Hati Budha Tangan Berbisa 12
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL Bagian 12
Hati Budha Tangan Berbisa Karya dari Gan K L
Kekuatan Lwekangnya sudah dikumpulkan siap menunggu segala perubahan yang mungkin menimpa dirinya.
-()- ( )-()- Undakan ini lurus lempeng menanjak curam ke atas, lebarnya hanya empat kaki, kedua sisinya dipagari dinding batu gunung yang licin mengkilap laksana kaca, kera pun takkan mampu manjat ke atas, hanya undakan satu-satunya jalan untuk naik ke atas.
Ji Bun terus berlari-lari dengan tangkas dan enteng, lekas sekali dia sudah hampir mencapai puncak, jaraknya tinggal puluhan tombak lagi.
Waktu ia mendongak, tampak undakan alam ini seolah-olah sudah bertautan dengan langit, sebuah papan batu yang besar sekali berdiri di ujung undakan.
Empat huruf besar dengan tulisan gaya kuno berjajar melintang "Tempat semayam malaikat perempuan".
Kecuali keempat huruf ini tiada kelihatan apa-apa lagi.
Sekilas Ji Bun menghentikan langkahnya, ia bimbang apakah harus menerjang terus ke atas atau bersuara mohon bertemu.
Tiba-tiba dari atas puncak sana berkumandang suara.
"Malaikat perempuan memanggil Ji-siauhiap."
Mendengar "Ji-siauhiap", Ji Bun lantas tahu pembicara adalah seorang jago silat dari Bu-lim, seketika bangkit nyali Ji Bun, namun hatinya merasa heran pula, bahwa nama dirinya sudah diketahui, ini sungguh membingungkan.
Segera dia mengenjot kaki melayang maju pula dengan beberapa kali lompatan.
Akhirnya dia tiba di bawah papan batu besar, di mana matanya menjelajah, seketika mengkirik bulu kuduknya.
Tampak dua kakek yang berbentuk aneh, laksana dua patung raksasa, masing-masing berduduk di kanan kiri undakan, keduanya memejamkan mata bersimpuh tak bergerak.
Kedatangan Ji Bun seperti tidak diketahui oleh mereka.
-()- ( )-()- Ji Bun tenangkan diri, waktu dia memandang ke depan, kiranya luas puncak bukit ini kira-kira ada satu hektar.
Batu-batu aneh tersebar dimana-mana, pohon-pohon cemara bertebaran.
Tepat di tengah sana berdiri sebuah bangunan berloteng, atapnya dihiasi naga dan burung hong, bentuknya tak ubahnya seperti kelenteng, tapi megahnya tidak kalah daripada istana raja.
Bayangan seorang semampai tampak berdiri di jalanan kecil yang menuju ke loteng megah itu.
Ji Bun disonggong dengan senyuman manis.
Begitu melihat orang ini lebih yakin dan mantap hati Ji Bun akan dugaan semula, karena orang yang menunggu dirinya ini bukan lain adalah gadis baju hijau yang mengaku bernama Liu Gim-gim, serunya segera.
"Nona Liu!"
Tidak nampak lagi sikap genit Liu Gim-gim. Sahutnya setelah memberi hormat.
"Atas perintah Li-sin, silakan Siauhiap masuk menghadapnya."
"Apa betul Cayhe ada jodoh?"
Tanya Ji Bun geli dan mengada-ada.
"Mungkin, silakan ikut hamba,"
Ujar Liu Gim-gim dengan tertawa manis.
"Silakan tunjuk jalan,"
Kata Ji Bun.
Liu Gim-gim langsung membawa Ji Bun naik ke loteng, setelah melewati serambi berpagar batu putih, mereka tiba di depan pintu sebuah ruangan besar.
Empat gadis baju hijau dengan sikap hormat -()- ( )-()- berbaris di depan pintu, masing-masing memegang kebutan, pedang, mistar, dan alat tabuhan.
Bentuk luar bangunan ini sudah megah, ternyata pajangan dan perabot yang ada di dalam jauh lebih mewah lagi.
Dari luar tak kelihatan ada bayangan orang di dalam.
Liu Gim-gim berhenti beberapa langkah di luar pintu, katanya penuh hormat.
"Ji-siauhiap mohon bertemu."
Liu Gim-gim menyingkir memberi jalan, keempat, gadis baju hijau tadi juga berpencar ke kanan kiri.
Hati Ji Bun menjadi tegang, karena mengikuti rasa ingin tahunya saja dia meluruk ke tempat ini.
Tujuan yang pasti tiada, juga tiada maksud-maksud tertentu, soalnya dia tidak tahu siapa sebetulnya orang yang tersembunyi dibalik semua kejadian ini.
Namun dalam hati ia tetap yakin bahwa tiada "malaikat"
Segala di dunia ini, kehadiran Liu Gim-gim sudah merupakan bukti bahwa orang di belakang layar pasti juga seorang persilatan, cuma dari keadaan yang dihadapinya ini, jelas dia pasti bukan orang sembarangan.
Pelahan-lahan dia melangkah masuk, lalu berdiri tegak sambil berpangku tangan menghadap kain gorden.
Terdengar suara merdu yang menarik di belakang tabir berkumandang pula.
"Ji Bun, apa maksudmu kemari?"
Ji Bun kaget bukan main, sekali buka mulut orang sudah menyebut namanya, jelas sudah tahu asal usul dirinya, pula suara orang ini tidak terasa asing baginya.
Namun dalam waktu singkat ini sukar dia memikir di mana pernah dengar suaranya, sejenak dia -()- ( )-()- ragu-ragu, lalu katanya.
"Anak buahmu sendiri yang membawaku kemari."
"Jadi karena ketarik dan ingin tahu saja?"
"Ya, boleh dikatakan demikian."
"Apa pula permintaanmu sekarang."
"Ingin melihat pamor malaikat perempuan yang sebenarnya."
"Hanya itu saja? Ketahuilah, manusia biasa mana boleh berdekatan dengan malaikat, masakah begitu mudah terlaksana keinginanmu?"
"Jadi kau masih tetap mengagulkan diri sebagai malaikat segala?"
"Apa maksudmu?"
"Tiada maksud apa-apa, walau Cayhe orang bodoh, tidak pernah kupercaya adanya malaikat segala."
"Jadi kau anggap aku ini manusia biasa?"
"Malah sebelum ini kita pernah berkenalan, bukan?"
"Bagus, tahukah kau, apa maksudku menyuruh Liu Gim-gim membawamu kemari?"
"Mohon diberi keterangan." -()- ( )-()- "Kalau kau menjadi sandera di sini, memangnya Ji Ing-hong tidak akan keluar?"
Terkesiap hati Ji Bun.
"Siapakah kau? Betulkah ayahku masih hidup?'' "Mungkin saja Ji Ing-hong licik dan licin, tipu muslihatnya masakah dapat mengelabui mata seorang ahli, mungkin kau memang tidak tahu dan dikelabui ayahmu sendiri."
Perasaan Ji Bun tergerak pula, jelas orang ini pasti musuh.
apakah betul ayahnya belum mati? Mana Mungkin? Jari tangan sendiri yang menggali liang lahat dan mengubur jenazahnya.
Barang-barang peninggalan ayahnya juga dia temukan pada jenazah itu, sayang wajah si korban remuk dan tidak bisa dikenali lagi, memangnya di sinikah letak persoalannya? Dia tidak habis mengerti, namun dia berdoa, semoga hal ini memang betul.
Maka dia berkata dingin.
"Kau bermusuhan dengan ayahku? Biarlah aku yang bertanggung jawab memikul semua perbuatannya."
"Kau tidak akan mampu memikulnya. Ji Bun, kau kira siapa aku ini?" ''Kenapa tidak kau keluar menampakkan dirimu?"
Pelan-pelan kain gorden tersingkap, muncul bayangan semampai seorang perempuan jelita.
-()- ( )-()- Ji Bun menjerit kaget dan menyurut mundur.
Kiranya orang yang muncul ini bukan lain adalah perempuan rupawan yang disebut Siancu oleh orang-orang Wi-to-hwe itu.
Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa hari ini dirinya bakal masuk perangkap orang-orang Wi-to-hwe pula.
Memangnya apa tujuan orang menjunjung diri sebagai San-lim-li-sin dan membuat keonaran ini? Tentunya bukan melulu ditujukan kepada ayah dan dirinya, karena dirinya hanya kebetulan lewat di sini.
Dahulu dia bukan tandingan perempuan rupawan ini, tapi sekarang mungkin dia mampu melawannya sama kuat.
Tanyanya segera.
"Apakah kau ini betul-betul Siangkoan-hujin?"
"Ya, ada apa?"
"Kenapa harus pura-pura jadi malaikat segala untuk menipu orang banyak?"
"Ji Bun, kau salah, San-lim-li-sin adalah ibuku, berdasar apa kau mengatakan kami menipu orang?"
"Yang terang dalam Bu-lim belum pernah kudengar nama julukan ini."
"Itu karena pengetahuanmu yang terlalu cetek,"
Sahut perempuan rupawan itu, lalu menambahkan.
"Memang baru-baru ini saja orang-orang berduyun-duyun kemari."
"Apa tujuannya?" -()- ( )-()- "Baiklah kuberitahu. Demi membela kebenaran."
"Membela kebenaran?"
"Tempat ini merupakan perangkap bagi kaum bejat dan sampah persilatan, kau tahu?"
Ji Bun mengertak gigi, wajahnya unjuk rasa gusar, sesuai perkataan orang, dirinya jadi termasuk sampah persilatan. Namun dia segan berdebat, katanya dingin.
"Memang tidak sedikit orang-orang munafik dalam dunia Kang-ouw, jahat lurus sukar dibedakan. Lalu maksud Hujin memancingku kemari hendak menjadikan diriku sandera karena permusuhan Siangkoan-Hwecu dengan ayahku itu?"
"Ya, permusuhan ini harus dibereskan sendiri oleh Ji Ing-hong."
"Tapi bagaimana dengan peristiwa hancurnya Jit-sing-po?"
"Wi-to-hwe tidak bertanggung jawab dalam peristiwa itu."
"Memangnya siapa pang harus bertanggung jawab?"
"Sudah tentu orang yang berbuat, pihak yang melakukan."
"Siapa yang melakukan?"
"Tidak usah aku menjawab pertanyaan ini."
"Tatkala peristiwa itu terjadi, betulkah Siangkoan Hong sendiri juga menuntut balas?" -()- ( )-()- "Ya, tapi sasaran yang dicarinya hanya ayahmu seorang."
"Dapatkah ucapanmu ini dipercaya? Bagaimana kalau aku menuduh Siangkoan Hong yang menjadi biang keladi dari pembantaian besar-besaran itu?"
"Aku tidak bisa, melarang kau mengajukan pendapatmu."
"Jadi kau mengakui tuduhanku ini?"
"Aku tidak ingin berdebat denganmu, sejak sekarang, kau sudah menjadi tawananku."
Bangkit nafsu Ji Bun, serunya gusar.
"Kukira tiada orang yang mampu menahanku di sini."
"Boleh kau mencobanya?"
Habis berkata bayangan perempuan cantik itupun menghilang bagai setan, kain gorden hanya sedikit bergeming.
Rasa benci dan dendam membara di dada Ji Bun, kesan dan tindaknya di Ciang-liong-kok seketika timbul dalam benaknya.
Kalau tidak menggunakan cara keras dan keji, jangan harap tercapai cita-citanya untuk menuntut balas.
Alasan menjadikan dirinya sebagai sandera untuk memancing ayahnya keluar bukan mustahil hanya alasan kosong belaka? Entah apa tujuan yang tersembunyi balik penahanan dirinya ini? -()- ( )-()- Segera dia angkat tangan memotong ke arah kain gorden, di tengah suara robeknya kain gorden, entah kemana perginya perempuan rupawan tadi.
Sesaat dia melenggong, entah sejak kapan pintu keluar ternyata juga sudah tertutup oleh sebuah jaring besar, sekali melejit dia menerjang ke arah pintu, sekuatnya tangan menarik dan menyendal, seketika ia terkesiap, jaring ini entah terbuat dari bahan apa.
Betapa pula besar kekuatannya sekarang, namun tarikannya sedikitpun tidak bisa memutuskan jaring itu.
Keempat gadis baju hijau tetap berdiri di luar pintu, salah seorang yang memegang mistar tiba-tiba berpaling sambil berkata tertawa.
"Te-gak Suseng, tenangkanlah dirimu, jaring benang ulat sutera ini takkan putus dibacok dan dipotong dengan senjata tajam, dibakarpun tidak akan luluh. Betapapun besar kekuatanmu hanya sia-sia belaka, dan atap rumah ini dibangun dengan lapisan besi, kuharap kau tidak membuang-buang tenaga."
Dingin perasaan Ji Bun, namun nafsunya semakin berkobar malah, di mana tangannya terayun, beberapa jalur angin kencang meluncur ke arah empat gadis yang berdiri di luar pintu.
Sebat sekali keempat gadis itu melompat terpencar, segesit kera tahu-tahu mereka sudah berdiri pula di tempatnya semula, gerakannya aneh dan tangkas.
Saking murka, Ji Bun himpun tenaganya menggempur ke arah dinding.
"Blang!"
Suaranya menggelegar, malah diri sendiri terpental mundur oleh tenaga sendiri, gema dari pukulannya sampai sekian lama berkumandang, begitu keras suaranya sampai kuping sendiri -()- ( )-()- serasa pekak.
Mau tak mau dia harus percaya apa yang diucapkan si gadis baju hijau tadi.
Umpama kepandaian setinggi langit juga akan sia-sia belaka, tapi rasa benci, dendam, marah betul-betul hampir membuatnya gila, dia menggerung dengan suara bergetar.
"Perbuatan hina dan rendah ini, memangnya kalian tak malu mengagulkan diri sebagai penegak kebenaran?"
Terdengar suara perempuan rupawan yang berkumandang entah dari mana. Suaranya hampa mengalun di tengah udara.
"Ji Bun, tidak kugunakan kekerasan terhadapmu, itu terhitung aku menggunakan cara yang paling baik."
"Kalau kau mengaku sebagai insan persilatan, kenapa tidak dibereskan dengan kepandaian ilmu silat?"
Tantang Ji Bun.
"Tentu, cuma waktunya belum tiba."
"Sehari Ji Bun tidak mampus, aku bersumpah akan menumpas habis seluruh Wi-to-hwe."
"Asal kau mampu, kutunggu sampai Ji Ing-hong mengunjuk diri.
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketahuilah kehadiran kau di sini sudah tersebar luas di dunia persilatan."
Habis berkata suasana menjadi hening.
Bagai harimau yang terkurung dalam kerangkeng, Ji Bun mondar mandir dengan mengepal tinju, hatinya murka dan penasaran, namun tak berdaya untuk meloloskan diri.
Lima hari sudah Ji Bun terkurung.
Lima hari, namun bagi perasaan Ji Bun seperti lima tahun.
Selama lima hari ini yang sering -()- ( )-()- dilihat dan bertemu muka hanya Liu Gim-gim seorang, walau dirinya dikurung namun pelayanan terhadap dirinya cukup baik, Liu Gim-gim selalu memberikan segala keperluan yang dia butuhkan.
Diam-diam Ji Bun gegetun dan dongkol pula terhadap gadis yang satu ini, kalau bukan gara-gara cewek dirinya pasti takkan terkurung.
Setiap kali muncul dihadapannya, sikap Liu Gim-gim amat menantang lagi.
Tengah hari itu, seperti biasa Liu Gim-gim datang membawa rangsum, satu persatu dia masukkan hidangan yang dibawanya melalui sebuah lubang khusus.
Wajahnya selalu bersenyum manis mesra, lalu dia menunggu di luar jaring sambil berdiri dengan gaya menantang.
Entah sengaja atau tidak, dia sering menggerakkan pinggang dan pinggul, membusungkan payu dara yang baru mekar dan hanya terlindung oleh bajunya yang tipis.
Kali ini Ji Bun tidak mau menyiksa diri, makanan yang dibawakan untuknya disikatnya habis, dengan lahap dia makan sambil menunduk kepala, hati juga bekerja merancang cara dan akal untuk meloloskan diri.
Dengan pandangan pesona Liu Gim-gim mengawasi Ji Bun, jejaka bak arjuna yang meluluhkan hati setiap insan lawan jenisnya, senyuman mesra dan genit wajahnya bertambah mekar.
Entah apa yang tengah dipikirkan? Selama lima hari ini, Ji Bun sudah mual kalau tidak mau dikata jijik menghadapi tingkah pola cewek yang jalang ini, selama ini belum pernah dia memberi hati kepada orang, melirikpun dia tidak sudi.
-()- ( )-()- Dengan suara aleman memikat tiba-tiba Liu Gim-gim berkata "Ji-siauhiap, apakah tidak pernah kau merasa kuatir akan masa depanmu sendiri?"
Ji Bun tetap sibuk menyikat makanannya, sedikitpun tidak menghiraukan ocehan orang.
"Siauhiap seorang berbakat, laki-laki sejati, pribadimu tentu jauh berbeda dengan orang kebanyakan, kesabaran dan ketekunanmu, serta harkat dirimu sungguh membuatku takluk."
Tergerak hati Ji Bun, perempuan ini pandai membual, berjiwa munafik dan pintar memikat, kenapa tidak kuperalat dia saja? Maka lekas dia turunkan mangkok dan sumpit, dimasukkan nampan terus didorong keluar, katanya dingin sambil berdiri.
"Nona Liu ada petunjuk apa terhadapku?"
Biji mata Liu Gim-gim yang jeli bening memancarkan sinar aneh, katanya aleman.
"Ji-siauhiap berada di dalam kurungan, namun masih bersikap begini tenang dan wajar, sungguh mengagumkan."
"Memangnya aku ini seorang persilatan ynag harus berani mempertaruhkan jiwa raga, kenapa harus gentar menghadapi ujian hidup."
"Karena itulah hamba tadi bilang amat kagum akan kebesaran jiwa Siauhiap."
"Ah, kau terlalu memuji." -()- ( )-()- Sekian saat Liu Gim-gim menepekur sambil gigit ujung jari, lalu katanya dengan suara lirih.
"Apakah Siauhiap tidak ingin lolos?"
"Kalau dikatakan ingin, kenyataan tidak mungkin."
"Jadi Siauhiap ingin lolos?"
"Sudah tentu, manusia mana yang tidak ingin bebas merdeka? Demikian juga aku ini."
"Akan tetapi, apa pula rencana Siauhiap setelah bebas?"
"Mungkin nona bisa memberi petunjuk?"
Diam sebentar, akhirnya Liu Gim-gim berkata pula "Dua hari yang lalu, majikan kami telah turun gunung."
Kata-kata ini tiada juntrungannya, namun mengandung maksud tertentu bagi pendengaran Ji Bun, tidak mungkin tanpa sebab nona ini bicara soal ini.
Dasar cerdas, cepat sekali Ji Bun dapat meraba ke mana arah perkataannya, namun dia pura-pura bodoh, tanyanya.
"Majikanmu itu, apakah si Malaikat perempuan?"
"Bukankah Siauhiap sudah tahu, kok tanya lagi ......."
"Kudengar orang memanggilnya Siancu ......."
"Ya, julukan Hujin adalah .........." -()- ( )-()- "Kenapa tidak kau lanjutkan?"
Sedikit berobah rona muka Liu Gim-gim seakan-akan sadar kata-katanya terlalu semberono, disadarinya bahwa dirinya telah berbuat salah dan menyerempet bahaya, namun toh dia tetap memberi jawaban, karena pikirannya sekarang sudah dirasuk perasaan lain dari seorang anak perawan yang baru mekar, kesadarannya sudah tenggelam dikuasai oleh asmara.
"Dia bergelar Hun-tiong-siancu,"
Demikian disambungnya.
"O, Hun-tiong-siancu (dewi dalam mega), memang dia setimpal mendapatkan julukan ini.
Apakah dia cantik?" 18.52.
Keluar Dari Kurungan Jala Sutera "Sukar dicari bandingannya, dia amat cantik.
Dan bagaimana dengan hamba?"
"Kaupun ayu, terutama gerak gerikmu teramat anggun."
"Hamba hanya seorang pesuruh, mana berani mendapat pujian Siauhiap."
Geli hati Ji Bun, agaknya nona ini sudah pusing tujuh keliling karena mabuk kepayang terhadap dirinya, namun kalau sandiwara ini dilanjutkan, persoalan pokok pasti akan segera disinggung. Maka dia lalu bicara blak-blakan.
"Apakah nona ada maksud memberi bantuan kepada Cayhe?" -()- ( )-()- "Wah, terus terang hamba tidak berani mempertaruhkan jiwa raga sendiri, tapi ........"
"Tapi kenapa?"
"Hatiku tidak tega melihat engkau menderita."
"Aku tahu. Sebetulnya nona ingin membantu, namun ada syaratnya bukan?"
Liu Gim-gim terkikik sambil menutup mulut, matanya melirik penuh arti, katanya sedikit kikuk.
"Ji-siauhiap memang lebih cerdik daripada orang lain, terus terang hamba tak berani mengajukan syarat segala, cuma .... cuma tujuanku ......"
"Apa tujuanmu?"
Jengah wajah Liu Gim-gim, katanya dengan malu-malu kucing.
"Hamba hanya seorang pelayan rendah, kurela menyerahkan jiwa ragaku demi Siauhiap."
Biji matanya yang jeli menatap penuh harapan ke arah Ji Bun.
Memang Ji Bun sudah menduga apa yang terkandung dalam benak cewek ini, maka dia tidak kaget atau heran, katanya tawar.
"Apakah ini syaratnya?"
"Terserah kepada Siauhiap."
"Lalu bagaimana aku harus menepati syaratmu ini?" -()- ( )-()- "Bersumpah kepada langit dan bumi bahwa engkau akan mengawiniku dan menjadi suami istri sampai hari tua, segera hamba akan berusaba menolong Siauhiap."
Ji Bun tertegun, berusaha lolos adalah keinginan dan harapan yang mendesak bagi Ji Bun.
Untuk lolos dia boleh menggunakan cara keji atau muslihat kotor apapun, peduli cara keji apa yang akan dia laksanakan.
Bagi seorang insan persilatan yang betul-betul berjiwa ksatria jelas pantang ingkar janji.
Lalu mungkinkah dia menikah dengan perempuan jalang seperti Liu Gim-gim ini? Tidak mungkin, namun kesempatan sebaik ini, mana boleh diabaikan demikian saja.
Kalau Hun-tiong Siancu ada di kandang, umpama nyali Liu Gim-gim setinggi langit juga takkan berani berbuat senekat ini, maka lama sekali Ji Bun tak membuka suara.
"Hamba tahu Siauhiap pasti tidak sudi sama sekali mengawini aku yang rendah ini ........"
Agak kusut pikiran Ji Bun, tak tahu bagaimana dia harus menjawab, katanya sesaat kemudian.
"Biarlah kupikirkan dulu, ini urusan besar, demi masa depan."
Liu Gim-gim celingukan, lalu katanya gugup.
"Ji-koko, waktu tidak memberi kesempatan untuk bimbang hati, kalau Hujin keburu pulang, segala harapan akan sirna."
Merinding sekujur badan Ji Bun mendengar orang memanggil "Ji-koko"
Kepadanya, hatipun muak, sebetulnya dia bisa berbuat apa saja terhadap perempuan genit ini.
Namun Ji Bun tidak sudi berbuat -()- ( )-()- kotor demi kebersihan nama baik sendiri, maka dia berkata pula.
"Berilah satu jam untuk kupikirkan, bagaimana?"
"Wah .....
baiklah, satu jam kemudian aku kemari lagi,"
Sembari bicara Liu Gim-gim ulurkan tangan ke dalam lubang hendak mengukuti perabot, lengannya tampak putih halus, jari-jarinya runcing. Melihat lengan orang, suatu pikiran berkelebat dalam benak Ji Bun, batinnya.
"Memberi kelonggaran kepada musuh berarti berlaku kejam terhadap diri sendiri."
Maka dengan segera dia berkeputusan, dengan senyum lebar tiba-tiba dia membungkuk sambil mengelus lengan orang.
Semula Liu Gim-gim kaget dan secara refleks hendak menarik tangannya, namun dia urungkan niatnya, tangannya dibiarkan dipegang dan dielus-elus, katanya cekikikan senang.
"Ji-koko, kau sudah berubah pikiran dan mantap?"
Tiba-tiba Ji Bun bersikap dingin, katanya dengan suara berat.
"Kau tahu apa julukanku?"
Liu Gim-gim tertegun, jawabnya.
"Te-gak Suseng."
Ji Bun lepas pegangannya, suaranya lebih dingin.
"Bagus, kuharap kau tidak melupakan nama gelaranku ini."
Lenyap tingkah genit Liu Gim-gim tadi, katanya mengerut kening penuh keheranan.
"Apa maksudmu?"
"Ketahuilah, bahwa aku ini bukanlah manusia yang mudah dipelet dan dipermainkan. Sekarang buka jaringan ini." -()- ( )-()- Liu Gim-gim menyurut mundur, suaranya gemetar.
"Kau belum menerima syaratku ........."
"Aku tidak berminat sama sekali."
"Kenapa aku harus membebaskan kau?"
"Untuk menolong jiwamu sendiri. Sudah kupoles racun yang jahat pada lenganmu, tiada orang yang bisa menawarkan racun itu, dalam jangka seperempat jam, nona secantik dirimu bakal melayang jiwanya. Kalau kamu mau membuka jaringan ini, aku berjanji akan menolongmu."
Pucat wajah Liu Gim-gim, dia mundur lagi, teriaknya beringas menuding Ji Bun.
"Kau sungguh kejam ........"
"Sesuai dengan nama gelaranku, memang aku bukan orang baik-baik."
"Ji Bun, kalau aku mati, memangnya kau bisa hidup?"
"Itu persoalan lain."
Berkerutuk gigi Liu Gim-gim, serunya.
"Dalam jangka seperempat jam, aku sudah cukup berlebihan untuk menghancur leburkan tubuhmu."
"Kau berani? Boleh coba." -()- ( )-()- Sekilas Liu Gim-gim melengong, mendadak dia putar tubuh, tangannya meraih cakar naga yang menjadi hiasan ukiran di atas saka di serambi sana. Mencelos hati Ji Bun, sungguh tak pernah dibayangkan bahwa gadis ini berani nekat, cakar naga itu pasti kunci rahasia untuk memutar suatu alat senjata yang ganas. Dirinya terkurung di sini hakikatnya tak mampu mencegah perbuatan orang. Kalau benar dirinya sampai berkorban di tangan budak jalang ini, sungguh matipun takkan meram. Jari-jari Liu Gim-gim sudah pegang cakar naga, desisnya mengancam.
"Ji Bun, jangan kau menyesal!'' Seperti dibakar hati Ji Bun, namun lahirnya dia tetap tenang-tenang, katanya angkuh.
"Aku tidak pernah merasa menyesal."
"Baik, akan kutonton cara bagaimana kau meregang jiwa."
"Liu Gim-gim,"
Pada detik-detik yang menentukan itu, tiba-tiba sebuah bentakan berkumandang dari serambi luar sana.
"besar sekali nyalimu!"
Tahu-tahu seorang nyonya baju hitam setengah baya sudah muncul di depan kamar, kereng wajah nyonya ini, sorot matanya menyala mengawasi Liu Gim-gim.
Seperti berhadapan dengan dedemit, Liu Gim-gim tampak ketakutan, beruntun dia mundur sampai mepet pintu dan berada di depan jaring.
-()- ( )-()- "Budak keparat,"
Damprat nyonya baju hitam bengis.
"apa yang hendak kau lakukan?"
Suara Liu Gim-gim penasaran.
"Aku .... aku .... terkena racunnya."
Nyonya baju hitam melirik ke arah Ji Bun, katanya.
"Kau tahu dia tawanan penting Hujin? Kalau kau membunuhnya dengan Kang-niu-tin, akibat apa yang akan terjadi?"
"Tapi, jiwa hamba tinggal beberapa detik lagi ........"
"Tutup mulutmu, tiada anak buah Siancu yang sebejat dirimu, berani kau berkhianat terhadap Siancu, hendak melakukan perbuatan kotor lagi, kau sendiri harus menerima ganjarannya. Hayo berlutut."
Liu Gim-gim bertekuk lutut, mulutnya sesambatan.
"Congkoan, ampunilah akan kesalahanku yang pertama kali ini."
"Undang-undang yang di tegakkan oleh Li-sin, biarpun Siancu sendiri juga tidak berani mengubahnya, tutup mulutmu."
Seperti kertas air muka Liu Gim-gim, badannya gemetar. Congkoan, nyonya baju hitam itu, mendekati jaring, katanya.
"Ji Bun, kuharap kau memberi obat penawarnya."
"Kenapa? "
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia akan mendapat hukuman sesuai peraturan disini." -()- ( )-()- "Siapa nama yang mulia?"
"Sun Hoan-ji, menjabat Congkoan di sini."
Sejak digembleng dengan ajaran ilmu tingkat tinggi Ban-tok-bun, cara menggunakan racun sudah terlalu mahir bagi Ji Bun.
Dikala mengelus tangan Liu Gim-gim tadi dia sudah mengeluarkan racun penghancur jantung, namun kini dia dapat mengendalikan racun itu supaya bekerja pada waktu-waktu tertentu dan dapat diperhitungkan sesuai dengan keadaan.
Kalau setengah tahun yang lalu, siapa saja yang kesentuh tangan kirinya pasti mampus seketika.
Sekarang sekujur badannya boleh dikatakan berlepotan racun, namun racun dalam tubuhnya hanya bisa mencelakai jiwa orang kalau dikehendakinya sendiri.
Hari ini pertama kali dia gunakan ilmu tingkat tinggi yang baru dipelajarinya itu, soalnya juga karena terpaksa.
Apalagi gerak geriknya selalu terkendali oleh larangan perguruan yang tidak boleh sembarangan membunuh, yang benar dia sendiri juga tidak ingin mengambil jiwa Liu Gim-gim.
Oleh karena itu dia berkata keras.
"Nona Liu coba ulurkan kemari tanganmu."
"Untuk apa?"
Tanya Liu Gim-gim menoleh.
"Menawarkan racun dalam tubuhmu."
"Tidak mau."
"Kenapa?"
"Akhirnya aku juga mati, biar aku mati di tanganmu saja." -()- ( )-()- "Memangnya kau bisa berbuat sesukamu di sini?"
Damprat Sun Hoan-ji, sekali lompat dia jinjing tubuh Liu Gim-gim dan tangannya dimasukkan ke dalam lubang.
Mata mendelik dan gigi berkerutuk, namun Liu Gim-gim tidak bisa meronta, dia tidak berani melawan.
Lekas Ji Bun pegang pergelangan tangan orang, diam-diam dia kerahkan tenaga murni menyedot kadar racun di badan orang, dengan cepat dia lepas tangan lagi, katanya.
"Sudah selesai."
Cara menawarkan racun yang aneh luar biasa ini, selama hidup belum pernah Nyonya baju hitam mendengar atau menyaksikan, sesaat dia berdiri melongo.
Pada saat itulah, dari bawah loteng sana tiba-tiba berkumandang suara hardikan dan berdentingnya suara senjata, agaknya terjadi baku hantam yang ramai di bawah sana.
Berubah air muka nyonya baju hitam, sekali berkelebat dia bawa Liu Gim-gim pergi.
Ji Bun merasa kaget, siapakah yang berani mencari setori di atas puncak ini? Suara gaduh pertempuran berkumandang di sana sini, pekik teriakan kesakitan juga saling susul, agaknya korban sudah mulai berjatuhan.
Dari suara baku hantam yang gaduh ini, terang tidak sedikit orang yang tengah bertempur.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang meluncur naik ke atas loteng, secepat kilat menubruk kebilangan kanan, namun cepat sekali berlari keluar pula dan menyusup ke arah kiri.
Agaknya dia sedang mencari -()- ( )-()- apa-apa, menggeremet di depan kamar tempat Ji Bun dikurung, melihat jaring besar ini, seketika mulutnya bersuara terjepit.
Ji Bun berjingkrak mendengar suara orang, keruan senangnya bukan main, lekas dia berteriak.
"Toako, aku ada di sini."
Yang datang kiranya Ui Bing, kini dia menyamar sebagai seorang Busu baju hitam, kalau tadi dia tidak bersuara pasti Ji Bun tidak mengenalnya. Ui Bing mendekati jaring, serunya.
"Hiante, kau masih sehat? Sudah lima hari, kuduga kau sudah tiada, apakah yang terjadi?"
"Aku terkurung oleh jaring ulat ini. Siapakah yang berhantam di luar itu?"
"Jago-jago Ngo-hong-kau, jumlahnya 50-an, aku mencampurkan diri di antara mereka, baru berhasil menyelundup kemari."
"Tangga batu yang sempit berbahaya itu tak kuasa menghalangi mereka?"
Setelah mengorbankan 12 jagonya baru Ngo-hong-kau dapat menjebol penjagaan itu."
"Kedua makhluk yang berjaga itu?"
"Sudah tentu mampus.
Biar kucari alat pembukanya dulu." -()- ( )-()- Habis berkata, tangan meraba dan menendang, dengan teliti dia mencari tombol untuk membuka jaringan ini Sebagai murid Biau-jiu Siansing, maling sakti nomor wahid di seluruh jagat, sudah tentu Ui Bing cukup ahli juga dalam hal alat-alat rahasia.
"Awas!"
Tiba-tiba Ji Bun berseru memperingatkan, sejalur angin kencang tiba-tiba menerjang ke arah Ui Bing, penyerangnya adalah seorang gadis baju hijau, munculnya begitu mendadak, namun Ui Bing berjuluk Sian-tian-khek, gerak geriknya tentu cukup tangkas.
Tapi kalau dibandingkan lawannya dia masih kalah, beruntun dicecar tiga kali tabasan pedang, sehingga Ui Bing melompat mundur kewalahan, keadaannya sangat berbahaya.
Dalam sepuluh jurus, jelas Ui Bing tidak akan lolos dari rangsakan pedang si gadis.
Ji Bun gelisah, tangan diulur keluar jaring, dengan tenaga selentikan jari dia menyerang lawan dengan kekuatan murninya.
"Trak", kepala naga yang ada di saka, tiba-tiba protol dan terlempar jauh.
"Rebahlah,"
Berbareng si gadis menghardik, di tengah kumandang suaranya, pundak Ui Bing kontan berdarah, tubuhnya sempoyongan.
Gerakan pedang si gadis tidak berhenti, tahu-tahu ujungnya mengancam ulu hati Ui Bing, sebat sekali Ui Bing berusaha melompat, namun gerak geriknya selalu dibayangi oleh ujung pedang sigadis, agaknya dia sukar terhindar dari bahaya.
Untunglah bertepatan dengan protolnya kepala naga itu, tiba-tiba jaring besar yang mengurung Ji Bun tiba-tiba menggulung sendiri keatas.
Keruan bukan kepalang girang Ji Bun, selentikan jari tadi sebetulnya menyerang si gadis, namun gerakan si gadis teramat -()- ( )-()- gesit, malah sebaliknya kepala naga ini yang terkena selentikan tenaga jarinya dan mengenai alat rahasia yang tepat sehingga membebaskan diri sendiri.
"Huuuaaah!"
Di tengah teriakan yang mengerikan, tampak gadis baju hitam itu roboh tersungkur roboh binasa.
"Hiante, kau ...."
Seperti melihat suatu keajaiban, tiba-tiba Ui Bing berteriak.
"Secara kebetulan, mimpi juga aku tidak menduganya,"
Ujar Ji Bun sambil menuding ke arah saka.
"Bagaimana keadaan Toako?"
"Luka-luka luar saja, tidak jadi soal,"
Lekas-lekas dia keluarkan obat, menelan pil serta membubuhi puyer pada luka-lukanya.
Suara baku hantam masih gaduh di luar, namun semakin mendekati bangunan loteng.
Menyala sinar mata Ji Bun, serunya penuh murka ."Akan kucuci tempat ini dengan darah."
"Jangan!"
Lekas Ui Bing mencegah.
"Kenapa?"
"Kau mau membantu Ngo-hong-kau? Sebagai seorang Busu, memangnya kau hendak mengail di air keruh?"
Sejenak Ji Bun ragu-ragu, katanya.
"Apa harus tinggal pergi begini saja?" -()- ( )-()- "Kalau pihak tuan rumah tiada bala bantuan, pihak Ngo-hong-kau pasti berhasil menguasai keadaan di sini."
Tatkala mereka bicara, tiba-tiba sesosok bayangan orang melesat ke atas loteng. Kiranya seorang pemuda baju sutera, tangan menenteng pedang sekujur badan berlepotan darah. Begitu berdiri tegak segera dia menuding Ui Bing seraya membentak.
"Kenapa tidak turun tangan?"
Agaknya dia kira Ui Bing sebagai anak buah Ngo-hong-kau. Ji Bun melirik sekitarnya, lalu menyambut dengan suara dingin.
"Selamat bertemu!"
Pemuda baju sutera adalah salah satu Ngo-hong-su-cia yang pernah bentrok di luar kota Bik-seng tempo hari, temannya sudah mati di tangan Ji Bun.
Berhadapan dengan pemuda ini mau tak mau Ji Bun lantas ingat pada kekasihnya, Thian-thay-mo-ki, nafsunya seketika memuncak tak terkendali lagi.
Begitu berhadapan dan melihat jelas musuh dihadapannya, seketika berobah roman pemuda baju sutera, cepat dia putar badan hendak melarikan diri.
Sebat sekali Ji Bun berkelebat mencegat, desisnya.
"Kau harus mampus!"
Kontan dia menyerang dengan Tok-jiu-it-sek.
Lekas Ngo-hong-su-cia melintangkan pedang terus membabat, namun sebelum gerak pedangnya dikembangkan, tiba-tiba mulutnya menjerit keras terus terjungkal roboh.
-()- ( )-()- Ji Bun tidak hiraukan mati hidup orang, segera dia melayang turun sambil berseru.
"Toako, hayo keluar."
Ui Bing segera melejit turun pula di belakangnya.
Mayat sudah bergelimpangan di bawah loteng, ada laki-laki ada perempuan, yang perempuan adalah anak murid Hun-tiong Siancu, di mana-mana orang masih baku hantam dengan sengit, suara gaduh masih menguasai keadaan.
Sekilas Ji Bun memandang, dilihatnya perempuan baju hitam yang menamakan diri Congkoan Sun Hoan-ji tengah bergebrak melawan seorang tua baju sutera.
Dari cara tempur dan tipu-tipu yang dilontarkan, jelas mereka merupakan lawan setanding yang berkepandaian paling tinggi di antara kelompok lain.
Namun setiap kelompok yang lagi bertahan, semuanya bertempur sengit dan seru, nekat mengadu jiwa.
Ui Bing segera menuding laki-laki tua baju sutera itu, katanya.
"Itulah pimpinan orang-orang Ngo-hong-kau."
Ji Bun manggut, sebuah hardikan berkumandang dari arah kiri, tampak seorang gadis baju hijau tersungkur roboh binasa oleh tabasan pedang seorang laki-laki baju sutera, agaknya laki-laki ini masih belum puas, meski lawannya sudah mampus, tapi dia masih memburu maju, baju si gadis diiris sobek sehingga dada si gadis terbuka lebar.
Perbuatan yang kotor dan rendah serta hina ini membuat Ji Bun naik pitam, sekali lompat dia menubruk ke sana, belum lagi laki-laki baju sutera itu melihat jelas siapa yang menyerang dirinya, tahu-tahu kepalanya sudah pecah terhantam oleh Ji Bun.
-()- ( )-()- Entah siapa tiba-tiba berteriak ketakutan.
"Te-gak Suseng!"
Teriakan ini sungguh menimbulkan pengaruh besar, semua orang yang lagi bertempur segera berhenti dan berlompatan mundur.
Ji Bun segera menuju ke arah laki-laki tua baju sutera, di mana tangannya bekerja musuh pasti bergelimpangan, sejauh lima tombak dia melangkah, pihak Ngo-hong-kau roboh tujuh orang.
Cepat orang tua baju sutera melancarkan tiga kali pukulan mendesak mundur perempuan baju hitam, lalu menubruk ke arah Ji Bun.
Melihat Ji Bun tiba-tiba muncul, tapi orang-orang Ngo-hong-kau yang dipukulnya binasa, keruan perempuan baju hitam berdiri melongo kaget.
Sementara itu Ji Bun telah menyongsong kedatangan laki-laki tua baju sutera, tanpa bicara dia lontarkan jurus Tok-jiu-it-sek.
Ternyata kepandaian lawan teramat tinggi, gerakannya tangkas, mundurnya juga tidak kalah sebatnya, hanya sedikit bergoyang tahu-tahu dia sudah meluputkan diri dari serangan Ji Bun yang mematikan, belum lagi gerakan Ji Bun berubah, pedang panjang orang sudah menyerang laksana samberan kilat.
Mau tidak mau Ji Bun terdesak mundur dua langkah, disaat mundur itu sekaligus iapun menabas dengan telapak tangan yang dilandasi sepenuh tenaganya.
Dahsyat sekali pukulannya, gerakan pedang si orang tua sampai tersampuk miring, gerakkannya menjadi sedikit lamban, pada detik inilah jurus kedua Ji Bun sudah menyerang tiba.
-()- ( )-()- Tapi pada waktu yang sama Ji Bun juga merasakan angin dingin hawa pedang tengah mengincarnya dari belakang.
Dari samberan anginnya, Ji Bun tahu si penyerang adalah seorang ahli pedang yang berkepandaian tinggi.
Didesak keadaan, terpaksa Ji Bun menggeser tubuh ke samping, karena gerakannya ini, dengan sendirinya kekuatan serangan jurus kedua menjadi berkurang, namun Tok-jiu-ji-sek memang bukan main lihaynya, tak urung laki-laki tua baju sutera mengerang kesakitan dan sempoyongan beberapa tindak.
Ji Bun melirik ke belakang, seketika mulutnya berteriak kaget, mata seketika menjadi gelap, hampir saja dia terjungkal roboh.
Orang yang membokongnya dengan pedang ternyata adalah paman Ciang.
Untuk menyembuhkan tangan kirinya yang beracun, Ciang Wi-bin pergi ke danau setan di Cong-lam-san mencarikan obat, tak terkira tiba-tiba muncul di sini, lebih tidak pernah terpikir bahwa beliau sudah menjadi anak buah Ngo-hong-kau serta tega menyerang dirinya.
"Kenapa orang sendiri dan musuh sama ingin membunuh diriku? Kenapa sahabat ayah yang selalu dihormati ini tega membunuh diriku.
Sungguh Ji Bun tidak habis mengerti.
Hatinya sakit seperti ditusuk sembilu.
Disebelah sana Ui Bing juga berteriak kaget dan girang pula.
Ciang Wi-bin berkata.
"Ji Bun, tidak pantas kau membantu musuh." -()- ( )-()- Megap-megap mulut Ji Bun, sekian lama baru keluar suaranya.
"Aku ...... membantu musuh?"
Ciang-Wi-bin membentak.
"Apa kau lupa, Wi-to-hwe adalah musuh besarmu?"
"Paman ........"
"Jangan banyak bicara, sekarang bereskan orang-orang Wi-tohwe."
Tiba-tiba Ui Bing berteriak.
"Dia bukan Ciang Wi-bin, dia palsu."
Ji Bun tersentak sadar, mulutnya menggerung sekeras-kerasnya, dengan sengit segera dia layangkan kepalannya.
Sementara itu perempuan baju hitam telah melawan laki-laki tua baju sutera yang sudah terluka itu.
Permainan pedang orang yang memalsu Ciang Wi-bin ternyata cukup lihay, walau Ji Bun menyerang dengan sengit, namun dia tetap bertahan ketat malah balas menyerang setiap ada kesempatan.
Hawa pedang yang dimainkan bisa merobek badan orang, sinar pedangnya laksana jala yang berlapis-lapis, rapat dan ketat.
Tujuh delapan gebrak telah lewat namun keduanya masih setanding.
18.53.
Rahasia Ngo-hong Kaucu -()- ( )-()- Tiba-tiba sebuah jeritan keras menyayat hati membarengi si orang tua baju sutera roboh terkapar.
Laki-laki yang memalsu Ciang Wi-bin segera memberi aba-aba.
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mundur!"
Karena memecah perhatian memberi perintah ini, Ji Bun memperoleh kesempatan, Tok-jiu-sam-sek laksana kilat cepatnya dilancarkan, sebetulnya Ji Bun belum berani melancarkan serangan ganas dari Giam-ong-yan-khek ini, namun besar niatnya hendak merobohkan lawan yang satu ini maka tanpa banyak pikir segera dia lancarkan serangan yang mematikan ini.
Ciang Wi-bin palsu kontan roboh binasa.
Anak buah Ngo-hong-kau serempak berlarian menuju ke tangga hendak meloloskan diri ke bawah puncak, suasana menjadi gaduh dan panik.
Ji Bun berteriak sambil menuding mayat di sampingnya ke arah Ui Bing.
"Toako, lihatlah wajah aslinya!"
Akhiri kata-katanya itu tubuhnya sudah melambung tinggi meluncur ke arah undakan batu.
Rasa bencinya sudah memuncak, sengaja dia tidak mau membiarkan seorangpun anak buah Ngo-hong-kau lolos.
Maka di tengah udara secepat angin lesus dia berputar terus meluncur turun ke tempat di mana semula kedua makhluk tua itu berada.
Begitu dia membalik tubuh, kebetulan anak buah Ngo-hong-kau yang lari paling depanpun tiba, kontan dia kebutkan lengannya, dua jeritan memecah keheningan udara, bayangan orang satu persatu terjungkal roboh binasa.
Laksana membabat rumput saja Ji Bun binasakan semua anak buah Ngo-hong-kau yang lari dikejar anak buah San-lim-li-sin.
Hanya sekejap -()- ( )-()- saja pertempuran telah berakhir, darah berceceran di mana-mana, mayat bergelimpangan.
Sebagai Congkoan, segera perempuan baju hitam Sun Hoan-ji perintahkan anak buahnya membersihkan darah dan menggotong pergi mayat-mayat yang bergelimpangan.
Langsung dia menghampiri Ji Bun, katanya sungguh-sungguh.
"Kami mewakili Hujin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Siauhiap yang telah membantu kami."
"Tidak usah,"
Ujar Ji Bun dingin.
"aku tak sengaja membantu kalian."
Berubah air muka perempuan baju hitam, tanyanya.
"Cara bagaimana kau bisa lolos?"
"Kukira tak perlu aku menjelaskan."
Ui Bing mendatangi dengan langkah lebar.
"Toako,"
Tanya Ji Bun.
"siapakah yang memalsu paman Ciang?"
"Belum pernah kenal, yang terang dia adalah jagoan Ngo-hong-kau."
"Apa maksud mereka menyamar jadi paman Ciang?"
"Marilah kita turun dulu, nanti kujelaskan." -()- ( )-()- "Sulit dikatakan, mungkin ingin memfitnah, supaya pihak Wi-tohwe mencari perhitungan kepada beliau, atau mungkin ada muslihat lain."
"Darimana Toako tahu kalau dia palsu dan samaran."
"Marilah kita turun dulu, nanti kujelaskan."
"Sun-congkoan,"
Kata Ji Bun.
"tidak lama kami akan bertemu lagi, dikala aku kemari, keadaan akan melebihi hari ini."
"Silakan saja,"
Sahut Sun-congkoan. Ji Bun berdua segera turun dari undakan, ternyata orang-orang yang bersembah sujud dibawah bukit sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Maka sambil berjalan Ui Bing lalu memberi penjelasan.
"Pertama, paman Ciang pergi ke danau setan, tak mungkin muncul secara mendadak di sini. Kedua, suara dan permainan silatnya jauh berbeda. Ketiga, baru saja paman Ciang dirampok habis-habisan, tidak mungkin dia mau menyerah kepada musuh."
"Betul, kenapa aku mudah dikelabui, sebetulnya aku sudah menduga sebelumnya,"
Lalu Ji Bun menceriterakan pengalamannya kenapa sampai dirinya terkurung. Tatkala itu mereka sudah tiba di bawah gunung, Ui Bing perlambat langkah, kakinya, katanya.
"Hiante, bagaimana kalau sekarang kita menuju ke danau setan untuk mencari jejak paman Ciang?" -()- ( )-()- Berkata Ji Bun dengan serius.
"Tidak, Siaute ingin, pergi ke markas Ngo-hong-kau lebih dulu."
"Kau sudah tahu di mana letak markas pusatnya?"
"Ya, berada di belakang puncak Siong-san, dari sini jaraknya tidak terlalu jauh."
Ui Bing berpikir sebentar, lalu katanya.
"Baiklah, mari kita berangkat."
"Tidak, kita harus bekerja secara terpencar, kuharap Toako berusaha menemukan gurumu, karena banyak persoalan yang ingin kumohon petunjuknya, setelah kubereskan urusan di Ngo-hong-kau, baru ......."
"Watak guruku aneh, kecuali dia yang mencarimu, kemanapun kau mencarinya pasti takkan ketemu."
"Mohon Toako suka berusaha menemukan beliau?"
"Hiante kira kepandaianku rendah dan takkan bisa bekerja, serta merupakan beban belaka bagimu?"
"Bukan begitu maksudku,"
Jawab Ji Bun.
Yang betul Ji Bun tidak ingin Ui Bing ikut menyerempet bahaya, tujuan ke Ngo-hong-kau tak ubahnya memasuki rawa naga dan sarang harimau, jago-jago sllat Ngo-hong-kau amat banyak, seorang Duta saja, Ui Bing bukan tandingannya.
Apalagi dari keterangan Kiang Giok sebelum ajal, -()- ( )-()- kemungkinan sekali Ngo-hong Kaucu adalah murid murtad perguruannya, kalau Ui Bing mendampinginya, terlalu sukar untuk menyelesaikan pembersihan perguruan ini.
Namun dia kehilangan kata-kata untuk mencegah ikutnya Ui Bing, alisnya bertaut, lama dia berpikir mencari akal.
Sebagai kawakan Kangouw, jalan pikiran Ui Bing cukup teliti dan terbuka, melihat sikap Ji Bun yang serba salah ini, terpaksa dia ubah sikap.
"Apakah Hiante ada kesulitan yang bisa diutarakan?"
Apa boleh buat Ji Bun manggut-manggut, ujarnya.
"Memang benar."
"Baiklah, aku tidak jadi ikut, lalu di mana selanjutnya kita bertemu?"
"Di kota Jip-ciu, bagaimana?"
"Baik!"
Keduanya terus berjalan di lereng pegunungan, menjelang magrib baru mereka keluar dari gunung, di depan mengadang persimpangan jalan.
Kata Ui Bing sambil pegang tangan Ji Bun.
"Hiante kita harus berpisah, jagalah dirimu dalam sepuluh hari bertemu lagi di kota Jip-ciu."
Oo Siong-san, di mana Siau-lim-pay yang merupakan simbul kebesaran kaum persilatan berada, walau beberapa tahun belakangan ini, kebesaran dan kecemerlangannya agak pudar, namun kejayaannya tetap tidak pernah runtuh.
-()- ( )-()- Bagian belakang gunung nan dalam dan jauh sana, jarang diinjak manusia, gunung gemunung sambung menyambung seperti gajah beriring, jurang berlapis, puncak bertingkat, keadaan di sini penuh hutan belukar dan liar.
Tengah hari itu, tatkala kabut di atas gunung sirna dibuyarkan oleh panasnya matahari, tampak seorang pemuda pelajar berjubah hijau tengah berlenggang dengan langkah ringan berlari-lari, di pegunungan yang penuh belukar itu.
Dia bukan lain adalah Ji Bun yang dirundung niat menyala untuk menolong ibu dan kekasihnya.
Sang waktu berjalan tanpa terasa, matahari tahu-tahu sudah doyong ke barat, Ji Bun sudah mengobrak-abrik pegunungan seluas puluhan li, namun tetap tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan.
Jangankan orang Ngo-hong-kau, seorang penebang kayupun tidak ditemukan.
Hari hampir sore, kabut mulai timbul lagi, namun hasil usahanya tetap nihil.
Kini dia berdiri di atas sebuah puncak tinggi, hatinya kecewa dan putus asa.
Kalau benar Ngo-hong-kau mendirikan markas di sini, sedikit banyak pasti ada jejaknya, apakah keterangan Kiang Giok dapat dipercaya? Dia mulai sangsi.
Mendadak bayangan seorang laksana setan melayang keluar dari hutan yang lebat sana.
Kuping dan mata Ji Bun cukup tajam, segera dia merasakan kedatangan orang.
Waktu dia putar tubuh, dilihatnya lima tombak di sebelah sana berdiri seorang pemuda baju sutera, dari dandanan orang dia yakin bahwa orang ini pasti salah seorang Duta Ngo-hong-kau, penemuan ini seketika mengobarkan semangatnya, terhitung sukseslah perjalanannya kali ini.
-()- ( )-()- Pemuda baju sutera buka suara lebih dulu.
"Te-gak Suseng, untuk apa kau kemari?"
Ji Bun melompat maju ke depan orang, katanya.
"Kau ini Ngo-hong-su-cia? Aku hendak ketemu dengan Kaucu kalian."
"Ya, untuk apa kau hendak bertemu dengan Kaucu kami? Yang terang Kaucu tidak ingin menemuimu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku diperintahkan kemari untuk menyampaikan berita padamu."
Diam-diam terkesiap hati Ji Bun, kiranya perjalanan dirinya kemari sudah diketahui pihak lawan.
"Menyampaikan berita apa?"
Tanyanya.
"Ibu dan kekasihmu Thian-thay-mo-ki mendapat pelayanan yang baik sekali."
Bersinar pandangan Ji Bun.
"Masih ada apa lagi?"
"Kaucu mengajukan satu syarat sebagai imbalannya, kalau kau berhasil melakukannya, ibu dan kekasihmu akan dibebaskan."
"Kalau tidak kuterima syarat ini?"
"Selama hidupmu takkan bisa bertemu lagi dengan mereka." -()- ( )-()- "Apakah syaratnya?"
"Batok kepala Wi-to-hwecu suami isteri sebagai imbalannya."
"Apa, batok kepala Siangkoan Hong dan Hun-tiong Siancu? Kau yakin aku mau melakukannya?"
"Sudah tentu. Pertama, Siangkoan Hong suami isteri adalah musuhmu. Kedua, demi keselamatan ibu dan kekasihmu kau harus bekerja menurut petunjuk kami."
Alasan ini memang tepat dan benar, namun masakah Ji Bun mau dipermainkan begini saja setelah berhasil menemukan markas musuh? Maka dengan dingin dia mendengus.
"Inikah beritamu? Aku takkan menerimanya."
Berubah air muka pemuda baju sutera, serunya.
"Kau akan menyesal. Sampai bertemu!"
"Jangan bergerak,"
Bentak Ji Bun.
"Jangan kau kira bisa pergi demikian saja, sebutkan dulu nama Kaucumu."
"Kau kira keinginanmu dapat terlaksana?"
"Memangnya kau berani membangkang,"
Ji Bun mendesak maju. Pemuda baju sutera menyurut mundur dengan ketakutan, tiba-tiba dia melompat balik terus lari sipat kuping, gerakkannya teramat cepat dan mengejutkan, namun Ji Bun tak membiarkan dia lolos. -()- ( )-()- "Berhenti,"
Ditengah hardikannya, tak kalah cepatnya tubuhnya berkelebat, tahu-tahu ia sudah menghadang di depan orang.
Dengan gerakan cepat sementara itu mereka sudah berada di pinggir hutan, kalau pemuda baju sutera itu sampai menyusup ke dalam hutan, urusan tentu runyam.
Bagai kilat menyambar, sambil melompat Ji Bun kebaskan lengannya, walaupun serangan ini tidak sekuat biasanya, di mana angin menggulung, pemuda baju sutera tergentak sompoyongan.
Sebat sekali Ji Bun menubruk maju seraya membentak.
"Kau kira mampu lolos dari tanganku?"
Pucat pemuda itu, kembali dia menyurut sejauh mungkin, tahu-tahu tangannya terayun. Serangkum bau harum tiba-tiba merangsang hidung Ji Bun. Tak terduga Ji Bun malah menjengek dengan nada menghina.
"Ternyata kau juga belajar menggunakan racun, sayang kebentur aku si bangkotan pemakai racun."
Karena terdesak dan kehabisan akal sehingga tanpa pikir pemuda baju sutera menyerang dengan menggunakan racun, tak pernah terpikir olehnya bahwa Te-gak Suseng gembongnya ahli racun jaman itu.
Kini Ji Bun lebih yakin lagi bahwa Ngo-hong Kaucu pasti orang yang memperoleh Tok-keng, tapi mengkhianati perguruan.
Mendadak pemuda itu berteriak aneh, serangannya bagai kilat menyambar, dengan nekat dia merangsak Ji Bun.
Seperti kata pameo "seorang berlaku nekat, orang banyakpun tak kuat melawannya".
Lwekang pemuda dari Ngo-hong-kau ini memangnya tinggi, kini menyerang dengan nekat dan membabi buta lagi, sudah -()- ( )-()- tentu Ji Bun menjadi kerepotan juga meski kepandaian silatnya lebih unggul.
Sayang kekuatan pemuda baju sutera juga terbatas, yang diandalkan hanya semangat yang menyala sebentar, bicara soal Lwekang dan kepandaian, betapapun dia terpaut jauh sekali dibanding Ji Bun.
Setelah rangsakkan pemuda itu hampir mencapai titik balik yang menentukan, Ji Bun pun mendapatkan kesempatan untuk melancarkan Tok-jiu-it-sek.
"Ciiaaaat!"
Pemuda baju sutera menggembor sekeras-kerasnya, darah menyembur dari mulutnya, badan terkapar sebentar, ternyata dia masih kuat meronta berdiri pula.
Ji Bun tahu dia harus mempertahankan jiwa orang ini untuk didengar keterangannya, maka dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Boleh kau tidak menjawab pertanyaanku, tapi tunjukkan jalan menuju ke markas pusat kalian!"
Menyeka darah dimulutnya, pemuda baju sutera menjawab tegas.
"Jangan harap!"
Keruan memuncak amarah Ji Bun, sekali ulur tiba-tiba dia cengkeram pundak orang, kelima jarinya ambles ke kulit daging pundak orang, darah meleleh dari sela-sela jarinya, warna darah yang menyolok kelihatan segar membasahi baju sutera berwarna kelabu itu.
"Berani sekali lagi kau mengatakan tidak?"
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak!"
Tegas jawab pemuda itu.
-()- ( )-()- Ji Bun perkeras cengkeramnya, pemuda baju sutera seketika melolong seperti binatang kesakitan, tulang pundaknya remuk, keringat dingin sebesar kacang berketes-ketes, kulit daging wajahnya berkerut-kerut aneh, sorot matanya diliputi ketakutan seram penuh kebencian serta dendam.
"Te-gak Suseng,"
Desisnya menahan sakit.
"kau akan mendapat balasan sepuluh kali lipat lebih berat daripada deritaku ini."
"Itu bukan urusanmu. Katakan, kau mau tidak tunduk akan perintahku?"
Karena pemuda baju sutera tetap bungkam, semakin berkobar nafsu Ji Bun, hardiknya.
"Kau tidak mau buka mulut, memangnya orang lain tidak, kalau kau ingin mampus, jangan kau salahkan aku berlaku kejam terhadapmu."
Sekonyong-konyong puluhan bayangan orang muncul bersama dari berbagai penjuru, semuanya berseragam baju sutera, bersenjata pedang dan lain-lain senjata tajam.
Sekilas pandang Ji Bun lantas tahu yang datang semua adalah anak buah Ngo-hong-kau.
Akhirnya dari rombongan belakang tampil seorang laki-laki berjubah sutera yang gagah perkasa, langsung dia menghampiri Ji Bun, bentaknya dengan suara berat.
"Lepaskan dia!"
Tajam dan wapada Ji Bun awasi orang, katanya.
"Siapa tuan ini?"
"Aku adalah Ngo-hong Kaucu!"
Darah kontan mendidih di rongga dada Ji Bun, sorot matanya semakin jalang, sekali gentak dan ayun, pekik panjang seketika menggema di angkasa.
Ngo-hong-su-cia yang jadi tawanannya tiba- -()- ( )-()- tiba dia lempar sejauh lima tombak dan membentur batu serta pecah kepalanya.
"Ji Bun,"
Teriak Ngo-hong Kaucu.
"Gila kau!"
Tanpa gentar sedikitpun Ji Bun mendelik ke arah Ngo-hong Kaucu, ingin dia saksikan secermatnya wajah murid murtad ini, lama sekali baru dia mendesis di antara sela-sela giginya yang berkerutuk itu.
"Siapa nama gelaran Tuan?"
Ngo-hong Kaucu terloroh-loroh, ujarnya.
"Anak muda, kau belum setimpal tanya namaku."
Sejenak Ji Bun menepekur, katanya.
"Kebetulan kau datang, marilah kita bicarakan dulu persoalan pribadi ........"
"Apa, urusan pribadi? Baiklah, ada dendam apa kau?"
"Bukankah kalian yang membantai orang-orang Jit-sing-po?"
"Aku pernah menyuruh orang menyampaikan kabar padamu, pergilah temui Wi-to-hwecu."
"Kau ini sebagai Kaucu, apakah kata-katamu boleh dipercaya?"
"Sudah tentu."
"Memangnya kenapa ibuku harus kau tawan?" -()- ( )-()- "Demi merajai Bu-lim, demi mencapai cita-cita, perduli pakai cara apapun, untuk ini tidak perlu aku memberi penjelasan padamu."
"Aku kurang puas akan jawabanmu ini. Lalu apapula tujuanmu membunuh Sam-cay Lolo dan menculik Thian-thay-mo-ki?"
"Sudah tentu karena alasan yang sama."
"Sekarang lepaskanlah ibuku dan Thian-thay-mo-ki."
"Hm, memangnya begitu mudah?"
Jengek Ngo-hong Kaucu.
"Kau harus kerjakan apa yang kukatakan, kalau tidak anjing ayampun takkan kutinggalkan hidup di dalam Ngo-hong-kau."
"Kata-katamu yang takabur ini memangnya dapat membuat aku jeri?"
Ji Bun sudah ingin turun tangan, namun dia tetap bersabar diri, karena banyak persoalan perlu dia bicarakan lebih dulu.
Lagi orang adalah sesama saudara seperguruan dari dua generasi yang berlainan, terpaksa ia tekan gejolak hatinya meski sudah hampir meletus, katanya pula dengan menggertak gigi.
"Tuan mau melepaskan mereka tidak?"
"Kecuali barter dengan kepala Siangkoan Hong suami isteri. Membunuh dua orang dalam pandanganku tak ubahnya seperti memites dua ekor semut."
"Kau ..... memang tidak berperi-kemanusiaan ........" -()- ( )-()- "Kalau bicara peri-kemanusiaan, aku takkan hidup sampai sekarang."
Tatkala itu sang surya sudah doyong ke ufuk barat, sinar surya yang kuning emas terpancar benderang.
Semua hadirin berdiri tegak dengan kereng, pedang mereka tampak gemerlapan, suasana menanjak tegang, hawa terasa dingin mencekam.
Sejenak Ji Bun tenangkan diri, namun matanya tetap menyala, desisnya.
"Soal pribadi boleh di kesampingkan dulu, marilah kita bicarakan pula urusan keluarga ......."
"Apa urusan keluarga?"
"Peristiwa orang tua she Ngo yang kau kurung di bawah tanah dalam gedung di kota Bik-su itu, kau takkan mungkir bukan?"
Ngo-hong Kaucu menyurut mundur, matanya mendelik ganas, suaranya gemetar.
"Kau anggap ini urusan keluarga? Apa maksudmu? "Jadi kau ngaku akan perbuatanmu? Suruh anak buahmu menyingkir."
"Kenapa?"
"Urusan keluarga orang luar dilarang ikut campur tangan." -()- ( )-()- Ngo-hong Kaucu mundur selangkah pula, suaranya dingin mengancam.
"Ji Bun, manfaat apa yang kau peroleh dari tua bangka she Ngo itu?"
Ji Bun menghardik murka.
"Kau berani menghina beliau? Singkirkan anak buahmu."
"Tidak perlu. Kau belum setimpal."
Hampir meledak dada Ji Bun, larangan Ban-tok-bun menyebutkan bahwa semua urusan rahasia perguruan dilarang bocor, dihadapan sekian banyak anak buah Ngo-hong-kau, tak mungkin Ji Bun bicara secara blak-blakan dan berbuat menurut aturan perguruan, namun Ngo-hong Kaucu ini amat temberang, hakekatnya dia tidak perduli akan segala aturan perguruan, keruan bukan kepalang keki dan dongkol hatinya, katanya geram.
"Kau ingin aku turun tangan?"
"Katakan dulu apa arti urusan keluarga yang kau maksud?"
"Singkirkan dulu anak buahmu atau aku yang wakilkan kau menggebah mereka?"
Sembari bicara tiba-tiba secepat kilat dia menubruk ke arah rombongan orang banyak.
"Berani kau?"
Teriak Ngo-hong Kaucu, iapun menubruk kearah Ji Bun.
Tapi sudah terlambat, jeritan saling susul, tiga orang yang berdiri paling depan terjungkal roboh binasa, dalam waktu yang sama damparan angin pukulan Ngo-hong Kaucu laksana hujan badai juga menyambar tiba sehingga kekuatan pukulan Ji Bun terhenti dalam batas tertentu hingga tidak menimbulkan korban lebih banyak, Ji Bun sendiri juga tergetar mundur dua langkah.
-()- ( )-()- Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh.
"Anak muda, kalau tidak kubunuh kau, aku bukan manusia!"
Kedua tangan membundar terus mendorong ke depan, segulung angin menderu laksana angin lesus menyambar tiba.
Tersirap darah Ji Bun, kekuatan angin pukulan yang dilandasi hawa murni luar biasa ini tak terpecahkan dengan segala ilmu kekuatan lain dan merupakan inti sari dari segala kekuatan ilmu pukulan di dunia ini.
Seingatnya hanya Hun-tiong Siancu dan Thong-sian Hwesio yang juga meyakinkan pukulan yang dilandasi kekuatan hawa murni ini.
Tak nyana Ngo-hong Kaucu juga meyakinkan ilmu yang lebih tinggi pula Lwekangnya dari kedua orang terdahulu.
Lekas Ji Bun kerahkan ajaran perguruan, dengan sepenuh tenaga dia menyongsong dengan kekerasan pula.
"Blang!"
Di tengah getaran yang mengguntur, dahan-dahan pohon serentak berjatuhan dan hangus, batu-batu berloncatan debu pasir beterbangan, hawa laksana pecah berderai.
Anak buah Ngo-hong-kau yang berdiri dalam jarak tiga tombak sama terdorong mundur pontang-panting, semuanya kaget dan pucat ketakutan.
Ji Bun dan Ngo-hong Kaucu sama bertolak mundur tiga empat langkah.
Gebrakan yang dahsyat ini, ternyata setanding alias sama kuat.
Kini keduanya berdiri saling tatap seperti dua jago yang tengah beradu di arena.
Ngo-hong Kaucu bersuara.
"Ji Bun, dalam setengah tahun ini, rejeki apa yang kau peroleh?"
"Peduli amat dengan kau?"
Jengek Ji Bun.
-()- ( )-()- Besar tekad Ji Bun untuk membersihkan perguruan dari anasir jahat dan murid yang lalim ini, lalu menolong ibu dan kekasihnya.
Tapi sebaliknya Ngo-hong Kaucu juga besar niatnya membunuh Ji Bun yang merupakan lawan tertangguh selama ini.
Dari tatapan mata kedua pihak dapatlah diselami betapa besar hasrat kedua pihak dalam menuntut keinginan masing-masing.
Semua anak buah Ngo-hong Kaucu sampai mengkirik seram dan tegang.
Keduanya tak ubah seperti patung batu yang berdiri kaku, tak bergerak dan tak bersuara, hawa seperti membeku, semua orang tercekam oleh ketegangan yang memuncak ini.
Sinar surya seakan-akan ketakutan juga menyaksikan adegan adu nyawa yang menggiriskan ini dan sudah tenggelam di ufuk barat, tabir malampun tiba.
Keduanya sama mengadu kekuatan batin dalam mengendalikan ketenangan pikiran dan pemusatan semangat serta kekuatan, sedikit lena dan terpecah perhatian, serangan lawan yang mematikan bakal merupakan genta kematian bagi jiwa raga sendiri.
Satu jam telah berselang, keringat sudah membasahi jidat kedua orang.
Akhirnya Ji Bun yang berdarah panas tidak tahan lagi, dia tidak membuang-buang waktu.
"Ciiaaaat!"
Di tengah gemboran yang menggetar sukma, Ji Bun melancarkan Tok-jiu-it-sek.
Dalam waktu yang sama, permainan Ngo-hong Kaucu yang sengit dan lihay juga dilontarkan.
Inilah bentrok antara kedua kekuatan keras lawan keras, keduanya sama-sama menyerang tanpa pikirkan pertahanan, dua bayangan seperti saling bergumul sekejap, segera terdengar suara gerungan rendah, dua bayangan sama-sama terpental mundur, namun cepat sekali -()- ( )-()- keduanya sudah saling tubruk lagi, kini Ji Bun lancarkan Tok-jiu-ji-sek.
"Blang, blang,'' herangan tertahan kembali berkumandang, dua bayangan terpisah lagi, keduanya sempoyongan mundur, darah meleleh dari mulut masing-masing. Semua orang yang menonton serasa rontok nyalinya. semuanya menyingkir semakin jauh.
"Robohlah!"
Di tengah teriakan, yang menggiriskan ini, Ji Bun lontarkan jurus Tok-jiu-sam-sek.
Serangan jurus ini merupakan tempaan dari seluruh kekuatan Lwekangnya, merupakan serangan mematikan terakhir yang diandalkan pula.
Kalau jurus ini juga tak kuasa mengalahkan lawan, bagaimana akhir dari pertempuran malam ini entahlah nanti jadinya.
Untunglah jerit kesakitan segera berpadu dengan teriakan seram, tampak Ngo-hong Kaucu terlempar jauh dan roboh terguling.
Anak buah Ngo-hong-kau sama berteriak kaget dan kuatir, tanpa komando serentak mereka menubruk maju menggerakkan senjata, terutama cahaya pedang laksana jala sinar pating seliweran merangsak ke arah Ji Bun.
Biji mata Ji Bun sudah merah, di tengah bentakan kalap, secepat kilat kedua tangan menggaris dan memukul.
Seperti membabat rumput belaka, satu persatu anak buah Ngo-hong-kau dibikin roboh binasa, sisanya yang masih hidup lekas lari mencawat ekor, seranganpun terhenti.
Dengan badan limbung Ngo-hong Kaucu melompat berdiri, suaranya serak seperti kehabisan tenaga.
"Kalian mundur!" -()- ( )-()- Sisa anak buahnya segera menyingkir jauh. Waktu Ji Bun berpaling, seketika dia mendelik seram.
"O, kiranya kau adanya."
Ikat kepala yang dikenakan Ngo-hong Kaucu sudah terlempar jatuh.
Di pinggir kepala di atas telinga kanan tampak sebuah codet menggaris panjang.
Dia ternyata bukan lain adalah Kwe-loh-jin sendiri alias manusia berjubah berkedok yang pernah membunuhnya dulu, orang yang berhasil merebut Hud-sim pula.
Memang tak pernah terpikir oleh Ji Bun bahwa Ngo-hong Kaucu yang diliputi misteri ini ternyata adalah Kwe-loh-jin yang pernah bentrok beberapa kali dengan dirinya.
Lwekang dan kepandaian Kwe-loh-jin sekarang ternyata sudah jauh berbeda dan lebih tangguh dari pada dulu.
Tentunya ini hasil dari Hud-sim yang pernah direbutnya dulu itu.
Tapi siapa sebetulnya orang ini, tetap merupakan teka teki yang sukar dipecahkan.
Semula Kwe-loh-jin pura-pura mengatakan dirinya utusan seseorang majikan yang menulang punggungi segala perbuatannya, kiranya ini hanya palsu belaka, jadi waktu dia menyamar laki-laki muka hitam sebagai komandan ronda Wi-to-hwe dulu juga salah satu duplikatnya belaka.
Betapapun teka-teki ini sudah terbongkar separo, namun masih cukup jauh dari terbebernya rahasia yang sangat diharapkannya itu.
-()- ( )-()- Ji Bun melangkah setapak.
"Jangan bergerak"
Bentak Ngo-hong Kaucu. 18.54. Penderitaan Puteri Musuh Besar Tanpa sadar Ji Bun menghentikan langkah, katanya rnenyeka darah dipingglr mulutnya.
"Kuperintahkan kau menyingkirkan anak buahmu, kalau tidak satupun takkan kubiarkan hidup."
"Kau takkan berani. Mati hidup ibumu Lan Giok-tin dan Thian-thay-mo-ki tergenggam di tanganku."
"Jiwamu sendiri berada ditanganku, memangnya kau punya kesempatan berbuat jahat lagi."
"Sebelumnya sudah kuatur sedemikian rupa, setengah jam setelah matahari terbenam kalau tiada perintahku, Lan Giok-tin dan Thian-thay-mo-ki akan dipancung kepalanya, sekarang waktu yang ditentukan sudah akan tiba."
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semakin beringas Ji Bun dibuatnya, mendadak dia jadi nekat, kaki menjejak tangan menyerang.
Asal dia bisa membekuk Ngo-hong Kaucu, segala persoalan akan dapat dibereskan.
Tapi Ngo-hong Kaucu bukan tokoh sembarang tokoh.
Sudah tentu sebelumnya dia sudah siaga dan berjaga diri.
Pada saat secepat percikan api seperti bayangan setan saja tahu-tahu orangnya berkelebat lenyap kedalam hutan.
Gerakan kedua pihak hampir dalam waktu yang sama.
Sudah -()- ( )-()- tentu Ji Bun menubruk tempat kosong, dengan bentakan murka segera ia mengudak ke dalam hutan.
Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya, dalam hutan gelap gulita, walau dia memiliki pandangan yang tajam, namun hanya dalam sekejap jejak Ngo-hong Kaucu sudah lenyap entah kemana.
Sebuah suara menggema dari kejauhan.
"Anak muda, jangan lupa perjanjian barter kita dengan batok kepala orang yang kuminta."
Ngo-hong Kaucu mengirim gelombang suara dari jauh sehingga posisinya sukar ditentukan.
Betapa Ji Bun amat penasaran, dengan kalap ia terjang kian kemari mengobrak abrik hutan, namun hasilnya nihil.
Hutan ini cukup luas, dari puncak yang satu bersambung pula kepuncak yang lain.
Setengah malam sudah Ji Bun bekerja berat dengan sia-sia, dia pikir letak markas Ngo-hong-kau tentu berada di suatu tempat yang tersembunyi, pegunungan seluas ini kemana harus menemukannya, tak mungkin dia bisa menjelahi seluruh pelosok pegunungan ini.
Penasaran, marah, benci dan dendam berkecamuk dalam benaknya, pikirannya bergolak, namun tetap tak berdaya.
Akhirnya dia menemukan sebuah batu besar segede kerbau, lulu ia duduk dan merenungkan pengalamannya ......"
Keselamatan ibu dan Thian-thay-mo-ki untuk sementara, terang tidak akan terancam, karena Ngo-hong Kaucu minta barter dengan kepala Siangkoan Hong suami isteri, walau tujuannya sulit diraba, -()- ( )-()- namun sudah jelas kalau orang hendak pinjam tangan membunuh orang, kecuali keadaan betul-betul mengancam, sandera ditangannya terang takkan terganggu keselamatannya.
Apakah dia harus menerima syarat ini untuk menolong ibu dan Thian-thay-mo-ki? Walau Siangkoan Hong dan Hun-tiong Siancu juga musuh besarnya, namun sakit hati tetap sakit hati dan tidak pantas bertindak di luar etika persilatan yang harus berjiwa kesatria.
Apalagi kini dirinya sebagai seorang pejabat Ciangbun (ketua) Ban-tok-bun yang terhormat.
Tapi kalau tidak menurut kehendak musuh, apa pula langkah yang harus dilakukannya? Persoalan yang paling penting adalah Ngo-hong Kaucu ini murid murtad seperguruan, peraturan perguruannya amat keras, pesan Suco harus dilaksanakan, selama hayat masih dikandung badan dirinya harus menegakkan wibawa peraturan perguruan.
Kalau sampai dirinya harus tunduk akan ancaman musuh, lalu di mana dia harus menaruh mukanya.
Ilmu beracun dirinya diperoleh dari ajaran ayahnya secara lisan, sumber pelajaran ilmu beracun dari ayahnya ini terang dari Tok-keng, sedang Tok-keng dimiliki oleh Ngo-hong Kaucu.
Lalu ada hubungan rahasia apa di antara Ngo-hong Kaucu dengan ayahnya? Mau tidak mau dia lantas ingat pada Biau-jiu Siansing, seperti diketahui ibu tua atau isteri pertama ayahnya yang telah dicerai itu berada di rumah Biau-jiu Siansing.
Khong-kok-lan So Yan sedemikian dendam dan benci terhadap ayahnya.
Siucay tua pernah bilang, Biau-jiu Siansing sehaluan dengan ayahnya.
Biau-jiu Siansing pernah berjanji hendak membantu dirinya untuk membereskan beberapa -()- ( )-()- persoalan.
Dari semua gejala-gejala ini, terang Biau-jiu Siansing tahu akan seluk beluk persoalan ini.
Sungguh Ji Bun ingin bia segera berhadapan dengan Biau-jiu Siansing untuk tanya semua urusan ini sampai jelas.
Tapi Ui Bing bilang jejak gurunya tidak menentu, entah sengaja menghindari dirinya atau ....."
Rangsum kering dikeluarkan untuk mengisi perut, selesai makan, haripun telah fajar, sudah terang benderang.
Namun Ji Bun tidak rela tinggal pergi demikian saja, teringat akan ibu dan kekasihnya yang ditawan musuh, meski dirinya memiliki kepandaian setinggi langit juga percuma, mereka tetap tak bisa lolos dari cengkeraman iblis.
Tanpa terasa air mata berlinang membasahi pipi, hati amat pilu seperti ditusuk sembilu.
Kini dia mulai mencari dengan cara yang lebih teliti, daerah yang diobrak-abrikpun semakin luas.
Dia percaya sarang Ngo-hong-kau pasti tidak akan lebih dari sepuluh li dari sekitar dirinya, kalau tidak, tak mungkin terjadi peristiwa semalam, malah kemungkinan sarang musuh berada dekat di sekitarnya sekarang.
Sehari telah lalu pula, namun hasilnya tetap nihil.
Betapapun kerasnya watak Ji Bun, akhirnya dia patah semangat juga.
Musuh sudah lari ketakutan dan menyembunyikan diri, kalau selalu mencari secara membuta begini, apa yang bisa dihasilkan? Hal ini kiranya perlu dirundingkan dulu dengan Ui Bing untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
Oleh karena itu dengan marah dan uring-uringan Ji Bun terpaksa meninggalkan Siong-san, terus menuju ke kota Bik-ciu.
-()- ( )-()- Setiba di kota Bik-ciu, dia pilih sebuah rumah makan besar yang bernama Jui-lay-kip, dan mencari tempat duduk di pinggir jendela yang menghadap ke jalan raya.
Dipesannya makanan dan minuman, seorang diri dia makan minum sepuasnya.
Ui Bing hanya menjanjikan untuk bertemu di kota Bik-ciu tanpa menyebut tempatnya.
Kini dia memilih rumah makan terbesar ini, maksudnya supaya Ui Bing mudah menemui dirinya.
Sebagai murid Biau-jiu Siansing, gembong si maling yang punya kaki tangan yang tersebar, luas di mana-mana, tentu bukan soal pelik bagi Ui Bing untuk mencarinya ke sini.
Beberapa jam sudah dia duduk seorang diri sambil menunggu dengan hati gelisah, namun bayangan Ui Bing tetap tidak kunjung datang.
Lama kelamaan dia merasa kurang enak, tamu lain sudah ganti berganti keluar masuk.
Kalau dirinya lama-lama berada di sini tentu mengganggu orang lain, maka dia panggil pelayan untuk menghitung rekening.
Dengan cengar-cengir pelayan menghampiri, tanyanya lebih dulu.
"Tuan datang dari Siong-san?"
Ji Bun melengak, jawabnya.
"Ya, kenapa?"
"Tadi seorang tua meninggalkan pesan, katanya dia punya urusan penting dan tidak bisa menunggu tuan, diminta supaya Tuan menyusulnya ke arah barat." -()- ( )-()- Lekas Ji Bun bayar rekening terus berangkat, orang ramai berlalu lalang di jalan raya, namun Ji Bun tidak ingin menikmati pasar yang meriah ini, dia mencari hotel terdekat terus menyewa sebuah kamar. Sebelum tidur Ji Bun sudah memikirkan langkah selanjutnya harus menyusul ke barat, tujuannya tentu danau setan di Cong-lam-san untuk menyusul paman Ciang Wi-bin, bukan mustahil ke sana pula yang dituju Ui Bing dengan ke arah barat itu. Setelah berkeputusan hati Ji Bun menjadi tenang, mungkin pula badan terlalu penat, maka malam ini dia tidur amat nyenyak. Waktu dia bangun besok paginya matahari sudah tinggi, lekas dia bergegas-gegas menempuh perjalanan ke arah barat. Kira-kira tengah hari, dia sudah menempuh ratusan li jauhnya, kini dia berada di jalan raya yang bertanah menguning, jauh dari kota dan dusun, sekelilingnya lereng pegunungan yang tidak kelihatan bayangan manusia. Ji Bun merasa kering kerongkongannya, dengan rasa dahaga terpaksa meneruskan perjalanan. Tak jauh lagi di depan sebelah kanan yang jauh dari jalan raya dilihatnya sebidang hutan, di antara rimbunnya pepohonan, lapat-lapat dilihatnya pagar tembok warna merah. Kalau bukan bangunan biara tentu sebuah kelenteng. Kenapa tidak kesana minta air untuk menghilangkan dahaga sambil istirahat pula baru melanjutkan perjalanan? Dengan langkah lebar Ji Bun berlari-lari menuju ke hutan itu. Lekas sekali dia sudah tiba di pinggir hutan, kiranya memang benar sebuah kelenteng kecil, suasana sepi dan nyaman, tidak terdengar suara manusia. Ji Bun langsung menuju ke kelenteng itu, namun baru saja melangkah masuk, hatinya tiba-tiba melonjak, hampir saja ia -()- ( )-()- berteriak kaget, dilihatnya sesosok mayat melintang di belakang pintu, bau darah yang amis merangsang hidung. Darah masih mengalir dan membeku, pertanda orang ini mati belum lama, dari dandanannya orang ini kelihatan penghuni atau pemilik kelenteng kecil ini. Siapakah yang tega membunuh seorang lemah yang tidak pandai silat ini? Waktu dia memeriksanya, dilihatnya di dinding sekuntum bunga Bwe warna putih menghiasi dinding warna merah. Seketika ia menjadi murka, dalam hati ia mengumpat.
"Anak buah Ngo-hong-kau yang jahat dan laknat,"
Sigap sekali dengan gerakan enteng Ji Bun menyelinap masuk kedalam kelenteng.
Di dalam kelenteng, di undakan batu di tengah ruangan besar, berdiri seorang pemuda berlengan satu baju sutera, wajahnya diliputi rasa dendam dan kebencian serta kesadisan.
Di ujung undakan, duduk seorang gadis baju merah semendeh dinding dengan perut yang membuncit, air mata bercucuran, badan lunglai lagi, namun sinar matanya pun bercahaya terang penuh benci dan penasaran.
Dengan kedua tangan menahan perutnya yang bunting seperti menahan sakit, gadis baju merah itu sedang berteriak beringas.
"Kau ....... kau bukan manusia?"
Pemuda tengan satu menyeringai sadis, jengeknya.
"Memangnya kenapa kalau aku bukan manusia?"
Saking murka gemetar sekujur badan gadis baju merah, katanya dengan menggertak gigi.
"Aku ..... aku ...... ingin lalap dagingmu dan keremus tulang belulangmu." -()- ( )-()- Pemuda lengan satu menyeringai, katanya.
"Membunuh suami, menurut aturan kau harus dihukum pancung, tahu?"
"Kau ...... binatang, kau ini anjing, kau tidak setimpal jadi manusia. Aduh!"
Tiba-tiba gadis baju merah menjerit kesakitan sambil menekan perut yang sudah hamil tua. Pemuda lengan satu terloroh-loroh, katanya.
"Dendam membunuh ibu dan menghancurkan keluarga, memangnya aku harus berpeluk tangan setelah lenganku inipun buntung ........"
Keringat gemerobyos, agaknya gadis baju merah menahan sakit yang luar biasa, teriaknya dengan mengertak gigi.
"Itulah ganjaran perbuatanmu."
Perempuan jalang, kau tidak akan kubunuh, namun akan kupinjam dirimu supaya ayah ibumu muncul, sekarang hayo ikut aku."
"Apa yang hendak kau lakukan atas diriku?"
"Tidak apa-apa, yang terang bayi di dalam perutmu itu harus dilahirkan."
"Anak haram, bila lahir akan kucekik sampai mati dengan kedua tanganku sendiri,"
Kata gadis itu.
"Memangnya kau mampu berbuat demikian."
"Binatang, kau telah menghancurkan masa depanku .........." -()- ( )-()- "Jangan cerewet, hayo berangkat!"
Bentak pemuda lengan satu, tangan diulur hendak menyeret tangan si gadis.
Agaknya gadis baju merah sudah mendekati saat-saat melahirkan jabang bayi yang dikandungnya, mata mendelik hampir melotot keluar, namun dia tiada tenaga melawan.
Sekonyong-konyong sebuah suara yang amat dingin berkumandang.
"Liok Kin, kiranya kau belum mampus?"
Ternyata pemuda lengan satu itu adalah majikan muda Cip-po-hwe, yaitu Liok Kin adanya.
Gadis baju merah bukan lain adalah puteri Siangkoan Hong, yaitu Siangkoan Hwi, karena tertipu dan dipelet oleh ketampanan wajah dan rayuan manis Liok Kin, Siangkoan Hwi sampai mengorbankan kesucian dan cintanya.
Akhirnya kedok Liok Kin terbongkar, tujuannya ternyata adalah Hud-sim, sehingga.
Siangkoan Hwi beberapa kali berusaha bunuh diri.
Sudah tentu pihak Wi-to-hwe amat marah, di bawah pimpinan Jay-ih-lo-sat, Cip-po-hwe digerebeg dan dihancur leburkan.
Untung Liok Kin sebelumnya sudah melarikan diri, namun karena dia melanggar pantangan golongan maling, maka lengannya dikutungi sebagai ganjaran atas perbuatannya.
Begitulah serentak Liok Kin membalik tubuh, seketika dia gemetar ketakutan, serunya.
"Te-gak Suseng."
Wajah Ji Bun diliputi hawa nafsu membunuh, desisnya.
"Betul, memang aku adanya, selamat bertemu." -()- ( )-()- Pucat wajah Liok Kin, beruntun dia mundur menjauh, suaranya jeri.
"Apa maksudmu?"
"Memenggal kepalamu."
"Kau ..... berani bermusuhan dengan Kau (agama) kami?"
"Ha ha ha, Liok Kin, tak kira kau terima jadi antek Ngo-hong-kau, memang cocok dan setimpal, kau berada di sana. Ketahuilah, bukan kau saja, seluruh Ngo-hong-kau akan kusikat habis."
Liok Kin putar tubuh, hendak pergi.
"Berdiri!"
Bentak Ji Bun, suaranya keras berwibawa, ternyata Liok Kin tak berani melangkah lebih lanjut.
"Putar tubuhmu!"
Terpaksa dia menurut, wajahnya putih laksana kertas.
Tanpa terasa Ji Bun melirik ke arah Siangkoan Hwi, si nona menunduk sambil mendekap muka, air mata bercucuran.
Timbul perasaan yang ruwet dalam benak Ji Bun, inilah gadis yang pertama kali mengisi relung hatinya, pernah dia tergila-gila padanya, sayang orang tidak memandang sebelah mata kepada dirinya, malah jatuh ke dalam pelukan Liok Kin si durjana ini.
Kini perutnyapun sudah bunting, sayang sang kekasih tidak berperikemanusian.
Kini dirinya harus menaruh simpatik padanya atau mencercahnya? Atau bersorak senang? Mengingat perlakuan ayah bundanya terhadap dirinya, adalah pantas kalau sekarang dia membunuhnya, namun tidak pernah timbul hasrat ini dalam benaknya, hatinya hanya merasa gegetun, penasaran dan serba susah, tercampur pula oleh perasaan risau dan -()- ( )-()- lain-lain yang sukar dilukiskan.
Masihkah dia mencintainya? Tentu tidak.
Tapi betapapun tali asmara yang pernah berbenih dalam hatinya tak mungkin dihapus demikian saja.
"Orang she Liok,"
Kata Ji Bun kemudian.
"kau berperikemanusiaan tidak?"
Liok Kin mundur lagi, mulutnya sudah terbuka, namun tidak bersuara. Ji Bun berkata lebih lanjut.
"Darah dagingmu terkandung dalam perutnya, kau mempermainkan dia, menyia-nyiakan cinta dan merusak masa depannja, sekarang masih tega kau memaksa dan menyiksanya, manusia macam dirimu tidak setimpal hidup di dunia ini ........"
Liok Kin menjadi nekat, katanya.
"Te-gak Suseng, dulu kau pernah tergila-gila padanya, tapi dia tidak mencintaimu, sekarang kau hendak bunuh aku untuk melampiaskan penasaranmu?"
Kata-katanya mengandung arti yang dalam. Pikirnya dia hendak balas, mencercah untuk mengubah jalan pikiran Ji Bun, dia tahu watak Ji Bun tentu tidak mengingkari kenyataan ini, namun dia salah sangka.
"Peduli apa saja yang kau katakan,"
Ejek Ji Bun.
"hari ini kau pasti mampus."
Tanpa bersuara lagi Liok Kin tiba-tiba enjot kaki, badan melenting melesat ke atap rumah, jelas kepandaiannya sekarang jauh lebih maju dari dulu, namun dalam pandangan Ji Bun dia tidak lebih -()- ( )-()- hanya lawan enteng yang cukup dirobohkan dengan menggerakan sebuah jarinya saja.
"Kembali!"
Kontan Liok Kin terjungkal balik ke tempat semula dengan mengerang kesakitan.
Ji Bun tetap mendelik ditempatnya seolah-olah dia tidak pernah bergerak.
Serasa terbang sukma Liok Kin, lututnya terasa lunglai, hampir saja kakinya tak kuat menyanggah badannya.
Siangkoan Hwi meronta bangun, badannya limbung, lalu jatuh terduduk pula, wajahnya yang pucat, keringat dingin berketes-ketes.
"Orang she Liok, masih ada pesan apa lagi kau?"
Bentak Ji Bun bengis. Keruan Liok Kin ketakutan, dengan sempoyongan dia mundur dua langkah, suaranya serak dan tertelan dalam tenggorokan.
"Te-gak Suseng, aku .... aku bekerja menurut perintah Kaucu, sebentar Kaucu akan datang kemari, kau .... takkan lolos."
"Tutup mulutmu!"
Hardik Ji Bun tak acuh.
"kebetulan kalau Kaucu kalian berani datang, memangnya aku kuatir tak bisa menemuinya."
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan kau membunuhnya,"
Tiba-tiba Siangkoan Hwi menjerit dengan suara memekik. Ji Bun menoleh, tanyanya.
"Apakah dia tidak setimpal dibunuh?"
Siangkoan Hwi tertunduk, dia tidak berani adu pandang dengan sorot mata Ji Bun. -()- ( )-()- Liok Kin pandai melihat gelagat, dengan sedih segera memohon.
"Adik Hwi, memang aku bersalah, mengingat orok dalam kandunganmu ......."
Permintaan Siangkoan Hwi itu adalah refleks setiap insan yang mempunyai nurani sehat dan bajik, soalnya dia sedang mengandung anak Liok Kin, tapi itu hanya cetusan emosi selintas saja, karena sesungguhnya dia amat membencinya, ingin rasanya melalap kulit daging dan menghirup darahnya, dendam membara, kebencian yang timbul karena perubahan cinta yang tak tercapai, maka landasan benci inipun jauh lebih hebat daripada tekanan luar lainnya.
Dia maklum, kalau Ji Bun tidak muncul tepat pada waktunya, sejak tadi dirinya sudah terjatuh ke tangannya.
"Anjing kau!"
Akhirnya dia berteriak kalap. Ji Bun berpaling seraya membentak.
"Serahkan jiwamu!"
Di mana telapak tangannya menyambar, Liok Kin seketika menjerit roboh. Setelah berkelenjetan beberapa kali, akhirnya terdiam dan tak bergerak lagi, jiwanya melayang.
"Ooooh!"
Tak tertahan lagi pecah tangis Siangkoan Hwi. Siangkoan Hwi menangis tersedu sedan. Ji Bun sudah angkat langkah hendak tinggal pergi, namun mendadak timbul pikiran tak tega, katanya mengerut kening.
"Bagaimana nona Siangkoan?"
Lemah suara Siangkoan Hwi, katanya terisak.
"Ji-siauhiap .....kau ...... boleh silakan pergi." -()- ( )-()- Ji Bun serba salah, tiada omongan yang ingin dikatakan. Tiba-tiba Siangkoan Hwi berkata dengan suara bergetar.
"Ji-siauhiap, harap kemarilah kedekatku. Ada beberapa patah pesan hendak kusampaikan kepadamu."
Tergerak hati Ji Bun, sahutnya.
"Baik, silakan katakan."
"Tidak, marilah mendekat, masih ada ........"
Tanpa terasa Ji Bun melangkah maju.
"Ada apa nona?'' "Sukalah kau bantu aku berdiri,"
Siangkoan Hwi ulurkan tangan, biji matanya memancarkan cahaya aneh, timbul rasa heran dan curiga Ji Bun, dia tidak tahu apa keinginan dan maksud orang.
Namun mengingat kepandaian silatnya sekarang, dia tetap mendekati selangkah, tangan kanan diulur menarik tangan kiri orang.
Mendadak tangan kanan Siangkoan Hwi mencengkeram ke tangan kiri Ji Bun.
Gerakannya terlalu mendadak, meski Ji Bun sudah waspada, namun karena gerakan ini tidak terduga, dengan telak lengannya kena dipegang orang.
Tapi sedikit mengerahkan tenaga dan menghentak, Siangkoan Hwi terpental jatuh diundakan.
"Nona, apa maksudmu ini?"
Bentaknya. Mulut, terbungkam, matapun terpejam, lama sekali baru Siangkoan Hwi membuka mata.
"Kenapa aku tidak mati?" -()- ( )-()- Sudah tentu Ji Bun melenggong, katanya.
"Aku tidak bermaksud membunuhmu."
"Kau ...... bukankah kau meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu, kenapa ...... aku tidak mati keracunan?"
Sekarang Ji Bun mengerti, kiranya Siangkoan Hwi sengaja hendak cari kematian, dengan memegang lengan kiri Ji Bun. Dia berharap dirinya mati keracunan, maka katanya dingin.
"Tangan beracunku sekarang bisa kugunakan sesuka hati."
"Aah!"
Mungkin karena kecewa dan putus asa Siangkoan Hwi menjerit panjang dan menangis sesambatan.
Menghadapi suasana yang merawankan hati entah bagaimana perasaan Ji Bun, dia merasa kasihan, iba, simpatik.
Waktu dia menoleh lagi, tiba-tiba dia menjerit kaget, dilihatnya di bawah, di mana Siangkoan Hwi duduk telah dibasahi oleh cairan darah.
Dengan cepat Ji Bun maklum apa yang terjadi, keruan mukanya merah jengah dan keripuhan, tak tahu apa yang harus dia lakukan.
Kiranya Siangkoan Hwi akan melahirkan.
Selamanya belum pernah dia menghadapi kejadian seperti ini, namun pengalaman dari cerita orang dan catatan dalam buku yang pernah dibacanya, dia tahu bahwa keadaan seperti ini adalah tanda-tanda bagi seorang perempuan yang akan segera melahirkan, menghadapi sikap Siangkoan Hwi yang putus asa pula, keruan dia semakin bingung.
-()- ( )-()- "Tolonglah ......
sempurnakanlah aku!"
Ratap Siangkoan Hwi dengan pilu.
"Apa, menyempurnakan kau?"
"Ya, bantulah aku meringankan penderitaan ini, pada penitisan mendatang pasti kubalas kebaikanmu ini."
"Aku .... aku ...... tidak bisa."
"Tolonglah, Ji-siauhiap ......."
Keringat dingin gemerobyos membasahi dahi Ji Bun.
Kaki tangan terasa kaku, kepalanya mendengung seperti hendak meledak, mata terbeliak, mulut ternganga tak mampu bersuara.
Tiba-tiba bau harum merangsang hidung.
Waktu Ji Bun menoleh, tampak seorang perempuan cantik rupawan tersipu-sipu melangkah masuk, di belakangnya mengintil empat gadis baju hijau.
Dengan kaget Ji Bun melangkah mundur dan berdiri berhadapan dengan perempuan rupawan itu.
Pendatang ini adalah Hun-tiong Siancu, isteri Siangkoan Hong dan ibu Siangkoan Hwi.
Teringat sakit hati dirinya dikurung tempo hari, seketika membara dendam Ji Bun.
Dengan Hun-tiong Siancu menyapu pandang sekejap kepada Ji Bun lalu memburu ke arah Siangkoan Hwi, serunya dengan penuh sedih dan kaget.
"Anakku sayang, sudah setengah bulan ibu mencarimu." -()- ( )-()- "Bu,"
Siangkoan Hwi mengeluh sekali terus jatuh pingsan, Hun-tiong Siancu memeluknya kencang-kencang, air matapun ikut bercucuran.
Ji Bun menjublek ditempatnya.
Betulkah Hun-tiong Siancu ibu kandung Siangkoan Hwi? Usia kedua orang kelihatan hanya terpaut lima-enam tahun, namun hubungan darah daging yang tak bisa dipalsukan ini terang takkan dilakukan seorang ibu tiri terhadap anak tirinya.
Kalau Ji Bun mau turun tangan, Hun-tiong Siancu terang takkan mampu melawannya.
Seketika timbul dalam ingatannya akan syarat yang diajukan Ngo-hong Kaucu dengan kepala Siangkoan Hong suami isteri untuk barter dengan jiwa ibunya dan Thian-thay-mo-ki.
Demi ibu dan kekasihnya, sebetulnya dia boleh turun tangan tanpa ragu namun dia tidak tega turun tangan, karena dia seorang manusia yang memiliki hati Buddha, seorang yang berperikemanusiaan, welas asih.
Tak lama kemudian, Siangkoan Hwi pun siuman, katanya serak.
"Bu, kenapa tidak biarkan aku mati saja?"
"Jangan bodoh nak, kau adalah tambatan hati ibu .....
kau masih kecil, belum tahu lika-liku kehidupan Kang-ouw yang serba kotor, ibu memaafkan kesalahanmu."
"Tidak Bu, tidak pantas aku mendapat kasih sayangmu.
Bu, aku ingin mati saja."
"Jangan kau berkata demikian, apakah dia....."
Tatapan matanya yang tajam melirik ke arah Ji Bun. -()- ( )-()- "Bu, dialah yang menolong puterimu."
"Ji Bun yang menolongmu? Oooo ......."
Serta merta ia menoleh ke arah mayat Liok Kin.
"Bu!"
Pecah lagi sedu sedan Siangkoan Hwi dengan sedih. Bertaut alis Hun-tiong Siancu, segera ia memberi tanda kepada ke empat dayangnya, katanya.
"Carilah tempat yang bersih, bawalah Siocia kalian!"
Empat dayang mengiakan bersama, dua orang berjalan di depan menuju ke ruang belakang, dua diantaranya memayang Siangkoan Hwi. Dengan gemetar tangan. Siangkoan Hwi menuding Ji Bun, katanya lemah.
"Bu, jangan kau mempersulit dia."
"Ya, ibu tahu."
Baru sekarang Ji Bun maklum, kiranya Hun-tiong Siancu turun gunung mencari puterinya sehingga sarangnya kosong hingga kena diserbu dan diobrak-abrik pihak Ngo-hong-kau.
"Ji Bun,"
Kata Hun-tiong Siancu menatap Ji Bun.
"mengingat puteriku, sekarang kau boleh pergi, perhitungan kita boleh dibereskan lain kesempatan."
"Kalau sekarang juga aku ingin membereskan?"
Jengek, Ji Bun dingin.
"Aku harus merawat anak Hwi, tiada waktu ......" -()- ( )-()- Ji Bun tak bisa bicara, soalnya dia tidak ingin mengambil keuntungan dikala orang sedang kesulitan, namun diapun maklum, kekuatan Lwekang kedua pihak terpaut tidak jauh, kalau betul-betul berhantam takkan berakhir dalam dua-tiga gebrak, namun menghadapi musuh besar, betapapun hatinya penasaran, kalau tinggal pergi begini saja.
Kalau tidak kebetulan pesawat rahasia itu tersentuh, sampai sekarang pasti dirinya pasti masih terkurung, nasibpun sukar diramalkan.
Maka dengan gusar dia berkata.
"Apakah aku harus berkunjung pula ke San-lim-li-sin?" 19.55.
Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki "Tidak perlu, menurut laporan, kau bantu memberantas musuh yang menyerbu, sekarang kau tanam budi pula pada puteriku.
orang Bu-lim mengutamakan perbedaan budi dan dendam, selanjutnya aku takkan lagi mencari setori padamu ..........."
"Nanti dulu.
Bagaimana juga Cayhe harus membereskan persoalan itu."
"Sekarang?"
Seru Hun-tiong Siancu sambil melongok ke belakang, sinar matanya mengunjuk kegelisahan hatinya.
"Baik, cara bagaimana perhitungan akan kau bereskan?"
"Yang kuat hidup yang lemah mampus,"
Kata Ji Bun tandas.
-()- ( )-()- "Ji Bun, yang kau andalkan hanya racun, tapi racun adalah sepele dalam pandanganku, hal ini kunyatakan lebih dulu."
"Kalau kau kira aku hanya mengandalkan racun salah sekali dugaanmu."
"Hayolah segera dimulai, aku tidak punya tempo lagi,"
Sejak digembleng ilmu tingkat tinggi dari Ban-tok-bun, belum pernah Ji Bun berhantam dengan seorang musuh yang betul tangguh, bahwa Ngo-hong Kaucu yang berkepandaian tinggi itupun bukan tandingan Hun-tiong Siancu, ini membuktikan bahwa kepandaian silatnya, di mulut dia bilang yang kuat hidup yang lemah mampus, yang benar dia sendiri tidak punya keyakinan dapat merobohkan lawan.
Namun tekadnya sudah keras, tiada perasaan gentar sedikitpun, yang terang dendam hatinya harus dibalas.
Serentak dia teringat dua persoalan, maka ia bertanya.
"Ada dua hal perlu kau jelaskan lebih dulu. Pertama, betulkah bukan Siangkoan Hong yang menghancurkan Jit-sing-po?"
"Berulang kali kau sudah mengajukan persoalan ini."
"Tapi aku belum memperoleh jawaban yang meyakinkan."
"Baiklah sekarang kujelaskan, bukan dia yang melakukan, semula memang ada rencana, tapi akhirnya rencana dibatalkan, yang dicari hanya biang keladinya."
"Apakah aku harus percaya?" -()- ( )-()- "Memangnya tidak perlu kupaksa kau mempercayainya."
"Bagus sekali. Sekarang kedua, kalau kau kalah, batok kepalamu harus kupenggal."
Berubah wajah Hun-tiong Siancu, katanya dingin.
"Asal kau mampu saja."
"Nah, sambutlah pukulanku ini!"
Tenaga penuh dikerahkan pada kedua lengan Ji Bun, dengan sepuluh bagian kekuatannya dia menabas tegak, tujuannya hendak menjajaki sampai di mana taraf kekuatan Lwekang lawan, supaya gebrak selanjutnya lebih mudah cari daya untuk mengalahkan.
Hun-tiong Siancu mengebaskan kedua lengan bajunya secara bersilang, segulung angin lunak segera menyamber keluar.
"Blang!"
Suara keras memekak telinga, kedua pihak tersurut selangkah, bertambah yakin Ji Bun, kini kedua tangan dilandasi setaker kekuatan Lwekangnya.
Tebasan kedua ini bagaikan gugur gunung dahsyatnya.
Hun-tiong Siancu juga kerahkan kekuatan dan himpun semangat balas menyerang.
"Blum!"
Ledakan terjadi pula lebih dahsyat, genteng sama rontok, debu beterbangan, kelenteng kecil ini terasa holeng seperti keterjang gempa.
Hun-tiong Siancu tergentak mundur tiga langkah, sebaliknya Ji Bun sempoyongan lima langkah.
Kenyataan membuktikan bahwa kekuatan Hun-tiong Siancu masih setingkat lebih tinggi.
Sekarang jarak kedua orang menjadi jauh, sebat sekali Ji Bun mendesak maju, Tok-jiu-it-sek segera menggaris keluar.
Kekuatan -()- ( )-()- racun kini dia kerahkan pada kesepuluh jarinya, ingin dia membuktikan apa betul lawan tidak gentar mengadapi racunnya.
Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kecuali Hun-tiong Siancu berhasil meyakinkan Kim-kong-sin-kang, kalau tidak, selain orang-orang seperguruannya tiada seorangpun di dunia ini yang mampu menawarkan racun jahat ini, tapi umumnya Kim-kong-sin-kang hanya dilatih oleh kaum laki-laki.
Hun-tiong Siancu scorang perempuan, tak mungkin dia memiliki ilmu sakti itu.
Tampak Hun-tiong Siancu menggaris tangan terus diputar satu lingkar, maka Tok-jiu-it-sek yang dilontarkan Ji Bun tertolak dan tertahan diluar lingkaran tenaganya.
Gerakan menggaris dan membundar tangan itu kelihatannya biasa dan enteng, tapi di dalam gerakan ini tersembunyi kekuatan yang luar biasa.
Mencelos hati Ji Bun, namun serangan tidak berubah, karena dia tahu walau lawan bisa membendung jurus serangan dan meritul kekuatannya, betapapun racun pasti akan menyentuh jari-jari tangannya.
Racun itu sendiri tak mungkin ditahan dan ditolak oleh tenaga betapapun besarnya.
"Plak-plak!"
Telapak tangan saling beradu tujuh-delapan kali, namun hasilnya sungguh membuat Ji Bun kaget bukan main, lawan ternyata betul-betul tidak gentar menghadapi racunnya.
Dikala serangan Ji Bun dilancarkan pada titik puncaknya, dalam waktu sesingkat percikan api, tiba-tiba Hun-tiong Siancu melontarkan pukulan balasan dengan telapak tangan dari sudut yang tidak mungkin terjadi.
Serangan ini sungguh hebat sekali, apalagi -()- ( )-()- sasaran yang diincar juga di luar kebiasaan ilmu persilatan, orang lain jelas tidak mungkin bisa melakukannya.
"Bluk", diseling suara gerungan, Ji Bun tak kuasa menghindar diri, dengan telak dia kena pukulan.
Hakikatnya belum sempat dia pikirkan cara menghalau serangan lawan, tahu-tahu telapak tangan orang sudah menahan dadanya, dia tergentak sempoyongan, darah segera meleleh dari mulutnya.
Kembali Hun-tiong Siancu mengebaskan kedua lengan bajunya, katanya dengan wajah kaku membeku.
"Te-gak Suseng, enyahlah kau hitung-hitung kubalas kebaikanmu."
"Tidak, aku tidak terima kebaikanmu!"
Desis Ji Bun, kaki melangkah tangan melancarkan Tok-jiu-sam-sek, dia tahu jurus kedua terang takkan mampu melukai lawan, maka tanpa ragu-ragu dia lontarkan jurus ketiga yang luar biasa dan merupakan inti kekuatan latihannya selama ini.
"Ciiaaat!"
Di tengah teriakan ini, tiba-tiba Hun-tiong Siancu meloncat mundur beberapa kaki, wajahnya berubah, baju di bagian lengan di pinggir pundaknya tampak tersobek satu kaki panjangnya, darah juga merembes keluar, lengannya yang putih halus dibasahi darah yang merah sehingga menimbulkan perhatian yang menyolok.
Dalam keadaan nekat adu jiwa ini, mau tidak mau hati Ji Bun tetap mencelos.
Malu dan marah merangsang hati Hun-tiong Siancu, hardiknya.
"Cari mampus kau!"
Di mana telapak tangannya bekerja, dia -()- ( )-()- melancarkan sejurus serangan yang ganas, sengit dan hebat sekali perbawanya.
Ia yakin tiada tokoh silat dalam dunia ini yang mampu melawan serangan ini.
Dasar watak Ji Bun memang angkuh, hatinya dirundung dendam kesumat, mati hidup sudah tidak terpikir lagi, meski dia tahu apapun tetap takkan bisa menyelamatkan jiwa sendiri, namun sekuatnya dia melawan.
"Ngek!"
Tak urung dia mengerang kesakitan, darah menyembur dari mulut, badanpun terlempar setombak jauhnya.
Serangan Hun-tiong Siancu dilancarkan bagai kilat menyamber, gerak-geriknya gesit dan ringan, tahu-tahu bayangannya sudah menubruk maju pula.
Tapi Ji Bun sekarangpun bukan lawan empuk, begitu kaki menyentuh bumi, tenaga terhimpun lagi terus memberondong dengan jurus ketiga pula.
Tak kira maju mundur Hun-tiong Siancu begitu enteng dan tangkas laksana kilat berkelebat, di tengah jalan dia menghentikan gerakan sambil menyingkir ke samping tiga kaki, maka pukulan dahsyat Ji Bun berhasil dihindarkan.
Begitu jurus pertama gagal, jurus kedua Ji Bun sudah dilontarkan pula, serangan tetap menggunakan Tok-jiu-sam-sek, yaitu Giam-ong-yan-khek (raja akhirat menjamu tamu).
Tak tahunya baru saja serangan dilancarkan, bayangan lawan tiba-tiba lenyap, keruan dia melengak, namun dia insaf dirinya dalam posisi yang berbahaya, sedikit lena bisa celaka jiwanya, cepat dia menerjang maju terus putar badan, namun bayangan lawan tetap tidak kelihatan.
Keruan serasa terbang sukmanya, secepat kilat dia ikut berputar ketiga arah, namun bayangan lawan tetap tidak kelihatan.
Ji Bun betul-betul melengggong dibuatnya, dia yakin kepandaian sendiri tidak lemah, namun kenyataan bayangan lawan -()- ( )-()- tahu-tahu lenyap di bawah pandangan matanya, ini sungguh amat menakjubkan, betulkah ada gerakan seaneh ini di dunia ini? Tiba-tiba ia teringat waktu menempuh perjalanan di Siong-san tempo hari, di tengah jalan dia bersua dengan Liu Gim-gim, orangpun tahu-tahu lenyap dari pandangan matanya.
Waktu itu dia kira bertemu dengan setan, kiranya gerakan mereka sama, malah Hun-tiong Siancu jauh lebih lihay dan tinggi.
"Rebahlah!"
Bentakan berkumandang di belakangnya, kontan Ji bun merasakan punggungnya seperti dipukul godam, sakitnya bukan main, pandangannya seketika menjadi gelap, kontan dia roboh tersungkur, darah menyembur sebanyak-banyaknya.
"Aku tak boleh mati!"
Hatinya berteriak, dengan mengertak gigi dia meronta berdiri, dilihatnya Hun-tiong Siancu berdiri dekat sejangkauan tangan di depannya.
Tanpa pikir, Tok-jiu-sam-sek dilancarkan pula.
Bayangan orang tahu-tahu lenyap pula.
Karena serangan mengenai tempat kosong, badan Ji Bun terhuyung maju dan tertelungkup jatuh, darah kembali menyemprot deras, matanya berkunang-kunang, hawa murninya semakin buyar.
Tamatlah sudah pikirnya, mungkin di sinilah ajalku.
Tiba-tiba bayangan Hun-tiong Siancu muncul pula di hadapannya.
"Bunuhlah, aku terima kematianku!"
Teriak Ji Bun kalap.
"Aku tidak ingin membunuhmu, tapi .........."
"Tapi kau atau aku yang harus mati."
Beringas Hun-tiong Siancu, katanya.
"Dinilai dari perbuatan ayahmu, memang tidak berlebihan -()- ( )-()- aku membunuhmu, terus terang, kematianmu, belum setimpal menebus dosanya. Sayang aku sudah berjanji pada puteriku."
"Te-gak Suseng tak pernah mengemis hidup kepada orang lain, aku takkan menerima kebaikanmu, siapapun musuhku takkan kulepaskan...."
"Baiklah, kulaksanakan keinginanmu sendiri, semoga pada penitisan yang akan datang kau kembali menjadi orang baik."
Pada saat itulah tiba-tiba kumandang tangis orok dari belakang kelenteng. Ji Bun melongo Hun-tiong Siancu juga tertegun, namun mimik mukanya tampak cemberut. Seorang dayang berlari keluar.
"Lapor Siancu nona telah melahirkan seorang putera!"
Hun-tiong Siancu mendengus sedih, katanya.
"Sudah tahu, pergilah."
Cepat dayang itu mengundurkan diri, sekilas dia melirik ke arah Ji Bun dengan pandangan aneh, dan kaget. Tiba-tiba Hun-tiong Siancu membentak, katanya.
"Te-gak Suseng, kau ingin mampus, nah, pergilah dengan dada lapang "
"Blang", tubuh Ji Bun terpukul terbang setinggi satu tombak, waktu tubuhnya melayang jatuh, pikiran dan napas pun berhenti. -()- ( )-()- Tersipu-sipu Hun-tiong Siancu berkelebat masuk ke kelenteng belakang. Tertinggal dua sosok mayat menggeletak tak bergerak, mayat Ji Bun dan Liok Kin, keduanya sama-sama masih muda. Seorang bermuka hitam tahu-tahu melayang turun di pekarangan kelenteng, dia seorang pemuda, sejenak dia celingukan, lalu menghampiri mayat Ji Bun, dengan tangan dia meraba pernapasan dan memegang urat nadi Ji Bun, tak tertahan air matanya bercucuran. Mayat Ji Bun diangkatnya terus keluar, memasuki hutan dan meletakkannya di bawah pohon yang rindang, katanya sedih sambil sesenggukan.
"Hiante, aku pasti menuntut balas kematianmu. Berpisah beberapa hari ini, tak nyana kita lantas berpisah untuk selamanya, oh ......"
Siapakah pemuda muka hitam ini? Dia bukan lain Sian-tian-khek Ui Bing adanya.
Dengan sedih Ui Bing lantas menggali liang kubur, dia siap mengebumikan jenazah adik angkatnya ini.
Lekas sekali liang sudah digalinya, dicarinya sebuah, batu besar untuk batu nisan, dengan kekuatan jarinya dia mengukir beberapa huruf yang berbunyi tempat semayam Te-gak Suseng Ji Bun, di bawahnya dia ukir pula namanya sendiri, sebagai kakak angkat Ui Bing.
Setelah kerja selesai, dia menghampiri mayat Ji Bun hendak dimasukkan ke liang lahat.
Tak nyana tiba-tiba dilihatnya Ji Bun menggeliat sekali terus bangun berduduk.
Keruan Ui Bing berteriak kaget, bulu roma berdiri, merinding sekujur badannya, dikiranya mayat Ji Bun penasaran dan mau menuntut balas.
Soalnya dia sendiri sudah memeriksa keadaan -()- ( )-()- Ji Bun, napas putus dan denyut nadinya sudah berhenti, Ji Bun betul-betul sudah mati, (orang mati masakah bisa hidup kembali? Ji Bun kucek-kucek mata lalu celingukan dengan pandangan hambar, akhirnya matanya memandang Ui Bing.
"Kau .... kau siapa?"
Tanyanya. Gemetar suara Ui Bing.
"Hiante, kau belum mati?"
"O, Toako? Kau yang menolongku?"
Ui Bing yakin bahwa Ji Bun betul-betul hidup kembali, rasa takut dan merindingnya segera lenyap, katanya kegirangan.
"Hiante sungguh ajaib ...."
"Apa? Ajaib?"
Ji Bun tidak mengerti.
"Kau sudah mati, aku sudah siap menguburmu di sini, tak kira ....... ai, sungguh tak kira ........"
Ji Bun mengawasi liang dan tumpukan batu di sana, akhirnya dia manggut-manggut, katanya.
"Ya, sekarang aku ingat, aku terpukul mampus oleh serangan Hun-tiong Siancu ........."
"Jadi tadi itulah Hun-tiong Siancu?"
"Ya, isteri Siangkoan Hong." -()- ( )-()- "Begitu aku tiba, kebetulan kulihat dia memukulmu, tak sempat lagi aku mencegahnya, sebetulnya dengan kekuatanku paling-paling cuma ikut mengorbankan diri belaka."
"Bagaimana Toako bisa mencari ke kelenteng ini?"
"Kudapat laporan bahwa kau menempuh perjalanan ke sini, maka kususul sepanjang jalan raya ini, bayanganmu tak kelihatan, karena dahaga aku kemari ingin cari air ......."
"Dengan alasan yang sama kami masuk ke kelenteng ini, sungguh kebetulan."
"Hiante, bagaimana keadaanmu sekarang?"
Ji Bun kerahkan hawa murni, rasa sakit sudah lenyap, namun kepala masih rada pening, katanya dengan tertawa getir.
"Tidak apa, aku takkan mati,"
Ui Bing mengerut kening, katanya.
"Hiante, jelas kau sudah mati, denyut nadimu berhenti, tapi kau hidup kembali ......"
Ji Bun geleng kepala, katanya;
"Toako, bukan sekali ini saja aku mati, entahlah aku sendiri tidak tahu apa sebabnya."
"Tentu ada sebabnya."
"Siaute juga berpikir demikian, namun aku tak habis mengerti. O, Toako, pernahkah kau dengar ada gerakan tubuh yang bisa menghilang mendadak?" -()- ( )-()- "Gerakan yang menghilang mendadak?"
"Ya, kalau tidak, aku tidak akan kecundang di bawah tangan perempuan itu."
Ui Bing berpikir sambil menunduk, katanya kemudian.
"Ya, teringat olehku, itulah suatu gerakan tubuh yang sudah lama putus turunan dari kalangan Bu-lim, namanya Wan-hun-hu-deh"
"Wan-hun-hu-deh (sukma penasaran melekat badan)?"
Ji Bun menegas.
"Ya, kau kira bayangan orang bisa tiba-tiba lenyap? Sebenarnya kenyataan tidak demikian, dia hanya berada di belakangmu, dia ikut bergerak mengikuti gerak-gerikmu, tak peduli kau mengubah posisi apapun, jejak orang takkan bisa kau temukan, oleh karena itu dinamakan Wan-hun-hu-deh."
"O,"
Ji Bun manggut-manggut seperti menyadari sesuatu, batinnya, kalau tahu demikian, takkan semudah itu aku terjungkal di tangan Hun-tiong Siancu, betapapun hebat dan aneh gerakan itu, masakah ia dapat merajai segala gerakan ilmu tubuh dalam dunia ini, sebetulnya cukup dirinya bergerak dan berputar di tempat saja, atau melejit tinggi ke atas sudah cukup melayani gerakan lawan, memangnya ia juga mampu mengikuti gerakan mumbul ke atas, apalagi dirinya pernah meyakinkan Ginkang angin lesus berputar ke atas, ilmu ini kiranya cukup untuk mengatasi gerakan lawan yang aneh itu.
-()- ( )-()- Setelah paham lika-liku rahasianya, diam-diam Ji Bun bertambah yakin akan dirinya sendiri.
Menang pengalaman merupakan guru yang paling bagus bagi perbendaharaan pengetahuan, apalagi ilmu dalam dunia ini tiada batasnya, hanya mengandal ilmu silat tanpa dilandasi pengetahuan yang luas tetap tidak cukup bekal untuk berkelana di Kang-ouw.
"Hiante,"
Kata Ui Bing.
"kukira kau pasti pernah makan sesuatu obat mujarab atau benda mestika lainnya, kalau tidak, daya hidupmu takkan berkobar pula setelah padam, orang yang sudah mati takkan semudah itu hidup kembali?"
Ji Bun geleng-geleng, ujarnya.
"Toako, aku tidak menipumu, Siaute sendiri betul-betul tidak tahu sebabnya?"
Sekonyong-konyong sebuah suara nyaring merdu tapi dingin kaku menanggapi.
"Kalau kau tidak tahu, biarlah aku yang beritahu padamu."
Ji Bun berjingkat kaget luka-lukanya belum sembuh seluruhnya, terutama hawa murni yang buyar belum sempat dihimpun kembali, baru saja dia bergerak, kepala pening pandanganpun berkunang-kunang, tubuh limbung hampir roboh, tak tertahan dia merintih tertahan.
"Siapa di situ?"
Ui Bing segera menegur. Bagi Ji Bun, begitu mendengar suara orang segera dia tahu siapa yang bicara, darah seketika mendidih, namun dia tahu keadaan sendiri sekarang tak sanggup menghadapinya, namun sikapnya tetap angkuh dan ketus, tanyanya.
"Kau tahu apa?" -()- ( )-()- Terdengar kesiur angin lambaian kain, sesosok bayangan tiba-tiba muncul di hadapan mereka, dia adalah Hun-tiong Siancu. Wajahnya nan rupawan tidak mengunjuk kemarahan dan nafsu membunuh pula, katanya tawar.
"Ji Bun, dalam tubuhmu ada mengalir darah Thian-thay-mo-ki."
"Apa? Darah Thian-thay-mo-ki berada dalam, tubuhku? Aku tidak mengerti?"
"Sudah tentu kau tidak mengerti. Waktu pertama kali kau mendapat celaka, demi menolong kau, terpaksa Thian-thay-mo-ki berkorban diri, dengan darahnya sendiri dia menolong jiwamu ......."
Terbelalak biji mata Ji Bun, rasa kaget, heran, dan tidak percaya melapisi mimik wajahnya, suaranya gemetar.
"Apa? Darahnya telah menolong aku?"
"Ya, karena dia pernah minum Sek-liong-hiat-ciang (darah naga batu), dalam darahnya mengandung mujarab mestika yang tiada taranya itu sehingga melindungi jiwanya dari marabahaya, itulah sebabnya kenapa berulang kali kau dapat hidup kembali setelah dipukul mati."
"Oh,"
Ji Bun dan Ui Bing sama-sama bersuara kaget, sungguh rahasia yang belum pernah mereka.
dengar, lain pula bagi penerimaan Ji Bun, hal ini merupakan pukulan batin dan beban yang bertambah berat pula bagi nuraninya, betapa besar dan mendalam budi kebaikan Thian-thay-mo-ki terhadap dirinya ibarat setinggi langit sedalam lautan dan tak mungkin bisa dilukiskan dengan kata- -()- ( )-()- kata, imbalan apapun takkan sembabat untuk membalas budinya.
Sungguh celaka, bahwa selama ini dia tidak pernah menyinggung hal ini, kalau tidak tentu hubungan mereka tidak akan seburuk ini, namun kenyataan Thian-thay-mo-ki tidak mau menggunakan urusan ini untuk menarik simpatik darinya, betapa bajik dan bijak hatinya sungguh sukar dilukiskan.
Lahirnya dia kelihatan sebagai perempuan jalang, wanita genit, yang benar ia memiliki hati Buddha, hati suci nan murni.
Agaknya hati manusia memang sukar dan tidak boleh diukur dari lahiriah atau dari sikap dan tingkah lakunya melulu, bayangan si nona seketika mengisi seluruh sanubarinya.
Duri Bunga Ju -- Gu Long Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Manusia Yang Bisa Menghilang -- Khu Lung