Pedang Langit Dan Golok Naga 25
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 25
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung Orang itu menghela napas. "Kami bertiga adalah saudara seperguruan dan kami mendapat luka yang sangat berat," Katanya dengan suara duka. "Kalau tidak ditolong Ie sian, kami pasti akan meninggal dunia. Kuharap saudara suka melaporkan kepada Ouw Sinshe." "Kalau begitu, bolehkah aku tahu she dan nama Toako yang mulia?" Tanya Boe Kie. "Nama kami tidak cukup berharga untuk disebut-sebut," Jawabnya. "Tolong beritahukan saja bahwa murid-murid Sian-ie Ciang-boen dari Hoa San-pay memohon pertolongan." Sehabis berkata begitu, badannya bengoyang- goyang, paras mukanya jadi lebih pucat dan mulutnya agak terbuka seperti mau muntahkan darah. Boe Kie melompat dan menotok beberapa jalan darah di dada dan punggung orang itu. Begitu tertotok, darah yang sudah meluap turun kembali dan orang itu merasa dadanya agak lega. Melihat kepandaian si bocah, ia kelihatan kaget dan kagum. Boe Kie segera masuk kedalam. "Sinshe," Katanya. "di luar menunggu tiga orang yang mendapat luka berat dan minta pertolonganmu. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid-murid dari Sian ie Ciang boen Hoa-san-pay." Ouw Ceng Goe mengeluarkan suara "ih!" Dan kemudian, ia berteriak dengan gusar. "Tidak! Tidak! Usir mereka!" "Baiklah," Kata Boe Kie yang dengan cepat lalu berjalan keluar. "Ouw Sinshe tak bisa menemui kalian karena penyakitnya masih belum mendingan," Kata Boe Kie. "Harap kalian suka memaafkan." Orang itu mengerutkan alis. Selagi ia mau memohon lagi, tiba-tiba salah seorang yang bertubuh kurus kecil dan rebah diatas punggung kuda mengangkat kepalanya dan mengayun tangannya. Hampir berbareng sehelai sinar emas menyambar dan serupa benda jatuh di atas meja di dalam rumah. "Saudara, bawalah bunga emas itu kepada Kian sie poet kioe," Kata si kurus. "Beritahukanlah bahwa kami bertiga telah dilukakan oleh majikan dari bunga emas itu. Dia akan segera mencari le sian sendiri. Jika Kian sie Poet kioe suka mengobati kami, sesudah sembuh kami akan tetap berdiam disini untuk bantu melawan musuh. Biarpun kepandaian kami tidak berarti, tapi masih merupakan tiga tenaga bantuan" Boe Kie menghampiri meja. Ia melihat, bahwa senjata rahasia itu menyerupai sekuntum bunga bwee yang terbuat dari pada emas tulen, dengan sari bunga dibuat dari perak putih, sehingga Kim hoa (bunga emas) itu indah sekali kelibatannya. Boe Kie mengulurkan tangan dan coba menjemputnya, tapi diluar dugaan bunga emas itu menancap dimeja dan ia tidak dapat mencabutnya lagi. Dengan mengunakan jepitan obat, barulah ia berhasil. "Orang kurus itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tapi dia masih kena dilukakan oleh majikan bunga emas itu." Pikirnya. "Siang Toako mengatakan bahwa seorang musuh akan menyatroni Ouw Sinshe. Mungkin sekali musuh Ouw Sinshe adalah orang itu." Sambil mambawa senjata rahasia tersebut, ia segrera masuk dan menyampaikan perkataan si kurus kepada Ouw Ceng Goe. "Coba aku lihat," Kata orang tua itu. Boe Kie menolak pintu dan menyingkap tirai. Kamar itu sangat gelap. Seorang yang kena penyakit cacar memang takut dengan sinar terang, maka pintu dan jendela kamar itu ditutup dengan tirai. Ia melihat muka Ouw Ceng Goe ditutup dengan kain dan hanya kedua matanya yang bisa dilihat orang. Hati Boe Kie berdebaran. Bagaimana macamnya bisul bisul dimuka orang tua itu. Apa sesudah sembuh, dia bakal bopeng? "Taruh bunga emas itu diatas meja dan lekas keluar," Perintah si tabib malaikat. Boe Kie menurut. "Mati hidup mereka bertiga tiada sangkut paut nya dengan aku," Demikian terdengar suara Tiap kok ie sian. "Soal mati hidupku juga tak usah diributi mereka." "Ptak!", bunga emas itu terbang keluar sesudah menobloskan tirai dan kemudian jatuh ditanah. Biarpun daun bunga dari senjata rahasia itu sangat tipis dan tajam, tapi karena tirai adalah lemas dan alot, maka dicobloskannya kain jang tebal itu mengejutkan Boe Kie. Selama berdiam dua tahun dirumah Tiap kok Ie sian, Boe Kie belum pernah melihat ilmu silat orang tua itu. Baru sekarang ia mendapat bukti, bahwa si tabib malaikat juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Ia menjemput Kim hoa itu dan menghampiri lelaki yang kurus itu. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata. "Sakitnya Ouw Sianshe sangat berat." Mendadak dari sebelah kejauhan terdengar suara roda kereta yang tengah memasuki selat Ouw tiap kok. Perkataan Boe Kie terhenti dan semua orang memasang kuping. Kereta itu cepat sekali jalannya, dan tak lama kemudian sudah berada diluar rumah. Dari dalam kereta keluarlah seorang pemuda yaug kuning kulit mukanya sambil melompat. Begitu turun ia mendukung seorang kakek yang gundul kepalanya "Apa Tiap kok Ie sian Ouw Sinshe ada?" Tanyanya. "Murid Khong tong pay... ." Baru ia ber kata begitu, badannya bergoyang goyang dan ia lalu roboh bersama sama si kakek. Dua ekor kuda yang menarik kereta, yang mulutnya mengeluarkan busa, juga berlutut dengan berbareng. Rupanya kedua binatang itu kehabisan tenaga. Melihat romannya dua orang itu, tanpa ditanya lagi ketahuanlah sudah bahwa mereka itu baru saja melakukan perjalanan cepat satu sampai dua ratus li tanpa beristirahat ditengah jalan. Sudah begitu Boe Kie pun mendengar di sebutnya "Murid murid Khong Tong pay", maka ingatlah ia akan halnya, diantara orang-orang yang memaksakan kematian ayah dan ibunya diatas gunung Boe tong san ada tianglo atau tertua dari partai itu. Ia melihat si orang tua kepala gundul lantang yang disebut Seng Cioe Ka Lam Kao Ciat. Orang tua ini tidak hadir digunung ketika itu, akan tetapi mau ia menduga bahwa dia ini mestinya bukan manusia baik baik. Karena itu ingin ia menolak mereka itu atau ia segera melihat munculnya lagi empat atau lima orang ada yang dingkluk-dingkluk sambil memegangi tongkat, ada yang saling menuntun, dan semua mereka itu mempunyai luka-luka di tubuh mereka. Ia mengerutkan alisnya. Tidak menanti sampai mereka itu datang dekat, ia lantas berkata nyaring. "Ouw Sinshe kena penyakit cacar, karena dirinya sendiri belum tentu dapat ditolong, ia jadinya tidak dapat mengobati kalian, tuan-tuan! Maka itu, silahkan tuan-tuan sekalian lekas mencari lain tabib saja supaya kamu tidak digagalkan luka luka kau" (Pep. this paragraph does not make any sense) Sementara itu, orang orang itu yang berjumlah berlima sudah datang dekat. Nyata mereka itn mengenakan pakaian yang bagus bagus, mereka mirip dengan saudagar saudagar besar, melainkan muka mereka semua pucat pasi, bagaikan kertas putih polos, sedikit juga tidak ada sinar darahnya. Ditubuh mereka tidak tampak tanda tanda bekas luka, dari itu teranglah sudah bahwa mereka mendapat luka-luka hebat didalam. Orang yang berjalan dimuka, yang tubuhnya jangkung dan gemuk, mengangguk terhadap Kan Ciat serta si pria kurus dan kecil, atas mana, mereka itu saling menyeringai. Jadinya, tiga rombongan orang itu, semua kenal satu dengan lain. Boe kie heran, tertarik rasa ingin tahunya. "Apakah kamu semua terlukanya si pemilik bungga emas?" Ia tanya. "Benar." Menjawab si gemuk, yang terus berpaling kepada Kan Ciat, untuk menanya. "Saudara Kan, apakah kau telah bertemu sama Ouw Sinshe?" Kan Ciat nuenggeleng kepala. "Saudara Nio, mukamu lebih terang. Mungkin kau dapat mengundang Ouw Sinsbe," Katanya "Siapakah itu si pemilik bunga emas?" Tanya Boe Kie menyelak. "Kenapa dia demikian galak?" "Saudara kecil," Berkata orang yang dipanggii saudara Nio oleh Kan Ciat tanpa dia menjawab pertanyaan si anak tanggung. "tolong kau menyampaikan kepada Ouw Sinshe bahwa aku si orang she Nio dari Toko Emas Goan Sang di Boe hoe telah datang dari tempat yang jauh memohon berobat" Si orang yang muntah darah hidup, yang tiba paling dulu, menduga Boe Kio muda sekali tetapi bukannya sembarangan orang, maka dia bertanya. "Saudara kecil, kau she apa? Apakah hubungan sama Ouw Sinshe?" "Aku juga pasien dari Ouw Sinshe." Boe Kie menyahut. "Sudah dua tahun lebih Ouw Sinshe mengobati aku. Aku masih belum sembuh betul, Ouw Sinshe telah membilang, dia tidak dapat mengobati. Maka itu, sudah pasti dia tidak bakal mengobatinya. Karenanya, tidak ada gunanya untuk kamu berdiam lama-lama disini." Selagi mereka berbicara, dengan beruntun kembali datang empat orang. Ada yang naik kereta, ada yang menunggang kuda, dan mereka ini juga datang untuk minta ditolong diobati, mereka memintanya dengan sangat. Boe Kie menjadi heran sekali hingga ia berpikir. "Lembah Ouw tiap kok ini sepi luar biasa. Kecuali orang- orang partai agama sesat, orang Kang-ouw juga sedikit yang sekali mengetahuinya. Maka itu mereka ini yalah orang- orang Khong Tong pay dan lainnya, yang bukan kaum sesat. Kenapa mereka berbareng pada datang kemari untuk berobat? Pula, kenapa mereka juga terluka berbareng? Dan itu pemilik bunga emas, dia lihay sekali! Untuknya jikalau dia mau mengambil jiwa mereka ini, itulah bukan pekerjaan sulit. Kenapa dia justeru melukai orang orang ini hebat begini macam?" Di antara semua orang itu, yang berjumlah empat belas, ada yang pandai bicara, ada yang diam saja, tetapi mereka semua bersatu hati tak mau mengangkat kaki walaupun mereka sudah ditolak. Ketika itu sudah magrib, mereka seperti memenuhi sebuah ruang. Kacung tukang masak nasi sudah lantas menyajikan barang makanannya Boe Kie, dan Boe Kie tanpa sungkan lagi lantas berdahar seorang diri. Kemudian ia duduk menghadapi meja dan dengan terangnya pelita, ia membaca buku tentang ilmu ketabiban. Semua orang itu ia tidak ambil peduli. Ia telah berpikir. "Aku telah dapat mempelajari ilmu tabib dari Ouw Sinshe, maka itu akupun boleh mempelajari ilmunya, melihat kematian tidak menolong." Malam telah tiba. Malam itu sunyi sekali. Didalam rumah gubuk itu tidak terdengar suara apa apa lagi kecuali suara Boe Me membalik balik halaman bukunya serta suara bernapas keras dari mereka yang terluka. Justeru suasana sedang sunyi sunyinya itu, dari luar gubuk terdengar tindakan kaki dari dua orang. Boe Kie heran. Ia lantas_mengangkat kepalanya. Ia memasang kuping. Tindakan tadi perlahan, selagi mendekati, semakin perlahan terdengarnya. Terang orang lagi menghampirkan kerumah gubuk. Tak lama, atau lantas terdengar suara yang halus tetapi terang. "Ibu, disana ada sinar api di dalam rumah. Kita sudah sampai!" Didengar dari suaranya itu, orang itu mestinya seorang anak kecil. "Anak, kau capai atau tidak?" Lalu terdengar suara lain, lebih keras tetapi toh dari seorang wanita juga. "Aku tidak capai." Sahut si anak barusan. "Ibu jikalau tabib sudah mengobati kau, kau tentunya tidak sakit lagi." Si wanita terdengar menjawab. "Ya... Tapi entahlah dia suka menolong atau tidak!" Hati Boe Kie tergerak. "Ah, rasanya aku kenal baik suara ini ..." Pikirnya. "Rupanya dia Nona Kie Siauw Hoe." "Pasti tabib akan mengobati ibu," Kata pula si anak perempuan. "Jangan kuatir. Apakah nyeri ibu sudah mendingan?" "Sedikit mendingan?" Menyahut si nyonya yang dipanggil ibu itu. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ah, anak yang bersengsara......" Mendengar pula suara orang itu, Boe Kie tak sangsi lagi. Ia lantas lompat keambang pintu. "Toh Kie Kouwkouw disana", ia menanya "Apakah kaupun terluka?" Lalu dibawah terangnya sang Puteri Malam ia melihat seorang wanita yang sebelah tangannya menuntun seorang nona kecil, seorang anak perempuan juga. Wanita itu yang dipanggil Kouwkouw, atau bibi, benarlah Kie Siauw Hoe adanya. Akan tetapi Siauw Hoe tidak mengenalinya sebab ketika diatas gunung Boe tong san mereka bertemu, Boe Kie baru berumur sepuluh tahun, dan sekarang, sang waktu sudah lewat lima tahun. "Kau... kau... " Tanyanya heran. "Kouwkouw, kau telah tidak mengenali aku, bukan?" Kata Boe Kie. "Aku Thio Boe Kie. Ketika dulu hari di Boe tong san ayah dan ibuku membunuh diri, aku melihat kau." Siauw Hoe berseru saking herannya. Inilah ia sama sekali tidak menyangka. Berbareng dengan itu, ia menjadi kaget sendirinya dan likat. Ia seorang nona yang belum menikah, membawa-bawa seorang anak perempuan.... Sekarang ia berhadapan dengan Boe Kie, keponakan dari In Lie Heng bakal suaminya itu. Sebagai bocah tanggung, Boe Kie tentulah sulit untuk diberi penjeasan tentang keganjilan itu. Maka mukanya menjadi merah. Karena ia lagi terluka serta lukanya bukan enteng, kagetnya itu membuat tubuhnya terhuyung. Anak perempuan itu, yang umurnya baru enam atau tujuh tahun, melihat ibunya mau jatuh, ia lantas menjambret tangannya, akan tetapi ia bertenaga lemah, ia dapat berbuat apa? Boe Kie melihat Siauw Hoe mau jatuh, karena mana si nona cilikpun bakal roboh juga, ia lantas menahan pundaknya bibi itu. "Kouwkouw, silahkan masuk kedalam untuk beristirahat," Ia mengundang. Ia berkata begitu ia toh memimpin orang masuk kedalam ruang. Karena ini, dengan pertolongan cahaya api, ia lantas melihat luka si bibi, luka dipundak kiri dan dibahu kanan, bekas golok atau pedang. Melihat darah yang menembus dari balutan, luka itu mestinya parah. Pula si nona merintih beberapa kali, tandanya hebat menahan rasa nyerinya. Mendengar rintihan atau batuk-batuk si nona, Boe Kie mengerti hebatnya luka si bibi. Didalam halnya ilmu ketabiban, sekarang ini Boe Kie telah dapat melawan sembarang "tabib kenamaan". Suara batuk itu menadakan si nona telah mendapat goncangan pada pinggiran peparunya yang kiri. "Kouwkouw," Katanya. "tangan kananmu telah bentrok sama tangan orang dan karena itu kau terluka pada bagian peparumu they im hie." Ia berkata begitu, tetapi tanpa menanti jawaban, ia lantas mengeluarkan tujuh batang jarum emas. Dengan itu, tanpa membukai baju si nona, ia menusuk ditujuh jalan darah in-boen dipundak, hoa kay di dada cie-tek dan lain-lain. Kepandaian dari Boe Kie ini sekarang beda jauh dari waktu dulu hari ia mengobati Siang Gie Coen. Selama dua tahun ia belajar dibawah pimpinan Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe, ia sudah mendapat kemajuan pesat. Penghalang satu satunya yalah usianya yang masih terlalu muda. Jadi kalau dibandingkan dengan gurunya, ia masih ketinggalan jauh sekali. Hanya didalam ilmu menusuk jalanan darah dengan jarum emas saja, ia sudah mendapatkan tujuh atau delapan bagiannya. Kie Siauw Hoe melihat anak tanggung itu mengambil jarum, ia tidak tahu apa perlunya itu, maka ia heran dan kagum ketika tahu-tahu dia telah ditusuk berulang-ulang secara demikian hebat dan tepat. Begitu lekas sudah ditusuk, ia merasakan dadanya tidak terlalu sesak lagi. "Anak yang baik!" Ia berseru dalam girangnya "Aku tidak sangka kau berada disini dan juga telah dapat mempelajari ilmu tabib begini sempurna!" Siauw Hoe lantas ingat kejadian di Boe tong san itu hari, ketika ia menghadapi Thio Coei San dan In So So, suami isteri itu, saling beegantian membunuh diri, hingga mayat mereka dipeluki Boe Kie. Ia merasa terharu sekali, ia berkasihan terhadap anak itu, maka ia telah membujuk dan menghiburinya seraya memberikan juga kalungnya yang terbuat daripada emas. Hanya ketika itu Boe Kie sudah menampik pemberian itu sebab dia lagi sangat berduka dan gusar, hingga dia memandang semua tetamu yang hadir disitu adalah musuh-musuh yang mendesak kebinasaan ayah dan ibunya. Atas penampikan itu, Siauw Hoe jadi malu sekali, tetapi ia tidak dapat berbuat apa apa. Kemudian pikiran Boe Kie berubah. Inilah disebabkan ketika dia terlukakan serangam ilmu Hian beng Sin ciang, dia sudah ditolong mati matian oleh In Lie Heng, yang sudah mengorbankan banyak tenaga dalamnya. Perto1ongan itu dia ingat betul. Dia merasa berhutang budi, Maka juga, karena mengingat budinya In Lie Heng dia menjadi ingat juga kebaikan Ki Siauw Hoe dan untuk membalas budinya si paman guru, pantas dia memberikan kesan baik terhadap si tunangan si paman. Semakin usianya bertambah semakin dia dapat berpikir, membedakan yang benar dan yang salah. Dia juga ingat tempo dulu kala ,sekalian paman gurunya telah membicarkan persoalan minta Go bie pay bekerja sama menentang musuh. Jadi Go bie pay bukanlah musuh utama bahkan sama sekali bukanlah musuh Boe tong pay. Pada dua tahun dulu, ketika Boe Kie bertemu sama Siang Gie Coen di diluar rimba, disana is menyaksikan Kie Siauw Hoe menolongi Pheng Hweeshio. Perbuatan mulia nona itu membikin ia beranggapan si nona ialah orang baik. Hanya sekarang ini ia belum dapat memikir kenapa Siauw Hoe, si bibi yang belum menikah, telah mempunyai anak perempuan umur lebih daripada lima tahun itu .... Cuma Siauw Hoe yang lihat sendirinya. Selama ini Boe Kie dapat melihat jelas anaknya bibi itu. Nona cilik itu berdiri diam disisi ibunya. Dia masih kecil tetapi nyata dia cantik sekali. Sepasang alisnya bagaikan dilukis, sepasang matanya hitam dan celi, dan dengan mata tajam mengawasi padanya. "Ibu, apakah anak ini sitabib?" Kemudian anak itu berbisik dikuping ibunya. "Apakah rasa nyeri ibu sudah baik?" Mendengar panggilan "Ibu" Mukanya Siauw Hoe menjadi merah pula, tak dapat ia mencegah jengahnya. "Inilah kakakmu, kakak Boe Kie," Ia menyahuti. "Ayah kakakmu ini ialah sahabat ibumu. Kemudian ia meneruskan pada Boe Kie, perlahan "Dia... dia bernama Poet Hwie...." Ia berhenti pula sejenak. "Dia she Yo.... Yo Poet Hwie..." Boe Kie girang, dia tertawa. "Bagus!" Dia berseru. "Aku Thio Boe Kie dan kau Yo Poet Hwie!" Senang Siauw Hoe melihat sikap wajar dari Boe Kie, tak sedikit juga sikap si anak yang hendak menegur kepadanya. Hatinya menjadi lega. "Anak, kepandaian kakakmu hebat," Ia kata pada anaknya. "Sekarang ini rasa nyeriku sudah berkurang" Poet Hwie memainkan matanya yang celi itu. Ia mengawasi ibunya, terus ia mengawasi Boe Kie. Sekonyong-konyong ia maju kepada bocah didepannya, untuk merangkul, untuk mencium pipinya. Bukan main terkejutnya Boe Kie. Nona Poet Hwie ini adatnya sangat polos dan wajar. Sedari masih kecil sekali, kecuali ibu dan pengasuhnya, ia tidak pernah bertemu sama lain orang. Sekarang ibunya terluka parah, mereka pun dalam kesukaran besar, sekarang ia menyaksikan Boe Kie menolongi ibunya itu yang nyerinya menjadi ringan sekali. Ia bersyukur bukan main. Adalah kebiasaannya, kalau ia mengutarakan kegirangan dan rasa syukurnya, suka ia berlompat kepada mereka, untuk memeluk atau merangkul, untuk mencium pipi mereka. Kebiasaan ini sekarang ia melakukannya terhadap Boe Kie tanpa malu. "Hus!" Siauw Hoe berseru. "Jangan begitu Hwie-jie Kakak Boe Kie tidak senang nanti!" Poet Hwie mementang kedua matanya, ia heran. "Apakah kau tidak senang padaku?" Ia tanya Boe Kie. "Kenapa aku tidak boleh berlaku baik kepadamu?" Boe Kie tertawa. "Aku girang!" Sambutnya. "Aku suka berbuat baik terhadapmu!" Dan ia membalas mencium pipi yang halus dari nona cilik itu. Poet Hwie girang bukan main, ia menepuk nepuk tangan. "Hai, tabib kecil, lekas kau obati ibu, supaya ibu sembuh seluruhnya!" Ia berseru. "Nanti aku cium pula padamu!" Tidak kepalang girangnya Boe Kie mendapatkan orang demikian manja dan lincah. Selama belasan tahun hidupnya, ia telah bergaul sama banyak orang, tetapi mereka itu adalah paman pamannya dan Siang Gie Coen juga masih lebih tua delapan tahun daripadanya. Didalam perahu ia pernah bertemu sama Coe Tit Jiak, akan tetapi pertemuan itu sangat pendek, belum ada satu hari mereka sudah mesti berpisah pula. Jadi belum pernah ia bergaul sama sahabat-sahabat cilik sebayanya. Maka itu, mendapati nona ini, ia berpikir. "Jikalau aku mempunyai adik benar sekecil ini, yang begini menarik hati, pastilah aku sering mengajak dia pergi bermain-main...." Dalam usia empat belas tahun, anak yatim piatu ini masih kekanak-kanakan. Ia kehilangan ketikanya untuk bermain-main seperti anak-anak yang kebanyakan. Sementara itu Kie Siauw Hoe telah menyaksikan semua hadirin yang pada terluka. Ia merasa malu untuk mendahului mereka. "Tuan-tuan ini datang terlebih dulu daripada aku, pergi kau periksa mereka lebih dulu," Ia kata pada Boe Kie. Ia tidak ketahui duduknya hal. "Sekarang ini sakitpun berkurang banyak." "Mereka datang untuk berobat kepada Ouw Sin she," Boe Kie mengasi tahu. "Cuma sekarang ini Ouw Sinshe sendiri lagi sakit. Mana dia bisa mengobati orang? Mereka tidak mau berlalu, maka itu biarlah mereka terus menunggu. Kouwkouw, kau bukannya mencari Sinshe, jikalau kau percaya keponakanmu ini, mari sini, biar aku periksa lebih jauh lukamu. Sudah lama juga aku berdiam di sini, tentang luka-luka aku mengetahui sedikit." Sebenarnya Kie Siauw Hoe yang mendapat suatu petunjuk, datang ke lembah ini untuk mencari Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe. Ia datang dengan serapa maksud dengan Kan Ciat beramai itu. Maka itu, melihat keadaannya Kan Ciat semua, ia heran siapa tahu duduknya hal sederhana saja. Ia lantas mengerti bahwa Ouw Ceng Goe tidak berniat menolongi mereka itu. Tapi mengenai Boe Kie, kepercayaannya lantas muncul. Bukankah ia telah ditusuk berulang-ulang dan sekarang rasa nyerinya telah berkurang banyak? Ia jadi tidak boleh memandang enteng kepada usia bocah ini. "Baiklah." Katanya kemudian. "Aku terima kasih padamu ! Tidak apa tabib besar tidak mau mengobati aku, asal ada kau si tabib kecil..." Boe Kie lantas minta bibi itu masuk ke kamar samping dimana ia lantas bekerja. Lebih dulu ia guntingi bajunya si bibi dibagian tubuhnya yang terluka. Ia mendapatkan tiga luka bacokan golok dibahu, sambungan pundaknya telah menggeser dari tempatnya. Di lengan juga ada tulang yang remuk. Di matanya tabib yang kebanyakan, luka luka itu ialah luka luka yang sukar untuk di obati, tetapi dimata muridnya Ouw Ceng Goe, itulah luka luka biasa. Maka Boe Kie lebih dulu menyambung rapi dulu, tulang yang berkisar itu, habis mana ia memborehkan obat. Kemudian lagi, ia membuat surat obat, yang obatnya ia suruh kacung memasaknya matang. Ia belum biasa membalut luka tapi toh, walaupun rada lambat, dapat menyelesaikan juga tugas ketabibannya itu. "Kouwkouw, sekarang silahkan kau beristirahat dulu," Katanya akhirnya. "Sebentar, setelah habis kekuatan baal dari obat ini, kau akan merasa sakit luar biasa." "Terima kasih!" Menyahut bibi itu. Boe Kie pergi ke kamar obat untuk mencari buah ongoo dan buah heng. Ia bawa itu untuk dikasihkan pada Poet Hwie. Ketika ia kembali, si nona sudah tidur menyender kepada ibunya sebab dia telah tidak tidur satu malaman. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dari itu ia masuki saja buah buahan itu ke dalam saku sinona. Lantas ia kembali ke depan. Pria yang muntah darah itu, orang Hoa san pay, lantas berbangkit. Ia menjura dalam terhadap si anak tanggung. "Siauw Sinshe." Katanya. Ia memanggil "Siauw Sinshe" Atau tabib kecil. "Oleh karena Ouw Sin she lagi sakit, kau saja yang menolong mengobati kami. Pasti kami akan sangat bersyukur terhadap mu..." Boe Kie mengawasi orang itu dan kawan kawannya. Sebenarnya semenjak ia belajar ilmu kecuali mengobati Siang Gie Coen dan Kie Siauw Hoe ini, belum pernah ia mencoba terlebih jauh kepandaiannya itu. Akan tetapi ia ingat kata katanya Ouw Sinshe, ia menguasai dirinya. "Rumah ini rumah Ouw Sinshe," Ia berkata. "Dan aku sendiri, adalah orang yang menderita sakit yang berada dibawah rawatannya, mana berani aku melancangi tuan rumah ?" Orang Hoa San Pay itu mengawasi si bocah, ia seperti dapat membade hati orang. "Memang umumnya, seorang tabib kenamaan mesti telah berusia lima atau enam puluh tahun." Ia berkata untuk mengumpak. "Maka itu luar biasa Siauw Sinshe, yang usianya masih muda sekali tetapi kepandaiannya kau sangat langka. Maka itu. Sinshe, aku mohon sukalah kau menolongi kami?" Si orang terokmok she Nio yang romannya seperti hartawan turut bicara. "Kami empat belas orang, didalam kalangan kang ouw, kami mempunyai juga sedikit nama," Katanya. "Maka itu, jikalau kami dapat ditolong oleh Siauw Sinshe, setelah kami pulang nanti, pasti kami akan menguwarkan kepandaian Sinshe ini supaya namanya menjadi kesohor hingga di dalam satu malam, kau akan jadi terkenal diseluruh negeri!" Dasar masih terlalu muda, dan tidak punya pengalaman, Boe Kie tertarik kata-kata yang mengumpak-umpak itu, hatinya menjadi girang. "Apakah bagusnya nama kesohor diseluruh negeri ?" Katanya. "Ouw Sinshe sendiri tidak dapat menolong kalian, apalagi aku ? Apakah yang aku bisa bikin ? Agaknya luka kamu bukannya enteng, maka begini saja, aku akan membantu meringankan rasa nyerimu" Lantas ia mengambil obat obatan guna memberi pertolongannya. Ketika ia sudah melihat luka orang orang itu, ia menjadi heran. Nyata, setiap luka itu beda satu dari lain, semuanya luka luka biasa. Belum pernah Ouw Ceng Goe mengajari ia tentang bermacam macam luka semacam ini. Ada seorang yang rupanya telah dipaksa menelan beberapa puluh batang jarum, ada orang perutnya tengoncang, tergempur tenaga dalam, ada yang beberapa jalan darahnya telah terlukakan racikan pisau. Semua itu menandakan, si pembuat luka juga mengerti itu tabib baik sekali. Semua itu ialah luka luka yang sangat sukar diobatinya. Ada lagi orang yang pinggiran peparunya terpaku hingga tak hentinya dia batuk batuk dan mengeluarkan darah, ada pula orang yang tulang tulang iganya pada patah tetapi luka itu tidak mengganggu peparu atau jantungnya. Seorang lagi terkutungkan kedua ujung tangannya lalu tangan tangan yang buntung itu, yang kiri ditaruh kebahu kanan, yang kanan ditaruh dibahu kiri. Masih ada pula yang bengkak selurub tubuhnya seperti bekas dipagut kelabang atau binatang berbisa lainnya. "Semua luka mereka luar biasa. Tidak satu juga yang aku bisa obati," Pikirnya. "Orang yang membuatnya luka itu hebat sekali, dia liehay. Kenapa dia menyiksa orang sampai begini?" Karena memikir begini, ia menjadi ingat luka nya Kie Siauw Hoe. "Luka bibi terlihat biasa saja, a pakah bibipun mendapat luka di dalam ?" Pikirnya pula kaget. "Kalau tidak, mengapa bibi seorang yang dikecualikan?" Lekas lekas ia meninggalkan Kan Ciat semua. Ia lari kedalam. Segera ia memeriksa nadinya Siauw Hoe. Ia menjadi kaget. Ia mendapatkan nadi si bibi bergerak gerak, sebentar keras, sebentar kendor, atau sebentar lagi jalannya lurus dan serat bergantian. Pasti itu disebabkan sesuatu dari dalam tubuh. Ia kaget sebab ia tidak mengerti akan perubahan itu. Keempat belas orang itu aneh lukanya, ia tidak memikirkannya. Diantara mereka itu ada orang Khong tong pay, yang ada sangkut pautnya dengan kebinasaan ayah dan ibunya, jikalau mereka tersiksa, pantaslah juga. Akan tetapi Kie Siauw Hoe, bibinya ini, tidak dapat ia tidak menolongnya. Maka lekas-lekas ia pergi ke kamarnya Ouw Ceng Goe. "Sinshe! Apa sinshe sudah tidur ?" Ia tanya perlahan. "Ada apa?" Ia mendapat jawaban. "Tidak peduli siapa, aku tidak akan mengobatinya!" "Ya, sinshe. Hanya luka mereka itu, semuanya luka yang aneh-aneh ...." Boe Kie lantas saja menurunkan tentang semua luka itu. Ouw Ceng Goa, yang teraling dengan sekosol mendengari. Kalau ada yang ia tidak mengerti ia menanya tegas, untuk itu. Boa Kie mesti pergi keluar kepada orang- orang yang luka itu, untuk memeriksa pula selanjutnya untuk ia memberikan jawabannya yang terang kepada Tiap kok Ie sian. Oleh karena ini, setengah jam tempo dibutuhkan untuk mendapat tahu jelas lukanya semua limabelas orang itu berikut Siauw Hoe. Beberapa kali Ouw Sinshe mengasih dengar suara tidak terang, agaknya ia terang berpikir, banyak kemudian, ia kata "Hm semua luka itu tidak akan dapat menyulitkan aku ! " Belum lagi Boe Kie sempat menanya, tiba-tiba ada orang yang bersuara di belakangnya katanya. "Ouw Sinshe, pemilik bunga emas itu telah membilangi aku, untuk aku menyampaikan kepada kau. Dia bilang. "Kecewa kau dipanggil Tiap kok Ie sian, sebab limabelas macam luka ini, aku menduga tidak satu yang kau sanggup sembuhkan." Haha ! Benar-benar sekarang kau menyembunyikan diri, kau berpura-pura sakit!" Boe Kie berpaling. Ia mengenali si orang tua berkepala lanang Seng Cioe Ka lam Kan Ciat dari Khong tong pay. Tadinya ia menyangka rambut orang rontok wajar, kemudian ia mendapat tahu, rambut itu rontok sebab kepalanya si gundul pernah dilabur obat yang sifatnya keras oleh sipemilik bunga emas atau Kim hoa hingga rambutnya habis. Bahkan sisa obat beracun menempel dan menembusi kulit, hingga selanjutnya kepala menjadi gatal terus-terusan, hingga ada kekuatiran, selewatnya beberapa hari, racun yang jahat itu nanti menyerang polo atau otak, hingga orang bisa menjadi gila. Sekarangpun kedua tangannya dirantai oleh kawan-kawannya, supaya tidak dapat menggaruk, kalau tidak, tidak nanti dia dapat melawan rasa gatalnya itu. Atas kata-kata jago Khong tong pay itu, Ouw Ceng Goe kata dengan tawar. "Untukku, aku dapat menyembuhkan syukur, tidak dapatpun tidak apa. Ringkasnya, aku tidak mau mengobati kau! Aku lihat kau masih dapat hidup sampai tujuh atau delapan hari lagi, karena itu baiklah kau lekas pulang untuk menemui isteri dan anak anakmu, orang sedalam rumah tangga ! Apa perlunya kau banyak omong di sini? Apakah faedah nya itu ?" Kan Ciat menggoyang goyangkan kepalanya. Selagi mendongkol, berduka dan berkuatir, rasa gatalnya menyerang hebat sekali. Karena ia tidak bisa menggaruk, ia membenturkan kepalanya berulang ulang kepada tembok, sedang kedua tangannya, yang digerak-gerakkan, mendatangkan suara berkelontrangan yang berisik. Dan terdengar jelas napasnya yang memburu. "Ouw Sinshe, orang yang menggunakan bunga emas itu, siang atau malam, bakal datang kemari!" Ia berkata dengan sengit. "Aku juga telah melihat bahwa kaupun tidak bakalan mati secara baik, maka itu, aku pikir baiklah kita bergabung bekerja sama melawan dia. Bukankah ada terlebih baik begitu dari pada kau nantikan kematianmu dengan tidak berdaya?" "Jikalau kamu semua masih dapat melawan dia, siang siang kamu telah membunuh mampus padanya," Kata Ouw Ceng Goe "Apakah perlunya aku mendapatkan lima belas kantong nasi yang tidak mempunyai guna?" Kan Ciat menjadi putus asa. Dari omong keras, ia menjadi merendah, memohon pertolongan tabib pandai itu. Tetapi Ouw Ceng Goe sudah bertekad dengan keputusannya, bahwa ia tidak mau ambil perduli. Akhirnya Kan Ciat menjadi gusar, hingga ia berjingkrakan. "Baiklah!" Serunya saking nekad "Ke kiri dan ke kanan toh bakal mampus, maka kalau benar benar musti mampus, baiklah, aku akan menggunakan api membakar kandang anjingmu ini. Kami yang biasa memasuki golok putih bersih dan mengeluarkan golok berdarah merah, biar kami membikin terjungkal kau. pendeta bangsat! Biarlah kita sama sama mengantarkan jiwa kita di tempat ini!" Saat itu, dari luar masuk lagi seorang lain, yaitu orang yang ditolong Boe Kie waktu mau muntahkan darah. Melihat kekalapan Kan Ciat ia meraba pinggang dan mengeluarkan sebatang Go bie Kong-cek (senjata semacam pusut). Sambil monotol dada Kan Ciat dengan pusutnya, ia berkata . "Kau berdosa terhadap Ouw Cianpwee, dan aku si-orang she Sie, merasa sangat tidak enak. Kau ingin yang masuk pisau putih, yang keluar pisau merah? Baiklah! Aku akan mengiringi keinginanmu." Ilmu silat Kan Ciat sebenarnya tebih tingga daripada si orang she Sie. Tapi karena kedua tangannya diikat dengan rantai besi, maka ia tak melawan dan hanya mengawasi dengan mata membelalak. "Ouw Cianpwee," Kata si orang she Sie dengan suara nyaring. "boanpwee Sie Kong Wan murid Sian ia Sianseng dari Hoan san memberi hormat." Seraya berkata begitu, ia menekuk lutut dan manggutkan kepala empat kali. Melihat begitu, dalam hati Kan Ciat lantas saja timbul sedikit harapan. Ouw Ceng Goe yang tidak dapat dipaksa dengan kekerasan, mungkin dapat ditataki dengan kelembekan. Sesudahnya menjalankan peradatan besar, Sie Kong Wan berkata pula. "Kami sungguh bernasib sial, karena justeru pada waktu kami memerlukan pertolongan, Ouw Siashe sakit. Tapi kami tahu, bahwa disini terdapat seorang saudara kecil yang mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu pengobatan. Maka itu, kami memohon Ouw Cianpwee suka memberi permisi supaya saudara kecil itu mengobati luka kami yang sangat luar biasa. Dikolong langit, kecuali murid Tiap kok le Sian tiada orang lain yang dapat menyembuh kan luka kami." "Anak itu bernama Thio Boe Kie," Kata si tabib malaikat dengan suara tawar. "Dia putera Thio Sam Hong. Aku Ouw Ceng Goe manusia jahat dari agama siluman tak ada sangkut pautnya dengan murid dari partai yang lurus bersih. Dia sendiri kena racun dingin dan meminta pertolonganku, Tapi aku sudah bersumpah, bahwa kecuali anggota Beng kauw, anak she thio itu tak sudi menjadi anggauta agama kami, mana biasa aku menolongnya?" Hati Sie Kong Wan mencelos. Semula ia menduga, Boe Kie murid Tiap kok Ie sian. Sesudah berdiam sejenak, si tabib berkata pala. "Mengapa kamu tidak mau lantas berlalu dari situ? Huh- huh! Apa kamu kira aku akan merasa kasihan? Tanyakanlah anak itu. Tanya dia berapa lama dia sudah berdiam dirumahku." Sie Kong Wan dan Kan Ciat lantas saja mengawasi Boe Kie yang lalu mengacungkan dua jari tangannya. "Duapuluh hari?" Tanya Sie Kong Wan. "Dua tahun dua bulan tepat" Jawabnya. Kan Ciat dan Sie Kong Wan merasa kepala mereka seperti disiram air es. Mereka saling mengawasi dengan mulut ternganga. "Biarpun dia berdiam disini sepuluh tahun, aku tetap tidak menolongnya," Kata Ceng Goa. "Hanya sayang didalam tempo satu tahun, racun dingin yang mengeram dalam isi perutnya akan mengamuk, sehingga biar bagaimanapun jua, dia tak bisa hidup setahun lagi. Aku pernah bersumpah dihadapan leluhur agama kami, bahwa biarpun ayah sendiri, biarpun anak kandungku sendiri, aku tetap tak akan menolong, jika ia bukan murid Beng keuw." Dengan putus harapan Kan Cat dan Sie Kong Wan menghela napes berulang-ulang. Tapi baru saja mereka mau berjalan keluar, tiba-tiba Ouw Ceng Goe berkata "Bocah Boe tong pay itu mengerti juga sedikit ilmu pengobatan. Meskipun ilmu pengobatan Boe tong tidak dapat menandingi ilmu ketabiban Beng kauw, kurasa dia tidak akan membinasakan kamu dengan pengobatan yang keliru. Apa dia suka monolong atau tidak, bukan urusanku" Sie Kong Wan agak terkelut. Didengar dari pada suaranya, si tabib malaikat seperti juga memberi isyarat supaya Boe Kie memberikan pertolongan. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Jika Thio Siauw hiap sudi menolong, kami mempunyai haranan lagi untuk bisa hidup terus." "Bukan urusanku!" Bentak Ceng Goa. "Boe Kie kau dengarlah. Aku melarang kau mengobati mereka dalam rumahku. Kalau kamu tidak berada dalam rumah ini, aku tidak perduli." Kan Ciat dan Sie Kong Wan kaget dan heran. Mereka sungguh tak mengerti apa maksudnya si tabib malaikat yang beradat aneh. Tapi Boe Kie yang sangat pintar lantas saja tahu apa maunya Ceng Goe. "Kalian jangan mengganggu Ouw Sinshe yang sedang sakit," Katanya. "Ikutlah aku." Mereka lalu mengikutt Boe Kie keruang depan. "Pengetahuanku tentang ilmu ketabiban sebenarnya sangat cetek dan luka kalian sangat luar biasa," Kata si bocah. "Maka itu.. aku tidak mempunyai pegangan, apa aku akan berhasil atau tidak. Jika kalian percaya dan rela diobati olehku, bolehlah aku mencoba-coba. Tapi aku tidak bertanggung jawab akan keselamatan jiwa kalian." Waktu itu, mereka sedang menderita hebat. Rasa sakit gatal, meluang dan kesemutan tercampur menjadi satu. Mereka mau mati tidak bisa mau hidup pun tidak dapat. Maka itu, begitu mendengar perkataan Boe Kie, mereka segera menyetujui untuk menerima pertolongan bocah itu dengan rela hati. Sesudah mendapat jawaban, Boe Kie lalu berkata pula. "Sebagaimana kalian tahu, Ouw Sinshe tidak mengijinkan aku mengobati kalian didalam rumahnya. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia merasa kuatir, bahwa kalian mati disini, nama harumnya sebagai Ie Sian (tabib malaikat) akan ternoda. Maka itu, marilah kita keluar." Mendengar perkataan Boe Kie, mereka bersangsi. Apakah kepandaiannya seorang anak-anak yang baru berusia belasan tahun? Kalau dia salah mengobati, tentu penderitaan akan ditambah dengan penderitaan lain. Tapi Kan Ciat sudah lantas berteriak. "Kulit kepalaku gatal bukan main. Saudara kecil, kau boleh mengobati aku lebih dulu." Sehabis berkata begitu, ia segera bertindak keluar. Boe Kie memikir sejenak dan lalu masuk kekamar obat, dimana dia mengambil Lam seng, Hong-hong, Pek tit, Thiam ma, Kiang ho, Pek hoe coe, Cie souw dan lain-lain, semuanya belasan macam bahan obat. Sesudah itu, ia memerintahkan seorang kacung mengilingnya dan mencampurnya dengan sedikit arak untuk membuat koyo yang lalu ditempelkan dikepala Kan Ciat yang gundul. Begitu kena, dia mengeluarkan teriakan kesakitan dan melompat-lompat. "Aduh! Aduh!" Teriaknya. "Sakit sungguh... tapi... tapi... mendingan daripada gatal." Sambil mengertak gigi, ia berlari lari dan berteriak-teriak seperti seorang edan. Beberapa lama kemudian, kecepatan larinya jadi terlebih perlahan dan teriakannya mereda. "Enakan... mendingan,.." Katanya dengan napas tersengal sengal. "Bocah itu memiliki kepandaian lumayan.... eh, salah! Thio Siauw hiap, kau memiliki ilmu yang sangat tinggi dan aku merasa sangat berterima kasih sekali kepadamu!" Melihat hasil itu, semua orang segera memohon pertolongan Boe Kie. Diantara mereka yang paling menderita adalah seorang yang terus bergulingan ditanah sambil mencekal perut. Dia ternyata telah dipaksa untuk menelan tiga puluh lebih lintah hidup yang sekarang menghisap darahnya didalam perut. Untung juga Boe Kie segera ingat, bahwa dalam salah sebuah kitab, ia pernah membaca lintah dalam harus ditaklukkan dengan madu. Buru-buru ia memerintankan seorang kacung mengambil semangkok madu yang lalu di berikan kepada orang itu. Dan sekali lagi ia berhasil. Dengan demikian, ia terus bekerja keras sehingga fajar menyingsing. Tak lama kemudian, Kie Sianw Hoe dan putrinya keluar dari kamar. Melihat Boe Kie masih repot mengobati orang, Siauw Hoe segera memberi bantuan apa yang ia bisa. Delasan orang ini sebenarnya jago-jago yang pernah malang-melintang dalam dunia Kangouw, tapi sekarang mereka jadi jinak sekali. Dengan sabar mereka menunggu giliran dan tak berani membantah apa yang dikatakan oleh si bocah. Antara mereka hanya Yo Poet Hwie yang bebas dari rasa jengkel atau bingung. Sambil mengunyah buah angco ia berlari lari kian kemari untuk menangkap kupu-kupu yang berterbangan didalam kebun. Sesudah lewat tengah hari barulah Boe Kie mulai mengobati luka diluar. Dengan dibantu Siauw Hoe ia menghentikan keluarnya darah, memberi obat untuk meredakan rasa sakit, membalut luka dan sebagainya. Sesudah selesai, ia segera pergi mengasoh dalam kamarnya. Baru saja pulas beberapa jam, ia disadarkan oleh suara ribut ribut. Buru-buru ia bangun dan pergi keluar untuk menengok para penderita. Ternyata keadaan sebagian penderita itu cukup memuaskan tapi keadaan yang sebagian lagi berbalik menghebat. Boe Kie jadi bingung, ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Akhirnya, karena tidak berdaya, ia terpaksa menemui Ouw Ceng Goe dan menceritakan keadaan mereka. "Mereka bukan anggauta Bang kauw, perduli apa mereka mampus," Kata Tiap kok Ie sian dengan suara tawar. Mendadak Boe Me mendapat serupa ingatan dan ia lantas saja berkata. "Andaikata ada seorang murid Beng kauw yang sedangkan diluar badannya tidak terdapat luka, perutnya kembung bengkak, warna kulitnya hitam biru dan terus menerus berada dalam keadaan pingsan, cara bagaimana Sinshe akan mengobatinya?" "Kalau benar dia murid Beng kauw, aku akan mengobatinya dengan menggunakan San ka, Liong bwee, Ang hoa, Seng tee, Leng sian, To Ouw " Kata Ceng Goe. "Obat-obatan itu aku masak dengan arak encer dan kemudian menambahkannya dengan sedikit To pian. Sesudah minum godokan tersebut si sakit akan buang buang air dan mengeluarkan darah beracun dari kotorannya." "Ouw Sinshe bagaimana aku akan berbuat jika kuping kiri seorang muiid Beng kauw dituangi timah cair, kuping kanan dituangi dengan air perak dan kedua matanya dilabur dengan cat, sehingga ia menderita kesakitan hebat dan matanya tak bisa melihat lagi"' tanya pula si bocah. (Air perak = Air raksa) Ouw Ceng Goe naik darah. "Siapa berani berlaku begitu kejam terhadap murid Beng kauw?" Bentaknya. "Musuhnya itu memang kejam luar biasa," Kata Boe Kie. "Tapi menurut pendapatku, yang paling perlu yalah mengobati lebih dulu dan kemudian barulah kita menanyakan siapa adanya musuh itu." Sesudah memikir sejenak, Tiap kok Ie sian ber kata. "Kalau dia memang murid Beng kauw, aku akan menuang air perak kedalam kuping kiri nya. Timah akan lumer dan bercampur dengan air perak, sehingga cairan itu akan mengalir ke luar dari kupingnya. Kemudian, aku akan memasukkan jarum emas kedalam kuping kanannya. Air perak akan menempel pada jarum itu yang dengan perlahan bisa ditarik keluar. Mengenai cat yang masuk dikedua matanya, kurasa akan dapat dipunahkan dengan kepiting yang ditumbuk hancur dan kemudian dibalut pada matanya itu." Demikianlah, untuk setiap luka yang aneh, Boe Kie meminta pertolongan Ouw Ceng Goe dengan menggunakan nama "murid Beng kauw" Dan sang tabibpun memberikan bantuannya dengan segala senang hati. Jika lukanya terlampau aneh dan si penderita tidak jadi mendingan dengan pertolongan pertama, Boe Kie segera menanyakan lagi pendapat Tiap-kok Ie-sian yang lalu mengasah otak dan mencoba pula dengan lain cara pengobatan. Sesudah berselang lima enam hari, semua orang dapat dikatakan sudah mulai sembuh seluruhnya. Luka yang diderita Kie Siauw Hoe adalah luka di dalam, tercampur dengan racun. Tenaga pukulan musuh sudah melukakan perutnya, sedang racunpun sudah masuk kedalam tubuhnya. Sesudah memeriksa dengan teliti, Boe Kie segera memberi obat pemunah racun kepadanya dan selang beberapa hari, keadaannya sudah banyak baik. Sementara itu, para penderita telah mendirikan sebuah gubuk di depan rumah Ouw Ceng Goe dan mereka tidur menggeletak di tanah dengan hanya dialaskan dengan rumput kering. Beberapa tombak dari gubuk itu, Kie Siauw Hoe juga membuat sebuah gubuk yang lebih kecil untuk ia dan puterinya. Boe Me capai dan lelah. Tapi ia sangat bergembira dan bersemangat, karena ia bukan saja bisa menolong sesama manusia, tapi juga sudah memperoleh resep-resep mujijat dan cara-cara pengobatan yang biasa dari Tiap kok Ie sian. Tapi pagi itu ia kaget bukan main, sebab waktu bertemu dengan Kie Siauw Hoe, ia melihat sinar hitam pada alis nona Kie. Apa penyakitnya kumat lagi? Apa racun mengamuk pula? Cepat-cepat ia memeriksa nadi Siauw Hoe. Sesudah itu, ia mencampur ludah Siauw Hoe dengan bubuk obat Pek hap san dan begitu lekas melihat campuran itu, ia bisa lantas memberi kepastian bahwa benar racun mengamuk lagi. Ia mengasah otak mati matian, tapi tidak bisa memecahkan sebab musabab dari perubahan itu. Maka itu, ia selalu meminta pertolongan Ouw Ceng Goe yang segera memberitahukan lain cara pengobatan kepadanya. Benar saja, sesudah diobati menurut petunjuk baru itu, keadaan Siauw Hoe jadi terlebih baik. Tapi, sungguh heran, sehabis Siauw Hoe, perubahan luar biasa mendadak datang kepada dirinya Kan Ciat. Kepala gundulnya yang sudah mulai sembuh mendadak borokan lagi dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Perubahan itu terjadi silih berganti atas dirinya kelimabelas orang itu. yang satu mendingan, yang lain menghebat lagi penyakitnya.! Boe Kie bingung bukan main. Ia pergi menemui Tiap kok Ia sian dan menuturkad kejadian yang luar biasa itu. "Sebab musabab dari perubahan itu yalah karena luka mereka sangat aneh, berbeda dengan luka biasa," Menerangkan sang tabib malaikat. "Kalau mereka dapat disembuhkan oleb tabib biasa, tak perlu mereka datang kemari." Malam itu Boa Kie tak bisa pules. Ia berduka dan coba memecahkan teka-teki yang rumit "Perubahan penyakit itu adalah kejadian biasa," Pikirnya. "Tapi walaupun begitu tak bisa jadi semua penderita itu mengalami perubahan sampai berkali-kali, sebentar baik, sebentar hebat," Ia gelisah dan bergolak gulik diatas pembaringan. Kira-kira tengah maiam, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki yang sangat enteng dan lewat didepan kamarnya. Ia melompat bangun dam mengintip dari cela- cela jendela. Ia melihat berkelebatnya bayangan manusia yang segera menghilang dibelakang pohon kuil. Dilihat dari pakaian dan gerak-geriknya orang itu bulan lain dari pada Ouw Ceng Goe. "Eh-eh! .. Mengapa Ouw Sinahe berkeliaran ditengah malam buta?" Tanyanya didalam hati. "Apa cacarnya sudah sembuh?" Sesaat kemudian, ia melihat masuknya Tiap kok Ie sian kedalam gubuk Kie Siauw Hoe. Jantungnya berdebar keras dan jiwa kesatrianya tampil kemuka. "Apa dia mau menganiaya atau menghina Kie Kouw kouw?" Tanyanya pada diri sendiri. "Meskipun aku bukan tandingannya, tak dapat aku mengawasi dengan berpeluk tangan. Ia melompat keluar jendela dan indap indap, ia mendekatii gubuk Kie Siauw hoe. Gubuk tersebut yang terbuat dari alang-alang hanya untuk menedeng angin dan embun, didalamnya kosong melompong, tiada sekosol, tiada aling aling apapun jua. Dengan hati bergoncang, Boe Kie mengintip dari belakang gubuk. Ia melihat sang bibi bersama puterinya sedang pulas nyenyak diatas setumpuk rumput rumput kering. Sekonyong Ouw Ceng Goe merogo saku dan mengeluarkan sebutir pel, yang lalu dicemplungkan kedalam mangkok obat Siauw Hoe. Sesudah itu ia memutar badan dan terus berjalan keluar. Sekelebatan Boe Kie melihat, bahwa muka orang tua itu masih ditutup dengan topeng kain hijau. Boe Kie mengeluarkan keringat dingin. Baru sekarang ia tahu, bahwa Ouw Ceng Goe lah yang sudah menaruh racun, sehingga para penderita tak bisa menjadi sembuh. Sesudah keluar dari gubuk Siauw Hoe, Ceng Goe masuk kegubuk yang lain, dimana dia berdiam agak lama. Boe Kie mengerti, bahwa untuk meracuni keempatbelas orang dengan racun yang berbeda-beda, si tua memerlukan tempo yang lebih banyak. Dilain saat si bocah sudah masuk kedalam gubuk dan mencium mangkok obat Siauw Hoe. Di dalam mangkok terisi godokan Pat sian thung dan ia telah memesan supaya begitu bangun tidur, Kouw-kouw segera minum obat itu. Tapi sekarang godokan itu mengeluarkan bau-bauan yang masuk hidung. Sekonyong-konyong terdengar pula suara tindakan kaki. Buru buru Boe Kie merebahkan diri diatas tanah. Ia tahu, bahwa Ouw Ceng Goe sudah kembali kekamar tidurnya. Sesudah menunggu beberapa lama, ia segera menaruh mangkuk obat keluar dari gubuk itu. "Kie Kouw-kouw! Kie Kouw-kouw!" Ia memanggil manggil dengan suara perlahan. Sebagai seorang ahli silat, menurut pantas Siauw Hoe mudah tersadar, tapi sesudah si bocah memanggil berulang- ulang, ia masih pulas terus. Karena terpaksa, Boe Kie lalu masuk pula dan menggoyang-goyangkan badan bibinya berulang kali. Dengan kaget Siauw Hoe tersadar. "Siapa?" Tanyanya. "Kouw-kouw, aku.... " Bisiknya. "Mari kita keluar." Siauw Hoe mengerti, bahwa kedatangan Boe Kie ditengah malam tentulah disebabkan oleh kejadian penting. Perlahan-lahan ia menarik lengannya yang ditandalkan dibawah kepala puterinya dan kemudian keluar dari gubuknya bersama sama si bocah. "Kie Kouw-kouw," Bisik Boe Kie. "orang telah menaruh racun dimangkok obatmu. Buanglah obat itu, tapi jagalah, jangan sampai diketahui orang. Besok aku akan memberi penjelasan kepadamu" Siauw Hoe manggutkan kepalanya dan Boe Kie segera kembali kekamarnya. Karena kuatir ketahuan, ia masuk dengan melompati jendela. Pada esokan paginya, sesudah sarapan. Boe Kie mengajak Yo Poet Hwie pergi menangkap kupu kupu. Mereka berlari lari, makin lama makin jauh dari rumah Ouw Ceng Goe. Siauw Hoe yang mengerti maksud si bocah, lantas saja mengikuti dari belakang. Selama beberapa bari, Boe Kie sering bermain-main dengan sinona ciiik, sehingga perginya ketiga orang itu sama sekali tak menimbulkan kecurigaan. Sesudah melalui kira kira satu li mereka tiba disatu tanjakan gunung. Boe Kie menghentikan tindakannya dan segera duduk diatas rumput, sedang Siauw Hoe segera berkata kepada puterinya. "Poet-jie sekarang jangan mengubar kupu kupu lagi. Pergi petik bunga-bunga dan buatlah tiga buah topi bunga untuk kita bertiga. Si nona kecil jadi girang sekali dan sambil tertawa nyaring, ia berlari-lari untuk mencari bunga. "Kouw kouw," Boe Kie mulai. "apakah kau mempunyai permusuhan dengan Ouw Ceng Goe? Dialah yang sudah menaruh racun kedalam mangkok obatmu." Siauw Hoe terkejut. "Aku belum pernah mengenal Ouw Ceng Goe dan sehingga hari ini aku belum pernah bertemu muka dengannya," Jawabnya. Ia berdiam sejenak seperti orang sedang berpikir dan kemudian berkata pu1a. "Saban kali bicara mengenai Ouw Sinshe, Thia thia (ayah) dan Soehoe selalu mengatakan, bahwa dia adalah seorang tabib nomor satu didalam dunia pada jaman ini. Merekapun tidak mengenal Ouw Sinshe. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Ouw Sinshe coba mencelakakan aku." Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sibocah lalu menuturkan kejadian semalam dan menambahkan. "Dalam godokan Pat sian thung itu, aku mengendus bau rumput Pat sian co dan Touw koet koen yang sangat tajam. Kedua daun obat itu memang dapat mengobati luka, tapi racun nya sangat hebat dan tidak boleh digunakan terlalu banyak." "Selain begitu, sifat kedua daun obat tersebut juga bertentangan dengan delapan macam obat yang terdapat dalam Pat sian thung. Maka itu biarpun tidak membahayakan jiwa, luka Kouw kouw jadi makin sukar disembuhkannya." Siauw Hoe bersenyum. "Kau mengatakan bahwa Ouw Sinshe juga meracuni empat belas penderita yang lain," Katanya. "Hal ini lebih mengherankan lagi. Terhadap aku, kita dapat mengandalkan saja, bahwa secara tidak disengaja, ayah atau Go bie pay pernah menyinggung Ouw Sinshe. Tapi bagaimana terhadap yang lainnya? Apa mungkin keempat belas orang itu semuanya berdosa terhadap Ouw Sinshe?" Boe Kie mengangouk. "Memang! Memang sangat mengherankan," Katanya sambil menghela napas. "Kie Kouwkouw, selat Ouw tiap kok adalah sebuah tempat yang mencil dan tidak banyak diketahui orang. Cara bagaimana kau dan yang lain-lain bisa datang kemari? Siapa adanya Kim hoa Coe jin (Majikan Bunga emas) yang telah melukakan kau? Urusan ini sebenarnya tiada sangkut pautnya dengan aku dan menurut pantas, aku sebenarnya tidak boleh menanya melit-melit. Akan tetapi, karena persoalan berbelit-belit, maka aku harap kau tidak menjadi kecil hatinya" Paras mukanya Siauw Hoe lantas saja berubah merah. Ia mengerti maksud si bocah yang rupa rupanya kuatir, bahwa pertanyaan itu akan menyentuh persoalan puterinya. Persoalan mengapa sebelum menikah ia sudah mempunyai anak. Sesudah memikir sejenak, ia berkata dengan suara parau. "Kau sudah menolong jiwaku, tak dapat aku menyembunyikan sesuatu terhadapmu. Disamping itu, meskipun masih kanak-kanak, kau memperlakukan aku dan Poet jie luar biasa baik. Baiklah, aku akan menceritakan segala penderitaanku kepadamu, orang satu-satunya didalam dunia yang boleh mendengar rahasiaku." Sehabis berkata begitu, air matanya mengucur. Ia mengambil saputangan dan sesudah menyusut air mata, ia berkata pula. "Sedari aku kebentrok dengan seorang kakak seperguruan pada dua tahun lebih yang lalu, aku tidak berani menemui Soe hoe lagi... aku tidak berani pulang..." "Hmm! Teng Bin Koen! ...... Kouwkouw kau tidak usah takut," Kata Boe Kie. "Bagaimana kau tau?" Tanya Siauw Hoe dengan rasa terkejut dan heran. Boe Me segera memberitahukan, bahwa pada malam itu, bersama Siang Gie Coen ia telah menyaksikan peristiwa menolong Pheng Hweeshio. Siauw Hoe menghela napas. "Memang.... rahasia memang tak mungkin ditutup," Katanya. "Kouwkouw, kau tak usah terlalu berduka." Kata Boe Kie. "In Lioksiok adalah seorang baik. Kalau kau tidak suka menikah dengannya, urusan itu bukan urusan yang terlalu besar. Begini saja, kalau bertemu dengan Lioksiok, aku akan memberitahukannya, bahwa kau tidak suka menikah dan dia merdeka untuk mencari lain isteri!" Mendengar perkataan yang polos-jujur itu, yang keluar dari otak sederhana, Siauw Hoe tertawa getir. "Anak," Katanya dengan suara bergemetar. "Percayalah, bahwa aku bukan sengaja berbuat kedosaan terhadap pamanmu. Waktu itu aku...aku.... tidak ada lain jalan.... dan akupun sudah merasa menyesal sekali...." Ia tidak meneruskan perkataannya dan air matanya kembali mengucur. Ia mengawasi si bocah dan berkata dalam hatinya "Anak ini masih suci bersih, bagaikan selembar kertas putih. Ah Lebih baik aku tidak menceriterakan segala hal percintaan kepadanya. Apa pula urusan pribadi ini tiada sangkut pautnya dengan dia." Memikir begitu, ia lantas saja berkata . "Sesudah bercekcok dengan Teng Soecie, dengan membawa Poet jie aku bertani dan hidup mengasingkan diri disuatu tempat yang terpisah kira-kira tiga ratus lie disebelah barat Ouw tiap kok ini. Selama dua tahun lebih aku hanya bergaul dengan kaum petani dan aku dapat melewati hari dengan tidak banyak pikiran. Setengah bulan yang lalu, aku mengajak Poet jie kekota untuk membeli kain guna pakaian anakku itu. Di luar dugaan, di atas sebuah tembok, secara kebetulan aku melihat gambar sebuah lingkaran Hoed kong (lingkaran sinar Buddha yang suci) dan sebatang pedang." "Itulah tanda rahasia memanggil kawan dari partai Go bie pay. Aku binguog dan sangat bersangsi. Sesudah menimbang-nimbang aku menganggap, bahwa meskipun aku telah kebentrok dengan Teng Soecie, tapi aku belum pernah me lakukan perbuatan yang menghina guru atau menghianati partai. Disamping itu, bentrokan tersebut juga tak ada sangkut pautnya dengan Soehoe dan lain-lain saudara seperguruan. Tanda itu mungkim diberikan oleh salah seorang saudara seperguruanku yang tengah menghadapi bahaya besar dan jika benar begitu, aku merasa tidak pantas untuk berpeluk tangan. Demikianlah, dengan menuruti petunjuk dari tanda rahasia itu, aku pergi ke Hong yang." "Di kota Hong yang aku kembali melihat tanda itu yang memberi petunjuk, supaya kawan-kawan datang di rumah makan Lim hway kok. Sudah ketelanjuran datang, aku segera menyusul kesitu. Ternyata dalam rumah makan sudah berkumpul tujuh delapan orang, antaranya terdapat Seng cioe Ka lam Kan ciat dari Khong tong pay, Sie Kong Wan dari Hwa san pay dan lain-lain. Anggauta Goe bie pay hanya aku seorang. Aku mengenal Kan Ciat dan Sie Kong Wan dan lalu menanyakan sebab musabab dari berkumpulnya mereka dirumah makan itu. Mereka memberitahukan, bahwa mereka datang karena melihat tanda rahasia partainya, tapi seperti juga aku mereka tak tahu sebab musabab dari panggilan itu. Sehari suntuk kami menunggu tapi tak ada yang datang lagi. Pada esokan harinya, dengan beruntun datang pula beberapa orang lain, ada orang Sin koen boen, ada orang Siauw lim pay bagian selatan dan lain lain. Mereka juga mengatakan bahwa kedatangan mereka adalah karena melihat tanda rahasia. Tak satupun diantara mereka yang mendapat urusan secara langsung. Semua orang heran dan bercuriga. Apa tidak bisa jadi kami semua tengah dipermainkan oleh seorang musuh?" "Ketika itu, diloteng rumah makan berkumpul lima belas orang dari sembilan buah partai. Tanda rahasia setiap partai bukan saja berbeda satu sama lain, tapi juga sangat dirahasiakan, sehingga kalau bukan murid partai yang tersangkut, seorang luar tentu tak mengerti artinya tanda itu. Jika seseorang ingin main gila, apakah ia bisa tahu tanda rahasia dari sembilan partai? Mengingat bahwa aku membawa Poet jie dan kalau bisa, aku tak mau anak itu menghadapi bahaya dan mengingat puta bahwa panggilan itu bukan tantaran saudara seperguruanku ada yang tengah menghadapi bencana besar, maka aku segera mengambil keputusan untuk pulang saja. Tapi baru saja aku mau turun tangan, tiba-tiba ditangga loteng terdengar suara keras, seperti juga undakan tangga dipukul orang dengan menggunakan toya. Suara itu disusul denggn suara batuk- batuk dan seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua, mendaki undakan tangga. Ia naik setindak demi setindak sambil batuk-batuk dan kelihatannya lelah sekali. Disampingnya terdapat seorang nona kecil yang berusia kira kira dua belas tahun dan yang memapah si nenek." "Melihat nenek yang sudah bagitu tigggi usianya dan juga kelihatannya sedang sakit, aku segera minggir, supaya ia bisa naik lebih dulu. Nona kecil itu ternyata cantik sekali, meskipun usianya masih sangat muda, belum pernah aku melihat wanita yang seayu dia, sehingga tanpa merasa aku mengawasinya beberapa kali. Tangan kanan si nenek mencekal sebatang tongkat dari kayu Pek bok dan dari pakaiannya, ia seperti juga seorang wanita miskin. Tangan kirinya memegang serenceng biji tasbih yang mengeluarkan sinar kuning berkilauan. Ketika aku memperhatikan, rencengan itu ternyata bukan biji biji tasbih, tap i bunga bunga bwee yang terbuat dari pada emas tulen..." "Aha!" Pedang Wucisan Karya Chin Yung Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo