Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 31


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 31


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung   Maka itu, ia hanya menggunakan dua atau tiga bagian.   Tapi diluar dugaan, dua kali beruntun ia jatuh dibawah angin, Darahnya lantas saja naik dan ia membentak.   "Setan kecil! Apa kau tidak takut mati?"   Seraya membentak, ia meninju dengan jurus Tiang Kang Sam Tiap Long (tiga gelombang sungai TiangKang) sesuai dengan namanya, jurus itu mengandung tiga gelombang tenaga.   Apabila lawan menangkis gelombang pertama dengan sepenuh tenaga, maka ia akan binasa, atau sedikitnya terluka berat dengan gelombang tenaga kedua dan ketiga akan menyerang tanpa diduga- duga.   Waktu memukul, Wie Pek telah menggunakan seluruh tenaga Lweekangnya.   Tapi, karena pada hakikatnya ia memang bukan seorang jahat yang berhati kejam.   Maka biarpun sedang gusar, ia menahan gelombang tenaga yang ketiga.   Dilain pihak, begitu melihat serangan dahsyat, Boe Kie segera menghempas semangat dan menangkis dengan pukulan terhebat yang dimilikinya yaitu Kiam Liong Boet Yong (naga yang bersembunyi jangan digunakan) Sambil miringkan tangan kirinya, ia menyambut dengan Lweekang yang aneh, yaitu setengah berkumpul, setengah buyar, separuh bersembunyi, separuh keluar.   Wie Pek terkesiap, gelombang pukulannya yang pertama amblas seperti batu amblas di dalam laut.   Hampir berbareng dengan suara "Krek!"   Tulang lengan kanannya patah.   Untung juga karena menaruh belas kasihan ia menahan tenaga gelombang ketiga.   Jika tidak, mereka berdua sama-sama terluka berat.   Coe Kioe Tin dan Ceng Eng mengeluarkan teriakan kaget dan serentak mengeluarkan teriakan kaget dan serentak lagi menghampiri Wie Pek.   "Taka pa-apa,"   Katanya sambil meringis.   Dengan berbaring, kedua nona itu menumpahkan kegusaran di atas kepala Boe Kie.   Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka memukul badan dan menghantam dada si bocah.   Boe Kie yang belum hilang kagetnya sebab melihat akibat pukulannya, tidak bergerak dan tinju kedua gadis itu tepat mengenai dadanya.   "Uh!"   Dengan badan bergoyang-goyang ia muntahkan darah! Dada si bocah sakit, tapi hatinya lebih sakit.   "Dengan mati-matian aku berkelahi untuk membuat mukamu terang,"   Katanya didalam hati.   "Tapi waktu aku menang, kau berbalik memukul aku."   "Tahan!"   Teriak Wie Pek. Kedua gadis itu tidak memukul lagi. Dengan paras muka pucat. Wie Pek mengayun tangan kirinya dan menghantam Boe Kie. Boe Kie yang dengan melompat jauh berhasil menyelamatkan dirinya. "Piauw Ko,"   Kata nona Coe.   "kau sudah terluka, perlu apa kau meladeni anak yang kurang ajar itu? Aku yang salah. Sebenarnya tak boleh aku mengadu kau dengannya."   Dia seorang gadis yang beradat tinggi. Kalau bukan melihat akibat dari perbuatannya, tak gampang-gampang ia mau mengaku bersalah. Tapi diluar dugaan, Wie Pek jadi makin gusar. Ia tertawa dingin seraya berkata.   "Piauw Moay, pelayanmu benar- benar lihai. Kau sendiri mana bersalah? Tapi aku masih merasa penasaran."   Ia mendorong Kioe Tin dan lalu menerjang Boe Kie.   Si bocah mau melompat mundur, tapi Boe Ceng Eng yang berdiri di belakangnya segera mendorong punggungnya sehingga tinju Wie Pek mampir tepat di hidungnya yang lantas saja bocor.   Dalam sekejab Boe Kie sudah dikepung oleh tiga orang dan tujuh delapan pukulan dengan beruntun jatuh di badannya.   Beberapa kali ia muntah darah, tapi sebagai manusia kepala batu, dengan nekat ia melawan terus.   Ia menggunakan segala macam ilmu silat yang dimilikinya.   Silat Cia Soen, ilmu kedua orang tuanya, pukulan-pukulan Boe Tong Pay dan berkelahi bagaikan harimau edan.   Walaupun Lweekangnya masih sangat cetek, tapi karena kenekatannya ditambah dengan pukulan-pukulan dari ilmu- ilmu silat yang sangat tinggi, seperti Hang Liong Sip Pat Ciang, maka untuk sementara waktu ia masih dapat mempertahankan diri.   "Bocah Bau!"   Caci Coe Kioe Tin. Binatang dari mana kau? Sungguh berani kau mengacau di tempat ini. Apa kau sudah bosan hidup?"   Sementara Wie Pek yang tangannya makin lama makin sakit sungkan berkelahi lebih lama lagi.   Sambil mengerahkan seluruh Lweekang di tangan kiri, ia menghantam bagaikan kilat.   Melihat pukulan yang dahsyat itu, Boe Kie yang terlalu lelah jadi putus harapan.   Ia mengeluh dan memejamkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan.   Tapi sebelum tangan Wie Pek turun di badannya, tiba- tiba terdengar bentakan menggeledek.   "Tahan!"   Satu bayangan kuning berkelabat dan menangkis tangan pemuda itu yang sedang menyambar.   Begitu tangannya tertangkis, Wie Pek terhuyung beberapa tindak dan kemudian terjengkang.   Tapi gerakan orang itu yang mengenakan jubah kuning cepat luar biasa.   Dengan sekali meloncat, ia menjaga punggung pemuda itu yang lantas saja bisa berdiri tegak.   "Ayah!"   Teriak Kioe Tin. "Coe PehPeh!"   Seru nona Boe. "Koe Koe!"   Kata Wie Pek dengan napas tersengal-sengal.   Orang yang menolong Boe Kie bukan lain Coe Tiang Leng, ayah Coe Kioe Tin.   Begitu lekas tulang lengan Wie Pek patah, seorang perawat anjing buru-buru melaporkan kepada sang majikan yang lantas saja datang ke tempat pertempuran.   Untuk beberapa saat, Coe Tiang Leng menyaksikan "kegagahan"   Putrinya dan dua orang muda itu dan pada detik yang berbahaya ia memberi pertolongan.   Melihat keberanian dan kegigihan Boe Kie, orang tua itu merasa kagum.   Dengan paras muka merah padam dan mata mendelik, ia mengawasi putrinya, Wie Pek, dan Boe Ceng Eng.   Mendadak tangannya melayang, menampat muka putrinya.   "Bagus!"   Katanya dengan suara menyeramkan.   "Makin lama anak cucu keluarga Coe jadi makin tak karuan macam! Dengan mempunyai anak semacam kau, bagaimana aku ada muka untuk bertemu dengan leluhurku di dunia baka?"   Coe Kioe Tin adalah anak biasa dimanja. Jangankan digebuk, dicacipun belum pernah. Tapi sekarang ia ditampar di depan banyak orang, bahkan di depan kecintaannya. Tamparan itu cukup keras untuk membuat kepalanya pusing. Sesudah pusing hilan.   "Uh!"   Ia menangis keras. "Diam!"   Bentak sang ayah. Bentakan itu disertai Lweekang sudah menggetarkan seluruh ruangan, sehingga debu pada jatuh dari atas balok. Si nona takut bukan main dan ia tak berani menangis terus. "Semenjak dahulu, keluarga Coe hidup bagaikan kesatria,"   Kata sang ayah.   Leluhurmu, Coe Lioe Kong, mengabdi kepada It Teng Taysoe dan jadi perdana menteri dari negeri Tayli Kok.   Belakangan beliauw Bantu melindungi kota Siang Yang dan namanya menggetarkan seluruh dunia.   Lihatlah! Betapa gagahnya leluhurmu itu! Tak nyana anak cucunya tidak karuan macam.   Sampai kepada aku, Coe Tiang Leng, aku punya anak seperti cecongormu! Tiga orang dewasa mengerubuti seorang anak kecil! Bukan saja begitu, kamu bahkan coba mengambil juga jiwa anak itu! Malu tidak kau?"   Ia bicara dengan suara berapi-api dengan nada menyeramkan.   Walaupun cacian ditunjukkan kepada Kioe Tin, Wie Pek dan Ceng Eng pun kena terseret, sehingga dengan muka kemerah-merahan, mereka tak berani mengangkat kepala.   Mendengar dan melihat semua itu, Boe Kie merasa takluk dan kagum terhadap orang tua itu.   Coe Tiang Leng benar-benar marah besar.   Dari pucat mukanya berubah merah, dari merah berubah kuning, sedang badannya gemetara.   Tak satupun antara ketiga orang pemuda itu yang berani bersuara atau berkisar.   Sambil menundukkan kepala, mereka berdiri bagaikan patung.   Melihat bengkaknya pipi nona Coe Kioe Tin dan sikapnya yang penuh ketakutan, Boe Kie merasa sangat tak tega dan ia segera berkata "Looya, dalam hal ini Sio Cia sama sekali tak bersalah,"   Tiba-tiba ia terkejut karena suaranya hampir tak kedengaran, akibat dari pukulan Wie Pek pada tenggorokannya. "Saudara kecil, kau mengenal Hang Liong Sip Pat Ciang,"   Kata Coe Tiang Leng.   "Apakah kau murid Kay Pang?" (Kay Pang Partai pengemis) Boe Kie yang sungkan memberitahukan asal-usulnya lantas saja mengangguk. Sambil mengawasi puterinya dengan sorot mata gusar. Orang tua itu berkata pula.   "ilmu pukulan itu diturunkan oleh Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong yang pada zaman itu telah menggetarkan seluruh rimba persilatan di sebelah selatan dan utara sungai besar. Dengan keluarga kita, keluarga Coe dan Boe, beliauw mempunyai hubungan yang sangat erat,"   Ia menengok kepada Boe Ceng Eng dan berkata pula, Kwee Ceng, Kwee Tayhiap, adalah guru leluhurmu, Sioe Boe Kong.   Sesudah mengenali bahwa pukulan yang dikeluarkan oleh saudara kecil itu ialah Hang Liong Sip Pat Ciang, mengapa kau masih juga turun tangan!"   Ia bicara dengan suara keras dan tidak sungkan- sungkan lagi sehingga Boe Kie sendiri jadi merasa sangat tidak enak.   Sesudah menyuruh seorang pelayan mengambil obat luka, orang itu menanyakan hal ihwal kedatangan Boe Kie dan cara bagaimana ia sampai mendapat kedudukan seorang pelayan di dalam gedungnya.   Coe Kioe Tin tak berani berdusta dan lalu menceritakan cara bagaimana Boe Kie digigit anjing sebab coba menyembunyikan seekor kera kecil dan cara bagaimana ia sudah menolongnya.   Darah sang ayah meluap lagi.   Begitu lekas si nona selesai menutur, ia membentak dengan suara menggeledek.   "Bagus! Saudara kecil itu adalah sahabat dari Kay Pang dan kau sudah berani mati untuk memberi kedudukan pelayan kepadanya.   Huh-Huh! Kalau hal ini sampai terdengar diluaran, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang gagah dalam kalangan Kang Ouw? Mereka pasti akan mengatakan bahwa Kian Koen It Pit Coe Tiang Leng adalah manusia yang tidak mengenal pribadi.   Aku membiarkan kau memelihara anjing-anjing itu dengan anggapan, bahwa kau memeliharanya hanya untuk main-main.   Tapi siapa nyana, kau sudah mengumbar binatang-binatan itu untuk mencelakakan orang.   Budak kecil! Jika untuk mengambil jiwa kecilmu, mana aku ada muka untuk bertemu pula dengan orang-orang gagah dalam rimba persilatan?"   Ia mencaci dengan mata berapi-api dan nona Coe mengerti, bahwa sang ayah dapat membuktikan ancamannya. Dengan muka pucat dan badan gemetaran, buru-buru ia menekuk lutut seraya berkata dengan suara parau.   "Thia- thia, anak.. anak tidak berani berbuat itu lagi."   Melihat bahaya, Wie Pek dan Ceng Eng pun segera berlutut dan memohon supaya orang tua itu sudi mengampuni puterinya. Boe Kie segera maju mendekati seraya berkata.   "Looya.."   "Saudara kecil, jangan kau memanggil Looya kepadaku,"   Kata Tiang Leng dengan suara lebih sabar.   "Aku hanya lebih tua sekian tahun daripadamu dan paling banyak kau boleh memanggil Cianpwee kepadaku." (Looya Tuan Besar, panggilan untuk majikan atau orang berpangkat.   Cianpwee orang yang tingkatannya, atau usianya lebih tinggi) "Baiklah,"   Kata si bocah.   "Coe Cianpwee, dalam hal ini tak dapat kita menyalahkan Sio Cia. Dengan sebenar- benarnya, Sio Cia tak tahu menahu waktu aku digigit anjing."   "Kau lihatlah,"   Kata Coe Tiang Leng.   "Dia masih begitu kecil, tapi sudah begitu lapang dada. Kalian bertiga masih tak dapat menandingi seorang bocah seperti dia. Pada Hari Tahun baru, lebih pula karena Boe Kouwnio tamu kami, menurut adat aku tak boleh mengunjuk kegusaran. Akan tetapi, aku tidak bisa berpeluk tangan, sebab perbuatanmu terlalu gila dan tiada berbeda dengan perbuatan manusia hina. Sekarang, sesudah saudara kecil ini memintakan ampun, kamu bangunlah."   Dengan kemalu-maluan, Wie Pek bertiga lantas bangkit. "Lepaskan semua anjing jahat itu!"   Bentak Coe Tiang Leng sambil menengok kepada tiga perawat anjing yang berdiri di satu sudut.   Mereka mengiyakan dan buru-buru menjalankan perintah.   Melihat paras muka ayahnya yang menyeramkan dank arena tak tahu apa yang akan diperbuat oleh orang tua itu, nona Coe jadi lebih ketakutan.   "Thia!"   Serunya dengan suara parau. Sang ayah tertawa dingin.   "Kau memelihara anjing- anjing jahat untuk mencelakai manusia,"   Katanya. "Baiklah, sekarang perintahkan anjing-anjingmu untuk menggigit aku."   Si nona menangis.   "Thia, anak sudah tahu kesalahan sendiri,"   Ratapnya. Orang tua itu hanya mengeluarkan suara di hidung. Mendadak ia melompat ke gerombolan anjing itu sambil mengayunkan kedua tangannya. "PlaakPlaak PlaakPlaak"   Empat ekor anjing roboh dengan kepala remuk.   Semua orang terkesiap, mereka mengawasi dengan mulut ternganga.   Kaki tangan Coe Tiang Leng menyambar-nyambar dan badannya bergerak bagaikan kilat.   Dalam sekejab mata, tiga puluh ekor anjing sudah rebah di lantai tanpa bernyawa lagi.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Jangankan melawan, laripun mereka tak keburu lagi.   Wie Pek dan Boe Ceng Eng kaget bercampur kagum.   Walaupun tahu, bahwa orang tua itu berkepandaian tinggi, mereka tak nyana kepandaiannya setinggi itu.   Sesudah melampiaskan kegusarannya, Coe Tiang Leng lalu mendukung Boe Kie yang dibawa ke kamarnya sendiri.   Tak lama kemudian Coe Hujin (nyonya Coe) dan Kioe Tin datang menengok dengan membawa semangkok obat.   Sebagai akibat gigitan anjing karena mengeluarkan terlalu banyak darah.   Biarpun lukanya sudah sembuh, badan Boe Kie sebenarnya masih sangat lemah.   Maka itu, luka-luka hebat yang dideritanya sekarang sudah membuat ia pingsan berulang-ulang dan selama beberapa hari ia berada dalam keadaan pingsan.   Berkat rawatan yang teliti, akhirnya ia tersadar.   Begitu lekas sebagian tenaganya pulih, ia sendiri segera menulis surat obat dan menyerahkannya pada pelayan dan meminta supaya ia diberi obat menurut resep itu.   Obat itu ternyata sangat mujarab dan kesehatannya kembali denga cepat sekali.   Melihat kepandaian si bocah dalam ilmu pengobatan, penghargaan Coe Tiang Leng jadi lebih besar.   Sementara itu, Coe Kioe Tin kelihatannya sudah sadar akan kesalahannya dan untuk menebus dosa ia merawat Boe Kie seperti kakak merawat adik kandung sendiri.   Selama dua puluh hari lebih, seringkali ia menemani si bocah di samping pembaringan sambil bercakap-cakap, meniup seruling, atau menyanyi.   Sesudah Boe Kie bisa berjalan, pergaulannya dengan si nona jadi makin akrab.   Menurut peraturan keluarga Coe, pagi2 belajar silat, sore belajar surat.   Ilmu silat keluarga tersebut mempunyai sangkut paut yang sangan erat denga Soe hoat (seni menulis surat indah).   Mungkin tinggal seorang memiliki Soe Hoat, makin tinggi pula ilmu silatnya.   Untuk mempelajari ilmu surat, Coe Kioe Tin mempunyai sebuat kamar tulis yang kecil, dengan hiasan idah.   Ditembok sebelah timur tergantung selembar tulisan sajak, buah kalam penyair Touw Bok, sedang tembok sebelah utara diantara dua lukisan san soei (pemandangan alam) terdapat tulisan Si Hie tiap, karya Hway-so Hweeshio.   Setiap kali berlatih menulis huruf2 indah Kiao Tin selalu mengajak Boe Kie dan memberi petunjuk2.   Dengan duduk berhadapan mereka belajar bersama sama.   Kalau cape mereka berhenti menulis dan beromong omong sambil tertawa tawa.   Dalama latihan ilmu silatpun; keluarga Coe memperlakukan bocah itu sebagai seorang anggota keluarga.   Coe Tiang Leng memperbolehkan Boe Kie turut serta dalam ruangan latihan dan tempo2 menyuruh anak itu berlatih bersama sama putrinya.   Ilmu silat keluarga Coe dan silat yg dikenal Boe Kie agak berbeda.   Akan tetapi, pada hakekatnya ilmu silat diseluruh dunia bersuber satu, maka sesudah memperhatikan beberapa kali, Boe Kie dapat mengikuti latihan tanpa banyak kesukaran.   Toang Leng dan putrinya tidak berlaku pelit mereka mengajar si bocah dengan sungguh hati.   Semenjak meninggalkan pulau Peng Hwee To, Boe Kie selalu hidup dalam penderitaan.   Baru sekarang ia dapat mencicipi penghidupan tenteram yang bahagia.   Tanpa merasa satu bulan setengah sudah lewat.   Hati iut pada pertengahan Jie-gwee selagi Kioe Tin dan Boe Kie berlatih menulis huruf 2 indah tiba2 Siauw Hong masuk seraya berkata.   "Siocia, Yauw Jie-ya sudah kembali dari Tiong goan." (Jie-ya Tuan kedua) Si nona kegirangan.   Sambil melempar pit, ia berteriak.   "Bagus! Aku sudah menunggu setengah tahun lebih."   Ia menarik tangan Boe Kie mari kita menemui Yauw Jie-siok, aku tak tahu, apa ia membeli barang2 yang kupesan." (Jie- siok Paman kedua). Dengan berlari mereka pergi ke kota thia (ruangan tengah). "Siapa Yauw Jie-siok?"   Tanya si bocah. "Ia adalah saudara thia thia,"   Jawabnya "Namanya Yauw Ceng Coen, berglear Cian Lie Toei hong (Dalam seribu li mengejar angin).   Tahun yang lalu ayah telah meminta padanya pergi ke Tiong goan untuk mengantarkan beberapa rupa barang.   Aku memesan supaya ia membeli yan cie dan puput dari Hang cie, jarum sulam, benang dan gambar2 lukisa dari Souw cioe, pit bak, contoh2 huruf dan buku2.   Aku tak tahu, apa ia perhatikan pesanku itu."   Coe-kee-choeng (Perkumpulan keluarga Coe) terletak di See hek (Wilayah barat) dalam lingkungan gunung Koe Loen san.   Alat2 kecantikan, buku2, perabot tulis dan sebagainya yang diperlukan oleh nona Coe tak bisa didapat dalam jarak ribuan lie.   Tempat itu terpisah berlaksa lie dari daerah Tiong-goan sedang sekali pulang perlu memerlukan tempo dua tiga tahun.   Maka itulah, saban ada orang yang mau pergi ke Tiong-goan, Coe Kioe Tin selalu memesan ini atau itu dalam jumlah yang besar.   Tapi begitu tiba diambang pintu, mereka terkejut karena mendengar suara tangisan.   Dengan hati berdebar debar mereka bertindak masuk.   Hati mereka mencelos sebab melihat Coe Tiang Leng sekang berlutut dilantai sambil berpelukan dan menangis dengan seorang lelaki kurus jangkung yang mengenakan pakai berkabung.   "Yauw Jie-siok!"   Teriak Kioe Tin seraya menubruk. Sang ayah menyapu air matanya dan berkata dengan suara parau.   "Ah Tin jie! Toa in jien (tuan penolong besar) kita Nyonya... Thio Ngo... ya... telah meninggal dunia!"   "Tapi... tapi bagaimana bisa begitu?"   Tanya si nona dnegan mata membalak.   "Bukanlah, sesudah menghilang sepuluh tahun In kong (paduka penolong) sudah kembali?"   Lelaki setengah tua yang mengenakan pakaian berkabung itu Coan-lie Toei hong Yauw Ceng Coan menengok seraya berkata dengan suara terputus putus.   "Kita yang berdiam ditempat jauh...   sukar mendapat warta.   Sesudah ku tiab di Tiong-goan baru kutahu, bahwa...   bahwa Tio Iajin bersama Thio Hoejin sudah meninggal dunia pada kita2 empat tahun berselang dengan....   Dengan membunuh diri sendiri! Aku mendapat warta itu sebelum mendaki Boe tong san.   Atku tidak percaya.   Belakangan sudah tiba di boe tong san dan bertemu dengan Song Toa hiap Jie hiap barulah kutahu bahwa warta itu bukan cerita kosong...   Hai!"   Betapa besar rasa kaget Boe Kie dapatlah dibayangkan. Sesudah mendengar keterangan itu ia tidak bersangsi lagi, bahwa yang dinamakan sebagai "Toa-injin Thio Ngoya"   Adalah ayahandanya sendiri, melihat kesedihan Coe Tiang Leng, Yau Ceng Coan dan Coe Kioe Tie, yang jg turut mengucurkan air mata hampir2 ia melompat menubruk dan memperkenalkan diri sendiri.   Tapi ia segera mengurungkan niatannya sebab kuatir tidak dipercaya dan orang bahkan bisa menduga jelek atas dirinya.   Beberapa saat kemudian Coe Hoejin muncul dengan di papah oleh seorang budak dan sambil menangis ia mengajukan banyak pertanyaan kepada Yauw Ceng Coan.   Karena sedang ditindih dengan kedukaan, Yauw Ceng Coen sampai lupa untuk menjalankan peradatan kepada gie-so nya (istri dari saudara angkat).   Ia segera menuturkan cara bagimana Thio Coei San bersama istrinya telah binasa dengan membunuh diri.   Sambil seraya menggigit gigi, sebisa bisa Boe Kie menahan rasa sedihnya.   Tapi biarpun begitu, ia tidak dapat mencegah mengucurnya air mata.   Hanya karena semua orang bersedih hati mereka tidak memperhatikan tangisan si bocah.   Sekonyong-konyong tangan Coe Tiang Leng berkelebat dan ....   "prak!".... sebuah meja delapan persegi somplak. "Jie-tee!"   Katanya dengan suara keras.   "Dengan tegas dan dengan jelas, aku minta kau memberitahukan namanya oran2 yg telah naik ke Boe tong dan endesak begitu rupa sehingga In Kong terpaksa membunuh diri."   "Sesudah mendapat tahu tentang kebinasaan In Kong, sebenarnya aku harus buru2 pulang untuk memberi laporan kepada Taoko,"   Kata Yauw Ceng Coan"Tapi sebab ingin mengetahui nama musuh2 itu, maka aku lalu menyelidiki.   Belakangan kudengar, bahwa disamping tiga pendeta suci dari Siauw Lim Pay, jumlah musuh bukan sedikit.   Perlahan lahan aku mengumpulkan keterangan sehingga oleh karenanya aku pulang sangat terlambat."   Sesudah itu ia segera menyebutkan nama2 semua orang yg turut hadir dalam peristiwa berdarah di Boe tong san. "Jie-tee,"   Kata Coe Tiang Leng dengan sudar duka.   "Mereka itu adalah jago2 terutama dalam Rimba persilatan dan satupun tak akan dapat ditandingi oleh kita.   Tapi budi Thio Ngoya berat seperti gunung, sehingga biarpun badan kita menjadi tepung, kita mesti jg coba membalas sakit hati Nyonya".   "Tak salah apa yg dikatakan Taoko,"   Kata Yauw Ceng Coan.   "Jiwa kita telah dihidupkan pula oleh Thio Ngoya dan sesudah itu kita bisa menyambung umur selama belasan tahun, adalah sepantasnya saja kalau sekaang kita membuang jiwa demi kepentingan Ngoya. Siauw-tee hanya merasa menyesal, bahwa siaw-tee tidak dapat mencari putera Ngoya. Alangkah baiknya jika kita berhasl mencarinya dan mengajak ia kesini supaya kita dapat merawatnya seumur hidup."   Mendengar itu, Coe Hoejin segera minta penjelasan lebih lanjut mengenai putranya Coei San.   Yauw Ceng Coan menyatakan, bahwa sebegitu jau diketahuinya, putera tuan penolong itu, telah mendapat luka berat dan pergi kesuatu tempat untuk berobat.   Bahwa sepanjang keterangan anak itu batu berusia kira2 sembilan tahun dan bahwa Thio Sam Hong berniat untuk mengangkat dia sebagai Ciang boenjin Boe tong pay dibelakagn hari.   Coe Tiang Leng dan istrinya merasa sangat girang dan mereka segera berlutut untuk menghaturkan terima kaish kepada Langit dan bumi, atas belas kasihan yang sudah dilimpahkan kepada suami istri Thio Coei San, yang biar bagaimanapun jg, ternyata sudah mempunyai turunan.   "Taoko jinson yang usianya ribuan tahun benar, soat-lian dari gunung Thian san, emas hitam pisau dan lain2 barang yg di titipkan Toako sudah aku serahkan kepada Thio Kongcu,"   Kata pula Yauw Ceng Coan. Sang kakak mengangguk dan berkata.   "Kau benar, aku setuju dengan tindakanmu itu."   "Tin jie,"   Kata Coe Tiang Leng berpaling kepada puterinya.   "kau boleh menceritakan kepada saudara Thio, cara bagaimana keluarga kita telah ditolong oleh Thio Ngoya". Kioe Tin segera menuntun tangan Boe Kie dan mengajaknya pergi ke kamar ayahnya.   "itlah dia!"   Kata si nona sambil menunjuk sebuah lukisan yang di gantung di tengah2 tembok. Di samping gambar itu terdapat tulisan yang berbunyi seperti berikut.   "Gambar peringatan mengenai pertolongan yang diberikan oleh Tuan penolong Thio Coei San." Membaca nama mendiang ayahnya, air mata Boe Kie lantas saja berlinang linang. Lukisan itu memperlihatkan sebidang lapangan rumput di pedusunan, dimana terdapat seorang pemuda gagah dnegan tangan kiri memegang gaetan perak dan tangan kanan bersenjata Poan koan-pit yang sedang pertempuran melawan lima musuh. Boe Kie lantas saja mengenali, bahwa pemuda itu adalah mendiang ayahnya sendiri. Diatas tanah tergeletak dua orang yang terluka berat, satu Coe Tiang Leng Mansatu lagi Yauw Ceng Coan. Didekat mereka terdapat dua orang lain yang sudah binasa. Disudut sebelah kiri kelihatan berdiir seorang wanit muda yg dengan paras muka ketakutan, sedang memeluk satu bayi perempuan. Wanita muda itu adalah Coe Heojin. Boe Kie mengawasi si bayi yang pada pojok mulutnya terdapat setitik tahi lalat dan lantas tahu, bahwa bayi itu bukan lain daripada Coe Kioe Tin sendiri. Kertas dari lukisan itu sudah kuning dan sudah usia sedikit belasan tahun. Kioe Tin lantas saja menceritakan sejarah lukisan itu. Tak lama sesudah ia terlahir, ayahnya melarikan diri kedaerah sebelah barat untuk menyingkir dari seorang musuh yang sangat lihai. Tapi ditengah jalan, mereka dicandak oleh rombongan musuh. Dua orang adik seperguruan ayanya binasa dalam pertempuran, sedang orang tua itu sendiri dan Yauw Ceng Coan sudah roboh dengan luka berat. Pada detik2 yang sangat berbahaya, secara kebetulan Thio Coei San lewat disitu dan segera memberi pertolongan dengan memukul mundur musuh2 itu. Menurut perhitungan, kejadian itu telah terjadi pada waktu sebelum Coei San menghilang selama sepuluh tahun. Sesudah selesai menutur, si nona berkata pula dengan paras muka berduka.   "Karena berada di tempat jauh, warta tentang kembalinya Thio In Kong baru didapat kami pada tahun2 yang lalu. Sebab sudah bersumpah untuk tidak menginjak lagi wilayah Tionggoan, ayah terpaksa meminta san dengan membawa beberapa rupa barang antaran. Siapa nyana..."   Bicara sampai disitu seorang kacung masuk dan memberitahukan; bahwa si nona harus segera pergi ke ruang sembahyang.   Cepat cepat Kioe Tin menukar pakai putih dan bersama Boe Kie ia segera pergi ke ruang belakang, dimana sudah diatur sebuah meja sembahyang dengan lengpay yang tertulis seperti berikut.   "Kedudukan roh yang angker dari Tuan Penolong Thio Thayhiap Coei San dan Thio Hoejin."   Begitu mereka masuk, Coe Tiang Leng bersama istrinya dan Yauw Ceng Coan sudah berlulut didepan meja sembahyang sambil menangis sedih dan merekapun lantas saja berlutut di belakang ketiga orang tua itu.   Sambil mengusap-usap kepala Boe Kie, Coe Tiang Leng berkata dengan suara terharu.   "Saudara kecil, bagus... Thio Thayhiap adalah seorang kesatria, seorang laki2 jarang tandingan dalam dunia yg lebar ini. Walupun kau tidak mengenalnya, bukan sanak dan bukan kadang, tapi memang pantas sekali jika kau mengunjuk hormat kepadanya."   Boe Kie menunduk, supaya orang tua itu tidak melihat matanya yang mengembang air.   Ia merasa, bahwa sekarang ia lebih2 tidak dapat mengakui, bahwa ia adalah putera Thio Coei San, Yauw Ceng Coan mendapat keterangan yang tidak begitu tepat dan mengatakan bahwa ia baru berusia kira2 sembilan tahun.   Jika ia membuka rahasianya sebagai putera Thio Coei San, merekapun belum tentu akan percaya.   "Toako,"   Kata Yauw Ceng Coan denga suara perlahan.   "bagaimana dengan Cia-ya...?"   Coe Tiang Leng batuk2 dan meliriknya. Yauw Ceng Coan mengerti maksud kakaknya, ia mengangguk sedikit dan berkata pula.   "Bagaimana dengan cia-gie? Apa Toako mau mengumumkan perkabungannya?"   "Kau putuskan saja sendiri."   Jawabnya. Boe Kie jadi heran.   "Tadi terang2 kudengar Cia-ya,"   Katanya dalam hati.   "Mengapa sekarang jadi cia-gie? Apa Cia-ya dimaksudkan sebagai ayah angkatku?" (Cia ya bearti tuan Cia sedang cia-gie yalah pemberitahuan tentang perkabungan). Malam itu Boe Kie tak bisa tidur. Di depan matanya kembali terbayang kejadian2 dimasa silam, pada waktu ia masih berada di pulau Peng hwee-to bersama kedua orangtuanya dan ayah angkatnya. Keesokan paginya, berbareng dengan suara tindakan, hidungnya mengendus bebauan harum dan sesaat kemudian, Coe Kioe Tin masuk dengan membawa paso air cuci muka. Boe Kie terkejut. Ia melompat bangun seraya berkata. "Tin cie... mengapa... mengapa kau..."   "Semua pelayan dan budak sudah pergi,"   Jawabnya "Apa halangannya jika aku melayani kau sekali dua kali?"   Bukan main rasa herannya si bocah.   "Tapi, mengapa...?"   Tanyanya. "Sudah lama Thia-thia menyuruh mereka pergi,"   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kata si nona.   "Setiap orang diberikan uang dan disuruh pulang, karena ... karena rumah ini sangat berbahaya."   Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pua.   "   Sesudah kau cuci muka ayang ingin bertemu dengamu."   Dengan hati tak enak, buru2 Boe Kie mencuci muka dan sesudah itu, ia menyisir rambut dengan dibantu oleh si nona, yang kemudian mengajaknya pergi ke kamar buku Coe Tiang Leng.   Dalam gedung itu terdapat seratus lebih pelayan dan budak, tapi sekarang, satupun tak kelihatan mata hidungnya.   Begitu lekas mereka masuk ke dalam kamar buku, Coe Tiang Leng segera berkata.   "Saudara Thio aku menghargai kau sebagai seorang laki2 sejati dan sebenarnya aku ingin menahan engkau berdiam disini sampai sembilan atau sepuluh tahun. Tapi karena terjadinya satu perubahan luar biasa, maka kita terpaksa harus segera berpisah. Saudara Thio, kumohon kau tidak menjadi kecil hati."   Sambil mengangkat dulang yang berisi duabelas potong emas, duabelas potong perak dan sebliah pedang pendek, ia berkata pula.   "Inilah sedikit tanda mata dari kamu bertiga suami-oistir dan anakku. Kamu harap saudara Thio suka menerimanya. Kalau loohoe masih bisa hidup terus, dibelakang hari kita akan bisa bertemu pula..."   Karena terharu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya. Boe Kie mundur setindak dan seraya membungkuk, ia berkata dengan suara nyaring.   "Coe pehpeh, biarpun masih kecil dan tak punya guna, siauwtit bukan manusia yang takut mati. Pada saat keluarga Coe Pehpeh menghadapi marabahaya; biar bagaimanapun jug siauwtit tak akan menyingkir seorang diri. Walaupun siauwtit tak bisa membantu Pehpeh dan Ciecie, tapi siauwtit ingin hidup atau mati bersama-sama kaliah."   Coe Tiang Leng coba membujuk berulang2, tapi si bocah tetap pada pendiriannya. Akhirnya sesudah kewalahan, orang tua itu menghela napas seraya berkata.   "Hai! Anak kecil memang tidak tahu bahaya. Sekarang aku terpaksa menceritakan persoalannya kepadamu. Tetapi kalu lebih dahulu harus bersumpah, bahwa kau tak akan membocorkan rahasia ini dan jg katu tidak akan mengajukan pertanyaan apapun jua."   Boe Kie segera berlutu dan mengucapkan sumpahnya.   "Langit menjadi saksi, bahwa aku tidak akan membocorkan atau mengajukan pertanyaan mengenai keterangan yang akan diberikan oleh Pehpeh.   Jika aku melanggar janji ini biarlah aku binasa dengan badan dicincang laksaan golok, badanku hancur dan namaku busuk."   Dengan terharu Coe Tiang Leng membangunkan Boe Kie. Ia melongok keluar jendela dan kemudian melompat ke atas genting untuk menyelidiki kalau2 ada musuh yang bersembunyi. Sesudah itu, barulah ia kembali ke kamar buku dan bicara bisik2.   "Kau hanya boleh mendengar apa yang dikatakan olehku, tapi tidak boleh mengajukan pertanyaan, sebab tembok ada kupingnya."   Boe Kie mengangguk. "Kemarin Yauw Jie-tee pulang dengan membawa seorang lain,"   Bisik orangtua itu.   "Orang itu she Cia bernama Soen, bergelar Kim-mo Say ong"   Boe Kie terkesiap, badannya bergemetaran. "Cia tayhiap intu adalah saudara angkat Thio In-kong,"   Coe Tiang Leng melanjutkan penuturannya.   "Ia bermusuhan hebat dengan banyak partai dan tokoh rimba persilatan.   Bahwa Tho Inkong suami-istri sampai membunuh diri adalah karena tidak mau memberitahukan dimana tempat bersembunyinya saudara angkat itu.   Aku sendiri tak tahu, cara bagaimana Cia thayhiap akhirnya bisa pulang ke Tionggoan dan begitu kembali, ia segera mengamuk dan membinasakan banyak orang untuk membalas sakit hatinya Thio Inkong.   Tapi biar bagaimanapun gagah pun jua; satu orang tak akan bisa melawan musuh yang berjumlah besar, sehingga akhirnya ia mendapat luka berat."   "Yauw Jie-tee adalah seorang yang pintar dan berhati2.   Ia berhasil menolong Cia Thayhiap dan membawanya kemari.   Rombongan musuh terus mengejar dan menurut dugaan, tak lama lagi mereka akan datang kesini.   Kami sudah pasti tak akan bisa melawan mereka.   Tapi aku sudah mengambil keputusan untuk membalas budi dan bersedia untuk binasa dalam melindungi Cia Tayhiap.   Tapi kau sendiri tak punya sangkut paut dengan urusan ini.   Maka dari itu, perlu apa kau turut membuang jiwa? Saudara Thio hanya ini saja yang dapat kukatakan.   Sekarang masih ada tempo, kau pergilah lekas2! Begitu lekas rombongan musuh tiba, batu giok akan hancur dan kau tak akan keburu menyingkir lagi."   Boe Kie mendengar itu dengan jantung memukul keras. Ia kaget bercampur girang. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa ayah angkatnya bisa datang disitu. Tanpa merasa ia berkata. Dimana"   Coe Tiang Leng memekap mulutnya seraya berbisik. "Sit! Musuh lihay luar biasa. Sedikit saja tidak hati2, jiwa Cia Tayhiap bisa melayang. Apa kau lupa sumpahmu?"   Si bocah manggutkan kepalanya. "Saudara Thio,"   Kata pula orang tua itu.   "aku sudah bicara seterang2nya. Aku menganggap kau sebagai sahabat dan aku telah membuka rahasia hatiku. Sekarang, kau berangkatlah."   "Sesudah mendengar penuturan Coe pehpeh aku lebih2 tak akan menyingkirkan diri,"   Kata si bocah dengan suara tetap. Coe Tiang Leng menghela napas,"   Ayolah! Kita harus bertindak sekarang jg,"   Katanya Ia segera bertindak keluar pintu dengan di ikuti oleh Kioe Tin dan Boe Kie.   Coe Hoejin dan Yauw nCeng Coan sudah diluar pintu dan disamping mereka terdapat beberapa bulatan besar, seperti orang mau merantau ke tempat jauh.   Boe Kie menengok kesana sini tapi ita tak melihat ayah angkatnya.   Coe Tiang Leng segera mengeluarkan bahan api dan menyalakan obor yang lalu digunakan untuk menyulut pintu tengah.   Dalam sekejap, api merembet keatas.   Ternyata gedung yang besar itu sudah di siram dengan minyak tanah.   Semenjak dahulu diwilayah See-hek, di daerah pegunungan Thuansan dan Koen Loen, terdapat sumber sumber minyak tanah yang sering mengalir keluar bagian air mancur.   Perkampungan Coe kee chung hampir satu li panjangnya yang terdiri dari rumah rumah besar.   Tapi denga n menggunakan minyak, dalam sekejap mata, seluruh perkampungan sudah berubah menjadi lautan api.   Boe Kie mengawasi berkobarnya api dengan perasaan terharu.   "Harta yang dikumpulkan Coe Pehpeh dengan susah payah selama bertahun-tahun dalam sekejap menjadi tumpukan puing,"   Katanya didalam hati.   "Dan itu semua demi kepentingan ayah angkat. Laki laki gagah seperti Coe pehpeh sungguh sukar dicari tandingannya didalam dunia."   Malam itu Coe Tiang Leng dan istrinya, Koe Tin dan Boe Kie mengindap didalam sebuah gua.   Dengan senjata terhunus, lima orang murid yang dipercaya menjaga diluar gua, dbawah pimpinan Yauw Ceng Coan, pada hari ketiga, api kebakaran baru menjadi padam.   Untung juga musuh belum tiba.   Malam itu, Coe Tiang Leng mengajak semua orang meninggalkan gua dan masuk kedalam sebuah terowongan dibawah tanah yang sangat panjang.   Sesudah berjalan beberapa lama, mereka bertemu dengan beberapa kamar batu dimana terdapat makanan, air dan sebaginya.   Tapi hawa disitu sangat panas.   Melihat Boe Kie menyusut keringat tak henti hentinya, Kioe Tin tertawa dan bertanya.   "Adik Boe Kie, adalah kau tahu, mengapa hawa disini terlalu panas? Dapatkah kau menebak, di mana berada kita sekarang?"   Tiba2 bocah mengendus bau asap dan ia lantas saja tersadar.   "   Ah!"   Katanya.   "Kita berada dibawah Coe-kee- chung". "Kau sungguh pintar,"   Memuji si nona sambil tertawa.   Boe Kie merasa sangat kagum.   Dengan siasat bumi hangus, musuh pasti tidak akan menduga bahwa Cia Soen sebenaranya bersembunyi dibawah tempat kebakaran dan mereka tentu akan mengubar ketempat lain.   Diantara kamar2 batu itu ada sebuah yang pintunya - pintu besi ditutup rapat.   Boe Kie menduga, bahwa ayah angkatnya berada dalam kamar tersebut, tapi, biarpun sangat ingin bertemu dengan orang tua itu, ia tidak berani menanyakan atau bertindak sembarangan.   Ia mengerti, bahwa setiap tindakan yang ceroboh dapat berakibat hebat.   Setelah berdiam disitu kira kira setengah hari, hawa panas perlahan lahan mulai mereda.   Baru saja Coe Tiang Leng dan yang lain2 menggelar selimut untuk mengaso, sekonyong konyong terdengar suara tindakan kuda mendatangi dari sebelah kejauhan.   Tak lama kemudian, kuda kuda itu sudah berada diatas tempat persembunyian mereka.   "Api sudah padam lama, bangsat Coe Tiang Leng pasti sudah kabur ketempat lain dengan membawa Cia Soen,"   Demikian terdengar suara seorang.   "Ayolah, ubar!"   Sesaat kemudian, terdengar suara kaki kuda yang makin lama jadi makin jauh.   Ternyata, terowongan tersebut dan Coe kee- ching dihubungkan dengan sebatang pipa besi, sehingga setiap suara dimuka bumi bisa didengar jelas dalam lorong dibawah tanah.   Pada malam itu, lima rombongan musuh lewat diataas rombongan Koen loen-pay, kie-keng pang dan dua rombongan terdiri dari tujuh delapan sampai belasan orang dan mereka semua mencari Cia Soen dengan menggunakan perkataan perkataan yang hebat2.   "Kalau Giehoe belum buta dan tidak terluka bangsat cecurut itu tidak dipandang sebelah mata olehnya,"   Kata Boe-Kie didalam hati. Sesudah kelima rombongan itu lewat, Yauw Ceng Coau segara menyumbat lubang pipa dengan sepotong kayu, supaya suara dalam terowongan tidak sampai terdengar diatas. Sesudah itu, ia berkata dengan suara perlahan.   "Aku ingin menengok Cia Tay-hiap."   Coe Tiang Leng mengangguk dan Yauw Ceng Coan segera memutar alat rahasia dipinggir pintu besi yang perlahan lahan lantas terbuka.   Dengan membawa lampu minyak tanah, Ia masuk kedalam kamar itu.   Sesaat itu, Boe Kie tidak dapat menahan sabar lagi, ia berbangkit, menghampiri pintu dan mengawasi ke dalam.   Ia melihat seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar sedang tidur meringkuk dan muka menghadap kedalam.   Air mata si bocah lantas saja berlinang linang.   "Cia Tayhiap,"   Bisik Yauw Ceng Coan, apa kau merasa enakan? Mau minum?"   Mendadak angin menyambar dan lampu padam. Hampir berbareng terdengar suara "buk!"   Tubuh Yauw Ceng Coan terpental keluar dan jatuh dilantai. "Manusia2 dari Siauw Lim pay, Koen loen pay, Khong tong pay!"   Demikian terdengar Cia Soan.   "Mari! Mari! Apa kamu kira Kim-mo Say-eng Cie Soen takut kepadamu?"   "Celaka!"   Seru Coe Tiang Leng.   "Cit Tayhiap kapal"   Ia mendekati seraya berakata.   "Cia Tay hiap, kami adalah sahabat2, bukan musuh". Cia Soen tertawa terbahak bahak.   "Sahabat2?"   Ia menegas.   "Apa kau mau menipu aku dnegan omongan manis2?"   Ia berjalan keluar dengan tindakan lebar dan sekonyong2 menghantam dada Coe Tiang Leng telapak tangannya.   Pukulan itu disertai lweekang hebat luar biasa, sehingga lampu minyak tanah yang ditaruh ditengah2 terowongan berkedip2.   Coe Tiang Leng tidak menangkis ia mengegoa dan melompat mundur.   Setelah pukulannya melesat, Cia Soen melompat dan meninju Coe Hoejiu.   Nyonya itu tidak mengerti ilmu silat, hingga, kalau kena, jiwa pasti melayang.   Pada saat yang sangat berbahaya, Coe Tiang Leng dan putrinya melompat dan menangkis pukulan itu.   Melihat kejadian yang tidak diduga duga, Boe Kie berdiri terpaku dan mengawasi denagn mata membelalak.   Sementara itu, sambil menggeram bagaikan binatang terluka, Cia Soen menyerang dengan kedua tanganya, tapi Coe Tiang Leng tidak berani balas menyerang dan hanya berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berkelit kesana sini.   Satu waktu, karena egosan Coe Tiang Leng, pukulan Kim-mo Say ong, menghantam dinding terowongan yang dibuat daripada batu.   Begitu kena, batu besar itu hancur dan muncrat berhamburan.   Semua orang terkesiap mereka tak duga Cia Soen memiliki lweekang yg begitu dahsyat.   Kalau pukulan itu mampir di tubuh manusia, biarpun tidak mati, orang itu pasti terluka berat.   Dengan rambut terurai, sinar mata berkilat kilat dan muka berlepotan darah, Cia Soen terus menyerang seperti harimau edan dan mulutnya mengeluarkan suara ha-ha ho- ho yang membangunkan bulu roma.   Makin lama ia mengamuk makin hebat, sehingga semua orang merasa sangat berkuatir, sedang Coe Hoejin sendiri berdiri di satu sudut dengan dilindungin oleh putrinya.   Satu ketika, karena terdesak, Coe Tiang Leng mendorong sebuah meja untuk menahan terjangan si kalap.   Bagaikan kilat Cia Soen menghantam dengan kedua tinjunya.   "Prak!"   Meja itu hancur luluh.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Boe Kie bingung bukan main.   Ia berdiri dipinggir dinding dan mengawasi kejadian itu dengan mulut ternganga.   Ia kaget tercampur heran karena orang itu ternyata bukan ayah angkatnya, Kim-mo San-ong Cia Soen.   Kedua mata ayah angkatnya buta, tapi orang itu tidak kurang suatu apa.   Sekonyong-konyong, ketika Coe Tiang Leng berdiri membelakangi dinding, si kalab menghanta.   Ia tidak bisa berkelit lagi, tapi ia tetap tidak mau menangkis.   "Cia Tayhiap!"   Teriaknya.   "Aku bukan musuh, aku tak akan membalas seranganmu."   Orang itu tidak menghiraukan telapak tangannya terus menyambar ke dada Coe Tiang Leng "Buk!", badan Coe Tiang Leng bergoyang2 dan paras mukanya berubah pucat. "Cia Tayhiap apa sekarang kau sudah percaya?"   Tanyanya. "Anjing! Sambut pukulanku!"   Caci si kalap. Ia meninju.   "Uah!"   Coe Tiang Leng muntahan darah. "Kau adalah gie heng (saudara angkat) dari Thio Inkong,"   Katanya dengan suara parau.   "Biarpun mati, aku tak akan balas menyerang."   Orang itu tertawa terbahak2.   "Bagus!... bagus!"   Teriaknya bagaikan orang gila.   "Kau tidak membalas artinya ajalmu sudah sampai."   Suaranya berkata begitu kedua tangannya menyambar2 dan mengenakan dada serta perut Coe Tiang Leng.   Sesaat kemudian, sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati Coe Tiang Leng roboh terkulai.   Tapi si kalap masih belum puas.   Ia menubruk sambil mengayun tinjunya.   Pada detik yang sangat berbahaya, Boe Kie melompat dan dengan mati2 an menangkis pukulan itu.   Begitu lengannya kebentrok dengan tinju si kalap, ia merasa dadanya menyesak.   Tapi, tanpa mempedulikan bencana, ia menudin dan berteriak.   "Kau! kau bukan Cia Soen! kau bukan"   Orang itu gusar.   "Tahu apa kau, setan kecil?"   Bentaknya sambil menendang. Boe Kie mengegos dan berteriak pula. "Kau bukan Cia Soen! kau menyamar sebagai Cia Soen."   Mendengar teriakan Boe Kie, perlahan2 Cie Tiang Leng merangkak bagus.   "Kau kau bukan Cia Soen?"   Serunya dengan suara parau.   "Kau menipu aku?. Tiba2 badannya bergoyang2   "Uah!"   Mulutnya menyemburkan darah yang secara kebetulan menyambar tepat pada muka orang itu.   Hampir berbaring, tubuhnya jatuh ngusruk kedepan dan dengan menggunakan kesempatan itu, dialah dan tangannya bergerak dan jerijinya menotolk Sin hong hi at, dibawah tetek si kalap.   Sesudah terluka berat.   Coe Tiang Leng bukan tandingannya orang itu.   Tapi ia berhasil menolohg jalan darah si kalap karena totokan it yang cie itu dikirim secara diluar dugaan.   Dalam bidang ilmu totok, It yang cie tiada keduanya.   Biarpun berkepandaian tinggi, orang itu tidak berdaya lagi.   Sambil menggeram, ia terguling Coe Tiang Leng segera mengirim dua totokan susulan, tapi sesudah itu, ia sendiri roboh tanpa ingat orang lagi.   Coe Kioe Tin dan Boe Kie buru2 mendekati dan mengangkat tubuh orang tua itu.   Selang beberapa saat, perlahan-lahan Coe Tiang Leng tersadar.   Ia mengawasi Boe Kie dan berkata dengan suara terputus-putus.   "Apa apa benar dia dia bukan Cia Soan?"   "Coe Pehpeh, sekarang aku mesti berterus terang,"   Kata si bocah.   "Orang yang dinamakan Inkong olehmu adalah ayahku sendiri, sedang Kim-mo Say-ong Cia Soen adalah ayah angkatku. Tidak! Aku tidak bisa salah mengenali."   Coe Tiang Leng menggeleng-geleng kepalanya. "Kedua mata Giehoe buta, tapi mata orang itu melek,"   Menerangkan Boe Kie.   "Mata Gie hoe buta sebelum mendarat Peng hwee to jadi kejadian itu tidak diketahui oleh siapapun dua. Orang itu menyamar sebagai Giehu, tapi ia tak tahu kenyataan tersebut."   Cie Kie Tin menarik tangannya.   "Adik Boe Kie apa benar kau puteranya tuan penolong kami?"   Tanyanya dengan suara terharu.   "Bagus! Sungguh bagus!"   Tapi orang tua itu masih tetap tidak percaya.   Karena terpaksa, Boe Kie segera menceritakan mengapa ia sampai datang digunung Koen Loen.   Yauw Ceng Coan menanyakan hal ilhwal kejadian di Boe tong yang berbuntut dengan kebinasaan kedua orang tuanya dan pertanyaan2 itu telah dijawab dengan ringkas dan terang oleh Boe Kie.   Semua orang, kecuali Coe Tiang Leng, tidak bersangsi lagi.   Hanya orang tua itu yang masih menggoyang- goyangkan kepalanya dan mengawasi muka si bocah dengan sorot mata pertanyaan.   "Kalau dia berdusta, kita akan berdosa terhadap Cia tayhiap,"   Katanya dengan suara perlahan.   Tiba2 Yauw Ceng Coan mencabut pisau belatinya dan sambil menuding mata kanan orang itu, ia membentak, "Sahabat! Kim mo Say ong Cia Soan buta kedua matanya.   Kalu kau mau menyamar sebagai dia, penyamaran itu harus mirip betul.   Biarlah hari ini aku tolong membutakan kedua matamu.   Sahabat! Aku, si orang she Yauw, telah ditipu olehmu.   Kalau saudara kecil itu tidak berada disini, bukankah secara tolol Coe Taoko akan mengantarkan jiwa?"   Sehabis berkata begitu, ia menggerakkan tangannya, sehingga ujung pisau hampir menempel dengan mata si penipu. Orang itu tertawa terbahak2.   "Jika kau mempunyai nyali, bunuhlah aku,"   Tantangnya.   "Apa kau kira Kay pay- chioe Ouw Pa manusia pengecut?" (Kay pay chioe si tangan yg bisa membelah tugu butu. "Oh!"   Kata Coe Tiang Leng dengan suara kaget.   "Kay- pay chiu Ouw Pa! Hm!...Kalau begitu kau anggota Khong tong-pay."   "Benar!"   Teriak Ouw Pa.   "Semua partai dalam dunia persilatan sudah tahu, bahwa Coe Tiang Leng mau membalas sakit hatinya Thio Coei San. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dia yang menang."   "Kau sungguh jahat!"   Bentak Yauw Ceng Coan. Ia mengangkat pisaunya dan lalu menikam ulu hati orang itu. "Jie-tee, tahan!"   Cegah Coe Tiang Leng seraya mencekal tangan adiknya.   "Kalau dia benar Cia Tayhiap, biarpun mati kita berdua masih tidak dapat menebus dosa."   "Bukankah saudara kecil ini sudah memberi keterangan yang cukup jelas?"   Kata Yauw Ceng Coan.   "Toako, jika kau terus ragu, kita tak akan bisa menghindar lagi dari bencana besar."   Tapi sang kakak menggelengkan kepalanya.   "Aku lebih suka mati dicincang ribuan golok daripada mengganggu selembar rambut saudara angkatnya Thio In Kong,"   Katanya. "Coe Pehpeh, orang itu sudah pasti bukan ayah angkatku,"   Kata Boe Kie.   "Sebagai seorang yang bergelar Kim-mo Say-ong (Raja singa bulu emas), rambut Giehoe berwarna kuning. Tapi orang itu berambut hitam."   Sesudah berpikir beberapa saat, Coe Tiang Leng manggutkan kepalanya. Ia menuntun tangan Boe Kie seraya berkata.   "Saudara kecil, ikut aku."   Mereka keluar dari kamar batu, keluar dari terowongan dan kemudian pergi ke bawah sebuah tebing, di belakang tanjakan. Dengan duduk di samping Boe Kie di atas sebuah batu besar, Coe Tiang Leng berkata.   "Saudara kecil, kalau orang itu bukan Cia Tayhiap, kita mesti segera membinasakan dia. Tapi sebelum turun tangan, perasaan raguku harus dihilangkan lebih dulu. Bagaimana pendapatmu? Apakah pendirianku benar atau salah."   "Sikap itu adalah karena Coe Pehpeh menghormati ayah dan Giehoe,"   Kata Boe Kie.   "Tapi orang itu sudah pasti bukan Giehoe. Coe Pehpeh, kau boleh tidak ragu lagi."   Orang tua itu menghela napas.   "Naik,"   Katanya.   "Di waktu masih muda, aku seringkali diperdayai orang. Hari ini aku tidak mau balas menyerang sehingga aku mendapat luka berat. Hal itu terjadi sebab aku salah menilai orang. Salah boleh sekali, tetapi tidak boleh sampai dua kali. Urusan ini adalah urusan besar. Soal mati atau hidupku tak menjadi soal. Biar bagaimanapun juga, aku harus melindungi keselamatanmu dan keselamatan Cia Tayhiap, supaya hatiku lega. Akan tetapi, aku tak berani membuka mulut."   Bukan main terharunya Boe Kie.   "Coe Pehpeh, demi kepentingan ayah dan Giehoe, kau sudah membakar rumah dan harta benda sendiri,"   Katanya.   "Bukan saja begitu, tapi Coe Pehpeh sendiripun sampai mendapat luka berat. Apakah aku masih harus meragukan kejujuranmu. Mengenai keadaan Giehoe, biarpun Pehpeh tak menanyakan aku sendiri memang ingin memberitahukan bagaimana kedua orang tuaku bersama Cia Soen telah diombang-ambingkan ombak sehingga mendarat di pulau Peng hwee-to, bagaimana mereka berdiam di pulau itu selama sepuluh tahun dan bagaimana kedua orang tuaku dan Cia Soen mengangkat saudara. Tentu saja sebagian kejadian itu tidak dialami olehku sendiri dan aku mendengarnya dari kedua orang tuaku."   Coe Tiang Leng adalah seorang yang berpengalaman dan berhati-hati. Ia tidak mudah percaya cerita orang. Tapi sesudah mendengar penuturan Boe Kie, ia tidak ragu lagi. Sesudah membuang napas lega, ia mendongak dan berkata dengan suara bersyukur.   "Inkong! Inkong! Sebagai roh yang angker, kau tentu mengetahui semua perasaanku. Selama aku, Coe Tiang Leng, masih hidup, aku pasti akan memelihara dan mendidik saudara Boe Kie sampai menjadi orang. Tapi musuh terlalu banyak. Maka itu, aku mohon Inkong melindungi."   Setelah berkata begitu, ia berlutut dan manggutkan kepala berulang-ulang. Bukan main sedihnya Boe Kie, ia bersedih dan berterima kasih dan segera berlutut di samping orang tua itu. Sesudah bangkit, Coe Tiang Leng berkata,"   Sekarang aku tak ragu lagi.   Hai ! Koen loen pay!...Siauw lim pay!...semua berjumlah besar.   Saudara kecil, sebenarnya aku ingin mempertaruhkan jiwaku untuk memberikan perlawanan guna membinasakan musuh-musuh itu untuk membalas budinya Inkong.   Tapi sekarang keadaan berubah.   Menurut pendapatku, tugas untuk memelihara anak yatim piatu adalah lebih penting daripada membalas sakit hati.   Hal yang sekarang dipikirkan olehku adalah mencari tempat untuk menyembunyikan diri.   Tempat ini sudah cukup jauh dari dunia pergaulan tapi musuh-musuh kita masih bisa datang sampai ke sini.   Di manadi manakah kita bisa mencari tempat yang lebih aman?"   Ia diam sejenak dan kemudian berkata pula.   "Cia Tayhiap berdiam seorang diri di pulau Peng hwee-to. Selama beberapa tahun ia tentu merasa sangat kesepian. Hai! Cia Tayhiap begitu menyintai Inkong. Aku hanya berharap, bahwa suatu waktu aku akan bisa bertemu muka dengan dia. Kalau harapan ini bisa terwujud biarpun mati, aku akan mati dengan rela."   Boe Kie, jadi lebih berduka. Tiba-tiba dalam otaknya terlintas ingatan dan ia segera berkata.   "Coe Pehpeh, apakah tidak baik kita beramai-ramai pergi ke Peng hwee- to? Selama di pulau itu, aku hidup bahagia. Tapi begitu pulang ke Tiong-goan, semua lantas saja berubah. Apa yang disaksikan dan dialami olehku adalah pembunuhan- pembunuhan dan peristiwa-peristiwa berdarah."   Coe Tiang Leng menatap wajah si bocah.   "Saudara kecil, apa benar kau ingin kembali ke Peng hwee-to?"   Tanyanya.   Ditanya begitu Boe Kie tidak segera menjawab, karena tiba-tiba saja ia ragu.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ia ingat bahwa ia bakal mati dalam waktu yang tak terlalu lama.   Ia ingat pula, bahwa perjalanan ke Peng hwee-to penuh bahaya sehingga belum tentu mereka bisa mencapai jarak tersebut.   "Tidak pantas aku menyeret-nyeret seluruh keluarga Coe Pehpeh ke jalanan yang penuh bahaya,"   Pikirnya. Melihat keraguan itu, Coe Tiang Leng segera saja berkata seraya mengusap-usap kepala Boe Kie.   "Saudara kecil, kau dan aku bukan orang luar. Kau harus memberitahukan apa yang dipikir olehmu sejujur-jujurnya. Apakah kau berniat kembali ke Peng hwee-to?"   Ia berkata begitu dengan suara sungguh-sungguh, dengan nada memohon.   Karena pengalaman pahit getir, di dalam hatinya, Boe Kie sudah merasa sangat sebal untuk berkelana lebih lama dalam dunia Kang-ouw yang kejam dan berbahaya.   Kalau sebelum mati ia bisa bertemu muka lagi dengan ayah angkatnya, kalau ia bisa mati dalam pelukan Giehoe itu, ia sungguh merasa sangat beruntung.   Berpikir begitu, perlahan-lahan ia manggutkan kepalanya.   Coe Tiang Leng tidak bicara lagi dan dengan menuntun tangan si bocah, ia kembali ke kamar batu.   Begitu bertemu dengan Yauw Ceng Coan, ia berkata.   "Sekarang tidak usah diragukan lagi bahwa orang itu manusia jahat."   Yauw Ceng Coan mengangguk dan dengan memegang pisau, ia segera masuk ke dalam kamar rahasia.   Sesaat kemudian, dalam kamar terdengar teriakan yang menyayat hati dan waktu Yauw Ceng Coan keluar lagi, pisau yang dipegangnya berlumuran darah.   "Tempat persembunyian kita ini sudah diketahui musuh dan kita tak dapat tinggal lebih lama lagi,"   Kata Coe Tiang Leng.   Semua orang segera meninggalkan terowongan dan sesudah berjalan duapuluh li lebih, sesudah melewati dua puncak gunung, tibalah mereka di sebuah lembah.   Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka bertemu sebuah pohon kwi yang sangat besar dan di bawah pohon berdiri empat lima rumah kecil.   Waktu itu fajar sudah mulai menyingsing.   Semua orang lantas saja masuk ke dalam sebuah rumah di mana terdapat cangkul, luku golok dan alat-alat pertanian lain.   Di samping itu, di dalam rumah tersebut juga terdapat dapur dengan perabot masak yang serba lengkap serta bahan makanan yang tidak sedikit.   Boe Kie segera mengerti, bahwa untuk menjaga kedatangan musuh-musuhnya Coe Tiang Leng sudah membuat dan melengkapi rumah itu, sebagai persiapan kalau-kalau ia perlu menyingkirkan diri.   Begitu tiba, orang tua itu yang mendapat luka berat segera rebah di ranjang untuk mengaso, sedang Coe Hoe Jin mengeluarkan pakaian sepatu dan ikat kepala petani dari dalam peti pakaian lalu membagikannya kepada semua orang.   Dalam sekejap anggota-anggota keluarga yang kaya raya itu sudah mengenakan pakaian petani yang kasar.   Setelah berdiam beberapa hari berkat obat turunan yang sangat mujarab, kesehatan Coe Tiang Leng mendapat kemajuan yang sangat pesat.   Untung musuh tidak mengejar sampai di situ, sehingga mereka bisa hidup dengan tenteram.   Mereka mempersiapkan barang-barang untuk melakukan perjalanan jauh.   Boe Kie mengerti bahwa persiapan itu adalah untuk pergi ke pulau Peng hwee-to guna membalas budi.   Malam itu ia tak bisa tidur, pikirannya melamun, membayangkan hal-hal yang akan terjadi di pulau itu nanti.   Ia akan bisa berkumpul dengan Coe Kiu Tin, Coe Pehpeh, Yauw Jie Siok dan ayah angkatnya dengan kehidupan yang bahagia, tanpa penindasan dari penjajah Goan.   Mengingat itu semua, hatinya jadi gembira.   Sampai tengah malam, ia masih bolak-balik di atas pembaringan.   Tiba-tiba ia mencium bau wangi dan satu bayangan manusia kelihatan berkelabat, ternyata bayangan itu adalah Coe Kiu Tin, mendadak wajah Boe Kie berubah merah.   Perlahan-lahan si nona mendekati pembaringan dan berbisik.   "Adik Boe Kie, apa kau sudah tidur?"   Sesaat kemudian ia merasa mukanya diraba-raba oleh si nona yang rupanya mau menyelidiki apa ia benar-benar sudah tidur.   Boe Kie kaget bercampur girang, malu bercampur takut, tapi ia tetap pejamkan mata dan berpura-pura tidur, dan mengharap supaya Kiu Tin buru-buru keluar.   Semenjak baru bertemu, ia memuja si nona bagaikan seorang Dewi, ia sudah merasa beruntung kalau setiap hari bisa bertemu dengan gadis cantik itu.   Dalam jiwanya yang masih bersih, pemujaan itu bebas dari segala pikiran yang bukan-bukan.   Ia bahkan tidak pernah membayangkan atau memikirkan untuk mengambil nona Coe sebagai istrinya.   Maka itulah, kedatangan Kiu Tin ditengah malam buta sangat membingungkan hatinya.   "Apakah Tin-jie ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting denganku?"   Tanyanya dalam hati.   Baru saja berpikir begitu, mendadak ia merasa dadanya kesemutan karena di bagian Tiat tiong hiat telah ditotok.   Hampir berbarengan, jalan darah yang lain pada Kian tin, Sin cong, Kie tie serta Hoan tiauw hiat juga tertotok.    Pedang Wucisan Karya Chin Yung Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini