Ceritasilat Novel Online

Anak Rajawali 45


Anak Rajawali Karya Chin Yung Bagian 45


Anak Rajawali Karya dari Chin Yung   Orang tua itu she Bun dan bernama Siang Cuan.   Dia sejak muda memang senang sekali akan ilmu silat, dan juga telah melatih diri.   Ayahnya seorang hartawan kaya raya.   Tapi ketika orang tuanya mati, dan harta warisan jatuh ke tangannya, ia mempergunakan uangnya buat mengundang puluhan orang guru silat, yang melatihnya dengan sepenuh perhatian.   Kemudian dengan uangnya itu ia juga telah berkelana mencari-cari guru yang pandai.   Memang setiap kali ia mempelajari ilmu silat, ia berhasil mempelajarinya dengan mudah sekali, karena ia selain sangat cerdas pun memang memiliki bakat yang sangat baik sehingga setiap ilmu silat yang diajarkan kepadanya selalu dapat dicernakannya dengan cepat.   Namun sejauh itu Bun Siang Cuan tidak juga puas dengan hasil yang telah di capainya.   Ia terus juga mencari guru-guru pandai, sampai akhirnya ia mendatangi Siauw-lim-sie.   Tapi ia ditolak karena Hong-thio Siauw-lim-sie beranggapan seorang seperti Bun Siang Cuan yang begitu besar keinginannya buat mempelajari ilmu silat, dan juga diwaktu itu telah memiliki berbagai macam ilmu silat yang campur aduk, merupakan "bahan"   Yang tidak baik buat dididik Siauw-lim-sie.   Permintaannya ditolaknya, walaupun Bun Siang Cuan berulang kali telah datang buat memohon agar dirinya diterima menjadi murid Siauw-lim-sie.   Akhirnya Bun Siang Cuan bersakit hati karena tolakan Siauw-limsie.   Iapun bertekad walaupun bagaimana dia harus mempelajari ilmu silat yang tinggi, guna membuktikan kelak kepada Siauw-limsie, bahwa ia sesungguhnya merupakan murid yang baik sekali buat dididik.   Di waktu itu, ia telah berlatih dengan tekun.   Tekadnya semakin kuat untuk memperoleh kepandaian yang tinggi.   Kemajuan yang dicapai oleh Bun Siang Cuan memang pesat sekali.   Dia telah berhasil untuk memupuk ilmunya, yang dari berbagai dan campur aduk itu menjadi semacam ilmu yang berkombinasi, membuat diapun tidak mudah untuk dirubuhkan oleh lawan yang berkepandaian tanggung-tanggung.   Malah cukup banyak jago-jago rimba persilatan yang punya nama di dalam kalangan Kang-ouw telah dirubuhkannya.   Hanya saja, disebabkan nafsunya yang begitu besar untuk dapat merubuhkan orang rimba persilatan sebanyak mungkin, disamping untuk mempelajari ilmu silat Bun Siang Cuan pun jadi memiliki musuh yang tidak sedikit, membuatnya sering dikejar-kejar oleh jago-jago Kang-ouw ternama.   Untuk menghadapi jago-jago ternama itu jelas Bun Siang Cuan belum lagi memiliki kemampuan, sehingga dia telah melarikan diri ke berbagai tempat.   Di samping itu, tekadnya untuk mempelajari ilmu silat semakin kuat.   Dia baru mengerti, betapa pentingnya ilmu silat, karena dengan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tentu dia perlu jeri lagi kepada jago-jago rimba persilatan.   Dikala dia melarikan diri ke perbatasan Sin-kiang, ia bertemu dengan seorang tua, yang ternyata merupakan seorang tokoh sakti Tibet.   Hanya saja jago tua yang aneh itu tidak mau memberitahukan namanya, dia cuma menurunkan ilmu silatnya tanpa bersedia Bun Siang Cuan memanggilnya sebagai guru.   Dengan demikian telah membuat Bun Siang Cuan memperoleh kepandaian yang beberapa lipat lebih tinggi dari sebelumnya.   Hatinya jadi besar dan dia pun segera juga kembali ke daratan Tiong-goan.   Dia mencari musuh-musuhnya.   Dia berhasil merubuhkan beberapa orang di- antara mereka.   Hanya sebagian lagi dari musuh-musuhnya itu bekerja sama dan melakukan pengejaran padanya.   Dikeroyok oleh jago-jago yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu membuat Bun Siang Cuan tidak berdaya lagi dan dia melarikan diri pula.   Karenanya, dia bermaksud menyingkir dari Tiong-goan, buat pergi ke Tibet, dengan harapan di sana tentu dia bisa bertemu dengan orang-orang pandai seperti gurunya.   Sepuluh tahun ia berada di Tibet, memang cukup banyak orang pandai di sana yang menurunkan kepandaian kepadanya! Tapi ketika ia kembali ke daratan Tionggoan, ternyata kepandaiannya itu tidak berarti apa-apa.   Hal ini membuat dia berduka, karena musuh-musuhnya juga semakin maju dengan kepandaian mereka.   Bun Siang Cuan segera berpikir bahwa ia harus benar-benar memperoleh semacam ilmu yang hebat, barulah dia bisa memiliki kepandaian yang tidak tertandingkan.   Waktu ia menyingkirkan diri lagi ke Nepal, ia berkenalan dengan seorang gadis.   Mereka jatuh cinta dan menikah.   Ternyata ayah gadis itu, seorang kakek tua, merupakan seorang jago terpendam dari Nepal yang sudah siang-siang menyimpan pedang dan mengasingkan diri.   Mengetahui mantunya senang mempelajari ilmu silat, dia mengajari lagi, membuat kepandaian Bun Siang Cuan memperoleh kemajuan lagi.   "Tapi ilmu silat tidak ada batasnya, sampai kapanpun kau mempelajarinya, tidak mungkin hanya engkau seorang diri yang memiliki kepandaian tinggi, sebab banyak juga orang lain yang mati-matian mempelajari ilmu silat! "Aku memiliki se   Jilid kitab ilmu silat kuno yang belum pernah kupelajari.   Jika memang kau menginginkannya, aku akan menghadiahkannya kepadamu.   Usiamu masih muda, kau boleh mempelajarinya.....   "Tapi ada ancaman pada kitab itu, jika seseorang yang tidak kuat mempelajari isi kitab itu, jika umpamanya orang itu melatihnya salah dan tersesat, orang itu akan sinting dan gila.....   Karenanya jika memang engkau merasa belum memiliki kepandaian dan kesangggupan buat mempelajari isi kitab itu, kau jangan mempelajarinya dulu!"   Begitulah pesan mertua Bun Siang Cuan sebelum meninggal dunia karena sakitnya yang berat.   Bukan kepalang girangnya Bu Siang Cuan menerima kitab pusaka tersebut.   Diapun segera mulai mempelajari.   Baru mempelajari beberapa jurus saja, kepandaiannya sudah mengalami kemajuan yang hebat dan menakjubkan, seperti langit dengan bumi dibandingkan dengan kepandaiannya di waktu yang lalu.   Semangat Bun Siang Cuan terbangun, dia mati-matian mempelajari kitab itu.   Kepandaiannya menjadi luar biasa.   Cuma saja, dia jadi melupakan isterinya, yang membuat isterinya jadi berduka dilanda kesepian, karena Bun Siang Cuan lebih sering mengurung diri buat mempelajari ilmu silatnya.   Tidak jarang sampai setengah tahun Bun Siang Cuan tidak menyentuh isterinya.   Dengan demikian berangsur-angsur isterinya menjadi merana dan akhirnya jatuh sakit ketika ia dalam keadaan mengandung muda.   Bukan main berdukanya Bun Siang Cuan.   Dia dapat dua pilihan menyudahi dulu latihannya pada ilmu silat di kitab pusaka itu atau memang dia kehilangan isteri dan calon anaknya.   Tapi desakan jiwanya yang ingin memperoleh ilmu silat yang tinggi demikian kuat.   Dia hanya sempat lima hari menghentikan latihannya, setelah itu ia giat lagi berlatih ilmu silatnya.   Isterinya kecewa bukan main, sehingga akhirnya dia menderita sakit yang semakin parah, yang membuatnya meninggal dunia.   Bukan main kaget dan berdukanya Bun Siang Cuan, dia menangis menggerung-gerung sampai beberapa hari lamanya.   Dan ia menyesali, sekarang biarpun ia memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tokh percuma saja.   Dia telah kehilangan orang yang disayanginya, juga kehilangan calon anaknya.   Demikian berdukanya, sehingga selama beberapa tahun dia berkelana dan tidak pernah melatih diri.   Akhirnya, karena terlalu memikirkan calon anaknya yang lenyap dengan kematian isterinya akibat kurangnya perhatiannya, Bun Siang Cuan bermaksud mengambil seorang anak.   Dia tidak ingin menikah lagi, cuma saja dia pun tidak tahu anak siapa yang pantas diambil sebagai anaknya.   Pada suatu hari, ketika ia berjalan-jalan di sebuah hutan, dia melihat kera yang tengah melahirkan.   Kera itu agak luar biasa, berbulu kuning.   Dan di lihatnya anak kera itupun bersih sekali.   Maka segera tanpa dipikir panjang, dia menculik anak kera itu, kemudian dianggap sebagai anaknya! Sejak saat itu, Bun Siang Cuan dengan "Anaknya"   Yang diberi nama Kim Go (Monyet Emas) itu, berdiam di dalam hutan yang sepi dan terpencil.   Dia melatih ilmu silatnya terus dengan giat dan tidak pernah menampakkan diri di dalam rimba persilatan.   Demikian juga kepada Kim Go telah diturunkan pelajaran ilmu silat.   Sayangnya Kim Go hanya seekor monyet yang tidak bisa menerima dengan baik dan sempurna akan ilmu silat yang diajarkan Bun Siang Cuan.   Begitulah, tanpa dirasa puluhan tahun telah lewat.   Dan selama itu Bun Siang Cuan tidak pernah menampakkan diri di dunia persilatan.   Usianya telah lanjut, rambutnya semua telah berobah putih dan Kim Go pun telah berusia puluhan tahun.   Mengenai monyet berbulu kuning itu, dia memang sejenis monyet yang memiliki usia panjang dan juga hidup dengan sikap dan kelakuan seperti manusia.   Dia memang merupakan monyet yang sangat aneh sekali, sehingga biarpun berusia puluhan tahun, dia masih tampak kuat dan sehat.   Begitulah ayah dan "Anak"   Telah hidup dengan tenteram di hutan itu. Sampai akhirnya, timbul juga keinginan di hati Bun Siang Cuan untuk melihat-lihat keadaan di dunia luar. Dia mengajak "Anaknya"   Untuk meninggalkan hutan itu.   Dia lalu mendengar perihal Oey Yok Su berlima dengan Ong Tiong Yang, Auwyang Hong, It Teng Taysu dan Ang Cit Kong, yang selalu bertanding untuk memperebutkan gelar siapa yang tertinggi kepandaiannya.   Hati Bun Siang Cuan telah tawar, dia tidak berselera untuk ikut mencampuri urusan tersebut.   Karena itu, dia telah hidup menyendiri lagi.   Puluhan tahun telah lewat lagi, dia hidup dalam suasana yang sepi dan terasing bersama Kim Go.   Sampai akhirnya siapa sangka, dia bersama Kim Go telah bertemu dengan Oey Yok Su.   Mengetahui orang yang dijumpainya adalah Oey Yok Su, segera juga kumat lagi penyakit-penyakit lamanya.   Ia ingin mencoba kepandaian yang telah dipelajarinya dari kitab pusaka yang diterimanya dari mertuanya.   Ternyata kepandaiannya memang tinggi, karena Oey Yok Su tidak mudah buat merubuhkannya.   Dan semua peristiwa yang terjadi telah diikuti oleh anda sekalian di bagian depan.   Sekarang mari kita ikuti Bun Siang Cuan yang tengah mengejar Kam Lian Cu.   Dia berlari begitu pesat, tubuhnya seperti terbang, dan juga kera bulu kuning itu, telah mengikutinya dengan sama cepatnya.   Kam Lian Cu telah melarikan diri dengan sekuat tenaganya mengerahkan ginkangnya, dia bermaksud untuk pergi sejauh mungkin, agar lolos dari tangan Bun Siang Cuan.   Tapi siapa sangka, belum lagi dia berlari terlalu jauh, dia telah melihat Bun Siang Cuan yang tengah mengejarnya, berlari-lari bersama si monyet bulu kuning itu.   Bukan main kagetnya Kam Lian Cu.   Semula ia menduga Ko Tie dengan dibantu oleh burung rajawali itu, tentu akan dapat menghadapi Bun Siang Cuan.   Siapa tahu, justeru kini Bun Siang Cuan tengah berlari-lari mengejarnya, juga di belakang Bun Siang Cuan tampak si kera bulu kuning yang dibenci oleh si gadis.   Mati-matian dia berusaha berlari lebih cepat lagi, untuk dapat menyingkirkan diri.   Tapi dia ternyata tidak bisa melepaskan diri dari kejaran Bun Siang Cuan, karena beberapa saat kemudian Bun Siang Cuan telah berhasil mengejarnya dan hanya terpisah beberapa tombak lagi.   "Berhenti, atau aku akan turun tangan mencelakai kau!"   Bentak Bun Siang Cuan.   Tapi Kam Lian Cu mana mau berhenti berlari, dia terus juga mengerahkan gin-kangnya buat berlari semakin cepat.   Bun Siang Cuan rupanya jadi mendongkol, dia menggerakkan tangan kanannya.   Seketika serangkum angin menyerang Kam Lian Cu, menotok jalan darahnya.   Si gadis yang tengah mati-matian berlari mempergunakan seluruh tenaganya, jadi kaget waktu merasakan tubuhnya jadi lemas tidak bertenaga, dan dia terjungkel rubuh bergulingan di tanah.   Waktu Kam Lian Cu menyadari apa yang terjadi, Bun Siang Cuan bersama Kim Go, kera bulu kuning itu, telah berdiri di sampingnya.   Kera itu menyeringai seperti seorang pemuda yang bernafsu birahi terhadap seorang gadis cantik jelita.   Dikala itu tampak Bun Siang Cuan tertawa bergelak-gelak.   "Walaupun bagaimana kau tidak mungkin bisa terlepas dari tanganku!"   Katanya kemudian. "Hemmm, walaupun bagaimana engkau harus menjadi mantuku, harus menikah dengan puteraku......!"   Si gadis she Kam jadi mengeluh, tapi dia benar-benar tidak berdaya.   "Bebaskan aku, aku akan menuruti semua keinginanmu baik-baik!"   Kata Kam Lian Cu kemudian. Si kakek she Bun menggelengkan kepalanya.   "Tidak!"   Katanya sambil menyeringai. "Kau tentu akan menimbulkan kesulitan lagi.....!"   Setelah berkata begitu, Bun Siang Cuan membungkukkan tubuhnya, dia mengepit tubuh si gadis, dan berlari-lari meninggalkan tempat itu.   Kera bulu kuning telah mengikuti di belakangnya sampai mengeluarkan suara pekikan, pekik kegirangan.   Di waktu itu, tampak Bun Siang Cuan telah berlari pesat sekali, karena dia ingin cepat-cepat tiba di tempat kediamannya, di hutan yang sepi itu.   Tidak lama kemudian tibalah dia di dalam hutan tempat tinggalnya, di depan sebuah goa yang cukup dalam.   Bun Siang Cuan telah melemparkan tubuh si gadis ke dalam goa sampai tubuh si gadis terguling-guling.   "Baik-baiklah kau beristirahat di situ, mantuku!"   Katanya kemudian dengan suara yang tawar. "Tunggu dulu!"   Teriak Kam Lian Cu ketika melihat kakek itu hendak meninggalkannya..... Dia kuatir nanti i kera bulu kuning mengganggunya lagi.   "Apa?!"   Tanya Bun Siang Cuan.   "Bebaskan aku, aku tidak akan melarikan diri! Sebagai calon mantumu, apakah pantas aku diperlakukan seperti ini?!"   Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kata Kam Lian Cu. Kakek tua she Bun itu termenung sejenak tampaknya dia tengah berpikir keras. Namun akhirnya dia mengangguk.   "Baiklah..!"   Katanya.   "Jika memang demikian, kau berjanji memang tidak akan melarikan diri, aku bersedia untuk membebaskan dirimu! Tapi ingat, jika sekali lagi kau mencoba untuk melarikan diri, niscaya kelak aku sulit mempercayai perkataanmu lagi dan aku akan menotok terus kau sampai tidak berdaya!"   Si gadis berdiam saja. Bun Siang Cuan menghampiri dan membebaskan totokannya, sehingga Kam Lian Cu bisa menggerakkan tangan dan tubuhnya. Dia duduk.   "Kau tunggu di sini, aku ingin mengambil makanan buat kau!"   Kata Bun Siang Cuan.   Kam Lian Cu cuma mengangguk saja, karena dia memang tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.   Sedangkan Bun Siang Cuan telah meninggalkan tempat itu, kera bulu kuning telah mengawasi Kam Lian Cu dengan sorot mata yang tajam berdiri di luar goa.   Kam Lian Cu ngeri kalau saja kera itu menerjang masuk dan hendak memperkosanya.   Namun dia tentu akan dapat memberikan perlawanan karena kera itu tidaklah terlalu lihay baginya, juga dia tidak dalam keadaan tertotok.   Kera bulu kuning itu, rupanya memang tahu penyakit, karena dia tidak berusaha memasuki goa itu.   Dia menyadarinya, jika memang dia berusaha menerjang juga memasuki goa itu, niscaya akan dihajar oleh si gadis.   Sedangkan kepandaiannya memang tidak dapat menandingi gadis itu, di mana selain dia pernah dilukai oleh Kim Lian Cu, juga dia pernah dihajar oleh gadis itu sampai tidak berdaya.   Kera itu cuma mengawasi Kam Lian Cu dengan sorot mata yang meagandung nafsu berahi yang kuat sekali Tidak lama kemudian Bun Siang Cuan telah tiba di tempat itu lagi, dia membawa beberapa macam buah-buahan.   Diberikannya kepada Kam Lian Cu.   "Kau makanlah, untuk menyegarkan dirimu!"   Katanya kemudian.   Kam Lian Cu mengawasi bimbang, namun akhirnya dia menerima juga pemberian itu.   Dia memakannya perlahan-lahan.   Kim Go juga memakan beberapa buah yang di bawa Bun Siang Cuan.   Dia masih tetap mengawasi si gadis dengan mata yang memancarkan sinar mengandung berahi.   Waktu itu Kam Lian Cu teringat, segera tanyanya.   "Mana puteramu.....?!"   Si kakek tertawa.   "Nanti aku akan beritahukan!"   Katanya sambil melirik kepada Kim Go.   Bun Siang Cuan tiba-tiba saja merasa malu, buat memberitahukan kepada Kam Lian Cu, bahwa yang disebut puteranya adalah Kim Go, kera bulu kuning itu.....   Kam Lian Cu heran melihat sikap si kakek tua itu, dia memakan terus buah-buahan itu.   Sampai akhirnya kakek tua itu bilang.   "Sekarang kukira telah tiba waktunya aku memberitahukan kepadamu, bahwa puteraku itu, sesungguhnya memang buruk tubuhnya, tapi hatinya memang sangat baik, maka jika telah kuperkenalkan kalian, kau harus memperlakukannya baik-baik!"   Kam Lian Cu tertawa dingin. Si gadis telah berpikir, jika memang putera kakek itu kelak telah diperkenalkan dia merupakan seorang laki-laki yang kasar, dia lebih baik bunuh diri saja. Sedangkan kakek tua itu telah berkata lagi.   "Kau mau mengetahuinya sekarang? Mau kenal calon suamimu?"   Kam Lian Cu mengangguk saja. Si kakek tampak ragu-ragu.   "Aku..... aku.......!"   Katanya penuh kebimbangan. Kam Lian Cu tambah heran melihat sikap kakek tua itu, segera juga dia menduga, pasti ada sesuatu yang hebat pada diri puteranya itu.   "Kenapa?"   Tanya Kam Lian Cu. Kakek tua itu masih juga ragu-ragu.   "Sebetulnya sebetulnya!"   Kata kakek itu kemudian.   "Sebetulnya kenapa?!!"   Kakek tua itu masih ragu-ragu.   "Jika memang aku memperkenalkannya, apakah engkau tidak akan mencela puteraku itu. Karena kau harus mengerti, jika kau mengeluarkan kata-kata yang melukai hatiku, aku akan membunuhmu.....!"   Kata kakek tua tersebut. Kam Lian Cu cuma mendengus saja. Melihat si gadis tidak menyahuti, kakek tua itu bertanya lagi.   "Apakah sekarang saja kau ingin diperkenalkan dengan anakku itu?!"   Kam Lian Cu cuma mengangguk. "Inilah anakku Kim Go!"   Kata si kakek kemudian sambil menunjuk kepada kera bulu kuning itu, yang tampaknya jadi malumalu dan menunduk.   Sedangkan Kim Go waktu itu juga terus dengan sikapnya seperti itu, dan berbeda dengan Kam Lian Cu, yang melihat kakek tua itu menunjuk kepada Kim Go, seketika dia telah memandang dengan mata terpentang lebar-lebar.   Seakan juga Kam Lian Cu tidak mempercayai apa yang didengarnya.   "Itu..... itu anakmu?!"   Kata Kam Lian Cu kemudian setelah bersadar, suaranya tak lancar! Si kakek jadi tegang sendirinya, dia mengangguk.   "Ya..... memang dialah puteraku, namanya Kim Go."   Muka Kam Lian Cu berobah merah karena marah bukan main! Dia hendak dikawinkan dengan seekor monyet? Dianggap apakah dia sebenarnya oleh kakek tua itu? Dan akhirnya Kam Lian Cu tertawa bergelak-gelak.   "Kau mungkin telah sinting? Mana mungkin aku hendak dikawinkan dengan seekor kera?"   Kata si gadis kemudian dengan suara yang nyaring, di antara kemarahan dan isak tangis yang ditahannya, karena Kam Lian Cu merasakan, itulah suatu penghinaan yang luar biasa hebatnya buat dia. Muka kakek tua itu berobah.   "Kau?"   Tampaknya dia marah sekali.   "Jangan kau sekali-sekali menghina Kim Go!"   "Hemmm, aku lebih baik mati dari pada harus kawin dengan seekor kera.....!"   Kata Kam Lian Cu dengan suara yang nyaring. Muka Bun Siang Cuan berobah dia mengawasi tajam kapada Kam Lian Cu.   "Kau.....kau mengatakan lebih baik engkau mati dari pada menikah dengan anakku?"   Tanya Bun Siang Cuan dengan suara yang bengis.   Kam Lian Cu serasa ingin menjerit menangis sejadi-jadinya, karena benar-benar dia merasa terhina sekali, di mana dia akan dinikahkan dengan seekor kera.   Tapi dia mengetahui bahwa dia dalam keadaan tidak berdaya, karena ia tidak mungkin bisa menghadapi kakek tua itu.   Maka dari itu, Kam Lian Cu sudah tidak berhasil menahan hatinya, kesedihannya dan kemarahannya, dia menangis sejadi-jadinya.   Diapun berpikir, paling tidak jika memang kakek tua itu marah, maka dia akan dibunuh.   Akhirnya karena terlalu sedih, dia jatuh pingsan.......   Y Kini mari kita melihat dulu keadaan Ko Tie, yang rebah dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri.   Di sampingnya tampak rajawali yang setia itu berdiam dengan sekali-kali memperdengarkan suaranya yang lirih.   Rupanya rajawali tersebut juga sangat prihatin dengan keadaan Ko Tie, yang diketahuinya merupakan kawan baik dari majikannya, yaitu Giok Hoa.   Di waktu itu Ko Tie masih dalam keadaan pingsan, mukanya pucat pias.   Sedangkan waktu beredar terus, keadaan di tempat itu telah terang oleh sinar matahari fajar, yang memancarkan sinarnya sehingga membuat tempat itu jadi hangat.   Ko Tie masih juga belum sadar dari pingsannya, membuat rajawali itu tambah bingung.   Sedangkan sayap kanan dari burung rajawali itu masih juga patah dan mendatangkan rasa sakit yang tidak sedikit buat rajawali itu.   Namun karena memikirkan keselamatan Ko Tie, telah membuat rajawali itu seperti juga sudah tidak merasakan lagi perasaan sakit pada sayapnya, pada ujung tulang sayapnya itu, yang patah akibat hantaman tangan Bun Siang Cuan.   Waktu itu perlahan-lahan Ko Tie telah bergerak dan mengeluarkan suara keluhan.   Matanya juga bergerak-gerak pelupuknya, dan kemudian terbuka.   Namun begitu dia membuka matanya dan tersadar, Ko Tie menggerakkan tubuhnya, segera ia mengeluarkan suara jeritan.   Dia rebah kembali dengan mengeluarkan suara keluhan.   Rupanya waktu Ko Tie hendak berusaha bangun, dadanya dirasakan sakit bukan main.   Akibat totokan yang dilakukan oleh Bun Siang Cuan, telah membuat peredaran darahnya tidak lancar.   Itu pun karena dia dapat menggerakkan tubuhnya karena totokan itu telah punah sendirinya dan lewatnya sang waktu.   Sedangkan burung rajawali tersebut seketika melihat Ko Tie telah bergerak dan tersadar dari pingsannya, jadi sangat girang.   Dia mengeluarkan pekik yang cukup nyaring.   Mendengar pekik burung rajawali itu, Ko Tie menoleh dan melirik melihat burung raja wali itu.   Dia tersenyum, karena hatinya terhibur juga bahwa rajawali itu masih berada di dekatnya.   Dan ia segera bersiul, memberitahukan kepada burung itu, bahwa dia dalam keadaan terluka yang cukup parah.   Burung rajawali itu seperti juga mengerti arti siulan itu, dia mengeluarkan suara pekik yang lirih dan perlahan sekali, mengangguk-anggukan kepalanya.   Di waktu itu tampak Ko Tie telah berusaha untuk bangun lagi.   Namun sekali lagi dia mengeluh, karena begitu dia menggerakkan tubuhnya, seketika ia merasakan tubuhnya pada sakit, serasa tulang-tulangnya hendak bercopotan, dada dan isi perutnya seperti terbalik, sehingga dia gagal buat bangun, dan tetap saja rebah di tempatnya itu.   Burung rajawali itu telah menggesek-gesekkan kepalanya ke dada Ko Tie, seakan juga memang burung rajawali itu hendak menghiburnya.   Sedangkan Ko Tie berpikir keras.   Dia telah melihat keadaan di tempat itu sepi sekali.   Jika memang ia rebah terus di situ dalam keadaan tidak terdaya, di samping memang lukanya akan semakin parah, juga akan membuat dia mati kelaparan.   Burung rajawali iapun tidak mungkin dapat melakukan sesuatu buat menolonginya.   Dikala itu burung rajawali tersebut berusaha menggerak-gerakkan sayapnya buat terbang.   Tapi dirasakan sayap kanannya itu sakit bukan main setiap kali dia menggerakkannya.   Ko Tie hanya bisa mengawasi saja.   Diam-diam pemuda ini memikirkan dan menguatirkan sekali keselamatan Kam Lian Cu.   Entah bagaimana nasib si gadis, karena dia tidak mengetahui apakah Kam Lian Cu dapat melarikan diri dari kejaran si kakek Bun Siang Cuan, atau memang dia gagal dan kena dibekuk oleh kakek tersebut.   Karena itu, hati Ko Tie pun jadi tidak tenang.   Akhirnya dia berpikir sesuatu.   Dari berdiam diri saja di situ, bukankah lebih baik dia meminta burung rajawali tersebut agar membawa terbang ke sebuah tempat, yang sekiranya ada manusianya dan di sana nanti bisa dimintai pertolongannya? Karena berpikir begitu, segera juga Ko Tie bersiul, yang berarti dia meminta agar burung rajawali itu membawanya terbang di punggungnya.   Burung rajawali itu mengerti maksud siulan tersebut.   Akan tetapi burung rajawali itu pun tengah terluka sayapnya, tulang sayapnya patah.   Dengan demikian tentu saja telah membuat dia bimbang.   Dia tidak mengetahui apakah dia akan sanggup membawa terbang pemuda itu.   Karenanya burung rajawali tersebut telah berdiam diri saja, dengan mengeluarkan suara pekikan perlahan.   Di waktu itu terlihat Ko Tie bersiul satu kali lagi, karena dia menduga burung rajawali itu tidak mengerti maksudnya.   Burung rajawali itu telah bimbang sejenak, akhirnya dia menekukkan ke dua kakinya, dia mengambil sikap siap untuk membawa Ko Tie terbang pergi meninggalkan tempat itu.   Ko Tie berusaha untuk membalikkan tubuhnya, kemudian merangkak bangun.   Usahanya itu sakit bukan main bagi tubuhnya, karena dadanya seperti akan pecah, demikian juga halnya dengan isi perutnya, seperti terbalik.   Penderitaan pemuda itu luar biasa hebatnya, akan tetapi dia masih dapat mempertahankan.   Mati-matian dia berusaha merangkak.   Untuk bangun saja, agar dapat merangkak mendekati burung tersebut, yang tidak terpisah jauh dari dia, sulitnya tak terkira, dan hanya dapat bergerak sedikit demi sedikit.   Burung rajawali itu tetap mendekam di atas tanah dengan sabar, sama sekali dia tidak berusaha untuk berdiri.   Dia menantikan sampai Ko Tie berhasil menaiki punggungnya.   Seperti biasanya, untuk naik ke atas punggung rajawali bukanlah pekerjaan yang sulit buat Ko Tie.   Tapi sekarang ini, di mana dia terluka dengan parah sekali, membuat dia sulit untuk naik ke atas punggung burung itu.   Akhirnya, dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, dengan menahan rasa sakit yang sangat pada tubuhnya.   Dia berhasil untuk merangkak naik sampai di punggung burung rajawali itu.   Cuma saja dia dalam keadaan rebah, dengan ke dua tangannya melingkari leher burung tersebut, kemudian pingsan tidak sadarkan diri lagi........   Burung rajawali itu, setelah merasakan bahwa Ko Tie berhasil menempatkan dirinya di punggungnya dengan baik, barulah dia berdiri di atas ke dua kakinya.   Lalu perlahan-lahan dia menggerakkan sayapnya.   Sakit bukan main.   Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Namun burung rajawali itu berusaha melawan rasa sakit itu, dia terus juga mengibaskan ke dua sayapnya.   Dan perlahan-lahan tubuhnya telah melambung ke angkasa.   Dia terbang perlahan-lahan, seakan juga dia mengetahui bahwa Ko Tie dalam keadaan pingsan dan jika dia terbang terlalu keras dan cepat, niscaya akan membuat Ko Tie kemungkinan terjatuh dari atas punggungnya.   Karena itu, semakin lambat dia terbang, burung rajawali itu memperoleh kesulitan yang semakin besar.   Karena di waktu itu segera juga dia merasakan bobot berat tubuhnya ditambah dengan berat bobot tubuh Ko Tie.   Hal ini membuat ia sulit sekali terbang, dan harus mengeluarkan tenaga yang lebih kuat lagi pada ke dua sayapnya itu, membuat sayap kanannya yang terluka dan tulangnya patah pada ujungnya itu mendatangkan rasa sakit yang tidak terkira Tapi burung rajawali itu menahan rasa sakitnya, dia terbang terus dan di waktu itu, dia telah terbang semakin tinggi di udara.   Tujuannya adalah perkampungan di sebelah barat dari tempat itu.   Tentu saja burung rajawali yang memang jinak dan telah terdidik itu mengetahui, di dalam kampung itu tentunya Ko Tie akan memperoleh pertolongan dari penduduk kampung itu.   Hanya saja bagi Ko Tie sendiri, belum berarti dia akan tertolong dengan dia dibawa ke kampung itu.   Sebagai sebuah kampung yang tidak begitu besar, tentunya perkampungan tersebut tidak memiliki tabib yang pandai.   Tapi Ko Tie sendiri sudah tidak sadarkan diri, dan semuanya keputusan itu diambil oleh burung rajawali tersebut, tanpa diperintah lagi oleh Ko Tie.   Setelah terbang beberapa saat, dengan menahan sakit pada sayapnya, burung rajawali itu telah terbang cukup jauh.   Dan samar-samar sudah terlihat perkampungan yang ditujunya, di waktu mana burung rajawali tersebut jadi girang dan terbangun semangatnya, dia terbang agak lebih cepat dari sebelumnya.   Dikala itu terlihat perkampungan yang tidak begitu besar dan penduduk tidak begitu padat, karena waktu burung rajawali ini tengah terbang di atas perkampungan tersebut, hanya terlihat beberapa orang saja yang berlalu lalang.   Segera juga burung rajawali itu terbang meluncur turun perlahanlahan di tengah-tengah perkampungan itu.   Dia hinggap di tengah jalan raya.   Beberapa orang penduduk kampung yang berada di situ, jadi mengeluarkan seruan kaget karena melihat seekor burung rajawali yang begitu besar dan tahu-tahu telah menukik turun dan hinggap di jalan raya tersebut.   Akan tetapi burung itu tidak memperlihatkan tanda-tanda ganas, juga sama sekali tidak berusaha untuk menyerang, mereka jadi agak tenang.   Dan di saat itu burung rajawali itu mengeluarkan suara pekik perlahan yang lirih, seakan memohon pertolongan orang-orang itu.   Waktu orang-orang itu menegasi, segera juga mereka melihat sesosok tubuh yang rebah di punggung burung rajawali itu.   Malah sosok tubuh itu tidak bergerak, mungkin dalam keadaan pingsan.   Cepat-cepat beberapa orang penduduk kampung itu berlari untuk menghampirinya, dan setelah mereka melihat jelas seorang pemuda yang pingsan tidak sadarkan diri berada di punggung burung rajawali itu, dan burung rajawali itu mendekam di atas tanah, seakan juga mempersilahkan orang-orang itu menurunkan Ko Tie, rasa takut penduduk kampung itu berkurang.   Merekapun segera mendekati, selangkah demi selangkah, dalam keadaan bersiap dan waspada, karena mereka kuatir kalau-kalau burung rajawali itu akan menerjang mereka.   Namun setelah mereka mendekati lebih jauh, burung itu tetap saja mendekam di tanah tanpa berusaha menyerang mereka, penduduk kampung itu semakin berani, dan mereka segera menurunkan Ko Tie dari punggung rajawali itu.   Burung rajawali tersebut segera berdiri dan mengembangkan sayapnya, kepalanya dianggukkan beberapa kali, seakan juga dia tengah memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, sehingga membuat beberapa orang penduduk kampung itu jadi merasa lucu dan tertarik sekali.   Bahkan mereka jadi menyukai burung rajawali.   Di kala itu tampak orang-orang kampung itu telah membawa Ko Tie, yang dalam keadaan tetap pingsan tidak sadarkan diri, ke sebuah rumah.   Burung rajawali itu tidak terbang pula ke tengah udara.   Dia hanya berdiam diri saja di samping dekat rumah itu.   Ko Tie direbahkan di pembaringan, dan telah coba untuk ditolong, agar dia tersadar dari pingsannya.   Tapi usaha dari beberapa penduduk kampung itu sama sekali tidak berhasil, sebab Ko Tie tetap saja dalam keadaan pingsan tidak ingat orang.   Mukanya pucat pias, malah pada ujung mulutnya, tampak bekas-bekas darah yang telah mengering dan berubah warnanya kehitam-hitaman.   Salah seorang dari penduduk kampung itu telah berlari-lari buat pergi memanggil tabib.   Tidak lama kemudian, datang seorang tabib yang berusia lanjut sekali.   Dialah tabib di kampung itu, yang sangat diandalkan sekali.   Pengetahuannya tentang pengobatan sesungguhnya tidak terlalu hebat, karena dia hanya mengerti penyakit-penyakit biasa.   Melihat keadaan Ko Tie seperti itu, tabib tua itu telah menghela napas berulang kali sambil ia menggeleng-gelengkan kepalanya.   "Keadaannya terluka parah demikian, sulit buat menyelamatkan jiwanya!"   Menggumam tabib itu ketika dia mencekal dan memegang nadi di pergelangan tangan si pemuda.   Tabib itu merasakan betapa ketukan atau denyutan nadi di pergelangan tangan Ko Tie demikian kacaunya.   Sebentar cepat dan sekejap mata berobah jadi perlahan sekali, lemah.   Juga muka pemuda itu pucat pias.   Dengan melihat keadaan si pemuda seperti itu, segera juga tabib tersebut mengambil kesimpulan bahwa ia memang sulit menyembuhkan pemuda ini.   Di waktu itu, tampak dua orang penduduk telah menjura kepada tabib itu.   "Tolonglah Sin-se mengobatinya tampak dia bukan sebangsa manusia tidak baik-baik. Dia seorang pemuda yang mungkin telah mengalami sesuatu di tangan para begal....."   Kata penduduk itu. Malah yang seorang pun telah menyambungi.   "Diapun dibawa ke mari oleh rajawali yang besar, yang ada di luar itu, tentunya pemuda ini bukan sebangsa pemuda sembarangan. Tabib itu menghela napas beberapa kali, kemudian memeriksa lagi tubuh Ko Tie.   "Baiklah, aku akan berusaha menolongi dengan memberikan obat, tapi aku tidak bisa memastikan bahwa jiwa pemuda ini akan dapat ditolong!"   Setelah berkata begitu, tabib tersebut meminta peralatan tulis, ia membuat resep.   Seorang penduduk segera berlari-lari pergi ke rumah obat untuk membeli obat itu.   Sedangkan tabib itu setelah menerima bayaran lima bun dan tiga cie, dia kemudian pergi.   Dia memang melihat bahwa Ko Tie tipis sekali harapan bisa diselamatkan.   Diam-diam tabib itu pun berpikir, siapakah pemuda ini, yang tampaknya terluka di dalam tubuh demikian parah dan hebat? Malah tabib itu segera hendak berpikir, bahwa mungkin juga pemuda ini adalah sebangsa begal yang memiliki kepandaian tinggi dan kebetulan telah bertemu dengan lawan yang tangguh, membuatnya benar-benar jadi terluka begitu parah.   Tapi akhirnya tabib itu tidak mau dipusingkan lagi urusan itu, karena yang terpenting baginya dia telah menerima bayaran, dan tadi dia telah membuka resep dengan obat yang benar, untuk berusaha menolongi pemuda itu.   Walaupun berulang kali dia berusaha meyakinkan penduduk bahwa pemuda itu tidak mungkin dapat ditolonginya, tapi penduduk mendesak buat menolonginya.   Karena itu dia segera juga membuka resep obat.   Dia tidak tahu apakah obatnya itu akan manjur dan menyembuhkan pemuda itu, karena yang diketahuinya justeru bahwa pemuda itu tidak akan hidup lebih lama dari tiga hari Ko Tie telah diminumkan obat yang dibuka resepnya oleh tabib itu.   Obat itu dimasak dengan cara digodok, kemudian airnya diminumkan kepada Ko Tie sesendok demi sesendok.   Ko Tie masih dalam keadaan pingsan, namun dengan sabar penduduk kampung yang berusia lanjut, pemilik rumah itu, telah meminumkan obat itu.   Dengan sekali memasukan sesendok obat itu dia memijit rahang Ko Tie, sehingga obat itu dapat mengalir masuk lewat tenggorokan Ko Tie.   Dan akhirnya satu mangkok obat itu telah habis diminumkan buat Ko Tie.   Tapi Ko Tie masih tetap dalam keadaan pingsan tidak ingat orang......   Sedangkan di saat itu terlihat, beberapa orang penduduk kampung tengah berunding.   Mereka bermaksud menemui Yang Sin-se, untuk meminta dan mendesaknya, berusaha menolongi pemuda itu.   "Tapi Yang Sin-se sendiri yang mengatakan bahwa harapan pemuda itu tertolong jiwanya sangat tipis sekali..... bagaimana kita bisa mendesaknya lagi? Bukankah akan percuma saja? Dengan berkata begitu Yang Sin-se juga seakan ingin mengatakan.bahwa ia sudah tidak memiliki daya buat menolongi pemuda ini, yang lukanya demikian parah!" Yang lainnya terdiam, mereka tampaknya memang membenarkan juga kata-kata kawannya. Waktu itu salah seorang di antara mereka berkata.   "Atau kita mencari tabib lainnya?"   "Tabib lain?"   Tanya kawannya. Orang itu mengangguk.   "Ya!"   Sahutnya.   "Tabib mana lagi? Sedangkan Yang Sin-se merupakan tabib yang paling pandai di kampung ini!"   "Tapi kita bisa mencari tabib lain di tempat lain!"   "Di tempat lain di mana?"   Tanya kawannya sambil mengawasi dengan tidak percaya.   "Ke kota yang terdekat misalnya?!"   "Hu! Pemuda itu tentu sudah keburu mati!"   Kata kawannya.   "Pergi ke kota Tiang-an, yang terdekat, yang hanya limapuluh lie, untuk pulang pergi hampir memakan waktu dua hari. Lalu siapa yang bersedia untuk pergi? "Jika memang di kota itu terdapat tabib itu yang pandai, kalau tidak? Juga kesulitan lainnya, apakah tabib itu mau diundang ke mari? Berapa biayanya?!"   Mendengar perkataan kawannya seperti itu, orang tersebut jadi terdiam.   Memang benar apa yang dibilang kawannya, banyak kesulitan yang mereka hadapi jika saja bermaksud mengundang tabib lainnya dari tempat lain.   Di waktu itu tampak penduduk kampung ini memang berusaha menolongi Ko Tie sekuat kemampuan mereka.   Terlebih lagi mereka menduganya bahwa Ko Tie tentunya bukanlah sebangsa pemuda biasa.   Setidak-tidaknya tentu merupakan pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, juga memang ia pun memiliki rajawali yang begitu besar dan tampaknya luar biasa sekali.   Tapi penduduk kampung itu tidak berdaya untuk melakukan sesuatu apa-apa lagi.   Ko Tie masih pingsan tidak sadarkan diri Y Burung rajawali di luar rumah itu masih berdiri diam dengan sabar.   Seorang penduduk yang tertarik sekali melihat burung rajawali yang besar seperti burung raksasa itu, jinak sekali dan tidak ganas, memberanikan diri.   Dia mengawasi burung itu, sampai akhirnya ketika burung itu merintih perlahan dengan pekikan lirih, dan mengeluarkan sayap kanannya, maka orang itu melihat sayap burung itu terluka, tulangnya patah.   Burung rajawali itu bersikap demikian karena dia mengharapkan orang itu dapat mengobati luka pada sayapnya tersebut.   Orang itu memang benar-benar mengobatinya, karena dia telah mengambil sebatang kayu dan mengikatkan pada sayap burung rajawali itu.   Dia juga mengurutinya dengan arak gosok.   Burung rajawali itu memekik perlahan dan lirih, bagaikan dia mengucapkan terima kasih atas pengobatan yang diberikan oleh orang tersebut.   Segera juga tersiar di dalam kampung itu perihal burung rajawali yang besar seperti burung raksasa, namun tidak ganas dan jinak sekali, seperti mengerti akan perkataan manusia.   Banyak penduduk yang berdatangan buat melihat burung rajawali itu, malah ada beberapa orang di antara mereka yang berani, telah mengulurkan tangannya buat mengusap-usap burung rajawali itu.   Tiauw-jie atau burung rajawali itu berdiam diri saja, dia tampak begitu jinak.   Setiap kali diusap oleh tangan penduduk kampung itu, ia mengeluarkan suara yang lirih dan tampak sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia ganas.   Penduduk kampung itu segera mengetahui bahwa burung rajawali ini memang bukan sejenis rajawali yang ganas.   Mereka jadi semakin berani.   Malah ada beberapa orang anak laki-laki penduduk kampung itu yang naiki punggung burung itu.   "Melihat burung rajawali ini, yang tampaknya memang tidak ganas, rupanya pemuda itu memang seorang pemuda baik-baik!"   Begitulah menggumam beberapa orang penduduk kampung itu.   "Cuma saja anehnya, mengapa justeru dia bisa terluka begitu hebat? Dan burung rajawali ini pun sudah membela pemuda itu, sehingga diapun terluka pada sayapnya itu.....!" Pandangan penduduk pada burung rajawali itu segera berubah jadi baik. Merekapun yakin bahwa Ko Tie seorang pemuda yang memiliki sifat baik bukan sebangsa manusia telur busuk. Y Hari sudah mendekati sore, waktu itu Ko Tie masih juga pingsan tidak sadarkan diri. Penduduk kampung itu mulai panik, mereka kuatir pemuda itu tidak tertolong. Orang tua pemilik rumah itupun telah menghela napas berulang kali.   "Tampaknya memang ia terluka berat sekali, bukankah Yang Sinse (tabib Yang) telah mengatakan bahwa ia tidak menjamin bahwa pemuda ini akan dapat ditolongnya?!"   Sambil berkata begitu, orang tua pemilik rumah tersebut menghela napas berulang kali, lalu melanjutkan lagi kata-katanya.   "Tampaknya nasib pemuda ini buruk sekali, jika sampai dia meninggal dunia, harus dibuat sayang, karena dia mati muda dan tentunya diapun bukan pemuda sembarangan, dia pasti memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi! Diapun sangat tampan sekali Hai, hai, hai!"   Rupanya penduduk kampung itu memang menyukai Ko Tie, mereka menyayangkan sekali bahwa Ko Tie terluka begitu berat dan juga tampaknya sulit untuk ditolong.   Tapi menjelang tengah malam ia tersadar, dia mengeluh dan kemudian pingsan lagi.   Baru mendekati fajar, Ko Tie tersadar lagi.   Pemilik rumah itu, si orang tua, yang melihat Ko Tie telah tersadar dari pingsannya, jadi girang bukan main.   Dengan siumannya si pemuda, jelas hal ini memiliki harapan bahwa pemuda itu akan tertolong jiwanya.   Akan tetapi kenyataan yang ada justeru pemuda itu pingsan pula.   Dua kali siuman, tapi dua kali pula ia jatuh pingsan tidak sadarkan diri.   Keadaannya tidak menjadi lebih baik, malah semakin memburuk, karena ia jadi begitu lemah, dan waktu ia sempat berkata-kata, suaranya tidak keras, terlalu perlahan, kata-katanya juga tidak jelas.   Dengan sabar pemilik rumah tersebut telah mengompres kening Ko Tie dengan air dingin agar pemuda itu berkurang panas pada tubuhnya.   Tapi Ko Tie tetap saja pingsan.   Barulah setelah matahari naik tinggi, Ko Tie tersadar benar-benar.   Ia tidak pingsan lagi.   Pertama kali yang dilihatnya adalah orang tua pemilik rumah tersebut, ia segera berusaha tersenyum.   Orang tua itu juga tersenyum, dia telah satu malaman menggadangi Ko Tie.   "Tenanglah, kau berada di tempat yang cukup baik dan aman, Kongcu!"   Kata orang tua itu.   "Di mana.. di mana aku sekarang ini?!"   Tanya Ko Tie dengan suata yang serak. Orang tua itu tidak segera menyahuti, dengan perlahan-lahan dan sabar ia memakai sendok untuk meminumkan pemuda itu.   "Kongcu berada di kampung Pu-an-cung, sebuah kampung yang kecil tapi aman..... di sini tidak ada orang jahat. Kongcu bisa beristirahat dengan tenang jangan terlalu banyak bergerak dan bicara dulu, keadaanmu masih lemah! Obat yang diberikan Yang Sin-se tampaknya pun membawa kebaikan juga.....!"   "Terima kasih atas pertolongan Lopeh!"   Kata Ko Tie dengan suara yang lemah.   "Bukan aku yang menolongimu, Kongcu, tapi penduduk kampung ini, mereka melihat kau dibawa oleh seekor burung rajawali..... !"   Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kata orang tua itu. Mendengar disebutnya perihal burung rajawali, segera juga Ko Tie teringat kepada Tiauw-jie.   "Di.....di mana Tiauw-jie?!"   Tanya Ko Tie kemudian dengan suara lemah dan serak.   "Tiauw-jie? Siapa Tiauw-jie?!"   Tanya orang tua itu heran dan tidak mengerti.   "Burung rajawali itu!"   Menyahuti Ko Tie dengan suara yang tetap lemah. Orang tua itu tersenyum, dia baru mengerti, dia pun mengangguk.   "Tenanglah, burung rajawali pun dalam keadaan selamat Kau jangan gelisah, dia berada di luar, diapun memperoleh perawatan yang baik dari kawan-kawanku luka pada sayapnya telah diobati!"   Ko Tie mengangguk perlahan.   Waktu ia ingin berkata-kata lagi, orang tua itu telah mengulap-ngulapkan tangannya, mencegah Ko Tie berkata-kata.   Di kala itu, di luar rumah terdengar suara langkah kaki yang cukup ramai, bukti bahwa beberapa orang tengah mendatangi dan memasuki rumah tersebut.   Orang tua itu menoleh, Ko Tie juga telah ikut melirik ke arah pintu.   Ternyata telah masuk delapan orang penduduk kampung.   "Bagaimana keadaannya, Ang Lotoa?!"   Tanya salah seorang di antara mereka kepada pemilik rumah itu. Orang tua itu telah mengangguk.   "Jangan berisik, Kongcu ini telah siuman, tapi dia perlu istirahat, tampaknya keadaannya membaik juga!"   Kata Ang Lotoa kemudian.   Penduduk kampung itu segera mendekat ke pembaringan.   Mereka melihat Ko Tie memang telah tersadar.   Mereka segera mengangguk sambil tersenyum.   Ko Tie pun membalas senyum mereka, senyuman yang lemah sekali, karena ia memang masih dalam keadaan yang lemah bukan main.   Dadanya pun dirasakan sakit sekali.   Ini karena dia telah dipukuli oleh kera bulu kuning dan tenaga dalamnya yang baru disembuhkan oleh kakek tua Bun Siang Cuan, telah berbalik kembali menggempur dirinya sendiri ketika dia mempergunakan tenaganya yang melebihi takaran.   "Terima kasih atas pertolongan kalian!"   Kata Ko Tie kemudian dengan suara yang lemah.   "Aku..... aku tidak tahu dengan cara apa membalas kebaikan kalian......!"   "Jangan Kongcu berkata begitu, kami senang jika bisa menolongimu!"   Kata orang-orang kampung itu.   Ko Tie mengucapkan terima kasih satu kali lagi, dan ia kemudian memejamkan matanya.   Sedangkan penduduk kampung itu yang melihat Ko Tie memejamkan matanya dan mereka menyadari bahwa keadaan Ko Tie masih lemah sekali, maka merekapun segera meninggalkan ruangan itu dan keluar.   "Obat yang diberikan Yang Sin-se ternyata memang manjur!"   Kata salah seorang di antara mereka setelah berada di ruang luar. Kawan-kawannya mengangguk.   "Ya maka kita tidak perlu tergesa-gesa, karena obat itu bekerja perlahan. Buktinya saja sekarang, ia telah siuman! Hemmm, jika kita sembarangan memanggil tabib, bukankah jadi berbalik dari apa yang kita harapkan, yaitu bisa membahayakan jiwa pemuda itu? "Memang kita sudah mengetahui Yang Sin-se memang seorang tabib yang pandai dan obatnya pun sangat manjur. Maka, nanti sore kita undang lagi Sin-se itu buat mengobati kongcu itu pula.. Siapa tahu Yang Sin-se berhasil menyembuhkannya dan menyelamatkan jiwanya!"   Yang lainnya mengangguk.   Ko Tie terharu mendengar percakapan mereka.   Ia sangat berterima kasih sekali, karena penduduk kampung itu ternyata memang seorang yang baik dan juga mau menolonginya dengan bersungguh-sungguh hati.   Dia pun tidak menguatirkan burung rajawalinya, dengan melihat penduduk kampung itu yang semuanya ramah dan baik hati.   Dia tidak menguatirkan Tiauw-jie akan menerima perlakuan yang tidak baik.   Karena itu, Ko Tie telah memejamkan matanya untuk mengasoh.   Diam-diam dia mengerahkan sin-kangnya, karena dia bermaksud untuk menyalurkan tenaga dalamnya, menyembuhkan sendiri luka di dalam tubuhnya.   Begitu Ko Tie mengerahkan tenaga dalamnya, dia jadi tercekat, karena di waktu itu segera juga dia merasakan dadanya sakit, sampai dia mengeluh.   Orang tua pemilik rumah itu, Ang Lotoa, jadi kaget tidak terkira.   Dia memang masih mendampingi Ko Tie dengan sabar.   Mendengar keluhan pemuda itu, tanyanya dengan sabar.   "Apakah ada sesuatu yang Kongcu rasakan?!"   "Dada..... dadaku sangat sakit sekali!"   Kata Ko Tie dengan suara perlahan dan tubuhnya pun tampak agak merengkat, mukanya juga meringis seperti menahan sakit. "Diamlah dulu, beristirahat!"   Kata orang tua itu.   "Mungkin tadi Kongcu terlalu banyak bicara dan bergerak. Kongcu belum boleh terlalu banyak bergerak..... kau harus beristirahat dulu baikbaik.....!"   Ko Tie cuma mengangguk.   Dia tidak bermaksud menjelaskan sebab-sebabnya kepada Ang Lotoa tersebut, karena dia yakin, jika tokh dia menjelaskannya, tokh orang tua itu tidak akan mengerti.   Kembali Ko Tie berusaha mencoba sekali lagi menyalurkan tenaga dalamnya.   Dia berhasil mengalirkan pernapasannya dan juga sinkangnya lewat pintu Kong, Cun dan Tan.   Tapi ketika hawa murni di tubuhnya akan melewati pintu Bun, waktu itulah dia merasakan perutnya seperti mau terbalik-balik dan seakan juga isi perutnya akan digores-gores oleh pisau yang tajam, ngilu dan sakit sekali.   Dia menahan tenaga dalamnya dan tidak berusaha menyalurkannya menerobos pintu Bun, dia telah berdiam diri.   Keringat dingin mengalir keluar dari sekujur tubuhnya.   Diwaktu itu juga terlihat betapa Ang Lotoa dengan telaten sekali telah merawatnya.   Dia masih mengompres kepala Ko Tie, karena tubuh pemuda itu masih menguap panas sekali.   Ko Tie memejamkan matanya sejenak lamanya, barulah dia meneruskan lagi mengerahkan tenaga dalamnya.   Kali ini dia berhasil menembusi jalan darah yang disebut Pintu Bun.   Dia juga telah menyedot udara dalam-dalam, dan ingin menyalurkan tenaga dalamnya itu kepada pintu Sie, dan dia telah berhasil menembusi.   Tapi begitu pintu Sie ditembusi tenaga dalamnya, pandangan mata Ko Tie berkunang-kunang.   Dia merasakan kepalanya seperti dihantami oleh martil, di samping itu juga dia mengeluh kesakitan.   Orang tua itu jadi kebingungan, terlebih lagi kemudian dia melihat Ko Tie jatuh pingsan tidak sadarkan diri.   Cepat-cepat Ang Lotoa memanggil beberapa orang penduduk kampung buat membantuinya.   Juga dua orang di antara mereka berlari-lari pergi ke rumah Yang Sin-se.   Tidak lama kemudian Yang Sin-se telah tiba, dan segera memeriksa keadaan Ko Tie.   Dia menghela napas, katanya.   "Tampaknya pemuda ini semakin lemah dan parah.....!"   Kata Sin-se itu.   "Tapi Sin-se, tadi dia telah siuman, namun akhirnya mengeluh dan kemudian tidak sadarkan diri lagi..... tadi dia malah sempat bercakap-cakap dengan kami, dia mengutarakan perasaan terima kasihnya!"   Kata Ang Lotoa. Yang Sin-se menghela napas, kemudian katanya.   "Sayangnya lukanya memang benar-benar sangat parah sekali, sehingga sulit buat menyembuhkannya.....   "Coba, aku ganti saja obat yang kuberikan kepadanya dengan obat yang lebih keras daya kerjanya. Siapa tahu obat itu baru cocok buat dia mempertahankan diri dalam beberapa hari! "Terus terang saja kukatakan kepada kalian, obat yang akan kuberikan itu tidak mungkin bisa menyembuhkannya, dan hanya bisa memperpanjang umurnya beberapa hari saja, mencegah sakit pada tubuhnya. Agar begitu dia siuman, dia tidak terlalu menderita kesakitan......!"   Muka semua penduduk kampung itu jadi muram, mereka menyesal sekali bahwa Ko Tie tidak bisa ditolong jiwanya.   Dan obat yang diberikan oleh Yang Sin-se hanya merupakan obat yang memperpanjang umur si pemuda selama beberapa hari saja.   Dengan begitu, mereka jadi putus asa, karena toh akhirnya pemuda itu akan mati juga......! Yang Sin-se telah menulis resep obatnya lagi, dan seorang penduduk cepat-cepat membelinya di rumah obat.   Begitu pulang membawa obat, segera ia memasaknya.   Dan setelah hangat-hangat, diberikan kepada Ko Tie, untuk meminumnya.   Cara meminumkannya sama seperti tadi, yaitu mempergunakan sendok dan setiap sesendok obat itu dimasukkan ke dalam mulut Ko Tie, rahangnya dipijit, sehingga obat itu tertelan.   Semua penduduk kampung segera juga bisik-bisik, karena mereka menyayangkan sekali kalau sampai Ko Tie benar-benar tidak tertolong.   Pemuda itu tampak demikian tampan, juga tubuhnya tegap dan gagah.   Dia merupakan seorang pemuda yang jarang sekali terlihat di kampung ini.   Hanya sayang menurut Yang Sin-se umurnya hanya beberapa hari lagi.   Dengan begitu, penduduk kampung jadi membicarakan perihalnya, malah beberapa orang gadis kampung itu juga membicarakan perihal ketampanan pemuda tersebut.   Burung rajawali yang masih berada di luar rumah menerima perawatan yang baik.   Selain sayapnya yang luka itu diobati juga dia selalu diberi makan.   Di waktu itu, burung rajawali itu tampak gelisah sekali, karena telah dua hari dia tidak melihat Ko Tie.   Justeru dia ingin mengetahui juga, bagaimana keadaan Ko Tie, sayang tubuhnya sangat besar, sehingga dia tidak bisa masuk ke dalam rumah penduduk itu.   Hanya penduduk yang mengerti akan perasaan burung rajawali itu, telah menghiburnya dan burung rajawali seperti juga mengerti kata-kata manusia itu, dan tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya.   Pada pagi hari ke tiga, kembali Yang Sin-se datang pula ke situ untuk memeriksa keadaan Ko Tie.   Keadaan Ko Tie sangat payah dan lemah sekali, karena sejak kemarin di mana dia telah pingsan pula, dia tidak sadarkan diri terus sampai sekarang, karenanya melihat keadaan demikian.   Yang Sin-se yakin tidak lama lagi tentu pemuda ini akan menghembuskan napasnya mati, di mana keadaannya memang semakin lemah itu.   Penduduk kampung pun tampak berduka, wajah mereka muram.   Walaupun mereka memang tidak kenal dan tidak mengetahui siapa adanya Ko Tie, akan tetapi merekapun memang ingin sekali dapat menyelamatkan dan menolong Ko Tie.   Di waktu itu terlihat betapapun juga, memang Ko Tie dalam keadaan sekarat.   Sejak waktu kemarin dia pingsan terus sampai satu hari satu malam itu ia tidak sadarkan diri.   Namun ketika Yang Sin-se tengah memeriksa hong-menya, di waktu itulah Ko Tie membuka pelupuk matanya, dia siuman.   Yang Sin-se mengawasinya sesaat, memeriksa matanya, yang agak kuning.   Yang Sin-se menghela napas, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.   Waktu itu Ko Tie bersuara perlahan.   "Aku..... aku..... di mana?!"   Seakan juga ia mengigau. Yang Sin-se menoleh kepada Ang Lotoa dan para penduduk kampung lainnya yang telah berkumpul di kamar itu dengan berkuatir.   "Dia sudah tidak dapat ditolong lagi!"   Kata Yang Sin-se kemudian, sambil memutar tubuhnya, bermaksud hendak berlalu. Para penduduk kampung itu mengerubungi Sin-se tersebut.   "Apakah Sin-se tidak bisa usahakan agar ia dapat ditolong dan diselamatkan?!"   Tanya mereka dengan sikap yang sangat berkuatir sekali. Yang Sin-se menggeleng.   "Sayang sekali keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk ditolong lagi!"   Kata Sin-se itu kemudian. Dan katanya lagi penuh penyesalan. "Maafkanlah..... aku benar-benar tidak dapat mengusahakan lebih dari apa yang sanggup kulakukan!"   Setelah berkata begitu, dia memutar tubuhnya dan berlalu.   Seketika itu juga para penduduk kampung jadi bisik-bisik, karena mereka benar-benar menguatirkan sekali keselamatan Ko Tie.   Mereka menyesal sekali bahwa Yang Sin-se mengatakan bahwa ia tidak sanggup menyembuhkan dan menyelamatkan jiwa pemuda itu.   Sedangkan muka Ang Lotoa murung sekali, ia sangat berduka.   Selama tiga hari dia merawat Ko Tie, entah mengapa dia memiliki perasaan senang padanya.   Disaat itu tampak Ang Lotoa telah menghampiri pembaringan, mengawasi Ko Tie yang dalam keadaan sadar, tengah diam dengan mata terbuka.   "Bagaimana keadaanku......, apakah dapat disembuhkan?!"   Tampak Ang Lotoa tersenyum, senyum yang pahit sekali, diapun bilang.   "Maafkanlah..... kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi Kongcu tidak perlu kuatir, karena kami akan berusaha mencari tabib lainnya.....!"   Menghibur Ang Lotoa.   Dia berkata begitu, karena dia yakin bahwa Ko Tie tentunya telah mendengar apa yang dikatakan oleh Yang Sin-se.   Penduduk kampung lainnya telah menghampiri juga, mereka telah mengawasi Ko Tie, yang keadaannya begitu lemah, dengan wajah yang sangat pucat pias.   "Aku..... aku..... memang tampaknya sudah sulit untuk diselamatkan....."   Kata si pemuda kemudian dengan suara yang lemah sekali! Ang Lotoa memaksakan dirinya buat tersenyum, dia menghibur lagi.   Tapi Ko Tie mengetahui bahwa dia tentunya memang sulit buat diselamatkan, karena lukanya yang memang demikian parah.   Dia masih berusaha menyembuhkan luka mengerahkan di dalam sin-kangnya, tubuhnya itu untuk dengan mempergunakan sin-kangnya.   Anak Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Akan tetapi kenyataannya, dia tidak berhasil juga menembusi pintu Sie.   Malah ketika dia mengerahkan sin-kangnya ke jalan pintu Sie, pada jalan darah di tubuhnya, dia merasakan kesakitan yang bukan main.    Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Karya Sin Long Pengelana Rimba Persilatan Karya Huang Yi Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini