Ceritasilat Novel Online

Hikmah Pedang Hijau 13


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 13



Hikmah Pedang Hijau Karya dari Gu Long

   

   Bekas roda kereta itu bergerak menuju ke kota tapi menjelang masuk ke kota, bekas roda itu berbelok ke samping, ketika senja tiba, sampailah mereka di depan sebuah bangunan gedung yang megah dan luas.

   Dinding tembok yang mengitari bangunan itu tingginya mencapai dua tombak sehingga sekilas pandang mirip sebuah benteng kecil, di luar dinding pekarangan terlindung sebuah sungai, di atas benteng tampak bayangan manusia bergerak kian kemari, jelas penjagaan sangat ketat.

   Bekas roda kereta lenyap ke dalam bangunan itu, untuk menyerbu ke dalam gedung jelas tak mungkin karena jembatan penyeberangan telah digantung, sementara sungai itu lebarnya belasan tombak, tak mungkin sungai selebar itu dapat diseberangi dengan sekali lompat.

   Ji-lopiautau kelihatan bingung, ucapnya.

   "Bukankah tempat ini adalah Pah-to-san-ceng Ti-seng-jiu Buyung Ham? Masakah Leng-hong Kongcu telah bekerja sama dengan kaum iblis dari Lam-hay-bun dan membegal barang kawalanku?" Tian Pek sendiripun tercengang mendengar ucapan itu, ia mengamati bangunan itu dengan lebih seksama. Benar juga, bangunan itu memang perkampungan Pah to-san-ceng yang pernah disinggahinya. Kenangan lama terlintas kembali dalam benaknya, pemuda itu teringat lagi cara bagaimana dia dibawa ke perkampungan itu oleh nyonya setengah baya yang baik hati ketika ia jatuh pingsan di dalam hutan, bagaimana ia dibaringkan di kamar Leng-hong Kongcu, dihina dan dicemooh oleh Leng-hong Kongcu yang keji dan Tian Wanji yang lincah, Buyung Hong, si nona baju hitam yang telanjang bulat di depan matanya, Hoan Soh-ing yang dikenalnya dalam penjara, kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip pemberian paman Lui..... dan kejadian lain, semua kenangan lama itu se-olah2 asap yang telah buyar, kalau masih ada yang tersisa dalam hatinya juga sudah samar2 dan tidak jelas lagi. Untuk sesaat lamanya, anak muda itu hanya berdiri termangu2, is tak tahu apa yang mesti dilakukan...."

   "Lau-Sam!"

   Tiba2 Ji-lopiautau berteriak.

   "Ambil kartu namaku!"

   Si kuda kilat Lau Sam segera mengiakan dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari buntalannya, lalu dengan hormat diangsurkan.

   "Lopiautau, buat apa kartu mama itu?"

   Tanya Cui-cui dengan tertawa.

   "Lohu pernah kenal orang yang bernama Buyung Ham itu, tak kusangka ia telah mengirim orang untuk membegal barang kawalanku, sekarang Lohu akan mengunjungi perkampungannya menurut aturan dunia persilatan, ingin kulihat apa yang akan dia lakukan lagi." Dengan mendongkol dia lantas berpaling kepada seorang Piausunya yang bernama To pit-him (beruang bertangan banyak) Gui Thian-sang, serunya.

   "Gui-losu, tolong sampaikan kartu nama ini kepada Buyung Ham, katakan bahwa Tiat-ciang-cin datang menyambangi..."

   To-pit-him Gui Thian-seng menerima kartu nama itu dan menuju ke perkampungan dengan langkah lebar.

   "Kukira lebih baik tidak memakai tatacara segala,"

   Sela Cui-cui "Belum tentu Buyung Ham bisa mengambil keputusan, juga belum tentu dia akan menjumpai dirimu!"

   "Hm. sekalipun Buyung Ham orang sombong, aku tidak percaya dia tidak menggubris lagi peraturan dunia persilatan. Gui-suhu, pergilah!"

   Cui-cui tidak mencegah lagi, ia cuma tertawa saja. Dengan langkah lebar To-pit-him menuju ke tepi jembatan, serunya lantang.

   "Hei, orang2 Pah-to-san-ceng, dengarkan baikk2. Tiat-ciang-cing-ho siok Ji-lopiautau dari Yan-keng-piaukiok datang berkunjung, harap kalian buka pintu dan menyambut."

   To-pit him adalah seorang yang berperawakan tinggi besar, teriakan dengan tenaga dalam yang kuat, suaranya berkumandang sampai puluhan lie jauhnya.

   Tapi suasana dalam perkampungen tetap sunyi, tak tampak sesosok bayangan manusia pun.

   To-pit-him mengulangi teriakannya beberapa kali, namun tiada jawaban yang terdengar, malahan bayangan yang semula tampak mondar-mandir di atas benteng itu sekarang pun menyembunyikan diri di balik kegelapan.

   Suasana jadi sepi, se-olah2 perkampungan itu adalah sebuah perkampungan yang kosong.

   Lama2 To-pit-him menjadi tak sabar, ia keluarkan sebatang Gwat-ya-piau dan disambitkan pada talijembatan gantung itu.

   "Blang!"

   Terdengar suara hiruk-pikuk, jembatan gantung itu ambruk ke bawah karena tali pengangkatnya putus.

   To pit-him tak malu sebagai seorang laki2, dengan membawa kartu nama itu selangkah demi selangkah dia menaiki jembatan gantung itu.

   Di dalam benteng tetap tiada gerak-gerik atau suara yang mencurigakan, suasana masih sepi dan ....

   Ketika To-pit-him mencapai tengah2 jembatan gantung itu, suasana masih tetap hening, walaupun secara samar2 terasa ada sesuatu firasat yang tidak enak.

   Tian Pek tertegun menyaksikan kejadian itu, ia kagum dan terharu kepada kesetiaan serta kegagahan To-pit-him yang rela berkorban bagi Congpiautau perusahaannya.

   Tampaklah To-pit-him sudah hampir menuruni jembatan gantung itu dan tiba di depan pintu gerbang, mendadak dari atas benteng perkampungan berkumandang suara desingan tajam, menyusul terjadilah hujan anak panah.

   To-pit-him meraung keras, kedua tangannya bekerja cepat untuk melindungi tubuhnya, hujan anak panah gelombang pertama berhasil dipatahkan olehnya.

   Namun hujan panah tidak berhenti sampai situ saja, malahan makin lama anak panah yang berhamburan ke bawah bertambah gencar.

   Dalam sakejap mata To-pit-him dibikin kerepotan, ia terjebak dan jiwanya terancam bahaya.

   Ji-lopiautau, Tian Pek, Cui-cui serta kawanan Piausu lainnya tidak berdiam diri begitu saja, serentak mereka memburu ke bawah benteng dan memberikan pertolongan.

   Sayang To-pit-him sudah telanjur terpanah oleh belasan batang anak panah, sekujur badannya bermandikan darah dan persis seperti landak, sekali pun sudah roboh namun kartu namanya masih tetap dipegangnya erat2.

   Cepat Ji-lopiautau memburu maju, sambil melancarkan serangan untuk memukul rontok hujan anak panah itu, tangannya yang lain menyambar tubuh To-pit him dan diseretnya ke tempat yang aman, serunya.

   "Saudara Gui, aku telah menyusahkan dirimu, bagaimana keadaanmu?"

   Kendatipun jiwanya berada di ujung tanduk, To-pit-him tetap tersenyum, sekuat tenaga dia serahkan kembali kartu nama itu kepada Ji-lopiautau, kataoya dengan lemas.

   "Engkoh tua, meskipun tugas ini gagal kuselesaikan, namun Siaute tidak sampai memalukan nama perusahaan kita, kartu nama itu kuserahkan kembali kepadamu, harap engkoh tua memilih orang lain yang...

   yang ....leb...

   lebih cocok...."

   Darah segar berhamburan dari mulutnya, segera ia terkulai lemas dan mengembuskan napas terakhir. To-pit-him adalah seorang ahli senjata rahasia. orang Kangouw sebut dia sebagai "beruang bertangan banyak"

   Oleh karena tubuhnya yang tegap serta kepandaiannya melepaskan Am-gi tapi sekarang jiwanya justeru berakhir oleh hujan anak panah yang deras, betul2 mati secara mengenaskan! Ji-lopiautau tak dapat menahan harunya, air mata jatuh berderai membasahi wajahnya, diam2 ia berdoa.

   "Saudara Gui, beristirahatiah dengan tenang, aku akan membalaskan sakit hatimu." Setelah membaringkan jenazah To-pit-him ke atas tanah, ia menyeberangi sungat dan menyerbu ke dalam benteng. Mungkin ada yang merasa heran, bila mereka sudah tahu kepergian To-pit-him hanya mengantar nyawa belaka, mengapa Ji-lopiautau serta Tian Pek sekalian tidak mengalangi atau membantu dari samping? Di sinilah terletak betapa penting arti nama dan kehormatan seorang jago silat, seringkall mereka anggap remeh keselamatan sendiri, mereka lebih mementingkan kepercayaan orang lain kepadanye serta memegang janji daripada keselamatan jiwa sendiri. Mendingan bila mereka tidak menerima sesuatu pesan atau titipan dari orang lain, sekali mereka sudah menerima pesan orang, maka biarpun harus terjun ke lautan api atau naik ke bukit golok, mereka tak akan mundur. Tak dapat memegang janji bagi mareka berarti merusak nama baik sendiri. Itulah sebabnya To-pit-him Gui Thian-seng tak gentar mengorbankan jiwanya sekalipun dia tahu jiwanya terancam. Lalu, apa sebabnya Ji-lopiautau serta Tian Pek sekalian tidak maju bersama ataupun memberikan bantuannya? Dalam hal ini menyangkut pula soal gengsi, sebelum orang minta tolong atau minta bantuan kepadanya, maka mereka tak berani membantu atau menolongnya, sebab jika mereka sampai berbuat begitu, bukan saja tak akan mendapat terima kasih bisa jadi berbalik orang akan marah karena dianggap menghinanya. Begitulah kebiasaan orang persilatan pada waktu itu, memang aneh kedengarannya bagi orang awam, tapi benar2 kejadian yang jamak bagi jago silat jaman dahulu. Begitulah Ji-lopiautau telah menerjang ke dalam benteng itu, dilihatnya mayat bergelimpangan di mana2, tampaknya para pemanah tersembunyi yang berada di atas benteng itu sudah disapu bersih oleh para Piausu serta Tian Pek sedangkan kawanan jago itu terus menerjang masuk ke dalam perkampungan. Meski Ji-lopiautau sudah kehilangan barang kawalannya dan menyangkut nama baik serta keselamatan keluarganya, pula banyak Piausunya menjadi korban, namun jago tua itu tak ingin menimbulkan pembunuhan banyak, sebab bagaimanapun juga ia merasa punya hubungan baik dengan Ti-seng-jiu Buyung Ham. Ketika dilihatnya mayat bergelimpangan di mana2 dia jadi kuatir kalau Tian Pek dan para Piausunya yang berdarah panas melakukan pembantaian dan akan mengakibatkan makin rumitnya keadaan, maka cepat ia memburu masuk ke dalam perkampungan itu. Malam telah tiba, perkampungan Pah-to-sanceng yang luas itu diliputi kesunyian dan kegelapan, tiada sinar lampu, begitu sepi dan gelap hingga suasana terasa misterius dan mengerikan. Secepat angin, Ji-lopiautau melintasi wuwungan rumah dan menyerbu ke dalam, seringkali ia dihadang dan disergap lawan dari tempat kegelapan, namun jago tua itu bertempur sambil bergerak maju, ia berusaha menghindari pertumpahan darah. Ia terus menuju ke arah suara pertarungan yuang terdengar bergema dari dalam gedung. Beruntun ia melintasi tiga halaman yang lebar namun tak sesosok bayangan manusia pun yang ditemukan. Bukan saja orang-orang Pah-to-san-ceng tak ada yang muncul malahan tiga puluh orang Piausu yang dibawa Tian Pek dan Cui-cui juga tak kelihatan batang hidungnya. Rasa curiga makin menyelimuti hati Ji-lopiautau, sambil meneruskan perjalanan menembus gedung satu ke gedung yang lain, ia mulai menggerutu.

   "Aneh, sungguh aneh, ke mana perginya mereka? Jangan-jangan sudah tertawan semua?"

   Tapi ingatan lain melintas pula dalam benaknya.

   "Ah, tidak mungkin kungfu Tian Pek dan manusia muka setan itu sangat lihai, masa mereka bisa tertawan sekaligus tanpa melawan?"

   Beberapa halaman kembali sudah dilalui, namun belum nampak juga sesosok bayangan manusia pun.

   "Kecuali Ti-seng-jiu Buyung Ham yang pernah kujumpai, beberapa orang jago Pah-to-san-ceng pernah kukenal.Kenapa tak seorang kenalan pun yang kutemui? Aneh, benar2 aneh apa yang telah terjadi?"

   Pikirnya lebih jauh.

   Setelah menembus dua gedung kecil, akhirnya sampailah Ji-lopiautau di sebuah halaman luas yang mirip sekali dengan sebuah taman bunga.

   Suasana tetap sunyi, taman ini mestinya sangat indah, tapi sekarang, dalam kegelapan malahan mendatangkan perasaan seram.

   Ia pun tidak mengalami sergapan lagi, se-olah2 sudah berada di dalam kota mati.

   Kesunyian yang luar biasa ini sungguh sangat mengerikan, jangankan orang lain, Ji-lopiautau yang berpengalaman juga dibuat bergidik.

   Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak Ji-lopiautau, pikirnya.

   "Kalau tak ada orang mau muncul, apa salahnya kalau aku yang menyapa lebih dulu, kemudian melihat gelagat selanjutnya....." Berpikir demikian dia lantas berdehem dan berseru.

   "Hai ...

   "

   Baru saja dia bersuara, serentak terdengar kumandang suaranya bergema dari segenap penjuru, dari balik kolam, dari bangunan kosong sana, bersahutan sampai lama sekali "Ciit! Ciit! Ciit!"

   Mendadak seekor burung terbang dalam kegelapan sehingga Ji-lopiautau terkesiap dan berkeringat dingin.

   Dengan mata melotot ia mengawasi sekeliling tempat itu, namun tidak terjadi sesuatu apa pun.

   Perlahan rasa kaget dan seram yang mencekam perasaan jago tua itu mulai mereda, tapi sebelum usahanya menyapa diulangi kembali, mendadak "kraak", sebuah jendela perlahan-lahan terpentang.

   Berikut terbukanya jendela itu, terdengar suara helaan napas sedih memecahkan kesunyian.

   Helaan napas itu seolah2 muncul dari dalam kuburan, begitu sedih dan memilukan suara helaan napas itu hingga membuat bulu roma orang pada berdiri.

   Dengan perasaan takut Ji-lopiautau berpaling, di bawah remang-remang cahaya rembulan muncul seorang perempuan berambut panjang dan bermuka pucat seperti mayat, rambutnya begitu panjang terurai sahingga sebagian besar mukanya tertutup.

   Sekujur badan Ji-lopiautau dingin menggigil, pikirnya.

   "Malam ini benar2 ketemu setan di sini...."

   Memang tak salah kalau perempuan itu mirip setan, bukan Saja mukanya begitu pucat seperti mayat, rambut panjang terurai, matanya juga mendelong tanpa berkedip, gerak-geriknya kaku seperti mayat hidup.

   Bagaimanapun juga Ji-lopiautau memang tak malu disebut sebagai jago kawakan, meskipun hatinya merasa takut, namun tak nampak gugup dan bingung.

   Ditatapnya gadis itu tanpa berkedip.

   Jendela itu teraling oleh terali besi yang kuat, setelah mendorong daun jendela dari balik terali itu, setan perempuan tadi memegangi terali besi dan memandang langit dengan termangu2, mukanya yang pucat ditempelkan pada terali, sekalipun persis di depannya berdiri seorang, namun ia seperti tidak melihatnya.

   Lama sekali setan perempuan itu termangu2, akhirnya dengan suara yang amat sedih ia bersenandung dengan nada sedih.

   Yang disenandungkan adalah syair "rindu"

   Gubahan penyair Li Pek, memilukan suaranya.

   Sekarang lopiautau baru yakin perempuan di depannya bukan setan, tapi benar2 manusia, seorang gadis yang patah hati karena ditinggal kekasih.

   Selang sesaat kemudian, Ji-lopiautau berusaha memberanikan diri, ia maju sambil berdehem, tegurnya.

   "Nona, apakah kau orang perkampungan ini?"

   Gadis itu sama sekali tak memandang ke arahnya, ia tetap menengadah memandangi bintang dan rembulan dengan ter-mangu2.

   "Engkoh Pek.... Oo, engkoh Pek, di mana kau sekarang?"

   Gumamnya dengan lirih.

   "Tahukah kau betapa adik Hong merindukan kau?..."

   "Engkoh Pek? Adik Hong? Siapakah mereka?"

   Pikir Ji-lopiautau dengan tercengang.

   "tapi engkoh Pek pasti nama kekasihnya atau suaminya, dan adik Hong tentulah namanya sendiri...." Sementara itu nona tadi bergumam lagi dengan sedih.

   "0, engkoh Pek, engkau telah pergi selama dua ratus sembilan puluh sembilan hari, enam puluh enam hari lagi akan genaplah setahun. Tahukah kau selama hampir setahun ini, berapa banyak air mata yang telah membasahi wajahku? ..... , Oo, engkoh Pek, mengapa kau tak datang lagi menjengukku?"

   Air mata meleleh keluar dengan derasnya membasahi pipi yang pucat dan halus itu. Ji-lopiautau tertegun, ia melongo oleh tingkah laku anak dara itu.

   "Tampaknya nona ini memang mencintai kekasihnya, sampai waktu kepergian kekasihnya juga teringat dengan jelas...."

   Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara dengusan berkumandang tak jauh di belakangnya.

   Ji-lopiantau terperanjat, musuh muncul di belakangnya tanpa diketahui olehnya, itu berarti ilmu meringankan tubuh orang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan.

   Dengan rasa ngeri jago tua itu berputar ke belakang, kedua tangannya disilangkan dl depan dada, waktu memandang ke depan, terlihatlah tiga orang kakek telah berdiri di depan sana.

   Kakek yang ada di tengah berusia lima puluh tahunan, mukanya putih bersih, wajah lebar dan mulut besar, bajunya halus terbuat dan sutera, dandanannya persis seorang hartawan, tangan kirinya membawa sebuah seruling perak yang bersinar mengkilap.

   Kakek di sebelah kanan botak tak berambut, lengan kirinya buntung, sedang tangan kanannya diangkat ke atas dan memegang sebuah genta tembaga, usianya sudah enam puluhan.

   Dan orang yang ada di sebelah kiri juga berusia sekitar enam puluhan, kakinya cuma tinggal satu, meskipun demikian ia sanggup berdiri tegak tanpa ditopang oleh tongkat, ia bertangan kosong, tidak mambawa senjata.

   Di antara ketiga orang kakek itu, dua di antaranya sudah dikenal oleh Ji-lopiautau, sebab mereka adalah Say-gwa-siang-jan (sepasang manusia cacat dari luar perbatasan) yakni Tui-hun-leng (genta pengejar sukma) Suma Keng yang buntung tangannya serta Tok-kak-hui-mo (iblis terbang berkaki tunggal) Li Ki, dahulu kedua orang ini merupakan dua gembong iblis yang tersohor di kalangan Lok-lim di wilayah barat laut.

   Tatkala Ji-lopiautau masih sering mengawal barang ke wilayah barat dulu, ia pernah berjumpa dengan kedua orang ini, karena ciri khas yang dimiliki kedua orang itu, kesannya terhadap mereka sangat mendalam, karena itu hanya sekilas pandang saja dia segera mengenalinya.

   Meskipun jago tua ini tak kenal hartawan kaya setengah baya itu, namun dari dandanannya serta seruling perak yang dibawanya, ia dapat meraba identitasnya.

   "Orang itu tentulah Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng yang tersohor di dunia persilatan karena irama iblis Im-mo-siau-hoatnya yang lihay!"

   Demikian ia berpikir. Dia tahu ketiga orang ini adalah jago tangguh yang paling diandalkan dalam Pah-to-san-ceng. Cepat ia memberi hormat, sapanya.

   "Kukira siapa yang muncul, rupanya adalah Suma-heng dan Li-heng! Kalau dugaanku tak keliru, saudara yang ini tentulah Gin-siau-toh-hun, Ciang Su-peng, saudara Ciang yang tersohor karena permainan serulingnya, betul bukan?" Gin-siau-toh-hun Ciang Su peng mendengus. Tiat-ciang-cin-ho siok Ji Kok-hiong, Congpiautau dari Yan-keng-piaukiok ternyata tidak bernama kosong, sekilas pandang saja segera kenal kami. Hm, kagum. kagum!"

   "Hahaha, nama besar kesepuluh tokoh utama istana keluarga Buyung sudah tersohor di mana2, tentu saja Lohu kenal kalian ..."

   "Istana keluarga Buyung?"

   Tukas Gin-siau-toh-hun sambil mendengus, tiba2 ia menengadah dan tertawa terbahak2.

   "Hahahaha, istana keluarga Buyung sudah punah dari muka bumi ini, yang ada sekarang tinggal cabang perguruan Lam-haybun di kota Ce-lam! Tua bangka, jangan sembarangan bicara kalau tak tahu urusannya!"

   Ji-lopiautau tercengang, ucapan semacam itu keluar dari mulut jago tangguh perkampungan Pah-to-san-ceng, hampir saja jago tua ini tidak percaya pada pendengarannya sendiri.

   "Sungguhkah perkataanmu itu?"

   Tanyanya kemudian.

   "Hehehe, setan tua, apa gunanya kami bergurau dengan kau? Kaukira saudara Ciang suka berbohong!"

   Kata Suma Keng sinis.

   "Lalu di mana Ti-seng-jiu Buyung-cengcu...."

   "Itu bukan urusanmu, tak perlu kau banyak bicara?"

   Bentak Tok-kak-hui-mo.

   Setelah ketiga orang itu memberikan keterangan penegasannya, sekalipun tidak percaya, mau-tak-mau Ji-lopiautau harus percaya juga, ia merasa banyak persoalan yang tak masuk di akal, tapi kenyataan memang demikian.

   Misalnya saja ketiga tokoh ini, mereka adalah tiga jago di antara kesepuluh tokoh sakti andalan keluarga Buyung, kalau memang istana keluarga Buyung sudah berganti tuan, mengapa mereka bertiga masih tinggal di sini? Mungkinkah ketiga orang ini telah menghianati Buyung Ham dan kini takluk kepada pihak Lam-hay-bun? Dia lantas bertanya.

   "Jadi.... jadi kalian bertiga telah takluk ... telah menggabungkan diri pada Lam-hay-bun?"

   Kata "takluk"

   Memang tak sedap didengar, bahkan menusuk perasaan orang, maka Ji-lopiautau segera menggantinya dengan ucapan "menggabungkan diri".

   Kendatipun demikian, kata tersebut sudah terlanjur diucapkan, jelas tak mungkin ditarik kembali, kata2 itu segera mendapat reaksi yang cukup besar dari ketiga orang itu.

   Air muka Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng Suma Keng serta Tok-kak hui-mo Li Ki seketika berubah hebat, mata mereka melotot dan hawa napsu membunuh melintas di wajahnya.

   "Ji-loji, kalau kau sudah tahu jadi lebih bagus lagi,"

   Kata Ciang Su-peng kemudian.

   "Kini Lam-hay-bun sudah menyapu jagat, tak lama lagi seluruh daratan Tionggoan akan terjatuh ke dalam kekuasaannya. Hehehe, tua bangka, sekalipun kau ingin menggabungkan diri juga belum pantas!"

   Sekalipun Ji-piautau cukup sabar, setelah dipanggil "tua bangka"

   Terus menerus, meledak juga amarahnya, apalagi setelah mengetahui ketiga orang ini secara tak tahu malu telah mengkhianati majikannya yang lama. Segera serunya dengan gusar.

   
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lohu belum ingin mengkhianati umat persilatan dengan menjilat pantat musuh. Hehehe, tidak malukah kalian perbuatan kalian meninggalkan Buyung cengcu ini tersiar di duniapersilatan?" Tui-hun-leng Suma Keng menengadah dan tertawa terbahak2.

   "Hahaha, tua bangka, tak perlu banyak bacot, malam ini jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini dengan selamt!"

   Gusar sekali Ji-lopiautau, ia muak menyaksikan kepongahan Tui-hun-leng.

   "Huuh, sekalipun bakal mati di sini, jangan harap perbuatan terkutuk kalian bisa mengelabui umat persilatan umumnya, akhirnya toh pengkinanatan kalian akan tersiar juga."

   "Tua bangka, jangan bacot seenaknya!"

   Kata Tok-kak-hui-mo sambil mendengus.

   "Agar kau bisa mampus dengan mata meram, akan kujelaskan duduknya persoalan, dengarkan baik2!"

   Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.

   "Pada puluhan tahun yang lalu Buyung Ham telah bersekongkol dengan saudara2nya untuk membunuh Pek-lek-kiam Tian In-thian, atas perbuatan yang terkutuk itu dia telah kehilangan haknya untuk menduduki kursi pimpinan dunia persilatan. Sekarang Lam-hay-bun telah membongkar rahasia ini, mereka akan menegakkan keadilan dan kebenaran, untuk menenteramkan suasana dalam tiga tahun mendatang dunia persilatan akan dipimpin olehnya, selain itu kitab Bu-hak-cin-keng akan disebarluaskan agar bisa dipelajari oleh setiap pencinta ilmu silat di dunia ini. Tiga tahun mendatang akan dibuka pertemuan besar Enghiong-tay-hwe di puncak barat Hoa-san, pada waktu itulah setiap orang berhak mengikuti pertandingan untuk merebut kursi pimpinan persilatan. Hehehe, bila dunia persilatan telah bersatu....."

   Ia berhenti dan sengaja tertawa terbahak2 lalu sambungnya.

   "Sayang seribu sayang, tua bangka she Ji ini tidak punya rejeki untuk menghadiri pertemuan tersebut!" "Benar, sebab malam ini adalah malam terakhir kau tua bangka she Ji ini hidup di dunia ini!"

   Sambung Tui-hun-leng. Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, Suma Keng segera melompat ke atas.

   Jilid 19 Waktu berada di udara, genta maut diputarnva Tiing, tiing! disertai suara keleningan yang memekak telinga, segera ia menghantam batok kepala Ji-lopiautau.

   Terperanjat jago tua itu, dia tak menyangka Suma Keng begitu bertemu lantas menyerang.

   Cepat ia mengegos ke samping sambil berganti langkah, dengan jurus Ciu-cu-cam-kau (Ciu Cu memenggal naga) ia balas bacok pinggang Tui-hun-leng dengan pukulan telapak tangan bajanya.

   "Serangan bagus!"

   Seru Suma Keng.

   Ia meluncur turun, ujung kaki memancal dan melesat ke samping, keleningan mautnya berputar setengah lingkaran dan menghantam dada Ji-lopiautau dengan jurus Ciu-ling-keng-liong (getaran keleningan mengejutkan naga).

   Suma Keng tidak malu disebut jago tangguh dari Pah-to-san-ceng, bukan saja cepat dalam gerakan, jurus serangannya juga aneh dan lihay.

   Ji-lopiautau terperanjat, cepat dia putar telapak tangannya dan memukul terlebih gencar, di tengah deru angin pukulan dan deringan keleningan, dalam waktu singkat kedua orang itu sudah bertarung puluhan gebrakan.

   Agaknva kekuatan mereka seimbang, untuk sesaat sukar menentukan menang dan kalah.

   Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng mengikuti jalannya pertarungan itu dari samping, diam-diam ia mengerutkan dahi, mereka masih ada tugas penting lain yang harus diselesaikan dengan cepat, bertarung cara begitu ielas tidak menguntungkan mereka.

   Akhirnya habislah kesabaran Tok kak-hui-mo Li Ki, sambil membentak ia lantas terjun ke gelanggang untuk mengerubuti Ji-lopiautau.

   Ilmu silat Congpiautau Yan-keng-piaukiok ini memang terhitung tinggi, ia berhasil mengimbangi permainan keleningan maut Tui-hun-leng secara gigih, tapi setelah Tok-kak-hui-mo ikut terjun ke dalam gelanggang, seketika dirasakan betapa berat daya tekanan musuh, walaupun demikian, jago tua ini pantang menyerah, ia masih melayani terus serangan musuh dengan gigih.

   Dalam sekejap mata, belasan gebrakan kembali sudah lewat....

   Gin-siau-toh-hun jadi gelisah melihat serangan gabungan Se-pak-siang-jan ternyata tidak mampu merobohkan seorang Piausu tua.

   Dengan dahi berkerut dia menempelkan seruling peraknya di bibir, lalu ditiupnya.

   "Tuuit...

   tuuit....

   Tuuit !"

   Nyaring suaranya dan rendah nadanya, membuat hati orang jadi pedih dan hilang semangat! Terperanjat Ji-lopiautau, pikirannya mulai dikuasai oleh pengaruh irama seruling itu, ia se-olah2 merasa dirinya sudah tua dan tak ada gunanya memperebutkan nama serta kedudukan dengan orang lain, makin lama pikirannya makin kabur, otomatis gerak serangannya menjadi lamban! Suma Keng tahu ada kesempatan baik, segera ia manfaatkan peluang itu.

   Keleningan maut berputar, diiringi denging keleningan yang tajam ia hantam muka Ji-piautau dengan jurus Ci-hun-to-pok atau sukma hilang jiwa melayang.

   Terkejut Ji-lopiautau ketika tiba2 mendengar desingan angin yang menyambar wajahnya, ia tersadar kembali dari pengaruh suara seruling, ketika dilihatnya cahaya kuning sudah berada di depan mata, sebisanya ia mendoyong ke belakang, sehingga lolos dari ancaman maut.

   Cukup cekatan cara Ji-lopiautau menghindarkan sergapan Tui-hun-ling itu, tapi dia lupa di sampingnya masih berdiri seorang musuh, yakni Tok-kak-hui-mo.

   Melihat tubuh Ji-lopiautau doyong ke belakang, cepat Li Ki melejlt, dengan kaki tunggalnya ia depak ulu hati jago tua itu sambil membentak.

   "Kena!"

   Kontan Ji-lopiautau mencelat dan roboh tak sadarkan diri.

   Untung tendangan itu tidak mengenai bagian tubuh yang mematikan, sekalipun demikian cukup membikin pingsan jago tua itu.

   Suma Keng memburu ke sana dan mencengkeram tubuh Ji-lopiautau sekalian ditepuk lagi jalan darah tidurnya.

   "Tua bangka ini cukup lihay!"

   Kata Tui-hun-leng sambil tertawa.

   "untung Ciang-heng menyerangnya dengan irama seruling yang lihay, kalau tidak ..."

   "Sudahlah, tak perlu banyak bicara lagi!"

   Tukas Gin-siau-toh-hun.

   "Hayo kita berangkat! Mungkin Siau-kun sudah lama menunggu ...

   "

   Selagi mereka akan berlalu, tiba2 terdengar seorang berkata dengan lirih.

   "Mencari kemenangan dengan mengerubut, terhitung jago macam apa? Sungguh membikin malu seluruh jago Pah to san-ceng!"

   Kaget Tok-kak-hui-mo, ia berpaling ke arah datangnya suara itu, sesudah menatap sekejap nona bermuka pucat yang berdiri di depan jendela itu, ia menoleh kepada siau-toh-hun dan berkata.

   "Hampir saja kita melupakan sesuatu, dia kan masih ada sebatang akar keluarga Buyung yang masih ketinggalan, kalau tidak sekalian dibabat habis, di kemudian hari mungkin akan menjadi bibit bencana buat kita ...."

   Tok-kak-hui-mo bicara dengan suara yang lirih, tapi entah bagaimana caranya ternyata nona bermuka pucat itu dapat mendengar dengan jelas.

   "Oo, jadi kalian hendak membunuh aku untuk melenyapkan saksi?"

   Ejeknya.

   "Jika begitu, hayo cepat turun tangan, kalau tidak, bila engkoh Pek tiba di sini, kalian tentu tak bisa hidup lagi!"

   Betapa gusar Suma Keng mendengar perkataan itu, dia menghampiri jendela, bentaknya.

   "Kau ingin mampus? Sekarang juga kubunuh kau...."

   Tapi mendadak Gin siau-toh-hun mencegahnya dan berkata.

   "Dia cuma seorang perempuan gila, buat apa kau ladeni? Suma-heng, jangan buang waktu karena persoalan ini, hayolah kita lekas menghadap Siau-kun untuk memberikan laporan!"

   Suma Keng lantas mengangkat Ji-lopiautau, mereka terus berangkat menuju ke ruang rapat.

   Ruang rapat berada dalam keadaan gelap gulita, di tengah2 ruangan sebuah meja panjang terletak di dekat dinding, di atas meja terdapat kitab serta barang antik, sedangkan di bawah meja ada sebuah pintu rahasia.

   Setiba di depan meja, Ginsiau-toh-hun Ciang Su-peng lantas maju ke muka dan menekan tombol rahasia di bawah meja itu dengan seruling peraknya.

   "Kreek!"

   Terbukalah sebuah lorong yang sangat panjang, berpuluh batang obor dan lilin besar terpasang di dinding, suasana dalam lorong terang benderang.

   Kiranya di bawah tanah ini adalah sebuah ruangan yang luas.

   Sebuah meja panjang terletak di tengah dengan belasan buah kursi emas, pada kursi utama berduduk sastrawan baju putih berkipas perak itu.

   Di sebelah kiri sastrawan baju putih itu berduduk seorang anak dara cantik, ia mengenakan baju aneh yang bersisik ikan, sisik2 ikan itu terbuat dari emas dan memantulkan cahaya kemilauan.

   Dandanan gadis itu mewah dan lincah sekali, kecuali pakaian berbulu dan bersisik ikan itu, ada tusuk kondai berukirkan burung Hong menghias sanggulnya yang tinggi, ukiran burung Hong itu bukan ukiran biasa, tapi dibuat dan untaian mutiara yang bersinar.

   Belum pernah ada perempuan cantik yang berdandan seperti ini di daratan Tionggoan, hakikatnya gadis ini lebih mirip bidadari yang baru turun dari kayangan.

   Gadis itu memang cantik, tapi sayang alis matanya melentik tegak dan lagi matanya tajam seperti singa betina, di antara kecantikannya terselip napsu membunuh yang kejam.

   Baik pemuda sastrawan baju putih maupun nona cantik berbaju emas, keduanya berduduk pada kursi utama, sementara di kedua sisinya berduduklah belasan tokoh berpakaian ringkas.

   Di antara jago2 yang berduduk di kursi emas itu terdapat juga delapan orang siluman dari pulau setan dan empat dewi bunga tho yang melakukan pembegalan di hutan itu.

   Luka yang diderita Hud-eng Hoatsu tampaknya juga telah sembuh, bersama nenek rambut putih dan kakek berjenggot panjang ia duduk berdekatan, tampaknya ketiga orang itu tak pernah saling berpisah satu sama lain, maka namanya tersohor sebagai Hay-gwa-sam-sat.

   Selain itu kesepuluh jago dari perkampungan Pah-to-san- -ceng berada pula di antara deretan kursi emas itu.

   Sementara Ti-seng-jiu Buyung Ham, pemilik Pah-to-sanceng itu beserta isteri, yakni nyonya agung yang pernah menolong Tian Pek dahulu, Leng-hong Kongcu yang angkuh serta Tian Wan-ji, semuanya dibelenggu pada tiang ruangan itu.

   Di antara mereka tampak pula "paman Lui"

   Yang awut2an rambutnya.

   Lalu ada lagi berpuluh Piausu dari Yan-keng-piau-kiok yang terbelenggu kaki tangannya dan menggeletak di sudut ruangan.

   Dari keadaan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perkampungan Pah-to-san-ceng telah berganti majikan, pihak perguruan Lam-hay-bun telah menguasai tempat ini, sementara Buyung Ham sendiri beserta keluarganya telah menjadi tawanan.

   Di antara kesepuluh jago tangguh dari istana Buyung serta ribuan jago lainnya kebanyakan sudah menyerah kepada musuh, hanya beberapa orang saja di antaranya yang masih setia, seperti paman Lui dan lain2, mereka tertangkap dan terbelenggu semua.

   Dalam pada itu Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng, Tuihun-leng Suma Keng serta Tok-kak-hui-mo Li Ki telah tiba di ruangan, setelah melemparkan tubuh Ji-lopiautau, ia berkata kepada sastrawan baju putih itu denglan hormat.

   "Syukur perintah Siau-kun berhasil kami laksanakan dengan baik, Tiat-ciang-cin-ho-siok Ji Kok-hiong telah berhasil kami tangkap!"

   Sastrawan baju putih itu mengangguk, sambil tertawa ia berpaling kepada nona baju emas.

   "Sumoiy, silakan melaksanakan hukuman bagi tawanan."

   Dengan sorot mata yang tajam nona berbaju emas itu menyapu pandang sekejap ke kiri dan ke kanan, di mana sinar matanya berkelebat, kawanan jago yang hadir dalam ruangan itu buru2 tundukkan kepala dengan hati kebat-kebit.

   Pada hakikatnya orang2 yang hadir ini sebagian besar adalah tokoh silat ternama di dunia persilatan, sudah berpengalaman dan biasa bergelimangan di tengah kilatan golok dan ceceran darah, membunuh orangpun bukan soal bagi mereka, namun entah apa sebabnya tak seorangpun berani beradu pandang dengan nona cantik itu.

   "Bukankah masih ada seorang laki2 dan seorang perempuan? Kenapa tidak sekalian ditangkap?"

   Tegurnya dengan nada dingin. Buru2 Hay-gwa-sam-sat berdiri, sahutnya dengan prihatin.

   "Lapor tuan puteri, pemuda Tian Pek serta Kui-bin kiau-wa (gadis cantik bermuka setan) saat itu tidak berada di perkampungan sana. Biarlah kita cari jejaknya di kemudian hari dan perlahan2!"

   Perasaan tak senang terlintas di wajah nona baju emas itu, tampaknya dia akan mengumbar amarahnya. Agaknya pemuda baju putih itu cukup kenal tabiat adik seperguruannya itu, cepat ia berkata.

   "Kedua orang itu kan di luar garis, untuk menangkap mereka masih tersedia banyak waktu di kemudian hari, sementara tak perlu kita gubris dulu, bagaimana kalau...."

   "Kau berani membela orang luar dan menentang perintahku?"

   Hardik nona baju emas itu dengan kurang senang. Agaknya sastrawan baju putih itu takut terhadap anak dara itu, buru2 ia menjawab dengan menyengir.

   "Sumoay, janganlah berkata begitu! Masa Suhengmu bisa membantu orang lain untuk menentang perintahmu?"

   "Kau anggap aku tidak bisa menebak apa yang sedang kaupikir?"

   Jengek si nona.

   Sastrawan baju putih itu tertawa getir, ia tidak menjawab lagi kecuali ketuk2 kipas peraknya pada tangan sendiri.

   Dengan mendongkol nona baju emas itu mengerling sekejap ke arah sastrawan baju putih itu, kemudian sambil bertepuk tangan dua kali dia berseru.

   "Upacara dimulal!"

   Dari balik gordin di belakang meja nona itu berjalan keluar duabelas orang bocah berbaju putih yang masing2 membawa sebuah hiolo kecil, setibanya di depan meja, dengan teratur mereka memisahkan diri ke kanan dan kiri dan berdiri secara rapi.

   Bau harum semerbak memenuhi seluruh ruangan, kabut tipis mengepul keluar dari hiolo kecil itu memenuhi ruangan membuat suasana menjadi remang2.

   Kejadian aneh tiba2 timbul, begitu semua orang mencium bau harum semerbak itu, pikiran mereka lantas linglung, apa yang terlihat se-akan2 adalah malaikat yang agung dan berwibawa, yang terpikir oleh mereka hanyalah takluk dan tunduk, sama sekali tiada pikiran hendak menentang atau melawan.

   Sebaliknya orang2 yang semula tak sadar, setelah mencium bau harum itu segera jernih kembali pikirannya.

   Yang dimaksudkan sadar di sini hanya sadar dalam perasaan, yakni bisa mendengar, bisa melihat tapi daya pikir masih tetap tenggelam di tengah kekaburan.

   Ji-lopiautau yang semula tak sadar kinipun telah mendusin, tatkala dia membuka matanya dan menyaksikan pemandangan aneh ini, seketika ia melongo.

   Selagi semua orang berada dalam keadaan limbung, dari belakang gorden muncul lagi belasan orang lelaki berkerudung, orang2 itu bergerak kian-kemari dengan cepat, ada yang menarik kursi dan ada yang menggeser meja, dalam sekejap ruangan rahasia itu sudah berganti rupa.

   Sebuah lukisan besar menghiasi dinding ruangan itu, lukisan seorang berkepala botak dan berkaki telanjang.

   Aneh sekali muka orang di dalam lukisan ini, bukan saja kepalanya botak, hidungnya pesek dan mulutnya lebar, pada keningnya seperti terdapat suatu garis lekukan sehingga menyerupai manusia purba.

   Pada bagian alas lukisan tertera beberapa huruf besar.

   "Cosu pendiri perguruan, Lam-hay-it-kun!"

   Di depan lukisan itu terdapat sebuah tungku tembaga yang tingginya tiga kaki dengan lebar sepelukan dua manusia, entah bahan dupa apa yang dibakar dalam hiolo tersebut, terlihat gulungan asap memancar keluar dan mengepul lama ke atas, persis seperti pancuran air saja, ketika mencapai atap ruangan, asap itu menyebar ke empat penjuru dan bergerak turun ke bawah.

   Udara dipenuhi asap tebal, begitu tebalnya membuat orang yang berada di dalam ruangan se-akan2 berada di atas puncak yang tinggi dan dikelilingi awan.

   Di depan hiolo tembaga itu terbentang sebuah papan kayu tebal yang panjangnya empat kaki, banyak bekas bacokan golok pada papan kayu itu, lima bilah golok tajam menancap di sekitar papan itu.

   Lebih kecil golok itu daripada golok yang biasa dipakai orang persilatan, panjangnya cuma dua kaki, tapi jauh lebih tajam dan lebih mengkilap.

   Pada gagang golok terdapat ukiran kepala setan yang berwarna-warni, bermuka hijau dan berambut merah dengan menyeringai seram.

   Dalam pada itu sastrawan baju putih serta nona baju emas itu sudah berduduk di kedua samping hiolo tembaga itu, sementara para jago bekas anak buah Buyung Ham serta kawanan jago dari Lam-hay-bun berduduk di kedua sisi mereka, keduabelas bocah baju putih itu mengangkat tinggi2 hiolo berdiri di belakang orang itu, ketika asap dupa yang mengepul keluar bercampur dengan asap dupa yang mengepul dari hiclo tembaga, terciptalah lautan kabut yang menambah seramnya suasana ruangan itu.

   Di tengah ruangan rahasia itu terdapat empat buah tiang yang besar, pada setiap tiang tersebut terikat satu orang yakni Ti-seng-jiu Bayung Ham, isterinya, yaitu nyonya agung setengah baya, Leng-hong Kongcu serta Tian Wan-ji.

   Sedangkan jago2 yang setia kepada keluarga Buyung, paman Lui serta Ji-lopiautau beserta para Piausu Yan-keng-piaukiok dibelenggu tangannya dan menggeletak di lantai.

   Semua benda dan peralatan upacara diatur dengan baik dan terlatih oleh belasan lelaki berkerudung, tak lama kemudian semua persiapan telah selesai.

   Pelahan gadis berbaju emas itu menyapu pandang sekeliling ruangan, dia mengangguk sedikit dengan sikap yang sangat hormat para lelaki berkerudung itu menjura lalu mengundurkan diri.

   Di tengah keheningan yang mencekam, tiba2 terdengar suara benda dipukul, keras dan melengking suaranya, menggetar hati setiap orang.

   Nona berbaju emas itu berbangkit, dengan suara yang dingin dan menyeramkan seolah2 suara yang datang dari kuburan ia berkata.

   "Kedatangan Lam-hay-bun ke daratan Tionggoan kali ini adalah untuk melenyapkan kaum sampah persilatan Tionggoan serta menegakkan keadilan bagi dunia persilatan, barang siapa pernah melakukan kejahatan dia harus dibunuh dan dilenyapkan dari muka bumi ini."

   Suasana dalam ruangan itu hening, udara terasa menyesakkan napas. Dengan tajam sorot mata nona baju emas itu, menyapu sekejap ke arah kawanan jago yang pada bungkam dan tunduk kepala rendah2 itu, ia menuding Ti-seng-jiu, lalu katanya pula.

   "Di masa lampau, Buyung Ham adalah salah satu dan Kanglam-jit-hiap, tapi karena ia kemaruk harta dan gila pangkat, secara diam2 ia bersekongkol dengan orang lain untuk membinasakan saudara angkatnya sendiri Pek lek-kiam Tian-In-thian, coba bayangkan, pantaskah manusia semacam ini menerima kematian?"

   "Pantas dihukum mati!"

   Jawab semua orang tanpa terasa.

   Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, bunuh!"

   Ji-lopiautau yang terbelenggu terperanjat, sebab diketahuinya tanpa disadari mulutnya ikut meneriakkan kata "Bunuh"

   Itu. Padahal dia tidak berpikir demikian, akan tetapi tanpa bisa dicegah mulutnya berteriak sendiri. Aneh kalau diceritakan, tapi kenyataannva memang begitu. Sementara dia merasa tercengang, si nona baju emas itu telah bertepuk tangan sambil berseru.

   "Laksanakan hukuman!" Lima orang laki2 kekar setengah telanjang muncul dari balik gorden, masing2 mencabut sebilah golok berkepala setan dari sisi papan tadi, kemudian bergerak maju.

   "Sreet! Set Sreet!"

   Di antara kilatan cahaya tajam, darah segar berhamburan, Ti-seng-jiu Buyung Ham yang gagah perkasa tahu2 sudah binasa.

   Bukan saja kedua tangannya terkutung, kedua kaki juga batok kepalanya juga berpisah dengan tubuhnya.

   Memang kejam sekali cara pelaksana hukuman itu, inilah hukuman Ngo-to-bun-sin (lima golok menyayat mayat) yang merupakan cara paling keji dan golongan hitam.

   Rupanya kelima orang laki2 kekar itu sudah berpengalaman sekali dengan pekerjaan mereka ini, sejak mencabut golok, membunuh korbannya, semua gerakan dilakukan dengan cepat luar biasa.

   Sebelum semua orang tau apa yang terjadi, lima orang itu sudah mencincang tubuh Buyung Ham.

   Setelah mengusap darah pada golok mereka pada sol sepatu masing2, mereka ayunkan tangannya dan ......crat crat!"

   Dengan jitu golok kepala setan itu menancap kembali diatas papan kayu.

   Lalu kelima orang itu dengan cepat lantas mengundurkan diri.

   Menyaksikan Buyung Ham dibunuh secara keji, nyonya agung itu jatuh pingsan, Leng-hong Kongcu, yang angkuh dan tinggi hati sekarang terkulai dengan lemas dan pucat wajahnya.

   Hanya Wan-ji saja yang pantang menyerah, dengan mata melotot ia mencaci maki kalang kabut.

   "Perempuan anjing, sakit hati ini sekalipun sampai di akhirat tetap kutuntut." Nona berbaju emas itu pura2 tidak mendengar, dengan suara yang tetap dingin dia menuding nyonya setengah baya yang pingsan itu, katanya. Perempuan ini membantu suaminya melakukan kejahatan, dia tidak melaksanakan kewajiban sebagai seorang perempuan, dia pantas mati tidak?"

   Perkataan itu lebih mirip suatu perintah, anehnya perkataan itu diutarakan seperti minta permupakatan kepada para jago, dan yang lebih aneh lagi ternyata kawanan jago itu memberikan tanggapan.

   "Pantas mati!" "Bunuh!"

   Bergemuruh teriakan orang banyak.

   Bersama dengan seruan yang hiruk-pikuk itu, lantas di balik dinding ruangan itu terdengar suara ribut mulut yang lirih.

   Seorang perempuan dengan suara merdu sedang berkata.

   "Tadi kan sudah kukatakan bahwa aku hanya mengajak kau menyaksikan keramaian, kenapa kau ingin mencampuri urusan orang lain?"

   "Aku pernah berutang budi kepada nyonya ini,"

   Jawab yang lelaki dengan cepat.

   "Bagaimana pun juga aku tak dapat tinggal diam...."

   Suara itu muncul dengan mendadak dan sama sekali di luar dugaan, melengaklah nona berbaju emas itu, ia pandang sekeliling tempat itu, ia tahu pasti ada orang mengintai di tempat gelap.

   Air muka sastrawan berbaju putih itu pun berubah hebat, iapun memandang kian kemari.

   "Blang!"

   Selagi kedua orang itu celingukan ke sana-sini, tiba2 terjadi getaran keras, debu pasir beterbangan, sebagian besar dinding yang kuat itu mendadak ambrol runtuh.

   Suasana jadi kalut, kawanan jago yang berduduk dekat dinding itu serentak melompat bangun dan menyingkir.

   Di tengah kegaduhan itu, sesosok bayangan orang secepat kilat melayang keluar dan berdiri tegak di tengah ruangan.

   Dia adalah seorang pemuda yang tampan, berjubah sutera,rambutnya kusut, namun tidak mengurangi ganteng dan gagahnya.

   Pemuda itu adalah Tian Pek.

   Kemunculannya yang tiba2 ini sangat mengejutkan semua orang, baik para jago yang mengenalnya maupun yang tidak kenal.

   Ji-lopiautau serta kawanan Piausu Yan-keng piaukiok segera bersorak menyambut kedatangannya.

   wajah mereka berseri karena gembira.

   Bagaimana pun juga Tian Pek dipandang mereka sebagai bintang penolong.

   Paman Lui juga kaget, mimpipun ia tidak menyangka tenaga dalam Tian Pek sekarang telah mencapai tingkatan yang sedemikian sempurnanya, sebab tak nanti tembok sekuat itu bisa dijebolnya jika Lwekangnya tidak sempurna.

   Leng-hong Kongcu pun mengunjuk rasa kaget, ia tak tahu dengan cara apa Tian Pek bisa menyembunyikan diri di balik dinding ruangan rahasia itu? Hanya Wan-ji saja yang memperlihatkan rasa terkejut bercampur girang, teriaknya dengan lantang.

   "Engkoh Tian, cepat tolong kami!"

   Dalam pada itu Hay-gwa-sam-sat sudah melompat bangun dengan kaget dan heran.

   Air muka sastrawan berbaju putih itu pun berubah hebat.

   Nona berbaju emas yang berwajah dingin menyeramkan itu entah apa sebabnya tiba2 menunjukkan pula sikap yang lain, mukanya tidak sedingin tadi lagi, sorot matanya kini jauh lebih hangat, malahan di balik kehangatan terselip kegenitan yang menggiurkan.

   Tian Pek memang memiliki daya tank yang luar biasa, terbukti puteri cantik keempat keluarga besar dunia persilatan sekaligus mencintai dia.

   Maka tidaklah heran jika sekali bertemu nona berbaju emas inipun jatuh hati padanya.

   Perlu diketahui, sastrawan berbaju putih itu tak lain adalah Lam-hay-siau-kun, sedangkan nona berbaju emas itu adalah Lam-hay-liong-li, mereka berdualah yang memimpin kawanan jago Lam-hay-bun menyerbu ke daratan Tionggoan.

   Waktu Lam-hay-siau-kun menyaksikan adik seperguruannya yang cantik tiba2 tersenyum ke arah pemuda itu, hatinya seketika jadi cemburu, dia lantas berteriak.

   "Hay-gwa-sam-sat, di mana kalian bertiga? Bukankah kusuruh kalian bekuk bangsat itu? Kalian mengatakan dia tak ada di tempat, coba lihat sekarang, dia muncul di sini! Hayo, cepat bekuk bangsat ini."

   Air muka Hay-gwa-sam-sat berubah hebat, nenek berambut putih yang bernama Leng-yan-hong itu segera melompat bangun, bentaknya.

   "Bocah keparat! Sudah lama nenekmu mencari kau tapi tidak ketemu, tak tersangka kau berani datang kemari. Hmm, terimalah kematianmu di sini!"

   Sambil membentak, ia melesat ke depan dan langsung melancarkan pukulan dahsyat ke arah Tian Pek. Tian Pek sama sekali tidak menghindar atau berkelit, iapun melancarkan suatu pukulan kuat. "Blang!"

   Adu pukulan terjadi.

   Tian Pek masih berdiri tegak di tempat semula, sebaliknya si nenek berambut putih tergetar mundur tiga langkah.

   Mata nenek rambut putih itu melotot, ia heran pemuda yang beberapa bulan berselang pernah dilukainya itu kini mampu menggetar mundur dirinya.

   Hud-eng Hoatsu segera berseru.

   "Hei, nenek hati2 terhadap bocah itu, entah obat apa yang telah dia makan,tenaga pukulannya mendadak tambah hebat."

   Perlu diketahui, sekalipun Hay-gwa-sam sat jarang berpisah satu sama lainnya, tapi sudah terbiasa bagi mereka untuk saling mengejek dan saling menggoda.

   Seringkali hal yang benar diucapkan secara terbalik, sedangkan kata2 yang benar berbalik tidak berarti sungguh2.

   Setelah Hud-eng Hoatsu kecundang di hutan saat melawan Tian Pek, dengan maksud baik ia memberi peringatan kepada nenek itu agar rekannva tidak ikut kecundang di tangan lawan.

   Tapi oleh karena kebiasaan mereka yang suka saling mengejek itu, si nenek menanggapi peringatan itu sebagai suatu cemoohan, ia pikir Hud-eng Hoatsu mengejeknya lantaran tak mampu menahan serangan lawan, maka dengan menyeringai ia berteriak.

   "Bangsat gundul, tak perlu mengejek, lihatlah pukulan mautku ini!"

   Dengan menghimpun tenaga dalam ia menubruk maju dan menghantam.

   Memang dahsyat sekali pukulan itu, Tian Pek tahu musuh telah melipat gandakan tenaga pukulannya, sambil mendengus iapun mengeluarkan Thian-hud-hang-mo-ciang.

   ia sambut pukulan tersebut dengan keras lawan keras.

   Tatkala dua gulung angin pukulan yang dahsyat itu bertemu terjadilah benturan dahsyat.

   debu pasir beterbangan, hampir sebagian besar ruang bawah tanah itu tergetar hancur berserakan.

   Kali ini Leng-yan-hong, si nenek berambut putih, terdesak mundur sampai lima langkah ke belakang.

   Matanya melotot makin besar, rambutnya yang beruban sama menegak, sungguh ia tidak percaya pemuda yang pernah dihajar sampai terluka pada tiga bulan yang lalu, sekarang ternyata memiliki kekuatan yang jauh lebih dahsyat daripadanya.

   Kekalahan beruntun ini membikin hatinya penasaran, sambil berpekik nyaring, ilmu jari sakti Soh-hun-ci yang paling diandalkan lantas dikeluarkan, dengan sepenuh tenaga ia incar jalan darah Sian-gi-hiat di tubuh musuh.

   Nyonya agung setengah baya yang telah mendusin dari pingsannya serta Tian Wan-ji dan kawanan Piausu dari Yan-keng-piau-kiok serentak berseru kuatir.

   Namun Tian Pek sendiri sama sekali tidak panik, dengan lima langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh ia menggeliat ke samping dan tahu2 sudah lolos dari ancaman.

   "Criitt!"

   Dengan manerbitkan suaas nyaring, tenaga jari si nenek mengenai sasaran yang kosong, sebuah lubang segera muncul di dinding batu yang berada jauh di belakang sana.

   Setelah terhindar dari serangan maut itu, dengan ilmu langkah Cian-hoan-biau-hiang-poh, Tian Pek segera memburu ke belakang nenek itu, untuk kesekian kalinya ia menghajar lagi punggung si nenek.

   Nenek berambut putih itu seorang yang tinggi hati, bukan saja ilmu silatnya tinggi, pada hsti2 biasa jarang sekali ada orang yang mampu menandinginya, dengan ilmu Soh-hun-ci, menurut perkiraannya Tian Pek pasti tak mampu menghindarkan diri andaikan tidak mati pasti juga akan terluka parah.

   Tapi kenyataannya baru saja serangan tersebut dilepaskan, tahu2 dia kehilangan jejak musuh.

   Untuk sesaat nenek itu jadi melengak.

   Pada saat itulah mendadak dirasakan hawa panas menyambar dari belakang.

   Segera ia merasakan gelagat jelek, cepat ia mengelak, tapi tetap terlambat, segera pundak kiri terasa seperti dibakar oleh besi panas, sakit sekali rasanya, menyusul tubuhnya lantas tergetar ke depan, ia menjerit kaget dan ter-huyung2 ke depan.

   "Blang", ia menumbuk dinding. Kontan kepalanya jadi pening tujuh keliling. matanya berkunang2 dan dadanya jadi sesak, sampai lama Leng-yan-hong tak sanggup berkutik. Ilmu sakti yang tercantum dalam kitab Soh-kut-siau-hun-pit kip memang hebat, untuk pertama kalinya Tian Pek praktekkan ilmu sakti itu dan hasilnya benar2 di luar dugaan. Hanya satu gebrakan si nenek berambut putih, salah satu dari tiga malaikat maut telah terhajar sampai terluka parah. Jeritan kaget dan seruan tercengang seketika berkumandang, baik kawan maupun lawan, semua tercengang oleh kelihayan Tian Pek, siapapun tak mengira pemuda yang masih hijau ini ternyata mampu melukai si nenek yang lihay itu. Dalam pada itu, kakek berambut panjang yang berada di samping telah meraung gusar menyaksikan si nenek berambut putih terluka. Kakek berjenggot ini bernama Kiu Ji-hay, dia adalah kekasih dan suami nenek berambut putih itu, maka dapat dibayangkan betapa rasa gusar si kakek. Di tengah bentakan kakek berjenggot panjang itu menghimpun tenaga dalamnya pada telapak tangan kanan, telapak tangan terpentang lebar sebagai roda, dari telapak tangan terpancar hawa berpusar yang keras. Tian Pek terkesiap, bahkan para hadirin juga terperanjat. Buyung-hujin, Tian Wan-ji. Ji-lopiautau beserta para Piausunya sama menjerit kaget dan kuatir bagi Tian Pek. Ilmu silat kakek berjenggot panjang ini sudah lama punah dari peredaran dunia persilatan, inilah Kungfu Tay-jiu-in atau telapak tangan raksasa. Tenaga pukulan yang terpancar dari Tay jiu-in sangat ampuh dan jarang sekali ada orang yang mampu membendungnya. Selama hidup belum pernah Tian Pek menghadapi ilmu pukulan selihay ini, ia tak berani menghadapinya dengan keras lawan keras, buru2 digunakannya Cian-hoan-biau-hiang-poh untuk menghindar ke samping. Baru saja ia berkelit, terdengar bisikan seperti bunyi nyamuk menggema di samping telinganya.

   "Engkoh Pek, berhadapan dengan musuh harus percaya pada diri sendiri, jangan takut, sambutlah dulu sebuah pukulannya, coba sampai di manakah kemajuan yang kaucapai dengan ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang itu ... Tian Pek tahu pasti Cui-cui yang memberi kisikan tersebut, terbangkit semangat jantannya, maka tatkala pihak lawan menyerang untuk kedua kalinya, ia tidak menghindar ataupun berkelit lagi, telapak tangannya didorong keluar, disambutnya serangan musuh yang dahsyat itu dengan keras lawan keras. Dalam serangan itu Tian Pek telah menggunakan jurus Hud-kong-bu-ciau dari Thian-hud-hang-mo-ciang. Terasalah angin pukulan men-deru2 dan terjadi benturan keras, kekuatan yang terpancar keempat penjuru berubah menjadi angin puyuh, yang menyapu semua benda yang ditemuinya. Seluruh ruangan rahasia itu berguncang keras se-akan2 ambruk. Di tengah jerit kaget orang banyak, Tian Pek cuma bergetar sedikit saja dan masih tetap berdiri pada posisi semula. Sebaliknya kakek berjenggot panjang, Ciu Ji-hay, tokoh sakti dari laut selatan yang telah malang melintang di daratan Tionggoan, tahu2 tergetar mundur dengan sempoyongan. Betapa rasa kaget si kakek berjenggot panjang itu benar2 sukar dilukisLan, mimpi pun dia tak menyangka di kolong langit ini ternyata ada orang yang berani menyambut serangan mautnya tanpa cedera. Meski kaget dan penasaran, namun ia tak sanggup menyerang lagi. Maklumlah, Tay-jiu-in yang lihay telah tergetar buyar kekuatannya oleh ilmu sakti Tian Pek, ia perlu mengatur napas dan memulihkan tenaga. Suasana jadi hening dan perhatian semua orang tertuju pada anak muda itu, diam2 Hud-eng Hoatsu menggeser ke belakang Tian Pek dan mendadak ia berpekik "kok-kok"

   Dua kali, berbareng kedua tangannya menghantam punggung Tian Pek.

   Inilah Ha-mo-kang andalan Hud-eng Hoatsu yang maha lihay.

   Menurut perhitungannya, setelah bertarung lawan dua jago sakti, tentu tenaga Tian Pek sudah banyak berkurang, maka dia lantas menyergap dari belakang dan ingin sekali hantam membinasakan anak muda itu.

   Sejak Tian Pek muncul, seluruh perhatian Tian Wan-ji lantas tertuju kepada pemuda itu, ia merasa gembira sekali setelah dilihataya secara beruntun pemuda itu berhasil mengalahkan dua musuh tangguh.

   Ia makin kagum lagi pada kehebatan kekasihnya, bila tubuhnya tidak terbelenggu, tentu sudah dari tadi ia memburu maju dan menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.

   Sekarang dilihatnya Hud-eng Hoatsu melancarkan sergapan dari belakang, nona itu jadi panik bercampur cemas, cepat ia berteriak lantang.

   "Engkoh Tian, awas, Hwesio busuk itu akan menyergap dirimu ...."

   Sekalipun Wan- ji tidak berteriak juga Tian Pek merasakan datangnya sergapan dari belakang, tenaga dihimpunnya untuk menghadapi ancaman itu.

   Semula iapun mengira tenaga dalamnya akan lemah atau akan berkurang daripada semula, sebab beruntun ia telah menghadapi dua musuh tangguh, tapi setelah hawa murninya dihimpun, si anak muda baru tahu bahwa pikiran semacam itu ternyata keliru besar.

   Bukan saja tenaga dalamnya tidak semakin lemah, dia malah merasakan tubuhnya lebih segar dan bersemangat daripada semula, sadarlah pemuda itu bahwa tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan.

   Sukar dilukiskan betapa girangnya.

   "Sekarang ilmu silatku telah mencapai kesempurnaan, itu berarti dendam berdarah ayahku bisa kutuntut balas dengan sebaik2nya....

   Ai, akhirnya apa yang kucitakan akan tercapai juga?"

   Demikian ia berpikir. Tatkala sergapan dari belakang sudah hampir menempel di pungguugnya, tanpa berpaling telapak tangannya diayun ke belakang untuk menyambut serangan tersebut dengan kekerasan.

   "Blang!"

   Benturan keras menggelegar di udara, angin berpusing memancar ke empat penjuru, suara dengusan berat berkumandang di belakangnya.

   Hud-eng Hoatsu mencelat sejauh dua tombak oleh tangkisan Tian Pek yang dahsyat itu, sungguh mengenaskan sekali keadaannya.

   Padahal di antara Hay-gwa-sam-sat, ihmu silat si kakek berjenggot panjang itu terhitung yang paling tinggi, si nenek berambut putih terhitung nomor dua dan Hud-eng Hoatsu yang paling lemah, kalau kedua orang yang lebih lihay daripadanya juga dibikin keok oleh Tian Pek, apalagi dia.

   Rupanya ia salah menilai kekuatan Tian Pek, sebab disangkanya tenaga pemuda itu pasti sudah lemah karena telah menghadapi kakek berjenggot dan nenek berambut putih beruntun.

   Ia tidak tahu kalau Tian Pek telah mendapat penemuan aneh yang tak terduga, bukan saja hawa murninya sudah mencapai kesempurnaan, iapun berhasil menyerap intisari ilmu silat yang tercantum dalam kitab Soh-kut-siau-hun pit kip sehingga sumber tenaga Tian Pek boleh dikatakan tidak pernah kering.

   Begitulah tubuh Hud eng mencelat seperti bola danmenumbuk dinding, Darah bergolak dalam tubuhnya, matanya berkunang2 dan kepala pusing tujuh keliling, akhirnya iapun muntah darah.

   Secara beruntun dalam waktu singkat Tian Pek berhasil mengalahkan Hay-gwa-sam-sat, peristiwa ini sungguh membuat terkesiap baik lawan maupun kawan.

   Suasana jadi hening, semua orang dengan mata terbelalak mengawasi Tian Pek, tak seorangpun berani maju lagi ke depan...

   Sin-liong-taycu, pangeran dari Lam-hay-bun, si sastrawan berbaju putih itu, memegang kipas peraknya erat2, ia kaget dan gugup, sementara biji matanya berputar kian kemari, entah rencana busuk apalagi yang sedang dia susun.

   Air muka kedelapan siluman dari pulau setan juga pucat seperti mayat, mereka tidak menduga di daratan Tionggoan masih terdapat jago setangguh itu.

   Kawanan jago dari istana keluarga Buyung yang kini takluk kepada Lam-hay-bun seperti Gin-siaau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng Suma Keng Tok-kak-hui-mo Li Ki serta lain2nya sama berdiri diam bagaikan patung, peristiwa itu sama sekali di luar dugaan mereka, untuk sesaat orang2 itu pun ketakutan.

   Hanya empat dewi bunga tho serta Lam-hay-liong-li, yaitu si gadis berbaju emas, yang tetap tenang2 saja, tidak tampak rasa kaget dan takut di wajah mereka, malahan senyum genit menghiasi bibir mereka.

   Sejak kehadiran Tian Pek di ruangan itu, empat dewi bunga tho sudah mengerling pemuda itu secara genit, sekarang setelah pemuda itu secara beruntun menangkan tiga kali pertarungan, mereka lebih bergairah lagi untuk menarik perhatiannya.

   Goyangan pinggul yang bikin hati berdebar, kerlingau mata yang memabukkan serta suara tertawa yang mengkili2 hati sungguh membuat orang lupa daratan.

   Mengenai Lam-hay-liong-li, dia memang cantik jelita, kecantikannya jelas tidak kalah dibandingkan Cui-cui, hanya sayang sikapnya yang sombong serta tindak- tanduknya yang dingin, inilah yang bikin orang lain tak berani memandang dan mendekatinya.

   Padahal gadis mana yang tak mendambakan cinta? Seorang gadis kalau sudah dewasa, dengan sendirinya mengidamkan seorang pemuda tampan untuk menjadi kekasihnya, cuma Lam-hay-liong-li ini dibesarkan di pulau setan yang jauh dari daratan, belum pernah nona itu menemukan seorang pemuda idamannya.

   Mo-kui-tocu, kepala pulau setan, Lam-hay-It-kun, sejak mendirikan perguruan Lam-hay-bun, kecuali didampingi jago2 lihay yang rata2 sudah lanjut usia, anak muridnya kebanyakan adalah manusia kasar yang bertampang kriminil, hanya putera tunggalnya saja, yakni kakak seperguruan Lam-hay-liong-li, hanya pemuda inilah yang dapat dikatakan tampan.

   Sayang kakak seperguruannya ini terlalu bangor, suka main perempuan di sana-sini, wataknya yang jelek ini memberikan kesan yang jelek pula dalam pikiran Lam-hay-liong-li, dia menganggap laki2 di dunia ini tak ada yang baik.

   Mendingan kalau cuma begitu saja, kemudian ternyata Lam-hay-it-kun menyerahkan kekuasaan tertinggi dari perguruannya kepada nona ini, secara otomatis pula wataknya berubah keji dan tinggi hati.

   Tapi hari ini, setelah bertemu dengan Tian Pek yang berilmu silat tinggi dan berwajah tampan, ia terpesona, untuk pertama kalinya perasaan kewanitaannya tersentuh, dia merasa bahwa Tian Pek inilah yang didambakannya, pemuda tampan seperti inilah yang diharapkan mendampinginya sepanjang masa.

   Oleh sebab itulah, sekalipun secara beruntun Tian Pek telah melukai tiga orang jago tangguh Lam-hay-bun, dia tidak menjadi gusar, sebaliknya senyum manis menghiasi wajahnya, dia berbangkit dan menghampiri anak muda itu, katanya.

   "Siapa kau? Kenapa kauberani memusuhi Lam-hay-bun kami?"

   Seandainya perkataan itu diutarakan orang lain, mungkin para jago tak akan merasa heran, tapi kata2 itu diucapkan oleh Lam-hay-liongli yang sudah biasa bersikap ketus dan dingin, apalagi ucapan tersebut ditujukan kepada musuh yang secara beruntun telah melukai tiga jago lihaynya.

   Sudah tentu Tian Pek tak tahu akan hal ini, sekalipun dilihatnya senyuman manis menghiasi mulut Lam-hay-hong-li yang cantik bak bidadari dari kayangan itu, namun iapun menyaksikan hawa napsu membunuh yang sangat tebal yang menyelimuti wajahnya.

   "Aku Tian Pek!"

   Jawabnya kemudian dengan lantang.

   "aku tiada bermaksud memusuhi Lam-hay-bun kalian, hanya saja aku merasa penasaran menyaksikan perbuatan kalian yang membunuh orang seenak sendiri, oleh sebab itu sengaja aku muncul di sini untuk menegakkan keadilan dan kebenaran bagi umat persilatan umumnya."

   Jawaban itu sesungguhnya diucapkan dengan jujur, tapi bagi pendengaran Lam-hay-liong-li terasa ketus dan menghina.

   "Hehe, besar amat lagakmu?"

   
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jengeknya.

   "Kau bicara menurut perasaan hatimu sendiri ataukah ada orang lain yang menjadi tulang punggungmu di belakang layar?"

   Tian Pek jadi marah, ia tak tahu anak dara inilah pemimpin Lam-hay-bun, ia menyangka seorang anak dara berani memandang enteng padanya, ini berarti pihak Lam-hay-bun terlalu menghinanya. Dengan setengah berteriak, ia berkata.

   "Aku Tian Pek tidak mengenal arttulang punggung' segala, akupun tak pernah diperintah orang dari balik layar, apa yang ingin kulakukan segera kulaksanakan, aku berani berbuat berani pula menanggung risikonya, dengan pedang Bu-ceng-pek-kiam inilah akan kusapu setiap manusia jahat di dunia ini!"

   Kedengarannya memang amat jumawa ucapan tersebut, tapisemua orangpun dapat merasakan batapa gagah dan jantannya pemuda ini, banyak orang bersorak memuji keperwiraannya.

   Terutama Wan-ji serta nyonya setengah baya yang pernah menolongnya itu, air mata mereka hampir saja bercucuran saking terharunya.

   Siapakah yang berani menunjukkan sikap sekeras itu di hadapan musuh yang jelas memiliki kekuatan berkali lipat daripada pihaknya? Maklumlah, pengaruh Lam-hay-bun di dalam dunia persilatan besar sekali, bukan saja mereka telah menaklukkan empat keluarga besar, hampir semua jago baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam sama tunduk dan takluk kepada mereka, tak seorangpun di dunia persilatan yang berani secara terang2an menentang mereka.

   Bukti yang paling nyata adalah menyerahnya Gin-siau-toh-hun Ciang Su-peng, Tui-hun-leng Suma Keng serta Tok-kak-hui-mo Li Ki sekalian kepada pihak Lam hay bun, padahal mereka terhitung jago lihay yang disegani.

   toh jago2 semacam mereka tak ada yang berani melawan kekuasaan Lam-hay-bun.

   Tapi sekarang Tian Pek, seorang pemuda yang masih hijau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa, tak heran kalau semua orang dibikin tercengang.

   Bahwa Tian Pek berani menandingi Lam-haybun yang telah menaklukkan dunia persilatan Tionggoan, sungguh keberanian anak muda inipun luar biasa, Maklum, tiga bulan lamanya ia hidup di gunung untuk merawat lukanya, dengan sendirinya ia tidak tahu keadaan sekarang.

   Begitulah kening Lam-hay-liong-li seketika berkernyit, katanya.

   "Kalau begitu, jadi kau sudah mengambil keputusan akan memusuhi Lam-hay-bun kami?"

   Tian Pek mendengus, betapa mendongkolnya pemuda itu melihat nona berbaju emas itu tak pandang sebelah mata padanya.

   Tanpa bicara lagi ia menghampiri nyonya setengah baya yang terikat di tiang itu dan melepaskan tali pengikatnya.

   Gusar Lam-hay-liong-li, selama hidup belum pernah dilihatnya pemuda seangkuh itu dan berani berbuat sesukanya di hadapannya.

   "Tahan!"

   Hardiknya dengan gusar. Berbareng ia pun melompat maju dan menghadang di depan pemuda itu, bentaknya lagi sambil menarik muka.

   "Apa yang hendak kau lakukan?"

   "Apa lagi? Tentu saja menolong orang!"

   Sahut Tian Pek, tanpa menoleh ia tetap meneruskan perbuatannya melepaskan tali pengikat Buyung-hujin. Lam-hay-liong-li meraung gusar, segera ia bermaksud mencegahnya.

   "Kiongcu!"

   Tiba-tiba Hu-yong-hui-cu (selir bunga teratai), orang kedua dari keempat dewi bunga tho, tampil ke muka sambil menggoyang pinggul.

   "Buat apa tuan puteri turun tangan sendiri untuk membekuk seorang bocah, biarlah kami kakak-beradik yang melaksanakan tugas ini!" Berbicara sampai di sini, ia mengerling sekejap kepada saudara2nya agar bersiap sedia. Ketiga dewi hunga tho lainnya sama tertawa genit sambil goyang pinggul mereka melayang ke tengah gelanggang dan mengepung Thian Pek. Tentu saja Lam-hay-liong-li sendiri pun memaklumi akan kedudukannya, maka setelah keempat dewi bunga tho terjun ke gelanggang, ia lantas mengundurkan diri. Ia tahu, bicara soal tenaga dalam, jelas jauh keempat dewi bunga tho itu kalau dibandingkan Hay-gwa-sam-sat. Tapi ia pun tahu kelicikan keempat dewi itu, mereka banyak tipu akalnya dan mahir menggunakan obat biusnya, untuk menghadapi Tian Pek yang masih hijau tentu mereka lebih meyakinkan daripada Hay-gwa-sam-sat. Tian Pek tetap tidak menghiraukan, selesai membuka tali belenggu di tubuh Buyung-hujin, ia pun hendak melepaskan tali belenggu Wan-ji..... Baru saja tangan anak muda ito akan memegang tali yang membelenggu Wan-ji, tiba2 ia menangkap suara dengusan lirih.... suara dengusan itu amat ketus dan jelas penuh rasa cemburu. Tian Pek melengak ia tahu dengusan itu pasti suara Cuicui yang bersembunyi di balik dinding, tapi ia tak perduli, ia tetap berusaha melepaskan tali pengikat Wan-ji. Setelah bebas dari belenggu, Buyung-hujin menggerakkan tangannya yang kaku, kemudian mengucapkan terima kasih kepada Tian Pek, lalu dengan air mata bercucuran ia membereskan jenazah suaminya, Ti-seng-jiu Buyung Ham yang mati tercincang dengan mulutnya berkomat-kamit seperti membaca doa. Semua peristiwa itu berlangsung hanya sekejap, maka suara dengusan lirih tadi pun tidak menarik perhatian orang.

   "Saudara cilik!"

   Keempat dewi bunga tho mengejek sambil tertawa genit.

   "untuk menyelamatkan dirimu sendiri saja masih menjadi persoalan, apakah gunanya kau urusi orang lain?"

   Ketika ucapan itu tidak digubris Tian Pek, malah pemuda itu meneruskan tindakannya menolong orang, Hiang-in-huicu, pimpinan dari keempat dewi tho itu lantas melangkah maju dan merepaskan suatu pukulan dari jauh.

   Angin pukulan itu lembut se-olah2 tak bertenaga, namun membawa bau harum semerbak yang menusuk hidung.

   Tian Pek tak berani gegabah, ia pun mengayunkan telapak tangannya dan menyambut serangan tersebut dengan keras-lawan-keras .

   "Bocah bodoh, serangan itu jangan kau sambut, cepat tutup pernapasanmu!"

   Bisikan lembut menggema lagi di sisi telinga anak muda itu.

   Sungguh terkejut Tian Pek demi mendengar bisikan itu, buru2 ia menutup pernapasannya, walau demikian tak urung ada sedikit bau harum yang tercium olehnya, kontan kepala jadi pening dan mata berkunang2.

   Setelah pemimpinnya bergerak, ketiga dewi lainnya serentak bertindak pula, masing2 melancarkan suatu pukulan dari jauh.

   Tiga gulung asap berwarna putih dengan membawa bau harum serentak terpancar ke depan dan mengurung sekujur badan Tian Pek.

   Untunglah Cui-cui dengan cepat memberi kisikan sehingga anak muda itu menutup pernapasannya, kendatipun bau harum obat bius yang dipancarkan Hiang-in-huicu ada sebagian yang tercium olehnya, tapi dengan dasar tenaga dalamnya yang sempurna, sedikit ia salurkan hawa murninya, obat bubuk itu seketika dipaksa keluar dari dadanya.

   Maka ketika angin pukulan yang dilancarkan ketiga orang dewi lainnya menggulung tiba, bukan saja Tian Pek tidak roboh, malahan kesadarannya jauh lebih segar.

   Dengan jurus Sam-cing-yau-bun (menyapu bersib hawa iblis) Tian Pek balas dengan pukulan dahsyat ke depan.

   angin puyuh disertai suara gemuruh dengan gencarnya menyapu keempat dewi cabul itu.

   Tho-hoa-su-sian menjerit kaget, buru2 mereka menghindar, bagaikan kupu2 yang beterbangan di antara pepohonan mereka kabur ke sana-sini.

   Berhasil dengan gerakan menghindar, delapan telapak tangan yang putih halus diayun kembali ke muka dengan lincah, empat gulung hawa berbau harum yang jauh lebih tebal kembali menyambar ke depan mengurung sekujur badan Tian Pek.

   Untung Tian Pek dapat menutup pernapasannya, ia tak takut lagi menghadapi serangan kabut harum itu, ketika dilihatnya delapan buah telapak tangan halus itu menyerang ke arahnya, ia sama sekali tidak menghindar ataupun berkelit, jurus kedua dari ilmu pukulan Thian-hud-hang-mo-ciang segera dilontarkan.

   Keempat dewi Lam-hay-bun ini memang tangguh sekalipun mereka harus menghadapi pukulan dahsyat, ternyata mereka sanggup bergerak lincah ke sana kemari, sekalipun angin pukulan itu kencang dan kuat, sekali melejit tahu2 mereka sudah terlepas dari ancaman maut.

   Mereka berusaha menghindari pertarungan adu kekerasan, bila diserang mereka berkelit dan melayang mundur, setiap kali ada kesempatan bubuk pemabuk yang harum baunya segera ditaburkan.

   Mereka yakin Tian Pek takkan sanggup menutup pernapasannya terlalu lama sambil bertempur, lama kelamaan anak muda itu tentu tak tahan, sutu ketika bila pemuda itu menarik napas, dia pasti akan keracunan dan jatuh tak sadarkan diri.

   Mereka tak menyangka bahwa Lwekang Tian Pek berasal dari kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-pit-kit, semacam ilmu tenaga dalam yang berbeda dengan ilmu Lwekang pada umumnya, asal satu kali dia tarik napas, maka hawa murni akan beredar dengan lancarnya di dalam dada dan sanggup tahan sampai sekian lamanya.

   Sebab itulah meski pertarungan telah berlangsung puluhan gebrakan, namun Tian Pek masih tetap segar bugar, jangankan pusing atau sempoyongan, gejala mabukpun sama sekali tidak ada.

   Tho-hoa-su-sian mulai tercengang, sambil bertempur merekapun berpikir.

   "Aneh, benar2 sangat aneh, masakah bocah ini sudah melatih diri sehingga mencapai tingkatan Kim-kong-put-hwai (ilmu kebal yang membuat badan tak rusak)? Padahal kabut pemabuk sukma yang kami gunakan adalah obat pemabuk khas dari Lam-hay.... orang lain bila kena sedikit saja akan segera pulas, tapi dia ternyata sanggup bertarung terus sekian lamanya, sungguh peristiwa yang sangat aneh!"

   Dari rasa heran, keempat dewi itu jadi penasaran, karena penasaran merekapun jadi ingin menang, begitu terhindar dari suatu serangan Tian Pek, gadis tersebut segera membentak.

   "Mega inginkan baju bunga inginkan tamu."

   Berbareng dengan ucapan tersebut, ia pentang kedua tangan dan berjumpalitan di udara, baju luarnya yang tipis itu tahu2 sudah dilepaskan.

   Dengan terlepasnya kain penutup badan, maka terlihatlahsebuah tubuh yang halus dan ber-liuk2 seperti ular.

   Putih halus tubuh nona itu, payudaranya yang montok dengan garis tubuh yang mempesona, dengan langkah gemulai dan payudara yang dibusungkan, nona itu melangkah maju, gayanya sanggup membuat mendelik pendeta sekalipun.

   Setelah sang Toaci lepas pakaian, Jici (kakak kedua) Hu-yong-huicu tahu encinya telah memberi komando untuk mengeluarkan barisan Lo-sat-mi-hun-tin (barisan iblis wanita pemikat sukma), dia lantas berputar dan berseru.

   "Angin sejuk berembus keindahan yang menerawang muncul di depan!"

   Seraya berteriak, ia lepas bajunya dan dibuang, tubuh yang indah diperagakan di depan orang banyak.

   "Kalau rombongan gadis berkumpul di bukit ..."

   Demikian sambung Samci (enci ketiga) Siang-hoa-huicu dengan lantang, ia sadar badan, bajunya tersingkap, pinggulnya yang putih dan gemuk dipertontonkan pula kepada Tian Pek.

   Sici (enci keempat) Siau-siang-huicu cepat menyambung.

   "Berkumpul di sorga ...."

   Ia maju ke depan anak muda itu, melepaskan kancing baju dan membuka pakaian yang tipis itu, diperlihatkannya payudaranya yang putih montok dengan putingnya yang ke-merah2an sambil berlenggang dan berjoget.

   Kebetulan Tian Pek lagi menghantam dan dada Siau-sian-huicu se-akan2 disodorkan kepadanya.

   Keruan Tian Pek terkejut dan buru2 tarik kembali serangannya.

   Anak muda itu terbelalak dengan mulut melongo.

   Walaupun sudah banyak pertempuran seru dialaminya, belum pernah Tian Pek ketemu pertempuran yang unik ini, ia menjadi serba salah.

   Begitulah, sambil bernyanyi lagi Tho-hoa-su-sian telah melepaskan bajunya satu persatu dan menari telanjang yang merangsang, tubuh yang putih, paha yang mulus, payudara yang montok dan lekukan tubuh yang indah, semua terpapar di depan mata Tian Pek, mereka tidak menyerang dengan obat bius, tapi hanya menari2 secara merangsang di hadapan Tian Pek.

   Bau harum semerbak yang aneh berembus keluar dari tubuh mereka yang telanjang itu, guncangn tubuh mereka dan tarian merangsang yang dibawakan kian lama kian menggila, membuat jantung orang ber-debar2.

   Dalam waktu singkat, seluruh ruangan dipenuhi oleh bau harum yang tebal ditambah pula pertunjukan tari telanjang hingga suasana di situ makin memabukkan.

   Kecuali Lam-hay-siau-kun, Lam-hay-liong-li dan beberapa tokoh yang berilmu tinggi, sebagian besar kawanan jago yang hadir sudah terbuai ke alam impian yang indah, mereka terkesima menyaksikan tarian bidadari yang menawan hati itu.

   Jangankan kaum pria yang memang mudah terangsaog, sekalipun Buyung-hujin dan Wan-ji juga ikut tenggelam dalam keadaan setengah sadar setelah meencium bau harum yang memabukkan.

   Inilah irama Cing-peng-lok yang paling diandalkan Tho-hoa-su-sian, dengan irama maut ini sudah ratusan bahkan ribuan lelaki yang mereka tundukkan, siapa gerangan yang dapat menahan diri setelah mendengar irama merdu pembetot sukma ini? Siapa yang tahan menyaksikan tarian merangsang dan menggairahkan itu? Jangankan manusia biasa, manusia bajapun akan luluh imannya.

   Tian Pek melongo terkesima, bukan lantaran tarpikat oleh tarian telanjang itu, ia cuma heran dan tak habis mengerti, belum pernah ia jumpai pertarungan Kungfu cara begini.

   Maklumlah, pemuda ini sudah banyak menerima gemblengan, Thian-sian mo-li maupun To-li-mi-hun-toa-hoat yang paling dahsyatpun pernah dijumpai, apalagi cuma ilmu merangsang yang enteng ini, tidak nanti dapat mempengaruhi anak muda ini.

   Dasar wataknya memang polos, karena keempat dara itu tidak menyerang lagi melainkan cuma menyanyi dan menari telanjang, dengan sendirinya Tian Pek sungkan menyerang lagi, iapun berhenti dan memandang tarian telanjang mereka dengan termangu2 dan tak tahu apa yang mesti dikerjakan.

   "Tolol! Kenapa melamun melulu?"

   Demikian tiba2 bisikan lirih tadi berkumandang lagi, mengomel sambil tertawa.

   "Jangan kau anggap tarian itu indah dan boleh kau nikmati seenaknya, ketahuilah itulah Lo-sat-mi-hun-toa-tin andalan Tho-hoa-su-sian, bila tidak kau hancurkan barisan mereka, niscaya kaulah yang bakal celaka!" Tian Pek bergidik, ia tahu Cui-cui memberi peringatan kepadanya, cepat ia tenangkan pikiran dan berusaha melepaskan diri dari pengaruh tari merangsang itu. Setelah hawa murni dihimpun pada telapak tangan dan menyilangkan tangan di depan dada, ia membentak gusar.

   "Perempuan tak tahu malu, hentikan tarian gilamu! Ketahuilah, Siauya bukan manusia rendah yang mudah dipengaruhi. Hm, bila kalian tetap nekad dan main gila begini, terpaksa Siauya tidak sungkan2 lagi....!"

   Tian Pek lupa bahwa kabut beracun masih menyelimuti seluruh ruangan, dia hanya berpikir untuk berbicara dan mengancam keempat lawannya, pernapasan yang selama ini tertutup kini terbuka lantaran harus berbicara.

   Bau harum itu lantas menyusup masuk hidungnya dan terisap ke dalam paru-paru, kontan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pening, ia jadi mabuk.

   Sekalipun demikian, ia tetap berusaha menyelesaikan kata-katanya, lantaran itu kata terakhir menjadi tidak jelas.

   Tho-hoa-su-sian cukup berpengalaman, dari keadaan Tian Pek mereka lantas tahu si anak muda sudah kecundang, tapi sewaktu mereka lihat pemuda itu masih tetap bertahan merekapun tahun racun yang bersarang di tubuhnya tidak terlampau banyak.

   Serentak gadis-gadis itu menerjang ke depan, sambil goyang pinggul dan pamer dada mereka menari dengan gaya yang lebih merangsang, mereka coba mengacaukan pikiran anak muda itu.

   "Ai, jangan terlalu garang, ah! Hehehehe!...."

   Seru Hian-in-huicu sambil tertawa cekikikan. Hu-yong-huicu lantas menyambung sambil tertawa.

   "Saudara cilik, belum pernah kau nikmati kehangatan tubuh perempuan bukan? Hayo, peganglah... hihihi...."

   Dengan kerlingan yang genit, ia menggetarkan payudaranya yang kenyal itu ke depan, sengaja didekatkan payudaranya yang montok ke depan mata Tian Pek.

   Bau harum khas perempuan lantas berembus dari badan gadis itu, apalagi Tian Pek belum pernah berhadapan dengan perempuan sejalang ini, ia berusaha menyalurkan hawa murninya guna melawan bau harum yang bikin hati tergoda itu, apa mau dikata, hawa murninya seolah-olah sudah punah, ia tak mampu berkutik lagi...."

   Sementara itu Siang-hoa-huicu serta Siau-siang-huicu lantas merubung maju sambil goyang pinggul dan pamer dada, dalam waktu singkat anak muda itu sudah terkurung di tengah.

   Tian Pek merasa kepalanya semakin pening, yang terlihat hanya dada yang montok dan paha yang mulus, kepala semakin berat dan pandangan pun kabur.....

   Tangkap!"

   Tiba2 Lam-hay-liong-li membentak, menyusul ia tertawa dingin dan berseru pula. Huh, tadinya kukira kau adalah seorang laki-laki sejati, tak tahunya juga sebangsa lelaki tak beriman...."

   Sungguh ucapan yang menghina, jatuhnya Tian Pek adalah karena kurang hati2 sehingga dia terjebak. Sungguh tidak kepalang gusarnya, tapi apa daya? Badan terasa lemas tak bertenaga. diam2 menyesal.

   "Ai, beginilah jadinya kalau kurang hati-hati akhirnya aku Tian Pek mampus di tangan kaum perempuan hina dina ini...." "Tahan!"

   Tiba2 terdengar bentakan nyaring.

   "Barang siapa berani mengganggu seujung rambut engkoh Pek, segera akan kubunuh dia!"

   Tian Pek berada dalam keadaan tak sadar, ia sempat mendengar dan melihat Cui-cui yang bertopeng setan telah muncul menolongnya.

   "Perempuan hina!"

   Terdengar Lam-hay-liong-li membentak.

   "Kau mengkhianati perguruan, sekarang kau berani pula menentang perintahku. Hayo lekas menyerahkan diri atau kau minta dibekuk!"

   Cui cui memberi hormat kepada Lam-hay-liong-li, katanya.

   "Terimalah hormat Cui-cui, tapi ini adalah terakhir kali kuhormati dirimu, untuk selanjutnya Cui-cui telah melepaskan diri dari ikatan Lam-hay-bun....."

   Terperanjat Tian Pek meski berada dalam keadaan hampir tak sadar, sungguh tak tersangka Cui-cui adalah anggota perguruan Lam-hay-bun.

   "Tutup mulut!"

   Terdengar Lam-hay-liong-li menghardik.

   "Hm, besar amat nyalimu, berani kau bicara begitu. Hehehe, coba jawab, apa hukumannya bagi pengkhianat perguruan Lam-hay-bun?"

   Gemetar Cui-cui mendengar ancaman itu, tapi segera teringat hubungan suami-isterinya dengan engkoh Pek, sedang engkoh Pek bermusuhan dengan pihak Lam-hay-bun, kalau sekarang tidak kuputuskan hubunganku dengan Lam-hay-bun, kelak pasti tak dapat hidup bersama di sisi engkoh Pek...."

   Berpikir demikian, ia lantas berkata.

   "Kiong-Cu, setiap manusia mempunyai cita2 dan tujuannya sendiri, jangan kau paksa diriku untuk melakukan hal-hal yang tidak kusukai. Cui-cui telah memutuskan hubungan dengan Lam- hay-bun, semoga Kiong-CU mengingat hubungan baik seperti kakakberadik dengan Cui-cui di masa lampau dan melepaskan aku."

   "Hehehe, hubungan kakak-beradik?"

   Jengek Lam-hay-liong-li sambil tertawa dingin.

   "Jangan kau tempel emas di wajah sendiri.

   Huhhh! Kau hanya seorang budakku saja, lantaran aku kasihan padamu maka aku bersikap agak baik padamu.

   tak terduga kau lantas berbuat sesukamu, bukan saja topeng setanku kau curi, kemudian kabur tanpa pamit dan sekarang berani mengkhianati perguruan, berani juga menentang perintahku Hm, Kau harus diganjar hukuman yang setimpal.."

   Cui-cui penasaran, karena Lam-hay-liong-li bersikap ketus, ia pun tidak lembut lagi, katanya kasar.

   "Aku pelayanmu? Hah, enak saja kau mengoceh. Aku melayani kau lantaran ayahku numpang di rumahmu, aku berbuat demikian karena ingin membalas kebaikanmu tapi kau anggap aku ini pelayanmu? Mengenai topeng, benda itu adalah milik Suhu, setelab Suhu meninggal, beliau tiada berpesan mewariskan topeng itu kepadamu, bila kau boleh pakai, kenapa aku tak boleh.....?"

   Gusar sekali Lam-hay-liong-li, dengan mata melotot ia membentak.

   "Kurangajar, kau berani memberontak? Kalau tak kuhajar mampus dirimu, tak mau lagi aku menduduki tampuk pimpinan Lam-hay-bun lagi!"

   Angin pukulan segera menderu2, agaknya Lam-hai-liong-li mulai berhantam dengan Liu Cui-cui.

   Lamat2 Tian Pek masih sempat mendengar bagaimana Lam-hay-siau-kun berusaha melerai tapi apa yang terjadi selanjutnya tak diketahui lagi karena dia lantas kehilangan kesadarannya....

   o0o o0o Entah sudah lewat berapa lama, tiba2 Tian Pek merasa mukanya jadi dingin, ia menggigil dan siuman kembali.

   Begitu membuka mata, tahu2 ia berbaring dalam sebuah kamar yang indah, banyak orang mengerumuni sekeliling pembaringan.

   Pembaringan maupun kamar itu seperti sudah dikenalnya, setelah diamati dengan lebih seksama, tahulah Tian Pek bahwa ia berada dalam kamar tidur Leng-hong Kongcu, kamar yang pernah ia tinggali selama beberapa hari ketika jiwanya ditolong Buyung-hujin dahulu.

   Wajah orang2 itu kelihatan cemas dan tidak tenang, agaknya dia telah menjadi pusat perhatian orang banyak dan semua orang berharap ia cepat sadar kembali.

   Di antara orang2 itu terdapat pula Buyung-hujin dan Wan-ji, yang satu duduk di depan pembaringan sedang yang lain mendekap di tepi ranjang dengan sorot mata kuatir, mereka awasi pemuda itu, air mata tampak berlinang-linang di kelopak matanya.

   Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Liu Cui-cui tampak memegangi sebuah cawan air, rupanya dia yang menyadarkan Tian Pek dengan air dingin itu.

   Ji-lopiautau beserta sekalian Piausu berkerumun di depan pembaringan, saking gelisahnya mereka gosok kepalan sambil memandang dengan penuh harap, ketika Tian Pek sadar kembali sesudah disembur air dingin, wajah mereka kontan berseri girang.

   Leng-hong Kongcu yang angkuh duduk termangu2 di sudut sana, entah apa yang lagi dipikirkannya.....

   Begitu sadar Tian Pek lantas melompat bangun dan berseru.

   "Apa yang telah terjadi? Dimana orang Lam-hay-bun? Apakah mereka sudah kabur semua?"

   "Hiante, jangan bercakap2 dulu!"

   Ji-lopiautau cepat mencegah.

   "kau baru sadar, atur dulu pernapasan dan periksa lukamu, urusan selanjutnya kita bicarakan pelahan2!"

   "Jangan kuatir, tak apa2!"

   Sela Cui-cui dari samping.

   "kabut harum pemabuk Mi-hun-hiang-bu dari Tho-hoa-susian cuma bikin orang semaput dan tidak melukai orang, kalau engkoh Pek sudah sadar kembali, itu tandanya dia sudah sehat kembali..."

   "Oo, engkoh Tian! Kau sudah sadar?"

   Seru Wan-ji dengan muka berseri. Buyung-hujin sendiri tiada hentinya menyeka air mata, sedih dan girang bercampur aduk, bisiknya.

   "Tian siauhiap! Terima kasah atas pertolonganmu, cuma suamiku.... dia...."

   Meledaklah isak tangisnya yang memilukan hati.

   Bibir Leng-hong Kongcu bergerak, seperti ma mengucapkan sesuatu, tapi urung.

   Sementara itu Tian Pek sudah mengatur pernapasannya dan terbukti hawa murni dapat bergerak dengan lancar, ia tahu apa yang dikatakan Cui-cui, tidak salah, cepat ia melompat bangun sambil menggenggam tangan Cui-cui, serunya penuh emosi.

   "Cui-cui, kuminta kau mengaku terus terang, benarkah kau anggota perguruan Lam-hay-bun?"

   Sayu wajah Cui-cui, ia mengangguk pelahan.

   "Kenapa tidak kau katakan sejak mula?"

   Seru Tian Pek dengan marah.

   Cui-cui melepaskan tangannya dari cekalan Tian Pek, ia duduk di dekat meja dan tidak bersuara.

   Pada dasarnya Tian Pek adalah pemuda yang benci pada segala macam kejahatan, apalagi setelah menyaksikan betapa keji dan buasnya orang Lam-hay-bun, kemudian melihat pula kejalangan Tho-hoa-su-sian, rasa benci dan muaknya sudah bertumpuk, maka ia merasa kecewa setelah tahu bahwa Cui-cui berasal satu komplotan dengan mereka.

   Bila teringat Cui-cui dan dirinya sudah ada hubungan intim sebagai suami-isteri, maka ia menjadi gelisah dan marah, ia mendengus.

   "Bagus.... bagus sekali, kau berani membohongi aku....."

   "Tian Hiante, jangan gusar dulu!"

   Buru2 Ji-lopiautau menghiburnya.

   "sekalipun nona Liu bekas anggota Lam-hay-bun, jelas dia telah menolong kau dengan mempertaruhkan jiwa raganya, dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa dia telah meninggalkan kejahatan dan menuju kebaikan."

   Tapi Tian Pek sudah telanjur marah, ia tak gubris nasihat Lopiautau, dengan gusar serunya lagi.

   "Aku tak peduli, pokoknva dia membohongi aku karena sejak mula tidak berterus terang padaku...."

   Hati Cui-cui merasa seperti ditusuk2, akhirnya sambil menangis dia kabur keluar ruangan itu.

   Cui-cui adalah nona yang tinggi hati, jangankan orang lain, sekalipun Lam-hay-liong-li yang setiap hari dilayanipun ia berani membantahnya, sekarang ia telah dimaki oleh Tian Pek dihadapan orang banyak, kejadian ini dianggapnya sangat memalukan.

   Apalagi dengan mempertaruhkan jiwa-raganya ia melepaskan diri dari ikatan perguruan dan menyelamatkan jiwa Tian Pek, sekarang malahan dicaci maki oleh pemuda itu, tentu saja ia bersedih hati, tanpa bicara lagi ia kabur dari situ.

   Ji-lopiautau memburu keluar, namun Cui-cui sudah kabur entah ke mana.

   "Nona Liu! Nona Liu!"

   Ji-lopiautau berteriak, namun tiada jawaban, tampaknya gadis itu sudah pergi jauh. Akhirnya ia balik ke dalam kamar, katanya kepada Tian Pek.

   "Tian-hiante, bukannya engkoh tua suka menegur dirimu, tapi perangaimu memang terlalu terburu napsu, biarpun nona Liu berasal dari Lam-hay-bun, toh beberapa kali ia sudah menolong kita, bahkan tak segan2 memusuhi pihak perguruannya, dari situ dapat kita ketahui bahwa ia sudah bertekad meninggalkan Lam-hay-bun, pepatah bilang. Seorang laki2 sejati tak akau menghalangi orang lain bertobat dan menuju ke jalan yang benar. Tapi kau telah bersikap kasar padanya, bukankah tindakanmu itu justru akan menjerumuskan dia ke lembah kenistaan.... ?"

   Sesungguhnya kemarahan Tian Pek terhadap Cui-cui bukan lantaran Cui-cui berasal dari Lam-hay-bun belaka, tapi merupakan luapan perasaan yang terpendam selama beberapa bulan berkumpul dengan nona itu.

   Perkenalan Tian Pek dengan Cui-cui sebagaimana diketahui adalah lantaran gadis itu menyelamatkan jiwa pemuda itu ketika terluka, di kala itu Tian Pek hanya merasa berterima kasih tanpa sedikit perasaan cinta pun.

   Kemudian gerak-gerik Cui-cui yang misterius dan serba rahasia itu pernah menimbulkan curiganya dan diam2 ia ingin meninggalkannya, tapi waktu diketahui Pedang Hijau serta kitab Soh-hun-siau-kut telah diambil gadis itu, mau-tak-mau ia mencari lagi jejaknya.

   Waktu pertarungan di tepi sungai melawan Kim-hu-siang-tiat-wi mereka bertemu pula dan karena kurang hati2 mereka jatuh di dalam sampan dan mengakibatkan terjadinya hubungan tubuh yang melampauipersahabatan, sampai disitupun tiada dasar cinta yang mendalam di hati pemuda itu, apa yang terjadi itu hanya secara kebetulan saja dan karena dorongan napsu seketika itu.

   Tian Pek merasa gadis itu telah mempersembahkan kesucian tubuhnya kepadanya, maka iapun tak dapat meninggalkan tanggung jawabnya dengan begatu saja, ia mengambil keputusan akan memperisteri dan menjadikan nona itu sebagai teman hidupnya.

   Di sinilah terbukti kebijaksanaan Tian Pek yang mulia dan kebesaran jiwanya.

   Berbeda dengan Cut-cui, ia mencintai Tian Pek dengan sepenuh hati, cinta remaja yang penuh gairah kebanyakan memang demiklan, sekali pandang lantas jatuh cinta, sekali suka lantas menyerahkan tubuhnya, untung juga dia ketemu Tian Pek, kalau ketemu pemuda bergajul, bisa jadi dia akan merenungkan nasibnya yang malang.

   Kesungguhan hati Cui-cui bisa dibuktikan dengan kesediaannya berkorban untuk mengobati luka Tian Pek dengan tubuh telanjang, bagaikan ayam yang mengerami telur, setiap hari ia bertelanjang mendekapi tubuh pemuda itu serta melaksanakan terapi penyembuhan Sun-im-liau-siang.

   Setelah pemuda itu sembuh, dengan bertubuh telanjang dan melakukan gerakan To-li-mi-hun-toa-hoat ia membantu Tian Pek berlatih tiga macam ilmu maha sakti yang tercantum dalam kitab Soh-kut-siau-hun-pit-kip, boleh dibilang kesuksesan Tian Pek sekarang adalah berkat bantuan Cui-cui.

   Suatu ketika, Cui-cui menggoda Tian Pek dengan sepatah kata, ia berkata.

   "Engkoh Pek, mulai sekarang kauharus tunduk pada segala perintahku dan tak boleh membangkang."

   Sejak meninggalkan lembah bukit itulah, sepanjang perjalanan nona itu selalu membatasi ruang gerak Tian Pek.

   bahkan setiap kali mempraktekkan ucapan di atas, lama-kelamaan timbul juga perasaan tak puas di dalam hati pemuda itu.

   Apalagi setiap hari gadis itu mengenakan topeng setan, hal ini mendatangkan pula perasaan tak senang bagi Tian Pek.

   Perasaan tak puas dan tak senang ini kian menumpuk, lama kelamaan terciptalah perasaan gemas yang tak terkendalikan.

   Ji-lopiautau adalah orang luar, sudah tentu ia tak tahu perasaan muda-mudi itu, dia hanya menganggap Tian Pek yang berbuat kelewat batas.

   Tapi Tian Pek tetap penasaran, dia mendengus berulang kali, anak muda ini pikir tidak pantas Cui-cui membohonginya, ia anggap dirinya sebagai suami Cui-cui, tidak sepantasnya seorang isteri membohongi suaminya.

   Sementara itu Buyung-hujin berkata kepada Tian Pek.

   "Nona Liu itu orang baik, kungfunya juga tinggi, tanpa bantuan nona Liu mungkin kita semua sudah mampus di di tangan perempuan sadis dari Lam-hay-bun itu!"

   "Ah, belum tentu!"

   Tiba2 Wan-ji menyela.

   "seandainya sastrawan berbaju putih yang disebut Lam-hay-siau-kun itu tidak bentrok sendiri dengan Lam-hay-liong-li, kurasa Liu Cui-cui pun tak mampu menghadapi serangan keji perempuan itu...." "Wan-ji, siapa suruh kau banyak mulut?"

   Omel Nyonya Buyung sambil melotot.

   "bukankah kau sendiripun dibekuk musuh? Untung kita ditolong nona Liu, kalau tidak ...."

   "Kalau anak tidak kecundang oleh serangan gelap Tho-hoa-su-sian, jangan harap mereka bisa membekuk diriku....."

   Bantah Wan-ji dengan penasaran. Melihat kedua orang itu nyaris cekcok sendiri, buru2 Ji-lopiautau mengalihkan pokok pembicaraan.

   "Sudahlah, urusan yang sudah lewat biarkan lewat, apa gunanya disinggung lagi? Dewasa ini Lam-hay-bun sudah mengembangkan sayapnya ke seluruh daratan Tionggoan, mereka main bunuh dan main siksa seenaknya sendiri, kalau tidak ditanggulangi secepatnya, bisa jadi daratan Tionggoan akan jadi bukit mayat dan lautan darah, entah berapa banyak jiwa manusia lagi yang akan jadi korban ?"

   Pada saat itulah tiba2 sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam ruangan, rupanya orang ini adalah paman Lui, kepada nyonya Buyung berkata.

   "Lapor Hujin, kawanan cecunguk yang berkhianat dan takluk kepada pihak Lam-hay-bun sudah dibereskan semua, sisanya yang masih setia kepada Hujin sekarang berkumpul di halaman tengah, jumlahnya mencapai seratus orang lebih, mereka sedang menunggu keputusan Hujin!"

   Buyung-hujin memang tak malu disebut nyonya pemuka dunia persilatan, meskipun baru saja tertimpa musibah, suaminya baru saja tewas secara mengerikan, namun dia masih tetap tenang menyelesaikan kesulitan2 yang dihadapinya.

   Jilid 20 Selesai mendengar laporan itu, dia keluar untuk menemui kawanan jago yang setia, kemudian mengatur kembali jabatan serta kedudukan orang itu ....

   Kesempatan ini pun digunakan paman Lui untuk menjumpai Ji-lopiautau, kemudian menyapa pula Tian Pek di pembaringan.

   Kini Tian Pek memandang paman Lui sebagai sanak sendiri, ia lantas menceritakan asal-usul sendiri dan mengenai dendam berdarah ayahnya Paman Lui manggut2, akhirnya ia memperingatkan anak muda itu.

   "Soal dendam memang urusan penting, apalagi dendam kematian ayahmu, tapi sekarang Buyung-cengcu sudah tewas, sebagai seorang ksatrya sudah sewajarnya kau lupakan masalah itu, yang sudah mati sudahlah, akhirilah sakit hatimu dengan berakhirnya riwayat hidup orang itu Mulai detik ini, pekerjaan terpenting yang harus kau lakukan adalah bagaimana caranya bekerja sama dengan kawan2 persilatan untuk ber-sama2 menentang kelaliman orang2 Lam hay bun, entah bagaimana pendapatmu tentang persoalan ini?"

   Sambil berkata paman Lui menatap tajam wajah Tian Pek se-akan2 berusaha menembus perasaan hati anak muda itu.

   Setelah Tian Pek mengangguk, legalah hati jago tua ini ia merasa terhibur karena keturunan sahabatnya ini ternyata berjiwa besar, segera ia pegang tangan Wan-ji dan Lenghong Kongcu dan menarik kedua orang itu ke depan Tian Pek, katanya.

   "Mereka ini adalah putera-puteri Buyung cengcu, dendam angkatan tua biarlah ikut dibawa masuk ke liang kubur, semoga generasi sekarang ini bisa melupakan kejadian lalu dan mengikat tali persaudaraan yang lebih erat. Nah, bersahabatlah kalian lebih akrab!" Dengan pandangan mesra Wan-ji menatap Tian Pek, sebab sejak dulu dia memang mencintai Tian Pek, dia tak tahu orang tua mereka pernah terikat permusuhan begitu, sekarang sesudah persoalannya dibikin terang oleh paman Lui, sudah tentu ia merasakan hal ini se-olah2 pucuk dicinta ulam tiba ... Leng hong Kongcu yang angkuh lenyap kepongahannya saat itu, ia kelihatan sedikit kikuk dan tak tahu apa yang mesti dilakukan...... Tian Pek lantas ulurkan tangannya dan menggenggam tangan Wan-ji dan Leng-hong Kongcu. Merah wajah Lenghong Kongcu, ia pun menjabat tangan Tian Pek. Rasa girang Wan-ji sukar dilukiskan, ia menggenggam tangan Tian Pek erat2, seandainya dalam kamar itu tak ada orang lain, mungkin ia sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu. Dengan mudah saja paman Lui berhasil mencairkan permusuhan kedua keluarga, Ji-lopiautau dan kawanan Piausu lainnya ikut mengucapkan selamat. Di antara sekian banyak orang, paman Lui kelihatan paling gembira, ia tertawa ter-bahak2, tapi tiba2 air mata bercucuran, ia menangis terisak dengan sedihnya .... Kelakuan aneh paman Lui ini kontan saja bikin orang melengak, dengan heran mereka mengawasi orang tua itu. Kebetulan Buyung-bujin telah kembali, ia lihat paman Lui tertawa tergelak kemudian menangis sedih, mau-takmau iapun melongo heran.

   "Saudara Lui,"

   Cepat tegurnya.

   "orang suka mengejek dirimu sebagai si sinting, jangan2 kau ngahannya saat itu, ia kelihatan sedikit kikuk dan tak tahu apa yang mesti dilakukan...... Tian Pek lantas ulurkan tangannya dan menggenggam tangan Wan-ji dan Leng-hong Kongcu. Merah wajah Lenghong Kongcu, ia pun menjabat tangan Tian Pek. Rasa girang Wan-ji sukar dilukiskan, ia menggenggam tangan Tian Pek erat2, seandainya dalam kamar itu tak ada orang lain, mungkin ia sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu. Dengan mudah saja paman Lui berhasil mencairkan permusuhan kedua keluarga, Ji-lopiautau dan kawanan Piausu lainnya ikut mengucapkan selamat. Di antara sekian banyak orang, paman Lui kelihatan paling gembira, ia tertawa ter-bahak2, tapi tiba2 air mata bercucuran, ia menangis terisak dengan sedihnya .... Kelakuan aneh paman Lui ini kontan saja bikin orang melengak, dengan heran mereka mengawasi orang tua itu. Kebetulan Buyung-hujin telah kembali, ia lihat paman Lui tertawa tergelak kemudian menangis sedih, mau-takmau iapun melongo heran.

   "Saudara Lui,"

   Cepat tegurnya.

   "orang suka mengejek dirimu sebagai si sinting, jangan2 kau memang benar2 sinting? Masa sudah tua begini, bisa2nya kau tertawa sambil, menangis?....."

   Sambil menyeka air matanya yang bercucuran paman Lui lantas menerangkan hal ikhwal hubungan antara ayah Tian Pek dengan Buyung-cengcu akhirnya ia menambahkan.

   "Enso selama ini kau mengganggap diriku sebagai saudara sendiri, sedang aku dengan ayah Tian hiantit adalah sahabat sehidup semati, mengapa aku tak boleh tertawa bila usahaku mencairkan dendam antara kedua keluarga ini berhasil? Dan kenapa aku tak boleh menangis karena aku merasa tak bisa membalaskan dendam bagi kematian saudara In-thian?"

   Tiba2 Buyung-hujin memeluk Tian Pek dan menangis pula dengan sedihnya. Kali ini paman Lui yang dibikin bingung, ia berusaha untuk menghibur nyonya itu, katanya.

   "Enso, baru saja kau mengatakan diriku sinting jangan2 kaupun ketularan penyakitku? Apa sebabnya kau ikut menangis?"

   Sambil menahan rasa sedih Buyung-hujin menyahut.

   "Sampai detik ini baru kutahu peristiwa pembunuhan yang terjadi waktu itu adalah hasil perbuatannya.... O, tahukah kalian bahwa Tian siauhiap sebenarnya adalah keponakan keluarga ibuku?"

   Kiranya nyonya Buyung berasal dari marga Tian, dia adalah saudara sepupu Pek lek-kiam Tian In-thian, maka hubungan mereka boleh dikatakan sangat dekat sekali. Tiba2 Ji lopiautau berkata.

   "Ai, begitulah dendam dan budi yang sering terjadi di dunia persilatan, segala sesuatu sukar diraba dari famili bisa menjadi musuh, bisa pula musuh berubah menjadi sanak keluarga sendiri . .."

   Seperti teringat akan sesuatu, jago tua ini lantas berpaling ke arah Buyung-hujin dan berkata lagi.

   "Kemarin malam, ketika aku menyusup ke gedung ini tanpa sengaja aku tersesat ke sebuah taman, pada sebuah tempat di taman itu kulihat seorang gadis disekap di situ, entah siapakah anak dara itu? Kenapa dia disekap ... .?"

   "Ai, itulah dia enciku!"

   Teriak Wan-ji sebelum Ji-lopiautau menyelesaikan kata2nya.

   "Ya, dia anak Hong!"

   Seru Buyung-hujin dengan cemas.

   "Dia disekap di sana oleh setan tua itu. Untung Ji-lopiautau mengingatkan, kami sendiri telah melupakannya, Hayo cepat kita ke sana dan membebaskan dia. Ai, entah betapa penderitaan yang dialami bocah itu ...

   "

   Habis berkata, tanpa menunggu orang2 lain ia lantas memburu keluar lebih dahulu.

   Wan-ji, Tian Pek, paman Lui serta Ji-lopiautau sekalian segera menyusul dari belakang, dengan gerak tubuh beberapa orang itu, dalam waktu singkat mereka telah berada di taman sana, bangunan gedung yang sunyi sepi terbentang di depan.

   Buyung Hong yang pucat masih berdiri di balik terali besi sambil bersenandungkan syair Tiang-siang-si karya Li Pek, suaranya lirih dan memilukan hati.

   Buyung-hujin tak sanggup menahan kepiluan hatinya menyaksikan keadaan puterinya yang mengenaskan, sambil menahan isak tangisnya ia berseru.

   "Anak Hong, ibu datang menolong kau ...

   "

   Tian Pek melayang ke depan pintu.

   "Trang,"

   Gembok yang amat besar itu segera terpapas patah, pintu gedung didobrak secara paksa.

   Ketika pemuda itu melayang masuk ke dalam ruangan, Buyung Hong berdiri terbelalak dengan melongo, lama sekali ia menatap Tian Pek tanpa berkedip, anak dara itu merasa se-olah2 berada di dalam mimpi, selang sesaat kemudian baru ia menubruk ke dalam pelukan Tian Pek dan menangis tersedu-sedan.

   Keadaan Buyung Hong memang mengenaskan rambutnya yang panjang terurai dalam keadaan awut2-an, meskipun berada dalam pelukan Tian Pek, namun suara tangisannya yang memilukan cukup membuat orang lain ikut melelehkan air mata terharu.

   Semua orang merasa Ti-seng-jiu Buyung Ham kelewat keji, sampai2 puteri kandung sendiripun ia perlakukan sekejam itu, manusia macam begini memang pantas kalau mati.

   Sementara itu Buyung-hujin berdiri tertegun dengan perasaan tak keruan, maklum di hadapan orang banyak puterinya Itu bukan saja tidak menggubrisnya, tapi malahan menubruk ke dalam pelukan Tian Pek, sebagai seorang ibu bagaimanakah perasaannya? Ia merasa, tidaklah pantas kalau seorang gadis perawan berada terus dalam pelukan seorang laki2, cepat ia menarik tangan Buyung Hong seraya berseru.

   "Nak, semuanya ini salah ibu, gara2ku kau harus disekap ayahmu sekian lama....."

   Buyung Hong terus menubruk ke dalam pelukan ibunya dan menangis tergerung, seluruh siksa deritanya selama ini se-olah2 hendak dilampiaskan.

   Setelah dihibur banyak orang, perlahan Buyung Hong baru berhenti menangis, kemudian dipayang oleh Buyung-hujin dan Wan-ji menuju ke ruang depan, Wan-ji disuruh menemani encinya membersihkan badan dan ganti pakaian, Buyung-hujin menarik paman Lui ke sudut ruangan, kedua orang tua itu tampak berunding sesuatu.

   Tampak paman Lui manggut2, bahkan sambil bertepuk dada ia berjanji akan melakukan tugas itu.

   Tugas apa? Tak ada yang tahu ..

   Kiranya Buyung-hujin memohon paman Lui agar suka menjadi comblang bagi puterinya, nyonya itu ingin menjodohkan puteri sulungnya kepada Tian Pek, sebab ia cukup memahami perasaan puterinya, apalagi setelah adegan yang berlangsung dalam pertemuan tadi, di mana gadis itu menubruk ke dalam pelukan Tian Pek, ia tahu puterinya akan bergairah kembali apabila dikawinkan dengan pemuda itu, sebab itulah ia minta tolong kepada paman Lui untuk mengikat tali perkawinan kedua muda-mudi itu.

   Ketika berita gembira itu disampaikan oleh paman Lui kepada Tian Pek, pemuda itu merasa tak dapat menampik pinangan tersebut dengan begitu saja, pertama karena mereka pernah saling bertelanjang bulat akibat pengaruh irama seruling.

   Ke dua, peristiwa menangisnya anak dara itu dalam pelukannya tadi, ketiga, ia menaruh rasa simpati dan kasihan pada anak dara itu dan keempat, baru saja ia cekcok dengan Liu Cui cui, ditambah pula dia harus memberi muka kepada paman Lui, oleh sebab itulah dia mengangguk tanda setuju Tian Pek lupa, dengan tindakannya ini meskipun ia telah menggirangkan hati Buyung Hong, tapi justeru ia telah melukai perasaan seorang gadis lain dan gadis itu tak lain tak-bukan adalah Tian Wan ji.

   


Renjana Pendekar -- Khulung Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung

Cari Blog Ini