Hikmah Pedang Hijau 8
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 8
Hikmah Pedang Hijau Karya dari Gu Long
Suara benturan keras menggelegar di udara, angin pukulan beradu dengan kebasan sayap, debu pasir seketika berhamburan. Tian Pek tak gentar, sambil melintangkan pedang di depan dada ia berkata.
"Apakah kedua Ciaupwe juga ingin memberi petunjuk padaku?"
Tiat pi-to-liong tidak menjawab, ia sibuk menutuk Hiat-to di bahu Beng Ji peng untuk menghentikan darah yang mengalir, setelah itu ia memerintahkan dua anak buahnya memayang pergi anak muda itu untuk dibubuhi obat luka.
Tiat ih-hui-peng lantas berkata dengan ketus.
"Anak muda, kutungi sendiri sebuah lenganmu agar aku tidak perlu turun tangan!"
Berkerut alit Tian Pek, tapi sebelum ia buka suara, Tiat-pi-to liong telah terbahak2, katanya.
"Hahaha, Pa loji, biarkan urusan kaum niuda diselesaikan sendiri oleh kaum muda, untuk apa kita ikut campur urusan mereka? Kalau tersiar orang Kangouw mungkin akan menuduh kita menganiaya kaum niuda ...!"
Gook-bin-siau cing-hu Bang Ji-peng telah dipayang dua Iaki2 kekar, sebelum berlalu dari situ in sempat melotot sekeja pada Tian Pek dan mengancam.
"Nantikanlah pembalasanku, selama hidup aku Beng Ji-peng takkan melupakan sakit hati buntungnya tangan ini."
"Setiap saat kunantikan kedatanganmu,"
Jawab Tian Pek.
Dalarn pada itu Tiat-in-hui-peng tampaknya sudah menuruti perkataan Tiat pi-to-liong, dia tidak berbicara lagi.
Hanya Kim Cay hong, mukanya berubah pucat, ia kelabakan sendiri dan tak tahu apa yang mesti dilakukannya.
Akhirnya Tian Pek nenjura kepada Tiat pi to-liong, katanya dengan lantang "Locianpwe, apakah engkau masih ada pesan lain? Kalau tidak ada, maka aku akan mohon diri." "Engkoh cilik, kenapa ter-buru2?"
Ujar Tiat pi-to liong.
"bagaimana kalau menunggu sampai besok saja? Besok Kongcu pasti pulang, kan !ebih enak berpamitan sendiri dengan Kongcu kami?"
"Maaf, aku masih ada urusan penting yang harus kuselesaikan, tak mungkin aku menunggu lagi,"
Sahut Tian Pek.
"Terima kasih atas perhatian Locianpwe, maaf, kumohon diri."
Setelah masukkan pedang ke dalam sarungnya dan memberi hormat, ia puter badan dan bertalu.
"Tian-siauhiap............"
Kim Cay hong berseru dengan gelisah.
Namun Tian Pek tidak berpaling lagi, dengan langkah lebar ia berjalan menuju ke luar.
Tiat-pi-to-liong berdiri tertegun mengikuti kepergian Tian Pek yang kian menjauh dan akhirnya lenyap di balik pintu, ia tak bersuara lagi untuk mencegah kepergian orang.
Sekeluarnya dari istana keluarga Kim, Tian Pek tidak mencari penginaparn dia langsung berangkat menuju ke "duabelas gua batu karang"
Pada malam itu juga.
==mch== Bulan sabit menghiasi angkasa, air sungai mengalir dengan derasnya, di bawah cahaya rembulan yang redup Yan-cu ki menjulang tinggi di tepi sungai ibarat seekor burung raksasa yang siap terbang ke langit.
Angin meniup sepoi2, suasana hening sepi, kecuali dua-tiga pelita perahu nelayan berkelip jauh di tengah sungai, Tian Pek menengadah dan mengembus napas panjang.
Kini ia merasa puas tapi juga tidak puas.
merasa gembira juga merasa murung, ia berjalan menyusuri sungai itu dengan perasaan yang bercampur aduk.
la puas karena ilmu silatnya telah mendapat kemajuan yang pesat, malahan sudah mampu mengalahkan Beng Ji-peng, murid tunggal Cing-hu-sin Kim Kiu, musuh besar pembunuh ayah.
Tapi iapun merasa tak puas, merasa kecewa karena kepandaian yang dimiliki kedua "pengawal baja"
Ternyata amat lihay, ia merasa tak mungkin bisa menandingi mereka dengan Kungfu yang dimilikinya sekarang, apalagi jago yang menjaga istana Kim begitu banyak jumlahnya, tak mungkin dia bisa rnenandingi kekuatan mereka dengan seorang diri, itu berarti tiada harapan baginya untuk membalas sakit hati ayahnya.
Sedangkan perasaan gembira dan murung sukarlah untuk menerangkan, dia hanya merasa bayangan tubuh Kim Cay-hong yang jelita itu selalu muncul dalam benaknya, iapun sering terbayang kembali kasih mesra Kim Cay-hong selama dua hari dia jatuh sakit, itu mendatangkan rasa manis dan getir, ada yang menggembirakan juga ada yang membikin hatinya menjadi kesal.
Dengan pikiran yang dirundung pelbagai masalah, Tian Pek meianjutkan perjalanan menuju ke jalan pegunungan yang rnenghubungkan pantai dengan "dua belas gua karang", ia tidak ter-buru2 sebab ia sendiripun tak tahu Sin lutiat-tan berdiam di mana, dia akan mencari tokoh persilatan Itu secara pelahan.
Sudah tiga buah gua karang yang diperiksa olehnya, tapi kecuali segerombol kelawar yang terbang ketakutan, tiada sesuatu apapun yang terlihat olehnya.
Meskipun gua2 karang itu terpencil letaknya, akan tetapi di sana-sini masih terlihat bekas2 kaum pelancong, seringkali di atas dinding gua terbaca olehnya catatan tanggal si pengunjung, ada pula bait2 syair yang sengaja diukir di sana sebagai kenangan, di lantai gua tersisa kulit buah2an yang berserakan, kotor sekali tempatnya.
Diam2 Tian Pek merasa kecewa, sebab ia berpendapat Sin-lo tiat-tan tak mungkin berdiam di tempat kotor yang ramai didatangi kaum pelancong ini, diam2 iapun mulai meragukan keterangan si "orang mati hidup"
Walaupun sangsi, namun dia masih terus melakukan pencarian dengan saksama.
Kembali tiga buah gua sudah diperiksa, namun hasilnva tetap tiada sesuatu yang ditemukan.
Makin tinggi ia mendaki bukit karang itu suasana makin hening, baru saja anak muda itu melewati sebuah bukit karang, tiba2 terdengar seorang gadis sedang berseru dengan suara merdu.
"Ini tidak masuk hitungan, hayo sekali lagi!"
Lalu seorang kakek dengan suara serak menjawab.
"Eeh, anak perempuan, ada2 saja tingkah polahmu, orang tua juga kau permainkan. Tidak aku tidak......... tidak mau lagi!"
Suara serak tua lain segera bergelak tertawa, katanya.
"Hahaha, jangan coba2 menolak ya. Hahaha, kalau kau tak mau mengulangi kembali, maka kau harus mengaku kalah!"
"Hm, tidak segampang itu untuk mengalahkan aku!"
Suara pertama tadi berseru apula.
"Jangan kau kira kakiku cacat, lalu mempersulit aku dengan permainan begini!"
Sampai di sini, lapat2 terdengar kibaran kain baju tersampuk angin.
Tian Pek merasa tertarik, ia merasa; sudah kenal suara ketiga orang itu, cuma seketika tidak ingat siapa mereka.
Ia heran apa yang sedang dilakukan ketiga orang itu di bukit ini pada tengah malarn buta? Permainan apa yang sedang mereka lakukan? Timbul rasa ingin tahunya, dengan hati2 ia mendekati tempat suara itu, berkat rindangnya pepohonan ia mengintip ke sana.
Di depan sana ada tanah datar yang agak menonjol tinggi dengan sebuah batu raksasa yang rata permukaannya, batu ini tinggi dua-tiga tombak dan lebar hampir sepuluh tombak, di sekeliling tetumbuhan permai, batu raksasa ini mirip sebuah panggung alam.
Di samping batu itu terdapat beberapa batang pohon siong yang sangat besar, di depan pohon siong itu berdirilah seorang nona berbaju putih dan seorang kakek berjenggot putih, di depan mereka ada pula seorang kakek yang aneh, kedua kakinya sebatas, paha ke bawah sudah buntung dan sebagai gantinya dipasang dua potong kayu, waktu itu si kakek buntung lagi berjungkir dengan kaki di atas dan kepala di bawah, dan sedang berloncatan kian-kemari secepat terbang.
Kayu pengganti kakinya itu berbentuk aneh, bagian atas dekat paha besar dan kasar, bagian ujung lebih kecil, gerakgeriknya aneh dan lucu se-akan2 dia sedang membawakan tarian setan.
Setelah memperoleh kemajuan pesat dalam tenaga dalam, ketajaman mata Tian Pek luar biasa, sekalipun jaraknya cukup jauh, namun ia dapat melihat jelas keadaan di sekitar sana.
Ia melihat kakek aneh yang sedang membawakan "tarian setan"
Itu tak lain adalah kakek buntung yang tiga hari berselang pernah membuat Kanglam-ji-ki lari ter-birit2.
Sedangkan kakek berambut putih itu tak terlihat jelas karena jaraknya terlampau jauh, tapi ia yakin orang itupun pernah dijumpainya, sedangkan anak dara berbaju putih itu ternyata tak-lain-takbukan adalah Tian Wan-ji yang lincah itu.
Waktu Tian Pek terluka di restoran Hin-liong-ciu-lau tempo hari dan ditolong oleh Wan-ji serta dibawa ke rumah Hoat-si-jin dan Si-hoat-jin, anak muda itu sama sekali tak tahu, maka ia heran melihat anak dara itu berada di sini bersama kedua kakek aneh itu.
"Aneh, mengapa dia bisa berada di sini?"
Demikian pikirnya.
"Bukankah dia berada di rumahnya tempo hari? Mau apa dia berkumpul dengan kedua kakek aneh di bukit yang sunyi ini? Permainan apa yang sedang mereka lakukan......... Sementara Tian Pek keheranan, kakek buntung yang sedang menari dengan tangan menggantikan kaki itu sudah meloncat bangun berbareng meraih kedua tongkat penompang tubuhnya, lain dengan, bangga dia berkata.
"Coba, hebat bukan? Hahaha jangan kalian mengira aku tak punya kaki, kan sudah kulakukan juga permainan ini?"
Wan-ji menghela napas, katanya.
"Ai, kukira Kungfu kalian selisih tidak banyak dan sukar ditentukan, siapa lebih unggul, kurasa lebih baik tak dilanjutkan pertandingan ini !"
"Selisih tidak banyak apa?"
Teriak kakek rambut putih itu dengan penasaran.
"Anak perempuan, bilang saja bahwa Kungfu kami sangat tinggi dan luar biasa. Hehe, bagaimanapun juga, aku harus menentukan siapa yang lebih unggul dengan dia."
"Betul!"
Sarnbung kakek buntung itu dengan cepat.
"Kita sudah bertanding selama tiga hari tiga malain dan tetap belum tahu siapa yang lebih unggul, mungkin sernua Kungfumu sudah kau kuras keluar semua. Huh, apakah mungkin kau memiliki jurus lain lagi yang bisa kau gunakan?"
"Tapi, kalian akan bertanding apa lagi?"
Seru Wan ji.
"Ilmu pukulan, pakai senjata tajam, ilmu senjata rahasia, tenaga dalam, gerakan tubuh maupun kecepatan langkah, sernua telah kalian pertandingkan, kukira kita sudah kehabisan bahan untuk melanjutkan pertandingan ini, lebih baik dianggap seri saja."
"Tidak, tidak bisa,"
Teriak si kakek rambut putih sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Hahaha, ini dia, ada persoalan baru lagi, barusan telah kedatangan satu orang dan orang itu bersembunyi di sana sedang rnengintip gerak-gerik kita ..........
"
Sebelum kakek itu selesai berkata, kakek buntung lantas tertawa terbahak2.
"Hahaha, jangan kau anggap aku tidak tahu apa2, sedari tadi akupun sudah tahu akan kedatangannya. Itu dia, sembunyi di belakang pohon sana?"
Sambil berkata iapun menuding ke tempat sembunyi Tian Pek.
Betapa terperanjatnya anak muda itu demi mendengar perkataan tersebut, ia mengira tempat sembunyinya cukup rahasia, tak tahunya tetap tak dapat mengelabui kedua kakek itu.
Dalam keadaan begini tentu saja ia tak dapat berdiam terus di situ, terpaksa Tian Pek berbangkit dan siap unjuk diri.
"Eeh, tunggu sebentar, teriak kakek rambut putih itu mendadak.
"kau jangan keluar dulu dari tempat persernbunyianmu.........
"
Sekali lagi Tian Pek terperanjat, pikirnya.
"Aku belum bergerak dan dia lantas dapat menebak isi hatiku, memangnya dia memilki ilmu gaib?"
Selagi dia masih termenung, kakek rambut putih itu telah berkata pula.
"Nah, sekarang marilah kita menebak orang ini, siapa yang dapat menebak dengan jitu, dialah yang menang, siapa yang tak mampu menebak, dia yang tak becus. Nah, setuju?"
Tanpa menanti jawaban, kakek itu melanjutkan pula kata-katanya.
"Hayolah, kita menebak berapa usia pendatang ini, laki2 atau perempuan? Kalau kau tak mampu menebaknya, lebih baik jadi kunyuk saja, setuju bukan?"
Kakek cacat kaki itu bergelak tertawa. 'Haha, setan tua penunggang keledai, sekalipun tipu muslihatmu banyak, jangan kauharap akan menipu diriku, kalau pendatang itu orang yang sudah kaukenal, kan aku yang rugi? Memangnya aku dapat kautipu?"
Mula2 Tian Pek agak terkejut sewaktu mendengar disebutnya "si penunggang keledai", dengan cepat iapun paham, bukankah kakek berambut putih ini adalah Sin lutiat tan (keledai sakti peluru baja) Tan Jian-li yang sedang dicarinya? Setelah mengetahui siapa kakek ini, Tian Pek tak dapat menahan emosin)a lagi, iapun tak mau tahu pertaruhan apa yang sedang dilakukan kedua kakek itu, segera ia melayang ke atas panggung batu itu sambil berseru lantang.
'O, Tang-lociaupwe sungguh susah Wanpwe mencari jejakmu ...
Tang Jian-li melengak, dengan ketajaman pendengarannya sebenarnya kakek itu mengetahui ada seorang bersembunyi di belakang pohon, dan langkah kakinya yang mantap ia tahu orang itu pasti masih muda dan jelas seorang laki2, maka diajukannya syarat pertandingan itu dengan maksud akan mengalahkan si kakek cacat.
Siapa tahu pendatang ini benar2 kenal padanya, kejadian ini sama sekali tak terduga olehnya, sebab ia merasa sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan diri, sudah jarang ada orang persilatan yang kenal nama aslinya.
Kini Tian Pek menyebut namanya dengan jitu, itu berarti orang yang sudah kenal seperti apa yang tuduhkan si kakek cacat tadi.
Dengan sorot mata yang tajam ia menatap Tian Pek tanpa berkedip, kemudian in bertanya.
"Heh anak muda, darimana kautahu aku she Tang?"
Belum lagi Tino Pek menjawab, kakek cacat itu sudah tertawa ter kekeh2 dan berkata.
"Hehehe, kau tak perlu main sandiwara lagi, kan sudah kukatakan sedari tadi, kau si setan tua penunggang keledai ini banyak akal muslihatnya, rupanya dugaanku memang tak keliru. Hahaha, kau sengaja menyuruh seorang muda bersembunyi di sana untuk menipu aku. Huh, biarpun anak berusia tiga tahunpun tak bisa kautipu."
Gusar Sin-lu-tiat-tan Tang Jian li mendengar tuduhan itu, dia angkat telapak tangannya dan melayang ke depan sambil melepaskan suatu pukulan teriaknya dengan gusar. "Tua bangka, tak usah cerewet lagi, rasakan pukulanku ini ...... !"
Serangan itu tidak membawa desiran angin, akan tetapi tenaga pukulan yang terpancar ternyata sangat hebat.
"Huh, biarpun seratus kali pukulan juga akan kulayani,"
Jengek si kakek buntung.
Sambil bicara kakek cacat itu terus bergerak, setelah tongkat penompang digantolkan pada sikunya, tangannya berputar, segulung angin pukulan dingin terpancar dari telapak tangannya.
Dua gulung angin pukulan salirg bentur dan menimbulkan suara keras, kedua orang sama tergentak ke atas, dengan cepat mereka terlibat pula dalam serentetan pukulan dahsyat.
"Blang! Biang! Blang!"
Dalarn waktu singkat mereka telah beradu tenaga pukulan beberapa kali.
Suara benturan itu tidak terlalu keras bunyinya, namun memantul cukup jauh dan menimbulkan gema yang bergemuruh.
Diam2 Tian Pek terperanjat, gerak tubuh kedua orang yang sangat cepat dan aneh ini menandakan kepandaian mereka sungguh luar biasa.
Tian Wan-ji terkejut dan gembira melihat kemunculan Tian Pek tadi, tapi ketika dilihatnya anak muda itu tidak menggubrisnya tapi terkesima oleh pertarungan kedua kakek, Nona itu jadi sedih, katanya dengan rawan.
"Ai, mereka telah saling hantam dan mungkin sukar diakhiri. Sungguh tak terduga, usia mereka sudah setua itu, akan tetapi emosi mereka masih begitu besar, entah bagaimana akhirnya nanti?"
Tian Pek tetap membungkam, ia sedang terkesima oleh kelincahan serta kegesitan kakek cacat itu, meski kedua kakinya buntung, dan sebagai penggantinya adalah kaki kayu yang besar di atas dan kecil di bawah, akan tetapi semua itu sama sekali tidak mengurangi kegesstannya, kedua telapak tangannya masih terus berputar kian kemari tanpa alangan, tubuhpun bisa mengegos ke kiri kanan atau merendah atau meloncat dengan leluasa, sedikitpun tidak berada di bawah kelihayan Siu-lu-tiat-tan yang bertubuh sempurna.
Diam2 anak muda ini kagum sekali, iapun heran dan bertanya.
"Kenapa kedua kakek ini saling bergebrak?"
"Akupun tidak tahu kenapa mereka saling bargebrak!"
Jawab Wan-ji sambil menggeleng.
"aku datang kemari untuk mencari kau, bukan kau yang kutemukan, tapi merekalah yang kulihat sedang bertarung, katanya mereka telah bertempur selama tigahari tiga malam. Sewaktu aku tiba di sini tadi, katanya baik pukulan bertangan kosong, senjata tajam, tenaga dalam dan semua telah dipertandingkan tapi mereka belum berhasil menentukan siapa yang lebih unggul, maka mereka lantas minta aku sebagai wasit dan mengajukan berbagai acara pertandingan, sudah kugunakan macam2 cara yang sulit, tapi mereka tetap sama tangguhnya, ketika engkau datang tadi, mereka sedang mempertandingkan ilmu langkah Ni-gong-huan-ing (lintas angkasa bayangan semu), sekalipun kakek aneh itu tak punya kaki, tapi ia telah menggantikan kakinya dengan tangan dan tetap tidak kurang gesitnya, maka keadaan pun masih tetap seri!"
Setelah mendengar penuturan tersebut sedikit banyak Tian Pek dapat meraba garis besar kejadian itu, tapi dia tetap tidak tahu sebab apa kedua kakek saling bergebrak.
Tiba2 hatinya tergerak, dia berpaling dan bertanya.
"Wan-ji, kau bilang sedang mencari aku? Ada urusun apa kau mencari ku?" Sedih Wan-ji, hampir saja air mata menetes.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengan susah payah kutolong dirimu hampir saja nyawaku ikut berkorban, masa kau sama sekali tidak mengetahuinya?"
Demikian pikir anak dara itu. Meskipun berpikir demikian, namun perasaan tersebut tidak sampai diutarakannya, ucapnya.
"Bukankah kau terluka oleh Hiat-ciang-hwe-liong ketika berada di restoran Hin-liong-cin-Iau? Memangnya siapa yang menyelamatkan jiwaniu? "O, jadi nona yang telah menyelamatkan jiwaku?"
Seru Tian Pek.
"Kalau begitu tentunya engkau telah bertemu dengan Hoat-si-jin bukan? Tapi aneh, ke mana kau pada waktu itu? Kenapa tidak kulihat dirimu di sana?"
Merah wajah Wan-ji membayangkan peristiwa pahit yang dialaminya itu, hampir saja ia menangis ter-sedu2.
"Eh, sudah selesai belum kalian mengobrol?"
Tiba2 dr tengah pertarungan seru itu terdengar teriakan "Kalau sudah cakup kongkou hendaknya cepat menyingkir dari sini, awas, aku akan melepaskan serangan yang mematikan!"
"Hehe. besar amat mulutmu!"
Ejek si kakek cacat sambil tertawa.
"Tua bangka penunggang keIedai, Iebih baik kurangi teriakaimu, kalau memang mau kentut hayolah lepaskan kentutmu itu, kalau mau pamer kepandaian cepatlah pamerkan, jangan kuatir, semua permainanmu pasti akan kuterima dengan tangan terbuka!"
"Ciaat! ."
Tiba2 Sin-lu-tiat-tanberteriak gusar,menyusul segulung angin keras mendampar disertai suara gemuruh yang mernekak telinga.
Karena damparan angin pukulan yang dahsyat itu, baik Tian Pek maupun Wan-ji tak sanggup berdiri tegak lagi, mereka sama2 melompat turun dari panggung batu itu dan meloncat ke atas pohon liong di depan situ Sambil bicara mereka menonton jalannya pertarungan yang semakin seru itu.
Kedua kakek itu mernang sama2 lihaynya, semua jurus serargan maupun gerakan tubuh dilakukan dengan secepat kilat angin pukulan mereka pun sama2 santar dan kuat, meskipun sama2 menggunakan tenaga lunak, akan tetapi kekuatan yang terpancar dari serangan masing2 tetap sangat hebat.
Setelah merapelajari ilmu menurut isi kitab Soh-kut-siau hun pit-kip, ditambah pula urat penting dalam rubuhn)a telah lancar semua, baik pendengaran ataupun penglihatan Tian Pek boleh dibilang sudah mencapai kesempurnaan, sekalipun berada di kegelagran ia sanggup melihat benda dengan cukup jelas.
Namun begitu tetap tak dapat dimanfaatkan untuk mengikuti jalannya pertarungan itu, ia merasa kabur gerak tubuh kedua orang tua itu sehingga semua gerak-gerik sukar diikuti.
Kalau Tian Pek saja tak mampu mengikuti pertarungan itu, apalagi Wan-ji? "Blang! Blang ..!"
Beberapa kali benturan berkumandang rnemecah kesunyian malam yang mencekam itu, dengan gerakan cepat kedua orang itu saling memisahkan diri.
"Hehehe, setan tua penunggang keledai,"
Teriak kakek cacat itu sambil tertawa.
"tadinya kukira pukulan Ki-heng-tui-hong-ciang (pukulan aneh pengajar angin) sangat lihay, hah, tak tahunya hanya begini saja. Hayo kalau punya simpanan lain yang lebih baru dan lebih segar, keluarkan saja semuanya, jadi manusia jangan terlalu pelit."
Sin-lu-tiat-tan sudah tersohor pada puluhan tahun yang lalu, ilmu silatnya sangat tinggi dan sudah mencapai puncaknya, semakin menanjak usianya boleh dibilang makin berkurang ambisinya untuk cari nama, sebab itulah sudah puluhan tahun dia rnengasingkan diri dan sudah dilupakan oleh dunia persilatan.
Sekalipun begitu, kadangkala dia muncul juga di dunia Kangouw dengan menyaru sebagai pedagang kecil atau penjual makanan.
Selamanya dia hanya suka mempermainkan orang lain dan belum pernah merasakan dipermainkan orang lain.
Sekarang berjumpa dengan kakek buntung yang tak diketahui namanya ini, sudah tiga-haritiga malam mereka bertempur, akan tetapi menang-kalah belum juga dapat ditentukan.
Apalagi kakek buntung ini suka ber olok2 dan mengejek, setelah berlangsung tiga-hari tiga malam, habis juga kesabarannya, mendengar ejekan tadi kontan saja dia rnernbentak murka.
"Hei, makhluk tua kau jangan latah, ini, rasakan dulu dua buah peluru bajaku ini! Sambil berseru tangannya lantas terayun ke depan, sejalur cahaya tajam meluncur ke, depan. Dengan membawa desing angin keras cahaya tersebut langsung mengancam muka kakek cacat itu. Tapi kakek cacat itu malahan menengadah dan tertawa ter-babak.
"Hahahaha, permainan anak kecil begini juga berani diparnerkan di hadapanku ejeknya. Dengan suatu gerakan seenaknya, kakek itu angkat tongkat kanannya rnenangkis ke atas.
"Criing .... !"
Denting nyaring terdengar, peluru baja yang meluncur tiba itu mencelat ke udara.
Sin-lu-tiat-tan membentak gusar, kembali peluru baja kedua menyambar pula ke depan, tapi arah yang dituju sekali ini bukan si kakek cacat melainkan menghantam peluru baja pertaina yang terpental oleh tangkisan tongkat si kakek btintung tadi.
"Tring .
!"
Kcdua peluru baja itu saling membentur di udara, terjadilah percikan bunga api yang membura ke bawah bagai hujan sinar perak disertai suara mendengung, dari kanan-kiri kedua peluru itu mengancam lambung si kakek buntung.
Melengak juga kakek cacat itu oleh kelihayan senjata rahasia yang aneh itu, dengan tertawa berseru.
"Haha, permainan tukang jual obat ini belum lagi mampu merepotkan aku!"
Sambil bicara tongkatnya menangkis pula.
"Tring, tring..... !"
Kedua biji peluru itu tahu2 mencelat lagi ke udara. Tapi kedua biji peluru itu seperti benda hidup saja, setelah berputar satu lingkaran, lalu saling berturnbuk lagi.
"tring!"
Kedua peluru baja itu menyambar pula ke dada kakek aneh itu.
"Haha, setan tua penunggang keledai, tak kusangka permainanmu lumayan juga, hahaha, begini-baru menyegarkan badan!"
Sambil berkata si kakek buntung angkat tongkat menangkis pula, dentingan nyaring sekali lagi menggema, kedua biji peluru baja itu terpental ke udara, tapi bagaikan bersayap benda itu segera berputar balik dengan dentingan nyaring dan menyambar pula mengancam jalan darah penting di sekujur badan musuh.
Cara melepaskan senjata rahasia yang aneh oleh kakek perrunggang keledai ini boleh dibilang jarang ada di kolong langit ini, baik Tian Pek maupun Wan-ji mengikuti jalannya pertarungan dari atas dahan pohon dengan mulut melongo dan lupa berbicara lagi.
Akan tetapi kakek aneh itu sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap ancaman yang tiba, sambil mengoceh terus mengejek lawannya dia mengegos ke sana dan menghindar sini dengan gesitnya, setiap kali tongkat berputar, peluru baja yang mendekat segera mencelat jauh ke udara.
Melihat dua biji peluru baja gagal melukai lawan, Sin-lutiat-tan berkata.
"Makhluk tua, supaya kau puas bermain dengan peluruku ini kutambah satu biji lagi."
Berbareng dengan ucapan tersebut, peluru ke tiga segera menyambar ke depan.
Peluru ketiga ini bentuknya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kedua peluru yang duluan, setelah dilepaskan bukan suara mendengung yang terdengar, tapi suara mendenging seperti suara sempritan, gerak luncurannya juga sangat cepat, malahan jauh lebih cepat daripada kedua peluru yang pertama, terus menyambar ke muka si kakek buntung.
"Eeh jangan tambah lagi, aku bisa kewalahan nanti .....
!"
Teriak kakek aneh sambil rnenjerit seperti orang kerepotan.
Meskipun di mulut di mulut ber kaok2, tapi tangannya tidak rnengarggur, sebelum peluru sakti itu mengenai badannya, cepat dia putar tongkat untuk menangkis.
Tapi sekali ini dia kecelik, ternyata tangkisan itu mengenai tempat kosong, sebelum ujung tongkat nienyentuh peluru tersebut, secara otomatis senjata itu mengegos ke samping.
Kiranya peluru kecil itu dibikin secara khusus, apabila menjumpai rintangan, maka secara otomatis senjata rahasia itu akan berbelok arah, maka dengan sendirinya tangkisan si kakek aneh itu meleset.
Sementara itu peluru kecil tadi sudah berputar satu lingkaran dan mengancam pula telinga kiri si kakek.
Kakek aneh itu tidak menyangka akan sergapan luar biasa ini, hampir saja ia kena diterjang, untung ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaannya, ke mana ia mau bergerak, secara otomatis tenaganya tersalur dengan sendirinya.
Ketika desiran angin tiba2 muncul di tepi telinganya, serentak dia tarik kepalanya ke belakang lalu rnenghindar ke samping, diiringi desingan tajam, peluru itu menyambar lewat.
Baru lolos dari ancaman pertama, kedua peluru yang mencelat ke udara tadi tiba2 menyambar kembali ke bawah.
Dengan cekatan kakek aneh itu putar tongkat untuk menangkis, siapa tahu peluru ketiga yang meleset tadi sudah menikung balik dan menyambar lambungnya, hal ini membuat si kakek rada kelabakan dan ber kaok2.
Ketiga peluru sakti milik Sin-lu-tiat-tan memang tersohor akan kelihayannya, jarang sekali ia menggunakan ketiga pelurunya itu sekaligus, biasanya hanya cukup menggunakan sebiji saja, kawanan jago persilatan baik dari golongan putih maupun dari kalangan hitam pasti akan lari terbirit2.
Bilamana dua biji peluru digunakan jelas terlebih sukar melawan apalagi sekarang tiga biji peluru digunakan sekaligus, ia yakin si kakek buntung pasti tidak mampu, menahannya.
Tian Pek serta Wan ji sampai kabur mengikuti jalannya pertarungan itu dari atas dahan, mereka tak mampu mengikuti lagi jalannya pertarungan dengan jelas, hanya terlihat serentetan cahaya perak, ibarat tiga ekor ular lincah berputar dan menyambar tiada hentinya mengitari badan kakek aneh itu, denging nyaring bercampur aduk menciptakan gema suara yang membetot sukma, ditambah pula suara benturan nyaring yang menerbitkan bunga api, membentuk serangkaian pemandangan yang indah dan aneh pula.
Setelah ketiga biji peluru berhasil membuat musuh kalang kabut barulah Sin lu-tiat tan berdiri sambil berpeluk tangan, katanya dengan tertawa.
"Bagairnana rasanya peluru saktiku, kawan? Hahaha! Ketiga biji peluruku sekaligus, rasanya tentu lain bukan?"
Si kakek aneh meraung gusar, kedua tongkatnya kencang.
terdengar dering nyaring dan letupan bunga api, ketiga peluru itu tertangkis mancelat jauh, tiba2 ia sendiri menjatuhkan diri ke atas tanah, Ketika ketiga peluru tadi berputar satu lingkaran di udara dan menyambar balik ke sasarannya, jejak si kakek aneh itu sudah lenyap.
Dangan begitu, ketiga peluru itupun kehilangan sasarannya, benda itu hanya berputar terus di udara.
Melenggong juga Sin lu tiat tan menghadapi kejadian yang tak terduga ini, ia angkat tangan dan menarik kembali senjata rahasianya.
Selagi berdiri melongo, tiba2 dari belakang di dengarnya kakek aneh itu mengejek.
"Huh, tiga biji pelurumu juga tidak mampu menandingi ilmu Sansinbu-ing (tubuh berkelebat tanpa bayangan), hehe, apabila aku tidak jaga harga din', sejak tadi kau tentu sudah terluka oleh seranganku dari belakang!"
Sin-lu-tiat-tan menarik muka, mendadak ia putar badan sambil melontarkan pukulan pelahan. Segulung angin pukulan yang lunak terus mendampar ke belakang.
"Hah, Lui-im-hud-ciang!"
Teriak kakek aneh itu dengan terperanjat Mendadak ia jatuhkan diri ke tanah, dan tahu2 bayangan tubuhnya sudah lenyap pula.
Karena sasaran yang dituju menghilang mendadak, maka angin pukulan yang dahsyat itu langsung menggulung ke depan dan menumbuk sebatang pohon siong.
"Blang!"
Suara gemuruh keras memecah kesunyian, pohon siong itu patah menjadi dua dan tumbang. Pasir debu dan patahan ranting pohon berhamburan, suasana terasa mengerikan.
"Sungguh hebat tenaga pukulan itu!"
Puji Tian Pek sambil menjulurkan lidah.
"Seorang mampu melatih ilmu silatnya hingga tingkat setinggi ini, sungguh sukar untuk dibayangkan."
"Memang ilmu pukulan yang lihay!"
Sahut Wan Ji mengangguk.
"seringkali kulihat jago silat kelas wahid yang berkumpul dirumahku saling beradu tenaga pukulan, tapi belum pernah kulihat seorang yang memiliki tenaga pukulan sedahsyat ini!"
Menyinggung keluarga gadis itu, tanpa terasa Tian Pek teringat kembali akan dendamnya, dia lantas bertanya.
"Apakah ayahmu bernama Ta sangjiu Buyung Ham?"
"Engkau kan sudah tahu, kenapa bertanya lagi?"
Omel Wan-ji sambil mengerling sayu. "Aku cuma heran, kalau Buyung Ham benar ayahmu, mengapa kau tidak she Buyung, tapi she Tian?"
"Eeh, kau benar2 seorang pelupa atau sengaja berlagak bodoh?"
Kata gadis itu dengan kurang senang.
"Kan sejak mula sudah kuterangkan padamu bahwa aku ikut she ibuku!"
"Di dunia ini umumnya anak ikut she ayahnya, jarang yang ikut she ibunya. Atau nona Wan, jangan2 kau bukan ana k kandung Ti-seng-jiu?"
Hebat sekali perubahan air muka Wan-ji katanya dengan gusar.
"Kau tidak percaya padaku dan mengira aku berdusta?"
Tian Pek menjadi sedih, pikirnya.
"Wan-ji adalah gadis yang masih suci murni dan baik hati, sudah dua kali dia selamatkan jiwaku. Bila suatu hari kucari ayahnya untuk menuntut balas, oh, entah betapa sedih dan bencinya nona ini padaku?"
Jelas Wan-ji jatuh cinta kepada Tian Pek, kaIau tidak tentu dia tak perlu meninggalkan rumah secara diam2 dan menempuh bahaya untuk mencari anak muda itu.
'Tapi apa mau dikata? Wan-ji tak lain adalah putri musuh besarnya, mungkinkah hubungan cinta ini dapat berlangsung dengan lancar dan langgeng? Melihat Tian Pek termenung dengan alis berkernyit, Wan-ji mengira kata2nya yang kasar tadi telah menyinggung perasaan anak muda itu.
Maka ia menjadi tak tega dan cepat berkata pula.
"Engkoh Tian, engkau marah kepadaku?"
Tian Pek menggeleng dan tarik napas panjang2. jawabnya.
"Aku tidak marah, aku cuma .... ahh!" Mendadak pemuda itu menjerit kaget dan perhatiannya ke atas pauggung baru, rupanya pertarungan yang berlangsung antara kedua jago tua itu telah mencapai saat yang gawat. Kaget juga Wan-ji mendengar seruan tersebut, cepat iapun menengok ke sana, dilihatnya kedua kakek itu sedang saling melotot sambil mengitari gelanggang. Gerak-gerik mereka persis dua ekor ayam jago yang siap bertarung. Pertarungan mereka tidak berlangsung dengan kecepatan tinggi lagi, kedua orang sama bergerak mengitari gelanggang dengan langkah yang sangat lambat, dengan mata melotot tajam saling pandang tanpa berkedip, beberapa lingkaran kemudian baru kedua orang saling hantam satu kali dengan dahsyat. Sekilas pandang pertarungan mereka memang berlangsung lamban dan Iucu, tapi justeru pertarungan macam inilah yang paling banyak menggunakan tenaga serta banyak menanggung resiko. Baik Tian Pek maupun Wan-ji, keduanya cukup tahu apa yang sedang terjadi, mereka tahu resiko pertarungan macam begitu. Bukan saja segenap tenaga dalam yang mereka miliki harus diadu, malahan setiap pukulan pasti pukulan mematikan, siapa meleng dia akan celaka. Tian Pek menguatirkan keselamatan Sin-lu-tiat-tan, sebab hanya orang tua inilah yang mengetahui tentang kematian ayahnya, hanya dia pula akan menambah ilmu silatnya jadi lebih lihay. Bila Sin-lu-tiat-tan kalah, bukan saja harapannya untuk belajar akan musnah, bahkan siapa pembunuh ayahnya juga takkan diketahuinya, maka ia ikut tegang hingga keringat dingin membasahi tubuhnya. Ilmu silat kakek aneh itupun sangat lihay, malahan boleh dibilang hampir seimbang dengan Sin-lu-tiat-tan, tapi Tian Pek tak pernah ingin belajar silat padanya, apalagi tingkah laku kakek itu-pun rada kurang beres, gaya ilmu silatnya tidak mirip Kungfu aliran baik bahkan kakek aneh itu pun tidak tahu tentang kematian ayahnya. Berdasarkan alasan inilah, maka Tian Pek lebih condong untuk menjagoi Sin-lu tiat tan dari pada kakek aneh itu, kendatipun kedua orang kakek itu sama sekali tak ada hubungan apa2 dengan dia. Wan-ji sendiri sama sekali tidak memperhatikan jalannya pertarungan kedua kakek itu, seluruh pikiran dan perhatiannya hanya tertuju kepada Tian Pek seorang. Betapa cemasnya gadis itu ketika dilihatnya Tian Pek duduk dengan dahi berkerut, badan menggigil karena tegang dan keringat membasahi sekujur badannya.
"Engko Tian, apa gunanya ikut tegang? Kedua kakek itu sama2 anehnya, siapa menang dan siapa kalah kan tak ada hubungannya dengan kita..."
Tian Pek sama sekali tak meuggubris bisikan lembut si nona, mendadak ia menyingkirkan Wan ji yang bersandar di bahunya itu, kemudian ia melompat turun dari dahan pohon dan melayang ke atas panggung batu.
"Engkoh Tian, jangan!"
Seru Wan-ji dengan kuatir, cepat iapun melompat turun menyusul ke atas.
Kiranya pertarungan waktu itu sudah berhenti, kedua kakek itu tidak mengitari gelanggang lagi melainkan berdiri saling berhadapan dengan telapak tangan saling menenipel, sementara tenaga dalam mereka rnengalir keluar tiada hentinya dari tangan masing2.
Uap mengepul keluar dari atas kepala kcdua orang tua itu, sedangkan kaki mereka sama ambles ke dalam batu karang itu.
Melihat gelagatnya, dapat diketahui bahwa pertempuran telah mencapai puncaknya yang paling gawat.
Air muka Sin-lu-tiat-tan tampak prihatin, kuda2nya kuat, rambut sama berdiri seperti duri landak, matanya melotot, sepatunya sudah pecah, kakinya sudah ambles sedalam tiga dim di dalam batu karang, tampaknya ia sudah kepayahan.
Kakek buntung itu lebih aneh lagi, kaki palsunya sudah menancap ke dalam batu separoh bagian, telapak tangannya yang direntangkan sejajar dada tampak gemetar.
kabut putih yang mengcpul dari kepalanya juga lebih tebal daripada kabut di kepala Sin lu tiat-tan, dari keadaan itu dapat diketahui bahwa jago tua inipun tidak lebih unggul.
Tian Pek tahu pertarungan adu tenaga adalah pertarungan yang paling berbahaya, apabila salah satu pihak kalah kuat, niscaya isi perutnya akan hancur berantakan terhajar tenaga pukulan lawan dan akhirnya binasa.
Sebaliknya jika kekuatan mereka berimbang, maka risikonya kedua pihak akan sama2 terluka atau lebih parah lagi bisa mengakibatkan kedua orang itu gugur bersama.
Dengan gelisah Tian Pek menghampiri kedua orang tua itu.
serunya dengan lantang.
"Locianpwe berdua, kalau ada perselisihan alangkah baiknya dibicarakan secara baik2, buat apa kalian mesti berkelahi mati2an begini?"
Waktu itu pertempuran sudah berlangsung mencapai puncaknya, mereka tidak menghiraukan ucapan Tian Pek, umpama mendengar juga tak sempat menjawab.
Tian Pek semakin gelisah, dia luntas mendekati mereka, maksudnya mau memisah.
Terperanjat Wan-ji, cepat ia menariknya dan berseru.
"Jangan ke situ, engkoh Tian! Pertarungan mereka telah mencapai puncaknya, Lwekang mereka telah tersebar di empat penjuru, jika engkau berani mendekati mereka, engkau sendiri yang akan terluka.........
."
"Tapi kita tak boleti berpeluk tangan menyaksikan kedua orang kakek itu mati konyol!"
Sahut Tian Pek sambil melepaskan pegangan Wan-ji dan melangkah maju pula.
Tapi sebelum rnendekat, segera Tian Pek merasa ditahan oleh suatu tenaga yang tidak kelihatan.
Untuk melangkah maju lagi sudah tidak mampu, keruan Tian Pek terkejut.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ia masih coba lagi.
"Blang!"
Tian Pek sendiri tergetar mundur, dada terasa sesak dan telinga mendengung.
"Hebat sekali!"
Gumamnya sambil menjulur lidah. Cepat Wan-ji memapah anak muda itu dan bertanya kuatir.
"Engkoh Tian, terluka tidak?"
"Ah, tidak apa2.........
"
Sahut pemuda itu sambil menggeleng.
Mendadak terdengar bentakan kedua kakek, seperti ledakan hawa, sekonyong2 angin keras terpancar ke segenap penjuru.
Padahal Tian Pek dan Wan-ji berdiri jauh di tepi panggung, tapi tidak urung mereka terdesak mundur dan akhirnya jatuh ke bawah.
Untungnya mereka berdiri rada jauh, lagi pula tenaga pukulan yang dilancarkan kedua orang tua itu bukan ditujukan ke tubuh mereka, maka kendatipun tergetar jatuh dari panggung batu mereka tidak terluka.
Begitu menyentuh tanah, sekali kaki menutul, kembali mereka meloncat ke atas panggung batu.
Tapi setelah tahu keadaan di atas panggung, mereka jadi terkejut.
Sin lu-tiat-tan Tan Cian-li dengan wajah pucat seperti mayat duduk di tempat semula, rambut, jenggot dan ujung bibirnya berlepotan darah, mata terpejam rapat, jelas menderita luka dalam yang cukup parah.
Keadaan kakek buntung itupun sama parahnya seperti Sin lu-tiat tan, kaki palsunya serta kedua tongkat penyanggah badannya patah semua, separoh badannya berduduk dengan mata terpejam muka kuning pucat dan ujung bibirnya berkelepotan darah, keadaannya juga cukup parah.
Tian Pek memburu ke depan, menghampiri Sin-lu-tiiat-tao, tanyanya dengan kuatir.
"Tang-locianpwe, parahkah Iukamur Sin lu tiat-tan tetap membungkarn dengan mata terpejam, selang sesaat kemudian dia merogoh sakunya dan mengambil keluar beberapa biji obat, obat itu ditelannya sekaligus. Kemudian baru ia membuka mata dan mengejek dengan tertawa rawan.
"Hei, makhluk tua, engkau masih hidup?"
"Hahaha, jangan kuatir!"
Sahut kakek aneh itu sambil membuka matanya.
"selama kau si penunggang keledai belum mampus, tak nanti aku mampus duluan!"
Segera iapun keluarkan sebungkus obat bubuk dan ditelannya. Menyaksikan ketangguhan lawannya, Tang Cianli menghela napas, ia berkata.
"Ai, makhluk tua! Kuakui kau ini lawan tangguh yang belum pernah kujumpai sepanjang hidupku."
"Hahaha, kauanggap aku paling tangguh, aku-pun anggap kau paling lihay, selama hidupku belum pernah ketemu tandingan, tak tersangka pada saat ajalku bisa kutemui orang setangguh kau. meskipun kita tak akan hidup lama lagi, tapi pertarungan ini cukup memuaskan hatiku. Hahaha, orang belajar silat mati karena ilmu silat, itulah namanya cocok, mati pada ternpatnya yang tepat "
"Eeh makhluk tua, sebenarnya siapakah engkau? Mengapa aku merasa asing atas dirimu, aku rnerasa belum pernah menjumpai kau di dunia persilatan? Siapakah namarnu? Dapatkah kau memberitahu agar kematian kita ini tidak sia2."
Kakek aneh itu menengadah dan tertawa terbahak2, tentu saja suaranya kalah nyaring jika dibandingkau sebelum bertempur tadi.
"Hahaha, percuma kau bernama Sin-lu (keledai sakti), masa kau tak pernah mendengar nama Sin kau (monyet sakti)?"
"Ah, jadi kau ini Sin kau Tiat Leng yang sepuluh tahun yang lalu bercokol di Le-kung-san?"
"Tepat, itulah diriku.
Meskipun kita belum pernah bertemu, namun nama kita Lam-kau-pak-lu (monyet dari selatan, keledai dari utara) sudah tersohor sejak puluhan tahun berselang, itu berarti nama kita sudah bersahabat sejak lama.
Hahaha!"
Tian Pek maupun Wan-jt merasa heran bercampur kaget, mereka tak menyangka kalau kakek aneh itu adalah "monyet sakti"
Yang sudah tersohor namanya puluhan tahun yang lalu.
Sekalipun sudah belasan tahun tak muncul di muka umum, namun kelihayan dan kesaktiannya seringkali dibicarakan orang, tidaklah heran apabila generasi muda masih kenal namanva.
Sementara itu Tang Cian-li telah tertawa pula dengan suara serak, kemudian berkata.
"Sejak puluhan tahun berselang aku sudah punya niat menemui diriniu, sayang pada waktu itu terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesatkan sehingga rencana itu terbengkalai, sungguh tak tersangka puluhan tahun kemudian kita masih dapat bertemu. Hahaha, sekarang harapan kita sudah terkabul, matipun merasa puas dan tak rnenyesal."
"Apanya yang puas?"
Teriak Sin kau dengan mata melotot.
"bisa bertemu dengan kau si keledai ini memang memuaskan, tapi tidak berarti tiada lagi hal lain yang menyesalkan."
Sin-lu Tang Cian-li melanggong, katanya.
"Usiaku sudah mendekati seratus tahun, kupercaya umurmu juga hampir satu abad, hidup sampai setua ini bagi kita orang persilatan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, apa lagi bisa mati di tangan sahabat tua yang sama2 kagum, memangnya kau menyesalkan urusan apalagi?"
Sin-kau menggeleng sedih.
"Ai, pikiranku tidak terbuka seperti dirimu, coba bayangkan, kalau kita mampus di sini, bukan saja jenazah kita tak ada yang mengurus, bahkan setelah mati, mayat kita mungkin akan dimakan atau dirusak binatang buas, apakah kematian semacam ini kematian yang aman?"
"Ya, hidupku salama ini hanya cari ketenangan, tidak beristeri tak beranak, juga tak pernah menerima murid, sudah kuputuskan beberapa karat tuIangku ini akan kuberi makan anjing. Akan tetapi kudengar kau si monyet tua ini pernah menerima dua orang murid, memangnya kedua muridmu itu tak dapat membereskan jenazahmu setelah kau mati?"
Air maka Sin-kau tiba2 berubah jadi gemas bercampur benci katanya.
"Jangan kau sebut lagi kedua murid durhaka itu, setiap kali teringat mereka, aku jadi benci dan ingin melalap mereka. Hmm, coba lihat ini ....
" Dia menuding kedua kakinya yang buntung, lalu meneruskan .
"Lantaran mereka, kakiku terkutung, selama pu!uhan tahun aku takbisa berkelana di dunia Kangouw, inilah hadiah yang diberikan kedua murid murtad itu!"
"Tapi mengapa kedua murid durhaka itu kau lepaskan begitu saja?"
Kata Sin-lu. Sin-kau melotot sekejap lawannya, katanya.
"Hm, omong lagi? Jika bukan gara2mu yang mengalangi diriku, niscaya kedua murid murtad itu sudah mampus di ujung tongkatku, mana mereka bisa kabur lagi?!"
"Haah, jadi kedua orang yang kau kejar sampai lari terbirit2 tiga hari yang lalu itu adalah murid2 yang mencelakai darimu?"
Seru Tang Cian-li dengan terperanjat.
"Lalu siapakah si cebol itu? Apakah dia juga muridmu?"
"Dua orang itulah murid murtad yang sedang kucari"
Sahut Sin-kau dengan sedih "sedangkan si cebol itu adalah ahliwaris mereka berdua.
Tentunya sekarang kau maklum bukan, betapa gusarnya hatiku ketika engkau mengalangi niatku membinasakan mereka, jadinya kita berdua yang saling labrak, mungkin waktu itu kau anggap aku ini orang jahat."
Dia menghela napas panjang, lalu menyambung pula.
"Waktu itu aku memang terlalu ceroboh, tanpa penjelasan lantas kulabrak kau, kemudian ketika kukenali kau sebagai kesempatan bertanding ini tidak kusia-siakan.
Tapi kedua murid durhaka itu lantas kabur, aku jadi gagal membunuh mereka, setelah kuamati mereka pasti akan semakin malang melintang, entah keonaran apalagi yang akan mereka lakukan di masa mendatang?"
Betapa menyesalnya Sin-lu-tiat-tan setelah mendengar penjelasan itu, dia menghela napas dan berkata.
"Ai, akupun tak mengira pertolonganku justeru malahan menyelamatkan kedua keparat itu dan kematian, agaknya mau berbuat kebaikan juga perlu berhati2, sekali bertindak gegabah akibatnya jadi salah besar."
Waktu itulah Tian Pek lantas maju ke depan, ia memberi hormat dan berkata.
"Lociaupwe berdua telah menderita luka yang cukup parah, kesalahpahaman sudah jelas, apa gunanya banyak berbicara lagi, lebih baik aturlah pernapasan dan sembuhkan dulu luka kalian,"
"Huh, memangnya kaukira kami berdua tua bangka ini masih dapat hidup?"
Kata Tang Cian-li dengan mata melotot.
Tian Pek melengak mendengar jawaban tersebut.
Tapi Sin-kau lantas berkata dengan menyengir.
"Tampaknya hatitnu tidak jelek, anak muda, tapi tenaga murni kami telah terpakai meleblhi batas, isi perut kami sudah terluka parah dan jiwa kami cuma bisa dipertahankan beberapa hari saja, kalau sekarang tidak ber-cakap2 sepuasnya, memangnya kami mesti menunggu masuk neraka dahulu?"
Kembali Tian Pek melengak, dengan terharu ia berkata.
"Apakah luka Locianpwe berdua tak mungkin bisa diobati lagi? Sekalipun aku Tian Pek masih muda dan belum berpengalaman, tapi aku bersedia mencarikan obat buat kalian, bila Locianpwe tahu di mana ada obat mujarab atau tabib sakti, katakanlah kepadaku dan Wanpwe akan segera berangkat untuk mengusahakannya."
"Benar!"
Sambung Wan-ji dari samping.
"di rurnahku banyak terdapat bahan obat2an yang amat mujarab, ada Jinsom seribu tahun, ada Lengci sakti dan ber-macam2 obat lainnya, asal aku pulang ke rumah dan minta kepada ayahku, niscaya obat mujarab bisa kudapatkan, selain itu, To-ki-sin ih (tabib sakti) paman Liang juga bnrada di rumahku.........
"
"Hai, anak perempuan, siapakah ayahmu?"
Sela Sin-kau tiba2. Sebelum Wan-ji menjawab, Tang Cian-li telah menimbrung dari samping.
"Siapa lagi kalau bukan Ti-seng-jiu Buyung Ham?"
"Engkau maksudkan Losarn dari Kanglamjit-hiap?"
Sinkau menegas.
"Kalau bukan......... memangnya ada orang lain?"
Kata Sin-lu.
"O, jadi kau kenal ayahku?"
Seru Wan ji dengan heran.
"Hahaha, ayahmu adalah tokoh silat yang tersohor, salah seorang di antara empat keluarga persilatan terbesar di dunia persilatan dewasa ini, jangankan aku, hampir semua umat persilatan yang sering mengadakan perjalanan pasti kenal namanya."
Ajar Sin-lu dengan tertawa.
"O, jadi Buyung Ham sudah menjadi salah satu di antara empat keluarga persilatan yang terbesar? Puluhan tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw, tak nyana banyak generasi muda telah menjagoi dunia persilatan.
Dan siapa pula ketiga keluarga besar yang lain?"
"Hei, monyet tua, pengetahuanmu ternyata sangat dangkal, jaman ini bukan saja generasi muda banyak yang menonjol, malahan putera merekapun terhitung jago silat kenamaan di dunia persilatan.
Orang persilatan menyebut mereka sebagai Bu-Iimsu-toa-kongcu, yaitu Ao lok Kongcu, Leng-hong Kongcu, Toan hong Kongcu serta Siang-lin Kongcu.
Hahaha, sayang kau si monyet tua sudah hampir pulang ke alam baka hingga tak sempat lagi bertemu dengan jago2 muda itu....."
Monyet Sakti Tint Lang melotot, serunya tak sabar.
"He, keledai busuk, jangan omong.tak keruan, bagaimana ceritanya dengan keempat keluarga besar? Belum jelas keterangannya sudah melantur pula kepada empat Kongcu besar. Lekas kau ceritakan sejelasnya agar mampuspun aku bisa tenang di alam baka."
"Dasar picik pengetahuanmu, tanya melulu,"
Sahut Tang Clan li sambii tertawa.
"pada hakikatnya ernpat keluarga besar dan empat Kongcu adalah satu cerita yang sama. Leng-hong Kougcu adalah kakak nona yang ada di depanmu ini atau putera Ti-seng-jiu Buyung Ham, An-lok Kongcu adalah putera Kian-kun-ciang In Tiong-liong, Toan-hong Kongcu adalah anak Kun-goan-ci Sugong Cing sedangkan Siang-lin Kongcu adalah anak Cing-hu-sin......... Kim Kiu......... Mengenai keernpat keluarga besar dunia persilatan, mereka adalah bapaknya keempat Kongcu tadi, selain keempat Kongcu ini masih ada seorang lagi yakni Pak-ong-pian (cam buk raja bengis) Hoan Hui yang bercokol di kota Tin kang, sekalipun kekuatannya tidak sebesar keempat saudara angkatnya, namun dia terhitung juga seorang jago yang berkekuasaan besar. Nah, monyet tua, sekarang tentunya kau tahu dunia persilatan jaman ini milik siapa?"
Sin-kau Tiat Lang manggut2, katanya.
"Berbicara soal kelima orang itu, aku jadi teringat pada Kanglam-jit-hiap yang namanya tersohor di masa lalu, bila kelima orang itu telah menjadi jagoam yang berkuasa kenapa tidak kau ungkap juga Pek-lek-kiam (pedang geledek) Tian In-thian yang menjadi pemimpinnya Kanglam-jit-hiap? Masakah Tian In-thian yang hebat malahan kalah dibandingkan saudata2 nya sehingga terpaksa mesti mengasingkan diri?" Mata Tian Pek seketika melotot demi mendengar kedua orang itu menyinggung ayahnya, perubahan air mukanya sukar menutupi guncangan perasaannya. Dengan penuh arti Tang Ciang-li melirik sekejap ke arah pemuda itu, kemudian menjawab.
"Dan In thian sudah tewas dikerubut oleh berpuluh tokoh persilatan"
Sampai di sini Tian Pek tak tahan lagi, dengan air mata bercucuran ia menubruk kedepan Sinlu-tiat-tan, sambil menangis ia memohon.
"Locianpwe, sudilah kiranya engkau memberitahukan nama pembunuh ayahku, agar Wan pwe dapat membalaskan dendam kematian ayahku ...........
"
Seketika Sin-kau melotot dan berteriak.
"Jadi Tian In-thian benar telah mati?"
"Masa kubohongi kau? Bukankah sekarang ada keturunan Tian In-thian yang bisa menjadi saksi,"
Kata Sinlu.
Dengan sorot mata murka, Sin-kau melototi Tian Pek sambil angkat telapak tangan kanannya, tapi ketika ia menghimpun tenaga dalamnya, ternyata kekuatan yang dimilikinya telah buyar, ketika itu baru teringat dirinya terluka parah.
Tanpa terasa ia menghela napas, dia turunkan kembali telapak tangannya dengan lemas, lalu katanya.
"Ah, tak kusangka Tian In-thian sudah mati, itu berarti persoalannya denganku tak dapat diperhitungkan lagi ...."
Tian Pek tidak memperhatikan perubahan sikap Sin kau itu, dia tetap berlutut di hadapan Tang Cian-li dan memohon agar diberitahu mama pembunuh ayahnya ...........
Baru sekarang Wan-ji tahu bahwa Tian Pek adalah keturunan Pek lek-kiam Tian Ih-thian, ia terkejut dan bergirang.
Ia terkejut karena engkoh Thian yang rudin dan telantar ini adalah keturunan dari seorang pendekar besar.
Iapun bergirang karena ayahnya dan ayah Tian Pek sama2 anggota Kanglam jit-hiap, itu berarti ada hubungan kekeluargaan yang erat antara mereka.
Sebab itulah cepat dihiburnya pemuda itu dengan kata2 manis dan berusaha membangunkannya.
Sin-lu-tiat-tan melengak ketika melihat sikap benci Sinkau, cepat ia bangunkan Tian Pek.
lalu ia berkata kapada Sin-kau.
'Eh.
monyet tua, kau pernah bersengketa dengan Tian In-thian?"
Bagaimana akhir daripada kedua kakek sakti yang sudah sarna2 payah itu ? Siapakah sebenarnya Sin-kau Tiat Leng, si Monyet Sakti yang buntung ini dan apa hubungannya dengan misteri kematian ayah Tian Pek ?
Jilid 12 Sin-kau Tiat Leng menghela napas panjang, bibirnya bergetar seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi tak tahu darimana ia mesti mulai berbicara, untuk sesaat jago tua itu jadi gelagapan sendiri. Tang Cian-li segera berkata lagi.
"He, monyet tua, bagaimanapun Tian In-thian sudah mati, sedangkan kita juga tak akan hidup lama lagi di dunia ini, masa ada sesuatu yang hendak kaurahasiakan?" Setelah didesak berulang kali, akhirnya Sin-kau menghela napas dan berkata.
"Ai, kalau diceritakan, mungkin kaupun tidak percaya, selama hidupku kuanggap ilmu silatku paling top dan tiada tandingannya di dunia ini, tak tersangka aku menderita kekalahan satu jurus di tangan Tian In-thian!"
"Aku psrcaya penuh pada perkataanmu, sebab bila Tian In thian masih hidup, tentu akupun bukan tandingannya,"
Kata Sin-lui.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setan tua penunggang keledai. jadi kau anggap ilmu silatmu jauh lebih lihay dibandingkan ilmu silatku?"
Kontan Sin-kau mencaci maki. Tang Cian-li tidak menyangka rekannya sedemikian besar ambisinya ingin menang, ia tersenyum getir dan berkata.
"Bila ilmu silatku lebih tinggi daripadamu, tak nanti hasil pertarungan ini berakhir dengan sama2 terluka. Sudah hampir mampus saja, kenapa mesti ribut urusan yang tak ada gunanya. Hayo, lanjutkan saja ceritamu!"
Setelah rasa marahnya agak mereda, Sin-kau melanjutkan kisahnya.
"Beberapa puluh tahun yang lalu, Tian In-thian berkunjung ke tempat pertapaanku di Le-kun-san, dia bilang hendak meminjam sebentar mutiara sakti penolak air milikku, meskipun permintaan itu di ajukan secara halus dan sopan, akan tetapi mutiara penolak air itu adalah benda mestikaku, memangnva benda tersebut boleh dipinjam orang seenaknya? Selain itu, ia tidak mengemukakan alasannya, hanya menjamin mutiara tersebut pasti akan dikembalikan, bahkan ia menjamin dengan nama baik Kanglam jit-hiap! "Ketika kuketahui bahwa Tian In-thian tak lebih cuma seorang pendekar muda yang baru menonjol di dunia pcrsilatan, aku lebih2 tak sudi meminjamkan benda mestika itu kepadanya.
Pikirku, jika mutiara penolak air kupinjamkan, maka di dunia persilatan pasti akan tersiar berita se-olah2 aku keder pada nama kebesarm Kanglam~jit hiap.
Karena itulah kuajukan syarat dengan adu kepandaian, bila dia berhasil mengalahkan aku, maka mutiara penolak air itu akan didapatnya, sebaliknya bila dia kalah, maka jangan harap bisa meninggalkan Le-kun-san dengan hidup.
"
"Akhirnya kau si monyet tua ini dibikin keok oleh Tian In-thian, bukan?"
Sela Tang Cian-li tiba2.
"Setan tua, dengarkan dulu!"
Kata Sin-kau dengan mendongkol.
"setelah syaratku disetujui, maka selama tigahari-tiga-malam kami bertarung sengit di depan gua Kiu-ci-tong Le-kun-san, keadaannya persis seperti apa yang kits alami sekarang, cuma ia tidak terluka waktu itu. Ketika pertarungan sudah berlangsung sampai puncaknya, pedang hijaunya berhasil meninggalkan goresan di depan dadaku. tapi hanya merobek satu jalur panjang pada pakaianku dan tidak sampai melukai kulit dagingku, kutahu dia sengaja memberi kelonggaran padaku, akan tetapi hal ini bagiku jauh lebih tersiksa daripada ia membinasakan aku. segera aku berteriak. 'Tian In-thian, mengapa tidak sekalian kau bunuh aku. Cepat binasakan aku!'"
"Akhirnya, Tian In-thian tidak membunuh kau?"
Kembali Tang Ciang-li mcnyela.
"Omong kosong!"
Jerit Sin kau dengun penasaran.
"bila dia membunuh diriku waktu itu, hari ini tentu aku tak akan bertarungan denganmu hingga sama2 terluka begini, justeru karena ia tidak membunuhku, maka aku terlebih menderita, seperti yang dijanjikan, mutiara penolak air itu kuserahkan kepadanya, kutantang pula untuk bertempur lagi tiga tahun mendatang di tempat yang sama."
Kembali "monyet sakti"
Ini berhenti sebentar, kemudian melanjutnya.
"Setelah dia pergi, aku lantas menutup diri untuk meyakinkan beberapa macam ilmu sakti. Ai, siapa tahu ketika latihanku mencapai tingkat yang paling kritis, dua orang muridku telah membawa lari kitab pusaka 'Sinkang-pit-kip', hal mana membuat aku mengalami kelumpuhan total, setelah kakiku kukutungi, kedua mund murtad itu kabur membawa kitab pusaka, malahan sebelum pergi mereka menyumbat guaku dengan harapan agar aku mati kelaparan di dalam gua "
Sebelum Sin-kau menyelesaikan kisahnya, kembali Tang Cian li menyela.
"Sejak kepergian Pek lek-kiam Tian In-thian, iapun tak pernah muncul kembali untuk mengembalikan mutiaramu, begitu bukan?"
"Tentu saja Tian In-thian tak pernah muncul kembali!"
Sahut Sin-kau sambil menggigit bibir dan menahan emosi.
"sejak gagal berlatih ilmu dan kedua kakiku kukutungi sendiri, dengan susah payah aku mempertahankan hidupku dalam gua itu, untung ilmu silatku tidak punah, setelah lukaku sembuh, gua itu kudobrak dan muncul kembali ke dunia persilatan.
Tujuanku yang terutama adalah mencari kedua mund murtad itu dan membinasakan mereka.
Kedua akan kucari Tian In-thian untuk membalas dendam atas kekalahan yang kuderita tempo dulu.
Ai, siapa tahu gara2 kepergok kau si tua bangka, bnkan saja kugagal membinasakan kedua murid durhaka itu, maksudku membalas dendam juga buyar"
"Sungguh aku menyesal karena telah mengalangi niatmu membinasakan kedua muridmu itu, tapi kejadion sudah telanjur begini, menyesalpun tak ada gunanya.
Mengenai Tian In-thian tidak mengembalikan mutiaramu sesuai janjinya, hal ini bukan lantaran dia ingkar janji, tapi maksud tujuannya pinjam mutiara tersebut adalah untuk mencari satu partai harta karun di dasar telaga Tong-ting-ou, di sana Tian In-thian telah mati dikerubut belasan orang, kalau orangnya sudah mati, dengan sendirinya mutiara itu tak dapat dikembalikan kepadamu? Kukira setelah Tian In-thian mati, urusanmu dengan dia tentu juga impas, adapun urusan kita berdua, jika kau monyet tua ini tetap tak puas, mari kita lanjutkan kembali pertarungan ini!"
Sin-kau melengak.
"Tenaga murni kita sudah buyar, isi perut kita terluka parah, keadaan kita sekarang tiada ubahnya seperti orang biasa, apanya yang bisa ditandingkan lagi?"
"Locianpwe berdua tak usah kuatir"
Sela Wan-ji.
"asal kupulang ke rumah dan mengambil obat mujarab milik ayahku, niscaya jiwa kalian dapat di-selamatkan!"
Wan-ji adalah gadis yang polos, kendatipun ia tak tahu kehadiran kedua kakek ini akan menguntungkan atau merugikan dirinya dan Tian Pek tapi ia merasa tak tega membiarkan kedua orang itu tersiksa.
Habis berkata, ia lantas menarik tang-an Tian Pek untuk diajak pulang mengambil obat-Sin-kau adalah seorang tokoh yang berwatak aneh, baginya bila utang budi harus dibalas, ada dendam mesti di tuntut, maka ketika dilihatnya Wan-ji yang cantik berulang kali mengusulkan akan mengambil obat, ia jadi sangat terharu.
"Anak perempuan yang baik hati, kemuliaan-mu sungguh mengagumkan hatiku!"
Katanya kemudian.
"Dahulu kuanggap di dunia ini tiada orang yang baik, tak tersangka hari ini kujumpai seorang yang benar2 berjiwa mulia seperti dirimu, tampaknya pandanganku harus berubah. ..."
Tang Cian-l tertawa, dia ikut beikata.
"Nona, tak perlu repot kau, sekalipun ayahmu memiliki obat mujarab juga tak mampu menandingi kemanjuran Si-mia-san (puyer penyambung nyawa) yang diminum si monyet tua tadi serta Toa-hoan-wan milikku, jika obat maha manjur yang telah kami minum ini tak dapat menyelamatkan jiwa kami, apa lagi obat lainnya?"
Wan-ji kurang percaya, ia berpaling ke arah Sin-kau. dilihatnya "monyet sakti"
Itupun mengangguk membenarkan, ia menjadi sedih katanya.
"Kalau begitu, jadi jiwa kalian tak dapat ditolong lagi?"
"Nona tak perlu berduka,"
Hibur Tang Cian-li.
"mati-hidup manusia telah ditentukan oleh takdir, apalagi kami sudah hidup selama hampir seabad, hidup kami sudah lebih dari cukup, kami sendiri tidak sedih, kenapa kau malahan murung sendiri?"
Sin-kau seperti mau mengatakan suatu, tapi Tang Cian-li telah melanjutkan ucapannya.
"He, aku ada usul yang bagus, dengan caraku ini bukan saja ada orang yang akan mengurusi mayat kita, bahkan kitapun bisa melanjutkan kembali pertarungan kita yang belum selesai ini."
"Setan tua penunggang keledai, sekalipun tidak kaukatakan juga kutahu apa rencanamu itu!"
Seru Sin-kau dengan memutar biji matanya.
"bukankah kau hendak mengusulkan agar kita masing2 menerima seorang murid untuk mewarisi ilmu silat kita, kemudian suruh mereka pula yang mengurusi jenezah kita serta melanjutkan pertarungan kita yang belum selesai ini? Huh, suruh mereka mengurus jenazah kita memang bisa saja, tapi kalau suruh mereka saling beradu silat, jelas sukar terlaksana." "Hahaha, monyet tua, kau memang cerdik, orang bilang monyet adalah binatang yang pintar, setelah kubuktikan sekarang baru kuakui bahwa uoapan itu memang benar. Cuma sayang pintarnya monyet tua macam kau agak keblinger, usulku cuma sebagian saja yang bisa kautebak, sedang sebagian yang lain tetap ketinggalan!"
"Hm, coba terangkan,"
Jengek Sin-kau.
"Ditinjau dari sikap mereka yang begitu mesra, tentu saja tak mungkin kita menyuruh mereka saling bertarung mati2an, tapi kita kan dapat mendidik mereka dengan berbagai ilmu kemudian suruh mereka mendemontrasikan ilmu itu di hadapan kita? Siapa lebih cekatan dan lebih banyak menguasai ilmunya, dia dianggap menang.
Coba, bagus tidak usulku ini?"
"Kalau begitu, jadi kaupilih yang laki2?"
Tanya Sin-kau.
"Tentu saja, Tian In-thian adalah musuh besarmu, tentu saja kau tak akan sudi memberi pelajaran ilmu silat kepada puteranya!"
Lama sekali Sin kau mengamati wajah Tian Pek dan Wan-ji tanpa berkedip, setelah itu baru berseru.
"Setan tua, kau curang, tentu saja kau bakal menang, jelas tenaga dalam yang dimiliki anak laki2 ini jauh lebih kuat daripada yang perempuan!"
"Tapi dalam ilmu meringankan tubuh yang perempuan kan lebih hebat daripada yang laki2? Kedua pihak memiliki keistimewaannya masing2, itu berarti kedudukan kita seri, siapapun tidak menarik keuetungan dari yang lain."
Sin kau kembali termenung sebentar, akhirnya dia manggut.
"Baik, aku setuju dengan usulmu itu, tapi, berapa lama lagi kita bisa hidup? Nah, setan tua penunggang keledai, kita harus tetapkan batas waktunya!' "Kurasa takkan lebih seratus hari lagi!"
Diam2 Sin kau menghitung, kemudian ia berseru tegas.
"Bagus, akupun kira2 cuma tahan seratus hari lagi, kalau begitu kita tetapkan batas waktu selama tiga bulan, akan kusaksikan ilmu silat dari utara atau dari selatan yang lebih unggul?!"
"Kalau setuju, hayo kita bertepuk tangan tiga kali!"
Tang Cian-li meronta bangun, dengan sempoyongan ia menghampiri Sin-kau dan "Plok! Plok!"
Kedua kakek itu saling bertepuk tangan sebanyak tiga kali.
Tepukan mereka sudah tak bertenaga, nyata mereka sudah tiada ubahnya seperti orang biasa.
Mendengar hubungan mereka dikatakan mesra, air muka Tian Pek dan Wan-ji menjadi merah jengah.
tetapi ketika dilihatnya kedua kakek itu sama2 tak mau mengalah kendatipun dekat ajalnya, seketika merekapun melengak.
Setelah tiga kali tepukan dilakuka dan kedua kakek itu berpaling memanggil, Tian Pek dan Wan-ji baru saling pandang, kemudian menhampiri kedua kakek itu.
"Anak muda, hayo ikut padaku!"
Seru Tang Cian-li kepada Tian Pek.
Habis berkata, dengan sempoyongan ia menuju ke tepi panggung batu itu, lantaran tenaga dalamnya sudah buyar dan isi perutnya terluka, ia tak mampu lagi melompat turun panggung yang tinggi itu.
Ia kelabakan sendiri mengitari panggung batu itu, dia menghela napas, lalu meminta.
"Anak muda, harap kaugendong aku turun dari panggung batu ini."
Baru sekarang Tian Pek yakin jago tua itu tidak ber-pura2, Sin-lui tiat tan yang tersohor betul2 telah menjadi manusia biasa yang cacat dan seluruh ilmu silatnya punah, pemuda ini membatin dengan cara bagaimana ilmu sakti kakek ini akan diajarkan kepadanya? Walaupun ragu namun Tian Pek tidak membantah perintah kakek itu, dia segera menggendong Tang Cian-li dan membawanya loncat turun dari panggung batu, menurut petunjuk kakek itu, akhirnya mereka menyusup masuk ke dalam sebuah gua rahasia di balik lereng sana.
Bagaimanapun juga Tian Pek ingin tahu nama2 pembunuh ayahnya, selain itu iapun ingin memperdalam ilmu silatnya, maka meski ragu ia turuti segala kehendak si kakek.
Menanti bayangan kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan, Sin- kau yang cacat baru menegur.
"Anak perempuan, bagaimaaa caranya kita tinggalkan tempat ini?"
Kaki palsu serta tongkat penyangganya telab patah, tentu saja "monyet sakti"
Itu malu untuk minta digendong seorang gadis, maka dia ajukan partanyaan tersebut.
Tak terduga air muka Wan-ji hanya berubah merab sedikit, tapi dengan tegas dia segera menjawab.
"Tampaknya kau tak sanggup berjalan sendiri, biarlah kugendong kau pergi dari sini! Tapi kemana kita akan pergi?"
Cara bicara Wan-ji tidak seramah Tian Pek, tapi justeru sikap semacam inilah yang cocok dengan watak Sin kau. 'Di sekitar sini banyak sekali gua rahasia, bolehlah kita mencari sebuah gua,"
Katanya dengan tertawa.
"tapi jangan mencari gua yang terlalu jauh letaknya. sebab tiga bulan kemudian dengan mata kepala sendiri ingin kusaksikan kau mengalahkan ahliwaris si tua bangka penunggang keledai itu...." "Ah. ogah!"
Seru Wan-ji cepat.
"Gua di sekitar sini gelap lagi kotor, mana kubetah tinggal di gua begini selama tiga bulan?"
"Masa kau tidak ingin belajar ilmu sakti?"
Tanya Sin-kau dengan melengak.
"Kan boleh juga dilakukan di atas panggung batu ini!"
Kafa Wan-ji.
"Wah, tidak bisa, belajar silat harus dirahasiakan, kesatu harus menghindarkan diintip orang, kedua bisa juga akan terganggu oleh sesuatu.
Bila kuwariskan beberapa macam ilmu silat yang maha sakti yang aku sendiri tidak berhasil melatihnya, tanggung ahliwaris keledai tua itu pasti bukan tandinganmu."
Habis berkata dia bersenyum misterius pada si nona. Sudah tentu Wan ji tak percaya, katanya.
"Kalau kau sendiri tak bisa, cara bagaimana akan kau ajarkau padaku? Apalagi ilmu silatmu sudah punah, kau pun terluka sekarang"
"Sebetulnya kau ingin belajar atau tidak.. .?"
Teriak Sinkau dengan melotot.
"Tidak"
Jawab Wan-ji terns putar badan dan melangkah pergi.
"Heh he..jangan pergi dulu!"
Seru Sin-kau, ia memohon dengan sangat.
"Kau menyaksikan sendiri aku telah mengikat janji dengan keledai tua itu, kami sudah bertepuk tangan tiga kali masa kau hendak pergi begitu saja? "
Tidak tega Wan-ji menolak permohonan orang yang ber sungguh2 itu, ia kembali ke sisi Sin-kau seraya berkata.
"Kalau ingin kuturut kemauanmu, maka kau harus menurut kehendakku, kita berlatih di panggung batu ini .
" Sin-kau tampak serba susah, ia termenung sebentar, lalu menjawab.
"Anak manis, kautahu rahasia ilmu silat sakti tak boleh didengar pihak ke tiga, lagi pantang diganggu kejadian yang tak terduga, hilangnya kedua kakiku ini merupakan contoh yang nyata, jangan kau kuatir aku akan berbuat jahat padamu, tujuanku hanya mcwariskan ilmu silatku kepadamu agar dapet mengalahkan ahliwaris si keledai tua itu .."
Sesudah berhenti sebentar, ia membujuk lebih jauh.
"Nah turutluh perkataanku, bawalah aku ke sebuah gua rahasia, di sana akan kuwariskan ilmu silat yang maha sakti kepadamu, selain waktu berlatih, kau boleh bebas pergi ke manapun, setuju?"
"Ai, sebenarnya aku tak berminat belajar silat, akan tetapi akupun tak tega menolak permintaanmu, tampaknya aku terpaksa mesti menuruti kehendak hatimu ini!"
Jawab Wan-ji. Ia lantas berjongkok di depan Sin-kau dan siap menggendongnya, girang sekali "monyet sakti"
Itu, cepat ia merangkul leher gadis itu dan mendekam di atas punggungnya.
Begitulah, dengan dipanggul oleh Wan-ji berangkatlah mereka menuruni panggung batu untuk mencari tempat yang cocok buat belajar silst.
Akan tetapi meskipun sudah mencari beberapa buah gua, ternyata tempat2 itu tidak cocok dengan kehendak hati Sinkau.
Akhirnya sampailah mereka di sebuah gua di sisi sepotong batu padas raksasa, dengan agak mendongkol Wan-ji mengomel.
'Kali ini tak boleh di-tolak lagi, jelek atau bagus kita akan nenetap di gua ini, kalau kau tak senang, lebih baik mencari orang lain saja, aku ogah nienggendong kau terus menerus .."
Sampai akhir ucapannya itu, Wan-ji tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa sendiri dan Sin-kau diturunkan di mulut gua.
Dengan sorot matanya yang tajam seperti mata monyet, Sin-kau memperhatikan sekejap sekeliling gua tersebut, lalu dengan dahi berkerut gerutunya.
"Wah, gua ini lebih jelek daripada kedua gua yang kita periksa tadi, coba, angin keras ini, bisa jadi gua ini bukan gua yang buntu . ."
"Ah, peduli amat, pokoknya aku tak mau cari gua lain lagi, jika kau takut angin, akan kubawa kau ke dalam sana dan pasti tak ada anginnya!"
Lalu Wan-ji berjongkok lagi siap menggendong orang tua itu.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ai. tak tersangka aku si manyet sakti Tiat Leng yang pernah malang melintang tiada tandingan di dunia ini, sebelum ajalku masih harus di-buat jengkel oleh anak perempuan macam ini!"
Demikiau Sin-kau menggerutu. Serentak Wan-ji berbangkit lagi dan berseru dengan marah.
"Kalau kau tak senang dengan aku, biarlab aku pergi dari sini dan batal semuanya! Hm, jangan kaukira aku ingin belajar ilmu silatmu supaya kau tidak mendongkol melulu, lebih baik kita berpisah menempuh jalannya masing2." Habis berkata ia berlagak hendak melangkah pergi. Cepat Sin-kau berseru.
"Eeh, anak perempuan, mau ke mana kau? Jangan marah dulu, hayo kemari, aku turut semua kemauanmu!"
"Kalau mau nurut, maka selanjutnya tidak boleh lagi memanggil anak perempuan segala, namaku Tian Wan ji, bila perlu panggil saja namaku,"
Demikian kata si nona. "Baik! Aku turut perintah!"
Sin-kau manggut2.
"Anggaplah selama hidupku baru pertama kali ini jeri kepada orang lain .
"
"Keliru, bukan untuk pertama kalinya, paling sedikit di dunia ini sudah ada dua orang yang kau takuti, kecuali diriku, ada pula Tian In-thian, si pedang geledek dari Kanglam-jit-hiap yang pernah mengalahkan dirimu."
Kontan Sin-kau mendelik dengan mendongkol.
"Tidak! selama hidup tak pernah kutakut pada orang kedua, dengan kepandaianku sekarang, aku mampu mengalahkan Tian In thian, apalagi kalau aku diberi waktu untuk meyakinkan pula beberapa macam ilmu saktiku, huh, jangankan melawan, mungkin satu jurus saja Tian In-thian tak tahan"
"Ckk ...cckk, jangan ngibul!"
Ejek Wan-ji "Masa engkau benar2 sehebat itu? Padahal sekarang seorang kakek saja tak mampu kaukalahkan."
Ucapan ini kontan membungkamkan Sin-kau, tapi sekilas terbayang rasa bencinya terhadap Sin-lu tiat-tan bertambah mendalam.
Rupanya Wan-ji sendiripun merasa ucapannya kelewat batas dan mungkin menyinggung perasaan orang.
ia jadi tak tega.
Sambil berjongkok dihadapannya dia coba menghibur.
"Sudahlah, urusan yang sudah lewat biarkan lewat, mari kita hadapi saja masalah yang akan datang, sekarang mari kugendong kau mencari tempat yang tak ada anginnya!"
Sin-kau Tiat Leng tidak bicara lagi, ia menggelendot di punggung Wan-ji dan membiarkan gadis itu menggendongnya ke dalam gua.
Gua itu aneh sekali bentuknya, meskipun mulutnya tidak begitu besar, namun lorong dibalik gua itu panjangnya bukan kepalang, sudah puluhan tombak Wan-ji menembusi gua itu, bukan saja belum mencapai ujungnya, bahkan semakin ke dalam semakin banyak jalan bercabang yang ditemui.
Dari tiap mulut gua yang ditemuinya terasalah embusan angin yang menderu kencang.
Diam2 mereka merasa gelagat tidak enak, tapi keduanya tetap membungkam.
Tampaknya Sin-kau sudah cukup kenal tabiat Wan-ji, meskipun cantik wajahnya dan baik hatinya, namun berwatak lebih keras dari pada batu karang.
Iapun sadar apabila banyak cincong, bisa jadi si nona akan marah dan mungkin dia akan di tinggalkan dengan begitu saja di gua ini.
Padahal kakinya buntung, tongkat penyanggah badannya sudah patah, sejengkalpun ia tak mampu melangkah, bila ditinggalkan dengan begitu saja kan bisa berabe? Oleb sebab itulah, meskipun ia merasa gelagat kurang baik, terpaksa ia membungkam dan membiarkan Wan-ji menggendongnya ke depan.
Wan ji sendiripun dapat merasakan pula bahwa gua itu tidak cocok digunakan untuk berlatih silat, tapi berhubung telanjur mengatakan akan tetap berada di gua ini, tentu saja ia malu untuk menjilat kembali kata2nya.
Ginkang Wan-ji cukup hebat, apalagi tubuhnya ramping dan kecil serta mendapatkan didikan Nia-gong-hoan-ing ( mengrjar udara bayangan setan) dari Buyung Ham, dengan sendirinya gesit dan lincahnya gerak-gerik Wan-ji.
Maka ia terus menerobos masuk ke dalam gua, kendatipun suasana remang2 dan permukaan tanah tinggi- rendah tak menentu, namun ia mampu bergerak maju dengan kecepatan tinggi.
Setanakan nasi kemudian, mereka sudah beberapa li memasuki gua, sekalipun suasana gelap gulita dan jalannya ber-liku2 tidak rata, namun gadis itu tahu bahwa perjalanan yang di tempuh sudah amat jauh, sementara ujung gua belum nampak juga.
Timbul pikiran kedua orang untuk mengundurkan diri dari tempat itu, sekalipun niat tersebut tidak sampai diutarakan, akan tetapi langkah Wan-ji sudah mulai lambat daripada tadi.
Suatu ketika, tiba2 gadis itu menjerit kaget.
"Wan-ji, ada apa?"
Cepat Sin-kau menegur, sejak tenaga dalamnya punah, ketajaman mata dan telinga jadi mundur juga.
"Coba lihat, di sini ada mayat manusia."
Ketika mereka menghampiri barulah Sin-kau dapat melihat sesosok mayat yang bermandikan darah berdiri bersandar dinding gua.
Mula2 mereka mengira mayat tersebut berdiri bersandar dinding, akan tetapi setelah diamati dengan saksama.
tampaklah pada ulu hati mayat tersebut tertancap sebatang senjata rahasia yang berbentuk seperti piau tapi tidak mirip Piau, seperti cundrik tapi juga bukan cundrik, yang pasti sekitar senjata itu mengkilap ke-biru2an.
Bagi jago silat yang berpengalaman, sekilas pandang saja segera akan tahu bahwa senjata tersebut pasti beracun, panjang senjata itu kira2 belasan senti dan menancap dari hagian dada hingga tembus ke punggung, jadi mayat itu bukan mati bersandar di dinding, justeru mayatnya tak sampai roboh lantaran badannya terpantek di dinding.
Wan-ji tertegun, akhirnya ia berkata.
"Rupanya orang ini mati karena terserang oleh senjata rahasia beracun, karena terpantek di dinding maka tu buhnya tak roboh. Darah yang menodai badannya tampak masih baru, mungkin mati belum lama. Apakah engkau kenal senjata rahasia yang digunakan si pembunuh ini?"
Sin kau mengamati sekejap benda itu, kemudian menggeleng.
"Sudah puluhan tahun aku berkelana di dunia persilntan, tapi belum pernah ku jumpai senjata rahasia macam ini, yang jelas tenaga serangan orang ini kuat sekali dan lagi senjata rahasia ini beracun keji!"
"Locianpwe kenal tidak dengan korban ini?"
Tanya Wanji pula.
Sin-kau coba mengamati mayat itu, ia lihat orang itu mengenakan baju sutera halus berwarna hijau, memakai ikat kepala dengan sebiji mutiara di teagahnya, pakaian orang ini mewah, tubuhnya kekar berotot, alisnya tebal dan mukanya berewok, sekilas pandang dapat diketahui bahwa dia adalah seorang jago silat.
Walaupun sudab mati, mukanya masih kelihatan seram dan gagah perkasa.
Karena tidak kenal orang itu, Sin-kau menggeleng.
"Aku jarang sekali bergerak di daerah Tionggoan, apalagi puluhan tahun terakhir ini tak pernah kuinjak dunia persilatan, entahlah siapa orang ini?"
Milihat kematian laki2 yang mengerikan dengan darah berlumuran di dadanya, Wan-ji merasa gua ini penuh bawa pembunuhan dan menyeramkan. Namun lahirnya ia tetap berkata dengan angkuh.
"Locianpwe, aku yakin dalam gua ini ada hal yang aneh, siapa tahu kalau pembunuhnya masih bersembunyi di sini, bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan ke dalam sana?' "Terserah pada nona, toh bagaimanapun juga bukan kehendakku masuk ke sini,"
Sahut Sin-kau sambil tertawa.
Wan-ji mendongkol, ia tidak menggubris kakek itu lagi, dengan gemas langkahnya dipercepat.
Tak jauh dua sosok mayat kembali mereka temui, dandanan maupun potongan badan kedua mayat ini tidak berbeda dengan korban pertama, cuma punggung mereka tertancap senjata rahasia beracun dan roboh tertelungkup, karena itulah mukanya tidak kelihatan.
Darah meleleh dari mulut dan berlepotan di tanah, lkat kepala seorang terlepas jauh di sana dan kelihatan rambutnya yang kusut masai.
Wan-ji bergidik menyaksikan adegan seram itu, tapi ia tak mau menyerah, apalagi hatinya lagi mendongkol, dengan cepat ia menerobos pula lebih jauh ke dalam gua.
Sin-kau tetap membungkam, diam2 iapun bergidik, ia pikir sekarang ilmu silatnya telah punah, sedangkan gadis itu kurang berpengalaman, bila ada sergapan gelap niscaya mereka tak mampu melawan dan akan mengalami nisib seperti mayat2 tadi.
Tidak jauh sampailah mereka di depan sebuah dinding batu, embusan angin di situ agak lemah, dengan sangat berhati2 Wan-ji menghampiri dinding batu itu.
Ada sebuah pintu batu di samping dinding itu, agaknya sebuah ruangan, Wan-ji trus melangkah masuk.
"Awas! ....!"
Teriak Sin-kau.
Wan-ji terperanjat dan berhenti, dari kegelapan mendadak meluncur keluar sebuah tangan hitam terus mencengkeram ke muka si nona.
Saking terkejut Wan-ji menjerit kaget dan lompat mundur.
berbareng ia angkat tangannya hendak balas menyerang.
Sin-kau telah punah ilmu silatnya, tapi dia berpengalaman luas, segera ia berseru.
"Wan-ji, jangan gugup! Hanya sesosok mayat belaka!"
Gadis itu mengamati lawannya dengan seksama, memang benar ucapan si monyet tua itu, hanya sesosok mayat yang berdiri di depannya, sebilah pedang Siang-bun-kiam yang memancarkan cahaya hijau tergeletak di tanah.
Sekarang ia baru tahu, rupanya korban ini bersembunyi di belakang pintu dan menyergap musuh dengan pedang, tapi sergapan itu berhasil di-hindarkan, sebaliknya ia terbunuh oleh sebuah pukulan berat yang mematikan.
Sebuah lubang berdarah tertera di dada laki2 yang mati ini, tampaknya lubang besar inilah penyebab kematiannya, dari bukti ini Sin-kau berdua yakin ilmu silat si pembunuh pasti sangat tinggi.
Dalam ruangan dekat dinding sana menggeletak pula sesosok mayat, bersenjata Poan-koan pit, luka besar tertera di dada, kematian yang dialami orang ini tak berbeda dengan korban di belakang pintu, cuma wajah mayat ini masih menunjuk rasa ngeri dan takut, ini membuktikan bahwa sang korban sangat jeri terhadap pembunuhnya.
Senjata Poan-koan-pit yang dipegang tak semput dipakai, sebelum melakukan perlawanannya ia sudah dihantam mati.
"Kedua koiban ini mati dipukul dengan ilmu pukulan keras apa?"
Tanya Wan ji.
"Tampaknya mereka dibunuh oleh sebangsa Kim-kong-ci atau It-ci-sian (tenaga jari sakti), Kim-kong-ci atau It-ci-sian si pembunuh ini jelas telah mencapai puncak kesempurnaan,"
Jawab Sin-kau dengan prihatin.
"Ah, Cianpwe, lihatlah!"
Kembali si nona berseru.
"coba lihat, di sini ada dua peti batu permata"
Dalam ruangan batu itu terdapat dua buah peti besi berukuran setengah meter persegi, tutup peti terbuka hingga tampak isinya yang berupa mutu manikam yang tak terhingga jumlahnya.
Sin-kau memang tokoh yang aneh, dia tidak tertarik sedikitpun oleh dua peti intan permata itu.
Wan-ji sendiri adalah puteri salah seorang empat keluarga besar, intan permata semacam itu sudah sering dilihatnya di rumahnya, maka iapun tidak tertarik.
Wan ji menurunkan kakek itu ke lantai, kemudian menghampiri peti batu permata itu dan memeriksanya satu demi satu, dilihatnya batu permata di dalam peti tersebut bukan barang sembarangan, mutiara dan intan yang ada di situ rata2 amat besar dan berkilat, malahan jauh lebih besar daripada benda yang tersimpan di rumahnya.
Terutama kedua peti ymg berukir indah itu terang serupa dengan peti besi yang terdapat di rumahnya.
Wan ji makin heran, ia tertegun dan berpikir.
"Aneh, jangan2 benda mestika ini dicurinya dari rumahku."
Sementara ia melamun tiba2 Sin-kau berseru.
"Wan ji, daripada kita lari ke sana kemari, alangkah baiknya kita berdiam ssja di ruangan ini, biarlah kuwariskan ilmu silatku di sini."
Seruan tersebut menyadarkan Wan-ji dari lamunannya. dengan dahi berkerut ia berkata.
"Apa? Kita harus tinggal bersama dua sosok mayat ini? Aku tidak mau!" "Memangnya kenapa? Kalau kau jijik bercampur dengan mereka, seret saja mayat itu keluar kan beres?"
"Kalau ingin membuang mayat itu, kau saja yang lakukan,"
Kata si nona. Sin-kau menyengir menghadapi kebandelan anak dara itu, ucapnya.
"Wan-ji kalau aku bisa berjalan sendiri, aku tak akan suruh kau menggendong diriku "
"Kalau begitu, tidak perlu banyak omong lagi, pokoknya aku tak mau menyentuh mereka, lebih baik kita pergi dan mencari tempat lain saja!"
Setelah mengembalikan batu permata itu ke dalam peti, ia menggendong Sin-kau dan berlalu dari ruang batu itu.
Belum jauh mereka lanjutkan perjalanan, sampailah kedua orang itu di mulut gua.
Ternyata gua ini menembus perut bukit dan mempunyai pintu masuk yang berbeda, malahan jaraknya dari ruang batu ke mulut gua ini dekat sekali.
Menghirup udara segar di tempat terbuka serta memandang cahaya sang surya yang gemilang, Wan-ji berdua merasa dada jadi lega, rupanya fajar telah menyingsing, sudah dua-tiga jam Wan-ji berdua menyusuri gua itu.
Keadaan Sin-kau sudah payah, setelah bertempur selama tiga hari tiga malam melawan Tang Cian-li, kemudian masih harus melakukan perjalanan setengah malaman digendong Wan-ji, kesehatannya telah jauh lebih menurun, sekalipun ia sudah makan bubuk Si mia-san, ia merasa lapar dan dahaga, sekeluar dari gua, ketika melihat sebuah selokan yang mengalirkan air jernih, ia segera berseru.
"Oo .... air. Air! Aku sangat haus, aku ingin minum!" Wan-ji sendiri juga merasa lapar dan dahaga, tanpa di suruh lagi ia menghampiri selokan itu dan menurunkan Sinkau untuk minum ber-sama2.
"Jangan minum air itu!"
Tiba2 seorang berseru dengan nyaring.
"lebih baik mati dahaga daripada minum air selokan itu! Masa kalian tidak tahu akan kata2 tersebut bila sudah berani memasuki 'lembah pemutus nyawa'!"
Betapa kaget Sin kau serta Wan-ji demi mendengar teguran itu, mereka menengadsh dan terlihat seorang pemuda tampan berdiri di lereng bukit di seberang sana.
Pemuda itu baru berusia dua puluhan, badannya jangkung, tegap dengan wajah yang cakap, sekalipun dandanannya sederhana mirip dandanan petani, namun tidak mengurangi ketampanannya.
Sembil bergendong tangan ia berdiri di lereng bukit itu, sikapnya yang santai dan tenang menambah gayanya yang mempesona.
"Eh, bocah.
jangan kau sembarang omong,"
Sera Sin kau dengan mata melotot.
"Kalau berani bergurau atau sengaja menakut2i aku, hmm, jangan menyesal bila kubikin kau mampus tak terkubur."
Wan-ji geli mendengar kecongkakan Sin kau, ia merasa orang tua ini terlalu jumawa, ilmu silat sendiri saja telah punah, terluka dan badan cacat, tapi bicaranya masih garang dan tak mau kalah.
Padahal dilihatnya pemuda itu tampan dan berilmu silat, sinar matanya tajam dan badannya tegap, bila benar terjadi pertarungan, hanya satu gebrak saja "monyet tua"
Ini pasti akan terkapar.
Karena merasa geli, air yang terkumur di mulutnya tersembur keluar, ia tertawa cekikikan.
Terkesima pemuda itu menyaksikan kecantikan Wan ji, melihat si nona tertawa geli, ia berkata pula dengan heran.
"Jadi kalian tidak percaya dengan peringatanku? Coba lihatlah ke sebelah sana."
Seraya berkata dia menuding ke hulu sungai kecil itu. Mengikuti arah yang ditunjuk, tampaklah di samping selokan terpancang sebuah papan kayu putih, di atas papan tertulis beberapa huruf.
"Air selokan ini beracun keras, tujuh langkah pencabut nyawa, jangan sekali2 diminum!"
Air muka Wan ji kontan berubah pucat, jeritnya kuatir.
"Wah, celaka, aku sudah banyak minum air ini, bagaimaaa sekarang?"
"Wan-ji, jangan gugup!"
Hibur Sin-kau dengan tenang.
"Siapa tahu kalau dia cuma membohongi kita?"
"Aku tak berbohong, peringatanku tadi hanya timbul dari maksud baik, jika kalian tidak mau percaya, ya apa boleh buat?"
"Coba lihat, betul bukan perkataanku?"
Kata Sin-kau sambil berpaling ke arah Wan-ji dan tertawa.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"sekali tebak saja kutahu orang itu sengaja me-nakut2i kita, kalau air sungai ini benar2 beracun jahat, kenapa perut kita tidak merasakan apa2?"
"Betul juga,"
Pikir Wan ji.
"kalau air sungai kecil ini beracun, kenapa perutku tidak merasakan gejala apa2?"
Diam2 ia mengagumi Sin-kau yang sudah berpengalaman dan tidak mudah tertipu itu.
"Aku tidak bohong!"
Kembali pemuda itu menegaskan ucapannya.
"racun yang terkandung di dalam air ini benar2 sangat istimewa, bukan saja tidak berbau, tidak berwarna, bahkan tidak terasa apa2, baik manusia maupun hewan yang minum air ini, asalkan tidak bergerak, maka tiada perasaan apa pun yang dalamnya, tapi kaiau berdiri dan berjalan, maka tidak sampai tujuh langkah, ususmu akan rantas dan mati ....!"
Sin-kau tertawa ter-bahak2.
"Hahaha, kalau dulu Coh Cu-kian (pujangga di jamas Sam Kok) bisa membuat syair dalam tujuh langkah, sekarang aku bisa putus usus dalam tujuh langkah. wah, itulah kejadian yang pantas dicatat dalam sejarah. Sayang aku tidak punya kaki sehingga tidak mampu berjalan sediri. andaikata kakiku utuh, niscaya akan kulangkah tujuh tindak untuk membuktikan apukah benar ususku akan rantas atau tidak?"
"Engkau tidak berkaki tapi kakiku kan utuh!"
Sambung Wan ji, jangankan tujuh langkah, tujuh puluh atu tujuh ratus langkahpun akan kulalui. Hm, air sudah kenyang kita minum, peduli amat dengan urusan tetek-bengek ini."
Segera ia menggendong pula si "monyet sakti"
Dan akan meninggalkan sungai kecil ini ... , Tapi mendadak dengan gerakan enteng bagaikan burung walet melayang di udara, pemuda tampan itu melompat dari turun lereng seberang sana dan hinggap di depan Wanji. Katanya dengan sungguh2.
"Nona, kuanjurkan agar jangan keras kepala, ketahuilah aku tidak bermaksud bohong, setiap perkataanku adalah kata2 sejujurnya, selokan ini bernama Sui gin-han-cwan (sumber air dingin berwarna perak) dan sudah ter-sohor kelihayannya. Jangan kau anggap perutmu masih segar setelah minum air itu, sekarang kau memang belum merasakan apa2, tapi lama kelamaan ususmu akan rantas dan akhirnya putus. Ketahuilah air ini sungai mengandung air rasa, bobot air rasa sangat berat dan sanggup merantas usus dan merusak isi perut, bila orang tetap diam, maka air perak itu bergerak agak lambat, tapi kalau orangnya bergerak, maka air rasa juga cepat bergerak ke dalam usus, dengan sendirinya luka yang timbul juga makin cepat. Untung aku membawa obat penawarnya, Nah, kuhadiahkan kalian seorang sebungkus . ..."
Sebelum Wan ji buka suara, dengan cepat Sin kau menggoyangkan tangannya.
"Sudahlah, tak usah banyak omong, cepat pergi dari sini!"
Serunya tidak sabar "Jangankan air itu tak beracun, sekalipun kami sudah keracunan juga tak perlu kau turut kuatir ....!"
Berbicara sampai di sini, ia mendesak Wan-ji agar cepat2 pergi.
Wan-ji merasa pemuda itu bukan orang jahat, tetapi ia tak berani menerima obat pemberian orang yang tak dikenal ini, maka ketika pemuda itu mengangsurkan dua bungkus obat tadi, ia tidak menerimanya, tapi berkata.
"Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kami terima di hati saja!"
Habis berkata segera ia melompat ke sana dan akan pergi.
Tapi baru saja bergerak, tiba2 Wan-ji merasakan perutnya melilit dan sakit luar biasa, ia anjlok ke bawah mendadak, untung Ginkangnya cukup lihay sehingga tidak sampai jatuh terjengkang.
Air muka Wan-ji berubah pucat.
perutnya semakin sakit seperti disayat dengan pisau, akhirnya dengan dahi berkerut jeritnya.
"Oo, Locianpwe, kita benar2 keracunan ..!"
Karena Wan-ji anjlok dari atas, Sin-kau yang sudah kehilangan tenaga dalamnya tak mampu ber-tahan lagi, isi perutnya juga mengalami goncangan keras.
Tanpa ampun lagi, pandangannya jadi gelap, perut kesakitan seperti di sayat2, akhirnya iapun tak sadarkan diri.
Cepat pemuda tampan tadi memburu maju, katanya.
' Nona, sekarang tentunya kau percaya perkataanku bukan? Hayo cepat makan obat penawar ini!"
Perutnya yang sakit terasa tak bisa ditahan lagi, dalam keadaan begitu Wan-ji tidak peduli lagi apakah obat penawar pemuda itu benar2 obat penawar atau bukan, bungkusan itu segera diterima, dibuka lalu isinya ditelan.
Dalam waktu singkat tubuhnya lantas terasa nyaman, rasa sakit yang melilit tadi berhenti dan jadi segar kembali.
Sekarang gadis itu baru percaya bahwa pemuda ini memang bermaksud baik kepada mereka, dengan sorot mata penuh rasa terima kasih ditatapnya sekejap pemuda itu.
Karena pandangan si nona.
hati pemuda itu berdebar keras, Dari sakunya kembali ia keluarkan sebungkus obat penawar lagi dan diserahkan kepada Wan-ji.
katanya.
"Nona, kakek yang kau gendong ini pingsan, minumkan obat penawar ini kepadanya, niscaya dia akan segera sadar kembali "
Wan ji tidak ragu lagi sekarang, ia percaya penuh perkataan pemuda itu, obat penawar diterimanya, ia baringkan Sin-kau ke tanah, kemudian melolohkan bubuk obat itu ke dalam mulutnya.
Sesaat kemudian, Sin-kau sadar kembali dan pingsannya, dengan mata melotot ia berteriak keras.
"Aduh, perutku sakit"
Melihat Sin-kau juga sudah tertolong, Wan-ji berkata kepada pemuda itu.
"Terima kasih atas bantuanmu apakah boleh kutahu siapa nama Kongcu? Bila perkataanku tadi menyinggung perasaanmu harap sudi dimaafkan" "Nona terlalu rcudah hati, aku bernama Sugong Siang-cin"
"Oo. jadi engkaulah Toan-hong Kongcu?"
Seru Wan-ji dengan terkejut.
"jadi engkaulah yang disebut Toan hong si Kongcu yang suka gentayangan, salah satu di antara Bu lim-su kongcu?"
"Tepat sekali tebakan nona!"
Sahut pemuda itu sambil tertawa, malu aku disanjung oleh kawan persilatan sebagai salah satu dari Su-kongcu, padahal aku tidak lebih hanya seorang pemuda yang suka gentayangan kian kemari seorang diri tanpa tujuan tertentu!"
Tertegun Wan-ji menatap pemuda di hadapannya, ia merasa pemuda ini sungguh ganteng dan menawan hati, sekalipun pakaian yang dikenakan amat sederhana, namun memiliki daya pesona yang kuat.
Makin dipandang Wan-ji merasakan jantungnya makin berdebar keras, pujinya di dalam hati; "Oo..alangkah tampannya pemuda ini, tampaknya di dunia saat ini belum ada pemuda setampan dia"
Teringat pada engkoh Tian yang dicintainya, seketika merah padam wajahnya, cepat ia tundukkan kepala dan tak berani lagi memandang pemuda itu.
"Aku tak boleh punya pikiran pada pemuda lain"
Demikian ia menggerutu pada diri sendiri.
Kalau Wan-ji berdebar oleh ketampanan Toan-hong Kongcu, sebaliknya Toan-hong Kongcu juga tidak kurang terpesonanya oleh kecantikan Wan-ji.
Sudah banyak gadis cantik yang dijumpai Toan-hong Kongcu, namun tak seorangpun yarg dapat melawan kecantikan Wan-ji.
Ia merasa kecantikan gadis ini bak bidadari yang turun dari kahyangan, matanya yang jeli, hidungnya yang mancung, bibirnya yang mungil tubuhnya yang semampai dan kulit badannya yang putih halus, benar2 suatu perpaduan yang indah mempesona.
Untuk sesaat lamanya Toan-hong Kongcu berdiri termangu2, kecantikan gadis itu serta kerlingan matanya membuat ia terkesima, hampir lupa pada keadaan di sekitarnya, Semua gerak gerik kedua muda-mudi itu tak lepas dari pengawasan Sin-kau, karena wataknya yang aneh, ia tidak suka dingan pat-gulipat orang muda semacam ini, segera ia berdeham lalu berseru.
"Wan-ji, kalau sudah mengucapkan terima kasih, marilah kita berangkat!"
Merah muka Wan ji, tapi sebelum ia buka suara, Toanhong Kongcu telah berseru pula.
"Sudah kuketahui nama harum nona, tapi belum tahu tempat tinggal nona sarta apa hubunganmu dengan orang tua itu, bolehkah aku mengetahuinya?"
Belum Wan-ji menjawab, dengan melotot Sin-kau segera berseru.
"Anak muda yang tak tahu diri, jangan kaukira dengan sedikit budimu itu akan memperoleh balasan yang lebih besar. Hm, bila berani banyak bicara lagi, jangan salahkan aku tidak sungkan2 lagi!"
"Hei, kenapa kau begini bengis?"
Omel Wan-ji.
"Toanhong Kongcu telah menyelamatkaii jiwa kita, Kongcu inipun sangat sopan kepada kita, masa kau membalas air susu dengan air tuba!"
Lalu iapun berkata kepada Toan-hong Kongcu.
"Aku sama sekali tiada hubungan apa2 dengan orang tua ini, kami hanya berjumpa secara kebetulan saja! Aku she Tian bernama Wan-ji, rumahku di Ce-lam dan terkenal sebagai perkampungan Pah-to-san-ceng, bila Kongcu ada waktu, silakan hampir dan bermain beberapa hari di rumahku "
Toan-hong Kongcu terkejut setelah mengetahui asal-usul anak dara ini.
"O, jadi nona masib sanak keluarga Ti-seng-jiu Buyung-cengcu?"
Demikian ia bertanya.
"Ya, beliau adalah ayahku!"
Jawab Wan-ji sambil tertawa. Toan-hong Kongcu jadi melengak.
"Tapi...kenapa nona she Tian? "
Sin-kau tidak sabar lagi. ia jadi berang din menukas.
"Anak muda, sudah selesai belum obrolan kalian' Kalau ngoceh melulu. jangan salahkan aku tidak sungkan2 lagi. ."
Wan-ji jadi tak senang hati, ia akan mendamperat, tapi Toan-hong Kongcu keburu berkata sambil tertawa.
"Air muka Locianpwe ini lesu dan kuyu. sinar matanya buyar dan buram, bukan saja terluka dalam yang parah, bahkan kematian sudah berada di depan mata. tak tersangka masih juga pemberang begini "
Perkataan yang sederhana ini cukup menggusarkan hati Sin-kau, hampir saja dadanya meledak saking mendongkolnya. Segera ia membentak.
"Bagus, anggaplah matamu memang tajam, tenaga dalamku memang sudah buyar dan nyawaku akan melayang, tapi dengan kondisi seperti ini aku masih sanggup membereskan jiwa anjingmu. Nah, sambutlah seranganku ini, jurus Hoan ciu lam-hay (dayung sampan di laut selatan)!"
Tindakan aneh kakek itu bukan saja mencengangkan Toan hong Kongcu, Wan ji juga melengak.
Pikirnya.
"Tenaga dalamnya telah punah, bagaimana caranya dia akan bertempur .." Ia berpaling ke arah Sin-kau, dilihatnya kakek itu masih duduk di tanah tanpa bergerak sedikitpun.
"Eh kautahu bila jurus seranganku ini kumainkan, maka dengan cepat akan kuhantam dulu hiat-to maut di kanan telingamu,"
Teriak Sin-kau masih tetap berduduk di tanah.
"Di tengah serangan ini banyak pula gerak perubahannya, bila kau tidak menghindar maka jalan darah kematian di telingamu akan terhajar telak dan jiwamu pasti melayang! Sebaliknya bila kau menghindar, kedua kepalanku tidak kutarik, cuma sikut segera bergerak menyongsong jalan mundurmu, kalau kau berkelit ke kiri maka jalan darah Sim gi-hiatmu akan tersikut, sebaliknya kalau menghindar ke kanan maka jalan darah Seng-bun hiat akan menumbuk sikut kiriku, itu berarti berkelit ke kiri atau ke kanan hanya jatah kematian bagimu.
Sebaliknya kalau kau merasa sanggup untuk membendung tenaga pukulan Ceng-goan-cing-khi yang sudah kulatih enam puluh tahun.
umpama kau menangkis dengan jurus Po-in kian-jit (menyingkap kabut melihat sang surya), maka waktu itulah kedua kepalan kutarik kembali dan ....
Nah, bayangkan saja, kau punya nyawa serep berapa lembar? Mampus tidak kau oleh jurus serangan dayung sampan di laut selatan ku ini?"
Setelah mendengar ocehan si kakek barulah Wan ji dan Toan hong Kongcu mengerti maksud-nya, ternyata kakek itu hanya menyerang Toan-hong Kongcu dengan suatu jurus ampuh yang di lontarkan dengan uraian saja.
Kendatipun tenaga dalam yang dimiliki Sin-kau ini sudah punah, lagi erangannya hanya di-utarakan dengan kata2 akan tetapi baik Wan ji maupun Toan hong Kongcu amat terperanjat.
Jurus serangan Hoan-ciu lam-hay yang dipergunakan kakek itu memang benar2 tangguh, jangankan ditangkis, dihindaripun sukar.
Lebih2 Toan-hong Kongcu, keringat dingin membasahi tubuhnya, biasanya ia yakin ilmu silat-nya tinggi, namun bila benar2 menghadapi jurus serangan si kakek tadi, memang betul hanya ada jalan kematian baginya.
Dengan dahi berkeringat dan jantung berdebar segera ia berkata.
"Locianpwe, ilmu silatmu memang ampuh, aku merasa tak sanggup memecahkan jurus seranganmu itu."
Satu pikiran tiba2 terlintas dalam benak Wan-ji, cepat ia menimbrung.
"Huh, apanya yang lihay, toh jurus serangan itu masih bisa dihindari, asal kita loncat ke depan lalu mengegos, bukankah ancaman itu akan terhindar? Kemudian dengan .."
"Hahaha, tak usah kemudian apa segala!?"
Tukas Sin-kau sambil tertawa "Tanyakan saja kepadanya, mampukah ia menghindari seranganku itu dengan meloncat ke depan?"
Dengan wajah ber-sungguh2 Toan-hong Kongcu menggeleng.
'Perkataan Locianpwe memang benar, baik melompat ke muka ataupun menjatuhkan diri bergelinding hasilnya tetap nihil.
Kuakui jurus serangan itu memang sangat ampuh, sungguh ber-untung aku tak sampai mati ditanganmu, atas kemurahan hati Locianpwe kuucapkan terima kasih, selamat tinggal!"
Setelah memberi hormat ia lantas melayang ke seberang selokan itu, hanya dua-tiga lompatan saja bayangannya lantas menghilang di balik batu padas sana.
Dengan ter mangu2 Wan-ji memandangi lenyapnya bayangan punggung Toan-hong Kongcu.
akhirnya ia berkata kepada Sin-kau.
"Wah, Locianpwe, kau memang hebat. hanya dengan mulut saja Toan-hong Kongcu yang termashur dapat kau bikin kabur ...." "Wan-ji, sekarang percaya bukan dengan kehebatanku?"
Kata Sin-kau dengan bangga.
"asal kau dapat berlatih lima bagian saja ilmu silatku, maka dunia persilatan akan kau jelajahi tanpa tandingan!"
"Huh, apanya yang hebat?"
Ejek Wan-ji mendadak.
"sekalipun berhasil melatih sampai sepuluh bagian, buktinya seorang kakek penunggang keledai saja tak dapat kau kalahkan."
Betapa mendongkolnya Sin-kau demi mendengar olok2 itu, dia ber-kaok2 gusar.
"Hei, anak perempuan, tak perlu kaubikin panas hatiku, sampai detik ini kekuatan kami masih seri, menang kalah belum ada kepastian, lagi pula .... lagi pula aku telah berjanji dengan setan tua itu untuk bertanding lagi. aku punya keyakinan akan mengalahkan dia ... !"
"Ah, sudahlah, kalau aku ogah berlatih ilmu silatmu, apa yang bisa kau lakukan?"
Ejek Wan ji "Pula, sekalipun sudah kupelajari ilmu silatmu, tapi aku tak sudi bertanding dengan engkoh Tian, lalu bagaimana caramu mengalahkan dia?"
Tertegun Sin-kau mendengar perkataan itu, akhirnya dengan air muka kecewa ia berkata.
"
Tentunya, tentunya kau takkan ingkar janji bukan? Kau sudah menyanggupi permintaanku, masa sekarang kau hendak membatalkan janji ini secara sepihak?"
Geli Wan-ji menyaksikan kepanikan orang, ia tertawa cekikikan, katanya.
"Hihihi, kapan pernah kusanggupi permintaanmu? Dan kapan pula aku setuju belajar silat darimu? Sejak awal sampai akhir kan kau yang mengoceh sendiri...."
"Jadi, jadi kau tak mau belajar ilmu silatku lagi?"
Seru Sin-kau dengan air muka berubah hebat. "Memangnya aku senang belajar silatmu?"
Ejek Wan-ji lebih lanjut.
"Huh, umpama kakek celaka penunggang keledai itu berhasil kau kalahkan atau kepandaian kalian bergabung menjadi satu, apa itu berarti tidak ada tandingannya di kolong langit ini? Huh, kukira bila ada jago nomor satu di dunia ini maka dia tak lain adalah Pek-lek-kiam Tian In-thian, sebab bagaimanapun Tian-tayhiap tak pernah kalah, yang pasti kau pernah keok ditangannya "
"Mati aku !"
Jerit Sin-kau saking kekinya, dada jadi sesak, darah segar tersembur dari mulutnya, ia roboh terjengkang.
(xxxxx) Sementara itu di gua yang lain Tian Pek telah mendapat ajaran ilmu pukulan Lui-im-hud-ciang dari si keledai sakti, bahkan iapun mengetahui kisah pembunuhan yang menimpa ayahnya di masa lampau.
Ayah Tian Pek, Pek-lek-kiam (pedang geledek) Tian In-thian adalah seorang pendekar besar yang amat lihay, bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi, iapun berbudi luhur dan berjiwa besar, dengan pedang hijau Bu-cing-pek-kiam dia malang melintang tanpa tandingan di kolong langit, oleh karena wataknya yang jujur dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, maka banyak orang yang suka dan kagum kepadanya, tapi juga ada yang membenci dan dendam kepadanya.
Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang tak terduga lalah Tian In-thian bukan mati di tangan musuh, tapi justeru menemui ajalnya di tangan keenam saudara angkatnya sendiri.
Waktu itu bersama keenam saudaranya mereka tersohor sebagai Kanglam-jit-hiap (tujuh perdekar Kanglam).
Selain Ti-seng-jiu Buyung Ham, saudara angkatnya yang lain ialah Kian-kun-ciang (Pukulan sapu jagal) In Tiongliong, Cing-hu-sin (dewa kecapung hijau) Kim-Kiu.
Kun-goan-ci (Jari sakti) Sugong Cing, Pak-ong-pian (cambuk raja bengis) Hoan Hui serta Gin-san-cu (kipas perak sakti) Liu Tiong-goan.
Kalau Tian In-thian mengutamakan kepentingan umum dan berjiwa ksatria, maka keenam saudaranya jauh bertolak ke belakang, mereka sering mengeluh dan menggerutu kalau diajak saudaranya menghadapi pertarungan sengit demi kepentingan umum, kemudian mereka merasa tiada keuntungan apa2 yang diperoleh selama ini, maka timbul rasa tidak puas dalam hati masing2.
Kalau hanya sampai di situ saja mungkin urusan tak akan bertambah serius, jasteru karena watak Tian In-thian yang aneh dan lebih mengutamakan kepentingan umum itulah, seringkali ia bertindak tanpa mempedulikan keberatan2 saudara angkat lainnya, pedomannya asal tindakan itu tidak melanggar peraturan persilatan dan demi kepentingan umum, maka semuanya akan dilaksanakan tanpa pamrih.
Oleh sebab beberapa hal itulah, rasa tidak puas dalam hati keenam orang saudara angkatnya kian menjadi.
Kendatipun begitu, mereka tak berani membangkang ataupun melakukan perlawanan secara terang2an, sebab nama Kanglam-jit-hiap semakin tenar dan harum, betapapun mereka tak berani ribut dengan pimpinannya sendiri.
Suatu ketika tanpa sengaja Ti-seng-jiu Buyung Ham menemukan sebuah peta harta karun di sebuah gua rahasia dipuncak Ay-lau-san, menurut keterangan yang tertera di peta itu dapat diketahui bahwa pada dasar telega Tong-ting- oh terpendam satu partai harta pusaka yang telah berusia ribuan tahun, barang siapa berhasil mcndapatkan harta itu maka dia akan jadi kaya raya di dunia ini.
Betapa girangnya Buyung Ham sukar dilukiskan, teringat betapa menderitanya selama berkecimpung di dunia persilatan selama ini, timbul niatnya uutuk mendapatkan harta karun itu dan mengundurkan diri dari keramaian dunia, betapa bahagianya hidup mewah di kemudian hari.
Harimau Kemala Putih -- Khu Lung Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long