Pedang Langit Dan Golok Naga 22
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 22
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung Melihat kerelaan dan pengorbanan guru besar itu Boe Kie merasa terharu, dan dengan air mata berlinang linang, ia berseru. "Thay soehoe!" Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata. "Kioe yang kang Cap jie sit sudah seluruhnya diturunkan kepada anak oleh Siansoe," Sang kakek guru girang. "Bagus," Katanya sambil tertawa. Sesudah menulis lagi beberapa lama, Thio Sam Hong sudah menyelesaikan apa yang mau ditulisnya. Pendeta yang melayani segera balik kekuil untuk memberi laporan dan tidak lama kemudian, Kong boen, Kong tie dan Kong seng datang di Lip soat teng, diikuti oleh seorang pemuda yang berusia kira-kira duapuluh lima tahun. Pemuda itu mengenakan thungsha (jubah panjang) dan ia ternyata seorang murid Siauw lim sie yang tidak menyukur rambut. Thio Sam Hong merasa heran. Ia tahu bahwa menurut peraturan Siauw Lim sie, sebelum lulus seorang murid bukan pendeta tidak boleh keluar dari pintu kuil. Bagi seorang biasa masuk di Siauw lim sie bukan gampang, tapi keluar dari kuil itu lebih sukar lagi. Apa maksudnya Kong boen mengajak seorang murid bukan pendeta? Tanpa merasa, ia mengawasi pemuda itu yang jangkung kurus, panjang lengannya dan pendek kakinya, sedang kedua matanya bersinar terang, sehingga tidak dapat ditebak, bahwa ia memiliki kecerdasan otak yang luar biasa. "Kami telah membuat Thio Cinjin banyak capai," Kata Kong boen sambil merangkap kedua tangannya. Sam Hong bersenyum. "Terima kasih atas belas kasihan Hong thio Soe heng, sehingga jiwa anak ini bisa ditolong," Jawabnya sambil membungkuk. Sehabis berkata begitu, ia menyodorkan tiga puluh lembar tulisan itu dan lalu berkata pula. "Thay kek boen dan Sip sam sit dan Boe tong Kioe yang kang semua sudah ditulis disini. Aku harap Sam wie Soeheng suka memberi petunjuk petunjuk dan bahwa aku sudah berani memperlihatkan kebodohanku dihadapan kalian, kuharap kalian jangan mentertawai." Kong boen menyambuti dan tanpa melihat lagi, ia segera menyerahkan tulisan itu kepada pemuda yang berdiri dibelakangnya. Si pemuda segera membacanya dengan teliti, selembar demi selembar. Sambil mencekal tangan Boe Kie, Sam Hong segera meminta diri. "Dalam kedatangan kalian, loolap sebenarnya harus mengundang kalian berdiam disini beberapa hari, dan bahwa loolap tidak dapat berbuat begini hatiku merasa sangat tidak enak." Kata Kong boen. "Maka sebagai gantinya loolap hanya bisa mengundang Thio Cinjin meneguk tiga cawan arak untuk mengunjuk hormat kami." Pendeta arak dan kedua orang berilmu itu lantas saja ber sama-sama mengeringkan tiga cawan dengan beruntun. Sesudah itu Kong been, Kong tie dan Kong seng pun turut memberi selamat jalan dengan tiga cawan arak. Sesudah selesai, Sam Hong dan Boe Kie segera memberi hormat dan memutar badan untuk berlalu. Sebelum bertindak, sekonyong-konyong pemuda jangkung kurus itu berkata. "Soepeh, ilmu silat yang ditulis Thio Cinjin tidak berbeda dengan pelajaran kita. Semua yang telah dibaca olehku, aku sudah belajar dari Soehoe." Sam Hong terkejut. "Omong kosong !" Bentak Kong been. "Thay kek Sip sam sit adalah mustika Boe tong pay yang digubah oleh Thio Cinjin sendiri. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau sudah pernah belajar ilmu itu?" Si pemuda segera menyerahkan tulisan Thio Sam Hong itu kepada Kong boen dan berkata. "Soepeh lihat saja sendiri." Kong boen menyambuti dan lalu membalik-balik beberapa lembar dan kemudian menyerahkannya kepada Kong tie dan Kong seng. Kedua pendeta itu juga membalik- balik beberapa lembar. "Soeheng, benar saja ilmu ini masih termasuk dalam lingkungan ilmu Siauw lim sie," Katanya dengan suara perlahan. Sam Hong kaget bercampur gusar. Thay kek Sip sam sit adalah hasil jerih payahnya selama tigapuluh tahun dan baru pada tahun yang lalu, ilmu itu menjadi sempurna. Intisari daripada ilmu itu ialah dengan kelemahan melawan kekerasan, dengan bergerak lebih dulu. Azas-azas tersebut justeru sebaliknya daripada azas azas ilmu silat Siauw lim sie. Disamping itu, walaupun bersumber dari Kioe yang Cin keng gubahan Tat mo Loo couw, Boe tong Kioe yang kang sudah ditambah dengan banyak perobahan yang keluar dari otaknya Sam Hong. Maka itulah, mendengar kata-kata si pemuda dan Kong tie, guru besar itu jadi sangat mendongkol. Tapi dilain saat, ia sudah dapat menebak sebab musabab dari sikap Siauw lim. Ia mengerti, bahwa ia kuatir dikatakan menerima pelajaran dari Bee tong pay maka pendeta-pendeta suci itu sudah mengeluarkan siasat tersebut. Sementara itu, sambil mengangsurkan tulisan tulisan itu kepada Sam Hong, Kong boen berkata. "limu silat Boe tong bersumber dari Siauw Lim. Benar saja, apa yang ditulis Thio Cinjin tidak banyak bedanya dari ilmu silat kami." Sam Hong tertawa. "Apa yang telah ditulis oleh si orang she Thio, sedikitpun aku tidak merasa menyesal," Katanya. "Aku mengerti bahwa ilmuku itu sangat cetek dan tidak berharga. Jika Samwie tidak memerlukannya, sebaiknya dibuang saja." Ia tidak menyambuti gabungan kertas itu yang diangsurkan kepadanya. "Dari kata-katamu, Thio Cinjin, rupanya kau tidak percaya akan pengutaraan kami itu," Kata Kong tie. Ia berpaling kepada si pemuda seraya berkata pula. "Yoe Liang, coba kau halal Thay kek Sip sam sit dan Kioe yang kang yang diturunkan olehku kepadamu " "Baiklah," Jawab pemuda itu yang lantas saja menghafal tulisan Sam Hong selengkapnya, sehuruf pun tidak ada yang ketinggalan. "Thay soehoe, orang itu menghafal dengan membaca tulisanmu," Boe Kie menyelak. "Dan sekarang mereka mengatakan, ilmu Thay soehoe tiada berbeda dengan ilmu mereka. Sungguh tak mengenal malu" Sam Hongpun tahu. Ia tertawa besar dan sambil mengawasi pemuda itu, ia berkata. "Selagi ketiga pendeta suci mengajak aku minum arak, tuan sudah menghafalkan dua macam ilmu silatku. Kepintaran dan kecerdasan itu tidak dimiliki Sam Hong. Boleh aku mendapat tahu she dan nama tuan yang besar?" "Cianpwee jangan memuji begitu tinggi," Jawabnya. "Boanpwee she Tan, bernama Yoe Liang." "Saudara Tan," Kata pula guru besar itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengan kecerdasanmu, apapun jua yang dipelajari olehmu pasti akan berhasil. Aku hanya mengharap, kau jangan mengambil jalan yang salah. Dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin mempersembahkan kata-kata seperti berikut. Dengan kejujuran kita memperlakukan orang lain, dengan kerendahan hati, kita membatasi diri." Melihat sinar mata orang tua itu yang tajam bagaikan pisau, Yoe Liang bergidik. Tapi dilain saat ia menjadi mendongkol dan berkata dengan suara kaku. "Terima kasih atas petunjuk Thio Cinjin. Tapi Boanpwee adalah murid Siauw lim dan boan pwee mempunyai Soepeh, Soehoe dan Soesiok untuk mengajar boanpwe." "Benar," Kata Sam Hong sambil tertawa. "Memang aku si tua yang terlalu rewel." Sesaat itu, Kong tie mengangsurkan gabungan kertas itu. Hampir berbareng dengan itu si pendeta terhuyung dan Yoe Liang yang berdiri didampingnya segera coba memeluknya. Tapi tenaga Kong tie besar luar biasa dan pemuda itu yang kena didorong, lantas saja terpental keluar pendopo dan jatuh ditanah. Dalam mengirim Lweekang itu, Sam Hong hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang tidak berniat jahat. Maka itu, begitu mengerahkan Lweekang kebagian kakinya, Kong tie sudah bisa berdiri tegah. Sam Hong bersenyum seraya berkata. "Itulah ilmu dari Thay kek Sip sam sit. Sekarang terbukti, bahwa walaupun kalian berdua paham akan ilmu itu, tapi kalian belum mempunyai tempo untuk berlatih. Selamat tinggal !" Dengan sekali mengibas tangan, diudara beterbanganlah kepingan- kepingan kertas yang sangat halus, yaitu kertas yang berisi ilmu Thai kek dan Boe tong Kioe yang kang. Sambil menuntun tangan Boe Kie, tanpa menengok lagi ia meninggalkan Siauw sit sat. Kong boen bertiga saling mengawasi dengatl mulut ternganga. Mereka merasa kagum dan takluk akan kepandaian orang tua itu. Disamping itu, merekapun merasa agak menyesal. "Ilmu itu begitu lihay," Kata Kong boen didalam hati."Apa Yoe Liang sudah menghafakan seanteronya? Jika satu huruf saja yang kelupaan, Siauw lim akan menderita kerugian besar." Malam itu didalam rumah penginapan Sam Hong menyuruh Boe Kie berlatih menurut Kouw koat yang diturunkan oleh Goan tin. Karena tidak ingin mendengar dan melihat cara berlatihnya si bocah, ia sendiri tidur disebuah kamar lain. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, jika ia melihat cara bersemedhi dan gerak-gerakannya serta mendengar jalan pernapasan cucu muridnya itu, ia sudah bisa mengetahui rahasia Siauw lim Kioe yang-kang. Selama berada dalam perjalanan pulang, iapun belum pernah menanyakan kemajuan Boe Kie. Meskipun ketiga pendeta suci Siauw lim pay berpemandangan agak sempit, akan tetapi mereka adalah orang-orang ternama dalam kalangan Rimba persilatan sehingga ia percaya, mereka tidak akan memberi pelajaran palsu. Berselang beberapa hari, paras muka Boe kita sudah berubah agak merah sehingga sang kakek guru jadi merasa girang sekali. Sam Hong tahu, bahwa Boe Kie sudah memiliki Kioe yang kang dari Boe tong dan Siauw lim yang saling menambah kekurangan masing-masing. Ia percaya penuh, bahwa kedua macam Kioe yang kang itu akan cukup kuat untuk mengusir racun dingin Hianbeng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh si bocah. Hari itu, mereka tiba ditepi sungai Han soei dan lalu menyewa perahu untuk menyeberang. Dengan rasa terharu, Sam Hong ingat pengalamannya yang lampau. Ia ingat kesengsaraan dulu, pada waktu ia kabur dari Siauw lim sie dan mau menyeberang sungai itu. Waktu usianya tidak banyak berbeda dengan usia Boe Kie sekarang. Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa pada akhirnya ia bisa menjadi pendiri Boe tong pay yang sekarang berdiri berendeng dengan Siauw lim pay. Keadaan Boe Kie dihari ini lebih bagus dan lebih unggul daripada diwaktu dulu. Ia percaya, bahwa dikemudian hari, kedudukan bocah itu akan lebih tinggi daripadanya. Mengingat begitu, tanpa ia merasa ia bersenyum dan hatinya bunga. Mendadak, lamunannya disadarkan oleh teriakan Boe Kie. "Thay soehoe!.... Aku....aku...." Suaranya bergemetaran dan mukanya pucat pasi. Sam Hong terkesiap. Muka anak itu merah dan pada warna kemerah- merahan itu terdapat sinar hijau. "Thay soehoe!" Teriak Boe kie. "Aku....aku tak tahan!" Badannya bergoyang-goyang. Dengan cepat tangan kiri sang kakek guru mencekal pengelangan tangan Boe Kie sedang telapak tangan kanannya ditempekan dijalan darah Leng-tay hiat dipunggung si bocah. Tapi begitu lekas ia mengirim tenaga dalam untuk membantu Boe Kie melawan racun dingin itu, sekali lagi ia terkesiap karena Lweekangnya lantas saja menerobos masuk ke Kie keng Pat meh. Boe Kie mengeluarkan teriakan menyayat hati dan lalu pingsan. Kaget orang tua itu bagaikan disambar halilintar. Buru- buru ia menotok untuk menutup dua belas Thay hiat dibadan Boe Kie. "Mengapa Kie keng Pat meh terbuka?" Tanyanya didalam hati. "Dengan terbukanya pembuluh darah, racun bisa lantas masuk kedalam isi perut dan kalau sudah masuk disitu maka sudah tentu tak akan bisa dibuyarkan lagi." Sesudah berusia lebih dari satu abad dan sesudah ilmunya menecapai puncak kesempurnaan, guru besar itu tenang luar biasa. Tapi kali ini, ia tak dapat mempertahankan ketenangannya. Jantungnya berdebar keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya "Apa bisa jadi, Siauw lim Kioe yang kang sedemikian hebat, sehingga dalam beberapa hari saja ilmu itu sudah dapat membuka pembuluh darah ?" Ia tanya lagi dirinya sendiri. "Tidak mungkin! Pasti tidak mungkin ! Lie Heng dan Seng Kok sudah berlatih belasan tahun, tapi latihan itu masih belum cukup untuk membuka pembuluh darah." Dengan Lweekangnya yang sangat tinggi, jikamau, Sam Hong bisa membantu kedua muridnya untuk membuka Kie-keng pat-meh. Akan tetapi, dalam memberi pelajaran, ia selalu berpendirian bahwa sesuatu yang didapat dengan latihan sendiri adalah lebih berhanga daripada yang diperoleh atas bantuan orang. Dalam mengajar semua muridnya dia tak mau tergesa-gesa. Ia membiarkan murid murid itu berlatih sendiri dan maju dengan per lahan tapi tentu. Waktu itu, perahu yang ditumpangi mereka tiba ditengah tengah sungai dan karena terdampar ombak, kendaraan air yang kecil itu terombang ambing kian kemari tiada bedanya seperti hati Thio Sam Hong yang bergoncang keras. Beberapa saat kemudian, Boe Kie tersadar. Sesudah keduabelas Tayhiatnya ditotok, racun dingin tidak bisa masuk kedalam isi perutnya, akan tetapi, karena itu, ia tak dapat menggerakkan badan. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekarang Sam Hong tidak menggubris lagi soal pantas atau tidak pantas. "Nak, bagaimana isi Siauw lim Kioe yang kang yang diturunkan kepadamu?" Tanyanya. "Mengapa semua pembuluh darahmu jadi terbuka?" "Yang membuka yalah Goan tin Siansoe," Jawabnya. "Ia mengatakan bahwa ia membantu supaya aku bisa berhasil terlebih siang dalam latihan Kioe yang Sin kang." "Tapi bagaimana ia jadi membantu kau?" Tanya Sam Hong, tergesa-gesa. Boe Kie segera menceriterakan cara bagaimana ia mendengar pembicaraan antara Kong boen dan Kong tie, cara bagaimana Goan tin memberi pelajaran dengan teraling tembok dan cara bagaimana pendeta aneh itu sudah membantunya dalam membuka Kie keng Pat mah. Untuk beberapa lama sang kakek guru tidak mengeluarkan sepatah kata. "Kalau pembuluh darahmu perlu dibuka dengan segera, apakah aku tidak dapat melakukan itu?" Katanya dengan suara perlahan. "Apa maksud baik atau sengaja dia bermaksud jahat?" "Goan tin Siansoe telah mengatakan berulang ulang bahwa ia tak tahu she dan namaku, ia tak tahu rumah perguruanku dan akupun tidak perlu tahu she dan namanya," Menerangkan Boe Kie. "Goan tin .... Goan tin ...." Sam Hong berkata, seperti pada dirinya sendiri. "Belum ... belum pernah aku mendengar nama begitu diantara jago-jago Siauw lim sie. Hm ... Ia tak tahu namamu, tak mengenal partaimu. Kalau begitu, ia tak tahu perhubungan antara aku dan kau. Kalau begitu, bantuannya itu, keluar dari hati yang baik." Sesudah berkata itu, Sam Hong lalu menanyakan Kouw koat Siauw Lim Kioe yang kang. Boe Kie lantas saja menghafal, mulai dari jurus Wie hok Hian couw. Baru saja ia menghafal sampai jurus ketiga. Ciang to Thian boen (Dengan telapak tangan menyangga pintu langit), sang kakek guru sudah berkata. "Cukup! Tak usah kau menghafal terus. Tujuanku hanyalah untuk mengetahui tulen palsunya ilmu yang diturunkan kepadamu. Mulai dari sekarang, kau tidak boleh memberitahukan Siauw lim Kioe yang Sin kang kepada siapapun jua. Kau mesti ingat, bahwa kau tidak boleh melanggar sumpahmu yang sangat berat "Baik," Jawabnya sambil mengawasi muka sang kakek guru, karena Sam Hong telah mengucapkau kata-kata itu dengan suara gemetar. Ia melihat bahwa dalam kedua mata orang tua itu mengembang air. Sebagai seorang yang sangat pintar, ia mengerti, bahwa sang kakek guru sudah tak punya harapan untuk menolong jiwanya lagi. Mendadak, serupa ingatan berkelebat dalam otaknya. "Thay Soehoe," Katanya. "Apakah aku masih bisa bertahan dan bisa pulang ke Boe tong san dengan masih bernyawa?" "Jangan kau berkata begitu," Jawab guru besar itu sambil menahan mengucurnya air mata. "Biar bagaimanapun jua, Thay soehoe akan berdaya untuk menolong jiwamu " "Kalau aku masih bisa bertemu muka dengan Jie Shapeh, aku sudah merasa puas," Kata pula Boe Kie. "Mengapa begitu?" Tanya sang kakek guru. "Sebab sesudah tidak bisa hidup, anak ingin membuka rahasia Siauw lim Kioe yang kang ke pada Jie Shapeh" Jawabnya. "Anak mengharap supaya dengan menggunakan Kioe yang kang dari Boe tong dan Siauw lim, Shapeh akan dapat menyembuhkan kaki tangannya yang bercacad. Sesuai dengan sumpah anak akan menggorok leher sendiri seperti yang telah dilakukan ayah, supaya dengan begitu, anak dapat menebus sebaglan kecil dari ke dosaan ibu." Bukan main rasa kaget dan terharunya Sam Hong. Tak pernah ia menduga, bahwa bocah sekecil Boe Kie bisa mempunyai pikiran begitu. "Ah ! ... Jangan kau .... bicara .... yang tidak-tidak." Katanya dengan suara parau. "Hari itu, aku sudah mengerti duduknya persoalan," Kata Boe Kie. "Dengan menggunakan jarum beracun, ibu telah melukakan Jie Shapeh sehingga Shapeh bercacad untuk seumur hidupnya. Itulah sebabnya, mengapa ayah telah.. .." Sam Hong tak dapat mempertahankan diri lagi. Air matanya lantas saja mengucur deras, sehingga membasahi jubah pertapaannya. "Kau. .... kau tak boleh....memikir yang tidak-tidak." Katanya sambil menangis sedu-sedan. Sesaat kemudian, sesudah menenteramkan hatinya, ia berkata pula dengan suara angker. "Seorang laki laki harus berjalan dijalanan lurus. Kau sudah berjanji, dengan disertai sumpah berat, untuk tidak memberitahukan pelajaran Siauw lim Kioe yang kang kepada siapapun jua. Janji itu harus dipegang sampai pada akhirnya. Andaikata benar kau bakal mati, aku juga tidak boleh berlaku licik." Boe Kie terkejut. Ia mengawasi sang kakek guru dengan mulut ternganga, akan kemudian manggut kan kepalanya. Semenjak kecil sehingga pulang ke Tionggoan, Boe Kie hidup bersama-sama kedua orang tua dan ayah angkatnya, So So dan Cia Soen, memang bukan manusia yang bersih, tapi bahkan Coei San sendiri belum pernah memberi pelajaran bathin kepadanya. Maka itulah, ia belum mengerti soal kehormatan dalam Rimba Persilatan. Sekarang untuk pertama kali, ia menerima nasehat dari kakek gurunya. Dilain saat, Sam Hong berkata pula dalam hatinya. "Sesudah tahu, bahwa jiwanya tidak bakal tertolong lagi, anak itu rela membunuh diri guna menolong Thay Giam. Jiwa yang sedemikian adalah sesuai dengan jiwa seorang pendekar Rimba Persilatan." Memikir begitu, ia lantas berniat memberi sedikit pujian kepada Boe Kie, tapi, belum sampai ia membuka mulut, sudah terdengar teriakan seseorang. "Hentikan perahu! Serahkan anak itu! Kalau kau tidak menurut, jangan katakan aku kejam." Suara itu nyaring luar biasa, suatu pertanda bahwa orang yang berteriak memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Sam Hong bersenyum lebar. "Siapa yang bernyali begitu besar. berani memerintahkan aku menyerahkau cucu muridku ?" Katanya didalam hati. Ia mendongak dan melihat sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki brewokan dan dengan badannya, orang itu melindungi dua orang anak kecil, satu lelaki dan satu perempuan. Dibelakang perahu kecil itu mengejar sebuah perahu yang lebih besar, yang ditumpangi oleh empat orang-orang Hoan ceng (Pendeta bukan golongan Han) dan tujuh delapan perwira Mongol yang mendayung perahu. Lelaki brewokan itu bertenaga sangat besar dan perahunya laju pesat sekali. Tapi perahu yang mengejar didayung oleh orang yang jumlahnya jauh terlebih banyak, sehingga makin lama jarak antara kedua perahu itu jadi semakin pendek. Beberapa saat kemudian, tampak ke empat Hoan ceng dan perwira-perwira Mongol itu mulai melepaskan anak panah. Sekarang Sam Hong tahu, bahwa yang dimaui oleh orang-orang itu adalah kedua anak kecil yang dilindungi oleh si orang brewokan. Selama hidup, ia paling benci serdadu-serdadu Mongol yang berbuat sewenang-wenang terhadap orang Han dan seketika itu juga, didalam hatinya timbut niatan untuk menolong. Tapi ia segera mengurung kan niatannya itu, karena ia sendiri harus melindungi Boe Kie yang sedang menderita penyakit berat. Disamping itu, jarak antara perabunya dan kedua perahu yang sedang ubar- ubaran itu masih terlalu jauh, sehingga biarpun ingin, ia tak akan keburu menolong mereka. Tapi dilain saat terjadi perkembangan yang di luar dugaan. Dengan tangan kiri tetap mendayung perahu, tangan kanan si brewok mengibas anak anak panah yang menyambar dengan penggayuh yang satunya lagi. Tanpa merasa, Sam Hong bersorak dan berkata dalam hatinya. "Orang itu memiliki kepandaian luar biasa. Cara bagaimana aku bisa mengawasi kecelakaan yang menimpa dirinya seorang gagah dengan berpeluk tangan?" Ia lantas saja berpaling kepada situkang perahu seraya berkata. "Coan kee (tukang perahu), dayunglah perahumu kearah kedua perahu itu!" Si tukang perahu kaget tak kepalang. Sambil mengawasi si kakek dengan mata membelalak ia berkata . "Loo too ya... kau ... kau ... jangan guyon-guyon!" Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Sam Hong menyentak dayung dan dengan sekali menggayuh, kepala perahu sudah terputar. Sekonyong-konyong terdengar teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari mulutnya salah seorang anak yang lelaki yang punggungnya tertancap sebatang anak panah. Dalam kagetnya, si brewok membungkuk untuk memeriksa luka anak laki-laki tersebut itu, dan selagi ia membungkuk, dua batang anak panah mengenakan pundak dan punggungnya. Ia mengeluar kan teriakan tertahan. Badannya bengoyang-goyang dan dayung yang dicekalnya jatuh ke air, sehingga perahunya lantas saja berhenti. Sesaat kemudian perahu yang mengejar sudah menyandak dan semua pengejar Ialu melompat keperahu si brewok. Tapi dia laki-laki sejati. Biarpun dikurung oleh begitu banyak. musuh, secara nekat-nekatan in melawan dengan tangan kosong. "Orang gagah, jangan takut !" Teriak Thio Sam Hong. "Aku akan datang menolong kau!" Sambil menggenjot tubuhnya, ia melontarkan dua lembar papan ke air, kaki kirinya menotol papan pertama, kaki kanannya papan kedua dan bagaikan seekor burung raksasa, ia hinggap diatas perahu. Selagi ia melompat, dua orang perwira dengan berbareng melepaskan anak panah, tapi kedua anak panah itu terpental dengan kibasan tangan. Begitu lekas kedua kakinya menginjak geladak perahu, ia menghantam dengan telapak tangan kirinya dan dua Hoan ceng, terpental setombak lebih, akan kemudian tercebur didalam air. Melihat kelihayan si kakek, semua orang kaget bukan main; "Bangsat tua! Mau apa kau?" Bentak perwira yang memimpin rombongan. "Anjing Tat coe !" Sam Hong balas mencaci. "Lagi - lagi kamu mencelakakan rakyat baik baik. Pergi!' "Kau tahu siapa mereka?" Tanya si perwira. "Mereka adalah anak-anaknya penghianat dari Mokauw (agama siluman). Hong siang telah mengeluarkan firman untuk membekuk mereka!" Mendengar "penghianat dari Mokauw", Thio Sam Hong rupanya terkejut juga. "Apakah mereka orang-orangnya Tincoe Cioe Coe Ong?" Tanyanya didalam hati. Ia menengok kepada sibrewok dan bertanya. "Apa benar?" Dengan tubuh berlumpuran darah dan sambil memeluk mayat anak lelaki itu, ia menangis dan berkata. "Siauwcoekong (majikan kecil)... Siauw coekong binasa dipanah oleh meraka.. " Si kakek jadi makin kaget. "Apakah anak itu puteranya Cioe Coe Ong?" Tanyanya pula. "Benar," Jawabnya "Aku sudah gagal menunaikan tugasku. Biarlah aku mati bersama sama". Perlahan-lahan ia menaruh mayat di atas geladak perahu dan kemudian menubruk perwira Mongol itu. Tapi, sebab lukanya terlalu berat dan kedua anak panah itu belum dicabut dari pundak dan punggungnya, maka begitu melompat, ia roboh kembali. Nona kecil itu, yang lengannya tertancap sebatang anak panah, menangis dan sesambat. "Koko! Koko !... " Didalam hati, Sam Hong merasa menyesal bahwa ia sudah mencampuri urusannya Cioe Coe Ong. Akan tetapi, karena sudah terlanjur, ia tak bisa mundur ditengah jalan. Maka itu, ia menengok kepada siperwira dan berkata. "Anak itu sudah binasa dan mereka berdua telah mendapat luka berat, sehingga tak lama lagi merekapun akan turut binasa. Kalian sudah berpahala besar. Pergilah!" "Tidak bisa!" Kata perwira itu. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kami mesti memenggal kepala ketiga orang itu." "Perlu apa kalian berlaku begitu kejam ?" Kata pula Sam Hong. "Siapa kau? Mengapa kau berani campur campur arusan kami ?" Tanya siperwira dengan aseran. Sam Hong tertawa. "Siapa yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia menolong," Jawabnya. "Segala urusan dikolong langit boleh dicampuri oleh manusia di kolong langit." Perwira itu melirik kawan-kawannya. "Siapa adanya Tootiang dan di mana letak kuil mu?" Tanyanya. Mendadak, dua perwira lain mengangkat golok dan menyabet pundak Sam Hong. Kedua senjata itu menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang sempit, sungguh sukar untuk mengelakkannya. Tapi dengan hanya sekali miringkan badan, guru besar itu sudah kelit senjata musuh. Hampir berbareng, Sam Hong mengeluarkan kedua tangannya yang lalu ditempelkan di punggung kedua penyerang itu. "Pergilah !" Bentaknya seraya mendorong dan tubuh kedua perwira itu lantas saja "terbang", akan kemudian jatuh di atas perahu mereka sendiri. Sesudah puluhan tahun Sam Hong belum pernah bertempur dan hari ini ia sebenarnya menghadapi jago-jago pilihan dari kaizar Mongol. Semua jago itu kaget tak kepalang, sebab pihak mereka sedikitpun tak dapat berkutik. Mendadak, seperti orang ingat sesuatu, pemimpin rombongan menatap wajah Sam Hong dengan mulut ternganga dan kemudian berkata dengan suara putus-putus. "Kau ... kau .. a pa kau bukan ..." "Aku adalah seorang yang biasa membunuh Tat coe," Kata sikakek seraya mengibas dengan lengan jubahnya. Hampir berbarengan semua orang itu merasakan satu sambaran angin dan dada mereka menyesak, sehingga mereka tidak dapat mengetuarkan sepatah katapun. Dilain saat, dengan muka pucat mereka berdulu dulu meninggalkan perahu itu dan sesudah menolong kedua Hoan ceng yang tercebur diair, mereka kabur secepat mungkin dengan ramai-ramai mendayung perahu. Melihat sibrewok dan nona cilik itu dilukakan dengan anak panah beracun, Sam Hong segera mengeluarkan obat pemunah racun. Sesudah itu ia mendayung perahu kecil Itu, mendekati perahunya sendiri. Baru saja ia mau memapah sibrewok untuk berpindah keperahunya, orang itu sudah melompat dengan memeluk mayat dan tangan lain menyekel tangan si nona kecil. Sam Hong manggut-manggutkan kepala. "Benar-benar laki-laki sejati," Pujinya. "Meskipun sudah menderita luka berat, ia tetap menunjuk kesetiaan kepada majikan kecilnya. Aku tak merasa menyesal sudah menolongnya." Ia sendiri lalu melompat balik keperahunya, dimana ia segera mencabut anak panah yang menancap ditubuh si brewok dan si gadis cilik. Sesudah menaruh obat luka dan membalut luka itu, Sam Hong tidak lantas mendarat, karena ia menghadapi keadaan yang agak sukar. Boe Kie yang kedua belas Thay hiatnya ditotok, tidak bisa berjalan sendiri, sedang si brewok dan sinona kecil itu adalah pemburonan yang sedang dicari oleh kaki tangan kaizar Mongol. Jika mereka menginap di Loa ho kouw, Sam Hong merasa agak berat untuk melindungi tiga orang itu. Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia merogoh saku bajunya, dan ia mengeluarkan beberara tahil perak yang lalu diserahkan kepada si tukang perahu. "Saudara" Katanya sambil bersenyum. "Aku ingin meminta pertolonganmu untuk membawa mereka ke Thay peng tiam supaya mereka bisa menginap disitu." Si tukang perahu sebenarnya sangat ketakutan tapi melihat jumlah uang yang begitu besar, ia lantas saja manggut-manggut kepala. Si brewok buru-buru berlutut diatas geladak perahu dan berkata. "Budi Loo tooya yang sangat besar tak akan dapat dibelas oleh Siang Gie Coen." Sam Hong membangunkan orang itu seraya berkata "Siang Enghiong, tak usah, tak usah kau jalankan peradatan besar." Tiba-tiba ia terkejut, sebab waktu tangannya menyentuh tangan Siang Gie Coen, ia merasa tangan itu dingin luar biasa. "Siang Enghiong apakah kau mendapat luka di dalam badan ?" Tanyanya. "Benar", jawabnya sambil mengangguk. "Dengan membawa kedua majikan kecil ini, Siauw jin (aku yang rendah) berangkat dari Sin yang untuk pergi ke Selatan. Di sepanjang jalan empat kali siauwjin bertempur dengan kuku garuda (kaki tangan kaizar) yang dikirim oleh Tatcoe. Dada dan punggungku telah terkena pukulan seorang Hoan ceng." Sam Hong segera memeriksa nadi Siang Gie Coen dan mendapat kenyataan, bahwa denyutan nadi sudah lemah sekali. Kemudian ia membuka baju si brewok dan begitu melihat lukanya, ia terkejut, karena luka itu sudah bengkak dan sangat berat. Ia mengerti, bahwa tanpa memiliki kekuatan badan yang luar biasa, Siang Gie Coen tentu sudah tidak dapat bertahan lagi. Ia segera mempersilahkan Gie Coen mengaso digubuk perahu dan melarangnya banyak bicara. Mereka tiba di Thay pang kiam diwaktu malam. Sam Hong lantas saja pergi ke kota untuk membeli obat-obatan yang kemudian segera dimasak dan diberikan kepada Siang Gie Coen dan sinona kecil. Gadis itu, yang baru berusia kira-kira sepuluh tahun dan yang paras mukanya mengunjuk, bahwa sesudah besar ia bakal jadi seorang wanita yang luar biasa cantik, duduk terpaku disamping mayat kakaknya. Melihat begitu, Sam Hong merasa kasihan dan menanya dengan suara lemah lembut. "Nona, siapa namamu?" "Aku, Cioe Tit Jiak", jawabnya. "Bolehkah aku mendapat tahu nama Too tiang?" Rasa simpathi guru besar itu jadi makin besar karena dalam kedukaannya, anak itu masih tetap agung dan sopan. "Aku, Thio Sam Hong." Jawabnya. "Ah!" Demikian terdengar teriakan Siang Gie Coen yang lantas bangun duduk. "Kalau begitu Tootiang adalah Thio Cinjin dari Boe tong san! Tak heran jika Tootiang memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Aku merasa sangat beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu muka dengan Sian tiang (dewa)" "Jangan gunakan istilah dewa", kata si kakek seraya bersenyum. "Aku hanya berumur lebih panjang dari manusia kebanyakan Siang Enghiong, tidurlah. Jangan banyak bergerak supaya lukamu tidak terbuka lagi." Melihat kegagahan Siang Gie Coen dan sopan santunnya Cioe Tit Jiak, Sam Hong merasa senang sekali. Tapi begitu mengingat bahwa mereka itu adalah orang-orang dari golongan sesat, hatinya lantas saja berubah dingin. "Jie wie mendapat luka berat dan tidak boleh banyak bicara." Katanya dengan suara tawar. Dulu, Thio Sam Hong sebenarnya tidak begitu menghiraukan perbedaan antara golongan sesat dan lurus. lapun pernah mengatakan kepada Coei San, bahwa "ceng" (lurus besar) dan "sia" (sesat kotor) sukar dibedakan. Kalau berhati tidak baik, murid murid dari partai lurus bersih bisa melakukan perbuatan jahat, sedang murid-murid dari partai yang katanya sesat kotor dapat melakukan perbuatan mulia, jika hati mereka bersih. Ia juga pernah mengatakan, biarpun angkuh dan beradat aneh, In Thian Ceng dari Peh bie kauw adalah laki laki yang bertanggung jawab atas segala perbuatan nya. Akan tetapi, semenjak Coei San membunuh diri ia membenci Peh bie Kauw. Ia menganggap, bahwa kebinasaan Coei San dan kecelakaan Jie Thay Giam adalah gara-gara Peh bie kauw. Walaupun ia masih dapat menahan sabar dan tidak menuntut balas terhadap In Thian Ceng, tapi didalam hatinya sudah terdapat kebencian yang sangat terhadap partai golongan "sesat". Cioe Coe Ong adalah murid terutama golongan Bie lek cong dari "agama" Sesat. Beberapa tahun yang lalu. Cioe Coe Ong telah memberontak di Wan cioe dan mengangkat dirinya sendiri menjadi "kaizar", dengan kerajaan yang dinamakan "Cioe". Tapi bala tentaranya telah dibasmi habis oleh tentara Goan, dan ia sendiri ditangkap dan di hukum mati. Bie lek cong dan Peh bie kauw mempunyai hubungan erat. Waktu Cioe Coe Ong memberontak, In Thian Ceng telah memberi banyak bantuan dari Ciat kang timur. Bahwa Thio Sam Hong sudah menolong Siang Gie Coen dan Cioe Tit Jiak, adalah karena didorong oleh rasa kesatriaan dan juga sebab pada waktu turun tangan, ia masih belum tahu siapa adanya mereka itu. Sekarang, mengingat nasib dua orang muridnya, tanpa merasa ia menghela napas panjang. Tak lama kemudian, si tukang perahu sudah selasai masak dan menaruh empat macam makanan dengan daging ayam, daging babi, ikan dan sayur, bersama sebakul nasi dan diatas sebuah meja kecil. Sam Hong segera menyilakan kedua tamunya makan lebih dulu, sebab ia sendiri ingin manyuapkan Boe Kie yang tidak bisa bergerak. Atas pertanyaan Siang Gie Coen, ia menerangkan sebab musababnya. Karena hatinya berduka, Boe Kie tidak bisa makan banyak. Baru saja menelan satu dua suap, ia sudah menggeleng-gelengkan kepala. Tiba tiba Tit Jiak mengambil mangkok nasi dan sumpit dari tangan Sam Hong. "Too tiang, kau makan lebih dulu. Biar aku saja yang menyuapkan Toako," Katanya. "Aku sudah kenyang," Kata Boe Kie. "Toako, jika kau tak mau makan, Too tiang jadi kesal dan iapun tidak akan mau makan," Kata si nona dengan halus. "Apa kau tega membiarkan orang tua itu kelaparan?" Boe Kie merasa perkataan gadis itu ada benarnya juga. Maka, waktu Tit Jiak mengangsurkan sendok nasi kemulutnya, ia lalu membuka mulut data memakannya. Dengan hati-hati, si nona kecil mencabut tulang-tulang ikan dan ayam dan pada setiap sendok nasi, ia menambahkan kuah daging, sehingga menimbulkan napsu makan dan tidak lama kemudian, Boe Kie sudah menghabiskan semangkok nasi. Melihat begitu, Sam Hong merasa terhibur, Diam-diam ia merasa bahwa dalam sakitnya yang begitu berat, Boe Kie memang harus dirawat oleh seorang wanita yang halus budi pekertinya. Semeatara itu, Siang Gie Coen makan dengan bernapsu. Ia telah menghabiskan semangkok sayur dan empat mangkok nasi, tapi daging dan ikan tidak disentuh olehnya. Dilain pihak, meskipun ia seorang toosoe, Sam Hong sendiri makan makanan berjiwa. Melihat nafsu makan Siang Gie Coen, ia segera menawarkan daging dan ikan kepada tamunya itu. "Thio Cinjin," Kata si brewok. "Sebagai orang yang memuja Po sat, aku tidak makan makanan berjiwa." "Ah ! Aku lupa," Kata Sam Hong. Dalam kalangan "agama siluman", peraturan paling dipegang keras sekali. Anggauta "agama" Itu setiap hari hanya diperbolehkan makan satu kali dan dilarang makan makanan berjiwa. Peraturan itu sudah berjalan sedari jaman kerajaan Tong. Oleh sebab sepanjang masa pemerintah selalu berusaha untuk membasminya, sedang orang-orang Rimba persilatan juga memandangnya rendah, maka anggauta-anggauta "agama" Sesat sangat berhati hati dalam segala sepak terjangnya. Mereka tidak makan makanan berjiwa karena dilarang "agama" Nya tapi terhadap dunia luar, mereka selalu mengatakan, bahwa mereka ciacay (hanya makan sayur sayur) sebab menyembah Po sat atau Sang Buddha. Mereka tidak berani mengakui siapa sebenarnya mereka. "Thio Cinjin, kau adalah penolong jiwaku," Kata Siang Gie Coen sesudah selesai bersantap. "Sesudah kau tahu siapa adanya aku, akupun tak perlu menggunakan tedeng- tedeng lagi. Aku adalah seorang anggauta Beng kauw yang mengabdi kepada Beng coen. Agama kami dibenci oleb kerajaan, dipandang rendah oleh partai-partai persilatan yang lurus dan bahkan diejek oleh orang-orang "sejalan hitam" (kawanan perampok). Tapi Thio Cinjia sendiri, malah sesudah mengetahui asal usul kami, masih rela menyodorkan tangan untuk menolong kami. Budi yang sangat besar itu tak akan dapat dibalas." Pemimpin besar dari "agama" Sesat itu dinamakan "Mo- ni", sedang para penganut memanggitnya dengan panggilan "Beng coen". Mereka menamakan "agama" Mereka sebagai "Beng kauw." (Agama terang), sedang orang luar memberi nama "Mo kauw" Atau Agama siluman. Sam Hong mengawasi Gie Coen dengan mata tajam dan berkata. "Siang Enghiong...." "Lo too ya," Memutus Gie Coen. "janganlah kau menggunakan kata-kata enghiong. Panggil saja namaku, Gie Coen." "Baiklah," Kata guru besar itu sambil mengangguk. "Gie Coen, berapa usiamu sekarang?" "Baru masuk duapuluh tahun," Jawabnya. Sam Hong mengawasi pemuda itu. Ia kelihatannya banyak lebih tua lantaran berewoknya yang tebal. Dari suara dan gerak-geriknya, ia memang masih muda sekali. Sam Hong manggut-manggutkan kepalanya. "Kau baru saja masuk usia dewasa, masih muda sekali," Katanya. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Biarpun kau sudah masuk kedalam agama sesat, masih belum terlalu dalam. Jika kau mau memutar kepala, masih belum terlambat. Aku ingin mempersembahkankan dengan beberapa perkataan dan aku harap kau tidak menjadi gusar." "Ajaran Tootiang tentulah juga berharga seperti emas dan batu kumala," Kata pemuda itu sambil membungkuk. "Mana bisa aku merasa gusar?" "Baiklah", kata guru besar itu. "Aku ingin menasehati supaya kau cepat-cepat mencuci hari dan mengubah muka supaya kau segera meninggalkan agama yang sesat itu. Manakala kau tidak mencela Boe tong pay yang ilmunya cetek, aku akan memerintahkan supaya muridku yang kepala, yaitu Song Wan Kiauw, menerima kau sebegai murid. Dihari kamudian kau akan bisa mengangkat muka dan tidak seorangpun berani memandang rendah lagi kepadamu." Song Wan Kiauw adalah kepala dari Boe tong cit hiap dan namanya telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Bagi ahli silat yang biasa untuk menemuinya saja, sudah bukan gampang. Dalam beberapa tahun yang belakangan, baru Boe tong Cit hiap mulai menerima murid. Tapi dalam penerimaan murid itu selalu dilakukan pemilihan dan penyaringan yang sangat keras. Hanyalah orang orang yang berbakat dan beradat baik barulah di terima menjadi anggauta Boe tong pay. Siang Gie Coen adalah seorang anggauta "agama" Sesat. yang dipandang jijik oleh masyarakat seumumnya. Maka itu tawaran Thio Sam Hong merupakan juga rezeki luar biasa pemuda itu. Tapi, diluar dugaan, Gie Coen menjawab dengan sikap hormat. "Bahwa aku, Siang Gie Coen telah mendapat penghargaan yang begitu tinggi dari Thio Cinjin, bukan main rasa terima kasihku. Akan tetapi, sesudah menjadi anggauta Beng kauw seumur hidup aku tak berani membelakangi agamaku itu" Sam Hong coba membujuk lagi, tetapi pemuda itu tetap menolak dengan hormat dan tegas. beberapa saat kemudian, dengan rasa menyesal, ia lalu mendukung Boe Kie seraya berkata. "Kalau begitu, biarlah kita berpisahan disini saja," Dalam kata-kata perpisahan itu, ia malah tidak mengucapkan perkataan. "sampai bertemu lagi," Yang lazimnya digunakan. Sebelum tuan penolong itu meninggalkan perahu, sekali lagi Siang Gie Coen menghaturkan terima kasih dengan berlutut. "Thio Toako," Kata si nona cilik kepada Boe Kie. "setiap hari kau harus makan kenyang kenyang, supaya Loo too-ya jangan jengkel." Air mata Boe Kie lantas saja mengembang dan dengan suara putus-putus ia menjawab. "Terima kasih untuk kebaikanmu.... Tapi aku hanya bisa makan nasi beberapa hari saja." Bukan main rasa dukanya kakek guru itu. Ia mengangkat lengannya dan menggunakan tangan jubah untuk menyusut air mata cucu muridnya. "Apa?" Menegas Tit Jiak dengan suara kaget "Kau...kau..." "Nona kecil, hatimu sangat mulia," Kata Sam Hong. "Aku mendoakan supaya dibelakang hari kau jalan dijalanan yang lurus" "Terima kasih atas nasehat Loo too-ya," Jawab Cioe Tit Jiak. "Thio Cinjin," Tiba-tiba Gie Coen berkata. "kau memiliki Lweekang dan kepandaian yang sangat tinggi. Biarpun luka saudara kecil itu sangat berat, aku percaya kau akan dapat menyembuhkannya." "Benar," Kata Sam Hong yang tanpa dilihat Boe Kie, sudah menggoyangkan tangan kirinya sebagai keterangan kepada Gie Coen, bahwa lukanya bocah itu tidak dapat diobati lagi. Gie Coen terkejut. "Thio Cinjin," Katanya pula. "aku sendiri telah mendapat luka yang sangat berat dan sekarang aku justeru ingin meminta pertolongan dari seorang tabib malaikat. Mengapa Thio Cinjin tidak mau mencoba-coba?" Thio Sam Hong menundukkan kepala. "Semua pembuluh darahnya telah terbuka, sehingga racun dingin bisa membuyar dan masuk kedalam perutnya," Katanya dengan suara perlahan. "ia tidak akan dapat disembuhkan dengan memakai obat biasa dan didalam dunia, tak seorangpun bisa mengobatinya." "Tapi," Kata Siang Gie Coan. "tabib malaikat yang dimaksudkan olehku memiliki kepandaian luar biasa tinggi, sehingga kata orang ia malah mampu menghidupkan mayat." Sam Hong terkejut dan mendadak saja, ia ingat satu orang. "Apakah yang dimaksudkan olehmu bukan Tiap-kok Ie sian?" Tanyanya. "Benar," Jawabnya. "Kalau begitu, Tootiang pun mengenal Ouw Soepehku." Guru besar itu kelihatan agak bersangsi. Memang sudah lama ia mendengar nama Tiap kok le Sian Ouw Ceng Goe yang dipandang rendah oleh orang Rimba Persilatan. Ia mempunyai adat yang sangat aneh. Kalau orang yang sakit atau terluka anggauta "agama"nya, ia segera menolongnya dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran apapun jua. Tapi, kalau yang memohon pertolongan bukan pengikut "agama", biarpun dibayar dengan laksaan tail emas, ia tak akan meladeni. "Aku lebih suka Boe Kie mati dari pada menyerahkan nya kepada orang dari agama sesat itu," Katanya didalam hati. Melihat kesangsian Sam Hong, pemuda itu dapat menebak apa yang dipikirnya dan ia lantas saja berkata. "Thio Cinjin, meskipun Ouw Soepeh biasanya menolak untuk mengobati orang luar, tapi karena Thio Cinjin telah menolong jiwa Cioe Kouw nio, ia pasti akan membuat kecualian. Andaikata ia menolak, Gie Coen pasti tak mau mengerti." Sam Hong menghela napas dan berkata dengan suara duka. "Mengenai kepandaian Ouw Sinshe, sudah lama aku mendengarnya. Hanya sayangnya, racun dingin yang mengeram didalam tubuh Boe Kie sekarang ini tidak akan dapat disembuhkan dengan obat biasa...." "Thio Cinjin!" Teriak Gie Coen. "Mengapa kau begitu bersangsi? Kalau diobati oleh Soepehku, paling banyak saudara kecil itu tidak sembuh. Kalau kekiri mati, kekananpun mati, perlu apa Tootiang memikir panjang?" Sebagai orang yang beradat polos, ia bicara segala apa yang berkelebat diotaknya. Mendengar "kekiri mati, kekananpun mati", hati guru besar itu bergoncang keras. "Apa yang dikatakan olehnya memang tidak salah," Pikirnya. "Menurut penglihatanku, paling banyak Boe Kie bisa bertahan dalam tempo sebulan lagi." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata. "Gie Coen, baiklah, aku minta pertolonganmu. Akan tetapi, sebelum pertolongan diberikan, aku ingin menjelaskan terlebih dulu, bahwa Sinshe tidak boleh membujuk atau memaksa Boe Kie masuk kedalam agama kalian. Disamping itu, jika Boe Kie benar menjadi sembuh, Boe tong pay tidak menanggung budi agama kalian." "Thio Cinjin," Kata Gie Coen. "dengan berkata begitu, kau jadi memandang terlalu rendah kepada orang-orang kami." Ia berpaling kepada Cioe Tit Jiak dan berkata puta. "Cioe Kauwnio, aku ingin kau mengikut Thio Cinjin untuk sementara waktu. Apa kau suka?" Sebelum si nona menjawab, Sam Hong sudah mendahului. "Apa?" "Aku tahu bahwa Thio Cinjin tidak suka pergi kepada Ouw Soepehku," Kata Gie Coen. "Dapat dimengerti, bahwa lurus dan sesat tidak bisa berdiri berendeng. Thio Cinjin adalah seorang guru besar pada jaman ini. Cara bagaimana Thio Cinjin bisa meminta pertolongan dari seorang anggauta agama sesat? Disamping itu, adat Ouw Soepeh juga aneh sekali. Jika ia bertemu dengan Thio Cinjin, mungkin sekali Ia tidak berlaku sopan santun, sehingga pertemuan itu bisa berakibat sebaliknya daripada apa yang diharap. Maka itu, menurut pendapatku, sebaiknya saudara Thio dibawa olehku sendiri. Tapi, akupun mengerti, bahwa Thio Cinjin merasa sangsi untuk menyerahkan saudara Thio kepadaku. Maka itulah, aku minta Cioe Kouwnio berdiam di Boe tong san untuk sementara waktu. Nanti, sesudah saudara Thio sembuh, aku akan mengantarkannya ke Boe tong san dan sekalian mengambil pulang Cioe Kouwnio. Dengan perkataan yang lebih tegas, aku ingin minta Cioe Kauwnio mengikut Thio Cinjin untuk dijadikan semacam tanggungan." Dalam pergaulannya selama puluhan tahun, Thio Sam Hong selalu berterus terang dan menaruh kepercayaan kepada orang-orang Rimba Persilatan. Akan tetapi, Thio Boe Kie adalah turunan tunggal dari muridnya yang tercinta, sehingga memang benar ia sangat bersangsi untuk menyerahkannya kepada seorang dari kalangan "agama" Sesat. Sebelumnya guru besar itu sempat menjawab, Siang Gie Coen sudah berkata pula "Cioe Cie Ong, Cioe Toako, adalah seorang yang bener-benar luhur pribudinya. Sesudah gagal dalam gerakannya di Sin yan, duapuluh tiga anggauta keluanganya telah dibinasakan oleh Tat-coe. Bahkan ibu Toako yang sudah berusia tujuhpuluh delapan tahun, tidak luput dari kebinasaan. Sesudah bertempur mati-matian, barulah aku dapat menolong seorang putera dan seorang putrinya. Tak dinyana, Siauw kongcoe telah binasa terpanah musuh sehingga Kauwnio merupakan turunan yang satu-satunya dari Ciao Toako. Sebagai salah seorang pemimpin Beng kauw, Cioe Toako mempunyai banyak musuh. Bukan saja Tat coe, tapi musuh musuh lainnya pun akan menyukarkan Thio Cinjin jika mereka tahu, bahwa Cioe Kauwnio berada di Boe tong..." Tanpa merasa Sam Hong tertawa. Sebelum ia menyanggupi untuk menerima Cioe Tit Jiak, pemuda yang polos itu sudah memperingatkannya. Ia berdiri bengong beberapa saat. Memang juga, lain jalan tidak ada, kekiri mati, kekananpun mati, jalan satu-satunya yalah mencoba coba kepandaian Tiap-kok Ie sian. Mengingat begitu, ia lantas saja berkata. "Gie Coen baiklah. Aku akan merawat Cioe Kauwnio baik baik dan kaupun harus merawat Boe Kie sebaik baiknya. Sesudah anak itu sembuh, kuharap kau lekas-lekas datang di Boe tong san." "Thio Cinjin tak usah kuatir," Jawabnya dengan suara lantang. "Aku pasti akan menunaikan tugas dengan sepenuh tenaga" Sehabis berkata begitu, ia melompat kedarat dan membuat sebuah lubang ditanah dengan ujung golok, kemudian, sesudah membuka semua pakaian yang menempel dimayat majikan kecilnya, ia lalu menguburnya dalam keadaan telanjang. Sesudah itu, bersama Cioe Tit Jiak, ia memberi hormat didepan kuburan. Nona Cioe menangis sedih, sedang ia sendiri berdiri tegak sambil menahan mengucurnya air mata. Mayat bocah itu dikubur dalam keadaan telanjang adalah sesuai dengan kebiasaan Bang kauw. Menurut "agama" Itu, seorang manusia yang dilahirkan kedalam dunia dengan tidak memakai pakaian, haruslah berpulang ke alam baka dalam keadaan begitu juga. Sam Hong yang tidak tahu sebab musabab penguburan yang aneh itu, hanya menhela napas dengan perasaan, bahwa sepak terjang orang-orang "agama" Sesat benar-benar sesat. Pada keesokan paginya, sambil menuntun Tit Jiak, guru besar itu berpisahan dengan Gie Coen dan Boe Kie. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, Boe Kie menganggap sang kakek guru seperti kakeknya sendiri. Sekarang secara mendadak kakek guru itu meninggalkannya, sehingga tanpa tertahan lagi, air matanya mengucur deras. "Boe Kie," Kata Sam Hong sambil mengusap usap kepala anak itu. "Sesudah kau sembuh Siang Toako akan membawa kau pulang ke Boe tong. Kita hanya berpisahan untuk beberapa bulan dan kau tak perlu bersusah hati." Anak itu yang kaki tangannya sudah tidak bisa bergerak akibat totokan sang kakek guru, hanya manggut- manggutkan kepala, sedang air matanya mengucur. Melihat begitu, nona Cioe segera kembali keperahu. Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan kecil dari sakunya dan lalu menyusut air mata Boo Kie. Ia bersenyum dan sesudah memasukkan sapu tangan itu ditangan baju Boe Kie, barulah ia melompat balik kedarat. Hati Sam Hong bergoncang. "Nona kecil itu, sangat cantik dan dihari kemudian, ia pasti akan menjadi seorang wanita yang ayu luar biasa," Pikirnya. "Sesudah Boe Kie sembuh, aku tidak boleh membiarkan mereka bertemu muka lagi. Jika mereka sampai saling menyinta, hikayat Coei San mungkin akan terulang lagi." Dengan hati duka, Boe Kie mengawasi bayangan sang kakek guru yang menuju ke arah barat sambil menuntun tangan nona Cioe, yang tidak berhentinya mengulap- ulapkan tangan, sehingga bayangannya menghilang diautara pohon-pohon. Sesaat itu, hati si bocah mencelos, benar-benar ia merasa hidup sebatang kara dalam dunia yang lebar ini dan air matanya kembali mengucur. Gie Coen mengerutkan alis. "Saudara Thio, berapa usiamu?" Tanyanya. "Dua belas tahun," Jawabnya. "Hm... Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo " Gie Coen mengeluarkan suara di hidung. "Usia dua belas tahun bukan anak anak lagi. Apa kau tak malu, menangis? Waktu aku berusia duabelas tahun, aku sudah menerima pukulan ratusan kali, tapi tidak setetes air mata keluar dari mataku. Seorang laki-laki sejati hanya boleh mengucurkan darah, tak boleh mengucurkan air mata. Kalau kau terus menangis seperti bayi, aku akan hajar kau." Melihat kegarangan si brewok, Boe Kie jadi agak keder. "Baru saja Thay soehoe pergi, kau sudah begitu galak." Pikirnya. "Entah berapa besar kesengsaraan yang bakal diderita olehku." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Aku menangis karena merasa sedih harus berpisahan dengan Thay soehoe. Aku belum pernah menangis sebab pukulan. Mau pukul boleh kau pukul. Kalau hari ini kau memukul aku satu kali, dihari kemudian nanti aku akan membalas sepuluh kali." Gie Coen tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus !" Katanya. "Itulah perkataan seorang laki laki. Kau begitu liehay, tak berani aku memukul kau." "Mengapa ? Aku sedikitpun tidak bisa bergerak," Kata si bocah. "Kalau hari ini aku memukul kau, dikemudian hari, sesudah kau memiliki kepandaian tinggi, bagaimana aku kuat menerima sepuluh kali pukulanmu ?" Jawabnya. Boe Kie tertawa. Ia merasa bahwa meskipun garang, Siang Toako bukan seorang jahat. Dengan mengunakan perahu, mereka menuju ke Han kouw dan sesudah tiba di Han kouw, Gie Coen menyewa lain perahu dan berlayar kealiran sebelah bawah dari Tiangkang timur. Tiap kok, atau selat kupu kupu, tempat tinggal Tiap kok Ie sian terletak di pinggir telaga Lie san ouw, sebelah utara propinsi An hoei. Sebagaimana diketahui, dari Han kouw sampai di Kioe kang, sungai Tiang kang mengalir kejurusan tenggara. Sesudah melewati Kioe kang, sungai itu membelok kearah timur laut dan masuk ke propinsi An hoei. Boe Kie berlayar dengan perasaan duka. Ia ingat bahwa pada dua tahun berselang, ia pernah berlayar di sungai Tiangkang bersama sama kedua orangtuanya dan pa man Jie Lian Cioe. Selama dalam pelayaran, ia gembira bukan main, tetapi sekarang, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia secara mengenaskan, kaki tangannya tidak bisa bergerak dan ia sendiri berada dalam rawatan seorang sahabat baru dalam perjalanan untuk memohon pertolongan kepada seorang aneh. Antara kedua pelayaran itu terdapat perbedaan seperti langit dan bumi. Ia bersedih, tapi sebisa bisa ia menahan mengucurnya air mata, karena kuatir ditertawai olen Siang Toakoo. Setiap hari, pada Coe sie (antara jam 11 malam dan jam 1 lewat tengah malam) dan Ngo sie (antara jam 1 siang sampai jam 1 lohor), racun dingin mengamuk dalam tubuhnya. Sambil mengertak gigi dan menggigit bibir, ia menahan sakit, sehingga bibirnya sampai tertuka akibat gigitan. Di samping itu, makin hari serangan racun makin hebat. Pada suatu hari mereka tiba di Kwa po, sebelah bawah Cip keng (sekarang Nan king). Dengan mendukung Boe Kie, Gie Coen mendarat dan lalu menyewa kereta untuk meneruskan perjalanan ke utara. Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Beng Kong, di sebelah timur Hong yang. Gie Coen tahu bahwa Soepehnya yang beradat aneh itu paling tidak senang tempat tinggalnya di ketahui orang. Maka itu, pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li dari Lie san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil menggendong Boe Kie, lalu melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Tapi diluar dugaannya, baru saja ia berjalan kurang lebih satu li badannya lemas dan napasnya tersengal-sengal. Ia terkejut dan mengerti, bahwa itulah akibat dari luka yang dideritanya karena pukulan im ciang dari dua pendeta asing. Boe Kie merasa sangat tidak tega. "Siang Toa ko." Katanya. "Jalan saja perlahan-lahan. Jangau kau merusak badan." "Celaka sungguh!" Kata Gie Coan dengan gusar. "Menurut kebiasaan, sekali lari aku bisa melalui seratus li. Apakah pukulan kedua pendeta bangsat itu sedemikian hebat, sehingga aku tidak dapat berjalan lagi?" Dengan amarah yang meluap-luap ia berjalan terus. Baru jalan puluhan tombak, ia merasa tulang-tulangnya seperti mau copot. Tapi Siang Gie Coen seorang keras kepala dan keras hati. Sambil mengertak gigi, ia maju terus, setindak demi setindak. Dengan kemajuan yang sangat lambat itu, sampai malam barulah mereka melalui separuh perjalanan. Jalanan gunung yang berbelit belit dan turun naik menambah penderitaan pemuda itu. Akhirnya, waktu tiba disebuah hutan ia tak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan ia menaruh Boe Kie diatas tanah dan kemudian, ia merebahkan diri untuk mengaso. Ia mengeluarkan kue phia dari sakunya dan membagi kue itu kepada Boe Kie untuk menangsal perut. Sesudah mengaso kira-kira setengah jam, Gie Coen bangun berdiri untuk meneruskan perjalanan, tapi Boe yang merasa kasihan terhadapnya, berkeras untuk mengaso semalaman dihutan itu. Sesudah berpikir sejenak, ia merasa pendirian si bocah ada benarnya juga. Andaikata, mereka bisa tiba dirumah Ouw Ceng Goe pada malam itu, sang Soepeh yang beradat aneh mungkin bergusar karena diganggu tidurnya dan kalau dia bergusar, mungkin sekali dia akan menolak untuk mengobati. Memikir begitu, ia lantas saja menyetujui usul Boe Kie. Mereka tidur dengan menyender dikaki sebuah pohon besar. Kira-kira tengah malain, racun dingin mengamuk lagi dan Boe Kie memanggil keras. Karena sungkan mengganggu Gie Coen yang sudah capai lelah, ia menahan sakit sambil menggigit bibir. Selagi ia bergulat melawan racun dingin itu, sekonyong- konyong terdengar suara beradunya senjata, disusul dengan suara bentakan seorang. "Mau lari kemana kau?" Bentakan, disusul pula dengan teriakan beberapa orang lain. "Cegat ditimur ! Cepat ! Supaya dia masuk kehutan!" "Bangsat gundul itu tidak boleh dilepaskan ! Cegat!" Hampir berbareng terdengar tindakan sejumlah orang yang menuju kearah hutan. Dengan kaget Siang Gie Coen tersadar. Satu tangannya segera menghunus golok, lain tangan mendukung Boe Kie, siap sedia untuk melarikan diri sambil bertempur. "Siang Toako, kurasa mereka bukan maui kita," Bisik Boe Kie. Gie Coen mengangguk. Di dalam hati ia sudah mengambil keputusan, bahwa meskipun mesti membuang jiwa, ia akan coba melindungi keselamatan bocah itu. Hanya ia merasa menyesal, bahwa sesudahb mendapat luka, ilmu silatnya sekarang sudah musnah seanteronya. Mereka mengintip dari belakang sebuah pohon besar. Mereka melihat berkelebat-kelebatnya bayangan orang tujuh delapan orang sedang mengurung dan mengerubuti satu orang. Karena gelap, mereka tak tahu siapa adanya orang-orang itu. Mereka hanya tahu, bahwa orang yang dikepungnya melawan dengan tangan kosong dan bahwa orang itu lihay luar biasa, sehingga biarpun dikerubuti, ia masih dapat membela diri secara bagus sekali. Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Legenda Pendekar Ulat Sutera Karya Huang Ying Pedang Wucisan Karya Chin Yung