Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 9


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 9



Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya dari Khu Lung

   

   Belum selesai ucapannya manusia aneh tinggi besar itu telah mengebaskan lengan baju kirinya ke wajah Cu Giok-ceng.

   Gadis itu merasakan lunak tak bertenaga sam-baran tersebut, ia tertawa dingin, pedang diangkat siap membacok lengan orang, siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba ia mengendus bau harum yang amat tipis dan aneh sekali.

   Seketika itu juga kepalanya terasa pusing.

   "Trang!"

   Pedang jatuh ke tanah, menyusul tubuhnya ikut terkulai.

   "Kau..kau.

   Oh.

   belum habis jeritan ka-get Bu-sian-gisu Kwanliong Ciong-leng itu, dua so-sok mayat hidup telah menerjang tiba secepat kilat, empat cakar setan sekaligus menikam tubuh-nya.

   Buru-buru Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana un-tuk menghindari serangan itu.

   Tapi, sesosok mayat hidup lainnya telah me-nyusul tiba, cakar setannya menyambar ke bawah.

   Tak terlukiskan rasa kaget Kwanliong Ciong-leng, dia lupa jari tangan lawan beracun keji, ia menangkisnya dengan tangan.

   *** ( )*** Demi melihat kukunya yang.

   melengkung dan berwarna hijau itu dia baru kaget, buru-buru ta-ngannya ditarik kembali, sayang sudah terlambat..

   "Sret!"

   Lengan baju kanan Kwanliong Ciong-leng tersambar kuku mayat hidup itu sehingga ro-bek, ia segera merasakan lengannya amat sakit.

   Mayat hidup itu berpekik aneh, kedua cakar-nya kembali menyambar tiba dengan cepat luar biasa.

   Kwanliong Ciong-leng menghimpun hawa mur-ni dan melancarkan serangan dengan kedua tangan sembari melompat bangun.

   Mayat hidup itu melejit, ia menghindar ke samping.

   Mendadak manusia aneh tinggi besar tadi ber-pekik lengking seperti jeritan setan, tiba-tiba ke-dua mayat hidup itu menghentikan gerak menu-bruknya.

   Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng merasakan lengan kanannya sakit dan panas, cepat ia meme-riksa luka itu.

   Tapi seketika ia terperanjat, kiranya lengan yang disambar kuku setan lawan terobek luka pan-jang, di sekitar kulit yang putih itu timbul selapis warna merah dan membengkak.

   Kwanliong Ciong-leng tahu racun itu amat ganas, cepat-cepat ia menghimpun tenaga untuk menahan menjalarnya racun.

   Setelah termakan oleh pukulan manusia aneh tadi, Bok Jisia merasakan darah dalam tubuh ber-golak keras, setelah mengatur pernapasan, ia mem-buka matanya, betapa kagetnya pemuda itu ketika dilihatnya Cu Giok-ceng telah tergeletak di tanah, ia lantas membentak, tangan dengan sejajar dada segera dilontarkan ke depan.

   Serangan ini tampaknya sederhana tanpa sesuatu yang aneh, tapi setiba di tengah jalan mendadak berbalik ke sebelah kiri, kemudian di antara getar-an lengannya serangan berputar pula ke kanan..

   *** ( )*** Menyaksikan gerak serangan tersebut, sinar aneh terpancar dari mata manusia aneh tinggi besar itu.

   Kemudian sinar mata aneh itu berubah menjadi hawa napsu membunuh yang mengerikan, berbareng telapak tangan kanannya diayun ke depan dengan angin pukulan dahsyat.

   "Blang!"

   Ketika kedua tangan saling beradu, angin mendampar kencang.

   Ji-sia mendengus tertahan, ia tetap berdiri te-gak di tempat semula.

   Sebaliknya bahu manusia aneh itu tergetar keras dan beruntun mundur tiga-empat langkah.

   Tak terlukiskan rasa terkejut manusia aneh itu, mimpipun ia tak mengira ilmu pukulan yang baru saja berhasil diyakinkan dan dianggapnya maha sakti itu sama sekali tidak menghasilkan apa-apa.

   Sementara ia termenung, Bok Ji-sia telah mun-tahkan segumpal darah kental, tiba-tiba saja ia ro-boh ke tanah.

   Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian yang ber-ada di tangan kanannya masih tergenggam erat.

   Perlu diterangkan bahwa ilmu pukulan yang dilancarkan manusia aneh itu adalah ilmu silat pa-ling jahat dalam dunia persilatan yang disebut Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang), ketika dilancarkan sama sekali tidak mem-bawa kekuatan yang mengerikan.

   Akan tetapi hawa murni yang jahat itu akan berubah menjadi hawa dingin yang menyusup masuk kulit badan, lalu berubah menjadi suatu kekuatan yang maha dahsyat dan merusak isi perut orang.

   Sekalipun pihak lawan memiliki tenaga dalam yang sempurna dan isi perutnya tak sampai tergetar hancur, paling tidak racun jahat akan menyusup ke tubuhnya, maka ilmu ini benar-benar sejenis ilmu yasg jahat dan lihai.

   *** ( )*** Baik Bu-siang-te-im-hu-kut-kang maupun Peng-sian-jit-gwat-ciang, keduanya merupakan ilmu sakti yang lihai dari aliran sesat.

   Manusia aneh itu merasa sangat girang melihat Bok Ji-sia roboh, pelahan ia maju menghampirinya, ia membungkukkan badan, meraba saku pemuda itu dan mengambil sarung ruyung emas.

   Begitu berhasil dengan usahanya ia lantas men-dongakkan kepala dan berpekik nyaring..secepat kilat ia kabur ke tanah pekuburan.

   Tanpa menimbulkan suara ketiga belas sosok mayat hidup itupun ikut kabur ke tengah tanah pekuburan sana.

   Bintang-bintang bertaburan di langit, malam semakin hening dan kelam.

   Angin dingin berhembus membawa semacam perasaan tegang yang aneh.

   Tiba-tiba Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng merasakan separoh badan sebelah kanan mulai ka-ku, peredaran darah dalam tubuh seakan-akan ter-sumbat, dengan mata yang tajam diawasinya ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia tanpa berkedip.

   Suatu daya pikat yang amat kuat membuatnya berjalan pelahan menghampiri anak muda itu.

   Ia berjongkok, dicengkeramnya Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia itu dengan tangan kirinya, lalu senjata itu digetarkan hingga menim-bulkan suara mendengung yang membetot sukma, beribu ekor ular emas serasa bergerak-gerak di ang-kasa..

   Mendadak dari balik matanya terpancar keluar sinar yang kejam, ruyung mestika diangkatnya ting-gi-tinggi dan dihantamkan ke atas kepala Ji-sia.

   Untunglah sebelum tindakan tersebut terlak-sana suatu perasaan malu dan berdosa muncul da-lam hatinya, ia *** ( )*** menghela napas panjang, kemudian katanya.

   "Dia benar-benar kejam dan culas, dia sengaja tidak ambil ruyung ini, tujuannya supaya membunuh Bok Ji-sia dan Cu Giok-ceng, lalu me-mancing Lik-ih-hiat-li dan Kiu-thian-mo-li untuk membuat perhitungan denganku. Ai, apalagi jika aku mampus keracunan, maka dia yang bakal beruntung atas kejadian ini."

   Untuk sesaat lamanya ia berdiri melamun.

   Selang sejenak kemudian, Kwanliong Ciong-leng meletakkan kembali ruyung Jian-kim-si-hun-pian di sisi Ji-sia.

   Baru saja senjata tersebut diletakkan, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin orang, meski suara-nya tidak terlampau keras, namun ibarat Guntur membelah bumi di siang bolong bagi pendengaran Kwanliong Ciong-leng, buru-buru ia sambar lagi ruyung Jian-kim-si-hun-pian.

   Ketika berpaling, tertampaklah dari balik pe-pohonan tak jauh sana berjalan keluar seorang sastrawan setengah umur yang berdandan rapi dan mengulum senyum.

   Terbelalak Kwanliong Ciong-leng, seketika ia menjadi bingung sendiri.

   Terdengar sastrawan setengah umur itu tertawa terbahak-bahak, lalu menyapa.

   "Saudara Kwan-liong, senjata apakah yang kau pegang itu?"

   Bagaikan baru mendusin dari mimpi Bu-sian-gi-su tersentak kaget, ia tanya dengan ragu.

   "Sau-dara Oh, jadi tadi bukan kau?"

   Ternyata sastrawan setengah umur ini adalah saudara kandung Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, yakni Seng-gwat-kiam (pedang bintang rembulan) Oh Kay-thian.

   "Saudara Kwanliong, apa katamu?"

   Sahutnya dengan tersenyum. *** ( )*** Bu-sian-gi-su melengak, pikirnya.

   "Seharusnya manusia aneh tadi adalah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, sebab dalam dunia persilatan dewasa ini ha-nya dia seorang yang lihai dalam ilmu racun, tapi kalau betul dia, kenapa bisa secepat ini muncul la-gi dari arah lain? Masakah ilmu meringankan tu-buhnya telah mencapai tingkatan yang luar biasa.?"

   Berpikir demikian, Kwanliong Ciong-leng lan-tas menghela napas panjang, katanya.

   "Saudara Oh, selamanya kita tak pernah berselisih paham, kenapa kau sergap diriku?"

   Oh Kay-thian tertawa dingin.

   "Saudara Kwan-liong, aku benar-benar tidak mengerti dengan per-kataanmu. Tolong tanya apakah benda yang ber-ada di tanganmu itu adalah Jian-kim-si-hun-pian?"

   "Saudara Oh, buat apa kau berlagak pilon? Se-karang aku sudah keracunan, paling banter aku ha-nya akan hidup beberapa jam saja di dunia ini."

   Dari ucapan ini samar-samar terungkap rasa sedihnya menghadapi kematian. Sementara itu, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian sudah tiba di hadapan Kwanliong Ciong-leng, sam-bil menjulurkan tangan kanan dan tertawa ia ber-kata.

   "Saudara Kwanliong, bolehkah kupinjam ruyungmu itu?"

   "Saudara Oh, ruyung ini sudah menjadi milik-mu, kalau mau, ambil saja!"

   Tiba-tiba Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian me-narik kembali tangan kanannya, lalu berkata.

   "Jika saudara Kwanliong berkata demikian, aku tak jadi melihat ruyung itu!"

   "Saudara Oh,"

   Kata Kwanliong Ciong-leng de-ngan sedih.

   "tindak tandukmu sungguh membuat orang marah."

   "Saudara Kwanliong, teguranmu boleh dibilang teguran pertama yang dilontarkan orang persilatan kepadaku!"

   Seru Oh Kay-thian sambil tertawa dingin. *** ( )*** Bu-sian-gi-su menghela napas.

   "Sejak dulu sam-pai sekarang, orang yang licik dan berakal busuk selalu tak mendapatkan akhir yang baik, begitu pula dengan diriku, hanya akhir yang mengenaskan yang akan kuperoleh. Kini nyawaku sudah berada di ta-nganmu, terserah hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku!"

   Oh Kay thian tersenyum.

   "Ucapan saudara Kwanliong terlalu serius, apabila kau mau, aku ber-sedia menyembuhkan racunmu."

   Mendengar itu, semangat Bu-sian-gi-su Kwan-liong Ciong-leng terbangkit, bagaimanapun manusia memang ingin hidup daripada mati, meskipun akhir-nya manusia itu harus mati, tapi siapakah orang di dunia ini yang tak suka hidup kecuali sudah putus asa dan tiada harapan lagi? Sekarang, Kwanliong Ciong-leng menemukan setitik sinar harapan untuk hidup, sudah barang tentu, ia tak mau melepaskannya, walaupun dengan jelas, ia tahu musuh tak akan menyembuhkan luka-nya secara gratis, bahkan mungkin tindakannya diser-tai suatu rencana atau intrik jahat, akan tetapi setitik harapan untuk hidup itu tak pernah ia lepaskan.

   Maka Bu-sian-gi-su menghela, napas sedih.

   "Asal saudara Oh sanggup menyembuhkan racunku ini, apa pun yang kau minta silakan bicara saja."

   Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa terba-hak-bahak.

   "Ha..ha..hasaudara Kwanliong memang orang pintar, aku memang ada satu permintaan, cuma boleh dibicarakan setelah kusembuhkan ra-cunmu nanti. Nah, sekarang perlihatkan dulu luka-mu itu."

   Terpaksa Kwanliong Ciong-leng menggulung lengan baju sebelah kanan yang robek, ketika lengan itu diperiksa ternyata warna merah bengkak di sekitar luka telah lenyap, namun sekarang mun-cul bintik-bintik merah yang banyak.

   *** ( )*** Hal ini amat mencengangkan hatinya, pikirnya.

   "Ketika keracunan tadi, tampaknya racun itu sangat lihay, kenapa sebelum diberi obat warna merahnya yang membengkak sudah lenyap dengan sendirinya? Lagipula separoh badanku tadi terasa kaku, kenapa sekarang sudah menjadi normal kembali?"

   Sementara ia melamun, Oh Kay-thian telah berkata dengan tersenyum.

   "Saudara Kwanliong, kau anggap lenyapnya bengkak merah di lenganmu pertanda luka itu telah sembuh?"

   Mendengar pertanyaan itu, Bu-sian-gi-su Kwan-liong Ciong-leng membungkam tanpa menjawab.

   "Padahal inilah pertanda racun jahat itu sudah merasuk ke dalam darah di tubuhmu, tujuh hari ke-mudian racun itu akan bekerja, sekujur tubuhmu akan membusuk dan mati.

   Untung masih sempat diobati.

   Nah, urusan jangan tertunda lagi, aku se-gera turun tangan mengobati lukamu ini."

   Dipegangnya persendian tulang sikut kanannya, kemudian ia keluarkan sebatang jarum perak dan menusuknya beberapa kali pada jalan darah lengan kanan Kwanliong Ciong-leng.

   Setelah itu, ia perlihatkan jarum perak itu kepada Kwanliong Ciong-leng dan berkata.

   "Coba lihat, bukankah jarum perak ini telah berubah menjadi hitam?"

   Melihat jarum itu berubah menjadi hitam, diam-diam Kwanliong Ciong-leng menghela napas, pikirnya.

   "Sungguh lihai sekali racunnya. Ai, orang ini jauh lebih keji daripadaku, entah intrik busuk apa yang hendak ia lakukan kepadaku?"

   Waktu itu Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian telah mengeluarkan lagi sebatang jarum perak lain yang putih bersih, lalu dengan ujung jarum itu dia me-robek bintik-bintik merah, setetes darah kental yang berwarna merah hitam meleleh keluar dan menetes ke tanah.

   *** ( )*** Dalam waktu singkat, seluruh lengan Kwan-liong Ciong-leng berlepotan darah berwarna me-rah hitam itu.

   Lamat-lamat iapun mengendus bau amis bu-suk dari darah hitam itu, diam-diam ia terkejut sekali oleh kehebatan racun itu.

   "Nasib saudara Kwanliong sungguh mujur,"

   Kata Oh Kay-thian sambil tertawa.

   "coba lewat satu jam lagi, racun itu pasti sudah mengikuti ali-ran darah dan menyerang isi perut, kalau demikian, maka kau tak tertolong lagi."

   Mendengar itu, Kwanliong Ciong-leng mema-ki di dalam hati.

   "Huh, kucing menangisi tikus, ingin mencuci tangan sebersih-bersihnya, siapa lagi manusia di dunia ini yang sanggup melatih mayat hidup serta menggunakan racun untuk merobohkan Cu Giok-ceng kecuali kau Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian? Wahai Oh Kay-thian suatu hari akupun akan membuat kau masuk perangkapku!"

   Dalam hati ia menyumpah, di mulut katanya.

   "Terima kasih saudara Oh atas bantuanmu, entah apa permintaanmu, katakanlah!"

   Oh Kay-thian menyimpan jarum peraknya la-lu tangan kanan mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna putih dan mengambil dua biji pil ber-warna merah.

   "Kedua pil ini merupakan obat mestika yang kubawa untuk memunahkan racun,"

   Katanya sam-bil tersenyum.

   "sekarang kuhadiahkan kepadamu dan minumlah sebutir lebih dulu, lewat tiga hari kemudian minum lagi yang lain, maka sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhmu akan lenyap tak berbekas."

   Dalam keadaan demikian, Bu-sian-gi-su tak bisa mencurigainya lagi, pil itu segera dimakannya sebutir, dengan cepat ia merasakan hawa segar da-ri mulut masuk ke pusar sehingga semangatnya menjadi segar bugar.

   *** ( )*** Setelah Bu-sian-gi-su menelan pil itu, Oh Kay-thian tersenyum dan berkata.

   "Selamanya aku me-mang senang bekerja sama dengan saudara Kwan-liong, adapun usahaku menyembuhkan lukamu hari ini bukan masalah besar, biarpun keinginanku tidak kau laksanakan juga tak menjadi soal, maka biar-lah tidak jadi kukatakan saja."

   Mendengar perkataan itu, Kwanliong Ciong-leng tertegun, dia tidak mengerti permainan apa lagi yang dilakukan Oh Kay-thian yang licik itu.

   "Saudara Oh,"

   Bu-sian gi-su berkata lantang.

   "tahukah kau bahwa selamanya aku enggan me-nerima budi kebaikan orang dengan percuma?"

   "Kalau demikian, baik begini saja. Kedua muda-mudi yang menggeletak di tanah ini mempunyai den-dam denganku, tolong cincang tubuh mereka, lebih baik lagi kalau wajah dan bentuk tubuh mereka hancur sama sekali hingga tak berwujud."

   Permintaan ini ternyata diutarakan dengan enak saja, Kwanliong Ciong-leng menjadi tertegun, ia merasa kekejaman orang benar-benar mengerikan.

   Melihat Bu-sian-gi-su membungkam sampai la-ma sekali, sambil tetap tersenyum Oh Kay-thian berkata pula.

   "Selamanya aku tidak suka memaksa orang, harus kuperingatkan dirimu lebih dulu, le-bih baik kau pertimbangkan pula segala akibatnya.

   Nah, kata-kataku hanya sampai di sini, aku akan berangkat lebih dulu."

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ucapan Oh Kay-thian yang sukar dimengerti ini membuat Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng menjadi bingung dan tak tahu bagaimana baiknya. Waktu ia mendongak Oh Kay-thian sudah barada beberapa tombak jauhnya, cepat ia berseru.

   "Saudara Oh, apakah ruyung Jian-kim-si-hun-pian ini tidak kau maui lagi?" *** ( )*** "Ruyung itu kan bukan milikku, buat apa ku-ambil benda itu?"seraya berkata ia berjalan terlebih jauh. Memandangi bayangan pungguung Oh Kay-thian yang lenyap dalam kegelapan, tanpa terasa Kwanliong Ciong-leng menghela napas sedih. Kenapa Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian rela me-lepaskan Jian-kim-si-hun-pian? Tindakannya ini sungguh tidak dimengertinya. Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak-nya.

   "Jangan-jangan pil yang diberikan kepadaku tadi adalah semacam obat racun!"

   Berpikir demikian, ia lantas memutuskan untuk tidak makan pil yang lain daripada keracunan lagi, sudah barang tentu iapun tak berani memastikan bahwa pil yang diberikan kepadanya itu adalah racun.

   Mendadak ingatan lain terlintas pula dan se-gera hilang curiganya.

   "Oh Kay-thian tidak mem-bawa pergi ruyung itu, alasannya sudah tentu ka-rena semua umat persilatan di dunia ini tahu ru-yung itu berada di tangan Oh Kay-gak, bila mereka tahu Oh Kay-gak telah berpulang ke alam baka, otomatis orang yang dicari pertama kali ada-lah Oh Kay-thian dan Oh Ku-gwat dari Thian-seng-po."

   "Sekalipun ilmu silat dan ilmu racun Oh Kay-thian tiada tandingannya di dunia ini, mustahil ia bisa melawan seluruh jago lihai dunia persilatan? Sekarang ia tidak mengambil ruyung itu, jelas di-karenakan masalah tersebut. Dengan diberikannya ruyung ini kepadaku, tujuannya mengalihkan agar sasaran semua jago persilatan atas diriku, sedang-kan kemampuan ilmu silatku sekarang, cukup se-orang Kiu-thian-mo-li saja sudah sanggup untuk membunuhku."

   "Bila aku mati, maka rahasia tentang sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian itu akan menjadi tan-da tanya besar, bahkan sejak kini tak akan dike-tahui orang.Ah, ia betul-betul kejam, *** ( )*** siapa tahu kalau di samping ini ia masih mempunyai ren-cana keji yang lebih hebat?"

   Tapi sesaat kemudian, teka-teki lain kembali terlintas dalam benaknya.

   Mengapa Seng-gwat kiam Oh Kay-thian tidak turun tangan sendiri untuk membunuh Cu Giok-ceng, Bok Ji-sia serta dirinya? Apakah ia takut Kiu-thian-moli dan Lik-ih-hiat-li akan mencarinya untuk membalas dendam? Tentu saja hal inipun mungkin, tapi jelas bu-kan sebab yang utama, lantas karena apa? Semua persoalan itu membuat Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng yang cerdas serta licik men-jadi kebingungan.

   Bila ingin memecahkan teka-teka ini, maka manusia aneh tinggi besar tadi berarti bukan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, padahal tak mungkin, sebab orang itu jelas adalah dia, umpama bukan dia pasti juga orang suruhannya.

   Andaikata benar begini, berarti kelihaian kung-fu Oh Kay-thian betul-betul mengerikan sekali, se-bab kesempurnaan ilmu silat manusia aneh tadi je-las tidak berada di bawah Oh Kay-gak, Lamkiong Hian, Kiu-thian-mo-li maupun Lik-ih hiat-li.

   Bagaikan ombak pikirannya bergolak hebat, ke-tika ia menunduk dan memandang sekejap tubuh Bok Ji-sia, bagaikan mengigau ia bergumam seorang diri.

   "Dapatkah kutentang hati nurani sendiri dan melaksanakan perintah Oh Kay-thian.? Harus-kah kubunuh mereka? Bila kubunuh mereka apa pula akibatnya terhadapku? Kalau tidak kubunuh apa pula yang terjadi?"

   Bu-sian-gi~su Kwanliong Ciong-leng menggeng-gam ruyung Jian-kim-si-hun-pian itu kencang-ken-cang sambil menatap tubuh Bok Ji-sia dan merenungkan pelbagai persoalan itu.

   Tiba-tiba ia berpendapat tidak sepantasnya me-reka dibunuh, sebab bagaimanapun juga dulunya dia bukanlah seorang licik dan keji.

   *** ( )*** Mengapa selama tiga-empat tahun belakangan ini watak sendiri bisa berubah menjadi begini "licik dan jahat?"

   Semua ini tak lain karena musibah yang telah menimpa adik angkatnya, kematian yang me-ngenaskan segenap anggota keluarganya.

   Ia hendak membalas dendam bagi kematian adik angkatnya, ia pikir dendam tersebut hanya bi-sa dibalas dengan cara yang keji, tentu saja iapun sadar kepandaian sendiri masih belum cukup untuk membalas dendam bagi adik angkatnya, maka dia harus mempergunakan akal, bilamana perlu meng-gunakan siasat keji untuk mewujudkan cita-citanya.

   Sekali lagi Kwanliong Ciong-leng menghela na-pas, pelahan ia taruh kembali ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di sisi tubuh Bok Ji-sia.

   Pada saat itulah tiba-tiba sebuah telapak ta-ngan putih halus menyambar ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian dengan cepat biar biasa.

   Untunglah Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng bertindak cekatan, kaki kirinya sempat men-depak ruyung itu sehingga mencelat dan menancap tanah.

   Berbareng itu secepat kilat Kwanliong Ciong-leng meluncur ke sana dan menyambar ruyung itu.

   Akan tetapi baru saja jari tangannya me-nyentuh tangkai ruyung, segulung angin pukulan dingin yang lunak menerjang tiba.

   Kwanliong Ciong-leng sudah berpengalaman luas, dengan cepat ia menyadari akan kehebatan angin dingin itu, segera ia melayang mundur dan terlolos dari ancaman itu.

   Bayangan putih berkelebat, seorang gadis ber-tubuh ramping telah melompat ke arah ruyung mestika itu secepat kilat.

   "Mundur!"

   Bentak Kwanliong Ciong-leng, te-lapak tangannya segera didorong ke depan.

   Berbareng dengan serangan itu, tangan yang lain sudah menyambar gagang ruyung dan menca-butnya.

   *** ( )*** Oleh karena tertumbuk oleh tenaga pukulan tadi, gerakan si nona baju putih menjadi tertahan, ia tak rela melihat ruyung itu jatuh ke ta-ngan Kwanliong Ciong-leng, sambil membentak ia menerjang maju lagi, kedua telapak tangannya me-lepaskan pukulan dahsyat.

   Oleh karena gerak tubuh musuh terlampau ce-pat, Kwanliong Ciong-leng tak sempat melihat je-las raut wajah penyerangnya.

   Tapi ia dapat merasakan kelihaian serangan lawan, sambil membentak marah ruyung diputar kencang, cahaya emas segera terpancar keempat penjuru dengan deru angin tajam.

   Tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan su-ara merdu.

   "Enci Pek Sat, ruyung itu sangat tajam, jangan disambut dengan kekerasan!"

   Nona berbaju putih itu mendengus, terpaksa ia menahan gerak majunya.

   Setelah berhasil memaksa mundur musuh, Kwanliong Ciong-leng menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu.

   Dilihatnya tidak jauh di samping kiri berdiri dua orang gadis, mereka adalah nona berbaju biru berkerudung dan Pek Bi, si genit dari Hek-liong-kang.

   Sedangkan gadis yang tepat berdiri di hadapan-nya tak lain adalah Pek Sat yang dingin dan ang-kuh itu.

   Terkesiap hatinya, ia pikir.

   "Wah, bisa re-pot. Bila bertemu dengan tiga gadis aneh dari Hek-liong-kang ini, mungkin ruyung ini tak bisa kupertahankan lagi."

   Dengan sinar mata yang tajam dan menggidik-kan hati, Pek Sat menatap wajah Kwanliong Ciong-leng lekat-lekat, kemudian dengan nada dingin ka-tanya.

   "Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian adalah benda milik Hek-liong-kang kami, ayo cepat serah-kan kepada kami, kalau tidak akan kubikin kau mampus tanpa terkubur." *** ( )*** Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tak berani beradu pandang dengan nona itu, ia tertawa ter-bahak-bahak.

   "Nona jangan terlalu memaksakan kehendakmu, ketahuilah ruyung ini adalah milik Bok Ji-sia, siapa bilang barang milik Hek-liong-kang kalian?"

   Pek Sat mendengus.

   "Hmm, tahukah kau siapa yang membuat Jian-kim-si-hun-pian ini?"

   Kwanliong Ciong-leng tertawa dingin.

   "Betul ruyung ini dibuat oleh seorang tokoh sakti aliran Hek-liong-kang, yakni Hin-si-su Siang Heng-tang, akan tetapi Siang-locianpwe sendiri adalah orang persilatan daerah Tionggoan, beliau pula yang mem-bawa ruyung ini ke Tionggoan serta meninggalkan-nya di sini.."

   "Ia sama sekali tak punya murid, itu berarti ruyung hilang di daerah Tionggoan,"

   Tukas Pek Sat ketus. Kembali Kwanliong Ciong-leng tersenyum.

   "Ruyung ini sudah bersejarah tiga ratus tahun, ba-gaimana jalannya peristiwa ini kita sebagai orang angkatan muda tak akan mengetahuinya, maka barang siapa mendapatkan ruyung ini, dialah pemilik-nya."

   Nona baju biru bercadar itu melirik sekejap Bok Ji-sia yang manggeletak di tanah itu dengan sorot mata lembut, kemudian ia tanya.

   "Apakah kau yaog mencelakai dia?"

   "Nona,"

   Seru Kwanliong Ciong-leng dengan perasaan bergetar.

   "kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, janganlah sembarangaa bicara."

   Nona bercadar itu tertawa cekikik dengan su-ara yang merdu bagaikan kicau burung.

   "Aku kan cuma bertanya saja, padahal bicara tentang kepandaian, dengan kungfumu mungkin belum cukup untuk melukainya." *** ( )*** Air muka Kwanliong Ciong-leng berubah he-bat mendengar perkataan itu, dengan dingin ia lan-tas bertanya.

   "Apakah nona telah mengetahui duduk-nya perkara?"

   Tiba-tiba Pek Bi tersenyum kepada Kwanliong Ciong leog, katanya.

   "Maksudmu tahu soal apa?"

   Melihat senyuman manis yang menghiasi bibir-nya, Kwanliong Ciong-leng seakan-akan terpikat, ia pandang gadis itu dengan termangu.

   Pek Sat segera menggerakkan tubuhnya dan menerjang maju secepat kilat, tangan kirinya dikebaskan sementara kelima jari tangan kanan ter-pentang lebar dan mencengkeram pergelangan ta-ngan kanan Kwanliong Ciong-leng.

   Terembus oleh angin serangan yang amat di-ngin, Kwanliong Ciong-leng tersadar kembali dari lamunannya, tapi pergelangan tangan kanannya ke-buru kena dipegang oleh jari tangan yang putih halus itu, tangannya bergetar keras dan ruyung mestika itupun terlepas dari cekalan.

   "Brak!"

   Nyaris ruyung itu menimpa wajah Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang menggeletak di ta-nah, selisih dengan wajah gadis itu cuma tiga inci.

   Bersamaan waktunya Kwanliong Ciong-leng mem-buang ruyung tersebut, tenaga murninya segera di-himpun ke telapak tangan kirinya dan menerima kebasan dengan keras lawan keras.

   Dengusan tertahan berkumandang, dengan air muka pucat seperti mayat, beruntun Kwanliong Ciong-leng mundur tiga-empat langkah.

   Air muka Pek Sat ikut berubah pula, bahunya tergetar dan tubuhpun tergeliat.

   Pek Bi tertawa cekikikan dengan suara yang merdu, katanya tiba-tiba.

   "Bukankah kau bilang ba-rang siapa pegang *** ( )*** ruyung ini, dialah pemilik ruyung ini? Nah, mulai sekarang ruyung ini menjadi milik kami!"

   Habis berkata, senyuman bangga memikat hati kembali menghiasi wajahnya, lalu sambil bergoyang pinggul pelahan ia berjalan mendekati sisi tubuh Cu Giok-ceng.

   "Tunggu sebentar!"

   Tiba-tiba bentakan nyaring menggelegar.

   "ruyung itu milikku!"

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang semula ter-geletak tak berkutik di tanah itu tahu-tahu sudah menggerakkan jari tangannya dan menyambar ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian tersebut.

   Mimpipun Pek Bi tidak menyangka ruyung mestika yang sudah berada di depan mata tahu-tahu berpindah ke tangan orang lain.

   Dengan suatu gerakan cepat ia menerjang ke samping Cu Giok-ceng, lalu meletik ke depan, de-ngan suatu gerakan yang manis telapak tangan ka-nan menutuk pergelangan tangan kanan Cu Giok-ceng.

   Akan tetapi Cu Giok-seng pun bukan kaum lemah, cepat ia mengegos ke samping sambil me-mutar tangan, ia balas mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Pek Bi.

   Tiba-tiba Pek Bi angkat kakinya menendang perut lawan.

   Cu Giok-ceng berkerut kening, cepat kaki kiri juga diangkat menyongsong ancaman tersebut.

   Terjadi benturan keras, kedua pihak sama-sama menjerit kaget, lalu dengan gerakan yang sama ce-patnya mereka melompat mundur.

   Namun begitu, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian masih berada dalam cengkeraman Cu Giok-ceng.

   Setalah berlangsungnya pertarungan jarak de-kat dengan jurus-jurus serangan kilat, dapatlah di-ketahui bahwa kelihaian kungfu kedua gadis itu, ba-ik kecepatan maupun keganasan serangan boleh dibilang seimbang.

   Untuk sesaat kedua pihak tak berani melancarkan serangan secara gegabah lagi, sudah *** ( )*** barang tentu Pek Bi tambah ngeri terhadap Jian-kim-si-hun-pian.

   Dengan ujung kaki kiri Cu Giok-ceng segera mencungkil pedangnya yang tergeletak di tanah, lalu ditangkap kembali dengan tangan kiri, ruyung dan pedang segera diangkat bersama.

   "Nama besar tiga gadis dari Hek-liong-kang memang tidak bernama kosong belaka,"

   Demikian ia berkata sambil tertawa dingin.

   "tapi kalian mesti tahu, di antara yang tangguh masih ada yang lebih tangguh lagi."

   Dengan langkah lemah gemulai si nona baju biru bercadar itu pelahan maju ke depan, serunya dengan merdu.

   "Hei, siapa kau ini? Kok galak amat?"

   Cu Giok-ceng mendengus penuh menghina, katanya.

   "Nonamu adalah Mo-li-ceng-li yang termashur di dunia persilatan.

   Hmm, mau apa kau?" "Oh, maaf! Rupanya engkau Nio-cu-kun (ten-tara perempuan atau Srikandi) dari Tionggoan."

   "Nio-cu-kun atau bukan, mau apa kau?"

   Ben-tak Cu Giok-ceng lagi.

   "bila kau berani sembarangan omong, daerah Tionggoan akan menjadi tempat mengubur kalian."

   "Wah, gadis Tionggoan tampaknya sangat ga-lak,"

   Kembali nona baju biru itu menyindir.

   "tapi juga cakap-cakap!"

   "Hmm, kau cari mampus!"

   Bentak Cu Giok-ceng dengan gusar.

   Ia menerjang maju, pedang di tangan kiri be-runtun menusuk dan menabas dengan gencar.

   Serangan ini dilancarkan dengan gerak cepat dan jurus yang aneh, tampaknya segera dada si no-na baju biru bercadar itu akan tertusuk.

   *** ( )*** "Tahan!"

   Pek Sat membentak.

   "jangan kau lukai nona kami!"

   Menghadapi ancaman pedang itu, ternyata si nona baju biru tidak memperlihatkan rasa takut, ia berdiri tenang di tempatnya, melihat itu, Cu Giok-ceng terperanjat.

   "Jangan-jangan dia memiliki sesuatu ilmu ke-ji."

   Demikian ia berpikir. Tiba-tiba ia menarik kembali serangannya, se-mentara itu Pek Sat telah menerjang maju dan me-lepaskan pukulan dahsyat. Merasakan dahsyatnya angin pukulan itu, ce-pat Cu Giok-ceng melompat mundur.

   "Enci Pek Sat,"

   Terdengar nona baju biru itu berseru.

   "ia tak akan berani melukaiku, apa yang kau kuatirkan?"

   Sementara itu, setelah mengatur napas dan mengendalikan pergolakan darah dalam tubuhnya, mendadak Kwanliong Ciong-leng menghampiri Bok Ji-sia, ia membalik tubuh pemuda itu dan memeriksa keadaannya.

   Ternyata Ji-sia berbaring dengan kaku, noda darah masih mengotori ujung bibirnya, gigi terkatup kencang, wajahnya pucat seperti mayat.

   Melihat keadaan tersebut, tanpa terasa ia meng-hela napas panjang, gumamnya.

   "Sungguh tak ku-sangka pemuda keras kepala ini ternyata berusia pendek."

   Terkejut Cu Giok-ceng, ia menerjang maju dan bertanya dengan kuatir.

   "Dia ..dia. telah mati.?"

   Kwanliong Ciong-leng melirik sekejap wajah Cu Giok-ceng yang cemas itu, lalu menghela napas.

   "Ya, dia telah mati!"

   Padahal antara Cu Giok-ceng dan Bok Ji-sia tidak memiliki hubungan apapun, tapi entah me-ngapa, ketika mendengar kabar tersebut, ibarat gun-tur menggelagar pada siang bolong, ia terperanjat sehingga sekujur badan gemetar.

   *** ( )*** Jelas kematian Bok Ji-sia mempunyai sangkut-paut yang amat besar dengan dia.

   Dalam pada itu, si nona baju biru dan Pek Sat serta Pek Bi telah maju pula, tiba-tiba ia ber-kata sambil tertawa.

   "Kedua Cici, entah ada hu-bungan apa Bok Jisia dengan dia, kenapa ia be-gitu sedih?"

   Gusar sekali Cu Giok-ceng mendengar ucapan itu, bentaknya.

   "Dia sahabatku, apa urusannya denganmu?"

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nona berbaju biru itu tertawa merdu.

   "Cici, dia bilang orang she Bok itu sahabatnya, tapi ma-na mungkin ada sahabat yang merampas ruyung mestikanya? Kan lucu sekali, Aii, orang bilang cinta hanya mendatangkan penyesalan, kata-kata ini me-mang cocok untuk diterapkan pada perempuan yang bodoh."

   Ucapan ini betul-betul melukai hati Cu Giok-ceng, saking marahnya sampai pucat air mukanya, hawa napsu membunuh pun terpancar dari sorot matanya yang beringas.

   Sembari berkata nona berbaju biru itu meme-riksa air muka Bok Ji-sia, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata lagi.

   "Tak kusangka dalam du-nia persilatan Tionggoan ada orang yang berhasil meyakinkan ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut-kang!"

   Mendengar perkataan tersebut, telapak tangan Cu Giok-ceng yang sudah terangkat dan siap me-nyerang lagi segera terhenti di tengah jalan, seru-nya kaget.

   "Apa kau bilang? Ia terkena pukulan Bu-siang-te-im hu-kut-kang?"

   "Benar,"

   Nona baju biru itu menjawab.

   "sang-gupkah kau menyembuhkan dia?"

   Cu Giok-ceng tertegun, walaupun ia tak me-ngerti tentang ilmu pukulan tersebut, tapi ia pernah mendengar kekejian serta kelihaian ilmu pukulan Bu-siang-te-im-hu-kut-kang ini, konon barang siapa terkena pukulan tersebut tak bisa tertolong lagi, de-ngan ilmu pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang, kedua-nya disebut dua macam ilma sakti dunia persilatan.

   *** ( )*** Nona baju biru itu bergumam pula.

   "Racun jahat telah menyerang isi perutnya, lewat satu jam lagi, bila hawa racun muncul di antara alis mata-nya berarti ia tak bakal tertolong lagi. Aiii, sayang! Seorang pemuda berbakat ternyata harus lenyap de-ngan begitu saja."

   "Jadi kau dapat menyembuhkan lukanya ini?"

   Tiba-tiba Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng-bertanya.

   "Kau bertanya kepada siapa?"

   Tegur si nona baju biru tambil mendongakkan kepalanya. Cu Giok-ceng mendengus.

   "Tentu saja tanya kepadamu!"

   Nona baju biru itu tertawa dingin.

   "Di dunia dewasa ini, kecuali aku seorang mungkin tidak ada orang kedua yang mampu menyembuhkan luka be-racun akibat pukulan-pukulan Bu-siang-te-im-hu-kut-kang maupun Peng-sian-jit-gwat-ciang. Tapi aku dan dia ada dendam, sudah barang tentu aku tak akan menyembuhkan lukanya, tampaknya hanya jalan kematian saja yang tersedia baginya."

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng amat gelisah se-telah mendengar perkataan itu, dengan wataknya yang keras kepala, tentu saja dia enggan memohon kepada orang selain memendam rasa gelisahnya da-lam hati.

   Sementara itu sudah menjelang kentongan ke-lima, sudah dekat fajar.

   Angin terasa berhembus kencang, suasana di se-kitar tanah kuburan itu terasa hening, perasaan setiap orang serasa tertekan.

   Mendadak Cu Giok-ceng membentak meme-cahkan keheningan suasana.

   "Siapa di situ? Main sembunyi-sembunyi, ayo keluar!"

   Dari balik remang cuaca menjelang fajar, dari tanah pekuburan itu bergema suara dampratan yang dingin menyeramkan.

   "Budak setan, jangankan kau sembunyi di *** ( )*** tempat orang mati ini, sekalipun bersembunyi di ujung langit pun nyonya besar da-pat menyusul dirimu."

   Suaranya keras dan melengking, jelas suara se-orang perempuan.

   Mendengar seruan itu, air muka Cu Giok-ceng segara berubah menjadi berseri-seri.

   cepat-cepat teriaknya.

   "Jik-locianpwe, cepat kemari? Aku hendak dicincang orang!"

   "Budak setan, akan kulihat sekali ini hendak kau kabur ke mana lagi?"

   Perempuan itu mendam-prat pula dengan suaranya yang serak tua.

   "Jik-locianpwe, kali ini aku tak akan kabur la-gi, Cuma.."

   Belum lagi ucapan tersebut selesai, mendadak segelung angin lembut berhembus lewat mengiringi datangnya sesosok bayangan manusia, ilmu me-ringankan tubuhnya sungguh lihai sekali, begitu ce-pat, begitu enteng, membuat orang sukar mengetahui berasal dari mana datangnya.

   Ternyata orang ini adalah seorang nenek ber-wajah jelek, berambut putih, main bawa tongkat berkepala satan yang berat.

   Ketika muncul, tong-kat itu diketukkan ke tanah sehingga berbunyi "Trang!"

   "Budak setan, cuma apa? Ayo cepat teruskan!"

   Teriak nenek itu.

   Sementara itu Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng juga terperanjat karena munculnya nenek jelek ini, pikirnya.

   "Kenapa makhluk tua inipun muncul pula dalam dunia persilatan? Agaknya Bu-lim-jit-coat benar-benar hendak melaksanakan janji mereka pada delapan belas tahun yang lalu."

   Tiba-tiba terdengar si nona baju biru tadi ter-tawa cekikikan, kemudian berkata.

   "Kedua Cici, coba kalian tebak siapakah orang ini? Kenapa tam-pangnya sama dengan dia?" *** ( )*** Gemetar badan Cu Giok-ceng mendengar kata-kata itu, bentaknya gusar.

   "Perempuan siluman, me-mangnya kau cantik..?"

   Kiranya wajah Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng ti-dak terhitung cantik, sekalipun kulit badannya ter-hitung menarik, sayang sekali wajahnya yang putih itu banyak bintik-bintik hitam.

   Sebagai seorang gadis, soal cantik atau jelek tentu saja merupakan masalah yang penting.

   Betul selama ini Cu Giok-ceng tidak terlalu memperhatikan soal air muka, tapi sindiran nona berbaju biru itu sungguh amat menusuk perasaannya.

   Apalagi sejak ia berjumpa dengan Bok Ji-sia, tanpa disadari telah timbul rasa rendah diri karena wajahnya yang cacat itu.

   Maka setelah dihina oleh nona baju biru itu, pucatlah wajahnya karena marah, di tengah ben-takan keras, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian se-gera diputar menjadi selapis cahaya emas, langsung menyambar muka si nona baju biru.

   Pek Sat yang berada di samping dapat me-nyaksikan serangan itu dengan jelas, tangan kanan-nya cepat mengebas.

   Cu Giok-ceng segera merasakan tibanya angin pukulan yang lembut tapi hebat menembus lingkar-an cahaya emas Jian-kim-si-hun-pian dan mengan-cam tempat berbahaya di tubuhnya, ia terperanjat, sambil berkelit ke samping serangan ruyungnya te-tap dilanjutkan.

   Cahaya emas yang terpancar dari Jian-kim-si-hun-pian dengan tajamnya menerobos ke depan.

   Pek Sat tahu betapa lihainya ruyung mestika itu, sementara serangannya dilancarkan tadi, tangan yang lain telah menyambar tubuh nona berbaju bi-ru itu dan memaksanya mundur dua langkah.

   Dalam keadaan gusar, Cu Giok-ceng enggan memperhatikan keadaan sekitarnya lagi, ketika di-lihatnya Pek Sat menyurut mundur, pedang di ta-ngan kirinya secepat kilat menusuk ke depan.

   *** ( )*** Kombinasi serangannya antara pedang dan ru-yung ini dilakukan dengan manis, baru saja Pek Sat dan nona baju biru itu berdiri tegak, cahaya pedang tahu-tahu sudah menyambar tiba.

   Sudah barang tentu Pek Bi tidak diam saja, pada saat Cu Giok-ceng melancarkan serangan dengan ruyung tadi, ia bergeser ke tempat yang tepat, seakan-akan ia sudah menduga ke mana Cu Giok-ceng akan menyerang.

   Maka waktu tusukan pedang gadis itu me-nyambar tiba, dengan cepat tangan kirinya berge-rak, dengan tiga jari tangan ia mengancam tiga ja-lan darah penting di tubuh Cu Giok-ceng.

   Cu Giok-ceng amat terperanjat, pikirnya.

   "Sung-guh angin serangan yang tajam.!"

   Dengan cepat dia mengegos, kemudian pedang di tangan kiri berputar di tengah jalan dan berbalik menabas lengan kiri Pek Bi.

   Pek Bi tertawa cekikikan dengan genit, ketiga tutukan tadi mendadak berubah menjadi jurus se-rangan yang aneh, kali ini ia menyambar pergelangan tangan lawan.

   Menang kalah dalam pertarungan antar sesama jago lihai, biasanya hanya ditentukan dalam se-kejap mata.

   Ketika Cu Giok-ceng mendengar suara tertawa genit, tanpa terasa ia memandang wajah orang, tiba-tiba saja hatinya bergetar, serangannya menjadi lamban, dan sedikit meleng saja mengakibatkan kerugian yang amat besar.

   Tiba-tiba urat nadi pergelangau tangannya terasa kaku, tahu-tahu sudah dicengkeram oleh ta-ngan kiri Pek Bi, pedangnya yang menabas otomatis juga jatuh ke tanah.

   Dengan pelahan tangan kanan Pek Bi menyam-bar pedang yang terjatuh itu, kemudian dengan senyuman yang memikat ia menggerakkan pedang rampasan dan menusuk ulu hati Cu Giok-ceng.

   *** ( )*** Kemampuannya membunuh orang dengan se-nyuman memikat ini betul-betul suatu perbuatan yang keji, membuat siapapun yang menyaksikan ja-di merinding.

   Oleh karena urat nadi tangan kiri tercengke-ram, segenap kekuatan Cu Giok-ceng menjadi hi-lang, ia tak mampu lagi untuk berkelit dalam ke-adaan begini, terpaksa dia cuma bisa mengawasi pedang lawan menusuk ke arahnya dengan sinar mata penuh benci.

   "Perempuan siluman, tahan!"

   Mendadak si ne-nek jelek membentak, sambil mengayun tongkat se-tannya ia melompat maju.

   Agaknya Pek Bi mengetahui kehebatan tubruk-an tersebut, sambil mengerahkan tenaga ia lempar tubuh Cu Giok-ceng ke samping, lalu pedangnya berputar menciptakan selapis cahaya perak untuk membendung datangnya ancaman.

   "Trang!"

   Diiringi bentrokan nyaring, si nenek bermuka jelek yang menerjang datang itu tergetar jatuh ke bawah.

   Sebaliknya Pek Bi sendiripun tergetar oleh tongkat baja sehingga tubuhnya terlempar dua lang-kah ke belakang, meski begitu, tetap dengan senyum-an genit ia mengawasi nenek itu.

   Nenek bermuka jelek itu tidak mengira nona secantik ini ternyata memiliki tenaga pukulan be-gitu hebat dan jurus pedang begitu sakti.

   Rupanya Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng juga tidak menyangka Pek Bi sanggup menahan serangan jago kelima dalam Bu-lim-jit-coat yang tersohor dalam dunia persilatan ini, Pek-pin-kui-po (Nenek setan berambut putih) Jik Say-kiau.

   Kemunculan Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau ini adalah untuk memenuhi janji sesama Bu-lirn-jit~coat pada delapan belas tahun yang lalu, ia tak menyangka dalam pertarungan pertama ini lantas berjumpa dengan musuh tangguh yang masih mu-da belia.

   *** ( )*** Hai ini segera menimbulkan rasa ingin menang-nya, ia membentak.

   "Siluman cilik, hebat juga te-naga dalammu, pantas kau berani berbuat keonar-an di Tionggoan, kalau berani sambut lagi beberapa jurus serangan nyonya."

   "Enci Pek Bi,"

   Nona baju biru berseru.

   "sam-butlah beberapa jurus serangannya, coba kita lihat Pek-pin-kui-po dari Bu-lim-jit-coat yang jauh lebih tua ini apakah masih bisa menakuti orang?"

   Perlu diketahui, walaupun Jik Say-kiau ber-tampang jelek, akan tetapi ia paling benci bila ada orang memanggilnya sebagai Pek-pin-kui-po atau nenek setan berambut putih. Maka dengan gusar ia membentak.

   "Anak da-ra, besar amat nyalimu! Lihat saja nyonya akan hancur lumatkan tubuh kalian!"

   Tongkat berkepala setan segera mengetuk ta-nah terus menerjang maju.

   Pedang di tangan kanan Pek Bi menuding ke depan, beruntun beberapa kali gerakan menciptakan selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata.

   Tatkala pedang dan tongkat hampir saling ben-tur, titik-titik bunga pedang yang diciptakan Pek Bi mendadak berkumpul menjadi satu dan tanpa terasa menumbuk tongkat baja itu, seakan-akan da-ri tongkat Pek-pin-kui-po timbul semacam daya isap yang kuat, tentu saja ia terkejut.

   Sementara pedang Pek Bi terisap oleh tongkat lawan, tiba-tiba terdengar si nona baju biru berkata dengan merdu.

   "Enci Pek Bi, gunakan gaya lamban untuk menghadapi kecepatan."

   Dua patah kata yang merupakan kunci ilmu silat itu mengingatkan Pek Bi untuk menggerakkan pedangnya dan menciptakan serentetan cahaya ta-jam.

   "Cring!"

   Terdengar bunyi gemerincing, tahu-tahu pedang sudah terlepas dari isapan tongkat, kemu-dian cahaya pedang *** ( )*** yang berkilauan tahu-tahu membabat pergelangan tangan kanan Jik Say kiau.

   Menyaksikan jurus pedang yang aneh itu, di-am-diam Busian-gi-su Kwanliong Ciong-leng meng-hela napas, ia merasa jago lihai dalam dunia persilatan memang amat banyak, bahkan beberapa orang di hadapannya sekarang terbukti memiliki ilmu silat yang lebih hebat daripadanya.

   Terbayang kembali peristiwa tragis yang me-nimpa keluarga adik angkatnya, butiran air mata segera bercucuran membasahi muka Bu-sian-gi-su yang masih berbaring di tanah, kesedihan itu melambang-kan kehidupannya yang hampir berakhir, itu ber-arti dendam berdarah adik angkat dan keluarganya tak bisa dibalas lagi.

   Kiranya beberapa saat berselang ia terbayang kembali akan semua peristiwa yang dialaminya ma-lam ini, ia sadar telah terjebak oleh akal licik Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, iapun tahu dirinya sudah makan obat racun yang bekerja lambat dari Oh Kay-thian, sebab saat ini pada suatu urat nadi penting di tubuhnya lamat-lamat terasa sakit, itu-lah gejala menghimpunnya racun di sana, asal waktu yang ditentukan telah tiba dan racun mulai bekerja, niscaya dia akan mati secara mengenaskan.

   Dalam pada itu, Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau pun terkejut, sambil membentak tongkat diputar untuk menggetar pergi pedang Pek Bi, setelah itu tongkat disodokkan ke jalan darah Hian-ki-hiat di tubuh nona itu.

   Buru-buru Pek Bi melompat mundur untuk menghindarkan diri, kemudian pedangnya rnenciptakan cahaya kuntum bunga dan balas menyerang pula.

   Jurus pedangnya cepat dan ganas, perubahannya banyak, setelah menyerang beberapa kali, Pek-pin-kui-po terdesak sehingga hilang kemampuanya melancarkaa serangan balasan.

   *** ( )*** Sesudah bertempur beberapa gebrakan, tiba-tiba Pek Bi merasakan munculnya arus tenaga kuat dan tongkat Pek-pin-kui-po yang lamat-lamat mengandung te-naga isapan, akibatnya gerak pedang sendiri terpe-ngaruh besar, jurus-jurus tangguhnya tak lancar dikembangkan, malahan terus terdesak di bawah angin.

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang menonton ja-lannya pertarungan dari tepi kalangan juga merasa-kan Jik Say-kiau sedang mempergunakan semacam ilmu permainan tongkat yang lihai, akibatnya ilmu pedang aliran Hek-liong-kang yang dimainkan gadis Pek Bi menjadi mati kutu.

   Seperi yang diketahui, Bu-lim-jit-coat adalah manusia berilmu tinggi luar biasa, akan tetapi ke-pandaian mereka kebanyakan beraliran sesat, memang betul dalam pertarungan antar tujuh jagoan terse-but terbukti ilmu silat Oh Kay-gak melebihi enam orang yang lain, tapi yang lain pun memiliki tingkat-an yang berbeda, selisih ilmu silat mereka pun cu-kup besar.

   Pek-pin-kui-po Jik Say-kiu adalah jago nomor lima dalam Bu-lim-jit-coat, sudah barang tentu ilmu silatnya lebih tangguh setingkat daripada Si-hun-koay-sat-jiu maupun Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin.

   Cuma sekarang, setelah lewat delapan belas ta-hun, ilmu silat Bu-lim-jit-coat tidak diketahui orang, siapa lebih tangguh dan siapa lebih lemah hanya bisa dibuktikan dalam suatu pertempuran, sebab ada sementara jago silat yang lebih suka menyembunyi-kan ilmu silat yang sesungguhnya.

   Balasan gebrakan kemudian, gadis Pek Bi telah dipaksa kehilangan posisinya yang kuat, tiba-tiba nona baju biru itu berseru.

   "Thian-hui-ji-si, Huan-ki-ngo-si!"

   Rupanya ia memberi petunjuk cara bagaimana mengatasi musuh.

   Di tengah seruan itu, pedang gadis Pek Bi *** ( )*** me-lancarkan dua jurus aneh dan memaksa Jik Say-kiau terdesak mundur selangkah.

   Terdengar Pek Bi tertawa merdu, padangnya berputar lebih kencang, ya menabas, ya menusuk, dengan cepat ia mengurung musuh di bawah serang-annya.

   Jurus serangannya ganas dan mematikan, Pek-pin-kui-po Jik Say kiau yang terhitung jago kenama-an sampai terdesak hingga kalang kabut dan tak mampu balas menyerang lagi.

   Kejadian ini kontan menimbulkan rasa terke-jut Cu Giok-ceng serta Kwanliong Ciong-leng, menurut perkiraan mereka semula, apalagi waktu Cu Giok-ceng menusuk nona berbaju biru itu, ke-pandaian nona baju biru itu kelihatannya lebih rendah daripada Pek Sat maupun Pek Bi.

   Tapi kenyataannya sekarang, hanya dengan menyebut kunci ilmu silat ia telah membawa Pek Bi dari kalah menjadi menang, malahan berhasil mendesak Jik Say kiau menjadi kalang kabut, kenya-taan ini membuat mereka harus memberi penilaian yang baru atas kemampuan gadis baju biru itu.

   Terutama Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng diam-diam ia menghela napas, pikirnya.

   "Sudah je-las nona baju biru ini memiliki ilmu silat yang sa-ngat tinggi, bahkan setiap gerakannya sanggup men-cabut nyawa orang, kenapa ia tidak bertarung sen-diri dengan orang lain? Entah apa sebabnya?"

   Sementara ia termenung, tiba-tiba dari arah belakang berhembus lewat angin yang berbau harum.

   Dengan penuh kewaspadaan Kwanliong Ciong-leng berpaling, sinar mata yang tajam meng-gidikkan sedang mengawasinya, keruan ia terpe-ranjat dan menyurut mundur dua langkah.

   Ternyata lebih-kurang tiga kaki di sisinya ber-diri seorang perempuan berbaju hijau dan bercadar, dia bukan lain adalah Lik-ih-hiat-li yang mulai termashur namanya baru-baru ini.

   Ditatap dengan sorot mata yang bengis dan tajam itu, Kwanliong Ciong-leng terkesiap dan ngeri.

   *** ( )*** "Ia terluka oleh siapa?"

   Tegur Lik-ih-hiat li de-ngan dingin. Kwanliong Ciong-leng berpikir.

   "Apakah aku harus mengatakan bahwa ia dicelakai oleh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dari Thian-seng-po?"

   Belum lagi ia mengambil kuputuaan, tiba-tiba terdengar si nona baju biru berseru merdu.

   "Enci Pek Bi, jangan bertarung lagi, aku sudah dapat menilai tingkat ilmu silatnya."

   Tapi ketika itu pertarungan sedang berlangsung sengit, terutama Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau yang jadi murka, tongkatnya dimainkan sedemikian rupa hingga menimbulkan deru angin keras, beberapa jurus serangan keji membuat Pek Bi sukar mengun-durkan diri.

   Melihat Kwanliong Ciong-leng sampai lama se-kali belum juga menjawab pertanyaannya, Lik-ih-hiat-li mengalihkan sorot matanya yang tajam me-ngawasi sekeliling arena, pikirannya.

   "Orang yang bisa melukai Ji-sia rasanya hanya Pek-pin-kui-po dan ketiga gadis Hek-liong-kang itu."

   Berpikir demikian, ia lantas membentak.

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ka-lian semua hentikan pertarungan!"

   Kebetulan waktu itu tongkat Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau sedang menyampuk pedang Pek Bi, ber-bareng itu terus menghantam pergelangan tangannya.

   Pek Bi terkejut, cepat ia buang pedang, dan menarik tangannya untuk menghindari tongkat lawan.

   Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau mendesak maju selangkah, tangan kiri menyodok ke depan, me-nutuk jalan darah Hian-ki-hiat Pek Bi.

   Lik-ih-hiat-li marah sekali karena Pak-pin-kui-po tak menuruti perkataannya, menurut per-kiraannya nenek aneh ini lebih besar kemungkin-annya pembunuh Bok Ji-sia, maka ia lantas mem-bentak.

   "Nenek aneh, kusuruh kalian berhenti semua! Dengar tidak?"

   Sambil berteriak, ia lepaskan pu-kulan dahsyat.

   *** ( )*** Angin pukulan dahsyat dengan membawa suara menderu langsung menerjang Pek-pin-kui-po.

   Dengan gaya yang tak berubah Pek-pin-kui-po putar tongkatnya ke arah Pek Bi, jari tangan yang lain terus menutuk Hian-ki-hiat tangan kirinya, ke-mudian secara tiba-tiba ia ubah gerak tangannya mendorong ke samping, menyambut pukulan Lik-ih-hiat-li itu dengan keras lawan keras.

   Perlu diketahui, semenjak Lik-ih-hiat-li makan pil Ji-khi-kun-goan-wan peninggalan Hian-ki-hian-cing, apabila ia menyerap seluruh khasiat pil mu-jarab itu, maka tenaganya akan bertambah dengan dua kali enam puluh tahun hasil latihan, sekalipun saat ini belum semua kekuatan obat berhasil diman-faatkan, tapi paling tidak ia dapat mengisap lima sampai enam puluh bagian di antaranya, karena itu tenaga dalamnya sekarang sudah mencapai enam-tujuh puluh tahun hasil latihan.

   Sungguh amat dahsyat serangannya, sekalipun Pek-pin-kui-po memiliki tenaga dalam yang sem-purna, bagaimanapun juga ia harus memecahkau tenaganya untuk menghadapi dua musuh, begitu dua tangan bertemu, angin keras segera mendampar.

   Akibat dari bentrokan itu, Lik-ih-hiat-li merasakan bahunya bergetar keras, sebaliknya Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau kena didorong oleh pukulan itu sehingga mundur tiga-empat langkah.

   Menggunakan kesempatan itu Pek Bi melom-pat ke samping menghindarkan diri dari serangan tongkat, kemudian cepat memungut kembali pe-dangnya yang jatuh.

   "Pedang itu milikku!"

   Bentak Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng tiba tiba.

   *** ( )*** Ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian di ta-ngan kanannya dengan membawa desing angin ta-jam yang membetot sukma segera menghantam tu-buh gadis Pek Bi.

   Merasakan angin tajam yang menyambar tu-buhnya, dengan cepat Pek Bi berjongkok, lalu de-ngan suatu gerakan aneh ia menyelinap ke sisi ka-nan nona baju biru.

   Cu Giok-ceng dengan tangan kiri lantas me-nyambar pedang yang tergeletak di tanah itu, tapi baru saja tangannya akan menyentuh pedang, angin tajam telah menyambar tiba, tahu-tahu Lik-ih-hiat-li menerjang ke arahnya.

   Cu Giok-ceng tidak jelas apakah Lik-ih-hiat-li kawan atau lawan, cepat ia berkelit, lalu ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian menyapu ke muka de-ngan dahsyat.

   Sungguh cepat gerak serangan ini, jurus yang dipakai pun aneh, ditambah lagi daya serang ruyung mestika tersebut, biar Lik-ih-hiat-li berilmu tinggi, tidak urung dia harus mengeser badan ke samping untuk menghindar.

   Jilid 13 Begitu ruyung menyapu ke depan, Cu Giok-ceng mencungkil pedang di tanah dengan kaki kirinya lalu digambarnya dengan tepat.

   Dari gerakan ber-kelit, menyerang, mencungkil dan menangkap pedang, semua dilakukan dengan cepat luar biasa, hampir dilakukannya pada saat yang sama.

   Cahaya tajam berkelebat, pedang di tangan kiri Cu Giok-ceng secepat kilat menusuk.

   Melihat gerak serangan tersebut, mencorong tajam sinar mata Lik-ih-hiat-li, dengan nafsu mem-bunuh yang meluap ia membentak, telapak tangan kanan segera mengebas ke depan.

   Cu Giok-ceng merasakan angin pukulan me-nyambar tiba, menerjang dadanya.

   Dia seorang setan cilik yang cerdik, dari ke-mampuan Lik-ih-hiat-li memukul mundur Pek-pin-kui-po *** ( )*** tadi telah diketahuinya bahwa perempuan misterius ini memiliki tenaga dalam yang sempurna, sudah barang tentu Cu Giok-ceng tak berani me-nyambutnya dengan kekerasan, buru-buru ia menarik serangannya dan mundur.

   Tapi telapak tangan kiri Lik-ih-hiat-li meng-hantam pula, bahkan serangan yang mematikan, ka-rena ia melihat Bok Jisia berbaring tak berkutik, sementara Cu Giok-ceng membawa ruyung Jian-kim-si-hun-pian dan pedangnya dirampas oleh Pek Bi, ia menduga Cu Giok-ceng tentu sudah datang lebih dulu daripada ketiga gadis Hek-liong kang, pasti Ji-sia dicelakainya bersama Pek-pin-kui-po.

   Buru-buru Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng membentak.

   "Lik-ih-lihiap, jangan menyerang dulu, aku ingin bicara!"

   Kiranya Lik-ih-hiat-li telah menghimpun tenaga Peng-sian-jit-gwat-ciang pada tangan kiri, asal pu-kulan itu dilancarkan, niscaya Cu Giok-ceng akan binasa.

   Entah sebab apa dalam waktu semalam saja Kwanliong Ciong-leng telah timbul kesan baiknya terhadap Bok Ji-sia maupun Cu Giok-ceng, ia tak tega menyaksikan gadis tersebut tewas di tangan Lik-ih-hiat-li, maka ia mencegahnya.

   Dengan sinar mata yang tajam Lik-ih-hiat-li menatap wajah orang itu lekat-lekat, kemudian te-gurnya.

   "Apa yang hendak kau katakan? Siapa yang telah mencelakai Bok Ji-sia? Cepat katakan, kalau tidak kaliaa berenam harus mampus semua!"

   "Jangan terlalu sombong dan tidak pandang sebelah mata kepada orang lain!"

   Sambut si nona baju biru.

   "dengan sedikit kepandaianmu itu masih belum cukup untuk menjagoi dunia persilatan."

   Lik-ih-hiat-li mendengus.

   "Hmm, kalau begitu aku hendak membunuhmu lebih dulu!"

   Tenaga pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang yang telah dihimpunnya pada tangan kiri itu siap di-lancarkan. Pek Sat *** ( )*** dan Pek Bi buru-buru melompat ke de-pan si nona baju biru dan menghalanginya. Nona baju biru itu tertawa merdu, ujarnya.

   "Kenapa kedua Cici cemas? Bila ia berani melukai-ku, maka orang she Bok itupun bakal mampus dan tak tertolong lagi."

   "Apa kau bilang?"

   Tegur Lik-ih-hiat-li.

   "dia be-lum mati?"

   "Ya, cuma sudah hampir mampus, kecuali bi-la aku mau menolongnya!"

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng buru-buru maju dua langkah ke depan, katanya.

   "Jika kau dapat meno-longnya, akan kuhadiahkan ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian ini kepadamu!"

   "Memangnya ruyung itu milikmu?"

   Ejek si no-na baju biru dengan tertawa dingin. Cu Giok-ceng menjadi marah, teriaknya.

   "Ber-ada di tangan siapa ruyung ini, dialah pemiliknya!"

   Mendadak Lik-ih-hiat-li menghardik.

   "Apakah kau yang mencelakai Bok Ji-sia dan merampas ru-yung mestika itu?"

   "Kalau aku merampas ruyung mestika ini, buat apa aku menggunakan ruyung ini pula untuk me-nolong jiwanya?"

   Hati Lik-ih-hiat-li seperti disayat-sayat me-nyaksikan Ji-sia yang pucat dan berbaring kaku di tanah, dengan suara keras kembali ia membentak.

   "Siapa yang mencelakainya?"

   Sejak mengetahui Lik-ih-hiat-li menunjukkan sikap yang amat memperhatikan keselamatan Bok Ji-sia, dalam hati Cu Giok-ceng telah muncul suatu perasaan aneh, ia jadi mendongkol.

   "Hei, telingaku belum tuli, mengerti?"

   Serunya ketus.

   "buat apa kau berteriak macam orang gila? Apa hubunganmu dengan Bok Ji-sia? Kenapa kau begitu memperhatikan keadaannya?" *** ( )*** Lik-ih-hiat-li adalah orang yang sudah kenyang asam -garam kehidupan, tentu saja ia paham maksud ucap-an Cu Giok-ceng, diam-diam timbul rasa sedih ba-gi gadis itu. Ia menghela napas, lalu bertanya.

   "Si-apakah kau, nona?"

   "Murid jago nomor satu dalam dunia persilat-an Kiu-thian-mo-li, Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng, mau apa kau?"

   Lik-ih-hiat-li manggut-manggut, kembali ia ta-nya.

   "Nona Cu, jika kau mempunyai hubungan yang baik dengan Bok Jisia, maka seharusnya kau beritahu padaku siapakah pembunuhnya!"

   Tiba tiba Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau yang berada di samping naengetukkan tongkatnya ke ta-nah, lalu dampratnya.

   "Bagus, budak setan, kau tidak menganggapku sebagai gurumu?"

   "Jik-locianpwe,"

   Jawab Cu Giok-ceng sambil berpaling.

   "Maafkanlah, mana boleh kuingkari per-guruanku sendiri?"

   Nona baju biru bercadar itu segera menyindir dengan suara dingin.

   "Dengan sedikit kepandaian macam begitu saja berani menerima orang sebagai murid, huh, tak tahu malu!"

   Kedudukan Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau dalam dunia persilatan cukup tinggi, mana ia tahan meng-hadapi sikap sinis nona baju biru itu? Sambil tertawa seram tangannya bergerak, se-rumpun cahaya hijau segera menyambar ke depan.

   "Nona cepat berkelit! Hati-hati dengan jarum beracun Lik-lin-tok-ciam."

   Cu Giok-ceng ber-teriak kuatir.

   Di tengah teriakan itu, kedua tangan Lik-ih-hiat-li telah mengebas, jarum-jarum hijau yang me-nyambar ke arah si nona baju biru itu segera ter-dampar jauh ke sana oleh pukulan dahsyat itu.

   *** ( )*** Dengan gusar Lik-ih-hiat-li melotot sekejap ke arah nenek setan berambut putih, serunya.

   "Nenek aneh, sebelum dia menolong Bok Ji-sia, bila kau berani mengganggunya barang seujung rambut saja, segera kubinasakan kau!"

   Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau berkaok gusar.

   "Kau,.kau manusia dari mana? Kau berani ber-sikap kurang ajar kepadaku..?"

   Belum habis seruannya, sambil mende-ngus Lik-ih-hiat-li telah melancarkan pukulan dari kejauhan.

   Cepat Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau menangkis dengan pukulan telapak tangan kirinya, tenaga pu-kulan yang kuat segera menyambar.

   Dua gulung angin pukulan saling bentur, tim-bul pusaran angin kencang yang menerbangkan de-bu pasir, bayangan tubuh kedua orang itu terbung-kus di balik lapisan kabut itu.

   Setelah kabut debu mereda, Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau tampak mundur beberapa kaki dari tempat semula, air mukanya yang jelek dihiasi rasa kaget menatap wajah Lik-ih-hiat-li tanpa berkedip.

   Setelah terjadi bentrokan tadi, kedua pihak sama-sama menyadari akan kesempurnaan tenaga dalam lawannya, bila sampai terjadi pertempuran, siapa yang menang dan kalah sukar untuk diramal-kan.

   Apalagi Lik-ih-hiat-li sedang menguatirkan Bok Ji-sia, ia tak mau mengulur waktu, sambil mende-ngus ia berpaling ke arah si nona berbaju biru.

   "Nona,"

   Katanya.

   "waktu tidak banyak lagi, cepat sembuhkan penyakitnya."

   Nona berbaju biru itu tertawa dingin.

   "Tidak sulit untuk menyembuhkan lukanya, cuma apa yang, hendak kau bayar atas jasaku ini?" *** ( )*** "Apakah masih kurang dengan mendapatkan ruyung raestika yang digilai setiap umat persilatan ini?"

   Teriak Cu Giok-ceng.

   "Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian memang benda tajam yang.

   luar biasa dan disukai setiap orang, tapi sarung ruyung emas itu lebih berharga lagi, bila kau bersedia memberikan pula sarung ru-yung kepadaku, maka segera akan kuselamatkan jiwanya."

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng menghela napag sedih.

   "Baiklah!"

   Ia berkata.

   "akan kuberikan pada-mu sekalian dengan sarung ruyung!"

   Serayu berkata ia terus berjalan menghampiri Bok Ji-sia. Tiba-tiba Kwan-liong Ciong-kng berteriak "Tak perlu dicari lagi nona Cu, sarung ruyung itu sudah dibawa kabur orang!"

   "Dilarikan siapa? Apakah manusia aneh yang tinggi besar itu?"

   Tanya Cu Giok-ceng kaget.

   "Benar, telah dibawa kabur oleh manusia aneh tinggi besar itu,"

   Sahut Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng sambil menghela napas sedih.

   "Tiba-tiba Cu Giok-ceng menjerit kaget.

   "Wah, dia.dia telah mati"

   Kiranya Cu Giok-ceng melihat air muka Bok Ji-sia pucat pias, tanpa terasa ia meraba dahinya, ia jadi terkejut ketika tangannya menyentuh tubuh yang telah dingin, cepat ia periksa napasnya, ter-nyata napas pun tiada, malahan jantung pun ber-henti berdenyut, rasa kagetnya benar-benar mere-mukkan hatinya.

   Mendengar seruan itu, Lik-ih-hiat-li segera me-nerjang ke depan dan memegang tangan Bok Ji-sia.

   Seketika itu juga hatinya sedih bukan kepalang, sambil mendongak dan menghela napas ia mengeluh.

   "O, *** ( )*** Thian!.benarkah engkau telah mereng-gut nyawanya? Ai, anak yang patut dikasihani, ber-istirahatlah dengan tenang! Aku pasti akan mem-balaskan dendam kematianmu."

   Kiranya tangan Bok Ji-sia juga sudah dingin, ia merasa seakan-akan menggenggam sepotong batu pualam saja, sedemikian sedihnya perempuan ini hingga air matanya jatuh bercucuran bagai hujan.

   Teka-teki sekitar hubungan antara Lik-ih-hiat-li dengan Bok Ji-sia tidak diketahui oleh siapa pun, akan tetapi setelah mendengar ucapan yang memi-lukan hati itu, Kwanliong Ciong-leng serta si nona baju biru yang cerdik dengan cepat dapat meraba hubungan antara mereka berdua, jelas hubungan itu bukan hubungan cinta antara muda-mudi melain-kan kasih sayang seorang tua terhadap kaum muda.

   Terutama Kwanliong Ciong-leng, air mukanya segera berubah menjadi aneh sekali.entah men-cerminkan rasa girang? Ataukah rasa sedih? Dalam sekejap mata air mukanya telah ber-ubah-ubah tak menentu, perubahan yang sukar di-lukiskan.

   Akhirnya ia terbenam dalam kenangan lama.hendak ditemukannya sedikit bekas dari kenangan lama yang telah silam.

   oooOooo Sang surya bergantung di sebelah timur, udara bersih tak berawan, suatu hari yang cerah, tapi di tanah pekuburan yang sepi ini justru diliputi oleh awan kemurungan yang kelabu.

   Mendadak, suara tertawa si nona berbaju biru itu memecahkan lamunan Lik-ih-hiat-li, Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng.

   "Racun yang bersarang di tubuhnya telah ma-suk ke dalam darah, jiwanya terancam,"

   Demikian ia berkata.

   "bila tidak *** ( )*** mendapat pengobatan tepat pada saatnya, sekalipun dewa juga tidak bisa menyembuhkannya."

   "Nona, apakah dia masih bisa tertolong?"

   Ta-nya Kwaliong Ciong-leng cepat.

   "Jika tidak ditolong tepat pada saatnya, tentu saja akan mati,"

   Sahut si nona baju biru sambil tertawa dingin.

   "Yakinkah kau bisa menyelamatkan jiwanya?"

   Tanya Cu Giok-ceng dengan nada sedih. Meskipun pertanyaan itu diajukan dengan na-da ragu, namun ia berharap akan mendapatkan jawaban yang positif.

   "Apa yang kau takuti?"

   Tanya Pek Bi tiba-tiba.

   "asal nona kami bersedia menolongnya, sekalipun seorang yang sudah mati juga bisa hidup kembali."

   Kata-kata ini sungguh takabur, membuat orang menjadi sangsi malah.

   "Sekarang napasnya masih ada, denyut jantung-nya belum berhenti, tapi ia sudah berada di pintu akhirat,"

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata nona baju biru lagi.

   "jika tidak di-tolong tepat pada waktunya, mungkin akupun tak berdaya menolongnya."

   "Jadi nona mau menolong jiwanya?"

   Tiba-tiba Pek Sat bertanya.

   "Enci Pek Sat, aku belum menyanggupi per-mintaannya, cuma kupikir bisa kukabulkan asalkan mereka pun menerima permintaanku."

   Pek Sat cukup mengetahui akan kecerdasan Su-moaynya yang luar biasa itu, terutama dalam hal ilmu pertabiban, penyakit parah apapun asalkan ia bersedia memberi pertolongan, maka penyakit bagaimanapun parahnya akan dapat disembuhkannya.

   Karena itu, setelah mendengar kesediaan Su-moaynya akan memberi pertolongan, gadis itu meng-hela napas sedih, *** ( )*** wajahnya yang dingin tanpa emosi mendongak memandang angkasa.

   Agaknya nona berbaju biru itu memahami pe-rasaannya, sambil menghela napas iapun mendongak kepala memandang angkasa, katanya.

   "Enci Pek Sat, apakah maksudmu lebih baik tidak kuselamatkm jiwanya? Kalau betul demikian, baiklah kubiarkan dia mati saja!"

   Perasaan Lik-ih-hiat-li, Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng kembali tertekan, mereka ja-di cemas, bersama-sama mereka pandang wajah Pek Sat yang dingin dan tanpa emosi itu, mereka ber-usaha menemukan sedikit perubahan pada wajah-nya, tapi mereka kecewa.

   Sampai sekian lama Pek Sat maupun nona ber-baju biru itu masih juga memandang angkasa tanpa bicara, air muka Pek Sat pun tetap dingin dan kaku, sedemikian dinginnya hingga seperti manusia salju.

   Mereka tak berani bertanya, maka mereka ha-nya menanti, menanti berubahnya cuaca mendung menjadi carah kembali.

   Tiba-tiba Pet Sat memecahkan suasana hening yang menegangkan itu, ia berkata.

   "Nona, Cici se-lalu mengikuti kehendakmu saja!"

   Mendengar jawaban tersebut, nona berbaju biru itu menghela napas, katanya.

   "Baiklah! Kuputuskan untuk menyelamatkan jiwanya, cuma akupun minta agar mereka menyanggupi permintaanku!"

   "Apa yang kau minta?"

   Tanya Lik-ih-hiat-li.

   "Amat sederhana, yakni akan kutolong jiwa-nya, tapi akupun hendak membunuh seorang lain."

   Permintaannya yang aneh ini, kontan saja mem-buat semua orang saling pandang dengan bingung. *** ( )*** Melihat semua orang membungkam dan lama sekali tak berbicara, nona berbaju biru itu kembali bertanya.

   "Apakah kalian tidak dapat terima per-mintaanku?"

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng menghela napas sedih, katanya.

   "Hidup manusia di dunia ini ter-batas sekali waktunya, pada akhirnya toh akan mati juga, Aii, Biarlah aku saja yang mati baginya."

   Nona berbaju biru itupun menghela napas de-ngan pedih, katanya.

   "Apa yang kau katakan me-mang betul, sekalipun seorang bisa hidup seratus tahun, akhirnya toh akan mati juga, jika kematian-nya bisa meninggalkan kesan yang mendalam di ha-ti orang, kematian semacam itulah kematian yang berharga. Baiklah! Kau boleh mati baginya dengan tenang!"

   Suaranya yang lembut itu terasa mengandung rasa sedih yang memikat, setiap katanya itu me-ngetuk lubuk hati orang, menimbulkan semacam perasaan tegang yang aneh.

   "He, budak setan, rupanya kau sudah sinting? Siapa suruh kau terima permintaannya?"

   Tiba-tiba Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau membentak. Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng tertawa pedih, ka-tanya.

   "Jik-locianpwe, terima kasih atas kasih sa-yangmu, Aii, manusia macam diriku ini, apa guna-nya hidup di dunia? Setelah mati nanti, tolong sampaikan berita ini kepada guruku, sekalian katakan bahwa budi kebaikan beliau biar kubalas pada pe-nitisan yang akan datang."

   Kata-katanya mengandung rasa sedih yang amat mendalam. Tampaknya Lik-ih-hiat-li dibikin terharu oleh luapan cinta gadis itu, tiba-tiba ujarnya dengan lembut.

   "Nona Cu, cinta kasihmu pasti akan di-ingat selalu oleh Bok Ji-sia serta aku selama hidup. Kau.kau tak perlu mati baginya, karena ia tak bisa menerima kasihmu yang agung ini. Dahulu *** ( )*** pernah kuterima budinya, maka biar aku saja yang mati untuk membalas budinya itu!"

   Padahal Lik-ih-hiat-li yang berbudi kepada Bok Ji-sia dan tak pernah berutang budi kepada anak muda itu.

   Ia bersedia mati karena masih terbayang oleh-nya peristiwa tragis masa lalu, ia bisa hidup sam-pai, sekarang oleh karena dorongan hatinya untuk menyelesaikan semacam tugas, bila tugas itu sele-sai, maka iapun akan bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya.

   Sebab musibah yang menimpa dirinya itu sungguh tragis dan mengerikan, ia merasa tak punya muka lagi untuk hidup di dunia ini.

   Tiba-tiba Pek Sat berkata dengan dingin.

   "Nona, kami hanya menghendaki kematiannya, bukan diri-mu!"

   Mencorong sinar mata tajam Lik-ih-hiat-li, di-tatapnya sekejap gadis itu, kemudian serunya de-ngan gusar.

   "Sejak kapan ia menunjuk orang? Ka-lau kau berani banyak bicara lagi, hati-hati bila ku-bunuh kau!"

   "Lik-ih-hiat-li,"

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng berseru dengan sedih.

   "ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripadaku, ia sangat membutuhkan perlindungan seseorang yang berilmu tinggi, lebih baik biarkan aku yang berkorban baginya. Hanya saja, sebelum kematianku tiba, beritahukan dulu kepadaku apa hubunganmu dengan dia?"

   "Baiklah! Nanti akan kuberitahukan kepadamu,"

   Jawab Lik-ih-hiat-li dengan sedih.

   Sementara itu si nona baju biru masih berdiri kaku di tempatnya seolah-olah sama sekali tidak mendengar kata-kata perpisahan mereka yang begitu memilukan hati, kemudian pelahan ia menghampiri Bok Ji-sia, berjongkok dan menarik sebelah tangan anak muda itu.

   Sekalipun ia tidak bicara apa-apa, tapi di ba-lik kain cadarnya telah terjadi perubahan mimik wajah, sayang *** ( )*** perubahan itu tersembunyi di balik kain cadar yang tipis hingga tidak terlihat dari luar.

   Setiap langkah nona berbaju biru itu tampak-nya mengandung suatu daya pengaruh yang luar biasa.

   Kesepuluh jari tangannya pelahan menggeng-gam tangan Bok Ji-sia, sekalipun tangan itu agak gemetar, namun tak seorang pun melihatnya.

   Sejenak kemudian, terdengar ia menghela na-pas dan berkata.

   "Enci Pek Sat, maafkan bila aku menyanggupi permintaan mereka tadi."

   Cu Giok-ceng terperanjat, serunya.

   "Kenapa? Apakah tak sanggup kau tolong jiwanya?"

   Pek Sat juga merasakan sesuatu yuog aneh, cepat ia tanya.

   "Nona, kenapa kau?"

   "Jika kutolong dia sekarang, maka suatu ke-tika dia pasti akan mecelakai semua anggota per-guruan kita."

   Keterangan ini sangat membingungkan semua orang, mereka tak tahu apa sebabnya ia berkata demikian. Lik-ih-hiat-li segera berkata dengan dingin.

   "Asalkan kalian orang-orang Hek-liong-kang tidak menyusahkan dia selanjutnya, pasti juga dia tak-kan membunuh kalian."

   Pak Sat mendengus.

   "Hm, hanya sedikit kepandaiannya ingin membunuh kami?"

   Nona berbaju biru itu menghela napas, kata-nya.

   "Kutahu dia berkepandaian tinggi, setelah sa-dar nanti, dia akan menjadi penghalang paling besar buat orang-orang Hek-liong-kang kami."

   Tentu saja Pek Sat tidak paham maksud ka-ta-katanya itu, tapi ia percaya Sumoaynya tak akan sembarangan bicara tanpa dasar, maka ujarnya ke-mudian.

   "Kalau begitu, jangan kau tolong dia!" *** ( )*** Nona berbaju biru itu menghela napas pan-jang, katanya.

   "Enci Pek Sat, kau toh tahu bahwa setiap ucapan yang kuutarakan tak pernah kujilat kembali? Ai, Baiklah, biar kusadarkan dia dulu, ke-mudian baru kubunuh dia lagi."

   Lik-ih-hiat-li menjadi amat gusar mendengar perkataan itu, teriaknya.

   "Eh, apakah kau ini orang gila? Kuperingatkan, jika kau berani mencelakainya lagi, maka kalian bertiga pun jangan harap bisa hidup."

   Pek Bi tertawa merdu.

   "Perempuan ini belul-betul bernyali besar, berani dia memaki nona kami. Hmm, sebentar kaupun akan terima nasib buruk!"

   "Enci Pek Bi,"

   Seru si nona berbaju biru tiba-tiba.

   "kita sudah dikepung orang!"

   Baru habis dia berseru, dari kejauhan terde-ngar seorang berkata dengan suara seram.

   "Tiga perempuan siluman dari Hek-liong-kang, ternyata kalian bersembunyi di sini, lihat saja hari ini kami akan hancur lumatkan tubuh kalian."

   Berbareng dengan suara itu, dari balik semak belukar sebelah kiri pelahan muncul dua orang, mereka adalah Si-hun-koay-sat-jiu dan Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin.

   Menyusul kemudian dari balik tanah pekuburan juga muncul sembilan orang, mereka dipimpin oleh Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, lalu muncul Hek-to-sam-koay, Mo-in-jiu Kok Siau-thian dan em-pat orang laki-laki berbaju ringkas.

   Gelak tertawa nyaring tiba-tiba berkumandang lagi.

   "Siapa menang dan kalah masih sukar dira-malkan, lebih baik kalian orang Tionggoan jangan bicara takabur lebih dulu"

   Dari balik dedaunan pohon yang lebat sana melompat keluar seorang kakek berambut putih, melayang keluar seperti burung, dengan entengnya melayang turun di belakang Pek Bi dan Pek Sat.

   *** ( )*** Untuk sesaat suasana arena menjadi tegang, suatu pertempuran sengit agaknya tak bisa dihindar-kan lagi.

   Tapi si nona berbaju biru masih tetap bersikap tenang, ia mendongakkan kepalanya memandang awan di angkasa, setelah itu ia mengalihkan kem-bali pandangannya ke wajah Bok Ji-sia di tanah.

   Oleh karena wajahnya tertutup oleh kain ca-dar, maka tidak diketahui perubahan air mukanya.

   Tapi hati Lik-ih-hiai-li agak tergerak, pikirnya.

   "Dia berdiri termangu di situ, entah apa saja yang dipikirkannya?"

   Sementara itu, sesudah kawanan jago persilatan yang baru muncul itu melihat keadaan dalam arena, masing-masing pihak segera timbul pikiran yang hampir sama, yakni merasa orang yang hadir saat ini, sebagian besar adalah tokoh yang sukar di-hadapi.

   Si-hun-koay-sat-jiu sekalian melirik sekejap Jian-kim-si-hun-pian yang dipegang Cu Giok-ceng, mereka tampak melengak, agaknya tak percaya bahwa ru-yung mestika yang menjadi rebutan setiap orang itu akhirnya muncul juga di hadapan orang banyak.

   Terutama sekali Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, rasa lesu dan kecewa menyelimuti wajahnya, usaha dan jerih payahnya selama bertahun-tahun pada akhirnya hanya sia-sia belaka.

   Ketika ia melihat tubuh Bok Ji-sia membujur kaku di atas tanah lantas timbul perasaan semacam ini.

   Tanpa terasa ia menghela napas dan berpikir.

   "Tampaknya sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian telah dirampas oleh Samte."

   Sebab berita tentang beradanya ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia hanya diketahui oleh Kwanliong Ciong-leng, dia sendiri dan samtenya, sedangkan kawanan jago lainnya be-lum ada yang tahu, apalagi hanya *** ( )*** Samtenya seorang yang mampu membinasakan Bok Ji-sia dewasa ini, maka tak heran kalau Oh Ku-gwat segera menebak sarung ruyung itu sudah dirampas oleh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian.

   Sementara itu, kawanan jago di sekitar arena te-lah maju mengepung Cu Giok-ceng dengan meman-carkan sinar mata aneh, jelas mereka berniat me-rampas ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian yang berada di tangan gadis tersebut.

   "Berhenti semua!"

   Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau segera membentak.

   "kalau berani maju selangkah lagi, akan kubunuh kalian, rasakan dulu kelihaian tongkat bajaku!"

   Kakek berambut putih dari Hek-liong-kang juga mengayun tongkatnya sambil membentak.

   "Si-apa berani maju, siapa pula yang roboh duluan, kalau tak percaya silakan mencobanya!"

   Semua jago yang hadir kenal nenek itu adalak Pek-pin-kui-po dari Bu-lim-jit-coat, semua orang pun telah menyaksikan betapa lihai ilmu silat ka-kek berambut putih itu, maka ketika kedua orang ini menghadang di depan mereka, serentak para jago pun menghentikan langkahnya.

   Si-hun-koay-sat-jiu tertawa seram, ejeknya.

   "Ne-nek setan, tak kusangka hari ini kau bisa bekerja sama dengan pihak Hek-liong-kang!"

   "Tua bangka sialan, jangan sembarangan bi-cara,"

   Bentak Pek-pin-kui-po Jik say-kiau dengan gusar.

   "sekarang nyonya besar hendak mencegah niat merampas ruyung kalian, karena dia adalah murid angkatku, murid resmi dari Kiu-thian-mo-li."

   Hati Si-hun-koay-sat-jiu tergetar mendengar perkataan itu, tanpa terasa ia memperhatikan seke-jap wajah Cu Giok-ceng yang dikatakan sebagai murid Kiu-thian-mo-li.jago paling tangguh dalam dunia persilatan masa lalu.

   *** ( )*** Sementara itu, di pihak lain, Hian-thian-koancu Kun-tun Cin-jin lagi tertawa menyindir.

   "Nenek se-tan, apakah kau ingin mengangkangi sendiri ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian?"

   "Apakah kau sengaja memusuhi diriku?"

   Jawab Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau ketus. Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin tertawa ter-bahak-bahak.

   "Hahaha, mana! Kukira setiap jago yang hadir di sini ini akan bermusuhan semua de-nganmu."

   Kun-tun Cinjin betul-betul seorang yang amat licik, dengan jelas ia menyadari dia dan Si-hun-koay-sat-jiu bukan tandingan beberapa orang itu, maka dia membakar hati para jago supaya mau bekerja sama dengan mereka.

   Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera tertawa nyaring, serunya.

   "Hidung kerbau, silakan kau tu-run tangan duluan, pasti akan kubantu nanti."

   "Hm, apakah Oh-lotoa ingin memetik hasil terakhir nanti?"

   Ejek Si-hun-koay-sat-jiu.

   "O, tidak berani! Sama sekali aku tidak ber-maksud demikian."

   Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin tertawa se-ram, teriaknya "Nenek setan, lebih baik kau me-nyingkir saja lebih dulu daripada kita harus me-ngingkari janji kita delapan belas tahun yang lalu."

   Air muka Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau berubah hebat, sedangkan Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tahu janji Bu-lim-jit-coat akan bertarung ulang delapan belas tahun berikutnya, ia tahu mereka hen-dak menggunakan pertarungan tersebut untuk me-netapkan urutan kelihaian ilmu silat masing-masing serta menyelesaikan segala pertikaian di antara me-reka, tapi sebelum pertarungan itu *** ( )*** berlangsung se-mua orang dilarang turun tangan sendiri-sendiri wa-lau menghadapi masalah bagaimanapun besarnya.

   Oleh karena itulah begitu Kun-tun Cinjin me-nyinggung soal janji tersebut, Jik Say-kiau segera hendak mengundurkan diri.

   Perlu diketahui, setiap umat persilatan umum-nya sangat taat janji, sekalipun persoalan itu menyang-kut keselamatan jiwa keluarganya, merekapun enggan mengingkari janji.

   Dengan suara nyaring Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng segera berseru.

   "Walaupun Bu-lim-jit-coat terikat oleh janji pada delapan belas tahun yang lalu, tapi sekarang janji itu sudah hapus, ma-sih apa ikatan apa lagi di antara kalian?"

   Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tertawa terba-hak-bahak.

   "Saudara Kwanliong, kau benar-benar tidak bersahabat, licik dan busuk, pintarnya cuma memutar-balikkan duduknya persoalan.."

   Belum habis ia berkata, tiba-tiba Lik-ih-hiat-li mendengus.

   "Kalau kalian ingin main gila, tung-gu sebentar lagi, aku pasti akan memenuhi semua harapan kalian."

   Mendadak si nona baju biru yang sedang me-nengadah memandang awan di angkasa itu menarik napas panjang, lalu berkata dengan pelahan.

   "Te-ngah hari telah tiba, saatnya sudah sampai. Nona Cu dan Kwanliong Cong-leng hendaknya menjaga di utara dan selatan, Pek Sat dan Pek Bi Cici ber-jaga di barat dan timur, sedang Lihiap berbaju hi-jau harap membantuku untuk mengobati lukanya."

   
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Perintah itu diutarakan cepat, setiap patah ka-tanya terdengar dengan jelas. Lik-ih-hiat-li memandang sekejap ke arah no-na baju biru itu, katanya.

   "Nona, bantuan apa yang bisa kulakukan?"

   "Sekarang salurkan tenaga Peng-sian-jit-gwat-ciang pada ujung jarinya dan tutuk jalan darah Jit-gwat dan Ngo-siu-hiat di tubuhnya!"

   Kata si nona baju biru. *** ( )*** Dengan marah Lik-ih-hiat-li membentak.

   "Se-ngaja ka suruh kubunuh dia dengan tanganku sen-diri?"

   "Cepat laksanakan apa yang kukatakan!"

   Seru si nona baju biru dengan gelisah.

   "lebih keras tutukanmu lebih baik."

   Kata-katanya mengandung daya pengaruh yang besar, membuat orang mau-tak-mau harus percaya pada perkataannya.

   Demi menyelamatkan jiwa Bok Ji-sia, terpaksa Lik-ih-hiat-li menghimpun tenaga Peng-sian-jit-gwat-ciang dan menutuk Jit-gwat-hiat di tubuh Bok Ji-sia.

   "Tutukanmu itu terlalu enteng,"

   Teriak si nona baju biru.

   "mungkin takkan mendatangkan hasil yang diharap, sekalipun bisa mempertahankan jiwa-nya, tapi dia akan cacat seumur hidup!"

   Lik-ih-hiat-ii terperanjat, buru-buru tenaga murni-nya dihimpun pada ujung jari, serangkum angin ta-jam dingin segera masuk ke Jit-gwat-hiat di tubuh Bok Ji-sia terus menembus Ngo-ku-hiat.

   Ketika jari tangannya meninggalkan jalan da-rah anak muda tersebut, dua pancuran darah se-gera menyembur keluar dari jalan darah Ji-gwat dan Ngo-ku-hiat di tubuh Ji-sia.

   "Cepat tutuk Yu-bun dan Im-tok-hiat lagi!"

   Cepat si nona berbaju biru berteriak. Menyaksikan cairan darah menyembur keluar dari tubuh anak muda itu, Lik-ih-hiat-li merasa se-dih, maka bentaknya demi mendengar perkataan si nona.

   "Dia.dia sudah kututuk mati!"

   Tapi mendadak Lik-ih-hiat-li melihat tubuh Bok Ji-sia yang semula kaku kini mulai bergerak-gerak.

   Tanpa pikir lagi tenaga murni Peng-sian-jit-gwat-ciang dikerahkan dan menutuk pula keras-keras pada Yu-bun dan Im-tok-hiat, menyusul tutukan *** ( )*** tersebut dua pancuran darah kembali menyem-bur keluar, tapi pancuran darah Ji-gwat dan Ngo-ku-hiat segera berhenti.

   Baru-baru si nona baju biru berseru pula.

   "Ce-pat tusuk Sin-kok, Wan-ci, Kwan-bun, Tay-ik, Thian-siu, Gwa-leng-hiat"

   Seperti apa yang diperintahkan, jari tangan ka-nan Lik-ih-hiat-li bekerja cepat menutuki keenam jalan darah itu di tubuh Bok Ji-sia, setiap kali ha-bis ditutuk, darah segar segera menyembur keluar dari jalan darah tersebut.

   Lemas hati Lik-ih-hiat-li melihat enam pancur-an darah dari tubuh anak muda itu.

   "Nona, apakah kau sengaja mempermainkan di-riku?"

   Keluhnya sedih. Nona baju biru itu seperti tidak mendengar keluhan tersebut, dengan termangu dia mengawasi pancuran darah yang menyembur keluar dari keenam jalan darah di tubuh Bok ji-sia tanpa berkedip. Tiba-tiba gadis berbaju biru berkata lagi.

   "Ce-pat himpun segenap kekuatan Peng-sian-jit-gwat-ciang dan siap melakukan pengobatan yang terakhir kali-nya, jika kali ini salah tindak, akibatnya semua usaha kita sebelumnya akan sia-sia belaka."

   Mendengar itu, diam-diam Lik-ih-hiat-li meng-gigit bibirnya sambil menghimpun segenap tenaga Peng-sian-jit-gwat-ciang, karena dia memang sangat ingin menyelamatkan jiwa Bok Jisia.

   Walaupun serangan ini sangat berbahaya, dia terpaksa harus berbuat, karena dengan menuruti perkataannya paling tidak masih ada harapan bagi pemuda itu untuk hidup.

   "Cepat gunakan telapak tanganmu memukul jalan darah Pek-hwi pada batok kepalanya!"

   Teriak si nona berbaju biru tiba-tiba.

   *** ( )*** Dalam keadaan demikian, Lik-ih-hiat-li tidak sempat berpikir lagi, dengan Peng-sian-jit-gwat-ciang langsung dihantamkan Pek-hwi-hiat di kepala Ji-sia.

   Begitu serangannya mengenal jalan darah ter-sebut, diam-diam Lik-ih-hiat-li berteriak sedih.

   "Anak Sia! Aku telah membunuhmu, aku telah membunuh-mu dengan tanganku sendiri."

   Rupanya ketika Lik-ih-hiat-li melancarkan se-rangan tadi tiba-tiba teringat olehnya bahwa Pek-hwi-hiat adalah salah satu di antara dua jalan darah kematian di tubuh manusia.

   Dari ketiga ratus tujuh puluh sembilan Hiat-to di tubuh manusia, Pek-hwi-hiat di atas batok ke-pala serta jalan darah Yong-cwan di telapak kaki merupakan dua jalan darah kematian bagi manusia, sebab di situlah terletak pusat syaraf tubuh ma-nusia bagian atas dan bawah.

   Bila kedua buah jalan darah tersebut kena di-hantam orang, akibatnya akan mati, kini Lik-ih-hiat-li telah menghantam jalan darah tersebut dengan segenap tenaga Peng-sian-jit-gwat-ciang, bisa diba-yangkan bagaimana mungkin jiwa Ji-sia bisa di-pertahankan? Karena itulah Lik-ih-hiat-li berteriak dengan sedih.

   Sebenarnya semua jago yang hadir itu sedang tertarik oleh cara pengobatan si nona berbaju biru yang aneh sehingga lupa memperebutkan ruyung emas jian-kim-si-hun-pian, tapi sekarang mereka disadarkan kembali oleh jeritan dan isak tangis Lik-ih-hiat-li yang memilukan hati itu.

   Diam-diam semua orang menghela napas, mereka ikut merasa terharu atas kematian jago muda yang lihai ini.

   Perasaan manusia memang serba bertentangan, sebetulnya setiap jago yang hadir sekarang sama mengharapkan kematian Bok Ji-sia, sebab mereka tahu anak muda itu adalah calon tokoh aneh du-nia persilatan, kemajuan kungfunya dicapainya secara mengejutkan, setiap orang tahu bila ia *** ( )*** berlatih se-lama beberapa tahun lagi, niscaya sulit untuk me-nemukan tandingannya, maka sebagai pihak lawan, mereka berharap bisa membinasakannya.

   Akan tetapi sekarang tatkala Bok Ji-sia akan mati, timbul juga rasa sayang dan terharu dalam hati mereka, perasaan yang bertentangan ini me-mang sulit dipahami.

   Si nona baju biru seakan-akan tidak mende-ngar teriakan dan keluhan Lik-ih-hiat-li, dia hanya memandangi pancuran darah yang masih menyembur keluar itu dengan termangu.

   Akhirnya, keenam pancuran darah itupun ber-henti menyembur Tapi mendadak nona berbaju biru itu menjerit, sekujur tubuhnya jadi gemetar.

   Jelas perasaannya diliputi kobaran emosi, ka-get dan kuatir.

   Cepat Pek Sat menghampirinya dan memayang tubuhnya, lalu bertanya.

   "Siocia, kenapa kau?"

   "O, enci Pek Sat, aku..aku telah mence-lakai diriku sendiri.."

   "Kenapa kau? Kenapa bisa mencelakai dirimu sendiri? Apakah dia sudah mati?"

   Tanya Pek Sat cemas.

   "Tidak, aku telah menyelamatkan dia,"

   Jawab nona itu lemah. Agaknya Pek Sat dapat memahami maksudnya, wajah yang selalu dingin dan kaku itu mendadak diliputi kemurungan, setelah menghela napas sedih, ia berkata lembut.

   "Siocia, jangan berpikir yang bukan-bukan, sekarang kita sedang menghadapi mu-suh yang banyak."

   Tiba-tiba terdengar helaan napas panjang yang memilukan hati, mendadak Lik-ih-hiat-li mengayun-kan tangannya *** ( )*** melancarkan pukulan berhawa di-ngin yang merasuk tulang ke arah si nona berbaju biru.

   Pek Sat dan Pek Bi cepat bertindak dengaa masing-masing memegang sebelah tangan si nona berbaju biru sambil melompat ke samping, semen-tara tangan yang lain sama melancarkan pukulan yang lunak tapi kuat.

   Ketika dua gulung angin pukulan saling bentur, tanpa menimbulkan suara segera lenyap tak berbekas.

   Lik-ih-hiat-li mendengus, seperti bayangan se-gera ia menubruk lagi ke depan.

   Tapi kakek berambut putih yang berjaga di sebelah timur itu segera menbentak, Mundur!"

   Tongkat diayunkan ke depan langsung meng-hantam tubuh Lik-ih-hiat-li yang sedang menerjang datang itu.

   Lik-ih-hiat-li tertawa dingin, ia melompat ke samping menghindarkan serangan kakek berambut putih itu.

   Si kakek memutar tangannya, tongkat yang se-mula menghantam dari atas ke bawah itu tiba-tiba berubah menjadi serangan menyamping.

   Lik-ih-hiat-li terperanjat, pikirnya.

   "Sungguh serangan yang cepat!"

   Dengan gesit ia melejit ke udara, tongkat itu persis menyapu lewat di bawah kakinya, begitu tu-buhnya mencapai tanah, segera ia mengayunkan ta-ngan kiri melancarkan pukulan balasan.

   Kakek berambut putih membentak, telapak ta-ngan kiri menangkis.

   "Brak!"

   Benturan keras terjadi, pusaran angin kencang mengibarkan ujung baju semua jago yang berada di sekitar arena.

   *** ( )*** Dengan sempoyongan si kakek tergetar mundur dua langkah, sebaliknya Lik-ih-hiat-li merasakan tangan kiri kesemutan akibat benturan keras tenaga pukulan lawan.

   Setelah bentrokan ini, keangkuhan kakek itu jauh berkurang, ia pun merasa terperanjat, ia tak menyangka seorang perempuanpun memiliki tenaga pukulan sedemikian kuatnya.

   Tiba-tiba si nona baju biru menghela napas sedih dan berkata.

   "Lik-ih-hiat-li, umpama kau ingin ber-tarung, sepantasnya kau tunggu sampai ia sadar kembali. Mendengar ucapan tersebut, Lik-ih-hiat-li ber-tanya dengan dingin.

   "Memangnya ia masih bisa sadar lagi!!?"

   "Bila dugaanku tak salah, lewat satu jam lagi dia akan sadar kembali!"

   Lik-ih-hiat-li menjadi ragu dan bingung, sung-guh ia tidak percaya pada kata-katanya.

   "Apa yang kau kuatirkaa?"

   Seru Pek Sat dengan suara yang dingin bagaikan es.

   "belum pernah Siocia kami gagal menyembuhkan luku orang."

   "Semoga saja kemikian, jika dalam satu jam ia tak sadar kembali, segera akan kurenggut nyawa kalian,"

   Jengek Lik-ih-hiat-li. Dari sakunya si nona baju biru itu mengeluar-kan sebutir pil, lalu diangsurkan kepada Lik-ih-hiat-li.

   "Minumkan pil ini kepadanya,"

   Ia berkata dengan dingin.

   "dalam seperempat jam lagi ia akan sadar, tapi akupun hendak memperingatkan dirimu, bila ia sadar nanti, segera akan kuperintahkan orang-orangku untuk membunuhnya."

   Tertegun Lik-ih-hiat-ii mendengar perkataan itu, akhirnya ia terima juga pil itu.

   "Nona,"

   Katanya kemudian.

   "kalau ia sudah kau tolong, kenapa hen-dak kau bunuh dia lagi?" *** ( )*** Nona berbaju biru itu menghela napas.

   "Ai, jangan kau tanya apa sebabnya, aku hendak mem-bunuhnya karena aku mempunyai alasan yang cu-kup kuat."

   "Baiklah,"

   Kata Lik-ih-hiat-li kemudian sambil menghela napas.

   "bila kau hendak membunuhnya, akupun akan berada di sisinya untuk melindungi ke-selamatan jiwanya."

   "Huh, untuk melindungi nyawa sendiri saja belum tentu mampu, masih ingin melindungi orang lain?"

   Jengek Pek Sat dingin.

   Mencorong sinar mata Lik-ih-hiat-li, agaknya dia hendak mengumbar hawa amarahnya, tapi ketika teringat akan diri Jisia, terpaksa ia tahan rasa gu-sarnya dan pelahan berjalan mendekati anak muda itu.

   Melihat air mukanya yang pucat seperti mayat, timbul lagi rasa sedihnya, titik air mata pun ber-cucuran membasahi pipinya.

   Dengan paksa ia membuka mulut Ji-sia yang terkatup rapat itu dan menjejalkan pil berwarna pu-tih itu ke dalam mulutnya, kemudian ia berdiri di sisinya untuk menunggu terjadinya perubahan.

   Dalam pada itu, di tengah arena mendadak berkumandang suara suitan yang membetot sukma.

   Ternyata Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng dengan ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian di tangan kanan dan memutar pedang di tangan kiri sedang melang-sungkan pertarungan sengit melawan Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin.

   Suara suitan yang membetot sukma itu ternyata berasal dari denging ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian.

   Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin adalah salah seorang jago lihai yang namanya sederetan dalam Bu-lim-jit-coat, agar maksudnya merampas Jian-kim-si-hun-pian terwujud, ia telah *** ( )*** melolos pedangnya dan dengan kebut ditangan kiri melancarku se-rangan dengan jurus-jurus yang lihai.

   Tenaga dalam Cu Giok-ceng masih kalah se-tingkat dari musuh, seringkali pergelangan tangan-nya kaku tergetar oleh tenaga musuh, hampir saja pedang terlepas, tapi dasar bandel, dengan nekat ia tetap melakukan perlawanan dengan gigih.

   Untung ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian adalah senjata sakti, pedang maupun kebut Kun-tun Cinjin tak berani menyentuh ketajaman ruyung mestika tersebut.

   Suatu ketika, mendadak Cu Giok-ceng mem-bentak, ia hentikan serangan pedang tangan kiri, sebaliknya ruyung mestika di tangan kanannya se-gera melancarkan serangan gencar.

   Makin bertempur Kun-tun Cinjin semakin ter-peranjat, ia tak menyangka muda-mudi jaman se-karang semuanya memiliki ilmu silat yang tak ka-lah hebatnya dibandingkan jago-jago kenamaan ma-sa lampau.

   Mendadak ia merasakan kekuatan yang mene-kan tubuhnya kian bertambah besar, cahaya tajam berwarna keemasan dengan membawa desing angin tajam yang luar biasa sungguh sukar untuk ditahan.

   Setiap kali Kun-tun Cinjin menusuk dengan suatu jurus pedang, Cu Giok-ceng selalu meng-hadapinya dengan keras, seringkali ia harus batal-kan serangan di tengah jalan.

   Lama-lama timbul juga amarah Kun-tun Cin-jin, mendadak ia membentak, kebut di tangan kiri secepat kilat menyambar pergelangan tangan kiri Cu Giok-ceng.

   Cepat si nona menghimpun tenaga pada ta-ngan kanan, ruyung menyabat ke arah senjata ke-but lawan, ia tahu Jian-kim-si-hun-pian amat tajam dan sanggup memotong emas dan baja, ia berniat hendak menghancurkan senjata kebut lawan.

   *** ( )*** Siapa-tahu Kun-tun Cinjin sengaja mengatur siasat di balik serangannya itu, begitu kebut meng-hantam ke depan, tubuhnya terus melejit ke udara, dengan sendirinya kebut juga terhindar ancaman ruyung.

   Ilmu meringankan tubuhnya cukup sempurna, sekali melompat lebih dua tombak tingginya, setelah berjumpalitan beberapa kali, pedang di tangan kanan dan kebut di tangan kiri secepat kilat melan-carkan serangan ke bawah.

   Meski Cu Giok-ceng adalah jago muda yan hebat, tapi baru pertama kali ini ia saksikan kepan-daian sakti Kun-tun cinjin.

   Bukan cuma Cu Giok-ceng saja, bahkan Si-hun-koay-sat-jiu dan Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau yang terhitung juga tokoh Bu-lim-jit-coat pun me-rasa kepandaian Kun-tun Cinjin ini belum pernah mereka saksikan pada delapan belas tahun yang lalu.

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng jadi terkesiap, se-ketika dia tak tahu bagaimana caranya menghadapi serangan lawan, cepat-cepat ruyung mestika di ta-ngan kanannya diputar ke atas hingga menciptakan selapis cahaya emas untuk melindungi kepala, ber-bareng itu tubuhnya bergeser tiga-empat langkah ke samping.

   Di tengah teriakan dan bentakan, cahaya pe-dang itu lenyap, tahu-tahu Bok Ji-sia yang tadi menggeletak di tanah kini sudah berdiri tegap di tengah arena.

   Semua jago sama terbelalak dengan mulut me-longo, untuk sesaat mereka berdiri tertegun.

   Kejut dan girang Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng, serunya merdu.

   "Bok.Bok Ji-sia, kau.kau telah hidup kembali."

   Ji-sia menggerakkan tangan kirinya dan ber-seru.

   "Nona, minggirlah kau!"

   Lalu dengan cepat ia bergerak maju.

   Dengusan tertahan menggema, Hau Wi-kang, jago Hek-to-sam-koay yang berjuluk Eng-jiau-jiu itu tahu-tahu terbanting *** ( )*** ke tanah, ternyata peluang tadi digunakan Hau Wi-kang untuk menerjang ma-ju sambil menyambar ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian yang terlempar di tanah itu.

   Eng-jiau-jiu Hau Wi-kang termakan telak oleh pukulan Bok Ji-sia yang dahsyat itu, sedemikian hebatnya serangan itu, bukan saja tanpa menimbul-kan sedikit suara pun, bahkan orang lain tak sem-pat melihat jelas gerak serangannya, hanya tahu-tahu Eng-jiau-jiu Hau Wi-kang yang namanya meng-getarkan dunia persilatan itu sudah terhajar binasa seketika.

   Tapi pada saat itu juga kebut di tangan kiri Kun-tun Cinjin secepat kilat membelit pergelangan tangan Giok-ceng, bila ditarik, tangan gadis itu niscaya akan kutung.

   Cu Giok-ceng menjerit kaget, telapak tangan kiri segera menghantam ke depan.

   "Lepas tangan!"

   Bentak Kun-tun Cinjin.

   Mendadak kebut digetarkan dan ditarik, karena kesakitan di pergelangan tangannya, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian segera mencelat ke udara..

   Secepat kilat Kun-tun Cinjin melambung ke atas dan meraih ruyung mestika tersebut.

   Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cu Giok-ceng yang angkuh dan keras kepala segera juga membentak, pada saat yang sama ia pun melayang ke atas.

   Beruntun telapak tangan kirinya melancarkan tiga kali serangan berantai.

   Akan tetapi tubuh Kun-tun Cinjin telah ber-jumpalitan di udara, telapak tangan kanannya me-nyambut serangan si nona.

   Pertarungan yang mengapung di udara meng-utamakan ketepatan waktu, tatkala Cu Giok-ceng melancarkan serangan tadi, secara kebetulan Kun-tun Cinjin sedang berjumpalitan di *** ( )*** udara sambil menyerang, oleh karena itu tubuhnya jadi berada di bawah kurungan telapak tangan lawan.

   Tampaknya pukulan itu segera akan bersa-rang telak di bagian mematikan di dada Cu Giok-eeng.Tiba-tiba menyambar datang cahaya putih.

   Cahaya pelangi putih itu menyambar datang dari atas tanah dan langsung membabat pinggang Kun-tun Cinjin.

   Terkesiap Kun-tun Cinjin menghadapi jurus pe-dang yang demikian cepatnya, sebab cahaya putih pelangi itu bagaikan pedang terbang yang merupakan kepandaian tertinggi dalam dunia persilatan.

   Mendadak Kun-tun Cinjin mendoyongkan tubuh dan melejit, tiba-tiba tubuhnya melambung tiga kaki lebih ke atas.

   Sekalipun reaksinya cukup cepat toh terasakan juga desing angin pedang yang dingin menyambar lewat.

   Sedangkan ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian dengan cepat meluncur ke permukaan tanah.

   Kawanan jago persilatan yang berada di bawah serentak membentak dan berlomba melompat ke depan untuk memperebutkan benda mestika itu.

   Cahaya pelangi putih yang terpancar di udara itu tiba-tiba berubah menjadi berpuluh-puluh titik bintang yang berhamburan ke bawah, dibalik kabut sinar pedang yang tebal menggulung pula angin puyuh yang kencang.

   Tapi Kun-tun Cinjin segera berjumpalitan di udara, secepat kilat ia melompat ke belakang ga-dis itu, selapis bunga pedang segera mengurung tu-buh Cu Giok-ceng, berbareng itu senjata kebut di tangan kiri menyabat pergelangan tangan si nona pula.

   Tadi Cu Giok-ceng berhasil menguasai keadaan dengan mengandalkan kehebatan ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian, tapi sekarang ia malah terde-sak hingga musuh yang berbalik menguasai keadaan.

   *** ( )*** Tiba-tiba bentakan nyaring berkumandang di-sertai suara bentrokan senjata.

   Akibat bentrokan tersebut, pedang di tangan kiri Cu Giok-ceng sampai terpental oleh pedang Kuntun Cmjin.

   Cu Giok-ceng benar-benar keras kepala, mes-ki pedangnya terpental, namun semangat tempurnya masih tinggi, sambil memutar badan ia menghindari sabatan kebut dan bacokan pedang musuh.

   Kemudian gadis itu melompat ke udara, ruyung mestika berputar kencang dan menghantam batok kepala Kun-tun Cinjin.

   Kun-tun Cinjin tertawa dmgin, pedang diayun ke muka menyongsong serangan ruyung itu.

   "Cring!"

   Denting nyaring bergema, pedang Kun-tun Cinjin terpapas kutung menjadi dua bagian. Selesai membunuh Eng-jiau-jiu Hau Wi-kang, dengan angkuh Bok Ji-sia berkata.

   "Barang siapa bosan hidup, silakan saja coba merampas Jian-kim-si-hun-pian ini!"

   Si nona berbaju biru tadi segera berseru.

   "Ji-suheng, cepat kau bunuh dia!"

   Kakek berambut putih itu membentak terus menerjang maju, tongkat bajanya diputar kencang dengan jurus Bong-hong-hu-sian (angin puyuh menderu-deru) dan langsung menyapu pinggang Bok Ji-sia.

   Mengerikan sekali serangan ini, Cu Giok-ceng yang menonton di samping berseru kuatir.

   Ji-sia tertawa dingin, tubuhnya bergeser ke samping dengan gerakan aneh, pedangnya dengan cepat menabas tangan kakek berambut putih itu.

   Gerakan menghindar kr samping serta maju menyerang ini boleh dibilang dilakukan hampir ber-sama waktunya.

   Tongkat si kakek berambut putih belum sem-pat ditarik kembali dan tak sempat menangkis, ter-paksa ia menarik tangan dan *** ( )*** miring ke samping.

   Gagal dengan serangannya, Ji-sia menubruk maju lagi, beruntun ia melancarkan tiga kali se-rangan kilat, kakek berambut putih itu terdesak mundur lagi dua langkah.

   Kakek itu menjadi murka, bentaknya.

   "Kurangajar, kau cari mampus!"

   Tongkat membawa deru angin tajam secepat kilat menyapu ke depan.

   Bok Ji-sia miringkan badan sambil melompat mundur.

   Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang berada di tepi arena cepat melompat maju dan menyambar Jian-kim-si-hun-pian yang tergeletak di tanah itu.

   Hian-thian Koancu Kun-tun Cinjin tidak ting-gal diam, ia menerjang maju, kelima jari tangan se-gera mencengkeram.

   "Minggir!"

   Seorang membentak, tahu-tahu Lik-ih-hiat-li juga menubruk tiba, telapak tangan kiri-nya terus menghantam.

   Hian-thian Koancu Kuntun Cinjin cukup tahu kesempurnaan tenaga dalamnya, setiap gerakan pe-rempuan itu mungkin saja merupakan serangan ma-ut, maka buru-buru ia melompat ke belakang.

   Di pihak lain Si-hun-koay-sat-jiu tanpa me-nimbulkan suara sedikitpun mendekat ke belakang Cu Giok-ceng, secepat kilat ia mencengkeran pergelangan tangan kanan si nona yang memegang ruyung, seketika itu seluruh tenaga Cu Giok-ceng lenyap, ruyung mestika itupun jatuh ke tanah.

   Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau membentak, tong-kat berputar dengan kuat terus menyapu ke depan.

   Sesungguhnya Si-hun-koay-sat-jiu tidak ber-niat melukai Cu Giok-ceng, maka setelah ruyung emas itu jatuh ke tanah, ia lantas menyambarnya dengan tangan kiri.

   Tapi saat itulah tongkat Pek-pin-kui-po telah menyambar dari belakang, terpaksa dia mengangkat kaki kanan, Jian-kim-si-hun-pian *** ( )*** didepak ke sana seraya berteriak.

   "Hidung kerbau, cepat sambut benda ini!"

   Cahaya keemasan berkelebat, ruyung mestika itu meluncur ke arah Hian-thian-koancu.

   Cepat Kun-tun Cinjin menyambar ruyung mes-tika itu dengan tangan kanan.

   Tapi tangan kanan Lik-ih-hiat-li yang putih tahu-tahu meraih lebih dahulu.

   Hun-thian-koancu Kun-tun Cinjin jadi gelisah melihat ruyung mestika itu bakal jatuh ke tangan orang, segera ia melepaskan pukulan dahsyat yang mementalkan ruyung itu lebih jauh ke depan.

   "Prak!"

   Ruyung itu tepat jatuh di depan ketiga gadis dari Hek-liong-kang, Si nona berbaju biru itu segera mengambil ruyung mestika itu, ujarnya sambil tertawa.

   "Hei, ini yang kalian perebutkan! Kenapa ruyung ini malah kalian antar ke hadapanku?"

   Serentak semua orang yang bertarung berhenti bergerak, sedang si kakek berambut putih melompat ke depan ketiga orang gadis, tongkat bajanya di-rentangkan dengan sikap yang kereng.

   Pelahan para jago melangkah maju dan me-ngepung rapat keempat orang itu.

   Tiba-tiba Ji-sia menyerahkan kembali pedang-nya kepada Cu Giok-ceng seraya berkata.

   "Nona Cu, kukembalikan pedang ini padamu!"

   Rupanya waktu Ji-sia sadar tadi, pedang Cu Giok-ceng yang dipentalkan oleh pukulan Kun-tun Cinjin kebetulan jatuh tak jauh di sisi tubuhnya. Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng menerima kem-bali pedangnya, katanya dengan tersenyum.

   "Coba kalau tidak kau tolong diriku tadi, niscaya aku su-dah celaka."

   Bicara sampai disini, tiba-tiba ia menghela na-pas sedih dan menitikkan air mata. *** ( )*** Ji-sia menjadi heran.

   "Nona, kenapa kau?"

   Tegurnya.

   "Bok-siangkong."

   Tiba-tiba Cu Giok-ceng meratap sedih, ia melangkah maju dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan anak muda itu. Buru-buru Bok Ji-sia mengegos dan menahan bahu si nona dengan tangan.

   "Nona, kenapa."

   "Bok Ji-sia, peluk dia!"

   Kata Lik-ih-hiat-li sambil menghela napas.

   "Apa katamu?!"

   Seru Ji-sia kaget.

   "Tak lama lagi nona Cu akan mati!"

   Ucap Lik-ih-hiat-li sedih.

   "Kenapa?"

   Seru Ji-sia terkejut.

   "Demi menyelamatkan jiwamu, ia rela mengor-bankan jiwa sendiri untuk menukar jiwamu dari tangan si nona berbaju biru itu."

   "Sebenarnya apa yang kau maksudkan?"

   Tanya Ji-sia bingung.

   "dapatkah kau terangkan lebih jelas?"

   Cu Giok-ceng mengira Ji-sia sengaja berlagak pilon, pedih hatinya, tak kuasa lagi ia menangis tersedu-sedu.

   "Kau laki-laki tak berperasaan!"

   Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau membentak dengan gusar.

   "demi kau, ia rela mengorbankan jiwanya, tapi kau malah ber-sikap demikian.."

   "Jangan menyalahkan dia Jik-locianpwe,"

   Pinta Cu Giok-ceng sambil menangis.

   "semua ini adalah atas kemauanku sendiri." "Bok Ji-sia"

   Pelahan Lik-ih-hiat-li berkata.

   "tadi kau menderita luka yang parah, racun telah merasuk tulangmu hingga nyawamu berada di am-bang akhirat, tak seorang pun di dunia ini yang sanggup menyembuhkan lukamu kecuali si perem-puan berbaju biru itu, karena kau terkena racun Bu- *** ( )*** siang-teh-im-hu-kut-kang yang lihai. Tapi waktu hendak menolongmu, nona berbaju biru itu me-nyatakan bila ingin dia menolongmu, maka iapun menghendaki nyawa lain sebagai penggantinya. Nona Cu rela mengorbankan jiwanya demi menyelamat-kan dirimu, untuk memenuhi janji seorang ksatria, setelah kau sembuh, kini iapun harus"

   


Antara Budi Dan Cinta -- Gu Long Si Racun Dari Barat -- Jin Yong Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung

Cari Blog Ini