Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 50


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 50


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung   Sebab tidak bisa membela diri di hadapan orang banyak, ia hanya berkata.   "Tio Kouw Nio, bilanglah terus terang, kau suka menyerahkan Hek Giok Toan Siokko atau tidak?"   Biji mata Tio Beng memain dan ia berkata sambil tersenyum.   "boleh kau bisa segera mendapatkan Hek Giok Toan Siokko apabila kau meluluskan permintaanku."   "Permintaan apa?" "Sekarang belum dapat dipikir olehku."   "Kau tentu bakal mengajukan permintaan yang gila-gila. Apakah aku harus meluluskan juga manakala kau minta membunuh diri sendiri atau mengubah badan menjadi babi dan anjing."   "Aku pasti tak akan minta kau membunuh diri atau minta kau menjadi babi dan anjing, hihihi andaikata kau mau, kaupun tak akan bisa melakukan itu."   "Sebutlah sekarang, apabila permintaanmu tidak melanggar kesatriaan dalam rimba persilatan dan bisa dilakukan olehku, aku akan meluluskannya."   Baru saja Tio Beng mau bicara lagi, tiba-tiba ia melihat sekuntum kembang mutiara pada kundai Siauw Ciauw dan kembang itu adalah miliknya sendiri yang dihadiahkan kepada Boe Kie.   Tiba-tiba saja darahnya meluap.   Sambil menggigit gigi, ia berpaling kepada A Toa dan berkata.   "Putuskan kedua lengan bocah she Thio itu!"   "Baik,"jawabnya.   Ia maju setindak menghunus Ie Thian Kiam dan berkata.   "Thio Kauw Coe, Coe jin memerintahkan aku memutuskan kedua lenganmu."   Alis Boe Kie berkerut.   Ie Thian Kiam tajam luar biasa, tidak bisa dilawan dengan senjata apapun jua.   Jalan satu- satunya ialah coba merampas pedang mustika itu dengan tangan kosong dengan menggunakan ilmu Kian Koen Tay Lo Ie.   Tapi kalau musuh memiliki ilmu yang tinggi, sekali kurang hati-hati, sekali tergores, ia bisa celaka.   Maka itulah ia jadi agak bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.   Sekonyong-konyong Thio Sam Hong memanggil.   "Boe Kie, kau sudah paham Thay Kek Koen. Disamping ilmu pukulan itu, akupun menggubah Thay Kek Kiam (Ilmu Pedang Thay Kek) "Mari! Aku akan mengajar ilmu pedang itu kepadamu supaya kau bisa melayani Sie coe itu."   "Terima kasih Thay Soe Hoe,"   Kata Boe Kie. Ia berpaling kepada A Toa dan berkata pula.   "cianpwee, aku tidak paham ilmu pedang, sesudah Soehoe memberi pelajaran barulah aku melayani cianpwee."   Biarpun ia mempunyai pedang mustika, tapi sudah melihat kelihaian Boe Kie, A Toa masih merasa keder.   Sekarang ia girang, ilmu pedang adalah serupa ilmu yang sangat sulit.   Untuk mempergunakannya secara lancer, orang harus berlatih sepuluh dan dua puluh tahun.   Begitu belajar, begitu memperguanakannya adalah hal yang tak mungkin.   Maka itu, ia lantas saja manggutkan kepala dan berkata.   "baiklah, aku menunggu di sini. Apa dua jam cukup?"   "Aku akan menurunkan pelajaran di sini,"   Kata Thio Sam Hong.   "Tak usah dua jam setengah jam sudah lebih dari cukup."   Kecuali Boe Kie, semua orang kaget.   Mereka hampir tak percaya kuping sendiri.   Andaikata benar Thay Kek Kiam Hoat pandai luar biasa, tetapi dengan mengajar di hadapan orang banyak dan musuh bisa menyaksikannya, rahasia pukulan-pukulan lihai tidak dapat dipertahankan lagi.   "Baiklah,"   Kata A Toa.   "Kalau begitu, sebaiknya aku keluar dari ruangan ini."   "Tak usah,"   Kata Thio Sam Hong.   "Ilmu pedangku gubahan baru.   Aku sendiri tak tahu apa dapat digunakan atau tidak.   Tuan boleh turut menyaksikan dan kuminta tuan suka memberi petunjuk pada bagian- bagian yang kurang sempurna." Sesaat itu, Yo Siauw mendadak ingat sesuatu.   "Ah!"   Teriaknya.   "Sekarang aku ingat, tuan adalah Giok Bin Sin Kiam tiang loo yang berkedudukan tinggi dalam Kay Pang! Mengapa tuan rela menjadi budaknya orang?" (Giok Bin Sin Kiam Sim Malaikat pedang yang mukanya seperti batu pualam, tiang loo tetua Kay Pang partai pengemis. Dalam Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar, Kay Pang dipimpin oleh Kioe Cie Sin Kay Ang Cit Kong) Mendengar itu, jago-jago Beng Kauw terkesiap.   "Bukankah kau sudah mati?"   Kata Cioe Tian. "Bagaimana.. bagaimana kau bisa hidup lagi?"   A Toa menghela napas.   "Aku manusia sisa mati."   Katanya sambil menundukkan kepala.   "Apa yang sudah lampau perlu apa disebutkan lagi? Telah lama aku sudah bukan tiang loo dari Kay Pang."   Orang-orang yang lebih tua mengetahui, bahwa Giok Bin Sin Kiam Phoei Tong Peng dahulu menjadi kepala dari keempat tetua partai pengemis.   Kelihaiannya dalam ilmu pedang telah menggetarkan dunia kang ouw dan disamping itu, ia pun terkenal sebagai pria yang sangat tampan, sepanjang warta, pada belasan tahun berselang, ia telah meninggal dunia karena sakit.   Tentu saja munculnya di Sam Ceng tian sangat mengejutkan, lebih-lebih sebab mukanya berubah dan sekarang ia menjadi kaki tangan Tio Beng.   "aku merasa sangat girang, bahwa Thay Kek Kiam Hoat akan mendapat pelajaran dari Giok Bin Sin Kiam,"   Kata Thio Sam Hong.   "Boe Kie, apa kau mempunyai pedang?"   Siauw Ciauw segera menghampiri dan menyerahkan Ie Thian Kiam kayu yang diambil dari Lek Lio Chung. Thio Sam Hong menyambut pedang itu dan berkata sambil tersenyum.   "pedang kayu? Apa kau kira aku akan menulis jimat atau mengusir hawa jahat?"   Ia berbangkit dan memegang senjata itu di tangan kiri, perlahan-lahan ia membuat lingkaran.   Ia mulai bersilat dengan gerakan sangat lambat San Hoan To Goat, toa Kwie Chee Yan Coe Tiauw Coei, Co Lan Sauw, Yoe Lan Siauw dan sebagainya.   Boe Kie mengawasi dengan mata tidak berkesiap tapi yang diperhatikannya bukan jurus pedang, hanya jiwa ilmu pedang itu bersambung-sambung.   Sesudah Thio Sam Hong selesai bersilat, tak seorangpun yang menepuk tangan.   Mereka semua merasa heran.   Apakah ilmu pedang itu yang lambat gerakannya dan tak menunjukkan keluar biasaan apapun jua dapat digunakan untuk melawan Giok Bin Sin Kiam? Tapi ada juga yang memikir lain.   Mereka menduga, bahwa Thio Sam Hong sudah sengaja memperlambat gerak-geriknya, supaya dilihat oleh cucu muridnya.   "Anak apa kau sudah lihat terang?"   Tanya Thio Sam Hong. "Cukup terang,"   Jawab Boe Kie. "Kau ingat semua?"   "Sudah lupa sebagian."   "Bagus, aku banyak membikin susah kepadamu. Sekarang kau harus memikiri sendiri."   Alis Boe Kie berkerut, suatu tanda ia sedang mengasah otak. Beberapa saat kemudian, Thio Sam Hong bertanya lagi.   "Bagaimana sekarang?"   "Sudah lupa sebagian besar."   Jawabnya. "Celaka!"   Teriak Cioe Tian.   "Makin lama makin banyak yang dilupakan. Thio cinjin, ilmu pedangmu sangat sulit tak dapat orang mengangkatnya dengan hanya sekali lihat, coba sekali lagi."   Thio Sam Hong tertawa.   "Baiklah, aku akan bersilat sekali lagi."   Katanya. Seperti tadi ia bersilat pula dengan gerakan perlahan. Sesudah beberapa jurus, semua penonton jadi makin heran sebab jurus-jurus yang diperlihatkan kali ini berbeda dengan jurus-jurus yang tadi. "Gila! Betul-betul gila!"   Teriak Cioe Tian. Tapi guru besar itu tak meladeni si sembrono. Ia hanya senyum.   "Anak,"   Katanya kepada Boe Kie.   "Bagaimana sekarang?"   "Masih ada tiga jurus yang belum terlupa."   Thio Sam Hong balik kursinya, sedang Boe Kie jalan terputar di ruangan itu. Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan dengan paras muka berseri-seri, ia berseru.   "sekarang anak lupa semuanya! Lupa seluruhnya."   "Bagus!"   Kata sang Thay Soehoe.   "Sekarang kau boleh minta petunjuk Giok Bin Sin Kiam."   Seraya berkata begitu, ia menyerahkan pedang kayu yang dipegangnya kepada Boe Kie. Boe Kie seraya menghampiri Phoei Tong Peng dan berkata seraya membungkuk. Phoei Cian Pwee, silahkan."   Cioe Tian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Hatinya penuh kekuatiran. Bagaikan seekor kera, Phoei Tong Peng melompat dan sambil berkata.   "Maaf"   Ia menikam. Sinar hijau berkelebat disertai dengan suara "Srrt"   Hal ini membuktikan, bahwa ia memiliki Lwee Kang yang sangat kuat, sedikitnya tak kalah dengan A Jie.   Semua orang terkejut.   Dengan Lwee Kang yang sehebat itu, jangankan ia menggunakan pedang mustika, sedang pedang biasapun sudah sukar dilawan.   Meskipun ia sudah tidak memiliki G iok Bin (muka tampan seperti batu pualam), tapi julukan Sin Kiam (pedang malaikat) sungguh bukan nama kosong.   Melihat serangan hebat itu, cepat Boe Kie membuat setengah lingkaran, menempelkan badan pedang kayu di badan Ie Thian Kiam, mengirim Lwee Kang, dan Ie Thian Kiam tertekan ke bawah.   "Bagus!"   Puji Phoei Tong Peng seraya membalik pedangnya dan menusuk pundak lawan. Boe Kie memutar senjata dan kedua lawan sama-sama melompat mundur. Ie Thian Kiam tergetar dan mengeluarkan suara "unggg"   Yang sangat nyaring.   Kedua pedang itu berbeda bagaikan langit dan bumi.   Yang satu bersenjata mustika, yang lain hanya kayu belaka.   Akan tetapi, karena bentrokan terjadi pada badan pedang, maka yang tajam tidak dapat berbuat banyak terhadap yang tumpul.   Dengan memukul badan pedang maka boleh dikatakan Boe Kie sudah berhasil menangkap jiwa Thay Kek Kiam Hoat.   Tadi waktu memberikan pelajaran yang diturunkan Thio Sam Hong ialah "jiwa"   Atau "intisari"   Dari Thay Kek Kiam Hoat, tapi bukan "justru"   Ilmu pedang itu.   Maka itulah, sesudah Boe Kie bisa menyelami intisari daripada ilmu pedang itu dan bisa menggunakan secara bebas, wajar dengan segala perubahan-perubahannya yang bermacam- macam.   Dalam otak masih teringat sejuru dua dari apa yang dilihatnya, maka kelancaran itu akan terganggu.   In Thian Ceng dan Yo Siauw mengerti prinsip tersebut, tapi Cioe Tian yang ilmunya masih agak cetek, sudah jadi kebingungan.   Suara bentrokan senjata makin lama makin gencar.   Dengan jurus-jurus luar biasa, dengan Lwee Kang yang dahsyat dan dengan senjata mustika.   Phoei Tong Peng mengirim serangan-serangan berantai bagaikan hujan dan angina.   Sinar hijau berkelebat-kelebat tak ada hentinya dan hawa dalam Sam Ceng Tian berubah dingin.   Boe Kie melayani dengan hati-hati dan tenang.   Dalam membela diri atau balas menyerang, pedang kayunya membuat lingkaran- lingkaran, lingkaran besar, dan kecil.   Lingkara itu seolah- olah benang sutra yang berputar-putar dan untuk menggulung Ie Thian Kiam.   Makin lama jumlah benang sutera jadi makin banyak.   Sesudah bertempur dua ratus jurus lebih, kelincahan Ie Thian Kiam mulai berkurang.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Phoei Tong Peng merasa, bahwa berat pedang selalu bertambah, dari lima menjadi enam kati, tujuh, delapan, sepuluh dua puluh Si kakek sekarang bangun, ia mengeluarkan keringat dingin.   Tiga ratus jurus sudah lewat.   Tapi ia belum juga bisa merampas pedang lawan yang terbuat dari pada kayu.   Itulah kejadian yang belum pernah dialami.   Pihak lawanm seperti juga melepaskan jala raksasa yang makin lama jadi makin kecil.   Berulang kali Phoei Tong Peng menukar ilmu pedang, tapi ita tetap tidak dapat kemajuan.   Terus menerus Boe Kie membuat lingkaran-lingkaran di antara penonton, kecuali Thio Sam Hong seorang, tak satupun yang bisa melihat tegas apa dia sedang menyerang atau membela diri.   Pada hakikatnya Thay Kek Kiam Hoat hanya terdiri daripada lingkaran-lingkaran besar, kecil, miring, berdiri rata dan sebagainya, sehingga jika orang ingin berbicara tentang "jurus"   Ilmu pedang itu hanya terdiri dari satu jurus lingkaran.   Tapi dalam jurus tunggal itu terdapat perubahan- perubahan yang tiada habisnya.   Sekonyong-konyong Phoei Tong Peng membentak keras, kumis atau alisnya berdiri dan Ie Thian Kiam menyambar dada Boe Kie.   Itulah serangan yang disertai dengan seantero tenaga dalam.   Boe Kie membalik senjata dan coba menangkis.   Mendadak si kakek memutar sedikit pergelangan tangannya merampas dari samping.   "Kres"   Pedang kayu itu putus enam dim dan Ie Thian Kiam meluncur terus ke dada Boe Kie.   Boe Kie terkesiap.   Tapi dalam bahaya, ia tidak jadi bingung.   Secepat kilat, telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjepit badan Ie Thian Kiam sedang tangan kanannya membabat lengan kanan musuh dengan pedang bunting.   Biarpun kayu, tapi ia sebab membacok dengan tenaga Kioe Yang Sin Kang sampai hati untuk menyerang pula dan merampas pedang mustika itu.   Dengan tangan kiri mencekal Ie Thian Kiam Boe Kie seperti juga jepitan besi.   Dalam keadaan begitu, jalan satu- satunya untuk menyelematkan lengan kanannya dari bacokan ialah melepaskan Ie Thian Kiam dan melompat mundur.   "lepas!"   Bentak Boe Kie sambil menggigit gigi dengan nekat si kakek yang bandel membetot lagi.   "Kres!"   Lengan itu terbabat putus dan terus meluncur jatuh! Phoei Tong Peng lebih suka mengorbankan lengan daripada kehilangan pedang.   Sebelum lengan yang jatuh itu menyentuh lantai, tangan kiri si kakek menjambretnya dan mengambil pedang Ie Thian Kiam yang masih terus dicengkram dengan jari-jari tangan dari lengan yang putus itu.   Melihat kegagahan orang tua itu, Boe Kie kaget bercampur kagum dan ia tak sampai hati untuk menyerang pula dan merampas pedang mustika itu.   Phoei Tong Peng menghampir Tio Beng dan seraya berkata membungkuk.   "Coe Jin, Siauw Jin tak punya kemampuan dan rela menerima hukuman."   "Aku suruh kau putuskan kedua tangan bocah itu."   Katanya dengan suara dingin. Muka si kakek yang sudah pucat jadi lebih pucat lagi. "Baiklah."   Katanya. Tangan kirinya mengayun Ie Thian Kiam yang dengan sekali berkelebat sudah memutuskan lengan kiri si kakek. Dengan serentak semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Boe Kie gusar tak kepalang. Sambil menuding, ia membentak.   "Tio Kouw Nio! Sungguh kejam kau! Phoei Sian Seng telah berbuat apa yang dia bisa. Tapi kau masih tak bisa memaafkannya."   "Kau, bukan aku yang memutuskan tangannya."   Kata si nona dengan suara dingin.   "Apa kau atau aku yang kejam?"   Boe Kie jadi kalap.   "Kau. Kau "   Teriaknya. Ia tidak bisa mendapatkan kata-kata yang tepat untuk melampiaskan kemarahannya. Tapi Tio Beng tenang-tenang saja.   "Budakku, tak perlu kau campur urusan orang lain,"   Ia menengok kepada Thio Sam Hong dan berkata pula.   "hari ini, dengan memandang muka Thio Kauw Coe, aku memberi ampun kepada Boe Tong Pay,"   Ia mengibaskan tangan kirinya dan membentak. "Berangkat!"   Beberapa orang sebawahannya segera mendukung Phoei Tong Peng, A Jie, dan Oe Boen Cek dan kemudian beramai-ramai keluar dari Sam Tian Ceng. "Tahan!"   Teriak Boe Kie "sebelum kamu tinggalkan Hek Giok Toan Siokko, jangan harap kamu bisa berlalu dari Boe Tong San!"   Dengan sekali melompat, tangannya menjambret Tio Beng.   Tapi sebelum tangan itu menyentuh si nona, tiba-tiba ia merasa kesiuran angin yang menyambar dari kiri ke kanan.   Kedua serangan itu tidak ada suaranya.   Tahu-tahu sudah tiba di hadapannya.   Ia terkesiap, degnan kecepatan luar biasa ia membalik kedua tangannya dengan tangan kanan menyambut serangan yang datang dari sebelah kanan, tangan kiri menangkis pukulan yang menyambar dari sebelah kir.   Begitu kedua tangannya kebentrok dengan tangan musuh, ia merasa tekanan Lwee Kang yang sangat kuat dan lebih hebat lagi, Lwee Kang itu dingin luar biasa.   Tiba-tiba ia terkejut, hawa dingin itu sudah dikenalnya.   Aha! Hian Beng Sin Ciang yang dahulu hampir-hampir mengambil jiwanya! Dalam kagetnya, Boe Kie segera mengerahkan Kioe Yang Sin Kang.   Hampir berbareng, iga kiri dan kanannya ditepuk orang sehingga ia terhuyung beberapa tindak.   Yang menepuknya adalah dua kakek yang bertubuh kurus jangkung.   Selagi sebelah tangan mereka kebentrok dengan kedua tangan Boe Kie, sebelah tangan yang lainnya tanpa mengeluarkan suara sudah menyambar ke iga pemuda itu.   Seraya membentak keras, Yo Siauw dan Wie It Siauw melompat dan menyerang kakek itu.   "Plak, plak!"   Kedua jago Beng Kauw itu juga terhuyung beberapa tindak, dada mereka menyesak dan hawa dingin meresap sampai ke tulang. "Nama Beng Kauw sungguh besar, tapi kepandaiannya hanya sebegitu!"   Kata si kakek di sebelah kanan.   Sehabis berkata begitu, dengan kawannya, ia melindungi Tio Beng keluar dari Sam Ceng Tian.   Sebab kuatir akan keselamatan Kauw Coe mereka, orang-orang Beng Kuaw tidak mengubar dan mereka lalu mengerumuni Boe Kie yang duduk di lantai dengan dipeluk oleh In Thian Ceng.   Semua orang kelihatan bingung.   Sambil tersenyum, Boe Kie menggoyang-goyangkan tangannya supaya orang jangan berkuatir.   Perlahan-lahan ia mengerahkan Kioe Yang Sin Kang untuk mengeluarkan racun dingin itu dari dalam tubuhnya.   Selagi hawa dingin itu terdesak ke luar, beberapa orang yang Lwee Kangnya agak cetek, bergemetaran badannya.   Tapi karena mencintai pemimpin mereka, tak seorangpun meninggalkan Boe Kie.   Beberapa saat kemudian, Boe Kie berkata.   "Gwa kong dan saudara-saudara sekalian. Keadaanku tak apa-apa. Harap kalian jangan kuatir."   Mendengar Kauw Coe mereka bicara, semua orang merasa girang dan lantas mengundurkan diri.   Sementara itu, kelihatanlah di atas kepala Boe Kie terus menerus keluar semacam asap berwarna putih, sebagai tanda bahwa pemuda itu sedang mengerahkan Lwee Kang yang dahsyat.   Beberapa saat kemudian, ia membuka baju dan pada kedua iganya terlihat tapak tangan dengan warna kehitam- hitaman.   Berkat khasiat Kioe Yang Sin Kang, warna hitam itu perlahan-lahan berubah menjadi ungu, dari ungu menjadi abu-abu yang akhirnya menghilang.   Demikianlah, dalam waktu kira-kira setengah jam Boe Kie sudah berhasil mengusir seantero racun hitam Hian Beng Sin Ciang.   Ia berbangkit dan berkata sambil tertawa.   "Biarpun mesti menghadapi bahaya, kita sekarang sudah mengenal muka musuh."   Yo Siauw dan Wie It Siauw pun tidak terluput dari racun dingin.   Tapi sebab pada waktu menangkis, mereka mengeluarkan seluruh Lwee Kang, maka racun itu hanya masuk sampai di pergelangan tangan dan tidak menembus ke isi perut.   Maka itu, sesudah mereka bersemedi dan mengerahkan tenaga dalam beberapa lama, merekapun berhasil mengusir racun tersebut.   Beberapa saat kemudian, Gouw Kin Co, Ciang Kie Soe Swie Kim Kie, melaporkan bahwa semua musuh sudah turun gunung.   Jie Thay Giam lantas saja memerintahkan Tie Kek Toojin menyediakan makanan untuk menjamu para anggota Beng Kauw.   Selagi makan minum, Boe Kie menceritakan kepada Thay SoeHoe dan Sam SoePehnya segala sesuatu yang terjadi atas dirinya semenjak mereka berpisahan.   Mendengar penuturan yang luar biasa itu, semua orang merasa kagum dan heran.   "Tahun itu, di ruangan ini juga aku telah beradu tangan dengan si kakek yang memiliki Hian Beng Sin Ciang itu,"   Kata Thio Sam Hong.   Pada waktu itu, ia menyamar sebagai perwira tentara mongol.   Sampai sekarang, aku masih belum tahu dengan kakek yang mana aku beradu tangan.   Kalau dipikir-p ikir, aku harus merasa malu, karena sampai hari ini aku masih belum mampu meraba asal-usul kedua orang itu.   "Kitapun masih belum tahu siapa adanya wanita She Tio itu,"   Menyambung Yo Siauw.   "Dia pasti mempunyai orang-orang Seperti Hian Beng Jie Loo (dua kakek yang memiliki Hian Beng Sin Ciang) menakluk di bawah perintahnya."   "Kita sekarang menghadapi dua tugas yang harus segera diselesaikan,"   Kata Boe Kie.   "Pertama kita harus merampas Hek Goan Toan Siokko untuk mengobati luka Jie Sam SoePeh dan In Liok Siok. Kedua, kita harus segera menyelidiki dimana adanya Song Toa Peh dan yang lain- lain. Untuk menunaikan kedua tugas ini, kita harus mencari si wanita she Tio."   Jie Thay Giam tertawa getir.   "Aku sudah bercacad selama kurang lebih dua puluh tahun, sehingga biarpun Hek Goan Toan Siokko bisa dirampas, kurasa cacad ini tak mungkin disembuhkan lagi."   Katanya.   "Perhatian kita sekarang harus ditujukan kepada Toako, Liok Tee dan yang lain-lain. "Kita harus bertindak cepat,"   Kata Boe Kie pula.   "Kuminta Yo Co Soe, Wie Hok Ong, dan Swee Poet Tek Tay Soe mengikut aku turun gunung untuk mengejar musuh.   Dengan berpencaran, kelima Ciang Kie Hoe Soe (wakil pemimpin) dari lima bendera harus pergi ke Go Bie, Hwa San, Koen Loen, Khong Tong, dan Siauw Lim Sie di Hok Kian untuk mengadakan hubungan berbagai partai dan mengadakan penyelidikan.   Gwa Kong dan Koe Koe (Paman, In Ya Eng) pulang ke Kang Lim untuk mempersiapkan seluruh pasukan Peh Bie Kie.   Tiat Koan Too Tiang dan Cioe Sian Seng, Pheng Thay Soe dan Ciang Kie Soe dari Ngo Heng Kie untuk sementara waktu berdiam di Boe Tong Pay guna memantu Thay Soehoe Thio Cin Jin."   Demikianlah, dengan sikap wajar ia mengeluarkan perinta.   Sedang In Thian Ceng, Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain menerimanya sambil membungkuk.   Melihat begitu, bukan main girangnya Thio Sam Hong.   Semula guru besar itu masih bersangsi, apakah cucu muridnya yang masih baru begitu muda bisa menguasai jago-jago Beng Kuaw.Sekarang dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan bahwa In Thian Ceng dan yang lain-lain benar-benar mengakui Boe Kie sebagai pemimpin mereka yang mempunyai kekuasaan mutlak.   "Kepandaiannya yang tinggi dan otaknya yang cerdas biarpun harus dikagumi di mataku tidaklah berharga terlalu besar."   Kata Thio Sam Hong di dalam hati.   "Tapi bahwa ia berhasil menaklukkan memedi-memedi Beng Kuaw dan Peh Bie Kie, hingga mereka sekarang balik ke jalanan lurus sungguh-sungguh satu kejadian yang menakjubkan. Ha!... Coei San ada turunannya "   Memikir begitu, kedua mata guru besar itu mengembang air.   Boe Kie berempat cepat-cepat makan dan sesudah makan, mereka segera meminta diri dari Thio Sam Hong dan segera turun gunung untuk mengejar Tio Beng.   In Thian Ceng dan para pemimpin Beng Kauw.   menghantar sampai di kaki gunung.   Poet Hwi yang rupanya berat untuk segera berpisahan dengan ayahnya mengikuti terus dan sesudah melalui lagi kira-kira satu li, Yo Siauw berkata.   "Poet Hwi, kau baliklah, rawatlah In Liok Siok sebaik- baiknya."   "Baiklah,"   Jawab si nona, mengawasi Boe Kie dan tiba- tiba paras mukanya berubah merah.   "Boe Kie Koko,"   Katanya dengan suara perlahan.   "aku ingin bicara sepatah dua patah dengan kau."   Yo Siauw, Wie It Siauw, dan Swee Poet Tek tertawa dalam hati.   Kedua orang muda itu sahabat lama dan dalam menghadapi perpisahan mereka mungkin ingin mengatakan sesuatu yang tak boleh didengar orang lain.   Memikir begitu, mereka segera mempercepat tindakan dan meninggalkan Boe Kie dan Poet Hwi.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sesudah kedua orang tua itu pergi jauh, sambil menarik tangan Boe Kie, si nona berkata.   "Boe Kie koko, kemari,"   Mereka menghadapi sebuah batu besar dan lalu berduduk di atasnya. Jantung itu memukul keras.   "aku dan dia pernah sama- sama melewati banyak bahaya besar. Perhubungan antara aku dan dia bukan perhubungan biasa."   Katanya di dalam hati.   "Tapi sesudah perpisahan lama dan bertemu lagi sikapnya agak dingin, acuh tak acuh. Apakah yang dia sekarang mau sampaikan kepadaku?"   Sebelum bicara, paras muka si nona sudah berubah merah dan ia menundukkan kepala.   Lama juga ia berdiam bagaikan patung.   Akhirnya ia mendongak dan berkata.   "Boe Kie koko, pada waktu ibu mau menutup mata, bukankah ia telah meminta supaya kau melihat-lihat aku?"   "Benar,"   Jawabnya.   "Dengan melalui perjalanan berlaksa li, dari Tepi Hwai Ho sampai ke See Hek, kau telah berhasil menyerahkan aku kepada ayah.   Dalam perjalanan itu, berulang kali kau mengalami penderitaan hebat dan menghadapi bahaya- bahaya besar.   Budi yang tidak bisa dilukiskan dengan kata- kata belaka.   Sebegitu jauh aku hanya mengingat di dalam hati dan tidak pernah menyebutkannya di hadapanmu."   "Itu semua tak ada harga untuk disebutkan lagi,"   Kata Boe Kie.   "apabila aku tidak mengawani kau ke See Hek, aku tentu tidak mengalami kejadian-kejadian yang sangat kebetulan dan di waktu ini aku pasti sudah tidak berada di alam dunia."   "Tidak! Boe Kie koko, kau tak boleh mengatakan begitu,"   Kata si nona sembil menggeleng-gelengkan kepala. "Kau seorang yang sangat mulia, dengan "restu Tuhan"   Segala bahaya akan berubah menjadi keselamatan.   Boe Kie koko, sedari kecil aku sudah ditinggalkan ibu, ayah adalah seorang yang paling dekat denganku, tapi aku tidak bisa mengatakan kepadanya apa yang aku ingin katakana sekarang.   Kau adalah Kauw Coe kami, akan tetapi, di dalam hati aku masih tetap memandang kau sebagai kakak kandungku.   Hari itu, ketika kau datang di Kong Beng Teng dalam keadaan sehat, bukan main rasa girangku.   Akan tetapi, aku merasa malu hati untuk menyatakan perasaan itu.   Boe Kie koko, kau tidak gusar, bukan?"   "Tidak! Tentu saja aku tidak gusar,"   Jawabnya. Si nona menundukkan kepala dan berkata pula.   "Terima kasih, kau sungguh mulia, Boe Kie koko, aku telah memperlakukan Siauw Ciauw secara kejam dan mungkin sekali kau mendongkol terhadap perlakuan itu. Hal itu terjadi karena aku selalu tidak dapat melupakan kebinasaan ibu yang sangat mengenaskan sehingga terhadap orang jahat, aku tidak main kasihan lagi. Belakangan sesudah melihat perlakuanmu terhadap Siauw Ciauw, aku tidak membencinya lagi."   Boe Kie tersenyum.   "Siauw Ciauw beradat aneh, tapi kurasa dia bukan seorang jahat,"   Katanya.   Ketika itu matahari sudah mulai menyelam ke barat dan musim rontok yang dingin mulai turun.   Untuk beberapa saat mereka tidak berkata-kata.   Tiba-tiba paras muka si nona berubah lagi, kulitnya yang putih bersemu dadu, kedua matanya mengeluarkan sinar kecintaan, sedang sikapnya seperti orang kemalu-maluan.   "Boe Kie koko,"   Katanya dengan suara hampir tidak kedengaran, bukankah ayah dan ibu berdosa terhadap In Liok Siok?"   "Ah! Kejadian yang sudah lampau, tak perlu disebut- sebut lagi,"   Kata Boe Kie. "Tidak!"   Bantah si nona.   "Bagi orang lain, kejadian itu memang kejadian yang sudah lama. Aku sendiri sekarang sudah berusia tujuh belas tahun. Tapi bagi In Liok Siok kejadian itu bkan kejadian lama. Ia masih tidak bisa melupakan ibu. Waktu ia terluka berat dan berada dalam keadaan setengah sadar, sering-sering ia mencekal tanganku dan berkata Siauw Hoe! Siauw Hoe! Jangan tinggalkan aku, aku sudah menjadi manusia bercacat. Tapi aku memohon jangan tinggalkan aku.. jangan tinggalkan aku,"   Ia bicara dengan suara parau dan kemudian air matanya mengalir turun di kedua pipinya."   "Liok Siok mengatakan begitu, sebab ia berada dalam keadaan lupa ingat,"   Kata Boe Kie dengan suara membujuk. "Kau tidak boleh menerima perkataan itu secara sungguh."   Poet Hwi menggelengkan kepala.   "Kau salah,"   Bantahnya.   "Bukan begitu kau tidak tahu, tapi aku tahu. Belakangan sesudah tersadar, ia mengawasi aku dengan sorot mata dan sikap yang tidak berbeda. Ia mau minta supaya aku kan dia, tapi ia merasa berat untuk membuka mulut."   Boe Kie menghela napas.   Ia mengenal baik adat paman itu.   Biarpun ilmu silatnya sangat tinggi, pada hakekatnya In Lie Heng berperasaan sangat halus.   Dahulu waktu masih kecil, Boe Kie sering menyaksikan cara bagaimana paman itu mengucurkan air mata untuk urusan-urusan kecil.   Kebinasaan Siauw Hoe merupakan pukulan sangat hebat.   Maka tidaklah heran meskipun sudah bercacat, Lie Heng masih tidak bisa melupakan tunangannya itu.   Sesudah termangu beberapa lama, Boe Kie berkata dengan suara serak.   "Ya .. kita tidak bisa berbuat banyak untuk menghibur hatinya. Jalan satu-satunya aku harus berusaha sekeras-kerasnya untuk merampas Hek Goan Toan Siokko guna mengobati Liok Siok san Sam Soepeh."   "Makin lama melihat sikap In Liok Siok, hatiku merasa kasihan."   Kata pula Poet Hwi.   "Aku tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa selama orang itu termasuk ayah dan ibu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadapnya. Boe Kie koko "   Ia terdiam sejenak kemudian meneruskan perkataannya dengan suara hampir tak kedengaran.   "aku aku sudah berjanji dengan In Liok Siok, bahwa aku tak perduli ia sembuh atau tak sembuh, aku akan mengawaninya seumur hidup dan tidak akan berpisah lagi selama-lamanya!"   Sehabis berkata begitu, air mata mengucur deras, akan tetapi paras mukanya berubah terang.   Itulah paras dari seorang yang dihinggapi rasa malu bercampur bangga.   Boe Kie terkejut.   Ia tak pernah mimpi, bahwa Poet Hwi rela mengabdi kepada In Lie Heng seumur hidup.   Untuk beberapa saat, dia mengawasi si nona dengan mata membelalak dan kemudian berkata dengan suara terputus- putus.   "kau!..... kau.."   "Secara tegas aku sudah berjanji dengannya, bahwa dalam penitisan ini, aku akan mengikutinya selama- lamanya,"   Berkata pula Poet Hwi dengan suara yang tetap. "Walaupun seumur hidup ia bercacat, maka seumur hidup aku akan mendampinginya, melayaninya dan coba menghiburnya."   Boe Kie menghela napas dan sambil mengawasi si nona dengan alis berkerut, ia berkata.   "tapi kau..   "   "Janjiku tak diberikan kepadanya secara tergesa-gesa,"   Memutus Poet Hwi.   "Di sepanjang jalan, aku merenungkan soal itu masak-masak. Bukan saja itu tidak berpisahan denganku, akupun tak bisa berpisahan dengannya. Kalau lukanya tak sembuh, aku tidak bisa hidup lebih lama di dalam dunia. Saban kali aku mendampinginya, ia selalu mengawasiku dengan sorot mata yang tak dapat dilukiskan pada saat itu. Boe Kie, dahulu, waktu masih kecil, aku selalu memberikan rahasia hatiku kepadamu. Kuingat karena tak punya uang untuk beli kembang gula, di tengah malam buta, aku mencuri sebuah tong jin (kembang gula yang berbentuk manusia) dan memberikannya kepadaku. Apa kau masih ingat?"   Disebutkannya kejadian yang lampau itu mengharukan sangat hatinya Boe Kie. Di depan matanya lantas saja terbayang pengalaman-pengalaman pada waktu ia bersama Poet Hwi, dengan bergandengan tangan, merantau ke wilayah barat.   "Aku ingat,"   Jawabnya sambil menundukkan kepala. Seraya memegang tangan kakaknya, si nona berkata pula.   "tapi aku tidak tega untuk makan gula itu yang akhirnya melumer karena hawa panas matahari. Aku sangat berduka dan menangis terus. Kau coba membujuk aku dan mengatakan, bahwa kau akan memberikan sebuah lagi. Tapi biar bagaimanapun jua, kau takkan mendapatkan tong jin yang sama seperti itu. Belakangan kau membeli tong jin yang lebih besar dan lebih bagus, tapi sebaliknya dari girang, aku menangis lagi. Waktu itu kau sangat jengkel dan mencaci aku yang dikatakan tidak dengar kata. Apa kau masih ingat?"   Boe Kie tersenyum.   "Apa aku maki kau?"   Katanya.   "Aku sudah lupa."   "adatku sangat kukuh,"   Kata pula si nona.   "In Liok Siok adalah tong jin pertama yang disukai olehku. Aku menolak lain kembang gula. Boe Kie koko, sering-sering di tengah malam yang sunyi kuingat segala kebaikanmu. Beberapa kali kau sudah menolong jiwaku. Menurut pantas, aku harus mengabdi kepadamu seumur hidup. Akan tetapi, aku hanya bisa menganggap kau sebagai saudara kandung."   "Di dalam hati, aku menyintai dan menghormati kau sebagai seorang kakak. Tapi terhadap dia, aku mempunyai rasa kasihan dan rasa cinta yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Usianya banyak lebih tua dan tingkatannya pun lebih tinggi daripada aku. Di samping itu, ayah adalah seorang musuh besarnya Kutahu bahwa dalam hal ini kau menghadapi kesukaran-kesukaran besar. Tapi.. tanpa memperdulikan apapun jua, aku membuka isi hatiku kepadamu."   Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia berbangkit dan kabur secepatnya.   Boe Kie berdiri bagaikan patung dan dengan hati berduka ia mengawasi si bayangan Poet Hwi yang lalu menghilang di lembah gunung.   Lama ia berdiri di situ dengan air mata mengalir di kedua pipinya.   Sesudah kenyang menangis, barulah ia menyusul kawan-kawannya.   Melihat tanda-tanda bekas air mata di kedua belah pipi kauwcoe mereka, Wie It Siauw dan Swee Poet Tek melirik Yo Siauw sambil bersenyum.   Di dalam hati, mereka menduga bahwa tak lama lagi Ko Cosoe bakal menjadi mertua Thio Kauwcoe.   Sesudah berada dikaki gunung, Yo Siauw berkata.   "Kauwcoe, menurut pendapatku, Tio Kauwnio yang mempunyai banyak pengiring tidak akan berjalan sendiri.   Maka itu usaha mencari dia tidaklah terlalu sukar.   Sebaiknya kita sekarang mengejar dengan berpencaran, ke arah timur, selatan, barat dan utara dan besok tengah hari, kita berkumpul di Kok shia.   Bagaimana pikiran kauwcoe?"   "Aku setuju,"   Jawabnya.   "Aku akan mengambil jalan ke barat."   Kok shia terletak di sebelah timur Boe tong san dan dengan mengejar ke jurusan barat, ia harus menempuh jarak lebih jauh daripada kawan-kawannya.   "Hian beng Jie lo memiliki kepandaian yang tinggi,"   Katanya pula. "Apabila Sam wie bertemu dengan mereka, menyingkirlah jika masih bisa menyingkir. Tak usah Sam wie bertempur dengan mereka."   Ketiga jago itu mengiakan dan segera mengejar ke timur, selatan dan utara.   Jalanan ke barat adalah jalanan gunung, tapi dengan menggunakan ilmu ringan badan, Boe Kie tidak menemui kesukaran apapun jua.   Dalam waktu satu jam lebih, ia sudah tiba di Sip yan tin.   Sesudah makan semangkok mie di sebuah warung makan, ia menanya seorang pelayan, apakah dia pernah melihat sebuah joli dengan tirai sutera kuning.   "Lihat!"   Jawabnya.   "Di samping joli ada tiga orang sakit yang digotong dalam tandu. Mereka lewat di sini kira-kira satu jam yang lalu menuju ke arah Oey liong tin!"   Boe Kie girang karena rombongan itu pasti tidak bisa berjalan cepat.   Ia segera mengambil keputusan untuk menyelidiki di waktu malam.   Ia segera pergi ke tempat sepi dan tidur di sebuah batu besar.   Kira-kira tengah malam, barulah ia menuju ke Oey liong tin.   Dengan melompati tembok ia masuk ke dalam kota.   Jalanan sepi, tapi penerangan di sebuah penginapan yang besar kelihatan terang sekali.   Ia melompat naik ke genteng dan dengan beberapa lompatan ia sudah berada di atas genteng sebuah rumah kecil yang berdampingan dengan rumah penginapan itu.   Dengan matanya yang sangat jeli ia memandang ke sekitarnya.   Tiba-tiba ia melihat sebuah tenda di atas lapangan, di pinggir sungai di bagian luar kota.   Di seputar tenda itu berkelebat-kelebat bayangan-bayangan manusia suatu tanda bahwa tenda tersebut dijaga keras.   "Apa Tio Kouw nio berada di tenda itu?"   Tanyanya di dalam hati. Muka dan bicaranya nona itu tidak berbeda dengan orang Han, tapi tempat tinggalnya dan makanannya mempunyai selera orang Mongol."   Tapi baru saja ia mau menghampiri tenda itu, dari jendela sebuah rumah penginapan tiba-tiba terdengar suara merintih.   Boe Kie kaget.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ia melompat turun, mendekati jendela itu dan melongok ke dalam.   Dalam kamar itu terdapat tiga ranjang dan di atas setiap ranjang berbaring satu orang.   Yang kedua tidak kelihatan mukanya, tapi yang menghadap ke jendela bukan lain daripada Pat pie Sin mo Oe boen Cek.   Ia merintih dengan perlahan, rintihan dari seorang yang menahan kesakitan hebat.   Sedang kedua lengan dan kedua betisnya dibalut kain putih.   Mendadak Boe Kie ingat sesuatu.   "Tulang kaki tangannya telah dihancurkan olehku dan sekarang sedang diobati dengan Hek giok Toansiok ko,"   Pikirnya.   "Kalau tidak merebut sekarang, mau tunggu kapan lagi?"   Memikir begitu ia segera mendorong jendela dan melompat masuk.   Seorang yang berada di dalam kamar itu berteriak dan meninju.   Dengan tangan kirinya Boe Kie menangkap tinju yang menyambar, sedang tangan kanannya menotok ke jalan darah itu.   Ia sekarang suatu mendapat kenyataan bahwa dua orang yang lain adalah si kakek botak A jie dan Giok bin Sin kiam Poei Tong pek.   Orang yang ditotok olehnya mengenakan jubah panjang warna hijau dan tangannya memegang dua batang jarum emas.   Tak bisa salah lagi dia seorang tabib yang sedang mengobati ketiga jago itu dengan penjaruman.   Di atas meja terdapat sebuah botol yang berwarna hitam dan pinggir botol menggeletak beberapa gulung daun hio.   Boe Kie menjemput botol itu, membuka tutupnya dan mencium-cium.   Ia mengendus bebauan yang pedas dan tajam.   Tiba-tiba Oe boen Cek berteriak.   "Tolong!... ada orang merampas obat!... Bagaikan kilat Boe Kie menotok A-hiat (hiat yang membuat orang jadi gagu) ketiga jago itu dan kemudian membuka balutan lengan Oe boen Cek. Ternyata lengan itu dilabur dengan lapisan koyo yang berwarna hitam. Karena mengenal kelicikan Tio Beng, sehingga nona itu mungkin menaruh obat palsu di dalam botol untuk menjebaknya, maka Boe Kie segera mengeruk koyo yang melekat di luka- luka Oe boen Cek dan si kakek botak. Ia menganggap bahwa andaikata di dalam botol itu berisi obat palsu, obat yang dilabur kedua jago itu tak mungkin palsu. Sementara itu karena mendengar teriakan Oe boen Cek, orang-orang yang menjaga di luar sudah mulai menyerang. Pintu ditendang dan beberapa orang menerjang masuk. Tanpa menengoki Boe Kie menendang setiap musuh yang mendekatinya. Dalam sekejap ia sudah merobohkan enam orang. Sesaat kemudian ia sudah mengeruk habis koyo yang melekat di luka-luka Oe boen Cek dan A jie dan kemudian membungkusnya dengan kain pembalut. Ia tidak berani berdiam lebih lama lagi, karena jika Hian beng Jie lo keburu datang, ia bakal berabe sekali. Dengan cepat ia masukkan botol hitam dan bungkusan koyo ke dalam sakunya dan kemudian melontarkan tubuh si tabib keluar jendela.   "Plak!"   Tabib itu terpukul jatuh.   Benar saja di luar bersembunyi musuh.   Dengan menggunakan kesempatan itu, Boe Kie melompat keluar.   Dua sinar golok menyambar.   Dengan menggunakan Kian koen Thay lo ie Sin kang, Boe Kie menyeret dengan tangan kanannya dan menarik dengan tangan kirinya, sehingga musuh yang di sebelah kiri membabat yang di sebelah kanan.   Sementara itu, ia sendiri kabur secepat-cepatnya.   Ia berlari-lari dengan hati bungah.   Biarpun ia tidak dapat menyelidiki asal usul Tio Beng tapi didapatkannya Hek giok Toan Siok ko secara begitu mudah sudah merupakan hasil yang gilang gemilang.   Ia tidak mau membuang2 waktu pergi ke Kok shia guna menemui Yo Siauw dan yang lain-lain, tapi terus menuju ke Boe tong san.   Setibanya di kuil, ia segera memerintahkan salah seorang anggota Ang sei kie pergi ke Kok shia untuk memberitahukan hal itu kepada Yo Siauw dan kawan2nya.   Mendengar Hek giok Toan siok ko telah dapat dirampas, Thio Sam Hong dan yang lain-lain tentu saja merasa sangat girang.   Sesudah menuturkan cara bagaimana ia merebut koyo itu, Boe Kie segera membandingkan koyo kerokan dengan obat yang terisi di dalam botol hitam itu.   Ternyata kedua-duanya tidak berbeda, di samping itu ia pun mendapat kenyataan bahwa botol obat dibuat daripada sepotong batu giok hitam yang jika dipegang mengeluarkan rasa hangat, sehingga botol itu saja mempunyai harga yang tidak bisa ditaksir berapa besarnya.   Sekarang ia tidak bersangsi lagi.   Ia segera memerintahkan orang menggotong In Lie Heng ke kamar Jie Thay hiam dan merendengkan kedua mereka.   Poet Hwie yang ikut masuk tidak berani kebentrok mata dari Boe Kie, tapi paras mukanya yang berseri-seri membuktikan bahwa ia merasa sangat berterima kasih.   Dahulu waktu mengantar dia ke See hek Boe Kie telah membuat pengorbanan besar, antaranya di Koen loen san mewakili dia minum arak beracun.   Tapi bagi si nona, semua budi itu kalah besarnya seperti budi yang sekarang.   "Sam soepeh,"   Kata Boe Kie.   "lukamu yang dahulu sudah rapat dan sembuh. Kalau sekarang mau diobati tit-jie harus mematahkan lagi tulang-tulang dan kemudian menyambungnya pula. Tit-jie harap Sam soepeh suka menahan sakit untuk sementara waktu."   Di dalam hati Jie Thay Giam tidak percaya bahwa kelumpuhannya yang sudah berjalan kurang lebih duapuluh tahun masih dapat diobati.   Tapi ia tak mau menolak, sebab ia merasa paling jeleknya obat itu tidak berhasil dan ia bercacat terus.   Di samping itu iapun sungkan mengecewakan keponakannya yang sangat berbudi.   "Boe Kie berusaha untuk menebus dosa kedua orang tuanya dan jika aku menolak, ia tentu tak enak hati,"   Pikirnya.   "Perduli apa sedikit rasa sakit."   Ia seorang lelaki keras kepala yang tak suka banyak bicara. Ia hanya tersenyum dan berkata. "Boe Kie, kau boleh berbuat sesukamu."   Sesudah meminta Poet Hwie keluar Boe Kie buka pakaian pamannya itu dan sehabis menotok jalan darah Hoen soei hiat (jalan darah yang mengakibatkan pulas) ia segera mematahkan tulang-tulang di bagian yang dulu patah.   Ia menyambung lagi tulang itu melabur koyo dan dibalut dengan jepitan papan tipis.   Mengobati In Lie Heng banyak lebih mudah karena waktu bertemu dengan sang paman di See hek ia sudah menyambung tulang yang patah secara sempurna sehingga sekarang tidak perlu dipatahkan lagi.   Ia hanya perlu melabur koyo dan membalutnya.   Sesudah selesai barulah merasai letihnya.   Ia segera memerintahkan kelima orang kie soe Ngo heng kie untuk menjaga kedua pamannya secara bergilir lalu sehabis makan tengah hari, ia mengaso dalam kamarnya.   Karena kantuk dan lelah tak lama kemudian ia tertidur.   Tiba-tiba lapat-lapat terdengar suara tindakan kaki dan seseorang berhenti di depan kamarnya.   "Ada apa? Kauw coe sedang tidur?"   Bisik Siauw Ciauw yang menjaga di luar pintu. Jawab Goan Hoan, Ciang kie soe Houw touw kie dengan suara perlahan.   "In Lie hiap menderita kesakitan hebat dan sudah tiga kali pingsan."   Sebelum Gan Hoan bicara habis, Boe Kie sudah melompat keluar dan berlari pergi ke kamar Jie Thay Giam.   In Lie Heng sedang pingsan.   Kedua matanya mendelik dan Poet Hwie menangis sambil mendekap muka dengan kedua tangannya.   Di ranjang lain, sambil menggertak gigi Jie Thay Giam menggelisah.   Tak kepalang kagetnya Boe Kie.   Ia segera menotok beberapa hiat dan mengurut tubuh In Lie Heng untuk menyadarkannya.   Sambil menengok kepada Jie Thay Giam ia bertanya.   "Samsoepeh, apa kesakitan terasa di bagian tubuh yang patah?"   "Benar, tapi itu masih tak apa,"   Jawabnya.   "Yang lebih hebat lagi, rasa sakit di dalam perut seperti seperti digigit berlaksa kutu."   Boe Kie mencelos hatinya.   "Kalau benar keterangan itu, sang paman sudah pasti kena racun hebat.   "Liok siok, apa yang dirasai Liok siok?"   Tanyanya kepada In Lie Heng yang sudah tersadar. "Yang merah, yang ungu, yang hijau, kuning putih, biru indah sungguh!"   Banyak sekali bola-bola kecil menari-nari sungguh indah lihatlah lihatlah!... kau lihatlah."   "Ah!"   Teriak Boe Kie.   Ia merasa seakan2 disambar halilintar, sehingga hampir-hampir ia jatuh pingsan.   Mengapa? Karena ia ingat keterangan dalam Tok keng (kitab tentang racun) dari Ong Lan Kauw, yang antara lain berbunyi seperti berikut.   Cit ciong Cit hoa ko dibuat daripada tujuh macam serangga dan tujuh macam bunga beracun.   Orang yang kena racun itu lebih dahulu merasakan sakit di dalam perut, seperti digigit serangga.   Kemudian, ia seperti melihat macam2 warna yang indah, seperti 7 macam bunga yang berterbangan kian kemari.   Dari sekian banyak serangga dan bunga beracun, orang dapat memilih tujuh macam serangga dan tujuh macam bunga2 beracun untuk membuat Cit ciong Cit hoa ko.   Yang paling hebat ialah empatpuluh sembilan macam campuran itu dengan perubahan2nya yang tak kurang dari enampuluh tiga macam.   Racun koyo itu hanya dapat dipunahkan dengan menggunakan racun juga.   Keringat dingin membasahi baju Boe Kie.   Ia tahu, bahwa ia sudah kena dijebak Tio Beng dan bahwa koyo di dalam botol itu bukan lain daripada Ciat ciong Ciat hoa ko.   Mengingat kekejaman Tio Beng, ia bergidik.   Dalam memasang jebakan, perempuan itu tidak merasa segan untuk melebur racun di tubuh kedua orang sebawahannya, untuk mengorbankan jiwa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi.   Dengan cepat Boe Kie membuka kain pembalut dan dengan arak mencuci koyo racun yang melekat di kaki dan tangan kedua pamannya.   Melihat paras muka pemuda itu, Poet Hwie tahu, bahwa sesuatu yang hebat telah terjadi.   Tanpa malu-malu lagi, ia segera bantu mencuci kaki dan tangan In Lie Heng.   Sesudah koyo bersih, ternyata warna hitam sudah masuk ke dalam daging dan tidak dapat dihilangkan lagi.   Boe Kie tidak berani sembarangan menggunakan obat.   Ia hanya memberikan obat untuk menahan sakit dan menentramkan semangat kepada kedua pamannya.   Sesudah itu, dengan tindakan limbung ia bertindak keluar dari kamar Jie Thay Giam.   Rasa kaget, kuatir dan malu memenuhi dadanya.   Tiba-tiba kedua lututnya lemas dan ia roboh sambil menangis.   Poet Hwie memburu.   "Boe Kie koko! Boe Kie koko!"   Teriaknya dengan air mata bercucuran. Aku sudah membunuh Sampeh dan Liok siok!..."   Katanya dengan suara putus harapan.   Pada detik itu, ia sama sekali tidak melihat jalan untuk menolong jiwa kedua pamannya.   Cit ciong Cit hoa ko dapat dibuat menurut ratusan cara.   Siapapun jua tak akan tahu serangga macam apa dan bunga apa yang digunakan dalam membuat koyo itu.   Untuk memunahkan racun itu, orang harus menggunakan "racun melawan racun".   Dengan demikian, sebelum orang tahu racun apa yang terdapat dalam koyo itu, ia tidak berdaya, sebab kalau salah menggunakan racun, maka si penderita pasti akan hilang jiwanya.   Dalam kedukaannya dan rasa menyesalnya yang sangat besar, tiba-tiba Boe Kie mengerti, mengapa dahulu ayahnya telah membunuh diri.   Ia sekarang sudah berbuat kesalahan besar yang tidak bisa diperbaiki lagi.   Seperti mendiang ayahnya, baginya pun hanya terdapat satu jalan.   Jalan membunuh diri untuk menebus dosa.   Perlahan-lahan ia bangun berdiri.   "Boe Kie koko, apa benar tak ada obat lagi?"   Tanya Poet Hwie dengan mata membelalak.   "Boe Kie koko, mengapa kau tidak mau mencoba?"   Boe Kie menggeleng-gelengkan kepala. "Oh, begitu?"   Kata si nona.   Di luar dugaan dalam mengeluarkan perkataan itu, suara dan sikap Poet Hwie kelihatan tenang.   Mendadak jantung Boe Kie memukul keras.   Ia ingat apa yang pernah dikatakan oleh si nona.   Pada waktu membuka rahasia hatinya, antara lain Poet Hwie mengatakan.   " kalau lukanya tak sembuh akupun tak bisa hidup lebih lama di dalam dunia."   Ia sekarang tahu, bahwa ia bukan membunuh dua, tetapi tiga orang. Dengan mata berkunang-kunang, ia berdiri bagaikan patung. Tiba2 Gouw Kin Co masuk dan berkata.   "Kauw coe, Tio Kouw nio berada di luar kuil dan minta bertemu dengan kau."   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Aku justru mau cari dia!"   Teriak Boe Kie.   Ia mencabut pedang yang tergantung di pinggang Poet Hwie dan lalu menuju keluar pintu dengan tindakan lebar.   Siauw Ciauw mencabut kembang mutiara yang tertancap di kundainya dan sambil mengangsurkan perhiasan itu kepada Boe Kie, ia berkata.   "Kong coe, pulangkan ini kepadanya." Boe Kie mengawasi dan di dalam hati ia memuji sikap si nona. Tanpa mengatakan suatu apa, ia mengambil kembang itu. Setibanya di luar, ia lihat Tio Beng berdiri sendirian dengan bibir tersungging senyuman, dengan disoroti sinar matahari sore, nona itu kelihatan lebih cantik lagi. Di belakangnya, dalam jarak belasan tombak, berdiri Hian beng Jie lo yang memegang tali les dari tiga ekor kuda. Boe Kie melompat. Dengan sekali berkelebat tangan kirinya sudah mencekal kedua pergelangan tangan si nona, sedang pedangnya yang dipegang dengan tangan kanan, menuding dada musuh.   "Keluarkan obat pemunah!"   Bentaknya. Kata Tio Beng sambil tersenyum.   "Kau pernah memaksaku, apa kini kau ingin memaksa lagi? Aku datang untuk menengok kau. Mengapa kau bersikap begitu garang terhadap seorang tamu?"   "Berikan obat pemunah kepadaku!"   Kata Boe Kie.   "Jika tidak, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi dan kaupun tak usah hidup lebih lama lagi". Muka si nona bersemu dadu.   "Fui!"   Katanya.   "Kau mau mati, boleh mati. Kau sangkut paut apa denganku? Siapa mau mati bersama-sama kau?"   "Aku bukan berguyon,"   Kata Boe Kie dengan mata melotot.   "Apabila kau tidak menyerahkan obat pemunah, hari ini adalah hari matinya kau dan aku". Dari kedua pergelangan tangannya yang dicengkeramkan Boe Kie, nona Tio dapat merasakan bergemetarnya tubuh pemuda itu. Iapun merasai sebuah benda keras di telapak tangan Boe Kie.   "Pegang apa kau?"   Tanyanya. "Kembangmu", jawabnya.   "Nih, aku pulangkan!"   Dengan sekali menggerakkan tangan kembang itu sudah menancap di kundai si nona dan kemudian, secepat kilat, tangan kirinya itu sudah mencengkeram pula pergelangan tangan Tio Beng. "Mengapa kau pulangkan?"   Tanya nona Tio. "Kau mempermainkan aku hebat sekali,"   Jawabnya.   "Ku tak sudi memegang segala milik kau". "Apa benar?"   Menegas Tio Beng sambil tersenyum. "Tapi mengapa kau meminta obat dari aku?"   Ditanya begitu, Boe Kie jadi tertegun.   Dalam mengadu lidah, ia selalu kalah.   Mengingat bahwa Jie Thay Giam dan In Lie Heng akan segera meninggal dunia, bukan main rasa dukanya.   Kedua matanya merah, hampir2 ia mengucurkan air mata.   Andaikata ia bisa mendapatkan obat itu, ia rela untuk berlutut.   Tapi ia yakin, bahwa terhadap wanita yang kejam itu, takkan guna ia memohon-mohon.   Sementara itu, In Thian Ceng dan yang lain-lain sudah datang ke situ.   Melihat tangan nona Tio dicekal Boe Kie dan Hian beng Jie lo berdiri di tempat jauh dengan sikap acuh tak acuh, merekapun segera berdiri di belakang Boe Kie dan menunggu perkembangan selanjutnya dengan hati berdebar debar.   Sesudah berdiam sejenak, nona Tio berkata pula.   "Kau seorang kauwcoe dari Beng kauw dan ilmu silatmu yang sangat tinggi menggetarkan dunia. Tapi mengapa baru saja menghadapi sebuah cengkeraman kecil, kau sudah bersikap kanak-kanak? Kau berteriak2 dan menangis2. Sungguh memalukan! Aku sekarang mau bicara sejujurnya. Sebab kau kena pukulan Hian beng Sin ciang, aku sengaja datang untuk menengok keadaanmu. Di luar dugaan, begitu bertemu dengan aku, kau berteriak-teriak. Lepaskan tanganku! Mau lepas atau tidak?"   Ditegur begitu, Boe Kie merasa sedikit jengah. Ia segera melepaskan cekalannya, sebab ia merasa bahwa biar bagaimanapun jua, nona itu tak akan bisa melarikan diri. Sambil mengusap2 kundainya yang tertancap kembang mutiara, Tio Beng tertawa.   "Tapi kau rupanya tidak terluka,"   Katanya. Boe Kie mengeluarkan suara di hidung.   "Hm! Segala Hian beng Sin ciang belum tentu dapat melukai orang,"   Katanya. "Tapi bagaimana dengan Tay lek Kim kong cie? Dengan Cit ciong hoa ko?"   Tanya Tio Beng dengan nada mengejek. "Benar2 Cit ciong Cit hoa ko!"   Kata Boe Kie dengan penuh kebencian. Tiba-tiba nona Tio mengubah sikapnya. Sekarang ia berkata dengan suara sungguh-sungguh.   "Thio Kauwcoe, aku bersedia untuk menyerahkan Hek giok Toan sik ko kepadamu dan akupun bersedia untuk memberi obat pemunah Cit ciong Cit hoa ko kepadamu. Aku bersedia, asal saja kau suka meluluskan tiga permintaanku. Jika kau menggunakan kekerasan, kau dapat membunuh aku, tapi kau jangan harap bisa mendapat obat. Kalau kau coba memaksa aku dengan disiksa, aku bisa memberi obat palsu atau racun yang hebat."   Boe Kie girang.   "Permintaan apa? Lekas bilang!"   Katanya cepat. Sambil bersenyum, si nona menjawab.   "Bukankah aku pernah mengatakan, bahwa begitu lekas aku dapat memikir tiga permintaan itu aku akan segera memberitahukan kepadamu? Kau hanya perlu mengatakan dan berjanji untuk tidak melanggar janji. Aku mesti tak akan minta kau menangkap rembulan di langit, tak akan minta kau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Rimba Persilatan dan juga takkan minta kau membunuh diri sendiri."   Mendengar bahwa ia tak akan diminta untuk "melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan Rimba Persilatan"   Boe Kie merasa lega. Ia lantas saja berkata dengan suara lantang.   "Tio Kouwnio, asal saja kau benar-benar memberikan obat yang bisa menyembuhkan kedua pamanku, biarpun mesti masuk ke lautan api, aku tak akan menampik segala perintahmu."   Tio Beng tersenyum sambil mengangsurkan tangan ia berkata.   "Baiklah! Marilah kita menepuk tangan sebagai sumpah. Aku akan segera memberikan obat yang diminta olehmu. Di belakang hari, sesudah Samsoepeh dan Lioksoesiokmu sudah sembuh, kau akan melakukan tiga permintaanku. Asal saja ketiga permintaanku itu tidak bertentangan dengan peraturan dalam Rimba Persilatan. Kau setuju?"   "Ya."   Kata Boe Kie seraya mengulurkan tangannya dan menepuk tiga kali tangan si nona. Sesudah itu, Tio Beng mencabut kembang mutiara yang tertancap di kundainya.   "Sekarang kau harus menerima lagi hadiah ini!"   Katanya. Sebab kuatir nona Tio marah dan menarik pulang janjinya, Boe Kie segera menyambuti perhiasan itu. "Tapi kau tidak boleh memberikan lagi kembangku ini kepada budak yang cantik itu, kata Tio Beng. "Baiklah!"   Jawabnya. Nona Tio tertawa dan mundur tiga tindak.   "Obat akan segera diantarkan kepadamu,"   Katanya.   "Thio Kauwcoe, sampai bertemu lagi!"   Ia mengibaskan tangan baju, memutar tubuhnya yang langsing dan lantas berjalan pergi.   Dengan sikap menghormat Hian beng Jie lo menyerahkan tunggangannya.   Tio Beng melompat naik ke atas punggung tunggangannya dan tanpa menengok lagi, ia turun gunung.   Sesudah si nona dan dua pengiringnya membelok di satu tikungan, dari atas sebuah pohon tiba-tiba melompat turun seorang pria.   Boe Kie mengenali, bahwa dia itu bukan lain daripada Cian Jie Pay, salah seorang dari Sin cian Pat hiong.   "Majikanku mengirim sepucuk surat kepada Thio Kauwcoe!"   Teriaknya sambil melepaskan anak panah.   Boe Kie menyambutnya dengan tangan kiri.   Di ujung anak panah itu yang mata panahnya sudah dicopotkan, terikat sepucuk surat yang dialamatkannya kepada "Thio Kauwcoe pribadi".   Boe Kie segera merobek sampul dan surat itu berbunyi seperti berikut.   "Di lapisan kotak emas, Koyo mustajab sudah tersimpan lama Di lubang kembang mutiara Terdapat surat obat Kedua barang itu sudah lama berada dalam tangan Tuan Tapi mengapa Tuan begitu bersusah hati? Karena Tuan tak sudi melihatnya Dan menyerahkannya kepada seorang budak."   Membaca itu, Boe Kie kaget, girang dan malu.   Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia memperhatikan kembang mutiara itu dan coba memutar-mutar setiap mutiara yang tertera di atasnya.   Benar juga salah sebuah dapat diputar, karena bagian bawahnya diperlengkapi dengan ulir (alur- alur berputar seperti pada sekrup).   Boe Kie segera mencopotnya dan ia mendapat kenyataan, bahwa pada batang kembang yang terbuat daripada emas terdapat sebuah lubang.   Di dalam lubang itu terisi benda yang berwarna putih.   Dengan jarum emas, ia mengorek keluar benda itu selembar kertas amat tipis dengan tulisan yang memberitahukan nama nama serangga dan kembang beracun yang digunakan dalam Cit ciong Cit hoa ko.   Di samping itu juga terdapat petunjuk cara bagaimana ia harus menolong orang yang kena racun koyo itu.   Petunjuk yang terakhir sebenarnya tak perlu diberikan.   Begitu lekas mengetahui nama-nama serangga dan kembang yang digunakan, Boe Kie sendiri bisa mengobati.   Sesudah melihat, bahwa petunjuk itu tidak menyimpang dari keharusan, ia jadi girang sekali.   Ia sekarang tahu bahwa Tio Beng tidak main gila.   Buru-buru ia masuk ke dalam dan dengan dibantu oleh beberapa orang, ia segera membuat obat dan memakaikannya di kaki dan tangan kedua pamannya.   Benar saja, dalam waktu kurang lebih satu jam, akibat mengamuknya racun sudah banyak mereda.   Rasa sakit di perut dan warna-warna yang dilihat oleh Jie Thay Giam dan In Lie Heng mulai menghilang.    Walet Besi Karya Cu Yi Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini