Pedang Langit Dan Golok Naga 70
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 70
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung Tanya Boe Kie. "Tio Kouwnio," Sela Yo Siauw. "Mengenai janji Kauwcoe kami yang bersyarat itu, bukan saja Kauwcoe kami sendiri saja, tapi juga seluruh anggauta Bengkauw turut memikul tanggungan untuk menunaikannya. Tapi sekarang adalah saat yang sangat penting, saat bersembahyang kepada langit dan bumi dari Kauwcoe kami dengan pengantinnya. Maka itu, aku harap soal ini ditunda untuk sementara waktu dan janganlah Kouwnio merintangi upacara yang sedang berlangsung." Kata-kata yang terakhir itu diucapkan dengan nada keras. Tapi Tio Beng tenang-tenang saja. Ia seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada Kong beng Co soe yang tersohor. "Pekerjaan yang aku ingin berikan kepada Kauwcoe-mu terlebih penting lagi dan tidak boleh ditunda," Katanya dengan suara ogah-ogahan. Tiba-tiba ia maju beberapa tindak dan berbisik di kuping Boe Kie "Permintaanku yang kedua ialah hari ini kau tak boleh menikah dengan Cioe Kouwnio !" BoeKie tertegun. "Apa?" Ia menegas. "Itulah pekerjaanmu yang kedua," Jawabnya "Yang ketiga aku akan berikan belakangan." Biarpun bisik-bisik, setiap perkataan nona Tio didengar tegas oleh Cie Jiak, Song Wan Kiauw, In Lie Heng dan delapan murid Go bie yang mengiring pengantin perempuan. Mereka semua terkejut dan paras muka mereka lantas saja berubah. Kedelapan murid Go-bie itu lantas saja siap sedia untuk menyerang, jika nona Tio berani menghina Ciang boen-jin mereka. "Permintaanmu tidak bisa diturut olehku,'' kata Boe Kie. "Kuharap kau suka memaafkan." "Apa kau mau membatalkan janjimu sendiri?" "Aku berjanji akan melakukan tiga pekerjaan yang diminta olehmu asal saja pekerjaan itu tidak melanggar hiap gie. Aku dan Cioe Kouwnio telah setuju untuk menjadi suami istri. Apabila aku menurut kemauanmu, maka aku melanggar gie". Tio Beng tertawa dingin. "Kalau kau menikah dengan dia, berarti kau melakukan perbuatan "put-hauw put-gie", katanya. "Pada waktu arak-arakan di Hong-shia, apakah kau tidak lihat gambaran cara bagaimana ayah angkatmu diakali orang?" Boe Kie meluap darahnya. "Tio Kouwnio!" Bentaknya. "Hari ini aku menghormati kau dan mengalah terhadapmu karena kau adalah tamuku. Tapi kalau kau terus ngaco- belo, janganlah kau salahkan aku." Si nona tidak menggubris ancaman itu. "Apa benar kau tidak mau melakukan pekerjaan kedua itu?" Tanyanya dengan suara tenang. Boe Kie adalah orang yang berhati lemah. Tiba-tiba saja ia ingat bahwa sebagai seorang koencoe yang mempunyai kedudukan tinggai, Tio Beng rela memperlihatkan muka sendiri dan meminta ia membatalkan pernikahan. Hal ini pada hakikatnya merupakan satu bukti dari rasa cinta yang tak terbalas. Mengingat itu tanpa terasa ia berkata dengan suara lemah lembut. "Tio Kouwniourusan sudah jadi beginikau mundurlah. Thio Boe Kie adalah seorang anak kampong. Bagaimana carabagaimana cara," Ia tidak dapat meneruskan perkataannya. "Baiklah," Kata si nona. "Tapi lihat! Apa ini?" Ia membuka tangan kanannya dan menyodorkannya ke hadapan Boe Kie. Begitu melihat, Boe Kie terkejut. Dengan badan gemetaran ia berkata dengan suara terputus-putus. "Ah!...ini." Tio Beng buru-buru menutup lagi telapak tangannya dan memasukkan benda itu ke dalam sakunya. "Sekarang, terserah kepada kau, apa kau suka melakukan pekerjaan kedua itu atau tidak," Katanya seraya memuta badan dan berjalan keluar. Benda apa yang dilihat Boe Kie dan mengapa ia begitu kaget, tidak diketahui oleh orang lain. Cie Jiak sendiri yang berdiri berendeng tidak bisa melihatnya karena mukanya terhalang sutra merah. "Kalau kau mau, kau boleh ikut aku," Kata Tio Beng sambil terus berjalan. "Tio Kouwnio!...tunggu dulusegala hal dapat didamaikan." Tapi si nona tidak meladeni. Tiba-tiba Boe Kie memburu. "Baiklah!" Teriaknya. "Aku setuju untuk menunda pernikahan!" Tio Beng menghentikan langkahnya. "Kalau begitu ikut aku!" Katanya. Boe Kie maju dua langkah dan berhenti lagi. Ia menengok ke arah Cie Jiak dan mengawasi nona Cioe dengan sorot mata menyesal dan meminta maaf. Ia kelihatannya seperti mau memberi penjelasan tapi Tio Beng sudah berjalan keluar dengan langkah lebar. Keadaan sangat mendesak dan ia harus mengambil keputusan cepat. Di lain detik sambil menggertak gigi ia mengejar Tio Beng. Baru saja ia memburu sampai di ambang pintu, disampingnya mendadak berkelabat bayangan merah dan orang lain sudah menerjang Tio Beng dari belakang. Hampir bersamaan dari bawah tangan baju yang berwarna merah menyambar lima jari tangan ke batok kepala si nona Tio. Serangan itu adalah serangan yang membinasakan yang dikirim secepat kilat. Yang menyerang tidak lain adalah pengantin perempuan. "Sungguh hebat! Dari mana Cie Jiak mendapat pukulan itu?" Pikir Boe Kie. Biarpun sudah mempelajari macam-macam ilmu silat, Tio Beng tidak berdaya lagi. Pada detik yang sangat berbahaya tanpa berpikir lagi Boe Kie melompat dan meraih pergelangan tangan Cie Jiak. Nona Cioe menyikut dengan sikut kirinya. "Duk!", sikut it mampir tepat di dada Boe Kie. Walaupun dilindungi Kioe-yang Sin-kang, Boe Kie terhuyung dan darahnya bergolak, sebab tenaga benturan itu bukan main kuatnya. Melihat pemimpinnya menghadapi bahaya, Hoan Yauw melompat dan mendorong pundak Cie Jiak. Dengan gerakan luar biasa si nona ngebut pergelangan tangan Hoan Yauw dengan jari- jari tangannya dan segera Hoan Yauw separuh badannya merasa kesemutan sehingga ia tidak bisa menyerang lagi. Dengan adanya rintangan itu, Tio Beng sudah maju setengah langkah sehingga batok kepalanya lolos dari pukulan. Tiba-tiba ia merasakan sakit hebat karena lima jari tangan Cie Jiak sudah menancap di pundak kanannya di dekat leher. Sambil mengeluarkan teriakan kaget, Boe Kie mendorong calon istrinya. Dengan telapak tangan kiri Cie Jiak membabat pergelangan tangan Boe Kie dan kemudian dengan tubuh tidak bergerak ia mengirim pukulan berantai, semuanya delapan pukulan. Mau tak mau Boe Kie melindungi diri dengan Kian-koen Tay lo-ie. Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata, seluruh ruangan pesta sunyi senyap dan jago-jago Rimba Persilatan menyaksikannya. Sambil menahan nafas Tio Beng roboh dan darah mengucur dari lima lubang di pundaknya. Dilain saat Cie Jiak menghentikan serangannya. "Thio Boe Kie!" Bentaknya. "Sekarang kau benar-benar sudah mabuk oleh perempuan siluman itu dan kau menyia- nyiakan aku!" "Cie Jiak!" Kata Boe Kie dengan suara memohon. "Kuharap kau bisa membayangkan penderitaanku. Menikah dengan kau sedikitpun Thio Boe Kie tidak merasa menyesal. Aku hanya mohon supaya pernikahan ini ditangguhkan untuk sementara waktu." "Sesudah pergi, kau jangan kembali lagi," Kata Cie Jiak dengan suara dingin. Sementara itu Tio Beng sudah bangun berdiri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia berjalan keluar dengan darah mengucur di pundaknya. Orang-orang gagah yang hadir di situ sudah kenyang menyaksikan kejadian-kejadian luar biasa dalam dunia ini, tapi peristiwa berdarah semacam itu, saat dua jago perempuan berebut suami adalah pengalaman yang pertama kali. Tiba-tiba Boe Kie membanting sebelah kakinya. "Cie Jiak!" Katanya dengan suara parau. "Budi Giehoe terhadapku besar bagaikan gunungkecintaannya mendalam seperti lautanOh Cie Jiak! Kuharap kau mengerti perasaanku." Sehabis berkata begitu ia menguber Tio Beng. In Thian-Ceng, Yo Siauw, Song wan Siauw Song Wang Kiauw In Lie Heng dan lain-lain yang tak tahu latar belakang kejadian itu tidak berani bergerak. Saat semua orang kebingungan, tiba-tiba Cie Jiak merobek sutra merah yang menutup kepalanya. "Tuan- tuan, lihatlah!" Teriaknya dengan suara nyaring. "Dia sudah mengkhianati aku. Mulai hari ini, Cioe Cie Jiak dan orang she Thio itu putus hubungan." Seraya berkata begitu, ia mengangkat coe koa dari kepalanya, mencengkeram segenggam mutiara dan melemparkan cu khoa itu, kemudian sambil menggertakkan gigi dengan kedua tangannya ia meremas mutiara itu menjadi hancur seperti tepung dan jatuh ke lantai. "Jika aku tidak bisa mencuci hinaan di hari ini, biarlah badanku hancur seperti mutiara ini!" Katanya dengan bernafsu. (Coe koa topi perhiasan bertata mutiara) Baru saja In Thian Ceng dan lain-lain mau mencoba membujuk supaya ia bersabar dan menunggu kembalinya Boe Kie yang tentu akan memberi penjelasan, Cie Jiak sudah merobek pakaian pengantinnya dan melontarkannya ke lantai, kemudian dengan gerakan yang indah ia melompat ke atas genteng. In Thian Ceng dan kawan- kawannya mengejar tapi si nona sudah lari jauh ke arah Timur. Semua orang merasa kagum karena ilmu ringan tubuh Cie Jiak ternyata tak berada di bawah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw. Karena tak sanggup mengejar, Yo Siauw dan yang lainnya terpaksa kembali ke toathia. Demikianlah karena pengacauan Tio Beng, pesta yang meriah itu berakhir secara menyedihkan dan memalukan Beng Kauw. Para tamu yang datang dari jauh tentu saja merasa kecewa dan mereka mencoba menebak benda apa yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie. Dari perkataan Boe Kie, mereka menebak bahwa benda itu tentu mempunyai hubungan dengan Cia Soen tapi tak seorangpun bisa menebak tepat teka-teki itu. Sesudah berdamai, delapan murid Go Bie segera berpamitan. In Thian Ceng menghaturkan maaf dan mengatakan bahwa ia akan membawa Boe Kie ke puncak Go Bie untuk sekali lagi minta maaf dan kemudaian melangsungkan upacara pernikahan yang tertunda itu. Ia menyatakan harapannya agar persahabatan antara Go Bie pay dan Beng Kauw tak menjadi terganggu. Para murid Go Bie memberi jawaban samar-samar yang penuh rasa dongkol dan mereka segera pergi untuk mencari Cie Jiak. Benda apakah yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie? Benda itu adalah rambut manusia yang berwarna kuning emas. Begitu melihat Boe Kie segera mengenali bahwa rambut itu adalah rambut ayah angkatnya. Warna kuning rambut itu berbeda dari warna kuning orang asing adalah akibat dari latihan Lweekang yang luar biasa. Dapatlah dimengerti bahwa begitu melihat rambut tersebut Boe Kie segera menarik kesimpulan bahwa ayah angkatnya jatuh ke tangan Tio Beng atau setidak-tidaknya si nona tahu di mana adanya sang Giehoe. Kecintaan Boe Kie terhadap Cia Soen tak berbeda dari kecintaan seorang putra kandung terhadap ayah kandungnya sendiri. Baginya di dalam dunia ini tak ada hal yang lebih penting daripada keselamatan orang tua itu. Ia kuatir bahwa jika ia melangsungkan upacara pernikahan dengan Cie Jiak, dalam kegusarannya Tio Beng sgera membunuh atau menyakiti Giehoenya. Di hadapan para tamu ia tak bisa memberi penjelasan yang jelas. Di antara tamu-tamu itu kecuali orang-orang Beng Kauw dan Boe Tong pay sebagian besar ingin mencari Cia Soen baik untuk membalas sakit hati maupun untuk merebut To Liong To. Maka itu ia merasa sangat berdosa terhadap Cie Jiak demi keselamatan sang ayah angkat, ia tak dapat berbuat lain daripada menyusul Tio Beng. Begitu keluar dari gedung pesta, ia lihat Tio Beng lari-lari dengan darah menetes di sepanjang jalan. Ia mengempos tenaga dan mempercepat langkahnya. Beberapa saat kemudian ia menghadang di depan si nona. "Tio Kauwnio," Katanya. "Janganlah kau memaksa aku untuk menjadi manusia tak berbudi yang akan di tertawai oleh segenap orang gagah." Tio Beng terluka sangat berat. Dengan memusatkan seluruh tenaganya, ia bisa juga mempertahankan diri. Begitulah melihat Boe Kie ia berkata dengan suara parau. "Kau!...kau" Karena mengeluarkan suara, pemusatan tenaganya buyar dan sesaat itu juga, ia jatuh terguling. Boe Kie membungkuk dan bertanya. "Di mana Giehoe- ku?" "Bawalah aku untuk menolongnya," Jawab si nona. "Aku akan menunjuk jalan." "Apa jiwanya terancam?" Tanya Boe Kie pula. "Giehoe-mudiajatuh ke tangan Seng Koen!...," Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Jawabnya. Mendengar nama Seng Koen, hati Boe Kie mencelos. Ia sudah tahu bahwa dalam pertempuran di Kong Beng teng, manusia jahat itu hanya berlagak mati. Manusia itu berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. Dengan ayah angkatnya, ia mempunyai permusuhan hebat. Jika sang Giehoe jatuh ke dalam tangannya, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya bahaya yang mengancam jiwa orang tua itu. "Seorang diri, kau taktakakan bisa menolong," Kata Tio Beng pula. "Panggillah Yo Siauwdanyang lain- lain." Seraya berkata begitu, ia menuding ke jurusan Barat. Tiba-tiba kepalanya terkulai dan ia pingsan. Hati Boe Kie seperti dibakar. Dengan tergesa-gesa ia merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk membalut luka si nona Tio. Sesudah itu ia menggapai seorang anggota Beng Kauw yang kebetulan lewat dijalanan itu. "Lekas kau beritahukan kepada Yo Co-soe bahwa dengan membawa sejumlah pembantu, ia harus segera menyusul aku ke jurusan barat," Pesannya. "Ada tugas sangat penting yang perlu dikerjakan segera." Orang itu membungkuk dan segera berlalu dengan berlari-lari untuk menyampaikan pesan tersebut. Sedikitpun Boe Kie tidak mau membuang-buang waktu. Dengan mendukung Tio Beng itu ia segera lari ke pintu kota dan minta segera disediakan seekor kuda pilihan. Perwira yang menjaga pintu tidak berani membangkang dan begitu kuda dituntun keluar, Boe Kie segera melompat ke punggungnya dan mengaburkan ke jurusan barat. Sesudah melalu belasan lie, tiba-tiba Boe Kie merasa bahwa badan Tio Beng yang didukungnya makin lama menjadi semakin dingin, ia memegang nadinya yang ternyata sudah lemah. Ia kaget dan segera memeriksa luka si nona. Dengan hati mencelos ia lihat lima lubang yang sudah warna ungu hitam, suatu tanda bahwa nona Tio kena racun yang sangat hebat. Sebagai murid Go Bie, bagaimana Cie Jiak bisa memiliki ilmu yang begitu beracun?" Tanyanya di dalam hati. "Pukulannya yang hebat luar biasa bahkan lebih hebat daripada Biat Coat Soethay sendiri. Sungguh mengherankan." Ia tahu bahwa jika tidak segera mendapat pertolongan, Tio Beng akan binasa. Tapi ia sendiri tidak membawa obat pemunah racun. Sesudah berpikir beberapa saat, ia melompat turun dari punggung kuda dan dengan mendukung si nona, ia segera mendaki sebuah gunung yang terletak di sebelah kiri. Sambil memanjat dai memperhatikan rumput-rumput untuk