Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 11


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 11



Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya dari Khu Lung

   

   Dalam terkejutnya, ia mundur be-berapa langkah.

   Oh Keng-kiau menyadari apa yang terjadi, se-gera ia mundur ke belakang dan memandangi Ji-sia dengan termangu.

   Tidak lama kemudian, lamat-lamat dari wajah Bok Ji-sia yang tampan muncul selapis uap putih, melihat itu Oh Keng-kiau terkejut bercampur girang, pikirnya.

   "Sungguh tak kusangka tenaga dalamnya sesempurna ini, agaknya jauh lebih hebat daripada Toapepek dan kalah setingkat dibandingkan ayah, cuma sulit juga bagi orang yang berusia semuda dia dapat memiliki tenaga dalam sesempurna ini, Cing Hok, wahai Cing Hok, ah tidak, dia bernama Bok Ji-sia, bukan Cing Hok , wahai Bok Ji-sia..aku memang tahu engkau bukan manusia sembarangan, ternyata tepat dugaanku."

   Belum lenyap pikiran tersebut, tiba-tiba terde-ngar Bok Jisia bersiul nyaring.

   Siulan yang penuh nada gembira ini menun-jukkan pemuda itu merasa girang karena racun yang mengeram dalam tubuhnya berhasil disapu keluar.

   Selesai bersiul nyaring, Ji-sia maju beberapa langkah dan memberi hormat, katanya sambil ter-tawa.

   "Budi kebaikan ayahmu belum sempat kubalas, kini aku Bok Ji-sia mendapat budi pula dari adik Kiau, semua ini meski badanku harus hancur rasanya sulit untuk membayarnya.." *** ( )*** Oh Keng-kiau menjadi bingung, dengan mata terbelalak pikir ya.

   "Ia bilang pernah menerima bu-di kebaikan ayahku? Jadi ia keracunan bukan lan-taran perbuatan ayah?"

   Oh Keng-kiau, gadis yang patut dikasihani, hingga sekarang ia belum tahu akan asal-usulnya sendiri, dia mengira Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah ayahnya, padahal yang dimaksudkan Ji-sia adalah ayahnya yang sudah delapan belas tahun tersekap dalam ruangan terpencil dan akhirnya mati dengan penasaran..Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak.

   Demikianlah, setelah termenung sejenak, Oh Keng-kiau tertawa cekikikan, katanya.

   "Siapa yang minta balas budimu, bukankah perbuatan semacam ini adalah kewajiban yang harus kulaksanakan? Ai, ayah sudah banyak melakukan perbuatan semacam ini, tindakannya itu sungguh"

   Tiba-tiba ia berhenti, mungkin ia merasa mem-bicarakan dosa ayahnya di hadapan orang lain adalah perbuatan tidak pantas.

   Setelah menghela napas sedih, gadis itu kem-bali berkata.

   "Agaknya guruku merasa tak senang menyaksikan perbuatan ayahku, aku menolongmu sekarang karena melaksanakan apa yang diinginkan guruku, siapa yang mengharapkan balas budimu?"

   Dari kata-kata tersebut, ada sebagian yang membingungkan Ji-sia, karenanya pemuda itu men-jadi termangu dan tak tahu bagaimana mesti men-jawab. Sambil tertawa kemudian ia berkata.

   "Adik Kiau, kalau memang demikian aku akan menarik kembali kata-kata membalas budi tersebut, tapi ni-atku tak akan berubah, budi kebaikan kalian ayah dan anak kucatat di dalam hati, pada suatu waktu pasti akan kubayar kembali."

   "Huh, kata-katamu itu percuma saja diucapkan!"

   Tiba-tiba Oh Keng-kiau tertawa cekikikan. *** ( )*** Ji-sia jadi melengak, baru saja dia hendak memberi penjelasan, dengan tertawa Oh Keng-kiau berkata lagi.

   "Kalau kau sudah menarik kembali soal balas budi, buat apa pula kau mengatakan akan membayarnya di kemudian hari?"

   Ji-sia tidak memberi tanggapan lagi, tanyanya kemudian.

   "Adik Kiau, dari mana kau tahu cara memunahkan racun ini?"

   Oh Keng-kiau tertawa, katanya.

   "Begitu mesra kau memanggil diriku, kenapa sama sekali tak tahu masalah dalam keluargaku? Memangnya sang ayah tak bisa mewariskan ilmu beracunnya kepada puterinya?"

   Ji-sia merasa sedih, ia merasa jika asal-usul gadis itu tidak diceritakannya, ia benar-benar me-rasa malu terhadap gurunya, Oh Kay-gak.

   "Adik Kiau.panggilnya kemudian setelah menghela napas.

   "Ada apa?"

   Tanya si nona tercengang.

   "Ai, adik Kiau! Tahukah kau tentang ibumu?"

   "Kau tahu tentang ibuku?"

   Oh Keng-kiau balik bertanya dengan kaget.

   "cepat beritahu padaku, si-apakah ibuku?"

   Pelahan Ji-sia menggeleng kepala.

   "Akupun tak tahu siapakah ibumu, aku hanya bertanya saja."

   Oh Keng-kiau menghela napas sedih, katanya.

   "Sejak kecil sampai dewasa aku sama sekali tak ta-hu siapakah ibuku. Ayah belum pernah memberitahukan hal ini kepadaku, setiap kali kutanya ten-tang ibuku, dengan wajah murung beliau selalu men-jawab telah mati, katanya mati secara menge-naskan." *** ( )*** Mendengar itu Ji-sia merasakan darah panas-nya mendidih, tukasnya dengan cepat.

   "Dia sendiri yang mencelakainya."

   "Dicelakai siapa? beritahukan padaku!"

   Seru Oh Keng-kiau. Bok Ji-sia tertegun, lalu menghela napas pan-jang, sahutnya.

   "O, bukan! Aku hanya teringat pa-da persoalanku sendiri."

   Sebenarnya Ji-sia hendak memberitahukan ke-padanya bahwa Oh Kay-thian bukan ayahnya me-lainkan musuh besar yang telah memaksa mati ayah-ibunya, tapi ketika dia hendak membuka suara, ti-ba-tiba ia seakan-akan mendengar kembali pesan gurunya.

   "Nak, aku tak ingin puteriku mengetahui siapa orang tuanya? Sekarang ia hidup dengan tenang dan gembira, buat apa menyingkap kembali kejadian masa lampau yang penuh kesedihan hing-ga melukai hatinya yang masih suci itu? Dia ada-lah satu-satunya puteriku, asal ia bisa hidup senang dan berbahagia, sekalipun mati aku akan mati de-ngan mata meram"

   Berpikir sampai di sini, Ji-sia urung bicara lagi.

   "Ya, benar!"

   Demikian ia berpikir.

   "sekarang Oh Keng-kiau hidup senang dan bahagia, kenapa aku mengenangkan kejadian masa lampau yang pe-nuh kesedihan itu sehingga hatinya terluka dan me-rasakan pukulan batin yang berat?"

   Oh Keng-kiau menghela napas sedih, tiba-tiba katanya.

   "Sekalipun kau tidak memberitahukan pa-daku, aku sendiri juga tahu, dari nada ucapan ayah, agaknya ibuku dipaksa mati oleh Jipekhu (paman kedua) Oh Kay-gak.

   Hmm, aku amat benci kepada Jipekhu"

   Air muka Ji-sia berubah hebat mendengar per-kataan itu, segera bentaknya.

   "Adik Kiau, jangan sembarangan bicara, dia." *** ( )*** "Dia adalah ayahmu yang sebenarnya,"

   Kata-kata ini akhirnya ia telan kembali mentah-mentah. Setelah berhasil menenangkan pikirannya, Ji-sia menghela napas dan berkata lagi.

   "Adik Kiau, aku berani bersumpah bahwa ibumu bukan dibunuh oleh. oleh Jipekhu!"

   Oleh karena Oh Kay-gak adalah ayah kandung Oh Kengkiau, maka Ji-sia ragu menyebutnya se-bagai pamannya. Mendengar itu, entah apa sebabnya Oh Keng-kiau berdiri termangu seperti orang linglung. Kemudian iapun berpikir.

   "Aneh, cara bicara-nya ternyata persis seperti Suhu, jangan-jangan tu-duhan ayah yang mengatakan ibu mati dicelakai oleh Jipekhu adalah tuduhan yang salah?"

   Melihat gadis itu membungkam, Ji-sia berseru lagi dengan cemas.

   "Adik Kiau, kau harus percaya kepadaku, aku sama sekali tidak bohong padamu!"

   Tiba-tiba Oh Keng-kiau menarik muka, lalu berkata dengan dingin.

   "Kenapa kau panggil aku dengan begini mesranya?"

   Ji-sia terkesiap, tapi segera ia tertawa.

   "Apakah tidak pantas kupanggil dirimu sebagai adik?"

   Keng-kiau menggeleng kepala, ia mendengus, sahutnya.

   "Tidak, kutahu di balik ini pasti ada rahasia lain, kau harus menerangkannya kepadaku!"

   "Jangan-jangan ia mulai curiga?"

   Pikir Ji-sia dengan terkesiap.

   "tapi begitupun ada baiknya, se-moga Thian membiarkan dia memahami sendiri akan asal-usulnya."

   Berpikir demikian, ia lantas berlagak tidak me-ngerti, tanyanya.

   "Adik Kiau, kau suruh aku bicara soal apa?"

   "Bicara soal hubunganmu denganku?"

   "Persahabatan biasa!"

   Jawab Ji-sia tak acuh. *** ( )*** "Omong kosong!"

   Bentak Keng-kiau.

   "Aku tahu kau adalah seorang yang angkuh, kalau tiada hu-bungan yang istimewa, tak nanti kau mau menye-butku sebagai adik, selain itu sikapmu bicara juga aneh sekali.."

   Ketika mengucapkan kata-kata ini, nada si ga-dis keras dan nyaring seakan-akan sedang mendamperatnya. Diam-diam Ji-sia merasa terperanjat, pikirnya.

   "Tak kusangka begitu cermat jalan pikirannya, ka-lau demikian halnya dia pasti dapat menyelidiki sen-diri asal-usulnya"

   Entah mengapa, tiba-tiba Oh Keng-kiau meng-hela napas sedih, kemudian berkata.

   "Bok..Bok~ heng. maafkanlah kekasaranku, kau tidak marah bukan?"

   "Adik Kiau, masa aku menyalahkan dirimu?"

   Dengan wajah merah jengah Oh Keng-kiau berkata lagi.

   "Tadi aku takut kau dating kemari untuk mencelakai ayahku, Ai, sesungguhnya ayah-ku cuma ada beberapa sifatnya yang aneh, padahal ia orang tua sangat ramah, tabiatnya pun baik sekali.

   Masih ada satu hal lagi, ia tidak suka aku bergaul dengan orang muda, jika ia melihat aku berada bersama pemuda maka dia akan mengusir orang itu dan mendamperatku habis-habisan."

   Bicara sampai di sini, senyumnya tiba-tiba le-nyap, sambil menghela napas ia mengerling sekejap ke arah Bok Ji-sia dengan aneh, lalu katanya lagi.

   "Aku tak ingin engkau diusir ayah, atau dibunuh olehnya!"

   Ketika melihat sorot matanya yang lembut ser-ta mendengar perkataannya yang hangat, diam-diam Ji -sia terperanjat.

   Terhadapnya ia mempunyai suatu perasaan yang aneh, meskipun pengalaman yang tragis masa lalu membuat ia tak bergairah untuk main cinta lagi terhadap perempuan lain, tapi senyuman Oh Keng-kiau, kelembutannya..bagaikan sumber air yang jernih mengalir ke lubuk hatinya *** ( )*** Ji-sia mulai merasa tak tenang.

   Anehnya sejak Ji-sia mengalami peristiwa tragis dengan ibunya sendiri, selapis bayangan kematian sesungguhnya telah menyelimuti perasaannya, ia te-lah bertekad akan bunuh diri sehabis membalas dendam, karena itu cinta dari gadis-gadis seperti Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling, Cu Giok-ceng dan lain-lain telah ditolaknya mentah-mentah.

   Akan tetapi terhadap Oh Keng-kiau, tiba-tiba saja dalam hatinya timbul semacam perasaan cinta yang aneh sekali.

   Ia sendiri tak tahu apa sebabnya.

   Mungkin ka-rena Oh Keng-kiau adalah putrinya Oh Kay-gak, maka perasaan cinta itu timbul akibat budi yang pernah diterimanya? Waktu itu dengan wajah merah jengah Keng-kiau sedang memandang Ji-sia dengan termangu-mangu.

   Sekulum senyuman pun menghiasi ujung bibir Ji-sia, tapi ia tidak berbicara apa-apa.

   Suasana dalam ruangan hening, tapi tidak te-rasa membosankan.

   Kedua orang saling memandang tanpa bicara, tapi senyuman manis menghiasi wa-jah masing-masing.

   Senyuman lembut dan manis.

   Semenjak mengalami peristiwa tragis, belum pernah Ji-sia mengalami ketenangan jiwa, selalu terbenam dalam kepedihan, baru sekarang..

   "Trang!"

   Mendadak dari atas tirai pintu ber-kumandang suara keleningan yang nyaring.

   Dengan terperanjat Bok Ji-sia mendongakkan kepalanya, ternyata di atas tirai pintu terikat seutas tali, pada ujung tali tergantung sebuah keleningan kecil, seandainya tidak diperhatikan dengan saksa-ma, sulit untuk ditemukan, tapi kenapa keleningan itu bersuara? *** ( )*** Dengan perasaan curiga ia berpaling ke arah Oh Keng-kiau, tampak gadis itu sedang memandang ke luar pintu dengan air muka berubah.

   "Hiang-lan, masuklah!"

   Serunya kemudian de-ngan suara tertahan.

   Sesosok bayangan hijau berkelebat, bau harum berhembus, seorang nyonya muda yang berdandan genit dengan kain hijau menutupi dada dan perutnya telah masuk ke dalam ruangan, kedua lengan-nya dalam keadaan telanjang.

   Nyonya muda ini berusia antara 23-24 tahun-an, tubuhnya montok, dandanannya menyolok te-rutama sekali wajahnya yang bulat dengan lirikan matanya yang membetot sukma, bila dibandingkan kedua belas perempuan cabul itu, ia tampak lebih memikat..

   Terperanjat Ji-sia melihat kehadiran perempuan itu, pikirnya.

   "Dari mana Oh Kay-thian mendapat-kan begitu banyak perempuan cabul ini? Semoga nyonya muda ini bukan sebangsa perempuan cabul tadi. Dalam pada itu, nyonya muda ku telah mem-beri hormat kepada Oh Keng-kiau, lalu berkata.

   "Nona, tempat ini tak boleh ditempati terlalu lama, ayahmu telah mendapat laporan.."

   "Apa? Kenapa Hiang-lan tidak datang mem-beri lapor?"

   Dengan air muka berubah Oh Keng-kiau berseru.

   "Hiang-lan telah ditahan ayahmu!"

   "Wah celaka, bagaimana baiknya sekarang?"

   Seru Kengkiau sambil mengentakkan kaki ke tanah.

   "Nona, kalau ia tidak cepat dibawa pergi, bila ketahuan ayahmu, pasti aku akan disiksanya sete-ngah mati."

   Tampaknya Oh Keng-kiau gelisah sekali, seru-nya cemas.

   "Lantas bagaimana baiknya sekarang?" *** ( )*** "Bagaimana baiknya? Ia tak mungkin keluar dari si-ni, jalan tembus hanya ada satu, bagaimana mung-kin ia bisa keluar dari tempat ini? "Nona, lebih baik sembunyikan saja untuk se-mentara waktu dalam kamarku!"

   "Ah, ada akal!"

   Tiba-tiba Keng-kiau berseru se-telah berpikir sebentar.

   Ji-sia pun merasakan gelisah, sebab ia tahu bi-la dirinya terkurung di tengah alat jebakan, kalau ingin keluar lewat jalan yang benar, maka dia ha-rus menembus benteng Thian-seng-po, berarti ha-rus menembus pula pelbagai alat jebakan yang ber-lapis-lapis, bahkau mungkin belum jauh ia menyusup keluar sudah mati di tangan musuh secara mengeri-kan.

   Ia menjadi murung, setelah mengetahui tiada jalan lain kecuali jalan yang ada ini, maka demi mendengar perkataan Keng-kiau tadi, cepat ia ta-nya.

   "Adik Kiau, benarkah masih ada jalan lain?"

   "Nona, apakah kau hendak membawanya ke tempat tinggal gurumu?"

   Tanya nyonya muda tadi.

   "Ai, cuma tempat pengasingan guruku tak bisa didatangi oleh setiap anggota benteng, sekalipun ayahku sendiri juga tak berani melanggarnya, tapi, engkoh Bok adalah..adalah orang luar."

   "Adik Kiau,"

   Kata Ji-sia sambil menghela na-pas.

   "kalian boleh segera pergi dari sini, biar aku menerjang keluar benteng ini seorang diri."

   "Engkoh Bok, kau tak boleh sembarangan me-nerjang, kalau terjadi sesuatu atas dirimu, bukankah sia-sia belaka usahaku menolongmu? Ai, di antara jebakan-jebakan di bawah tanah hanya jalan menuju ke ruang Hui-sim yang ditempati guruku saja merupakan jalan tembus, agaknya terpaksa aku *** ( )*** harus memohon kepada Suhu agar mengizinkan kau lewat sana."

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nona, jika kau sendiri yang membawa dia ke ruang Hui-sim, ayahmu pasti akan mengetahuinya, kukira lebih baik kau turut saja usulku tadi, biar-kan dia tinggal sementara dalam kamarku, bebera-pa hari lagi baru keluar dari sini, sedang kaupun bisa menggunakan kesempatan selama beberapa hari ini untuk berunding dengan gurumu."

   Keng-kiau ragu-ragu sejenak, akhirnya ia men-jawab.

   "Baiklah, Mi-nio! Untuk sementara kuserah-kan dia kepadamu, tapi kalau terjadi apa-apa, hati-hati kalau kubunuh kau!"

   Kiranya Mi-nio adalah seorang perempuan jalang yang amat cabul, kedua belas orang perempuan iblis itu dilatih oleh Oh Kay-thian berdasarkan se-gala kecabulan Mi-nio ini, jadi boleh dibilang dia adalah cikal bakal kawanan perempuan cabul itu.

   Tentu saja Keng-kiau mengetahui Mi-nio ada-lah seorang perempuan cabul, tapi ia pikir tak mungkin Mi-nio berani mengkhianatinya, karena perempuan itu pernah ditolongnya sekali, pula ke-tika Bok Ji-sia ditangkap kedua belas perempuan iblis itu.

   Mi-nio juga yang melaporkan kejadian ter-sebut kepadanya, jadi ia tak mungkin mencelakai pemuda tersebut.

   Terdengar Mi-nio tertawa cekikikan, kemudian berkata.

   "Nona, menolong orang harus menolong sampai akhir, memangnya bisa kutelan dia?"

   "Hmm, kutahu kau takkan berani.

   Nah, seka-rang aku pergi dulu!"

   Selesai berkata Keng-kiau lantas berjalan lewat pintu samping, tapi sebelum pergi ia berpaling lagi sambil berpesan.

   "Engkoh Bok, kau mesti hati-hati, cepatlah pergi mengikuti Mi-nio!" *** ( )*** Habis berkata bagaikan burung walet ia me-nyelinap keluar ruangan. Sampai di manakah rasa cinta Oh Keng-kiau terhadap Bok Ji-sia dapat dilihat dari semua tin-dakan dan ucapannya yang sederhana itu. Tiba-tiba Mi-nio berkata dengan merdu.

   "Saudara cilik, tampaknya nona kami baik sekali kepadamu."

   "Ya, aku orang she Bok sudah banyak menerima budi kebaikan mereka ayah dan anak."

   "Apa kau bilang?"

   Seru Mi-nio dengan mata terbe-lalak.

   "Sudahlah, jangan dibicarakan lagi, mari kita beraagkat! Harap enci Mi suka menunjukkan jalan."

   Mi-nio tertawa, sambil melemparkan kerling-an yang membetot sukma serunya.

   "Saudara cilik, kau betul-betul pandai menyenangkan hati orang!"

   Segera ia berjalan lebih dulu meninggalkan ruangan itu.

   Hampir semaput Ji-sia oleh kerlingan yang be-tul-betul membetot sukma itu.

   Sebenarnya ia tak suka menerima perlindungan seorang perempuan, apalagi melakukan perja-lanan bersama Mi-nio yang genit, betapapun ia me-rasa waswas, ia mengikuti di belakangnya dan ber-lalu dari sana.

   Di bawah pimpinan Mi-nio, mereka melalui sebuah jalan tembus yang amat panjang dan me-lewati beberapa puluh ruangan, tapi tak seorangpun penjaganya yang dijumpai, diam-diam Ji-sia kagum juga atas kehebatan bangunan Thian-seng-po yang megah itu.

   Waktu itu mereka berdua telah tiba di ujung lorong yang panjang itu, tiba-tiba Mi-nio membalik tubuh dan menerjang Ji-sia.

   Oleh karena jaraknya terlampau dekat, ketika Ji-sia merasa terkejut, wajah Mi-nio sudah berada di depan hidungnya, *** ( )*** berbareng tangan kanan di-kibaskan, selapis asap merah segera menyebar.

   Begitu kabut merah itu menyebar, Ji-sia segera merasakan bau harum yang aneh menembus hidung-nya dan terisap ke dalam perut.

   Ketika ia mengetahui Mi-nio menerjang ke arah-nya tadi, ia mengira perempuan tersebut hendak turun tangan keji kepadanya, maka sambil meng-himpun tenaga, dalam ia siap menyambut serangan orang, siapa tahu yang disebarkan adalah bubuk pemabuk cinta yang berbau harum.

   Kendatipun reaksinya cukup cepat dan begitu mengendus bau harum pernapasannya lantas ditu-tup, tapi toh masih terlambat juga.

   Apalagi dahulu Mi-nio memang seorang pe-rempuan cabul yang amat termashur dalam dunia persilatan dengan nama Mi-hun-sian-cu (dewi pe-mabuk sukma).

   Entah berapa lama sudah lewat.

   Semua pakaian yang dikenakan Ji-sia seperti juga ketika ditangkap kedua belas perempuan iblis itu, telah dilepaskan hingga telanjang bulat.

   Tubuh-nya yang bugil terbaring di atas pembaringan ga-ding yang menyiarkan bau harum semerbak.

   Tepat di depan wajahnya sedang bergerak se-raut wajah cantik jelita yang menawan hati.

   Semen-tara tubuhnya yang montok menindih di atas tubuhnya yang dalam keadaan telanjang.

   Ketika Ji-sia membuka matanya, yang dilihat pertama-tama adalah bagian terlarang dari perem-puan itu.

   Itulah bagian tubuh yang merangsang berahi, hampir saja pemuda itu tak tahan.

   Sedangkan perempuan itu sendiri tidak lain adalah Mi-nio yang cantik itu.

   Tak terlukiskan rasa gusar Ji-sia, buru-buru ia mencoba menghimpun tenaga dalamnya.

   *** ( )*** Ketika diketahui jalan hawa murni lancar se-perti biasa, sama sekali tiada gejala keracunan se-perti yang dikuatirkan semula, kontan hatinya men-jadi tenang kembali.

   Pada saat itulah, tiba-tiba Ji-sia merasa tubuh yang menempel di atas dadanya itu mulai bergerak dan.

   Dengan gusar Ji-sia membentak, telapak tangan kanannya segera menghantam.

   "Plok!"

   Tubuh Mi-nio mencelat sejauh dua tombak lebih dan terkapar di ujung dinding.

   "Perempuan siluman yang tak tahu malu!"

   Ma-ki Ji-sia.

   Sambil memaki ia melompat bangun dan me-nyambar pakaian di ujung pembaringan lalu buru-buru dikenakan.

   Selesai berpakaian, tampaklah Mi-nio yang ter-banting di ujung dinding sana ternyata sama sekali tidak terluka, bahkan dengan senyuman cabul se-dang berjalan menghampirinya.

   Bok Ji-sia tidak biasa melihat tubuh yang bugil, dengan gusar kembali ia membentak.

   "Berhenti! Cepat kenakan pakaianmu!"

   Sambil berseru ia menyambar sepotong pakaian dan dilemparkan padanya.

   Seandainya peristiwa ini terjadi di luar benteng, dengan watak Ji-sia yang angkuh niscaya perbuatan Mi-nio yang cabul dan berani mempermainkan dirinya ini akan membangkitkan amarah untuk membunuhnya.

   Tapi sekarang ia berada dalam sarang harimau, mau-tak-mau hawa amarahnya harus ditahan.

   Dengan cepat Mi-nio kenakan pakaiannya hingga tubuhnya yang putih montok itu tertutup.

   Setelah itu, pelahan ia berjalan ke hadapan pemuda itu.

   *** ( )*** Bagaikan berjumpa dengan ular berbisa, Ji-sia melompat mundur selangkah, lalu serunya dengan dingin.

   "Jika kau tidak berhenti, jangan salahkan aku akan bertindak kasar kepadamu!"

   Dengan genit Mi-nio mengerling sekejap, lalu tertawa terkekeh.

   "Kau betul-betul tak tahu ba-gaimana caranya menyayangi perempuan, untung aku yang kau pukul, coba kalau orang lain, niscaya jiwamu sudah melayang. Tampangmu kelihatan me-nyenangkan, tak tersangka kau tak tahu menyayangi perempuan!"

   Di tengah suaranya yang merdu merayu, ma-tanya yang genit melemparkan kerlingan membetot sukma. Dipandang cara demikian, Ji-sia merasa tidak tenang, dengan wajah merah serunya.

   "Dengan per-buatan itu, apakah kau tidak malu terhadap no-namu?"

   Mi-nio tertawa cekikikan.

   "Rupanya kau be-lum tahu siapakah aku?"

   "Aku tak peduli siapa dirimu!"

   Bentak Ji-sia.

   "Saudara cilik, tahukah kaa bahwa aku ini Mi-hun-siancu yang tersohor dalam dunia persi-latan?"

   Begitu mendengar nama "Mi-hun-siancu", ha-ti Ji-sia bergetar keras, pikirnya.

   "Celaka, aku ha-rus cepat-cepat meninggalkan perempuan cabul ini!"

   Perlu diketahui, Mi-hun-siancu sudah memiliki nama yang tersohor dalam dunia persilatan semen-jak tujuh tahun berselang, banyak sekali laki-laki muda dari dunia persilatan yang terjebak oleh tak-tik pembetot sukmanya, jarang ada orang yang ber-hasil lolos dengan selamat.

   Mimpipun Ji-sia tidak menyangka perempuan cabul yang tersohor itu ternyata masih begini muda.

   *** ( )*** Dengan langkah lemah gemulai, Mi-hun-siancu maju ke depan dan meraba bahu Bok Ji-sia de-ngan mesra, katanya dengan lirih.

   "Saudara cilik, bukan saja Cici bersedia buka pakaian di hadapanmu, akupun bersedia bermesraan dengan tubuh me-nempel tubuh, masakah kau tidak mau memenuhi harapan Cicimu ini? Ketahuilah, Cici tidak seperti kedua belas perempuan iblis yang gemar menghirup darah orang dan sama sekali tak berperasaan, asal kau mau memuaskan Cici selama beberapa hari pasti Cici akan mengantarmu keluar dari sini de-ngan selamat."

   Mi-hun-siancu berdiri sedemikian dekatnya de-ngan pemuda itu hingga suaranya yang lembut dan wajah cantiknya yang membetot sukma membuat Ji-sia merasakan wajahnya jadi merah padam, jan-tungnya berdebar lebih keras lagi.

   Untunglah tenaga dalam Ji-sia amat sempurna, walaupun menghadapi adegan merangsang, ia masih dapat mengendalikan kobaran berahinya.

   Dengan wajah serius ia mendorong perempuan itu ke belakang, lalu mendengus dan katanya.

   "Kau tak tahu malu, aku adalah seorang laki-laki sejati, tak nanti mau memuaskan nafsu berahimu yang kotor dan memuakkan itu. Cis! Jika kau tidak."

   Mi-hun-siancu terkekeh-kekeh dengan jalang-nya, dengan cepat ia menukas makian Ji-sia itu.

   "Aduh, saudara cilik, pada bagian manakah Cici tidak memuaskanmu? Coba lihatlah tubuh Cici yang padat ini, apakah kau masih belum puas? Aduh, kenapa kaubuang kesempatan untuk bersenang-senang denganku? Sebaliknya malah"

   Ketika di dengarnya perkataan perempuan itu makin lama makin tak sedap, murkalah Ji-sia, suatu pukulan dahsyat segera dilontarkan ke depan.

   *** ( )*** Mimpi pun Mi-hun-siancu Mi-nio tidak me-ngira Ji-sia begitu tak punya perasaan, bahkan be-gitu ketus, mau turun tangan lantas turun tangan.

   Sepanjang pengalamannya, belum pernah ada seorang laki-laki yang berhadapan dengannya de-ngan cara seperti ini, maka ia sama sekali tidak mengadakan persiapan apa-apa.

   Ketika segulung angin pukulan dahsyat me-nyambar tubuhnya, dengan kaget ia mundnr lima-enam langkah ke belakang.

   Ji-sia mendesak maju, kedua tangan diayunkan bersama, dengan segenap tenaga dalam dia hantam jalan darah kematian lawan.

   "Anak goblok!"

   Maki Mi-hun-siancu dengan mata melotot.

   "diajak bersenang-senang tak mau, rupanya kau bosan hidup!"

   Agaknya ia benar-benar naik darah, dengan kedua tangan ia sambut serangan tersebut. Tapi sayang ia terlampau rendah menilai te-naga dalam Bok Ji-sia..

   "Blang!"

   Benturan keras terjadi, sambil men-dengus tertahan, Mi-hun-siancu mundur beberapa langkah dengan sempoyongan, wajahnya pucat se-perti mayat.

   Ji-sia benar-benar benci terhadap perempuan cabul itu, kelima jari tangan kanan sagera menca-kar wajah perempuan itu.

   Jerit melengking karena kaget berkumandang, di atas wajah Mi-hun-siancu yang genit dan cantik itu muncul lima jalur bekas cakaran, darah segar mengucur membasahi mukanya.

   Dalam sekejap ma-ta ia berubah jadi jelek dan menyeramkan.

   Dengan cepat perempuan itu memutar badan dan menerjang keluar ruangan.

   Bok Ji-sia cukup mengerti bahwa setiap ruangan di bawah tanah Thian-seng-po telah diperlengkapi dengan alat rahasia *** ( )*** yang hebat, karena kuatir Mi-nio memasang alat rahasia, maka buru-buru ia menyusul dari belakang.

   Dengan suatu gerakan cepat Mi-hun-siancu menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu batu.

   Ji-sia cepat menubruk masuk pula, Tapi pada saat lain pintu batu mendadak tertutup rapat se-cara otomatis.

   Suasana menjadi gelap gulita, Ji-sia mengerah-kan tenaga dalam dan mengawasi sekelilingnya, apa yang kemudian terlihat membuatnya terperanjat.

   Ternyata ia telah berada dalam sebuah lorong yang sempit, dingin dan menyeramkan..Berapa dalam lorong ini? Ia tak tahu.

   Hanya selisih beberapa langkah saja Mi-hun-siancu sudah kabur entah ke mana? Dalam keadaan demikian, terpaksa Ji-sia meng-himpun tenaga dalam dan menyilangkan tangannya melindungi dada, kemudian selangkah demi selang-kah masuk lebih ke dalam.

   Tujuh-delapan tombak jauhnya ia berjalan, na-mun tiada sesosok bayangan pun yang tampak, ti-dak terdengar pula suara manusia.

   Makin ke dalam suasana dalam lorong itu se-makin gelap, angin dingin berhembus kencang, namun udara sedikit pun tidak lembab atau berbau busuk, agaknya di sekitar sana terdapat banyak lobang hawa.

   Bicara kemampuan Bok Ji-sia untuk melihat, walau di tengah kegelapan biasanya ia sanggup me-nembus kegelapan sejauh dua tombak lebih, tapi sekarang benda yang berada dekat di hadapannya tak sanggup dilihatnya dengan jelas.

   Tanpa terasa hatinya mulai tercekam ketegang-an..

   Lamat-lamat ia merasa dalam lorong itu seakan-akan terdapat selapis benda yang sukar dikatakan dan tak bisa terlihat.

   *** ( )*** Benda itu telah mengalangi daya penglihatan-nya, menghilangkan pula ketajaman pendengaran-nya, suara yang berada tiga tombak jauhnya dari sana pun tak dapat ditangkap olehnya.

   Tiba-tiba Ji-sia menghentikan langkahnya.

   Dalam suasana remang-remang, ia merasa ada segulung angin dingin berhembus tiba, menyerempet wajahnya dan lenyap tak berbekas.

   Ji-sia membentak kaget, suara bentakan ngeri dan juga gusar.

   Menyusul tubuhnya melambung ke atas, ke-mudian berputar satu lingkaran dengan cepat, pi-kirnya.

   "Asalkan dia bukan setan, aku yakin pihak lawan tak akan lolos dari pengejaranku yang cepat ini."

   Tapi suasana di sekeliling tempat itu amat ge-lap dan sunyi, tak sesosok bayangan pun yang tam-pak, hanya ada selapis bayangan setan yang gelap.

   Hal ini membuat Ji-sia terkejut, ia menarik napas dingin dan menelan air liur.

   Mendadak Ji-sia merasakan sesuatu yang tak beres, ia ingat lorong itu amat sempit, tapi meng-apa ia dapat membuat lingkaran luas tanpa menum-buk dinding batu di kedua sisinya? Pemuda itu segera merasakan lorong itu agak aneh, ia tak berani lagi melanjutkan perjalanannya.

   Setelah termenung sebentar, ia berdiri dan meng-heningkan cipta.

   Tak lama kemudian hawa murni-nya mengitari seluruh badan dan memasuki keadaan lupa segalanya.

   Bisa tenang di depan bahaya, kalau bukan se-orang yang memiliki kecerdasan luar biasa, sulit ra-sanya melakukan hal itu, tapi Bok Ji-sia yang be-lakangan ini memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya, ia tahu tempat ini bukan tempat yang aman, dalam keadaan begini ia tak boleh sembrono, *** ( )*** sebab bukan mustahil akan mendatangkan kesulitan, bahkan kematian bagi diri sendiri.

   Begitulah, setelah bersemadi sekian waktu, tiba-tiba ia merasa tak jauh di sana berkumandang suara langkah kaki yang amat pelahan.

   Langkah kaki itu lirih sekali, seandainya bu-kan sedang memusatkan pikiran sulit rasanya me-nangkap suara itu.

   Ji-sia terkesiap, setelah menentukan arah sasa-rannya, dengan memberanikan diri ia maju ke sana.

   Berjalan lebih kurang belasan kaki di tengah kegelapan, di depan sana muncul lagi sebuah din-ding hitam yang mengalangi jalannya, tapi di se-belah kiri-kanan terbentang dua buah lorong.

   Angin dingin yang merasuk tulang itu justeru berhembus dari kedua lorong tersebut.

   Ji-sia berkerut dahi, lalu memperhatikan lagi dengan saksama, ternyata suara tadi sudah lenyap.

   Ia menjadi bingung dan tak tahu harus memilih ja-lan mana di antara kedua lorong yang ada se-karang.

   Sedangkan suara langkah yang pelahan itu datangnya begitu mendadak, kini lenyap pula secara cepat.

   Tiba-tiba ia merasakan keadaan agak kurang menguntungkan.

   Sedikitnya sudah lebih 30 tombak ia menelusuri lorong tersebut, tapi bayangan Mi-hun-siancu belum nampak juga.

   Kalau dibilang Mi-hun-siancu telah kabur me-lalui salah satu di antara kedua lorong ini, hal ini jelas tak mungkin, karena perempuan itu sudah terluka dan langkah kakinya pasti berat, bila berada dalam satu lorong yang sama, kenapa tidak terde-ngar sesuatu suara? Waktu ia mendongak, tiba-tiba ia terperanjat.

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kiranya ia berdiri di suatu ruangan yang sangat luas dan tingginya lebih empat tombak, kira-kira tiga tombak dari permukaan tanah *** ( )*** terpancang sebuah papan berwarna emas, di tengah kegelapan huruf-huruf pada papan itu memancarkan sinar berwarna kehijau-hijauan.

   "Hui-sim-ceng-sit", empat huruf besar terbaca.

   Ji-sia bersuara heran, pikirnya.

   "Oh Keng-kiau mengatakan gurunya berdiam di ruangan Hui-sim-ceng-sit dan tempat ini merupakan satu-satunya ja-lan yang langsung tembus ke luar benteng, agaknya salah satu dari kedua jalan tembus yang ada se-karang inilah bisa langsung ke luar benteng."

   Berpikir demikian, Ji-sia segera memilih lorong sebelah kanan dan menelusurinya, tapi baru dua tombak jauhnya ia lantas menghela napas, ternyata jalan di depan buntu.

   Maka dia balik lagi ke tempat semula dan me-nelusuri jalan sebelah kiri, tapi baru dua tombak jalan inipun berakhir.

   Hal ini membuat Ji-sia menjadi bingung, satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya.

   "Oh Keng-kiau mengatakan lorong rahasia yang berhubungan langsung dengan luar benteng harus lewat ruang Hui-sim-ceng-sit, jangan-jangan jalan tembusnya berada dalam ruangan itu."

   Karena pikiran ini ia lantas menerjang ke arah dinding hitam tadi.

   Siapa tahu tangannya menyentuh tempat yang amat dingin dan sama sekali tiada tempat berpe-gangan, selain itu dinding hitam ini membentang ke kanan-kiri seolah-olah sebuah dinding batu alam, sama sekali tiada celah-celah yang ditemukan.

   Ji-sia jadi tertegun, ia coba memeriksa sekeli-lingnya untuk mencari tempat yang kiranya bisa dibuat pegangan.

   Tiba-tiba ia maju selangkah, hawa murninya dihimpun dan segera menghantam ke arah papan nama emas tadi.

   Kiranya secara tiba-tiba ia teringat pada tom-bol rahasia dalam benteng Thian-seng-po yang kebanyakan terletak pada tulisan.

   *** ( )*** Siapa tahu ketika angin pukulannya yang dahsyat itu menghantam ke depan, dinding hitam itu sama sekali tak bergerak, bahkan karena menggunakan tenaga terlampau besar, dia malah tergetar mundur dua langkah.

   Ji-sia mengernyitkan alis, sementara ia masih mencari kian kemari, mendadak suatu hal aneh te-lah terjadi.

   Dinding hitam yang sama sekali tak bergerak walau sudah dihantam dengan sepenuh tenaga tadi, kini menunjukkan reaksinya.

   Di mana ia melakukan dorongan tadi, kini muncul beberapa huruf yang memancarkan sinar gemerlapan, tulisan itu besar dan menyolok sekali.

   Ketika diperhatikan lebih teliti, terbacalah tulis-an itu berbunyi.

   "Membunuh orang hanya perlu mengangguk, mengapa tidak biarkan mereka me-netap di akhirat? Budi dan cinta masa lalu tinggal seonggok sampah, kalau dibilang benci aku paling benci, kalau dibilang cinta aku paling cinta, benci dan cinta saling bertaut, tinggal dalam ruang Hui-sim untuk menyesali nasib".

   Untuk sesaat Ji-sia termangu-mangu, ia tidak mengerti makna tulisan tersebut namun lamat-lamat dia tahu bahwa penghuni ruangan ini mempunyai pengalaman mata lalu yang menyedihkan, dan peris-tiwa itu timbul karena cinta dan benci antara mu-da-mudi, maka sekarang ia hendak menggunakan ruangan Hui-sim-ceng-sit untuk menyesali kejadian masa lampau.

   Suatu perasaan aneh mendadak timbul dalam hatinya, ia pejamkan mata dan termenung pula.

   *** ( )*** Tiba-tiba suara langkah kaki yang lirih tadi kembali berkumandang.

   Air muka Bok Ji-sia berubah menjadi serius, sinar mata tajam terpancar, cepat ia berpaling ke samping, Tapi sayang lorong rahasia itu terlalu gelap, ia tak berhasil menemukan sesuatu.

   Pemuda itu yakin bahwa suara yang didengar-nya itu adalah suara langkah manusia, langkah ka-ki itu berasal dari lorong sebelah barat dan kede-ngaran sangat pelahan.

   Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak-nya, dengan suatu gerakan ringan dia melayang ke atas papan nama emas itu, lalu dengan sorot mata yang tajam ia perhatikan lorong sebelah barat sana.

   Tidak lama kemudian, suara langkah kaki tadi berhenti lagi.

   Lorong yang gelap gulita itu tetap hening, tak sesosok bayangan yang tampak.

   Menghadapi hal ini, dengan tercengang Ji-sia melompat turun kembali ke tanah.

   Tapi, pada saat itulah hembusan angin dingin menyambar tiba, sambil mendengus Ji-sia segera memutar tubuh sambil melancarkan sebuah pukul-an untuk menyambut datangnya ancaman.

   "Wess!"

   Angin pukulan yang kuat menggulung ke depan dan menghantam dinding tembok, kemu-dian muncul segulung angin berpusing yang meman-tul kembali dan mengibarkan ujung bajunya.

   Ji-sia terkesiap, ia merasa gerak tubuh orang itu sedemikian cepatnya, sehingga sukar diikuti.

   Buru-buru Ji-sia menghimpun tenaga dalam dan memeriksa sekelilingnya, tapi tetap tak kelihat-an sesuatu.

   Ia tahu ada orang bersembunyi tak jauh di sekitar situ, tapi tak jelas di manakah orang bersem-bunyi.

   *** ( )*** Ji-sia berdiri tenang beberapa saat di sana, la-lu tiba-tiba katanya.

   "Jago lihai penghuni Hui-sim-ceng-sit, harap tampilkan dirimu, aku orang she Bok tidak sengaja datang kemari, aku tersesat dan sampai di sini, maafkan bila telah mengganggu ke-tenangan Anda."

   Baru selesai berkata, suara tertawa dingin ber-kumandang, tiba-tiba dari atas papan nama emas melayang turun sesosok bayangan.

   Kecepatan gerak orang itu sungguh membuat Ji-sia terperanjat, apabila ia menengok ke de-pan, ia tambah terkesiap.

   Mimpipun ia tak mengira pihak lawan me-nyembunyikan diri di atas papan nama emas itu, coba kalau orang hendak melukainya, sepuluh nyawapun mungkin sudah lenyap sedari tadi.

   Padahal Bok Ji-sia tidak tahu bahwa orang itu baru melompat naik ke atas papan nama emas ter-sebut waktu ia melayang turun tadi.

   Dilihatnya di depannya sekarang telah berdiri seorang nenek berambut putih bertongkat, namun mukanya ditutup oleh selapis kain cadar sehingga susah untuk diketahui wajah aslinya.

   "Tolong tanya, apakah nenek adalah guru Oh Keng-kiau?"

   Ji-sia segera menyapa dengan ramah. Senyuman dingin menghiasi bibir nenek itu, tegurnya.

   "Siapa kau?"

   "Aku she Bok bernama Ji-sia, tanpa sengaja tiba di sini, mohon dimaafkan!"

   Nenek bercadar itu tertawa seram.

   "Hehehe, kau bohong, bukankah kedatanganmu untuk me-nunaikan kewajiban atas perintah orang?"

   Sejak kecil Ji-sia berwatak angkuh, kata-kata "diperintah orang"

   Tersebut amat menyinggung perasaannya, seketika amarahnya berkobar. *** ( )*** Ia tertawa, katanya.

   "Selain hidupku tak per-nah diperintah orang, akupun tak pernah bohong!"

   "Jadi kau datang kemari atas dasar kemauan sendiri?"

   Ketika dilihatnya nenek itu bukannya menjawab malah bertanya melulu, Ji-sia jadi naik darah, sam-bil tertawa dingin serunya.

   "Memangnya aku tak boleh kemari?"

   Berkerut kening nenek bercadar itu, rambut-nya yang telah beruban tampak bergetar, agaknya ia marah sekali.

   "Siapa bilang kau tak boleh datang?"

   Serunya.

   "asal kau tidak sayang pada nyawamu, datang saja ke sini! Nah, sekarang nenek ingin tanya padamu, ada urusan apa kau datang kemari?"

   "Apakah kau tidak merasa pertanyaanmu sudah terlalu banyak?"

   Kata Ji-sia sambil berkerut kening.

   "Orang tua biasanya lebih banyak omong. Eh, anak muda, memangnya kau tidak sayang pada, jiwamu lagi?"

   Ji-sia tertegun, pikirnya.

   "Manusia mana yang tak mau jiwanya lagi?"

   Tapi ia cuma termenung tanpa menjawab.

   Nanek bercadar itu mendengus, mendadak ma-tanya bersinar tajam dan rambutnya yang beruban seakan-akan menegak seperti batang lidi, tiba-tiba tongkat besinya ditudingkan ke wajah Bek Ji-sia, sementara tangan kiri dengan kelima jari yang di-rentangkan menyambar ke muka.

   Jurus serangan ini sungguh lihai dan keji.

   Ji-sia tidak menyangka nenek itu bakal me-nyerang dirinya secara keji, dalam gugupnya cepat ia gunakan jurus sakti ajaran Oh Kay-gak, tangan kirinya memotong ke arah tongkat yang sedang me-nyambar tiba itu.

   *** ( )*** Ketika tangan hampir menyentuh tongkat baja, mendadak jari tengah dan jari telunjuk tangan ka-nan menyelentik ke depan.

   Inilah ilmu tenaga jari Tan-ci-sin-kang yang maha sakti dalam dunia persilatan.

   Agaknya si nenek pun tak mengira Jisia me-miliki ilmu silat selihai ini, maka waktu melancar-kan serangan tadi ia hanya menggunakan tenaga sebesar tiga bagian.

   Ketika menyadari gelagat tak menguntungkan, tahu-tahu tongkat pada tangan kanannya mencelat ke udara.

   Ternyata reaksi nenek bercadar itu cukup ce-katan, baru saja tongkat mencelat ke udara, ia su-dah bertekuk pinggang, tangan kirinya meraih ke belakang dan tongkat yang mencelat itu tahu-tahu sudah ditangkap kembali.

   Pada kesempatan itu, Ji-sia mengejar ke depan, dengan cepat ia hantam punggung si nenek.

   Tanpa berpaling si nenek mengegos ke kanan, dengan suatu gerakan manis serangan itu berhasil dihindari.

   Menyusul sekali bergerak mendadak ia mene-robos ke sebelah kiri Bok Ji-sia, tongkat lantas menyapu.

   Serangan ini dilancarkan dalam keadaan gusar, sehinga luar biasa hebatnya.

   Mencorong sinar mata Bok Ji-sia, dengan ge-rakan aneh ia cengkeram tongkat lawan dengan tangan kirinya, sedang telapak tangan kanan me-nabas pergelangan tangan kanan si nenek.

   Ketika tongkat dibikin mencelat oleh serangan Ji-sia tadi, si nenek berambut putih itu menjadi gu-sar sekali, ia kira serangan balasan pasti dapat me-lukai Ji sia atau paling tidak akan membuatnya terdesak mundur, siapa tahu, baru saja serangan dilancarkan, ternyata anak muda itu berbalik mencengkeram tongkat sendiri dengan suatu gerakan yang sangat aneh, hal mana membuatnya terkesiap.

   *** ( )*** Delapan belas tahun berselang, dia masih ingat ilmu silatnya waktu itu terhitung jago tangguh da-lam dunia persilatan, kecuali suaminya serta bebe-rapa jago lihai yang lain, tiada lagi yang sanggup menandingi dirinya, tak tersangka delapan belas tahun kemudian ia berjumpa dengan musuh setang-guh ini, bahkan lawan hanya seorang pemuda ing-usan.

   Pada saat ia tertegun itulah, telapak tangan kanan Bok Jisia membacok pergelangan tangannya dalam keadaan demikian, jika si nenek berambut putih tidak melepaskan tongkat, maka pergelangan tangan niscaya akan terluka.

   Terpaksa ia lepas tangan dan menghindarkan diri dari bacokan tersebut, kemudian tangan kiri menghantam bagian mematikan di dada anak muda itu.

   Ji-sia tak menyangka sewaktu menghindar ne-nek itu bakal melancarkan serangan balasan, maka ia terdesak mundur tiga langkah, pada kesempatan itu, nenek itu melepaskan tendangan kilat dengan kaki kanan, sementara tangan kiri secepat kilat mencengkeram tongkat dan membetotnya dengan sekuat tenaga.

   Tindakan ini sungguh amat tepat, Ji-sia yang memegang tongkat terseret maju oleh betotan orang, dengan demikian tubuhnya persis memapak tendang-an yang dilancarkan si nenek.

   Namun ilmu silat Bok Ji-sia sekarang sudah jauh berbeda daripada dulu, cepat ia miring ke sam-ping, tanpa melepaskan tongkat tangan kirinya se-gera menyambar ke muka, mencengkeram kaki kanan si nenek, lalu mengangkatnya ke atas.

   Karena kehilangan keseimbangan badan, tubuh si nenek segera terjengkang ke belakang.

   Diam-diam nenek berambut putih itu terkejut, pikirnya.

   "Lihai amat ilmu orang ini!" *** ( )*** Dalam hati ia berpikir demikian, sementara ta-ngan kiri masih memegang tongkat mati-matian dan ditariknya dengan sekuat tenaga, karena tarikan ini tubuhnya yang terjengkang pun bisa ditahan.

   Mendadak ia melejit ke depan, lalu dengan jurus Tiau-ci-lam-hai (air pasang di laut selatan) ia dorong tangan kanannya ke depan sejajar dada.

   Ji-sia pun terkejut, pikirnya.

   "Sulit amat nenek ini dihadapi, tampaknya kungfunya tidak berada di bawah si nyonya berbaju merah yang kujumpai tadi -malam."

   Berpikir demikian, tangan kirinya secepat kilat menyambar urat nadi lawaa dengan jurus Ing-hong-toan-cau (menyongsong angin membabat rumput).

   Nenek itu cepat menarik tangannya ke bawah, kemudian tangan kanan dikebaskan, kelima jari ta-ngan dengan setengah membacok dan setengah me-nusuk melancarkan tiga kali.

   serangaa kilat.

   Ketika melihat bentuk jari tangan orang, Ji-sia tertegun, jari tangan nenek itu ternyata putih halus, sedikitpun tidak mirip jari tangan seorang nenek yang telah beruban.

   Kiranya suasaua dalam lorong itu sangat ge-lap, walaupun kedua orang telah bertarung puluh-an jurus, namun Ji-sia tak sempat memperhatikan kulit tubuh lawan.

   Dengan heran ia menghindari ketiga jurus serangan lawan, kemudian tangan kirinya berkelebat cepat melancarkan serangan balasan.

   Dengan dicengkeramnya kedua ujung tongkat, maka jarak kedua orang itu cuma dua depa saja, serangan demi serangan dilancarkan dalam ja-rak dekat ini hampir meliputi semua bagian mema-tikan, sekali salah bertindak atau kurang waspada akibatnya pasti mati atau terluka parah.

   Suasana amat tegang, hati pasti berdebar se-andainya kebetulan ikut menyaksikan jalannya per-tarungan itu.

   Dalam *** ( )*** waktu singkat, kedua pihak saling ge-brak lagi dua puluh kali lebih.

   Agaknya si nenek berambut putih itu lebih tinggi setingkat tenaga dalamnya bila dibandingkan Bok Ji-sia.

   Perlu diketahui, sesungguhnya Ji-sia telah me-nguasai jurus serangan yang tercantum dalam kitab pusaka Koat-im-siang-gi-cinkeng ditambah dengan jurus ampuh ajaran Oh Kay-gak sendiri, hanya sayang ia kurang sempurna dalam hal tenaga dalam, inilah cacat besar baginya.

   Di tengah pertempuran, mendadak terdengar si nenek membentak keras, kemudian dengan suatu gerakan aneh melepaskan pukulan ke depan.

   Ketika Ji-sia menyadari datangnya ancaman tersebut, terlambat baginya untuk memunahkan se-rangan itu, dalam keadaan demikian, terpaksa ia harus melepaskan tongkat itu sambil berkelit ke samping, kemudian dengan menempel di tanah ka-ki menyapu untuk menghadang gerak maju si nenek.

   Tapi nenek itu telah menghentikan serangannya.

   "Kau murid siapa?"

   Ia menegur dengan suara dingin.

   "Buat apa kau tanyakan soal ini?"

   Si nenek tertawa dingin.

   "Hmm, kau tidak mau bicara, apakah tak bisa kuselidiki sendiri?"

   "Kalau begitu, selidiki saja sendiri!" "Ketahuilah anak muda, seandainya aku ber-niat mencelakaimu, dua puluh nyawamu juga akan kusikat habis!"

   "Hm, belum tentu!"

   Jengek Ji-sia.

   "Kalau begitu, sambut lagi beberapa jurus seranganku ini!"

   Mendadak nenek itu menerjang maju, tongkat menyodok ke kiri terus menyapu ke kanan, dalam waktu singkat ia melancarkan tiga kali serangan.

   *** ( )*** Jurus serangan yang dipergunakan ternyata sa-ngat aneh, sebentar mengemplang, lain saat menyerampang, desing angin tajam serasa menderu-deru mengancam seluruh tubuh Bok Ji-sia.

   Menghadapi ancaman seperti ini, Ji-sia terke-siap, eepat ia melompat mundur.

   Nenek itu menyusul ke depan, di antara ber-kibarnya ujung baju, tongkat terus menyodok.

   Ji-sia menghantam tongkat lawan ke sam-ping, kemudian tangan kiri mencengkeram perge-langan tangan lawan yang memegang tongkat.

   Jurus inipun jurus serangan Kim-na-jiu-hoat Oh Kay-gak.

   Nenek itu berseru kaget dan menyurut mundur, tapi tongkat masih melanjutkan serangan dengan membawa desing angin tajam di antara berkelekatnya bayangan hitam.

   Jia-sia tergetar mundur dengan agak sempo-yongan, nenek itu menubruk maju, telapak tangan kirinya meraih bahu kiri pemuda itu.

   Belum sempat Ji-sia mengerahkan tenaga da-lamnya, bahu kiri itu kena tersapu, dengan sem-poyongan ia mundur beberapa langkah.

   Akhirnya ia tak tahan dan jatuh terduduk.

   Nenek berambut putih itu tidak mengejar lagi, dengan sorot mata penuh rasa terkejut dita-tapnya Ji-sia lekat-lekat, tangan kanannya terjulur ke bawah, agaknya terluka, tongkat pun jatuh ke tanah.

   Walaupun hanya beberapa gebrakan saja, na-mun pertarungan itu berlangsung dengan seru.

   Ji-sia mengira sekali ini pasti akan mampus di tangan nenek itu, siapa tahu meski sudah ditunggu sekian lama, nenek itu belum juga turun tangan, hingga akhirnya ia mendongak dan memandang ke depan Didengarnya si nenek berambut putih sedang menghela napas, air mata berlinang.

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pelahan ia membelai rambut sendiri *** ( )*** yang beruban, kemudian mengambil kembali tongkat yang jatuh, gerak-gerik-nya begitu loyo hingga menimbulkan perasaan haru bagi orang lain.

   Ji-sia termangu, bingung, ia tak tahu kenapa nenek itu bisa berubah menjadi begini mengenaskan.

   Sementara ia termenung, terdengar nenek berambut putih itu bergumam.

   "Delapan belas tahun sudah, ya, delapan belas tahun sudah lewat. Ai, apakah ia masih tersekap di sana? Cintaku ini! Dan benciku ini! Selama delapan belas tahun tak per-nah kulupakan, putriku yang patut dikasihani, kau memang kasihan"

   Sudah barang tentu Ji-sia tak paham perkataan orang, namun ia tahu di balik ucapan itu pasti mengandung suatu kisah yang memilukan hati.

   Mendadak Ji-sia merasa bahu kiri dan sikut kanan yang tersapu angin jari si nenek itu tadi mu-lai terasa sakit, ia terperanjat, buru-buru hawa mur-ninya dihimpun, tapi sekitar luka itu menjadi kaku dalam waktu singkat lantas menjalar hingga separuh bagian tubuhnya, rasa sakit yang menusuk itu mem-buat tubuhnya tak sanggup bergerak sedikitpun.

   Ia sadar sudah terkena tangan jahatnya, ia menghela napas, ia merasa nasib sendiri terlampau buruk sehingga setiap saat selalu berhadapan dengan elmaut.

   Setelah bergumam tadi, nenek berambut putih itupun berdiri kaku bersila dan perlahan mengatur pernapasannya.

   Tapi begitu tenaga bergerak, lukanya menda-dak terasa sakit sekali, sedih hati Ji-sia, dia tahu lawan benar-benar telah turun tangan jahat kepadanya, bahkan sangat keji, ia tak tahu kenapa sekeji ini nenek berambut putih itu turun tangan melukai-nya.

   Apakah karena dendam? Aatau benci? *** ( )*** Tapi ia yakin dirinya tak punya permusuhan dengan nenek itu, bahkan kenal pun tidak.

   Sekarang ia baru sadar manusia sebetulnya ada-lah makhluk yang kejam, bahkan lebih buas dari-pada binatang.

   Ia mulai benci, membenci semua makhluk yang disebut manusia di dunia ini.

   Tapi cuma membenci apa gunanya? Kejadian lampau satu demi satu terlintas kem-bali dalam benaknya.

   Ia tambah sedih, sehingga air matanya bercucuran membasahi bajunya.

   Mendadak terdengar seseorang menegurnya dengan suara yang lembut.

   "Anak muda, apakah guru-mu adalah pemimpin dari Bu-lim-jit-coat yang di-sebut Thian-kang-te-sat-gwat-kiam Oh Kay-gak?"

   Ketika Ji-sia mendongakkan kepalanya, tampak olehnya yang berbicara adalah si nenek berambut putih tadi.

   Sambil mengertak gigi menahan rasa benci ia mendengus.

   "Aku sudah hampir mati, memberitahu kepadamu juga tak menjadi soal.

   Benar, aku adalah muridnya, Oh Keng-kiau adalah putrinya dan juga Sumoayku, jika kau ini suhunya, kau akan menyesal karena telah turun tangan sekeji ini kepadaku!"

   Air mata mengembeng dalam kelopak mata nenek itu, dia menghela napas panjang, kemudian berkata.

   "Perkataanmu memang benar, aku menye-sal telah melukai dirimu, untuk kedua kalinya ini aku merasa menyesal selama hidupku, cuma aku pasti akan menyembuhkan lukamu."

   Sesudah menyaksikan sikap orang yang penuh luapan emosi itu, rasa gusar Ji-sia pun agak mereda ia menghela napas sedih.

   "Inilah suratan nasib, jangan membenci langit, jangan pula membenci manusia!"

   Ucapnya. *** ( )*** Mendengar itu, si nenek berambut putih ber-kata dengan sedih.

   "Jangan membenci langit, jangan pula membenci manusia. Ai? baru sekarang kupahami makna kata-kata ini."

   "Nenek, ada satu hal ingin kuberitahukan ke-padamu,"

   Kata Ji-sia kemudian.

   "Persoalan apa itu?"

   "Ai, mumpung aku belum mati, ingin kusam-paikan suatu rahasia kepadamu, tahukah kau bah-wa muridmu Oh Keng-kiau bukan anak Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian? Ayahnya yang sebenarnya ada-lah Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, Oh Kay-thian justeru adalah pembunuh ayah-ibunya!"

   "Apa? Oh-Kay-gak sudah tiada di dunia lagi?"

   Seru nenek itu dengan kaget.

   "Ya, ia sudah tiada hampir empat bulan lama-nya!"

   Jawab Ji-sia dengan air mata bercucuran.

   Ketika mendengar berita tersebut, bagaikan sebatang anak panah menembus hatinya, sekujur tu-buh nenek itu gemetar keras, air mata pun bercu-curan dengan derasnya.

   Diam-diam Ji-sia heran, ia tak mengerti kenapa nenek itu bisa sedemikian sedihnya demi mendengar berita meninggalnya Oh Kay-gak.

   Bagi seorang yang telah lanjut usia, walaupun di antara mereka pernah berseri rasa cinta pada masa muda dulu, namun setelah melewati kehidup-an yang begini lama, seharusnya cinta tersebut ikut menipis oleh berlalunya sang waktu, sekalipun te-rasa sedih juga ketika mengetahui bekas kekasihnya meninggal, tidak sepantasnya rasa sedih itu se-demikian dalamnya.

   Kiranya Ji-sia menduga nenek ini dulu per-nah jatuh cinta kepada Oh Kay-gak, mana ia tahu hubungan apa *** ( )*** sesungguhnya yang terkait antara nenek ini dengan Oh Kay-gak? Setelah terdiam sekian lama akhirnya nenek itu menangis terisak, gumamnya.

   "O, engkoh Gak, kau telah mati! Kau telah mati! Kau tahu tak kusangka kau akan berangkat lebih dulu! Tentu kau tak tahu aku masih menerima siksaaa hidup di sini? Aku tahu kau menyesal, tapi kau tak men-dengar lagi kata-kataku yang memaafkan semua ke-salahanmu itu, O, engkoh Gak? Aku menangis untukmu, dengarkah kau? "Siang malam aku selalu berdoa untukmu, tak kusangka kau bakal pergi mendahuluiku! Aku tahu, kau seorang yang beriman teguh, berwatak keras, masa begini cepat kau meninggalkan diriku? Aku tahu ya aku tahu kau rela mati, kau hen-dak membalas budi kebaikanku. O, engkoh Gak!"

   

   Jilid 16 Diiringi jeritan lengking panjang, mendadak nenek itu jatuh tak sadarkan diri. Ji-sia terkejut, segera teriaknya.

   "Nenek, sadar-lah, sadarlah!"

   Ji-sia ingin menyadarkan dia, tapi baru saja tubuhnya bergerak, lukanya segera terasa sakit, buru-buru ia menarik napas dan menenangkan diri.

   Aneh juga, bila Ji-sia menahan perasaannya, rasa sakit itu segera lenyap, sebaliknya begitu ia bergoyang sedikit saja, maka luka kembali terasa sakit Ia duduk termenung, entah berapa lama sudah lewat, mendadak hatinya tergerak, ia teringat pada isi kitab pusaka Koat-im-siang-gi-cinkeng yang per-nah dipelajarinya, walaupun kitab itu berisikan jurus ilmu silat, tapi semuanya merupakan ilmu sakti yang luar biasa hebatnya, serta kunci *** ( )*** pelajaran tenaga dalam, siapa tahu kalau di antaranya dapat digunakan untuk menyembuhkan luka? Maka dengan saksama Ji-gia mulai berpikir, inilah satu-satunya harapan baginya untuk hidup, maka dengan teliti ia berpikir keras.

   Tak lama kemudian, Ji-sia merasa, kecuali em-pat jurus serangan seperti Kiu-thian-hui-coan (sem-bilan naga terbang berputar), Gi-Khi-hui-thian (ganti napas berputar di udara), Seng-yau-hau-gwat (bintang bertaburan sekitar rembulan) dan Ih-lwe-kun-gi (jagat berputar terus pada poros), rasanya tiada jalan lain yang bisa dipakai untuk pengobatan.

   Berpikir sampai di sini, Ji-sia lantas mengerahkan tenaga keempat gerakan itu.

   Tak lama kemudian, air muka Bok Ji-sia mu-lai pucat, keringat dingin membasahi sekujur badan-nya, kulit muka pun mengejang penuh derita.

   Keadaan ini serupa waktu ia hendak mem-buyarkan hawa panas yang membeku dalam urat nadinya tempo hari.

   Mendadak terdengar seseorang menghela napas sedih dan berkata.

   "Kau jangan mengerahkan te-naga dalammu lagi, jangan membuat lukamu ber-tambah parah."

   Mendengar ucapan itu, Ji-sia membuka mata-nya, ia lihat nenek berambut putih itu duduk bersila di hadapannya.

   "Ai, aku selalu tak mampu menyembuhkan lukaku sendiri,"

   Keluh Ji-sia sambil menghela napas.

   "Kau terluka oleh ilmu Thian-kang-ci-sinkang yang lihai, urat nadi anggota tubuhmu sama mampet, sehingga peredaran darah dari atas ke bawah tak dapat beredar dengan lancar, itulah sebabnya setiap kali bergerak, mulut luka terasa sakit sekali, bila kau hendak menyembuhkan luka itu, harus kau- lakukan dengan kaki di atas dan kepala di bawah, dengan pemutaran balik im-yang tersebut, lalu mengerahkan *** ( )*** tenaga.

   Hal mana akan membuat da-rah beredar terbalik, ini akan melancarkan kembali urat nadi yang tersumbat, asal beristirahat bebe-rapa waktu dengan tenang, maka luka itu akan sembuh dengan sendirinya.

   "Cuma, satu-satunya cara pengobatan ini hanya berlaku untuk kaum lelaki yang masih perjaka, ka-lau bukan perjaka, maka luka itu takkan sembuh untuk selamanya."

   Mendengar perkataan itu, Ji-sia merasakan ke-palanya menjadi pusing dan matanya berkunang-kunang, sabab dia merasa bukan perjaka lagi.

   Iapun tahu bahwa Thian-kang-ci-sinkang adalah kepandaian yang amat ganas, jangankan urat nadi anggota badan terluka, sekalipun luka terletak di tempat lain pun akan menyebabkan korban tak tahan.

   Dengan sedih ia menghela napas panjang, ia merasa begitu banyak godaan dan percobaan da-lam hidupnya, setiap saat terancam bahaya, setiap waktu harus berduel melawan maut.

   Sesaat kemudian, sambil tertawa getir Ji-sia bertanya.

   "Nenek, bagi korban Thian-kang-ci sinkang, kecuali memutar balikan Im-yang dan per-edaran darah, apakah tiada cara lain lagi yang bi sa digunakan untuk mengobati lukaku?"

   Nenek berambut putih itu tertegun, lalu jawab-nya.

   "Ada sih ada, cuma.."

   "Cuma apa?"

   Seru Ji-sia dengan bersemangat.

   "Cuma mesti ada enam jago silat yang memiliki tenaga dalam lebih lihai dari padamu dan secara be-runtun menepuk ke 72 jalan darah penting dari enam sudut yang berbeda "

   Mendengar ucapan ini hati Ji-sia seketika men-jadi dingin, jangankan sukar menemukan enam jago lihai pada saat ini, sekalipun ada, berapa banyak orang yang memiliki tenaga dalam lebih sempurna darinya? Atau dengan perkataan lain, cara ini pun tak mungkin terlaksana.

   *** ( )*** Ia tertawa sedih, katanya.

   "Nenek, kau tak perlu bicara lagi, akupun enggan menyembuhkan lukaku."

   Nenek itu heran.

   "Kau betul-betul seorang aneh yang jarang ada di dunia ini, tadi kau mendesak-desak, sekarang kau menolak, sungguh bikin orang tak habis mengerti!"

   Tampaknya ia dibikin bingung oleh sikap Ji-sia yang aneh itu.. Dengan cepat Ji-sia membuang jauh-jauh se-mua persoalan yang menyedihkan, pikirnya.

   "Bila melihat kesedihan si nenek setelah mendengar be-rita kematian guruku, Oh Kay-gak, bisa diduga ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Suhu, hanya sayang tidak kuketahui hubungan apakah yang sebenarnya terjalin di antara mereka? Kini nyawaku sudah berada dicengkeraman elmaut, se-belum meninggal kenapa tidak kucoba untuk me-mancing sedikit keterangannya hingga bisa kuketa-hui kejadian apa yang pernah menimpa guruku pada masa lalu serta hubungan cinta dan dendamnya yang memilukan hati?"

   Berpikir demikian, dengan tersenyum ia berkata.

   "Nenek, jika kulihat kesedihanmu tadi, apakah engkau kenalan lama guruku Oh Kay-gak di masa lalu..?"

   Walaupun sudah tahu ia pura-pura bertanya lagi, di sinilah letak kecerdikannya.

   Mata nenek itu kembali basah oleh air mata, tubuhnya gemetar keras, kesedihannya membuat orang ikut terharu, setelah menghela napas, ia ter-belalak kesima.

   Kenangan lama satu demi satu terlintas dalam benaknya.

   Inilah kenangan yang memilukan hati, kenang-an yang sudah delapan belas tahun lamanya terta-nam dalam hatinya! Delapan belas tahun, suatu wak-tu yang tidak terhitung pendek, tapi sedetik demi sedetik dan semenit demi semenit telah dilaluinya.

   *** ( )*** Terkadang ia pikir kematian akan membebas-kannya dari segala-galanya, tapi walaupun jasad bi-sa bebas, sukma yang gentayangan akan lebih ter-jerumus ke dalam jurang kesedihan yang tak ber-akhir, keadaan ini akan jauh lebih tersiksa daripa-da kematian itu sendiri ..

   Apalagi dalam hatinya masih menyimpan se-titik harapan, karena harapan inilah ia dapat ber-tahan hidup sampai kini.

   Ia melelehkan air mata tanpa mengeluarkan suara tangisan.

   Tangisan tanpa suara lebih me-nyiksa daripada tangisan bersuara, sekuatnya ia me-nahan kesedihan dan mengenang kembali kejadian masa silam.

   Bok Ji-sia tak mengira ucapannya akan me-mancing rasa sedih yang begini mendalam bagi ne-nek itu, timbul rasa ibanya, entah mengapa dia ikut melelehkan beberapa titik air mata.

   Tanyanya ke-mudian.

   "Mungkin kalian adalah sepasang kekasih!"

   Nenek berambut putih itu tertawa pedih.

   "Bu-kan cuma kekasih saja, bahkan suami istri"

   Ji-sia terperanjat, mimpi pun ia tak menyangka nenek ini adalah istri gurunya, ibu guru sendiri.

   Jadi hubungan antara Oh Keng-kiau dengan nenek bercadar ini kecuali hubungan guru dan mu-rid, mungkin masih ada pula hubungan lain yang luar biasa, walaupun hubungan itu bisa diduga, na-mun sungguh membuat orang tidak habis mengerti.

   "Jadi Oh Keng-kiau adalah putrimu?"

   Tanya Ji-sia dengan gemetar. Setelah berhenti sejenak, buru-buru ia memberi hormat, katanya.

   "Dosa Tecu benar-benar tak terampunkan, kekasaran Tecu barusan harap Subo (ibu guru) sudi memaafkan" *** ( )*** "Yang tidak tahu tak bersalah, dalam peristiwa tadi kau tak bisa disalahkan,"

   Kata nenek itu sam-bil menggoyang tangan.

   "walaupun Keng-kiau ada-la h putri kandungku, namun kami berdua hanya terbatas pada hubungan guru dan murid, selama ini ia tak tahu keadaan yang sesungguhnya."

   Mendengar itu, Ji-sia menghela napas.

   "Ibu dan anak saling berhadapan ternyata tak mengenal satu sama lain, sungguh suatu peristiwa yang tragis! Aku benar-benar tak tahu bagaimana caranya Subo hi-dup selama delapan belas tahun ini?"

   Nenek bercadar itu menghela napas sedih.

   "Anak Sia, Subo bisa hidup hingga kini, tak lain karena anakku Keng-kiau,"

   Katanya.

   "setiap kali bertemu dengannya, akupun teringat kepada Kay-gak, rasa hatiku seperti tersayat."

   Panggilan "anak Sia"

   Itu bagaikan panggilan dari seorang ibu terhadap anaknya, Ji-sia merasakan dirinya seakan-akan berada dalam pangkuan ibunda, sa-king terharunya air mata jatuh bercucuran.

   "Subo!"

   Serunya sambil menahan rasa iba.

   "apakah engkau tidak mempunyai rencana untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya kepada adik Keng-kiau?"

   Nenek bercadar itu menggeleng kepala berulang kali.

   "Lebih baik persoalan ini jangan diceritakan kepadanya, kini Keng-kiau hidup gembira, jika ia mendapat tahu keadaan yang sebenarnya, dalam hatinya yang suci bersih akan tergores luka yang da-lam sekali.

    Ji-sia, kau mengerti bukan maksud perkataanku? Semua ini hanya demi Keng-kiau, kalau tidak .

   ai! Masa lalu takkan kembali lagi, yang sudah biarkanlah lalu!"

   Suatu pergolakan perasaan yang aneh tiba-tiba menerjang keluar dari hati Ji-sia, ia merasa Thian terlalu tidak adil, kenapa pelbagai siksa derita harus dilimpahkan pada tubuh kaum perempuan yang tak berdaya? Membuat mereka tersiksa siang dan malam tanpa kesal belas kasihan! *** ( )*** Akhirnya ia menjerit.

   "Subo, tegakah engkau membiarkan adik Keng-kiau menganggap musuh sebagai ayahnya? Masa kau biarkan dia tak kenal orang tua sendiri? Meski engkau sayang kepadanya, tapi justeru telah mencelakainya, orang hidup bila tidak kenal kedua orang tua, untuk apa dia mempertahankan hidupnya? Apakah kau suka asal-asul adik Keng-kiau akan menjadi teka-teki seumur hidup? Tindakanmu ini sungguh terlalu! Apalagi orang yang membesarkan dia, justeru adalah pembunuh ayah-nya. Subo, engkau keliru besar"

   "Tutup mulut!"

   Mendadak si nenek membentak.

   Karena bentakan itu, Ji-sia tersadar, walaupun uraiannya diberikan dengan tegas dan berani, tapi bagaimanapun nenek itu adalah ibu gurunya, tim-bul rasa menyesalnya, tanpa terasa ia menunduk ke-pala rendah-rendah.

   "Subo, akulah yang bersalah!"

   Katanya pedih. Tiba-tiba nenek itu menghela napas panjang, katanya.

   "Kau tidak bersalah, yang bersalah ada-lah Subo, belasan tahun aku tak dapat menembus pikiran sesat ini, tapi sekarang aku telah mengerti, aku tahu apa yang harus kulakukan.

   "Ai delapan belas tahun sudah lewat, setiap saat batinku selalu bertentangan, tapi kini aku mulai sadar, apa yang kau katakan justeru merupakan sumber utama pertentangan batinku, sekarang aku benar-benar memahami makna kehidupan manusia."

   Bicara sampai di sini, air matanya bercucuran penuh kepedihan.

   Mendadak sesosok bayangan berkelebat di de-pan pintu, tahu-tahu seorang telah berdiri tegak di situ.

   Hati Ji-sia berdua bergetar, sejak kapan orang datang kemari? Kejadian isi terlampau mendadak, sungguh mereka hampir tak percaya.

   *** ( )*** Oh Keng-kiau berdiri di situ dengan air mata bercucuran, ia memandang ke arah si nenek ber-cadar dengan wajah memelas, bibirnya bergerak se-perti mau bicara, hanya air mata yang meleleh ti-ada hentinya.

   "Ibu!"

   Oh Keng-kiau lari ke depan dan me-nubruk ke dalam pelukan nenek bercadar itu, de-ngan luapan emosi kedua orang itu saling berangkulan dan menangis tersedu.

   Semenjak kecil Oh Keng-kiau sudah mendamba-kan seorang ibu, kini setelah berhadapan dengan ibu kandungnya, justeru tak sepatah kata pun sang-gup diucapkan.

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ji-sia menghela napas, pelahan ia memejamkan mata.

   Nenek itupun menghela napas, katanya.

   "Keng-kiau, kau telah mendengar semuanya?"

   "Ya, semuanya telah kudengar,"

   Sahut gadis itu sambil menangis.

   "Oh ibu, betapa sengsaranya anakmu, mengapa engkau mengelabuiku?"

   Mendadak terdengar suara langkah orang ber-kumandang dalam ruangan itu, Ji-sia bertiga sama melengak dan mulai menduga-duga, mendadak pe-muda itu melompat bangun.

   "Anak Sia, tubuhmu terluka parah, biar aku yang menghadapinya"

   Cegah si nenek sambil menepuk bahu anak muda itu. Dengan gerak cepat ia menyelinap keluar ruangan dan sekejap kemudian sudah lenyap dari pandangan. Seperginya nenek itu, dengan air mata masih ber-linang Oh Keng-kiau berkata.

   "Tak perlu gugup engkoh Bok, tempat ini adalah tempat pertapaan ibuku, siapapun tak berani kemari . Eh, kenapa wajahmu tak sedap dipandang?"

   Ia terkesiap, lalu berkata lebih lanjut.

   "O, ru-panya kau terkena pukulan Thian-kang-ci-sinkang guru . ibuku? Ah, bagaimana baiknya?" *** ( )*** Saking cemasnya, kembali air mata Keng-kiau bercucuran.

   "Aku tidak apa-apa,"

   Ucap Ji-sia dengan penuh rasa terima kasih.

   "inilah musibah, ini pula nasib."

   Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak-nya, ia pikir.

   "Pukulan Thian-kang-ci-sinkang ter-masuk pukulan berhawa panas, jika dilawan de-ngan hawa dingin, entah bagaimana reaksinya? Ke-napa tidak kucoba sendiri? Gagal atau berhasil tam-paknya bergantung pada tindakanku ini "

   Berpikir demikian, buru-buru katanya kepada Keng-kiau.

   "Sumoay, gunakan hawa dinginmu yang lembut untuk menahan Hian-ki dan Tiong-siu-hiat di tubuhku, cepat!"

   "Mampukah cara ini menyembuhkan lukamu?"

   Tanya si nona dengan sangsi.

   Sekalipun sangsi tetap Keng-kiau menempelkan juga telapak tangannya pada Hian-ki serta Tiong-siu-hiat di tubuh pemuda itu.

   Buru-buru Ji-sia mengerahkan tenaga dalam untuk melakukan perlawanan, tapi lantaran me-ngerahkan tenaga, lukanya lamat-lamat terasa sakit pula.

   Butiran keringat sebesar kedelai bercucuran membasahi tubuhnya, ia ingin batalkan niatnya me-ngobati lukanya, tapi tenaga dalam Oh Keng-kiau telah menerjang tiba dengan dahsyatnya, hal ini membuatnya tak sanggup berhenti.

   Entah sudah berapa lama, ketika ia sadar kem-bali, semua rasa sakit telah hilang.

   Pada saat itulah terdengar dengus orang ber-kumandang ke dalam ruangan, menyusul sesosok bayangan hitam berkelebat tiba.

   Dengan rasa gemas nenek bercadar itu muncul kembali di situ, belum lagi ia berdiri tegak lantas membentak dengan nyaring.

   "Siapa?" *** ( )*** "Hahaha. ."

   Mengikuti suara bentakan itu, dalam ruangan telah bertambah satu orang. Begitu mengetahui orang itu adalah Oh Kay- thian, hati Bok Ji-sia bergetar, dengan cepat ia me-lompat bangun, tapi si nenek bercadar segera menghalanginya.

   "Oh Kay-thian!"

   Serunya sambil tertawa dingin.

   "jika kau berani mengganggu seujung rambut-nya, segera kukuliti tubuhmu!"

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian terbahak-bahak.

   "Bok- siauhiap, kembali kita bersua, setelah datang di Thian-seng-po, kenapa tidak mengabarkan ke-datanganmu kepadaku agar aku bisa menjadi tuan rumah yang baik?"

   Kata-kata itu diucapkan dengan ramah, sama sekali tidak tampak kebengisan seorang gembong iblis yang berhati busuk dan kejam. Ji-sia mendengus.

   "Terima kasih atas kebaik-anmu."

   Melihat kedatangan "ayahnya", sekujur badan Oh Kengkiau gemetar dengan keras, sekarang dia baru tahu Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian bukan ayahnya melainkan musuhnya, pembunuh ayahnya, rasa hormatnya seketika tersapu lenyap, dia melotot dengan penuh kebencian.

   Menyaksikan sikap gadis itu, Oh Kay-thian malah tertawa, tegurnya.

   "Keng-kiau, kenapa tidak memanggil ayah?"

   Bagaikan ditusuk jarum yang tajam, sekujur badan Oh Keng-kiau serasa mengejang, katanya de-ngan gemetar.

   "Kau bukan ayahku, aku benci pa-damu!"

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertegun, ia me-mandang sekejap, kemudian serunya.

   "Keng-kiau, kenapa kau? Apakah kau mendapat penghinaan? Atau mendapat hasutan orang yang hendak me-misahkan cinta kasih kita sebagai ayah dan anak? Ai, Keng-kiau, ibumu sudah lama meninggal, ayah-lah *** ( )*** yang memeliharamu hingga dewasa, apakah kau tak akui ayahmu lagi?"

   Keng-kiau tertawa pedih, sambil mendekap kepala sendiri serunya.

   "O, Thian, kenapa aku tidak mengetahui persoalan ini, kenapa .?"

   Dalam waktu singkat awan mendung serasa menyelimuti suasana ruangan itu, dengan penuh derita Keng-kiau memegang kepala sendiri dan lari ke luar.

   Pukulan batin ini terlampau berat, hati suci gadis itu kini diliputi selapis bayangan gelap.

   Ji-sia segera membentak.

   "Su-moay, kau hendak ke mana?"

   Cepat ia memburu maju, tangannya direntang-kan dan mencengkeram lengan si nona.

   "Jangan sentuh dia."

   Suatu bentakan nya-ring menggelegar.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian telah angkat telapak tangannya yang besar dan menghantam Ji-sia dengan jurus Ngo-teng-kay-san (lima raksasa menggali gunung).

   Ketika menyaksikan Keng-kiau pergi mening-galkan tempat itu, rasa gusar dan kesal si nenek lantas dilampiaskan kepada Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, sambil tertawa seram ia menerjang maju.

   "Oh Kay-thian!"

   Bentaknya.

   "hari ini boleh kau rasakan kelihaian ilmu jari Thian-kang-ci ini!"

   Kelima jari tangannya menjentik ke udara, dua gulung tenaga serangan yang dahsyat diiringi de-sing angin tajam langsung menyambar ke bagian mematikan di tubuh Oh Kay-thian.

   Jurus Thian-be-heng-gong (kuda langit berjalan di angkasa) yang digunakan Oh Kay-thian belum sepenuhnya dan lantas *** ( )*** disergap, dalam kagetnya buru-buru ia berputar dan melayang sejauh bebe-rapa depa, terpaksa ia harus meninggalkan Bok Ji-sia yang diserangnya itu.

   Ji-sia membentak dan menyusul dari belakang, mendadak Ok Kay-thian berteriak.

   "Tunggu seben-tar!"

   "Apalagi yang hendak kau katakan?"

   Seru Ji-sia. Oh Kay-thian memandangnya sekejap, lalu ter-tawa dingin, kemudian ia berpaling ke arah si nenek, katanya.

   "Enso, kenapa tidak kau lepaskan saja ka-in cadarmu itu agar Samtemu dapat menyaksikan lagi kecantikan paras Enso masa lampau? Apakah engkau hendak merahasiakan terus dirimu?"

   Setelah berhenti sejenak, ia lalu melanjutkan.

   "Padahal sejak kau masuk ke dalam Thian-seng-po, aku sudah tahu siapakah dirimu, tapi demi Keng-kiau terpaksa aku pura-pura tidak tahu, agar kalian ibu dan anak bisa berkumpul setiap hari.

   "Tempo hari, karena pergolakan emosi, aku telah melakukan perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan, tapi penderitaan batinku sungguh tak terlukiskan, senantiasa aku ingin memohon maaf kepada Jiko, tapi aku tak berani berbuat demikian.

   "Untuk menyatakan rasa menyesalku kepada Jiko dan Enso, semua pikiran dan perhatianku ham-pir kucurahkan atas diri Keng-kiau, belum pernah kumaki dia, belum pernah kubentak dia, apakah sebabnya semua itu? Tak lain demi Ensoku."

   Dari pembicaraan ini, lamat-lamat Ji-sia da-pat menyelami rasi "benci"

   Gurunya masa lalu, ser-ta perselisihan di antara mereka bersaudara tam-paknya tak lain adalah soal cinta.

   Dengan air mata berlinang nenek itu menarik kain yang menutupi mukanya itu.

   *** ( )*** Mata Ji-sia terbeliak, seraut wajah yang cantik segera muncul di depan matanya, meski rambut telah beruban, namun tidak menutupi bekas kecan-tikannya masa lalu.

   Raut mukanya persis muka Oh Keng-kiau, seandainya rambutnya tak beruban dia bisa mengira mereka adalah kakak beradik, Ji-sia lebih-lebih tak menyangka bahwa perempuan setengah tua ini tak lain adalah isteri kesayangan gurunya.

   Dengan luapan emosi, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berseru.

   "Adik Ling, kau masih tetap cantik!"

   "Tutup mulut!"

   Bentak perempuan cantik itu dengan mata melotot, bagaimana pun juga aku adalah istri Jikomu, sepantasnya kau memanggil aku Enso, bila berbicara kekejamanmu terhadap kakakmu sendiri, sungguh aku ingin membalaskan den-dam bagi suamiku saat ini, tak dapat kubiarkan kau hidup lebih jauh.."

   "Seandainya bukan gara-garamu, kami suami istri tak akan berpisah selama delapan belas tahun.

   Oh Kay-thian, hatimu sungguh keji dan beracun, sungguh membuat orang murka dan dendam, tak nyana kau berani melakukan perbuatan terkutuk, membikin sengsara orang seperti apa yang kualami ini."

   Pucat air muka Oh Kay-thian, dengan agak tersipu-sipu katanya.

   "Adik Ling, aku berbuat se-mua ini tak lain karena aku cinta padamu..." "Aku Bwe Siau-ling punya she dan nama!"

   Bentak perempuan cantik itu lagi.

   "bila kau enggan memanggilku sebagai ensomu, panggil saja dengan sebutan Se-to-sianci (dewi cantik dari pulau barat) jika menyebut adik Ling terus menerus, jangan me-nyesal bila aku tak sungkan-sungkan lagi pa-damu!"

   Dengan sedih Oh Kay-thian berkata.

   "Adik Ling, kau." *** ( )*** "Plak! Plok! Plak! Plok!"

   Seketika itu pipi Oh Kay-thian merah bengkak akibat tamparan keras.

   Selesai menampar Oh Kay-thian, tampaknya kemarahan Se-to-sianci Bwe Siau-ling belum reda, dengan gemas ia mendelik.

   Bok Ji-sia mengikuti adegan tersebut, ia geleng kepala dan menghela napas, ia tak menyangka se-orang gembong iblis lihai dapat berubah menjadi begitu lemah dan tak berguna akibat belenggu cinta.

   Sampai di sini, sambil tertawa hina ia berjalan keluar ruangan.

   "Berhenti!"

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian mem-bentak, ia menerjang ke depan pintu, kedua tangan direntangkan mengalangi anak muda itu, de-ngan wajah hijau membesi dan penuh rasa dendam dia awasi pemuda itu tanpa berkedip.

   Bok Ji-sia yang angkuh dan keras kepala tentu saja enggan berhenti di situ, sambil mendengus ia langsung menerjang ke depan.

   "Kau cari mampus!"

   Bentak Oh Kay-thian de-ngan gusar.

   Di tengah bentakan segera ia menerjang maju dengan cepat.

   Melihat orang menerjang tiba, semangat Ji-sia terbangkit, sambil tertawa kaki kirinya maju se-langkah, lalu berputar dan kedua telapak tangan direntangkan, lalu berputar membalik dan menghantam tubuh Oh Kay-thian.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah jago li-hai golongan hitam dan termasuk salah satu di an-tara Bu-lim-jit-coat, tenaga dalamnya sempurna, sambil tertawa dingin ia sambut serangan itu.

   Ketika dua gulung angin pukulan yang sama dahsyatnya itu saling bentur, timbul suara keras dengan pusaran angin, debu pasir beterbangan.

   Tubuh Oh Kay-thian berguncang, sebaliknya Bok Ji-sia tergetar mundur dua langkah.

   *** ( )*** Se-to-sianci menyaksikan pertarungan itu dan terkesiap, segera melompat maju dan berdiri di an-tara kedua orang itu, sambil tertawa dingin katanya.

   "Oh Kay-thian, kau hendak mengapakan dia?"

   Oh Kay-thian menghela napas.

   "Ai, baiklah! Untuk kali ini kuampuni jiwamu!"

   Ji-sia mendengus, lalu tertawa terbahak-bahak.

   "Oh Kay-thian, suatu ketika kau pasti akan mati di tanganku!"

   Memandangi bayangan Ji-sia yang menjauh, tersembul senyuman misterius pada wajah Oh Kay-thian, setelah memberi hormat kepada Se-to-sianci, iapun mengundurkan diri.

   Ji-sia baru saja keluar, angin tajam mendadak menerjang dari depan, dia menarik napas dan ber-siul panjang, cahaya emas memancar, ruyung Jian-kim-si-hun-pian menyapu ke depan.

   Jeritan ngeri berkumandang, sesosok tubuh ting-gi besar terbanting ke tanah dengan batok kepala hancur dan tewas seketika.

   Tanpa memeriksa keadaan musuh pemuda itu melompat ke atas atap rumah.

   Suasana di sekeliling tempat itu hening.

   Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat tiba, entah gerak-an apa yang digunakan, tahu-tahu sudah berdiri di depan anak muda itu.

   Setelah berhenti, orang itu bergelak tertawa, serunya.

   "Bok-lote, tak kusangka kita akan bersua kembali di sini!"

   Ji-sia merasa muak melihat tampang Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat yang penuh kelicikan itu, katanya dengan dingin.

   "Ada urusan apa "

   Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat melirik sekejap ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian, sahutuya.

   "Ai, aku cukup jelas akan watak manusia, seperti Bok-lote yang membawa benda *** ( )*** mestika, pertikaian jelas tak bisa dihindari, badai berdarah sekarang juga akan berlangsung, semua ini boleh dibilang akibat Bok-lote seorang"

   Ji-sia tidak paham maksud perkataannya, ma-ka ia tak menggubrisnya, sambil tertawa dingin kembali ia meneruskan perjalanan ke depan.

   "Apakah kau tidak menginginkan lagi sarung Jian-kim-si-hun-pian itu?"

   Teriak Oh Ku-gwat tiba-tiba. Cepat Ji-sia berhenti dan bertanya.

   "Di mana?"

   Thian-kang kiam Oh Ku-gwat tertawa terkekeh.

   "Dengan mempertaruhkan perselisihanku dengan saudara sendiri, aku bersedia memberitahukan hal ini kepada Bok-lote, biar kau tahu betapa maksud baikku ini.."

   "Hm, sekalipun kau mengibul setinggi langit, aku selalu waspada terhadapmu"

   Demikian Ji-sia berpikir. Belum habis ingatan tersebut terlintas, terdengar Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat berkata pula.

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dewasa ini para jago dari pelbagai perguruan dan aliran telah berdatangan di sudut utara Thian-seng-po, kemungkinan besar Samteku pun segera akan tiba di sana!"

   Baru selesai berkata, tampak empat sosok bayang-an berkelebat lewat dan semuanya menuju ke arah utara Thian-seng-po, melihat itu Ji-sia segera tahu apa yang diucapkan Oh Ku-gwat tidak bohong, ce-pat ia menyusul ke sana.

   Wajah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat yang ter-lihat licik dan keji memandang bayangan punggung anak muda itu sambil tertawa dingin.

   "Orang she Bok,"

   Demikian gumamnya.

   "bila tidak mengingat dirimu masih ada harganya untuk dipergunakan, tak nanti kubiarkan kau tinggalkan benteng ini dengan selamat. Hah, hanya kau yang merupakan bahaya bagi Samteku . Hahaha . asal kau Bok Ji-sia berseteru dengan *** ( )*** Samteku, cepat atau lambat ruyung mestika itu pasti akan jatuh ke tanganku . Hehe . boleh bertarung kalian sam-pai mampus semua!"

   Dengan senyuman yang licik, dia juga berlalu dari situ.

   Waktu itu, di sudut utara Thian-seng-po sedang berlangsung suatu pertemuan besar.

   Ketika Ji-sia tiba di situ, tampak bayangan orang berjubal, wajah mereka sama menampilkan sikap yang aneh, seakan-akan sedang menantikan sesuatu! Seperti juga sedang mengawasi sesuatu? Entah sedari kapan di tanah lapang itu telah berdiri sebuah panggung yang amat tinggi, lebarnya dan tinggi satu tombak lebih, warna panggung itu kuning emas, di atasnya terpancang sebuah papan nama berhuruf besar dan berbunyi "Kim-leng-tay" (panggung komando).

   Di sekitar sana didirikan pula empat buah barak, setiap barak terpancang sebuah papan nama yang secara berurutan tertulis nama-nama seperti Thian-seng-po, Kiam-hong-ceng, Su-toa-to dan Hek-liong-kang.

   Di antara barak dengan panggung Kim-leng-tay di tengah lapangan berjajar berpuluh buah kursi batu, jelas tempat itu disediakau untuk para jago lihai yang tidak bergabung dalam suatu kelompok tertentu.

   Waktu itu, tak sedikit jago persilatan yang telah berdatangan, kebanyakan mereka duduk di sana dengan sikap yang dingin dan hambar, mere-ka tidak saling bercakap-cakap, pun tidak saling menyapa.

   Suasana hening dan terasa khidmat sekali.

   Kawanan jago dari pihak Thian-seng-po belum datang, baraknya masih kosong melompong, barak Hek-liong-kang pun kosong, belum ada penghuninya.

   Sedangkan dari pihak Su-toa-to (empat pulau besar), kecuali dua puluhan laki-laki berbaju hitam yang berdiri di *** ( )*** seputar barak, ruang barak yang berisi empat tempat duduk itu juga masih kosong, sudah barang tentu tempat itu disediakan untuk keempat Toatocu atau kepala pulau.

   Dari pihak Kiam-hong-ceng sudah tak sedikit jago yang datang, Huan-in-kiam Lamkiong Giok dengan senyum dikulum duduk dalam barak, di sampingnya masih tersedia sebuah tempat kosong, sedang di sekelilingnya penuh berdiri jago-jago lihai dari pihak Kiam-hong-ceng.

   Dengan sikap yang jumawa dan gagah, Huan-in-kiam Lamkiong Giok duduk di situ, sorot matanya berulang kali menyapu pandang sekeliling tempat itu, seakan-akan tidak memandang sebelah mata terhadap orang lain.

   Kawanan jago yang berada di luar barak sa-ma-sama menunjukkan sikap tak puas, namun me-reka tak berani melakukan sesuatu tindakan atau bersuara yang menunjukkan ketidakpuasannya.

   Mendadak terdengar seorang mendengus, per-hatian semua orang segera tertuju ke arah orang itu.

   Beratus pasang mata bersama-sama tertuju ke arah orang itu dengan pandangan keheranan, se-dang orang itu dengan sinis melotot sekejap ke arah Lamkiong Giok, kemudian tertawa terbahak-bahak, sikapnya yang sinis dan menghina itu mem-buat orang tak tahan.

   Setelah mengamati sekejap keadaan orang itu, Huan-in-kiam Lamkiong Giok diam-diam merasa terperanjat, ia lihat orang itu berwajah tampan, kulit tubuh putih bersemu merah, sekalipun sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, ternyata tak dikenalnya siapa gerangan orang ini.

   Lamkiong Giok mengerling, lalu tertawa ter-bahak-bahak, sapanya.

   "Saudara, siapa namamu yang terhormat? Bersediakah datang kemari dan duduk bersamaku?" *** ( )*** "Terima kasih,"

   Jawab sastrawan tampan itu sambil tertawa dingin.

   "aku tak berani menerima kebaikanmu itu!"

   Habis berkata ia lantas melengos ke arah lain, ia tidak menggubris Lamkiong Giok lagi.

   Melihat tingkah laku sastrawan yang aneh itu, kembali para jago terperanjat, diam-diam mereka meraba-raba asal-usulnya.

   Lamkiong Giok merasa mendongkol sekali, na-mun rasa mendongkolnya sukar terlampias keluar, ia hanya tertawa, suaranya dingin menyeramkan, membuat para jago yang mendengar suara tertawanya itu sama terperanjat.

   Belum habis ia tertawa, sekilas dilihatnya ke-hadiran Bok Jisia, tergerak hatinya, sambil tertawa ia berkata.

   "Aha, saudara Bok, sudah lama Siaute menantikan kedatanganmu, silakan lekas"

   Sembari berkata, ia meninggalkan tempat du-duknya untuk menyambut anak muda itu.

   Sinar mata para jago beralih ke arah Bok Ji-sia, melihat sikap Lamkiong Giok dapat diketahui bahwa orang yang disambutnya sendiri itu pasti mempunyai asal usul yaug besar, tapi ketika me-lihat Bok Ji-sia, tanpa terasa semua orang sama memperdengarkan suara kecewa.

   Melihat sikap hormat Lamkiong Giok terhadap dirinya, Ji-sia merasa terharu, serunya dengan penuh rasa terima kasih.

   "Saudara Lamkiong, selamat ber-temu kembali!"

   Kemudian sambil bergandengan tangan mereka berjalan bersama, sikap mesra seperti ini segera membuat para jago terkesiap.

   Ketika sastrawan tampan itu melihat kedatang-an Bok Ji-sia, air mukanya segera berubah, tapi lantas tenang kembali, dia terus memandang awan di angkasa dengan termangu-mangu.

   Ji-sia memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya.

   "Saudara Lamkiong, tidak sedikit yang datang hari ini?" *** ( )*** "Ah, semua manusia yang tak ada artinya, yang menonjol paling-paling cuma satu-dua orang saja!"

   Dengus Lamkiong Giok. Ucapan itu diutarakan dengan suara lirih, tapi sastrawan itu dengan sikap seperti tak sengaja justeru melotot sekejap ke arahnya dengan gusar. Lamkiong Giok menjadi terkejut, pikirnya.

   "Entah siapakah orang ini? Kenapa begitu tajam sorot matanya? Aku mesti hati-hati menghadapinya."

   Kebetulan Bok Ji-sia juga sedang memandang ke arah yang gama, betapa terkesiapnya setelah melihat sastrawan tersebut, ia merasa wajah sastra-wan itu sudah dikenalnya, hanya seketika dia tak ingat di manakah mereka pernah berjumpa.

   Tiba-tiba sastrawan itu tersenyum ke arahnya, lalu cepat berpaling lagi memandang ke arah tulisan "Kim-leng-tay"

   Yang berwarna merah itu.

   Mendadak berkumandang suara tambur dan gembreng yang amat nyaring bagaikan irama dewa yang menimbulkan perasaan aneh bagi siapa pun yang mendengarnya, ketika para jago berusaha men-cari sumber irama tersebut, ternyata tak seorang pun yang mengetahui darimana suara tersebut ber-asal.

   "Empat Tocu dari empat pulau besar tiba!"

   Suara teriakan nyaring berkumandang.

   Beratus pasang mata serentak tertuju ke depan di mana beberapa puluh sosok bayangan orang se-dang bergerak mendekat.

   Cian-ciau-tocu, Ciu-siu-thi-say (singa baja bercambang) In Ceng-bu berjalan paling depan menyusul Tun-bu-tocu.

   Ai-te-liong (si naga ce-bol) Yau Tong-seng dan Tiang-mo-tocu Siu-tiok-hong (angin bambu kurus) Ki Kiu-jin berjalan di tengah, *** ( )*** sedang Hi-kan tocu Lok-to-sianseng (tuan unta) Ciang Lip-tek berjalan paling belakang.

   Dengan lagak yang angkuh, keempat orang Tocu itu masuk ke dalam barak yang telah disedia-kan, sementara anak buahnya segera menyebarkan diri ke kiri dan kanan sambil melolos senjata ma-sing-masing.

   Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu memandang sekejap ke arah Lamkiong Giok, kemudian sambil tertawa seram katanya.

   "Sungguh tak tersangka kedua bocah keparat itu datang lebih duluan!"

   Ji-sia menjadi gusar, bentaknya.

   "Kau boleh datang, memangnya orang lain tak boleh?"

   Se-rentak ia lantas berbangkit.

   "Jangan marah saudara Bok,"

   Lamkiong Giok segera menariknya.

   "asal ayahku datang, keempat Tocu ini pasti akan lari terbirit-birit."

   Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek terbahak-bahak.

   "Orang bilang Lamkiong-loji punya anak seperti naga, rupanya berita ini memang betul, baru ber-temu sudah besar ngibulnya."

   Dengan gusar Lamkiong Giok melotot sekejap ke arahnya, pikirnya.

   "Meski tenaga dalamku melebihi keempat Tocu tersebut, tapi masih ada dua musuh tangguh yang belum datang, aku tak boleh turun tangan secara gegabah hingga merugikan kekuatan sendiri, lebih baik bersabar dulu untuk se-mentara waktu,"

   Dia memang cerdik dan pandai membedakan mana yang penting dan tidak, maka sedapatnya dia tahan rasa gusarnya dan cuma tertawa dingin be-laka.

   "Thian-seng-po tiba!"

   Tertampak Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian me-mimpin sejumlah jagonya muncul di sana.

   Baru saja duduk, para jago *** ( )*** Hek-liong-kang ju-ga menyusul tiba, dengan Pek Sat dan Pek Bi di kedua sisinya, si nona berbaju biru berada di te-ngah, mereka melangkah tiba dengan gemulai.

   "Tok-tok-tok", ketukan tongkat si kakek yang berjalan di depan menimbulkan bunyi nyaring, se-mentara Hoa Hong-hui dengan sikap yang santai menyusul di belakangnya, ia berjalan seenaknya sambil menggoyangkan kipas, sama sekali tidak menghiraukan orang lain.

   Sambil terbahak-bahak Oh Kay-thian lantas berkata.

   "Tak kusangka semua enghiong dunia per-silatan telah datang semua, aku yang tinggal di se-kitar sini merasa bangga atas kehadiran kalian ini."

   "Hmm, tak usah menempel emas di muka sen-diri, kau kira aku tak tahu maksud tujuanmu?"

   Ejek si nona baju biru.

   "Nona memang cerdik, aku sangat kagum. Ten-tunya nona tahu maksud pertemuan ini? Bila ber-sedia untuk bekerja sama, cara yang kukatakan malam itu masih tetap berlaku!"

   "Biar kupikirkan sejenak!"

   Sahut si nona sambil termenung, sejenak kemudian ia berkata.

   "ehm, me-mang lebih baik kita bekerja gama!"

   Ternyata Thian-seng-po dan Hek-liong-kang dapat bekerja sama, hal ini sungguh di luar dugaan, serentak semua jago memandang ke arah mereka dengan tercengang.

   Lamkiong Giok juga kaget, bila Thian-seng-po sampai bekerja sama dengan pihak Hek-liong-kang, itu berarti pihak Kiam-hong-ceng dan empat pulau besar akan tersisihkan, betapapun ia harus berusaha menolong keadaan tersebut.

   Biji matanya lantas berputar, tapi untuk se-saat ia tak berhasil menemukan suatu akal yang baik.

   Tiang-mo-tocu Ki Kiu-jin tertawa seram, ujar-nya.

   "Thian-seng-po menguasai suatu daerah, ter-hitung juga suatu kekuatan dalam Bu-lim, tak ter-sangka begitu rendah *** ( )*** martabatnya sampai harus bersekongkol dengan orang luar daerah. Hahaha, mau-tak-mau harus kukemukakan kecurigaanku terhadap mereka!"

   "Hm, sungguh pendapat orang rendah, bagai-kan katak dalam sumur, sampai di mana pengeta-huanmu?"

   Ejek si nona baju biru. Mendengar perkataan kasar itu, Tiang-mo-tocu Ki Kiu-jin mendengus marah.

   "Budak setan, kau bilang siapa yang rendah?"

   Teriaknya. Lamkiong Giok tidak sia-siakan kesempatan tersebut, sambil tertawa dingin sambungnya.

   "Tentu saja kau yang dimaksudkan!"

   "Lamkiong Giok,"

   Jengek si nona baju biru.

   "selalu kau ingin dunia jadi kacau dan mengadu domba. Sayang ayahmu tidak hadir, kalau hadir tentu ia dapat melihat kehebatanmu ini!"

   Lamkiong Giok mendengus.

   "Hm, sekalipun Locengcu tak hadir, aku bertanggung jawab atas semua persoalan."

   "Huh, tak usah mengibul,"

   Ejek Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian.

   "hari ini, golonganmu masih belum masuk hitungan."

   "Oh Kay-thian, kalau bicara tahulah aturan!"

   Bentak Ji-sia dengan gusar. Mendengar itu, Oh Kay-thian tersenyum.

   "O, tak kusangka Bok-siauhiap juga berada di sini, maaf, maaf!"

   Lamkiong Giok kuatir Ji-sia terbujuk musuh, buru-buru ia berkata.

   "Jangan menjilat pantat orang, Bok-heng tak sudi menggubrismu!"

   Air muka Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian ber-ubah hebat, katanya dengan mendongkol.

   "Rupanya Kim-hong-ceng benar-benar ingin memusuhi Thian-seng-po kami?" *** ( )*** "Hahaha, mana, mana, antara Kiam-hong-ceng dengan Thian-seng po ibaratnya api dan air, soal bertarung, haha , sekalipun tidak jadi hari ini mungkin juga besok, maka bersiap-siap saja me-nerima serangan kami setiap waktu!"

   Percekcokan berlangsung makin sengit, kedua pihak sama sama tidak mengalah, pihak Empat Pu-lau dan Hek-liong-kang hanya berpeluk tangan sambil menonton, cuci tangan dan tidak mencam-puri percekcokan tersebut.

   Mendadak terdengar bentakan nyaring, menyu-sul berkelebat sesosok bayangan, tahu-tahu seseorang telah berdiri di tengah arena.

   Dia adalah sastrawan misterius tadi, ditatap-nya sekejap wajah para jago dengan senyuman sinis, kemudian dengan angkuh ia menegur.

   "Siapa tuan rumah pertemuan ini?"

   Semua orang melenggong, pemimpin dari ma-sing-masing barak saling pandang dengan bingung, tidak ada yang tahu siapa penyelenggara pertemuan ini! Suasana menjadi gempar, semua orang saling berbisik membicarakan persoalan ini, mereka mene-bak siapa tuan rumah pertemuan ini dan apa tuju-annya..

   Kejadian ini sungguh suatu lelucon besar, su-atu pertemuan besar yang dihadiri para jago dari pelbagai penjuru dunia, ternyata tidak diketahui si-apa penyelenggaranya, kalau dibicarakan sungguh membuat orang tidak percaya.

   Sastrawan itu segera menuding Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, namun ia tidak berkata apa-apa.

   Dituding seperti itu, Oh Kay-thian merasa tak enak hati, dengan marah ia lantas menegur.

   "He, mau apa kau tuding aku?"

   "Kaukah tuan rumahnya?"

   Tegur sastrawan itu sambil tertawa dingin. *** ( )*** "Omong kosong!"

   Seru Seng-gwat-kiam Oh Kay thian.

   "bila aku yang mengundang kehadiran para kesatria, tak nanti berada di tempat ini."

   Sastrawan tersebut kembali tertawa dingin.

   "Hm, omonganmu cukup menarik, sayang tehniknya kasar dan dungu. Coba jawab, berapa jauh jarak tempat ini dengan Thian-seng-po?"

   Untuk sesaat Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tak tahu apa yang dimaksudkan sastrawan tersebut, sahutnya tanpa pikir.

   "Paling cuma setegah li."

   Setelah diucapkan ia baru merasa keadaan tak beres, ia merasa tidak sepantasnya dia mendapat pertanyaan dari orang dengan cara begitu, dengan tertawa seram katanya.

   "Atas dasar apa kau tanya aku?" "Hm, Thian-seng-po letaknya berdekatan de-ngan panggung Kim-leng-tay ini, masa kalian tak tahu atas munculnya panggung ini? Bila ini tanpa persetujuanmu Oh Kay-thian, mana mungkin ada orang berani mendirikan sebuah panggung di sini?"

   Hawa amarah mulai menyelimuti wajah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, katanya kemudian.

   "Atas dasar apa kau menanyai diriku? Jika ada urusan, cari saja langsung padaku, meski aku bukan tuan rumah tempat ini, tapi akan kupinjam nama tuan rumah untuk melayani seorang teman seperti kau!"

   "Bila mengaku sejak tadi, urusan kan sudah beres!"

   Sindir Lamkiong Giok sambil tertawa dingin.

   Suara ejekan dan tertawa dingin segera ber-kumandang ke empat penjuru, seorang tokoh termashur dalam dunia persilatan ternyata tak berani mengakui perbuatan sendiri, hal ini merupakan ke-jadian yang sangat memalukan.

   *** ( )*** Disindir semacam ini oleh Lamkiong Giok, kontan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian merasa kulit mukanya seakan-akan dikoyak orang, dengan mur-ka dia keluar dari baraknya.

   "Lamkiong Giok!"

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bentaknya gusar.

   "tampak-nya kau sudah bosan hidup!"

   Saat itulah tiba-tiba si nona baju biru menye-la.

   "Janganlah karena urusan kecil membuat masa-lah besar terbengkalai.."

   Hati Oh Kay-thian bergetar, kaki yang telah melangkah keluar segera ditarik kembali, hawa amarahnya segera hilang, malah senyum bangga menghiasi bibirnya, ini membuat semua orang sama heran.

   Pada saat itulah tubuh Lamkiong Giok telah bergerak, mendadak air mukanya berubah hebat, agaknya seperti lagi menahan suatu penderitaan yang luar biasa, butiran keringat menetes tiada hen-tinya.

   Betapa terkejutnya Bok Ji-sia menyaksikan kejadian itu, buru-buru dia menegur.

   "Saudara Lam-kiong. kenapa kau?"

   "Tidak apa-apa,"

   Jawab Lamkiong Giok ge-metar.

   "secara tiba-tiba saja badanku menjadi tak enak!"

   Mendadak Ji-sia teringat pada ucapan sebelum ajal paman Ciong-liong.

   "Jika Oh Kay-thian menginginkan kematian seseorang, maka orang itu tak akan lolos dari ceng-keraman mautnya!"

   "Jangan-jangan Lamkiong Giok terkena tangan beracun si rase tua in?"

   Demikian ia berpikir. Teringat akan hal itu, dengan terkesiap ia ber-seru.

   "Oh Kay-thian, kenapa dia?"

   "Tanyakan saja kepadanya langsung!"

   Jawab Oh Kay-thian sambil tertawa. *** ( )*** Si sastrawan misterius itu mendengus, ejek-nya.

   "Meski caranya turun tangan cukup lihai, sa-yang takkan lolos dari pengamatan mataku!"

   "Biarpun rapi samarannya, juga jangan harap bisa lolos dari ketajaman mata nonamu,"

   Sambung si nona baju biru sambil tertawa cekikikan, tujuanmu telah kuketahui!"

   Perkataan yang mengandung arti ganda ini membuat sastrawan misterius itu terkesiap, kini ia baru sadar bahwa si nona baju biru yang dikabarkan lihai itu betul-betul manusia aneh yang jarang ada di dunia ini.

   Maka sambil berpaling dan tertawa ia berkata.

   "Apa salahnya kalau nona bicara terus terang?"

   "Kukira terlepas dari soal cinta bukan?"

   Ujar si nona baju biru. Bergetar badan sastrawan itu, sambil menunduk kepala jawabnya.

   "Nona betul-betul bermata tajam, aku."

   "Lantaran cinta timbul dendam, inilah keja-dian yang umum, bukan cuma kau saja yang tak bisa lolos dari godaan tersebut, demikian pula de-ngan diriku!"

   Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan.

   "Baik-lah, pertemuan kita boleh dibilang ada jodoh, se-pantasnya kau katakan siapa namamu!"

   "Po Sim-jin!"

   "Bagus! Po Sim-jin dan Hu-sim-jin (orang yang lupa budi), hampir sama nadanya meski ber-beda tulisannya, sungguh nama yang bagus!"

   Tanpa mempedulikan adat istiadat sastrawan itu lantas berdiri bersanding dengan si nona baju biru, hal ini tentu saja membuat Pek Sat dan Pek Bi berkerut dahi, Hoa Hong-hui juga merasa cem-buru, dengan gemas dia melotot sekejap pada sas-trawan tersebut.

   *** ( )*** Tampak si nona baju biru sengaja meletakkan pula sebelah tangannya yang halus itu di atas paha si sastrawan, tindakan ini membuat semua orang semakin tidak habis mengerti..

   mereka tak men-duga si sastrawan bisa ketiban rejeki sebesar ini.

   Tiba-tiba Bok Ji-sia melompat ke depan seraya membentak.

   "Oh Kay-thian, jika kau tidak mem-beri pertangungjawaban, Tuan muda segera mem-binasakan dirimu terlebih dulu!"

   Sambil berkata ia lantas menghantam, meski ringan tampaknya, ternyata lihai serangannya.

   Serentak kawanan jago dari Kiam-hong-ceng mengekor di belakang Bok Ji-sia dan menerjang maju semua.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah seorang licik, ia tak ingin membuang tenaga yang cuma melemahkan kekuatan sendiri, seraya berkelit ke sam-ping, serunya.

   "Nona kita setuju bekerja sama, kenapa tidak kau bantu aku?"

   Hoa Hong-hui yang cemburunya tak tersalur-kan, ia merasa inilah kesempatan baik untuk me-lampiaskan rasa gusarnya kepada Bok Ji-sia, tanpa bicara ia melangkah masuk ke tengah arena..

   "Kembali kau!"

   Bentak nona si baju biru tiba-tiba. Hoa Hong-hui tertegun, buru-buru dia melom-pat mundur kembali dengan wajah tak puas. Sambil tertawa, nona berbaju biru itu berkata kepada Oh Kay-thian.

   "Soal ini tidak tercantum dalam syarat kerja sama kita, lebih baik selesaikan saja sendiri!"

   Ketika menyaksikan Hoa Hong-hui muncul tadi, keempat Tocu dari empat pulau besar segera mengunjuk wajah tak senang, bukan lantaran me-reka ingin mengikat hubungan dengan pihak Kiam-hong-ceng, tapi karena Thian-seng-po dengan Hek-liong-kang merupakan ancaman serius bagi *** ( )*** mereka, keempat orang itu sadar, bila pihak Kiam-hong-ceng rontok, itu berarti merekapun tak bisa berta-han lama.

   Yu-kan-tocu, Lok-to-sianseng Ciang-Lip-tek tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Jika pihak Hek-liong-kang ingin campur urusan ini, Su-toa-to (em-pat pulau besar) juga takkan berpeluk tangan!"

   "Huh, kau anggap kekuatanmu itu cukup?"

   Ejek Hoa Hong-hui.

   "Mampu atau tidak sebentar akan tahu sendiri, buat apa banyak bacot?"

   Jawab si tuan unta Ciang Lip-tek.

   "Plak!"

   Sementara itu Bok Ji-sia dan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang beradu di tengah arena telah saling beradu kekuatan satu kali.

   Akibat bentrokan tersebut, Ji-sia tetap berdiri tegak di tempat semula, tanpa bergeser, cuma ujung bajunya saja berkibar terembus angin, sebaliknya Oh Kay-thian tergetar mundur dua tindak.

   Dalam pada itu, Leng-hong-siu (kakek angin dingin) Kui Kong-hek yang gagal menyergap dan tergetar jatuh ke tanah, dengan gusar membentak dan untuk kedua kalinya ia menerjang Bok Ji-sia.

   Melihat Leng-hong-siu Kui Kong-hek telah turun tangan, cepat Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kembali ke baraknya, betapapun ia kuatir dikalah-kan oleh Bok Ji-sia.

   Pada saat itulah tiba-tiba dari kejauhan ber-kumandang suara suitan panjang nyaring, sejenak kemudian suara tersebut sudah berada tak jauh da-ri arena.

   Begitu mendengar suitan nyaring tersebut, se-mangat Lamkiong Giok segera berkobar kembali, semua jago Kiam-hong-ceng bersorak-sorai kegi-rangan, Lamkiong Giok pun tak sakit lagi, ia lan-tas berdiri.

   *** ( )*** "Saudara Bok, hentikan pertarunganmu, ayah-ku telah tiba!"

   Serunya sambil tertawa pedih.

   Sebetulnya Ji-sia sudah siap melancarkan se-rangan mematikan, ketika mendengar ucapan ter-sebut, tanpa terasa gerak serangannya terhenti, agak-nya Leng-hong-siu Kui Kong-hek juga tahu siapa yang datang, cepat dia kembali ke dalam barak.

   Bayangan manusia berkelebat, tahu-tahu di te-ngah arena telah bertambah seorang kakek? ber-tubuh ceking, meski rambutnya telah beruban, ma-tanya bersinar tajam, orang ini tak lain adalah Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian yang tersohor itu.

   "Tak kusangka saudara sekalian telah datang lebih dulu!"

   Katanya sambil tertawa dingin. Bertemu dengan Lamkiong Hian, air muka Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian agak berubah, dia hanya tertawa tawar ke arahnya. Lamkiong Giok lantas berkata dengan suara gemetar.

   "Ayah, ananda . ananda"

   Melihat keadaan putra kesayangan itu, Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian segera berpaling seraya membentak.

   "Siapa yang menyerangnya sekeji ini?"

   Kebetulan Bok Ji-sia baru memutar kembali ke barak Kiam-hong-ceng, belum sampai setengah jalan, ia merasa segulung angin tajam menyergap tiba, menyusul bahu kirinya tercengkeram.

   "Apa kau?"

   Bentakan nyaring menggelegar. Ji-sia terkesiap, cepat mendak ke bawah, lalu melompat ke depan.

   "Locianpwe, kau salah paham!"

   Serunya. *** ( )*** Lamkiong Hian tertegun, ia tak mengira Bok Ji-sia dapat meloloskan diri dari cengkeramannya, dalam terkesiapnya suatu pukulan segera diayunkan lagi.

   "Blang!"

   Tubuh Ji-sia mencelat sejauh setom-bak lebih.

   Pukulan ini cukup keras, membuat telinga Bok Ji-sia mendengung dan jantung berdebar keras, rasa hormatnya yang semula muncul dalam hati seketika lenyap.

   Sambil melejit ke atas, ia menerkam ke muka, dengan tertawa seram ia berseru.

   "Hmm, kau yang mulai dulu tanpa pandang bulu, maka jangan me-nyalahkan diriku bila kaupun harus merasakan pukulanku ini!"

   Telapak tangannya berputar, terciptalah ber-puluh puluh bayangan yang serentak mengancam tujuh jalan darah kematian di tubuh Lamkiong Hian, saking gusarnya ia lupa akan kelihaian lawan.

   Lamkiong Hian tertawa dingin, dengan jari tangan setajam pedang ia balas menutuk jalan da-rah Beng-bun, Khi-hay dan Ci-ti-hiat, tiga jalan da-rah penting.

   "Ayah, jangan kau lukai dia!"

   Lamkiong Giok yang berada di sisi arena berteriak dengan cemas.

   "Bret!"

   Di antara desing angin tajam, tubuh Ji-sia tersambar oleh serangan hingga muncul dua garis luka panjang, untung Lamkiong Giok berteriak tepat pada saatnya, kalau tidak, tentu bukan luka sekecil itu yang akan dialaminya.

   Sambil tertawa getir Ji-sia berkata.

   "Tak ku-sangka Lamkiong Hian yang tersohor itu tak lebih hanya seorang yang tak tahu adat!"

   Lamkiong Hian mendengus, sambil putar ba-dan ia berjalan ke barak Kiam-hong-ceng. *** ( )*** "Suheng!"

   Tiba-tiba si nona baju biru berseru.

   "hajarlah telur busuk tua itu dengan tiga kali pen-tungan, ingat, mesti ganas, tepat dan tidak perlu kenal kasihan!"

   Tindakan ini di luar dugaan orang hingga mereka tertegun. Mendengar perkataan tersebut, Lamkiong Hian segera berhenti, serunya sambil tertawa dingin.

   "Si-apa yang berbicara seenaknya?"

   Kakek berambut putih menutulkan ujung tong-kat ke tanah hingga batu berantakan, ini menunjukkan betapa dahsyat tenaga dalamnya. Setelah tampil, dia mengangkat tongkat tinggi-tinggi lalu katanya.

   "Lamkiong Hian, kau adalah jago nomor satu di wilayah Tionggoan, sekarang ingin kucoba tenaga dalammu!"

   "Hm, akan kuberi tiga kali serangan, coba apa yang bisa kau lakukan!"

   Jengek Lamkiong Hian.

   Ucapan yang takabur ini membuat para jago tercengang pula.

   Banyak di antara mereka pernah menyaksikan kelihaian tenaga dalam kakek berambut putih itu, mereka tahu meski Lamkiong Hian, Cengcu per-kampungan Kiam-hong-ceng terhitung tokoh sakti dunia persilatan, namun tindakannya ingin melawan tongkat baja dengan bertangan kosong jelas bukan tindakan yang cerdik.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menjadi terkesiap, sambil tertawa seram katanya.

   "Takabur amat perkataanmu, Lamkiong Hian! Kehebatan kungfu Hek-liong-kang jauh di luar dugaanmu, tahu?"

   Sementara itu Lamkiong Giok dengan sempo-yongan telah keluar barak, dengan cemas ia ber-bisik.

   "Ayah, sanggupkah engkau?"

   Nada ucapannya jelas menunjukkan kurang yakin akan kemampuan Lamkiong Hian.

   *** ( )*** Cepat Bok Ji-sia menghampirinya dan mema-yang tubuh anak muda tersebut, Lamkiong Giok berpaling dan tertawa pedih, sinar matanya meman-carkan rasa terima kasih.

   Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian memandang sekejap ke arah putra kesayangannya, lalu menja-wab.

   "Anak Giok, cepat kembali ke tempat semu-la, tak perlu menguatirkan diriku."

   Agaknya kakek berambut putih itu tak sabar menanti lebih lama, tiba-tiba ia menimbrung.

   "Su-dah, jangan omong terus, serangan segera kulepas-kan."

   Lamkiong Hian tertawa dingin.

   "Tolong ta-nya, apa kedudukanmu di dalam Hek-liong-kang?"

   Tertegun juga kakek berambut putih itu, ia ber-paling ke arah si nona baju biru dan minta pertimbangannya.

   


Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Pedang Dan Kitab Suci -- Khu Lung Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung

Cari Blog Ini