Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 15


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 15



Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya dari Khu Lung

   

   "Engkoh Hong-hui, kau berani!"

   Bentak nona berbaju biru itu gusar, segera pula ia menyambung.

   "Suheng, cepat halangi dia!"

   Biasanya kakek berambut putih itu sayang Siau-sumoaynya seperti menyayangi nyawa sendiri, belum pernah ia membangkang permintaannya, apalagi di-antara mereka masih ada hubungan yang luar biasa.

   Maka cepat ia menerjang maju sembari membentak keras.

   "Hoa-kongcu, jangan kurang ajar!"

   Telapak tangaa kirinya bergerak, tongkat di tangan kanannya secepat kilat menyodok ke muka, menutuk jalan darah Ci-ti-hiat di bahu Hoa Hong-hui.

   Hoa Hong-hui terkesiap, betapa pun ia tak berani menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, cepat dia berkelit ke samping.

   *** ( )*** "Blang", sekalipun pukulan itu segera ditarik kembali, tetap terjadi beradu kekuatan dengan kakek berambut putih itu seketika Hoa Hong-hui tergetar mundur sempoyongan, air mukanya berubah hebat.

   "Bagus, kalian sama menganiaya aku, sekarang juga kupulang ke Hek-liong-kang!"

   Serunya gusar.

   "Jika kau berani ribut lagi, aku takkan mempedulikan dirimu lagi!"

   Ancam si nona, Hoa Hong-bui terperanjat, seperti diketahui bukan baru sehari ia mencintai nona berbaju biru itu, apapun dia tidak takut kecuali takut bila gadis itu tidak mempedulikan dia lagi, sebab hal itu jauh lebih menyedihkan daripada membunuhnya.

   Setelah termangu sejenak, dengan sedih ia menyingkir.

   Pada saat itulah, tiba-tiba Ji-sia tersadar kembali dari lamunannya, ia segera berteriak.

   "Aku tertipu olehmu!"

   "Sekaraag kau telah menguasai Im-hay-huan-kiu-sik, mengapa kau bilang tertipu?"

   Kata si nona dingin.

   Sebenarnya Bok Ji-sia sama sekali tidak berniat mengincar ilmu sakti itu, sekalipun keras wataknya namun sedikit akalnya, dia tak mengira bakal terkesima oleh secarik lukisan yang diberikan nona berbaju biru itu.

   Sambil menghela napas katanya kemudian.

   "Nona, kau memang cerdik sekali, baiklah akan kuturuti perkataanmu!"

   Nona baju biru itu berpaling ke arah kakek berambut putih, serunya dengan tertawa.

   "Suheng, bawa kemari barang itu!"

   Kakek berambut putih bertepuk tangan sekali, Pek Bi dan Pek Sat lantas muncul pelahan. Kedua orang memegang se

   Jilid kitab besar berkulit hitam, dilihat dari luar segera diketahui kitab itu bukan kitab biasa.

   *** ( )*** Suatu perasaan aneh timbul dalam hati kecil Ji-sia, sesungguhnya kitab apakah yang berat? Pek Bi dan Pek Sat membawa kitab tersebut langsung ke hadapan Bok Ji-sia.

   "Hek-liong-po-tian!"

   Ketika keempat huruf itu muncul di depan mata Bok Ji-sia, pemuda itu terperanjat, ia tidak menyangka nona berbaju biru itu akan menyerahkan kitab pusaka perguruannya kepadanya.

   "Hei, mau apa kau?"

   Serunya terkejut.

   "Kitab ini adalah pusaka Hek-liong-kang,"

   Kata si nona sambil tertawa dingin.

   "baru hari ini berhasil kami temukan kembali dalam Hian-liang-gin-hu ini, setelah kau pelajari Im-hay-hung-kiu sik, maka sesuai dengan pesan wasiat Hian-liang Cin-kun, kau harus membawa kitab pusaka ini kembali ke Hek-liong-kang dan menyerahkannya kepada ayahku, Hek-hong Lojin ...."

   Setelah berhenti sebentar, lanjutkan.

   "Kitab ini menyangkut keselamatan seluruh dunia persilatan, moga-moga kau dapat melindunginya dengan baik hingga tidak mengecewakan pesan Hian-liang Lo-ciaopwe. Setiba di Hek-liong-kang, tentu ada orang yang akan menyambut kedatanganmu, berhati-hatilah dalam perjalanan."

   Diam-diam Ji-sia mengeluh, dia tak menyangka malam ini bakai terjebak siasat orang, apalagi teringat akan dendam berdarahnya yang hingga kini belum ada titik terang, tanpa terasa ia menghela napas sedih. Pikirnya.

   "Ai, siapa suruh kau mempelajari Im-hay-hung-kiu-sik? Apa boleh buat, terpaksa harus kuturuti perkataannya!"

   Setelah mendengus, katanya dengan gusar.

   "Kalau tiada urusan lain, aku segera akan berangkat!"

   Dari sakunya nona berbaju biru itu mengeluarkan selembut kain hitam dan turun tangan sendiri untuk membungkus kitab *** ( )*** pusaka Hek-liong-kang tersebut, kemudian meletakkannya di atas punggung Bok Ji-sia.

   "Antar Bok-kongcu keluar dari sini!"

   Katanya dengan sedih.

   "Hamba terima perintah!"

   Jawab Pek Bi dan lantas beranjak lebih dulu.

   Dengan perasaan berat Ji-sia melotot stkejap ke arah si nona baju biru itu dengan gusar, kemudian menghela napas dan berlalu dari sana.

   Bayangan tubuhnya makin lama semakin kecil, akhirnya lenyap dari pandangan mata.

   Memandangi bayangan punggungnya yang lenyap di kejauhan, tiba-tiba air mata jatuh membasahi pipi nona baju biru itu.

   Ia cinta juga membencinya, kali ini hampir saja ia menghancurkan pemuda itu.

   Ketika Hoa Hong-hui menyaksikan kitab pusaka Hek-liong-kang diserahkan kepada seorang yang tiada hubungannya dengan mereka, kontan saja amarahnya berkobar, katanya sambil tertawa dingin "Kau benar-benar telah serahkan kitab pusaka itu kepadanya?"

   Mendengar perkataan itu, tiba-tiba si kakek seperti menyadari akan suatu kejadian, dia lantas menjerit.

   "Sumoy, kau.."

   Nona baju biru itu tertawa getir.

   "Hanya dengan berbuat demikian dunia persilatan baru akan terjerumus dalam pertikaian, hanya dengan berbuat demikian, aku baru dapat menggunakan Bok Ji-sia dengan Im-hay-huan-kiu-sik nya untuk membunuh jago persilatan yang sok gagah! Sudah kuperhitungkan dia tak akan bisa keluar dari daerah Tionggoan, selalu akan muncul musuh tangguh yang tak ada habis-habisnya yang akan mengejarnya terus menerus. Ai, semoga dia bisa selamat dan sehat-sehat saja!" *** ( )*** Hai ini sungguh urusan yang tak terduga, nona berbaju biru ini benar-benar cerdas, tak tersangka ia telah menggunakan kitab pusaka Hek-liong-kang itu sebagai umpan untuk menerbitkan kekacauan dan badai pembunuhan dalam dunia persilatan. Hati perempuan memang sukar diraba, setelah menyerahkan kitab pusaka itu kepada Bok Ji-sia, tiba-tiba timbul perasaan tidak tenang si nona berbaju biru. Hoa Hong-hui berseru dengan cemas.

   "Seandainya kitab pusaka itu sampai terjatuh ke tangan orang atau Ji-sia secara diam-diam mempelajari isi kitab pusaka tersebut, bukankah ilmu silat Hek-liong-kang kita akan terlebar luas ke Tionggoan?"

   "Kau anggap, aku ini bodoh?"

   Saru si nona.

   "ilmu silat Hok-liong kang masih berada di sini komplit, kitab yang kuberikan kepadanya itu sama sekali tidak termuat satu jurus apapun, aku hanya menggunakanya sebagai umpan guna memancing keonaran dalam dunia persilatan .."

   Hati manusia memang sukar diduga, apalagi hati perempuan, padahal Bok Ji-sia tidak mempunyai permusuhan dengan nona berbaju biru itu, tapi gadis itu justeru hendak memcelakainya.

   "Sekarang kita harus menyiarkan berita ini secepatnya, katakan Bok Ji-sia telah mencuri kitab dan melarikan diri ...."

   Begitulah diatur secara licik oleh nona berbaju biru dari Hek-liong-kang ini, dengan cepat berita tentang tercurinya kitab pusaka itu oleh Bok Ji-sia segera tersiar di seluruh dunia persilatan.

   Ji-sia sendiri sama sekali tidak menyadari akan kejadian itu, dia masih seperti rencana semula membawa kitab itu menuju ke Hek-liong-kang.

   *** ( )*** Ia tidak menyangka bencana besar sedang mengintip dirinya, seluruh jago golongan putih maupun hitam secara berbondong-bondong sedang mencari jejaknya.

   Sepanjang perjalanan diam-diam sudah banyak gembong iblis dari dunia persilatan yang mengincarnya, mereka sedang menunggu kesempatan baik untuk turun tangan dan merampas kitab pusaka yang tiada taranya itu.

   Tapi dalam dunia persilatan juga ada dua orang yang tidak percaya pada berita tersebut, malam itu mereka sedang berusaha melacaki jejak Bok Ji-sia sambil berusaha menyelidiki duduk persoalan yang sebenarnya, apakah benar Bok Ji-sia telah melarikan kitab pusaka itu dengan tujuan meraih kedudukan sebagai jago nomor wahid di kolong langit itr, kedua orang itu tak lain adalah Bwe-hoa-kiam Tong Yong-ling dan Lik-ih-hiat-li.

   Dalam pandangan mereka, Bok Ji-sia tak nanti akan melakukan perbuatan yang melanggar etika.

   itu, mereka yakin pasti ada orang lain yang sengaja menyiarkan kabar busuk untuk menghancurkan masa depannya.

   Tapi dengan cepat pelbagai kejadian menyangkal kecurigaan mereka itu, banyak jago golongan baik yang berhasil membuktikan kebenaran berita tersebut, ini membuat mereka menjadi sedih dan diam-diam menitikkan air mata.

   Sebaliknya Bok Ji-sia mengira setelah tugasnya selesai, dia akan bisa membalas dendam bagi gurunya, menyelesaikan dendam keluarga dan kemudian mengakhiri hidup petualangannya dalam dunia persilatan, Siapa tahu dendam lama belum terbalas, kini dia harui menanggung suatu beban baru yang lebih berat lagi.

   Pemuda itu tahu tugasnya sangat berat, setiap orang berusaha mengincar kitab pusakanya, maka sepanjang jalan ia tak berani berhenti, perjalanan dilakukan siang-malam dengan *** ( )*** cepatnya, dia berusaha secepat mungkin tiba di Hek-liong-kang dan menyelesaikan tugas.

   Mendadak, dari belakang berkumandang suara gelak tertawa panjang mengerikan.

   Ji-sia terperanjat, ia bergumam dengan dingin.

   "Siapa lagi yang berani..."

   Belum habis berkata, suara seruling berkumandang ,dari empat penjuru, suara itu makin lama makin cepat dan semakin nyaring.

   Ia coba memperhatikan sekeliling tempat itu, dengan sinar matanya yang tajam bagaikan kilat dia berusaha mencari sumber suara tersebut, tapi suasana amat sepi, tak sesosok bayangan pun berada di sana, anehnya suara seruling itu makin lama semakin mendekat ....

   Pada saat itulah, tiba-tiba dari balik semak, belukar tampak sesuatu yang bergerak, dua sosok bayangan manusia menerjang datang.

   "Siapa?"

   Bentaknya dengan gusar bercampur kaget.

   "Serahkan benda itu...."

   Bentak orang itu menggeledek.

   "Blang", benturan keras terjadi, debu pasir beterbangan.

   Sungguh cepat gerak tubuh kedua orang itu, dalam waktu singkat mereka sudah berada di depan Bok Ji-sia.

   Dengan terkesiap Bak Ji-sia menggeser ke samping, dengan jari tangan bagaikan belati menusuk jalan darah penting di tubuh orang yang sebelah kiri, kemudian kaki kanannya menendang perut orang di sebelah kanan.

   Kedua orang itu tampak terkesiap mereka tidak menyangka Bok Ji sia memiliki kepandaian sedemikian sempurna, dengan serangan yang begitu dahsyat.

   *** ( )*** Dalam kejutnya kekua orang itu mendengus sambil membalik badan mereka melompat ke arah yang berlawanan, Ji-sia juga mendengus.

   "Di tengah bukit terpencil begini, ada maksud apa kalian mengalangi perjalananku?"

   Dilihatnya kedua orang itu mengenakan baju berwarna hitam, orang yang di sebelah kiri memakai caping dari bambu dengan membawa sebuah alat pengail, sedangkan orang tua yang berada di sebelah kanan membawa sebuah tombak.

   Dandanan kedua orang itu tidak terlampau asing bagi pandangan Bok Ji-sia, sebab mereka tak lain adalah dua jago dari empat pulau besar, yakni Hi-kan-tocu, Lok-to-siansing (tuan unta) Ciang Lip-sek dan Tiang-mo- tocu, Siu- tiok-hong (si bambu kurus) Ki Kiau-jin.

   Untuk sesaat kedua orang itu dibikin, tergetar okh tenaga dalam lawan, mereka tak tahu bagaimana mesti menjawab, dalam pandangan mereka kesempurnaan ilmu silat yang dicapai Ji-sia sungguh tidak masuk diakal "Hm, sekalipun kitab pusaka itu tidak kau berikan kepada kami, jangan harap kau bisa keluar dari Tionggoan dengan tenang "

   "Hei, apa yang kuucapkan sudah kalian dengar belum?"

   Tegur Ji-sia lagi dengan dingin.

   Ucapan yang bernada memerintah ini siapa-pun tidak tahan mendengarnya.

   Jelek-jelek kedua orang ini adalah Tocu yang dihormati dalam dunia persilatan, mana mereka boleh dibentak orang semacam itu.

   Hi-kan-tocu Lok-to sianseng Ciang Lip tik segera tertawa dingin dan berseru.

   "Kau bukan pemimpin dunia persilatan, kenapa kami berdua mesti mendengarkan perkataanmu?"

   "Kalau tak mau menurut, cepat enyah dari sini!"

   Bentak Jisia pula. *** ( )*** Tiang-mo tecu Siu tiok-hong Ki Kiu jin mendesak maju, serunya.

   "Suruh kami pergi boleh saja kecuali kau serahkan barang di punggungmu itu kepada kami!"

   Sedari tadi Ji-sia sudah tahu kedatangan mereka adalah untuk kitab pusaka Hek-liong-kang, sekalipun dia merasa gemas kepada gadis aneh Hek-hong-kaiig, yaitu si nona baju biru yang memberi tugas berat kepadanya itu, dia lebih benci lagi kepada orang-orang yang berniat merampas kitab pusaka tersebut.

   Sambil mendongakkan kepalanya ia tertawa seram, serunya.

   "Hahaha, enak saja kau bicara, memangnya aku orang she Bok adalah manusia yang boleh direcoki?"

   "Hmm, sekalipun kitab pusaka itu tidak kau serahkan kepada kami, jangan harap pula kau bisa keluar dari daerah Tionggoan, ketahuilah segenap perguruan besar di Tionggoan telah berkumpul semua di sini........"

   Mendengar itu Ji sia amat terperanjat, pikirnya "Seandainya semua jago dari pelbagai perguruan berkumpul di sini untuk merampas kitab pusaka Hek-liong-kang ini, jelas masalahnya akan menjadi sangat pelik, sekalipun aku tak sudi mempelajari ilmu maha sakti yang tercantum dalam kitab ini, akupun tak boleh kehilangan kitab ini sehingga menghilangkan kepercayaan orang terhadap diriku...."

   Berpikir demikian, dia lantas mendengus, katanya.

   "Jangankan baru kalian empat orang Tocu, sekalipun setiap perguruan besar juga mengirim jagonya kemari, kenapa aku mesti takut!"

   "Baik, rupanya kau minta diperlakukan dengan keras, jangan menyesal bila kami bertindak keji!"

   Bentak Tiong-mo-tocu Siu-liok-hong Li Kiu-jin dengan gusar.

   Tombaknya bergerak, dengan jurus Oh-liong-jut-hay (naga hitam keluar dari samudra) senjata tajam itu segera mengurung sekitar tubuh Bok Ji-sia.

   *** ( )*** Debu pasir segera beterbangan, tombak itu seakan-akan seekor naga sakti hendak menerkam pemuda itu.

   Ji-sia terkesiap, sambil berpekik nyaring teriaknya.

   "Yang mampus adalah kau sendiri!"

   Tenaga dalamnya dihimpun, lalu dihantamkan menyongsong bayangan tombak lawan.

   Serangannya seperti tak bertenaga, padahal segenap kekuatannya telah dikerahkan.

   "Blang", debu pasir beterbangan, Tiang-mo-tocu menjerit kaget dan cepat-cepat melompat mundur.

   Ketika itulah, Lok to-sianseng Ciang Lip-tek telah mengangkat alat kailnya sambil tertawa.

   "Bok-siauhiap, maaf tindakanku yang lancang!"

   Tampak alat pengailnya yang panjang dengan warna hitam itu diayunkan ke udara, kemudian ditarik ke belakang ....

   Belum lagi serangan Bok Ji-sia mengenai tubuh Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin, tahu-tahu Lok-to-sianseng menyergapnya, cepat dia membalik badan sambil membentak gusar.

   "Tidak tahu malu ..."

   Belum lenyap suaranya, mendadak dirasakan ada sesuatu yang tidak beres. Baru saja bergerak, tahu-tahu hilang keseimbangan badannya. Ji-sia terkejut, pikirnya.

   "Bisa celaka sekali ini!"

   Terdengar Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek tertawa, serunya.

   "Roboh! Roboh kau!"

   Ji-sia merasakan kaki kanannya menjadi kencang, hilang keseimbangan badannya dan roboh terbanting.

   Baru roboh, tangan kiri segera menahan permukaan tanah dan melompat kembali ke udara, dari situ badan berputar lalu beruntun dia melancarkan beberapa kali serangan berantai, *** ( )*** Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek tertawa dingin, serunya lagi.

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tepat sekali, tepat sekali pancingannya!"

   Alat pengail itu menyambar ke belakang, Ji-sia merasakan badannya menjadi enteng dan kitab pusaka Hak-liong-kang itu tahu-tahu sudah melayang ke udara.

   Alat pengait itu berputar dan kitab pusaka itu tergantung di udara sambil bergoyang tiada hentinya, Ji-sia terkejut, ia tak menyangka alat pengail itu memiliki kemampuan yang luar biasa, bisa digunakan untuk mencuri kitab pusaka di punggungnya selagi pertarungan berlangsung.

   "Kembalikan kepadaku!"

   Bentaknya.

   "Hahaha ... tidak segampang itu ..."

   Jawab Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek sambil tergelak. Dengan enteng tubuhnya berputar, secepat kilat melesat ke arah datangnya tadi. Tiang-mo-tocu Ki Kiu-jin melompat maju seraya berseru.

   "Jangan pergi dulu, menang kalah belum ketahuan!"

   Tombaknya berputar menciptakan selapis bayangan tajam terus menyerang Bok Ji-sia dengan ganas, jelas ia berniat mengadang pemuda itu agar Lok-to-sianseng sempat melarikan diri.

   "Bila tidak kubasmi orang empat pulau kalian, tak puas rasa dendamku!"

   Teriak Ji-sia murka. Mendadak berkumandang bentakan nyaring.

   "Orang latah dari mana itu? Sombong amat!?"

   Ji-sia mendesak mundur Tiang-mo-tocu dengan suatu serangan, kemudian serunya.

   "Aku Bok Ji-sia yang berbicara, mau apa?"

   Tertampaklah Cian-Ciau-toeu Ciu-siu-thi-say (siaga baja bercambang) In Ceng-bu serta Tua-bu-tocu Ay-te-liong (si *** ( )*** naga cebol) Yau Tong-seng muncul bersama, tanpa bicara mereka terus menyerang.

   Tentu saja tindakan ini termasuk rencana licik mereka berempat.

   Lok-to-sianseng ditugaskan mencuri buku dengan pengailnya, Siu-tiok-hong Ki Kiujin melindungi keselamatannya dan kemudian Ciau-ciau dan Tun-bu-tocu membantunya.

   "Hari ini biar mati juga akan kubinasakan lebih dulu kalian!"

   Bentak Ji-sia dengan geram, pukulannya bertambah dahsyat.

   Hi-kan-tocu Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek yang berhasil mendapatkan kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-su, tentu saja tak berani ayal lagi, cepat-cepat dia hendak kabur.

   Mendadak terdengar seorang mendengus.

   "Hm, dengan mengandalkan kepandaiamu itu juga ingin mengincar kitab mestika!"

   Lenyap ucapan itu, bayangan hitam berkelebat dan seorang kakek sudah mengadang jalan pergi Lok-to-tianseng Ciang Lip-tek. Dengan terperanjat Lok-to-sianseng menghentikan gerakan tubuhnya, lalu membentak.

   "Kawanan tikus dari manakah berani mengalangi pekerjaanku?"

   Ketika memandang ke depan, ia lihat orang itu berkumis melintang, menyandang pedang di punggung dan lagi tersenyum dingin. Kakek itu berkata.

   "Dengan cara apa kau menyerobot buku itu, dengan cara itu juga akan kuhadapi dirimu ...."

   "Jadi kau telah menyaksikan semua ini?"

   Tanya Lok-to-sianseng dengan terkejut.

   "Hehehe, bukan cuma melihat, bahkan seperti mengalami sendiri!"

   Lok-to-sianseng makin terperanjat.

   "Siapa kau?" *** ( )*** "Tanpa nama tiada julukan, orang memanggilku Lok Put peng (jalan tidak rata)!"

   Jawab orang itu tersenyum. Nama yang aneh ini membuat Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek tertegun, jelas orang tak ingin menyebut nama aslinya. Ciang Lip-tek memandang sekejap kitab pusaka di atas kailnya, lalu mangejek.

   "Jadi kedatanganmu juga untuk kitab ini?"

   "Benda tanpa pemilik, siapapun boleh mengambilnya, memangnya buku itu cuma kau saja yang boleh mendapatkannya?"

   Sekarang Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek baru tahu kakek di hadapannya ini terhitung musuh tangguh, setiap patah katanya selalu tajam mendesak.

   "Jadi benar kau datang untuk kitab ini?"

   Serunya terkesiap. Lok Put-peng tersenyum.

   "Yang kuat makan yang lemah, ini merupakan kejadian yang lumrah, kalau tahu bukan tandinganku, lebih baik serahkan kitab Hek-liong-kang itu kepadaku."

   "Hm, belum lagi dicoba, dari mana kau tahu aku bukan tandingan mu?"

   "Perasaan tak tenang, hatimu sudah keder, sudah barang tentu kau bukan tandinganku!"

   Jawab Lok Put-peng sambil tertawa, Walaupun ucapan itu sederhana, namun maknanya cukup mengejutkan orang.

   Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek merasa benar juga ucapan itu ,baru bertemu rasanya hati keder, sekarang bahkan boleh dibilang sudah ketakutan, ia merasa kakek aneh ini sungguh seorang yang jarang dijumpai.

   Dengan gusar serunya.

   "Mengapa kita tidak coba-coba dulu!" *** ( )*** "Mau coba juga boleh, cuma kitab itu harus kau serahkan dulu!"

   "Hm, jangan mimpi di siang bolong"

   Pengail di tangan kiri waktu itu terangkat tinggi-tinggi, membuat kitab pusaka Hek-liong-kang tergantung di udara sesudah mendengus, tiba-tiba Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek melepaskan pukulan dahsyat ke depan.

   "Akan kusambut seranganmu!"

   Bentak lok Put-peng.

   Ia tidak berkelit dac tidak menghindar, telapak tangan kirinya meagebas, segulung angin pukulan tak berwujud dengan cepat menyongsong datangnya ancaman Lok-to-sianseng itu.

   "Biang", benturan keras berkumandang ....

   Beruntun Lok-to-slanseng Ciang Lip-tek tergetar mundur beberapa langkah, sebaliknya Lok Put-peng juga tergeliat mundur selangkah.

   Dipandang secara umum, kekuatan mereka berdua seolah-olah seimbang, menang kalah sukar ditentukan, tapi di mata seorang ahli, dapat diketahui bahwa tenaga dalam Lok-to-sianseng masih kalah satu tingkat.

   Tatkala Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek mundur ke belakang inilah, mendadak ia menjerit kaget, cepat ia menubruk maju lagi.

   Cahaya perak berkelebat.

   "plak!"

   Tahu-tahu kitab pusaka itu sudah melayang ke udara.

   "Kau belum pantas mendapatkan kitab ini!"

   Seru Lok Put-peng sambil tertawa.

   Belum lagi Lok-to-sianseng melayang turun, ia merasakan datangnya segulung tenaga pukulan yang sangat kuat, bahwa dia bisa menjagoi lautan, tentu saja memiliki kepandaian yang *** ( )*** hebat, maka begitu merasa gelagat tidak menguntungkan, cepat dia tahan gerak tubuhnya itu.

   Kitab pusaka Hek-liong-kang-kiau itu tergeletak di tanah, ketika Lok-to-sianseng memeriksa kailnya, ternyata senjata itu sudah patah menjadi dua bagian, sekilas pandang saja ia tahu kail itu terpapas oleh pedang.

   Lok Put-peng mengejek.

   "Kitab ini sudah kudapatkan, apakah kau belum puas!"

   Betapa gemas Lok-to-siangsing melihat Hek-liong-kang kiau yang diperolehnya dengan susah payah itu ternyata dirampas oleh seorang kakek tak dikenal.

   "Aku akan beradu jiwa denganmu!"

   Teriaknya kalap.

   Habis berkata, dia putar kail dan menyerang dengan jurus Kau-oh-soh-liong (mengail awan mengunci naga).

   Serangan itu baru dilancarkan, dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara tertawa tiga kali panjang dan satu kali pendek, jelas bala bantuannya telah datang.

   Lok-Put-peng tertawa dingin sambil bergeser ke samping, ejeknya.

   "Hah. tidak sedikit tampaknya bala bantuanmu?"

   Lok to-sianseng Ciang Lip tek tidak menyangka jurus serangan Kau-oh-soh-liong yang digunakan itu akan gagal, sambil mendengus tangkai pengailnya berputar dan langsung menyabit bagian bawah Lok Put-peng.

   Yang digunakan Lok Put-peng adalah ilmu meringankan tubuh Hu-ing- sui-seng (menempel bayangan mengikuti badan) untuk menguntit di belakang Lok-to siansing, meski bersifat menggoda, tapi dia juga cukup prihatin.

   Beberapa kali gagal melepaskan diri dari kejaran Lok-Put-peng, Lok-to-sianseng naik darah, sebagai salah seorang di antara Su-toa-tocu, belum pernah ia dipermainkan orang seperti ini, tak heran dia menjadi mata gelap.

   *** ( )*** "Kalau berani, bila kau anggap dirimu jagoan, ayo sambut lagi beberapa kali pukulanku"

   Teriaknya.

   Lok Put-peng tidak menggubrisnya, dia hanya tertawa dingin.

   Tiba-tiba dari udara bergema suitan nyaring memekik telinga, belum habis suara itu, dua sosok bayangan melesat masuk ke dalam arena.

   Pada matanya Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek mengira bala bantuannya tiba, tapi setelah mendongak kepala, ia menjadi kecewa.

   Sedikit meleng, segera ia mendengus tertahan, darah kental tertumpah keluar dari mulutnya, badan pun sempoyongan.

   "Su-toa-to bersumpah takkan hidup bersama denganmu!"

   Teriaknya murka, Lok Put-peng terkekeh-kekeh.

   "Jika kutakut pada kalian berempat, tak nanti kuikut campur urusan ini."

   Dalam pada itu, kedua sosok bayangan tad1 indah tiba di hadapannya, Lok Put-peng tak berayal ayal, cepat ia menggeser ke samping, tangan kiri segera menyambar kitab Hek-liong-kang-ki-su.

   Pada saat itulah tiba-tiba seorang berkata dengan tertawa seram.

   "Jika kau tidak pikirkan tanganku lagi, silakan ambil"

   Cahaya putih berkelebat, rantai perak menggulung tiba, sebilah pisau tajam tahu-tahu menyambar pergelangan tangan Lok Put-peng.

   Dengan terkejut buru-buru Lok Put-peng menarik kembali tangannya sambil melompat mundur, setelah ia melihat jeias penyerangnya, ia terkejut pula atas kelihaian penyerang itu.

   "Aneh, kenapa kedua makluk aneh ini pun datang!"

   Demikian ia berpikir.

   *** ( )*** Tampak seorang berjubah merah dan memakai kalung tengkorak keefl sedang memandang padanya sambil tertawa dingin, ia mengenali orang itu sebagai Ang-ih-ko-lo (tengkorak berbaju merah) Biau-kiang-it-mo (iblis sakti dari wilayah Biau) Thian Tiok-kun.

   Orang di sebelah lain juga berbaju merah, berperawakan tinggi besar, kedua lengannya masing-masing melingkar seekor ular kecil berwarna hijau gilap, dia tak lain adalah adik kandung Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun yang bernama Coa-long-kun (pemuda ular sakti) Thian Siau-kun.

   "Huh, melihat tampang kalian yang tiga bagian mirip manusia dan tujuh bagian mirip hantu ini sudah kuketahui kalian pasti bukan manusia baik-baik...."

   Jengek Lok Put-peng. Belum selesai katanya, Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun lantas menukas sambil tertawa.

   "Tiong-ciu-it-kiam, jangan kira sebagai seorang ketua suatu perguruan lantas menjual tampang di hadapan kami, dengan bertangan kosong aku Thian Tiok-kun akan menjajal ilmu pedang Ban-biau kiam-hoat dari Tiam-jong-pai-mu, akan kulihat kau cuma manusia bernama kosong atau bukan."

   Lok Put-peng terperanjat, dia tak menyangka kedua iblis dari daerah perbatasan ini bisa mengenali dirinya, padahal sejak menjabat ketua Tiam-jong-pai, dia sangat jarang muncul dalam dunia persilatan, oleh karena itulah jarang yang tahu akan namanya, tak heran sampai Lok-to-sianseng pun tak bisa menebak asal-usulnya, Tiong-ciu-it-kiam terbahak-bahak, katanya.

   "Thian Tiok-kun, dengan beberapa macam ilmu jahatmu itu kau kira dunia persilatan bisa kau pukul rata? Hahaha bukan sengaja ku turunkan derajat kalian, sesungguhnya kalian berdua masih belum pantas cari nama di daerah Tionggoan."

   "Hehehe, aku tidak percaya kau ini manusia berkepala tiga atau berlengan enam!"

   Jengek Coa-loog-kun Thian Sau-kun. *** ( )*** Tiba-tiba ia berkomat-kamit kemudian bisiknya.

   "Lik-giok, cepat!?"

   Cahaya hijau berkelebat, menyusul lengan kiri Coa-long-kun Thian Sau-kun digetarkan.

   "creet!"

   Ular kecil berwarna hijau itu melejit ke udara dan meluncur ke depan. Air muka Tiong-clu-it-kiam berubah ssriut, bentaknya.

   "Huh, makhluk semacam ini pun dipakai menggertak orang?"

   Kakinya bergeser, pergelangan tangan berputar, tahu-tahu sebilah pedang mestika dilolos dari sarungnya, secepat kilat ia menahas ular kecil berwarna hijau itu. Tampaknya ular kecil itu sudah terlatih, tubuhnya meletik dan "pluk!"

   Tahu-tahu dia merambat batang pedang dan meluncur ke tubuh Tiong-ciu-it-kiam.

   Mimpi pun Tiong-ciu-it-kiam tidak menyangka ular hijau kecil itu sedemikian cerdiknya, dia membentak gusar, pedang berputar kencang menciptakan selapis bayangan pedang di sekeliling tubuhnya Coa-long-kun Thian Sau-kun tertawa terbahak-bahak, katanya "Kalau cuma seekor makhluk kecil pun tak mampu menaklukannya, terhitung seorang ketua perguruan macam apakah kau ini?"

   "Hmm, ilmu silat daerah Tionggoan ternyata cuma bernama kosong belaka, tak tahan sekali serangan!"

   Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun menambahkan dengan dingin.

   "Huh, kawanan tikus juga berani berbicara soal ilmu silat Tionggoan?"

   Mendadak seorang mengejek, Tertampak tiga orang muncul, mereka adalah It-hu Taysu dari Siau-lim, Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai, Coan-sin Loni dari Go-bi pai.

   Beberapa tokoh yang jarang menampakkan diri kini bermunculan semua.

   *** ( )*** Coan-sin Loni, si nikoh tua Go-bi-pai menyapu pandang sekejap sekeliling arena, kemudian katanya.

   "Toyu, buat apa mesti membuang waktu? Biar kuberesi mereka!"

   Telapak tangannya dijulurkan ke muka, lalu ditarik lagi, ular kecil yang sedang menari di udara itu tahu-tahu meluncur ke tangannya.

   Sebagai seorang ketda suatu perguruan Tiong-ciu-it-kiam dibikin kalang kabut oleh seekor ular kecil, ia merasa kehilangan muka.

   Maka ketika dilihatnya ular kecil itu meluncur ke arah Coan sin-Loni, dia terperanjat.

   "Sinni, hati-hati! Ular itu berbisa!"

   Serunya kaget.

   "Tidak menjadi soal,"

   Coa-sin Loni dari Go-bi-pai tersenyum.

   "Kumampu menaklukannya!"

   Baru selesai dia berkata, ular kecil berwarna hijau itu terjatuh ke tangannya, telapak tangannya membalik.

   "Cret!"

   Dengan dua jari ia jepit leher ular itu, sekali dipencet, habislah riwayat makhluk berbisa itu.

   Baru saja ular berbisa itu mampus, ular lain yang melingkar di tangan Coa-long-kun Thian Sau-kun mendesis dan tiba-tiba menyambar pula ke depan.

   "Kau berani memunahkan Lik-giok!"

   Bentak Coa-long-kun Thian Siau-kun dengan gusar.

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Di tengah bentakan itu iapun bergerak ke depan, kedua telapak tangan bekerja dengan cepat, sejak kecil dia belajar silat dari seorang manusia aneh, yang dilatih adalah jurus maut aliran sesat, boleh dibilang semua serangannya sangat aneh dan sukar diduga.

   It-hu Taysu dari Siau-lim-pai segera tampil ke muka, serunya.

   "Omintohud, sifat berangasan Sicu belum juga berubah, mungkin..." *** ( )*** Telapak tangan kiri mengebas dengan jurus Hud-kong-bu-ciau (cahaya Buddha memancar terang), segulung tenaga pukulan maha dahsyat segera mendampar ke muka. Coa long-kun Thian Sau-kun terkejut bercampur marah, bentaknya.

   "Sembilan perguruan besar dari Tionggoan sudah datang empat, apakah kalian ingin main kerubut?"

   Sementara itu Coa-sin Loni dari Go-bi-pai telah meremas hancur ular beracun yang lain, sambil melayang maju ujarnya.

   "Untuk menghadapi makhluk-makhluk tak berguna seperti kalian kenapa empat perguruan besar mesti bekerja sama?"

   Biau-kiang-it-mo Thian siau-kun mendorong Coa-long-kun Thian Sau-kun ke samping, dengusnya.

   "Hm, hari ini jangan harap kalian bisa mendapatkan kitab pusaka ini!"

   "Kitab itu adalah barang tak bertuan,"

   Kata Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai dengan dingin.

   "meski kami tak berniat mengangkangi, tapi jangan harap bisa terjatuh ke tangan sampah aliran sesat macam kalian, kedatangan kami hari ini hanya bertujuan mencegah buku ini jangan sampai terjatuh ke tangan manasia-manusia busuk."

   "Benar, ucapan Totiang sangat tepat, sungguh aku merasa kagum,"

   Sambung Tiong-ciu-it-kiam sambil terbahak. Mendadak seorang membentak marah.

   "Siapa yang melukai orang-orang keempat pulau kami?"

   Entah sedari kapan, Tiang-mo-tocu Siau-tiok-hong Ki Kiu jin, Ay-te-liong Yau Tong-seng dan Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu telah muncul semua. Tiong-ciu-it-kiam menatap sekejap ke arah Ciau-siu-thi-say dengan marah, lalu menjawab dengan dingin.

   "Jika aku, mau apa kau?"

   "Hahaha, kalau begitu harus kau serahkan nyawamu!"

   Teriak Ciu-siu-thi-say sambil tertawa seram. Seraya berkata dia lantas mendekati Tiong-ciu-it-kiam. *** ( )*** Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun menjadi gusar melihat ada orang mengganggu setengah jalan, serunya.

   "Kau ini manusia apa? Berani berkaok tak keruan micnm jeritan setan!"

   "kau sendiri manusia apa?"

   Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu berteriak gusar seraya berpaling.

   Telapak tangan kanannya menghantam dengan enam bagian tenaga.

   Pada dasarnya dia memang memiliki kekuatan ahm yang luar biasa, meski serangan ini cuma menggunakan tenaga sebesar enam bagian, tapi luar biasa hebatnya.

   Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun tertawa mengejek.

   "Hehehe, tak nyana kau punya kepandaian juga!"

   Mulut bicara tangan tidak berhenti, iapun melancarkan pukulan dahsyat ke depan, ketika dua gulung tenaga pukulan saling bentur, kedua pihak sama-sama terkejut oleh kehebatan lawan.

   Lok-to-sianseng merasa semangatnya berkobar setelah jago keempat pulau berdatangan semua, tapi setelah menyaksikan begitu banyak jago lain juga muncul, hatinya merasa dingin kembali.

   Diam-diam dia berbisik kepada Siau-tiok-liong Ki Kiu jin.

   "Saudara Ki, dewasa ini yang penting adalah kitab tersebut, sebaiknya jika sekarang kita bisa merampasnya ....

   "

   Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin manggut-manggut, katanya.

   "Saudara In. harap mundur, kita laksanakan sesuai rencana!"

   Waktu itu meski kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-su masih tergeletak di tanah, tapi tak seorang pun bsrani turun tangan untuk merampasnya, sebagai mana diketahui kawanan jago lihai dari berbagai daerah telah berkumpul, siapa berani bertindak secara gegabah bisa berakibatkan kematian yang mengerikan, *** ( )*** Semua orang dapat melihat ktadaan itu dengan jelas, maka siapa pun tak mau banyak bicara.

   Baru saja Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu akan bertindak, dilihatnya Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin memberi tanda dengan kedipan mata, dia lantas mengerti apa maksudnya, maka dengan uring-uringan katanya.

   "Untuk sementara kuampuni kalian"

   Selesai berkata dia lantas mundur, jaraknya dengan kitab Hek-liong-kang-ki-su menjadi tinggal beberapa kaki dan seperti tanpa sengaja lewat disisinya.

   "Siapa yang kau maksudkan?"

   Tiba-tiba Tiong-ciu-it-kiam menegur dengan dingin, Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu menuding Tiong-ciu-it-kiam dan Biau-kiang-it-mo, sahutnya.

   "Tentu saja termasuk kalian berdua."

   "Awas kupuntir lehermu!"

   Ancam Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun sambil tertawa seram. Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu mendengus, pada waktu membalik badan tiba-tiba kakinya menendang kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-su. bentaknya.

   "Saudara Ki, cepat sambut!"

   Hek-liong-kang-ki-su terus meluncur ke udara, Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin sudah mengincar dengan tepat, sagera dia melompat maju dan menyambar kitab itu.

   Ia disebut orang sebagai Siu-tiok-hong (angin bambu kurus), tentu saja gerak tubuhnya sangat ringan dan cepat, begitu melompat ke udara, tangannya lantas meraih..

   Pada saat itulah mendadak Tiohg-ciu-it-kiam persero.

   "Manusia yang tak tahu malu, rasakan dulu pedangku ini!"

   Cahaya tajam menyambar, dengan jurus Kim-ki-toh-hun (panji emas merampas sukma) dia tabas pergelangan tangan Siu-tiok-hong Ki kiu-jin.

   *** ( )*** Sekalipun waktu itu Ki Kiu-jin menyadari kesempatan baik tidak boleh disia-siakan, apa daya sudah terlambat, terpaksa dia menahan gerak tubuhnya sambil melepaskan pukulan.

   Ciu-Siu thi-say-in Ceng- bu dan Ay-te-liong Yau Tong-seng juga sudah sampai ke situ, sambil tertawa seram kedua orang itu segera menerjang maju menyongsong Siu tiok-hong Ki Kiu jin.

   Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun kuatir mestika itu jatuh ke tangan orang, buru-buru bentaknya.

   "Jite, cepat cegat kedua orang itu!"

   Ia melompat maju, di antara berkibarnya baju merah, kesepuluh jarinya memancarkan sepuluh jalur angin tajam, seketika kedua belas jalan darah genting di tubuh Tiong-Ciu-it-kiam terkurung di bawah jarinya.

   Tiong-ciu-it-kiam sama sekali tidak menghentikan gerakan tubuhnya, mencorong sinar matanya, sedang Siu-tiok hong Ki Kiu-jin mundur ke belakang sambil pedangnya menahas, ke mana cahaya pedang terpancar, tiba-tiba kitab pusaka itu melayang keluar arena.

   Di atas udara beruntun Tiong ciu- it-kiam ganti dua kali bentakan, lengan baju mengebas ke depan, serentetan angin pukulan menyongsong datangnya serangan Biau-kiang it-mo Thian Thian-kun.

   Dalam pada itu Coa-long-kun Thian Sau-kun atas perintah Toakonya telah menyambut kedatangan Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu serta Ay-te-liong Yau Tong-seng.

   Tangannya meraba pinggang, cahaya merah melayang ke atas, ternyata seekor ular merah hidup telah terpegang di tangannya, Sambil tergelak serunya.

   "Silahkan kalian menemani Toaya dan bermain beberapa gebrak dengan Siau jing" *** ( )*** Menggunakan ular sebagai senjata adalah hal yang luar biasa pada waktu itu, kenyataannya ular yang bernama "Siau-Jing"

   Itu ibaratnya sebilah pedang tajam, dengan entengnya menyambar ke sana kemari, bahkan terkadang menyemburkan pula asap beracun.

   Untuk sesaat lamanya, Ciu-siu-thi-say.

   Ia Ceng-bu maupun Ay-te-liong jadi keder dan tak berani mendekati musuh, mereka hanya melayani serangan lawan dari samping.

   Waktu itu Hek-liong-kang-ki-su telah melayang keluar arena, It-hu Taysu dari Siau-lim-pai segera melayang ke sana seraya berseru.

   "Omintohud! Kedua Toheng, meski kita tak berniat mengngakangi kitab ini tapi kitab inipun tak boleh terjatuh ke tangan orang jahat, kuharap bantuan saudara berdua untuk melindungi kitab ini!"

   Selesai berkata, ia melayang kesana, sementara Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai dan Coan-sin Loni dari Go-bi-pai merangkap tangan di depan dada sambil mengangguk, mereka bertiga juga melompat maju.

   Dalam pada itu, kitab pusaka yang memancarkan sinar terang masih tergeletak di atas tanah.

   Mendadak terdengar seorang tertawa nyaring lalu berkata.

   "Angin apakah yang membawa kalian bertiga ke sini hari ini?"

   Menyusul bayangan orang bermunculan dari berbagai penjuru, dalam waktu singkat datanglah para gembong iblis tersohor di dunia persilatan, kuatir kitab pusaka terjatuh tangan orang lain, beramai mereka mendesak maju.

   It-hu Tay-su dari Siau-lim-pai menyapu pandang sekejap wajah orang-orang itu, kemudian berseru memuji keagungan sang Budha.

   "Omintohud, tidak kusangka bisa berjumpa dengan banyak kawan lama di bukit terpencil ini, sungguh kejadian yang menggembirakan!" *** ( )*** Dengan sorot mata yang tajam dia menatap sekejap sekitar arena, kemudian berhenti pada wajah Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian yang baru ikut tiba itu.

   Tampaknya Lamkiong Hian sudah mempunyai rencana yang matang, dia memandang sekejap kawanan jago di sana, lalu menegur.

   "Taysu, mengapa kau ikut menjadi serakah hari ini?"

   "Omintohud! Dosa! Dosa!"

   Puji It-hu Taysu dari Siau-lim-pai sambil mundur ke belakang.

   Dalam pada itu, Tiong-ciu-it-kiam yang meyaksikan dalam arena telah muncul begitu banyak jago tangguh, ia tak berani bertarung lebih lama lagi dengan Biau-liang-it-mo Thiam Tiok-kun, buru-buru ia bergeser ke tengah arena.

   Sambil tertawa serunya.

   "Orang-orang Kiam-hong-ceng telah berdatangan, tentu pihak Thian-seng-po tidak akan tinggal diam bukan?"

   Gelak tertawa nyaring berkumandang, mula-mula suara itu kedengaran jauh sekali, tapi dalam waktu singkat telah tiba di depan mata, menyusul bayangan orang berkelebat, lima-enam sosok bayangan melayang masuk ke dalam arena.

   Terdengar orang yang paling depan bergelak tertawa, kemudian berseru.

   "Benar, pihak kami juga telah datang!"

   Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian berkerut dahi, ia pikir.

   "Sialan, ornng-orang Thian-seng-po tidak mau datang sejak tadi dan tak mau datang nanti saja, tapi aku baru muncul mereka pun turut muncul.

   Hm, kalau dia bermaksud mengacau, hari ini pasti kuberi hajaran setimpal!"

   Berpikir demikian, sambil tertawa dingin katanya.

   "Thian-seng-po juga bukan sesuatu perguruan besar, mau apa main gertak di tempat ini!" *** ( )*** Orang yang berjalan paling depan itu tak lain adalah Seng gwat-kiam Oh Kay-thian, dia lantas mendengus.

   "Hm, bila kau merasa tidak senang, boleh coba tunjukkan kelihatanmu!"

   "Hahaha, betul, memang sudah kutunggu datangnya hari seperti ini!"

   Seru Lamkiong Hian dengan tertawa, Waktu itu suasana telah berubah menjadi tegang, ibaratnya api dan air, kedua pihak sama-sama menyatakan sikiip permusuhan, serentak jago-jago Kiam-hong-ceng menyebarkan diri dan mengurung seluruh arena.

   Tampaknya asal kedua pihak sama memberi komando, suatu pertarungan segera akan terjadi.

   Mendadak dari tengah arena berkumandang dua kali jeritan kesakitan dan sekali dengusan tertahan, Ciu-siu-thi-say In Geng-bu sambil membawa luka di lengan melompat mundur ke belakang, mukanya tampak pucat seperti mayat, Ay-te-liong Yong Tongseng juga memegangi bahunya sambil mundur dengan wajah terkejut bercampur ngeri.

   Coa-long-kun Thian Siau kun sendiri berhasil melukai kedua musuh dengan ular berbisa, tapi ia sendiri juga terkena pukulan sehingga muntah darah dan mundur dengan sempoyongan.

   Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun memandang sekejap adiknya, kemudian berseru.

   "Adikku, jangan gugup, biar kakak ambil dulu barang itu kemudian kita pergi dari sini."

   Sambil melangkah ke tengah arena bentaknya.

   "Minggir! Enyah! Benda itu milikku!"

   Dengan seolah-olah di sana tiada orang lain, dengan langkah lebar dia masuk ke dalam arena, melirik sekejab para hadirin, dengan sikap santai dia menghampiri kitab pusaka Hek-iiong-kang-ki-su.

   *** ( )*** Seng-gwat-kiam Oh-Kay-thian tertawa dingin, serunya.

   "Kau ini manusia apa? Berani tidak pandang sebelah mata terhadap orang lain!"

   "Hm, yang tidak terima, silakan maju!"

   Seru Biau kiang-it-mo dengan pongahnya, Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian bergelak tertawa, ejeknya.

   "Tidak kusangka seorang liar dari luar perbatasan pun berani kurang ajar terhadap Thian-seng-po!"

   Jelas itulah kata-kata hasutan untuk memanaskan suasana. Sekalipun Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian juga tahu akan hal itu, tapi dia tak kuasa menahan amarahnya, dengan gusar dia melotot! "Lamkiong Hian,"

   Serunya.

   "Huh, segala macam badut kecil juga berani berlagak!!"

   Di tengah bentakan, telapak ttngan kanannya segera menghantam Biau kiang-it-mo Thian Tiok- kun.

   Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun tersohor karena kesombongan dan kekejiannya, sudah tentu dia enggan unjuk kelemahan di depan orang banyak, sambil tertawa dingin kedua tangannya yang kurus kering seperti bambu itu menyongsong datangnya pukulan lawan.

   "Blang", terjadi benturan keras, oleh karena Biau-kiang-it-mo Thian Tiok kun bertindak gegabah dan terlalu memandang enteng Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, akibatnya ia merasakan dada tergetar keras dan hampir saja tak tahan.

   Dari malu dia menjadi gusar, bentaknya.

   "Keparat, sambut pula pukulanku ini!"

   Sebilah tangan segera menyodok ke depan. Mendadak terdengar bentakan menggelegar.

   "Siluman tua, enyah kau dari sini!"

   Berbareng dengan suara bentakan itu, mendadak Kiam-hang-cengcu Lamkiong Hian melepaskan serangan. *** ( )*** "Blang!"

   Oleh karena Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun tidak dapat menahan diri, berubah serangan juga tak sempat, terpaksa ia sambut pukulan itu.

   Tapi akibatnya, tubuhnya yang tinggi besar itu segera terlempar ke udara dan terjatuh jauh di luar arena.

   Sambil merangkak bangun dia lantas tertawa seram, teriaknya.

   "Orang-orang Thian-seng-po dan Kiam-hong-ceng, dengarkan! Hadiah pukulan kalian ini akan selalu kuingat!"

   "Catat saja semua perhitunganmu atas namaku setiap saat kunantikan kedatanganmu!"

   Jawab Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian sambil tertawa dingin.

   Dengan wajah marah dan penuh kebencian Biau-kiang-it-mo Thian Tiok-kun melotot sekejap ke arah Lamkiong Hian, kemudian melonglong seperti serigala, bersama Coa-lon-kun Thian Siau kun terus berangkat meninggalkan tempat itu.

   Waktu itu Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin sedang memeriksa luka Ciu-siu-thi-say dan Ay-te-liong, melihat kedua orang itu hendak pergi, ia lantas membentak sambil mengadang k depan.

   "Berhenti!"

   "Mau apa kau?"

   Seru Biau-kiang-it-nio Thian Tiok-sun.

   "Tinggalkan dulu batok kepalamu sebelum pergi!"

   Coa long-kun Thian Siau-kun segera tertawa dingin.

   "Huh, rupanya kau juga ingin mencicipi bagaimana rasanya dipagut ular berbisa!"

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek melihat di antara empat Tocu sudah ada tiga orang terluka, ia sedih dan putus asa, ia tahu tiada harapan lagi buat mereka untuk turut memperebutkan kitab pusaka itu, tanpa terasa dia menghela napas panjang.

   "Sudahlah saudara Ki!"

   Serunya.

   "lebih baik sembuhkan dulu racun kedua adik angkat kita." *** ( )*** Rupanya Siu-tiok liong Ki Kiu-jin tahu makhluk berbisa wilayah Biau tersohor di seluruh dunia, bila karena urusan kecil menyebabkan kedua saudara tewas atau cacat, tentu akan menyesal selamanya. Maka dia mendengus, kemudian bersama Lok-to-sianseng dan lain-lain lantas berlalu dari sana. Sementara itu kedua bersaudara dari wilayah Biau itupun sudah pergi. Dengan begitu suasana dalam arena kembali menjadi tegang. Waktu keempat Toa tocu itu mundur dari sana mendadak sesosok bayangan berkelebat, Tiong-ciu-it-kiam melayang maju, secepat kilat mencengkeram kitab pusaka Hek-liong-- kang-ki-su. Tindakan itu dilakukan dengus tiba-tiba, siapapun tidak menyangka seorang Ciangbunjin termashur ternyata bisa juga merampas kitab pusaka itu, serentak semua orang membentak marah. Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian berdiri paling dekat, dia yang pertama tama melihat, sambil mendengus pedang berlubang lima segera dilolos dan menusuk Tiong ciu-it-kiam. Mengikuti gerakan itu telapak tangan kirinya juga menyambar ke muka. ternyata gerakannya terlebih cepat daripada Tiong-ciu-it-kiam hingga tangannya sempat meraih ujung kitab lebih dulu.

   "Siapa berani bergarak lagi, segera kuhancurkan kitab ini!"

   Ancamnya sambil tertawa dingin.

   Ancamannya ternyata manjur sekali, semua orang yang siap bergerak maju itu terpaksa mundur kembali demi menyelamatkan kitab pusaka itu dari ancaman kemusnahan, sedangkan para jago dari Kiam-hong-ceng yang menyaksikan kitab ttu sudah terjatuh ke tangan mereka, serentak mendesak maju untuk melindungi keselamatan Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian.

   *** ( )*** Tiong-ciu-it-kiam berdiri tertegun di tempatnya dengan wajah masam, untuk sesaat lamanya dia tak mampu berbuat apa-apa.

   Seng-gwat-kian Oh Kay-thian segera berkata dengan suara dingin.

   "Kalau kau berani memusnahkan buku itu, akan kucabut nyawamu!"

   "Hm, lebih baik serahkan saja kepadaku!"

   Mendadak seorang mendengus.

   Tampak Ciong-sia Loni dari Go-bi-pai mengapung di udara, dengan suatu gerakan yang aneh, dalam sekejap ia sudah melewati kepungan para jago Kiam-hong-ceng, lalu lengan bajunya dikebaskan ke depan melepaskan semacam tenaga isapan yang sangat aneh.

   Belum lagi Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian menarik kembali tangannya, tiba-tiba dirasakannya betapa besar tenaga isapan tersebut sehingga hampir saja tak mampu dilawan.

   Akhirnya kitab pusaka Hek-long-kang akan jatuh ke tangan siapa? Bagaimana dengan Bok Ji-sia? Apakah muslihat keji nona berbaju biru akan berhasil? -oo0dw0oo-

   Jilid 22 Baru saja Lamkiong Hian berteriak "Celaka"

   Kitab pusaka tersebut tahu-tahu sudah melayang ke udara, cepat bentaknya.

   "Nikoh tua kau berani!"

   Semua itu berlangsung dalam sekejap mata, baru saja para jago merasa terkejut, ketika melihat kitab pusaka itu melayang *** ( )*** ke udara, serentak mereka berlompatan ke udara dan berusaha menyambar kitab pusaka tersebut.

   Dengan Ilmu isapan Cian-kin-in-lik (tenaga betot seribu kati) Coan-sin-loni dari Go-bi-pai berhasil mengisap terbang kitab Hak-liong-kang-ki-su, baru saja dia akan melayang ke udara untuk merebut kitab pusaka itu, mendadak terasa segulung tenaga pukulan yang kuat menyambar tiba.

   Dalam kagetnya buru-buru dia menahan gerak tubuhnya seraya berseru.

   "Biar kusambut seranganmu!"

   Lengan jubahnya dikibaskan, timbul pusaran angin pukulan yang kuat memancar keempat penjuru.

   Kedua orang sama-sama jago kelas satu dalam dunia persilatan, serangan itupun menggunakan tenaga penuh, begitu tenaga pukulan mereka saling bertemu, dengan terkesiap kedua pihak lantas menyurut mundur.

   Belum lagi sempat mengatur pernapasan ketika Lamkiong Hian berpaling, diam-diam ia mengeluh.

   "Celaka! Kitab pusaka telah terjatuh ke tangan orang lain!"

   Sambil bersuit nyaring, secepat kilat dia meninggalkan Coan-sin-loni dan menubruk ke arah kitab pusaka itu.

   Kecuali It-hu Taysu dari Siau-lim, hampir semua jago yang hadir di situ bersama-sama turun tangan untuk memperebutkan kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-su, tampak beberapa bayangan berkelebat bersama-sama menubruk ke depan.

   Ketika Cian-sin Loni mengisap kitab pusaka tadi, Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pay juga melompat maju, langsung mencengkram kitab pusaka yang sedang meluncur jatuh itu.

   Tampaknya kitab pusaka itu segera akan terjatuh ke tangan Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai.

   *** ( )*** Mendadak Thian-seng-pocu, Seng-gwat-kiam Oh-Kay-thian melompat ke depan sambil membentak.

   "Siapa yang bosan hidup, silakan tangkap kitab itu!"

   Cahaya tajam berkilauan, pedangnya mencukil lagi ke atas kitab pusaka itu, terobek sebagian kitab pusaka itu dan mencelat kembali ke udara.

   Gagal dengan cengkeraman pertama, telapak tangan kiri Ki-sian-it-to menghantam ke belakang, sekali lagi ia meloncat untuk meraih kitab itu.

   Gerakan Ki-sian-it-to ini dilancarkan dengan cepat luar biasa, gagal dengan serangan pertama, untuk kedua kalinya dia menubruk lagi.

   Seng-gwat-kiam-Oh Kay-thian tertawa seram, dengan jurus Pu-bong-tui-ing (menatap angin menubruk bayaogan) ia manabas tubuh Kie-sian-it-to, kuatir serangannya gagal, telapak tangan kirinya segera menyusulkan pula suatu pukulan.

   Lihai sekali serangan Oh Kay-thian ini, mau-tak-mau Kie-sian-it-to harus menarik kembali serangannya untuk menghadapi lawan, dengan gerakan Leng-gong-huan-sin (berjumpalitan di tengah udara) dia melayang mundur.

   Tiong-ciu-it-kiam selama ini hanya berdiri tenang disamping, segera ia manfaatkan kesempatan itu, dia melompat ke udara dan menyambar kitab pusaka, Saat itu Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian juga menubruk tiba, melihat gelagat tidak menguntungkan, pedang dan telapak tangan digunakan bersama, pedang menusuk jalan darah kematian di punggung Tiong-ciu-it-kiam, sementara pukulan tangan kirinya menghantam ke arah kitab pusaka.

   It-hu Taysu dari Siau-lim yang menyaksikan kejadian itu cuma menggeleng kepala sambil bergumam dengan sedih.

   "Ai, tidak kusangka dunia persilatan bakal diliputi oleh badai *** ( )*** pembunuhan yang mengerikan hanya lantaran se

   Jilid Hek-liong-kang-ki-su!"

   Tenaga pukulan yang dilancarkan Lamkiong Hian sungguh amat dahsyat, akibatnya kitab pusaka melayang pergi sejauh beberapa tombak dari tempat semula.

   Melihat itu, para jago lupa untuk melukai musuh lagi, masing-masing lantas menubruk ke depan secara kalap.

   "Semuanya berhenti!"

   Mendadak terdengar bentakan keras menggeledek.

   Para jago tertegun dan tanpa terasa menghentikan gerakan masing-masing, mereka memandang ke arah datangnya suara.

   Tertampak dua sosok bayangan-manusia bagaikan sukma gentayangan meluncur datang, dalam waktu singkat telah tiba di depan orang banyak.

   Semua orang merasa silau, tahu-tahu di tengah arena telah muncul dua orang pemuda yang berusia sebaya dan sama tampannya, mereka tak lain adalah Bok Ji-sia dan Lamkiong Giok.

   Mengapa secara tiba-tiba Hian-lo-kiam Lamkiong Giok bisa melakukan perjalanan bersama dengan Bok Ji-sia.

   Kiranya Bok Ji-sia jadi sedih dan marah karena kitab pusaka Hek-liong-kang-ki-si diserobot oleh senjata kait Lok-to-sianseng Ciang Lip-teng, ia bertambah gusar lagi setelah menyaksikan jalan perginya teradang oleh Ciu-siu-Thi-say In Ceng-bu, Ay-te-liong Yan Tong-seng dan Siu-tiok-hong Ki Kiujin.

   Dengan gemas dia lantas membentak.

   "Kalian sampah-sampah persilatan yang tak tahu malu, serahkan nyawa kalian!" *** ( )*** Serangannya dilancarkan dalam keadaan gusar dan tidak kenal ampun, meski harus bertarung satu lawan tiga, ia berhasil mendesak mereka hingga kalang kabut, Akan tetapi, bagaimana pun juga Su-toa-tocu bisa menempati posisi tinggi dalam dunia persilatan tentu juga memiliki kepandaian yang bisa diandalkan, kungfu keempat orang Tocu itu memang cukup tangguh, Lama kelamaan pemuda itu mulai merasa gerak-geriknya makin terkendali oleh kerubutan lawan, mendadak ia bersiul panjang dan beruntun melancarkan dua kali pukulan yang memaksa musuh mundur. Cahaya emas berkelebat, Jian-kim-si-hun-pian dikeluarkan dan memancarkan titik-titik cahaya terang dan bunyi juara yang aneh. Tiga jago lihai dari empat pulau besar tersebut sesungguhnya tidak berniat beradu jiwa. tujuan mereka hanya ingin mengulur waktu agar Lok-to-siao-seng bisa kabur dengan lancar. Begitu melihat musuh mulai kalap, mereka lantas saling memberi tanda, mulailah pertarungan dilangsungkan dengan lari ke sana-sini, mereka menghindari pertarungan mengadu jiwa yang tidak bermanfaat, hal ini membuat Bok Ji-sia tambah gemas. Pada saat itulah, tiba-tiba berkumandang suara orang mendengus.

   "Hm, sungguh tak tahu malu, tiga lawan satu...."

   Tertampak Huaa-ki-kiam Lamkiong Giok melayang tiba dengan gusar, ia putar pedang dan memainkan jurus serangan Huan-in-kiam-hoat, langsung melancarkan serangan berantai ke arah ketiga orang itu. Semangat Bok Ji-sia berkobar kembali, teriaknya.

   "Saudara Lamkiong, cepat bantu membereskan mereka!" *** ( )*** "Jangan kuatir saudara Bok, mereka tak akan bisa lari!"

   Sahut Lamkiong Giok sambil tertawa.

   Bok Ji-sia merasa sangat terharu dan berterima kasih karena sobat karibnya itu selalu bersedia menjual nyawa baginya, tanpa terasa ia semakin menaruh hormat terhadap Lamkiong Giok.

   Padahal mana dia tahu Huan-in-kiam Lamkiong Giok sesungguhnya adalah manusia munafik, ramah di luar, keji dan busuk di dalam.

   Sejak dulu ia sudah berniat menyingkirkan Bok Ji-sia dari muka bumi, apa daya dia merasa tak mampu melawan Bok Ji sia, dan lagi dia pun takut pada Lik-ih-hiat li, maka terpaksa ia harus mencari akal lain.

   Ay-te-liong Yau Tong-seng segera melepaskan pukulan sambil tergelak, serunya.

   "Lamkiong Giok, ekormu hampir kelihatan!"

   Mendengar arti di balik ucapan tersebut, Lamkiong Giok kuatir tugas yang dipikulnya hari ini bakal dibongkar orang, buru-buru bentaknya.

   "Orang cebol, kau sudah bosan hidup rupanya!"

   Dengan jurus Huan-in-liu-siu pedang pendeknya berputar membentuk sekuntum bunga bwe lalu secara terpisah mengancam lima tempat mematikan di tubuh Ay-te-liong Yau Tong-seng.

   Buru-buru Ay-te-liong Yau Tong-seng memutar tamengnya untuk menangkis, kemudian melompat mundur, tapi belum lagi berheati, desing angin tajam kembali menyambar tiba.

   Siau-tiok-hong Ki Kiu-jin menyaksikan kejadian, itu cepat ia membentak kuatir.

   "Saudara Yau,.cepat mundur!"

   Berbareng tombak di tangannya segera diputar dan melancarkan serangan maut, menusuk ke lambung Bok Ji-sia. *** ( )*** Menyaksikan hal itu, Ji-sia tertawa dingin, ejeknya.

   "Bila, hari ini tidak kubasmi kalian, malu aku Bok Ji-sia memberi pertanggungan jawab kepada seluruh dunia persilatan!"

   Jian-kim-si-hun-pian segera berputar, sekaligus menyerang Siau-tiok-hong Ki Kiu-jin dan Ay-te-liong Yau Tong-seng.

   Tampaknya kedua orang itu tak sempat menghindarkan diri dan segera akan terluka di ujung ruyung mestika itu....

   Mendadak dari kejauhan terdengar tiga kali suitan panjang dan dua kali pendek, Ji-sia menjadi tertegun dan gerak serangannya melamban, dia mengira ada jago yang lebih tangguh lagi sedang menghampiri.

   Kesempatan ini segara dimanfaatkan Siau-tiok-hong serta Ay-te-liong untuk melompat mundur, sedangkan si Singa bercambang In Ceng-bu juga mendesak mundur Huan-in-kiam Lamkiong Giok, lalu melompat mundur.

   "Saudara berdua, cepat mundur!"

   Serunya dengan terkesiap.

   "di sebelah sana keadaan agak gawat!"

   Waktu mendengar suitan tadi, ketiga orang Tocu itu tahu Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek menjumpai musuh tangguh, sesudah saling tukar pandang, serentak mereka angkat kaki dari situ.

   "Hahaha... Su-toa-tocu!"

   Ejek Ji-sia sambil tertawa.

   "sesudah merampok barangku, kalian hendak kabur begitu saja?"

   Segera dia hendak melakukan pengejaran, tapi dicegah oleh Lamkiong Giok. Ji-Sia tertegun, serunya cepat.

   "Saudara Lamkiong, masa kita biarkan mereka kabur?"

   "Musuh yang terdesak tak usah dikejar, kuyakin masih ada cara lain untuk menyusul mereka!"

   Jawab Lamkiong Giok.

   *** ( )*** Ji-sia menjadi amat sedih, hatinya sangat tersiksa, seandainya kitab pusaka Hek-liong-kang itu sampai hilang, bagaimana mempertanggungjawabkannya kepada si gadis ajaib Hek-liong-kang.

   Huan-in-kiam Lamkiong Giok sesungguhnya sudah mulai menguntit di belakang pemuda ini sejak Ji sia berangkat mengawal barang, ia dapat melihat semua kejadian yang dialaminya dengan jelas.

   Sekarang, ia pura-pura menghela napas panjang, katanya.

   "Ai,apakah saudara Bok ada rahasia hati?.

   Jika ada kesulitan, Siaute bersedia menolongmu dangan sepenuh tenaga..."

   Ji-sia terharu sekali, katanya agak emosi.

   "Aku mendapat titipan seorang teman untuk mengantar suatu benda ke Hek-liong-kang, siapa tahu benda itu dirampas orang-orang keempat pulau besar di tengah jalan, sekarang aku tak bisa bertanggung jawab kepada si penitip barang itu, hatiku merasa, tak tenang..."

   Diam-diam Lamkiong Giok merasa girang, sahutnya cepat.

   "Apakah saudara Bok maksudkan kitab pusaka yang kini terjatuh ke tangan orang empat pulau besar itu?"

   "Betul, sekarang hatiku sedang kalut, harap saudara Lamkiong sudi mencarikan akal bagiku"

   Lamkiong Giok sengaja berlagak, susah, ujarnya kemudian.

   "Wah, soal ini memang agak sulit, cuma...

   Ah, ada akal, asal saudara Bok mau menurut caraku ini, tanggung kitab tersebut bisa dirampas kembali, sampai waktunya biar aku yang menolongmu untuk menyampaikan barang titipan itu ke Hek-liong-kang."

   Mencorong sinar mata Bok Ji-sia, suatu perasaan terharu yang aneh muncul dalam hatinya, tanpa bicara lagi mereka berdua segera melangkah ke depan.

   *** ( )*** Sewaktu tiba di tempat ini, pertarungan memperebutkan kitab pusaka sedang berlangsung dengan serunya.

   Itulah sebabnya, mengapa Bok Ji-sia baru datang sekarang; Kembali tadi.

   ketika Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian melihat putranya datang bersama Bok Ji-sia, dengan cepat dia paham duduknya persoalan, ia berlagak tak senang hati, tegurnya.

   "Giok-ji, siapa suruh kau datang kemari."

   "Ayah, sobat ananda kehilangan sesuatu barang, sekarang ananda sedaag mencarikan, tak nyana berjumpa dengan ayah di sini..."

   Sahut Lamkiong Giok dengan hormat. Seperti tak sengaja, dia melirik sekejap ke arah kitab pusaka Hek-liong-kang padahal yang benar ia sedang memberi isyarat kepada ayahnya. Lamkiong Hian pura-pura bertanya pula.

   "Bok-siauhiap kehilangan barang apa?"

   "Kitab pusaka Hek-liong-kang inilah!"

   Jawab Lamkiong Giok sambil menarik Ji-sia maju ke tengah arena. Semua jago sama melengak, tanpa terasa mereka pun maju selangkah ke depan, Tiong-ciu-it-kiam segera berseru.

   "Kitab itu tiada pemiliknya, cara bagaimana bisa kau buktikan dialah pemiliknya?"

   "Memangnya milikmu!"

   Bentak Ji-sia marah.

   "Sekalipun bukan milikku, pasti juga bukan milikmu!"

   Sahut Tiong-ciu-it-kiam ketus, Lamkiong Giok tergelak, katanyaa "Setiap umat persilatan di dunia ini siapa yang tak tahu Bok-siauhiap mendapat titipan si gadis berbaju biru untuk menyerahkan kitab pusaka itu kepada Hek-liong Lojin? Jika kau Tiong-ciu-it-kiam berani mengalanginya, itu berarti kau sudah bosan hidup!" *** ( )*** Tiong-ciu-it-kiam mendengus.

   "Hmm, mengingat usiamu masih muda, lebik baik cepat enyah dari sini!"

   "Hehehe, ucapanmu menghina, rupanya kau sengaja hendak bermusuhan dengan Kiam-hong-ceng!"

   Seru Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian dengan tertawa dingin.

   Tindakan ini sungguh di luar dugaan orang, semuanya tak menyangka secara tiba-tiba pihak Kiam-hong ceng akan bermusuhan dengan Liong-ciu-it-kiam dan tampaknya Lamkiong Hian hendak membela Bok Ji-sia.

   Sungguh pun Tong-ciu-it-kiam adalah seorang ketua suatu perguruan besar, namun dia enggan bermusuhan dengan Kiam-hong-ceng yang kuat itu, maka ketika dirasakan ucapannya kelewat batas, mau berubah pun sudah tak sempat lagi.

   Katanya kemudian.

   "Ah mana, mana, jika Kiam-hong-ceng berniat begitu, akupun apa boleh buat!"

   Siang-gwat-kiam Oh Kay-thian sejak tadi sudah menahan rasa dongkolnya, ia tahu semua yang hadir sekarang berhasrat mendapatkan kitab pusaka tersebut, ini berarti bukan pekerjaan gampang bila ingin mengangkangi kitab tersebut untuk diri sendiri.

   Dangan terkekeh ia berkata.

   "Siapakah diantara kalian yang berhasrat memperebutkan kitab ini?"

   Pertanyaan iiu boleh dibilang sudah tahu sengaja bertanya, tapi justru di sini pula letak kecerdikannya yang keji.

   Sebagaimana diketahui, sebagian besar yang hadir ini adalah jago-jago kenamaan, meski sudah lama mengincar kitab itu, tapi kalau suruh mereka mengaku terus terang di hadapan umum, betapa pun merasa sulit, Siapa tahu, mendadak Bok Ji-sia berseru.

   "Aku bertekad merampas kembali kitab pusaka itu!" *** ( )*** Waktu itu ia lagi merasa menyesal, tak tahunya Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian mempunyai rencana untuk mengendalikan orang-orang lain agar mau turut dalam perebutan kitab ini. Ia memandang sekejap ke arah Bok Ji-sia, lalu katanya.

   "Baik, kau orang pertama, juga merupakan jago yang paling muda "

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dan siapa lagi?"

   Ia berseru pula setelah berhenti sejenak.

   "Aku pun ingin turut mencobanya!"

   Seru Lamkiong Giok. Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa licik, katanya cepat.

   "Sobat karibmu Bok Ji-sia kan sudah ambil bagian, buat apa kau turut pula dalam perebutan ini? Masa kau pun hendak berebut dengan sahabat sendiri?"

   Bok ji-sia melenggong, ia tidak paham maksud ucapan tersebut, sebaliknya Lamkiong Giok yang cerdik segera dapat menangkap niat jahat orang, diam diam ia terkesiap. Ia mendengus gusar.

   "Untuk apa menggubris orang yang cuma mengadu domba..."

   Dia lantas melengos ke arah lain dan tak sudi memandangnya. Tiong-ciu-it kiam segera maju ke muka, katanya sambil tersenyum.

   "Saudara Oh hanya menanyai orang lain, kenapa tidak jelaskan dulu pendirianmu sendiri!"

   "Hmmnnn, tentu saja aku tak akan melepaskan kesempatan baik ini,"

   Dengus Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian.

   "cuma aku tidak harus mendapatkannya, aku cuma ingin ikut meramaikan suasana, untuk menghindari pertumpahan darah yang tak ada gunanya, ada satu cara bagus yang bisa menyelesaikan masalah ini dengan adil...."

   "Omintohod!"

   Puji It-hu Taysu dari Siau-lim-si.

   "berbahagialah umat manusia jika Oh sicu bisa bertindak welas asih, asal tidak menggunakan kekerasan, aku tentu menyokong." *** ( )*** It-hu Taysu dari Siau-lim-si adalah seorang paderi agung, dia tak ingin menyaksikan terjadinya pertikaian berdarah di situ.

   Oh Kay-thian tertawa terbahak-bahak, katanya.

   "Kalau dibicarakan urusannya sederhana sekali, tapi sulit pelaksanaannya, mungkin hadirin enggan menerima usulku."

   "Asal caramu itu adil dan cocok, tentu saja akan kudukung usulmu itu"

   Jawab Coan-tin-it-to dari Bu-tong-pai. Sambil menuding kitab pusaka yang berada di atas tanah itu, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berkata.

   "Kitab pusaka ini sudah membuat orang persilatan menjadi tergila-gila, tidak sedikit umat persilatan yang ingin melihat isinya, mumpung hari ini kita berkumpul di sini, bagaimana kalau kubuka halaman kitab itu kemudian kita melihat isinya bersama? Setelah itu, kita masing-masing pihak mengambil semacam kepandaian untuk dilatihnya di gunung, kurasa kitab yang tebal ini pasti tidak cuma memuat semacam ilmu saja, sekalipun dibagi rata untuk yang hadir kurasa juga masih lebih."

   "Cara ini memang bagus, cuma sayang kurang adil,"

   Kata Coan-sin-loni dari Go-bi pai sambil maju ke depan.

   "bagaimana pun di antara sekian banyak ilmu yang tercantum di sicu pasti ada ilmu yang bagus dan ada pula yang jelek, bila pembagian kurang adil, akhirnya toh pertumpahan darah tetap akan berkobar juga?"

   "Ah,kurasa setiap kepandaian yang tercantum dalam kitab ini sudah pasti adalah ilmu sakti yang belum pernah ada di dunia selama ini, asalkan semua orang bersedia membaginya secara adil, ku jamin setiap orang pasti akan mendapat bagiannya, cuma...

   kita mesti mempunyai dua orang pelindung untuk menjamin amannya pembagian ini."

   Kiam hong-cengcu Lamkiong Hian tertawa.

   "Hehehe, kenapa kau ingin membuka kitab itu? Pasti ada niat busukmu." *** ( )*** Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian gusar sekali mendengar perkataan Itu, hampir dia tidak tahan, tapi demi suksesnya rencana besar terpaksa ia bersabar daripada orang menaruh curiga lebih mendalam lagi kepadanya.. Maka sambil tertawa serak katanya.

   "Kalau pihak Kiam hong-ceng tidak percaya kepadaku, harap It-hu Taysu dari Siau-lim-pai saja yang memimpin pembagian ini!"

   It-hu Taysu dari Siau-lim-pai adalah pendeta agung yang saleh, dan tidak mempunyai nafsu serakah, tentu saja semua jago percaya kepadanya.

   Setelah memuji keagungan sang Budha, pelahan It-hu maju ke depan, tiba-tiba pendeta ini merasakan tugasnya berat sekali.

   "Omintohud!!"

   Katanya kemudian.

   "Atas dukungan hadirin sekalian, aku menjadi malu sendiri. Tapi kalau semua orang telah setuju, terpaksa ku-singkap teka-teki yang meliputi kitab pusaka ini."

   Suasana menjadi tegang, berpuluh pasang mata gama tertuju It-hu Taysu yang sedang maju ke depan.

   "Jangan sentuh benda itu!"

   Mendadak Bok Ji-sia membentak sambil menyeringai. It-hu Taysu menghentikan langkahnya, lalu berkata.

   "Omintohud, apakah Sicu ada mempunyai pandangan lain terhadap diriku?"

   Perlu diketahui, It-hu Taysu mempunyai kedudukan yang tinggi sekali di dalam dunia persilatan, terutama dalam kuil Siau-lim-si, bila menyinggung nama It hu Taysu tiada orang yang tidak menghormatinya, maka bentakan Bok Ji-sia tersebut dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap pendeta agung ini.

   Waktu itu Bok Ji-sia merasa gusar sekali sehingga sekujur badan gemetar, sekalipun kitab pusaka Hek liong kang itu.

   *** ( )*** bukan miliknya, tapi ia merasa bertanggung jawab terhadap benda itu lantaran si gadis berbaju biru telah menitipkan kepadanya, paling tidak ia terhitung setengah pemiliknya.

   Kenyataannya sekarang tanpa persetujuannya orang-orang itu bersikeras hendak menyingkap rahasia isi kitab pusaka tersebut, tentu saja hawa amarahnya berkobar.

   Kalau orang sedang marah, sudah barang tentu iapun tak peduli kelihaian lawan.

   Dengan suara menggeledek kembali bentaknya.

   "Bila kubilang jangan menyentuhnya, maka lebih baik jangan menyentuhnya,"

   Sungguhpua It-hu Taysu seorang pendeta yang saleh, tak urung timbul juga amarahnya, sekali melompat mendadak ia menerjang ke depan Bok Ji-sia.

   "Siau sicu, kau murid siapa? Berani kau bersikap kasar kepadaku?"

   Tegurnya.

   "Hmm, selama aku Bok Ji-sia berada di sini, barang siapa berani menyentuh kitab pusaka Hek-Jlong-kang itu, biar dia merasakan dulu kehebatan Jian-kim-si hun-pian."

   Jawaban yang menyimpang dari pertanyaan ini membuat It-hu Taysu tertegun. Sambil tertawa dingin Tiong-ciu-it-kiam segera berseru.

   "Taysu, buat apa banyak bicara, hadiahkan saja sekali pukulan kepadanya!"

   Ji-sia tertawa seram, ejeknya.

   "Bila kau punya kemampuan, silakan maju, buat apa bersilat lidah melulu."

   Mendadak Seng-gwat-kiam Oh Kay Khian menuding Bok Jisia, katanya.

   "Ia telah merusak peraturan kita, berarti dia adalah musuh kita bersama, biar kita binasakan dia lebih dulu!" *** ( )*** Begitu selesai berkata, telapak tangan kiri tiba-tiba melepaskan pukulan dahsyat ke depan, langsung menghajar dada Bok Ji-sia. Huan in-kiam Lamkiong Giok tahu kesempatan semacam ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, sambil merentangkan tangannya dia lantas berseru.

   "Hei, kalian mau main keroyok? Tidak bisa kawan!"

   Sementara itu Bok Ji-sia sudah mengegos ke samping dan mundur beberapa langkah, ia tertawa dingin, teriaknya dengan gusar.

   "Saudara Lamkiong, akan ku rebut kembali kitab itu, seandainya aku mati, kitab ini kuserahkan untukmu!"

   Setelah berhenti sebentar, lalu bentaknya.

   "Nah, mati bagi siapa yang mengalangi aku dan hidup bagi yang menghindariku!"

   Mendadak jagat serasa menjadi gelap, awan mendung menyelimuti angkasa.

   Cahaya emas berkilauan, sekujur badan Bok Ji-sia dengan dibungkus oleh bayangan emas langsung menerjang ke arah kitab pusaka Hek-liong-kang.

   Baru saja ia bergerak bayangan manusia yang berkumpul di situ pun serentak menyongsong ke depan.

   Huan-in-kiam Lamkiong Giok merasa girang sekali menyaksikan Bok Ji sia sudah tidak mempedulikan soal mati-hidupnya lagi, dia kuatir Bok Ji-sia berubah pikiran, maka dengan suara lantang teriaknya.

   "Jangan kuatir saudara Bok, pasti akan ku bantu dengan sepenuh tenaga!"

   Walaupun di mulut ia berbicara manis, tapi kakinya sama sekali tidak bergerak, ia malah tersenyum belaka memandang orang-orang mengalangi kepergian Bok Ji-sia.

   Ketika Oh Kay-thian melihat Bok Ji-sia secara nekat hendak mengambil kitab pusaka itu, segera ia membentak, pedang Seng-gwat-kiamnya dengan jurus Kian-kim-si-kay (puteri *** ( )*** agung memberi sedekah) sagera menusuk ke jalan darah penting di tubuh anak muda itu.

   Tiong-ciu it-kim tidak ketinggalan, dengan gusar iapun membentaknya.

   "Orang she Bok, kau ingin mampus!"

   Ilmu pedang Tiam-jong-pai segera menusuk juga punggung Bok Ji-sia.

   Kedua orang itu turun tangan hampir berbareng dengan kecepatan luar biasa.

   Saat itu Bok Ji-sia tidak memikirkan mati-hidupnya lagi, melihat kedua orang itu mendekat, ia membentak, dengan jurus Hiat-in-tui-hun- (bayangan darah mengejar sukma), secepat kilat ia mengegos dan balas menyerang kedua orang itu.

   "Sekalipun malam ini Bok Ji-sia bakal tewas di sini, tak nanti aku takluk kepada kalian!"

   Serunya sambil tertawa panjang. Tiong-ciu-it-kiam tergelak.

   "Hahaha, jika kau memang berhasrat mampus, akan kupenuhi keinginan mu!"

   Di tengah gelak tertawanya, cahaya tajam pedang segera memancar ke empat penjuru.

   Bok Ji-sia tertawa seram, Jian-kim-si-hun-pian di tangannya segera berubah bagai seekor naga emas yang berkilauan, diiringi bunyi mendenging menggema angkasa.

   Bayangan manusia sirap, cahaya perak hilang pedang Tiong-ciu-it-kiam tahu-tahu patah menjadi dua, dengan wajah pucat ia berdiri terpaku di tempatnya.

   Mendadak terdengar bentakan menggelegar, tahu-tahu Seng-gwat-kism Oh Kay thian telah menyelinap ke belakangnya, hawa pedang dingin sudah mengancam punggung Bok Ji-sia.

   *** ( )*** Pada saat itulah, tiba-tiba It lm Taysu membentak keras.

   "Bok-siauhiap, awas belakang!"

   Pendeta agung ini tak tega menyaksikan pemuda itu disergap secara licik, maka dia memberi peringatan. Dengan cekatan Ji-sia melompat ke depan, kemudian sambil berpaling ia memaki.

   "Keparat, kau betul-betul licik!"

   Ruyung segera menyabet ke belakang, tapi tangannya lantas tergetar hingga senjata itu nyaris terlepas, dalam kagetnya buru-buru ia menarik serangannya.

   Sebaliknya Seng gwat-kiam Oh Kay thian juga berdiri dengan wajah kaget bercampur heran.

   Tiba-tiba terdengar Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian membentak.

   "Huh, ketua perguruan ternama yang licik.."

   Pukulan dahsyat dilontarkan dengan tangan kiri, sedang pedang lima lubang di tangan kanan mengeluarkan irama yang aneh.

   Semua orang terkejut, kiranya Tiong-ciu-it-kiam entah sedari kapan tahu tahu sudah berhasil merampas kitab pusaka Hek- liong- kang itu.

   Perintah segera diturunkan, para jago Kiam-hong-ceng serentak membentuk barisan dinding manusia mengadang jalan pergi Tiong-ciu-it-klam.

   Pihak Thian-seng-po juga tidak tinggal diam, para jagonya berbondong-bondong maju ke depan.

   "Toyu!"

   Seru Coan-sin-loni sambil mengebaskan lengan jubahnya.

   "tidakkah kau merasa perbuatanmu ini akan ditertawakan setiap umat persilatan di dunia?"

   Marah padam wajah Tiong-ciu-it-kiam, semula dia mengira dengan berlagak terluka dan mumpung orang tidak menaruh perhatian, ia bisa melarikan kitab pusaka itu secara diam- *** ( )*** diam, tapi akhirnya toh konangan juga, tak terlukiskan rasa gemas dan kesalnya.

   Dari malu dia menjadi murka, pedang berputar dengan gencar, jepitan ngeri berkumandang susul menyusul, empat orang jago Kiam-hong-ceng segera roboh tergeletak dan tewas seketika.

   "Bangsat, kau berani mencelakai anak buahku?!"

   Bentak Lamkiong Giok dengan gusar.

   Lima jalur cahaya perak berkilauan menyambar ke depan mengincar jalan darah penting di sekujur badan Tiong ciu-it-kiam, pada dasarnya dia memang berhati keji, serangannya itu lebih-lebih tak kenal ampun.

   Pada saat yang sama Lamkiong Hian juga menerjang ke depan, bentaknya.

   "Tiong-ciu-it-kiam rasakan pukulanku ini!"

   Tiong-ciu-it-kiam hanya memperhatikan Hoan-in-kiam Lamkiong Giok yang mengancam dari depan, tapi lupa di belakang masih ada seorang tokoh sakti, ia lebih-lebih tak menyangka kedua ayah beranak itu bisa melancarkan serangan bersama.

   Punggungnya terasa bergetar keras, tanpa ampun dia muntah darah, masih untung tenaga dalamnya sempurna, setelah terluka dia masih sempat loloskan diri di bawah ancaman pedang.

   Tapi kitab pusaka itu kembali terlepas dan jatuh persis di samping Bok Ji-sia.

   Hati anak muda itu tergetar, dengan jurus Cuan-gong-ki-uh (mengambil benda dari kantong) sedikit berjongkok ia sambar ujung kitab itu terus hendak terjang pergi.

   Siapa tahu, pada saat itulah mendadak "Blang!"

   Pukulan dahsyat dengan telak bersarang di badan Bok Ji-sia, anak-muda itu terlempar sejauh beberapa kaki dari tempat semula dan menyemburkan darah.

   *** ( )*** Gerak tubuh si penyergap benar-benar cekatan, telah menyerang terus mundur dengan cepat, malah Ji-sia tidak sempat melihat bayangan tubuh penyergapnya itu.

   Dengan menyeringai Ji-sia bertanya.

   "Siapa yang menyergap diriku!"

   Darah dalam tubuhnya bergolak hebat, tangannya yang sata memeluk buku kencang-kencang, sedang tangan yang lain memegang Jian-kim-si-hun-pian dengan pandangan gusar.

   Tiada jawaban, siapapun tidak mengaku dirinya sebagai si penyergap.

   Melihat itu, Ji-sia semakin naik darah.

   "Seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, ternyata kalian semua adalah manusia pengecut....

   "

   "Kata 'kalian' yang kau maksud itu perlu diperjelas lagi,"

   Ujar Seng-gwat-kiam Oh Kay-tbian.

   "Tentang siapa yang melakukan sergapan itu? dapat kuberitahukan kepadamu bahwa dia adalah sahabatmu yang paling karib."

   Jelas perkataannya ditujukan kepada Huan-in-kiam Lamkiong Giok, apalagi sambil berkata sinar matanya sengaja melirik ke arah orang she Lamkiong tersebut.

   Bok Ji-sia adalah pemuda yaag benci pada kelicikan, iapun sangat jujur, dia tak pernah mencurigai Huan-in-kiam Lamkiong Giok, sebab dianggapnya hal ini tak mungkin terjadi.

   Begitulah, ketika melihat tiada orang mau mengaku, terpaksa tanyanya.

   "Saudara Lamkiong, sebenarnya....

   "

   Menurut perkiraan Lamkiong Giok semula, pukulannya itu pasti akan membinasakan Bok Ji-sia, siapa tahu serangan yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga ini tak lebih cuma mengakibatkan Bok Ji-sia terluka parah, kenyataan ini membuatnya amat terkesiap.

   *** ( )*** Ia makin gelisah setelah Ji-sia langsung menegurnya, dia mengira pemuda itu sudah mengetahui rahasianya, dengan wajah pucat cepat jawabnya.

   "Saudara Bok, jangan percaya pada perkataan oraog lain, jelas Thian-seng-po ada niat merusak hubungan kita. Meski tidak kulihat jelas siapa penyergap saudara Bok tadi, namun sudah pasti perbuatan ini dilakukan oleh pihak Thian-seng-po....

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"

   Sebenarnya tenaga Bok Ji-sia ketika itu sudah kurang lancar, hakikatnya ia tak mampu lagi menghimpun tenaga lagi, tapi dia tahu sikapnya saat ini harus tegas dan tak boleh memperlihatkan rasa takut, kalau tidak niscaya kawanan jago itu ikan membinasakan dirinya.

   Maka sambil tertawa nyaring, tegurnya.

   "Oh Kay-thian, kaukah yang melakukan perbuatan Ini?"

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian merasa mendongkol sekali karena Lamkiong Giok telah melimpahkan dosa itu kepadanya, tapi iapun tidak mau memberi ptnjelasan, sebab dia tahu kesalahan paham itu sudah telanjur mendalam. Sambil tergelak, sahutnya dingin.

   "Peduli benar atau tidak, tak ada alangannya kau catat hal ini atas namaku,"

   Betapa lega perasaan Lamkiong Giok setelah Seng-gwat-kiam Oh-Kay-thian menanggung dosanya, dia lantas mengecapkan mata kepada ayahnya sebagai tanda untuk melaksanakan siasat berikutnya. Segera dia maju ke depan, lalu membentak keras.

   "Kau herani melukai saudara Bok? Bagus, akan kubalaskan dendam berdarah ini baginya"

   Seraya berkata, dengan jurus Thian-ku-keng-hun (tambur langit mengejut sukma) dia kebaskan lengan bajunya, pedang pendek di balik pakaiannya bagaikan lima ekor naga perak terus menyambar ke depan *** ( )*** Seng-gwat-kiam Ob Kay-thian mendengus, iapun memutar pedangnya menyambut datangnya ancaman.

   It-hu Taysu dari Siau-lim-pai yang berada di samping hanya bisa menggeleng kepala sambil bergumam.

   "Siausicu, dengan usiamu yang masih muda ternyata memiliki kelicikan yang luar biasa, sungguh menguatirkan dan menakutkan!!"

   Mendadak Ji-sia membentak.

   "Tahan!"

   Padahal Lamkiong Giok memang tidak berniat melangsungkan pertarungan sengit, mendengar bentakan itu, cepat dia mundur, dia melirik sekejap ke arah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dengan gusar, lalu berjalan ke depan Bok Ji-sia.

   "Saudara Bok ada pesan apa?"

   Ji-sia menyerahkan kitab pusaka Hek-liong-kang itu kepada Lamkiong Giok seraya berkata.

   "Saudara Lamkiong, kuserahkan kitab ini kepadamu, dengan kepandaian ayahmu dan jago-jago lihai Kiam-hong-ceng, rasanya tidak sulit untuk mempertahankan kitab ini..."

   Tiong-ciu-it-kism yang berada di samping mendengus, timbrungnva dengan ketus.

   "Bukan pekerjaan gampang bagi Kiam-hong-cengcu untuk membawa pergi kitab itu?"

   Tegang perasaan Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian menyaksikan kitab pusaka itu berada di tangan putranya, dia tahu kesempatan baik semacam ini tak mungkin dijumpai pada lain saat.

   Kepada kawanan jago Kiam-hong-ceng yang berada di sekeliling tempat itu segera serunya.

   "Lindungi Siaucengeu, bila ada orang bermaksud jahat, bunuh tanpa ampun!"

   "Sreet!"

   Segenap jago Kiam-hong-ceng segera menyebarkan diri dan melakukan penjagaan yang ketat di sekeliling tempat itu.

   diam-diam mereka awasi gerak-gerik orang Thian-seog-po, Tiam-cong-pai, Go-bi-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai.

   *** ( )*** Timbul rasa haru pada wajah Huan-in-kiam Lamkiong Giok ketika menerima kitab pusaka itu, dia tak mengira Bak Ji-sia benar-benar akan menyerahkan kitab itu kepadanya.

   Tapi iapun menyadari bahayanya situasi saat itu, bukan pekerjaan gampang bagi mereka untuk mundur dari situ dengan selamat, tanpa terasa timbul juga rasa kuatirnya.

   Tapi di luar dia berpura-pura terkejut, serunya "Saudara Bok, mau apa kau?"

   "Aku ingin berduel dengan Oh Kay-thian!"

   Jawab Ji-sia tegas.

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian bukan sembarangan orang, sttelah menyaksikan kitab pusaka Hek-liong-kang itu diserahkan kepada orang Kiam-hong-ceng, dia sadar keadaan bisa runyam, buru-buru dia memberi tanda kepada anak buahnya untuk bertindak dengan kekerasan.

   Setelah itu, sambil tertawa seram katanya.

   "Kalau memang hendak mengajak berduel, akan segera kukirim dirimu ke runah nenekmu!"

   Diiringi bentakan telapak tangan kirinya segera melancarkan pukulan, serangan ini aneh lekaii dan sukar untuk menghindarinya.

   Ji-sia berkerut kening, nafsu membunuh menyelimuti wajahnya, dengan badan yang sudah terluka parah, ia tidak menghindar atau berkelit, dia angkat tangannya dan menangkis pukulan lawan dengan kekerasan.

   "Blang", benturan keras berkumandang.

   Sesosok bayangan hitam mencelat ke udara dan "bluk", terbanting ke tanah, tubuh Bok Ji-sia seperti tak berkutik lagi, hal ini membuat perasaan semua jago tergetar.

   Lamkiong Giok juga terkesiap atas kejadian itu, tapi sekejap kemudaan wajahnya kembali berseri seakan-akan merasa *** ( )*** girang menyaksikan musibah yang menimpa lawan, dari sini dapat diketahui betapa liciknya orang ini.

   Mendadak suara tertawa seram bergema, Bok Ji-sia dengan badan berlepotan darah pelahan berbangkit lagi.

   Melihat itu, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kaget sekali, dia mengira dirinya sedang mimpi.

   Tapi semua ini adalah kenyataan, Bok Ji-sia merangkak bangun, setelah tergelak, tiba-tiba air mukanya menampilkan perubahan aneh yang sukar dijelaskan, dia menyapu pandang para jago yang hadir.

   Seog-gwat-kiam Oh Kay-thian betul-betul terkesiap, sampai bergidik lantaran ngeri, dia percaya serangannya tadi mempunyai kekuatan ribuan kati, sekalipun kebal juga belum tentu mampu menahan serangan dahsyat itu.

   Tapi kenyataannya bukan saja Bok Ji-sia yang sudah terluka parah itu sanggup menyambut serangannya, bahkan sempat pula merangkak bangun, mau-tak-mau timbul juga perasaan ngeri dan takutnya terhadap pemuda aneh itu.

   "Ehm, rupanya masih punya ilmu simpanan,"

   Serunya dengan wajah beringas.

   "sambutlah pukulanku lagi!"

   Tiba-tiba Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai melompat ke depan seraya terseru.

   "Saudara Oh, kau hendak melakukan pembantaian habis-habisan?"

   Sekalipun dia juga berhasrat mendapatkan kitab pusaka itu, namun bagaimanapun dia adalah seorang tokoh perguruan besar, timbul sifat pendekarnya setelah menyaksikan keadaan Bok Ji-sia yang payah, bila perlu ia siap membantu anak muda tersebut, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa, katanya.

   "Kalau pihak Bu-tong-pai sudah menampilkan diri, biarlah kulepaskan dia kali ini!" *** ( )*** Saat itu tenaga dalam Bok Ji-sia sama sekali telah punah, dia hanya mengandalkan semangat saja untuk mempertahankan tubuhnya, tapi ucapan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang tak sedap itu segera menimbulkan kembali kesombongannya.

   "Siapa yang sudi menerima pengampunanmu?"

   Teriaknya sambil tertawa seram.

   "Oh Kay-thian! Jika berani silakan maju lagi!"

   Oh Kay-thian memandang sekejap sekeliling arena, katanya.

   "Dia sendiri yang ingin mampus, jangan salahkan aku bila kubunuh dia."

   Lalu ia berteriak.

   "Bocah she Bok, akan kupenuhi keinginan mu!"

   Telapak tangan diangkat, tiba-tiba diayun ke bawah dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (mengangkat obor membakar langit), langsung membabat pinggang Bok Ji-sia, Serangan ini dilakukan Oh Kay-thian dengan segenap tenaga dalamnya, kehebatannya luar biasa.

   Bok Ji-sia dengan mata melotot seakan-akan tidak merasakan sesuatu, ia membiarkan angin pukulan menghajar datang.

   Seandainya serangan itu sampai mengenai tubuhnya, sekalipun berbadan baja juga tukar menahan serangan yang maha dahsyat itu, tampaknya dia segera bisa binasa....

   Mendadak terdengar Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hiin membentak.

   "Anak Giok, cepat pergi!"

   Lamkiong Giok mengiakan, sambil mengempit kitab, pusaka Hek-liong-kang secepat kilat ia kabur dari situ.

   Kawanan jago Kiam-hong-eengcu juga serentak bergerak dan melindungi Huan-in-kiam Lamkiong Giok begitu *** ( )*** mendengar bentakan sang Cengcu, dengan ketat mereka melindungi keselamatannya dan meninggalkan tempat itu; Para jago Thian-seng-po menjadi kelabakan, bentakan kerat bergema di sana-sini, beramai-ramai mereka menerjang maju, Pihak Kiam-hong-ceng juga tak mau unjuk kelemahan, segera mereka menyokong datangnya serbuan.

   Dalam waktu singkat, suasana dalam arena menjadi kacau-balau, cahaya golok dan bayangan pedang memenuhi angkasa, jerit kesakitan dan pekikan ngeri berkumandang susul menyusul.

   Gelisah sekali perasaan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menyaksikan Lamkiong Giok kabur dengan membawa kitab pusaka, ia batal menghantam dan memburu ke sana.

   Bok Ji-sia tidak tahan keadaannya yang payah, dia roboh terkulai.

   Pada saat, itulah, mendadak terdengar Tiong-ciu-it-kiam membentak sambil menubruk maju.

   "Mau kabur ke mana kau!"

   Dengan jurus Kin keh-liau-ka (ayam emas menggetarkan bulu), pedang bergetar, desing tajam menyambar ke depan.

   Belum jauh Lamkiong Giok melarikan diri, dilihatnya beberapa sosok bayangan meluncur datang, ia terperanjat, apalagi menyaksikan Tiong-ciu-it-kiam juga mengadang jalan perginya, dia semakin terkesiap.

   "Enyah dari sini!"

   Bentaknya dengan gusar.

   Pedang pendek di tangan kanan secepat kilat meluncur ke depan, cahaya putih berkelebat ke arah Tiong-ciu-it-kiam.

   Dengan cekatan Tiong-ciu-ii-kiam mengeluarkan urus Po-hoag-pat-ta (angin puyuh melanda delapan penjuru) dari *** ( )*** Tiam-cong kiam-hoat, dengan kekerasan ia bendung ancaman tiga bilah pedang pendek Lamkiong Giok itu.

   "Serahkan kitab pusaka itu dan akan kuampuni jiwamu!"

   Bentaknya. Lamkiong Giok terbahak-bahak.

   "Tiong-ciu-it-kiam, jika kau tak mau angkat kaki, terpaksa kuladeni kau!"

   Mendadak bentaknya.

   "Atur barisan pedang, tangkap orang ini hidup-hidup!"

   Para jago Kiam-hong-ceng serentak menyebarkan diri dan mengurung Piong-ciu-it-kiam di tengah, setelah itu serentak mereka turun tangan bersama.

   Pada waktu Tiong-ciu-it-kiam terkepung, buru-buru Lamkiong Giok kabur lebih jauh lagi, baru saja hatinya girang karena berhasil lolos, mendadak dari empat penjuru bergema suara langkah manusia.

   Ketika dia berpaling, ia terkesiap, tertampak Oh Kay-thian dan Coan-sin-loni masing-masing berjaga di satu sudut, sedangkan Ki-siao-it-to dari Bu-tong-pai juga menyusul tiba.

   Dalam waktu singkat dia menghadapi musuh tangguh dari tiga penjuru, hal ini membuat air mukanya berubah hebat, dia segera berusaha mencari akal guna meloloskan diri.

   Selain itu Lamkiong Giok juga merasa heran, kenapa sampai sekarang Lamkiong Hian belum juga turun tangan? Apakah ayahnya mengalami kejadian lain? Atau menganggap kitab pusaka Hek-Hong-kang itu tak perlu dibela lagi Mungkin hal tersebut bukan alasan yang sesungguhnya, ketika masih berada dalam Kiam-hong ceng, ayahnya telah menyusun rencana yang sempurna untuk meraih kemenangan, tak nanti dia akan mnlepaskan kitab pusaka nomor wahid di dunia dengari begitu saja.

   *** ( )*** Apalagi kitab tersebut jelas telah berada di tangannya sekarang, tak mungkin ayahnya akan melepaskannya, Timbul rasa curiganya, dia tak tahu apa yang terjadi, tanpa terasa ia berpaling ke belakang.

   Ternyata ayahnya sedang berbisik-bisik dengan It-hu Taysu, tampaknya seperti memperbincangkan sesuatu.

   Apa pula arti semua ini? Apakah ayahnya dan It-hu Taysu adalah sobat lama? Atau....

   Mendadak terdengar bentakan keras berkumandang dari belakang, dengan terkejut dia berpaling.

   Tertampak Siao-ki-it-to dari Bu-tong-pay sedang mengawasinya sambil tersenyum sinis, senyuman aneh dan misterius, membuat orang tak bisa menebak isi hatinya.

   Lamkiong Giok segera mendengus, tegurnya.

   "Kalian bertiga masing-masing adalah ketua suatu perguruan, masakah hendak main kerubut terhadap saorang muda seperti diriku?"

   Perlu diketahui, sejak kecil Lamkiong Giok dibesarkan dalam kalangan hitam, meski ayahnya selalu muncul dalam dunia persilatan dengan macam-macam kebajikan palsu, namun secara diam-diam selalu melakukan perbuatan yang mencelakai orang, ini menyebabkan Lamkiong Giok menjadi ketularan menguasai berbagal cara keji, terutama kelicikan dan kebusukan hatinya boleh dibilang sudah mewarisi sang ayah, Ditegur secara begitu oleh Lamkiong Giok, sebagai tokoh yang termashur dalam dunia persilatan, mau-tak-mau merah padam juga mukanya.

   Terutama sekali Ki-sian-it-to dan Coan-sin-loni, mereka sdalah jago-jago yang berkedudukan, tinggi dalam dunia persilatan, kendatipun mereka berdua tidak menyatakan berhasrat merampas kitab pusaka itu, tak urung mukanya terasa panas.

   *** ( )*** Dengan dingin Coan-sin-loni berkata.

   "Asal Siaucengcu bersedia melepaskan kitab pusaka Hek-lioog-kang itu, tentu takkan kubikin susah dirimu!"

   "Oh, andaikata aku tidak bersedia?"

   Sahut Lamkiong Giok. Dengan marah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berseru.

   "Kalau begitu, boleh kau tinggal selamanya di sini!"

   Mendadak dari sebelah lain bergema suara jeritan memilukan, tertampak Tiong-ciu-it-kiam seperti harimau ganas secara beruntun telah membinasakan dua orang jago lihai Kiam-hong-ceng.

   Dengan lenyapnya kedua orang itu, barisan pedang menjadi kacau, orang-orang itu semakin tak mampu mengurung Tiong-ciu-it-kiam.

   tampaknya dia segera akan terlepas dari kepungan.

   Lamkiong Giok menjadi gelisah, cepat teriaknya.

   "Ayah, bantu"

   Berbareng itu dengan segenap tenaga beruntun dia lepaskan lima bilah pedang pendeknya, seketika hawa pedang menyelimuti angkasa.

   Kelima bilah pedang itu merupakan jurus andalannya, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dan Coan-sin-loni tidak menyangka pihak lawan akan melancarkan serangan lebih duluan, melihat hawa pedang menyambar tiba, kedua orang itu mundur beberapa langkah, justru hal ini memberi peluang bagi Lamkiong Giok untuk kabur.

   "Sambutlah seranganku lagi!"

   Teriak anak muda itu, mendadak lima bilah pedang berhamburan pula, sementara, orangnya kabur meninggalkan tempat itu.

   Dua orang jago lihai ternyata dipermainkan seorang pemuda, hal ini tentu saja mengobarkan kemarahan mereka.

   *** ( )*** Mereka membentak, serentak menyusul ke depan dengan cepat.

   Mendadak Ki-sian-it-to dari Bu-tong-pai tergelak dan berkata.

   "Lamkiong-lote, perhitungan swipoamu terlalu bagus"

   Ia terus melompat ke depan dan mengadang di depan anak muda itu. Lamkiong Giok menjadi murka, damperatnya.

   "Tosu tua, rasakan pedangku!"

   Pedang perak menabas dengan jurus Thian-lo-te-wang (jaring langit dan jala bumi), bayangan pedang terpancar ke empat penjuru, tak malu ia disebut sebagai Huan-in-kiam atau si pedang pelangi. Ki-sian-it-to tertawa nyaring, serunya.

   "Ternyata ilmu pedang Huan-in-kiam juga cuma begini saja!"

   Pedangnya berputar kencang menyongsong serangan lawan, Lamkiong Giok merasakan tangannya bergetar, bayangan lima jari lawan tahu-tahu juga mencengkeram tiba.

   "Habis aku kali ini!"

   Keluhnya dalam hati, sedapatnya ia melayang mundur. Ternyata tenaga dalam Ki-sian-it-to jauh melampaui apa yang dibayangkannya baru saja badannya bergerak, seranganya menyusul tiba pula.

   "Biar kuadu jiwa denganmu!"

   Teriak Lamkiong Giok murka, ia tidak menghindar dan tidak berkelit lagi, kelima bilah pedang pendek dari arah yang berbeda sekaligus menghujani Ki-sian-it-to.

   Jurus Thian-san-ti-Iok (setitik embun dari Thian-san) ini merupakan jurus terampuh ilmu pedang Huan-in-kiam-hoat, juga merupakan jurus untuk beradu jiwa.

   *** ( )*** Ki-sian-it-to mendengus, telapak tangan kiri menahas, sedang pedang ditangan kanan ikut menusuk.

   Mendadak suara tertawa dingin berkumandang, belum lagi bayangan orang tiba, beritakan gusar telah menggelegar.

   "Tosu tua, kau berani melukai dia!"

   Menyusui bentakan itu Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian telah muncul di depannva.

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   kontan ia melepaskan dua serangan berantai.

   Ki-sian-it to tak mau menyambut gerangan kalap itu dengan kekerasan, cepat ia tinggalkan Lamkiong Giok dan melompat mundur.

   "Giok-ji, cepat pergi! "

   Bentak Lamkiong Hian kemudian dengan suara tertahan.

   Huan-in-Kiam Lamkiong Giok tak berani berayal lagi, dia tahu berhasil lolos atau tidak bergantung pada detik tersebut, segera pemuda itu kabur ke depan.

   Keempat penjuru di sekitar situ merupakan jalan kecil yang tandus, hanya sebelah kanan merupakan hutan lebat, dengan cepat dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya kabur kearah hutan.

   Dalam pada itu, setelah mendesak mundur Ki sian-it-to, Kiam hong cengcu Lamkiong Hian tidak berhenti sampai disitu saja, dia membentak dan beruntun melancarkan pula delapan kali pukulan dan tiga tendangan kilat.

   Kedelapan kali pukulan dan ketiga tendangan tersebut dilancarkan ke arah Oh kay thian dan Coan-sin-Loni yang mengekor tiba dari belakang, seketika itu juga kedua orang tersebut terdesak balik.

   Ki-sian-it to tak mau tertahan disitu, dengan cepat dia mengejar ke arah Lamkiang Giok.

   Mendadak Lamkiong Hian membentak ."Totiang, berhenti!" *** ( )*** Telapak tangan kirinya siap di depan dada, sementara telapak tangan kanannya melancarkan pukulah dahysat, angin serangan yang kuat mendampar punggung Tosu itu.

   Buru-buru Seng-gwat-kiam Oh khay thian berteiak "tutup rapat sekeliling hutan, jangan sampai dia kabur!"

   Serentak para jago Thian-seng-po menyebarkan diri ke empat penjuru meninggalkan para jago Kiam hong ceng, mereka serentak berlarian menuju ke araha Huan-in-kiam Lamkiong Giok.

   Tiong-ciu-it-kiam tergelak, setelah membinasakan delapan orang, katanya "Lamkiong Hian, sekarang diantara kita sudaha da hutang piutang yang perlu diperhitungkan."

   Tubuhnya yang kekar menerjang maju, mukanya diliputi nafsu membunuh, begitu turun tangan langsung jurus mematikan.

   Lamkiong Hian mendengus, dia balas serang dua kali pukulan berantai.

   Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Seng-Gwat-kiam Oh-Kay-thian.

   "Bagaimanapun biar Lamkiong Giok berhasil kabur, Lamkiong Hian toh masih ada, mengapa tidak kubunuh tua bangka ini kemudian baru mengobrak-abrik Kiam-hong-cengnya? Bukankah tindakan ini jauh lebih baik?"

   Setelah mengambil keputusan, dia terbahak-bahak, ujarnya "Meski hwesio-nya kabur, kuilnya tak akan lari.

   Hei Hwesio dan nikoh, mari kita binasakan dulu makhluk tua ini, kemudian baru merampas kitab itu di Kiam-hong-ceng, mumpung ada kesempatan, musuh tangguh ini perlu disingkirkan lebih dulu!"

   Begitu selesai berkata, pedang Seng-gwat-kiam dengan menciptakan sejalur hawa berwarna kehijau-hijauan segera menyambar ke depan. *** ( )*** Semangat Lamkiong Hian berkobar, katanya sambil terkekeh.

   "Biar kalian maju bersama juga akan kusambut kerubutan kalian."

   It-hu Taysu cuma berdiri membungkam disamping, ketika melihat para jago hendak main kerubut, keningnya segera berkerut, katanya ."

   Omitohud! Jika Lamkiong sicu belum juga mau sadar, bisa jadi engkau akan bikin susah diri sendiri!"

   Siapapun tak tahu apa sebabnya dia mengucapkan perkataan itu, tapi kalau melihat perbincangannya dengan Lamkiong Hian tadi, tampaknya pendeta agung ini bermaksud menyadarkan gembong iblis ini dengan kebajikannya.

   Lamkiong Hian terbahak-bahak, katanya "Hweeshio gede, lebih baik jangan banyak berbicara, ada tujuan ku sendiri."

   "Omitohud!"

   Gugam pendeta itu lirih, dengan wajah khidmat dia mengundurkan diri dan tidak bicara lagi. Seng-Gwat-kiam Oh-Kay-thian menjengek,"Buat apa taysu banyak bicara, dia ingin mencari kematian sendiri!"

   Lamkiong Hian tertawa dingin, sambil melancarkan suatu pukulan serunya keras."Oh Kay-thian, sambut dulu pukulan ini!"

   Air muka Seng-Gwat-kiam Oh Kay thian berubah hebat, buru-buru dia mendorong telapak tangannya untuk menyambut ancaman itu dengan kekerasan.

   "Blang!"

   Benturan keras terjadi, kabut kuning bertebaran hingga sulit membedakan bayangan manusia. Kedua orang itu sama-sama tergetar, mereka saling mengagumi tenaga dalam lawannya. Ketika melihat Lamkiong Hian mundur, Tiong ciu-it-kiam segera membentak.

   "Rasakan tusukan ku ini!" *** ( )*** Awan gelap menyelimuti angkasa, pertarungan sengit yang melibatkan beberapa orang itu berlangsung dengan amat tegang. Senja semakin kelabu, dalam suasana pertarungan yang seru, diatas bukit sana seorang nona berbaju biru bercadar sedang termangu-mangu memandang awan diangkasa. Dibelakangnya dengan tenang berdiri dua orang nona berbaju putih, yang satu selalu mengulum senyum bagaikan bunga yang sedang mekar, sedangkan yang lain bermuka dingin bagaikan bunga bwe ditengah salu, mereka tak lain adalah Pek Bi dan Pek Sat berdua. Tentu saja, gadis berbaju biru yang mengenakan kain cadar itu tak lain adalah si gadis aneh dari Hek liong-kang. Dengan sedih ia menghela napas panjang, kedua matanya mengawasi pertarungan dibawah bukit, lebih-lebih diperhatikannya Bok Ji-sia yang terkapar ditanah. Dengan senyuman yang selalu menghiasi wajahnya, perlahan Pek bi berjalan kemuka, setibanya disisi gadis berbaju biru itu, tanyanya."Nona sudah sekian lama ia tidak merangkak bangun, bagaimana kalau kita tolong dia?"

   Wajah Pek Sat yang dingin bertambah dingin, katanya ketus.

   "Kalau nona menginginkan kematiannya akan kupergi membunuhnya sekarang juga!"

   Sekujur badan nona berbaju biru itu agak gemetar, kemudian mengeleng kepala beberapa kali, rupanya dia tidak setuju dengan tindakan Pek Sat yang tak berperasaan itu.

   "Siapa yang menyuruhmu ngaco-belo disini!"

   Hardiknya marah.

   Pek Sat tertegun dan cepat tutup mulut, sementara hatinya merasa sangsi, ita tidak habis mengerti kenapa sikap nonanya hari ini begitu kalut sampai berbicarapun tak keruan.

   *** ( )*** Setelah menghela napas sedih, Pek Bi lantas berkata ."Aku merasa heran, sejak nona berjumpa dengan Bok Ji-sia, tampaknya engkau sedang mengubah diri, kutahu diam-diam nona...."

   "Apa kau bilang?"

   Potong si nona dengan rawan.

   "Kau mencintainya!"

   Ujar Pek Bi dengan serius.

   tampaknya ia menjadi lebih berani dari biasanya,.

   Mendadak air muka si nona berbaju biru berubah, dia tak menyangka Pek Bi bisa mengungkap perasaannya, terutama sekali ia terperanjat karena Pek Bi berani bicara secara blak-blakan padanya.

   Melihat si Nona tidak bicara, Pek Bi berkata lebih jauh.

   "Nona, jika engkau mencintainya, mengapa pula engkau berikan se

   Jilid kitab palsu kepadanya dan membiarkan ia mengalami macam-macam penderitaan! Bahkan karena kitab palsu itu sampai jiwanya turut melayang?"

   "Kita harus membalas dendam,"

   Kata si nona berbaju biru denjan ketus.

   "hendak kulihat dia menyulut sumbu api untuk daerah Tionggoan, agar semua orang membencinya, supaya setiap orang yang mencintainya meninggalkan dia, agar daerah Tionggoan banjir darah....."

   Sekeji-kejinya orang, hati perempuan terlebih keji, dari sini bisa diketahui betapa jahatnya niat nona berbaju biru itu, dan bisa dilihat pula betapa bencinya nona Itu terhadap Bok Ji-sia.

   Ai, masa depan Bok Ji-sia jelas akan bertambah suram...

   Setelah menghela napas sedih, katanya lagi sambil menuding ke bawah bukit sana.

   "Sekarang baru suatu permulaan, coba kalian lihat, pertunjukan bagus sedang berlangsung lagi!"

   Mengikuti arah yang ditunjuk, tertampak pertarungan di bawah sana semakin panas, Lamkiong Hian yang bertarung *** ( )*** melawan empat musuh sudah penuh luka, tapi ia masih bertahan terus dengan sekuat tenaga.

   Dia berharap anaknya, Lamkiong Giok bisa lolos dengan selamat dan pulang ke Kiam-hong-ceng, Mendadak.....

   dari balik hutan lebat sana berkumandang jeritan ngeri yang membuat orang bergidik.

   Pertarungan di arena pun serentak terhenti oleh jeritan itu, air muka Lamkiong Hian berubah hebat, hatinya terasa tenggelam, dan terus tenggelam...

   Itulah suara Lamkiong Giok, suaranya tentu saja dikenal oleh Lamkiong Hian dengan baik karena siang, malam suara anak selalu terdengar olehnya.

   Ia menjadi sangat gelisah dan menerjang ke arah hutan sana, sekarang dia hanya berharap semoga Lamkiong Giok tetap sehat, ia tidak peduli lagi terhadap lukanya sendiri.

   "Tua bangka celaka, kau ingin kabur?"

   Bentak Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dengan gusar. Diiringi gelak tertawa seram ia melompat ke depan, segera angin tajam menyabat punggung Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian "Orang shs Oh, lebih baik kau pulang saja!"

   Bentak Limkioug Hian sambil tertawa seram.

   Tanpa berpaling suatu pukulan dilontarkan ke belakang, sementara gerak tubuhnya tak berhenti, secepat kilat ia meluncur beberapa tombak ke depan.

   Pada suat itulah mendadak tertampak bayangan hitam berkelebat dari dalam hutan, seseorang muncul dari balik pepohonan dengan sempoyongan.

   Orang itu tak lain adalah Lamkiong Giok, cuma sudah bertangan kosong, badannya penuh berlepotan darah.

   *** ( )*** Kitab pusaka Hek-liong-kang sudah tidak berada padanya lagi, hal ini membuat kawanan iblis ikut melengak.

   "Ayah, barangnya dirampas orang!"

   Seru Lamkiong Giok sambil terengah-engah. Baru selesai berkata, segera ia roboh terkapar, napasnya berat, air mata membasahi wajahnya, ditatapnya wajah sang ayah dengan sinar mata minta belas kasihan. Tergetar perasaan Lamkiong Hian, serunya.

   "Siapa yang melakukan hal ini? Biar ayah bunuh dia untuk melampiaskan sakit hatimu!"

   "Ananda sendiri juga tidak tahu!"

   Jawab Lamkiong Giok sambil tersenyum pedih. Lamkiong Hian tambah gusar, apalagi mengetahui Lamkiong Giok tak tahu siapa gerangan musuhnya, sambil mengentakkan kaki ke tanah dia berseru.

   "Manusia tak berguna, kau hanya bikin malu diriku saja!"

   Tiba-tiba dari balik hutan bergema gelak tertawa merdu penuh bernada cemooh "Heheha, Lamkiong Hian, buat apa marah-marah? Kalau punya kemampuan ayolah masuk sendiri kemari! Hahaha...."

   Dedaunan dalam hutan itu serasa tergetar oleh gema gelak tertawa orang itu, burung beterbangan karena ketakutan, tapi sejenak kemudian suasana dalam hutan itu pulih dalam keheningan.

   "Siapa kau?"

   Bentak Lamkiong Hian dengan terperanjat.

   "kenapa tidak berani menampilkan diri?"

   Mendadak dari dalam hutan berkumandang suara bentakan nyaring.

   "Enyah dari. sini!"

   Menyusul terdengarlah dua kali jeritan ngeri menggema memecahkan keheningan, dua sosok bayangan manusia bagaikan bola saja tahu-tahu terlempar keluar dari balik hutan *** ( )*** dan tergeletak mampus, darah bercucuran dari ke tujuh lubang indera mereka.

   Suara dengusan segera berkumandang pula dari dalam hutan.

   "Hai, Oh Kay-thian, buat apa kau suruh gentong-gentong nasi ini mengantarkan kematiannya? Kalau punya nyali lebih baik kau masuk sendiri..."

   Gusar Seng gwat-kiam Oh Kay-thian menyaksikan anak buahnya dibanting mampus secara gampang oleh lawan, bentaknya murka.

   "Baik, akan kulihat manusia macam apakah dirimu!"

   Diiringi pekikan nyaring, secepat terbang Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menerobos masuk ke dalam hutan, hanya sekejap saja bayangannya sudah hilang dari pandangan.

   Melihat Oh Kay-thian telah masuk ke dalam hutan, Lamkiong Hian tak berani ayal lagi, buru-buru dia mengeluarkan sebutir pil dan dijejalkan ke mulut Lamkiong Giok seraya berkata.

   "Anak Giok, ayah akan pergi dan segera kembali"

   "Ayah, jangan pergi!"

   Seru Lamkiong Giok dengan wajah ketakutan.

   Jelas nyali Lamkiong Giok telah dibikin pecah oleh orang dalam hutan itu; tapi kejadian apakah yang membuatnya begitu ketakutan? Apakah orang di dalam hutan itu? Atau...

   Pada saat itulah mendadak bergema suara tertawa merdu dari balik hutan.

   "Kaupun enyah saja dari sini!"

   "Plak!"

   Tubuh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang tinggi besar itu tahu-tahu terlempar pula sejauh dua tombak lebih dari hutan.

   


Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Pendekar Setia Karya Gan KL Maling Romantis -- Khu Lung

Cari Blog Ini