Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 13


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 13


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung   Timpukan itu mengenakan tepat pada sasarannya dan sambil menggeram serta me lompat-lompat bahna sakitnya, binatang itu menyeruduk pangkal pohon dengan kepalanya.   Melihat hasil pertama, Coei San segera mengulangi perbuatannya.   Tapi kawanan binatang itu ternyata pintar sekali dan mereka semua menundukkan kepala dan mulai mengeragoti pohon.   Oleh karena begitu, Coei San hanya dapat menimpuk punggung mereka yang kulitnya tebal, sehingga serangan itu tidak dirasakan sama sekali.   Tak lama kemudian, pangkal pohon itu sudah somplak sebagian dan jika di dorong beramai-ramai, sudah pasti akan roboh.   Coei San menghela napas.   "Aku tak nyana, sesudah berhasil menyelamatkan diri dari lautan, kita bakal jadi makanan kawanan biruang,"   Katanya. Dengan jantung memukul keras, So So mengawasi satu pohon siong yang terpisah kira-kira tujuh delapan tombak. "Ngoko,"   Bisiknya.   "Dengan ilmu mengentengkan badan, sekali lompat kau bisa turun kebawah dan dengan sekali lompat lagi, kau bisa naik kepohon itu."   Sang suamipun sudah lihat kemungkinan itu.   Memang, kalau seorang diri, ia dapat berbuat begitu.   Tapi dengan membawa isterinya, mereka tentu akan tercegat ditengah jalan.   Maka itu sambil menggeleagkan kepala, ia berkata.   "Tidak dapat.   Tak dapat aku berbuat begitu."   "Ngoko, tak usah kau pikiri aku,"   Kata pula sang istiri. "Tidak perlu kita mati berdua-dua."   "Kita sudah bersumpah, bahwa Langit diatas bumi dibawah, kita tak akan berpisahan untuk selama-lamanya."   Jawab sang suami.   "Mana dapat aku meninggalkan kau dengan begitu saja ?"   Bukan main rasa terharunya nyonya itu, sehingga air matanya lantas saja berlinang-linang.   Ia ingin coba membujuk lagi, tapi mu!utnya seearti terkancing.   Sesaat itu, tiba-tiba pohon bergoyang-goyang, karena didesak dengan berbareng oleh kawanan biruang itu.   Hati So So mencelos, sehingga tanpa merasa, ia mengeluarkan teriakan perlanan.   Ia tahu.   beberapa detik lagi, pohon itu pasti akan rubuh.   Pada saat yarg sangat berbahaya, disebelah kejauhan sekonyong konyong terdengar suara yang sangat tajam.   Suara itu tidak begitu keras, tapi aneh sekali, seperti bunyi burung malam, seperti bunyi khim, seperti angin meniup daun bambu dan seperti bunyi genta.   Begitu mendengar suara itu, ketigabelas biruang berhenti serentak dalam usahanya untuk merubuhkan pohon dan berdiri diam sambil memasang kuping.   Dari sikap mereka, seolah olah suara itu adalah suara yarg paling menakuti didalam dunia.   Apa yang paling mengherankan lagi, sesaat kemudian, seekor demi seekor menundukkan kepala dan mendekam diatas tanah tanpa bergerak.   Walaupun tak tahu apa artinya itu, Coei San dan So So girang tak kepalang dan harapan besar muncul dalam hati mereka.   "Tolong! Tolong!"   Jerit So So.   "Tolong....! Biruang mau mencelakakan manusia."   Jeritan itu disambut dengan suara yang tadi, yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa, lebih cepat dari terbangnya burung.   Sesaat kemudian, didepan mereka berkelebat satu bayangan merah, seolah-olah sebuah bola api yang menyambar dari satu pohon disebelah depan dan kemudian hinggap didahan pohon dimana Coei San dan So So sedang menyembunyikan diri.   Sekarang baru mereka bisa melihat nyata.   Yang hinggap didahan itu adalah seekor kera yang bulu nya merah, tingginya kira-kira tiga kaki, mukanya putih seperti batu giok, sedang kedua matanya yang berkilat-kilat mengeluarkan sinar keemas emasan.   Bahwa binatang yang datang kesitu adalah seekor kera yang begitu menarik, tidak diduga-duga mereka.   Waktu berteriak untuk meminta pertolongan, So So menaksir, bahwa binatang yang mengeluarkan suara begitu adalah binatang buas yang sangat menakuti.   Tapi karena sedang menghadapi bahaya besar, mau tidak mau, ia berteriak juga.   Maka itu, dengan kegirangan yang meluap-luap, ia segera mengangsurkan tangannya kearah kera itu.   Biarpun belum pernah melihat manusia kera itu ternyata pintar luar biasa.   Ia rupanya mengerti maksud persahabatan itu dan segera mengulur satu tangannya dan menyentuh tangan si nyonya.   Sambil menuding kawanan biruang itu, So So ber kata.   "Mereka mau mencelakakan kami. Apa kau dapat menolong?"   Melihat gerakan So So, seraya memekik kera itu melompat turun dan menghampiri salah seekor biruang.   Dengan sekali menggerakkaa tangan, jari-jarinya amblas kedalam kepala biruang itu dan dilain saat, tangannya sudah memegang otak biruang.   Ia melompat naik pula dan dengan sikap hormat, mengangsurkan otak biruang itu kepada So So.   Coei San dan isterinya kaget bakan main.   tenaga binatang yang sehebat itu sungguh-sungguh belum pernah didengar mereka.   So So sebenarnya tidak sanggup menelan otak mentah itu.   Tapi sebab tidak mau membangkitkan kegusaran tuan penolong itu, dengan apa boleh buat, ia menyambutinya.   Ia menggigit sebagian otak itu, dan menyerahkan sisanya kepada Coei San.   Diluar dugaan, otak biruang itu lezat luar biasa, lebih enak dari makanan apapun jua yang pernah dimakannya.   Sambil bersenyum, ia lalu mengambilnva kembali dari tangan suaminya dan menghabis kan semuanya.   "Terima kasih, terima kasih,"   Katanya sambil memanggut-manggutkan kepala.   Dilain saat kera itu sudah melompat turun lagi dan mengambil pula dua otak biruang yang lalu dimakannya.   Sungguh mengherankan, kawanan biruang itu bukan saja tidak berani melawan, tapi juga tidak berani lari Mereka terus mendekam diatas tanah, seperti orang yang sedang menerima hukuman.   So So tertawa nyaring.   "mampuskan semua biruang itu,"   Katanya.   "Kalau kau tidak keburu datang, kami berdua tentu sudah masuk kedalam perut mereka."   Sambil memekik kera itu melompat turun lagi dan dalam sekejap ia sudah membinasakan semua biruang itu.   Coei San dan So so lantas saja turut melompat turun.   Melihat tiga belas bangkai binatang itu, Coei San merasa tidak tega dan ia berkata dengan suara menyesal.   "Sebenarnya tak usah membinasakan mereka semua.   Cukup jika mereka diusir pergi."   Mendengar perkataan suaminya, So So yang sedang mencekal lengan si kera agak terkejut.   "Ngoko tentu mencela aku,"   Katanya didalam hati.   "Ya... aku harus berusaha untuk mengubah adatku yang kejam."   Tapi biarpun hatinya menyesal, ia tertawa seraya berkata.   "Hm.. . sekarang Ngoko merasa kasihan terhadap biatang-binatang buas itu. Kalau saudara kera tidak datang menolong, apakah biruang-biruang itu akan menaruh belas kasihan terhadap kita?"   "Kalau kita sama kejamnya seperti binatang, bukankah kita tiada beda seperti binatang?"   Kata sang suami. "Binatangpun ada juga yang baik,"   Kata So So sambil tertawa.   "Lihatlah saudara kera ini. Kepandaiannya lebih tirggi dan rupanya lebih tampan daripada kau."   Coei San tertawa terbahak-bahak.   "Ai ya?"   Seru nya. "Kau membuat aku cemburu."   Sesudah terlolos dari lubang jarum. mereka bergembira sekali dan beromong-omong dengan tertawa-tawa. Kera merah itupun tidak kurang gembiranya dan dia melompat- lompat kian kemari. "Kawanan biruang itu mungkin mempunyai anak, coba kita tengok,"   Kata Coei San.   Dengan So So menutun kera, mereka lalu masuk kedalam guha.   Sesudah berjalan-jalan kira-kira sembilan tombak, ditengah-tengah guha itu terbuka sebuah lubang, sehingga sinar terang menyorot masuk kedalam.   Hanya sayang, guha yang sebenar nya sangat nyaman itu berbau busuk sebab penuh dengan kotoran dan air kencing biruang.   "Kalau tidak berbau busuk, tempat ini cocok sekali untuk menjadi tempat meneduh kita,"   Kata So So sambil menekap hidung. "Kita dapat mernbersihkannya,"   Kata sang suami. "Sesudah lewat sepuluh hari atau paling lama setengah bulan, kurasa bau itu akan hilang sendirinya"   So So mengawasi Coei San dengan hati girang tercampur duka, karena ia ingat, babwa mulai hari itu, ia akan berdiam dipulau tersebut bersama sama Coei San untuk selama-lamanya.   Sementara itu, Coei San sudah mematahkan cabang- cabang poloh yang lalu dibuat menjadi sebuah sapu.   Dengan dibantu oleh isterinya, ia lalu menyapu kotoran biruang.   Dengan gembira sikera coba membantu, tapi biarpun pintar, kera tetap kera dan sebaliknya daripada membantu, ia mengacau pekerjaan orang.   Karena mengingat budinya, Coei San dan So So membiarkan ia mengunjuk kenakalannya.   Sesudah bekerja berat, guha itu akhirnya bersih, tapi bau busuknya belum mau menghilang juga.   "Alangkah baiknya jika kita dapat mencuci dengan air,"   Kata So So.   "Hanya sayang kita tak punya tahang."   Sesudah memikir sejenak, Coei San berkata.   "Ada jalan,"   Buru-buru ia mendaki gunung dan mengambil beberapa balok es yang lalu ditaruh dibatu-batu yang agak tinggi dalam guha itu. "Ngoko, lihay sungguh otakmu!"   Memuji sang isteri sambil menepuk-nepuk tangan.   Tak lama kemudian, balokan es itu mulai melumer dan airnya mangalir kebawah, sehingga guha itu seolah-olah disiram.   Sedang suaminya mencuci guha, dengan menggunakan pedang bengkok, So So memotong daging biruang yang kemudian ditumpuk menjadi satu.   Walaupun dipulau itu terdapat gunung berapi tapi karena berada dalam wilayah Kutub Utara, maka hawanya masih sangat dingin.   Maka itu, sesudah diuruk dengan potongan-potongan es, daging itu rasanya tak akan rusak dalam tempo lama.   Sesudah selesai bekerja, So So menghela napas seraya berkata.   "Manusia selalu merasa tidak puas. Jika sekarang kita dapat menyalakau api dan membakar telapak kaki biruang, kita akan dapat mencicipi makanan yang sungguh luar biasa." (Telapak kaki biruang semenjak jaman purba sudah diakui sebagai salah satu makanan yang paling enak). "Api ada, hanya terlalu besar,"   Kata Coei San sambil mengawasi asap yang mengepul dari gunung berapi. "Perlahan-lahan kita harus berdaya untuk mengambil api itu."   Malam itu mereka makan otak biruang dan tidur diatas pohon. Pada esokan paginya, baru saja membuka mata, So So sudah berteriak .   "Aduh! Wangi sungguh !"   Ia melompat turun dari pohon dan mendapat tahu, bahwa bau wangi itu darang dari dalam guha.   Bersama suaminya, ia berlari-lari kedalam guha, dimana terdapat tumpukan-tumpukan bunga yang tengah dilontarkan kian kemari oleh sikera sambil melompat- lompat, So So yang sangat suka akan bunga jadi girang bukan main dan mengawasi lagak kera itu sambil menepuk nepuk tangan.   Coei San.   "Aku hendak bicarakan serupa soal denganmu."   Melihat paras suaminya yang bersungguh-sungguh ia agak terkejut.   "Ada apa?"   Tanyanya. "Aku ingin berdamai bagaimana kita bisa mendapatkan api."   Jawabnya.   "Ah, orang edan kau!"   Bentak stag isteri seraya tertawa . "Kukira ada urusan penting. Ambil api! Aku setuju. Lekas beritahukan rencanamu."   "Dimulut gunung berapi, hawanya luar biasa panas dan kita tak akan dapat mendekatinya,"   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Menerangkan Coei San. "Maka itu menurut pendapatku, jalan satu-satunya ialah membuat tambang yang panjang dari kulit pohon. kemudian menjemur tambang itu dan ....."   "Bagus!"   Memutus sang isteri.   "Kemudian mengikat sebutir batu diujung tambang, melontarkan tambang itu kemulut gunung barapi dan menariknya kembali sesudah ujung tambang terbakar. Bukankah begitu maksudmu?"   Coei San mengangguk seraya memuji kepintaran isterinya.   Karena ingin sekali makan daging matang, tanpa menyia-nyiakan tempo lagi, mereka segera bekerja.   Selang dua hari, mereka sudah membuat tambang yang panjangnya seratus tombak lebih dan yang lalu dijemur dibawah sinar matahari.   Pada hari ke empat, dengan membawa tambang itu, mereka lalu pergi ke gunung berapi.   Walaupun kelihatannya dekat, gunung itu terpisah empat puluh li lebih dari tempat mereka.   Makin dekat dengan gunung itu, hawa makin panas.   Keringat mengucur dari tubuh mereka dan diseputar itu tidak terdapat pohon- pohonan lagi.   Apa yang mereka menemuinya hanyalah batu-batu yang gundul.   Sesudah berjalan lagi beberapa lama, hawa panas jadi makin hebat.   Melihnt muka isterinya yang merah kepanasan, Coei Scan yang menggendong jadi tak merasa tega.   "Kau tunggu disini, biar aku saja yang pergi kesitu,"   Katanya. "Jangan rewel!"   Bentak sang isteri.   "Kalau kau banyak bicara, aku tak akan meladeni lagi. Paling banyak seumur hidup kita tidak mengenal api lagi, seumur hidup makan makanan mentah."   Coei San besenyum dan mereka teuns mendaki gunung itu.   Sesudah berjalan lagi kurang lebih satu li, napas mereka tersengal-sengal dan hampir tak dapat bertahan lagi.   Coei San memiliki Lweekang yang sangat tinggi, tapi iapun merasa matanya ber kunang-kunang dan kupingnya berbunyi.   "Sudahlah,"   Katanya.   "Dari sini saja kita melontar kan tambang ini. Jika tidak menyala. hem...kita..."   So So tertawa dan menyambungi.   "Kita jadi suami isteri orang hutan..."   Belum habis perkataannya, badannya bergoyang-goyang dan ia pasti rubuh jika tidak buru-buru mencekal pundak suaminya.   Dari atas tanah Coei San menjemput sebutir batu yang lalu diikatkan keujung tambang.   Sesudah itu, sambil berlari- lari dan mengerahkan Lweekang, ia melontarkan tambang dengan sekuat tenaga.   Bagaikan seekor ular, tambang itu terbang di tengah udara, kemudian jatuh dipermukaan bumi.   Akan tetapi, sebab jarak dengan mulut gunung yang mengeluarkan api, masih terlalu jaub, maka sesudah mereka menunggu beberapa lama, tambang itu belum juga menyala.   Sementara itu, mereka merasakan hawa panas semakin hebat, sehingga mata mereka seolah-olah mengeluarkan api.   Coei San menghela napas seraya berkata.   "Orang-orang dulu membuat api dengan menggosok kayu atau memukul batu. Sudahlah! Menggunakan tambang tidak berhasil. Biarlah kita cari lain jalan saja."   Dengan rasa kecewa, So So manggutkan kepalanya.   Selagi ia mau memanggil sikera merah, yang selalu mengikuti kemanapun juga mereka pergi, tiba-tiba ia lihat binatang itu menjemput sebutir batu dan dengan menyontoh cara Coei San, dia berlari-lari, kemudian melontarkan batu itu.   Dia gembira bukan main dan kelihatannya tak takut akan hawa panas.   Melihat begitu, tiba tiba So So mendapat satu pikiran.   "E eh, kera itu kelihatannya tidak takut api."   Katanya didalam hati. Ia segera bersiul dan berkata.   "Saudara kera, apakah kau dapat menolong untuk membawa ujung tambang ke api dan menyalahkannya ?"   Sambil berkata begitu, ia memberi isyarat dengan tangannya.   Kera itu ternyata pintar luar biasa.   Baru saja So So memberi isyarat dua tiga kali, ia sudah mengerti apa maksudnya dan seraya berbunyi keras, dengan belasan kali lompatan saja, dia sudah melalui seratus tombak lebih dan sesudah menjemput ujung tambang, dia berlari kemulut gunung bagaikan kilat cepatnya.   Melihat begitu, Coei San dan So So merasa menyesal, karena mereka kuatir dia tercemplung di dalam lubang api.   "Kauw jie! Kauw jie!"   Teriak So So.   "Balik! Hayo balik!"   Baru saja ia berteriak begitu, jauh-jauh terlihat mengepulnya asap diujung tambang yang kemudian ditarik dengan cepat oleh si kera dan beberapa saat kemudian ujung tambang yang menyala sudah berada dihadapan Coei San dan So So.   Bukan main girangnya mereka, So So melompat dsn memeluk binatang itu, sedang Coai San lalu mengambil cabang-cabang kayu kering yang diikat menjadi satu sebagai semacam obor dan kemudian menyulutnya dengan api ditambang itu.   Apa yang sangat mengherankan bagi mereka ialah, jangankan badannya sedangkan bulu si kera sedikitpun tidak berubah.   Dengan hati gembira, kedua suami isteri itu segera kembali keguha biruang bersama-sama sikera merah.   Mereka segera mengumpulkan cabang-cabang kayu dan rumput kering untuk membuat sebuah perapian.   Didalam dunia, dapat dikatakan semua binatang sangat takuti api.   Tapi sikera merah adalah lain dari yang lain.   Sambil mengeluarkan bunyi yang menggelikan dan dengan lagak nakal, ia bergulingan beberapa kali diatas perapian yang berkobar-kobar.   Mendadak Coei San ingat apa yang pernah dituturkan oleh gurunya dan tanpa merasa, ia mengeluarkan seruan "ah !"   "Ada apa ?"   Tanya sang isteri. "Soehoe pernah memberitahukan aku, bahwa di dalam dunia hidup semacam tikus yang dinamakan tikus api,"   Jawabnya.   "Tikus itu dapat masuk bedalam api tanpa terbakar bulunya yang panjangnya satu dim lebih, dapat dibuat menjadi semacam kain yang diberi nama kain asbes. Kalau kain itu kotor, cara mencucinya adalah memasukannya kedalam api dan begitu dikeluarkan dari api, warnanya sudah putih kembali seperti sediakala. Menurut pendapatku, kera itu tidak banyak berbeda dengan tikus yang dituturkan Soehoe."   So So tertawa.   "Jika bulu Saudara Kauw jie rontok, aku akan membuat kain untukmu!"   Kata nya.   "Tapi paling sedikit kau harus berusia dua atau tiga ratus tahun."   Sesudah mempunyai api, segala apa beres, mereka masak air, memasak daging dan membuat satu dua rupa masakan.   Sedari perahu tenggelam, belum pernah mereka merasakan makanan matang.   Sekarang secara tidak diduga duga, mereka dapat makan telapak kaki biruang yang kesohor lezat dan dapatlah dibayangkan kegembiraan mereka.   Si kera merah yang tidak makan lain daripada otak biruang, pergi kehutan untuk mencari buah-buahan.   Madam itu, sesudah makan kenyang, Coei San dan So So tidur didalam guha diantara bau wangi dari berbagai macam bunga yang luar biasa.   Keesokan paginya, Coei San keluar dari guha dan dengan hati lapang ia memandang ketempat jauh.   Tiba-tiba ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar berdiri tegak diatas batu cadas dipinggir laut.   Ia kaget bukan main, karena orang itu bukan lain dari pada Cia Soen! Sesudah mengalami penderitaan yang sangat hebat, ia dan isterinya mendarat dipulau yang indah itu.   Tapi baru saja menikmati penghidupan bahagia dan tenteram beberapa hari, si memedi sudah muncul lagi.   Dilain saat, ia lihat Cia Soen jalan mendatangi dengan badan bergoyang goyang.   Ternyata, sesudah matanya buta, ia tidak dapat menangkap ikan atau membunuh biruang, sehingga sedari hari itu, ia tak pernah menangsal perut dan biarpun badannya kuat luar biasa, ia tak dapat mempertahankan diri lagi.   Sesudah berjalan belasan tombak, badannya kelihatan bergemetar dan rubuh diatas tanah.   Buru-buru Coei San kembali keguha.   Begitu melihat suaminya, So So bersenyum seraya berkata.   "Ngo .."   Ia tidak meneruskan perkataannya sebab melihat paras sang suami yang suram. Sesudah berhadapan dengan isterinya, Coei San berkata dengan suara perlahan.   "Si orang she Cia ada disini!"   So So melompat bangun seperti orang dipagut ular.   "Dia sudah lihat kau ?"   Bisiknya. Tapi saat itu juga ia ingat, bahwa Cia Soen sudah buta dan hatinya jadi lebih tenang. "Ngoko, kau tak usah takut,"   Katanya pula.   "Masakan kita berdua, ditambah lagi dengan Kauw jie, tidak dapat melawan seorang buta?"   Coei San manggut-manggutkan kepalanya.   "Dia rubuh pingsan karena kelaparan"   Katanya. "Mari kita tengok,"   Kata sang isteri sambil merobek ujung bajunya kemudian dirobek lagi jadi empat potong kecil.   Dua segera dimasukkan ke dalam kupingnya dan yang dua lagi diserahkan kepada suaminya.   Dengan tangan kanan mencekal pedang dan tangan kiri menuntun si kera merah, ia segera mengikuti Coei San untuk menengok Cia Soen.   Sesudah berada dekat, Coei San berteriak.   "Cia Cianpwee. apa kau mau makan ?"   Dalam keadaan lupa ingat, Cia Soen mendengar teriakan itu dan pada paras mukanya lantas saja terlukis sinar harapan.   Tapi dilain saat, ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara Coei San dan paras mukanya lantas saja berubah menyeramkan.   Selang beberapa lama, barulah ia mengangguk.   Coei San segera melontarkan sepotong daging seraya berteriak.   "Sambutlah !"   Cia Soen bangun sambil menekan tanah dengan tangan kiri dan dengan pertolongan kupingnya yang sangat tajam, dengan tangan lainnya ia menangkap daging itu yang lalu dimakan perlahan-lahan.   Melihat seorang yang begitu gagah perkasa telah menjadi lemah dalam hati Coei San lantas saja timbul perasaan kasihan.   Tapi So So mempunyai pendapat lain.   Ia sangat tidak mupakat dengan tindakan suaminya yang sudah memberi makanan kepada Cia Soen.   "Hmm! Sesudah kuat, mungkin dia akan membinasakan kita berdua,"   Katanya didalam hati.   Tapi karena sudah bersumpah untuk menjadi orang baik maka meskipun hatinya mendongkol, ia menutup mulut.   Sesudah makan sepotong daging itu.   Cia Son lantas saja pulas diatas tanah.   Coei San segera menyalakan sebuah perapian didekatnya untuk mengusir hawa dingin dan mengeringkan pakaian Cia Soen yang basah kuyup.   Sampai lohor barulan si buta sadar.   "Tempat apa ini?"   Tanyanya.   Melihat gerakan mulutnya, Coei San dan So So, yang menungguinya, segera mencabut satu sumbatan kuping untuk mulai bicara, tapi mereka sangat berwaspada dan siap sedia untuk menyumbat kuping jika terlihat gerakan yang luar biasa.   "Pulau ini adalah pulau yang tidak ada manusia."   Jawab Coei San. Cia Soen mengeluarkan suara dihidung. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata.   "Katau begitu kita tak akan bisa pulang."   "Hal itu lebib baik kita menyerahkan saja ke pada kebijaksanaan langit,"   Kata pula Coei San. Mendadak Cia Soen meluap darahnya dan bagaikan kalap ia mulai mencaci langit. Sesudah kenyang memaki maki ia meraba-raba satu batu besar dan lalu duduk diatasnya.   "Apa yang kamu ingin berbuat terhadapku ?"   Tanyanya. Coei San melirik isterinya yang segera memberi isyarat, bahwa ia menyerahkan keputusan kepada sang suami. "Sesudah memikir sejenak, pemuda itu lalu berkata dengan suara nyaring.   "Cia Cianpwee, kami berdua suami isteri ..."   "Hm.....   "   Cia Soen memotong pembicaraan orang. "Kamu sudah menjadi suami isteri?" Paras muka, So So lantas saja bersemu dadu, sedang hatinya girang.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Dalam pernikahan kami, dapat dikatakan Cianpweelah yang menjadi comblang,"   Katanya seraya tertawa.   "Untuk itu. kami harus menghaturkan terima kasih."   Cia Soen kembali mengeluarkan suara dihidung. "Baiklah. Apa yang kamu mau berbuat terhadapku?"   Tanyanya pula. "Cia Cianpwee,"   Kata Coei San.   "Kami merasa sangat menyesal, bahwa kami telah membutakan kedua matamu. Tapi karena hal itu sudah terjadi kami meminta maaf pun tiada gunanya. Jika kits ditakdirkan untuk berdiam dipalau ini seumur hidup dan tak bisa kembali lagi di Tionggoan maka satu-satunya yang dapat diperbuat kami yalah merawat Cianpwee seumur hidup."   Cia Soen mengangguk.   "Ya.. begitu saja,"   Kata nya. "Kami berdua sangat mencintai satu sama lain dan akan hidup atau mati bersama-sama,"   Kata pula Coei San.   "Jika penyakit Cianpwee kumat lagi dan mencelakakan salah seorang diantara kami, maka orang yang masih hidup sudah pasti tak akan mau hidup lebih lama lagi."   "   Kau ingin mengatakan, bahwa jika kalian berdua mati, akupun tak bisa hidup seorang diri di pulau ini. Bukankah begitu?"   Tanya Cia Soen "Benar,"   Jawab Coei San. "Kalau begitu, perlu apa kalian menyumbat kuping?"   Tanya pula Cia Soen.   Coei San dan So So saling mengawasi sambil bersenyum dan lalu mencabut potongan kain yang masih menyumbat kuping kiri mereka.   Mereka merasa kagum bukan main, karena walaupun sudah tak dapat melihat, Cia Soen masih dapat mengetahui segala apa dengan kupingnya yang sangat tajam.   Sesudah beromong omong sedikit, Coei San lalu meminta orang tua itu memberi nama kepada pulau mereka.   "Di pulau ini terdapat es yang ribuan tahun tak pernah melumer dan terdapat pula api yang laksaan tahun tak pernah padam."   Kata Cia Soen.   "Maka biarlah kita menamakannya pulau Pang hwee to saja."   Pang hwee to berarti Pulau es dan api.   Demikianlah.   Mulai waktu itu, tiga manusia dan seekor kera menjadi penghuni dari pulau terpencil itu.   Untuk keperluan hidup, Coei San dan So So bekerja keras.   Mereka membuat piring mangkok dengan membakar tanah liat, membuat dapur dengan menumbuk tanah dan batu, membuat kursi meja dan lain-lain perabotan rumah tangg.   Biarpun buatannya sangat kasar, alat-alat dan perabotan itu dapat memenuhi keperluan mereka.   Saban- saban ada tempo yang luang, mereka menanam pohon- pohon bunga disebelah kiri guha itu.   Cia Soen juga tidak pernah rewel dan hidup dengan tenteram.   Setiap hari ia duduk termenung sambil mencekal To liong to.   Ia rupanya terus mengasah otak untuk memecahkan rahasia yang bersembunyi dalam golok mustika itu.   Mereka membujuk supaya ia jangan memutar otak lagi.   "Aku pun mengerti bahwa andaikata aku dapat memecahkan rahasia ini, aku tak akan dapat berdiam disebuah tempat yang terpencil dan tak punya harapan untuk bisa kembali ke Tionggoan,"   Jawabnya dengan suara getir.   "Akan tetapi, karena aku tak punya kerjaan dan merasa sangat kesepian maka biarlah aku mengasah otak untuk menghilangkan tempo."   Mendengar jawaban yang sangat beralasan, mereka mengangguk dan tidak membujuk lagi.   Kira-kira setengah li dalam guha biruang, terdapat sebuah guha lain yang lebih kecil.   Sesudah bekerja keras kurang lebih sepuluh hari, Coai San mengubah guha itu menjadi sebuah kamar yang kecil, yang lalu diserahkan kepada Cia Soen untuk dijadikan kamar tidurnya.   Beberapa bulan telah terlalu dengan cepatnya.   Pada suatu hari, bersama sikera merah, Coei San dan So So pesiar kesebelah utara pulau itu.   Di luar dugaan mereka, pulau itu sangat panjang dan sesudah melalui seratus li lebih, mereka belum wencapai ujungnya.   Sesudah berjalan lagi beberapa lama, disebelah depan menghadang sebuah hutan yang sangat besar.   Mereka mendekati hutan itu, tapi baru saja Coei San ingin masuk, si kera merah berbunyi keras dan memperlihatkan sikap ketakutan.   So So jadi kuatir dan berkata.   "Ngo ko, kau tak boleh masuk, Kauw jie kelihatannya saungat ketakutan."   Coei San merasa heran tercampur kuatir, karena si isteri yang biasanya sangat bergembira jika menemui sesuatu yang luar biasa, pada waktu waktu belakangan sangat lesu kelihatannya.   "So So, mengapa kau?"   Tanyanya.   "Apa badanmu kurang enak."   Ditanya begitu, So So kelihatannya kemalu maluan, sehingga paras mukanya barubah merah.   "Tidak apa-apa,"   Jawabnya dengan suara perlahan. Sang suami jadi makin heran dan terus mendesak. Akhirnya, sambil menunduk ia berkata dengan suara perlahan.   "Langit rupanya tahu, bahwa kita terlalu kesepian dan akan mengirim seorang manusia lain datang kepulau ini."   Coei San terkesiap dan dilain saat, kegirangannya meluap-luap.   "Kita akan punya anak?"   Tanyanya. "Sts! Perlahan sedikit!"   Bentak si isteri, tapi dilain saat ia tertawa geli karena baru ia ingat bahwa disekitar hutan itu tiada lain manusia.   Siang malam terbang bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya.   Cuaca berubah agi, siang makin pendek dan malam makin panjang, sedang hawa udarapun makin dingin.   Sesudah hamil, So So gampang capai, tapi ia tetap melakukan pekerjaan sebari-hari seperti masak, menambal pakaian dan menyapu lantai.   Malam itu ia sudah hamil hampir sepuluh bulan.   Sesudah menyalakan perapian didalam guha, kedua suami isteri lalu duduk beromong-omong.   "Ngoko. coba kau tebak, apa anak kita lelaki atau perempuan?"   Kata So So. "Perempuan seperti kau, lelaki seperti aku, bagi ku sama saja."   Jawab sang suami. "Aku lebih suka anak lelaki."   Kata pula So So.   "Coba kau pilih satu nama untuknya."   Coei San hanya mengeluarkan suara "hmmm"   Dan tidak menjawab perkataan isterinya. "Ngoko, apa sedang dipikir olehmu?"   Tanya pula sang isteri.   "Dalam beberapa hari ini kau kelihatannya agak bingung."   Coei San bersenyum.   "Tak apa-apa, mungkin karena kegirangan bakal menjadi ayah, aku kelihatannya tolol,"   Jawabnya. Tapi nyonya itu yang sangat pintar tak dapat diakali. Ia sudah melihat bahwa pada mata suaminya terdapat sinar kekuatiran.   "Ngoko, jika kau tidak berterus terang, aku akan jengkel sekali."   Katanya dengan suara lemah lembut.   "Ada apa yang mendukakan hatimu?"   Coei San menghela napas. "Aku harap saja penglihatanku keliru,"   Katanya.   "Dalam beberapa hari ini, kulihat perubahan pada paras muka Cia Cianpwee."   So So mengeluarkan seruan tertahan dan berkata dengan suara berkuatir .   "Benar, akupun sudah lihat perubahan itu. Paras mukanya makin hari jadi makin ganas dan mungkin sekali ia bakal kalap lagi."   Coei San manggut-manggutkan kepalanya.   "Dia rupanya jengkel karena tidak dapat menembus rahasia yang meliputi To liong to."   Katanya. Tiba-tiba air mata So So mengucur, sehingga suaminya terkejut.   "Aku sedikitpun tidak merasa halangan kalau kita mati bertempur dan mati bersama-sama dia,"   Katanya dengan suara sedih.   "Tapi.... tapi....."   Dengan rasa terharu, Coei San memeluk istrinya. "Benar sesudah mempunyai anak, kita tak boleh sembarangan mengadu jiwa,"   Katanya "Kalau dia kumat lagi kalapnya, tiada jalan lain dari pada membinasakannya. Kedua matanya sudah buta dan aku merasa pasti, dia tak akan bisa mencelakakan kita."   Mendengar niatan suaminya untuk membunuh Cia Soen, badan nyonya itu bergemetaran.   Sebagaimana diketahui, waktu masih ia kejam luar biasa dan dapat membunuh puluhan manusia tanpa berkesiap.   Tapi sesudah hamil, entah mengapa hatinya jadi berubah mulia.   Pernah kejadian pada suatu hari Coei San menangkap seekor biang menjangan yang diikut oleh dua anaknya sampai diguba.   So So merasa tak tega dan berkeras supaya suaminya melepaskan betina menjangan itu.   Ia lebih suka makan buah buahan saja daripada membunuhnya.   Melihat istrinya menggigil, Coei San tertawa seraya berkata dengan suara menyinta.   "Aku harap saja dia tidak kalap lagi. So So, berikan saja nama Liam Coe (Langit Welas asih) kepada anak kita. Apa kau setuju? Aku ingin supaya kalau sudah besar, dia akan terus ingat, bahwa ibunya mempunyai hati yang welas asih. Perem puan atau lelaki, kita berikan saja nama itu."   So So mengangguk dengan perasaan beruntung.   "Dulu, setiap kali aka membunuh manusia, hati ku merasa girang,"   Katanya.   "Tapi sekarang, dengan mengatahui, bahwa dalam hatiku telah muncul perasaan kasih terhadap sesama manusia, aku merasa bahagia dan kebahagiaan itu berbeda jauh dengan kegirangan diwaktu dulu, waktu aku membunuh manusia."   Sang suami manggut-manggutkan kepalanya.   "Aku sungguh girang mendangar pengutalanmu ini,"   Katanya. "Orang kata, bibit mencelakakan manusia tidak boleh ditanam didalam hati, bibit menolong manusia harus dipupuk."   "Benar,"   Kata So So.   "Tapi bagaimana kita harus bertindak, kalau benar dia kalap lagi. Dengan adanya saudara Kauw jie sebagai pembantu, kekuatan kita bertambah besar."   "Tapi kurasa kita tidak dapat terlalu mengandalkan kera"   Kata sang suami.   "Dia memang pintar sekali, tapi belum tentu dia mengerti kemauan kita. Kita harus mencari daya upaya yang lebih semgurna."   "Begini saja,"   So So mengajukan usulnya.   "Waktu momberikan makanan kepadanya, kita menaruh racun.... Tidak! Tidak boleh begitu! Belum tentu dia kalap lagi dan mungkin sekali kita menduga keliru."   "Aku mempunyai serupa akal yang rasaaya dapat digunakan,"   Kata Coei San.   "Mulai besok kita pindah kebagian sebelum guha ini dan membuat sebuah lubang jebakan dibagian luar dan diatas lubang itu, kita tutup dengan rumput dan daun daun kering."   "Akal itu sangat baik, hanya aku kuatir kau akan dicegat dia ditengah jalan waktu kau memburu binatang,"   Kata So So. Coei San tertawa. "Tak usah kau kuatirkan keselamatanku,"   Katanya.   "Begitu lekas melihat gelagat kurang baik, aku bisa lantas melarikan diri. Dengan memanjat batu-batu cadas dan tebing, kurasa dia tak akan dapat menyandak aku."   Keesokan paginya, Coei San lalu mulai menggali lubang dibagian luar guha itu.   Karena tidak mempunyai cangkul besi, ia terpaksa menggunakan potongan kayu, sehingga pekerjaan itu memerlukan tenaga yang sangat besar.   Tapi berkat Lweekangnya yarg sangat tinggi, sesudah bekerjaa keras tujuh hari lamanya, ia berhasil menggali lubang yang dalamnya sudah kira-kira tiga tombak.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sementara itu, makin hari Cia Soen makin gila lagaknya.   Sering-sering ia menari-nari ditempat terbuka sambil mencekal To liongto.   Coei San bekerja makin keras.   Sesudah menggali lima tombak, ia berniat menancapkan potongan-potongan kayu tajam didasar lubang.   Menurut rencananya, guha itu bermulut lebar dan berdasar sempit sehingga jika Cia Soen jatuh kedalamnya, ia bukan saja akan terluka, tapi sukar dapat melompat keluar karena badannya bakal terjepit.   Hanya sayang, sebelum ia selesai mengali sampai lima tombak, penyakit Cia Soen sudah keburu kumat lagi.   Hari itu, sesudah makan tengah hari, Cia Soen jalan mundar-mandir didepan guha.   Coei San tidak berani bekerja, karena kuatir suara menggali tanah akan menimbulkan kecurigaannya.   Ia juga tidak berani meninggalkan isterinya dan terus berdiam diluar mulut guha sambil menahan napas dan berwaspada.   Tiba-tiba Cia Soen mulai mencaci.   Ia mencaci langit, Bumi, dewa-dewa dan malaikat-malaikat.   Sesudah itu ia mencaci kaizar-kaizar dan orang orang ternama dijaman purba.   Sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi, maki- makiannya di sertai dengan kutipan-kutipan sejarah sehingga Coei San yang mendengarnya jadi merasa ketarik sekali.   Sesudah puas menyikat orang-orang dulu, ia mulai mencaci pentolan pentolan dalam Rimba Persilatan.   Tatmo Couw soe dari Siau lim pay, Gak Boe Bok (Gak Hoi), jago- jago dan yang lain - lain bintang dilangit persilatan semua disikat bersih.   Ia mencaci orang-orang gagah dari satu kelain jaman dan apa yang sangat menarik, caciannya bukan membuta tuli, tapi di sertai juga dengan kupasan- kupasan pedas tajam mengenai kekurangan dari ilmu silat setiap partai atau perseorangan.   Waktu memaki orang-orang gagah dijaman buntut Lam song (Kerajaan Song Selatan), yang disikat olehnya adalah Tong sia, See tok, Lam tee, Pay kay dan Tiong sin thong dan sesudah lima jago itu, ia mencaci juga Kwee Ceng dan Yo Ko.   Akhirnya, tibalah giliran Thio Sam Hoag, pendiri dari Boe tong pay dan sampai disitu, Coei San tak dapat menahan sabar lagi.   Dengan darah meluap, Coei San membuka mulutnya untuk balas memaki.   Tetapi sebelum perkataannya keluar, tiba-tiba Cia Soen berteriak .   "Thio Sam Hong bukan manusia! Muridnya. Thio Coei San, juga bukan manusia! Paling benar aku mampuskan dulu bininya!" Sambil berteriak begitu, ia melompat masuk kedalam gua. Coei San lantas saja turut melompat, tapi hampir berbareng, ia dengar suara gedubrakan, sebagai tanda, bahwa orang edan itu sudah terjeblos kedalam jebakan. Tapi karena didasar lubang belum dipasang kayu-kayu tajam, maka biarpun terguling. Cia Soen tidak sampai terluka dan sesudah hilang kagetnya, ia segera melompat keatas. Sementara itu, Coei San sudah menjemput potongan kayu yang digunakan untuk menggali tanah dan begitu lihat munculaya badan Cia Soen, ia segera menghantam kayu itu. Mendengar sambaran angin tajam, bagaikan kilat Cia Soen menangkap kayu itu dengan tangan kirinya dan membetotnya keras-keras. Coei San tak kuat menahan betotan yang sangat hebat itu, sehingga bukan saja kayu terlepas, tapi telapak tangannyapun terbeset dan mengeluarkan darah. Tapi karena pukulan tersebut, tubuh Cia Soen kembali jatuh kedalam lubang. Pada saat itu, tanpa diketahui sang suami, So So sebenarnya sudah hampir melahirkan anak. Waktu si edan mondar mandir didepan gua perutnya sudah sakit. Tapi ia tidak berani memanggil suaminya karena kuatir didengar Cia Soen. Sekarang, melihat senjata suaminya direbut, sambil menahan sakit ia mengambil pedangnya yang lalu dilontarkan ke pada Coei San. "Kepandaian orang itu sepuluh kali lipat tinggi dari padaku dan jika aku mem bacok, pedang ini pasti akan direbut olehnya,"   Pikir Coei San.   Mendadak ia ingat, bahwa sesudah kedua matanya buta, Cia Soen menganggap potongan kayu tadi dengan mendengar sambaran angin pukulan.   Maka itu, pasti akan berhasil jika bisa menyerang tanpa menerbitkan sambaran angin.   Tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak bahak disusul dengan melompatnya si kalap kemulut lubang hua.   Coei San segera menudingkan ujung pedang yang sudah diluruskan setelah mereka mendarat dipulau itu kearah siedan yang sedang melesat keatas.   Ia tidak menikam atau membacok, ia hanya menunggu.   "Crass"   Ujung pedang menancap dikepala Cia Soen.   Karena tak ada sambaran angin, Cia Soen yang sedang melompat keatas tentu saja tak menduga, bahwa ia akan dipapaki dengan senjata tajam.   Masih untung ia mempunyai kepandaian yang sangat tinggi dan dapat bergerak luar biasa cepat.   Begitu ujung pedang menggores batok kepalanya begitu ia melenggakkan kepala seraya menangkap badan pedang dan mengerahkan tenaga Ciankie toei (ilmu untuk menambah berat badan), sehingga tubuhnya jatuh lagi kedalam lubang dengan kecepatan luar biasa.   Tapi, biarpun dapat menyelamatkan jiwanya, ia sudah terluka agak berat dan darah mengucur dari kepalanya.   Begitu jatuh, ia segera mencabut pedang yang menancap dibatok kepalanya dan sesudah menghunus To liong to, untuk ketiga kalinya ia melompat pula sambil memutar golok mustika itu guna melindungi kepalanya.   Kali ini Coei San menimpuk dengan satu batu besar, tapi batu itu dipukul terpental dengan To liong to.   Begitu kedua kakinya hinggap dipinggir lubang, Cia Soen menerjang seperti orang gila.   Sambil melompat mundur, hati Coei San mencelos.   Ia ingat, bahwa hari itu ia dan So So akan berpulang kealam baka, tanpa melihat lagi anaknya yang belum terlahir.   Biarpun sedang kalap didalam perkelahian, Cia Soen ternyata masih dapat menggunakan otaknya.   Ia merasa, bahwa yang paling penting adalah menjaga supaya Coei San dan So So tidak dapat keluar dari guha itu.   Begitu lekas mereka keluar, ia tak akan dapat mencarinya.   Maka itu, dengan tangan kanan mencekal golok dan tangan kiri memegang pedang, ia memutar kedua senjata itu bagaikan titiran cepatnva, sehingga mulut guha tertutup dengan sambaran sambaran senjata yang sangat hebat.   Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya bagi dirinya kedua suami isteri itu, didalam guha terdengar suara menangisnya bayi.   Cia Soen terkesiap dan ia berhenti bergerak.   Bayi itu menangis terus.   Pada saat itu, walaupun tahu, bahwa bencana sudah berada diatas kepalanya, Coei San tidak menghiraukan orang edan itu lagi.   Dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan, mata Coei San dan So Sa mengawasi bayi itu yang menggerak-gerakkan kaki tangannya sambil menangis keras.   Mereka mengerti, bahwa dengan sekali membabat, Cia Soen dapat membinasakan mereka bersama bayi yang baru terlahir itu.   Tapi mereka tidak menghiraukan.   Didalam hati, mereka bersyukur, bahwa sebelum mati, meraka masih dapat melihat wajah anak itu.   Mereka sama sekali tak pernah mimpi, bahwa tangisan bayi itu mempunyai pengaruh yang sangat luar biasa.   Dengan tiba-tiba saja, Cia Soen tersadar dan kalapnya hilang seketika, seperti daun disapu angin.   Didepan matanya lantas saja terbayang peristiwa pada puluhan tahun berselang, waktu keluarganya dianiaya.   Istrinya belum lama melahirkan dan bayi yang baru lahir itu tidak luput dari keganasan musuh.   Dalam otaknya berkelebat- kelebat peringatan-peringatan yang menyayat hati, kecintaan suami istri, kekejaman musuh, dibantingnya bayi yang baru lahir, usahanya untuk me nambah kepandaian, tapi kepandaian musuh bertambah lebih cepat, didapatinya To liong to dan kegagalannya untuk menembus rahasia golok mustika itu.   Lama ia berdiri terpaku, sebentar bersenyum, sebentar mengertak gigi.   "Lelaki atau perempuan ?"   Mendadak terdengar pertanyaan Cia Soen. "Lelaki."   Jawab Coei San. "Apa arinya sudah digunting?"   Tanyanya pula. "Benar! Aduh, kulupa!"   Jawab Coei San.   Cia Soen segera memutar pedang yang dicekalnya dan menyodorkan gagangnya kepada Coei San yang segera menyambuti dan memotong ari bayi itu.   Sesaat itu ia terkesiap, karena barulah ia ingat bahwa si edan berada dekat sekali dengan mereka.   Tapi begitu melirik muka Cia Soen, ia merasa lebih lega, karena kekalapannya sudah menghilang dan paras mukanya terlukis perasaan menyayang.   "Berikan kepadaku,"   Kata So So dengan suara lemah. Sang suami segera mengangkat bayi itu dan menaruhnya kedalarn dukungan isterinya. "Apa kau sudah masak air untuk memandikannya ?"   Tanya Cia Soen dengan suara perlahan. Coei San tertawa.   "Aku benar gila!"   Katanya.   "Aku sudah melupakan segala apa."   Seraya berkata, ia segera bertindak keluar untuk memasak air. Tapi baru satu dua tindakan, ia berhenti karena sangsi. Cia Soen rupanya dapat menebak kekuatiran pemuda itu "Kau berdiam saja disini menemani isterimu,"   Katanya.   "Biar aku yang masak air." Ia segera memasukkan To liong to kedalam sarung dan berjalan keluar sambil melompati lubang jebakan.   Tak lama kemudian, ia sudah kembali dengan membawa sepaso air panas dan Coei San lalu memandikan bayinya.   "Bagaimana macamnya bayi itu?"   Tanya Cia Soen. "Seperti ibunya atau seperti ayahnya ?"   Coei San beriseyum "Lebih banyak menyerupai ibunya,"   Jawabnya "Tidak gemuk, mukanya potongan kwaci"   Cia Soen menghela napas panjang. Sesudah termenung sejenak, ia berkata dengan suara perlahan.   "Aku mendoakan, supaya sesudah besar ia jangan bernasib jelek. Aku mendoakan supaya ia banyak rezeki dan umur panjang, jauh dari segala penderitaan."   "Cia Cianpwee, apakah nasib anak ini kurang baik?"   Tanya So So. "Bukan begitu,"   Jawabnya.   "Kudengar, anak itu menyerupai kau. Kalau benar, ia berparas terlampau ayu. Orang kata, orang yang terlalu ayu sering bernasib jelek sehingga aku kuatir, jika dihari kemudian anak ini masuk dalam dunia pergaulan, ia akan menemui banyak kesukaran."   "Cia Cianpwee, kau memikir terlalu jauh,"   Kata Coei San sambil tertawa.   "Kita berempat berada dipulau yang terpencil ini, sehingga mana dapat anak kami masuk kedalam dunia pergaulan ?"   "Tidak!"   Bentak So So.   "Kita boleh tak usah kembali ke Tionggoan, tapi anak ini tidak dapat dibiarkan berdiam di sini terus menerus, seumur hidupnya. Sesudah kita bertiga mati, siapa yang akan meagawaninya? Sesudah dia dewasa, dimana ia harus mencari isteri ?" Semenjak kecil In So So berada diantara orang-orang Peh bie kauw dan apa yang dilihatnya ialah perbuatan- perbuatan yang kejam sehingga sesudah besar, sifatnya jadi ganas sekali. Tapi sesudah bersuami isteri dengan Thio Coei San, sifat nya berubah dengan perlahan. Sekarang setelah menjadi ibu, rasa cinta yang wajar terhadap anaknya memenuhi lubuk hatinya dan ia rela berkorban demi kepentingan bayi yang baru lahir itu. Mendengar perkataan sang isteri, Coei San berduka sekali. Dengan berada dipulau itu, yang terpisah laksaan li dari wiiayah Tionggoan, dan dengan tak memiliki alat pengangkutan, mana dapat mereka kembali kedalam dunia pergaulan? Tapi ia membungkam, karena kuatir isterinya putus harapan. "Tak salah perkataan Thio Hoejin."   Kata Cia Soen.   "Bagi kita bertiga, tidak halangannya untuk berdiam disini seumur hidup. Tapi anak ini, tidak! Tak dapat kita membiarkan dia berdiam disini seumur hidupnya tanpa mencicipi kesenangan dunia. Thio Hoejin, kita bertiga harus berusaha sedapat mungkin supaya anak itu bisa kembali ke Tiong goan."   Bukan main girangnya So So. Ia berusaha untuk bangun berdiri. Buru-buru Coei San mencekal lengannya seraya berkata.   "So So, kau mau apa ? Rebahan saja!"   "Ngoko,"   Jawabnya.   "Kita berdua harus berlutut dihadapan Cia Cianpwee guna menghaturkan terima kasih untuk kebaikannya terhadap anak kita."   Cia Soen menggoyang-goyangkan tangannya seraya mencegah.   "Tak usah! Tak usah! Apa anak itu sudah di beri nama ?"   "Secara sembarangan kami sudah memilih satu nama, yaitu Liam Coe,"   Jawab Coei San.   "Cia Cianpwee seorang yang berpengetahuan tinggi, makaa bolehlah Cianpwee memilih lain nama yang lebih cocok untuknya!"   Cia Soen memikir sejetak.   "Thio Liam Coe.. Thio Liam Coe....   "   Katanya.   "Namanya itu sudah cukup baik. Tak usah diubah"   Tiba-tiba So-co mendapat satu pikiran.   "Orang aneh itu kelihatannya menyayang sekali anakku,"   Katanya didalam hati "Paling benar aku memberikan anak ini sebagai anak pungutnya, supaya ia tidak turunkan tangan jahat kalau kalapnya datang lagi."   Memikir begitu, it lantas saja berkata.   "Cia Cianpwee, untuk kepentingan anak ini, aku akan mengajukan suatu permohonan kepadamu dan ku harap kau tidak menolaknya."   "Permohonan apa ?"   Tanyanya. "Aku ingin menyerahkan Liam Coe kepadamu untuk dijadikan anak angkat,"   Jawabnya.   "Biarlah kalau sudah besar, ia dapat merawat kau seperti ayahandanya sendiri. Dengan berada dibawah perlindunganmu seumur hidupnya ia tentu tak akan dihina orang. Ngoko, bagaimana pendapatmu?"   "Bagus!",kata Coei San.   "Aku harap Cia Cianpwee tidak menolak permohonan kami berdua."   Paras muka Cia Soen mendadak berobah dan diliputi dengan sinar kedukaan yang sangat besar.   "Anak kandungku sendiri telah dibanting orang sehingga jadi perkedel,"   Katanya dengan suara perlahan.   "Apa kau tidak lihat?"   Coei San dan Sa So saling melirik dengan perasaan berkuatir, karena perkataan itu seperti keluar dari multnya seorang edan.   Dalam kekuatiran merekapun merasa kasihan terhadap orang yang bernasib malang itu.   Sesudah berdiam sejenak, Cia Soen berkata pula.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kalau dia hidup, sekarang sudah berusia delapan belas tahun. Aku Cia Soen pasti akan turunkan semua baik ilmu surat maupun ilmu silat kepadanya. Huh huh! Dia belum tentu kalah dari Boe tong Cit hip atau Siauw lim Sam gie."   Kata-kata itu, yang kedengarannya angkuh, bernada sedih dan mengutarakan perasaan dari seorang yang hatinya sangat kesepian.   Mendengar itu, Coei San dan So So turut berduka dan mereka merasa menyesal, bahwa karena terpaksa, kedua mata orang itu telah dibikin buta.   "Kalau dia masih dapat melihat, bukankah kita berempat bisa hidup senang di pulau ini ?"   Kata Coei San didalam hati.   Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu tidak mengeluarkan sepatah kata.   Akhirnya kesunyian dipecahkan oleh Coei San yang berkata dengan suara tetap.   "Cia Cianpwee, kau terimalah anak ini.   Kami akan menukar she nya jadi she Cia."   Mendadak, sehelai sinar terang berkelebat di muka Cia Soen yang suram.   "Apa benar ?"   Tanyanya dengan suara kurang percaya.   "Kau rela dia menukar she ? Cia Liam Coe....Cia Liam Coe.... Namun itu cukup baik. Tapi anakku yang mati bernama Boe Kie."   "Kalau Cia ciapwee menghendaki, anak kami boleh dinamakan Boe Kie,"   Kata Coei San. Tak kepalang girangnya Cia Soen, tapi dalam kegirangan itu, ia merasa sangsi, kalau-kalau ke dua suami isteri itu sedang menipu dia.   "Kalian memberikan anakmu kepadaku, tapi bagaimana kau sendiri ?"   Tanyanya pula. "Tak perduli dia she Cia atau she Thio, kami berdua akan tetap menyintainya,"   Kata Coei San.   "Di belakang hari, ia harus mengunjuk kebaktian kepada Cianpwee dan kepada kami sendiri. Bukan kah itu baik sekali ? So So, bagaimana pendapat mu?"   "Aku setuju apa yang dikatakan olehmu,"   Jawab So So dengan suara agak bersangsi.   "Makin banyak orang menyintainya, makin bagus untungnya anak itu."   Dengan air mata berlinang-linang Cia Soen menyoja sambil membungkuk.   "Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada kalian,"   Kata nya dengan suara terharu.   "Sakit hati membuta kan mata mulai sekarang sudah dihapuskan, Cia Soen kehilangan anak, tapi hari ini dia mendapat pula seorang anak.   Di hari kemudian, nama Cia Boe Kie akan menggetarkan dunia dan biarlah orang tahu, bahwa ayahnya adalah Thia Coei San, ibunya In So So, sedang ayah angkatnya adalah Kim mo Say ong Cia Soen"   Barusan So So agak bersangsi karena Cia Boe Kie yang tulen telah binasa seperti perkedel, sehingga ia kuatir nama itu kurang baik, untuk anak nya.   Tapi melihat kegirangan Cia Soen yang begitu besar, ia merasa tak tega untuk mengutara kan kesangsiannya.   Ia yakin, bahwa anak itu tentu akan sangat dicinta Cia Soen dan hal ini merupakan keberkahan untuk anak itu.   "Cia Cianpwee apa kau mau mendukungnya?"   Tanyanya sambil mengangsurkan anak itu. Cia Soen menyambuti dan memeluknya dengan hati- hati. Mendadak, karena terlalu girang, kedua tangannya bergemetaran dan air matanya mengalir.   "Kau...kau.. ambilah pulang,"katanya.   "Melihat mukaku, dia bisa ketakutau setengah total."   "Jika masih senang, kau boleh mendukungnya terlebih lama,"   Kata So So sambil bersenyum.   "Dikemudian, hari kaulah yang harus mengajak ia bermain-main."   Sehabis berkata pegitu ia menyambuti anak itu. .   "Baik! Baik!"   Kata Cia Soen sambil tertawa debar. Mendengar si bayi menangis keras ia ber kata pula. "Tetekkanlah. Dia ]apar. Aku mau keluar dulu."   Coei San dan So So bersenyum.   Dengan matanya yang sudah buta, biarpun So So sedang menyusukan, ia sebenarnya boleh berdiam terus disitu.   Tadi dalam kalapnya, ia begitu ganas.   Tapi sekarang, ia begitu mengenal adat.   Sebelum ia bertindak keluar, Coei San sudah mendului.   "Cia Canpweee...."   "Tidak! Sesudah kita jadi orang sendiri, kau tak dapat menggunakan istilah Cianpwee lagi,"   Katanya.   "Apa kalian setuju jika kita sekarang mengangkat saudara? Tali kekeluargaan ini akan banyak baiknya untuk anak kita!"   "Cianpwee adalah seorang yang berusia banyak lebih tua dan berkepandaian banyak lebih tinggi, sehingga mana bisa kami berdua berdiri berendeng dengan Cianpwee?"   Kata Coei San. "Fui!"   Bentak Cia Soen.   "Kau adalah seorang dari Rimba Persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kau begitu, rewel ? Ngotee, Soe moay, apakah kau berdua bersedia untuk memanggil aku Toako (kakak paling tua) ?"   "Baiklah, biar aku yang lebih dulu memanggil Toako."   Kata So So.   "Kalau dia tetap mau panggil kau Cianpwee, maka terhadap akupun, dia harus memanggil Cianpwee."   "Kalau begitu, biarlah siauwtee menurut perintah Toako,"   Kata Coei San. "Sesudah kita mencapai persetujuan, beberapa hari lagi, sesudah aku lebih kuat, barulah kita bersembahyang dan memberitahukan kepada Langit dan bumi, akan kemudian menjalankan peradatan mengangkat ayah dan mengikat tali persaudaraan,"   Kata SoSo. Cia Soen tertawa terbahak-bahak.   "Satu laki laki tak akan menarik pulang perkataannya. Perlu apa bersembahyang kepada langit? Aku sudah membenci Langit !"   Sehabis berkata begitu dengan tindakan lebar ia berjalan keluar.   Beberapa saat kemudian, Coei San dan So So mendengar suara tertawanya yang panjang dan nyaring.   Sedari bertemu, belum pernah mereka melihat dia begitu bergembira.   Demikianlah, dengan penuh perhatian, ketiga orang itu merawat dan memelihara Cia Boe Kie.   Sebagai seorang yang bergelar Kim-mo Say ong, kepandaian Cia Soen dalam ilmu menangkap dan melatih binatang dapat dikatakan tidak bandingannya didalam dunia.   Coei San mengajak ia pergi keberbagai pelosok pulau itu dan sekali pergi, ia tidak melupakan lagi jalanan jalanannya.   Dalam pembagian pekerjaan, Cia Soen bertanggung jawab untuk menyediakan daging kepada keluarganya, menangkap menjangan atau memburu biruang.   Kadang-kadang sikera merah mengikut, tapi karena cara kera itu membinasakan biruang terlalu mudah, maka Cia Soen berbalik tidak merasa gembira.   Semula ia masih suka mengajaknya untuk dijadikan penunjuk jalan, tapi sesudah mengenal jalanan, ia tidak mempermisikan lagi dia mengikut dan memerintahkannya berdiam untuk ber main- main dengan Boe Kie.   Beberapa tahun telah lewat dengan aman sentosa.   Bayi itu bertubuh kuat, tidak pernah mengenal penyakit, dan dengan cepatnya sudah menjadi seorang anak yang mungil dan subur.   Diantara ketiga orang tua itu, Cia Soen lah yang paling memanjakannya.   Setiap kali Coei San atau So So mau nenghukumnya, karena ia terlalu nakal, Cia Soen selalu datang disama tengah dan menghalang halangi.   Dengan demikian, saban-saban ayah dan ibu kandungnya bergusar, ia tentu lari ketempat sang ayah angkat untuk meminta pertolongan.   Kedua orang tuanya hanya dapat menggeleng-geleng kan kepala dan menggerutu, bahwa anak itu terlalu dimanja oleh sang toako.   Waktu Boe Kie berusia empat tahun, So So lalu mulai mengajar ilmu surat kepadanya.   Pada hari ulang tahunnya yang kelima, Coei San berkata.   "toako, anak kita sudah boleh belajar silat. Mulai hari ini, kurasa kau sudah boleh mengajarnya. Apa Toako setuju?"   Sang kakak menggelengkan kepalanya.   "Tak bisa,"   Jawabnya.   "Ilmu silatku terlampau dalam. Jika sekarang aku yang mengajarnya, ia tak mengerti. Sebaiknya, lebih dulu kau menurunkan ilmu Boe tong Sim hoat dan sesudah is berusia delapan tahun, barulah aku yang mengajarnya. Sesudah aku mengajar dua tahun, kamu sudah boleh pulang! So So kaget dan heran.   "Apa? pulang? Pulang ke Tionggoan?"   Menegasnya. "Benar."   Jawabnya.   "Selama beberapa tahun, sehari aku memperhatikan arah angin dan arus air. Aku mendapat kenyataan, bahwa saban tahun pada malam yang paling panjang, turunlah angin yang meniup keras terus menerus sampai beberapa puluh malam. Sebelum waktu itu tiba, kita dapat membuat sebuah getek yang besar, memasang layar dan jika Langit tidak mengacau, mungkin sekali kalian bisa ditiup angin sampai di Tionggoan."   "Kami?"   Tanya pula So So.   "Apa kau tidak turut serta?"   "Mataku sudah tidak bisa melihat, perlu apa aku pulang ke Tionggoan?"   Jawabnya. "Jika kau tidak ikut, kami pasti tak akan mempermisikan kau berdiam sendirian dipulau"   Kata So So.   "Anak kitapun tak akan mau mengerti, Ka1au bukan Gie hoe (ayah angkat), siapa lagi yang bisa menyayangnya?"   Cia Soen menghela napas dan paras mukanya kelihatan berduka.   "Aku sudah menyayangnya sepuluh tahun. cukuplah,"   Katanya.   "Langit selama nya mengacau penghidupanku. Jika anak kita berdampingan terlalu lama denganku, Langit mungkin akan menggusari dia dan dia bisa celaka."   Coei San dan So So bingung.   Tapi sesaat kemudian, mereka manganggap, bahwa sang kakak bicara sembarangan saja dan hati mereka jadi lebih lega.   Mulai hari itu, Coei San mulai memberi pelajaran Lweekang kepada puteranya.   Ia menganggap bahwa bagi anaknya yang masih begitu kecil, pelajaran Lweekang untuk menguatkan diri sudahlah cukup.   Disamping itu, dengan berdiam dipulau tersebut, anak itu sebenarnya tidak perlu memiliki ilmu silat, karena tidak ada kemungkinan untuk berkelahi.   Mengenai kesempatan pulang ke Tionggoan tidak pernah disebut-sebut lagi oleh Cia Soen, sehingga Coei San dan So So menganggap, bahwa kakak mereka sudah berkata begitu secara sembarangan saja.   Waktu Boe Kie berusia delapan tahun, benar saja Cia Soen mengajukan untuk memberi pelajaran ilmu silat.   Tapi ia mengadakan peraturan, bahwa waktu ia menurunkan pelajaran, baik Coei San maupun So So tidak boleh turut menyaksikan.   Peraturan itu yang sudah lazim dalam Rimba Persilatan, tidak pernah dibantah oleh mereka.   Mereka tahu, bahwa sang kakak akan memberi pelajaran yang sebaik baiknya kepada Boe Kie.    Golok Sakti Karya Chin Yung Perintah Maut Karya Buyung Hok Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini