Pedang Langit Dan Golok Naga 67
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 67
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung Ia membungkuk dan dengan berkelebat, ia sudah berada di atas genteng. "Kouwnio tunggu dulu!" Teriak Coan kang tiangloo. Hampir berbareng, empat wanita baju hitam dan empat baju putih turun melompat ke atap gedung, diiringi dengan suara khim dan seruling. Dalam sekejap suara tetabuhan itu telah terdengar sayup sayup di tempat jauh dan kemudian menghilang dari pendengaran. Dengan mulut ternganga semua orang mengawasi ke atas genteng. Sambil menuntun tangan Soe Hong Sek, Coan kang Tiangloo berkata kepada Boe Kie. "Thio Kauwcoe, mari masuk." Ia mempersilahkan Boe Kie berjalan lebih dahulu dan tanpa sungkan2 Boe Kie segera bertindak masuk dengan melewati dua baris pengemis yang berdiri sebagai pengawal kehormatan. Setelah berduduk dengan Cie Jiak di sampingnya, Boe Kie segera berkenalan dengan para tetua Kay pang dan lalu menanyakan halnya Cia Soen. "Coan Tiangloo," Katanya. "Jika ayah angkatku, Kim mo Say ong berada di tempat kalian, kuminta bertemu." Coan kang tiangloo menghela nafas. "Karena perbuatan bangsat Tan Yoe Liang, Kay pang mendapat malu besar terhadap segenap orang gagah," Katanya. "Memang benar, waktu berada di Kwan gwa, Cia tayhiap dan Cioe kouwnio diundang oleh kami. Ketika itu Cia Tayhiap sakit, ia selalu di pembaringan. Kami belum pernah bertempur dengannya. Belakangan aku membawa beliau ke gedung ini. Pada malam yang lalu, Cia tayhiap telah membinasakan murid murid kami yang menjaganya dan lalu kabur. Peti peti mati para korban masih berada di belakang gedung ini dan belum dikuburkan. Jika tak percaya, Thio Kauwcoe boleh lihat dengan mata sendiri." Mendengar keterangan yang diucapkan dengan sungguh sungguh dan juga memang telah menyaksikan sendiri terbinasanya beberapa murid Kay pang, Boe Kie segera berkata. "Perkataan Coan Tiangloo tidak bisa tidak dipercaya." Ia menundukkan kepala dan coba menebak nebak kemana perginya sang ayah angkat. Dia ingat, bahwa pada malam kaburnya Cia Soen, ia melihat bayangan seorang wanita yang melompat turun dari atas tembok. Apakah wanita itu si baju kuning? Mengingat itu, ia lantas menanya Soe Hong Sek. "Tiauw moay moay, dimana rumah Yo Ciecie? Apa dahulu memang telah mengenal dia?" Si nona cilik menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak pernah mengenal Yo Ciecie sebelum pertemuan di hari itu," Jawabnya. "Sesudah mendapat pesanan Thia thia, dengan membawa tongkat bambu ini Ong tiangloo membawa ibu dan aku dengan naik kereta. Di tengah jalan aku bertemu dengan orang jahat. Dalam pertempuran, Ong tiangloo terluka. Beberapa hari kami naik kereta, naik gunung Ong toako tidak bisa berjalan lagi dan merangkak di tanah. Belakangan kami tiba di luar sebuah hutan. Ong tiangloo berteriak teriak. Belakangan datang seorang ciecie kecil yang memakai baju hitam. Belakangan datang Yo ciecie yang berbicara lama dengan Ong toako dan meneliti tongkat bambu ini. Belakangan Ong tiangloo mati dan ibu pingsan. Yo ciecie lalu membawa aku ke kereta, bersama sama delapan ciecie kecil yang memakai baju putih dan baju hitam." Sebab masih kecil, keterangan Soe Hong Sek tak terang dan Boe Kie tidak bisa mengorek sesuatu yang diinginkan dari mulutnya. Boe Kie menghela nafas dan untuk beberapa saat, semua orang membungkam. Akhirnya Coan kang tiangloo berkata. "Thio Kauwcoe, putera Han San Tong berbicara ayah masih berada di tempat kami!" Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis yang lantas masuk ke dalam dengan tindakan cepat. Tak lama kemudian, terdengarlah cacian Han lim Jie. "Pengemis, kau lagi lagi coba menipu tuan besarmu!" Teriaknya. Thio Kauwcoe seorang agung dan mulia. Mana boleh jadi ia sudi datang di sarang kawanan pengemis bau? Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan aku ke See tian (dunia baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan terhadapku." Boe Kie merasa kagum. Di dalam hati ia memuji pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali besar. Buru buru ia bangkit dan menyambut. "Han toako," Katanya. "aku berada di sini. Selama beberapa hari kau banyak menderita." "Aku she Tan, namaku Yoe Liang, tiangloo delapan karung dari Kay pang." Sambil menuding Soe Hwee Liong, si baju kuning bertanya pula. "Siapa manusia itu? Macamnya begitu keren, kenapa dia begitu tolol? Dipijit sedikit saja sudah berteriak teriak!" Tak kepalang rasa malunya para tokoh pengemis. Sebagian di antara mereka memang memandang rendah kepada Soe Hwee Liong. "Ia adalah Soe Pangcoe dari partai kami," Jawab Tan Yoe Liang. "Beliau habis sembuh dari penyakit dan badannya masih sangat lemah. Nona, sebagai tamu dari tempat jauh, sedapat mungkin aku akan memperlakukan kau secara sopan. Tapi jika kau masih mengeluarkan omongan yang tidak-tidak, kami takkan merasa segan segan untuk bertindak terhadapmu." Si nona tidak menghiraukan ancaman itu. Ia berpaling kepada seorang berbaju hitam dan berkata. "Siauw Coei, pulangkan suratnya!" Si baju hitam mengangguk, merogoh saku dan mengeluarkan sepucuk surat. Boe Kie yang bermata jeli lantas saja lihat huruf huruf yang bertuliskan di atas amplop yang berbunyi sebagai berikut. "Dipersembahkan kepada Han Toa ya San Tong pribadi dari Beng Kauw." Di sebelah bawahnya terdapat huruf huruf yang lebih kecil. "Dari Soe dari Kay pang." Begitu melihat surat itu, darah Ciang pang Liong tauw mendidih. "Perempuan hina dina!" Cacinya. "Kalau begitu kaulah pencuri surat!" Ia mengangkat tongkatnya dan bersiap untuk menerjang. Siauw Coei tertawa geli. "Kau tua bangka tolol!" Ia balas mencaci. "Surat saja kau tak mampu jaga. Apa kau tak malu?" Seraya ia berkata lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw. Jarak antara mereka kurang lebih tiga tombak. Bahwa si baju hitam bisa melemparkan sepucuk surat yang begitu enteng pada jarak tiga tombak merupakan bukti, bahwa dia memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Ciang pang Liong tauw mengangkat tangannya untuk menyambuti. Di luar dugaan, pada jarak tiga kaki, surat ini mendadak membelok ke kiri dan jatuh di lantai. Ciang pang Liong tauw kaget dan lalu membungkuk untuk menjemputnya. Sekonyong konyong Boe Kie mengibaskan tangannya dan mengirim tenaga angin, sehingga surat itu terbang ke atas. Hampir berbareng, ia mengerahkan Kian koen Tay lo ie Sin kang, sehingga di lain detik surat itu sudah berada di dalam tangannya. Semua pengemis pucat mukanya. Mereka yang tak tahu sebab musababnya menduga bahwa Boe Kie memiliki ilmu gaib. Sebagai hasil mengintainya, Boe Kie sudah mengetahui bahwa Ciang pang Liong tauw telah diperintahkan oleh Soe Hwee Han San Tong yang mau dipaksa supaya menakluk kepada Kay pang, dengan menggunakan Han Lim Jie sebagai tunggangan. Kini, dengan mendengar pembicaraan antara Ciang pang Liong tauw dan Siauw Coei, ia tahu bahwa di tengah jalan, nona nona baju putih hitam itu telah mempermainkan dan mencuri surat si pengemis tua yang terpaksa pulang ke Louw liong sebelum dapat menunaikan tugasnya. Waktu suratnya tercuri, si pengemis ternyata tak tahu siapa yang mencurinya, sehingga dengan demikian dapatlah dibayangkan kelihayannya nona2 itu, yang dipimpin si baju kuning. Mengingat itu, diam diam Boe Kie merasa berterima kasih terhadap si baju kuning. Sementara itu, sambil tersenyum si baju kuning berkata. "Han San Tong mengangkat senjata di daerah Hway see untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Di sepanjang jalan kudengar dia seorang gagah budiman yang sangat memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Maka itu, sangatlah tak bisa jadi, bahwa dia akan mau mengkhianati Beng kauw dan menekuk lutut kepada Kay pang, sebab puteranya ditahan oleh Kay pang. Thio Kauwcoe, pulangkanlah surat itu. Andaikata surat itu benar-benar jatuh ke tangan Han toaya, akibatnya yang buruk hanya dirasakan oleh Kay pang sendiri. Aku sudah mencuri surat itu karena melihat ketololan Liong tauw Toako dan juga karena di dalam Kay pang terdapat suatu soal besar yang memerlukan kedatangan di tempat ini." "Terima kasih atas bantuan Toacie," Kata Boe Kie sambil merangkap kedua tangannya. "Terimalah hormatnya Boe Kie." Si nona membalas hormat. "Thio Kauwcoe, tak usah kau memakai banyak peradatan," Katanya sambil tersenyum. Boe Kie mengibaskan tangan kanannya dan surat itu lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw. Sesudah itu, diam diam ia mengirim "am kin" (tenaga gelap atau tenaga yang dikirim dari jarak jauh), yang biarpun dikirim belakangan, tiba terlebih dulu, kira-kira dua kaki di sebelah depan surat tersebut. Demikianlah, pada saat Ciang pang Liong tauw mengangsurkan tangannya untuk menyambut surat itu, tiba-tiba ia didorong dengan semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga mau tak mau, ia terhuyung tiga langkah ke belakang hampir hampir ia jatuh terguling di lantai. Sedetik kemudian surat itu jatuh di lantai. Si tua kaget tercampur gusar. Sambil membungkuk dan menjemput surat itu, ia berteriak. "Perempuan binatang mana yang menyerang dengan anak panah gelap?" Ia mencaci begitu sebab menduga dirinya diserang dengan senjata rahasia luar biasa oleh salah seorang wanita tersebut. Si baju kuning menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sungguh cuma-cuma kau menjadi salah seorang tokoh Kay pang," Katanya dengan suara menyesal. "Kau bahkan tak tahu pukulan Khek-shoa Peh goe dari Thio Kauwcoe." (Khek shoa Peh goe memukul kerbau dari tempat yang teraling gunung). Para pengemis terkejut. Mereka sudah dengar bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang bisa merobohkan musuh dari jarak jauh, tapi belum pernah menyaksikan dengan mata sendiri. Di luar dugaan, hari ini mereka membuktikan kebenaran cerita itu. "Orang pintar sering melakukan perbuatan tolol karena kepintarannya itu," Kata pula si baju kuning. "Dunia memang begitu. Kamu merasa bahwa dengan menawan Han Lam Jie, kamu akan bisa memaksakan takluknya Han San Tong? Hari itu, sebab beberapa kali menemui rintangan kau sudah mengambil jalanan kecil untuk menyingkir dari segala ganggugan. Tapi kau tidak tahu, bahwa andaikata surat itu bisa didengar oleh Han San Tong, bagi Kay-pang sedikitpun tidak ada faedahnya." Mendengar perkataan si nona, mendadak Tan Yoe Liang ingat sesuatu. Buru buru ia mengambil surat itu dari tangan Ciang pang Liong tauw. Amplop surat kelihatannya masih utuh. Ia lalu merobek amplop, mengeluarkan suratnya dan lalu membacanya. Begitu membaca, paras mukanya berubah pucat. Mengapa? Sebab surat itu yang semula isinya untuk memaksakan menakluknya Han San Tong kepada Kay pang, sekarang berubah menjadi surat minta menakluknya Kay pang kepada Beng kauw! Surat itu penuh dengan perkataan perkataan merendahkan diri, memohon- mohon supaya Beng kauw sudi menerima menakluknya Kay pang. Si baju kuning tertawa dingin. "Benar!" Katanya. "Surat itu telah aku baca, tetapi bukan aku yang mengubahnya. Sesudah membaca kutahu, bahwa Ciang pang Liong tauw telah dikerjai oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Dengan mengingat, bahwa leluhurku mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Kay pang, aku sudah curi surat itu, supaya pang yang terbesar dalam dunia tak usah mendapat malu yang sedemikian hebat. Coba kau pikir. Kalau surat itu diserahkan oleh Ciang pang Liong tauw kepada Han San Tong, apakah Kay pang masih ada muka untuk berdiri lebih lama lagi dalam dunia Kang ouw?" Dengan bergantian Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw membaca surat itu. Seperti Tan Yoe Liang paras muka mereka segera berubah pucat. Mereka malu bercampur gusar. Memang benar, andaikata surat takluk itu dicoba Han San Tong habislah nama Kay pang. Segenap murid Kay pang tak akan bisa berdiri lagi di muka bumi. Ditinjau dari sudut ini, dengan mencuri surat itu, si baju kuning sudah berbuat kebaikan terhadap partai pengemis. Tapi siapakah yang sudah main gila, yang sudah mengubah surat itu? Seluruh ruangan berubah sunyi. Tiba-tiba Siauw Coei tertawa. "Kalian ingin tahu siapa yang menukar surat itu bukan?" Tanyanya. Semua pengemis lantas saja memperlihatkan paras muka yang tidak sabaran. "Ciang pang Liong tauw, bukalah jubah luarmu," Kata pula Siauw Coei. Ciang pang Liong tauw seorang yang beradat polos dan berangasan. Tanpa membuka kancing ia menarik jubahnya. "Bret!" Semua kancing putus. Nah sekarang bagaimana?" Bentaknya sambil melontarkan jubahnya di lantai. Tiba-tiba para pengemis di belakangnya mengeluarkan teriakan ih, seperti juga mereka melihat sesuatu yang mengejutkan. "Ada apa?" Tanya Ciang pang Liong tauw sambil memutar tubuh. Enam tujuh orang menuding ke arah punggungnya. Dengan tidak sabar ia merobek baju dalamnya, sehingga terlihatlah daging dan otot otot badannya yang menonjol keluar. Ia mengawasi baju dalamnya. Ternyata di bagian punggung baju itu terlukis sebuah gambar kelelawar hijau dengan warna menakutkan, mulut berlepotan warna merah darah dan sepasang sayap yang sangat besar, itulah gambar kelelawar pengisap darah. "Ceng ek Hok ong Wie It Siauw!" Seru Coan kang dan Cie hoat Tiangloo dengan berbareng. Dahulu Wie It Siauw jarang datang di Tianggoan dan namanya tidak begitu dikenal. Selama waktu-waktu belakangan ia berkelana di dunia Kang ouw dengan saban- saban memperlihatkan kepandaiannya, sehingga namanya termashyur, bahkan lebih cemerlang daripada Peh bie Eng Ong In Thian Ceng. Melihat gambar itu bukan main girangnya Boe Kie. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Di lain pihak dengan kegusaran yang meluap-luap, Ciang pang Liong tauw menimpuk Boe Kie dengan baju dalamnya itu sambil mencaci. "Bagus! Kalau begitu loohoe telah dipermainkan oleh kawanan siluman dari agamamu!" Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan baju dalam itu lantas saja terapung ke atas dan akhirnya menyangkut cabang tertinggi dari sebuah pohon beng. Tan Yoe Liang mulai bingung. Ia merasa bahwa jalan paling baik ialah coba menyampingkan urusan surat itu. Maka itu, ia lantas menanya si baju kuning. "Apakah kami boleh mendapat tahu she dan nama nona yang mulia? Hubungan apakah yang dipunyai nona dengan kami semua?" "Dengan kamu?" Menegas si nona dengan suara dingin. "Aku hanya mempunyai sedikit hubungan dengan tongkat Tah kauw pang ini." Semua pengemis tahu, bahwa Tah kauw pang adalah tongkat tanda kekuasaan dari seorang pangcoe dan mereka adalah sungguh tak mengerti mengapa tongkat itu bisa berada di tangan orang lain. Semua mata ditujukan kepada Soe Hwee Liong yang mukanya pucat pasi dan kelihatannya bingung sekali. "Pangcoe, apakah Tah Kauw pang yang dipegang oleh wanita itu tulen atau palsu?" Tanya Coan kang Tiangloo. "Aku aku kukira palsu," Jawabnya. "Baiklah," Kata si baju kuning. Sekarang keluarkan yang tulen, supaya bisa dibandingkan." "Tah kauw pang adalah mustika dari partai kami," Kata Soe Hwee Liong. "Tak dapat aku memperlihatkannya kepada sembarang orang. Lagipula aku sekarang tidak membawa tongkat itu, sebab kuatir hilang." Para pengemis merasa bahwa alasan itu tak masuk akal. Cara bagaimana seorang Pangcoe bisa tak membawa Tah kauw pang sebab takut tongkat itu hilang? Sekonyong konyong si gadis cilik mengangkat tongkat itu tinggi dan berkata dengan suara nyaring. "Para Tiangloo! Para murid Kaypang lihatlah Tah kauw pang adalah mustika partai kita yang sudah turun temurun. Mana bisa tongkat ini palsu?" Mendengar si cilik menggunakan istilah "partai kita", semua orang merasa heran. Mereka meneliti tongkat itu yang mengkilap bagaikan giok dan keras melebihi besi. Tak usah disangsikan lagi, tongkat itu adalah Tah kauw pang yang tulen. Semua pengemis saling mengawasi. Mereka tak dapat menangkap apa itu artinya semua. Si baju kuning tersenyum tawar dan berkata dengan suara tawar pula. "Kudengar pangcoe dari Kaypang memiliki dua rupa ilmu yang sangat istimewa, yaitu Han Liong Sip pat Ciang dan Tah kauw pang hoat. Siauw Hong, cobalah kau meminta pelajaran Han Liong Sip pat Ciang dari Coan kang Tiangloo. Siauw leng, sesudah Siauw Hong Cie cie memperoleh kemenangan, kau boleh minta pelajaran Tah kauw pang hoat dari Soe pangcoe." Dua wanita yang memegang seruling lantas saja melompat keluar dan berdiri di kiri kanan. "Nona!" Bentak Tan Yoe Liang dengan suara gusar. "Bahwa kau tak sudi memberitahukan she dan namamu saja, kau sudah tidak memandang sebelah mata kepada kami semua. Sekarang bahkan kau menyuruh kedua pelayanmu untuk menantang Pemimpin kami. Di dalam dunia Kang ouw, mana ada kekurang ajaran yang seperti itu? Soe Pangcoe biarlah teecoe yang bereskan kedua pelayan itu dan kemudian teecoe akan menjajal kepandaiannya perempuan yang sudah menghina partai kita." "Baiklah," Kata Soe hwee liong. Tan Yoe Liang segera menghunus pedang dan maju ke tengah ruangan. "Nonaku menyuruh aku meminta pelajaran dalam ilmu Hang liong Sip pat ciang," Kata Siauw Hong. "Apa kau mahir dalam ilmu itu?" Apa Hang liong Sip pat ciang menggunakan pedang?" "Soe Pangcu seorang yang berkedudukan sangat tinggi dan bukan lawan sebangsa pelayan," Kata Tan Yoe Liang dengan suara menghina. Juga tak mungkin seorang pelayan memiliki Hang liong Sip pat ciang. Sudahlah. Terimalah kebinasaanmu di bawah pedangku!" "Thio Kauwcoe, kata si baju kuning kepada Boe Kie. "bolehkah kuminta bantuanmu?" "Tentu saja," Jawabnya. "Kuminta kau lemparkan manusia she Tan itu dan bekuk penipu itu yang menyamar sebagai Soe Pangcu," Kata pula si nona. Tadi, waktu menawan Soe hwee liong, Boe Kie sudah bercuriga, sebab orang itu ternyata tak punya kepandaian tinggi yang sesuai kedudukannya. Kecurigaannya jadi makin lebih besar karena melihat orang itu tak punya pendirian dan selalu menurut perkataan Tan Yoe Liang. Maka itu, begitu mendengar perkataan si baju kuning yang menamakan orang itu sebagai penipu yang menyamar sebagai Soe pangcoe, ia tidak bersangsi lagi. Ia mengangguk dan lalu melompat ke arah Soe hwee liong. Soe hwee liong meninju dengan pukulan Tiong tian pauw. Boe Kie tertawa terbahak bahak. "Apa ini Hang liong Sip pat ciang?" Teriaknya seraya mencengkeram baju di dada Soe Hwee liong yang lalu diangkat tinggi tinggi. Tan Yoe Liang tahu, bahwa ia bukan tandingan Boe Kie. Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mundur dan menghilang di antara para pengemis. Sekonyong konyong si nona cilik menangis keras. Ia menubruk dan mencengkeram baju Soe hwee liong, dan bagaikan kalap memukulnya berulang ulang. "Binatang!" Teriaknya. Kau sudah membinasakan ayahku! Kau membunuh ayahku! Aku akan cincang badanmu!" Ia menjambret rambut Soe hwee liong dan rambut itu terlepas dan terlihatlah kepala yang gundul. Rambut palsu! Dengan punggung ditekan Boe Kie, orang itu tidak berdaya. Si nona cilik terus memukul. Beberapa tinju menimpa hidungnya, tapi hidung itu tidak mengeluarkan darah. Hidungnya juga hidung palsu! Para pengemis lantas saja berteriak-teriak. "Siapa kau?" Tanya yang satu. "Binatang! Mengapa kau berani menyamar sebagai Soe pangcoe?" Caci yang lain. "Dimana Soe pangcoe?" Dan sebagainya. Sambil tersenyum Boe Kie mengangkat tubuh orang itu tinggi tinggi yang kemudian dibanting ke lantai. Dia berteriak kesakitan dan tidak bisa bangun lagi. Ia merasa bahwa urusan itu adalah urusan pribadi Kay pang yang harus diselesaikan oleh orang orang Kay pang sendiri. Ciang pang Liong tauw yang berangasan lantas saja mengirim tinju delapan gaplokan ke pipi si penipu yang lantas saja menjadi bengkak. "Bukan aku!" Ia sesambat. "Aku aku diperintah oleh Tan Tan Tiangloo!..." Cie hoat Tiangloo terkejut. "Mana Tan Yoe Liang?" Tanyanya. Tapi Tan Yoe Liang tak kelihatan mata hidungnya. Begitu dia lihat gelagat jelek, begitu dia kabur. "Kejar!" Bentak Cie hoat Tiangloo. Beberapa murid tujuh karung lantas saja mengiakan dan berlari lari keluar dari gedung itu untuk mencari manusia yang kabur itu. "Bangsat!" Caci Ciang pang Liong tauw. "Sungguh penasaran aku musti berlutut di hadapanmu dan memanggil kau sebagai Soe pangcoe." Ia mengangkat tangannya dan mau menggapelok lagi. "Pang Heng tee, tahan!" Cegah Cie hoat Tiang loo. "Kalau dia mati, kita sukar mencari keterangan." Ia memutar badan dan berkata kepada si baju kuning sambil merangkap kedua tangannya. "Kalau tak mendapat petunjuk Kouwnio, sampai sekarang kami masih dikelabui oleh manusia itu. Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama Kouwnio yang harum? Seluruh Kaypang sangat berhutang budi kepada Kouwnio." Si nona tertawa tawar dan berkata. "Aku sudah biasa hidup di gunung dan tak pernah berhubungan dengan dunia luar. Aku sendiri sudah lupa she dan namaku. Tapi apakah benar-benar di antara kalian tiada yang mengenali adik ini?" Semua pengemis lantas saja mengawasi si gadis cilik. Tiba-tiba Coan kang Tiangloo maju beberapa tindak dan berkata dengan suara parau. "Dia dia seperti Soe pangcoe Hoejin.. apaapa" "Benar," Kata si baju kuning. "Dia Soe Hong Sek, puteri tunggal dari Soe Hwee Liong Pangcoe. Waktu menghadapi kebinasaan Soe Pangcoe telah memerintahkan murid kepalanya, Ong Siauw Thian untuk membawa lari anak itu dan Tah Kauw pang mencari aku supaya di kemudian hari sakit hatinya bisa dibalas. Hanya sayang sebab terluka berat dalam pertempuran, jiwa Ong Siauw Thian tak dapat ditolong. Tapi ia sedikitnya sudah bisa mengantarkan Hong Sek kepadaku." "Kouw kouw nio," Kata Coan kang Tiang loo suara terputus-putus. "Kau kata Soe Pangco sudah meninggal dunia? Bagaimana matinya Soe Pangcoe?" * * * * * Pada dua puluh tahun lebih yang lalu, karena tenaga dalamnya tidak mencukupi dalam latihan Hang liong Sip pat ciang, badan Soe Hwee liong lumpuh separoh dan tidak bisa menggerakkan kedua lengannya. Dengan mengajak isterinya, ia pergi ke gunung gunung untuk mencari obat dan menyerahkan urusan Kay pang kepada Coan kang dan Cie hoat Tiangloo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw. Karena kekurangan seorang pemimpin yang pandai dan keempat tetua itu hanya mengurus bidang masing-masing dan tidak bekerja sesama keras, maka kian lama Kay pang yang besar jadi kian lemah. Waktu Pangcoe palsu mendadak muncul, murid-murid yang berusia muda tentu saja tidak mengenalnya, sedang para tetua juga kena dikelabui sebab mereka sudah berpisahan selama bertahun-tahun dan muka si penipu memang sangat mirip dengan muka Soe Pangcoe. * * * * * Si baju kuning menghela napas dan berkata dengan suara perlahan. "Soe Pangcoe binasa dalam tangan Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen!" "Hah!" Boe Kie mengeluarkan seruan tertahan. Dalam pertempuran di Kong beng teng, dengan mata sendiri ia menyaksikan bagaimana Seng Koen dipukul mati oleh pamannya. Maka itu, ia lantas saja bertanya. "Kouwnio, lagi kapan Soe Pangcu dibinasakan?" "Tahun yang lalu, tanggal enam bulan sepuluh," Jawabnya. "Sampai sekarang sudah dua bulan lebih." "Heran sungguh!" Kata pula Boe Kie. "Cara bagaimana Kouwnio tahu bahwa yang turunkan tangan jahat adalah bangsat Seng Koen?" "Ong Siauw Thian yang memberitahukan kepadaku," Jawabnya. "Ong Siauw Thian mengatakan, bahwa Soe Pangcoe telah beradu tangan dua belas kali dengan seorang kakek. Kakek ini muntah darah dan lari. Soe Pangcoe pun mendapat luka di dalam dan ia tahu lukanya tak dapat disembuhkan laagi. Ia menduga, bahwa tiga hari kemudian, sesudah sembuh, si kakek akan menyateroni lagi. Maka itu ia segera memberi pesanan terakhir kepada Ong Siauw Thian dan memberitahukan, bahwa musuh itu adalah Hoe goan Pek lek Thioe Seng Koen. Pada waktu itu lumpuhnya Soe pangcoe sudah hampir sembuh. Ia memiliki dua belas pukulan dari Hang liong Sip pat ciang dan di dalam dunia, ia sudah jarang tandingan. Dalam pertempuran melawan Seng Koen, ia sudah menggunakan kedua belas pukulan itu dan sesudah itu, ia tidak bisa menyelamatkan diri lagi dari tangan jahatnya musuh." Mendengar itu Soe Hong Sek menangis lagi. Dengan paras muka berduka Coan kang Tiang loo mengeluarkan sapu tangannya yang kotor dan menyusut air mata si nona. "Siauw sumoay," Katanya. "Sakit hati Pangcoe adalah sakit hati berlaksa murid Kay pang. Kami akan membekuk Seng Koen dan mencincang badannya jadi laksaan potong. Kami pasti akan membalas sakit hati mendiang ayahmu. Tapi dimanakah adanya ibumu?" "Ibu sedang berobat ke rumah Yo Cie ci," Jawabnya sambil mengunjuk si baju kuning. Sekarang baru orang tahu bahwa gadis itu seorang she Yo. "Soe hoejin juga kena dipukul Seng Koen dan mendapat luka yang sangat berat," Kata si baju kuning sambil menghela nafas. "Ia datang di rumahku sesudah melalui perjalanan jauh dan sampai kini ia belum tersadar dari pingsannya. Apa ia masih bisa ditolong sukar dikatakan." "Tapi apa dosanya pangcoe, sehingga binatang Seng Koen sudah menurunkan tangan jahatnya?" Tanya Cie hoat tiangloo dengan suara penasaran. "Sakit hati apa sudah terjadi di antara mereka?" "Menurut perasaan Soe pangcoe, ia sama sekali belum pernah mengenal Seng Koen," Menerangkan si baju kuning. "Sama sekali tidak ada soal sakit hati. Sampai pada detik terakhir, Soe pangcoe juga tak tahu sebab musababnya. Menurut dugaan Soe pangcoe, mungkin sekali ada orang Kay pang yang berbuat suatu kesalahan dan Seng Koen mencari Soe pangcoe untuk membalas sakit hati." Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cie hoat menundukkan kepalanya. Sesudah berpikir beberapa saat, ia berkata pula. "Untuk menyingkirkan diri dari kejaran Cia Soen, selama beberapa puluh tahun Seng Koen tidak pernah muncul dalam dunia Kang ouw. Mana bisa jadi murid Kay pang kebentrok dengan dia? Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti yang sangat hebat." Ciang poen Liong tauw yang sedari tadi tak pernah mengeluarkan sepatah kata, tiba2 mengambil sebatang golok bengkok dan menandalkan senjata itu di lehernya si penipu. "Binatang!" Bentaknya. "Siapa namamu? Mengapa kau menyamar sebagai Soe pangcoe? Lekas mengaku! Kalau kau berdusta huh huh Ia mengangkat goloknya dan menyabet sebuah kursi yang lantas saja terbelah dua. Dengan badan bergemetaran, si gundul berkata. "Aku aku siauw jin Lay tauw goan Lauw Ngauw (Lauw Ngauw, si kura-kura kepala buduk), salah seorang tauwbak (kepala kelompok) perampok dari kawanan perampok di Loan sek kang, kota Kay koan, propinsi Soa say. Apa mau, waktu merampok, Siauwjin bertemu dengan Tan toaya dan guru Tan toaya menendang Siauwjin sehingga roboh dan selagi Tan toaya mengangkat pedangnya, siauwjin meminta ampun. Setelah mengawasi siauwjin, tiba2 Tan Toaya berkata. "Soe hoe, roman bangsat kecil ini mirip orang yang kita temui kemarin dulu." Gurunya menggeleng-gelengkan kepala dan berkata. "Huh..huh lain, tidak sama. Usianya tak cocok, hidungnya terlalu kecil, kepalanya gundul. Tan toaya tertawa dan berkata. "Soe hoe jangan kuatir, teecu mempunyai daya untuk mengubah itu semua." Tan toaya lalu mengajak siauwjin ke sebuah rumah penginapan di Kay koan. Ia menggunakan sek-ko untuk meninggikan hidung Siauwjin dan memberi rambut palsu sehingga siauwjin beroman seperti sekarang. Para loya, andaikata siauwjin punya nyali sebesar langit, siauwjin takkan berani mempermalukan para looya. Siauwjin sudah melakukan ini semua karena diperintah oleh Tan toaya. Jiwa anjing siauwjin berada dalam tangannya. Siauwjin tidak berani tidak menurut. Siauwjin mempunyai seorang ibu sudah berusia delapan puluh tahun siauwjin mohon para looya sudi mengampuni jiwa anjing Siauwjin." Sehabis berkata begitu, sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya. Cie hoat Tiangloo mengerutkan alisnya. Tan Yoe Liang murid Siauw lim pay dan gurunya pendeta Siauw lim sie," Katanya. "Apa dia mempunyai lain guru?" Pertanyaan itu menyadarkan Boe Kie. "Benar," Ia menyambungi. "Seng Koen adalah gurunya." Ia lalu memberi tahu, bahwa dengan menggunakan nama Goan tin, Seng Koen masuk ke Siauw lim sie dan berguru kepada pendeta suci Kong kian. Selanjutnya ia menceritakan cara bagaimana di waktu kecil ia pernah dicelakakan oleh Goan tin di dalam kuil Siauw lim sie, cara bagaimana Goan tin turut menyerang Kong beng teng dan akhirnya binasa dalam tangan pamannya, In Ya Ong. Ia menambahkan, bahwa memang benar mayat Goan tin sekonyong konyong hilang. "Kalau begitu, kita boleh tak usah bersangsi lagi, bahwa di waktu itu Seng Koen pura pura mati dan kemudian kabur," Kata Cie hoat Tiangloo. "Tapi penjahat yang paling besar dan yang paling jadi dalangnya adalah bangsat Tan Yoe Liang," Kata Coan kang Tiangloo. "Mereka berdua, guru dan murid, mempunyai angan angan untuk merajai di kolong langit. Mereka membunuh Soe pangcoe, menyuruh buaya kecil ini menyamar sebagai Pangcoe, coba mempengaruhi Beng kauw, berusaha untuk menguasai Siauw lim, Boe tong dan Go Bie pay. Huh..huh..! Angan angan mereka benar benar tak kecil Eeh! mana Song Ceng Soe?" Ternyata pada waktu perhatian semua orang ditujukan kepada Pangcoe tetiron, si baju kuning dan Soe Hong Sek, diam diam Song Ceng Soe turut menghilang. Sesudah rahasia kejahatan Tan Yoe Liang terbuka, sambil menyoja si baju kuning, Coan kang Tiangloo berkata. "Kouwnio telah membuang budi yang sangat besar kepada Kay pang dan kami tak tahu cara bagaimana untuk membalasnya." Si nona tertawa tawar. "Orang tuaku punya hubungan erat dengan Pangcoe yang dulu," Katanya. "Bantuan yang tiada artinya ini tidak berharga untuk disebut sebut. Aku hanya mengharap kalian suka merawat baik ba ik adik Soe ini." Ia membungkuk dan dengan berkelebat, ia sudah berada di atas genteng. "Kouwnio tunggu dulu!" Teriak Coan kang tiangloo. Hampir berbareng, empat wanita baju hitam dan empat baju putih turun melompat ke atap gedung, diiringi dengan suara khim dan seruling. Dalam sekejap suara tetabuhan itu telah terdengar sayup sayup di tempat jauh dan kemudian menghilang dari pendengaran. Dengan mulut ternganga semua orang mengawasi ke atas genteng. Sambil menuntun tangan Soe Hong Sek, Coan kang Tiangloo berkata kepada Boe Kie. "Thio Kauwcoe, mari masuk." Ia mempersilahkan Boe Kie berjalan lebih dahulu dan tanpa sungkan2 Boe Kie segera bertindak masuk dengan melewati dua baris pengemis yang berdiri sebagai pengawal kehormatan. Setelah berduduk dengan Cie Jiak di sampingnya, Boe Kie segera berkenalan dengan para tetua Kay pang dan lalu menanyakan halnya Cia Soen. "Coan Tiangloo," Katanya. "Jika ayah angkatku, Kim mo Say ong berada di tempat kalian, kuminta bertemu." Coan kang tiangloo menghela nafas. "Karena perbuatan bangsat Tan Yoe Liang, Kay pang mendapat malu besar terhadap segenap orang gagah," Katanya. "Memang benar, waktu berada di Kwan gwa, Cia tayhiap dan Cioe kouwnio diundang oleh kami. Ketika itu Cia Tayhiap sakit, ia selalu di pembaringan. Kami belum pernah bertempur dengannya. Belakangan aku membawa beliau ke gedung ini. Pada malam yang lalu, Cia tayhiap telah membinasakan murid murid kami yang menjaganya dan lalu kabur. Peti peti mati para korban masih berada di belakang gedung ini dan belum dikuburkan. Jika tak percaya, Thio Kauwcoe boleh lihat dengan mata sendiri." Mendengar keterangan yang diucapkan dengan sungguh sungguh dan juga memang telah menyaksikan sendiri terbinasanya beberapa murid Kay pang, Boe Kie segera berkata. "Perkataan Coan Tiangloo tidak bisa tidak dipercaya." Ia menundukkan kepala dan coba menebak nebak kemana perginya sang ayah angkat. Dia ingat, bahwa pada malam kaburnya Cia Soen, ia melihat bayangan seorang wanita yang melompat turun dari atas tembok. Apakah wanita itu si baju kuning? Mengingat itu, ia lantas menanya Soe Hong Sek. "Tiauw moay moay, dimana rumah Yo Ciecie? Apa dahulu memang telah mengenal dia?" Si nona cilik menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak pernah mengenal Yo Ciecie sebelum pertemuan di hari itu," Jawabnya. "Sesudah mendapat pesanan Thia thia, dengan membawa tongkat bambu ini Ong tiangloo membawa ibu dan aku dengan naik kereta. Di tengah jalan aku bertemu dengan orang jahat. Dalam pertempuran, Ong tiangloo terluka. Beberapa hari kami naik kereta, naik gunung Ong toako tidak bisa berjalan lagi dan merangkak di tanah. Belakangan kami tiba di luar sebuah hutan. Ong tiangloo berteriak teriak. Belakangan datang seorang ciecie kecil yang memakai baju hitam. Belakangan datang Yo ciecie yang berbicara lama dengan Ong toako dan meneliti tongkat bambu ini. Belakangan Ong tiangloo mati dan ibu pingsan. Yo ciecie lalu membawa aku ke kereta, bersama sama delapan ciecie kecil yang memakai baju putih dan baju hitam." Sebab masih kecil, keterangan Soe Hong Sek tak terang dan Boe Kie tidak bisa mengorek sesuatu yang diinginkan dari mulutnya. Boe Kie menghela nafas dan untuk beberapa saat, semua orang membungkam. Akhirnya Coan kang tiangloo berkata. "Thio Kauwcoe, putera Han San Tong berbicara ayah masih berada di tempat kami!" Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis yang lantas masuk ke dalam dengan tindakan cepat. Tak lama kemudian, terdengarlah cacian Han lim Jie. "Pengemis, kau lagi lagi coba menipu tuan besarmu!" Teriaknya. Thio Kauwcoe seorang agung dan mulia. Mana boleh jadi ia sudi datang di sarang kawanan pengemis bau? Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan aku ke See tian (dunia baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan terhadapku." Boe Kie merasa kagum. Di dalam hati ia memuji pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali besar. Buru buru ia bangkit dan menyambut. "Han toako," Katanya. "aku berada di sini. Selama beberapa hari kau banyak menderita." Melihat Boe Kie, Han Lim Jie terkesiap. Dengan kegirangan yang meluap luap sedetik kemudian ia berlutut dan berkata. "Thio Kauwcoe, benar benar kau berada di sini! bunuhlah pengemis pengemis bau itu!" Sambil tertawa Boe Kie membangunkannya. "Han toako," Katanya dengan terharu. "Para tiangloo ditipu orang dan sudah terjadi salah mengerti. Sekarang segala apa sudah menjadi terang. Dengan memandang mukaku, kuharap Han Toako sudi melupakan segala apa yang sudah terjadi." Sesudah bangun berdiri dengan mata melotot Han Lim Jie mengawasi para tokoh pengemis. Ia ingin mencaci untuk melampiaskan rasa dongkolnya, tapi sesudah mendengar perkataan Boe Kie, ia terpaksa menahan sabar. "Thio kauwcoe," Kata Cie hoat tiangloo. "Kunjunganmu membikin terang muka partai kami. Kami ingin mengundang kalian dalam sebuah perjamuan sederhana untuk menyambut Thio Kauwcoe dan menghaturkan maaf kepada Kouwnio serta Han toako." Ia berpaling kepada seorang murid dan berkata pula. "Lekas sediakan meja perjamuan!" Murid itu lantas saja mengiakan. Karena memikir ayah angkatnya dan ingin bicara banyak dengan Cioe Cie Jiak, Boe Kie tak punya kegembiraan untuk makan minum. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya ia berkata. "Aku menghaturkan banyak terima kasih atas undangan kalian. Tapi aku tak bisa membuang buang waktu karena perlu mencari Gie hoe. Di lain hari aku mau datang berkunjung pula. Kuharap kalian suka memaafkan untuk penolakan ini." Tapi Coan kang Tiangloo dan yang lain2 tidak mau mengerti sehingga Boe Kie terpaksa juga menerima undangan itu. Selagi makan minum, para tetua Kaypang kembali menghaturkan maaf dan berjanji akan menyebar murid murid Kaypang untuk bantu mencari Cia Soen. Begitu lekas mendapat warta baik, mereka akan segera melaporkan kepada Beng kauw, kata mereka. Untuk kebaikan itu, Boe Kie menghaturkan banyak terima kasih. Biarpun berkepandaian dan berkedudukan tinggi, ia sedikitpun tidak mengunjuk kesombongan. Ia bahkan sangat merendah, sehingga para pengemis merasa kagum dan takluk. Sesudah bersantap, Boe Kie bertiga segera berpamitan. Para pengemis mengantar mereka sampai sepuluh li di luar kota Louw liong dan mereka berpisahan dengan hati berat. Dengan menunggang kuda kuda hadiah Kay pang, Boe Kie, Cie Jiak dan Han Lim Jie meneruskan perjalanan ke selatan dengan mengambil jalan raya. Han Lim Jie berlaku sangat hormat. Ia tidak berani merendengkan kudanya dengan Boe Kie dan Cie Jiak dan hanya mengikuti dari belakang. Di sepanjang jalan, ia melayani Boe Kie dan Cie Jiak seperti seorang pelayan. Boe Kie merasa sangat tidak enak. "Han Toako," Katanya. "biarpun kau seorang anggota agama kita, kau hanya diharap mendengar segala perintahku dalam urusan urusan yang resmi. Dalam pergaulan pribadi sehari hari, kita adalah orang orang yang sepantar, yang berkedudukan sama tinggi, seperti saudara dan sahabat. Sedalam dalamnya aku sangat menghormati kepribadianmu." Han Lim Jie kelihatan bingung dan jengah. "Dengan setulus hati aku yang rendah berdiri sama tinggi dengan Kauwcoe?" Aku sudah merasa sangat beruntung, bahwa aku mendapat kesempatan untuk melayani Kauwcoe." "Aku bukan Kauwcoe," Kata Cie Jiak sambil tersenyum. "Kau jangan mengunjuk kehormatan yang begitu besar terhadapku." "Coe kouwnio bagaikan seorang dewi," Jawabnya. "Bahwa siauwjin bisa berbicara sepatah dua patah kata dengan Kouwnio sudah merupakan kebahagiaan seumur hidup. Siauwjin hanya kuatir, sebagai manusia kasar siauwjin sering bicara kasar dan untuk segala kekurang ajaran, siauwjin mohon Kouwnio suka memaafkan." Mendengar kata kata memuja itu yang tulus ikhlas, sebagai manusia biasa, diam diam Cie Jiak merasa girang. Sambil berjalan Boe Kie menanya Cie Jiak, cara bagaimana dia ditangkap oleh orang orang Kay pang. Si nona memberitahukan, bahwa hari itu, sesudah Boe Kie meninggalkan rumah penginapan untuk menyelidiki siasat Kay pang, badan Cia Soen bergemetaran dan mulutnya ngaco. Ia ketakutan dan berusaha untuk menentramkannya, tapi tidak berhasil. Cia Soen seolah olah tidak mengenalnya lagi. Dia melompat dan kemudian roboh pingsan. Pada saat itu, di tengah enam tujuh orang tokoh Kay pang yang lantas menerobos masuk ke dalam kamar. Sebelum keburu menghunus pedang, jalan darahnya sudah ditotok. Kemudian bersama Cia Soen, ia dibawa ke Louw liong. Mendengar keterangan itu, Boe Kie manggut manggutkan kepalanya. Sedari kecil ia memang sudah tahu, bahwa sebagai akibat dari latihan Cit Siang kocu, ayah angkatnya mendapat serupa penyakit kalap dan kadang kadang kumat dengan mendadak. Tapi dimana adanya ayah angkat itu sekarang?" "Kota raja adalah tempat berkumpulnya macam macam manusia," Kata Boe Kie akhirnya. "Kurasa, dalam perjalanan ke selatan, sebaiknya kita mampir di kota raja untuk menyelidiki. Mungkin sekali, dari Ceng ek Hok ong Wie hong aku bisa mendapat keterangan berharga." Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cie Jiak tertawa. "Ke kota raja?" Ia menegas dengan nada mengejek. "Apa benar benar kau hanya ingin menemui Wie It Siauw?" Boe Kie mengerti maksud tunangannya, sehingga paras mukanya lantas saja berubah merah. "Memang belum tentu kita bisa menemui Wie heng," Jawabnya. Tujuan kita adalah mencari Giehoe, kalau kita bisa bertemu dengan Wie heng, Kouw tauwtoo atau Yo Co Soe, sedikit banyak kita akan mendapat bantuan." "Kukenal seorang yang pintar luar biasa," Kata Cie Jiak sambil tersenyum. "Dia seorang wanita cantik. Jika kau cari dia, kau akan mendapat banyak bantuan. Orang-orang seperti Yo Co soe atau Kouw Tauw tok tidak akan bisa menyaingi kepintaran nona cantik itu." Boe Kie pernah menceritakan pertemuannya dengan Tio Beng di kelenteng Biek lek hoed, tapi tak urung ia kena disindir juga. "Kau tidak pernah melupakan Tio kouwnio dan setiap ada kesempatan, kau selalu mengejek aku," Katanya dengan suara jengah. Cie Jiak tertawa. "Apa aku atau kau yang tidak pernah melupakan dia?" Tanyanya. "Apa kau rasa kutak tahu rahasia hatimu?" Boe Kie adalah seorang yang polos dan jujur. Ia menganggap, bahwa sesudah berjanji untuk hidup sebagai suami isteri, ia tak boleh menyembunyikan sesuatu di hadapan tunangannya itu. Maka itu dengan memberanikan hati ia lantas saja berkata. "Ada satu hal yang aku harus beritahukan kepada kau. Kuharap kau tidak jadi gusar." "Kalau pantas gusar, aku akan gusar, kalau tak pantas gusar, aku pasti tak akan gusar," Jawabnya. Boe Kie menjadi lebih jengah. Di hadapan tunangannya pernah bersumpah untuk membunuh Tio Beng guna membalas sakit hatinya In Lee. Tapi waktu bertemu dengan nona Tio, bukan saja ia tidak turun tangan, ia bahkan jalan bersama sama dengan nona itu. Sebagai seorang yang tidak biasa berpura pura, ia tidak berani membuka suara lagi. Tak lama kemudian mereka tiba di kota kecil dan waktu itu matahari sudah mulai menyelam ke barat. Mereka segera mencari penginapan kecil untuk bermalam. Sesudah makan Boe Kie mengurut punggung Cie Jiak untuk memperlancar aliran darah. "Hiat" Yang tertotok sudah terbuka sendiri, tapi otot masih agak kaku dan mengalirnya darah masih kurang lancar. "Ilmu menotok Kay pang memang istimewa," Kata Boe Kie di dalam hati. "Cie Jiak angkuh dan sungkan minta pertolongan, sedang orang yang menotok berlagak lupa. Hmm kawanan pengemis itu mati matian mau coba menolong muka. Sesudah kalah, mereka ingin memperhatikan keunggulan dalam tiam- hoat." Karena hawa udara panas, sesudah diurut, Cie Jiak berkata. "Mari kita jalan jalan di luar." "Baiklah," Kata Boe Kie. Dengan Boe Kie menuntun tangan si nona, mereka berjalan sampai di luar kota. Ketika itu sang surya sudah menyelam ke barat, dan sesudah berjalan beberapa lama lagi, mereka lalu duduk di bawah sebuah pohon. Di situlah antara kesunyian dan pemandangan alam yang indah, Boe Kie lalu menuturkan segala pengalamannya cara bagaimana ia bertemu dengan Tio Beng di kelenteng Bie lek hoed, cara bagaimana ia menemui jenazah Boh Seng kok, pertemuannya dengan rombongan Song Wan Kiauw dan kejarannya terhadap tanda gambar obor dari Louw liong, sampai di Louw liong lagi. Sesudah selesai bercerita, sambil memegang tangan si nona, ia berkata dengan suara sungguh sungguh. "Cie Jiak, kau adalah tunanganku dan tak bisa aku menyimpan saja apa yang dipikir olehku. Tio kouwnio berkeras untuk menemui Giehoe dan mengatakan, bahwa ia ingin bicara dengan Giehoe. Ketika itu aku sudah bercuriga. Sekarang, makin kupikir, makin kutakut." Waktu mengucapkan perkataan perkataan paling belakang suara bergemetar. "Kau takut apa?" Tanya Cie Jiak. Boe Kie merasa, bahwa kedua tangan tunangannya dingin seperti es dan juga bergemetaran. "Kuingat, bahwa Giehoe mempunyai semacam penyakit kalap dan kalau lagi kumat ia tak ingat segala apa," Jawabnya. "Dalam kekalapannya, ia pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap ibu, sehingga kedua matanya buta. Waktu aku lahir, dalam kalapnya Giehoe coba membunuh ayah dan ibu. Sungguh mujur, pada detik yang sangat berbahaya, aku menangis keras dan suara tangisanku itu telah menyadarkannya. Ah! aku kuatir.. ku kuatir" "Kuatir apa?" Boe Kie menghela nafas. "Sebenarnya aku tak boleh membuka rahasia hatiku ini kepada siapa pun jua," Katanya dengan suara hampir tak kedengaran. "Aku.. aku kuatir piauwmoay dibunuh oleh Giehoe" Bagaikan dipagut ular, Cie Jiak melompat bangun. "Apa?" Tanyanya dengan suara parau. "Cia tayhiap seorang ksatria budiman yang mencintai kita. Mana boleh jadi ia membunuh In Kouwnio?" "Aku hanya berkuatir," Kata Boe Kie. "Aku merasa syukur, beribu syukur, jika kekuatiranku itu tidak benar. Tapi andai kata benar Gie hoe membunuh Piauw moay, ia melakukan itu dalam keadaan tidak sadar. Hei!.. Semua gara gara bangsat Seng Koen." Cie Jiak menggeleng gelengkan kepalanya. "Tak bisa, tak bisa jadi," Katanya. "Apakah racun Sip hiang Joad kin san juga ditaruh oleh Gie hoe? Darimana Gie hoe mendapat racun itu?" Boe Kie tak menyahut. Kedua matanya mengawasi ke tempat jauh. Ia tak dapat menembus kabut tebal yang menyelimuti teka teki itu. "Boe Kie Koko," Kata Cie Jiak dengan suara dingin. "Dengan macam macam cara kau berusaha untuk melindungi Tio Beng." "Kalau Tio Kouwnio benar2 pembunuhnya, mengapa ia berkeras ingin menemui Giehoe dan ingin bicara dengannya?" Kata Boe Kie. Si nona tertawa dingin. "Tio kouwnio pintar luar biasa," Katanya. "Andai kata ia bertemu dengan Gie hoe, ia pasti mempunyai siasat lain untuk meloloskan diri." Tiba tiba nada suara Cie Jiak berubah lunak dan ia berkata dengan suara lemah lembut. "Boe Kie koko, kau seorang yang sangat jujur. Dalam kepintaran dan mengatur siasat, kau bukan tandingan Tio Kouwnio." Boe Kie menghela nafas pula. Ia mengakui benarnya perkataan Cie Jiak. Sambil memegang tangan si nona, ia berkata. "Cie Jiak, aku merasa bahwa hidup di dunia seperti hidup dalam siksaan. Kau lihatlah, sekarang aku bahkan harus curigai ayah angkatku sendiri. Aku hanya mengharap, bahwa sesudah Tat coe bisa diusir pergi, aku akan bisa hidup ber-sama2 kau di pegunungan yang sepi, jauh dari pergaulan, jauh dari manusia lain." "Kurasa tak mungkin," Kata Cie Jiak. "Kau adalah Kauwcoe dari Beng kauw. Apabila, atas berkah Tuhan, Tat coe bisa terusir, tugas mengurus negara jatuh di tangan Beng kauw. Mana bisa kau menikmati penghidupannya yang tenteram itu?" "Kepandaianku tak cukup untuk menjadi Kauwcoe dan akupun sebenarnya tak ingin menjadi kauwcoe. Jika di kemudian hari beban Kauwcoe Beng Kauw terlalu berat, maka aku harus menyerahkan kedudukan itu kepada orang yang lebih pandai." "Kau masih berusia muda, kalau sekarang kepandaianmu belum cukup, apa kau tak bisa menambah pengetahuanmu? Mengenai aku sebagai Ciang boen Go bie pay, akupun mempunyai pikulan yang sangat berat. Soehoe telah menyerahkan cincin besi Ciang boen kepadaku dengan pesanan, supaya aku mengangkat naik derajat kami. Maka itulah, andaikata kau benar2 menyembunyikan diri di pegunungan, aku sendiri tak punya rejeki untuk menuntut penghidupan begitu." Waktu melihat cincin itu di tangan Tan Yoe Liang, aku bingung bukan main. Kukuatir akan keselamatanmu. Kalau punya sayap, aku tentu sudah terbang waktu itu juga. Cie Jiak, siapa yang memulangkannya kepadamu?" "Song Ceng Soe Siauw hiap." Mendengar disebutkannya nama Song Ceng Soe, jantung Boe Kie memukul keras. "Song Ceng Soe sangat baik terhadapmu bukan?" Tanyanya. "Mengapa kau menanya begitu?" Menegas si nona. Ia menangkap nada luar biasa dalam suara tunangannya. "Tak apa2," Jawabnya. "Kutahu bahwa Song Soeko sangat mencintai kau. Dia rela mengkhianati partai dan ayah kandung sendiri. Dia bahkan rela membunuh paman seperguruan sendiri. Tak usah dikatakan lagi, terhadapmu dia baik luar biasa." Cie Jiak menengadah dan sambil mengawasi sang rembulan yang baru muncul di sebelah timur, ia berkata dengan suara perlahan. "Jika perlakuanmu terhadapku separuh saja dari perlakuannya, aku sudah merasa sangat puas." "Aku bukan Song Soeko. Jika untukmu aku harus melakukan perbuatan put hauw dan put gie (tidak berbakti dan tidak mengenal persahabatan), biar bagaimanapun jua aku takkan dapat melakukannya. "Untukku tak bisa melakukan segala apa. Di pulau kecil kau pernah bersumpah akan membunuh perempuan siluman itu, guna membalas sakit hatinya In Kouwnio. Tapi setelah bertemu muka, kau melupakan semua sumpahmu." "Cie Jiak, manakala terbukti bahwa To Liong to dan Ie thian kiam dibawa oleh Tio Kouwnio dan piauwmoay dibinasakan olehnya, aku pasti takkan mengampuninya. Tapi apabila tak berdosa, aku tentu tak mengambil jiwanya. Meskipun sekali aku khilaf dalam mengucapkan sumpah itu." Cie Jiak membungkam. "Mengapa kau diam saja? Apa aku salah?" Tanya Boe Kie. "Tidak!" Jawabnya. "Aku sendiri sedang memikiri sumpahku sendiri yang diucapkan di hadapan Soehoe di menara Ban hoat sei. Aku merasa sangat menyesal bahwa waktu menerima lamaranmu, aku tak memberitahukan sumpah itu kepadamu secara terang-terangan." Boe Kie terkejut. "Kau kau sumpah apa?" Tanyanya. "Di hadapan Soehoe, aku telah bersumpah bahwa jika di hari kemudian aku menikah dengan kau, maka roh kedua orang tuaku takkan mendapat ketenteraman di dunia baka, bahwa roh Soehoe akan menjadi setan jahat yang akan terus menggangguku, bahwa anak cucuku akan menjadi manusia2 hina, yang lelaki menjadi budak, yang perempuan menjadi pelacur!" Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Ia berdiri terpaku dan badannya menggigil. Sesudah lewat beberapa lama dan sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah ia berkata. "Cie Jiak, sumpah itu tak boleh dianggap sungguh2. Gurumu sudah memaksa kau mengucapkan sumpah itu sebab ia anggap Beng kauw sebagai agama siluman dan aku sendiri sebagai manusia jahat yang tak mengenal malu. Kalau ia tahu hal yang sebenarnya, ia pasti takkan menyuruh kau bersumpah begitu." Air mata si nona lantas mengucur. "Tapi tapi ia sudah tak tahu lagi," Katanya. Tiba-tiba ia menubruk Boe Kie dan sambil menangis tersedu-sedu, ia menyesapkan kepalanya di pangkuan pemuda itu. Sambil mengusap usap rambut tunangannya, Boe Kie berkata. "Cie Jiak, apabila roh gurumu benar-benar angker, ia pasti takkan mempersalahkan kau. Apakah aku benar- benar seorang penjahat cabul, jahanam yang tidak mengenal malu?" "Sekarang memang belum, tapi siapa tahu karena dipengaruhi Tio Beng, di belakang hari kau tidak menjadi manusia yang tidak mengenal malu?" Mau tak mau Boe Kie tertawa. "Ah, Cie Jiak!" Katanya. "Kau menilai aku terlalu rendah. Apakah kau mengharap mempunyai suami manusia jahat?" Si nona mengangkat kepalanya. Kedua matanya masih basah, tapi sinarnya sinar tertawa. "Tak malu kau!" Bentaknya dengan suara perlahan. "Apa kau sudah menjadi suamiku?" Kalau kau terus bersahabat dengan perempuan siluman itu, aku sungkan menjadi isterimu. Siapa berani memastikan, bahwa kau tidak akan meneladani Song Ceng Soe yang rela melakukan perbuatan terkutuk karena gara gara paras cantik?" Boe Kie menunduk dan mencium dahi tunangannya. "Siapa suruh kau begitu cantik?" Katanya. "Inilah salahnya kedua orang tuamu yang melahirkan seorang puteri yang terlalu cantik, sehingga kaum pria mabok otaknya." Mendadak saja, di belakang pohon dalam jarak kira-kira tiga tombak terdengar suara tertawa dingin. "Huh..huh!" Hampir berbareng terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang kabur dengan kecepatan kilat. Cie Jiak melompat bangun. "Tio Beng!" Serunya dengan suara parau. Suara tertawa itu, memang suara wanita, tapi Boe Kie masih bersangsi, apakah benar Tio Beng? "Perlu apa dia menguntit kita?" Tanyanya. "Lantaran dia mencintai kau!" Jawabnya dengan gusar. "Mungkin kau berdua diam diam sudah berjanji untuk bertemu di sini guna mempermainkan aku." Boe Kie bersumpah keras keras, membantah terkaan tunangannya. Cie Jiak berdiri dengan darah meluap. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba- tiba karena mengingat nasibnya, ia menangis lagi. Dengan tangan kiri memeluk pundak, Boe Kie menyeka air mata tunangannya dengan tangan baju kanannya. "Mengapa kau menangis?" Tanyanya dengan suara lemah lembut. "Kalau aku menjanjikan Tio Kouwnio datang di sini untuk mempermainkan kau, biarlah aku dikutuk langit dan bumi. Coba kau pikir, apabila benar aku mencintai dia dan kutahu bahwa dia berada dekat, mana boleh jadi aku mengucapkan kata kata cinta terhadapmu? Bukankah dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?" Cie Jiak merasa perkataan itu beralasan juga. Ia menghela nafas dan berkata. "Boe Kie koko, hatiku sangat tidak tenteram." "Mengapa?" "Aku tidak dapat melupakan sumpahku. Selain itu, Tio Beng pun tentu tak bisa mengampuni aku. Baik dalam ilmu silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat menandinginya." "Aku melindungi kau dengan segenap tenagaku. Kalau dia berani melanggar selembar rambut isteriku, aku pasti takkan mengampuni dia." "Apabila aku lantas mati dibunuh olehnya, ya sudah saja. Apa yang ditakuti olehku adalah, karena disiasatkan olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu membunuhku. Kalau aku mati cara begitu, aku mati dengan penasaran, dengan mata melek." "Kau benar sudah gila!" Kata Boe Kie dengan tertawa. "Berapa banyak manusia sudah mencelakai aku, berbuat kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak membunuh mereka. Mana boleh jadi aku bunuh isteri tercinta?" Ia membuka bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka tusukan pedang, ia berkata pula. "Tusukan siapa ini? Cie Jiak, makin dalam tusukanmu, makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu." Dengan rasa menyesal dan rasa cinta yang sangat besar, Cie Jiak meraba raba tanda luka itu. Sekonyong-konyong mukanya berubah pucat. "Tikaman dibalas dengan tikaman" Katanya dengan suara parau. "Di belakang hari andaikata benar kau membunuh aku, aku takkan penasaran lagi" Buru2 Boe Kie memeluk si nona. "Sudahlah Cie Jiak!" Katanya. Kita harus lekas2 cari Gie hoe supaya orang tua itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau senang, kau boleh menikam aku lagi beberapa kali dan aku takkan merasa menyesal." Sambil menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, Cie Jiak berbisik. "Aku mengharap, bahwa sebagai laki laki sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini." Lama mereka berdiam di situ, ber-omong2 dengan penuh kasih, di antara sinar rembulan yang putih bagaikan perak. Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah penginapan. Pada keesokan pagi, bersama Han Lim Jie, mereka meneruskan perjalanan ke selatan. Pada suatu magrib, tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan bahwa rakyat di seluruh kota sedang sibuk membersihkan rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah terdapat hio to (meja sembahyang). Mereka lalu mencari rumah penginapan dan menanya seorang pelayan mengenai kerepotan itu. "Kedatanganmu sungguh kebetulan," Kata si pelayan. "Kalian mempunyai rejeki besar, besok adalah hari arak arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar)." "Arak arakan apa?" "Besok adalah hari pesiarnya Hong shia (kaisar), kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali. Tujuan Hong shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie. Malam ini kalian harus tidur siang siang dan besok bangun pagi pagi." "Pagi pagi sekali kau harus pergi di mulut pintu istana Giok tek tian untuk mendapat tempat yang baik. Kalau untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw (permaisuri), Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan puteri kaisar. Coba kalian pikir, kalau sebagai rakyat jelata kita tidak berada di kota raja mana bisa kita melihat wajah Hong siang dengan mata sendiri?" Pedang Wucisan Karya Chin Yung Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo