Ceritasilat Novel Online

Beruang Salju 2


Beruang Salju Karya Sin Liong Bagian 2


Beruang Salju Karya dari Sin Liong   Bersamaan dengan itulah, kedua tangan Lie Su Han memegang tepian meja, dibarengi dengan suara bentakannya yang nyaring, dia melompat berdiri sambil kedua tangannya mendorong dan mengangkat tepian meja itu.   Dengan cepat meja tersebut terdorong dan terangkat terbalik kepada si tojin.   Tojin itu mengeluarkan suara kaget dan telah melompat ke belakang.   Gerakan tojin ini memang gesit, ia berhasil meloloskan diri dari samberan meja yang diterbalikkan oleh Lie Su Han.   Di saat itulah, tubuh si tojin juga tidak tinggal diam, ia telah mengeluarkan suara seruan nyaring lagi, tubuhnya seperti seekor harimau, telah menerjang kepada Lie Su Han, melompat sambil menggerakkan hud-timnya, untuk melancarkan totokan beruntun beberapa kali, ke bagian yang mematikan di tubuh Lie Su Han.   Tetapi Lie Su Han telah bersiap sedia, ia berkelit dari kebutan hudtim tojin itu, lalu ia mengulurkan tangannya dan cepat luar biasa ia berhasil menangkap ujung hud-tim tojin itu dan waktu itulah segera terlihat mereka saling menarik mengadu kekuatan tenaga.   Di saat Lie Su Han dan tojin saling mengadu kekuatan tenaga lewat hud-tim si tojin tersebut, tiba-tiba tojin yang seorangnya lagi yang berusia lebih muda, telah melompat dari tempat duduknya, tubuhnya meluncur ke samping Lie Su Han, ia berkata.   "Pinto Po San Cinjin ingin minta pengajaran dari kau juga......!"   Dan tanpa menanti selesainya perkataannya itu, terlihat kedua tangan Po San Cinjin telah melayang akan menghantam batok kepala Lie Su Han.   Walaupun saat itu Lie Su Han tengah mengerahkan tenaganya saling menarik hud-tim dengan tojin yang seorang itu, namun ia tidak gentar menghadapi pukulan telapak tangan dari Po San Cinjin.   Sambil berkelit begitu, kaki kanan dari Lie Su Han telah bekerja, menggaet kaki kirinya si tojin yang mengaku bergelar Po San Cinjin.   Tidak ampun lagi tubuh Po San Cinjin terjerunuk ke samping.   Harus diketahui bahwa saat itu Po San Cinjin menepuk dengan telapak tangannya dengan kekuatan tenaga lweekangnya yang penuh maka di waktu ia kehilangan sasarannya, tubuhnya jadi doyong ke depan, dan bersamaan dengan itu kakinya kena digaet.   Maka hilanglah keseimbangan tubuhnya dan dia terjerunuk menubruk sebuah meja yang berada tak jauh dari tempat berada.   Tidak ampun lagi meja tersebut menjadi pecah berantakan terkena pukulan telapak tangan Po San Cinjin, yang mengandung kekuatan lweekang itu.   Suara berisik dari hancurnya meja tersebut juga terdengar bising sekali.   Tojin yang seorangnya yang lagi mengadu kekuatan dengan Lie Su Han dengan menarik hud-timnya, menjadi kaget melihat kawannya itu terguling begitu rupa.   Baru saja ia ingin berkata, tojin yang berusia lebih muda darinya itu, Po San Cinjin, telah melompat berdiri dengan muka yang merah padam mengandung kegusaran yang bukan main.   Dari mulutnya juga terdengar suara bentakan yang bengis.   "Pemberontak, jika hari ini engkau tidak dibekuk, tentunya itu akan merepotkan negara Boan-ciu dan juga bisa mendatangkan celaka untuk kaum Boan-ciu!"   Selesai berkata, ia telah melompat lagi, mempergunakan hudtimnya di tangan kiri untuk meyerang, tangan kanannya juga menghantam dengan kekuatan lweekang.   Dengan cara menyerangnya seperti itu benar-benar membuat Lie Su Han terkurung oleh tenaga kekuatan dari tiga macam gempuran kedua tojin tersebut.   Waktu itu Lie Su Han tengah memusatkan tenaga lweekangnya untuk menarik hud-tim tojin yang lebih tua usianya itu.   Tetapi justru kini telah datang serangan dari Po San Cinjin sehingga membuat ia jadi terkepung sedemikian rupa.   Namun Lie Su Han tidak habis daya, ia mengeluarkan suara tawa, tiba-tiba cekalannya pada ujung bulu hud-tim tojin, yang tahu-tahu kehilangan tenaga menariknya dan tubuhnya terhuyung ke belakang hilang keseimbangan tubuhnya, akhirnya ia terjengkang ke belakang.   Mempergunakan kesempatan seperti itu.   Lie Su Han telah menggerakkan kedua tangannya dibarengi dengan kedua kakinya yang ditekuk, sehingga tubuhnya berjongkok rendah, dan cepat luar biasa, dari kedua telapak tangan Lie Su Han telah menyambar kekuatan lweekang yang sangat dahsyat.   "Dukkkkk, Bukkkkk'!"   Terdengar dua kali suara benturan.   Ternyata dua serangan dari Po San Cinjin telah berhasil ditangkisnya dengan mempergunakan tenaga lweekangnya, dengan demikian, segera juga tubuh mereka berdua tergoncang keras.   Muka Po San Cinjin juga berobah pucat waktu ia telah berdiri kembali di lantai.   "Tangkap pemberontak ini!"   Teriak Po San Cinjin setelah mengatur jalan pernapasannya.   Teriakannya itu ditujukan kepada para tentara Mongolia itu.   Segera juga sembilan tentara Mongolia tersebut termasuk Long-gicu mengurung Lie Su Han, mereka juga telah mencabut goloknya masing-masing.   Melihat dirinya dikurung demikian banyak tentara Mongolia, yang umumnya memiliki bentuk tubuh tinggi tegap dan juga dengan ikut sertanya dua orang tojin yang masing-masing memiliki kepandaian tinggi tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya.   membuat Lie Su Han jadi mengeluh.   Tetapi para tentara Mongolia tersebut sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada Lie Su Han.   Sembilan batang golok telah menyambar cepat sekali, meluncur ke berbagai bagian anggota tubuh Lie Su Han.   Sedangkan Po San Cinjin dan tojin yang seorangnya lagi, yang bergelar Bo Liang Cinjin, tidak berdiam diri saja.   Mereka berdua juga telah menyerbu maju dengan mempergunakan hud-timnya menyerang Lie Su Han.   Lie Su Han telah dikepung dari berbagai jurusan, dan hal ini memaksa dia harus berusaha menghadapi sebaik mungkin.   Tiada jalan lain baginya, ia telah mencabut keluar pedang dari balik bajunya.   Dan dengan pedang pendek tersebut, yang diputarnya cepat sekali, Lie Su Han melindungi dirinya dari setiap serangan lawan-lawannya.   Tubuh Lie Su Han berkelebat-kelebat cepat bagaikan bayangan saja di antara para pengepungnya itu.   Segera terlihat, tentara Mongolia yang memang hanya mengerti cara bertempur di medan perang, tetapi tidak memiliki ilmu silat yang berarti telah terdesak mundur karena setiap kali golok mereka terbentur dengan pedang Lie Su Han, justu mereka merasakan telapak tangan mereka sakit dan pedih, sebab tenaga lweekang Lie Su Han yang menyelubungi tubuh pedangnya itu, membuat setiap serangan tentara Mongolia tersebut tidak berarti apa-apa buatnya.   Yang diperhatikan sekali oleh Lie Su Han adalah kedua tojin itu, yaitu Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin.   Kedua tojin tersebut dengan kedua hud-timnya, yang memang telah diselubungi oleh kekuatan tenaga dalamnya, benar-benar merupakan tandingan yang cukup berat buat Lie Su Han.   Karena itulah berulang kali Lie Su Han telah berusaha untuk berkelit dari senjata lawan-lawannya itu.   Namun Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin selalu mendesak dengan keras kepada Lie Su Han, terutama sekali mereka juga menerima bantuan dari ke sembilan tentara Mongolia itu walaupun ke sembilan tentara Mongolia tersebut tidak memiliki arti yang banyak dalam hal bantuannya, setidak-tidaknya bisa memecahkan perhatian Lie Su Han.   Dan itu merupakan suatu keuntungan yang tidak kecil buat Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin.   Lie Su Han kewalahan juga menerima terjangan kedua tojin itu dengan sembilan tentara Mongolia.   Terlebih lagi tidak lama kemudian Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin telah mencabut keluar pedang mereka masing-masing, yang semula tergemblok di punggung mereka.   Dua sinar putih berkelebat-kelebat mengurung Lie Su Han, di mana kedua batang pedang kedua tojin tersebut seperti juga dua ekor naga yang tengah melingkar-lingkar menyambar di berbagai tempat dari anggota tubuh Lie Su Han yang mematikan.   Lie Su Han mengeluh juga, walaupun bagaimana tidak mungkin ia bisa menerobos kepungan itu, karena memang kepandaian kedua tojin tersebut tidak berada di sebelah bawah dari kepandaiannya.   Pertempuran itu berlangsung dengan seru, namun semakin lama tampak Lie Su Han telah semakin terdesak dan membuat Lie Su Han sering mengeluh.   Dan sekali waktu pundaknya telah kena diserempet oleh tebasan pedang Bo Liang Cinjin, untung saja lukanya itu tidak telalu dalam dan parah.   Melihat lawannya telah terluka, semangat bertempur dari Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi terbangun, seketika itu juga mereka menambah kekuatan lweekang mereka untuk melancarkan serangan dengan sepasang pedang mereka, yang terus juga berkelebat-kelebat cepat bukan main.   Dengan terluka seperti itu, bukannya takut malah Lie Su Han semakin berani, dengan nekad ia telah mernpergunakan pedang pendeknya untuk melakukan tikaman dan tabasan maut yang berulang kali.   Iapun telah berhasil melukai tiga orang tentara Mongolia, di mana mereka telah dilukai oleh tikaman pedangnya pada lengan masing-masing, sehingga darah mengucur deras sekali.   Tetapi ke sembilan tentara Mongolia tersebut masih juga terus menyerang dengan golok masing-masing.   Keringat telah membasahi pakaian Lie Su Han, dan ia berusaha memberikan perlawanan terus, sehingga benturan senjata tajam terdengar ramai sekali.   Di waktu pelayan dan pemilik rumah makan, serta dua atau tiga orang tamu yang berada di tempat tersebut ketakutan dan bersembunyi di kolong meja, justru dari arah luar telah terdengar suara.   "ting-tong ting-tong"   Yang cukup nyaring, disusul dengan kata-kata.   "Aha, ha, ha, ha, rupanya ada pertunjukan yang menarik disini.....!"   Dan dari luar, melangkah masuk seorang pendeta yang bertubuh gemuk, dengan kepala yang licin pelontos.   Hwesio tersebut mungkin berusia limapuluh tahun pakaiannya terbuat dari pada bahan cita yang kasar berwarna kuning gading, dan pada tangannya terdapat kayu bok-hie bersama ketukkannya yang terbuat dari besi.   Dan waktu itu ketukan bok-hie tersebut bukannya mengetuk kayu bok-hie itu, malah telah mengetuk pinggiran tepi kayu bok-hie, yang terlapiskan oleh besi, sehingga terdengar suara ting-tong ting-tong tidak hentinya.   Lie Su Han tengah sibuk sekali mengadakan perlawanan atas serangan lawan-lawannya itu, maka kedatangan hwesio tersebut tidak membuatnya menoleh, karena jika dia menoleh, tentu akan membuat pecah perhatiannya dan ia bisa menerima bahaya yang hebat.   Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin telah melirik sejenak, dan waktu melihat orang yang datang tersebut tidak lain dari seorang hwesio, mereka memperlihatkan wajah mengejek dan telah meneruskan pula penyerangannya pada Lie Su Han malah sekarang lebih gencar lagi, dan juga tenaga lweekang yang mereka pergunakan itu jauh lebih kuat.   Ke sembilan tentara Mongolia yang sebagian dari mereka telah terluka oleh tikaman maupun tabasan pedang Lie Su Han, membuat mereka sengit melakukan penyerangan dengan senjata mereka jauh lebih garang dari semula.   Mereka rupanya bermaksud untuk membinasakan Lie Su Han, jika memang mereka tidak berhasil menangkapnya.   Dengan demikian si hwesio seperti juga tidak menerima layanan, apa lagi memang pelayan rumah penginapan tersebut, bersama pemiliknya tengah bersembunyi di kolong meja ketakutan bukan main.   Si pendeta berkepala botak pelontos tersebut tertawa lebar waktu melihat jalannya pertempuran itu, iapun telah mengetuk-ngetuk terus pinggiran dari tepian kayu bok-hie itu, sehingga suara tingtong ting-tong terdengar semakin jelas dan nyaring, seperti mengiringi jalannya pertempuran tersebut.   Tetapi waktu melihat beberapa kali tubuh Lie Su Han terhuyung seperti akan rubuh si hwesio mengeluarkan suara seruan yang tiada henti-hentinya.   "Sayang, sayang..... seorang diri, melawan tikus-tikus besar yang berjumlah begitu banyak. Inilah tidak pantas! Inilah tidak pantas! Tidak sedap dilihat!"   Dan setelah berkata begitu, segera Hwesio mengetuk kayu bok-hienya itu lebih gencar, sehingga terdengar suara.   "ting-tong, ting-tong, ting-tok, ting-tok!"   Ramainya suara dari terketuknya kayu bok-hie tersebut, yang sekali-sekali diselingi dengan terketuknya pembalut tepian kayu bok-hie itu, ramai sekali memenuhi ruangan tersebut, sehingga pertempuran yang tengah berlangsung itu seperti juga merupakan suatu pertunjukan yang benar-benar menarik hati.   Lie Su Han rupanya memang telah terdesak hebat sekali, dan juga tampaknya tenaganya mulai berkurang banyak, sehingga ia berulang kali harus terhuyung-huyung akan rubuh dan terdesak keras oleh lawan-lawannya.   Namun Lie Su Han juga memiliki latihan yang cukup matang pada ilmu silatnya, sehingga sejauh itu ia masih bisa mempertahankan diri, walaupun dengan luka-luka yang mulai memenuhi di beberapa bagian anggota tubuhnya.   Satu kali tampak Lie Su Han mengeluarkan seruan kaget, karena mata pedang dari Bo Liang Cinjin telah menyambar dekat sekali dadanya sebelah kiri hanya terpisah kurang lebih empat dim, dan jika mata pedang itu berhasil menembusi dadanya tentu akan menembus langsung ke jantung! Hal itu tentu saja berarti kematian untuk Lie Su Han.   Dengan demikian Lie Su Han jadi agak gugup juga, ia mengangkat pedang pendeknya dan mempergunakan untuk menyampok, dengan jurus Menyingkap Awan Melihat Langit, di mana pedangnya itu berhasil menangkis pedangnya Bo Liang Cinjin.   Namun pendeta dari agama To tersebut rupanya tidak menyerang sampai di situ saja, ia telah membarengi dengan kebutan-kebutan hud-timnya pada kepala Lie Su Han, di mana bulu kebutan hud- timnya telah berkumpul menjadi satu dan menyambar akan menghantam hebat kepada sasarannya.   Po San Cinjin juga telah mempergunakan pedangnya menikam ke arah pinggang Lie Su Han diiringi juga dengan kebutan Hud-timnya ke arah lutut Lie Su Han, di mana bulu-bulu hud-tim itu tidak berkumpul malah berpencar satu dengan lainnya, mekar seperti sekuntum bunga.   Itulah serangan yang berbahaya, karena ujung dari bulu-bulu hudtim itu seperti juga mata jarum.   Bila mengenai sasarannya, jelas akan membuat jalan darah yang terletak di sekitar lutut Lie Su Han akan tertotok.   Belum lagi tikaman pedang dari Po San Cinjin pada pinggangnya.   Benar-benar keadaan Lie Su Han terjepit menghadapi serangan lawan-lawannya itu, ke sembilan golok dari para tentara Mongolia juga telah menyambar kilat ke berbagai tubuhnya.   Tiada jalan mundur atau berkelit bagi Lie Su Han di mana membuat ia jadi mengeluh sendirinya.   "Habislah aku kali ini.......,"   Teriak Lie Su Han di dalam hatinya.   Kini hwesio gemuk itu sudah tidak bisa tertawa lagi waktu melihat keadaan Lie Su Han terjepit seperti itu.   Ketukan pada kayu bok-hie juga berhenti.   Walaupun tubuhnya gemuk.   Namun gerakan si hwesio ternyata lincah dan gesit sekali, karena begitu dia menjejakkan kakinya, tubuhnya seperti sebuah bola yang melambung di tengah udara.   Dan di saat itu kayu bok-hie di tangannya, berikut pemukulnya juga telah dimasukkan ke dalam jubahnya, di mana kemudian waktu tubuhnya meluncur di dekat gelanggang pertempuran itu, si hwesio telah menggerakkan kedua telapak tangannya dengan cepat.   "Aduuuh!"   Terdengar suara jerit kesakitan, lalu disusul dengan suara jeritan lainnya lagi.   Saling susul tampak sembilan tubuh telah terpental berjumpalitan dan kemudian membentur keras sekali dinding ruangan itu.   Rupanya ke sembilan tentara Mongolia itu telah dapat dibikin terpental satu demi satu oleh si hwesio gemuk tersebut, sehingga begitu mereka membentur dinding, tubuh mereka terkulai rubuh di lantai dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri.   Sesungguhnya Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin tengah dalam kegembiraan yang melihat bahwa lawan mereka dalam beberapa saat lagi akan berhasil mereka rubuhkan, karena mereka melihat bahwa Lie Su Han memang sudah tidak memiliki jalan mundur lagi untuk menyelamatkan dirinya.   Namun betapa terkejutnya mereka waktu melihat kejadian yang tidak pernah mereka sangka, yaitu ke sembilan dari tentara Mongolia itu, masing-masing telah berhasil dibuat terpental begitu rupa oleh si hwesio gemuk tersebut.   Karena kedua tojin itu terkejut maka mereka menahan sedikit serangan mereka yang merandek beberapa detik.   Mempergunakan kesempatan itulah si hwesio gemuk tersebut telah mengulurkan tangan kanannya mencengkeram baju di punggung Lie Su Han, dan menghentaknya, menarik dengan cepat, sehingga tubuh Lie Su Han bisa diselamatkan dari serangan kedua tojin itu.   Bukan main marahnya Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin, mereka telah mengawasi si hwesio dengan sorot mata yang tajam bengis.   "Kerbau..... siapa kau yang begitu lancang tangan berani mencampuri urusan kami?"   Bentak Bo Liang Cinjin kemudian dengan suara bengis mengandung kemarahan yang sangat.   "Ya, kau rupanya mencari mampus, kerbau gundul!"   Teriak Po San Cinjin dengan suara yang tidak kalah bengisnya. Si hwesio gemuk tertawa bergelak, ia melepaskan cekalannya pada pakaian Lie Su Han, yang waktu itu telah merasa bersyukur, karena dirinya telah diselamatkan oleh si hwesio.   "Aku si pendeta miskin yang tidak bernama...... Kebetulan aku menyaksikan pertandingan yang tidak sedap dipandang, sehingga Siauw-ceng terpaksa ikut mencampurinya.......!"   Menyahuti hwesio tersebut dengan sikapnya yang tetap riang.   "Siauw-ceng hanya menghendaki kalian bertempur dengan cara yang adil, seorang demi seorang, tidak seperti tadi, main meluruk begitu......!"   Dan si pendeta tersebut telah tertawa bergelak. Bo Liang Cinjin dari Po San Cinjin membuka mata lebar-lebar dan membentak mengandung kemarahan yang sangat.   "Engkaukah yang bergelar Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu?"   Tanya Bo Liang Cinjin kemudian.   Si pendeta tertawa sambil mengangguk.   Memang gelarannya adalah Sung Ceng Siansu.   Tetapi disebabkan ia gemar sekali tersenyum dan tertawa tidak henti-hentinya setiap menghadapi lawan bicaranya, maka pendeta ini telah diberikan julukan lainnya, yaitu Bi-lek-hud, si Buddha tertawa.   "Memang tidak salah, rupanya Totiang berdua memiliki mata yang sangat tajam......!"   Kata Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu. Dan sekarang apakah totiang berdua akan meneruskan main-main dengan senjata tajam itu dengan tuan ini?"   Sambil berkata begitu, si Bi-lek-hud telah menunjuk kepada Lie Su Han, yang waktu itu berdiri di sampingnya.   Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin berdua sesungguhnya telah cukup lama dan sering mendengar nama Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu, yang merupakan seorang hwesio yang memiliki kepandaian tinggi dan disegani oleh jago-jago rimba persilatan.   Tetapi walaupun begitu Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin juga merupakan dua orang tojin dari pintu perguruan Kun-lun-pay yang memiliki kepandaian tinggi.   Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Mereka juga merupakan dua orang murid tingkat ketiga, dengan demikian mereka memiliki nama dan tingkat derajat yang tinggi dalam bilangan pintu perguruan Kun-lunpay.   Sekarang, dalam keadaan marah seperti itu, walaupun mereka telah mengetahui bahwa hwesio gemuk tersebut adalah Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang kesohor namanya di dalam kalangan Kang-ouw, tokh mereka tidak merasa gentar.   "Kami tidak akan memperdulikan dulu pemberontak itu. Jika memang Taysu bisa merubuhkan kami berdua, maka pemberontak itu akan kami ijinkan untuk pergi bebas kemana dia mau.....!" Hebat kata-katanya yang diucapkan oleh Bo Liang Cinjin, karena itulah sebuah tantangan untuk Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu. Tetapi Sung Ceng Siansu tidak melawan kata-kata tantangan itu dengan sikap mendongkol atau marah, ia malah tertawa. Sama seperti julukannya, yaitu Bi-lek-hud, ia telah memperlihatkan sikapnya yang selalu riang.   "Lucu sekali,"   Kata Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu kemudian.   "Kalian membawa sikap seperti anak kecil. Jika boleh siauw-ceng ingin sekali mengetahui gelaran yang mulia dari Jie-wie totiang......!"   "Pinto Bo Liang Cinjin dan ini adikku Po San Cinjin,"   Kata Bo Liang Cinjin, suaranya tetap memperlihatkan perasaan tidak senang dan membenci kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu.   "Dan kami justru hendak meminta petunjuk dari Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang begitu terkenal namanya di kalangan Kang-ouw!"   "Hahaha,"   Tertawa pendeta yang selalu riang itu sambil mengusapusap perutnya yang memang membuncit, dan kemudian ia berkata.   "Benar-benar lucu! Rupanya hari ini Siauw-ceng berjodoh bertemu dengan dua orang tokoh Kun-lun-pay yang memiliki nama begitu menggetarkan rimba persilatan! Inilah namanya suatu rejeki yang besar dan keberuntungan yang tidak pernah siauw-ceng berani harapkan sebelumnya! Apa lagi sekarang, jie-wie totiang hendak mengajak siauw-ceng main-main, dengan begini, itulah suatu penghormatan yang besar untuk siauw-ceng. mana berani siauw-ceng untuk menampiknya?"   Sambil berkata, tangan kanan Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah mengusap-usap perutnya yang memang sangat buncit itu.   Mendengar bahwa tantangan mereka itu diterima dengan cara seperti itu, Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin tidak membuangbuang waktu pula.   Bo Liang Cinjin menggerakkan pedangnya di tangan kanannya menikam ke arah perut si hwesio, gerakannya cepat sekali.   Dan juga Hud-tim nya telah dikebutkan ke kepala si hwesio.   Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu mengeluarkan suara teriakan kaget diiringi tawanya.   "Celaka....."   Serunya, dan tangan kanannya mengusap perutnya yang buncit lebih cepat, tangan kirinya menutupi kepalanya yang gundul itu, seperti takut kena dikemplang.   Dan sambil berbuat dengan tingkah laku yang lucu seperti itu, ia juga telah mencelat ke samping, gerakannya begitu ringan dan cepat sekali.   Dan gerakan dari Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu tersebut telah membuat tikaman dan kejaran hud-tim Bo Liang Cinjin jatuh di tempat kosong.   Sedangkan Po San Cinjin yang melihat tikaman dan kemplangan hud-tim dari saudara seperguruannya tidak berhasil mengenai sasarannya, jadi mengeluarkan suara seruan nyaring sambil menggerakkan pedang dan hud-timnya juga menikam dari mengebut kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu.   Gerakan yang dilakukannya itu disertai oleh kerahan tenaga lweekang sembilan bagian.   Hal ini disebabkan Po San Cinjin menyadari bahwa orang yang tengah dihadapinya ini adalah seorang lawan yang memiliki kepandaian yang tinggi sekali dengan demikian telah membuat ia melakukan tikaman dan kebutan hud-timnya itu dengan mempergunakan tenaga lweekang yang tidak kepalang tanggung.   Tetapi seperti tadi, Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah mengulapulapkan tangannya, sambil berkata.   "Celaka perutku......! Celaka perutku! Habislah kepalaku! Ohhh, celaka! Sungguh celaka!"   Walaupun Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu berbuat tingkah laku yang jenaka seperti itu, tokh kenyataannya gerakan tubuhnya cepat dan gesit sekali, sama sekali serangan yang dilakukan Po San Cinjin tidak berhasil mengenai sasarannya, karena pedang dan hudtimnya telah menyerang ke tempat kosong.   Dengan begitu Po San Cinjin dan Bo Liang Cinjin penasaran bukan main, dan mereka telah berbareng mengeluarkan suara bentakan sambil menggerakkan senjata mereka, yaitu sepasang pedang dan sepasang hud-tim saling samber cepat sekali dari empat jurusan kepada Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu.   Tetapi Sung Ceng Siansu telah melompat ke sana ke mari dengan gerakan tubuh yang ringan sekali, di mana ia pula acap kali berteriak-teriak.   "Celakalah aku! celakalah aku.....! Ooh perutku tersayang, akan robeklah engkau dicium pedang totiang ini......! Sungguh celaka kalau sampai kepalaku yang gundul ini kena dibelai oleh bulu-bulu dari totiang-totiang itu.....!"   Dan tubuhnya telah melejit ke sana ke mari.   Memang cukup menakjubkan, walaupun bentuk tubuhnya gemuk bundar seperti itu, kenyataannya Sung Ceng Siansu bisa bergerak begitu gesit dan lincah.   Malah sering sekali ia berteriak-teriak seperti orang ketakutan, tidak lupa ia menyelingi dengan suara tertawanya.   Setelah lewat sepuluh jurus, semakin lama Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin semakin panas hatinya.   Keduanya telah mengerahkan seluruh kekuatan lweekang mereka dan telah menikam dan mengebut dengan hud-tim dan pedang mereka gencar sekali.   Kenyataannya, kedua tojin tersebut tetap mendesak Sung Ceng Siansu.   Malah setelah lewat sepuluh jurus pula di saat mana Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin tetap tidak berhasil untuk melukai Sung Ceng Siansu.   Bahkan mendesak si hwesio saja mereka tidak bisa, di saat itulah Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah berkata dengan suara yang sangat nyaring.   "Aha haha haha, rupanya sekarang giliran aku si gemuk untuk memperlihatkan betapa tebalnya perutku ini, dan betapa atosnya kulit kepalaku...... hihihihi, hahahaha.....!"   Dan sambil tertawa begitu, tahu-tahu Sung Ceng Siansu sambil berkelit mengelakkan tikaman dari Bo Liang Cinjin yang menggerakkan pedangnya ke arah pahanya.   Tubuh pendeta gemuk itu telah melambung ke atas setombak lebih, kedua kakinya ditekuk.   dan kedua tangannya dilibatkan pada kedua kakinya di mana tubuhnya yang gemuk itu benar-benar jadi bulat seperti juga sebuah bola.   Dan tubuh dari Sung Ceng Siansu berputaran di tengah udara.   Lalu kepalanya itu menyeruduk kepada Bo Liang Cinjin, di saat tubuh hwesio tersebut meluncur turun dengan cepat.   Bo Liang Cinjin yang, menyaksikan cara menyerang Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang aneh dan luar biasa ini, tertegun sejenak, karena ia tidak mengerti, bahwa hwesio ini benar-benar membuktikan ancamannya, bahwa ia akan memperlihatkan kekedotan dan keatosan kulit kepalanya.   Namun Bo-liang tidak bisa berlaku ayal, karena tubuh Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah meluncur cepat sekali dan kepalanya yang gundul itu hanya terpisah tiga dim dari dada Bo Liang Cinjin.   Mati-matian Bo Liang Cinjin telah menjengkangkan tubuhnya ke belakang, dengan gerakan "Tiat-pan-ko"   Atau jembatan besi, sehingga walaupun tubuhnya terjengkang ke belakang, ia masih bisa berdiri di atas kedua kakinya yang tertekuk dalam-dalam itu.   Sikap yang diperlihatkan pada gerakannya benar-benar mirip dengan Jembatan Besi, seperti nama dari jurus itu.   Karena tidak mengenai sasarannya, maka serudukan Sung Ceng Siansu mengenai dinding, ia tidak bisa menahan meluncurnya tubuhnya yang berputar seperti bola itu, maka kepalanya yang gundul plontos menghantam kuat sekali dinding ruangan sebelah kanan.   Terdengarlah suara menggelegar yang sangat keras sekali, dan dinding itu jadi jebol berlobang, karena dinding itu seperti dihantam oleh sesuatu benda yang keras dan kuat sekali.   Sedangkan Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu sendiri sambil tertawa.   "Hahaha!"   Telah berdiri dengan kedua kakinya, sedikitpun tidak terlihat mabok atau pusing akibat benturan kepalanya itu dengan dinding tersebut yang jadi berantakan batunya, meluruk hancur di kaki tembok.   Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi berdiri kaku kaget dan heran, mereka tidak mengerti betapa kuatnya kepala botaknya si Buddha tertawa itu, Sung Ceng Siansu.   Sambil tertawa hahahaha tidak hentinya, Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu telah melangkah mendekati Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin! Tiba-tiba hwesio gemuk ini duduk di lantai sambil tertawa tergelak-gelak tiada hentinya, kedua tangannya mengusap-usap perutnya yang buncit.   "Lucu sekali..... lucu sekali......!"   Kata hwesio gemuk tersebut terus menerus dengan tertawanya yang terpingkal.   "Seperti itu, sungguh menggelikan...... hahaha...... sungguh lucu!"   Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin yang telah tersadar dari tertegunnya dan berkurang perasaan kaget mereka, ketika melihat tingkah laku hwesio jenaka tersebut yang seperti juga mengejek diri mereka.   Keduanya jadi memandang benci dan Bo Liang Cinjin telah bertanya dengan suara membentak.   "Apanya yang lucu?"   "Kalian berdua, lucu sekali......!"   Menyahuti Sung Ceng Siansu sambil terus tertawa keras terpingkal-pingkal.   "Ada apa pada kami yang lucu?"   Bentak Po San Cinjin, yang jadi mendongkol bukan main.   "Kalian berdua merupakan tojin-tojin yang tidak punya guna..... lucu sekali, seperti anak kecil yang takut menghadapi kodok...... mengapa kalian tidak menangkis terjanganku tadi dan melainkan kalian hanya berusaha menyingkir menyembunyikan ekor?"   Menyahuti Sung Ceng Siansu dengan diselingi suara tertawanya yang bergelak-gelak.   Muka Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi berobah merah padam, mereka gusar dan penasaran bukan main, keduanya menahan kemarahan mereka sampai tubuh mereka menggigil.   "Baiklah,"   Kata Bo Liang Cinjin dengan suara yang keras.   "Pinto ingin melihat sampai berapa tinggi kepandaian dari Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu yang dipuji-puji orang rimba persilatan....."   Dan membarengi perkataannya tampak Bo Liang Cinjin telah mengebutkan hud-timnya ke samping, lalu pedang di tangan kanannya menyambar ke arah Sung Ceng Siansu, yang masih tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak.   Po San Cinjin juga rupanya tidak mau berdiam diri.   Ia pun penasaran karena dengan maju berbareng berdua seperti itu, biasanya mereka merupakan jago yang sulit sekali ditundukkan oleh siapapun juga.   Namun sekarang malah hwesio berkepala gundul yang jenaka ini bagaikan tidak memandang sebelah mata pada mereka.   Dengan demikian, perasaan penasaran telah meliputi kedua tojin, sekarang turun tangan mereka melakukan tikaman dengan pedang masing-masing, juga melancarkan kebutan dengan hud-tim mereka.   Kedua tojin itu melakukan dengan bersungguh-sungguh dengan mempergunakan jurus ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat.   Ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat terdiri dari delapanpuluh enam jurus.   Dan setiap jurus dipecah menjadi dua gerakan, dengan demikian, jumlah seluruh gerakan dari Ilmu pedang itu menjadi seratus tujuhpuluh bagian.   Ilmu pedang Kun-lun juga memiliki banyak perubahan, antara jurus satu dengan jurus lainnya selalu memiliki hubungan yang erat.   Jika serangan pertama gagal maka jurus selanjutnya akan segera menambal kekurangan yang terdapat pada jurus yang terdahulu itu.   Dengan begitu, ilmu pedang tersebut bagaikan memiliki rangkaian yang erat dan selalu beruntun sekali jurus demi jurus mengepung lawannya.   Terlebih lagi sekarang Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin melakukan serangan kepada si pendeta jenaka itu dengan berbareng, sekaligus maju berdua, dan juga mereka memainkan ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat dengan bersungguh-sungguh.   Dengan demikian, telah menyebabkan setiap jurus yang mereka pergunakan memiliki kekuatan yang bisa mematikan.   Tetapi Sung Ceng Siansu sama sekali tidak jeri untuk berurusan dengan kedua tojin Kun-lun-pay tersebut, ia masih tetap duduk di tempatnya dengan tertawanya yang bergelak-gelak tidak hentinya.   Waktu dilihatnya kedua batang pedang Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin itu menyambar ke arah perut dan pundaknya, Sung Ceng Siansu tetap tertawa malah iapun berseru.   "Ohh, bisa celaka aku! Sungguh berbahaya.....!"   Lalu tubuhnya seperti bola bundar telah menggelinding di lantai, dan kemudian telah duduk pula di bagian lainnya. Dengan demikian sambaran kedua batang pedang Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin mengenai tempat kosong.   "Ayo kita bermain petak......!"   Kata hwesio jenaka tersebut.   "Aku gembira sekali bisa bermain-main dengan kalian berdua, jie-wi Totiang!"   Muka Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi berobah merah, karena mereka benar-benar penasaran sekali.   Tidak disangka oleh mereka sama sekali, bahwa kini justru mereka seperti juga dipermainkan oleh pendeta gundul yang jenaka itu, dan seperti juga ilmu pedang mereka yang sesungguhnya telah dilatih mahir, bagaikan tidak memiliki arti apa-apa lagi buat si pendeta berkepala botak tersebut.   "Baiklah lihat serangan....."   Bo Liang Cinjin telah membentak, sambil melompat pedang di tangannya digetarkan sekaligus melancarkan tikaman ke tiga bagian di tubuh anggota bagian pendeta gundul tersebut yaitu lengan, dada dan perut.   Po San Cinjin juga rupanya tak mau ketinggalan, ia maju mendekati si hwesio jenaka itu dari arah samping kanan, pedangnya digerakkan menabas ke arah pinggang si hwesio.   Tetapi Sung Ceng Siansu tergelak-gelak tiada hentinya.   Kini ia tidak menggelinding di lantai seperti biasanya tetapi tetap duduk di tempatnya, kedua tangannya telah digerakkan yang tangan kiri diulurkan untuk menjepit pedang Bo Liang Cinjin dengan jari telunjuk dengan jari tengahnya, kemudian tangan satunya lagi digerakkan untuk menjepit pedang Po San Cinjin.   Kedua tojin tersebut melihat gerakan Sung Ceng Siansu, dan mereka juga mengetahui maksud dari pendeta jenaka itu yang hendak menjepit pedang mereka.   Namun mereka tidak berdaya untuk mengelakkan pedang mereka dari jepitan si hwesio, karena gerakan yang dilakukan oleh Sung Ceng Siansu sangat cepat, sehingga mereka hanya bisa melihat meluncurnya kedua tangan Sung Ceng Siansu.   Tahu-tahu mereka telah kena dipermainkan oleh hwesio jenaka itu, di mana ketika pedang mereka masing-masing kena dijepit oleh jari tangan Sung Ceng Siansu, tahu-tahu Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin merasakan tubuh mereka terangkat terapung di tengah udara, berputar-putar tidak hentinya.   Karena dengan menjepit pedang kedua lawannya itu, Sung Ceng Siansu telah mengerahkan lweekangnya, dan kemudian lewat ke dua badan pedang itu, ia mengangkat naik kedua tubuh tojin itu.   Kedua tojin itu kaget bukan kepalang, mereka mengeluarkan suara seruan nyaring, berusaha memberatkan tubuh mereka guna turun ke lantai pula.   Namun mereka seperti tidak berdaya lagi, tubuh mereka tetap melayang terapung di tengah udara.   Kedua tojin itu menyadari, mereka baru bisa menghindarkan diri dari libatan tenaga lweekang Sung Ceng Siansu, jika saja mereka melepaskan pedang masing-masing.   Namun dengan melepaskan pedang, berarti mereka telah menampar muka sendiri, karena bagi orang-orang persilatan, senjata sama dengan jiwa mereka.   Dengan terlepasnya senjata mereka, berarti pamor dan nama baik mereka runtuh dengan sendirinya, dan sulit untuk mengangkat kepala lagi.   Itulah sebabnya.   Untuk beberapa saat lamanya Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin jadi ragu-ragu dan bimbang untuk melepaskan senjata mereka.   Berulang kali hud-tim mereka berusaha menghantam ke arah kepala dan pundak si hwesio jenaka itu.   Namun Sung Ceng Siansu sambil tertawa hahahahaha tidak hentinya menggerakkan dua tangannya itu, yang jari tangannya menjepit pedang kedua lawannya itu.   Kepalanya yang gundul pelontos telah digerakkan miring ke kiri dan ke kanan cepat sekali, menghindari dengan mudah setiap kali kebutan hud-tim dari kedua tojin muda itu tiba.   Memang terdapat kesulitan yang tidak kecil buat Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin.   Pedang mereka berukuran panjang, dengan begitu hud-tim mereka yang berukuran lebih pendek dari pedang mereka, jadi selalu gagal mencapai sasaran yang mereka kehendaki.   Lie Su Han yang menyaksikan dari jarak tiga tombak lebih, merasakan berkesiuran angin dari meluncurnya ke dua tubuh tojin itu, yang tetap melayang-layang terapung di tengah udara.   Betapa kagumnya Lie Su Han, sehingga ia memuji tidak hentinya.   Kepandaian yang telah diperlihatkan oleh Sung Ceng Siansu memang menakjubkan, dan menurut Lie Su Han mungkin hanya gurunya, yaitu Bu Siang Siansu yang dapat menandinginya.   Sung Ceng Siansu rupanya menganggap bahwa telah cukup mempermainkan ke dua tojin itu karena setelah memutar tubuh ke dua tojin itu beberapa saat lamanya pula, tahu-tahu Sung Ceng Siansu telah menghentak ke dua tangannya.   Pedang Bo Liang Cinjin patah tiga, dan pedang Po San Cinjin patah dua.   Tubuh mereka terlempar ke tengah udara.   Mati-matian Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin berusaha menguasai tubuh mereka, sehingga mereka jatuh tanpa terbanting, ke dua kaki mereka terlebih dulu tiba di lantai.   Namun karena disebabkan mereka tadi telah diputar-putar, sehingga mereka merasa pening, mata mereka juga berkunang-kunang.   Begitu kaki mereka menginjak lantai, tubuh mereka terhuyung-huyung lama, sampai akhirnya ke dua tojin itu bisa menguasai tubuh mereka tidak terhuyung lagi.   Ke sembilan tentara Mongolia yang tadi telah pingsan dibanting oleh Sung Ceng Siansu, kini telah tersadar dan berdiri di samping dengan hati yang kecut.   Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Nyali mereka telah pecah karena mereka menyadari jika mereka maju lagi, niscaya mereka akan menderita siksaan yang jauh lebih hebat lagi dari hwesio yang kepandaiannya tinggi itu.   Buktinya ke dua tojin yang berkepandaian sangat tinggi yang mereka andalkan, telah berhasil dipermainkan oleh hwesio tersebut.   Sung Ceng Siansu telah melompat berdiri, tetapi tidak hentinya tertawa.   "Apakah kalian masih hendak main-main dengan Siauw-ceng?"   Tanya pendeta itu.   Muka Bo Liang Cinjin dan Po San Cinjin berobah merah, mereka penasaran dan marah sekali, tetapi mereka juga dapat melihat keadaan.   Walaupun mereka penasaran, tokh disebabkan mereka menyadari tidak akan dapat melayani pendeta tersebut, mereka memutuskan untuk menyudahi pertempuran itu.   Segera Bo Liang Cinjin berkata.   "Baiklah, kali ini kami dirubuhkan olehmu, tetapi kelak Pinto berdua akan mencarimu untuk meminta petunjuk pula......!"   Dan setelah berkata begitu, Bo Liang Cinjin melirik kepada Po San Cinjin, memberikan isyarat kepada kakak seperguruannya itu guna berlalu.   Begitu juga ke dua tojin ini telah mengangkat tangannya untuk memberi tanda kepada sembilan tentara Mongolia yang tadi datang bersama mereka, untuk berlalu meninggalkan tempat tersebut.   Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu tertawa bergelak-gelak dengan sikapnya yang jenaka, ia menoleh kepada Lie Su Han waktu Bo Liang Cinjin dan kawan-kawannya itu berlalu dari ruangan makan rumah penginapan tersebut.   "Anak muda, apakah engkau tidak mengalami cidera di dalam tubuh....?"   Tanya Sung Ceng Siansu di antara suara tertawanya itu. Lie Su Han cepat-cepat merangkapkan ke dua tangannya memberi hormat, dan ia berkata dengan sikap sangat berterima kasih.   "Terima kasih atas pertolongan yang diberikan Taysu.... Siauwte hanya terluka luar saja. Luka yang tidak begitu berarti dan nanti setelah diobati, tentu akan sembuh dengan cepat....."   "Bagus!"   Kata Sung Ceng Siansu kemudian dengan suara yang nyaring. Lalu mengeluarkan kayu bok-hienya yang kemudian diketuk-ketuk.   "kukira akupun harus berlalu......!"   Lie Su Han nenyatakan terima kasihnya lagi dan ia mengantarkan Sung Ceng Siansu sampai di muka pintu rumah penginapan tersebut.   Tetapi waktu pendeta jenaka itu hendak berlalu sambil mengetukkan terus kayu bok-hienya terdengar suara jeritan tertahan dari seorang anak kecil.   Cepat sekali Lie Su Han dan Sung Ceng Siansu menoleh mereka melihat sosok tubuh melompat ke jendela dan lenyap di luar.   Sosok tubuh itu yang berpakaian berwarna jingga, tangannya mengempit sesosok tubuh kecil lainnya.   Tetapi mata Sung Ceng Siansu dan Lie Su Han yang tajam seketika mengenal bahwa anak kecil yang berada dalam kempitan orang berpakaian jingga itu adalah Lie Ko Tie keponakan Lie Su Han.   Bukan main kagetnya Lie Su Han, gesit sekali ia melompat menyusul ke arah jendela itu di mana ia melompat keluar untuk menggejar orang yang menculik Lie Ko Tie.   Sung Ceng Siansu yang batal pergi meninggalkan tempat itu telah melayang melompat juga ke jendela itu dan ia telah melayang dengan ringan sekali.   Empat kali menjejakkan kakinya di lantai seketika itu juga ia berhasil melampaui Lie Su Han.   Orang yang berpakaian baju warna jingga itu ternyata memiliki ginkang yang tinggi sekali.   Walaupun di tangan kanannya mengempit Lie Ko Tie tetapi ia bisa bergerak dengan ringan sekali di mana ia telah melompat ke genting rumah penduduk lainnya.   Sung Ceng Siansu boleh memiliki ginkang yang mahir tetapi kenyataan ia tidak bisa mengejarnya dengan segera, jarak mereka masih terpisah cukup jauh.   Lie Su Han yang memiliki ginkang di bawah ginkang Bi-lek-hud Sung Ceng Siansu tertinggal jauh sekali.   Bukan main berkuatirnya Lie Su Han, ia sampai mengucurkan keringat dingin, dan juga di waktu itu ia seperti melupakan luka64 luka yang terdapat di sekujur tubuhnya.   Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya, ia berlari cepat sekali.   Dan beberapa kali, karena tergesa-gesa seperti itu, keseimbangan berat ke dua kakinya sering tidak terkendalikan dan menginjak pecah beberapa genting rumah penduduk.   Sung Ceng Siansu yang dijuluki orang rimba persilatan sebagai Bilek-hud, si Buddha tertawa itu, sekarang ini jadi tidak bisa tertawa.   Ia heran dan kaget juga di dalam hatinya melihat orang yang menculik Lie Ko Tie ternyata tidak berhasil dicandaknya dengan segera.   Karena penasaran, Sung Ceng Siansu mengempos semangatnya dan telah mengerahkan tenaganya, tubuhnya yang bulat gemuk itu berlari secepat terbang.   Orang yang berpakaian jingga itu berlari menuju ke arah pintu Gomay.   Ia berlari begitu cepat sekali, sehingga setibanya di pintu kota tersebut, di mana ada belasan orang tentara Mongolia yang menjaga pintu kota tersebut hendak menegurnya.   Tapi tubuh lelaki berpakaian jingga tersebut telah melesat melewati mereka dengan ringan, sehingga belasan penjaga itu hanya berdiri tertegun saja, dengan hati bertanya-tanya apakah mereka bertemu hantu di siang hari bolong seperti itu.   Dan belum lagi lenyap heran mereka, waktu itu telah berkelebat pula sesosok tubuh yang gemuk dan telah lenyap dari pandangan mata mereka dalam waktu yang singkat.   Itulah Sung Ceng Siansu yang juga mengejar lelaki berpakaian jingga keluar dari kota Siangyang.   Lie Su Han yang memiliki ginkang tidak setinggi Sung Ceng Siansu tidak bisa melewati barisan penjaga kota tersebut begitu saja, karena diapun tengah dalam keadaan terluka napasnya juga memburu keras sekali.   Belasan penjaga pintu kota itu telah menghadangnya.   Lie Su Han mengeluh, karena jika ia melayani belasan penjaga pintu tersebut, tentu akan membuang waktu saja, dan berarti juga ia akan semakin tertinggal oleh penculik Lie Ko Ti dan Sung Ceng Siansu.   Tetapi sekarang belasan penjaga pintu kota itu telah menghadangnya, dengan demikian Lie Su Han mau atau tidak harus berusaha melewati mereka, karena jika tidak tentu banyak kerewelan.   Untuk mengambil jalan memutar lewat pintu kota lainnya tentu akan membuang waktu.   "Berhenti......!"   Bentak beberapa tentara penjaga pintu kota tersebut ketika melihat Lie Su Han berlari semakin dekat.   Lie Su Han tidak mengurangi kecepatan berlarinya, ia terus juga berlari dengan gesit sekali.   Hanya diam-diam Lie Su Han telah menyalurkan kekuatan lweekangnya pada ke dua tangannya.   Dan waktu tiba di hadapan para penjaga pintu kota tersebut, tangannya beruntun bergerak, maka terlemparlah lima orang dari tentara penjaga pintu kota tersebut, sisanya terkejut.   Tetapi sewaktu mereka hendak mengangkat tombak dan golok mereka waktu itu Lie Su Han telah menggerakkan pula ke dua tangannya.   Empat orang lagi dari tentara Mongolia penjaga pintu kota tersebut terlempar ke udara.   Sisanya dua orang, mereka semua ciut nyalinya dan tidak berani menghalangi Lie Su Han pula.   Maka cepat sekali Lie Su Han telah melewati mereka dan berlari terus keluar kota Siang-yang.   Penculik Lie Ko Tie yang memiliki ginkang mahir itu, masih terus berlari cepat sekali, dalam waktu sekejap mata saja telah limapuluh lie lebih dilewatinya, namun Sung Ceng Siansu yang penasaran melihat ia masih belum bisa mengejarnya.   Suatu kali di waktu jarak mereka terpisah belasan tombak, Sung Ceng Siansu mengayunkan tangan kanannya, maka melesatlah besi pengetuk kayu bok-hienya.   Lemparan besi pengetuk kayu bok-hie itu disertai dengan kekuatan lweekang yang hebat, hal mana bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, maka besi pengetuk kayu itu menyambar ke arah punggung lelaki berpakaian jingga itu.   Penculik Lie Ko Tie tidak menghentikan larinya, hanya tangan kirinya telah dikebutkan ke belakang.   Gerakan yang dilakukannya itu luar biasa kuatnya, karena batang besi pengetuk kayu bok-hie tersebut bisa disampoknya terpental ke samping kanan.   Namun disebabkan gerakannya itu, membuat larinya penculik tersebut terlambat beberapa detik saja.   Dan juga pada waktu yang lainnya beberapa detik itu justru telah dapat dipergunakan sebaik mungkin oleh Sung Ceng Siansu.   Karena waktu itu si pendeta yang digelari orang rimba persilatan dengan julukan Bi-lek-hud tersebut, telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melompat cepat sekali dan berada di dekat penculik itu, hanya terpisah dua tombak lebih.   Penculik Lie Ko Tie masih berusaha melarikan diri, tetapi justru di waktu itulah Sung Ceng Siansu telah menggerakkan tangan kanannya menghantam kepada penculik itu dengan pukulan Pekkong-ciang.   Sehingga walaupun mereka terpisah masih dua tombak lebih, tokh angin pukulan itu bisa menghancurkan batu, apalagi hanya punggung manusia.   Penculik Lie Ko Tie terpaksa harus mengelakkan gempuran itu dengan memandekkan tubuhnya, yang dibungkukkan dan dimiringkan juga ke kiri.   Dengan demikian ia bisa menghindarkan diri dari terjangan tenaga gempuran Sung Ceng Siansu.   Namun akibat berkelitnya dia, kesempatan itu dipergunakan Sung Ceng Siansu untuk melompat ke hadapan penculik tersebut menghadang jalan larinya.   "Hahahahaha......!"   Pendeta jenaka ini tertawa keras bergelakgelak, kini ia baru bisa tertawa karena telah berhasil mengejar penculik tersebut.   "Rupanya engkau akhirnya harus mengakui juga, bahwa aku Sung Ceng Siansu masih lebih menang di atasmu....."   Sambil berkata begitu, Sung Ceng Siansu mengawasi si penculik.   Ternyata dia seorang lelaki yang wajahnya kurus panjang, dengan kumis dan jenggot yang tipis pendek, dan mata yang terbuka besar menclos agak keluar, seperti juga mata ikan koki, mulutnya kecil, monyong seperti mului tikus.   Usianya mungkin sudah limapuluh tahun.   Waktu itu si penculik tersebut telah berkata dengan marah.   "Pendeta gundul, kau mencari mampus heh?"   Dan penculik berpakaian jingga tersebut juga bukan hanya berkata begitu saja, dengan tangan kirinya ia telah mendorong kepada Sung Ceng Siansu, ke arah dada pendeta tersebut.   Dorongan itu mengandung tenaga yang kuat sekali, menerjang seperti datangnya gelombang laut yang saling susul.   Sung Ceng Siansu tertawa keras, tubuhnya yang bulat itu telah melompat ke tengah udara, ke dua kakinya ditekuk, dan ke dua tangannya memeluk ke dua kakinya tersebut, dan seperti bola bundar, tubuh si pendeta yang gemuk itu telah berputar di tengah udara, tahu-tahu meluncur menyambar ke arah dada si penculik.   Penculik tersebut terkejut.   Ia mengetahui hebatnya cara menyerang Sung Ceng Siansu, maka ia tidak bisa meremehkannya.   Tetapi waktu itu ia sudah tidak memiliki waktu yang banyak guna menghindarkan diri.   Dan jalan satu-satunya, ia mengangkat tubuh Lie Ko Tie yang telah dalam keadaan tertotok tidak bisa bargerak, untuk diangsurkan menerima terjangan kepala gundulnya Sung Ceng Siansu.   Kaget bukan main Sung Ceng Siansu.   "Perbuatan licik......!"   Berseru Sung Ceng Siansu dengan gusar, tetapi ia tidak bisa membendung meluncur tubuhnya, yang kepalanya akan menerjang penculik itu.   Hanya jalan satu satunya si pendeta memusatkan kekuatan lweekangnya untuk memiringkan tubuhnya, yang segera merobah arah terjangannya, melewati sisi tubuh penculik tersebut dan meluncur terus di mana kepalanya kemudian menghantam batang pohon yang sebesar mulut mangkok sehingga menimbulkan suara yang nyaring sekali, dan yang luar biasa batang pohon tersebut segera patah dan tumbang.   Sedangkan Sung Ceng Siansu sendiri seperti tidak mengalami sesuatu apapun juga, telah berdiri.   Penculik Lie Ko Tie yang melihat kesempatan itu telah mengempit Lie Ko Tie dan bermaksud hendak melarikan diri lagi.   Tetapi Sung Ceng Siansu telah mengeluarkan suara tertawa bergelak-gelak, sambil katanya.   "Aduh anak manis..... aduh anak manis...... jangan pergi dulu. Kepalaku yang alot dan atos ini belum lagi mencium tubuhmu......!"   Sambil berseru Sung Ceng Siansu telah menjejakkan kaki, tubuhnya telah melompat pula dengan sikap seperti tadi.   Yaitu ke dua kaki ditekuknya dan ke dua tangan memeluk ke dua kaki tersebut, tubuhnya yang berputar di tengah udara seperti sebuah bola itu telah meluncur menyerudukkan kepalanya ke arah punggung penculik Lie Ko Tie.   Penculik Lie Ko Tie rupanya jadi mendongkol juga karena didesak terus menerus seperti itu.   Tahu-tahu ia telah melemparkan tubuh Lie Ko Tie dari gendongannya, di mana tubuh Lie Ko Tie memang dalam keadaan tertotok dan tidak bisa bergerak itu, telah terlempar jatuh di bawah batang pohon yang tadi tumbang terkena terjangan kepala Sung Ceng Siansu.   Rupanya penculik Lie Ko Tie mempergunakan lweekangnya yang disalurkan pada ke dua telapak tangannya itu, untuk menahan terjangan kepala botaknya Sung Ceng Siansu.   "Dukkk!"   Kuat sekali benturan yang terjadi antara batok kepala Sung Ceng Siansu dengan ke dua telapak tangan penculik tersebut.   Kesudahannya memang luar biasa karena ke dua telapak tangan penculik itu tidak kuat menahan terjangan kepala botaknya Sung Ceng Siansu, di mana ke dua tangannya itu telah tertekuk, terdorong kuat sekali oleh terjangan kepala Sung Ceng Siansu.   Dan yang celaka lagi, kepala botaknya Sung Ceng Siansu terus menyambar meluncur ke arah dadanya penculik tersebut.   Bukan main terkejutnya penculik tersebut.   Ia sampai mengeluarkan suara seruan kaget, dan mati-matian ia telah mengelakkan diri dengan menjejakkan ke dua kakinya.   Dan tubuhnya telah melayang ke tengah udara, untuk menghindarkan diri dari terjangan kepala Sung Ceng Siansu, sehingga terjangan kepala Sung Ceng Siansu tidak berhasil mengenai sasarannya, dan hanya mengenai paha dari peculik tersebut.   "Aduhhh......!"   Penculik tersebut telah mengeluarkan suara jeritan dan tubuhnya hampir saja terjungkal, namun ia masih bisa menguasai tubuhnya supaya tidak rubuh.   Untung saja tadi terjangan kepala botaknya Sung Ceng Siansu tidak mengenai tepat pas paha dari penculik tersebut, hanya menyerempet saja.   Jika mengenai tepat, jelas tulang paha penculik tersebut akan hancur karenanya.   Di saat itu, segera terlihat Sung Ceng Siansu sambil tertawa bergelak-gelak telah menjejakkan kakinya, tubuhnya telah melompat lagi ke tengah udara, dan ke dua kakinya ditekuk pula, dengan sepasang tangannya dipelukkan pada ke dua kakinya itu.   Dengan demiklan, seperti sebuah bola bulat, ia telah menerjang pula cepat sekali.   Kali ini sasaran Sung Ceng Siansu tetap dada penculik tersebut.   Karena telah menyaksikan betapa hebatnya kekuatan batok kepala dari Sung Ceng Siansu, penculik tersebut tidak berani berayal lagi.   Tahu-tahu tangan kanannya telah merabah pinggangnya, dan ia telah mencabut keluar sebatang seruling perak, yang berkilauan putih menyilaukan mata.   Dengan mempergunakan seruling itu dengan jurus Naga Keluar dari Goa, tampak seruling itu digerakkan menotok ke arah batok kepala Sung Ceng Siansu.   Serulingnya itu telah menyambar tepat di jurusan ubun-ubun kepala Sung Ceng Siansu.   Perlu diketahui, walaupun bagaimana kedot dan kuatnya kepala seseorang yang telah dilatih dengan baik, dan juga dilindungi oleh lweekang yang kuat, namun kenyataannya bagian yang paling lemah dan tidak mungkin dilatih dengan sering itu menjadi kebal dan kuat, adalah bagian ubun-ubun kepala, di mana merupakan bagian yang terlemah untuk setiap manusia.   Melihat cara menotok dari lawannya, Sung Ceng Siansu tertawa bergelak-gelak sambil menundukkan kepalanya lebih dalam.   Dengan demikian ia tetap menyeruduk begitu tetapi jurusan totokan ujung seruling lawannya jatuh bukan pada ubun-ubun kepalanya, hanya mengenai belakang kepalanya, sehingga menimbulkan suara yang nyaring.   "Tukkk!"   Tetapi kepala Sung Ceng Siansu tidak terluka dan masih tetap menyeruduk.   Bukan main kagetnya si penculik itu, karena tidak menyangka serangan serulingnya itu akan gagal, dan terjangan kepala pendeta tersebut, yang bisa mematikan itu, tetap meluncur ke arah dadanya.   Terpaksa, ia menggeser ke dua kakinya, tubuhnya telah melompat minggir untuk meloloskan diri dari terjangan kepala si hwesio jenaka itu.   Tetapi Sung Ceng Siansu begitu gagal dengan terjangannya, segera menyusul lagi dengan terjangan berikutnya.   Tubuh pendeta jenaka tersebut seperti juga sebuah bola yang melayang-layang ke sana ke mari dengan cepat, menyambar berulang kali kepada si penculik.   Namun penculik tersebut juga cukup lihay walaupun ia terdesak tetapi tidak sampai terkena terjangan tersebut.   Dengan demikian, dia masih bisa mempertahankan diri.   Mempergunakan kesempatan waktu si penculik tengah menghindarkan diri dari terjangan kepalanya, tubuhnya Sung Ceng Siansu telah meluncur terus, dan tahu-tahu tangan kanannya telah menyambar tubuh Lie Ko Tie yang menggeletak di bawah batang pohon yang telah tumbang itu.   Beruang Salju Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Si penculik gusar sekali apalagi ia melihat Sung Ceng Siansu telah mengempit Lie Ko Tie.   "Lepaskan anak itu......!"   Bentak penculik tersebut, dan serulingnya segera menyambar berulang kali dengan gerakan yang cepat dan mengandung kekuatan lweekang yang sangat dahsyat.   Tetapi Sung Ceng Siansu mengeluarkan suara tertawa terbahakbahak, dan tubuhnya telah melompat tinggi melambung ke tengah udara, sehingga totokan seruling dari penculik tersebut mengenai tempat kosong.   "Tahan.....!"   Bentak Sung Ceng Siansu.   "Siauw-ceng hendak bicara.....!"   Penculik itu berhenti melancarkan totokannya dengan serulingnya itu. Ia telah memandang tajam kepada Sung Ceng Siansu, kemudian tanyanya.   "Apa yang hendak kau bicarakan?"   "Siapa kau, mengapa engkau menculik anak ini ?"   Tanya Sung Ceng Siansu.   "Aku Hang-ciu-kui-bian (Muka Setan dari Hang-ciu) Auwyang Bun!"   Menyahuti penculik tersebut.   "Aku memiliki sedikit keperluan dengan anak itu...... kukira engkau tidak perlu mencampurinya......!"    Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Kembalinya Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Pengelana Rimba Persilatan Karya Huang Yi

Cari Blog Ini