Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 36


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 36


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung   Tapi ia sama sekali belum pernah menduga bahwa kedua orang tua itu adalah Hoe Kauw Hoat Ongdari Mo Kauw.   Sementara itu Biat Coat Soethay sudah melanjutkan penuturannya.   "Menurut perhitungan, usaha enam partai untuk membasmi Kong Beng Teng pasti akan berhasil. Biarpun semua siluman bersatu padu, kita tak usah merasa khawatir. Tapi dalam pertempuran, pihak kita tentu akan menderita juga kerusakan besar. Maka itu aku berharap supaya kamu semua mempunyai tekad yang teguh untuk berkelahi mati-matian. Sedikitpun kamu tidak boleh mempunyai rasa takut, sehingga waktu menghadapi musuh, kamu menurunkan keangkeran Go Bie Pay. Semua murid Go Bie lantas saja bangun berdiri dan membungkuk, sebagai tanda bahwa mereka berjanji akan mamenuhi harapan sang guru. "Tinggi rendahnya ilmu silat seseorang tergantung kepada bakatnya dan segala apa tidak dapat dipaksakan,"   Kata Biat Coat.   "Bahwa sebelum bertempur Ceng Hian sudah binasa dalam tangannya siluman itu, tidak boleh ditertawai oleh kamu. Apakah tujuannya belajar ilmu silat? Tujuannya adalah untuk membasmi yang jahat dan menolong yang lemah. Bukankah begitu? Sekarang enam buah partai besar, yaitu Siauw Lim, Bu Tong, Go Bie, Kun Lun, Khong Tong, dan Hwa San, berusaha untuk memupus Mo Kauw. Apa kita akan hidup atau mati, sudah tidak dihiraukan lagi oleh Go Bie Pay. Ceng Hian berangkat paling dulu. Mungkin sekali korban kedua adalah gurumu sendiri.."   Semua murid Go Bie membungkuk.   Di bawah sorotan sinar rembulan yang remang-remang muka setiap orang kelihatan pucat pasi.   Biat Coat menghela napas dan kemudian berkata lagi dalam dunia ini siapakah bisa hidup abadi? Manusia mana yang bisa hidup terus menerus? Apa yang diharapkan ialah biarlah sesudah mati, kita masih mempunyai turunan, anak cucu kita masih hidup terus.   Maka itu, kekuatiran kamu semua mati dan hanya aku si tua yang hidup terus, hidup sebatang kara, hidup kesepian dalam dunia ini "Huh-huh!...   Tapi kalau sampai terjadi begitu akupun harus menerimanya dengan rela.   Bukankah pada seratus tahun yang lalu, di dalam dunia tidak terdapat partai yang dinamakan Go Bie Pay? Asal saja kita berkelahi secara gagah, biarpun mesti terbasmi seanteronya, kita tidak usah merasa menyesal."   Mendengar perkataan sang guru, darah semua murid Go Bie bergolak-golak. Dengan serentak mereka menghunus senjata dan berteriak.   "Kami bersumpah akan berkelahi mati-matian!"   Biat Coat tertawa tawar.   "Bagus! Kamu mengasolah,"   Katanya.   Mendengar itu semua Boe Kie merasa kagum.   Sebagian besar murid Go Bie Pay adalah wanita, tapi dalam menghadapi bahaya, mereka tidak menunjukkan rasa keder sedikitpun jua.   Didengar dari pembicaraan Biat Coat Soethay, kekuatan Mo Kauw bukan main besarnya.   Perkataan itu sebenarnya sudah harus diucapkan si Ni Kouw tua pada waktu mereka mau berangkat ke See Hek.   Akan tetapi, pada waktu itu, mungkin ia tidak menduga, bahwa sesudah terbit perpecahan, dalam menghadapi musuh dari luar, Mo Kauw masih bisa bersatu padu.   Munculnya Ceng Ek Hok Ong telah membuktikan adanya kerja sama dalam kalangan Mo Kauw.   Sesudah berdiam beberapa saat, Biat Coat berkata pula.   "kalau Ceng Ek Hok Ong datang, Peh Bie Eng Ong, dan Kim Mo Say Ong dan mungkin akan datang juga.   Cie San Liong Ong dan kelima Ciang Kie Soe pun bisa turut datang.   Menurut rencana semula, paling dulu keenam partai besar akan membinasakan Kong Beng Soe Cia Yo Siauw dan susudah itu, barulah kita membasmi siluman-siluman lainnya.   Tak dinyana, hitung-hitungan Sin Kie Sianseng dari Hwa San Pay kali ini melesat jauh.   Haha!...   Semua salah." (Cie San Liong Ong Rajawali baju ungu) "Apakah Cie San Liong Ong siluman jahat?"   Tanya Ceng Hie. Sang guru menggelengkan kepala.   "Entahlah, akupun hanya mengenal nama,"   Jawabnya.   "Sepanjang keterangan, sesudah gagal menduduki kursi Kauw Coe, dia pergi ke luar lautan dan memetuskannya hubungan dengan Mo Kauw. Alangkah baiknya bagi pihak kita, bila dia masih mempertahankan sikapnya itu. Diantara keempat raja dalam kalangan Mo Kauw, ia menduduki tempat yang paling tinggi, sehingga dengan sendirinya, dia merupakan musuh yang berat. Dalam Mo Kauw terdapat dua orang Kong Beng Soe Cia, disamping Yo Siauw masih ada seorang Su Cia lainnya. Semenjak dahulu, ada Kong Beng Soe Cia kiri dan Kong Beng Soe Cia kanan dan kedudukan kedua orang lebih tinggi daripada keempat Hu Kauw Hoat Ong. Yo Siauw adalah Kong Beng Coe Soe (Kong Beng Soe Cia kiri) tapi she dan nama Kong Beng Yo Soe (Kong Beng Soe Cia kanan) tak pernah dilihat siapa jua. Kong Bun dari Siauw Lim Pay dan Song Wan Kiauw Song Tayhiap adalah orang-orang yang berpengelaman sangat luas. Tapi merekapun tak tahu siapa adanya Kong Beng Yo Soe itu. Sekarang tujuan kita adalah menyerang Yo Siauw. Dalam pertempuran berhadapan, sepala apa akan diputuskan oleh kepandaian ilmu silat dari kedua belah pihak. Yang sangat dikuatirkan olehku ialah waktu kita menghajar Yo Siauw, diam-diam Kong Beng Yo Soe melepaskan anak panah gelap. Murid-murid Go Bie mendengar penjelasan itu dengan hati berdebar-debar, bahkan beberapa diantaranya menengok ke belakang, seolah-olah mereka kuatir Cie San Liong Ong dan Kong Beng Yo Soe menyerang dengan mendadak. "Yo Siauw telah mencelakakan Ki Siauw Hu, Wi It Siauw telah membinasakan Ceng Hian,"   Kata pula Biat Coat dengan suara menyeramkan.   "Permusuhan antara Go Bie Pay dan Mo Kauw adalah permusuhan yang sangat mendalam.   Go Bie dan Mo Kauw tidak dapat berdiri bersama-sama dalam dunia ini.   Murid mana yang akan menjadi ahli waris Go Bie Pay akan diputuskan dalam pertempuran yang akan datang.   Andaikata ada seorang murid lelaki yang tanpa menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, secara kebetulan bisa membinasakan salah satu Hu Kauw Hoat Ong, maka aku aku bersedia untuk melanggar kebiasaan kita yang sudah berjalan hampir seratus tahun lamanya "   Kedua mata Biat Coat mengawasi ke tempat jauh. "Semenjak Kwee Couwsu yang mendirikan partai kita. Ciang Boin dari Go Bie Pay selalu dipegang oleh seorang wanita."   Katanya pula dengan suara perlahan.   "Jangankan laki-laki, sedang wanita yang sudah menikahpun tidak dapat menjadi Ciang Cun Jin. Akan tetapi, pada waktu partai menghadapi bahaya besar, aku tidak dapat mengkukuhi lagi kebiasaan lama. Sekarang siapa saja, tak perduli lelaki atau perempuan, yang berjalan besar akan menjadi ahli waris partai kita."   Semua murid Go Bie menundukkan kepala.   Tak seorangpun membuka mulut.   Di dalam hati mereka merasa sangat tidak enak, karena sang guru memberi pesan untuk di hari kemudian sehingga seolah-olah guru itu mendapat firasat, bahwa ia takkan kembali ke Tionggoan dengan bernyawa.   Tiba-tiba Biat Coat tertawa terbahak-bahak, suaranya yang nyaring menempuh jarak jauh di gurun pasir yang sunyi itu.   Semua murid Go Bie bangun bulu romanya, mereka kaget bercampur heran.   "Tidurlah!"   Bentak Biat Coat seraya mengibas tangan jubahnya. Seperti biasa, Ceng Hie segera mengatur penjaga malam. "Tak usah,"   Kata sang guru.   Ceng Hie terkejut, tapi ia tidak berani membantah.   Mentang-mentang, juga jaga malam tiada gunanya.   Kalau Ceng Ek Hok Ong atau orang yang sepantasnya datang menyatroni, jaga malam atau tidak jaga malam tidak berdaya.   Malam itu lewat tanpa sesuatu yang luar biasa dan pada keesokan paginya, rombongan Go Bie meneruskan perjalanan.   Kira-kira tengah hari mereka sudah melalui seratus li lebih.   Langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang gilang gemilang sehingga biarpun waktu itu sudah musim dingin, orang-orang Go Bie merasakan hawa yang hangat.   Selagi enak berjalan, di jalan barat laut tiba-tiba terdengar suara bentrokan senjata.   Tanpa menunggu perintah Ceng Hie, semua orang segera mempercepat tindakan, menuju ke arah suara itu.   Tak lama kemudian, lapat-lapat mereka melihat bayangan beberapa orang yang sedang bertempur.   Sesudah datang lebih dekat, mereka mendapat kenyataan, bahwa tiga orang Toojin (imam) yang memegang senjata-senjata aneh tengah mengepung seorang lelaki setengah tua.   Ketiga Toojin itu mengenakan jubah panjang warna putih dan pada tangan jubah sebelah kiri terdapat sulaman obor yang berwarna merah sehingga dengan demikian, dia adalah orang Mo Kauw.   Lelaki sedang dikepung bersenjatakan pedang panjang dan meskipun satu melawan tiga, dia tak jatuh di bawah angina.   Waktu itu Boe Kie sudah sembuh, tapi dia tetap berlagak belum bisa jalan dan terus duduk di kereta salju.   Dengan rasa kagum, ia mengawasi.   Sambil membentak keras, orang itu memutar badan dan pedangnya menyambar tepat di dada salah seorang Toojin.   Para murid Go Bie bersorak sorai.   Diantara sorakan, Boe Kie pun mengeluarkan seruan tertahan, sebab ia mengenali, bahwa tikaman itu adalah Sun Siu Tiu Couw (dengan menuruti aliran sungai mendorong perahu), suatu pukulan dahsyat dari Bu Tong Kiam Hoat, dan bahwa lelaki setengah tua itu bukan lain daripada Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.   Rombongan Boe Kie terus menonton tanpa memberi bantuan.   Melihat datangnya bantuan dan sesudah seorang kawannya roboh, kedua Toojin yang masih mengepung jadi ciut nyalinya.   Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, sambil berteriak keras mereka lari berpencaran.   Satu ke selatan dan satu ke utara.   In Lie Heng menguber musuh yang lari ke selatan dan sebab ia larinya lebih cepat, dalam sekejab ia sudah bisa menyusul dan menghantam punggung Toojin itu dengan telapak tangannya.   Si Toojin memutar badan dan melawan dengan nekat.   Dilihat cara berkelahinya yang tak memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia nampaknya bertujuan binasa bersama-sama.   Sementara itu, toojin yang kabur ke jurusan utara makin lama jadi makin jauh.   Untuk merobohkan musuhnya yang berkelahi bagaikan harimau edan, In Lie Heng masih memerlukan waktu, sehingga biar bagaimanapun jua, ia takkan bisa menyusul toojin yang lari ke utara itu.   Murid-murid Go Bie yang sangat membenci orang-orang Mo Kauw, mengawasi Ceng Hie dengan harapan kakak seperguruan itu akan memberi perintgah supaya mereka memberi bantuan.   Beberapa murid wanita yang bersahabat dengan Ki Siauw Hu mengetahui, bahwa In Lie Heng bekas tunangan Nona Ki.   Setelah Ki Siauw Hu binasa karena gara-gara perebutan Kong Beng Soe Cia Yo Siauw, mereka lebih bersimpati kepada Bu Tong Liok Hiap.   Tapi Ceng Hie bersangsi.   Dalam rimba persilatan Bu Tong Liok Hiap mempunyai kedudukan tinggi.   Setiap bantuan yang diberikan kepadanya tanpa diminta, berarti melanggar tata kehormatan.   Maka itu, setelah memikir sejenak, ia mengambil keputusan untuk tidak membantu.   Ia lebih suka siluman itu meloloskan diri daripada melakukan perbuatan tidak pantas terhadap In Liok Hiap.   Sesaat itu, sekonyong-konyong diangkasa berkelabat sehelai sinar hijau, sinar pedang yang terbang dari tangan In Lie Heng.   Dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, senjata itu menyambar punggung Toojin yang sedang kabur.   Si toojin sendiri bukan tidak tahu, bahwa punggungnya tengah disambar pedang, tapi sebab cepatnya senjata itu, ia tidak keburu berkelit, sehingga dilain detik, ulu hatinya sudah menjadi toblos.   Tapi dia masih lari terus dan sesudah lari lagi sejauh dua tombak, barulah ia roboh binasa.   Dan pedang itu sendiri, sesudah menembus ulu hati si Toojin, masih terbang kurang lebih tiga tombak, kemudian menancap di pasir! Demikian lihainya Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.   Semua murid Go Bie mengawasi kejadian itu dengan mata membelalak dan mulut ternganga.   Mereka tak dapat mengeluarkan suara.   Waktu semua mata ditujukan lagi ke galanggang pertempuran, Toojin yang barusan berkelahi nekat-nekatan sekarang bergoyang-goyang badannya, seperti orang mabuk.   In Lie Heng tidak memperdulikannya lagi dan dengan tenang berjalan ke arah rombongan Go Bie.   Baru ia berjalan beberapa tindak, Toojin bekas lawannya sudah roboh binasa.   Sekarang barulah murid-murid Go Bie bersorak-sorai, bahkan BIAT COAT SOETHAY sendiri manggut-manggutkan kepalanya sebagai tanda memberi pujian.   Dilain saat paras muka si nenek kelihatan berduka dan ia menghela nafas.   Ia mengiri bahwa Bu Tong mempunyai murid-murid yang berkepandaian tinggi, sedang dalam Go Bie Pay, tak satupun yang memuaskan hati.   Sesaat itu, ia ingat Ki Siauw Hu yang bernasib malang dan tidak bisa menikah dengan pria yang segagah Lie Heng.   Mengingat murid itu, ia jadi lebih sakit hati terhadap Mo Kauw yang sudah mencelakai Noan Ki.   (dalam alam pikir Biat Coat, Ki Siauw Hu dibinasakan oleh Yo Siauw dan bukan olehnya sendiri) Bibir Boe Kie sudah bergerak untuk memanggil "Liok Susiok", tapi bibir itu rapat kembali.   Diantara paman- pamannya, In Lie Heng-lah yang paling erat hubungannya dengan mendiang ayahnya dan selama ia berada di Bu Tong San, paman keenam itu selalu memperlakuinya dengan penuh kecintaan.   Dengan hati berdebar-debar, ia mengawasi paman itu yang tak pernah dilihatnya selama delapan tahun.   Ia mendapat kenyataan, bahwa Lie Heng sudah kelihatan banyak lebih tua, sedang rambut di kedua pelipisnya sudah dauk.   Mungkin sekali kebinasaan Ki Siauw Hu sudah memberi pukulan hebat kepadanya.   Di dalam hati, Boe Kie ingin sekali melompat dan memeluk orang yang dicintainya itu.   Akan tetapi sebisa-bisa ia menahan hati, karena ia merasa bahwa jika ia berbuat begitu, ia bakal menghadapi banyak kejadian yang tidak enak.   Sementara itu In Lie Heng sudah menghampiri BIAT COAT SOETHAY dan seraya memberi hormat, ia berkata.   "Dengan memimpin saudara-saudara seperguruan dan murid-murid turunan ketiga, yang semuanya berjumlah tiga puluh dua orang, Toa Suheng boanpwee sudah tiba di tepi It Sian Hiap.   Atas titah Toasuheng Boanpwee datang kemari untuk menyambut kalian."   "Bagus!"   Kata Biat Coat.   "Ternyata rombongan Bu Tong Pay yang datang lebih dulu. Apakah kalian sudah bertempur dengan pihak siluman?"   "Sudah tiga kali kami kebentrok dengan rombongan dua bendera. Bendera Bok dan Bendera Hwee,"   Jawabnya. "Kami berhasil membinasakan beberapa siluman, tapi Citsutee Boh Seng Kok juga terluka."   Biat Coat mengangguk, ia mengerti, bahwa meskipun Lie Heng menjawab dengan tenang, ketiga pertempuran itu tentulah pertempuran sangat hebat.   Ia pun mendapat kenyataan, bahwa pihak musuh lihai sekali.   Lima pendekar Bu Tong yang berkepandaian tinggi ternyata masih belum bisa mengambil jiwanya Ciang Kie Soe dan malah Cit Hiap Boh Seng Kok mendapat luka.   "Apakah kalian pernah menyelidiki kekuatan Kong Beng Teng?"   Tanya pula Biat Coat."   "Sepanjang pendengara, Peh Bie Kauw, Kiu Tok Hwee dan lain-lain cabang Mo Kauw datang membantu,"   Jawabnya.   "Kata orang, Cie San Liong Ong dan Ceng Ek Hok Ong juga datang kemari."   Biat Coat terkejut.   "Cie San Liong Ong juga datang?"   Ia menegas.   Sambil bicara, mereka berjalan dengan perlahan, diikuti dari kejauhan oleh murid-murid Go Bie.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sesudah beromong-omong kira-kira setengah jam, Lie Heng mengangkat kedua tangannya untuk berpamitan dengan mengatakan bahwa ia harus berhubungan dengan Hwa San Pay.   "In Liok Hiap,"   Kata Ceng Hie.   "Sesudah berjalan jauh, kau mestinya sudah lapar. Lebih baik makan dulu."   In Lie Heng tidak berlaku sungkan.   "Terima kasih, baiklah."   Katanya sambil mengangguk.   Murid-murid wanita Go Bie lantas saja mengeluarkan makanan kering.   Beberapa diantaranya membuat dapur, menyalakan api, dan memasak air.   Makanan mereka sendiri sangat sederhana, tetapi kepada In Lie Heng, mereka ingin menyediakan santapan yang sebaik-baiknya.   Semua kecintaan itu telah diunjuk sebab mereka ingat Ki Siauw Hu yang telah tiada lagi di alam dunia.   In Lie Heng pun mengerti apa yang dipikir oleh mereka.   Dengan mata merah dan suara terharu, ia berkata.   "Terima kasih atas kebaikan Suci dan Soemoay."   Sekonyong-konyong Coe Jie berkata.   "In Liok Hiap, aku ingin mencari keterangan mengenai seseorang. Apa boleh?"   Dengan tangan memegang semangkok mie kuah, In Lie Heng menengok ke arah si nona dan berkata dengan suara manis.   "Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama yang mulia dari Siauw Soemoay? Hal apa yang mau ditanyakannya? Asal saja aku tahu, aku tentu akan memberitahukan."   "Aku bukan orang Go Bie Pay,"   Jawabnya.   "Aku malah lawan mereka dan telah ditangkap oleh mereka. Sekarang aku menjadi tawanan Nikouw tua itu."   Mendengar jawaban itu, In Lie Heng yang semula menduga bahwa si nona adalah murid Go Bie Pay, jadi tercengang. Tapi karena nona itu sangat polos dan berterus terang, ia jadi merasa suka kepadanya.   "Apa kau anggota Mo Kauw?"   Tanyanya. "Juga bukan!"   Jawab Coe Jie.   "Aku malah musuh Mo Kauw."   In Lie Heng jadi bingung, tapi ia tak punya tempo untuk bicara panjang-panjang. Sebagai penghargaan terhadap pihak tuan rumah, ia mengawasi Ceng Hie dengan sorot mata menanya. "keterangan apa yang kau ingin dapat dari In Liok Hiap?"   Kata Ceng Hie. "Pertanyaanku adalah ini. Apakah suhengmu Thio Cui San Thio NgoHiap juga datang di It Sian Hiap?"   Kata Coe Jie. "Perlu apa kau menanya begitu?"   Menegas In Lie Heng. Paras muka Coe Jie bersemu merah.   "Aku ingin mencari tahu, apakah putera Thio Ngohiap yang bernama Boe Kie juga datang kemari,"   Katanya dengan suara perlahan. Boe Kie terkejut.   "Apa Coe Jie sudah tahu siapa adanya aku?"   Tanyanya didalam hati. "Apa kau bicara sungguh-sungguh?"   Tanya pula In Lie Heng. "Sungguh-sungguh,"   Jawabnya.   "Aku tidak berani main- main terhadap In Liok Hiap."   "Sudah sepuluh tahun NgoKo meninggal dunia,"   Kata Lie Heng dengan suara perlahan.   "Apa benar nona tak tahu?"   Coe Jie melompat bangun.   "Ah!"   Serunya.   "Thio Ngohiap sudah meninggal dunia! Kalau begitu, diadia sudah yatim piatu."   "Apakah nona mengenal keponakanku Boe Kie?"   Tanya In Lie Heng."   "Lima tahun berselang, di rumah Tiap Kok Ie Sian Ouw Ceng Goe, aku pernah bertemu dengannya,"   Jawab si nona. "Tapi sekarang aku tak tahu dimana ia berada."   "Atas titah Soehoe, akupun pernah datang di Ouw Tiap Kok untuk menemui Boe Kie."   Kata pula In Lie Heng."   Akan tetapi, suami isteri Ouw Ceng Goe telah dibinasakan orang dan Boe Kie tak ketahuan kemana perginya.   Lama juga aku menyelidiki tanpa berhasil.   Belakangan hai! Tak dinyana tak dinyana..   Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sedang paras mukanya berubah sedih.   "Ada apa?"   Tanya si nona tergesa-gesa.   "Apa yang didengar olehmu?"   Dengan rasa heran, In Liok Hiap menatap wajah Coe Jie.   "Nona,"   Katanya.   "Mengapa kau menaruh perhatian begitu besar? Apakah keponakanmu sahabat atau musuhmu?"   Coe Jie mengawasi ke tempat jauh. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan.   "Aku telah mengajak dia pergi ke pulau Leng Coa To.."   "Leng Coa To?"   Memutus Lie Heng.   "Pernah apa nona kepada Gin Yap Sianseng dan Kim Hoa Popo?"   Si nona tidak menjawab. Ia terus melamu dan bagaikan seorang linglun, ia berkata pula pada dirinya sendiri.   "Dia bukan saja menolak, tapi juga memukul, mencaci dan bahkan menggigit tanganku, hingga darahku mengucur..."   Seraya berkata begitu, telapak tangan kirinya mengusap- usap belakang tangan kanannya tapi tapi..   kutetap tak dapat melupakannya.   Aku bukan mau mencelakai dia, aku ingin bisa mengajak dia ke Leng Coa To supaya dia bisa menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Popo.   Aku ingin berusaha untuk mengusir racun dingin Hian Beng Sin Ciang yang mengeram dalam tubuhnya.   Tapi dia garang luar biasa.   Dia menganggap maksudku yang begini baik sebagai niatan jahat.   Boe Kie kaget tak kepalang.   Baru sekarang ia tahu, bahwa Coe Jie adalah A-Iee yang pernah mencekal lengannya dalam pertemuan di Ouwtiap kok.   Baru sekarang ia tahu bahwa kecintaan yang tidak dapat dilupakan oleh si nona adalah dirinya sendiri.   Ia mengawasi muka Coe Jie.   Pada roman yang jelek itu sudah tak ada bekas-bekas dari kecantikan yang dulu.   Tapi waktu melihat sinar mata si nona, lapat-lapat ia ingat sinar mata A-Iee.   "Kalau begitu dia murid Kim hoa Popo", kata Biat coat Soethay dengan suara dingin.   "Kim hoa Popo pun bukan seorang dari partai lurus bersih. Tapi sekarang kita tak boleh menanam terlalu banyak permusuhan dan untuk sementara waktu, kita tahan saja padanya. "Nona,"   Kata Lie Heng.   "Terhadap keponakanku, kau ternyata mempunyai maksud baik. Hanya sayang dia tipis rejeki. Beberapa hari berselang, aku telah bertemu dengan Sianseng Ho Thay Ciong, Ciang boen jin dari Koen loen pay. Dari orang tua itu, aku mendapat tahu, bahwa pada empat tahun berselang, karena terpeleset Boe Kie telah jatuh ke jurang yang dalamnya berlaksa tombak. Hai! Kecintaan antara aku dan mendiang ayahnya bagaikan kecintaan antara tangan dan kaki. Di luar dugaan, langit tidak melindungi orang yang baik"   "Bruk!"   Coe Jie jatuh terjengkang.   Buru-buru Coe Cie Jiak membangunkannya dan sesudah mengurut dadanya beberapa saat, barulah si nona tersadar.   Bukan main sedihnya Boe Kie.   In Lie Heng dan Cioe Jie sudah begitu berduka karena mencintainya, tapi ia sendiri harus berlaku begitu tega dan tidak mau memperkenalkan dirinya.   Pada saat itu, tiba-tiba beberapa tetes air mata jatuh di belakang tangannya.   Ia mengangkat kepala dan mendapat kenyataan, bahwa orang yang menangis adalah Cioe Cie Jiak.   Dengan hati tersayat, ia ingat kejadian di tengah sungai Han-soei.   "Dia rupanya belum melupakan pertemuan di sungai itu,"   Katanya di dalam hati. Sementara itu sambil menggertak gigi Cioe Jie bertanya.   "In Liok-hiap, apakah Boe Kie dicelakai oleh Ho Thay Ciong?"   "Bukan,"   Jawabnya.   "Sepanjang keterangan Boe Liat dari Coe-boe Lian hoan-chung telah menyaksikan dengan mata sendiri terpelesetnya dan jatuhnya keponakanku. Coe Tiang Leng, seorang ternama dalam rimba persilatan, juga turut mati bersama-sama."   Si nona menghela napas lalu berduduk. "Nona, bolehkan aku mendapat tahu she dan namamu yang mulia?"   Tanya Boe-tong Liok Hiap. Coe Jie menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia membanting diri di pasir dan menangis menggerung- gerung. "Nona, tak usah kau begitu bersedih,"   Membujuk Lie Heng.   "Andaikata keponakanku tidak mati di dalam jurang, ia juga tidak bisa terlolos dari kebinasaan karena racun dingin itu. Hai mati jatuh dengan badan remuk memang lebih baik daripada mati disiksa racun."   "Lebih cepat anak itu mati memang lebih baik,"   Celah Biat-coat.   "Kalau dia hidup terus, ia tak bisa menjadi lain daripada bibit penyakit."   "Bangsat tua! Jangan kau bicara sembarangan!"   Bentak Coe Jie. Mendengar guru mereka dicaci, murid-murid Go-bie tentu saja merasa gusar dan empat lima orang sudah segera menghunus pedang. Tapi tanpa menghiraukan ancaman itu, Coe Jie terus mencaci.   "Bangsat tua! Ayah Boe Kie adalah soeheng dari In Liok hiap. Apakah ayahnya tidak cukup baik?"   Biat coat tidak menjawab, ia hanya tersenyum dingin. "Ayahnya memang juga seorang dari partai yang lurus bersih,"   Kata Ceng hie.   "Tapi bagaimana dengan ibunya? Turunan perempuan siluman dari Mo kauw memang tidak bisa menjadi lain daripada bibit penyakit."   "Perempuan siluman dari Mo kauw?"   Menegas Coe Jie. "Siapa ibunya Boe Kie?"   Murid-murid Go bie tertawa geli.   Boe Kie merasa dadanya mau meledak.   Kalau tekadnya untuk menyembunyikan diri kurang kuat, ia tentu sudah melompat dan mencaci orang-orang itu yang menghina mendiang ibunya.   Selebar mukanya merah padam, air matanya berlinang-linang, tapi dengan sekuat tenaga ia mempertahankan diri.   Sebagai manusia yang tidak kejam, mendengar pertanyaan Coe Jie, dengan suara perlahan Ceng hie menjawab.   "Isteri Thio Ngohiap adalah anaknya In Thian Ceng dari Peh bie kauw. Dia bernama In So So"   "Ah!"   Teriak Coe Jie.   Wajahnya lantas saja berubah pucat.   "Sebab menikah dengan perempuan siluman itu, nama Thio Ngohiap menjadi hancur, hingga pada akhirnya ia membunuh diri di Boe tong san, menerangkan Ceng hie.   "Kejadian itu diketahui oleh orang sedunia.   Apakah nona tak tahu?"   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Tidak"   Jawabnya dengan mata membelalak.   "Aku berdiam di Leng coa to, kutak tahu kejadian dalam rimba persilatan di wilayah Tionggoan. Tapi, di manakah adanya In So So sekarang?"   "Dia membunuh diri bersama-sama Thio Ngohiap."   Jawabnya. Coe Jie melompat bagaikan dipagut ular.   "Jadi dia dia sudah mati?"   Teriaknya. "Kau mengenal In So So?"   Tanya Ceng hie dengan suara heran. Sesaat itu, disebelah timur laut sekonyong-konyong terlihat sinar api yang berwarna biru. "Celaka!"   Seru In Lie Heng.   "Keponakan Ceng Soe dikepung musuh."   Ia memutar badan dan memberi hormat kepada Biat coat dan yang lain lain, dan kemudian dengan tergesa-gesa lari ke jurusan sinar api itu.   Dengan sekali mengibas tangan, murid-murid Go bie segera mengikuti dari belakang In Liok hiap.   Waktu sudah datang dekat, mereka mendapat kenyataan bahwa seorang pemuda yang mengenakan pakaian sastrawan sedang dikepung oleh tiga orang.   Ketiga orang itu, yang bersenjata golok, memakai tudung dan mengenakan pakaian kacung atau pesuruh.   Sesudah menyaksikan beberapa gerakan, murid-murid Go bie merasa heran, sebab biarpun seperti pesuruh, mereka ternyata berkepandaian tinggi, lebih tinggi daripada toojin- toojin yang dirobohkan oleh In Lie Heng.   Pemuda itu, yang bersenjata pedang panjang, sudah jatuh dibawah angin, tapi pembelaannya sangat kuat, sehingga sedikitnya untuk sementara ia masih dapat mempertahankan diri.   Tak jauh dari gelanggang pertempuran berdiri 6 orang yang mengenakan jubah panjang warna kuning dengan sulaman obor merah di tangan jubah.   Itulah tanda, bahwa mereka anggota Mo kauw.   Melihat kedatangan In Lie Heng dan rombongan Go bie, seorang kate gemuk dari antara keenam penonton itu berteriak.   "In Lie Heng tee (persaudaraan), kalian gagal! Larilah! Kami akan melindungi dari belakang." "Hau-touw kie (Bendera tarah tebal) memang paling sombong!"   Teriak salah seorang dari ketiga pesuruh itu. "Orang she Gan! Kau saja yang kabur lebih dulu."   Ceng hie mengeluarkan suara di hidung.   "Kebinasaan sudah berada di atas kepalamu, tapi kau masih bertengkar dengan kawan sendiri,"   Katanya. "Soecie, siapa mereka?"   Tanya Coe Cie Jiak. "Yang mengenakan pakaian pesuruh adalah budak- budaknya In Thian Ceng,"   Jawabnya.   "Mereka bernama In Boe Hok, In Boe Lok dan In Boe Sioe."   "Budak?"   Menegas nona Cioe dengan suara heran. Tapi mengapa mengapa "   "Mereka bukan orang biasa, dulunya mereka perampok- perampok besar", menerangkan sang kakak.   "Keenam orang yang mengenakan jubah kuning adalah anggota- anggota Houw touw kie dari Mo kauw. Siluman kate gemuk itu mungkin sekali Gan Hoan, Ciang kie soe dari Houw touw kie. Menurut katanya Soehoe, kelima Ciang kie soe telah kebentrok dengan Kauwcoe Peh bie kauw sebab berebut kedudukan"   Tiba-tiba terdengar suara "brett!"   Dan tangan baju pemuda yang terkepung robek karena bacokan In Boe Sioe. Sambil bersiul nyaring In Lie Heng melompat pedangnya membabat golok In Boe Lok.   "Trang!"   Golok itu melengkung.   Dengan kaget In Boe Lok melompat mundur.   Mendadak, bagaikan kilat Coe Jie melompat dan dengan menunjuk tangan kanan, ia menotok punggung In Boe Lok.   Hampir berbareng bagaikan kilat pula, ia melompat balik ke tempat semula.   In Boe Lok berkepandaian tinggi.   Tapi sebab ia sedang kaget dan juga sebab gerakan si nona cepat luar biasa, maka totokan itu mampir tepat pada sasarannya.   Di lain saat, badannya kaku dan mukanya semu hitam.   In Boe Hok dan In Boe Sioe terkesiap.   Dengan serentak mereka mendekati Boe Lok.   Sekonyong-konyong mereka mengawasi Coe Jie dengan mata membelalak.   "Lee siocia!... teriaknya dengan suara tergugu. "Hm! Kamu masih mengenali aku?"   Kata si nona.   Semua orang yang menyaksikan itu dengan hati yang berdebar-debar.   Mereka menduga bahwa kedua orang itu akan segera menyerang Coe Jie.   Tapi diluar sangkaan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka segera memondong mayat kawannya dan lari ke jurusan utara.   Itulah perubahannya yang sungguh tak dinyana-nyana.   Dengan sekali mengibas, dalam tangan si kate gemuk sudah mencekal sehelai bendera besar yang berwarna kuning.   Perbuatan itu diturut oleh kelima kawannya sambil memutar-mutar bendera-bendera itu, perlahan-lahan mereka mundur ke arah utara.   Semua murid Go bie mengawasi dengan perasaan heran.   Mendadak dua murid lelaki melompat dan menguber dengan senjata terhunus.   Tubuh In Lie Heng berkelebat dan dalam sekejap, ia sudah melewati kedua murid Go bie itu.   Dengan sekali mendorong, kedua orang itu terhuyung ke belakang beberapa tindak dan muka mereka lantas saja berubah merah.   "Jiewie soetee, balik!"   Bentak Ceng hie.   "In Liok hiap bermaksud baik, Houw touw kie tidak boleh dikejar."   "Beberapa hari berselang, bersama Boh Cit tee aku menguber Liat-hwee-kie (Bendera api hebat),"   Menerangkan Lie Heng.   "Hampir-hampir kami celaka. Sebagian rambut dan alis Boh Cit tee terbakar."   Seraya berkata begitu, ia menggulung tangan baju kiri dan pada lengannya terlihat bekas-bekas terbakar.   Kedua murid Go- bie itu manggut-manggutkan kepala dengan perasaan jengah.   Sementara itu, sambil menatap wajah Coe Jie dengan sorot mata dingin, Biat coat Soethay bertanya.   "Cian-cee Ciat-hoe-cioe, bukan?"   "Belum sempurna,"   Jawab si nona. "Mengapa kau membunuh dia?"   Tanya pula si nenek. "Bukan urusanmu,"   Kata si gadis dengan sikap acuh tak acuh.   "Aku ingin membunuh, aku lantas membunuh."   Biat coat menggerakkan tangannya dan hampir berbareng ia sudah menyambut pedang Ceng hie.   "Cring!", Coe Jie melompat ke belakang dengan paras muka pucat. Mengapa? Karena dengan kecepatan luar biasa, dengan Ceng hie, Biat coat membabat telunjuk kanan si nona, gerakannya adalah sedemikian cepat, sehingga tak dapat dilihat nyata oleh siapapun jua. Di luar dugaan telunjuk si nona tertutup bida jari yang terbuat daripada baja murni dan karena pedang yang digunakan Biat coat bukan Lethian kam, maka senjata itu tidak dapat memutuskannya. Dengan mendongkol si nenek melontarkan senjata itu kepada Keng hie dan sambil mengeluarkan suara di hidung ia berkata.   "Kali ini kau masih mujur, di lain kali janganlah kau jatuh lagi ke dalam tanganku."   Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya sebagai ciangboenjin dari sebuah partai.   Sesudah gagal dalam serangannya terhadap seorang yang tingkatannya lebih rendah, ia sungkan menyerang untuk kedua kalinya.   Mengingat bantuan Coe Jie kepada pihaknya dan kecintaan nona itu kepada Boe Kie, In Lie Heng jadi merasa kasihan dan segera berkata.   "Sosiok, dengan tak disengaja anak itu telah mempelajari ilmu yang sesat. Kita harus memberi kesempatan supaya dia belajar pada guru yang lurus bersih. Hmm, kurasa ada baiknya jika dia berguru kepada Thie-khim sianseng". Ia menarik tangan pemuda yang tadi dikepung dan berkata pula.   "Ceng Soe, lekaslah memberi hormat kepada Soethay dan para paman."   Pemuda itu segera maju mendekati dan berlutut di hadapan Biat-coat, tapi pada waktu ia mau menjalankan peradatan besar di hadapan Ceng hie dan yang lain-lain, para murid Go bie itu menolak dan membalas hormat.   Pada waktu itu Thio Sam Hong sudah berusia lebih dari seratus tahun dan jika dihitung hitung tingkatannya lebih tinggi beberapa tingkat daripada Biat-coat.   Karena pernah bertunangan dengan Kie Siauw Hoe, maka kedudukan In Lie Heng jadi lebih rendah setingkat daripada Biat caot.   Jika sebagai pendiri Boe-tong-pay, Thio Sam Hong direndengi dengan pendiri Go bie pay, Kwee Siang, maka menurut pantas Biat coat lah yang harus memanggil "Soesiok"   Kepada In Lie Heng. Tapi sebegitu jauh Boe Tong dan Go bie tidak berani menerima panggilan dengan melihat saja usia masing-masing. Tapi meskipun begitu, murid-murid Go bie tidak berani menerima panggilan "paman"   Dari sasterawan muda itu. Sesudah menyaksikan kegagahan pemuda itu sekarang dengan perasaan kagum semua orang mengawasi paras mukanya yang tampan dan angker. "Ceng Soe adalah putera tunggal dari Toasoeko,"   In Liok-hiap memperkenalkan keponakannya. "Aha!"   Seru Ceng hie.   "Sejak beberapa lama aku memang sudah mendengar nama besarnya Giok bin Beng siang. Dalam kalangan Kangouw semua orang memuji Song Siauw-hiap sebagai seorang ksatria yang mulia hatinya. Aku merasa beruntung, bahwa di hari ini aku bisa bertemu dengannya". (Giok bin muka yang putih seperti batu pualam. Beng siang koen, seorang ksatria yang pandai pada jaman Liat kok). Semua orang mengawasi pemuda tampan itu, dengan perasaan terlebih kagum. Memang sudah lama mereka mendengar nama cemerlang dari Giok bin Beng Siang Ceng Soe. Coe Jie yang berdiri di samping Boe Kie tiba-tiba berbisik.   "A Goe dia lebih banyak tampan daripada kau". "Tentu saja perlu apa dikatakan lagi?"   Kata Boe Kie. "A Goe", kata pula si nona.   "Coba kau lihat. Nona Cioe mu sedang memandang kau tak sudah-sudahnya". Perkataan itu diucapkan sangat perlahan, tapi Cioe Cie Jiak rupanya sudah mendengar, karena ia sudah melengos. Sementara itu sesudah beromong omong beberapa saat, In Lie Heng berkata.   "Soe jie mari kita berangkat."   "Menurut rencana hari ini, kira-kira tengah hari rombongan Khong tong-pay akan tiba di sekitar tempat ini,"   Kata Ceng-soe.   "Tapi sampai sekarang mereka belum muncul. Aku kuatir terjadi sesuatu yang tidak enak."   "Ya, akupun merasa kuatir, kata sang paman.   "Kita sekarang sudah berada di daerah musuh."   "Menurut pendapatku, paling baik kita menuju ke barat bersama-sama rombongan Go bie-pay", kata pula pemuda itu. Mungkin sekali dalam jarak kira-kira lima belas li kita akan menemui musuh." "Mengapa Song Siauw hiap bisa mengatakan begitu?"   Tanya Ceng hie dengan suara heran. "Aku hanya menebak-nebak,"   Jawabnya.   Ceng hie mengetahui, bahwa ayah pemuda itu Song Wan Kiauw, bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga paham ilmu Kie boen dan ilmu perang, sehingga sebagai putra seorang berilmu pemuda itupun tentu bukan sembarangan orang.   Memikir begitu, ia tidak menanya lagi.   "Baiklah,"   Kata In Lie Heng.   "Memang paling baik jika kita jalan bersama-sama para cianpwee dari Go bie pay."   Mendengar perkataan In Lie Heng, Biat coat Soethay berkata dalam hatinya.   "Sudah kira-kira tigapuluh tahun Thio Sam Hong tidak menghiraukan lagi segala urusan dunia dan pada hakekatnya tugas Ciangboenjin Boe tong pay sudah dipikul seanteronya oleh Song Wan Kiauw. Lihat-lihat gelagatnya, kedudukan Ciangboenjin ketika dari Boe tong pay akan diduduki oleh Song Siauw hiap. Sekarang saja sang paman sudah menuruti kemauan si keponakan!"   Tapi sebenar-benarnya hal itu sudah menjadi sebab In Lie Heng bertabiat halus dan sedapat mungkin sungkan membantah kemauan orang lain.   Demikian kedua murid Boe tong lalu berjalan bersama- sama rombongan Go bie.   Sesudah melalui kurang lebih lima belas li, di depan mereka memandang sebuah bukit pasir.   Melihat Ceng Soe berlari-lari mendaki bukit itu, Ceng hie segera mengibas tangannya dan dua murid Go bie lantas saja menguber dari belakang, sehingga ketiga orang tiba di atas bukit hampir berbareng.   Dan hampir berbareng dia mengeluarkan teriakan kaget, karena di sebelah barat itu kelihatan menggeletak belasan mayat.   Mendengar teriakan mereka, semua orang segera memburu ke atas.   Mereka mendapat kenyataan, bahwa semua korban binasa sebab pukulan hebat, ada yang hancur batok kepalanya, ada yang melesak badannya dan sebagainya.   In Lie Heng yang mempunyai paling banyak pengalaman dalam dunia Kang-ouw lantas saja berkata.   "Rombongan Po yang-pang dari propinsi Kang-say termusnah seanteronya.   Mereka dihancurkan oleh Kie bok kie (Bendera balok besar) dari Mo kauw".   Biat coat mengerutkan alis.   "Mengapa Po yang-pang datang kesini?"   Tanyanya dengan suara kurang senang. "Apakah diundang oleh partaimu?"   Si nenek mendongkol sebab partai lurus bersih biasanya memandang rendah kepada berbagai golongan/perkumpulan (pang hwee) dalam dunia Kang ouw dan ia segan untuk bercampur dengan "pang pang"   Itu. "Tidak, kami tak mengundangnya", jawab Lie Heng. "Tapi Lauw Pang coe dari Po yang-pang telah diakui sebagai murid Khong tong pay. Mereka rupanya ingin membantu rumah perguruan."   Biat coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Sesudah mayat-mayat dikuburkan, seorang murid lelaki Go bie pay, she Wie, yang merasa kagum akan jitunya tebakan Song Ceng Soe, bertanya.   "Saudara Song, apakah kita bakal bertemu dengan musuh?"   Pemuda itu tidak lantas menjawab, sambil mengawasi kuburan-kuburan yang berderet-deret, ia mengasah otak.   Sekonyong-konyong, kuburan yang paling barat membuka dan seorang lelaki melompat keluar.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Bagaikan kilat dia menawan murid Go bie she Wie itu dan lalu kabur.   Semua orang terkesiap, beberapa murid wanita mengeluarkan teriakan kaget.   Di lain detik, Biat coat dan Lie Heng, Song Ceng Soe dan Ceng hie sudah menguber dengan senjata terhunus.   Selang beberapa saat, sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah murid-murid Go bie mendusin, bahwa orang itu ialah Ceng ek Hok ong.   Dengan mengenakan pakaian anggota Po yang-pang dia menambah napas dan berlagak mati.   Murid-murid Go bie yang mengubur mayat, yang tidak memeriksa dengan teliti sudah kena dikubur.   Setelah menahan korbannya, si Raja kelelawar kabur, tapi dia tak kabur terus seperti orang mengejek dia lari berputaran, membuat sebuah lingkaran.   Waktu baru mengundak, Biat Coat berempat lari dengan berendeng; tapi sesudah melalui terlihatlah tinggi rendah kepandaian mereka, dengan dua orang lebih dulu dan dua orang lebih belakang.   Biat Coat dan In Lie Heng di sebelah depan.   Ceng Hie dan Ceng Soe mengikuti dari belakang.   Tapi sesudah dua putaran, Ceng Soe makin mendekati Biat Coat dan In Lie Heng, sedangkan Ceng hie ketinggalan makin jauh.   Dari sini dapatlah dilihat, bahwa pemuda itu benar-benar lihay dan meskipun usianya masih muda, ia sudah memiliki lweekang yang tinggi.   Tapi ilmu ringan Ceng ek Hok ong tiada bandingannya dalam rimba persilatan.   biarpun mendukung manusia, ia tetap belum dapat disusul.   Sesudah dua putara, tiba-tiba Ceng Soe berhenti mengundak dan berteriak.   "Tio Leng Coe Soe siok, Oey Kio Boe Soe siok, pergilah kedudukan Lee-wie dan memotong larinya musuh! Soen Liang Tin Soesiok, Lie Beng Hee Soesiok, cegatlah musuh dari kedudukan Cina wie!..."   Bagaikan seorang panglima, ia berteriak-teriak memberi perintah kepada belasan murid Go bie untuk mencegat musuh dengan mengambil kedudukan Pat-kwa.   Orang2 Go bie yang kehilangan pimpinan, sudah menuruti semua perintah itu, yang dikeluarkan dengan suara angker.   Karena adanya pencegatan yang sangat rapat itu, Ceng ek Hok ong tidak bisa lari putaran lagi dengan leluasa.   Seraya tertawa nyaring ia melemparkan tawanannya ke tengah udara dan kemudian kabur ke tempat lain.   Biat coat melompat dan kedua tangannya menyangga tubuh muridnya yang melayang jatuh.   Di lain saat, sayup-sayup terdengar suara si Raja kelelawar.   "Hah..hah!... Di antara orang muda banyak yang lihay, dengan mempunyai murid yang lihay itu, Biat coat Loohie sungguh tidak boleh dibuat permainan."   Dengan berkata begitu, ia memuji kepandaian Song Ceng Soe.   Sementara itu Biat coat berdiri terpaku dengan muka pucat pasi.   Sebab murid yang dipeluknya ternyata sudah binasa, dengan luka bekas gigitan di lehernya.   Dengan hati berduka, tanpa mengeluarkan sepatah kata semua orang berdiri di sekitar Biat coat.   Sesudah lewat beberapa lama, In L ie Heng berkata dengan suara perlahan.   Menurut katanya orang, Ceng ek Hok ong selalu menghisap darah manusia.   Cerita itu ternyata bukan omongan kosong."   Biat coat Soethay malu, marah dan sakit hatinya.   Semenjak menjadi Ciangboenjin Go bie pay baru kali ini ia mendapat pukulan yang begitu hebat.   Dua orang muridnya dengan beruntun telah dibinasakan musuh, tanpa bisa berbuat apapun jua.   Sesudah berdiri bengong beberapa lama, ia mengawasi Ceng Soe dan bertanya.   "Bagaimana kau tahu nama murid-muridku itu?"   "Tadi Ceng hie Soesiok telah memperkenalkan mereka kepada teecoe,"   Jawabnya. "Hm.. mendengar dan tak lupa lagi!"   Kata si nenek dengan suara perlahan.   "Go bie pay mana punya orang sepandai itu?"   Malam itu, waktu mengaso dengan sikap hormat Ceng Soe menghampiri Biat coat dan berkata sambil membungkuk.   "Cianpwee, bolehkan boanpwee memohon sesuatu yang tidak pantas?"   "Kalau kau tahu tidak pantas, tak perlu kau membuka mulut,"   Kata si nenek dengan tawar. "Ya,"   Kata pemuda itu sambil bertindak mundur dan kemudian duduk di samping In Lie Heng.   Murid-murid Go bie merasa sangat heran.   Mereka tak tahu apa yang mau diminta pemuda itu.   Sebagai seorang yang berwatak sangat tidak sabaran, Teng Bin Koen segera mendekati dan bertanya.   "Saudara Song, apakah yang mau diminta olehmu?"   "Waktu mengajar ilmu pedang, ayahku pernah mengatakan bahwa pada jaman ini orang palilng lihay kiam hoatnya di dalam dunia adalah Soecouw kami, sedang yang kedua ialah Biat coat Cianpwee. Kiamhoat Boe-tong dan Go bie masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangan. Misalnya saja, pukulan Chioe hwie Ngo hian (Tangan menyapu lima kali tetabuhan) dari Boe tong hampir bersamaan dengan Ceng lo Siauw-san (Kudung tipis dan kipas kecil) dari Go bie pay. Tapi jika Chioe hwie Ngo hian dikirim dengan menggunakan tenaga yang besar maka kelincahannnya jadi berkurang dan tidak dapat menyamai Ceng lo Siauw san yang tetap bisa mempertahankan kecepatannya."   Seraya berkata begitu, ia menghunus pedang dan menjalankan kedua jurus itu. Tapi waktu menjalankan Ceng lo Siauw san, gerakannya sangat tidak sempurna. "Salah,"   Kata Teng Bin Koen sambil bersenyum dan mengambil pedang yang dicekal pemuda itu.   "Pergelangan tanganmu masih sakit dan tidak bisa mengeluarkan banyak tenaga,"   Katanya.   "Tapi kau lihatlah aku memberi contoh."   Pemuda itu mengawasi dengan penuh perhatian. Sesudah Teng Bin Koen selesai dengan jurus itu, sambil menghela napas ia berkata.   "Ayahku sering mengatakan bahwa ia merasa menyesal belum bisa menyaksikan ilmu pedang gurumu. Hari ini boanpwee merasa sangat beruntung bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan pukulan Ceng lo Siauw san dari Teng Soesiok. Sebenarnya boanpwee ingin memohon petunjuk-petunjuk Soethay mengenai beberapa hal dalam kiamhoat. Tapi karena boanpwee bukan murid Go bie, maka tak dapat boanpwee membuka mulut. Biarpun berada di tempat yang agak jauh, Biat coat sudah mendengar pembicaraan itu. Bahwa ia dianggap sebagai jago pedang nomor dua dalam dunia, sudah menggirangkan hatinya. Pada jaman itu, Thio Sam Hong dipandang sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw dalam dunia persilatan dan ia dikagumi oleh semua orang. Biat coat sendiri belum pernah mengandung maksud untuk menandingi guru besar itu, sehingga pendapat kalangan Boe-tong bahwa ia adalah ahli pedang nomor dua sudah sangat memuaskan hatinya. Melihat jurus Ceng lo Siauw san yang barusan dijalankan oleh Teng Bin Koen ia merasa mendongkol sebab jurus itu masih jauh dari sempurna. Masakah Go bie kiam hoat hanya sebegitu? Maka itu, ia segera menghampiri dan tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengambil pedang yang tengah dicekal Teng Bin Koen. Sesudah mengangkat pedang itu sampai merata dengan hidungnya, tangannya menggetar dan ujung pedang segera mengeluarkan suara "ung ung"   Dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, sembilan kali ia membulang balingkan senjata itu dengan kecepatan luar biasa.   Tapi biarpun cepat,gerakan pedang dilihat dengan nyata sekali.   Para murid Go bie mengawasi dengan mata membelalak.   "Sungguh indah", teriak In Lie Heng.   Song Ceng Soe sendiri memperhatikan setiap gerakan sambil menahan napas.   Ia kagum bercampur kaget.   Tadi dengan memberi pujian, ia sebenarnya hanya ingin menyenangkan hati si nenek.   Tapi dilluar dugaannya, niekouw tua itu benar-benar lihay dan ia merasa takluk.   Maka itu dengan setulus hati ia segera memohon beberapa petunjuk lain.   Sekarang Biat coat berlaku loyal.   Semua pertanyaan dijawab dan dijelaskan seterang-terangnya, sedang dimana perlu nenek itu bersilat untuk memberi contoh-contoh.   Semua murid Go bie memperhatikan itu tanpa bersikap.   Banyak diantaranya, bahkan ada yagn sudah mengikutu sang guru selama belasan tahun belum pernah melihat kiam hoat yang lihay itu dari gurunya.   Coe Jie dan Boe Kie berdiri diluar lingkaran penonton.   Tiba-tiba si nona berkata.   "A Goe Koko, kalau aku bisa mempunyai ilmu ringan badan setinggi Ceng-ek Hok ong biarpun mati aku merasa rela."   "Guna apa memiliki ilmu yang sesat?"   Kata Boe Kie. "menurut katanya In Liok-hiap, saban kali menggunakan ilmunya, Wie It Siauw harus membunuh manusia. Perlu apa mempunyai ilmu siluman?"   "Dalam pertempuran, manusia saling membunuh, kalau tidak membunuh tentu dibunuh,"   Kata Coe Jie.   "Wie It Siauw lihay dan dia berhasil membunuh murid Go bie. Kalau dia kurang lihay, bukankan dia sendiri yang bakal dibunuh oleh si niekow tua? Dimataku, tak ada perbedaan antara partai lurus bersih dan golongan yang dikatakan sesat."   Boe Kie tidak mengatakan suatu apa lagi.   Sekonyong-konyong sebatang pedang berkeredepan di angkasa.   Pedang itu adalah senjata Song Ceng yang kena dilontarkan oleh Biat coat dengan pukulan Kiauw jiak yoe liong (Gesit bagaikan naga).   Semua orang mendongak dan mengawasi senjata itu.   Tiba-tiba mata mereka melihat sinar api yang berwarna kuning di sudut timur laut yang jauhnya kira-kira belasan li.   Dalam usaha untuk membasmi Mo-kauw keenam buah partai telah bersepakat untuk menggunakan anak panah api dari enam macam warna sebagai tanda mereka.   Anak panah yang bersinar kuning itu adalah tanda Khong tong pay.   "Khong tong pay bertemu dengan musuh,"   Kata In Lie Heng.   "Mari kita membantu."   Mereka segera memburu ke jurusan itu. Tapi sesudah melalui belasan li, apa yang ditemukan hanyalah pasir kuning. "Apa Oen Loocianpwee dari Khong tong pay?"   Teriak In Lie Heng.   "Apa Kouw Loocianpwee?"   Teriakan itu menempuh jarak yang jauh, tapi tak mendapat jawaban. Sekonyong-konyong di sebelah barat muncul sinar kuning. "Ah! Mereka pindah ke barat,"   Kata Ceng hie.   Dengan tergesa-gesa mereka memburu ke jurusan barat.   Tapi sesudah berlari-lari beberapa lama, mereka tetap tidak menemui manusia.   Di tempat itu mereka hanya mendapatkan potongan bambu dan kertas yang hancur terbakar, sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa anak panah api itu telah dilepaskan dari tempat tersebut.   Semua orang jadi bingung dan mencoba memecahkan teka-teki itu.   "Cian pwee, kita kena diakali,"   Tiba-tiba Song Ceng Soe berkata.   "Lihatlah! Di atas pasir hanya terdapat tapak kaki seorang manusia. Kalau benar kawan-kawan Khong Tong- pay menemui musuh, yang kita lihat sedikitnya tapak empat atau lima orang."   Mendadak Song Ceng Soe ingat sesuatu.   "Celaka!"   Ia mengeluh.   "Kong tong-pay benar diserang musuh. Ikutilah aku."   Sehabis berkata begitu ia segera berlari-lari ke arah barat daya. "Bagaimana kau tahu bahwa Khong Tong-pay telah bertemu dengan musuh?"   Tanya In Lie Heng yang lari bersama dengan keponakannya. "Anak panah api itu bukan palsu,"   Jawabnya.   "Anak panah api yang digunakan oleh keenam partai hanya dapat dibuat oleh tukang-tukang yang pandai dari Tiong-goan.   Anak panah begitu tak bisa dibuat oleh tukang- tukang daerah See hek."   "Apakah kau ingin mengatakan bahwa seorang murid Kong tong kena tangkap dan anak panah api itu dirampas dari tangannya?"   Tanya sang paman pula. "Benar,"   Jawabnya.   "Sementara itu, pihak siluman telah memancing kita ke timur laut dan kemudian ke barat untuk membuat kita lelah. Menurut pendapatku, mereka berkumpul di sebelah barat daya." Biat Coat yang berada dalam jarak kita-kira dua langkah dari mereka, dapat menangkap pembicaraan mereka. Ia mengangguk seraya berkata.   "Kurasa tebakanmu tidak meleset."   Kecuali Biat Coat, In Sie Heng, Song Ceng Soe dan beberapa murid yang berkepandaian tinggi, murid-murid Go Bie yang lainnya sudah sangat letih.   Setelah melalui sekian li, di atas sebuah bukit pasir yang menghadang di depan tiba-tiba kelihatan seorang yang sedang berdiri dan seorang yang rebah di pasir.   Biat Coat mempercepat langkahnya dan setelah dekat, ia mendapati kenyataan bahwa kedua orang itu tidak lain dari Boe Kie dan Coe Jie.   Ternyata dalam keadaan sibuk, orang-orang Go Bie sudah tidak memperhatikan kedua tawanan itu lagi, yang entah bagaimana bisa berada di sebelah depan.   "Mengapa kau berada di sini?"   Tanya Biat Coat. Di dalam hati ia merasa sangat heran. Apakah kedua setan kecil itu bisa berjalan lebih cepat? Coe Jie menyengir.   "Anak panah api itu terang-terang telah digunakan memancing musuh,"   Jawabnya.   "Kukira, bahwa biarpun orang-orang Go Bie tak sadar, bocah she Song itu pasti akan menebak juga. Aku menduga pada akhirnya kalian semua tentu akan ke sini. A Goe Koko, bukankah benar begitu?"   Boe Kie mengangguk.   "Kami sudah berada di sini lama sekali,"   Katanya sambil tersenyum.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kalian sangat capai bukan?"   "Setan kecil!"   Bentak Biat Coat.   "Kalau kau sudah menduga begitu mengapa tidak cepat-cepat memberitahukan kepada kami?"   "E eh, mengapa kau marah?"   Kata si nona. "Mengapa kau tak minta pendapatku? Andaikata aku memberitahukan kepada kau, kau tentu tak akan percaya. Kau tentu lebih suka berlari-lari ke sana-sini."   Biat Coat gusar, tapi ia tak bisa mengatakan apapun jua dan iapun tak bisa menghajar nona itu tanpa alasan. Pada saat itulah, di sebelah barat daya seolah-olah terdengar suara bentrokan senjata yang sangat banyak. "Perlu apa kau bergusar terhadapku?"   Kata Coe Jie. "Kawan-kawanmu sedang menghadapi bahaya."   Biat Coat dan yang lain tidak lagi memperdulikan Coe Jie yang berlidah tajam dan dengan tergesa-gesa mereka menuju ke arah barat daya.   Makin dekat suara pertempuran jadi makin hebat.   Di antara bentrokan senjata terdengar juga teriak dari orang- orang yang terluka.   Beberapa saat kemudian mereka terkesiap karena dari jauh mereka melihat suatu pertempuran besar-besaran.   Masing-masing pihak mempunyai kekuatan beberapa ratus orang dan mereka sedang bertempur mati-matian.   "Pihak musuh terdiri dari bendera-bendera Swie Kim (Emas murni), Ang Soei (Air besar) dan Lian Hwee,"   Kata In Lie Heng.   "Khong Tong-pay sudah berada di sini. Hwa San-pay dan Koen Loen-pay juga sudah tiba. Tiga bendera melawan tiga partai, Soe Jie mari kita turut menyerbu."   Sambil berkata begitu, ia mengibaskan pedangnya yang mengeluarkan suara mengaung. "Tunggu dulu,"   Kata Ceng Soe.   "Kita tunggu sampati datangnya para paman dari Go Bie-pay."   Seumur hidup Boe Kie belum pernah menyaksikan pertempuran yang begitu besar dan begitu hebat.   Dengan hati sedih ia mengawasi manusia yang saling membunuh itu.   Di dalam hati kecilnya, ia tidak mengharapkan kemenangan pihak manapun juga, karena pihak yang satu adalah partai mendiang ayahnya sedang pihak yang lain adalah golongan mendiang ibunya.   Selagi menunggu murid-murid Go Bie yang ketinggalan di belakang, tiba-tiba Ceng Soe menuding ke arah timur.   "Liok siok lihat!"   Katanya.   "Di sebelah sana terdapat sejumlah besar musuh yang sedang menunggu untuk menerjang sewaktu-waktu."   Boe Kie mengawasi ke arah yang ditunjuk Ceng Soe.   Benar saja, pada jarak beberapa puluh tombak dari gelanggang pertempuran, terdapat tiga pasukan berkuda, setiap pasukan terdiri dari seratus orang lebih.   Mereka semua berbaris dengan rapi, siap sedia untuk segera menerjang.   Pada saat itu kedua belah pihak tengah berperang dengan kekuatan yang hampir imbang.   Kalau ketiga pasukan berkuda itu menyerbu, orang-orang Khong Tong, Hwa San dan Koen Loen pasti akan kewalahan.   Tapi mengapa mereka tidak lantas menyerang? Biat Coat dan Lie Heng heran bercampur kuatir.   "Mengapa mereka belum juga bergerak?"   Tanya si nenek kepada Ceng Soe. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entahlah,"   Jawabnya.   "Aku tak dapat menebak."   Mendadak Coe Jie tertawa geli.   "Mengapa kau tak dapat menebak?"   Tanyanya.   "Bukankah hal itu terang bagaikan siang?"   Paras muka Ceng Soe berubah merah tapi ia membungkam. Biat Coat sebenarnya ingin sekali meminta pendapat Coe Jie tapi ia merasa tak enak untuk membuka mulut. Tapi In Lie Heng yang sabar dan luas pengalamannya berkata.   "Aku mohon petunjuk nona."   "Ketiga pasukan itu mestinya pasukan Peh Bie-kauw,"   Terang si nona.   "Biarpun Peh Bie-kauw merupakan cabang dari Mo kauw, tapi pihak Peh Bie telah bentrok dengan Ciang Kie Soe dari lima bendera Mo kauw. Maka itu, andaikata kalian dapat membasmi musuh, diam-diam In Thian Ceng pasti akan merasa girang, sebab dengan demikian, ia mempunyai kesempatan untuk menduduki kursi Kauwcoe dari Mo kauw."   Biat Coat dan Ceng Soe lantas saja tersadar. "Terima kasih atas petunjuk nona,"   Kata Boe tong Liok hiap. Ketika murid-murid Go Bie sudah menyusul dan mereka berdiri di belakang Biat Coat. "Song Siauw hiap,"   Kata Ceng hie.   "Dalam mengatur barisan, kami tidak menandingi kau. Sekarang kau harus memimpin kami dan kami akan menaati semua perintah. Demi kepentingan bersama, jangan kau berlaku sungkan."   "Liok siok,"   Kata pemuda itu tergugu.   "Mana siauwtit sanggup menerima kedudukan itu."   "Sudahlah!"   Kata Biat Coat.   "Jangan rewel dengan segala adat istiadat kosong."   Ceng Soe mengangguk dan dengan mata tajam ia memperhatikan jalannya pertempuran.   Ketika itu Koen Loen-pay berada di atas angin.   Pertempuran antara Hwa San-pay dan Ang Soei-kie kira-kira berimbang, sedang Khong Tong-pay makin lama jadi makin terdesak.   Rombongan partai itu sudah terkurung oleh orang-orang Liat Hwee-kie yang mulai membasmi sepuas hati.   "Mari kita terjang Swie kim kie dari tiga arah,"   Kata Ceng Soe.   "Dengan mengepalai beberapa paman, Soethay menyerang dari tenggara. Liok siok menyerbu dari barat, sedangkan Ceng hie Soe siok dan boanpwee sendiri akan menerjang dari barat daya."   "Tapi keadaan Koen Loen pay tidak perlu ditolong,"   Kata Ceng hie heran.   "Yang sedang menghadapi bencana adalah Khong Tong-pay."   "Koen loen-pay sudah berada di atas angin dan jika kita membantu, dalam sekejap kita akan dapat membasmi seluruh Swie Kim-kie,"   Terang Ceng Soe.   "Sesudah Swie kim-kie dikalahkan kedua bendera yang lain pasti akan mundur sendirinya. Sebaliknya, kalau kita menolong Khong Tong, kita harus melakukan pertempuran yang hebat dan lama. Bagaimana kalau dengan kesempatan itu, Peh Bie-kauw menyerbu dan mengurung dari berbagai jurusan?"   "Song siauw hiap benar,"    Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini