Ceritasilat Novel Online

Golok Halilintar 8


Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 8



Golok Halilintar Karya dari Khu Lung

   

   Apalagi dia bermaksud membujuk dan membesarkan hati.

   Thio Sin Houw lantas saja menyerah kalah.

   Dengan kemauannya sendiri ia menceritakan tentang riwayat hidupnya, dan mendengar kisah anak itu, Bun Nio menghela napas berulangkali.

   Katanya dengan hati pilu.

   "Kalau begitu, tinggallah engkau bersama kami, disini, jangan kau mencemaskan apa-apa lagi, kau tunggu saja Thio susiokmu di sini. Apabila sudah sembuh, pasti ia akan menjengukmu"

   Sin Houw manggut.

   sejak bayi ia hidup menderita sekali, dibawa orang tuanya merantau dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindar dari pihak lawan yang datang tak hentinya, setelah berumur delapan tahun, dengan cara yang menyedihkan sekali kedua orang tuanya meninggal didepan matanya.

   Sekarang, ia bertemu dengan Bun Nio yang halus budi dan manis sekali perlakuannya.

   sudah tentu ia seperti memperoleh seorang ibu sejati, Disamping itu, Bun Nio masih mempunyai seorang puteri yang manis pula, Cie Lan, Gadis itu cantik dan selalu bersedia menjadi kawannya.

   Maka tak mengherankan, baru beberapa hari saja Thio Sin Houw merasa betah tinggal dirumahnya Bun Nio.

   Pada suatu hari Cin Bun Nio minta kepada Sin Houw untuk memperlihatkan ilmu silatnya ajaran Thio Sin Houw di hadapannya.

   Dengan cerman Sin Houw melakukan jurus-jurus ilmu Hok-houw ciang hoat, menyaksikan cara Sin Houw mengalah jurus-jurus Hok-houw ciang, Bun Nio memuji tiada hentinya.

   Maka ia menjadi insyaf, bahwa hal itu telah terjadi berkat kecermatan dan ketelitian Thio Hian Cong tatkala memberi pelajaran.

   Setelah sepuluh hari berada di rumah itu, Bun Nio menganjurkan kepada Sin Houw agar berlatih dengan sungguh-sungguh pada setiap hari.

   Namun ia tak pernah membenarkan atau menyalahkan.

   Dengan seksama ia menilik dan mengikuti gerak-gerik sin Houw dalam mengolah liku-iiku intisari ilmu Hok-houw ciang, tetapi sepatah katapun tak pernah terbersit dari mulutnya yang menyinggung tentang latihan itu, Malahan beberapa hari kemudian, jarang sekali ia hadir.

   sebaliknya Cie Lan mengganti kedudukannya menemani Sin Houw, tetapi tiba-tiba pada hari kedua belas, Cie Lan dipanggil ibunya, selagi seperti biasanya menemani Sin Houw berlatih sampai rampung.

   Thio sin Houw tak pernah menduga jelek.

   pastilah ada alasannya mengapa Cie Lan dipanggil ibunya, dan tidak di perkenalkan lagi hadir tatkala dia sedang berlatih.

   Mungkin sekali hal itu merupakan pantangan besar bagi seseorang yang melihat orang lain berlatih diri, pada suatu hari Bun Nio datang kepadanya dan berkata.

   "Sin Houw, aku hendak pergi sebentar, kau temanilah adikmu Cie Lan. Tetapi jangan kau ajak dia keluar rumah, karena disekitar rumah ini banyak binatang buas."

   Bun Nio tidak memberi keterangan kemana dia hendak pergi.

   Tetapi sebenarnya dia hendak ke kota untuk membeli dua perangkat pakaian untuk Sin Houw, lantaran pakaian yang dikenakan sudah usang.

   Thio Sin Houw patuh kepada pesan Bun Nio, ia menjaga Cie Lan seperti seseorang menjaga adik kandungnya sendiri.

   Cie Lan sendiri bersikap manja terhadap sin Houw, ia berlarilarian kesana dan kemari mengajak bermain.

   "Tiba-tiba gadis itu berkata.

   "Sin Houw koko, marilah kita bermain masak-masakan. Biarlah aku , membeli seekor ayam, kau yang menyembelih nanti!"

   Tanpa menunggu persetujuan Sin Houw gadis itu lari keluar rumah.

   "Kau hendak mencari ayam dimana?"

   Tanya sin Houw.

   "Di pekarangan depan. Disana banyak ubi hutan!"

   Sahut Cie Lan.

   Maka tahulah Sin Houw, bahwa ubi hutan itu diumpamakan sebagai ayam lantas pergi kedapur mencari sebilah pisau.

   Bukankah ia telah dianggap jadi tukang sembelih ayam.

   Tetapi setelah menunggu sekian lamanya, Cie Lan tidak muncul kembali.

   ia jadi tidak sabaran memanggil.

   "Cie Lan! Cie Lan!"

   Tetapi panggilannya tiada jawaban - jantungnya jadi bertebaran.

   Teringat dia akan pesan Bun Nio, bahwa di sekitar rumah itu banyak berkeliaran binatang buas, dengan pisau ditangan ia lari keluar rumah.

   Begitu berada di pekarangan, ia menjadi kaget bukan main.

   Seorang laki-laki bertubuh tinggi-besar nampak sedang mengempit Cie Lan dan sedang memutar tubuh hendak pergi.

   Keruan saja ia berteriak kalap.

   "Heii Kau hendak membawanya ke mana?"

   Orang itu tidak menghiraukan.

   Dia melompat keluar halaman.

   Pada saat itu Thio Sin Houw ikut melesat pula, Anak itu tidak hanya mengejar, tetapi menyerang pula dengan pisaunya.

   Keruan saja penculik itu menjadi kaget.

   sama sekali ia tak mengira bahwa anak itu bisa menikam, untung Sin Houw tidak bermaksud mengarah jiwanya, ia hanya menikam bagian kaki, justru demikian penculik itu mendongkol dan gusar karena kesakitan! "Kurang ajar!"

   Dia memaki dan menurunkan Cie Lan, Lalu berbalik sambil menghunus goloknya, dan terus menyerang.

   Thio Sin Houw tidak takut, dia menangkis dengan tangan kosong.

   Tentu saja yang dipukul balik adalah lengan si penculik, itulah salah satu jurus ilmu sakti Hok-houw ciang warisan gurunya, sekali ia menangkis, tangan kanannya ikut segera menyerang.

   Heran orang itu, Terpaksa ia harus melayani dan terjadilah suatu perkelahian yang ganjil, seorang terasa bertubuh besar bersenjata golok, bertempur melawan seorang anak belasan tahun bersenjata pisau dapur.

   Dalam hal tenaga, tentu saja orang itu menang dua kali lipat, goloknya menerbitkan kesiur angin menderu-deru.

   Namun dalam hal kegesitan, Thio Sin Houw jauh lebih menang.

   ia menghindarkan bentrokan senjata dengan mengelakkan diri dan disaat-saat tertentu menikam atau menusuk secara tiba-tiba.

   Setelah belasan jurus, orang itu jadi sibuk sendiri.

   ia heran dan penasaran, mengapa ia tak sanggup mengalahkan seorang pemuda tanggung yang hanya bersenjata pisau dapur saja? Karena itu ia berkelahi semakin sengit tak ubah sedang berhadapan dengan seorang musuh tangguh.

   Goloknya kini terus membabat mengarah kaki.

   Bagus sasarannya, tetapi sulit untuk dilakukan - hal itu disebabkan lantaran lawannya lebih pendek dari dirinya sendiri.

   untuk dapat menyerang kaki, terpaksalah ia bergulingan ditanah.

   Kemudian berjongkok atau membungkuk.

   Cara berkelahi demikian sebenarnya menghabiskan tenaga, tetapi Sin Houw belum berpengalaman.

   ia menjadi sibuk juga, terpaksa main mundur untuk menghindari ancaman golok lawan.

   Cie Lan yang telah bebas, tidak hanya menonton saja, Dia lari ke dalam rumah dan kembali dengan membawa pedang panjang, Dengan senjata itu ia menyerang si penculik dari belakang.

   Ternyata ia pandai bersilat dengan pe-dang, walaupun belum mahir.

   "Hai, setan! Kau perempuan cilik ikut-ikut campur juga? Apakah kau mau mampus?"

   Bentak penculik itu.

   Cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan mengayunkan goloknya, namun ia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya lantaran tidak menghendaki jiwa Cie Lan, ia hanya menangkis agar pedangnya Cie Lan terlepas dari tangannya.

   Akan tetapi Cie Lan seorang gadis cerdik, Gerakannya gesit pula, Dia mengelak tangkisan itu sambil melompat kebelakang, lalu maju kesamping dan dengan cepat balas menikam! Lega hati Thio Sin Houw yang menyaksikan Cie Lan bisa menikamkan pedangnya.

   Tadinya ia khawatir melihat majunya gadis cilik itu, setelah melihat serangannya beberapa kali, ia menjadi girang, Terus saja ia membarengi dengan tikaman berantai jurus delapan belas dari ilmu sakti Hok-houw ciang.

   Diserang secara berbareng, si penculik menjadi kalangkabut, untuk membela diri terpaksa ia bergerak dengan gesit sekali.

   Sin Houw berbesar hati, oleh karenanya serangannya semakin gencar dan hal ini membuat hati si penculik bersyukur Karena meskipun mereka berdua pandai berkelahi, namun baik tenaga maupun keuletannya masih kurang jauh.

   Maka dengan sabar ia hanya membela diri saja, dengan mengelakkan berbagai serangan.

   Dan dugaannya ternyata benar, beberapa waktu kemudian kegarangan Sin Houw berdua Cie Lan menjadi semakin surut.

   Kini mereka berdualah yang bergilir menghadapi serangan balasan.

   Tatkala Cie Lan menikam, penculik itu menangkis dengan tenaga penuh.

   Demikian hebat tenaganya, sehingga Cie Lan tak dapat mempertahankan diri, pedangnya lantas terpental diudara dan jatuh berkelontangan ditanah.

   Melihat Cie Lan terancam bahaya, Sin Houw menerjang dan menikam, buru-buru penculik itu menangkis dan menendang Cie Lan dengan sebelah kakinya.

   Kena tendangan itu, Cie Lan menjadi terguling-guling.

   Sin Houw kaget dan cemas..Lupa akan penjagaan diri, ia melompat menikam dengan sembarangan saja, Tentu saja hal itu membuat girang si penculik, ia mengelak lalu merangsak dengan goloknya.

   Dan menghadapi rangsakan, Sin Houw cepat-cepat mengangkat pisau dapurnya untuk menangkis, inilah bentrokkan yang tak dapat dihindarkan lagi, pisau dapurnya lantas saja terlepas dari tangan dan menancap di tanah selagi terkejut, pergelangan tangannya kena cengkeram pula dan diputar? Sin Houw kesakitan, Namun dalam kesakitan ia tidak menjadi gugup.

   tangan kirinya segera menyelonong masuk menghantam tulang rusuk, Penculik itu kaget bukan kepalang.

   Dalam kagetnya ia melepaskan cengkeramannya dan melompat mundur.

   Begitu berdiri tegak kembali ditanah, segera ia melesat menyambar Cie Lan dan dikempitnya.

   Kemudian ia memanjangkan langkah.

   Walaupun sedang kesakitan, begitu melihat Cie Lan kena dibawa lari, Sin Houw menjadi kalap.

   Segera ia memungut pisau dapurnya lagi yang tertancap di tanah, kemudian lari mengejar sambil berteriak.

   "Hai, jangan lari!"

   "Akh, setan cilik! Apakah kau tak sayang jiwamu?"

   Si penculik memaki.

   Dengan tangan kiri mengempit Cie Lan, tangan kanannya menggerakkan goloknya sambil membalikkan tubuhnya, ia harus melayani Sin Houw yang sudah dapat mengejarnya, setelah bertempur lima enam jurus, Sin Houw kena dibacok bagian pundaknya.

   "Bagaimana? Apakah kau masih membandel?"

   Bentak penculik itu. Thio Sin Houw benar-benar tak mengenal takut. Bajunya robek dan pundaknya mengalirkan darah. Namun ia menjawab dengan garang.

   "Lepaskan Cie Lan! Dan aku tidak akan mengejarmu lagi!"

   Tentu saja penculik itu tidak menghiraukan ocehannya, ia memutar tubuh dan memanjangkan langkahnya. Dan Sin Houw tetap mengejarnya sambil terus berteriak-teriak, Akhirnya penculik itu menjadi habis sabar, dan timbullah pikirannya.

   "Jika aku tidak membunuhnya, aku akan diganggunya terus-menerus,"

   Memperoleh pikiran demikian, ia berhenti dan memutar tubuhnya, dengan goloknya ia menyongsong serangan Sin Houw, ia kini tidak mau berkelahi setengah hati - baru beberapa gebrakan saja lagi lagi pisaunya Sin Houw kena dipentalkan jatuh ditanah.

   Terus saja ia menendang -sehingga Sin Houw menjadi terguling.

   Setelah itu ia mengayunkan goloknya hendak menghabiskan jiwanya, Cie Lan yang berada dalam kempitannya, melihat ancaman bahaya itu.

   Dengan mati-matian ia menggelendoti lengan penculik itu dan menggigitnya.

   Karena gigitannya, penculik itu kesakitan sehingga berteriak.

   Dan bacokkannya menjadi gagal pula.

   Dan inilah kesempatan yang bagus bagi Sin Houw.

   Anak itu segera membuang diri dengan bergulingan di tanah, lalu kembali merangkak-rangkak memungut pisaunya.

   Tentu saja penculik itu mendongkol bukan main, Dengan penuh dengki ia menjewer telinga Cie Lan, lalu kehilangan serangannya yang tadi kena digagalkan.

   Karena sudah berpengalaman, dengan mudah saja ia dapat melukai Sin Houw.

   Kali ini jidat anak itu yang termakan golok, sehingga mengalirkan darah.

   Menimbang bahwa karena luka itu Sin Houw tidak akan dapat berdaya banyak lagi, penculik itu segera memutar tubuh hendak kabur secepat-cepatnya.

   Akan tetapi Sin Houw benar-benar berani dan bandel, ia melompat dan menubruk kaki si penculik yang terus dipeluknya erat-erat.

   Karena kehilangan pisau dapurnya, ia kini menggunakan ketajaman giginya.

   Meniru Cie Lan, ia menggigit kaki penculik itu sekuat tenaganya.

   Penculik itu berkaing-kaing kesakitan sambil memaki-maki kalang kabut.

   Dengan geram ia mengangkat sebelah ka kinya dan diinjakkan ke kepala Sin Houw, Kemudian menendangnya dengan sekuat tenaga, Dan kena tendangan itu Sin Houw terpental menggabruk tanah.

   Penculik itu sudah terlanjur membencinya, terus saja ia mengejar.

   Dengan golok ditangan ia bermaksud membunuhnya.

   Untunglah pada detik-detik yang sangat berbahaya bagi Thio Sin Houw terdengarlah suara kesiur angin.

   Dan tahu-tahu kepala penculik itu terbentur sebuah benda yang membeletuk.

   Penculik itu terkejut, ia menoleh dan melihat Cin Bun Nio sedang mengayunkan senjata bidiknya yang kedua.

   Ternyata, senjata bidik itu adalah sebutir telur.

   Pantaslah begitu membentur kepalanya menerbitkan suara membeletuk -ia menjadi kuncup hatinya, terus saja meninggalkan Sin Houw dan kabur secepatnya dengan masih mengempit Cie Lan.

   Tentu saja Bun Nio tidak membiarkan penculik itu kabur dengan membawa puterinya.

   ia melepaskan sambaran telurnya yang ketiga.

   Kali ini tepat mengenai mata kiri.

   Penculik itu menjadi gelagapan, Meskipun hanya sebutir telur, akan tetapi timpukan itu cukup keras, sehingga matanya berkunang-kunang, ia jadi gusar, terus saja ia melepaskan Cie Lan, Tangan kirinya mengucak matanya yang terkena pecahan telur, ia maju menyerang dengan golok ditangan kanan.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cin Bun Nio tak bersenjata, ia melayani serangan si penculik dengan kelincahan tubuhnya.

   Dalam pada itu Sin Houw sudah merayap bangun.

   segera ia memungut pisau dapurnya kembali.

   Tanpa memperdulikan luka-lukanya, ia maju menyerang membantu Bun Nio.

   Semangat tempurnya makin lama makin menyala, dan tidak takut segala akibatnya.

   Cie Lan juga tidak tinggal diam.

   Teringat akan pedangnya yang tertinggal dipekarangan rumah tatkala kena gempur penculik itu, segera ia lari mencarinya dan datang kembali dengan membawa pedang itu.

   Karena didesak Sin Houw, penculik itu tak dapat lagi memusatkan serangannya kepada Bun Nio seperti semula, Bun Nio jadi memperoleh kesempatan untuk menerima pedang Cie Lan.

   Dengan pedang ditangan, ia tak ubah seekor harimau tumbuh sayap.

   Namun ia seorang wanita penyabar, tak mau segera turun ke gelanggang menggunakan pedangnya, ia menjumput tiga buah batu dan ditimpukkan, membuat si penculik jadi kerepotan setengah mati, Hampir saja ia ke na tikam pisau dapur Sin Houw.

   Selagi penculik itu terpaksa mundur, Bun Nio berkata dengan suara sabar.

   "Ouw Lo Sam! selagi aku tiada di rumah, mengapa kau hendak menculik anakku? Apakah itu perbuatan seorang lakilaki?"

   Bun Nio tidak memberi kesempatan Ouw Lo Sam menjawab tegurannya, dengan pedang ditangan ia menyerang, Dan Ouw Lo Sam menjadi sibuk tak keruan.

   cepat cepat ia menendang Sin Houw, Bocah itu roboh terguling, kemudian ia melayani serangan Bun Nio dengan sungguhsungguh.

   Bun Nio nampaknya sedang gusar, ia berkelahi dengan hebat.

   setelah melakukan serangan beberapa kali, berhasil dia melukai pundak Ouw Lo Sam.

   Ouw Lo Sam jadi berteriak kesakitan, dan karena kesakitannya itu maka gerakannya jadi lambat.

   Bun Nio tidak sia-siakan kesempatan sebagus itu, terus saja ia mendesak dan menghantam golok Ouw Lo Sam.

   Kena hantamannya, golok itu terlepas dari tangannya, dan buruburu ia melompat sambil berseru.

   "Aku berbuat demikian, semata mata melakukan perintah suamimu. Kau hendak membunuhku, nah bunuhlah! Tetapi aku akan mati penasaran. Apabila aku menjadi setan, akan tetap mencarimu dimana saja kau berada!"

   Sepasang alis Bun Nio berdiri tegak.

   Dengan wajah merah karena marah, pedangnya menikam.

   Ouw Lo Sam agaknya sudah menduga demikian.

   Cepat-cepat ia menjejakkan kakinya dan melesat mundur, kemudian lari tungganglanggang menuruni gunung.

   Bun Nio tidak mengejarnya.

   Dengan menyarungkan pedangnya ia berbalik dan mendekati Cie Lan berdua Sin Houw.

   ia bersyukur karena Cie Lan sama sekali tidak terluka, tetapi Sin Houw mandi darah, cepat-cepat ia membimbingnya pulang.

   Dengan tangannya sendiri ia membersihkan luka-lukanya, dan mengobati dengan bubuk kuning semalam.

   Anak itu ternyata mendapat dua luka, syukur lukanya tidak berbahaya.

   Benar ia mengeluarkan banyak darah, tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya.

   "Kau rebah saja di pembaringan"

   Kata Bun Nio dengan suara terharu. Cie Lan segera menceritakan pengalamannya. Dan mendengar tutur kata puterinya, hati Bun Nio kian terharu. pikirnya didalam hati.

   "Sama sekali tak kusangka bahwa dia berhati mulia. Dia masih begini muda, akan tetapi gagah sekali. Kalau begitu aku harus menolongnya, agar mendapat seorang guru yang tepat untuk menjangkau masa depannya."

   Oleh pikirannya itu, ia berkata kepada Sin Houw.

   "Sin Houw, kau tidur saja baik-baik, sebentar malam kita berangkat."

   Baik Cie Lan maupun Sin Houw heran mendengar perkataan Bun Nio.

   sebenarnya mereka hendak minta keterangan, akan tetapi Bun Nio telah masuk kembali berkemas-kemas.

   ia mempersiapkan dua bungkusan, dan menunggu datangnya petang hari.

   setelah makan petang, bertiga mereka duduk menghadapi lilin, pintu tidak dikuncinya.

   Bun Nio nampaknya seorang wanita gagah yang tidak gentar menghadapi ancaman bahaya apapun.

   Kira-kira menjelang malam hari tiba-tiba terdengarlah langkah kaki memasuki pekarangan rumah.

   Temyata dia adalah Nie Un siang, si bisu yang baik hati, ia nampak angker berwibawa dan langkah kakinya ringan sekali.

   jelaslah bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi.

   Bun Nio menyambut kedatangannya dengan berdiri dari tempat duduknya, ia bicara dengan Un siang dengan menggerakkan kedua tangannya.

   Un siang rupanya mengerti akan isyarat tangan Bun Nio, dia manggutkan kepalanya.

   "Ke mana kau bawa Thio susiok?"

   Tanya Sin Houw minta keterangan.

   "Apakah dia tertolong?"

   Bun Nio segera menterjemahkan pertanyaan Sin How. setelah memperoleh jawaban Bun Nio ewakili Un siang - katanya.

   "Dia dalam keadaan baik. jangan kau mengkhawatirkan. sekarang perkenalkan aku bicara denganmu."

   Bun Nio mengajak Sin Houw masuk ke dalam kamar. Dia duduk diatas ranjang, sedangkan Sin Houw berdiri didepannya.

   "Sin Houw, duduklah disampingku."

   Kata Bun Nio sambil menarik tangan Sin Houw.

   "Begitu aku melihat dirimu, entah apa sebabnya hatiku berkenan sekali. itulah sebabnya kau kupandang tak ubah anak kandungku sendiri. Tadi kau telah berkorban demi Cie Lan, itulah budimu yang pertama kali yang tak akan kulupakan selama hidup. Malam ini kami hendak pergi ke suatu tempat yang jauh sekali, karena itu pergilah kau bersama Nie susiokmu."

   "Oh, jadi subo tidak mengajak aku bersama?"

   Sin Houw heran.

   "Kukira subo tadi bermaksud mengajak aku pergi."

   Bun Nio menarik napas panjang.

   "Sebenarnya tak sampai hatiku untuk berpisah denganmu,"

   Sahutnya.

   "Tetapi aku ingin Un siang membawamu kepada seseorang. Dialah guru dari Thio susiokmu. Baru beberapa bulan saja ia belajar ilmu kepadanya, ternyata dia sudah memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang tiada bandingnya didunia ini, dan aku menghendaki kau berguru kepadanya."

   Mendengar perkataan Bun Nio, Sin Houw terdiam. Hanya hatinya tergerak. Tatkala hendak membuka mulutnya, Bun Nio meneruskan.

   "Seumur hidupnya orang itu hanya mempunyai dua orang murid saja, Hal itu terjadi pada belasan tahun yang lampau. walaupun demikian, sampai kini dia belum mau menerima seorang murid lagi, Kau seorang yang berbakat, hatimu mulia pula, Aku percaya, dia pasti akan menerimamu sebagai muridnya. Un siang itu hanya pelayannya. itulah sebabnya, dengan perantaraannya aku me-ngirimkan kau kepadanya. Kau pergilah dengannya. seumpama orang itu tidak sudi menerimamu sebagai muridnya, Un siang akan membawamu kembali kepadaku. Sampai disitu Sin Houw telah mengambil keputusan, dia memanggut.

   "Bagus!"

   Seru Bun Nio gembira.

   "sebelum bertemu dengan orang itu, baiklah kuberitahukan tentang tabiatnya, ia seorang aneh, seumpama engkau tidak patuh kepadanya, segera ia membencimu sampai tujuh turunan, sebaliknya andaikata kau terlalu menurut, diapun mencelamu habis-habisan. Dan pastilah kau akan dikatakan sebagai seorang anak yang sama sekali tak mempunyai semangat hidup. Maka segala-galanya kini tinggal terserah kepada nasibmu belaka."

   Bun Nio kemudian melepaskan sebuah gelangnya, dan dikenakan pada pergelangan tangan Sin Houw, ia memijitnya sedikit, sehingga gelang itu tidak akan lepas lagi dari pergelangan tangan anak itu.

   "Dikemudian hari apabila kau sudah selesai belajar, kau akan menjadi seorang pemuda yang tinggi besar."

   Kata Bun Nio dengan tersenyum "janganlah kau melupakan aku dan adikmu, Cie Lan."

   "Akh, subo."

   Sahut Sin Houw sungguh-sungguh.

   "Andaikata aku diterima sebagai muridnya, aku mohon dengan sangat, pada waktu senggang hendak lah subo mengajak Lannoay datang menjengukku. Sepasang mata Bun Nio mengalirkan air mata, hatinya terharu. jawabnya.

   "Baik, aku akan selalu teringat kepadamu."

   Bun Nio kemudian menulis sepucuk surat yang kemudian diserahkan kepada Un Siauw, setelah perbekalan selesai disiapkan, segera ia berkata memutuskan.

   "Marilah kita sekarang berangkat."

   Berempat mereka keluar rumah, sesampainya diluar halaman mereka berpisah dalam dua jurusan, masing-masing dengan tujuannya sendiri.

   Cie Lan bersama ibunya mengarah ke timur, sedangkan Un siauw mengajak Sin Houw mengarah ke barat.

   Berat rasa hati Sin Houw berpisah dengan Cie Lan.

   inilah perpisahan yang memilukan untuk yang keenam kalinya.

   Yang pertama tatkala ia berpisah dengan kakek gurunya, yang ke dua dengan siang Gie Coen, yang ketiga dengan ke-empat gurunya.

   Yang ke empat dengan Hong Kiauw, Yang kelima dengan Thio Hian Cong dan yang ke-enam dengan Bun Nio berdua Cie Lan.

   Un siang tahu bahwa Sin Houw mengeluarkan darah banyak ketika menderita luka, karena itu ia memondongnya dan dibawanya lari cepat tanpa perduli jalan pegunungan sempit dan licin.

   Kakinya melesat dengan gesit sekali dan ia melakukan perjalanan pada waktu siang maupun malam.

   Ia baru berhenti beristirahat pada larut malam -tetapi bukannya berhenti ditempat penginapan atau dirumah seseorang, melainkan ditengah-tengah tegalan atau dalam goa.

   Kalau ia memasuki pedusunan atau kota semata-mata hanya untuk membelikan barang makanan bagi Sin Houw, Dia sendiri hanya mengisi perutnya sekenanya saja.

   Seringkali Thio Sin Houw minta keterangan tentang dusundusun yang di laluinya atau ke mana arah tujuannya, tetapi Un siang hanya menjawab dengan menudingkan tangannya kearah depan.

   Setelah tiga hari melakukan perjalanan maka jalan yang di tempuhnya makih lama makin menjadi sulit.

   Pada waktu itu sampailah dia disebuah pinggang gunung terjal.

   jalanan hampir boleh dikatakan tiada.

   untuk maju terus, Un siang menggunakan kedua tangannya merayap atau merangkaki tebing.

   Kadang-kadang ia merambat lewat akar-akar pepohonan.

   pada waktu itu Sin Houw dapat menggunakan kesempatan untuk melongok kebawah, Hatinya ngeri luar biasa, karena dibawah kakinya adalah jurang yang dalamnya entah berapa ratus meter, Tak terasa ia memeluk leher Un siauw erat-erat karena takut terlepas.

   Dalam hatinya ia berdoa panjang dan pendek.

   Betapa Tidak? sekali terperosok mereka berdua bakal jatuh di dalam jurang yang sangat dalam, dan tamatlah riwayat hidupnya! ***** HAMPIR seharian lamanya Un siang memanjat dan merangkaki tebing tebing terjal, dan menjelang petang hari sampailah mereka disebuah puncak gunung yang tinggi.

   Sin Houw diturunkan di atas batu, waktu itu luka-lukanya sudah menjadi kering, hanya diatas alisnya masih tertinggal luka kecil.

   Karena itu gerakan kaki dan lengannya tak terhalang lagi, Begitu berdiri di atas batu, segera ia melayangkan penglihatannya.

   Didepannya tergelar sebidang tanah lebar dengan dipagari hutan hutan cemara yang tinggi-tinggi, Kesannya sangat indah dan menyenangkan.

   Setelah beristirahat sejenak, Un siang memondongnya lagi, Kemudian melanjutkan perjalanan.

   Hanya sekali ini ia tidak berlari-lari lagi seperti semula.

   setelah melewati enam rumah batu, ia tersenyum gembira.

   Kesannya seperti seorang perantau yang melihat kampung halamannya kembali.

   Di depan sebuah rumah batu, Un siang membimbing Sin Houw masuk ke dalam pekarangannya.

   Lantai rumah batu itu kotor dan banyak kayu-kayu yang malang melintang, itulah suatu tanda bahwa rumah itu lama tiada penghuninya.

   Segera Un siang menyapunya, sekarang rumah batu itu nampak rapi dan menyenangkan.

   Terus saja sia menyalakan api dan memasak air serta nasi.

   Puncak gunung itu tinggi.

   perjalanannya sangat sukar pula.

   Entah bagaimana caranya Un Siang dapat menyediakan beras dan lauk-pauk yang dibutuhkan, Sin Houw cerdas, tetapi tak mampu menjawab pertanyaan itu.

   Tiga hari tiga malam lamanya Sin Houw berada dalam rumah batu itu dengan Un siang.

   Bagi Sin Houw hal itu merupakan suatu siksaan sendiri karena Un siang tak dapat diajak berbicara, Setelah menjelang hari keempat ia jadi gelisah.

   Dengan gerakan tangannya, ia mencoba berbicara dengan Un siang.

   ia mencoba minta keterangan kepadanya kapan kiranya datang sang guru yang di janjikan.

   Un siang agaknya mengerti pertanyaan Sin Houw, Dia menunjuk ke bawah gunung.

   Mengira bahwa guru yang dijanjikan itu berada dibawah gunung, Sin Houw segera mengajak.

   "Mari kita turun saja!"

   Akan tetapi Un siang menggelengkan kepalanya, maka terpaksalah Sin Houw berdiam saja, Hatinya sangat masgul, hal itu disebabkan karena ia merasa kesepian.

   Kalau saja dia bisa mengajak Un siang bicara, hatinya agak terhibur meskipun berada ditempat yang sunyi.

   Pada suatu malam ia menjadi terkejut ketika tersadar dari tidurnya.

   Didepan matanya berkelebat cahaya terang, segera ia menggeliat dan duduk di tepi pembaringan.

   Di depannya berdiri seorang tua membawa lilin menyala, orang tua itu berseri-seri wajahnya, tanda hatinya girang.

   Dasar otaknya cerdas, Sin Houw cepat-cepat turun dari pembaringan.

   lantas saja bersimpuh dihadapannya sambil berkata.

   "Suhu! Akhirnya suhu datang juga."

   Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, sahutnya.

   "Eh, siapa yang mengijinkan kau memanggilku sebagai suhu? Bagaimana kau bisa yakin bahwa aku akan menerimamu sebagai murid?"

   Sin Houw girang bukan kepalang. oleh perkataan orang tua itu, jelaslah sudah bahwa dia bakal diterima sebagai murid, segera ia menjawab.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Subo yang mengajari aku."

   "Hm!"

   Orang tua itu mengeluh.

   "Artinya dia menambahi kesulitan lagi kepadaku."

   Setelah menggerutu demikian, tibatiba ia tersenyum. Katanya.

   "Baiklah, mengingat mendiang ayahmu, aku bersedia menerimamu sebagai murid."

   Bukan kepalang girang Sin Houw, Terus saja ia bersembah beberapa kali, tetapi orang tua itu mencegahnya. Katanya.

   "Cukupl cukup! sampai besok saja."

   Pada keesokan harinya, sebelum terang tanah Sin Houw sudah bangun dari tidurnya.

   segera ia mencari Un siang.

   Dan melihat kedatangannya, Un siang girang bukan kepalang.

   untuk menyatakan kegirangannya yang meluap-luap, ia mengangkat tubuh Sin Houw dan dilemparkan tinggi-tinggi di udara dan menanggapi dengan tangannya.

   Empat lima kali ia berbuat demikian, sehingga Sin Houw terapung-apung di udara.

   Sin Houw tahu bahwa Un siang ikut bergirang hati, karena dirinya diterima menjadi murid.

   Lantas saja ia tertawa.

   Guru besar itu segera keluar dari kamarnya, begitu mendengar suara tertawa riuh.

   menyaksikan perbuatan si bisu, ia menghampiri.

   Berkata kepada Sin Houw.

   "Bagus! Kau masih begini muda, tetapi kau mengarti berbagai perbuatan mulia dan gagah. Kau telah menolong seorang perempuan. sebelum kau mengenal namaku, coba perlihatkan kepadaku, kepandaian apa yang telah kau miliki."

   Thio Sin Houw menundukkan kepalanya, wajahnya merah karena malu, ia segan memperlihatkan ilmu kepandaiannya dihadapan orang tua itu.

   "Jika kau tidak sudi memperlihatkan ilmu kepandaianmu, bagaimana aku bisa mengajari dirimu?"

   Kata orang tua itu sambil tertawa. Sekarang barulah Sin Houw mengarti maksud orang tua itu, terus saja menyahut.

   "Baiklah, suhu."

   Setelah berkata demikian, ia mulai memperlihatkan ilmu sakti Hok-houw ciang yang diperolehnya dari ke gurunya dan dari Thio Hian Cong, Orang tua itu mengawasi dengan pandang berseri-seri, dia menunggu sampai Sin Houw selesai dengan jurus yang terakhir, kemudian barulah dia tertawa.

   Katanya.

   "Pantas saja Hian Cong selalu memuji kecerdasanmu.

   Mulanya aku tidak percaya."

   Katanya.

   "Dia baru mengajarkan jurus-jurus Hok-houw ciang baru beberapa hari saja kepadamu, nyatanya kau bisa melakukan begini rupa. Bagus!"

   Mendengar disebutnya nama gurunya - Thio Hian Cong, maka Sin Houw tergerak hatinya, sebenarnya ingin segera ia memperoleh keterangan tentang gurunya, tetapi karena orang tua itu masih berbicara tak berani ia memutus.

   "Sekarang, bolehlah kau mengenal namaku."

   Kata orang tua itu. Sin Houw masih diam mendengarkan tanpa berani mengucap apa-apa, meskipun gurunya menunda bicara, ia membiarkan sampai gurunya yang menyambung bicara.

   "Aku adalah she Bok, Dikalangan Rimba persilatan, orangorang menyebut aku sebagai Pat-jin Sin-wan, Kau harus camkan baik-baik, Lain kali apabila ada orang menanyakan nama gurumu kau harus menjawab tidak tahu!"

   Sin Houw membungkuk hormat, kemudian dia minta keterangan.

   "Suhu tadi menyebut nama Thio susiok, dimanakah dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja?"

   Orang tua itu mengerinyitkan dahinya, Biasanya hatinya tidak senang apabila seseorang mengalihkan pembicaraan dengan tidak mendapat persetujuannya, Akan tetapi mengingat anak itu sangat memikirkan keselamatan gurunya, diam-diam ia menaruh perhatian.

   pikirnya didalam hati.

   "Benar, dia seorang anak yang mulia hatinya. Sama sekali ia tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Yang ditanyakan adalah keadaan gurunya dahulu,". Kemudian ia menjawab.

   "la tak kurang suatu apa. ia sudah kembali kepada pasukannya, kini berada bersama-sama dengan Thio Su Seng."

   Thio Sin Houw girang bukan main, Hanya saja hatinya menyesal karena tak dapat bertemu lagi dengan gurunya itu, yang telah mewariskan ilmu sakti Hok-houw ciang kepadanya.

   "Baiklah,"

   Kata orang tua itu.

   "Karena kau sudah mengenal namaku, dan akupun telah menerimamu sebagai murid, marilah kita melakukan upacara di dalam."

   Apa yang dinamakan upacara, bukanlah semacam upacara sembahyang. Tetapi orang tua itu hanya mengeluarkan selembar kertas lukisan seorang ksatria beroman alim dan agung. sambil menyulut lilin ia berkata.

   "Inilah gambar Cie Couw Suya, ia pendiri dari golongan Hoa-san pay. Hayolah, kau sekarang berlutut dan menjalankan penghormatan!"

   Thio Sin Houw segera bersimpuh di hadapan gambar itu. ia bersembah berulangkali tiada hentinya, sehingga membuat orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Katanya.

   "Sudahlah, cukup!"

   Masih saja ia tertawa atau tiba-tiba Sin Houw berlutut kepadanya sambil berkata.

   "Suhu!"

   Mau tak mau orang tua itu atau Pat-jiu Sin-wan Bok Jin Ceng menerima sembah calon muridnya itu. Katanya.

   "Mulai saat ini kau adalah muridku yang syah, sebelum kau tiba di sini, aku mempunyai dua orang murid. Dengan demikian kau adalah muridku yang ke tiga. Terpautmu sangat jauh dengan ke dua kakak seperguruanmu itu. Hal itu disebabkan karena belasan tahun lamanya aku belum menemukan calon murid yang berbakat seperti kau, Kini sudah kuputuskan bahwa kau menjadi murid penutup, karena itu kau harus belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari kau bisa menjaga martabat perguruanmu. Thio Sin Houw manggut berulangkali, janjinya.

   "Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan kehendak suhu, dan mudah-mudahan Tuhan mengabulkan pula kepadaku untuk bisa menjunjung tinggi martabat perguruan suhu."

   Pat-jiu Sin-wan Bok Jin Ceng adalah rekan sejaman dengan Tie-kong Tianglo, ia malang-melintang dua puluh tahun lamanya tanpa tandingan.

   Karena tak senang menjual lagak, namanya tak begitu tersohor, ia tidak memperdulikan hal itu, dia malahan menjadi seorang pendekap yang senang hidup menyendiri.

   Tetapi terhadap Sin Houw tiba-tiba timbullah rasa ibanya.

   Anak itu yatim piatu, pantaslah dia harus dikasihani.

   Demikianlah pikirnya didalam hati, sebagai seorang pendekar besar, sudah tentu ia mendengar berita tentang kegagahan Thio Kim San.

   ia kagum dan menghargai ayahnya Sin Houw itu.

   Anak itupun berbakat bagus dan berotak cerdas, serta tabiatnya mulia pula, oleh pertimbangan-pertimbangan itulah, mendadak saja lenyaplah tabiat anehnya.

   ia tidak hanya menerima Sin Houw sebagai muridnya saja, akan tetapi bersedia bersenda gurau pula.

   "Kedua kakak seperguruanmu berusia jauh lebih tua dari padamu. umurnya kini barangkali tigapuluh lima tahun lebih."

   Kata Bok Jin Ceng.

   "Malahan murid mereka ada diantaranya yang telah berusia lebih tua dari padamu, maka bisa kejadian mereka akan menyesali aku lantaran aku menerima seorang murid begini muda. Celakanya lagi, apa bila kau tidak berhasil. Umpama kata kau kalah ketika diadu dengan murid-murid mereka, kedua kakak seperguruanmu pasti akan mencela aku!"

   "Suhu, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh."

   Kata Sin Houw dengan semangat menyala. Kemudian mengalihkan pembicaraan.

   "Apakah Thio susiok murid suhu juga?"

   "Dia hendak ikut Thio Su Seng berperang,"

   Jawab Bok Jin Ceng.

   "Tiada waktunya untuk belajar lama-lama kepadaku, sehingga aku hanya mengajari ilmu pukulan Hok-houw ciang saja, Karena itu tak dapat dia disebut sebagai muridku."

   Ia berhenti sebentar memalingkan pandangnya, sambil menuding ke pada Un siang, ia meneruskan.

   "Lihat pulalah dia. setiap kali kita berlatih, dia ikut menyaksikan. Diam-diam ia menyimpannya didalam ingatannya. Apa yang di ingatnya bukan sedikit, walaupun demikian apabila dibanding dengan kedua muridnya, bedanya seperti bumi dan langit!"

   Mendengar perkataan Bok Jin Ceng, maka Thio Sin Houw tercengang oleh rasa kagum, Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa perkasa si bisu itu.

   Kepandaiannya tinggi, meskipun demikian dia hanya seorang pelayan yang dapat memiliki ilmu kepandaiannya itu dengan cara mencuri pandang saja.

   Gurunya sendiri, Thio Hian Cong, hanya memperoleh ilmu pukulan Hok-houw ciang - meskipun demikian gurunya itu seorang pendekar tangguh dan gagah sekali.

   Jika ilmu kepandaian mereka berdua hanya dikatakan sebagai satu kepandaian sambil lalu saja, maka betapa tinggi ilmu sakti Bok Jin Ceng, sudah dapat dibayangkan.

   Diam-diam ia berpikir didalam hati.

   "Jika aku belajar dengan sungguh-sungguh, meskipun tidak dapat menjajari kedua kakak seperguruanku, setidaktidaknya aku akan bisa memiliki kepandaian setaraf dengan Nie susiok. Kurasa itupun sudah cukup untuk kubuat bekal membalas dendam kematian ayah dan ibuku,"

   Oleh pikiran itu, ia menjadi girang sekali.

   "Rumah perguruan kita ini adalah dari golongan Hoa-san pay,"

   Kata Bok Jin Ceng meneruskan keterangannya.

   "Kami kaum Hoa-san pay mempunyai peraturan yang keras, serta ada pula pantangannya. Yakni pantang berbuat cabul, pantang melakukan kejahatan, pantang menjadi kaki-tangan bangsa asing atau musuh negaxa. pantang melakukan pekerjaan sebagai seorang piauwsu atau pengantar barang kiriman dan lain-lainnya, Dikemudian hari akan kujelaskan lebih lanjut lagi. sekarang, camkan segala pesanku ke dalam perbendaharaan hatimu. Yang pertama, kau harus patuh kepada perkataan gurumu! Dan yang kedua, jangan melakukan hal-hal yang tercela."

   "Pasti aku akan patuh kepada setiap perkataan suhu, dan aku berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang buruk."

   Kata Sin Houw dengan suara berkobar-kobar. Bok Jin Ceng girang mendengar Sin Houw memberikan janjinya, serunya.

   "Bagus, anakku! sekarang, marilah kita mulai berlatih! Thio Hian Cong mengajari ilmu pukulan Hok-houw ciang dengan selintasan saja. sebenarnya ilmu pukulan yang diajarkan kepadamu itu serupa dengan seseorang yang menyekat jalan panjang. Apabila kau tidak mulai dari ujungnya atau tidak kau selami dari titik pangkalnya, dikemudian hari kau tidak akan memperoleh kesempurnaan. Karena itu, kini aku akan mengajakmu dengan ilmu Tiang-kun sip- toan kim."

   "Dulu pernah aku memperoleh pelajaran ilmu itu dari suhu Ouw Sam Ciu!"

   Seru Sin Houw heran.

   "Ch, begitu? Umpama kata benar demikian, kukira belum berarti."

   Kata Bok Jin Ceng.

   "Apakah kau sudah merasa dapat mempergunakan ilmu Tiang-kun Sip toan kim? jika merasa begitu, kau keliru sekali. Sebab, jika kau sudah mahir memainkan ilmu Tiang-kun Sip- toan kim, hanya beberapa orang saja yang dapat mengalahkanmu ..."

   Thio Sin Houw tercengang, ia percaya keterangan gurunya itu, sehingga ia tak berani lagi membuka mulut.

   "Apakah kau kurang yakin?"

   Tanya Bok Jin Ceng.

   "Coba, kau lihatlah. setelah itu kau tirukan!"

   Setelah berkata demikian, Bok Jin Ceng lantas memberi contoh jurus-jurus ilmu Tiangkun sip-toan kim.

   Dan Sin Houw dengan penuh perhatian mengikuti setiap gerakan Bok Jin Ceng, semuanya mirip.

   Sama sekali tiada bedanya dengan ajaran dari Ouw Sam Ciu.

   ia jadi heran dan tidak mengerti, apakah kehebatannya ilmu itu? sedang Sin Houw sibuk berpikir pulang balik, Bok Jin Ceng menegur.

   "Apakah kau mengira aku membohongimu? Mari, kau coba. Kau seranglah aku! Apabila kau bisa menyentuh ujung bajuku saja, anggaplah kau sudah mahir."

   Tentu saja Thio Sin Houw tak berani menyerang gurunya, ia hanya ber-senyum saja, Dan sama sekali tak bergerak dari tempatnya.

   "Hayo, maju! Aku sudah mengajakmu salah satu jurus ilmu Tiang-kun Sip toan kim."

   Mendengar bahwa gurunya mulai hendak memberikan pelajaran, Thio Sin Houw lantas saja melompat masuk ke dalam gelanggang.

   Dengan serta merta ia menyambar baju gurunya yang berpakaian seperti pendeta.

   Menurut perasaannya, ia bakal berhasil menyentuhnya.

   Alangkah herannya, setiap kali tangannya nyaris menyentuh ujung baju, mendadak saja ujung baju itu mundur sendiri.

   ia lantas melompat menerkam, tetapi justru demikian, ia kehilangan pengamatan - tiba-tiba saja gurunya lenyap dari depannya.

   "Aku disini!"

   Seru gurunya sambil tertawa, tangannya menerkam pundaknya.

   Ternyata ia berada dibelakang punggungnya.

   Sin Houw mengasah otaknya, dan cepat-cepat ia memutar tubuhnya.

   Kemudian dengan berjumpalitan ia menghampiri.

   Gerakannya gesit sekali, kedua tangannya dipentang untuk memeluk.

   Tetapi ia hanya memeluk udara kosong melompong, sama sekali tubuh gurunya tak dapat disentuhnya.

   Dan apabila ia berpaling, gurunya telah berada kira-kira sepuluh langkah dibelakang punggungnya.

   Thio Sin Houw jadi penasaran.

   ia melompat sekali lagi dengan gesit.

   Tapi langsung kedepan, Dan pada saat itu, tibatiba mengebaskan lengan bajunya, dan tubuhnya ikut melesat.

   Dengan begitu ia menghindarkan terkaman Sin Houw, sehingga anak itu hanya menangkap angin.

   Sekalipun begitu Thio Sin Houw tidak menjadi putus asa.

   Lantaran mendongkol, ia malahan jadi bersemangat.

   Kini ia tertawa gembira.

   ia mengejar, membiluk dan mengikuti gerakan gurunya, tiba-tiba ia melihat si bisu menggerakkan tangannya diluar gelanggang.

   Diam-diam ia memperhatikan, dan mendadak saja hatinya tergerak.

   Katanya didalam hati.

   "Nie susiok memerintahkan aku meniru gerakan guru, melakukan ilmu sakti Tiang-kun Sip-toan kim, Mengapa bisa begitu gesit?"

   Ia masih mengubar selintasan, kemudian dengan perlahan-lahan ia mulai memperhatikan gerak-gerik gurunya.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karena otaknya cerdas luar biasa, sebentar saja ia telah dapat memahami semua gerakannya.

   setelah merasa diri dapat menirukan, segera ia mencontoh gerakan gurunya.

   Lantas saja kegesitannya bertambah beberapa kali lipat.

   Bok Jin ceng yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik muridnya, diam-diam manggut-manggut, pikirnya didalam hati.

   "Anak ini benar-benar cerdas, ia mengerti apa yang kukehendaki."

   Thio Sin Houw memperhebat pengejarannya, karena kini bisa bergerak lebih lincah dan gesit.

   Akan tetapi gerakan gurunya pun bertambah gesit lagi, sehingga usahanya untuk menangkap atau menyentuh ujung baju gurunya menjadi siasia belaka.

   Tetapi si bisu yang berada diluar gelanggang bergembira karena mereka berdua bergerak bagaikan bayangan saja.

   Beberapa saat kemudian, mendadak saja Bok Jin Ceng melompat keluar gelanggang, kemudian berbalik menerkam muridnya dan diangkatnya tinggi tinggi diudara.

   serunya sambil tertawa.

   "Murid yang baik! Murid yang baik ...! Kau seorang anak manis sekali !"

   "Suhu!"

   Seru muridnya pula yang menjadi girang luar biasa- "Barulah sekarang aku menyadari bahwa ilmu itu tidak boleh dibuat gegabah."

   "Bagus, anakku. cukup sudah untuk hari ini."

   Tegas gurunya. ia menurunkan tubuh Sin Houw sambil berkata lagi.

   "Sekarang, kau ulangi lagi."

   Thio Sin Houw segera mengulangi jurus-jurus ilmu sakti tiang-kun sip toan kinu setelah memperhatikan gerak-gerik Thio Sin Houw beberapa kali, Bok, Jin Ceng kemudian masuk ke dalam kamarnya.

   Tetapi Thio Sin Houw tak sudi beristirahat ia berlatih terus sampai belasan kali, sehingga makin lama makin mengerti faedahnya ilmu sakti Tiang kun Sip-toan kim.

   Ternyata ilmu itu.

   berpokok pada kegesitan dan kecepatan.

   Kesadaran ini membuat hatinya bertambah girang, ia begitu girang sampai tak dapat tidur nyenyak pada malam harinya.

   Jurus-jurusnya berkelebatan di dalam benaknya, sehingga dalam mimpinya ia sedang berlatih dengan giat.

   Pada esok harinya, tatkala fajar hari baru saja menjenguk dilangit timur, Thio Sin Houw sudah bangun dari tidurnya, Terus saja ia melompat dari pembaringannya, dan berlatih mengulangi jurus-jurusnya semalam, ia takut lupa, maka dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian ia berlatih seorang diri, selagi tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba ia mendengar batuk gurunya dibelakang punggungnya.

   segera ia berputar dan berseru girang.

   "Suhu!"

   Bok Jin Ceng tertawa lebar. sahutnya.

   "Kau telah paham dan mengarti dengan cepat sekali. Bagus, anakku. Tetapi sebenarnya, kau baru mengarti bagian atas, Bagian bawahnya belum. Karena bagian bawahmu masih kosong, maka apabila kau menghadapi seorang lawan tangguh, kau bakal celaka. Beginilah seharusnya..."

   Setelah berkata demikian, Bok Jin Ceng lalu menurunkan ilmu sakti Tiang-kun Sip-toan kim bagian bawah. Serunya.

   "Sekarang, hayo. Kau tirukan!"

   Thio Sin Houw segera menirukan gerakan gurunya.

   Berkat kecerdasan otaknya, ia dapat mengarti dengan cepat sekali.

   Dengan penuh tekun ia menyelami dan mendalami sehingga dalam waktu satu hari saja, pengertiannya bertambah pesat.

   Selanjutnya sejak hari itu tak pernah Thio Sin Houw mengabaikan ajaran gurunya, walaupun sesaat saja.

   Tak terasa tiga tahun telah lewat dan usia Sin Houw kini telah mencapai tujuh belas tahun.

   Bisa racun yang mengeram didalam tubuhnya sekali-kali terasa lagi, akan tetapi berkat obat pemunah buatan Lie Hong Kiauw, dapatlah ia mengatasi.

   Malahan tubuhnya kini menjadi kuat sekali.

   ia tumbuh menjadi seorang yang tegap dan gesit gerak geriknya.

   Seperti biasanya, Bok Jin Ceng pada waktu-waktu tertentu turun gunung selama dua atau tiga bulan.

   setiap kali bepergian, selalu ia mengajari berbagai ilmu sakti.

   Apabila pulang ia lantas meniliknya, setelah merasa puas, ia memberikan tambahan lagi.

   Demikianlah, hatinya puas karena memperoleh seorang murid yang rajin sekali dan berotak cerdas luar biasa.

   Pada suatu hari Bok Jin Ceng mengeluarkan sebuah lukisan.

   ia memberi hormat kepada lukisan itu, lalu memerintahkan pula kepada Thio Sin Houw agar berbuat yang sama.

   Kemudian berkatalah dia dengan suara terang.

   "Sin Houw, masih ingatkah siapa gambar ini? Beliau adalah mendiang kakek guruku, namanya Cie Couw Suya, pendiri rumah perguruan Hoa-san pay ini, Dan tahulah kau apa sebab pada hari ini kau kuperintahkan memberi hormat kepada cikai bakal Hoa-san pay?"

   Thio Sin Houw menggelengkan kepala .

   Bok Jin Ceng kemudian masuk ke dalam kamarnya, ia keluar lagi membawa sebuah peti kayu berukuran panjang, Peti itu diletakkan diatas meja.

   Apabila tutupnya terbuka, berkeredeplah suatu sinar gemerlapan, sinar itu begitu menyilaukan mata, Thio Sin Houw menjenguknya, dan ia kaget tatkala melihat sebatang pedang yang panjangnya hampir satu meter.

   "Apakah suhu bermaksud hendak mengajariku ilmu pedang?"

   Ia menegas dengan suara gemetar. Bok Jin Ceng manggut, ia mengeluarkan pedang tajam itu, dan memberi perintah dengan suara angker.

   "Kau berlututlah! Dan dengarlah perkataanku!"

   Hati Thio Sin Houw tergetar, Selama tiga tahun menjadi murid, baru pada hari itu ia mendengar gurunya bersikap angker dengan mendadak. Keruan saja ia lantas berlutut dihadapannya.

   "Pedang, adalah raja dari berbagai ratusan macam senjata."

   Bok Jih Ceng mulai.

   "Tetapi pedang merupakan senjata yang paling sukar diajarkan dan dipelajari. Tetapi kau berotak sangat cerdas, dan hatimu keras pula. Aku yakin, bahwa kau sanggup mempelajarinya. ilmu pedang Hoa-san pay, sudah beralih tiga kali ditangan ahli warisnya, syukur makin lama ilmu pedang Hoa-san pay makin memperoleh kemajuan. Pada umumnya, seorang guru biasanya merahasiakan satu ilmu pukulan yang menentukan terhadap ahli warisnya, untuk berjaga-jaga diri. Dengan demikian ahli waris yang di kemudian hari melahirkan angkatan-angkatan barunya, makin lama makin bertambah kurang kepandaiannya. Syukurlah kita tidak memilih jalan demikian. Kita tidak perlu berjaga-jaga menghadapi murid murtad, asal saja sebelum kita menerima murid, harus mengkajinya benar-benar, setelah memperoleh seorang murid yang tiada celanya, semua rahasia ilmu warisan Hoa-san pay harus diwariskan dengan sepenuhnya. Bahkan dianjurkan agar setiap ahliwaris pedang ini, di kemudian hari harus dapat menambahkan dan melengkapkan ilmu-ilmu sakti yang sudah diwarisinya, Dengan demikian, pada tiga ratus atau empat ratus tahun kemudian, apabila ahli waris Hoa-san pay melahirkan zaman baru, jadi bertambah maju, ilmu pedang kita memang sulit untuk di pelajari, tetapi apabila kau sudah memahami, di dunia ini tiada tandingnya. Mulai pada hari ini, aku hendak mengajarimu ilmu pedang, Akan tetapi kau harus bersumpah terlebih dahulu, bahwa kau tidak akan membunuh seseorang yang tidak berdosa atau bersalah!"

   Sambil berlutut Sin Houw menyahut.

   "Pada hari ini, suhu hendak mewariskan ilmu pedang kepadaku, Apabila dibelakang hari aku membunuh seseorang yang sama sekali tidak bersalah atau berdosa, biarlah aku terbunuh pula oleh seseorang."

   "Bagus!"

   Seru gurunya.

   "Nah, bangunlah !"

   Thio Sin Houw bangun dan berdiri dengan tegak. Kata gurunya lagi.

   "Aku tahu kau berhati mulia, tidak bakal kau membunuh seseorang tanpa alasan tertentu, Hanya saja masalah dunia ini sangat rumit, Benar dan salah sukar dibuktikan, hanya tulen dan palsu lambat-laun akan kau ketahui juga. Karena itu mulai saat ini kau harus belajar bisa membedakan antara yang benar dan yang palsu. Asal hatimu jujur, bersih dan penuh cinta kasih pada setiap insan, aku percaya di kemudian hari kau tidak akan main bunuh terhadap seseorang yang sama sekali tidak bersalah atau berdosa. Karenanya kau ingatingatlah pesanku tadi, jujur - bersih dan cinta kasih! Thio Sin Houw memanggut.

   "Sekarang, kau lihatlah!"

   Akhirnya Bok Jin Ceng mengakhiri perkataannya.

   Dengan sebat ia memegang hulu pedang dengan tangan kanannya.

   Kemudian tangan kirinya diletakkan diatas bagan pedang itu, dan mulailah ia melakukan jurus-jurus ilmu pedang Hoa-san pay.

   pedang yang bergemerlapan itu lantas saja mengeluarkan sinar berkilauan.

   ***** SUDAH tiga tahun Thio Sin Houw berguru kepada Bok Jin Ceng, Baik pendengaran maupun penglihatannya jauh melebihi Thio Hian Cong dan guru-gurunya yang lampau.

   walaupun demikian, ia tak dapat mengikuti gerakan pedang Bok Jin Ceng yang cepat luar biasa dan yang tertangkap oleh penglihatannya hanya berkelebatnya sinar berkilauan di depan hidungnya.

   Dan pedang itu terasa menyilaukan kedua matanya.

   Tahu-tahu kesiur angin tajam lewat didepan hidungnya, dan pedang itu tertancap bergetaran pada batang pohon yang berada didepan pertapaan, itulah tenaga lemparan yang luar biasa dahsyatnya.

   Sin Houw kagum sampai terpukau mengawasi.

   "Bagus!"

   Seru seseorang yang berada dibelakang punggung Sin Houw.

   Thio Sin Houw kaget sampai berjingkrak.

   selama tiga tahun berada di atas gunung, tiada suara lain yang di dengarnya kecuali suara gurunya dan si gagu, sekarang dengan mendadak saja ia mendengar suara asing bagi pendengarannya.

   Dan suara itu tiba-tiba saja muncul dibelakang punggungnya, Keruan saja ia kaget dan heran.

   cepat ia berpaling, dan didepan matanya berdiri seorang laki-laki mengenakan pakaian pendeta.

   Laki-laki itu berkumis jembros dan berjenggot sejadi-jadinya, seperti rambutnya, kumis dan jenggotnya sudah putih semua.

   Dengan kedua matanya yang bulat bundar, ia tersenyum berseri-seri.

   Kedua tangannya di gendongnya dibelakang punggung, sehingga sikapnya mirip seorang majikan besar.

   Pendeta itu berjubah putih.

   setelah memuji Bok Jin Ceng, ia berkata.

   "Barangkali, sepuluh tahun lebih aku tidak melihat kau menggunakan pedangmu, sama sekali tak kusangka kau telah memperoleh kemajuan demikian rupa !"

   Bok Jin Ceng tertawa lebar. sahutnya.

   "To-heng! Malaikat mana yang telah membawamu sampai kemari ? Eh, Sin Houw! cepat kau berlutut kepada beliau ini."

   Thio Sin Houw segera menghampiri pendeta itu, Bok siang Tojin, Dan kemudian berlutut dihadapannya. Tetapi cepatcepat Bok siang Tojin mencegah, ia membangunkan Sin Houw seraya menolak .

   "Jangan, jangan! jangan begitu. Aku bukan raja atau keturunan malaikat ..."

   Ia berkata dengan tertawa lebar sambil membungkuk hendak membangunkan Sin Houw.

   Akan tetapi Sin Houw tidak membiarkan dirinya kena diangkat.

   sebagai biasanya, seseorang yang mengetahui tentang ilmu sakti, secara wajar ia lantas mengerahkan tenaga dalamnya itu sebabnya, tidak mudah Bok siang Tojin mencegah pemberian hormatnya.

   Dan orang tua itupun hanya hendak mencobanya.

   "Lauw-bok!"

   Kata Bok siang tojin kemudian.

   "Telah sepuluh tahun lamanya tak pernah aku bertemu denganmu. Tak tahunya, kau mengeram disini untuk mendidik muridmu, inilah suatu karunia besar bagimu. pada saat kau menjangkau hari akhirmu, masih bisa kau memperoleh seorang murid berbadan bagus sekali."

   Bok Jin Ceng girang atas pujian Bok-siang Tojin. Dengan sahabatnya itu seringkali ia bersenda gurau. serunya senang.

   "To-heng! Kau seorang pendekar berkepandaian tinggi. Kalau aku memperoleh karunia Tuhan, pastilah kau akan memperolehnya pula, soalnya kini, tinggal menunggu waktu saja!"

   "Nah, nahl Kau pandai pula berkhotbah!"

   Kata Bok-siang Tojin sambil tertawa.

   "Sayang, pada hari ini sama sekali aku tak beruang, Dengan cuma-cuma sajar kuterima sembah muridmu ini, Apa yang harus kubayarkan?"

   Mendengar perkataan Bok-siang Tojin, hati Bok Jin Ceng tergerak.

   Teringatlah dia bahwa Bok-siang Tojin memiliki ilmu kepandaian luar biasa tingginya.

   Alangkah baiknya, seumpama dia sudi mewariskan salah satu dari ilmu kepandaiannya itu kepada Sin Houw, hanya saja, selama hidupnya tak sudi ia menerima murid ...

   Dengan ingatan demikian, Bok Jin Ceng berkata kepada Sin Houw.

   "Sin Houw! Totiang telah berjanji kepadamu hendak memberikan hadiah. Hayo, cepat-cepat lah kau berlutut menghaturkan terima kasih!"

   Thio Sin Houw benar-benar pemuda cerdik, segera ia mengerti maksud gurunya. Maka cepat-cepat ia berlutut sambil mengucapkan terima kasih. Bok-siang Tojin tertawa terbahak-bahak. Katanya.

   "Bagus! Tetapi, untuk dapat menjadi manusia kau harus berhati jujur dan polos! jangan kau mencontoh pekerti gurumu yang tebal kulit mukanya. Betapa tidak? Begitu mendengar aku hendak memberikan sesuatu, belum-belum ia sudah memaksamu menghaturkan terima kasih. Tetapi, tak apalah! Pada hari ini hatiku sangat gembira. Biarlah aku memberimu sebuah kenang-kenangan."

   Setelah berkata demikian, ia meraba jubahnya lalu mengeluarkan sebungkus kain, apabila Thio Sin Houw membukanya, ternyata gumpalan kain itu merupakan baju berwarna hitam mirip seperti kaos, Bahannya seperti dari kulit, akan tetapi mengkilat seperti sutera .

   Selama hidupnya, baru pada hari itulah Sin Houw melihat baju berbahan demikian.

   Tentu saja ia menjadi terharu hatinya, tatkala ia menerima hadiah yang tak pernah dimimpikannya.

   "To-heng, jangan kau bergurau..."

   Kata Bok Jin Ceng.

   "Bagaimana kau menyerahkan baju mustika itu kepada anak ini? Bok-siang Tojin yang di kalangan Rimba persilatan terkenal dengan gelar Kwi-eng cu (Bayangan Iblis) tidak menggubris. sebaliknya, mendengar ucapan gurunya, Sin Houw menjadi terkesiap. Jadi, pikirnya didalam hati. Ba ju mirip kaos itu sebuah baju mustika? Cepat-cepat ia mengangsurkannya kembali kepada Bok

   KANG ZUSI WEBSITE
http.//cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )*** siang Tojin, tetapi orang tua itu menolak, Katanya.

   "Aku tidak sekikir gurumu. Kalau aku sudah memberikan sesuatu kepada seseorang, tidak akan kutarik kembali. Nah, ambillah!"

   Masih saja Thio Sin Houw tak berani menerima pemberian hadiah itu, ia berpaling kepada gurunya.

   "Jikalau begitu kehendakmu, baiklah ! Nah, Sin Houw! Kau terimalah hadiah itu, Dan berlututlah menghaturkan terima kasihmu."

   Thio Sin Houw menurut. ia berlutut sekali lagi sambil menghaturkan terima kasih. Lalu dengan wajah sungguh sungguh, Bok Jin Ceng berkata kepadanya.

   "Sin Houw! Sesungguhnya, inilah sebuah baju mustika yang tiada taranya, konon kabarnya, baju ini dahulu To-tiang mendapatkannya dengan mengeluarkan keringat dan darah. sekarang kau pakailah!"

   Kali inipun Sin Houw menurut. Segera ia mengenakan baju mustika itu. Dan sambil berjalan, Bok Jin Ceng menghampiri pohon untuk mencabut pedangnya, katanya.

   "Baju mustika itu sejak dahulu kebal terhadap semua senjata tajam."

   Diluar dugaan, setelah berkata demikian dan secara tibatiba ia menyabetkan pedangnya ke pundak Sin Houw.

   Keruan saja pemuda itu kaget bukan kepalang, ingin ia mengelakkan diri, tetapi sudah terlambat, Dalam hal kegesitan tubuh, Sin Houw masih kalah terlampau jauh dari pada gurunya.

   Satu-satunya jalan yang dapat di lakukan, hanyalah melompat.

   Namun pada saat itu pundaknya telah kena sabatan pedang, ia kaget, heran dan girang ketika dirasakannya sabatan itu sangat ringan, dan pedang itupun terpental balik.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
sedangkan Sin Houw sendiri sama sekali tak terluka.

   Maka dengan serta merta untuk kesekian kalinya ia berlutut lagi kepada Bok-siang Tojin.

   Bok-siang Tojin tertawa lebar, Katanya.

   "Baju mustikaku sangat buruk. Tatkala kau berlutut kepadaku, pastilah kau berlutut hanya menuruti perintah gurumu, Tetapi kali ini, aku tahu hatimu benar-benar puas, Bukankah begitu ?"

   Merah muka Sin Houw kena sindir, meskipun demikian hatinya penuh haru, girang dan hormat, Kembali lagi ia berlutut. Bok-siang Tojin tidak memperdulikan pekerti Thio Sin Houw, ia berkata lagi.

   "Beberapa kali baju mustika itu telah menolong jiwaku. sekarang, kuberikan kepadamu. Asal saja gurumu tidak menganggu diriku, di dunia ini, tidak ada seorangpun yang dapat melukai diriku meskipun aku tidak mengenakan baju mustikaku lagi."

   Setelah berkata demikian, Bok-siang Tojin tertawa berkakakan, Rupanya ia sangat riang, Bok Jin Ceng pun tertawa, ia berkata pula.

   "Hai, pendeta bangkotan! Kau menjual cerita besar didepan muridku, Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku melawanmu. Akan tetapi dikolong langit ini memang banyak sekali orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi."

   Bok-siang Tojin tersenyum, sahutnya.

   "Akh! Kita berdua tak boleh menggunakan pedang atau senjata tajam lainnya. Mari, kau ambillah alat Kim dan aku akan membawa serulingku ...!" (Alat "Kim"

   S semacam Kecapi).

   "Apakah kita akan mengadu kepandaian dengan alat musik?"

   Bok Jin Ceng tertawa.

   "Benar!"

   Sahut Bok-siang To-jin tertawa gelak.

   "Caramu memetik Kim, benar-benar membuat hatiku ketagihan mendengarkannya."

   "Baiklah!"

   Sahut Bok Jin Ceng.

   "Telingaku ketagihan pula mendengarkan tiupan serulingmu, Kau datang dari jauh dan sudi mendaki gunungku, tak bakal aku mengecewakan hatimu. Hai, apakah kau membawa juga tempat nasi dan tempat minum?"

   Keduanya lantas sibuk dengan ke-ahliannya masingmasing.

   Bok-siang To-jin meniup seruling, dan Bok Jin Ceng memetik Kim.

   perpaduan keahlian masing masing serasi dan selaras, sehingga memberikan suatu pendengaran yang indah.

   Mereka bermain terus menerus tiada henti-hentinya sampai jauh malam hari, sementara si bisu yang menyelenggarakan makan-minumnya.

   Selama itu Thio Sin Houw menunggu disamping mereka, sama sekali ia tak mengarti permainan mereka.

   walaupun demikian, lantaran bisa menangkap keindahan dan kemerduannya, ia mencoba mengerti dengan mengamatamati gerak jari-jari gurunya menyentuh tali-tali kim.

   Gurunya lantas mengajari cara memetik kim itu.

   Ilmu memetik Kim terbagi dalam kelompok-kelompbk perpaduan nada, Tegasnya selain memperindah gaya lagu, ikut serta menentukan iramanya.

   Karena tidak mengutamakan lagu, tata lagunya berbeda dengan ilmu meniup seruling, nampaknya mudah dipelajari, tetapi sesungguhnya untuk menjadi seorang ahli, sulit liku-likunya.

   Sebab apabila belum mengenal lagunya terlebih dahulu akan sukar menentukan keserasiannya, Namun Thio Sin Houw mempunyai pembawaan alamiah yang luar biasa, sekali mendengar dan sekali melihat ia sudah paham liku-likunya, ia tertarik karena liku-likunya berkesan seolah-olah kelompok tata-muslihatnya yang diatur dalam jurus-jurus pula.

   Tatkala Bok siang Tojin dan gurunya beristirahat, ia menekuni dan mencoba menyelami.

   Menjelang fajar hari, jarijarinya mulai bisa bergerak dengan lancar.

   Bok-siang Tojin benar-benar seorang yang keranjingan dalam hal seni lagu, Mendengar irama Kim yang dimainkan Sin Houw yang mulai bisa dinikmati terus saja ia terbangun.

   Tanpa segan-segan lagi ia membangunkan Bok Jin Ceng dan berkata mengajak.

   "Mari, kita main lagi!"

   Bok Jin Ceng tertawa geli menyaksikan tamunya yang tak kenal lelah itu, sahutnya.

   "Aku tak bersemangat lagi untuk mengiringi lagumu, kau beristirahatlah dahulu!"

   Terpaksalah Bok-siang-Tojin beristirahat, Akan tetapi di dalam kamarnya, pendengarannya selalu terganggu oleh petikan Kim dari Thio Sin Houw, sehingga tertatih-tatih ia bangun lagi dan menghampiri pemuda itu.

   Kemudian ia mencoba menerangkan bagaimana caranya memetik Kim.

   ia membagi tangga nada menjadi tiga bagian.

   Dan masingmasing pembagian tangga nadanya mempunyai beberapa kelompok kelompok iringan lagu, semuanya itu diajarkan dengan setulus hati kepada Sin Houw.

   Sejak itu Thio Sin Houw mulai belajar memetik Kim dengan sungguh-sungguh, Tiga hari tiga malam ia bertekun, Dan selama itu gurunya dan Bok-siang Tojin berbicara terus menerus, mengenai seni sambil sekali-kali meniup seruling dan memetik Kim.

   pada hari ke empat, Bok Jin Ceng berkata kepada Bok-siang Tojin.

   "Pada hari ini biarlah kau beristirahat dahulu, aku harus mengajarkan ilmu pedang kepadanya terlebih dahulu."

   Alasan itu kuat, sehingga Bok-siang Tojin tak dapat menawar lagi.

   Tetapi menunggu Bok Jin Ceng memberi pelajaran ilmu pedang kepada Sin Houw, dirasakan sangat membosankan.

   Tak mengherankan begitu Bok Jin Ceng selesai memberi pelajaran, segera ia menarik tangan sahabatnya itu dan diajaknya bertempur melalui seruling dan Kim.

   "Mari, kita bermain lagi!"

   Ajaknya dengan penuh semangat.

   Bok Jin Ceng sebenarnya sudah lelah, akan tetapi karena tak sampai hati mengecewakan hati sahabatnya itu, terpaksalah ia melayani.

   Begitulah terjadi satu bulan lebih, setiap kali selesai melatih muridnya, harus ia menyediakan waktu untuk melayani tamunya apabila Bok Jin Ceng nampak kurang semangat sedikit saja, tamunya itu menjadi seperti tersiksa.

   Dan semuanya itu tak pernah lepas dari perhatian Thio Sin Houw.

   Oleh rasa iba terhadap gurunya, setiap kali memperoleh kesempatan terus saja ia berlatih, Dalam sebulan itu, ternyata ia sudah mahir.

   Pada suatu hari menjelang fajar hari, ia memetik kim-nya.

   Tahu-tahu Bok-siang Tojin sudah berada di belakangnya meniup serulingnya, inilah kejadian yang sangat menggembirakan.

   Maka dengan hati-hati dan seksama, Sin Houw lalu mengiringkan tiupan lagu Bok-siang Tojin.

   Ternyata sama sekali ia tidak salah.

   Keruan saja Bok-siang Tojin menjadi bertambah semangat, pujinya.

   "Eh, anak! Kau benar-benar cerdik - kalau kau berlatih terus-menerus kau tentu dapat mengalahkan gurumu!"

   Dua tiga kali Bok-siang Tojin menguji, ia meniup berbagai macam lagu yang sebelumnya tak pernah di dengar oleh Sin Houw, semuanya dapat diiring-kan oleh Sin Houw dengan sempurna.

   Karena memperoleh kenyataan itu dan rasa girang yang meluap, Bok-siang Tojin berkata.

   "Baiklah kita atur saja begini sekarang, setiap kali kau dapat mengiringkan tiga laguku, aku akan mempelajari kau semacam ilmu kepandaian bagaimana? setuju atau tidak?"

   "Biarlah aku minta pendapat guruku terlebih dahulu."

   Sahut Sin Houw. Bok-siang Tojin pun tahu, seorang murid tak boleh melancangi gurunya.Maka itu ia menyetujui. Katanya.

   "Baik, Kau tanyalah kepada gurumu!"

   Thio Sin Houw lari mencari gurunya.

   ia mengabarkan kehendak Bok-siang Tojin, Tentu saja Bok Jin Ceng girang bukan kepalang.

   itulah yang diharap-harapkannya sejak sebulan yang lalu, ia tahu Bok-siang Tojin seorang pendekar yang berilmu kepandaian tinggi, hanya saja tabiatnya aneh.

   Tak senang ia menerima murid.

   sebaliknya apabila sekali sudah berjanji, tentu akan di tepatinya, Dan hal itu terjadi, karena orang tua itu begitu ketagihan mendengarkan permainan perpaduan suara antara kim dan seruling.

   Lantas saja Bok Jin Ceng menarik tangan Thio Sin Houw dan diajaknya menghadap Bok-siang Tojin, ia menyuruh muridnya bersembah untuk menghaturkan rasa terima kasih, kemudian ia sendiri berkata kepada Bok-siang Tojin.

   "To-heng! Kau hendak menyempurnakan ilmu kepandaian muridku, akupun menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepadamu."

   Dalam pada itu Thio Sin Houw sudah berlutut, tetapi cepatcepat Bok siang Tojin menolaknya, Katanya.

   "Jangan! jangan! Aku tidak menerimamu sebagai murid. Apabila kau menghendaki pelajaranku, kau harus mengiringkan tiga laguku terlebih dahulu."

   "Bukankah ini suatu jual-beli? Dimana ada pembicaraan antara guru dan murid..."

   Bok Jin Ceng tertawa. Dengan cepat ia menyahut.

   "Apakah maksudmu dengan berkata demikian ?"

   "Dalam hal ilmu pedang dan ilmu pukulan, dikolong langit ini kau tiada lawannya, Aku takluk kepadamu. sebaliknya dalam hal ilmu berlari dan menimpuk senjata bidik, kukira ilmu kepandaianku tidak mengecewakan."

   "Memang! siapapun tahu, bahwa kau anak siluman! Hanya saja, ilmu kepandaianmu yang istimewa itu jangan kau bualkan disini."

   Kata Bok Jin Ceng yang kembali tertawa.

   "Apakah kau mencela kepandaianku...?"

   Ujar Bok-siang Tojin agak kurang senang.

   Bok Jin Ceng bersenyum.

   sambil menggelengkan kepala, ia menyahut.

   "Didalam dunia ini, siapakah yang dapat menandingi ilmu berlarimu? Kau pun seorang ahli senjata bidik yang tiada tandingan.

   Karena itu, kami berdua mengucapkan rasa terima kasih kepadamu "

   Bok-siang Tojin dapat dibuat mengerti, iapun lantas tertawa. Katanya.

   "Bukankah adil pertimbanganku? Setiap kali muridmu mengiringkan tiga laguku, aku lantas memberi pelajaran sejurus dua jurus kepadanya."

   "Kau tidak hanya adil, malahan bermurah budi pula."

   Sahut Bok Jin Ceng cepat, Dan setelah berpikir demikian, ia berpikir didalam hati.

   "Pendekar bangkotan ini benar-benar licik dan lucu. Akan tetapi dia seorang laki-laki sejati. Sekali menyanggupkan diri, ia tak akan menarik janjinya kembali. inilah suatu rezeki besar bagi Sin Houw. Lalu ia berkata memutuskan.

   "Baiklah kita atur begini saja, Yang kukhawatirkan adalah justru Sin Houw, Jangan-jangan ia sia-siakan waktunya yang sangat berharga. Karena itu setiap mengajarkan sesuatu kepadanya, kau harus lakukan setelah ia sudah mengiringkan tiga lagumu, Dengan demikian, ia tidak akan sia-siakan kesempatan yang bagus ini, Sekarang, kau boleh meniup seruling sesuka hatimu. Delapan atau sepuluh kali, masa bodoh !"

   Bok-siang Tojin girang bukan kepalang.

   Demikian pula Sin Houw, Tak sia-siakan waktu lagi, mereka berdua lantas mengambil tempatnya masing-masing, Bok-siang Tojin meniup serulingnya, dan Sin Houw memetik Kim mengiringi.

   Mereka duduk berhadap hadapan seakan-akan dua orang pendekar besar lagi mengadu ilmu kepandaian.

   Enam kali mereka mengumandangkan lagu panjang dan pendek.

   Dan Bok-siang Tojin pun menepati janjinya.

   Katanya.

   "Kali ini aku hanya mengajarimu sejurus ilmu petak, Meskipun hanya sejurus, tetapi faedahnya sangat besar. Tubuhmu akan terasa menjadi ringan. Kalau sudah mahir, bayangannya sendiri sulit terlihat, Nah, kau lihatlah gerakanku dengan sungguh-sungguh!"

   Setelah berkata demikian, Bok-Siang Tojin bergerak.

   Tahutahu tubuhnya sudah berada diatas pohon.

   Tatkala turun dengan berjungkir-balik, sudah berada kembali didepan Thio Sin Houw.

   Keruan saja Sin Houw kagum bukan main, ia merasa diri seakan-akan terpukau.

   Apabila tersadar, ia bersorak dan bertepuk tangan dengan setulus hati.

   "Sekarang, mulailah berlatih!"

   Seru Bok-siang Tojin, Dan pendeta aneh itu segera mengajarkan jurus tersebut, yang disebut Poan-in seng-liong (Naga naik merayap di awan).

   Dan untuk menangkap intisarinya, Sin Houw berlompatan kiankemari melemaskan urat-uratnya, Mula-mula ia merasa kebingungan, tetapi lambat-laun ia merasa diri memperoleh kemajuan.

   untunglah Bok- siang Tojin ternyata teliti dalam menurunkan pelajarannya.

   Dengan cermat dan tak bosanbosan ia memberi contoh serta memberi petunjuk inti-inti rahasianya.

   Pada hari kedua, Sin Houw tak memperoleh tambahan, meskipun sudah mengiringi enam lagu lagi, Tetapi pada hari ketiga dan keempat, ia mendapat tambahan dua jurus sekaligus.

   Setelah memasuki hari ke empat belas, mulailah dia memperoleh tambahan sejurus, dua jurus secara teratur.

   Bahkan pada bulan berikutnya Bok-siang Tojin mulai mewariskan rahasia ilmu bidiknya.

   Empat bulan lamanya ia belajar ilmu bidik.

   Tatkala pelajaran mulai menginjak pada bagian membidik sasaran dengan tiga puluh lima senjata bidik sekaligus, ia membutuhkan waktu tujuh bulan.

   Dengan demikian, tanpa terasa satu tahun lewatlah sudah.

   sekalipun demikian, Boksiang Tojin tak bosan-bosan meniup serulingnya dengan iringan kim Thio Sin Houw.

   Melihat mereka begitu akrab, Bok Jin Ceng bersyukur didalam hati, ia tahu, apa sebab Bok-siang Tojin betah bertempat tinggal pada suatu tempat sampai satu tahun lebih, itulah disebabkan orang tua itu berkenan hatinya terhadap muridnya.

   Maka ia berpesan kepada si bisu, agar melayani Bok-siang Tojin dengan sebaik -baiknya.

   Pada suatu hari selagi Sin Houw berlatih disamping kedua gurunya, tiba-tiba terdengarlah suatu auman hebat.

   serentak ia menoleh dan melihat sibisu sedang berhadapan dengan seekor harimau tutul.

   Menyaksikan si bisu dalam bahaya, tanpa berpikir panjang lagi, Thio Sin Houw segera melompat dan lari menghampiri.

   pada saat itu, macan tutul telah melompat serta menerkam si bisu, si bisu nampak marah.

   ia melejit ke samping, dan mendaratkan pukulannya.

   Tetapi bertepatan pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat, itulah Bok Jin Ceng yang menyambar lengan si bisu dan dibawanya menjauhi.

   Kemudian Bok Jin Ceng berseru kepada Sin Houw.

   "Sin Houw! Biarlah kau yang melayani harimau itu!"

   Thio Sin Houw tahu, gurunya sedang mengujinya, Terus saja ia melompat menghadang titik balik harimau itu, akan tetapi entah apa sebabnya, tiba tiba macan tutul itu memutar tubuhnya, serta berjalan menjauhi.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sin Houw melesat dan menggerakkan tangannya memukul pantat.

   oleh rasa sakit, binatang buas itu mengaum dan memutar tubuh sambil mencengkeram.

   Thio Sin Houw mengelak dan melompat ke samping, Kemudian tangannya bergerak hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba saja ia merasakan suatu ancaman bahaya datang dari belakang punggungnya.

   Tahulah dia, dirinya sedang diserang dari jurusan lain.

   Tak sempat lagi ia memutar tubuhnya.

   Dengan menjejak tanah ia melompat tinggi kemudian dengan berjumpalitan ia turun diatas tanah dengan tak kurang suatu apa.

   Begitu membalikkan tubuhnya, ia melihat penyerangnya - seekor macan kumbang sebenarnya, sejak berada di atas gunung itu belum pernah ia berkelahi.

   walaupun demikian, sama sekali ia tak takut menghadapi kedua binatang buas itu, segera ia menyerang dengan menggunakan tipu-tipu ilmu Hok-houw ciang, Menyaksikan perkelahiannya, Bok Jin Ceng bergembira.

   Katanya didalam hati.

   "Anak ini ternyata benar-benar tidak sia-siakan lelahku."

   Tetapi setelah mengamat-amati sekian lamanya, Thio Sin Houw ternyata hanya dapat menyakiti kedua binatang itu saja, pukulannya sama sekali tak bertenaga, ia jadi heran, Apa sebab demikian? Bok Jin Ceng tak tahu, bahwa dalam diri Sin Houw mengeram racun jahat Hian-beng sin-ciang yang memunahkan sebagian tenaganya! "Sambut pedangku!"

   Seru Bok Jin Ceng yang tak sempat menyelidiki sebab sebabnya.

   Thio Sin Houw melompat menyambut pedang, tetapi pada saat itu kedua macan itu lari menerjang belukar, sin Houw mengejar selintasan, tiba-tiba dua sosok bayangan menyambar dari kiri kanan.

   cepat ia menggerakkan pedangnya sambil melesat kesamping, Ternyata penyerangnya adalah dua ekor kera hampir setinggi dirinya.

   "Jangan bunuh!"

   Tiba-tiba terdengar Bok-siang Tojin berseru.

   Thio Sin Houw mengangguk.

   Kemudian dengan pedangnya ia mendesak.

   ia dapat bergerak dengan gesit.

   Saban-saban ia menyabat atau menikam, Dan diserang secara demikian, kedua binatang itu berlompat-lompatan dengan gesit pula.

   Sekiranya mau, Sin Houw dapat menikamnya dengan mudah.

   Akan tetapi ia hanya melukainya saja pada lengan, pundak, kepala dan kedua kakinya.

   Diperlakukan demikian, kedua binatang itu nampaknya mempunyai perasaan.

   Tatkala mereka melompat menjauhi lawannya tidak mengejar, Sin Houw malahan berhenti menggerakkan pedangnya, dan hanya mengawasi saja.

   Bagaikan insan manusia, kedua kera itu memekik tinggi.

   Kedua tangannya ditutupkan ke kepalanya, lalu merebahkan diri sambil menyiratkan pandang memohon ampun.

   Thio Sin Houw datang mendekati.

   ia mengerti, kedua binatang itu menyerah kepadanya, Si bisu menjadi girang, Dengan berlari-larian ia masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan membawa tambang untuk pembelenggu.

   Mula-mula kedua binatang itu mencoba memberontak, mereka memekik sambil memperlihatkan kedua baris gigi mereka.

   Akan tetapi tenaga si bisu jauh lebih kuat.

   Akhirnya mereka menyerah saja, dan sama sekali tak berani melawan.

   Baik Bok Jin Ceng maupun Bok siang Tojin memuji kegesitan Thio Sin Houw, Mereka menganjurkan agar dia belajar lebih tekun lagi dan bersungguh sungguh - Sudah tentu Sin Houw menjadi girang dan penuh syukur mendengar pernyataan kedua orang tua itu, iapun merasakan sendiri betapa bagus hasil latihannya.

   Disamping itu, ia memperoleh dua binatang hutan, yang seekor jantan dan yang satunya betina, oleh rasa girangnya, Tliio Sin Houw mencarikan buah-buahan untuk diberikan kepada kedua binatang itu, Selang sepuluh hari, kedua binatang itu menjadi jinak sekali.

   Kedua-nya mengerti akan kesayangan Sin Houw terhadap mereka, dan mereka kemudian tak perlu diikat tambang lagi, Tiada niatnya untuk kabur.

   Sin Houw memberi nama A Leng kepada kera yang jantan, dan A Yung kepada yang betina.

   Agar mereka paham akan namanya masing-masing, sin Houw membiasakan memanggil namanya setiap kali bertemu.

   Bok Jin Ceng dan Bok-siang Tojin tertawa menyaksikan pekerti Sin Houw, dan ikut bergembira menyaksikan kedua binatang itu telah menjadi jinak.

   Dan setelah Sin Houw yakin kedua binatang itu benarbenar jinak,ia membebaskannya.

   Kini dengan merdeka A Leng dan A Yung mencari makan sendiri .

   Kadang-kadang mendaki sampai ke puncak gunung, kemudian terjadilah suatu peristiwa yang membuat suatu penemuan yang aneh sekali.

   Seperti biasanya, A Leng dan temannya mendaki puncak gunung untuk mencari makanan.

   Dengan berani A Leng memanjat dinding gunung, sampai mendadak saja kakinya tergelincir.

   Tak ampun lagi lepaslah pegangannya, sehingga ia jatuh ke dalam jurang.

   Dinding gunung itu sangat curam dan mempunyai kedalaman empat sampai limapuluh meter lebih.

   Keruah saja A Yung menjadi kaget bukan main.

   segera ia menjenguk dari tepinya, ia melihat A Leng tersangkut pada cabang pohon yang tumbuh di-depan sebuah goa kosong.

   Mulut goa itu nampak hijau berlumut, pada mulut goa itulah A Leng berpegangan.

   Nampak tergantung~gantung pada ketinggian tebing gunung.

   Meskipun daya pikir dan perasaan seekor kera tidak sesempurna manusia, akan tetapi binatang itu banyak akal.

   Dalam sibuknya, A Yung lari pulang mencari Sin Houw.

   Tatkala itu majikannya sedang berlatih ilmu pedang, ia lantas memekik-mekik tinggi tiada hentinya sambil berjingkrakan.

   Sin Houw heran, ia menghampiri dan mengamat-amati tubuh A Yung.

   Disana-sini terdapat beberapa tusukan duri pepohonan.

   sedang kesan wajahnya nampak ketakutan.

   segera ia mencari Un Siang, si bisu, untuk diajak menyelidiki kehendak binatang itu.

   Ternyata A Yung memutar tubuh dan berlari-lari menghampiri jurang, setibanya ditepi jurang, A Yung memekikmekik sambil berjingkrakan, Kedua tangannya berserabutan sambil menjenguk ke bawah, Sin Houw dan Un siang segera menghampiri dan melihat A Leng dalam bahaya.

   Dengan cepat Sin Houw lari pulang untuk mengambil tambang.

   Kemudian dilemparkannya tambang itu ke dalam jurang, sedang ia mengikat ujungnya pada lengannya dan lengan Un Siang.

   A Leng dalam keadaan sangat lelah, namun tatkala melihat menyambarnya tali segera ia menangkapnya.

   Dan di pegangnya erat-erat, Pada saat itu Sin Houw dan Un siang menariknya ke atas, Ternyata ia terluka dibeberapa tempat, syukur, tidak begitu hebat.

   Kemudian dengan memperdengarkan pekikan ber-ulang-ulang ia memperlihatkan kedua telapak tangannya.

   "

   Thio Sin Houw menjadi heran ketika melihat dua benda tajam menancap pada telapakan tangan A Leng, ia mencabutnya, namun benda itu tertancap dengan sangat kokohnya. A Leng lantas memekik kesakitan.

   "Apakah disini ada musuh?"

   Tanya Sin Houw kepada dirinya sendiri.

   ia menjadi curiga, segera menghampiri tebing jurang dan memperhatikan ke dalamnya.

   ia melihat sebuah goa kosong.

   Pada mulut goa itulah tadi A Leng terkatung-katung, Apakah di dalam goa itu terdapat senjata bidik? Tetapi senjata bidik tak akan dapat bekerja, tanpa ada yang melemparkannya.

   Lantas siapa? Mapnya tidak mungkin, karena letak goa itu sangat terpencil.

   Dengan berbagai macam pikiran, Sin Houw mengajak Un siang pulang untuk mencari kedua gurunya, setelah bertemu ia menc.eriterakan penga1amannya.

   Mendengar keterangan Thio Sin Houw maka Bok Jin Ceng berdua Bok-siang Tojin ikut merasa heran, Bok-siang Tojin adalah seorang pendekar ahli senjata bidik.

   Melihat bentuk senjata bidik yang tertancap pada telapakan tangan A Leng, ia berkata.

   "Aku seorang yang gemar sekali akan senjata bidik, sehingga berbagai macam senjata bidik pernah kulihat. Tetapi senjata bidik ini yang berbentuk kelabang, baru untuk pertama kali inilah kulihat. Lauw-bok! Kali ini runtuhlah kedudukanku sebagai seorang ahli senjata bidik."

   Bok Jin Ceng menatap sahabatnya, kemudian berkata mengusulkan.

   "Coba keluarkan dahulu senjata bidik yang menancap pada telapakan tangan binatang itu!"

   Bergegas Bok-siang Tojin masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sebilah pisau kecil, Dengan pisau itu ia membedah telapakan tangan A Leng untuk mengeluarkan senjata bidik yang aneh itu.

   A Leng agaknya mengetahui maksud baik Bok-siang Tojin hendak menolong dirinya.

   Sama sekali ia tidak memberontak, setelah benda yang menancap pada telapak tangannya tercabut, lukanya segera diobati dan dibalut, Binatang itu nampak puas, dan segera mengikuti A Yung mencari makan.

   Dua senjata bidik itu panjangnya kurang lebih tiga cun, berbentuk seperti kelabang, bersungut dua.

   Kedua sungut itu sekecil dan setajam jarum.

   warna keseluruhannya hitam gelap, kotor berlumut, Tetapi setelah Bok-siang Tojin membersihkan lumutnya, benda itu nampak mengkilat.

   Ternyata terbuat dari perak ! "Pantas timbangannya berat, kiranya terbuat dari perak!"

   Seru Bok-siang Tojin. Sekonyong-konyong Bok Jin Ceng terkejut, tak terasa ia berseru.

   "lnilah senjata bidik Gin-coa piao!"

   "Gin-coa piao?"

   Bok-siang Tojin menegas dengan wajah tercengang, ia terdiam sejenak, lalu berkata meneruskan.

   "Kau maksudkan Gin-coa Long-kun pemiliknya? Bukankah kabarnya dia telah wafat sejak belasan tahun yang lalu?"

   Sambil berkata demikian, sekali lagi ia memeriksa senjata bidik yang berada, ditangannya, Kini wajahnya benar benar nampak terkejut, Serunya.

   "Tidak salah! Benar dia!"

   Ia membolak-balikkan senjata bidik berbentuk kelabang itu, di bagian perutnya tertera sebuah ukiran kecil berbunyi "THAY". Dan pada bagian perut senjata bidik yang kedua terdapat ukiran huruf. BENG.

   "Suhu, siapakah Gin-coa Long-kun?"

   Tanya Sin Houw kepada Bok Jin Ceng, yang masih saja tercengang sejak tadi.

   "Kelak akan kuberi keterangan..."

   Sahut gurunya setelah berdiam beberapa lama, setelah menimbang-nimbang sebentar, ia meneruskan.

   "To-heng, coba katakan kepadaku, mengapa senjata bidik ini bisa berada didalam goa itu?"

   Sesuai dengan namanya, bentuk senjata itu seperti ular, bukan kelabang seperti yang diduga oleh Bok siang Tojin, ia tidak segera menjawab pertanyaan rekannya, sebaliknya ia mengernyitkan keningnya, wajahnya jadi tegang, tak terkecuali Bok Jin Ceng, Keruan saja Thio Sin Houw tak berani mengulang pertanyaannya.

   Malam itu selesai waktu makan, Bok Jin Ceng dan Boksiang Tojin duduk sambil berbicara.

   Thio Sin Houw mendengarkan dengan berdiam diri, sama sekali ia tak mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan.

   ia hanya mendengar kata-kata.

   "pembunuhan akibat permusuhan dan pembalasan dendam. Kalimat-kalimat lainnya, masih gelap baginya.

   "Jadinya, Gin-coa Long-kun datang memasuki daerahmu untuk menyingkirkan diri dari musuh-musuhnya?"

   Kata Boksiang Tojin menegas. Bok Jin Ceng tak berani menyatakan dengan pasti, ia nampak berbimbang hati, sahutnya.

   "Mengingat kepandaiannya, sebenarnya tak ada perlunya ia menyingkir jauh-jauh sampai kemari, bersembunyi ditempat yang sunyi sepi, Baginya, merupakan alasan yang kurang kuat."

   "Mungkinkah dia belum mati?"

   Bok-siang Tojin seperti menguji.

   "Dia seorang luar biasa."

   Jawab Bok Jin Ceng.

   "Selama ini kita hanya mendengar namanya belaka, dan belum pernah bertemu dengan dirinya. Memang kabar berita mewartakan bahwa dia telah meninggal dunia. Akan tetapi sebab-sebabnya atau bagaimana caranya dia meninggal, tiada seorangpun yang dapat memberi keterangan."

   "Dia memang aneh sepak terjangnya..."

   Bok-siang Tojin menghela napas.

   "Ada kalanya dia kejam sekali, tetapi tak jarang pula dia berbuat mulia, Dengan demikian, apakah dia seorang jahat atau seorang yang mulia hati orang hanya dapat menduga-duga saja. Beberapa kali pernah aku mencoba mencarinya, namun senantiasa gagal."

   "Sudahlah! Tiada gunanya kita menduga-duga saja."

   Bok Jin Ceng memutuskan.

   "Baiklah, besok pagi menjenguk goa itu." ***** KEESOKAN harinya Bok Jin Ceng mengajak Bok-siang Tojin, Thio Sin Houw dan Un Siauw menjenguk goa dengan membawa senjata dan tambang. Sin Houw berada didepan sebagai penunjuk jalan lantaran dialah yang mengetahui letaknya goa itu.

   "Hati-hati!"

   Pesan Bok Jin Ceng ketika Bok-siang lojin mengatakan hendak turun sendiri.

   Bok-siang Tojin mengangguk.

   Cepat ia mengikat pinggangnya dengan ujung tambang yang tertambat pada pohon.

   Kemudian dengan pertolongan Un siang dan Sin Houw, ia dikerek turun perlahan-lahan.

   Didepan mulut goa yang berlumut itu, ia berdiri memperhatikan.

   Mulut goa penuh kabut, sehingga tanahnya tak nampak jelas, Hatinya tercekat, meskipun ia seorang jago yang sudah kenyang makan garam.

   Dengan tertegun-tegun ia mengawaskan ke dalam goa terus menerus.

   Biasanya, pandang mata seseorang lambat laun bisa menyesuaikan dalam kegelapan.

   Setidak-tidaknya akan bisa menangkap penglihatan walaupun dalam samar-samar.

   Namun penglihatan Bok-siang Tojin malahan makin menjadi guram.

   
Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akhirnya ia memperoleh kesimpulan , tentulah goa itu sangat dalam.

   Ia kemudian maju meraba-raba menyelidiki ruang masuk, Dan ternyata sempit, ia berbimbang-bimbang sebentar, apakah dirinya bisa memasuki pintu sempit itu...? Bok-siang Tojin adalah seorang yang keras hati, Tak sudi ia mundur, sekalipun menghadapi kenyataan yang tidak memungkinkan.

   setelah membungkus sebelah tangannya, segera ia memasuki ke dalam mulut goa itu, Meskipun seorang pemberani, namun tak mau ia berlaku semberono, perlahan lahan tangannya meraba-raba dan tiba-tiba membentur suatu benda tajam.

   Benda tajam itu menancap pada mulut goa.

   ia menduga itulah Gin-coa piao, senjata bidik berbentuk ular perak yang semula disangkanya berbentuk kelabang, segera secara hati-hati ia mencabutnya, lalu meraba-raba lagi dan mencabut yang kedua.

   Demikianlah, sampai tujuh belas ia mencabut.

   ia berniat hendak maju meraba lagi, akan tetapi teringatlah dia kepada Un siang dan Sin Houw yang menahan tubuhnya dari atas tebing, Mereka berdua tentu sudah merasa lelah.

   "Tarik!"

   Segera ia berteriak memerintahkan .

   Te riak airnya terdengar oleh Bok Jin Ceng, Gurunya Sin Houw itu segera memerintahkan agar menarik Bok-siang Tojin keatas dengan perlahan-lahan.

   Kira-kira dua tombak dari atas tebing, Bok-siang Tojin menjejakkan kakinya pada batu lambing.

   Dengan begitu cepat sekali Bok-siang Tojin telah berada di antara teman-temannya.

   "Lihat ini!"

   Katanya kepada Bok Jin Ceng sambil memperlihatkan tujuh belas batang Gin-coa piao yang dipegangnya erat-erat.

   Bentuknya sama dengan senjata bidik yang menancap pada telapak tangan A Leng.

   Bok Jin Ceng memperhatikan, lalu berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Hantu itu menyimpan bendanya di dalam goa, apakah maksudnya? Entah benda apa lagi yang terdapat di dalam goanya? Biarlah aku yang melihat ..."

   "percuma saja kau turun kebawah!"

   Bok-siang Tojin mencegah.

   "Mulut goa terlalu sempit, tubuhmu tak akan dapat memasukinya."

   Bok Jin Ceng menundukkan kepalanya, ia diam berpikir, Tiba-tiba Thio Sin Houw berkata minta pertimbangan.

   "Suhu, apakah aku diperkenankan menyelidiki?"

   "Betapa mungkin?"

   Sahut Bok-siang Tojin dengan tertawa panjang.

   "Jurang begitu dalam, apakah kau berani?"

   "Aku berani, supeh!"

   Kata Sin Houw.

   "Suhu, aku diperkenankan ikut menyelidiki atau tidak?"

   Bok Jin Ceng masih terbenam dalam pikiran, Kata guru yang bijaksana itu didalam hati.

   "Orang jahat itu menyimpan senjata bidiknya didalam goa, pastilah mempunyai maksud-maksud tertentu.

   Sebaliknya, apabila tidak diselidiki benar benar saya, Akan tetapi siapa tahu justru didalam goa itu tersimpan suatu ancaman bencana? Kalau anak ini kuijinkan pergi seorang diri, tidakkah akan membahayakan jiwanya?"

   Memperoleh pertimbangan demikian, ia lantas berkata.

   "Aku mengkhawatirkan bencana yang mengancam dirimu!"

   "Aku dapat berlaku waspada, suhu .,."

   Sin Houw mendesak. Melihat muridnya demikian berani dan bernapsu, akhirnya Bok Jin Ceng mengangguk, katanya.

   "Baiklah, tetapi kau harus mencoba menyalakan api terlebih dahulu sebelum memasuki goa. Manakala api itu padam, janganlah kau memaksa dirimu memasuki."

   "Aku tahu suhu."

   Sahut Sin Houw, Dan cepat-cepat ia mempersiapkan sebatang obor, sedang pedangnya segera dihunusnya, Dengan pedang dan obor di tangan, ia dikerek turun perlahan-lahan seperti Bok-siang Tojin.

   Cepat sekali Thio Sin Houw telah sampai dimulut goa.

   Teringat pesan gurunya, ia menyulut obor terlebih dahulu, ternyata tidak padam, ia jadi girang, Kemudian secara berhatihati ia merayap memasuki mulut goa, tali yang mengikat pinggangnya tak dilepaskannya, setelah merayap kira-kira limabelas meter jauhnya, terowongan yang dilaluinya mulai mendaki.

   ia maju terus perlahan dengan perlahan.

   Kira-kira tiga meter lagi sampailah dia pada tempat terbuka, sehingga dapatlah ia berdiri tegak, setelah mengatur pernapasannya sejenak, ia maju terus.

   Beberapa saat kemudian, jalan yang ditempuhnya menikung dan memasuki kelokan serta tikungan, empat lima kali, ia jadi semakin berwaspada.

   Dengan memegang pedangnya erat-erat, ia maju terus.

   Tatkala berjalan kira-kira lima belas meter lagi, ia tiba di sebuah kamar batu, segera ia memasuki sambil memajukan obornya, Tiba-tiba ia terperanjat sampai mengeluarkan keringat dingin.

   Di atas sebuah batu yang berada ditengah-tengah kamar duduk sesosok kerangka yang lengkap tak ubah manusia hidup, Kedua tangannya terletak diatas pangkuannya, Dengan mata tak berkedip dan jantung menekan-nekan, Sin Houw mengawasi kerangka itu.

   Setelah itu, barulah ia memeriksa ruang-ruang kamar.

   syukurlah, tiada suatu penglihatan yang mengerikan lagi.

   Belasan Gin-coa piao menancap malang-melintang diatas tanah mengitari kerangka itu, sebatang pedang panjang terletak disampingnya.

   Pada dinding kamar terdapat sederet lukisan manusia berukir, sikapnya berlain-lainan, mirip seorang yang sedang menghadapi tata-muslihat lawan.

   Sin Houw memperhatikan dengan penuh perhatian akhirnya tahulah dia bahwa lukisan-lukisan itu menggambarkan seseorang sedang berlatih ilmu silat tertentu.

   Hanya saja ia tak mengarti maksudnya apalagi letak intisarinya, Pada ujung gambar terdapat tujuhbelas patah kata berukir pula, Sin Houw mendekati dan membacanya.

   "Mustika berharga ilmu sakti rahasia diberikan kepada siapa yang memasuki pintu. Tetapi janganlah menyesal Manakala kena bahaya ..."

   Thio Sin Houw masih mengawasi dan memperhatikan hal itu, tatkala tiba-tiba seseorang memanggilnya.

   itulah suara gurunya yang memanggil namanya didepan mulut goa, Dengan bergegas ia merayap balik.

   Bok-siang Tojin berdua Bok Jin Ceng yang berada diatas jurang, gelisah setelah menunggu sekian lamanya.

   Mereka tak berani menarik tali pengikat lantaran takut Sin Houw telah melepaskan diri dari ikatannya, Mereka menyabarkan diri beberapa waktu lagi, Tetapi tetap saja Sin Houw tidak muncul.

   Khawatir anak itu menemui bencana, Bok Jin Ceng memutuskan untuk menyusul.

   Demikianlah, setelah tiba dimulut goa segera ia memanggil-manggil nama muridnya.

   Hatinya lega luar biasa, begitu mendengar muridnya memberikan jawaban.

   Dengan tanda teriakan, Bok Jin Ceng memerintahkan Boksiang Tojin dan Un siang menarik tali pengikat.

   sebentar saja Bok Jin Ceng berdua Sin Houw sudah berada diatas tebing, seluruh tubuh Sin Houw berlepotan lumpur, debu dan lumut.

   pakaian yang dikenakannya kotor dan wajahnya nampak tegang.

   Bok-siang Tojin dan Bok Jin Ceng tahu, bahwa hal itu terjadi lantaran anak itu pasti menemukan atau melihat sesuatu yang luar biasa.

   Maka mereka membiarkan anak itu tenangkan hatinya terlebih dahulu.

   Dan benar saja, setelah dapat menenangkan hatinya kembali , Sin Houw kemudian menuturkan pengalamannya.

   "Pastilah tidak salah lagi! itulah kerangka Gin-coa Longkun."

   Ujar Bok Jin Ceng.

   "Akh, tak pernah kusangka, seorang pendekar yang sakti luar biasa akhirnya binasa ditempat sesunyi ini, sungguh sayang!"

   "Apakah arti tujuh belas patah kata pesannya itu?"

   Tanya Bok-siang To-jin minta pendapatnya.

   Bok Jin Ceng tak segera menjawab, ia merenung beberapa saat lamanya.

   Lalu menyatakan pendapatnya.

   "Rupanya dia menyimpan suatu benda berharga dalam goanya, Hanya kita tak tahu, mustika apa yang disimpannya itu, Dia seorang pendekar yang memiliki ilmu maha sakti, pastilah dia tidak akan membiarkan ilmu saktinya musnah dari percaturan hidup.

   Dengan cara cara tertentu, pastilah dia menyimpannya di dalam goanya.

   Mungkin ia menunggu seorang yang berjodoh dengan pengucapan hatinya, untuk mewarisi ilmu kepandaiannya.

   Sayang, dia seorang yang hidup dengan menuruti pertimbangan perasaan sendiri.

   ia sama sekali tak beragama, lantas berkecimpungan diantara manusia-manusia liar yang menamakan diri mereka kaum Beng-kauw!"

   Hati Thio Sin Houw tercekat. Gin-coa Longkun yang binasa didalam goa, ternyata orang yang digolongkan sebagai kaum Beng-kauw, Keruan saja perhatiannya jadi bertambah. Dalam pada itu Bok Jin Ceng meneruskan perkataannya.

   "Rupanya ia menghendaki agar yang memasuki pintunya, bisa melanjutkan cita-citanya. Jadi, istilah pintu itu bermakna cita-cita atau kaumnya. Tetapi mungkin pula berarti benarbenar pintu, yang mengancam malapetaka.."

   Bok Jin Ceng menunda bicara dan menarik napas panjang, lalu berkata lagi.

   "Jelek-jelek kita ini manusia beragama, setidaknya kita mengenal Tuhan, Karena itu tak boleh kita mengharapkan warisan mustika dari orang kafir! Tetapi justru kita merasa telah memilih jalan ke-Tuhan-an, kita harus menunjukkan kebesaran dan kelapangan hati. Biarlah Sin Houw esok pagi menjenguk goanya kembali, untuk mengubur kerangkanya sebagai manusia yang pernah hidup. Betapapun juga, kita harus menghormatinya sebagai seorang cianpwee. Karena itu, Sin Houw, pada waktu hendak mengubumya, kau wajib berlutut padanya, Panjatkan doa kehadapan Tuhan agar diampuni semua dosanya. Dengan cara demikian, kita semua dapat menghormatinya sebagai manusia wajar dan layak. Kita boleh tidak sepaham dengan pendiriannya, tetapi sebagai manusia kita semua adalah mahluk Tuhan dan anak Tuhan!"

   Thio Sin Houw manggut, dan Bok-siang Tojin seiring dengan perkataan Bok Jin Ceng, ia bahkan menyatakan rasa kagumnya. Katanya.

   "Kaupun seorang aneh pula! Seorang yang pandai berkhotbah. Pantasnya harus hidup didekat sebuah kuil, Kenapa kau justru bermukim diatas gunung sesunyi ini?"

   "ltulah soal kenikmatan! Kenikmatan bersembah kepada Tuhan!"

   Jawab Bok Jin Ceng, Dan mendengar jawaban itu, Bok-siang Tojin menjadi kagum, Dua tiga kali ia menarik napas.

   Keesokan harinya Thio Sin Houw membekal pacul dan alat-alat lainnya untuk mengubur mayat, ia diantarkan Nie Un Siang, Bok Jin Ceng berdua Boksiang Tojin tak ikut serta, karena menganggap tiada bahayanya.

   Mereka hanya menyertakan restunya, dan membekali lima batang obor yang berisi minyak pembakar penuh-penuh.

   Nie Un siang mengerek Sin Houw turun dengan perlahanlahan, setelah tiba dimulut goa, dengan cekatan Sin Houw merayap memasuki goa.

   Begitu sampai didalam ruangan kamar, segera ia menancapkan batang obornya.

   Lalu mulai menggali liang, Berbagai macam pikiran dan ingatan berkelebat didalam benaknya.

   Teringatlah dia kenada nasib ayah-bunda dan kakaknya yang binasa tak berkubur.

   Tak dikehendaki sendiri mengucurlah air matanya.

   pikirnya di dalam hati.

   "Dia seorang maha sakti, begitulah kata suhu.

   Tetapi mati disini.Kenapa? Apakah kena fitnah? Apakah untuk menghindari musuh-musuhnya seperti yang dialami ayah dan ibu?"

   Tergetar hati Thio Sin Houw, ia menoleh mengawasi kerangka, Tiba-tiba berkelebatlah bayangan Cie siang Gie yang berkesan baik dihatinya.

   "Dialah Gin-coa Long-kun, seorang tokoh Beng-kauw. Meskipun berkesan liar, namun para anggautanya berwatak ksatrya, sebenarnya, bagaimana sesungguhnya?"

   Kata Sin Houw didalam hati, Tentu saja ia tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu. Demikianlah, setelah selesai ia menggali kubur, maka ia berlutut kepada kerangka Gin-coa Long-kun. Katanya didalam hati.

   "Aku, Thio Sin Houw, secara kebenaran saja menemukan jenazah Cian-pwee, Pada hari ini, aku hendak mengubur jenazah Cianpwee. semoga tenanglah arwah cianpwee di alam baka."

   Baru saja ia mengucapkan kata kata demikian, hatinya mendadak menjadi sedih.

   Teringatlah dia kembali kepada kedua orang tuanya, kakaknya dan dirinya sendiri yang kini hidup yatim piatu, ia lantas menangkis sedih.

   Tiba-tiba saja tengkuknya seperti kena raba tangan halus dan dingin.

   itulah angin lembut yang datang dari luar goa, Sin Houw bergidik, bulu tengkuknya merinding.

   serentak ia menegakkan kepala -dan berputar mengarah liang kubur.

   Untuk menenangkan hati, ia menjajaki, Dirasanya, masih kurang dalam, maka mulailah ia menggali lebih dalam lagi.

   Tanah yang kena sentuh paculnya ternyata kian menjadi lunak.

   ia jadi gembira dan bekerja dengan cepat.

   Tiba-tiba paculnya memperdengarkan suara membeletuk.

   itulah akibat suatu benturan dengan benda keras, rasanya bukan batu, Lalu apa? Besi? Ia mengambil obornya lalu menyuluhi, ia heran karena pada dasar tanah itu terdapat selembar papan besi, Tertarik akan hal itu, ia memacul sekitarnya.

   Benar-benar papan besi yang berjumlah beberapa lembar.

   Lalu ia mulai mengangkatnya, dibawahnya terdapat sebuah petih besar berbentuk persegi.

   Terbuat dari besi pula, Terdorong oleh rasa ingin mengetahui, Sin Houw mengangkat peti besi itu, Timbangan beratnya sedang, dapatlah ia mengira ngira bahwa isinya tidak terlalu banyak.

   Lantaran tak terkunci, dengan mudah ia dapat membukanya.

   Ternyata ke dalamnya dangkal.

   Kira-kira hanya setinggi lima senti saja, Keruan saja Sin Houw jadi bertambah heran.

   "Mengherankan!"

   Seru Sin Houw didalam hati.

   "ukuran petinya besar dan tinggi, kenapa pendek saja dalamnya?"

   Ia menemukan sepucuk surat bersampul, yang berisi delapan patah kata diatas sampulnya. Bunyinya begini.

   "Barang siapa memperoleh petiku, kuperkenalkan membuka isi sampul suratku."

   Didalam sampul terdapat dua pucuk surat bersampul pula yang berukuran lebih kecil.

   semuanya terbuat dari kulit kerbau, sampul surat yang pertama berkepala.

   Cara membuka peti, Dan yang kedua.

   Bagaimana mengubur tulang tulangku.

   Setelah membaca sampul surat itu, Thio Sin Houw baru mengarti bahwa peti besi itu berlapis, ia mengangkat dan menggoyang-goyangkannya.

   Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kali ini ia mendengar suara benda bersentuhan.

   Namun hatinya tak tertarik akan segala warisan Gin-coa Long-kun yang disebutnya sebagai mustika.

   Yang terasa dalam hatinya, hanyalah kepiluan dan keharuan.

   Katanya didalam hati.

   "Lo cianpwee! Kalau aku mengubur tulang-tulangmu, sebenarnya kulakukan demi tulang-tulang kakakku, Thio Sin Han, yang binasa didalam jurang, Moga-moga dengan memakamkan tulang-tulangmu, seseorang memakamkan pula tulang-tulang kakakku, oh, Tuhan. Demikianlah harapanku. Tentang mustika yang kau janjikan, biarlah diwarisi oleh seorang pendekar yang tepat."

   Thio Sin Houw kemudian membuka sampul surat kulit yang kedua. Didalamnya terdapat selembar kulit tipis yang bertulisan. Bunyinya seperti berikut.

   "Leluhurku dari marga Lie, pendiri persekutuan Beng-kauv. sampai di tanganku sudah melalui ampat angkatan. orangorang dikalangan Rimba persilatan memberikan gelar kepadaku sebagai Gin-coa Long-kun, namaku sendiri adalah Vo Han, Dan semenjak kini lenyaplah sudah keturunan leluhurku, karena aku tak diberi kesempatan mempunyai keturunan ..."

   Sampai disini Sin Houw berhenti membaca, pikirnya didalam hati.

   "Apakah ini alasan suhu, apa sebab suhu mengelakkan pertanyaanku tentang nama Gin-coa Long-kun, karena ia adalah keturunan dari pendiri kaum Beng-kauw? Tetapi, apa sebab kemarin suhu menyebut kerangka Lo-cianpwee ini sebagai pendiri Beng-kauw, secara kebetulan aku menyebutnya Lo-cianpwee, kiranya tak begitu salah jauh ..."

   Dan ia meneruskan membaca.

   "Sekiranya kau sudi memakamkan tulang-tulangku, maukah mendengarkan pesanku? setelah kau gali lubang, tolong galilah lebih dalam lagi kira-kira satu meter, Dan tanamlah tulang-tulangku disitu, Berada didalam liang kubur yang dalam, rasanya aku akan bebas dari gangguan segala kutu-kutu dan semut ..."

   Terharu hati Thio Sin Houw membaca surat Lim Po Han atau Gin-coa Long-kun, Katanya didalam hati.

   "Lo-cianpwee, aku akan membuatmu puas. Aku akan menggali lebih dalam lagi, memenuhi pesan terakhirmu "

   Dan kembali Thio Sin Houw menggali liang kubur lebih dalam lagi, Kali ini tanah penuh batu, Tak mudah Thio Sin Houw memacul seleluasa tadi, sebentar saja ia telah bermandikan keringat.

   Tatkala paculnya hampir mencapai enampuluh senti, mendadak ujungnya lagi lagi membentur sebuah benda keras sehingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring.

   Karena telah memperoleh pengalaman, walaupun heran Thio Sin Houw menggali terus.

   Dan kembali lagi ia menemukan sebuah peti besi berbentuk persegi dan berukuran lebih kecil.

   "Pendekar gagah luar biasa ini benar-benar aneh,"

   Pikirnya di dalam hati.

   "Entah benda apa lagi yang di simpannya didalam peti ini?"

   Ia mengangkat peti itu dan dapat membuka tutupnya dengan mudah.

   Dan seperti tadi ia mendapatkan selembar kulit tipis yang memuat beberapa deret kalimat.

   Manakala ia membacanya, hatinya kaget bukan kepalang sehingga keringatnya mengucur deras.

   Beginilah bunyi tulisan itu.

   "Kau benar-benar seorang yang baik hati dan jujur.

   Karena kau mendengar pesanku, sudah selayaknya aku wajib membalas kebaikan hatimu, Yang pertama dengan ramuan obat mustika yang kedua benda mustika dan yang ke tiga ilmu sakti warisanku.

   Manakala kau membuka peti besar, dari dalamnya akan menyambar anak-anak panah beracun.

   Surat dan peta yang berada didalamnya palsu semua malahan beracun juga! Biarlah orang-orang jahat menerima hadiahnya yang setimpal.

   Barang yang tulen, berada di dalam peti kecil ini, pastilah kau telah mandi keringat.

   Kau telanlah ramuan obat mustika yang berada dalam lapisan atas!"

   Meskipun bunyi surat itu meyakinkan, namun Thio Sin Houw tak berani melancangi gurunya.

   Lagipula, tujuannya memasuki goa bukanlah mengarah mustika yang terpendam didalamnya.

   ia ditugaskan memakamkan kerangka seorang leluhur, Maka tak boleh dirinya terpancing pada bunyi surat, sehingga mengabaikan tujuan semula.

   sadar akan hal itu, cepat-cepat ia meletakkan dua peti besi ditepi liang, lalu dengan sikap hormat ia mengebumikan tulang-tulang Gin-coa Long-kun.

   Kemudian dengan hati-hati ia memendam dan meratakan sampai rapi, setelah meletakkan batu tempat duduk almarhum diatas pekuburan sebagai nisan, ia berlutut dan bersembah tiga kali, sedang pedang almarhum tidak disentuhnya.

   ***** SELESAI sudah ia melakukan kewajibannya, secara langsung, sebenarnya ia sudah menjadi ahliwaris Gin-coa Long-kun.

   Akan tetapi dia tidak memikirkan hal itu, Dengan membawa dua peti almarhum, Thio Sin Houw keluar kamar, sampai ditikungan ia berhenti karena terowongan menjadi sempit, ia memperhatikannya.

   Hatinya lega, karena sempitnya terowongan ternyata diatur oleh rencana bangunan.

   Rupanya Gin-coa Long-kun sengaja mengatur demikian rupa, untuk mencegah masuknya seseorang dengan leluasa kedalam goanya.

   Memperoleh pikiran demikian, dengan cekatan ia membongkar susunan batu-batu penyempit.

   Dengan demikian, apabila gurunya kini menghendaki, bisa leluasa masuk ke dalam goa lantaran terowongan menjadi cukup lebar.

   Setibanya dimulut goa, Sin Houw memanggil Un siang agar menarik -tali pengikat.

   Lalu dengan berlari larian ia pulang mencari kedua gurunya.

   Bok-siang Tojin memeriksa surat-surat wasiat, didalam hati ia terperanjat Bok Jin Ceng yang ikut pula memeriksa suratsurat, tak terkecuali.

   Tatkala membuka sampul surat petunjuk membuka peti, ia membaca dengan nyaring.

   "Untuk membuka peti terdapat pesawat rahasia, Untuk membuka, ke dua tanganmu menyentak dengan berbareng. Lalu bukalah penutupnya."

   Bok-siang Tojin dan Bok Jin Ceng kagum bukan main, itulah jebakan yang mengerikan.

   Coba, andaikata Sin Houw serakah sehingga tidak memakamkan jenazah almarhum terlebih dahulu, lalu membuka petinya lantaran bernapsu, ia pasti bakal tersambar pesawat rahasia yang tentu mengancam jiwanya.

   Bok Jin Ceng memerintahkan Nie Un siang mengambil sebuah tong besar yang ukurannya sama setinggi peti besi.

   Lalu ia membuat dua lubang.

   Kemudian peti besi dimasukkan kedalamnya, dan bagian atas tong itu ditutupnya dengan papan.

   "Mari!"

   Bok-siang Tojin mengajak Thio Sin Houw.

   Berdua mereka memasukkan sebelah tangannya masingmasing, lewat lubang tong dan memegang sisi peti bagian pelatuk, setelah saling memberi isyarat dengan berbareng mereka menyentakkan pelatuk yang dipegangnya.

   Penutup peti terdengar menjeblak, lalu terdengar pula suara beruntun membenam pada papan penutup.

   Dan tong tergetar karenanya.

   Thio Sin Houw menunggu beberapa saat.

   Apabila suara getaran terhenti, ia hendak membuka papan penutup.

   Tibatiba gurunya menarik lengannya sambil berseru mencegah.

   


Medali Wasiat -- Yin Yong Maling Romantis -- Khu Lung Si Pedang Kilat -- Gan K L

Cari Blog Ini