Ceritasilat Novel Online

Pedang Langit Dan Golok Naga 62


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 62


Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung   Boe Kie berpaling dan melihat Cie Jiak di belakangnya. Ia berduka tercampur malu. "Aku sudah bersumpah dihadapan jenazah piauwmoay, bahwa jika aku tidak membunuh perempuan siluman itu, Thio Boe Kie tak ada muka untuk hidup diantara langit dan bumi,"   Katanya dengan suara parau. "Kalau benar begitu, barulah kau seorang lelaki yg mempunyai ambekan,"   Kata Cie Jiak seraya mendekati dan lalu menangis sambil memegang jenazah nona In.   Mendengar suara tangisan, Cia Soen datang dan iapun sangat berduka ketika tahu hal meninggalnya In Lee.   Sesudah kenyang memeras air mata, Boe Kie lalu menggali lubang dan menguburkan In Lee.   Ia mengambil sebatang pohon mengulitinya dan dengan pisau si noan In, mengukir perkataan seperti berikut.   "Kuburan istriku yg tercinta, In Lee."   Dibawahnya ia mengukir namanya sendiri. Sesudah itu, ia berlutut ditanah dan menangis tersedu2. Melihat kesedihan pemuda itu, Cie Jiak merasa kasihan. "Sudahlah,"   Ia membujuk.   "Dia mencintai kau dan kaupun telah memperlakukannya dengan penuh kasih. Asal saja kau tidak melanggar janjimu dan kau benar2 dapat membinasakan Tio Beng untuk membalas sakit hatinya dialam baka roh, adik In akan merasa terhibur." (red. tidak ada halaman ato paragraph yg ilang disini, ketikan as is) Karena keduanya, racun yg sudah berkumpul di tantian Boe Kie membayar pula. Dengan bekerja keras tujuh delapan hari barulah ia bisa mengumpulkan pula racun yg buyar itu. Akhirnya kira2 sebulan, semua racun baru dapat diusir pergi. Pulau dimana mereka terkandas berbeda dari Peng Hwee to, ato Leng coa to. Disitu bukan saja tak ada pohon pohon buah, tapi juga tidak terdapat binatang yg bisa dijadikan barang santapan. Maka itu hidup mereka sangat menderita. Untung juga, sebab merasa kasihan akah kemalangan Boe Kie, Cie Jiak sudah memperlakukannya dengan penuh kasihan dan memberikan bujukan2 yg dapat diberikan sehingga dengan begitu, penderitaan pemuda itu, banyak entengan. Sesudah ia berhasil Boe Kie lalu membantu ayah angkatnya dalam usahanya mengusir racun Sip Hiang Joan kin san. Setelah beres dengan Cia Soen, ia sebenarnya harus menolong Cie Jiak, tapi pertolongan ia tidak dapat dilakukan sebab terbentur dengan tata kesopanan pada jaman itu. Dalam memberi bantuan sebelah tangan Boe Kie harus menempel pada pinggang dan sebelah tangan lagi hrs menempel pada kempungan yang mau ditolong. Mana boleh ia membantu seorang gadis remaja cara begitu? Tapi itu merupakan jalan satu2nya untuk memasukkan Kioe yg sin kang kedalam tubuh si nona selama beberapa hari, ia tidak dapat mengambil keputusan. Pada suatu malam tiba2 Cia Soen bertanya.   "Boe Kie berapa lamakah kita harus berdiam dipulau ini?"   Boe Kie terkejut.   "Suka dikatakan,"   Jawabnya.   "Kita hanya mengharap bahwa sebuah perahu akan lewat dipulau ini."   "Dalam waktu satu bulan, apakah kau pernah melihat bayang2an perahu?"   Tanya pula sang Gie hoe.   "Tak pernah"   "Ya! Mungkin besok sebuah perahu akan lewat disini.   Mungkin juga seratus tahun lagi tak muncul bayang2annya."   "Pulau ini memang pulau terpencil dan tidak berada dalam garis perhubungan air.   Harapan kita memang tidak besar."   "Hm obat pemunah tak akan bisa didapatkan, Boe Kie.   Disamping rasa lemas pada kaki tangan, bahaya apa lagi yg dapat ditimbulkan oleh racun itu?"   "Kalau mengeramnya didalam tubuh hanya sementara waktu, boleh dikata tiada lain bahaya.   Tapi kalau lama, racun itu menyerap diotot dan tulang dan sangat membahayakan anggota didalam badan."   "Nah kalau begitu mengapa kau tidak buru2 berusaha untuk menolong Cioe Kouwnio? Kalau orang tua Cioe Kouwnio adalah anggota agama kita sedang ia sendiri seorang Ciangboen jin dari Go bie pay.   Dimana lagi kau mau cari gadis yg begitu lemah lembut dan mulia hatinya? Apa kau anggap ia kurang cantik?"   Boe Kie tertegun.   "Kalau Cioe Kouwnio tidak cantik, didalam dunia tak ada wanita cantik,"   Jawabnya. Cia Soen tersenyum.   "Kalau begitu aku memerintahkan supaya kau berdua segera menikah,"   Katanya.   "Sesudah menikah, kamu tidak terikat lagi dengan segala peraturan bulukan."   Cie Jiak yang juga berada disitu buru2 berlalu dengan paras muka kemerah2an. Cia Soen melompat dan menghalangi didepannya. Ia tertawa dan berkata.   "Jangan kau pergi! Hari ini aku bertekad untuk menjalankan peranan comblang."   "Cia Looya coe, mengapa kau mengacau belo?"   Kata si nona dengan sikap kemalu2an. Kim mo Say ong tertawa terbahak.   "Perangkap jodoh antara lelaki dan perempuan adalah urusan penting dalam penghidupan manusia,"   Katanya.   "Mengapa kau mengatakan aku mengacau belo? Boe Kie, kedua orang tuamu jg menikah dipulau kecil.   Kalau dahulu mereka tidak menyampingkan segala tata adat istiadat bulukan, didalam dunia mana bisa menjelma seorang bocah yg seperti kau? Berbeda dari kedua orang tuamu, hari ini, aku yg menjadi ayah angkatmu, menjalankan peranan sebagai Coaboen (orang yang menikahkan).   Apa kau tidak suka Cioe Kouwnio? Apa kau tak sudi menolong dia?"   Cie Jiak jadi makin jengah. Ia coba lari. Sambil menarik tangan si nona, Cia Soen berkata.   "Kemana kau mau lari? Apa besok kamu tidak bakal bertemu pula. Aha! Kutahu, katu tidak sudi memanggil "Kong kong"   Kepadaku, si buta. Bukankan begitu?"   "Bukan! Bukan begitu!"   "Dengan lain perkataan, kau menyetujui usulku?"   "Tidak!... tidak!...."   "Mengapa tidak? Apa kau anggap anak angkatku tak pantas menjadi pasangan?"   Cie Jiak tidak lantas menjawab. Sejenak kemudian, sambil menatap muka Kim mo Say ong ia berkata dengan suara perlahan.   "Thio Kong coe, memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan namanya terkenal diseluruh kalangan Kangouw. Kalau seorang wanita bisa mendapatkan ia sebagai suami, apalagi yg masih kurang? Tapi tapi"   "Tapi apa?"   "Tapi. Didalam hati, dia mencintai Tio Kouwnio. Kutahu adanya kenyataan ini."   Cia Soen menggertak gigi.   "Tidak bisa jadi!"   Katanya. "Tak mungkin Boe Kie kelelap terhadap perempuan yg begitu jahat, yg sudah mencelakai kita secara begini hebat. Boe Kie aku ingin dengar pernyataan dari mulutmu sendiri."   Didepan mata Boe Kie terbayang senyuman dan cara2 Tio Beng yg membetot hati.   Ia merasa sangat beruntung kalau bisa menikah dengan gadis yg sangat menarik hati itu.   Tiba2 ia seolah2 melihat pula jenazah In Lee yg mukanya penuh dengan goresan pedang.   Darahnya meluap dan ia segera berkata.   "Tio Kouwnio adalah musuh besarku. Aku akan membunuh dia guna membalas sakit hatinya piauwmoay."   "Cioe Kouwnio, kau dengarlah!"   Kata Coa Soen.   "Apa kau masih tak percaya?"   "Aku masih bersangsi"   Jawabnya dengan suara perlahan.   "Aku masih bersangsi, kecuali kecuali dia bersumpah. Kalau tidak, aku lebih suka mati daripada ditolong olehnya."   "Boe Kie, lekas sumpah!"   Kata sang Giehoe. Boe Kie segera berlutut dan berkata.   "Apabila aku, Thio Boe Kie, melupakan sakit hatinya piauwmoay, biarlah langit dan bumi mengutuk aku."   "Kau harus bicara secara tegas,"   Kata Cie Jiak.   "Apa yg ingin diperbuat olehmu terhadap Tio Kouwnio?"   Didalam hati Cia Soen merasa geli. Galak benar nona Cioe! Belum jadi istri, tuntutannya sudah begitu hebat. Tapi sebagai seorang tua, ia lantas saja berkata.   "Boe Kie, hayolah bicara biar tegas!"   Boe Kie mengangguk dan berkata dengan suara nyaring.   "Perempuan siluman Tio Beng bekerja untuk kaisar Tat coe.   Dia mencelakai rakyat, membunuh pendekar2 Rimba Persilatan mencari golok mustika Gie Hoe dan membinasakan In Lee piauwmoay.   Begitu lama ia masih bernapas, Thio Boe Kie tidak akan melupakan sakit hati itu.   Jika aku melanggar sumpah ini, biarlah langit mengutuk aku, bumi mengutuk aku."   Cie Jiak tertawa.   "Aku hanya kuatir, jika tiba waktunya kau akan menaruh balas kasihan terhadapnya,"   Katanya. "Sekarang sudah berse,"   Kata Cia Soen.   "Kita, orang2 dalam kalangan kangouw, selamanya tidak banyak rewel. Menurut pikiranku, sebaiknya kamu berdua hari ini segera menikah, supaya racun Sip haing joan kin san bisa terusir secepat mungkin."   "Tidak!"   Bantah Boe Kie.   "Giehoe, Cie Jiak dengarlah dulu perkataanku. In kouwnio sangat mencintai aku. Sedari kecil ia menganggap aku sebagai suami nya dan akupun menganggap dia sebagai istri. Sekarang, sedang jenazah nya masih belum dingin, mana aku tega untuk segerah menikah?"   Sesudah memikir sejenak, Cia Soen berkata.   "Benar juga. Tapi bagaimana keinginanmy?"   "Menurut pikiran anak, hari ini anak mengikati tali pertunangan dengan Cioe Kouw nio dan segera membantunya dalam mengusir racun Sap hiang joan kin san,"   Jawabnya.   "Kalau dengan berkah langit, kita bisa pulang ke Tiong goan sesudah membunuh Tio Beng dan memulangkan To liong to kepada Gie hoe, barulah anak melangsungkan upacara pernikahan. Dengan begini, segala apa akan dapat diselesaikan secara baik."   "Baik memang baik sekali,"   Kata Cia Soen.   "Tapi bagaimana kalau sampai sepuluh duapuluh tahun kita masih belum bisa pulang ke Tiong goan?"   "Didalam batas waktu tiga tahun, tak peduli kita bisa pulang ke Tiong goan atau tidak Gieh pe boleh menikahkan kami,"   Jawabnya. Kim mo sau ong mengangguk.   "Cio Kouw nio, bagaimana pendapatmu?"   Tanyanya. Cie Jiak menundukkan kepalanya, selang beberapa saat, barulah ia menyahut.   "Aku seorang perempuan sebatang kara. Aku tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan menyerahkan segala apa kepada Loo ye coe."   Cia Soen tertawa terbahak2.   "Bagus! Bagus!"   Katanya. "Kita bertiga menetapkan janji itu. Sekarang kamu sudah menjadi tunangan dan tak usah malu2 lagi. Boe Kie, lekas bantu, tunanganmu!"   Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan tindakan lebar. Sesudah ayah angkatnya pergi, Boe Kie berkata dengan suara perlahan.   "Cie Jiak, apakah kau bisa mengerti perasaan hatiku yg penuh kesengsaraan?"   Si nona tersenyum.   "Karena mukaku tak cantik, kau sudah mengajukan rupa2 alasan,"   Katanya.   "Andai kata aku Tio Kouwnio, mungkin sekarang juga."   Ia tidak meneruskan perkataannya dan berpaling kejurusan lain. Dengan jantung memukul keras, Boe Kie berkata didalam hati.   "Waktu terombang ambing ditengah lautan aku pernah melamun untuk mengambil empat istri sekaligus. Tapi didalam hati kecilku, orang yg benar2 kucintai adalah si perempuan siluman yg jahat itu. Hai! . Cuma2 saja aku dinamakan seorang gagah. Aku masih belum bisa membedakan mana yg baik mana yg jahat."   Ketika Cie Jiak menengok lagi, ia lihat tunangannya sedang termenung.   Tanpa mengatakan suat apa, ia segera berjalan pergi Boe Kie buru2 menarik tangannya.   Diluar dugaan sebab lweekangnya musnah, ditarik begitu, nona Cioe terhuyung dan jatuh didalam pelukan Boe Kie.   "Apakah seumur hidup aku harus selalu di hina kau?"   Tanyanya dengan suara mendongkol. Cie jiak benar2 cantik. Ia cantik selagi tertawa dan cantik pula selagi bergusar. Sambil terus memeluk, Boe Kie berkata daengan suara lemah lembut.   "Cie Jiak, kata pertama bertemu disungai Han soe. Waktu itu aku sudah mencintai kau. Sungguh diluar dugaan, bahwa hari ini apa yg telah dibayang2kan olehku dapat terwujud. Waktu aku sedang bertempur melawan empat tetua Koen loen dan hwa san pay di kong beng teng, kau telah memberi petunjuk kepadaku dan menolong jiwaku, untuk pertolongan itu, aku sekarang menghaturkan banyak terima kasih."   Si nona membiarkan dirinya dipeluk. "Hari itu aku menikam kau, apa kau tidak membenci aku?"   Bisiknya. "Tidak,"   Jawabnya "Kau tak menikam terus. Detik itu juga kutahu, bahwa kau sebenarnya mencintai aku."   Muka Cie Jiak lantas saja berubah merah.   "Fui! Kalau kutahu bakal terjadi kejadian2 yg sudah terjadi, hari itu aku sudah menikam jantungmu, supaya aku tak dihina kau terus menerus,"   Katanya. Boe Kie tertawa.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Aku sangat mencintaimu, mana boleh aku menghina kau?"   Katanya. Untuk beberapa saat, kedua orang muda yg sedang menikmati kebahagian tidka berkata2. Akhirnya, sambil bersandar didada yg lebar, nona Cioe memecahkan kesunyian. "Boe Kie koko,"   Katanya.   "Kalau aku membawa kesalahan kepadamu, kalau aku berdosa apakah kau akan mencaci aku, memukulku, membunuh aku?"   Boe Kie mencium leher si nona.   "Wanita yg semulia kau tak mungkin berdosa,"   Jawabnya.   "Biarpun nabi bisa membuat kesalahan sebagai manusia biasa, aku pasti tak terbebas dari segala kekhilafan."   "Kalau benar begitu, aku takkan marah.   Aku hanya akan membujuk kau supaya insaf akan kekeliruan."   "Apa kau takkan berubah pikiran terhadapku? Apa kta takkan membunuh aku?"   "Cie Jiak, sudahlah! Jangan memikir yang tidak2.   Mana bisa terjadi kejadian itu?"   "Baiklah!"   Kata Boe Kie sambil tertawa. "Aku berjanji takkan berubah pikiran, tak akan membunuh kau."   Cie Jiak menatap wajah Boe Kie.   "Aku tak mau kau memberi janji sambil tertawa-tawa,"   Katanya.   "Aku menuntut kau bersungguh."   "E-eh!... Ada apa yg masuk kedalam otakmu?"   Tanya Boe Kie sambil tertawa geli. Tapi didalam hati dia berkata. "Dasar aku yg salah. Ia rupa2nya masih berkuatir, karena sikapku yg penuh kecintaan terhadap Tio Beng. Siauw Ciauw dan piauw moay."   Memikir begitu, dia lantas saja berkata dengan sungguh2.   "Cie Jiak, kau istriku. Kalau dahulu hatiku banyak bercabang, sekarang lain keadaannya. Aku berjanji, bahwa mulai detik ini, aku takkan berubah pikiran terhadapmu. Andai kata kau bersalah, andai kata kau berdosa, aku bahkan takkan mencaci kau."   Si nona menghela napas.   "Boe Kie koko,"   Katanya.   "Kau seorang laki2 yang sejati. Kuharap dihari kemudian, kau tidak akan melupakan perkataanmu yg dikeluarkan pada malam ini."   Ia menuding bulan sisir yg baru muncul "Boe Kie koko, sang rembulan menjadi saksi kita berdua."   "Benar,"   Kat Boe Kie.   "Kau benar. Sang rembulan menjadi saksi."   Sambil mengawasi dewi malam itu ia berkata pula.   "Cie Jiak, selama hidup, sering sekali aku dihina orang.   Sebab terlalu percaya manusia, sering sekali aku menderita.   Entah berapa kali, aku tak ingat lagi.   Hanyalah pada waktu berada di Peng hwee to bersama ayah, ibu dan Giehce, aku terbebas dari segala kelicikan manusia rendah.   Waktu aku baru tiba di Tiong goa, seorang pengemis sedang bermain main dengan seekor ular, telah menipu aku.   Dia membujuk supaya aku melongok kedalam karungnya untuk melihat ularnya dan tiba2 ia menangkrup dengan karungnya itu.   Lihatlah sekarang.   Kita datang dipulau ini dnegna sama sama menderita.   Siapa nyana pada malam pertama, Tio Kouwnio telah menaruh racun dimakanan kita dan kabur dengan perahu yg satu2nya?"   Si nona tersenyum.   "Sudahlah,"   Katanya.   "Menyesalpun tiada gunanya."   Tiba2 gelombang rasa bahagia bergolak golak dalam dada Boe Kie.   "Cie Jiak,"   Bisiknya.   "Kau adalah manusia yg berada paling dekat denganku. Kau selalu memperlakukan aku dengan penuh kecintaan. Dihari kemudian, sesudah kita pulang dari Tiong goan, kau dapat membantu aku untuk berjaga jaga terhadap manusia2 rendah. Dengan bantuanmu, aku boleh tak usah mengalami lebih banyak penderitaan lagi."   Si nona menggelengkan kepalanya.   "Aku seorang yg tak punya guna,"   Katanya. "Aku kalah jauh daripada Tio Kouwnio, bahkan masih kalah dari Siauw Ciauw kouwnio. Apa kau tahu, bahwa istrimu seorang bodoh?"   Demikianlah, sambil berduduk dipinggir pantai kedua tunangan ini beromong kosong sampai larut malam.   Pada keesokan harinya Boe Kie mulai membantu Cie Jiak dengan Kioe yang Sin kang.   Ia merasa girang bahwa tunangannya segera mendapat kemajuan.   Mungkin sekali, sebab tidak banyak makan, Cie Jiak hanya menelan sedikit racun.   Tapi diluar dugaan, pada hari ketujuh didalam tubuh si nona muncul semacam hawa yang amat dingin, yg melawan hawa Kioe yang sin kang.   Dengan seantero tenaganya, Cie Jiak coba menekan hawa dingin itu, tapi ia tetap tak dapat memasukkan Kioe yang Sin Kang kedalam badannya.   Boe Kie kaget dan segera menanyakan pendapat ayah angkatnya.   Sesudah memikir beberapa saat, Cia Soen berkata.   "Akupun tidak mengerti.   Mngkin sekali karena pemimpin Go Bie pay seorang wanita, maka tenaga dalam mereka bersifat Im Jioe (dingin lembek)."   Boe Kie manggut2kan kepalanya.   Untung jg lweekang Cie Jiak berada disebelah bawah lweekang Boe Kie.   Maka itu dalam memasukkan sin kang kedalam tubuh si nona, pemuda itu dapat menindih hawa yg sangat dingin itu.   Tapi dengan demikian ia harus mengeluarkan lebih banyak tenaga daripada waktu membantu ayah angkatnya.   Ia merasa bahwa Im Kim (tenaga dingin) dari tunangannya memang belum kuat.   Tapi sebagai ahli, ia tahu, bahwa dihari kemudian, kalau Cie Jiak sudah mencapai tingkat yg tinggi, ia kaan memperoleh lwee kang yg dahsyat luar biasa.   Tanpa terasa ia memuji.   "Cie Jiak, gurumu, Biat Coat Soethay, memang seorang tokoh jarang tandingan.   Ia telah mewariskan lweekang yg sangat tinggi kepadamu.   Apabila kau terus berlatih menurut ajaran itu, dikemudian hari tenaga dalammu akan bisa berendeng dengan Kioe yang sin kaing yg dimiliki olehku."   "Justru!"   Kata si nona sambil tertawa. "Mana bisa ilmu GO bie pay merendengi Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen Tay Lo Ie dari Toa Kauw Coe (Kauwcoe besar)?"   "Cie Jiak, aku tidak bicara main2,"   Kata pula Boe Kie dengan paras sungguh2.   "Bakatmu sangat baik, mungkin sekali, didalam jurus2 ilmu silat, kau tidak dapat memahami telalu banyak.   Tapi dalam lweekang kau sudah mempunya dasar yg sangat baik.   Tay suhu sering mengatakan, bahwa pada tingkat tertinggi ilmu silat yg berhubungan erat dengan sifat seorang manusia yg mempelajarinya.   Seorang yg berotak cerdas belum tentu bisa naik sampai dipuncak tertinggi.   Sepanjang ceritga ayah, Kwee liehiap pendiri Go Bie pay, yaitu Kwee tayhiap adalah seorang yg berotak tumpul.   Akan tetapi semenjak dahulu sampai sekarang, ilmu silat yg dimiliki Kwee tayhiap mungkin belum ada tandingannya.   Tay soehoe mengatakan bahwa ia sendiri belum bisa merendengi lwee kang Kwee tayhiap.   Cie Jiak, aku bersungguh2.   pelajaran lwee kang Go bie pay agaknya masih lebih tinggi dari Boe tong pay.   Menurut penglihatanku dihari nanti, kalau kau sudah berhasil, kau bisa berada disebelah atas gurumu sendiri."   Si nona mengawasi tunangannya.   "Ah! Kau hanya ingin mengambil hatiku,"   Katanya seraya tersenyum.   "Aku sudah merasa sangat puas, apabila aku bisa memperoleh sepersepuluh dari kepandaian Sian soe. Aku akan segera berterima kasih, jika kau sudah mengajarku dalam ilmu Kioe yang Sin Kang Kian Koen tay lo Ie."   Boe Kie tidak menjawab ia megerutkan alisnya. Si nona tertawa.   "Apa aku belum cukup berderajat untuk menjadi murid Tao Kauwcoe?"   Tanyanya.   "Bukan begitu! Aku merasa bahwa lweekang mu berbeda dari lweekang ku.   Bukan saja berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain.   Kalau aku mengajar kau akan menghadapi suatu yg amat sukar dan sangat berbahaya.   Bukan aku tak sudi."   "Kalau kau tak sudi mengajar, sudahlah! Perlu apa rewel2? Dalam belajar ilmu silat, paling banyak tidak berhasil.   Mana bisa jadi berbahaya?"   "Kau salah! Kau salah menerka.   Kioe yang Sin kang adalah lweekang yg bersifat Yang Kong (panas keras) sedang lweekang Go bie pay bersifat Im jioe (dingin lembek).   Apabila kau melatih diri dalam ilmu Kioe yang Sin kang, maka Im dan Yang akan bercampur menjadi satu.   Hanyalah orang2 yg memiliki kepandaian sangat tinggi, misalnya Tay suhu, yg bisa mempersatukan "air"   Dan "api"   Bercampur "keras"   Dengan "lembek".   Salah sedikit saja ilmu itu akan membakar, orang yg berlatih seperti golok makan tuan.   Hm.   Cie Jiak, nanti manakala lweekangmu sudah mencapai tingkat yg tinggi, kau boleh mempelajari Sim hoat dari Kian koen Tay lo ie." Si nona tertawa geli.   "Aku hanya berguyon,"   Katanya.   "Mulai dari sekarang aku tak akan berpisah lagi dengan kau, sehingga tak ada perbedaan apa itu ilmu silatku atau ilmu silatmu.   Aku manusia yg malas.   Kioe yang Sin kang bukan ilmu yg gampang.   Maka ia biarpun dipaksa, belum tentu aku mau mempelajarinya."   Mendengar kata2 yg manis itu, Boe Kie merasa girang sekali.   Dalam suasana bahagia, tanpa merasa mereka sudah berdiam dipulau itu selama beberapa bulan.   Cie Jiak merasa seantero tenaganya sudah pulih kembali.   Mungkin sekali semua racun sudah terusir.   Sesudah musim dingin lewat, tibalah musim semi yg indah.   Pada suatu hari, Boe Kie memeting beberapa ranting tho yg penuh bunga disebelah timur pulau.   Dengan rasa terharu, ia menancapkan ranting2 di depan kuburan In Lee.   Ia ingat bahwa saudari sepupu itu bernasib malang.   Mungkin sekali, sehari pun nona itu belum pernah mencicipi rasa beruntung.   Ia berdiri terpaku dan didepan matanya terbayang pula kejadian2 pada masa yg lampau.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Mendadak, ia disadarkan oleh suara burung2 laut.   Ia menengadah dan tiba2 saja ia melihat layar ditempat jauh dan kendaraan air itu sedang mendatangi kearah pulau.   Itulah kejadian yg tak diduga2.   Hatinya meluap dengan kegirangan.   Ia melompat dan berteriak sambil berlari2.   "Gie hoe! Cie Jiak! Kapal! Ada kapal!"   Cia Soen dan Cie Jiak lantas saja menghampiri.   "Boe Kie koko,"   Kata si nona dengan suara gemetar.   "Bagaimana bisa ada kapal datang kesini?"   "Akupun tak mengerti"   Jawabnya.   "Apa kabal bajak?"   Setengah jam kemudia, kapal layar itu sudah membuang sauh di luar pulau.   Sebuah perahu kecil menghampiri pulau.   Cia Soen bertiga berdiri di pesisir untuk menyambut.   Segera juga mereka mendapat kenyataan, bahwa orang2 di perahu itu semua mengenakan seragam angkatan laut Mongol.   Jantung Boe Kie memukul keras.   "Apa Tio Kouwnio berubah pikiran dan datang lagi kesini?"   Tanyanya didalam hati.   Ia melirih Cie Jiak yang ternyata sedang mengerutkan alis.   Rupa2 nya tunangan itupun mempunyai dugaan yg sama.   Tak lama kemudia perahu itu menepi.   Lima orang anak buah mendarat.   Pemimpinnya seorang perwira, menghampiri Boe Kie dan bertanya sambil membungkuk.   "Apa tuan Thio Boe Kie, Thio Kongcoe?"   "Benar,"   Jawabnya.   "Siapa tuan?"   Mendengar jawaban itu, ia kelihatan girang sekali.   "Namun Siauw jin yg rendah, Pas Tai,"   Sahutnya. "Siauwjin merasa sangat beruntun, bahwa hari ini kami bisa menemukan Kongcoe. Siauwjin menerima perintah untuk menyambut Thio Kongcoe dan Cia Tayhiap pulang ke Tionggoan,"   Ia tidak menyebut nama Cie Jiak. Boe Kie menyoja.   "Dari tempat jauh tuan datang kesini dan kami merasa sangat berterima kasih,"   Katanya.   "Tapi apa kau boleh mendapat tahu, siapa yg memerintahkan tuan?"   "Siauw jin adalah orang sebawahan Teetok angkatan laut, Taiwa Che lu, yang menjaga propinsi Hiok kian,"   Jawabnya.   "Atas perintah Pol tua, Ciang Koen (jendral), siauwjin datang kesini untuk menyambut Kongcoe dan Cia Tayhiap Pol tua Ciang koen telah mengirimkan delapan buah kapal yg coba mencari kalian diperairan sepanjang propinsi Hok Kian, Ciat kang dan kwitang. Atas berkat Thian, siauw jin lah yg memperoleh pahala ini."   Dari keterang itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang yg berhasil mencari Boe Kie akan mendapat hadiah besar. Boe Kie belum pernah mendengar nama pembesar2 Mongol itu dan ia tahu bahwa semua perintah dikeluarkan atas titah Beng Beng koengcoe.   "Apa kau tahu, mengapa kau diperintah untuk menyambut kami?"   Tanyanya. "Pol tua Ciang koen mengatakan, bahwa Thio Kongcoe adalah seorang bangsawan berkedudukan tinggi dan juga seorang gagah kenamaan pada jaman ini,"   Jawabnya.   "Beliau memesan, bahwa andaikata siauwjin berhasil menemukan Kongcoe, siauw jin harus melayani sebaik mungkin.   Tentang mengapa siauwjin diperintah menyambut kongcoe, siauwjin sendiri sebagai seorang berpangkat rendah, tidak mengetahui."   "Apa ini maunya Beng beng kongcoe?"   Sela Cie Jiak. Pas tai kelihatan terkejut.   "Beng beng kongcoe?"   Ia menegas.   "Siauwjin tak punya rejeki begitu besar untuk menemui beliau."   "Apa artinya perkataan rejeki itu?"   Tanya pula si nona. "Beng beng koengcoe adalah wanita Mongol yg tercantik,"   Sahutnya.   "Tidak!... bukan begitu saja. Beliau adalah wanita tercantik diseluruh dunia, seorang yg boen boe coan cay (paham ilmu surat dan ilmu perang). Beliau adalah putra yg tercinta dari Jie Lam ong Ong ya. Siauwjin belum punya rejeki untuk melihat muka emasnya."   Cie Jiak mengeluarkan suara dihidung, tapi dia tidak menanya lagi. "Gie hoe, apa kita boleh turut merek?"   Tanya Boe Kie. "Sesudah mengambil barang2 kita disana, kita boleh lantas naik kapal,"   Jawabnya.   "Tuan tunggu saja disini."   "Biar Siauwjin dan anak buah kami yang mengangkut perbekalan kalian,"   Kata Pas Tai. Cia Soen tertawa.   "Perbekalan apa? Beberapa potong barang kita tidak dapat dinamakan perbekalan. Kami tidak berani menerima tawaran tuan,"   Katanya. Seraya berkata begitu, ia berlalu sambil menuntun tangan Boe Kie dan Cie Jiak. Setibanya dibelakang gunung, ia berhenti dan berkata.   "Secara mendadak Tio Beng mengirim kapal. Di balik tindakan ini pasti bersembunyi tipu keji. Bagaimana kita harus menghadapinya?"   "Gie hoe, apa kau rasa Tio Beng berada di kapal itu?"   Tanya Boe Kie. "Entahlah,"   Jawabnya.   "Bagus sungguh kalau benar perempuan siluman itu berada dikapal. Kita hanya harus berhati2 dalam makanan."   Cia Soen manggut2kan kepalanya. "Menurut taksiranku, Tio Beng tidak ikut serta,"   Katanya pula.   "Menurut ia ingin menulad tindakan orang Persia. Ia memancing kita kekapal dan setelah kapal berada ditengah lautan, pasukan laut Mongol akan mengurung dan menenggelamkan kapal yg ditumpangi kita."   Boe Kie mengeluarkan keringat dingin. "Tapi.. apa benar dia begitu busuk?"   Tanyanya dengan suara gemetar.   "Dia sudah tinggalkan kita dipulau ini yang akan menjadi kuburan kita. Apa itu masih belum cukup? Pada hakekatnya kita bertiga belum pernah berdosa besar terhadapnya."   Cia Soen tertawa dingin.   "Kau sudah melepaskan anggota2 enam partai dari Ban hoat sie,"   Katanya.   "Apa kau kira dia tidak sakit hati? Bagi peremouan siluman itu, perempuan siluman meninggalkan kita di pulau ini memang tak cukup sebab kita masih bisa pulang ke Tiong goan. Menghilangnya kau sudah pasti akan menggemparkan semua anggota Beng kauw. Mereka pasti akan berusaha untuk mencari kau. Dalam usaha ini, mungkin sekali mereka akan mencari sampai disini. Maka itu, jalan yg paling baik bagi si perempuan siluman adalah membinasakan kita dengan mengirim kita kedasar laut."   "Tapi Gie hoe,"   Kata si anak dengan suara sangsi.   "Kalau mereka menenggelamkan kapal yang ditumpangi kita dengan tembakan meriam, bukankah Pas Tai dan lain2 anak buah kapal bakal turut binasa?"   Cia Soen tertawa terbahak2. Sesudah itu ia pun menghela napas berulang2.   "Anak Boe Kie! Pikiranmu terlalu sederhana,"   Katanya.   "Apa kau rasa orang2 yg seperti dia menghiraukan matinya beberapa manusia? Kalau kaisar Mongol lembek seperti kau, mana bisa dia menyapu musuh2nya?"   Boe Kie tertegun. Selang beberapa saat baru lah ia berkata dengan suara perlahan.   "Gie hoe, kau benar."   "Gie hoe, apakah yang harus kita perbuat?"   Tanya Cie Jiak. "Bagaimana pikiranmu. Apa kau mempunya daya yg baik?"   Cia Soen balas menanya.   "Kalau begitu, kita jangan mengikuti mereka.   Katakan saja bahwa kita berubah pikiran dan sekarang tak mau pulang ke Tiong goan."   "Ha, ha,ha! Pikiran itu adalah pikiran tolol dari seorang gadis yg tolol pula.   Kalau kita menolak, apa mereka mau mengerti? Andaikata kita membinasakan semua anak buah kapal itu, si perempuan siluman masih bisa mengirim lain2 kapal.   Disamping itu, di Tionggoan masih banyak urusan yg harus diurus oleh Boe Kie.   Ia tidak boleh mati konyol disini."   Paras si noan lantas saja berubah merah.   "Benar,"   Katanya dengan perlahan.   "Sebaiknya kita menyerahkan saja segala apa kepada Gie Hoe."   Cia Soen manggut2kan kepalanya.   Setelah mengasah otak beberapa laam ia lalu bicara bisik2 dikuping kedua orang muda itu yg lantas saja mengangguk dengan paras muka girang.   Mereka lalu mengangkut semua bahan makanan keperahu kecil dan sesudah itu, Boe Kie menengok kekuburan In Lee untuk penghabisan kali dan berpamitan dengan mengucurkan air mata.   Setibanya di kapal, Boe Kie lalu memeriksa seluruh kapal.   Benar saja Tio Beng tidak berada di situ.   Iapun mendapati kenyataan, bahwa di antara anak buah tidak terdapat orang yang berkepandaian tinggi.   Mereka semua adalah pelaut-pelaut biasa dari angkatan perang Mongol.   Sesudah mengangkat sauh dan menaikkan layer, kapal itu mulai berlayar.   Baru berlayar beberapa puluh tomabk, Boe Kie segera bertindak dengan cepat sesuai dengan tipu yang ditetapkan Cia Soen.   Tiba-tiba dengan kecepatan kilat, tangan kirinya mencekal tangan kanannya mencabut golok perwira itu, yang lalu ditandal di lehernya.   "Dengarlah perintah aku!"   Bentaknya. "Suruh juru mudi jalankan kapal ke arah timur!"   Pas-tai kaget bercampur takut.   "ThioThio Kong- coe"   Katanya dengan suara gemetar.   "SiauwjinSiauwjin."   "Turut perintahku!"   Bentak pula Boe Kie.   "Kalau kau tidak menurut, kubacok batok kepalamu!"   "Baikbaik"   Jawabnya. Haluan kapal segera diputar ke timur. Setelah itu, Boe Kie berkata dengan suara nyaring. "Kamu semua dengarlah! Aku sudah tahu bahwa kamu ingin mencelakai kami. Lebih baik kamu mengaku. Kalau kamu berdusta, kucabut nyawamu semua!"   Seraya berkata begitu, ia menepuk pinggiran kapal dengan telapak tangan. Potongan-potongan kayu beterbangan dna bagian-bagian yang ditepuk somplak. Melihat begitu, semua anak buah ketakutan setengah mati. "Thio Kongcoe, kau bersabarlah dulu."   Kata Pas-tai dengan meringis.   "Dengan sebenar-benarnya, siauwjin hanya menerima perintah dari atasan untuk mencari Kongcoe dan Cia Tayhiap dan mengajak kalian pulang ke Tionggoan. Siauwjin hanya berharap bahwa sesudah menunaikan tugas itu, siauwjin akan mendapat sedikit hadiah. Inilah pengakuan yang setulus-tulusnya. Kami semua tidak mempunyai niat jahat."   Mendengar nada suara yang bersungguh-sungguh, Boe Kie yakin bahwa dia tidak berdusta. Ia segera melepaskan cekalannya dan berjalan ke kepala kapal. Kedua tangannya menjumput dua buah sauh yang terbuat dari besi.   "Hei! Lihatlah!"   Serunya. Dengan sekali menggerakkan tangan, kedua sauh yang beratnya beberapa ratus kati lantas saja terbang ke atas. "Aduh!"   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Semua anak buah kapal mengeluarkan suara tertahan.   Waktu kedua sauh itu jatuh, Boe Kie mendorongnya dengan menggunakan Kian-koen Tay lo ie, sehingga mereka terbang lagi ke atas.   Setelah mengulangi pertunjukkan itu tiga kali beruntun, barulah ia menyambutnya dan kemudian menaruhnya di kepala kapal.   Sebagai bangsa yang sudah menaklukkan negeri-negeri dengan kegagahan, bangsa Mongol sangat mengagumi kegagahan.   Melihat kepandaian Boe Kie, tanpa terasa mereka kagum.   "Kegagahan Thio Kongcoe bagaikan malaikat,"   Kata Pas-tai.   "Hari ini mata Siauwjin mendapat kehormatan untuk sesuatu yang luar biasa."   Demikianlah, dnegan memperlihatkan kepandaian itu, Boe Kie berhasil menaklukkan anak buah kapal.   Kapal terus menuju ke arah timur dan masuk ke samudra.   Selama tiga hari ia tak melihat lain kecuali air yang menyambung dengan langit.   Menurut perhitungan Cia Soen kapal-kapal meriam yang dikirim Tio Beng hanya berkeliaran di sepanjang pantai Hok-kian dan Kwi-tang.   Sekarang kapal yang ditumpanginya sudah berada di samudra dan takkan bertemu dengan kapal-kapal itu.   Maka itu, pada hari kelima ia lalu memerintahkan supaya kapal memutar haluan lagi dan berlayar menuju ke arah utara.   Berselang dua puluh hari lebih mereka masuk di wilayah pak hay (Lautan Utara).   Cia Soen tersenyum sendirian.   Biarpun pintar, Tio Beng takkan bisa menebak di mana adanya kapal itu.   Dari pak hay, juru mudi diperintah lagi untuk memutar haluan ke arah barat, dengan tujuan Tiong- goan.   Selama kurang lebih sebulan, Cia Soen bertiga hanya makan makanan yang dibawa mereka atau ikan yang ditangkap dari lautan.   Mereka tak berani makan makanan kapal.   Pada suatu lohor, sayup-sayup mereka lihat bayangan daratan.   Sesudah berada di lautan dalam waktu lama, tentara Mongol girang dan ia bersorak sorai.   Di waktu magrib, kapal sudah berlabuh di pinggir pantai.   Daerah pantai memang satu-satunya daerah yang merupakan gunung dan airnya dalam, sehingga kapal bisa menepi sampai menempel dengan daratan.   "Boe Kie,"   Kata Cia Soen.   "Coba kau selidiki di mana kita sekarang berada."   Boe Kie mengiyakan dan lantas melompat ke daratan.   Apa yang ditemui Boe Kie hanyalah hutan.   Salju baru saja melumer dan jalanan sangat licin.   Makin jauh ia maju, makin besar pohon-pohon yang ditemuinya.   Ia memanjat sebuah pohon yang tinggi dan memandang ke sekitarnya.   Ia ternyata berada di tengah-tengah sebuah hutan yang sangat besar.   Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda bahwa di hutan itu ada musuhnya.   Ia segera turun dari pohon dan mengambil keputusan untuk kembali ke kapal guna berdamai dengan ayah angkatnya.   Sebelum tiba, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan yang menyayat hati.   Ia terkesiap dan berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan badan.   Setibanya di kapal, ia melihat mayat-mayat yang menggeletak di kapal, antaranya mayat pas-tai sendiri.   Ia girang karena ayah angkatnya dan tunangannya tak kurang suatu apa.   Mereka berdiri dengan tenang di kepala kapal dan di situ tidak terdapat manusia lain.   "Giehoe! Cie Jiak!"   Serunya.   "Ke mana perginya musuh?"   "Musuh apa?"   Cia Soen balas bertanya. "Apa kau bertemu dengan musuh?"   "Tidak. Tapi tentara Mongol ini"   "Dibunuh olehku dan Cie Jiak!"   Boe Kie terkesiap.   "Tak disangka, begitu tiba di Tiong- goan, mereka mencoba mencelakai kita,"   Katanya.   "Tidak, mereka tak mencoba mencelakai kita.   Aku membunuh mereka untuk menutup mulutnya.   Sesudah mereka mati, Tio Beng tak akan tahu bahwa kita sudah kembali ke Tiong-goan.   Mulai dari sekarang, dia berada di tempat terang dan kita di tempat gelap, sehingga usaha untuk membalaskan sakit hati akan lebih gampang tercapai."   Boe Kie tertegun. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata dan hanya menatap wajah ayah angkatnya dengan mata membelalak. "Apa? Kau anggap aku terlalu kejam?"   Tanya Cia Soen. "Tentara Tat coe adalah musuh-musuh kita. Apa kau mau memperlakukan mereka dengan menggunakan hati Po sat (balas kasih)?"   Boe Kie membungkam terus. Di dalam hati, ia berduka. Orang-orang itu tidak berdosa dan sikap mereka sangat baik. Biarpun musuh, ia merasa tak tega untuk membunuh mereka. Melihat paras muka anak angkat Cia Soe berkata.   "Boe Kie, kau harus bisa mengeraskan hati. Terhadap musuh, kalau kita tidak turun tangan lebih dulu, kitalah yang menjadi korban. Tio Beng sangat jahat. Terhadap manusia begitu, kita harus menghadapinya dengan tindakan yang tegas, tanpa sungkan-sungkan lagi."   Boe Kie tidak berani membantah perkataan ayah angkatnya. Ia mengangguk dan berkata dengan suara parau.   "Giehoe benar."   "Boe Kie, bakarlah kapal ini,"   Perintah Cia Soen.   "Cie Jiak, geledah saku-saku semua mayat. Ambil semua barang yang berharga. Ambil tiga senjata yang paling baik untuk kita."   Perintah itu segera dijalankan.   Semua mayat terbakar bersama kapal yang kemudian tenggelam di laut.   Dengan demikian, kembalinya Cia Soen bertiga tidak meninggalkan tanda apapun juga.   Diam-diam Boe Kie merasa kagum terhadap ayah angkatnya.   Walaupun kejam, ayah angkat itu adalah seorang Kang ouw yang berpengalaman.   Malam itu mereka tidur di pinggir laut dan pada keesokan paginya meneruskan perjalanan ke selatan.   Pada hari kedua sesudah melintasi hutan, mereka bertemu dengan tujuh orang yang mencari obat-obatan sejenis "som".   Ternyata mereka sekarang berada di daerah yang berdekatan dengan gunung Tiang pek san.   Sesudah berpisah dengan ketujuh orang itu, Cie Jiak bertanya.   "Giehoe, apa kita tak perlu bunuh orang-orang itu?"   "Cie Jiak, tutup mulutmu!"   Bentak Boe Kie.   "Mereka tak tahu siapa kita. Apa kau mau bunuh semua manusia yang kita temui?"   Paras muka si nona berubah merah. Semenjak bertemu, Boe Kie belum pernah mengeluarkan kata-kata begitu keras terhadapnya. "Kalau ikut kata hatiku, aku memang ingin bunuh mereka,"   Kata Cia Soen.   "Tapi Kauwcoe kita tidak mau membunuh lebih banyak manusia. Sekarang kita harus menukar pakaian dan menyamar supaya tidak dikenali orang."   Sesudah berjalan dua hari, mereka bertemu dengna sebuah rumah petani.   Boe Kie mengeluarkan perak dan minta beli pakaian.   Tapi petani itu sangat miskin dan hanya mempunyai selembar baju kulit kambing yang bisa dijual.   Sesudah mereka mengunjungi kira-kira tujuh delapan rumah, barulah Boe Kie berhasil membeli tiga perangkat pakaian tua yang kusam.   Cie Jiak yang biasa dengan kebersihan hampir-hampir muntah waktu mengendus bau tak enak dari pakaian itu.   Tapi Cia Soen merasa girang.   Sesudah mengenakan pakaian-pakaian itu dan memoles muka mereka dengan Lumpur, mereka kelihatannya seperti pengemis Lieon tong.   Boe Kie yakin bahwa biarpun berhadapan, Tio Beng tak akan bisa mengenalinya.   Mereka terus berjalan ke arah selatan.   Pada suatu hari, mereka tiba di sebuah kota yang harus dilewati jika orang mau masuk ke Kwan-lwee.   Cia Soen bertiga pergi ke sebuah rumah makan yang paling besar.   Boe Kie mengeluarkan sepotong perak yang beratnya sepuluh tail dan berkata kepada pengurus restoran.   "Kau pegang ini. Sesudah kami selesai makan, hitunglah."   Ia memberi uang lebih dulu sebab kuatir ditolak karena pakaian mereka compang-camping. Tapi sambutannya sangat luar biasa. Pengurus itu bangun berdiri dan dengan sikap hormat memulangkan uang.   "Kami sudah merasa beruntung bahwa kalian sudi mampir di rumah makan kami yang kecil ini. Apa a rtinya semangkok dua mangkok sayur? Kali ini biarlah kami yang menjamu kalian."   Boe Kie merasa sangat heran. Sesudah mengambil tempat duduk ia berbisik kepada Cie Jiak.   "Aku heran. Mengapa dia tak mau menerima uang? Apa penyamaran kita tidak sempurna dan dikenali orang?"   Cie Jiak mengawasi Cia Soen dan Boe Kie, tidak, penyamaran mereka dapat dikatakan tidak ada cacatnya. "Nada suara pengurus itu nada ketakutan,"   Kata Cia Soen.   "Kita harus berhati-hati."   Tiba-tiba di bawah tangga loteng terdengar suara langkah kaki ramai-ramai dan tujuh orang naik ke atas, mereka semua pengemis! Lagak pengemis-pengemis itu sangat keren da mereka duduk seperti tuan-tuan besar.   Pelayan menyambut dengan sikap sangat hormat dan memanggil mereka dengan istilah "ya" (padaku tuan), seolah-olah mereka orang-orang berpangkat tinggi.   Boe Kie segera saja mengetahui bahwa mereka itu murid-murid Kay pang yang berkedudukan agak tinggi, sebab mereka membawa lima atau enam lembar karung.   Beberapa saat kemudian datang lagi lima enam pengemis, disusul dengan rombongan-rombongan lain sehingga jumlah mereka melebihi tiga puluh orang.   Diantara mereka terdapat tiga orang yang membawa tujuh lembar karung.   Boe Kie mendusin.   Kay pang mau mengadakan perhimpunan dan si pengurus rumah makan menganggap mereka sebagai anggota-anggota partai tersebut.   "Giehoe,"   Bisik Boe Kie.   "Sebaiknya kita berlalu saja supaya tidak terjadi kejadian yang tak enak. Dilihat seluruhnya, orang- orang Kay pang yang datang ke sini jumlahnya sangat besar."   Selagi Boe Kie bicara, seorang pelayan datang dengan membawa sepiring daging sapi, ayam rebus dan lima kali arak putih.   Sudah lebih dua bulan Cia Soen belum pernah makan kenyang dan sekarang ia sedang lapar.   Begitu hidungnya mengendus wanginya daging, tangannya bergerak.   "Makan dulu,"   Katanya.   "Halangan apa kalau kita makan tanpa memperdulikan urusan orang?"   Seraya berkata begitu, ia menuang arak di mangkok dan lalu meneguknya dengan bernapsu.   Dua puluh tahun lebih ia tak pernah mencicipi arak, baginya arak putih yang keras dan pedas itu seolah- olah arak yang paling baik.   Dengan dua kali teguk, semangkok besar sudah menjadi kering.   Tiba-tiba ia menaruh mangkok di meja dan berbisik, "Hati-hati! Dua orang yang kepandaian tinggi naik ke sini."   Boe Kie pun sudah mendengar langkah di tangga loteng.   Langkah kaki kiri orang yang berjalan di depan sangat berat, langkah kaki kanannya sangat ringan, sedang yang berjalan di belakang pun begitu juga, langkah sebelah ringan, sebelah yang lain berat.   Tak bisa salah lagi, mereka mempunyai kepandaian luar biasa.   Begitu mereka muncul, semua pengemis serentak bangun berdiri.   Cia Soen bertiga juga turut bangkit.   Untung juga mereka duduk di sudut yang jauh sehingga tidak menyolok mata.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Orang yang pertama bertubuh sedang, tampan dan berjenggot.   Kecuali pakaiannya, pada keseluruhannya ia seperti seorang siaucay yang tak lulus ujian.   Yang jalan belakangan keren sekali.   Di mukanya menonjol otot-otot, brewoknya seperti kawat, parasnya galak dan kulitnya hitam sehingga melihat dia, orang segera ingat Cioe Cong (panglima di jaman Sam kok yang selalu berdiri di samping Kwan kong).   Keduanya berusia lima puluh tahun lebih dan masing-masing menggendong selembar karung kecil yang tidak bisa dimuatkan suatu apa dan hanya digunakan untuk menunjuk kedudukan mereka di dalam partai pengemis.   Boe Kie menghela napas.   Ia ingat bahwa seratus tahun yang lalu, Kay pang mempunyai nama yang sangat harum.   Dari Tay soehoenya ia tahu bahwa dulu sebagai seorang pangcu, Ang Cit Kong yang berkepandaian sangat tinggi telah mengabdi kepada rakyat dan selalu bersedia untuk menolong sesame manusia sehingga dia dihormati oleh semua kalangan dalam Rimba Persilatan.   Belakangan Oey Pangcoe (Oey Yong) dan Yehlu Pangcoe juga merupakan pemimpin-pemimpin yang sangat baik.   Di luar dugaan selama beberapa puluh tahun, Kay pang banyak berubah.   Soe Hwee Liong, Pangcoe yang sekarang belum pernah muncul dalam kalangan Kang ouw.   Dengan membawa sembilan karung, kedua orang itu berkedudukan sangat tinggi hanya di bawah Pangcoe sendiri.   "Apakah mereka yang menyuruh orang datang di Leng coa to untuk merampas To liong to?"   Tanya Boe Kie di dalam hati.   Sejak beberapa puluh tahun yang lampau yaitu dari Seng hwee leng dirampas oleh Kay pang, hubungan Beng-kauw dan Partai Pengemis bagaikan air dan api.   Dalam usaha untuk merebut kembali tanda kekuasaan agama itu, beberapa kali orang Beng-kauw bertempur hebat dengan orang-orang Kay pang.   Sebab Beng-kauw dipandang sebagai agama sesat, maka dalam setiap pertempuran banyak orang Rimba Persilatan membantu Kay pang dan Beng-kauw selalu menderita kekalahan.   Sekarang biarpun Tio liong to dan Ie thian kiam dicuri Tio Beng, untung juga keenam Seng hwee leng tidak turut dicuri.   Mungkin sekali karena takut terhadap kepandaian Boe Kie yang sangat tinggi maka Tio Beng tidak berani merogoh saku pemuda itu.   Melihat jumlah orang Kay pang yang sangat besar, Boe Kie tidak berani memandang rendah.   Ia segera merogoh saku untuk memastikan bahwa Seng hwee leng masih berada di dalamnya.   Kedua Tiang-loo sembilan karung itu segera duduk pada sebuah meja besar yang terletak di tengah-tengah.   Tiang-loo yang bermuka seperti Cioe Cong lalu mengeluarkan sebatang tongkat bambu yang panjangnya kira-kira empat kaki dalam karung dan menaruhnya di atas meja.   Sebagian murid-murid Kay pang segera berlutut.   "Murid-murid Ouw- ie-pay menghadap Ciang-pang Liong-tauw!"   Seru dia (Ciang-pang Liong-tauw Pemimpin yang memegang tongkat kekuasaan).   Sebab Kay pang musuh Beng-kauw maka sesudah menjadi Kauwcoe, Boe Kie lalu mencari tahu seluk-beluk partai pengemis.   Ia tahu bahwa sejak dulu Kay pang terbagi dalam dua golongan, yaitu golongan Ouw-ie-pay (Golongan baju kotor) dan Ceng-ie-pay (Golongan baju bersih).   Melihat semua pengemis yang berlutut berpakaian kusam, ia mengerti bahwa Ciang-pang Liong-tauw adalah pemimpin Ouw-ie-pay.   Sesaat kemudian, Tiong-loo yang seperti sioecay mengeluarkan sebuah mangkok yang mulutnya somplak dari dalam karung dan menaruhnya di atas meja.   Sisa pengemis yang mengenakan pakaian bersih segera saja menekuk lutut.   "Murid-murid Ceng-ie-pay menghadap Ciang-poen!"   Teriak mereka (Ciang-poen Liong-tauw Pemimpin yang memegang mangkok kekuasaan). Kedua pemimpin itu mengangkat tangan mereka dan berkata.   "Duduklah!"   Semua pengemis bangkit dan duduk di kursi masing-masing.   Boe Kie baru menarik napas lega.   Menyambut kedua Tiang-loo itu dengan berdiri masih tidak apa-apa.   Tapi sebagai Kauwcoe dari Beng-kauw, biar bagaimanapun juga ia tidak boleh berlutut di hadapan pemimpin Kay pang.   Untung juga karena mereka duduk di sudut yang paling jauh dan mata kedua Tiang-loo it uterus mengawasi langit- langit tanpa memperhatikan orang-orang yang berlutut, maka tak ada orang yang lihat bahwa Cia Soen bertiga tidak ikut berlutut.   Pengemis-pengemis itu segera makan minum seperti orang kelaparan.   Mereka main rebut, berteriak-teriak dan tertawa-tawa.   Cia Soen berwaspada, memasang kuping dan mata.   Di luar dugaan dalam perjamuan itu tak terjadi kejadian luar biasa dan tak terdengar sesuatu yang penting.   Sesudah kedua Liong-tauw selesai bersantap dan turun ke bawah, pengemis-pengemis yang lain pun ikut bubar.   Sesudah semua pengemis meninggalkan loteng, Cia Soen berbisik.   "Boe Kie, bagaimana pendapatmu?"   "Tak mungkin mereka berkumpul di sini hanya untuk makan minum,"   Jawabnya.   "Anak rasa, mereka akan berkumpul lagi di tempat lain, di tempat yang sepi untuk membicarakan soal penting yang menjadi tujuan mereka."   Cia Soen mengangguk.   "Akupun berpendapat begitu,"   Katanya.   "Kay pang adalah musuh kita, sesudah bertemu kita harus menyelidiki dengna jelas maksud pertemuan mereka. Aku kuatir kalu mereka mau mengatur siasat untuk mencelakai Beng-kauw."   Mereka turun dan mencoba membayar uang makanan tapi ditolak keras oleh pengurus rumah makan.   "Giehoe, kau lihatlah,"   Kata Boe Kie.   "Rumah makan takut menerima uang, dari sini dapatlah diketahui bahwa Kay pang sering melakukan perbuatan sewenang-wenang."   Mereka segera mencari sebuah rumah penginapan kecil di tempat yang agak sepi.   Menurut kebiasaan, murid-murid partai pengemis tak pernah menginap di hotel sehingga Cia Soen tak usah kuatir akan bertemu dengan rombongan musuh.   "Boe Kie, mataku buta dan tak bisa ikut menyelidiki,"   Kata Cia Soen.   "Kepandaian Cie Jiak belum cukup, bia rpun ikut ia takkan bisa membantu kau. Sebaiknya kau pergi sendiri saja."   Boe Kie mengangguk. Sesudah mengaso sebentar, ia lalu keluar seorang diri. Dari selatan ia berjalan ke utara, tapi sesudah berjalan beberapa lama, seorang pengemis pun tak ditemui olehnya. "Ke mana mereka pergi?"   Tanya Boe Kie di dalam hati. Sebab baru berpisah kira-kira setengah jam, ia percaya rombongan pengemis itu belum pergi jauh dan ia akan bisa mencarinya. Ia lalu pergi ke sebuah warung kelontong. Sambil menepuk meja dengan mata melotot ia membentak.   "Hei! Ke mana perginya saudara-saudaraku?"   Melihat sikap yang galak, orang-orang di warung itu jadi ketakutan.   Salah seorang yang bernyali lebih besar menghampiri dan sambil menuding ke utara ia berkata.   "Kawan-kawan Toaya (tuan) menuju ke sana.   Apa Toaya mau minum teh?"   "Tidak.   Aku tak sudi minum segala teh bau,"   Bentak Boe Kie yang lalu berjalan keluar dengan langkah lebar.   Dalam hati ia tertawa geli.   Baru saja ia melewati perbatasan kota, dari gombolan rumput tinggi mendadak melompat keluar seorang pengemis yang dilihatnya dari gerakannya mau mencegahnya.   Dengan cepat ia melompat sambil mengempos semangat.   Bagaikan anak panah, badannya berkelabat melewati si pencegat.   Pengemis itu mengucek matanya.   Ia merasa heran.   Apa ia salah lihat? Ke mana perginya manusia yang tadi kelihatan mendatangi? Mulai dari situ, sepanjang jalan di jaga keras.   Boe Kie segera mengeluarkan ilmu meringankan badan.   Dengan matanya yang sangat jeli, ia bisa lihat penjaga-penjaga yang di tempatkan di antara rumput-rumput tinggi, di belakang pohon atau di belakang batu besar.   Sebaliknya daripada jadi halangan, orang-orang itu merupakan penunjuk jalan.   Sesudah berlari-lari empat lima li penjagaan makin rapat.   Kepandaian orang-orang itu kalah jauh dari Boe Kie tapi meloloskan diri dari mata mereka di tengah hari benar- benar bukan pekerjaan kecil, arah satu kelenteng di lereng gunung ia menduga bahwa perhimpunan Kay pang akan dilansungkan di rumah berhala itu.   Setibanya di situ, ia lihat papan nama yang tertulis "Bie lek Sin bio Kelenteng bie lek hoat".   Kelenteng itu besar, indah dan angker.   "Dengan memilih tempat di sini, pertemuan mungkin akan dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting,"   Pikirnya.   "Kalau aku membaurkan diri di antara mereka, mereka mungkin sadar."   Ia lalu mengamat-amati keadaan di sekitarnya.   Di dalam pekarangan sebelah kiri di depan toa tian (ruangan besar) terdapat sebuah pohon siong tua, sedang di sebelah kanannya berdiri pohon pak.   Kedua pohon itu rindang daunnya, besar dan tinggi, lebih tinggi banyak dari atap toa tian.   Ia segera pergi ke belakang kelenteng dan melompat ke atas genteng.   Dengan merunduk, ia mengayun dan sekali melompat ia sudah berada di pohon siong.   Sambil memeluk sebatang cabang besar ia melongok ke bawah dan ia bersorak di dalam hati, sebab dari situ ia bisa memandang ke seluruh toa tian.   Lantai Tay hiong Po tian ternyata sudah penuh dengan pengemis yang berjumlah kira-kira tiga ratus orang.   Mereka semua menghadap ke dalam sehingga melompatnya Boe Kie ke pohon tak dilihat mereka.   Dalam ruangan itu terdapat lima lembar tikar yang masih kosong.   Rupa- rupanya kelima pemimpin masih ditunggu kedatangannya.   Apa yang sangat menyolok adalah kesunyian di ruangan itu.   Ratusan pengemis duduk dengan tegak tanpa mengeluarkan sepatah kata.   Dalam hati Boe Kie memuji.   Walaupun derajat Kay pang sudah banyak merosot dan meskipun di waktu biasa kawanan pengemis itu sering menunjukkan sikap tak pantas pada tata tertib partai.   Di tengah-tengah Tay hiong Po tian duduk patung Bie lek hoed dengan perut yang gendut, mulut tertawa lebar dan paras muka yang sangat ramah.   Selagi Boe Kie memperhatikan semua itu tiba-tiba terdengar teriakan seseorang.   "Ciang-poen Liong-tauw tiba!"   Semua pengemis serentak berdiri tegak dan menundukkan kepala. Dengan tangan memegang sebuah mangkok somplak, Ciang-poen Liong-tauw melangkah keluar dan lalu berdiri di sebelah kanan. "Ciang-pang Liong-tauw!"   Orang itu berteriak pula. Tiang-loo yang mukanya seperti Cioe Cong muncul dengan kedua tangan menyangga tongkat bambunya yang berkilauan. Ia berjalan dengan langkah lebar dan lalu berdiri di sebelah kiri. Sesudah itu terdengar teriakan ketiga.   "Cie-hoat Tiang- loo!" (Tetua yang memegang undang-undang) Seorang pengemis tua yang bertubuh kurus dan memegang sebatang belahan bambu pecah, masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang sangat enteng.   "Ilmu ringan badan orang itu cukup hebat,"   Piker Boe Kie.   "Kira-kira standing dengan po-tay Hweeshio dan hanya beda setingkat dari Wie Hok-ong."   Teriakan keempat segera menyusul.   "Coan-kang Tiang- loo!" (Tetua yang menurunkan ilmu) Yang keluar kini seorang kakek yang berambut dan berjenggot putih. Paras mukanya aneh seperti tertawa tapi bukan tertawa. Seperti menangis bukan menangis. Ia bertangan kosong dan langkahnya tidak memperlihatkan tinggi rendah kepandaiannya. Keempat orang itu lalu memindahkan empat lembar tikar ke sebelah bawah dari tikar yang di tengah dan kemudian sambil membungkuk mereka berseru.   "Kami mengundang Pangcoe!" Boe Kie terkejut, Pangcoe dari Partai Pengemis yang bernama Soe Hwee Liong dan bergelar Kim gin ciang (Tangan emas dan perak) jarang sekali muncul dalam Rimba Persilatan. Hadirnya pemimpin itu membuktikan betapa pentingnya pertemuan yang sedang berlangsung. Semua pengemis turut membungkuk dengan sikap hormat. Tak lama kemudian di belakang terdengar suara langkah dan keluarlah seorang pria bertubuh tinggi besar. Gerak gerik orang itu yang mukanya bersinar merah seolah- olah orang itu berpangkat atau hartawan besar dan pakaiannya biarpun tidak mewah sedikitnya bukan pakaian pengemis. Dengan tangan kanan memegang tiat-tan (peluru besi yang digunakan sebagai senjata), ia melangkah masuk dengan langkah lebar. "Murid-murid Kay pang memberi hormat kepada Pangcoe!"   Teriak para pengemis. Soe Hwee Liong mengibaskan tangannya.   "Cukuplah!"   Katanya. Sehabis berkata begitu, dia segera duduk di tikar yang terletak di tengah-tengah dan semua pengemis pun segera ikut duduk. "Lim Heng-too,"   Kata Soe Hwee Liong kepada Ciang- poen Liong-tauw.   "Cobalah ceritakan soal Kim mo Say ong dan To liong to."   Jantung Boe Kie memukul keras dan ia segera memasang kuping dengan penuh perhatian. Ciang-poen Liong-tauw bangun berdiri dan sesudah membungkuk ke arah Pangcoe, ia berkata dengan suara nyaring.   "Saudara-saudara, sebagaimana kalian tahu partai kita dan Mo kauw sudah bermusuhan selama kurang lebih enam puluh tahun. Semenjak Seng hwee leng jatuh ke dalam tangan kita, mereka terus berada di bawah angin. Belum lama berselang, Mo kauw telah mengangkat seorang Kauwcoe baru yang bernama Thio Boe Kie. Anggota- anggota kita yang turut serta dalam pengepungan Kong ben teng pernah bertemu dengan si Kauwcoe itu. Dia seorang bocah yang masih bau susu dan mana bisa dia melawan Soe Pangcoe kita yang berkepandaian sangat tinggi?"   Kata-kata itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, sedang Soe Hwee Liong sendiri tersenyum-senyum dengan muka bersinar terang. Sesudah sorak-sorai mereda, Ciang-poen Liong-tauw berkata pula.   "Tapi ada sesuatu yang harus diketahui kalian. Selama puluhan tahun Mo kauw terpecah belah. Sesudah pengangkatan Kauwcoe baru itu, keadaan tersebut segera berubah dan perubahan ini merupakan penyakit di dalam perut bagi golongan kita."   "Selama setahun ini, kawanan siluman telah memberontak di berbagai tempat. Han San Tong dan Coe Goan Ciang bergerak di daerah Hway-see sedang di wilayah Ouw lam dan Ouw pak, Cie Sioe Hwee telah mendapat kemenangan dalam beberapa pertempuran dan telah menduduki banyak tempat penting. Kalau mereka berhasil mengusir Tat coe dan mereka pulang ke negara, maka beberapa puluh laksa saudara-saudara kita akan mati tanpa kuburan."   Kawanan pengemis itu segera berteriak-teriak.   Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Mereka tidak boleh berhasil! Mereka harus ditumpas!"   "Kita bersumpah untuk hajar Mo kauw habis-habisan!"   "Kalau Mo kauw berhasil, kita musnahkan!"   Dilain pihak Boe Kie yang bersembunyi di pohon berkata di dalam hati.   "Tidak disangka selama aku berada di luar lautan beberapa bulan saudara-saudara sudah mendapat hasil begitu besar. Kekuatiran Kay pang memang dapat dimengerti, jumlah mereka sangat besar dan apabila mereka dapat diajak kerjasama, usaha mengusit Tat coe akan berjalan lebih lancer. Tapi bagaimana? Bagaimana aku harus berbuat untuk mengubah permusuhan menjadi persahabatan?"    Tugas Rahasia Karya Gan KH Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL

Cari Blog Ini