Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 30


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 30


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung   "Panasnya mulai teduh. Mungkin ia ketolongan". Perlahan2 ia membuka kedua matanya dan melihat, bahwa ia sedang rebah di atas ranjang dalam sebuah kamar yang diterangi lampu kecil dan didepan ranjang berdiri seoranglelaki setengah tua. Dengan rasa heran ia berkata "Toasiok.mengapa.aku."ia tak dapat meneruskan perkataannya karena sekujur badannya sakit bukan main dan badannya panas membara. Sekarang ia ingat, bahwa ia telah diserang kawanan anjing. "Anak, umurmu panjang"   Kata orang itu.   "Apa kau lapar?"   "Dimana..aku."katanya. sekali lagi ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua matanya keburu gelap. Waktu ia sadar pula, orang itu sudah pergi.   "Sedang aku tak akan hidup lebih lama lagi, mengapa aku mesti mengalami begitu banyak penderitaan?"   Katanya dalam hati.   Ia mendapat kenyataan, bahwa leher, kepala, bahu, tangan, paha, betis, dan dadanya semua dibalut dengan kain dan bau daun obatmenusuk hidung.   Dari bau obat ia tahu, bahwa orang yang mengobatinya tidak begitu paham ilmu pengobatan.   Ia mengendus bau Heng Jin, Ma-cia-coe, Hong ho, Lum Chee dan kain2 obat yang biasa digunakan untuk mengobati luka bekas gigitan anjing gila.   Tapi ia bukan digigit anjing gila.   Yang perlu disembuhkan adalah daging dan otot2nya yang rusak.   Dengan diberikannya obat yang tidak cocok, lukanya jadi makin sakit.   Tapi ia tak berdaya.   Ia tak bisa bangun waktu fajar menyingsing, lelaki setengah tua itu datang menengok lagi.   "Toa siok, terima kasih banyak untuk segala pertolonganmu,"   Kata Boe Kie. "Terima kasih apa?"   Kata orang itu "Bukan aku yang menolong kau". "Dimana aku berada? Siapa yang sudah menolong aku?"   Tanya pula Boe Kie. "Kau berada di Bwee-hoa San-Chung (gedung bunga Bwee),"   Jawabnya "Yang menolong kau adalah siocia (nona) kami. Apa kau lapar? Sebaiknya kau makan bubur panas."   Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dan balik dengan membawa semangkok bubur daging.   Baru saja Boe Kie makan beberapa sendok, ia merasa nek dan tidak bisa makan lebih banyak.   Sesudah rebah delapan hari, barulah Boe Kie bisa bangun perlahan2.   ia tak bertenaga dan kalau berdiri, kedua kakinya gemetaran.   Ia tahu kelemahan itu adalah akibat terlalu banyak mengeluarkan darah dan kekuatannya tidak bisa pulih dalam tempo cepat.   Lelaki setengah tua setiap hari merawatnya dan membawa bubur, sehingga walaupun sikapnya agak kurang enak, Boe Kie merasa sangat berterima kasih.   Orang tua itu tidak suka banyak omong dan biarpun Boe Kie ingin sekali mengajukan banyak pertanyaan ia "tidak berani"   Membuka mulut.   Hari itu, lelaki setengah tua itu kembali membawa obat2an yang sama, campuran Hong hong, Lam-chee dan lain2.   tanpa merasa Boe Kie berkata "Toasiaok, obat itu tidak begitu cocok untuk mengobati lukaku ini.   Bolehkah memohon pertolongan supaya toasioak suka menukarnya?"   Dia kelihatan mendongkol dan mengawasi Boe Kie dari kepala sampai ke kaki "Surat obat Looya mana bisa salah?"   Katanya.   "Kau kata tak cocok. Tapi dengan obat itu, kau teloah dihidupkan kembali. Bocah, jangan kau ngaco belo. Looya seorang mulia, sehingga meskipun ia dengar perkataanmu, ia tentu tak menjadi gusar. Tapi kau sendiri harus mengenal kira2 jangan asal menggoyangkan lidah"   Sehabis berkata ia segera menempelkan obat itu si luka Boe Kie dan lalu membalutnya. Sesudah selesai ia berkata.   "saudara kecil, kulihat kau sudah mulai sembuh. Adalah pantas jika sekarang kau menghaturkan terima kasih kepada Looya, Tai tai dan Siocia yang sudah menolong jiwamu"   "Tentu saja"   Kata Boe Kie "Toasiok, kalau dapat, sekarang saja aku mohon kau mengantarkan aku pada mereka".   Dengan ditemani orang itu sebagai penunjuk jalan, Boe Kie melalui lorong yang sangat panjang dan sudah melewati dua ruangan.   Mereka masuk ke sebuah ruangan yang sangat indah.   Waktu sudah musim dingin dan dan hawa di seluruh daerah gunung Koen Loen dingin bukan main, tapi ruangan itu hangat bagaikan di musim semi dan anehnya Boe Kie sama sekali tidak melihat perapian.   Dengan rasa kagum ia mengawasi sebuah vas indah di atas meja dengan beberapa batang bunga bwee merah, didepan dialaskan dengan seprei sulam dan kursi2 dengan bantal sulam yang terbuat dari sutra.   Seumur hidupnya, ia belum melihat ruangan yang seindah itu.   Tiba2 ia ingat pakaiannya yang compang camping, sehingga ia merasa mukanya panas.   Disitu tidak terdapat manusia.   Dengan sikap hormat dan sambil membungkuk pengantarnya berkata "Bocah yang digigit anjing sudah sembuh dan ia datang untuk menghaturkan terima kasih kepada Looya dan Tai tai".   Beberapa saat kemudian, dari belakang sekosol muncul seorang gadis kecil yang baru berumur kira2 lima belas tahun.   Sesudah melirik Boe Kie, ia berkata "Kiauw Hok, terlalu kau! Mengapa kau bawa ia kemari? Kutu busuk dipakaiannya bisa berlompatan disini"   "Ya.ya"   Kata Kiauw Hok mwndengar perkataan itu Boe Kie memang sudah merasa jengah, jadi lebih malu lagi, sehingga selebar mukanya lantas saja berubah merah.   Memang benar, sebab tak punya tukaran, pakaian yang comang camping sudah banyak tumanya.   Diam2 ia melirik da melihat bahwa gadis itu berparas cantik dengan muka potongan telor dan mengenakan pakaian semacam sutra yang berkilauan, sedang pergelangannya sangat halus "Waktu diserang anjing, kudengar suara bentakan seorang wanita"   Katanya dalam hati.   "Kiauw Toasioak juga mengatakan bahwa orang yang menolong aku adalah siocianya. Kalau begitu dialah siocia yang dimaksudkan. Aku harus menghaturka terima kasih dengan berlutut". Memikir begitu ia lantas saja menekuk kedua lututnya seraya berkata.   "Terima kasih atas pertolongan siocia. Selama hidup Thio Boe Kie takkan melupan budi yang sangat besar" gadis itu kelihatan kaget dan sejenak kemudian, ia tertawa cekikikan.   "Aduh! Kiauw Hok mengapa kau mempermainkan bocah tolol itu?"   Katanya. Kiauw Hok turut tertawa geli.   "Siauw Hong Ciecie"   Katanya "apa salahnya jika bocah tolol itu berlutut dihadapanmu? Dia belum pernah melihat luasnya dunia dan meihat kau, dia menduga kau adalah siocia".   Boe Kie bersikap buru2 ia bangun berdiri.   Celaka! Seorang budak dianggapnya seorang majikan! Sungguh hebat rasa malunya, mukanya sebentar merah, sebentar pucat.   Sambil menahan tawanya Siauw Hong mengawasi Boe Kie, dari kepala sampai di kaki.   Noda darah di muka dan di badan si bocah masih belum hilang.   Disana sini masih terdapat perban pada luka yang belum sembuh.   Muka Boe Kie sebentar pucat sebentar merah, kalau bisa siang2 ia sudah selulup di tanah.   "Looya dan Tai tai ada urusan, kau tak usah menemui beliau"   Kata Siauw Hong "Mari menemui Siocia saja."   Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan berjalan dulu cepat cepat, seperti juga ia takut terkena tuma dari baju si bocah.   Boe Kie mengikuti di belakang Siauw Hong dan Kiauw Hok, bujang2 perempuan dan lelaki yang ditemui mereka semua berpakaian mewah, sedang ruangan2 yang dilewati semua indah dengan perabotan lengkap.   Semenjak dilahirkan sampai berusia sepuluh tahun Boe Kie berdiam di pulau Peng Hwee To dan sesudah itu beberapa tahun ia berdiam di Boe Tong San dan beberapa tahun lagi di Ouw Tiap Kok.   Selama belasan tahun, ia selalu hidup sederhana dan ia tak pernah mimpi, bahwa di dalam dunia terdapat kemewahan yang begitu rupa.   Sesudah berjalan beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah toa tia(ruangan besar)yang diatasnya tergantung selembar pian dengan tulisan "Han Kong Kie" (rumah anjing).   Siauw Hong masuk dan beberapa saat kemudian, ia keluar dan menanggapi, Kiauw Hok segera mengajak Boe Kie masuk ke dalam.   Begitu masuk si bocah terkesiap, karena dalam ruangan itu terdapat kurang lebih tiga puluh ekor anjing yang bertubuh besar dan galak kelihatannya.   Semua mendekam di lantai dalam tiga baris.   Di atas sebuah kursi yang dialaskan kulit harimau berduduk seorang wanita muda yang mengenakan baju bulu2 rase putih dan memegang pecut.   "Tenggorokan!"   Tiba2 nona itu membentak. Hampir berbarengan, seekor anjing melompat dan menyambar ke arah leher seorang yang berdiri di pinggir tembok. "Celaka!...."   Boe Kie mengeluarkan teriakan tertahan. Dilain saat, ia melihat anjing itu sudah menggigit sepotong daging yang lalu dimakannya sambil mendekam. Sekarang ia baru tahu, bahwa "manusia"   Yang barusan disambar hanyalah orang-orangan yang terbuat dari kulit dan pada bagian2 badannya yang berbahaya dicantelkan potongan2 daging. "kepungan!"   Bentak pula si nona.   Anjing kedua melompat dan menggigit kepungan orang- orangan itu.   Serangan kedua anjing itu cepat dan tepat.   Sekarang Boe Kie ingat, bahwa yang menyerangnya pada hari itu adalah anjing2 tersebut dan lapat2 ia juga teringat bahwa suara bentakan wanita yang didengarnya sebelum ia pingsam adalah wanita yang sekarang ada di hadapannya.   Kedatngan Boe Kie sebenarnya untuk menghaturkan terima kasih pada penolongnya.   Tapi sekarang ia tahu, bahwa anjing2 yang sudah menggigitnya adalah binatang piaraan nona itu.   Tiba2 saja darahnya meluap.   "Sudilah!"   Pikirnya "Dengan dilindungi oleh binatang2 itu, aku tidak bisa berbuat apa2 terhadapnya.   Kalau aku tahu bahwa semua penderitaanku adalah karena gara2nya, aku lebih suka mampus daripada menerima pertolongannya".   Memikir begitu dengan gregetan ia membuka semua perban yang masih menempel pada dirinya dan melemparkannya ke atas lantai.   Sesudah itu ia memutar badan dan berjalan pergi.   Kiauw Hok kaget "Hei!"   Teriaknya "Mengapa kau pergi? Inilah siocia kami. Lekas berlutut!". "Berlutut?"   Mengulangi Boe Kie dengan suara gusar. "Bukankah anjing2 yang menggigit aku miliknya sendiri?". Melihat kegusaran si bocah, nona itu tersenyum. "saudara kecil"   Ia menanggapi.   "Mari sini". Boe Kie memutar badan dan segera berhadapan dengan nona rumah. Entah mengapa, mendadak jantungnya memukul keras, nona itu yang berusia tujuh belas tahun atatu delapan belas tahun, ternyata cantik luar biasa. Sudah sering ia melihat wanita cantik, tapi seumur hidup belum pernah melihat yang secantik si nona. Mukanya yang mula2 pucat berubah menjadi merah. "Kemari!"   Panggil nona itu.   Boe Kie mengangkat kepala dan matanya kebentrok dengan sepasang mata yang bersorot halus, tapi berpengaruh, sehingga tanpa merasa, ia bertindak maju.   Nona itu bangkit dan mencekal kedua tangan Boe Kie yang badannya jadi bergemetaran.   Tangan itu halus dan empuk.   Si bocah malu dan bingung, ia ingin menarik tangannya, tapi tak rela ia berbuat begitu.   "Saudara kecil apa kau gusar terhadapku?"   Tanya si nona.   Sesudah menderita begitu hebat dari kawanan anjing itu, bagaimana ia tak gusar? Tapi sekarang dengan tangan dicekal dan dengan berdiri dalam jarak yang begitu dekat dengan si cantik, sehingga ia dapat menggendus bau yang sangat harum, mana bisa ia mengaku "gusar".   Ia menggelengkan kepala dan menjawab "Tidak".   "Aku she Coe, namaku Kioe Tin."   Si nona memperkenalkan dirinya.   "Dan kau?"   "Namaku Thio Boe Kie,"   Jawabnya. "Hm Bagus sekali namamu. Saudara kecil kurasa kau putra dari keluarga sastrawan. Duduklah di sini."   Seraya berkata begitu, ia menunjuk sebuah kursi di sampingnya.   Semenjak dilahirkan, inilah untuk pertama kali Boe Kie merasakan pengarah seorang wanita.   Kalau waktu itu Kioe Tin memerintahkan ia melompat ke dalam api, ia pasti akan melompat.   Dengan hati berdebar-debar ia lalu duduk di kursi yang ditunjuk.   Melihat perlakuan nona mereka yang begitu ramah tamah terhadap bocah kotor dan bau itu, bukan main rasa herannya Siauw Hong dan Kiauw Hok.   Tiba-tiba Kioe Tin membentak.   "Jantung!"   Seekor anjing lantas saja melompat dan menerjang.   Tapi daging yang tergantung di bagian jantung dari orang yang sudah tidak ada lagisudah dimakan oleh anjing lain dan anjing itu lantas menggigit potongan daging yang digantung di bawah ketiak.   "Binatang!"   Bentak si nona.   "Kau berani melawan!"   "Terrrr!....Terrr.,"   Ia menyabet dua kali.   Pada pecut itu dipasang duri-duri halus, sehingga di badan anjing yang dihajar lantas saja terlihat dua garis yang bersemu darah.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tapi anjing itu, yang rupanya sudah lapar, masih tidak melepaskan daging yang digigitnya.   Bukan saja begitu, dia bahkan menggeram.   Nona Coe mengkin jadi gusar.   "E..eh! Benar-Benar kau melawan!"   Bentaknya dan pecutnya lantas saja menyambar- nyambar bagaikan kilat.   Ia memukul dengan gerakan lincah dan meskipun anjing itu bergulingan di lantai, setiap sabetannya selalu mengenai sasaran, sehingga akhirnya, binatang itu tidak berani bergerak lagi dan mendekam sambil mengeluarkan suara minta diampuni.   Tapi Kioe Tin masih memukul dan baru berhenti setelah binatang itu tidak bias berkutik lagi dan napasnya tinggal sekali-sekali.   "Kiauw Hok, bawa dia keluar dan obati lukanya."   "Baiklah,"   Jawabnya dan ia lalu memondong anjing itu. Melihat contoh yang hebat itu, anjing-anjing lain mendekam tak berani berkutik. Sesudah itu, dengan beruntun-runtun Kioe Tin mengeluarkan perintah.   "Betis kiri! Bahu kanan! Mata!"   Tiga ekor anjing dengan beruntun melompat dan menggigit menurut perintah. "Saudara kecil, lihatlah!"   Kata si nona sambil tersenyum. "Kalau tidak dijambak, mana mereka mau dengar kata?"   Walaupun telah menderita karena serangan kawanan anjing, tapi melihat hajaran hebat yang diberikan oleh nona Coe, Boe Kie merasa kasihan dan tidak dapat membenarkan tindakan nona yang dianggap kejam olehnya.   Melihat Boe Kie membungkam, si nona tertawa dan berkata pula.   "Tadi kau mengatakan tak gusar. Tapi mengapa kau tak mau bicara? Bagaimana kau bias berada di wilayah See Hek, di wilayah barat ini. Dimana ayah dan ibumu?"   Sebelum menjawab, si bocah memikirkan sejenak.   Ia merasa, bahwa dalam keadaan yang seperti ini, jika menyebutkan nama Tay Soehoe atau kedua orang tuanya merendahkan derajat orang tua itu.   Maka ia lantas saja berkata ayah dan ibunya sudah meninggal dunia karena di Tionggoan sukar mencari makan, maka aku terlunta-lunta sampai di sini.   "Mengapa kau menyembunyikan kera yang telah kupanah?"   Tanya pula nona Coe.   "Apa kau kelaparan? Mau makan daging kera, bukan? Hmm Hampir-hampir kau dirobek oleh anjing-anjingku."   Muka si bocah lantas saja berubah merah. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia berkata.   "Bukan, aku bukan mau makan daging kera."   Kioe Tin menepuk pundak Boe Kie dan berkata seraya tersenyum.   "Lebih baik kau jangan berdusta."   Ia berdiam sejenak dan berkata pula.   "Ilmu silat apa yang pernah kau pelajari?"   Dengan sekali memukul kau telah meremukkan batok kepalan Co Ciangkoen. Tenagamu boleh juga." (Ciangkoen - Jenderal) "Co Ciangkoen?"   Boe Kie menegas dengan heran. Si nona tak menjawab, ia hanya tersenyum. Tiba-Tiba ia membentak.   "Cian Ciangkoen!"   Seekor anjing lantas saja keluar dari barisannya lalu mendekam di tengah ruanga. "Ki-Ki Ciangkoen!"   Si nona membentak pula dan hampir berbareng, seekor anjing lain keluar dari barisan. Ternyata setiap anjing diberi nama "Jenderal"   Dan Coe Kioe Tin sendiri berlaku sebagai panglima besar. "Karena bingung, mungkin sekali aku sudah mengeluarkan tenaga habis-habisan,"   Jawab Boe Kie. "diwaktu kecil, dua tiga tahun aku belajar sejurus dua jurus Dari mendiang ayahku. Tak dapat dikatakan, bahwa aku tahu ilmu silat."   Kioe Tin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian, ia menengok kea rah Siauw Hong dan berkata "Antar dia ke kamar mandi dan berikan pakaian baru."   "Baik,"   Jawabnya sambil tertawa kecil.   Boe Kie merasa berat untuk meninggalkan ruangan itu.   Waktu tiba di ambang pintu, tanpa sadar ia merasa menengok ke belakang dan melirik Kioe Tin.   Apa mau, pada detik itu, si nona pun sedang mengawasi dia, sehingga tanpa tercegah lagi, dua pasang mata segera beradu.   Si nona tertawa dan rasa jengahnya Boe Kie tak dapat dilukiskan lagi.   Semangatnya terbang, kakinya tersandung balok yang melintang di tengah pintu dan roboh terguling.   Karena lukanya belum sembuh, bukan main sakitnya.   Tapi, tanpa mengeluarkan suara, buru-buru ia bangun dan berdiri, Siauw Hong tertawa geli.   "Hm, siapapun yang melihat Siocia, dia pasti roboh,"   Katanya.   Tapi, kaukecil-kecil matamu sudah seperti mata culik.   Boe Kie jadi makin malu.   Ia berjalan secepat mungkin.   Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong Siauw Hong berkata.   "Eh, mau kemana kau? Apakah kau mau pergi ke kamar Tai Tai?"   Si bocah menghentikan tindakannya.   Di sebelah depan ia melihat sebuah kamar dengan tirai jendela sulam.   Sekarang ia mengerti, bahwa karena bingung dan terburu-buru, ia sudah mengambil jalanan yang salah.   Siauw Hong sangat jahil, sesudah si bocah berada di depan kamar buku nyonya majikan, barulah ia mengejek.   Boe Kie menunduk tanpa mengeluarka sepatah kata.   Ia malu dan mendongkol.   "Aku akan mengantarkan kau jika kau berkata "Siauw Hong cici, tolonglah aku,"   Kata si jahil. Mau tak mau Boe Kie berkata.   "Siauw Hong cici.."   "Ada apa?"   Tanya Siauw Hong. "Tolonglah aku, antarlah aku keluar dari jalanan yang salah ini."   Jawabnya. "Nah! Benar begitu!"   Kata si jahil sambil tertawa. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kamar si bocah. "Siocia memberi perintah, supaya bocah ini mandi, kau berikan pakaian baru kepadanya,"   Kata Siauw Hong kepada Kiauw Hok. "Baik, Baik!"   Jawabnya dengan sikap hormat.   Melihat sikap Kiauw Hok, Boe Kie menduga bahwa Siauw Hong bukan dayang biasa, sedikitnya ia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pelayan atau dayang biasa.   Disaat lain, lima enam pelayan lelaki menghampiri dan merebut mengajak omong dengan menggunakan penggilan "Siauw Hong cici."   Tapi dia tidak meladeni. Tiba-tiba Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan menjura kepada Boe Kie. Si bocah kaget.   "E-eh, mengapa?...."   Tanyanya. "Tadi kau berlutut dihadapanku dan sekarang membalas hormat,"   Jawabnya sambil memutar badan dan terus berjalan pergi.   Kepada kawan-kawannya Kiauw Hok segera menceritakan bagaimana Boe Kie berlutut di hadapan Siauw Hong yang dianggapnya Coe Kioe Tin.   Cerita itu ditambah bumbu sedap, sehingga semua orang tertawa terpingkal-pingkal.   Tapi Boe Kie tak jadi gusar.   Di dalam hatinya, ia telah mengingat wajah nona Coe, gerak- geriknya, dan perkataan-perkataannya.   Sesudah mandi, Kiauw Hok menyerahkan satu stel pakaian kain hijau padanya, yaitu pakaian pelayan.   Sambil bengong, ia mengawasi pakaian itu.   "Sungguh celaka!"   Katanya di dalam hati.   "Aku belum jadi pelayan, bagaimana aku bisa pakai pakaian begitu?"   Jika menuruti adat ia tentu sudah menolak. Tapi di lain saat ia mendapat lain pikiran "kalau Siocia memanggil aku dan melihat aku masih mengenakan pakaian rombeng. Ia tentu akan jadi gusar."   Pikirnya.   "Apa salahnya andai kata aku benar jadi pelayannya?"   Memikir begitu, jadi tenang dan tanpa berkata suatu apa, ia segera memakai pakaian itu.   Tapi panggilan si nona yang ditunggu-tunggu tak kunjung datan.   Jangankan Kioe Tin, Siauw Hong pun tak kelihatan mata hidungnya.   Boe Kie hanya dapat membayang-bayangkan wajah nona Coe.   Ia merasa, bahwa di dalam dunia yang lebar ini, tak ada wanita yang secantik dia.   Ia ingin sekali pergi ke bagian gedung itu untuk melihat si nona atau mendengar suaranya yang merdu dari kejauhan.   Tapi ia tidak berani, karena sudah beberapa kali Kiauw Hok memesan, supaya, kalau tidak dipanggil, tidak boleh masuk ke ruang belakang, karena bisa diserang kawanan anjing.   Dengan cepat satu bulan sudah berlalu.   Luka-luka Boe Kie sudah sembuh seluruhnya.   Hanya pada muka dan tangannya terdapat bekas-bekas gigitan yang tak bisa hilang.   Tapi ia tak jadi jengkel.   Sebaliknya daripada jengkel setiap kali melihatnya, ia ingat bahwa luka itu adalah akibat gigitan anjing si nona.   Hatinya merasa senang.   Sementara itu, racun dingin yang masih mengeram dalam badannya mengamuk dalam setiap waktu tertentu, yaitu sekali setiap tujuh hari, yang satu lebih hebat dari yang lain.   Hari itu, racun dingin menyerang pula.   Ia rebah di ranjang dengan selimut, badannya menggigil, giginya gemetaran.   Waktu Kiauw Hok masuk dan melihat si bocah berada dalam keadaan begitu, ia tidak jadi heran.   "Sebentar, kalau sudah mendingan, kau bangun dan makan semangkok bubur panas."   Katanya.   "Nih, ini pakaian baru hadiah dari Tai Tai untuk melewati tahun baru. Sesudah berkata begitu, ia menaruh satu bungkusan di atas meja. Kira-kira tengah malam barulah serangan racun mulai mereda. Ia bangun dan membuka bungkusan itu yang berisi baju kulit kambing baru. Ia g irang, tapi iapun tahu, bahwa baju itu adalah baju untuk pelayan, sehingga, dengan demikian ia sudah dianggap sebagai pelayan dari keluarga Coe. Pada hakikatnya Boe Kie beradat kasar dan kenyataan itu tidak dianggap sebagai hinaan olehnya.   "   Tak dinyana aku berdiam di sini sampai sebulan lebih dan sekarang tahun baru kembali berada di depan mata,"   Katanya di dalam hati.   "Ouw Shinshe mengatakan bahwa aku tak bisa hidup lebih daripada satu tahun lagi. Inilah tahun baru penghabisan yang dapat dilewati olehku. Seperti umumnya terjadi pada setiap keluarga hartawan. Dalam menghadapi tahun baru, Keluarga Coe pun repot bukan main. Pelayan-pelayan membersihkan dan mencat rumah dan perabotan. Beberapa hari sebelum tiba tanggal satu, mereka sudah memotong babi, kembing, dan ayam untuk merayakan tahun yang baru. Boe Kie membantu apa yang bisa dibantunya. Ia mengharap harian tahun baru lekas-lekas dating. Pada hari itu, semua orang akan menghaturkan selamat tahun baru kepada Laoya dan Tai Tai dan ia merasa pasti, ia akan bisa bertemu lagi dengan nona Coe. Ia mengambil keputusan, bahwa melihat lagi wajah Coe Kioe Tin, ia akan berlalu dengan diam-diam dan menyembunyikan diri di gunung yang sepi supaya ia bisa mati tanpa diketahui manusia. Dengan sambutan petasan, tibalah harian Go Antan (tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan imlek). Dengan dipimpin CongKoan (pengurus Rumah Tangga) semua pelayan lelaki, berikut Boe Kie, pergi ke Toa Thia untuk memberi selamat tahun bau kepada tuan dan nyonya rumah. Di tengah-tengah ruangan itu duduk sepasang suami isteri setengah tua dan kira-kira 80 pelayan serentak berlutut di hadapan mereka. Suami isteri itu tertawa girang. "Bangunlah, kamu sudah banyak capai."   Kata mereka yang lalu memerintahkan dua pembantu pengurus rumah memberi hadiah.   Boe Kie juga mendapat bagiannya, satu bungkusan merah yang bersih empat tail perak.   Tapi bukan itu yang diharap-harapkan.   Ia merasa menyesal bukan main, karena nona Coe tidak kelihatan mata hidungnya.   Sambil mencekal bungkusan uang, ia berdiri bengong.   Tiba-tiba di luar terdengar suara yang nyaring dan merdu.   "Piauw Ko, tahun ini siang-siang ini kau sudah datang."   Suara itu adalah suara Coe Kioe Tin (Piauw Ko Kakak sepupu) "Untuk memberi selamat tahun baru kepada Koe Koe dan Koe Bo, bagaimana aku berani datang terlambat?"   Kata seorang lelaki sambil tertawa.   (Koe Koe Paman, saudara lelaki dari ibu, Koe Bo bibi isteri Koe Koe) Boe Kie merasa mukanya panas.   Jantungnya melonjak- lonjak, tangannya mengeluarkan keringat.   Sesudah mengharap-harap selama dua bulan, baru sekarang ia mendengar suara si nona.   Semangatnya terbang dan ia berdiri terpaku.   Dilain saat terdengar suara seorang wanita lain.   "Memang suko terburu datang kemari, aku tak tahu entah ia datang untuk memberi selamat kepada kedua orang itu, entah untuk memberi selamat kepada Piauw Moay."   Sehabis berkata begitu, wanita itu tertawa geli.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   (Soeko kakak seperguruan.   Piauw Moay adik perempuan sepupu) Hampir berbareng, tiga orang muda berjalan masuk dan semua pelayan-pelayan buru-buru menyingkir untuk membuka jalan.   Hanya Boe Kie yang masih terus berdiri seperti orang hilang ingatan dan kakinya baru bergerak sesudah tangannya diseret Kiauw Hok.   Dari ketiga orang muda itu, yang berjalan di tengah adalah seorang pemuda.   Sedang Coe Kioe Tin berjalan di sebelah kiri.   Ia mengenakan baju bulu yang berwarna merah sehingga kecantikannya jadi lebih mencolok.   Di sebelah kanan pemuda itu berjalan seorang wanita lain.   Usia mereka kira-kira sebaya, semuanya belum mencapai dua puluh tahun.   Begitu mereka masuk, mata Boe Kie terus mengincar Nona Coe.   Tidak memperdulikan yang lain.   Ia seperti juga tidak melihat dua orang muda yang lain, tidak melihat cara bagaimana memberi selamat tahun baru dan tak mendengar apa yang dikatakan mereka.   Dimatanya hanya kelihatan seorang, yaitu Nona Coe Kioe Tin.   Dalam usia yang masih muda, masih kekanak-kanakan Boe Kie sebenarnya masih belum tentu apa artinya cinta antara lelaki dan perempuan.   Iapun bukan manusia yang kemaruk akan paras cantik.   Tapi dalam hidupnya seorang manusia tertarik yang pertama kali terhadap kecantikan seorang wanita selalu memberi akibat yang hebat.   Sebagai manusia, Boe Kie pun tidak kecuali.   Disampint itu pada hakekatnya, Boe Kie mempunyai perasaan halus dan mempunyai rasa cinta yang sangat besar terhadap sesama manusia, tak perduli lelaki atau perempuan, tua atau muda.   Maka itu dapatlah dimengerti begitu bertemu dengan Coe Kioe Tin yang sangat cantik dan mempunyai pengaruh luar biasa atas dirinya, Boe Kie jadi seperti hilang ingatan.   Di dalam hatinya sama sekali tidak terdapat pikiran yang tidak- tidak.   Tidak! Sedikitpun tidak! Ia hanya merasa beruntung jika bisa melihat wajah si nona, mendengar suara si nona yang sangat merdu.   Sesudah mendapat hadiah, pelayan-pelayan yang lain lantas saja bubar.   Sesudah berbincang-bincang beberapa lama Coe Kioe Tin berkata.   "ayah, ibu, aku ingin jalan-jalan bersama Piauw Ko dan Ceng Moay."   Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan ketiga orang muda tersebut lantas saja bertindak ke luar dan pergi ke halaman belakang.   Tanpa merasa Boe Kie mengikuti dari jauh.   Pada hari raya yang penting itu, tak ada orang yang memperhatikannya.   Semua pelayan bersuka ria, berjudi, dan sebagainya.   Sekarang baru Boe Kie melihat nyata, bahwa pemuda itu berparas sangat tampan dan dalam hawa udara yang sangat dingin, ia hanya mengenakan jubah panjang warna kuning dari sutra tipis.   Sehingga dapatlah diketahui bahwa ia memiliki Lweekang yang tinggi.   Wanita yang satunya mengenakan baju bulu warna hitam, badannya langsing, gerak-geriknya memikat, suaranya lemah lembut dan cara-caranya halus.   Mengenai kecantikan, ia tak kalah dari Coe Kioe Tin.   Tapi di mata Boe Kie, tiada manusia yang dapat menandingi nona Coe yang dipandangnya seakan-akan seorang Dewi.   Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa- tawa.   "Tin Ci,"   Kata wanita itu.   "kau pasti sudah memperolah banyak ilmu It Yang Ci. Bolehkah kau memperlihatkan kepada adikmu?" (It Yang Ci semacam ilmu menotok dengan jari tangan dari It Teng Taysu) "Ah! Jangan kau menggoda aku,"   Kata Kioe Tin.   Biar aku berlatih sepuluh tahun lagi, mana bisa aku menandingi Lan Hoea Hoed Hiat Chioe dari keluarga Boe." (Lan Hoea Hoed Hiat Chioe ilmu menotok jalan darah dengan lima jari tangan yang dipentang seperti Lan Hoa atau bunga anggrek) Pemuda itu tertawa,"Sudahlah! Kalian tak usah saling merendahkan diri,"   Katanya.   "siapakah yang tidak mengenal Soat Leng Siang Moay yang sangat lihai?" (Soat Leng Siang Moay Sepasang saudara perempuan dari bukit salju) "Aku belajar dan berlatih sendirian saja."   Kata Kioe Tin. "   Mana bisa aku menyusul kemajuan kalian dua saudara seperguruan yang setiap detik bisa saling berdamai dan berlatih bersama-sama."   Wanita muda itu tidak menjawab, ia hanya bisa tersenyum sambil monyongkan mulutnya, seperti juga ia mengakui kebenarannya nona Coe. Sebab kuatir Kioe Tin jadi gusar, pemuda itu buru-buru berkata.   "ah, sebenarnya tidak begitu. Kau mempunyai dua orang guru Koe Koe dan Koe Bo. Di bawah pimpinan kedua orang tua, itu keaadaanmu banyak lebih baik daripada kami berdua."   "Kami!....kami!....."   Nona Coe menggerutu.   "Kecintaan antara saudara seperguruan memang lebih hebat daripada kecintaan antara saudara sepupu. Baru saja aku bergurau dengan Ceng Moay, kau sudah membantunya dengan mati- matian."   Sehabis berkata begitu ia memutar badan. Pemuda itu tertawa.   "Piauw Moay disayang, Soe Moay juga disayang,"   Katanya.   "aku tidak memilih kasih."   Nona Coe memutar pula badannya dan berkata.   "Piauw Ko kudengar gurumu menerima lagi seorang murid perempuan. Apa benar?"   "Benar,"   Jawabnya. Wanita yang dipanggil "Ceng Moay"   Rupanya masih ingin menggoda nona Coe.   Ia tersenyum seraya berkata.   "Tin Ci, Soemoay kecil itu sangat cantik parasnya.   Bukan saja cantik, dia pandai bicara dan sangat menarik hati.   Setiap hari dia mengikat Soe Ko dengan macam-macam permintaan.   Minta diajar ini, diajar itu, kalau nanti kau bertemu dengannya, kau sendiri tentu akan mencintai dia.."   "Apa?"   Menegas Kioe Tin dengan suara dingin.   "Apa dia lebih cantik dari Ceng Moay?"   "Mana bisa aku menandingi Siauw Soe Moay itu,"   Jawabnya.   "Hanya Tin Ci yang dapat ditandingi dengannya."   "Aku bukan lelaki tampan yang kemaruk akan paras cantik,"   Kata nona Coe.   "Bagaimana kau bisa mengatakan aku akan mencintai Siauw Soe Moay itu?" Mendengar perkataan yang menghantam dirinya, pemuda itu lantas saja tertawa dan berkata.   "Piauw Moay, bolehkan kau mengajak kami melihat jenderal penjaga pintu? Makin lama mereka pasti makin lihai."   Coe Kioe Tin lantas jadi girang.   "Baiklah!"   Jawabnya.   Ia segera berjalan ke arah Han Kong Ki, Boe Kie tetap mengikuti dari kejauhan.   Begitu tiba, nona Coe segera memerintahkan pelayan perawat anjing untuk melepaskan semua binatang itu.   Melihat kawanan anjing yang galak angker, pemuda tersebut memuji tak henti-hentinya sehingga Kioe Tin jadi lebih bunga hatinya.   "Ceng Moay"   Tertawa geli sambil menutup mulutnya dengan tangan.   "Soe Ko"   Katanya "pangkat apa yang dikehendaki olehmu, Koan Koen atau Piauw Ki?"   Pemuda itu terkejut.   "Apa katamu?"   Tanyannya. "Kau begitu memperhatikan kata Tin Ci,"   Jawabnya.   "Apakah tak layak jika Tin Ci memberi pangkat Koan Kun, Ciang Koen atau Piauw Ki Ciangkoen kepadamu? Hanya kau harus berhati-hati jangan sampai dicambuk.   Sebagaimana diketahui, Kioe Tin memberi nama-nama pangkat jenderal kepada anjing-anjingnya.   Sehingga dengan begitu si nona mengejek Soe Ko-nya dan mempersamakannya dengan seekor anjing.   Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah.   "Jangan ngaco belo!"   Bentaknya dengan suara mendongkol. "Kau mencaci aku sebagai anjing, bukan?"   "Ceng Moay"   Tersenyum.   "Jenderal-jenderal itu selalu berdampingan dengan wanita cantik, mereka menggoyang- goyang buntutnya, mengambil hati dan mereka merasa beruntung,"   Katanya.   "Apa tak enak hidup begitu?" Paras muka Kioe Tin lantas saja berubah. "Ceng Moay, kurasa aku tak berdosa terhadapmu,"   Katanya dengan suara dongkol.   "mengapa pada hari tahun baru ini, kau menghinaku?"   Ceng Moay memperlihatkan paras muka heran "E-eh!"   Katanya.   "Aku datang kemari untuk memberi selamat tahun baru. Mngapa kau mengatakan aku menghina kau?"   Nona Coe mengeluarkan suara di hidung. Mengingat persahabatan yang sangat erat antara leluhur kedua keluarga, biarpun darahnya meluap, ia sebisa-bisanya menahan saabr. Ia menengok kepada pemuda itu dan berkata.   "Piauw Ko, Kuminta kau suka jadi juru penimbang. Apakah aku yang berbuat kesalahan terhadap Boe Sio Cia, atau Boe Sio Cia yang sengaja cari-caru urusan, cari-cari ribut denganku."   Pemuda itu jadi serba salah.   Ia tahu, ia tak boleh membantu piauw Moay dan juga tak boleh menyokong Coe Moay.   Mereka berdua adalah anak-anak yang biasa dimanja-manjakan.   Gadis-gadis yang sempit pemandangannya.   Tak perduli pihak manapun yang dibenarkan olehnya, ia bakal jadi berabe sekali.   Maka itu, jalan yang paling selamat adalah berkelit, ia ketawa dan berkata.   "Piauw Moay, sudah lama kita tak ketemu. Perlua apa tarik urat? Eh, ilmu silat apa yang kau paling belakang dapat dari Koe Koe. Bolehkah kau memperlihatkan kepada Kami?"   "Berapa hari yang lalu Thia-thia telah mengajariku semacam Pit Hoat,"   Katanya.   "Aku masih belum paham dan kuharap Ceng Moay dan Piauw Ko suka memberi petunjuk. (Pit Hoat semacam gaya menulis huruf Tiongkok) "Ceng Moay? Dan pemuda itu menepuk-nepuk tangan. "Bagus!"   Kata "Ceng Moay"   "Tin Ci jangan kau terlalu merendahkan diri. Ayolah supaya kami bisa menambah pengalaman."   Nona menggapai dan pelayan perawat anjing segera mengambil sepasang Poan Koan Pit yang tergantung di tembok.   Boe Kie melihat bahwa di tembok itu tergantung rupa- rupa senjata, tapi yang paling banyak adalah Poan Koan Pit.   Seperti juga sebuah petunjuk bahwa Coe Sio Cia biasa menggunakan senjata itu.   Ayah Boe Kie, Thio Coei San, bergelar Gin Kauw Tiat Hoa dan ia seorang ahli dalam menggunakan Poan Koan Pit.   Dulu, kalau membicarakan ilmu silat dengan puteranya, ia banyak sekali merundingkan hal-hal yang mengenai gaetan (kauw) dan Poan Koan Pit.   Oleh karena itu, Boe Kie mempunyai pengetahuan yang agak mendalam tentang kedua senjata itu.   "Ayah pernah mengatakan bahwa dalam Rimba Persilatan, jarang sekali ada wanita yang mampu menggunakan Poan Koan Pit,"   Pikirnya.   "Dilihat begini, ilmu silat Coe Sio Cia sudah sampai tingkatan tinggi,"   Kalau tadi ia kesengsem karena kecantikan si nona, sekarang ia kagum dan takluk karena Kioe Tin dapat menggunakan senjata istimewa yang biasa digunakan oleh mendiang ayahnya.   Sambil mengibas Poan Koan Pit yang dicekal dalam tangan kirinya, Kioe Tin berkata.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ceng Moay mari temani aku. Pit Hoat ini tidak dapat dilatih oleh seorang saja."   "Ceng Moay"   Tahu bahwa nona Coe mempunyai maksud tidak baik. Ia menggelengkan kepala seraya berkata.   "Kepandaianku masih terlalu rendah. Mana biasa aku melayani Tin Ci?"   Nona Coe mendesak berulang-ulang, tapi dia tetap menolak.   Melihat begitu, si pemuda perlahan-lahan menghampiri dan sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata.   "Piauw Moay, biar aku saja yang menemani kau.   Aku hanya mengharap kau menaruh belas kasihan.   Kalau ujung Pit nyasar ke jalan darah Tian Tiong atau Pak Hwee.   Tahun ini Wie Pek tak bisa minum arak tahun baru.   (Tian Tiong dan Pak Hwee adalah jalan-jalan darah yang sangat penting.   Sekali tertotok, orang bisa binasa) Mendengar perkataan yang mengandung pujian itu, hati nona Coe jadi senang sekali.   Sambil tertawa ia membentak.   "Jangan rewel! Jagalah!"   Pit kiri menyambar ke bawah, pit kanan ke atas.   Benar-benar ia menghantam Pak Hwee Hiat di embun-embunan dan Tian Tiong Hiat di dada pemuda itu.   Wie Pek tidak bergerak, seolah-olah ia tahu, bahwa si nona tidak bakal menotok sungguhan.   Tapi kedua senjata it uterus menyambar bagaikan kilat dan dilain detik ujung senjata hanya terpisah satu dim dari dua jalan darah tersebut.   Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak terdengar suara "trang!"   Dan kedua pit terpental balik. Kecepatan bergeraknya Wie Pek sungguh luar biasa bagaimana ia menghunus pedang dan bagaimana ia menangkis tak bisa dilihatnya. "Bagus!"   Teriak nona Coe sambil melintangkan kedua senjatanya yang segera menyambar bagaikan dua helai sinar putih.   Boe Kie menonton dengan penuh perhatian.   Ia ingat, bahwa mendiang ayahnya pernah mengatakan Poan Koan Pit adalah senjata untuk menotok jalan darah.   Tapi karena bentuknya menyerupai Pit, maka dalam senjata itu mengandung sifat-sifat Boen.   (ilmu surat) Keunggulannya ialah mudah digunakan dan indah gerakannya.   Tapi di dalam pertempuran mati-matian, manfaatnya masih kalah setingkat dengan senjata lain, misalnya golok atau tombak.   Sesudah memperhatikan beberapa lama, ia mendapat kenyataan bahwa nona Coe benar-benar mahir dalam menggunakan Poan Koan Pit yang menyambar-nyambar ke delapan penjuru dalam gerakan-gerakan yang sangat indah.   Tiba-tiba hatinya berdebar-debar.   "Ah! Pit Hoat itu menyerupai dengan In Thian To Liong Kang dari ayahku,"katanya dalam hati.   "Ilmu silat nona Coe juga berdasarkan Soe Hoat (Soe Hoat seni menulis huruf-huruf bagus) Dilain pihak, ilmu pedang Wie Pek tidak juga cukup lihai. Tapi karena Boe Kie tidak mengerti Kiam Hoat, maka dia tak dapat melihat kebagusannya ilmu pedang itu. Ia hanya tahu bahwa makin lama pemuda itu jadi makin terdesak. Sesudah bertempur sekian jurus, pit kiri Nona Coe tiba- tiba menyambar dari kanan ke kiri, sedangkan pit kanan menyabet dari atas ke bawah. "Celaka!"   Seru Wie Pek sambil melompat mundur. Kioe Tin sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik. Ia melompat pit kanan menyambar mata. Itulah pukulan yang lihai dan sukar dielakkan. "Tahan!.."   Teriak Wie Pek.   "Aku menyerah kalah! Harap Sio Cia sudi mengampuni jiwaku"   Bukan main girangnya si nona. Ia tertawa seraya berkata.   "Piauw Ko kau bukan kalah sungguhan. Kau hanya mengalah..,"   Sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua senjatanya yang lalu dilemparkan ke tembok.   "Blas!"   Kedua Pit itu amblas di tembok, hanya beberapa dim yang berada di luar tembok. Boe Kie terkesiap. Ia tak nyana, bahwa wanita yang kelihatannya lemah memiliki Lweekang yang begitu tinggi dan tenaga yang begitu besar.   "Bagus!"   Ia berteriak tanpa merasa.   Sudah lama ia berdiri di situ, tapi ketiga orang muda itu tidak memperhatikannya.   Sekarang, begitu bersorak, mereka menengok dan mengawasinya.   Melihat, bahwa yan sorak hanya seorang pelayan, Kioe Tin tidak memperdulikan.   Ia rupanya sudah melupakan Boe Kie.   Sambil menengok kepada Wie Pek, ia berkata.   "Piauw Ko, pit hoat tadi banyak sekali kekurangannya. Kumohon Siauw Ko sudi memberi petunjuk."   Wie Pek tertawa.   "Piauw Moay, ilmu silatmu bukan saja hebat, tapi juga sangat indah gerakannya, apa namanya?"   "Coba Kau tebak,"   Kata nona sambil tolak pinggang. Wie Pek menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gata. "Koe Koe adalah turunan asli Soe Hoat,"   Katanya. "Menurut pendapatku ilmu silat itu berdasarkan Soe Hoat."   "Benar!"   Seru Nona Coe sambil menepuk-nepuk tangan. "Pintar juga kau Piauw Ko. Tapi Soe Hoat apakah itu?"   "Piauw Moay yang baik, jangan kau coba-coba menguji aku,"   Kata Wie Pek.   "Tidak,aku tak tahu."   Melihat sikap si nona terhadap Wie Pek, Boe Kie merasa sangat berduka.   Ia merasa dirinya kecil.   Ia merasa bersaing dengan pemuda tampan itu.   Sungguh beruntung jika ia bisa mendapatkan kesempatan untuk menindih saingan itu.   Maka itulah, begitu mendengar pengakuan Wie Pek darahnya lantas saja bergolak dan tanpa merasa ia berteriak.   "Tay Kang Tong Ki Hoat!"   Coe Kioe Tin adalah turunan Coe Coe Liu. Nona si Boe itu, yang dipanggil "Ceng Moay"   Oleh nona Coe, adalah turunan Boe Sam Tong, namanya Boe Ceng Eng.   Ia adalah turunan Boe Siu Boen, salah seorang putra Boe Sam Tong.   Boe Sam Tong dan Coe Coe Liu ialah menteri merangkap murid It Teng Taysoe, sehingga ilmu silat mereka berasal dari satu sumber.   Akan tetapi, sesudah lewat seratus tahun lebih, ilmu silat antara kedua keluarga itu agak berbeda.   Misalnya Boe Toen Ji dan Boe Sioe Boen telah mengangkat Kwee Ceng, Kwee Tayhiap sebagai guru.   Maka itu, biarpun mereka juga paham akan ilmu totok It Yang Ci, tapi ilmu totok itu agak menyerupai cara-cara yang keras untuk dari ilmu silat Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong.   Wie Pek ialah saudara sepupu Coe Kioe Tin.   Pemuda itu berguru kepada ayah Boe Ceng Eng.   Ia seorang pemuda yang berparas tampan, beradat baik dalam lemah lembut cara-caranya, sehingga ia dicintai oleh kedua gadis cantik itu.   Usia nona Coe dan nona Boe kira-kira sebaya, sama- sama cantik, sama-sama pintar dan ilmu silat merekapun kira-kira standing.   Maka itu, orang Rimba Persilatan di sekitar Koen Loen San memberi gelar Soat Leng Siang Moay (Sepasang Saudara perempuan dari Bukit Salju) kepada mereka.   Dalam mencintai Wie Pek, Coe Kioe Tin lebih berani mengutarakan rasa cintanya.   Tapi Boe Ceng Eng yang pemalu bisa menarik keuntungan, yaitu karena belajar bersama-sama, makanya bisa lebih banyak bergaul dengan pemuda itu daripada nona Coe.   Mendengar seruan "Tay Kang Tong Ki Hoat,"   Ketiga orang muda itu terkejut.   Sebagai orang-orang yang Boen Boe Song Coan (mengerti ilmu surat dan ilmu silat) Wie Pek dan Ceng Eng bukan tak tahu, bahwa ilmu silat nona Coe berdasarkan Tay Kang Tong Ki Hoat.   Mereka hanya tidak mau menyebutkannya, supaya nona itu jadi lebih senang hatinya.   Pada waktu itu, Boe Kie baru berusia kira-kira lima belas tahun.   Tanpa sesuatu yang luar biasa, baik dari muka, maupun dari potongan badannya.   Maka itu, Wie Pek dan Boe Ceng Eng segera menduga, bahwa ia adalah pelayan di lapangan berlatih silan dan sudah mendengar nama ilmu pukulan itu.   Tapi Coe Kioe Tin sendiri tahu, bahwa hal tiu tak akan bisa kejadian.   Oleh karena, setiap kali mengajar ilmu silat, ayahnya tak pernah mengijinkan hadirnya siapapun jua dalam lapangan berlatih.   "Apakah ia mencuri belajar?"tanyanya di dalam hati.   Memikir begitu, ia lantas saja membentak.   "Hei! Siapa namamu? Bagaimana kau tahu ilmu silatku dinamakan Tay Kant Tong Ki Hoat?"   Mendengar si nona menanyakan namanya, Boe Kie merasa sangat berduka. "Bukankah aku sudah memberitahukan Kau?"   Pikirnya. "Kalau begitu, kau sedikitpun tak memperhatikan aku,"   Ia lantas menjawab "Namaku Thio Boe Kie, aku hanya bicara secara sembarangan."   "Oh,..sekarang aku ingat,"   Kata Kioe Tin. "Kau adalah bocah yang pernah digigit oleh anjing- anjingku,"   Ia lebih jadi bercuriga, sebab ia lantas saja ingat bahwa dengan sekali pukulan saja, anak itu telah menghancurkan kepala "Co Ciangkun"   Sehingga dia pasti memiliki ilmu silat yang tidak boleh dipandang enteng. "Apakah dia seorang mata-mata yang dikirim oleh musuh ayahku?"   Tanyanya di dalam hati.   "Tanpa mencuri, anak yang begitu kecil tak mungkin mengenal ilmu silat yang paling diandalkan oleh ayahku."   Tapi, baru saja ia berniat untuk menyelidiki lebih lanjut, tiba-tiba ia melihat Wie Pek dan Boe Ceng Eng sedang bicara bisik-bisik sambil duduk berendeng. Rasa cemburu lantas saja timbul dalam hatinya dan ia tidak memperdulikan Boe Kie lagi.   "Ceng Moay!"   Teriaknya. "aku dan Piauw Ko sudah memperlihatkan keburukan kami. Kuharap kaupun suka mempertunjukkan ilmu silatmu yang tinggi."   Entah disengaja, entah tidak, Wie Pek dan Boe Ceng Eng tidak meladeni teriakan itu. Kioe Tin naik darah.   "Biarpun Pit Hoatku sangat sederhana, tapi belum tentu ilmu silat keluarga Boe bisa melawannya,"   Katanya dengan suara dingin. Nona Boe mengangkat kepalanya dan membalas dengan suara yang sama dinginnya.   "Soe Ko-koe tahu, bahwa kau seorang yang mau menang sendiri sehingga ia sengaja mengalah terhadapmu, Hm!....Tapi kau tergirang-girang."   "Siapa mau dia mengalah?"   Bentak Kioe Tin dengan keras.   "Dapatkah dia memecahkan pukulan Siang Koat Kwi Goan?" (Siang Koat Kwi Goan Dua Ranggon terangkap menjadi satu. Jurus terakhir Kioe Tin yang menyebabkan menyerahnya Wie Pek) "Kau kira kami berdua manusia-manusia tolol yang tidak mengenal syair?"   Syair-syair Tay Kang Tong Ki dari Souw Pong To?"   Tanya Ceng Eng.   "Kalau Soe Ko tidak mengenal ilmu silatmu, mengapa ia justru menyerah kalah pada akhiran sebaris syair? Ia menyerah pada detik kau mengakhiri huruf "goat" (rembulan) dari baris syair yang berbunyi "It Coen Hoan Cioe Kang Goat"   Mengertikah kau sekarang? (It Coen Hoan Cioe Kang Goat mempersembahkan secawan arak kepada rembulan_ Coe Kioe Tin tertegun. Pertanyaan Boe Ceng Eng tak dapat dibantah. Memang Wie Pek menyerah waktu mengakhiri tulisan huruf "goat"   Dengan jurus Siang Koat Kwi Goan. Kalau benar begitu, ia sendiri yang jadi manusia tolol! Ia merasa malu bukan main dan dari malu ia menjadi gusar.   "Kenal memang mungkin kau kenal, tapi apa kau bisa memecahkannya?"   Tanyanya dengan suara keras.   "Bisa jadi Piauw Ko sengaja mengalah terhadapku. Hm!..memang tak sukar menggoyangkan lidah. Lihatlah! Pelayan dalam rumahku pun mengenal pukulan itu."   Muka Boe Ceng Eng merah padam, bahwa gusarnya. "Soe Ko aku pulang saja!"   Katanya dengan suara gemetar. "Orang sudah mempersamakan aku dengan pelayan. Perlu apa kau berdiam lama di rumah ini?"   Wie Pek tertawa dan berkata.   "Soe Moay, Piauw Moay hanya berguyon, jangan kau menganggap bersungguh- sungguh. Di rumahmu pelayan kotor seperti dia tak terhitung berapa banyaknya."   Mendengar perkataan yang menghina itu, Boe Kie panas hatinya. "Bagus! Kau menghina pelayanku?"   Kata Kioe Tin. "Ceng Moay, biarpun kau berkepandaian tinggi, belum tentu kau bisa menjatuhkan dia dalam tiga jurus."   "Hm! Apa kau kira pelayan baumu mempunyai harga untuk melayaniku?"   Nona Boe menjawab.   "Tin Ci kau terlalu menghinaku."   Sampai disitu Boe Kie tak dapat menahan sabar lagi. "Boe Kouwnio!"   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Teriaknya.   "Apa kau bukan manusia? Boe Kouwnio, janganlah kau menganggap dirimu sebagai manusia yang terlalu mahal!"   Walaupun darahnya meluap, untuk menghina si bocah, Ceng Eng melirikpun tidak. Ia berpaling kepada Wie Pek dan berkata.   "Soe Ko, kau lihatlah kurang ajarnya pelayan bau itu. Apa kau masih tetap berpeluk angina?" Melihat sikap mohon dikasihani dari si nona, hati pemuda itu lantas saja lemas. Antara kedua gadis itu, ia sebenarnya tidak memilih kasih. Akan tetapi, di dalam hati kecilnya, ia mempunyai perhitungan sendiri. Gurunya, yaitu ayah Boe Ceng Eng, mempunyai kepandaian yang tinggi. Ia merasa, bahwa apa yang akan didapatkannya, takkan lebih daripada sebagian atau dua bagian kepandaian sang guru. Maka itu, apabila ia ingin memiliki kepandaian istimewa, tidak bisa ia harus mengambil hati nona Boe. Maka itulah, dia seraya tersenyum lantas saja berkata. "Piauw Moay, apa benar pelayanmu mempunyai kepandaian tinggi? Bolehkah aku mengujinya?"   Kioe Tin mengerti, bahwa kakak itu coba membela Ceng Eng. Ia mau menolak tapi dalam otaknya mendadak berkelabat serupa ingatan. "Aku memang ingin tahu asal usul bocah itu,"   Pikirnya. "Biarlah Piauw Ko yang paksa dia membuka rahasianya,"   Berpikir begitu, ia lantas berkata "Baiklah, sebenarnya aku sendiri tak tahu murid siapa dan dari partai mana."   "Apakah pelajaran bocah itu bukan didapat dari sini?"   Tanya Wie Pek dengan perasaan heran. Kioe Tin menengok ke arah Boe Kie dan berkata.   "Eh, coba beritahukan Siauw Ya, nama guru dan partaimu."   Mendengar perkataan si nona, Boe Kie lantas saja berpikir.   "Kamu begitu menghina aku, mana bisa aku memberitahukan nama kedua orang tuaku dan Thay Soehoe? Selain begitu, akupun belum pernah mempelajari ilmu silat Boe Kie Pay secara sungguh-sungguh."   Dengan adanya itu, ia menjawab.   "Semenjak kecil, kedua orang tuaku sudah meninggal dunia dan aku bergelandangan dalam dunia Kang Ouw. Aku belum pernah belajar ilmu silat, hanya ayah angkatku yang pernah memberi satu dua petunjuk kepadaku. Mata Gi Hoe buta, sehingga iapun tak tahu, apa latihanku benar atau salah."   "Siapa nama ayah angkatmu? Dari partai mana dia?"   Tanya Kioe Tin. Boe Kie menggelengkan kepala.   "Aku tak bisa memberitahukan,"   Jawabnya. Wie Pek tertawa nyaring.   "Masakah kita bertiga tidak bisa mengorek rahasianya?"   Katanya sambil menghampiri Boe Kie dan berkata pula. "Bocah coba kau sambut tiga pukulan,"   Seraya berkata begitu, ia melirik nona Boe sambil tersenyum, seolah-olah ia mau mengatakan bahwa ia akan memberi pelajaran keras kepada bocah itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya si nona.   Dalam soal cinta, seseorang yang sedang mabuk cinta selalu memperhatikan gerak-gerik dari orang yang dicintai.   Lirikan dan senyuman Wie Pek tidak terlepas dari mata Coe Kioe Tin yang lantas timbul rasa cemburunya.   Melihat Boe Kie bersangsi untuk menyambut tantangan itu.   Ia menggapai dan setelah anak itu mendekati, ia berkata dengan suara perlahan.   "Sebagaimana kau sudah melihat Piauw Ko memiliki kepandaian tinggi, kau tentu tak bisa menang. Tapi, asal kau bisa menyambut tiga pukulannya, kau membikin mukaku jadi terang,"   Sehabis berkata begitu, ia menepuk-nepuk pundak si bocah untuk memberi semangat.   Boe Kie juga tahu, bahwa ia bukan tandingan pemuda itu.   Ia mengerti bahwa jika ia turun ke gelanggang, ia hanya akan menjadi korban.   Jadi semacam lelucon untuk menggembirakan hati.   Tapi begitu lekas ia berdiri dihadapan si cantik, pikirannya kalut.   Sesudah diajak bicara dengan suara lemah lembut dan ditepuk-tepuk apa pula sesudah mengendus bau yang sangat harum, otaknya butak dan ia tak dapat berpikir lagi.   "Sio Cia memerintahkan supaya aku membikin terang mukanya dan aku tak toleh mengecewakannya,"   Katanya di dalam hati dan seperti orang linglung, ia segera mendekati Wie Pek. "Bocah, sambutlah!"   Kata pemuda itu sambil menampar.   Pukulan itu cepat luar biasa dan muka Boe Kie lantas saja terpeta lima jari tangan yang berwarna merah.   Sesudah tahu, bahwa anak itu bukan mendapat pelajaran dari keluarga Coe, sehingga ia tidak bisa dianggap menghina pamannya sendiri.   Ia sudah turun tangan tanpa sungkan- sungkan.   Meskipun tidak mengerahkan Lweekang ia menampar dengan sepenuh tenaga.   "Boe Kie, lawan!"   Teriak Nona Coe. Semangat si bocah terbangun, dengan cepat ia meninju Wie Pek mengegos sambil berseru.   "Bagus! Masih ada dua jurus,"   Dengan sekali melompat, ia sudah berada di belakang Boe Kied an sebelum si bocah keburu memutar badan, leher bajunya sudah kena dicengkeram.   Sambil mengangkat badan Boe Kie tinggi-tinggi Wie Pek tertawa terbahak-bahak dan kemudian membantingnya keras-keras di lantai.   Kasihan Boe Kie! Janggut dan hidungnya lantas saja mengucurkan darah.   Seraya menepuk-nepuk tangan, Boe Ceng Eng tertawa cekikikan.   "Tin Ci,"   Katanya.   "Bagaimana? Apakah ilmu silat keluarga Boe masih boleh dilihat?"   Paras muka Kioe Tin merah padam.   Ia malu bercampur gusar.   Ia tak bisa membantah pertanyaan saingannya, sebab jika ia mencela ilmu silat keluarga Boe, ia sudah menyinggung perasaan Wie Pek.   Sementara itu, Boe Kie sudah merangkak bangun dan dengan jantung berdebar-debar, ia melirik Kioe Tin.   Melihat paras muka si cantik, ia lantas saja berkata dalam hatinya.   "Sudahlah! Biarpun hilang jiwa, aku mesti menolong Sio Cia."   "Piauw Moay,"   Kata Wie Pek sambil tertawa.   "Silat kucing pincang bocah itu masih tak punya, mana bisa kau bicara tentang partainya?"   Tiba-tiba Boe Kie menerjang dan menendang kempungannya. "Aduh! Gagah benar Kau?"   Ejek Wie Pek sambil mengelak dan menangkap kaki kanan Boe Kie yang lalu dilontarkan dengan menggunakan tiga bagian Lweekang.   Bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, badan si bocah melesat kea rah tembok.   Untung juga, selagi masih berada di tengah udara, dengan menggunakan seluruh tenaganya ia masih keburu memutar tubuh sehingga hanya punggungnya yang terbentur tembok.   Tapi biarpun begitu, ia merasa sakit bukan main dan roboh di kaki tembok tanpa bisa lantas bangun.   Dalam kesakitan hebat, hatinya masih memikirkan muka Coe Kioe Tin yang harus ditolong.   Tiba-tiba ia mendengar suara si nona.   "Sudahlah! Ayo kita pergi ke taman bunga!"   Di kuping Boe Kie suara itu penuh rasa malu dan jengkel.   Entah darimana datangnya, mendadak Boe Kie merasa tenaganya pulih.   Ia melompat bangu dan bagaikan kalap, ia menubruk dan menghantam Wie Pek dengan telapak tangannya.   Kali ini ia memukul dengan jurus Kang Liong Yu Hwi (Penyesalan Sang Naga) dari Hang Liong Sip Pat Ciang (delapan belas jurus ilmu silat menaklukkan naga), semacam Ciang Hoat (ilmu silat dengan menggunakan telapaka tangan) yang paling lihai di seluruh rimba persilatan.   Dahulu dengan mengandalkan ilmu tersebut, Ang Cit Kong dan Kwee Ceng telah menjagoi di kolong langit.   Hanya saying apa yang didapat Cia Soen hanya kulitnya saja, sedang yang diperoleh Boe Kie lebih-lebih tak karuan macam pengaruh pukulan itu belum ada sepersepuluh dari Kang Liong Yu Hwi yang asli.   Tapi walaupun begitu pukulan itu mengeluarkan sambaran angin yang luar biasa dan begitu tangan Wie Pek terbentur tangan Boe Kie, badannya bergoyang-goyang dan ia terpaksa mundur setindak.   Ia kaget, sedangkan Boe Ceng Eng mengeluarkan seruan tertahan.   Pada seratus tahun lebih lalu, leluhur Boe Ceng Eng, yaitu Boe Sioe Boen, telah berguru kepada Kwee Ceng, tapi sesudah belajar banyak tahun, ia masih belum juga dapat menyelami intisari dari pada Hang Liong Sip Pat Ciang.   Boe Liat, ayah Boe Ceng Eng, masih dapat menjalankan jurus-jurus dari ilmu silat itu, tapi seperti anak cucu Boe Sioe Boen yang lainnya, iapun tidak berhasil mengeluarkan pengaruh dahsyat Hang Liong Sip Pat Ciang.   Selama belasan tahun, nona Boe sering melihat ayahnya berlatih sendirian sambil mengasah otak.   Tapi sebegitu jauh, orang tua itu masih juga belum berhasil.   Dari zaman Boe Sioe Boen sampai Boe Ceng Eng sudah ada lima turunan.   Pada setiap turunan, anggota-anggota keluarga Boe berusaha keras untuk menyelami intisari ilmu itu, tapi semua usaha mengalami kegagalan.   Kegagalan itu bukan karena tumpulnya otak keluarga Boe.   Apa seorang dapat menyelami Hang Liong Sip Pat Ciang atau tidak, tiada sangkut paut dengan kecerdasan otak.   Bukan saja begitu, bahkan ada petunjuk, bahwa makin cerdas otak seseorang, makin sukar ia memiliki ilmu itu.   Contohnya, Kwee Ceng tumpul dan Oey Yong pintar luar biasa.   Tapi yang berhasil adalah Kwee Ceng, sedang Oey Yong tetap gagal.   Dalam mengajar orang-orang muda, Kwee Ceng tidak menyembunyikan apapun jua.   Tapi kaitannya adalah, diantara orang-orang tingkatannya lebih muda seperti Yo Ko, Yeh Loe Ci, Kwee Hoe, Kwee Siang, Kwee Loh Po, Boe Sioe Boen dan Boe Toen Jie, tak satupun yang bisa berhasil dengan sempurna.   Bahwa pada zaman belakang Hang Liong Sip Pat Ciang sudah tidak dikenal lagi dalam rimba persilatan, mungkin adalah karena sebab-sebab itu.   Wie Pek yang tak kenal jurus itu sudah menangkis dengan tangannya dan begitu lekas tangannya beradu dengan tangan Boe Kie, ia merasakan lengannya kesemutan dan dadanya menyesak.   Cepat-cepat ia mundur setindak kemudian ia melompat maju sambil menghantam punggung Boe Kie dengan tinjunya.   Tanpa memutar tubuh, si bocah mengibaskan tangannya ke belakang dengan menggunakan jurus Sin Liong Pa Bwee (Naga Malaikat menyabetkan ekor) Melihat sambaran tangan yang luar biasa, Wie Pek berkelit, tapi tak urung pundaknya kena disapujuga dengan tiga jari tangan.   Meskipun pukulan itu tidak hebat, tapi Coe Kioe Tin dan Boe Ceng Eng sudah melihat, bahwa dalam jurus itu, Wie Pek sekali lagi kena dikalahkan.   Mana dia rela menerima hinaan itu dihadapan wanita- wanita cantik? Waktu menantang Boe Kie, seorang anak tanggung yang sama sekali bukan tandingannya, pemuda itu hanya ingin mempermainkan si bocah untuk menyenangkan hati Boe Ceng Eng.    Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung Perangkap Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini