kena sabetan senjata tajam, itulah suatu bukti, mereka baru saja datang dari medan pertempuran.

   Sebenarnya ingin Thio Sin Houw memperoleh keterangan tentang diri mereka, akan tetapi Lie Hong Kiauw segera membawanya pergi.

   Pada siang sampai petang hari, barang hidangan yang dibawa masuk kedalam kamar melulu sayur-mayur belaka, Semua ini kian menimbulkan berbagai pertanyaan didalam hati Thio Sin Houw, katanya didalam hati ? Siapakah mereka yang cacad tubuhnya itu? Kenapa sekalian hadirin berwajah muram? Mereka nampaknya bergaul sangat rapat, akan tetapi selalu membungkam mulut, Dan apa maksudnya hidangan yang disajikan hanya sayurmayur belaka? Memang diatas gunung sukar mendapat daging.

   Tetapi pertemuan "

   Secara besar~besaran ini, tidak terjadi secara kebetulan belaka, Mestinya jauh sebelumnya, mereka sudah bersiap-siap. Masakan tiada terdapat seiris daging saja?"

   Dan malam seperti kemarin, tiba lagi. seseorang mengetuk pintu kamar Thio Sin Houw, berkata dari luar ambang pintu.

   "Cu Kauwcu mengundang siauwhiap Thio Sin Houw, untuk menyaksikan upacara pertemuan ini."

   Thio Sin Houw berpaling kepada Lie Hong Kiauw, gadis itu menundukkan kepalanya dengan sikap acuh tak acuh, Agaknya jauh-jauh sudah dapat menebak akan adanya undangan ini, katanya.

   "Berangkatlah! jangan lupa, kau bawa pula obat pemunah racun Hian-beng Sin-kang,"

   "Dan cici?"

   Thio Sin Houw menegas.

   "Aku dapat mengurusi diriku sendiri."

   Jawab Lie Hong Kiauw dengan suara dingin.

   "Kau tak usah memikirkan aku, Percayalah, selama kau berada disini, aku tetap mendampingimu!"

   Oleh jawaban itu, hati Thio Sin Houw menjadi tenteram.

   segera ia mengikuti pesuruh tadi, memasuki sebuah bangunan besar yang berada di tengah-tengah pesanggrahan.

   Cu kauwcu ternyata menunggu dirinya didepan pintu pesanggrahan.

   setelah menggabungkan diri dengan rombongannya, segera Cu kauwcu itu masuk ke pesanggrahan.

   Begitu masuk ke dalam pesanggrahan, perhatian Thio Sin Houw terbangun, ia melihat bermacam macam senjata tertancap diatas tanah semacam pagar, semuanya delapan belas macam.

   Dan masing-masing senjata menyinarkan sinar gemerlapan oleh pantulan cahaya lilin yang dinyalakan terang benderang, jumlah orang-orang yang berada didalam pesanggrahan itu kurang lebih tiga ribu orang.

   inilah suatu jumlah yang luar biasa, mau tak mau Thio Sin Houw menjadi heran.

   Kenapa orang sebanyak itu, bisa berkumpul diatas gunung yang sunyi sepi ini? Ditengah ruangan, Thio Sin Houw melihat rangkaian gambar sebagai hiasan dinding, setelah diamat-amati sekalian gambar itu memperlihatkan lukisan tentara penjajah Mongolia bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang yang ditangkapnya.

   Dibawah lukisan itu terdapat sederet tulisan yang berbunyi.

   Semoga Tuhan menerima arwah pendekarpendekar peminta bangsa dan negara..."

   Membaca bunyi tulisan itu, hati Thio Sin Houw terkesiap.

   siapakah mereka yang disebut sebagai pendekar pencinta bangsa dan negara? pemuda ini belum pernah mendengar peristiwa berdarah yang terjadi di kota raja, Mereka sesungguhnya merupakan para pendekar pecinta negara dan bangsa, yang diculik dan diangkut tentara penjajah ke kota raja.

   Bagaimana nasib mereka hanya Tuhan sendiri yang mengetahui.

   Thio Sin Houw kemudian menebarkan penglihatannya ke semua penjuru, bendera berkibar-kibar menghiasi dinding pertemuan.

   Terdapat pula berbagai macam alat senjata dan pakaian kuda serta topi perang, Dari ruang ke ruang terdapat semboyan-semboyan yang berupa tulisan.

   Karena kurang jelas, tak dapat Thio Sin Houw membacanya.

   Akan tetapi yang lebih menarik perhatian adalah wajah para pengunjung, yang semuanya nampak guram dan berduka, Pemuda itu menjadi bingung, apakah semua yang memasuki pesanggrahan wajib berduka cita? Kalau memang diwajibkan demikian, dia harus berduka cita terhadap siapa? Seorang laki-laki berperawakan tinggi-kurus, tiba-tiba berdiri dari kursi.nya.

   setelah membuat tanda hormat terhadap hadirin, berkatalah dia dengan suara nyaring.

   "Saudara-saudara hadirin semuanya ...! Marilah kita mulai bersembahyang!"

   Semua orang lantas melakukan sembahyang, Cu Kauwcu yang bertindak menjadi imamnya, Thio Sin Houw yang sedikit banyak pernah mendapat bimbingan bersembahyang dari kedua orang tuanya, juga ikut bersembahyang.

   Hanya saja ia tidak mengetahui tujuan upacara sembahyang itu.

   Tetapi setelah orang tinggi kurus itu berkhotbah tentang gugurnya para pendekar yang diangkut tentara penjajah Mongolia, hati pemuda itu terkesiap, Entah apa sebabnya, tiba-tiba hatinya bergelora, Darahnya meluap, dan semangatnya berkobar kobar.

   Teringat akan nasib ayah-bunda dan saudaranya yang mati tiada berkubur justeru lantaran dikenal sebagai sepasang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya, tak dapat lagi ia menahan air matanya, Meskipun ayahnya bukan menjadi orang tangkapan pihak tentara penjajah, akan tetapi nasibnya mirip sekali dengan para pendekar yang di angkut ke kota raja, justeru lantaran mereka dianggap berbahaya bagi yang sedang berkuasa.

   Selagi bersedu-sedan, sekali lagi ia terperanjat tatkala hadirin tiba-tiba berteriak seperti kalap.

   "Kalau didunia ada dua matahari, bagaimana kita bisa hidup aman dan damai? Hancurkan tentara penjajah atau kita akan hancur sendiri!"

   "Benar! Kembalikan gunung gunung dan pohon-pohonku!"

   "Hidup! Basmi semua malapetaka dunia!"

   "Hidup Kauwcu Cu Goan Ciang!"

   "Hidup! Hidup ...!"

   Dan makin lama teriakan-teriakan itu makin kalap, masingmasing meledakkan isi hatinya.

   Dan teringat akan lawanlawan ayah-bundanya yang bersembunyi dibelakang tabir, tanpa merasa Thio Sin Houw ikut-ikutan berteriak seperti kalap.

   Orang jangkung kurus yang memimpin upacara sembahyang itu, mengangkat kedua tangannya.

   Hadirin yang berteriak kalap menjadi tenang kembali, apabila suara kalap tadi sudah padam, berkatalah dia dengan nyaring.

   "Para utusan daerah diberi kesempatan untuk melaporkan keadaan daerahnya masing-masing, kepada Cu kauwcu!"

   Seorang laki-laki yang duduk di sebelah barat, segera bangkit dari kursinya, Berkata.

   "Musuh kita sesungguhnya adalah tentara penjajah bangsa Mongolia, karena itu sedapat mungkin kita harus mencegah terjadinya segala macam pertikaian diantara bangsa kita sendiri. Hendaklah kita sama-sama menyadari hal ini!"

   Suara itu nyaring luar biasa sehingga Thio Sin Houw jadi terkejut, Sama sekali tak diduganya bahwa seseorang bisa mempunyai suara demikian nyaring. Berkata orang itu lagi.

   "Saudara-saudara seperjuangan..."

   Selagi orang itu hendak meneruskan perkataannya, tiba-tiba terdengarlah suara nyaring sambung menyambung diluar perkemahan.

   "Panglima Lie Hui Houw, utusan dari Ciangkun Thio Su Seng datang untuk memeriahkan pertemuan ini!"

   Mendengar seruan itu, Cu Goan Ciang bangkit dari kursinya, berkata menyambut.

   "Saudara-saudara sekalian! Marilah kita sambut utusan Thio Ciangkun!"

   Semua hadirin kenal siapa Thio Su Seng, dialah yang menyulutkan api pemberontakan diwilayah sebelah selatan.

   Pintu pesanggrahan lantas terbuka lebar.

   Dua orang masuk membawa dua obor besar, kemudian berjalan mendahului menyusur garis kiri dan garis kanan seolah-olah merupakan batas jalan.

   Tak lama kemudian masuklah tiga orang yang mengenakan pakaian sederhana.

   Yang berjalan didepan, seorang laki-laki berusia kurang lebih, empat puluh lima tahun.

   Romannya bengis, pakaian yang dikenakan sangat sederhana terbuat dari kain kasar, Dia mengenakan sepatu rumput tanpa kaus kaki rambutnya kusut masai dan lengan bajunya nampak usang, Kesan pribadinya seperti petani yang gagal dalam masa panen, akan tetapi dia sebenarnya seorang pembantu setia dari Thio Su Seng, dialah Ang Sin Tiu.

   Orang kedua yang berjalan di sebelah tengah, seorang berkulit putih tampan dan bersih.

   Dia seorang sasterawan berusia kurang lebih tigapuluh tahun, namanya Lie Hui Houw, si Macan Terbang, Dialah panglima kesayangan Thio Su Seng, yang asalnya keturunan seorang nelayan di pantai Tiociu, tetapi karena jasa-jasa serta kesetiaannya ia dilantik jadi panglima.

   Dan orang ketiga adalah seorang laki-laki yang perawakannya agak tinggi, berkulit putih dan mengenakan pakaian seorang pelajar, usianya belum melebihi tiga puluh tahun, meskipun demikian pandang matanya berwibawa penuh, gerak-geriknya gesit.

   Dialah Thio Lian Cong, salah seorang keponakan Thio Su Seng.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sampai didepan gambar-gambar lambang perjuangan, mereka bertiga berdiri tegak, kemudian membungkuk hormat.

   Itulah suatu pernyataan duka cita dan penasaran atas hilangnya beberapa orang pahlawan penjuang bangsa yang tiada beritanya, setelah itu - panglima Lie Hui Houw berkata kepada Cu Goan Ciang.

   "Junjungan kami, Thio Pekhu Thio Su Seng, dengan ini menyampaikan salam perjuangan kepada Cu Ciangkun, Junjungan kami ikut berduka cita atas hilangnya beberapa orang pahlawan pencinta bangsa dan negara yang diculik pihak bangsa Mongolia. Rasa duka cita junjungan kami dinyatakan dengan memaklumkan perang kepada pihak penjajah beserta para pengikutnya."

   Kata-kata Lie Hui Houw sebenarnya sederhana, tetapi kesannya menarik hati lantaran kesederhanaannya itu dia justru memperlihatkan wataknya yang tulus ikhlas dan jujur.

   Maka para hadirin riuh rendah bertepuk tangan.

   Cu Goan Ciang bangkit dari kursinya, membalas hormat dan berkata.

   "Terima kasih! Saudara-saudara kita yang hilang diculik pihak pemerintah Mongolia, sebenarnya bukan hanya dari orang-orang Beng-kauw saja. Karena itu sudah sepatutnyalah kita bekerja sama dengan pihak laskar Thio Ciangkun, Tetapi sebelum kami membicarakan hal ini, perkenankan kami mengenal nama saudara."

   "Namaku Lie Hui Houw, bertugas sebagai panglima pada pasukan Thio Pekhu Thio Ciangkun, Tetapi sebenarnya aku adalah seorang desa yang tidak mempunyai pengetahuan dalam ilmu perang."

   Kembali lagi para hadirin mendengar betapa jujur dan tulus hati utusan dari Thio Su Seng itu, sekali lagi mereka bertepuk tangan riuh.

   "Jadi saudaralah yang terkenal dengan julukan Si Macan Terbang?"

   Kata Cu Goan Ciang.

   "Nama hengte sangat kami kagumi. Dengan ini perkenankan kami atas nama saudarasaudara yang hadir dalam pertemuan ini, untuk ..."

   Belum lagi Cu Goan Ciang menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba Thio Kian Cong yang berdiri disebelah kiri Lie Hui Houw, melesat ke pintu, Dengan melebarkan pandangnya kearah hadirin dengan mata penuh selidik, ia bersikap menghadang.

   Keruan saja semua hadirin heran menyaksikan perbuatan itu, setelah kena pandang mereka berbalik mengawasi utusan yang menjadi keponakan Thio Su Seng itu.

   Pada waktu itu, mendadak Hila Hian Cong menuding dua orang berusia pertengahan yang duduk diantara para hadirin.

   Terus membentak.

   "Bukankah kalian berdua adalah orang-orangnya Tiam-tay Hiat Ciu, mengapa berada di sini?"

   Kata-kata itu membuat kaget sekalian hadirin.

   semua yang hadir mengetahui bahwa Tiam-tay Hiat Ciu adalah seorang pangeran pada Kerajaan Mongolia yang telah membinasakan Gui Tiong Cian dan keluarga Koh, serta sekaligus menyingkirkan orang-orang yang menjadi pengikutnya Gui Tiong Cian, karena Gui Tiong Cian yang bergerak disebelah Timur untuk menentang pemerintah penjajah, dianggap kian hari kian membahayakan, sekarang para hadirin mendengar tuduhan Thio Hian Cong bahwa ke dua tetamu yang berada diantara mereka adalah begundalnya Tiam-tay Hiat Ciu, jelas mereka merupakan mata-mata dari pihak pemerintah penjajah- Benarkah tuduhan itu? Dua orang yang kena tuding itu tetap saja duduk di kursinya, Yang pertama seorang laki-laki kira-kira berusia ampatpuluh tahun, Mukanya licin dan sikapnya sopan sekali, perawakan tubuhnya tinggi semampai, sedang yang kedua berkulit agak hitam sehingga mengingatkan orang kepada suku-bangsa Biauw.

   Si hitam ini nampak terkejut ketika kena tuding, akan tetapi pada detik itu pula ia dapat bersikap tenang kembali.

   ia menegas sambil tertawa lebar.

   "Mungkin anda salah lihat."

   "Salah lihat?"

   Bentak Thio Hian Cong.

   "Bukankah kau Sie Liong Tauwsu dan kawanmu itu bernama Kim Sie Pa? Hem! Dengan kedua telingaku sendiri aku mendengar kalian kasakkusuk di rumah penginapan. Lantas kalian berdua menelusup kemari. siapapun akan tahu apa maksud kalian menyelundup ke mari, Dengan tandatanda sandi, kalian akan memberi kabar kepada tentara Mongolia untuk segera menyerbu kemari. Bukankah demikian? Ya, begitulah kasak-kusukmu di dalam penginapan."

   Mendengar perkataan Thio Hian Cong, orang yang disebut sie Liong Tauwsu itu segera menghunus goloknya. Lalu melompat menerjang dan segera hendak menyerang. Akan tetapi kawannya - Kim Sie Pa segera mencegahnya. Dengan sikap tenang, Kim Sie Pa berkata.

   "Gui Tiong Cian bergerak di wilayah sebelah Timur, dia membanggakan diri sebagai seorang pejuang bangsa, padahal dia bercita-cita menjadi seorang raja dengan melupakan rekan-rekan yang lain, Bukankah memang pantas kalau dia dibasmi ?"

   Suara Kim Sie Pa halus tetapi tajam. Kata-katanya mempunyai pengaruh besar sehingga para hadirin yang mendengar jelas menjadi berbimbang hati. Si Macan Terbang Lie Hui Houw yang menyaksikan keadaan itu, segera ikut berkata.

   "Siapakah kau sebenamya? Bukankah kau telah mengabdi kepada pihak pemerintah penjajah Mongolia dan mendapat pangkat Letnan? sebagai seorang penghianat bangsa, jelas perkataanmu merupakan hasutan belaka!"

   Mendengar perkataan Lie Hui Houw.

   Letnan Kim Sie Pa tergugu, Mulutnya nampak bergerakgerak hendak mengucapkan kata-kata, akan tetapi berhenti di kerongkongannya.

   Menyaksikan hal ini Cu Goan Ciang segera mendekati.

   Tanyanya menegas.

   "Apakah benar, kau adalah seorang Letnan dari tentara penjajah? Coba jawab pertanyaanku ini!"

   Tak dapat Letnan Kim Sie Pa berpura-pura dungu lebih lama lagi, segera ia mengerling kepada Sie Liong Tauwsu dan memberi isyarat mata, Sie Liong Tauwsu lantas saja meloncat ke pintu.

   setelah itu, Kini Sie Pa segera menyusul.

   Malahan dia lantas saja membabat wajah Thio Hian Cong dengan pedangnya.

   Gerak-gerik Kim Sie Pa gesit sekali, dalam sekejap mata ia menghujani dada Thio Hian Cong dengan tikaman-tikaman berbahaya.

   Utusan Thio Su Seng datang ke pesanggrahan, sematamata untuk menyatakan rasa setia kawan.

   Sama sekali mereka tidak mempersiapkan senjata, itu lah sebabnya serangkaian serangan Kim Sie Pa dan Sie Liong Tauwsu yang bekerja sama rapi dan cepat, membuat sekalian hadirin terperanjat dan cemas.

   Diantara mereka lapat-lapat seperti telah pernah mendengar nama Kim Sie Pa - seorang penghianat bangsa yang dahulu pernah tertangkap oleh pasukan Thio Su Seng, tetapi kemudian dibebaskan kembali karena bukti-bukti yang diperoleh waktu itu belum lengkap.

   Dengan gesit dan gerak tubuh yang lincah, Thio Hian Cong melakukan perlawanan dengan tangan kosong.

   Sementara itu Thio Hian Cong ternyata seorang berkepandaian tinggi.

   Dengan gerakan sebat luar biasa tangan kirinya tiba-tiba mendahului gerakan pedang Kim Sie Pa, ia mengendapkan tubuhnya sedikit, lalu tangan kanannya menyambar menghantam Sie Liong Tauwsu, Karena tubuhnya sudah merendah maka ia tak khawatir kena tikaman pedang Kim Sie Pa.

   Menyaksikan kegesitan tubuh Thio Hian Cong, tanpa merasa para hadirin bersorak sorai memuji.

   Dengan seorang diri saja kedua tangannya dapat melabrak kedua penyerangnya dengan sekaligus.

   Dan kedua penyerangnya itu ternyata dapat diundurkan.

   Sebab apabila kasep sedikit saja, mereka pasti akan kena tercengkeram tangan perkasa Thio Hian Cong.

   Kini para hadirin berubah menjadi girang dan berada dipihak Thio Hian Cong.

   Tadinya, banyak diantara mereka yang hendak membantu, Menyaksikan kegesitan dan kegagahan Thio Hian Cong, mereka lantas saja menonton.

   Hebat cara perlawanan Thio Hian Cong, kedua tangannya menyambar-nyambar tiada hentinya dengan cepat dan sebat, Kim Sie Pa berdua Sie Liong Tauw su dibuat sibuk tak keruan.

   Mereka berdua kini sadar pula bahwa mereka yang tadinya hendak, mengepung Thio Hian Cong, kini malahan kena kepung rapat-rapat, Mereka berdua tak ubah tercebur kedalam sarang harimau yang setiap saat mengancam jiwanya.

   Itulah sebabnya mereka berkelahi sambil mundur perlahan-lahan.

   Kemudian dengan tiba-tiba merangsak maju mendesak.

   Maksudnya jelas, apabila Thio Hian Cong kena didesak mundur, dengan sekali menjejakkan kaki mereka hendak meloloskan diri lewat pintu depan.

   Akan tetapi Thio Hian Cong bukan pendekar yang muda kena diingusi, ia berkelahi sangat hati-hati.

   Mula-mula membela diri, kini berbalik menyerang.

   Tak perduli ia bertangan kosong, nyatanya berkali-kali ia dapat merintangi maksud kedua penyerangnya dengan rapat sekali.

   Kedua kakinya yang teguh tetap menjaga ambang pintu, sehingga Kim Sie Pa maupun Sie Liong Tauwsu tiada memperoleh kesempatan untuk bisa lolos dari penjagaannya.

   Dalam seribu kesibukan Kim Sie Pa menjadi nekat, Tangan kirinya menghunus pedang pendek, dengan demikian ia menggunakan sepasang pedang, panjang dan pendek.

   Kemudian merabu dan merangsak Thio Hian Cong dengan mati-matian, ia harus bisa merobohkan lawannya itu sebelum tercapai maksudnya mendekati pintu.

   Sie Liong Tauwsu yang berada di sampingnya, rupanya mengerti pula maksud kawannya.

   segera ia bergulingan diatas tanah dan membabat kedua kaki Thio Hian Cong, itulah cara berkelahi yang sangat berbahaya, setiap saat Thio Hian Cong bakal kena dikutungi.

   Tetapi Thio Hian Cong nampang tenang-tenang saja, ia dapat diundurkan beberapa langkah, walaupun demikian langkahnya tidak menjadi kacau, Bahkan sebentar kemudian ia berbalik dapat mendesak lagi, sehingga kedudukannya kembali seperti semula.

   Pertempuran mereka makin lama jadi semakin seru, Bayangan mereka berkelebatan menyambar-nyambar sehingga mengaburkan penglihatan para hadirin, Kim Sie Pa nampak menjadi gemas sekali, ingin ia bisa mengutungi tubuh lawan dengan cepat, oleh hasrat itu lantas saja ia merangsak maju.

   Tepat pada saat itu ia mendengar Sie Liong Tauwsu memekik kesakitan, Pedangnya terpentalkeudara dan tangannya terkulai ke bawah.

   Dan pada saat itu, muncullah seorang laki-laki kedalam gelanggang menyambar pedang yang terpental keudara.

   Ternyata dia adalah Ouw Sam Ciu, gurunya Thio Sin Houw.

   Berbareng dengan terlemparnya pedang ke udara, Thio Hian Cong menendangkan kakinya.

   Tak ampun lagi, Sie Liong Tauwsu terjungkal roboh.

   Tepat pada saat itu, kaki kirinya melayang menendang Kim Sie Pa pula! Kim Sie Pa ternyata lebih gesit dari Sie Liong Tauwsu.

   Masih dapat ia meloloskan diri dari samberan kaki.

   pedangnya berkelebat membalas menyerang, lagi-lagi yang diarahnya kedua kaki dan tangan Thio Hian Cong.

   Thio Hian Cong ternyata tidak hanya perkasa dan gagah saja, akan tetapi gesit pula, ia membiarkan ujung pedang Kim Sie Pa nyaris menyentuh dadanya, Dan tiba-tiba ia memiringkan tubuhnya, tangannya berkelebat menyambar hulu pedang dan ditariknya dengan suatu hentakan.

   Keruan saja Kim Sie Pa kaget setengah mati, Tak dapat ia mempertahankan pedangnya, terpaksa ia melepaskannya.

   Dan pada saat itu tangan kirinya yang membawa pedang pendek menikam! Thio Hian Cong melihat berke1e-batnya pedang pendek, cepat sekali ia memutar pedang rampasannya dan menangkis.

   "Trang!"

   Api meletik berbareng dengan suara nyaring yang mengaung-ngaung memenuhi ruangan pesanggrahan.

   Dan celakalah Kim Sie Pa! Selagi tangannya tergetar karena adu tenaga itu, tiba-tiba saja Thio Hian Cong mengulangi serangannya lagi, Dan pedang pendeknya terpental runtuh diatas tanah.

   Karena ia tidak bersenjata lagi, terpaksalah ia mundur dan mundur.

   Thio Hian Cong tertawa panjang, sambil tertawa tangan kanannya menyambar dada, Letnan Kim Sie Pa mati kutu.

   Tubuhnya kena diangkat tinggi diudara.

   Di luar dugaan tangan kiri Thio Hian Cong merenggut tengkuk Kim Sie Pa yang menjadi mati daya.

   seperti menenteng suatu benda, Thio Hian Cong lantas menghadapkan orang tawanannya kepada Cu Goan Ciang.

   Semua hadirin kagum dan memuji-muji kegagahannya Thio Hian Cong, sementara Cu kauwcu memerintahkan empat orang untuk membawa Kim Sie Pa berdua Sie Liong Tauwsu keluar pesanggrahan, nasib kedua mata-mata itu tidak lagi perlu diketahui.

   "Jika tiada pertolongan hengtee bertiga, tentu sekali kami bakal mengalami bencana."

   Kata Cu Kauwcu kepada panglima Lie Hui Houw, setelah itu ia memberi hormat menyatakan rasa terima kasihnya. Buru-buru panglima Lie Hui Houw membalas hormatnya.

   "Akh, itupun hanya secara kebetulan saja, selama ditengah jalan kami melihat dua orang tadi yang gerak-geriknya sangat mencurigakan selagi mereka menginap, kami bertiga telah mengintainya, Kesudahannya kami segera mengetahui dan mengenal siapa mereka sebenarnya. Rupanya mereka berdua belum insyaf kalau kami intai, sehingga berbicara kasak-kusuk dengan leluasa. Sementara Cu Kauwcu berbicara dengan panglima Lie Hui Houw, Ouw Sam ciu mendekati Thio Hian Cong, Mereka berdua saling berangkulan, dan tatkala Lie Hui Houw dibawa oleh Cu Kauwcu untuk membicarakan masalah-masalah yang resmi, maka Ouw Sam ciu mengajak Thio Hian Cong keluar pesanggrahan, Katanya sambil berjalan mencari tempat yang sepi.

   "Thio kongcu, walaupun kita baru bertemu lagi, tetapi rasanya seperti baru saja kemarin kita berpisah." "Akh, Ouw ciangkun, Aku justeru merasa kangen sekali. setelah sekarang kita bertemu lagi, rasa hatiku girang bukan main!"

   Sahut Thio Hian Cong. Ouw Sam Ciu tertawa lebar. Katanya.

   "Sesungguhnya, aku juga girang sekali. Tetapi apa kabarnya dengan Ciu Siu Tojin?"

   Cit Siu Tojin adalah gurunya Thio Hian Cong, sekaligus merupakan pembantu utama gerakan Thio Su Seng yang bertindak sebagai penasehat. Memperoleh pertanyaan itu, wajah Thio Hian Cong berubah. sahutnya .

   "Guruku telah gugur dimedang perang, beberapa bulan yang lalu."

   Tatkala itu Coa Kim siong menyusul, setelah saling memberi hormat, baik Coa Kim siong maupun kakak seperguruannya, ouw Sam Ciu, segera menuturkan dan menerangkan maksudnya.

   Sudah satu tahun Thio Sin Houw belajar kepada mereka berempat, tetapi karena mereka merasa tidak memadai untuk menjadi guru dari anak itu, maka mereka bermaksud hendak meminta bantuan Cit Siu Tojin untuk mendidiknya, tetapi karena sekarang mereka mengetahui bahwa Cit-siu Tojin telah binasa, maka mereka bermaksud menyerahkan Thio Sin Houw kepada Thio Hian Cong.

   "Anak itu mempunyai masa depan gemilang, kami berempat telah mencoba mendidik dalam hal ilmu pengetahuan dan ilmu kepandaian. Otaknya sangat terang dan bakatnya sangat baik sekali, daya ingatannya jauh melebihi kami berempat. Baru satu tahun dia belajar kepada kami, kepandaian kami sudah di hirupnya habis. Dia masih sangat muda, sedangkan banyak hal-hal yang terjadi didunia ini belum diketahuinya dan di insafinya, Kami berempat berpendapat bahwa apabila anak itu berada dibawah asuhan Thio ciangkun, akan memperoleh kemajuan pesat, sebaliknya apabila tetap ditangan kami, sukar sekali ia memperoleh kemajuan ..."

   Demikian Ouw Sam Ciu menambahkan perkataannya. Mendengar alasan Ouw Sam Ciu, maka Thio Hian Cong diam menimbang-nimbang, sejenak kemudian berkata.

   "Jadi jiewie mengharap aku mendidiknya?"

   Ouw Sam Ciu berdua Coa Kim siong manggut berbareng. Sahut Ouw Sam Ciu.

   "Kami tadi memperoleh kesempatan menyaksikan ilmu kepandaian hiantee, ternyata ilmu kepandaian hiantee sepuluh kali lipat tingginya dari pada ilmu kepandaian kami berempat, itulah sebabnya apabila hiantee tidak keberatan untuk menerima dia sebagai murid, pasti kami merasa sangat gembira dan berterima kasih sekali."

   Setelah berkata demikian, Ouw Sam Ciu berdua Coa Kim siong lalu membungkuk hormat. Keruan saja Thio Hian Cong menjadi tersipu, Cepat-cepat ia membalas hormat, ujarnya.

   "Jiwie sangat menghargai aku, sudah sepantasnya bila aku menerimanya, hanya sayang, sekarang ini aku berada dalam laskar perjuangan Thio pekhu, siang dan malam tiada waktu tertentu. Setiap kali aku dikirimkan ke medan perang melakukan tugas, seringkali pula aku bertempur melawan tentara penjajah, Entah berapa lama lagi umurku, itulah sebabnya, meskipun aku membawa murid jiwie, akan banyak gagalnya dari pada hasilnya. Sebab, sama sekali aku tidak mempunyai waktu luang untuk men-didiknya, selain itu, keselamatannya selalu terancam."

   Alasan itu masuk akal, sehingga Ouw Sam Ciu maupun Coa Kim siong menjadi putus asa. Dan melihat mereka berputus asa, Thio Hian Cong menjadi gelisah, Katanya tak jelas seolah-olah kepada dirinya sendiri.

   "Ada seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian seratus kali lipat dari pada aku. Jika dia sudi menerima murid jiwie, benar-benar merupakan karunia Tuhan ..."

   Sampai disitu mendadak saja ia menggoyangkan kepalanya. Lalu berkata lagi.

   "Tidak! Tidak mungkin! ini tak mungkin bisa terjadi..."

   Ouw Sam Ciu berdua heran. Coa Kim siong lantas saja minta keterangan.

   "Siapakah orang itu?"

   "ltulah orang aneh yang kusebutkan tadi,"

   Jawab Thio Hian Cong.

   "Kepandaianriya tiada batasnya, dia hanya mengajarku selama enam bulan saja, Tapi meskipun demikian, aku sudah dapat memiliki kepandaian seperti sekarang. padahal apa yang kuwarisi itu, barulah kulitnya saja ..."

   "Siapakah orang aneh itu?"

   Coba Kim Liong menegas, suaranya bernada girang bukan kepalang.

   "Dia aneh tabiatnya,"

   Thio Hian Cong memberikan keterangan.

   "Dia mengajarku ilmu kepandaian, tetapi dia melarangku menyebutnya sebagai guru, Diapun melarangku memberitahukan kepada siapa saja tentang nama dan tempatnya, itulah sebabnya hatiku berbimbang-bimbang, apakah dia sudi menerima murid jiwie sebagai muridnya." "Di manakah tempat tinggal orang aneh itu?"

   Ouw Sam Ciu ikut mengajukan pertanyaan.

   "Tadi sudah kukatakan, aku dilarang menyebutkannya. Dan sebenarnya aku sendiri tidak tahu, Agaknya dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Mungkin sekali dia seorang perantau yang berjalan dari tempat ke tempat. Datang dan pergi seenaknya saja. Ke mana perginya dan kapan datangnya tidak pernah memberi kabar kepadaku."

   Ouw Sam ciu berdua merasa kewalahan memperoleh keterangan dari Thio Hian Cong.

   sekarang tinggal satu usaha lagi, yakni dengan memanggil Thio Sin Houw menghadap.

   Anak itu lantas di perkenalkan kepada Thio Hian Cong.

   Senang Thio Hian Cong melihat pemuda itu, yang beroman cakap, bertubuh sehat dan memiliki marga sama seperti dirinya.

   Tatkala ia minta keterangan sampai dimana Thio Sin Houw belajar ke pada Ouw Sam ciu berempat, anak itu segera dapat menjawab dengan rapi sekali.

   Tiba-tiba bertanyalah Thio Sin Houw dengan tak segan-segan lagi kepada Thio Hian Cong.

   "Thio susiok, tatkala susiok merobohkan dua mata-mata tadi, pukulan apakah yang susiok gunakan?"

   Thio Hian Cong tertawa lebar. Tak pernah disangkanya, anak itu memperhatikan, jawabnya.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "ltu adalah pukulan "Hok-houw ciang" (Harimau mendekam) , salati satu pecahan dari Sha-cap lak-lou Kim- na hoat."

   "Mengapa begitu cepat dan dahsyat ... ? kedua mataku sampai tak sanggup mengikuti gerakannya."

   Ujar Thio Sin Houw.

   "Apakah kau ingin mempelajari ilmu pukulan itu?"

   Tentu saja tawaran itu menggirangkan benar, Thio Sin Houw seorang anak yang cerdas pula, lantas saja ia menyahut.

   "Jika Thio susiok sudi mengajari-ku, aku girang sekali!"

   Thio Hian Cong menoleh kepada Ouw Sam Ciu, Katanya kemudian.

   "Setelah pertemuan ini, aku ditugaskan Thio Pekhu untuk tetap hadir diantara saudara-saudara seperjuangan seminggu atau dua minggu, biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk menurunkan beberapa jurus ilmu kepada murid jiwie toako."

   Tentu saja Ouw Sam ciu berdua girang bukan kepalang, cepat-cepat mereka menghaturkan terima kasih.

   sedang Thio Sin Houw lantas pula membungkuk hormat.

   Pada hari ketiga pertemuan resmi, boleh dikatakan sudah selesai.

   Antara Lie Hui Houw dan Cu Kauwcu telah terjadi kata-sepakat, untuk mengadakan perserikatan, Masingmasing pihak bertekad hendak menggempur pihak pemerintah penjajah, sampai bangsa Mongolia dapat diusir seluruhnya dari daratan Cina, maka dengan tercapainya kata sepakat itu, pada hari keempat pertemuan antar angkatan dibubarkan.

   Cu Kauwcu segera mengantarkan para tetamu untuk berpisahan, Mereka pulang dengan puas dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, membuat sekitar tempat yang sunyi sepi itu lantas saja tergetar kena perbawanya.

   Lie Hui Houw pulang ke daerahnya beserta Ang Sin Tiu, sedangkan Thio Hian Cong tetap berada diatas gunung menemani Cu Kauwcu, Dan Ouw Sam ciu berampat selalu menemani.

   sebaliknya selama hari-hari itu Thio Sin Houw mencari dimana beradanya Lie Hong Kiauw.

   Thio Sin Houw menyadari apa sebab ke empat gurunya tiba-tiba menyerahkan dirinya kepada Thio Hian Cong, itu semua berkat pengaruh Lie Hong Kiauw.

   Gadis yang selalu bersikap rahasia itu, kian menjadi tekateki besar baginya, siapakah sesungguhnya Lie Hong Kiauw? pastilah dia bukan seorang gadis sembarangan! Diatas meja, ia menemukan sepucuk surat.

   sederhana saja bunyinya, Begini bunyi surat itu.

   "Adikku Sin Houw! Aku telah mendengar kabar dari ke empat gurumu, hatiku girang bukan kepalang. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, tetapi jangan lupa obat pemunah racun Hian-beng Sin ciang! setiap kali kau harus menelannya, dan jangan sampai kau buang!" ***** TERHARU DAN GELI, Thio Sin Houw yang membaca surat Lie Hong Kiauw, Di buang? Dan teringat akan jasa-jasa Lie Hong Kiauw yang merawat dirinya begitu cermat dan sabar, membuat hatinya sangat pilu, seumpama tidak teringat bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata sebagai persiapan balas dendam demi ketenteraman arwah ayah-ibunya, pastilah dia sudah turun gunung untun mencari gadis itu, Apabila gadis itu kembali ke lembah Ouw-tiap san. Pada malam itu ia tidur sekamar dengan ke empat gurunya, waktu itu panitya pertemuan masih sibuk membereskan perkemahan, Karena itu masing masing sibuk dalam urusannya sendiri. Thio Hian Cong yang memperoleh kamar didepan kamar Thio Sin Houw dan guru-gurunya, datang menyambangi. Kata pemuda gagah itu.

   "Suwie toako sekalian, Begitu aku melihat muka murid kalian, hatiku sangat tertarik. Aku mempunyai kesan bahwa ..."

   "Teruskan, hiantee."

   Kata Ouw Sam ciu karena melihat Thio Hian Cong ragu ragu.

   "Rupanya dia telah memperoleh dasar-dasar ilmu sakti Boe-tong pay, ini sangat memudahkan untuk ia menerima ajaran jurus-jurus sakti yang kuperoleh dari orang aneh itu, Sebab orang aneh itu sesungguhnya mewariskan rahasia inti ilmu saktinya kepadaku, Sebab itu aku akan meniru dan mencontoh cara menurunkan ajarannya kepadaku dahulu, Akan tetapi tentu saja aku tak dapat membuat anak itu bisa mewarisi dengan sempurna, lantaran waktunya sangat sempit. Namun diatas segalanya ini masih ada Tuhan yang Maha pengasih - selain itu masih ada harapan lagi yang boleh kita andalkan, yakni bakat dan pembawaan, kerajinan serta keuletan calon pewarisnya, Menimbang semuanya itu, perkenankan aku mengundang namanya saja dari pada sebagai guru dan murid. Sebab nyatanya, tak dapat aku berjanji akan terus menerus meniliknya."

   "Alasan hiantee kurang tepat."

   Ujar Ouw sam Ciu.

   "Apabila Sin Houw sudah menerima ajaran dari hiantee, satu atau dua jurus saja artinya dia sudah menjadi muridmu, dan hiante berhak menyebut diri sebagai gurunya."

   Thio Hian Cong dapat menerima alasan Ouw Sam Ciu, akan tetapi pendiriannya tak dapat diubahnya lagi, Tetap saja ia hanya mengakui dirinya sebagai paman angkat saja, sedangkan Sin Houw sebagai anak angkatnya.

   Karena itu Ouw Sam Ciu berempat terpaksa menerima keputusan itu.

   Mereka berempat tahu bahwa Thio Hian Cong akan menurunkan warisan-warisan ilmu sakti tinggi, yang tentu saja tak boleh dilihat seseorang, itulah sebabnya, Ouw Sam Ciu berempat segera berpindah kamar, dan Sin Houw tidur sekamar dengan Thio Hian Cong.

   Thio Hian Cong menunggu sampai mereka berampat masuk ke dalam kamarnya.

   Kemudian ia membawa Thio Sin Houw berjalan keluar, Malam hari waktu itu sangat pekat sehingga baik Thio Hian Cong maupun Sin Houw tak dapat melihat tubuhnya masing-masing.

   Kata Thio Hian Cong.

   "llmu kepandaianku ini kuperoleh dari seorang sakti yang telah berusia lanjut, Aku sendiri belum berhasil menyelami sampai ketataran kesempurnaan Meskipun demikian, apabila hanya untuk melayani jago-jago kelas dua atau kelas tiga, rasanya sudah cukup, Tatkala aku mewarisi ilmu pukulan ini, orang aneh itu memaksa aku untuk bersumpah kepadanya, bahwasanya sejak itu tak boleh aku menghina orang-orang yang berkelakuan baik atau mencelakai seseorang tanpa alasan..."

   Thio Sin Houw seorang anak yang cerdik, segera ia mengerti maksud Thio Hian Cong, Katanya didalam hati.

   "Sebelum menerima ajarannya, aku diwajibkan bersumpah dengan berlutut. Aku dibawanya berjalan ditengah malam yang gelap pekat, Maksudnya bukan aku berlutut kepadanya, akan tetapi kepada diriku sendiri dan bersembah kepada orang aneh yang memiliki ilmu sakti yang akan diajarkan. Memperoleh pikiran demikian, segera ia berlutut benarbenar, serunya.

   "Aku Thio Sin Houw, dengan ini bersumpah kepada diriku sendiri, kepada pemilik ilmu sakti yang akan diajarkan kepadaku, kepada bumi dan langit serta Tuhan, bahwasanya setelah aku mewarisi ilmu sakti ini tidak akan kupergunakan untuk menghina orang orang yang bertabiat baik dan mencelakai seorang tanpa alasan apabila ternyata - dikemudian hari aku melanggar "

   Sumpah ini, paman Thio Hian Cong boleh datang kepadaku, untuk membunuh diriku."

   Mendengar sumpah Sin Houw, Thio Hian Cong tertawa. ujarnya.

   "Bagus! Berdirilah tegak kembali dan dengarkanlah! Tahukah kau, ilmu sakti apakah yang hendak kuajarkan kepadamu ?"

   "Pastilah ilmu sakti yang terelok didunia ini!"

   Jawab Sin Houw dengan suara penuh semangat. Sekali lagi Thio Hian Cong tertawa. Berkata.

   "lnilah ilmu sakti Hok-houw ciang - esok pagi bisa kita mulai ..."

   Thio Hian Cong berkata "esok pagi ", akan tetapi tiba-tiba tubuhnya melesat.

   Gerakan itu mengherankan dan mengagumkan Thio Sin Houw.

   Gurunya yang baru itu lenyap dari pengamatannya, Tatkala menoleh, gurunya sudah berada dibelakang punggungnya dan menepuk pundaknya.

   "Kau tangkaplah aku!"

   Seru gurunya.

   Thio Sin Houw telah memperoleh dasar-dasar ajaran ilmu sakti dari ke empat gurunya.

   Kecuali dasar pembawaannya baik, diapun seorang anak yang cerdik dan cerdas luar biasa.

   Begitu mendengar seruan Thio Hian Cong, ia tidak segera memutar tubuhnya untuk menangkap.

   Akan tetapi ia mengendapkan pundaknya dahulu, kemudian baru tangan kirinya digerakkan.

   Dan tangan kanannya tiba-tiba menyusul menyambar sambil mendengarkan kesiur angin gerakan tubuh gurunya.

   Dan pada saat itulah, kedua tangannya tiba-tiba menyambar ke arah kaki.

   "Bagus! inilah cara menangkap yang tiada celanya sama sekali!"

   Seru gurunya, Namun sambaran yang bagus itu tiada hasilnya.

   Sebaliknya, sekali lagi pundaknya kena tepuk.

   Sin Houw kaget, secepat kilat ia memutar tubuh, tetapi tubuh gurunya, lagi-lagi luput dari pengamatan.

   Menghadapi kecepatan gerak gurunya itu, otak Thio Sin Houw yang cerdik lantas saja bekerja.

   Teringatlah dia ajaranajaran Ouw Sam Ciu berempat yang pernah memberinya dasar-dasar ilmu sakti.

   sekarang, tidak lagi ia memutar tubuh atau menyambar sasaran.

   Sebaliknya, selangkah demi selangkah ia berjalan mengarah ke sebuah batu besar, Begitu menghampiri, segera ia memutar tubuhnya dengan dinding batu di belakang punggungnya.

   Kemudian berseru girang.

   "Suhu, sekarang tak dapat lagi suhu menyelinap dibelakang punggungku, Aku dapat melihat gerakan suhu!"

   Inilah suatu kecerdikan yang mengagumkan Thio Hian Cong. Dengan berdiri didepan sebuah batu besar, tak dapat lagi ia menyelinap dibelakangnya anak itu, Maka sambil tertawa ia menyahut.

   "Bagus! Bagus sekali ! Kau cerdik dan mempunyai bakat besar! Di kemudian hari pastilah kau dapat mewarisi ilmu sakti Hok-houw ciang dengan sempurna."

   Keesokan harinya, Thio Hian Cong mulai memberikan pelajaran jurus jurus ilmu saktinya.

   Dalam beberapa hari saja selesailah sudah seratus delapan jurus yang mempunyai tiga perubahan pada setiap gerakannya.

   Mengelak dan menyerang silih berganti, sehingga semua jurusnya berjumlah tigaratus dua puluh empat.

   Seperti diketahui, Thio Sin Houw memiliki otak yang cerdas luar biasa, yang jarang terdapat di dunia.

   Baru saja diajari tiga kali, sudah dapat ia menghafal dan memahami semuanya.

   Bahkan dengan perlahan-lahan ia dapat pula melakukan gerakan-gerakan jurus ilmu sakti Hok-houw elang dengan tepat sekali.

   Menyaksikan hal itu, diam-diam Thio Hian Cong bergembira bukankepalang.

   Terus saja ia mulai memecahkan intisari jurus-jurus yang telah dipahaminya itu, Pandai sekali Thio Hian Cong meresapkan ajarannya kedalam perbendaharaan muridnya, Sebaliknya, Thio Sin Houw yang mempunyai bekal sangat luar biasa dan bersungguh-sungguh, dengan mudah saja dapat menangkapsemua keterangan dan penjelasan gurunya.

   inilah yang dinamakan suatu perjodohan.

   Gurunya rajin, ulat dan cermat, sedangkan muridnya bersemangat penuh dan bersungguh-sungguh, dengan mudah dapat menangkap semua keterangan dan penjelasan gurunya, Pada setiap malam, tigapuluh jurus dengan pecahpecahannya dan perubahannya, dapat di lampaui dengan cepat serta sempurna.

   Apabila sedang berlatih, anak itu tidak mengingat waktu lagi, Tahu-tahu fajar hari telah tiba.

   Pada pagi hari ke empat, tatkala Thio Hian Cong berjalanjalan menghirup udara segar, tiba-tiba ia melihat Thio Sin Houw masih saja asyik berlatih.

   ia jadi kagum akan kemauannya yang keras, setelah memperhatikan selintasan, ia menjadi heran lantaran muridnya dapat melakukan inti rahasia ilmu Hok-hok ciang dengan sempurna.

   Padahal ia baru saja mengajarkannya.

   Keruan saja ia bersyukur dalam hati.

   Dengan berindap-indap ia menghampiri muridnya, kemudian melompat dengan mendadak serta menghantam punggung.

   Thio Sin Houw kala itu sedang bertekun menyelidiki jurus ke sembilan puluh delapan, Tiba-tiba ia mendengar kesiuran angin tajam mengancam punggungnya.

   Cepat luar biasa ia berputar tubuh sambil meloncat ke samping, Tangan kanannya ditabaskan untuk menangkis berkelebatnya kaki yang menendang dirinya, Akan tetapi begitu mengenal siapakah penyerangnya, segera ia menarik tangkisannya.

   "Thio susiok!"

   Serunya girang.

   "Jangan berhenti ! Hayo, serang terus !"

   Sahut Thio Hian Cong dengan tertawa.

   ia mendahului menyerang kepala.

   Dengan cepat Sin Houw mengelakkan diri, Kakinya dimajukan selangkah agak kesamping, dan dari situ ia mulai mengirimkan serangannya mengarah pinggang, inilah jurus ke sembilan puluh delapan.

   "Bagus! Begitulah seharusnya!"

   Puji Thio Hian Cong, Guru ini segera menangkis dan kembali menyerang.

   Thio Sin Houw melayani serangan gurunya beberapa jam lamanya.

   seringkali ia salah langkah dan gurunya segera membetulkan, sehingga ia jadi sangat bersyukur.

   semangat tempurnya makin lama makin menghebat.

   Terus , menerus ia melayani gurunya, sehingga habis lah semua tiga ratus dua puluh empat jurus.

   Namun gurunya enggan berhenti.

   Bahkan dia menyerang lagi dan mengulang semua jurusjurus pukulan sampai beberapa kali, Dan Thio Sin Houw sendiri seakan-akan memperoleh suatu mustika yang tak ternilai harganya.

   Dengan tak disadari sendiri ia telah menggenggam beberapa macam rahasia pukulan Hok-hok ciang, yang belum pernah diperolehnya dari keempat gurunya dahulu.

   "Sekarang marilah kita beristirahat !"

   Ajak Thio Hian Cong telah melihat muridnya itu mandi keringat.

   Akan tetapi selagi duduk beristirahat, ia mulai memberikan berbagai penjelasan penting.

   Dan apabila melihat muridnya sudah cukup beristirahat, kembali lagi ia melatihnya dengan sungguhsungguh.

   Mereka berdua, guru dan murid terus menerus berlatih sampai tiba saat bersantap pagi hari, Kemudian kembali mereka berlatih lagi sampai matahari condong ke barat, setelah makan siang, lagi-lagi mereka berdua berlatih sampai jauh malam.

   Tegasnya, mereka berhenti beristirahat apabila waktu makan tiba, Tak terasa, tujuh hari lewatlah sudah, Pada malam hari ke delapan Thio Hian Cong berkata kepada Sin Houw.

   "Sin Houw, apa yang kumiliki kini telah kuberikan kepadamu, sekarang tinggal caramu meyakinkannya, Apabila menghadapi musuh, seseorang akan mengandal pada tujuh bagian latihannya dan tiga bagian pada kecerdasannya, apabila kau hanya mengandal kepada latihanmu saja, akan sukarlah memperoleh kemenangan. sebaliknya apabila engkau hanya mengandal kepada kecerdasanmu belaka, hasilnya sama pula, Kau tidak akan berdaya, karena kau melupakan latihanmu, Kedua unsur itu harus saling mengisi."

   Dengan bersungguh-sungguh Thio Sin Houw merasukkan nasehat gurunya itu kedalam perbendaharaan hatinya.

   Di kemudian hari ia dapat membuktikan kebenaran pesan itu.

   Karena rajin berlatih dan dibantu oleh kecerdasan otaknya, ia berhasil melampiaskan dendam orang tuanya yang mati tak berliang kubur.

   "Esok pagi aku harus bergabung kepada Lie Ciangkun kembali,"

   Kata Thio Hian Cong lagi.

   Maka semenjak malam ini, kau harus sanggup berlatih seorang diri.

   Merah kedua mata Thio Sin Houw mendengar ucapan gurunya itu.

   Hampir-hampir saja tak sanggup menahan linangan air matanya, benar dia baru berkumpul beberapa hari saja, akan tetapi sepak terjang gurunya itu sangat menawan hatinya.

   Dia seorang yang manis budi, mengajarnya dengan sungguh-sungguh.

   Thio Hian Cong sebenarnya seorang peperangan yang ulung.

   seringkali ia melihat berbagai peristiwa yang menggoncangkan hatinya.

   walaupun demikian, melihat muridnya itu mendadak menundukkan kepalanya, hatinya tak urung menjadi terharu pula.

   Terus saja ia mengusap-usap rambut anak itu.

   Katanya dengan suara membujuk.

   "Sin Houw! jarang sekali aku bertemu dengan seorang yang berbakat dan cerdik sebagai kau. Hanya sayang sekali, kita berdua tidak diperkenankan berkumpul lebih lama lagi."

   "Bagaimana kalau aku ikut susiok saja, bergabung dengan Lie Ciangkun?"

   Thio Sin Houw mencoba.

   "Kau masih terlalu muda, Sin Houw - belum bisa kau hidup didalam kancah peperangan."

   Sahut Thio Hian Cong.

   Thio Sin Houw hendak menjawab ucapan gurunya itu, mendadak terdengar suara teriakan kaget yang sangat riuh.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bulu kuduknya lantas saja meremang dengan tak dikehendakinya sendiri.

   Dan bersama gurunya, ia lari mendaki tanjakan.

   Begitu melihat apa yang terjadi dibawah gunung, mereka berdua bukan kepalang kagetnya.

   Seluruh gunung menjadi terang benderang oleh nyala api yang datangnya dari bawah.

   Lalu, nampaklah berbagai senjata berkilauan.

   itulah tentara Mongolia yang dengan tiba-tiba saja telah mengurung puncak gunung Beng-san.

   Para orang gagah yang bergabung dalam laskar perjuangan Cu Goan Ciang, baru saja bubar.

   Yang masih berada diatas gunung tidak begitu besar jumlahnya, inilah suatu masalah yang menyulitkan ! Merekapun tidak berjagajaga atau memperoleh berita terlebih dahulu tentang sergapan tentara Mondolia, hal itu disebabkan lantaran penjaga yang berada digardu-gardu penjagaan, telah terbunuh semuanya.

   Dengan demikian, tiada seorangpun diantara mereka yang dapat memberikan tanda bahaya.

   Cu Kauwcu adalah seorang peperangan ulung, Meskipun terkejut, namun hatinya tidak gentar sama sekali.

   Dia-lah salah seorang jago kenamaan dikalangan Rimba persilatan yang berkepandaian tinggi, dengan suara tenang mereka menghampiri Ouw Sam Ciu dan berkata.

   ""Ouw hiantee! Kau pimpinlah para tukang masak dan penjaga-penjaga perkemahan, untuk menyulutkan api sebelah timur, jangan lupa, kalian harus berteriak-teriak agar lawan tersesat!"

   Dengan gembira Ouw Sam Ciu melakukan tugas itu dengan cepat, ia berlari-lari sambil memanggil tukang masak dan sebagainya, setelah terkumpul, mereka dikerahkan mengarah ke sebelah timur gunung.

   "Coa Hiantee dan Go Hiantee ...

   "

   Cu Kauwcu kemudian memanggil Coa Kim siong berdua Go Kim Sun.

   "Jiwie berdua hendaknya bertugas menahan lajunya tentara musuh. Bawa beberapa orang yang pandai memanah, hujani mereka dengan anak panah beberapa kali! setelah itu, cepat kembali mencari diriku!"

   Kedua guru Thio Sin Houw itu segera berlalu dan membawa tugas Cu Goan Ciang, setelah mereka pergi, Cu kauwcu kemudian menghadapi Thio Hiang Cong. Katanya dengan suara hati-hati.

   "Thio hiantee, perkenalkan aku memohon kepadamu, sudikah kau memegang satu tugas yang amat penting?"

   "Apakah Kauwcu menghendaki agar aku melindungi Sin Houw?"

   Cu Goan Ciang tertawa, kemudian menyahut.

   "Benar! Dan setelah berkata demikian, dengan hormat ia menjura kepada Thio Hian Cong. Keruan saja Thio Hian Cong kaget bukan kepalang, tersipu-sipu ia membalas hormat. Katanya mencegah.

   "Kauwcu! janganlah Kauwcu berbuat demikian kepadaku, perintahkan saja apa yang harus kulakukan, dan aku akan melakukan tugas Kauwcu dengan segenap hatiku."

   Pada saat itu suara hiruk piruk terdengar semakin hebat. sekarang tentara Mongolia mulai melepaskan anak panah, dan suara mereka itu datang dari atas gunung. Tahulah Cu Kauwcu bahwa itu semua hasil kerja Ouw San Ciu yang berusaha menyesatkan lawan.

   "Thio hiantee,"

   Katanya perlahan.

   "Tie-kong tianglo adalah seorang sesepuh, dia mempunyai murid bernama Thio Kim San. Dan adik ini, adalah puteranya satu-satunya, Karena itu, tolonglah dia agar terluput dari bahaya ini ! Bawa dia turun gunung dengan selamat!"

   "Aku akan melakukan perintahmu, Cu kauwcu."

   Sahut Thio Hian Cong. Pada waktu itu Coa Kim siong dan Go Kim Sun telah kembali menghadap Cu Kauwcu, setelah melepaskan hujan anak panah. Cu Goan Ciang menyatakan rasa puasnya, kemudian berkata lagi.

   "Aku akan berjalan bersama saudara Go Kim Sun, kemudian kami berdua akan bergabung dengan saudara Ouw Sih Ciu. Kami bertiga akan menerjang musuh dengan menuruni gunung sebelah timur. saudara Coa Kim siong bersama saudara Ho Thong Cun akan menerjang lawan dari barat. Agar penglihatan musuh tersesat, kami bertiga akan mendahului menerjang. Dengan disusul terjangan saudara Coa Kim siong dan soudara Ho Thong Cun. Saudara Thio Hian Cong cepat-cepatlah membawa Sin Houw turun gunung dari sebelah utara, Dikemudian hari, kita semua akan kembali berkumpul menjadi satu lagi!"

   Semua orang yang mendengar perintah Cu Kauwcu menjadi kagum, Pada saat segenting itu, Cu Kauwcu masih sanggup mengatur cara mengelakkan lawan demikian rapi.

   Coba andaikata dia mempunyai pasukan tentara, pastilah keadaan medan laga akan menjadi lain sifatnya.

   Thio Sin Houw waktu itu sedih bukan main, lantaran harus berpisah dengan keampat gurunya yang pernah mendidiknya dengan sungguh-sungguh, inilah perpisahan yang amat menyakitkan hatinya, perpisahan yang tiada kata-kata selamat jalan atau selamat berpisah, lantaran dipaksa oleh keadaan.

   Apa yang dapat dilakukannya, hanyalah membungkuk hormat beberapa kali terhadap mereka.

   Katanya terisak.

   "Ouw susiok, Coa susiok, Ho susiok... sampaikan hormatku kepada Go susiok yang aku... tak dapat..."

   Thio Sin Houw menyelesaikan perkataannya, karena tenggorokannya seakan-akan tersumbat. maka ia mencoba menguasai diri, Cu kauwcu telah mendahului. Kata pemimpin itu.

   "Adikku! jangan kau berpisah dari gurumu, Thio Hian Cong! Kau harus dengarkan setiap perkataannya!"

   Thio Sin Houw masih berkutat dengan perasaan sendiri.

   Untuk menjawab perkataan Cu Kauwcu, ia hanya dapat memanggut, Dalam pada itu, suara berisik ditengah gunung, terdengar semakin hebat.

   itulah suatu tanda bahwa tentara Mongolia sudah mulai mendaki bukit yang berada didepan.

   "Mari!"

   Ajak Go Kim Sun.

   "Thio hiantee, kau berangkatlah sebentar lagi... setelah kita berhasil menyesatkan musuh."

   Mereka semua lantas mulai bekerja - Go Kim Sun melihat Thio Hian Cong tidak bersenjata, maka cepat-cepat ia melemparkan goloknya kepadanya sambil berkata setengah berseru.

   "Thio hiantee, sambutlah ini!"

   "Aku tidak membutuhkan senjata apapun!"

   Sahut Thio Hian Cong, ia menyambar golok itu yang sedang melayang di udara, Tatkala hendak di kembalikan kepada pemiliknya, Go Kim Sun sudah lari jauh sehingga ia membatalkan maksudnya.

   "Mari!"

   Katanya kepada Sin Houw.

   Dengan membawa golok ditangan kanannya, ia menarik lengan Thio Sin Houw dengan tangan kirinya, Kemudian dibawanya lari mengarah utara.

   Dengan berlari-larian, mereka berdua mengitari belakang pesanggrahan, dari sana cahaya api nampak terang benderang, Diantara nyala api itu, kelihatan tentara Mongolia mendaki puncak gunung berlapis-lapis, Entah berapa jumlahnya.

   Merekapun mulai melepaskan anak panah api.

   Menyaksikan hal itu Thio Hian Cong merandek, kemudian ia balik memasuki dapur dan muncul kembali dengan membawa kuali penggorengan.

   "lni tamengmu!"

   Katanya kepada Sin Houw sambil menyerahkan sebuah kuali. Dengan berlompatan, mereka berdua memasuki kabut gelap. Dan pada saat itu terdengarlah teriakan-teriakan tentara Mongolia sambung menyambung.

   "Kejar! Kejar!"

   Dan tentara Mongolia itu berserabutan mengejar mereka berdua sambil memanah.

   Thio Hian Cong berjalan di belakang, dengan perisainya yang istimewa ia menangkis setiap anak panah yang menghujani, Ditengah kesibukan itu tameng istimewanya menerbitkan suara berisik membisingkan telinga.

   Thio Sin Houw sendiri seperti mengerti akan tugasnya sebagai pembuka jalan, ia maju dengan bersenjata sebatang tombak pendek.

   Tatkala kena pegat tentara yang sedang merangkaki tebing, terus saja ia menyerang, Dan belasan tentara kena dirobohkan dengan mudah.

   Akan tetapi tombak pendek itu merupakan senjata yang tidak tepat baginya.

   Gerakannya tidak begitu leluasa, itulah sebabnya, setelah kena keroyok tentara lainnya, ia hanya dapat melindungi dirinya.

   Tak lama kemudian tibalah mereka dipinggang gunung, Baru saja mereka melepaskan napas lega, terdengar suara ribut lagi, pasukan tentara Mongolia yang dipimpin oleh seorang perwira tiba-tiba saja menerjang dari samping, Perwira itu rupanya bermaksud hendak menangkap Thio Hian Cong dan Sin Houw hidup-hidup, itulah sebabnya ia melarang tentaranya melepaskan anak panah, sebaliknya dengan pedang panjang di tangan ia memimpin pasukannya mengepung rapat-rapat.

   Thio Hian Cong menangkis sebatang pedang perwira itu.

   Dalam bentrokan ia mengetahui bahwa perwira itu bertenaga besar, maka dengan sebat ia membalas menyerang.

   "Maju!"

   Perwira itu memberi aba-aba kepada tentaranya.

   Tak sudi Thio Hian Cong melayani perwira itu lama-lama.

   Dengan lindungan tameng istimewanya, ia mengancam perwira itu dengan golok pemberian Go Kim Sun.

   ia menikam sambil membentak, dan celakalah perwira itu.

   Tulang iganya kena tikaman golok.

   Ketika Thio Hian Cong mencabut senjatanya, ia menoleh.

   Ternyata Sin Houw tak terlihat lagi, Bukan main ia menjadi terkejut, Dengan pandang beringas ia mengembarakan goloknya, Di sebelah kirinya ia melihat kerumun tentara sambil berteriak-teriak kalap.

   Segera ia melompat dan menerjang.

   Dan kena terjangannya, beberapa tentara mundur dan menyibakkan diri dengan menderita luka-luka parah.

   Ternyata Sin Houw terkepung oleh tiga orang tentara yang bersenjata pedang panjang, Tombak pendeknya sudah terlepas dari tangan.

   ia melawan dengan jurus-jurus, ilmu sakti Hok-houw ciang dengan tangan kosong.

   Meskipun terdesak, namun masih bisa ia mempertahankan kedudukannya.

   Menyaksikan hal itu, tanpa bersuara lagi Thio Hian Cong melompat menerjang, seorang tentara roboh terjungkal dan menyusul yang kedua, dengan demikian, tertolonglah Thio Sin Houw.

   "Mari!"

   Ajak Thio Hian Cong, Dan sambil menarik tangan Sin Houw, ia menyibakkan beberapa serdadu yang masih menghadang didepannya.

   "Kejar!"

   Seru beberapa tentara.

   Dan mereka lantas saja mengejar beramai-ramai sambil berteriak sambungmenyambung, Mendengar teriakan sambung menyambung itu, sepasukan tentara yang berada di sebelah kiri turun menerjang, Thio Hian Cong membalikkan tubuh dan menikam, Dua orang tentara roboh tertikam dengan sekaligus.

   Kemudian ia menerjang yang ketiga, yang mencoba merangsak dari depan.

   Serdadu itu kena dilemparkan sehingga roboh terjungkal dan menjerit tinggi.

   Menyaksikan hal itu, tentara yang lainnya, yang sedianya hendak menerjang beramai-ramai, tak berani mendesak lebih jauh, Mereka merandek seperti patung-patung tak bernyawa.

   Tentu saja hal itu merupakan kesempatan yang bagus sekali bagi Thio Hian Cong, De-ngan cepat ia menyambar Sin Houw dan kemudian didukungnya, Dengan menggunakan ilmu ringan tubuh, ia kabur sepesat angin.

   setelah cukup jauh meninggalkan lawan, barulah ia menurunkan Sin Houw diatas tanah.

   "Apakah kau terluka?"

   Thio Hian Cong minta keterangan.

   Thio Sin Houw mengusap mukanya.

   Tangannya menyentuh cairan lendir yang telah melekat dimukanya.

   Cepat-cepat ia memeriksa tangannya dalam cahaya bulan remang-remang, dan ia melihat cairan merah, itulah darah segar, Keruan saja ia terkejut, Hatinya tercekat pula tatkala melihat wajah gurunya berlepotan darah, gugup ia berseru.

   "Susiok! Darah ... darah!"

   "Tidak apa. inilah darah tentara Mongolia yang kena tikamanku."

   Sahut Thio Hian Cong.

   "Apakah kau terluka?"

   "Tidak."

   Jawab Sin Houw.

   "Bagus!"

   Thio Hian Cong merasa bersyukur. Terus saja menggandeng Sin Houw seraya berkata.

   "Mari, Kita harus cepat-cepat pergi dari sini!"

   Mereka lantas menyelusup diantara pohon-pohon, menghindari bahaya, setelah berjalan kira-kira setengah jam lamanya, sampailah mereka di suatu lembah yang sama sekali tiada pohonnya, tatkala Thio Hian Cong melongok ke bawah, nampak cahaya terang dibeberapa tempat, puluhan tentara berjalan mondar mandir dengan menyandang senjata.

   Keruan saja hatinya terkejut bukan main, Tak terasa ia berseru tertahan.

   "Akh! Tak dapat kita lewat disitu, kita harus mengambil jalan lain, Di sinipun tiada semak belukar, untuk kita berlindung,"

   Dengan tetap membimbing tangan Sin Houw, maka Thio Hian Cong memilih jalan kesebelah kanan.

   Berjalan kira-kira cukup jauh, sampailah dia didepah sebuah goa buntu yang panjangnya hanya dua meter, Goa itu tertutup oleh semak belukar.

   Karena tiada pilihan lain, Thio Hian Cong membawa masuk Sin Houw kedalam goa itu untuk bersembunyi.

   Thio Sin Houw merasa sangat lelah, meskipun sejak kanak-kanak hidupnya selalu dikejar-kejar oleh musuh-musuh ayah-bundanya, akan tetapi baru pada malam itulah dia bertempur secara berhadap-hadapan, Maka begitu merebahkan diri, ia lantas tertidur nyenyak.

   Thio Hian Cong segera mengangkat tubuhnya dan dipeluknya serta dipangkunya.

   setelah itu ia menajamkan pendengarannya, agar dapat mengikuti perkembangan keadaan medan perang, Di luar goa, suara riuh rendah belum juga berhenti.

   Kemudian ia mendengar suara gemerotok keras, dan udara tiba-tiba terang benderang oleh nyala api.

   Tahulah dia, bahwa perkemahan yang didirikan oleh laskar perjuangan di atas gunung Beng-san, dibakar musnah oleh tentara Mongolia.

   Hatinya panas bukan main.

   Satu atau dua jam kemudian, terdengarlah suara terompet mengalun di udara, itulah suatu tanda bahwa komandan tentara Mongolia memanggil pasukannya agar berkumpul dan turun gunung.

   Hati Thio Hian Cong lantas saja berdebar.

   pendengarannya yang tajam segera menangkap langkahlangkah kaki mereka berderapan, Hatinya mengeluh dengan sendirinya.

   Betapa tidak? Ia mendengar langkah kaki tentara penyerbu semakin mendekati goa persembunyiannya, Hatinya cemas bukan kepalang, kalau sampai tentara itu menemukan goa persembunyiannya...

   entah apa jadinya.

   ***** TIBA-TIBA terdengarlah seseorang duduk diluar goa, untunglah goa persembunyiannya teraling gerombol semak belukar, sehingga orang itu tidak melihat dirinya.

   Dengan menggenggam senjata pemberian Go Kim Sun erat-erat dan tangan kirinya menekap mulut Sin Houw, ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan.

   Ia terpaksa menekap mulut Sin Houw, lantaran khawatir anak itu terkejut dan berteriak.

   Beberapa saat lamanya tiada terdengar sesuatu, kecuali langkah kaki sibuk.

   Lalu tiba-tiba terdengar seseorang membentak.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bawa kemari anjing itu!"

   Kemudian terdengar beberapa orang menyeret seseorang berjalan ayal-ayalan, pastilah itu seorang tawanan yang diseret beberapa serdadu secara paksa.

   "Menurut penglihatan salah seorang pembantu kita, kau menyerahkan senjatamu kepada seseorang. siapakah dia? Dan siapa pula anak tanggung itu, itulah bentakan seseorang yang memberi perintah kepada beberapa tentara membawa tawanannya, suaranya nyaring bagaikan genta pecah. Dan oleh suara nyaring itu, Sin Houw benar-benar tersadar dari tidurnya. Syukur, jauh-jauh sebelumnya Hian Cong telah menekap mulutnya. Maka begitu melihat Sin Houw tersadar dari tidurnya, segera ia membisik.

   "Diam ...!"

   Dalam pada itu orang yang memiliki suara nyaring luar biasa tadi, terdengar membentak lagi.

   "Kau mau bilang apa tidak? Kalau kau tetap membandel, kukutungi sebelah kakimu terlebih dahulu!"

   "Jika kau hendak mengutungi kakiku, kutungilah!"

   Tantang seseorang itu, dengan suara tajam.

   "Aku, Go Kim Sun, tidak takut. Meskipun kau kutungi kedua kaki dan tanganku, aku tidak akan merintih atau menyesal. Kau boleh mengutungi kepalaku sekali! Huh!"

   Mendengar suara Go Kim Sun, Thio Sin Houw terkejut, serunya tertahan.

   "Go susiok!" "Sstt! jangan bergerak!"

   Bisik Thio Hian Cong.

   "Jadi benar-benar kau tak sudi memberi keterangan? Baiklah!"

   Lagi-lagi orang yang bersuara nyaring tadi membentak.

   "Tidak!"

   Terdengar jawaban Go Kim Sun tegas. Dari dalam goa, Sin Houw dapat membayangkan bahwa gurunya tentulah meludahi orang itu. Tiba-tiba ia terkejut tatkala mendengar erang gurunya.

   "Aduh!"

   Suara orang itu disusul dengan suara terbantingnya benda berat, Rupanya sebelah kakinya dikutungi benar-benar. Karuan saja Sin Houw tak dapat menguasai diri lagi, ia merengut dari tekapan tangan Thio Hian Cong.

   "Go susiok!"

   Sin Houw memekik sambil terus menerjang keluar goa.

   Begitu keluar dari mulut goa, ia melihat seseorang mengayunkan goloknya kearah tanah.

   Diantara cahaya api, ia melihat seseorang menggeletak berlumuran darah.

   itulah gurunya, Go Kim Sun! Dengan rasa gusar bukan kepalang ia menerjang dengan salah satu jurus ilmu sakti Hok-houw ciang yang mengandung ancaman maut.

   Orang yang sedang mengayunkan goloknya itu memekik tinggi begitu kena pukulan Sin Houw, Matanya berkunang kunang, dan mundur sempoyongan dengan tak dikehendaki sendiri.

   selagi demi-kian, lengannyapun terasa sakit, sedang goloknya kena terampas.

   Thio Sin Houw bergerak tidak kepalang tanggung, setelah berhasil menghantam orang itu dan merampas senjatanya, ia membacok pula, Meskipun belum memiliki himpunan tenaga sakti, akan tetapi tenaga jasmaninya sudah cukup membuat somplak pundak tentara itu.

   Saking sakitnya, orang itu menjerit tinggi, dan jatuh terkapar diatas tanah tak sadarkan diri.

   Sebenarnya didepan goa, terdapat beberapa tentara yang bersikap mengurung tawanannya, Namun peristiwa itu terjadi dengan sangat tiba-tiba.

   Lantaran kaget mereka jadi tertegun saja, Dan setelah melihat kawannya jatuh terkapar, barulah mereka tersadar.

   serentak mereka menerjang, sambil berteriak teriak.

   Thio Sin Houw tidak gentar.

   Dengan golok rampasannya, ia menyerang dan membela diri, sewaktu berada dalam bahaya, tiba-tiba meloncatlah seseorang dari dalam goa, dengan membawa senjata rantai berkilauan.

   Ternyata rantai itu terbuat dari perak murni.

   Begitu digerakkan diudara remang-remang, lantas saja berkeredepan menyilaukan mata, Dialah Thio Hian Cong.

   Yang meloncat keluar goa untuk melindungi Sin Houw, sekali menggerakkan senjata rantainya, beberapa tentara menjerit kesakitan, senjata mereka terpental ke udara! Keruan saja para tentara itu kaget bukan kepalang, Beberapa orang diantaranya yang masih berada di luar gelanggang, lantas saja berseru seru mengabarkan tanda bahaya, sigap luar biasa, Thio Hian Cong menyambar Sin Houw dan dibawanya lari turun gunung.

   Dan pada saat itu mereka berdua dihujani anak panah.

   Tiba-tiba diantara tentara yang kalang kabut itu, muncullah empat orang yang gerakannya gesit, Dengan sekali melihat, tahulah Thio Hian Cong bahwa mereka berempat memiliki ilmu kepandaian tinggi pula, seorang diantara mereka memasang gendewanya dan melepaskan anak panah.

   Thio Hian Cong kala itu lari sambil mengempit Sin Houw, ia berlompatan kesana-kemari untuk menghindari sambaran anak panah.

   Tatkala mendengar ke-siur angin tajam mengancam tengkuknya, cepat-cepat ia mengendapkan diri, Dan tiga anak panah lewat diatas kepalanya dengan bersuling nyaring.

   Tetapt justeru karena mengendapkan diri, langkah Thio Hian Cong jadi terhenti.

   Pada saat itu, seorang di antara ketiga musuh yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi melepaskan tiga anak panah lagi.

   Ketiga anak panah itu mempunyai arah bidikan yang berbeda-beda, Yang pertama mengarah kepada Sin Houw, yang kedua mengarah Thio Hian Cong dan yang ketiga menjaga gerak larinya, Melihat ancaman bahaya itu.

   Thio Hian cong memutar senjata rantainya dan ketiga anak panah itu runtuh ditanah dengan sekali kebasan.

   "Susiok! Biar aku turun saja!"

   Se ru Sin Houw dengan semangat tempur yang menyala-nyala. Thio Hian Cong menurunkan Sin Houw sambil berkata .

   "Kau lari dulu!"

   Mereka berdua telah terpisah jauh dari tentara Mongolia, akan tetapi keempat orang yang masih mengejarnya seolaholah bayangannya sendiri. Dengan cepat mereka telah tiba dihadapan mereka.

   "Sahabat, letakkan senjatamu ..!"

   Salah seorang diantara mereka berseru.

   "Kau serahkan dirimu! Kami berjanji akan memperlakukan dirimu baik-baik!"

   Hati Thio Hian Cong mendadak menjadi sebal mendengar suara orang itu.

   ia menjadi dengki dan mendongkol, sambil lari ia memindahkan senjata rantainya ditangan kiri, kemudian ia mempersiapkan senjata sumpitannya yang terbuat dari pakupaku berujung tajam, ia menunggu sampai orang itu datang dekat, dan dengan tiba-tiba ia melepaskan senjata bidiknya tiga batang sekaligus.

   Orang yang mengunbar suaranya tadi sama sekali tidak menduga bahwa musuh memiliki senjata bidik istimewa.

   Tatkala melihat berkelebatnya tiga batang paku, ia kaget setengah mati, Tanpa ampun lagi ia roboh terjengkang.

   Kedua pahanya tertancap sebatang paku, sedang tangan kanannya dapat hadiah sebatang paku pula.

   Sebaliknya, ketiga kawannya tidak memperdulikan ancaman bahaya, mereka mengejar terus.

   seperti saling berlomba.

   Melihat datangnya ketiga orang itu yang makin lama makin dekat, Thio Hian Cong berkata kepada Sin Houw seperti sedang bergurau.

   "Adikku, sepasang golok orang itu tepat sekali untuk dirimu, Biarlah kurampasnya sekali untukmu!"

   Setelah berkata demikian, Thio Hian Cong memindahkan senjata rantainya ketangan kanannya kembali.

   Kemudian melompat maju menghampiri salah seorang musuhnya, yang bersenjata sepasang- golok.

   Terang sekali maksudnya, ia hendak membuktikan ucapannya, Akan tetapi orang itu ternyata bukan lawan lemah, ia mendahului menyerang .

   berulang kali, Untuk beberapa waktu lamanya, Thio Hian Cong belum berhasil men capai maksudnya.

   Selagi Thio Hian Cong berkutat dengan orang itu, kedua musuhnya menghampiri Sin Houw, Masing-masing bersenjata sebatang pedang panjang dan ruyung besi.

   inilah berbahaya bagi Sin Houw, karena dia tidak bersenjata sama sekali.

   Golok rampasannya tadi tertancap pada pundak orang yang hendak membunuh gurunya, Go Kim-Sun, maka dengan tangan kosong ia mencoba membela diri, Thio Hian Cong jadi mendongkol dan kebat-kebit, sadarlah dia, bahwa dirinya tidak boleh terlibat terus menerus oleh napsunya hendak merampas sepasang golok lawan, cepat ia melesat mundur sambil memutar tubuhnya, senjata rantainya diayunkan dan menghantam orang yang bersenjata ruyung.

   "Prak!!"

   Kena pukulan senjata rantai Thio Hian Cong, orang itu terhuyung mundur.

   Justeru pada saat itu Sin Houw sedang mengayunkan kakinya.

   Tepat sekali tendangannya.

   Meskipun tidak sampai melontakkan darah, orang itu terguling diatas tanah dengan memaki kalang kabut.

   Kejadian itu membangkitkan rasa marah orang ketiga.

   Dengan sebatang pedang ditangan ia menerjang dan menabas, secepat kilat Thio Hian Cong me-lompat dan menangkap pergelangan tangannya.

   Kedua orang itu lantas berku-tat mengadu tenaga.

   Pada saat Thio Hian Cong berkutat mengadu tenaga dengan orang yang bersenjata pedang itu, yang bersenjata sepasang golok dan ruyung datang mengepung.

   Mereka menyerang dari belakang.

   Juga orang yang tadi roboh kena paku Thio Hian Cong, kini juga dapat bangun pula.

   Dengan masih menggenggam tombak panjang ia maju tertatih-tatih, kemudian menikam.

   Akan tetapi sasarannya adalah Sin Houw.

   inilah saat-saat berbahaya bagi Thio Hian Cong dan Thio Sin Houw, Meskipun demikian Thio Hian Cong tidak menjadi bingung atau berputus asa, sambil berseru nyaring, ia menghajar orang yang bersenjata ruyung.

   Kena pukulannya, orang itu roboh terjengkang.

   Begitu hebat cara robohnya, sehingga ia menubruk kawan sendiri yang sedang berjalan tertatih-tatih sambil, menggenggam tombak panjang hendak menikam Sin Houw.

   Karena tadi sudah menderita luka, tak dapat ia mempertahankan diri tatkala kena tubruk kawannya Dengan demikian ia ikut terguling pula diatas tanah.

   Masih syukur, mereka tidak sampai saling manikam.

   Dengan cepat Thio Hian Cong melompat merampas ruyung.

   Kemudian dengan ruyung ini ia menangkis sepasang golok yang menyambar dirinya.

   Setelah itu ia menarik tangart Thio Sin Houw dan diajaknya lari secepat mungkin.

   ia tak sudi terlibat terus menerus lantaran tentara Mongolia sudah mulai bergerak mendekati.

   Sekarang keempat lawannya tidak berani melawan lagi.

   Mereka mulai sadar, bahwa lawannya itu bukan lawan sembarangan, Namun membiarkan buruannya lolos dengan begitu saja, sudah barang tentu mereka tak rela, seperti berjanji, mereka lantas saja melepaskan senjata jarak jauh, itulah senjata Sumpitan yang bentuknya seperti panah-panah kecil.

   Sambil melindungi Sin Houw, Thio Hian Cong menangkis sambaran senjata bidik mereka dengan ruyung dan rantainya.

   Kadangkala ia melompat atau mengelak sambil menyingkirkan Sin Houw dari berbagai serangan yang saling menyusul.

   Namun karena harus melindungi Sin Houw, gerakannya tidak segesit seperti biasanya.

   Satu kali ia harus menarik Sin Houw ke dadanya terlebih dahulu, untuk menangkis sambaran senjata bidik.

   Kali ini ia terlambat, tiga batang anak panah meraung membuntutinya.

   Dua anak panah bisa dielakkan, akan tetapi yang ketiga mengenai jitu paha kirinya, Dia terkejut, sebab mula-mula tiada rasa sakit sama sekali.

   Mendadak lama-lama menjadi gatal, Tahulah dia, bahwa anak panah itu mengandung racun jahat, segera ia mengerahkan tenaganya untuk berlari lebih kencang lagi.

   Tetapi justeru demikian, racun yang merayap didalam dirinya bekerja kian merunyam, Kakinya lantas saja terasa kaku, sehingga tak dapat lagi dilangkahkan dan disaat berikutnya ia roboh terguling.

   "Susiok!"

   Sin Houw berteriak lantaran kaget bukan main, Hampir saja ia terguling pula.

   Ditengah keremangan malam, ke empat penyerangnya samar-samar melihat robohnya Thio Hian Cong, Begitu mendengar teriakan Sin Houw, mereka bertambah yakin.

   lantas saja mereka berlomba untuk mengejar.

   "Sin Houw!"

   Seru Thio Hian Cong, lari cepat ! Aku akan menahan mereka."

   Thio Sin Houw kenyang pengalaman pahit. Melihat gurunya roboh, ia seperti teringat akan nasib ayah bunda-nya. Maka tanpa memperdulikan bahaya, segera ia melompat kesamping gurunya dan bersikap hendak melindungi.

   "Sin Houw! Dengan kepandaianmu ini, sanggupkah kau melindungi diriku?"

   Kata Thio Hian Cong terharu, ia tahu muridnya itu sangat cerdas.

   Akan tetapi sama sekali tak mengira bahwa ia berbakti pula, meskipun baru bargaul selama delapan hari saja.

   Dalam pada itu keampat penyerangnya sudah datang semakin dekat, Mereka semua bersenjata dan bermaksud hendak menawan buruannya hidup-hidup, Yang membawa sepasang golok dan sebatang pedang panjang, memutar kebelakang Sin Houw dan menerjang berbareng.

   Yang di arah betis kanan.

   Kaget Sin Houw melihat serangan itu.

   ia mengelak dengan melompat, sudah barang tentu Thio Hian Cong tak sudi tinggal diam Meskipun kaki kirinya tidak dapat digerakkan, akan tetapi ia memaksa diri berbangkit.

   ***** TApI, ia berhasil merampas ruyung besi, Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menimpukkannya kepada orang yang bersenjata sepasang golok, orang itu kaget bukan kepalang, sampai tak dapat mengelakkan diri.

   Kepalanya pecah terhantam ruyung itu.

   Dan pada saat itu pula Thio Hian Cong melesat menubruk lehernya.

   ,Krak! Dan orang itu terguling roboh, tak bernapas lagi...

   Inilah peristiwa hebat bagi ke tiga kawannya, orang-orang bersenjata pedang panjang lantas saja memutar tubuhnya dan lari terbirit-birit, Sedang kedua kawannya segera menyusul pula.

   Apalagi yang seorang telah terluka pundaknya sejak tadi.

   Thio Hian Cong sendiri nyaris kehilangan tenaga, darahnya mengucur tidak hentinya.

   Kaki kanannya beku tak dapat digerakkan lagi.

   Namun tak sudi ia menyerah dengan keadaan itu, Dengan menguatkan hati ia mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, kemudian dengan bantuan ruyung rampasannya ia mencoba untuk bangun berdiri.

   ia sadar, bahwa ketiga musuhnya tadi lari untuk kembali lagi dengan membawa bala bantuan.

   Kesempatan untuk melarikan diri hanya sedikit saja.

   "Maril"

   Ia berkata mengajak.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan menyeret kakinya ia berjalan selangkah demi selangkah, dengan bantuan ruyung rampasannya, Sin Houw berjalan disebelah kanannya, ia memasang pundaknya untuk memeluk lengan gurunya dan membiarkan dirinya digelendoti, Dengan demikian perjalanan agak lancar juga.

   Akan tetapi setelah berjalan beberapa ratus meter, keadaan Thio Hian Cong bertambah hebat.

   Rasa beku yang memendam sebelah kakinya tadi perlahan-lahan naik ketangan, Dan tiba-tiba saja tangan itu kehilangan tenaga, ia tahu, itulah racun jahat yang sedang bekerja, segera ia memindahkan ruyung rampasan ketangan kiri dan melanjutkan berjalan sedapat-dapatnya.

   Sin Houw tak mengerti tentang bekerjanya racun jahat itu, yang dirasakan Thio Hian Cong menggelendot makin berat.

   Meskipun ia mandi keringat, namun tetap membungkam mulut, Tetapi setelah berjalan dua tiga li lagi, rasa lelahnya tak tertahankan lagi.

   "Susiok! Di depan nampak sebuah rumah. Mari kita beristirahat dlsana."

   Katanya sambil menuding kedepan.

   "Bukankah kita bisa bersembunyi di rumah itu?"

   Thio Hian Cong memanggut sambil mengumpulkan sisa tenaganya. Begitu tiba didepan pintu, habislah tenaganya - ia roboh terkulai. Sin Houw mencoba menahannya, akan tetapi gagal. Keruan saja bocah itu terkejut.

   "Susiok!"

   Ia memekik. Gugup ia membungkuk hendak membangkitkan.

   "Susiok, bagaimana?"

   Hampir bersamaan dengan waktu itu - terbukalah pintu rumah. Dan seorang wanita berusia pertengahan muncul di ambang pintu. Melihat munculnya wanita itu, Sin Houw lantas saja berkata mengadu.

   "Subo, kami dikejar-kejar tentara Mongolia. Pamanku ini terluka, bolehkah kami menumpang satu malam saja di-sini?" (Subo - bibi). Wanita itu seorang petani, ternyata ia murah hati, segera ia manggut dan memanggil seorang anak tanggung kira-kira berusia delapan atau sembilan belas tahun untuk membantu menggotong Thio Hian Cong masuk. Kemudian ia direbahkan diatas dipan panjang yang berbuat dari bambu. Thio Hian Cong sebenarnya luka parah, akan tetapi karena tangguh dan memiliki himpunan tenaga sakti ia tidak pingsan atau kalut pikirannya -meskipun kaki dan tangannya beku sebelah, dengan tenang-tenang saja ia minta kepada Sin Houw agar mengambil pelita yang menyala didinding, Dan dengan penerangan pelita itu ia memeriksa lukanya. Mereka yang melihat luka itu terkejut, sebab kaki kirinya tidak hanya bengkak saja tetapipun nampak matang biru dan bergenik, Kesannya mengerikan ( - tiba-tiba saja tatkala Sin Houw melihat luka itu, terbanglah ingatannya kepada mimpinya yang ajaib. ia seperti pernah melihat luka demikian dan pernah pula mempelajari cara pengobatannya. Dan oleh ingatan itu terus saja ia menerkam pundak Thio Hian Cong.

   "Susiok! Luka dipundakmu harus kubalut dahulu!"

   Katanya.

   Segera ia merobek lengan bajunya dan menggunakannya sebagai pembalut.

   Mula-mula ia membalut pundak Thio Hian Cong keras kencang, setelah itu ia membalut paha untuk mencegah menjalarnya racun jahat ke jantung.

   Apabila telah dikerjakan dengan rapi, secara hati-hati ia mencabut senjata sumpitan beracun yang masih menancap pada paha, Begitu tercabut, darah hitam meleleh keluar.

   Melihat darah hitam itu, Thio Hian Cong menundukkan kepala, ia bermaksud hendak menghisap darah hitam itu dari lukanya.

   Akan tetapi mulutnya tak sampai.

   Sin Houw lantas saja menggantikan, ia menghisap berulang ulang dan memuntahkannya diatas tanah.

   Setelah menyedot dan menghisap kira-kira empat puluh kali, barulah luka itu mengalirkan darah merah.

   Thio Hian Cong menghela napas lega, katanya dengan suara bersyukur.

   "Ternyata bukan racun yang sangat berbahaya, Sin Houw, kau kumurlah cepat cepat!"

   Wanita petani milik rumah itu sejak tadi berdoa dengan maksud menolong meringankan penderitaan Thio Hian Cong, Mendengar perkataan Thio Hian Cong, ia girang bukan kepalang, dan untuk menyatakan rasa syukurnya, ia berdoa panjang pendek dengan giat sekali.

   Pada esok harinya pemuda tanggung itu keluar rumah, untuk melihat keadaan gunung, Lewat tengah hari ia datang dan melaporkan bahwa tentara penjajah tiada nampak seorangpun lagi, Berita itu melegakan hati Sin Houw akan tetapi melihat keadaan Thio Hian Cong yang mengkhawatirkan, ia menjadi gelisah.

   Benar bengkaknya mulai kempes tetapi suhu badannya naik tinggi sehingga seringkali mengigau.

   Dua tahun lebih Sin Houw berada disamping ide Hong Kiauw, Banyak pula pengetahuannya tentang obat obatan.

   --------------------------- Halaman 42/43 Hilang --------------------------- pan.

   setelah semuanya beres, segera ia kembali pulang.

   Nampaknya berjalan dengan sangat lancar dan sederhana saja.

   Akan tetapi gerobak itu sesungguhnya sejak lama dikuntit beberapa orang mata-mata pihak pemerintah Mongolia, Begitu melihat Sin Houw membawa Thio Hian Cong memasuki rumah penginapan, mata-mata itu segera lari kencang melaporkan kepada atasan mereka.

   Thio Sin Houw masih mempunyai beberapa tail sisa uang bekalnya, Dan dengan uang itu ia mencari beberapa ramuan obat yang diperlukan.

   Karena selama itu ia belum pernah memasuki kota, ia mengajak seorang pelayan sebagai penunjuk jalan.

   setelah memperoleh ramuan obat-obat yang di carinya, segera ia pulang ke rumah penginapan.

   Sama sekali ia tak menyadari bahwa dua orang tentara telah menguntitnya diam-diam.

   Tiba di rumah penginapan, segera ia memasak ramuan obat-obatnya.

   Dalam pada itu Ihio Hian Cong masih tetap rebah di tempat tidur dengan kepala panas bagaikan api.

   Belum lagi air di-masak mendidih, delapan orang tentara tibatiba memasuki rumah penginapan dan membawa rantai pembelenggu, seseorang yang mengenakan pakaian sebagai rakyat biasa, menuding kepada Sib Houw seraya berkata.

   "Dialah orangnya!"

   Seorang tentara lantas membentak.

   "Hai! Kau pelarian dari atas gunung, bukan?"

   Thio Sin Houw kaget tak terkira, Tak tahulah ia apa yang harus diperbuat. Akhirnya dalam bingungnya, menjawab sekenanya saja.

   "Bukan ..."

   Pemuda tanggung itu perlu dikepung sekawanan tentara yang berjumlah delapan orang? Dalam pada itu seorang tentara melancarkan rantai belenggunya keleher Sin Houw, Anak itu mundur mengelakkan diri, sama sekali ia tidak berkisar dari ambang pintu.

   Niatnya sudah teguh untuk mencegah kawanan tentara memasuki kamar.

   Bagaimana akibatnya nanti , tak masuk dalam pikirannya.

   Tentara itu malu karena tak mampu membekuk seorang anak tanggung, sedang dia merasa diri sudah berpengalaman belasan tahun lamanya, Lantaran malu, ia menjadi gusar.

   Tangan kirinya bergerak dan menyambar tengkuk.

   "Thio Sin Houw tak gentar melihat datangnya serangan, ia menangkis sambaran tangan yang hendak mencengkeram tengkuknya, ia menggunakan salah satu jurus ilmu Hok-houw ciang, Dan begitu tangannya membentur sasaran, tentara itu mundur sempoyongan. Dia menjadi gusar setengah mati, sambil memutar tubuh, kakinya menendang dan mulutnya memaki.

   "Anak anjing!"

   Thio Sin Houw menang gesit, Melihat berkelebatnya kaki, ia mengelak kesamping, Dengan kedua tangannya ia menangkap kaki itu, terus diangkat dan didorong dengan keras.

   seketika itu juga tentara tadi terlempar dan jatuh terbanting diatas tanah.

   Para tamu yang berkumpul di pekarangan kagum dan bersorak tak terasa.

   Terhadap rombongan tentara penjajah mereka nampaknya tak senang, Meskipun bukan termasuk para pejuang, mereka berpihak kepada Sin Houw, Mungkin sekali lantaran melihat Sin Houw seorang pemuda tanggung, yang sama sekali tiada bersenjata atau berteman.

   Namun kedelapan tentara itu nampak beringas dan bengis.

   Mereka jadi tak puas dan bersyukur tatkala melihat sin Houw berhasil melemparkan seorang polisi sampai terbanting diatas tanah.

   Ketujuh tentara lainnya heran menyaksikan ketangguhan Sin Houw.

   Mereka mengira anak itu mempunyai ilmu gaib, Segera mereka saling memberi isyarat kemudian menerjang berbareng.

   Diantara mereka ada yang bersenjata pedang, golok dan panggada kayu.

   Dan menyaksikan gerakan mereka, para tamu kaget, takut dan bingung.

   Mereka mundur dengan sendirinya .

   Meskipun Thio Sin Houw kini sudah mewarisi ilmu sakti Hok-houw ciang dari Thio Hian Cong, akan tetapi tenaganya masih lemah.

   Lagi pula ia belum berpengalaman.

   itulah sebabnya, menghadapi keroyokan demikian ia menjadi bingung, Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyongkonyong melompatlah seorang dari kamar sebelah.

   orang itu bertubuh besar dan berkulit hitam.

   Dengan sekali lompat, ia telah berada di depan Sin Houw dan terus menggerakkan kaki dan tangannya.

   Entah bagaimana caranya ia bergerak.

   Tiba-tiba saja para tentara yang bersenjata tajam itu kena terampas senjatanya dan dilemparkan berjungkir balik.

   Kemudian ia mendesak, menyerang dan menerjang ke kiri kanan sampai ketujuh tentara itu babak belur, setelah itu ia berteriak nyaring seperti kerbau menguak, Aneh suaranya! "Siapa kau?"

   Seorang tentara menegur.

   "Kami hendak menangkap pemberontak , jangan ikut campur!"

   Orang itu seperti tuli.

   sekali menggerakkan tangan, ia menjambret dada tentara itu dan mengangkatnya tinggi tinggi.

   Kemudian dilemparkan hingga tentara itu melayang-layang bagaikan layangan putus, dan roboh diatas tanah tak sadarkan diri.

   Menyaksikan hal itu kawan-kawannya bubar berderai dan lari berserabutan keluar rumah penginapan.

   Orang itu kemudian berpaling kepada Sin Houw, ia membuka mulutnya dan tangannya bergerak-gerak.

   Tetapi mulutnya tiada mengeluarkan suara apapun kecuali "ah-ah-uhuh".

   Maka tahulah Sin Houw, bahwa orang itu bisu.

   Dan apa yang dikehendaki sangat mudah di tebak.

   Beberapa saat lamanya Sin Houw bingung menebaknebak.

   Akan tetapi dia memang anak cerdas luar biasa, Segera ia mengamat-amati gerakan tangan dan gerakan mulut orang itu.

   selagi mengamat-amati mendadak orang itu mengangkat tangannya keatas, lalu ditabaskan kebawah, Kedua kakinya digerakkan dan tahu-tahu ia sudah melakukan jurus-jurus ilmu sakti Hok-houw ciang, dari jurus pertama sampai jurus kelima belas dan melihat Sin Houw jurus pertama sampai jurus ke sepuluh, setelah itu ia berhenti, sikapnya menunggu.

   Otak Sin Houw yang cerdas luar biasa segera dapat mengerti kehendaknya, buru-buru ia menjawab dengan melanjutkan jurus ke sebelas sampai jurus kelimabelas.

   Dan melihat Sin Houw dapat melanjutkan jurus-jurus ilmu sakti Hok-houw ciang, si bisu tertawa lebar sambil memanggutmanggutkan kepalanya, sekonyong-konyong ia melompat sambil mengulurkan tangannya, tahu-tahu Sin Houw dipondongnya dan hendak dibawanya pergi.

   Thio Sin Houw teringat gurunya yang masih rebah didalam kamar, dengan girang ia menuding kamarnya, Si bisu rupanya mengerti gerakan tangannya, segera ia masuk kedalam kamar sambil menggendong Sin Houw.

   Terhadap Sin Houw, seolah

   KANG ZUSI WEBSITE
http.//cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )*** olah ia menemukan mustika yang tak ternilai harganya.

   Tetapi begitu melihat wajah Thio Hian Cong yang pucat lesi bagaikan mayat , orang itu nampak kaget sekali.

   Cepat-cepat ia menurunkan Sin Houw dan menghampiri Thio Hian Cong, ia memijit-mijit menyadarkannya, kemudian kedua tangannya digerakkan.

   Oleh pijitannya itu, Thio Hian Cong tersadar, Begitu melihat siapa yang memijitnya, wajahnya bersinar terang, iapun segera menggerakkan kedua tangannya sambil menunjuk pahanya.

   Orang itu mengerti arti gerakan tangan Thio Hian Cong, seketika itu juga ia bekerja, Dengan tangan kiri ia membimbing Sin Houw dan dengan tangan kanannya ia memondong Thio Hian Cong, Kemudian dengan langkah lebar ia keluar kamar dan meninggalkan rumah penginapan, ia lari sangat pesat begitu tiba dijalan, tak perduli berat tubuh Thio Hian Cong yang dipondongnya.

   Baik pemilik rumah penginapan maupun para pelayan, tak ada yang berani merintang, semuanya menyaksikan kegagahannya, seorang diri saja ia sanggup mengundurkan delapan orang tentara, malah yang seorang dibanting roboh sampai pingsan tak sadarkan diri, Terhadap orang segagah itu, siapakah yang berani mencoba-coba merintangi kehendaknya ? Namun pihak tentara tidak mau sudah, dua orang matamatanya segera menguntitnya, Tentu saja mereka tak berani berada terlalu dekat, mereka menguntit dalam jarak duapuluh langkah, tujuan mereka hanya ingin mengetahui dimana tempat tinggal sigagu itu.

   setelah mereka ketahui, mereka akan menyulutkan tanda-tanda tertentu untuk mencari bala bantuan.

   Thio Hian Cong masih tak sadarkan diri, ia tak tahu bahwa dirinya dibawa kabur oleh si bisu dari rumah penginapan.

   Si bisu sebaliknya tidak mengetahui bahwa dirinya selalu di bayangi dua orang mata-mata, tapi tidak demikian halnya Sin Houw yang cerdik.

   ia melihat dua orang yang selalu mengikutinya, diam-diam ia menarik tangan si bisu, Dan dengan memonyongkan mulutnya ia memberi abaaba, Si bisu lantas berpaling, dan ia melihat pula dua orang itu yang selalu mengikutinya.

   Namun ia bersikap acuh tak acuh, Dengan berlagak pilon ia lari terus dengan cepat, Sin Houw dibawanya lari kencang melintasi tegalan-tegalan sepi - kira tiga atau ampat li lagi, tiba-tiba si bisu meletakkan Thio Hian Cong keatas tanah.

   Agaknya dia hendak beristirahat untuk menghilangkan rasa lelahnya, Tahu-tahu dengan sekonyong-konyong ia membalikkan tubuhnya, dan melesat kebelakang, Dalam dua tiga gebrakan saja, ia sudah sampai ke depan mata-mata itu yang kaget setengah mati.

   Itulah serangan diluar dugaan.

   Dalam kaget dan takutnya, kedua mata-mata itu segera memutar tubuh, Maksudnya hendak mengangkat kaki, namun sudah terlambat.

   Si bisu sangat cepat gerakannya.

   sebelum mereka berdua dapat menggerakkan kaki, tangan si bisu sudah menghempaskannya, Tak ampun lagi mereka roboh terjengkang diatas tanah.

   Orang bisu itu bekerja tidak kepalang tanggung.

   Melihat kedua lawannya roboh, tangannya mencengkeram ke rambut mereka.

   Kemudian diangkat tinggi tinggi dan dibenturkan kesebuah batu yang berada dipinggir tegalan.

   "Prak!"

   Tak sempat lagi kedua mata-mata itu berteriak, mereka mati dengan kepala pecah.

   Setelah menamatkan riwayat hidup kedua mata-mata itu, si bisu kembali menghampiri Thio Hian Cong.

   Dengan ringan sekali ia mengangkat tubuh Thio Hian Cong, dan dibawanya berlari lagi, Larinya cepat bagaikan terbang.

   Celakalah Thio Sin Houw! pemuda tanggung ini mencoba lari sekencang-kencangnya, agar dapat menjajarinya, usahanya sia-sia belaka, meskipun ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya.

   Makin lama ia makin tertinggal.

   Akhirnya ia merasa tak sanggup lagi, dan dengan napas tersengal-sengal ia menghentikan langkahnya.

   Si bisu menoleh, ia berhenti pula sambil tersenyum.

   Melihat Sin Houw kehabisan tenaga, ia menghampiri dengan wajah ramah.

   Lalu menyambar tubuhnya dan digendongnya, Dengan menggendong dua orang, ia lari kencang lagi.Malahan kini larinya lebih kencang, dibandingkan dengan semula, Lantara ia tidak usah menunggu-nunggu Sin Houw.

   Setelah berlari-lari sekian lamanya, ia membelok ke kiri dan lari mengarah ke sebuah gunung, ia mendaki dengan cekatan, dan sama sekali tak mengenal lelah, Dalam sekejap mata saja dua bukit telah dilaluinya.

   Tiba-tiba nampak sebuah rumah gubuk di depan lamping gunung, Dengan langkah tetap ia menghampiri gubuk itu.

   Seseorang yang berada di ambang pintu lari menyambut.

   Dia seorang wanita berumur tigapuluh tahun lebih.

   ia memanggut kepada si bisu, dan si bisu pun membalas anggukannya, Nampaknya ia heran melihat si bisu membawa bawa dua orang dalam gendongannya, segera ia mengajak masuk.

   "Cie Lan! Kau sediakan tiga mangkok air teh!"

   Seru wanita itu.

   Dari ruangan dalam terdengar jawaban dan muncullah seorang gadis kecil membawa nampan berisi tiga mangkok air teh, ia nampak heran begitu melihat si bisu, kemudian ia memandang kepada Thio Hian Cong dan mengamat-amati Sin Houw.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kedua matanya jernih bening dan meresapkan penglihatan.

   Gadis kecil inilah yang bernama Cie Lan, umurnya kurang lebih duabelas tahun.

   Setelah melirik Cie Lan, pandang mata Sin Houw beralih kepada wanita muda itu, Dia seorang wanita yang cantik, mukanya putih bersih dan halus.

   Bibirnya manis dan suaranya meresapkan pendengaran.

   Meskipun pakaiannya sederhana, pribadinya berkesan agung, Dengan ramah ia bertanya kepadanya.

   "Umurmu sebaya dengan anakku, siapakah namamu? Bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?"

   Waktu itu Sin Houw sudah diturunkan ke tanah.

   Mendengar lagak lagunya, tahulah ia bahwa si bisu adalah sahabat nyonya rumah itu, Maka dengan tulus ia menceritakan pengalamannya.

   Ibunya Cie Lan kemudian memperkenalkan namanya, Cin Bun Nio, Dan setelah memperkenalkan namanya, ia masuk ke dalam dan keluar lagi dengan membawa dua botol ramuan obat, Sin Houw melihat bubuk putih dan merah terbawa oleh rasa girangnya, segera ia menyendoknva sedikit dan diadukkan ke dalam air teh, setelah itu ia menegukkan ke dalam mulut Thio Hian Cong.

   Bun Nio heran menyaksikan Sin Houw mengerti tentang obat-obat, Katanya .

   "Heee, kau semuda ini sudah mengerti tentang ilmu ketabiban?"

   Oleh kata-kata itu, Sin Houw tersadar . wajahnya menjadi merah, cepat-cepat ia membungkuk hormat dan meminta maaf atas kelancangannya. sahutnya.

   "Maaf, bibii Maaf ... aku..."

   Tetapi Bun Nio tidak merasa tersinggung, ia bahkan tertawa manis sekali , lalu katanya.

   "Bagus! Tak usah kau bersegan-segan terhadapku, rupanya kau murid seorang tabib pandai. Kalau aku boleh bertanya, siapakah gurumu?"

   "Sebenarnya aku tidak mempunyai guru, hanya secara kebetulan saja aku mendapat kesempatan belajar mengenal obat-obatan dipinggang gunung Ouw-tiap san."

   Bun Nio mengira, Sin Houw tidak mau memperkenalkan nama gurunya. oleh pertimbangan sopan-santun, ia tak mau mendesak. Berkata mengalihkan pembicaraan.

   "Apakah kau membutuhkan alat tertentu ?"

   "Benar, Apakah bibi mempunyai pisau kecil? Aku harus mengiris lukanya."

   Bun Nio segera menyediakan pisau kecil yang dimintanya.

   Dengan cekatan Sin Houw mengiris luka Thio Hian Cong.

   setelah itu ia memborehi dengan obat-bubuk kuning, ia menunggu sebentar.

   Kemudian luka itu dicucinya kembali dan diborehi bubuk kuning lagi.

   Tiga kali ia mencuci dan memborehi luka Tliio Hian Cong.

   Dan menyaksikan hal itu Bun Nio bertambah heran, makin percayalah dia bahwa Sin Houw pastilah murid seorang tabib pandai.

   Selang beberapa waktu, Thio Hian Cong membuka mulutnya.

   ia memperdengarkan suara tak jelas.

   "Anakku! Kau benar-benar seorang tabib pandai! Dia ketolongan!"

   Seru Bun Nio dengan suara girang.

   Dengan isyarat tangan, ia memanggil si bisu, ia minta tolong kepadanya agar membawa masuk Thio Hian Cong masuk kedalam kamarnya.

   Dan tatkala si bisu membawa Thio Hian Cong masuk ke dalam kamar, Bun Nio menutup botol obatnya sambil berkata kepada Sin Houw.

   "Mari, kuperkenalkan dengan anakku, Dia bernama Cie Lan, mulai sekarang tinggallah kau bersama kami di sini."

   Thio Sin Houw memanggut.

   "Meskipun kau tidak memperkenalkan nama gurumu, aku bisa menebak delapan bagian - lantaran kau menyebutkan bukit ouw-tiap san."

   Kata Bun Nio.

   "Apakah kau kenal tabib sakti Ouw Gie Coen?"

   Bun Nio tidak menunggu Sih Houw membenarkan dugaannya, dengan tersenyum manis ia masuk kebelakang, Dan dengan dibantu Cie Lan, ia menanak nasi dan menyembelih ayam, sebaliknya Sin Houw lelah luar biasa.

   Oleh rasa kantuknya, dengan tak dikehendaki sendiri ia tertidur di tepi meja, kepalanya terletak diatas tangannya, yang bersilang diatas meja.

   Apakah dunia hancur pada saat itu, berada di luar ingatannya.

   Keesokan harinya baru saja matahari muncul diudara, Cie Lan sudah menarik tangan Sin Houw, Kata gadis cilik itu.

   "Mari, cuci muka!"

   Sin Houw tersentak dari tidurnya, ia mengucak-ucak matanya. Tiba-tiba teringatlah dia kepada Thio Hian Cong, serentak ia menyahut.

   "Aku hendak melihat paman dahulu. Bagaimana lukanya ..!"

   "Nie susiok telah membawanya pergi sejak fajar hari tadi."

   Kata Cie Lan. Thio Sin Houw terkejut mendengar perkataan Cie Lan, tukasnya.

   "Nie susiok? siapakah Nie susiok itu?"

   "Nie susiok ... si bisu."

   Jawab Cie Lan dengan tertawa. Hati Sin Houw tercekat. menegas dengan wajah berubah.

   "Dibawa ke manakah Thio susiok?"

   Cie Lan hendak menjawab, Tetapi pada saat itu, Sin Houw tiba-tiba melompat dari kursi dan lari memasuki kamar, Benar-benar kosong. Tiada Thio Hian Cong maupun si bisu. Hati Sin Houw terpukul, terus saja ia roboh terkulai tak berdaya.

   "lbu! Ibu!"

   Teriak Cie Lan memanggil ibunya. Cin Bun Nio datang dengan cepat. Melihat sin Houw roboh terkulai, ia berkata membesarkan hati Cie Lan.

   "Tak apa. Kecuali terkejut, semalam perutnya belum kemasukan sebutir nasipun, sebentar lagi ia akan siuman kembali."

   Setelah berkata demikian, ia mendekati Sin Houw dan memijit-mijit pundaknya. Bisiknya.

   "Anakku, pamanmu terluka parah, ia perlu mendapat pertolongan seorang tabib pandai. Kau mengenal obat-obatan, pasti kau juga mengerti bahwa obat bubuk kuning semalam hanya merupakan obat darurat saja. Bukankah begitu?"

   Thio sin Houw manggut lalu berkata .

   "Benar, dan aku hanya memberikan pertolongan pertama. ia terkena racun senjata rahasia yang sangat dahsyat, kalau tidak cepat-cepat ditolong secara sempurna, sebelah kakinya bisa lumpuh selama-lamanya."

   "Sin Houw dari mana kau memperoleh pengetahuan tentang ilmu tabib begini sempurna?"

   Tanya Bun Nio kagum. Thio Sin Houw terhibur hatinya -karena mendengar perkataan Bun Nio dan ia segera memberikan jawaban.

   "Secara kebenaran saja aku berada dirumah salah seorang murid terpandai dari tabib sakti Ouw Gie Coen."

   "Ohl"

   Seru Bun Nio kagum.

   "Pantas saja kau mahir sekali dalam ilmu ketabiban, Kalau tahu begini, aku tidak akan mengijinkan Nie Un siang membawanya pergi."

   Thio Sin Houw menarik napas.

   "Sebenarnya Thio susiok dibawah kemana?"

   Tanyanya.

   "Nie siang membawanya menghadap seseorang yang berilmu sakti. pada jaman ini kukira hanya dia seorang yang dapat menyembuhkan Thio susiokmu, tapi tunggu saja disini, apabila sudah sembuh Thio susiokmu itu pasti akan datang kemari menjengukmu."

   Sin Houw menyadari apabila Thio susioknya memperoleh pertolongan seorang tabib pandai, pastilah lukanya akan dapat disembuhkan.

   Hanya saja lantaran kata-kata Cin Bun Nio bersikap menghibur, hatinya menjadi sedih.

   Beberapa saat lamanya ia termenung dan Bun Nio membujuknya lagi.

   "Sin Houw, Thio susiokmu pasti akan sembuh. sekarang pergilah kau mencuci muka, setelah itu kita makan bersama. meskipun aku tidak pandai memasak, tetapi daging ayam itu sendiri pasti akan menawan seleramu!"

   Sin Houw sadar akan maksud baik wanita setengah baya itu, walaupun ia masih merasa letih, namun ia mencoba menguasai diri, Kemudian mencuci mukanya disebuah pancuran yang berada di belakang rumah, setelah itu ia duduk bersama ibu dan anak yang ditumpanginya itu.

   Ternyata Cin Bun Nio pandai mengambil hati, suaranya sendiri sudah meresapkan pendengaran.

   


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam -- Khu Lung Rajawali Sakti Dari Langit Selatan -- Sin Long

Cari Blog Ini