mencari daun obat yang bisa memunahkan racun. Tapi sesudah beberapa saat, sepohonpun tidak dapat ditemukan olehnya. Dengan bingung ia berjalan terus. Mulutnya komat- kamit memohon pertolongan Tuhan. Tiba-tiba hatinya lega sebab di sebelah kanan di dekat sebuah air tumpah, ia lihat empat lima pohon yang kembangnya merah dan kembang itu obat pemunah racun. Cepat-cepat ia meletakkan Tio Beng di tanah. Sesudah melompati dua selokan, ia tiba di sisi tumpahan. Tapi baru saja ia membungkuk untuk memetik bunga merah itu, dibelakangnya terdengar bentakan seorang wanita. "Tahan!" Ia menengok dan melihat tiga wanita yang berdiri di seberang selokan. Ia mengenali bahwa salah seorang di antaranya yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah pendeta, adalah Ceng hoe, murid Go Bie pay. Dua yang lain, yang berusia muda dan mengenakan baju hitam juga murid Go Bie tapi ia tak tahu namanya. Dengan tangan memegang pedang terhunus, Ceng hoei membentak. "Thio Kauwcoe! Ada apa kau datang ke sini?" Boe Kie tidak segera menyahut. Ia terus memetik tiga kuntum bunga merah yang segera dimasukkan ke dalam mulutnya. "Ceng hoei Soethay," Katanya sambil mengunyah kembang. "Apa kau membawa Hoed kong Kie tok tan?" Hoed kong Kie tok tan adalah pil obat Go Bie pay untuk memunahkan segala jenis racun dan mempunyai khasiat lebih besar daripada bunga yang sedang dikunyahnya. Ia tahu bahwa kalau turun gunung, hampir setiap murid Go Bie pay selalu membawa obat mujarab itu. "Perlu apa kau bertanya!" Kata Ceng hoei. "Tio Kouwnio kena racun hebat dan aku mohon supaya Soethay sudi menghadiahkan tiga butir untuk mengobatinya," Jawabnya. Ceng hoei mendelik. "Perempuan siluman itu adalah penjahat yang sudah membinasakan guruku," Katanya dengan suara keras. "Semua murid Go Bie ingin merobek kulitnya dan makan dagingnya. Hm!...Mereka kena racun yang sangat hebat? Itulah akibat dosanya sudah melewati takaran. Thio Kauwcoe, aku ingin tanya. Hari ini adalah pernikahanmu dengan Ciangboen jin kami. Mengapa begitu dibujuk perempuan siluman itu, kaukau meninggalkan ruang pesta? Di mana kau mau menempatkan muka Ciangboen jin kami, di mana kau menempatkan Go Bie pay kami?" Boe Kie menyoja. "Ceng hoei Soethay," Katanya. "Aku perlu segera menolong jiwa manusia, aku sangat menderita tapi tak bisa menceritakan penderitaanku sekarang. Aku mohon kalian sudi memberi maaf. Kecintaanku pada Cie Jiak tak akan berubah sampai mati. Langit dan bumi menjadi saksinya." Ceng hoei hanya menafsirkan bahwa orang yang mau ditolong adalah Tio Beng. Ia tak tahu bahwa selain Tio Beng, Boe Kie pun perlu menolong Cia Soen. Maka itu ia jadi lebih gusar. "Biarpun kau merasa perlu untuk menolong dia sepantasnya kau harus menunggu sampai selesai upacara pernikahan," Katanya. "Ha! Kau pandai sekali bersilat lidah!" Karena pengobatan atas diri Tio Beng tidak boleh tertunda, Boe Kie tidak mau banyak bicara lagi. Ia melompat mendekati nona Tio, merobek baju di bagian pundak dan lalu menaruh bunga merah yang sudah dikunyah di atas luka. Ia menyadari bahwa daging di sekitar luka sudah bengkak dan berwarna lebih hitam. Ia kaget dan sangat kuatir, kalau nona itu sampai binasa di samping rasa duka dan menyesal, iapun tak akan bisa mencari ayah angkatnya lagi. Tanpa petunjuk Tio Beng, dia mau mencari di mana di dunia ini? Mungkin ayah angkatnya itu akan binasa di tangan Seng Koen. Selagi ia membalut luka dengan tangan gemetar, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin dan sebatang pedang menikam dirinya. Tanpa menoleh, Boe Kie menyambut dengan tangan kirinyatiga jari tangannya mendorong badan pedang dan serangan itu dapat dipunahkan. Dalam menangkis serangan yang dikirim oleh Ceng hoei, Boe Kie menggunakan ilmu yang istimewa. Kalau perhitungannya salah sedikit saja, tiga jari tangannya akan putus. Jangankan tanpa melihat, dengan berhadap-hadapan saja seorang ahli silat biasa tak akan berani menggunakan pukulan itu. Sesudah pedangnya terdorong, Ceng hoei segera mengerahkan tenaga pukulan untuk mengirim serangan susulan. Diluar dugaan tenaga dorongan Boe Kie belum habis dan dirinya sendiri turut terdorong sehingga ia terhuyung beberapa langkah. Ia tahu bahwa ia bukan tandingan Boe Kie. Tapi, karena merasa bahwa hari ini Go Bie pay sudah mendapat hinaan besar dan juga karena Tio Beng adalah musuh besar partainya maka ia tidak mau menyerah begitu saja. Musuh besar itu sudah kena racun hebat dan jika ia bisa menghalang-halangi pertolongan Boe Kie, ia mungkin akan bisa membalas sakit hati tanpa menggunakan pedang. Berpikir begitu ia segera berteriak. "Kwa Soemoay, Auw Soemoay, majulah!" Kedua gadis remaja itu segera menghunus pedang dan menerjang. Boe Kie tertawa getir. "Dengan kalian bertiga aku sama sekali tidak punya permusuhan," Katanya. "Mengapa kalian mendesak begitu hebat?" Sambil berkata begitu ia menangkis semua serangan dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya terus membalut luka. Ketiga wanita itu menyerang sehebat-hebatnya tapi dengan Kian koen Tay lo ie Sin kang, Boe Kie berhasil menyelamatkan dirinya dari setiap serangan. Tiba-tiba Ceng hoei membentak keras dan pedangnya menikam Tio Beng. "Ah!" Seru Boe Kie sambil menyentil badan pedang dengan jarinya. "Trang!" Ceng hoei merasa telapak tangannya terbeset dan pedangnya terpental ke tengah udara kemudian patah dua dan jatuh ke tanah. Ceng hoei jadi kalap, ia melompat dan menotok punggung Boe Kie pada hiat yang membinasakan. Biarpun sabar, Boe Kie mendongkol juga. Ia menangkis dan mendorong dengan keras sehingga tubuh niekouw itu terpental dan jatuh tanpa ampun. Melihat kakak seperguruannya roboh, si gadis she Kwa dan she Auw tidak berani menyerang lagi. Ketika itu Boe Kie sudah selesai membalut luka. Ia menyadari bahwa nafas Tio Beng jadi makin lemah dan hawa hitam makin menjalar. Ia tahu bahwa bunga merah itu tidak bisa menolong banyak. Dengan terpaksa ia menoleh ke Ceng hoei dan berkata dengan suara memohon. "Ceng hoei Soethay, kau adalah murid Sang Buddha yang selalu bertindak berdasarkan kasih. Kumohon kau sudi memberi tiga butir Hoed kong Kie tok tan, jika kau sudi meluluskan, seumur hidup aku takkan melupakan budimu yang sangat besar." "Kau mimpi!" Bentak Ceng hoei. "Jika kau menolong perempuan siluman itu kau pun menjadi musuh besar dari partai kami." Sedari tadi si gadis she Auw ingin sekali mencoba membujuk Boe Kie tapi ia belum begitu berani membuka suara. Sekarang ia tak bisa tahan lagi. "Thio Kauwcoe," Katanya. "Aku dan Cioe Soecie begitubegitubaik. Mengapamengapakarena perempuan siluman itukau jadi begitu? Sebaiknya kau kembali ke Cioe Soecie." Ia tidak bisa meneruskan perkataannya dan mukanya berubah merah. "Terima kasih atas maksud nona yang sangat baik," Jawab Boe Kie. "Tapi aku tidak bisa melihat kebinasaan dengan berpeluk tangan." Sementara itu hawa hitam di sekitar pundak Tio Beng sudah jadi lebih hebat. "Nona," Katanya pula. "Apakah kau sudi menghadiahkan tiga butir Hoed kong Kie tok tan kepadaku? Nona, kau tolonglah, Thio Boe Kie pasti membalas budimu." Nona she Auw itu berhenti, merasa kasihan dan segera merogoh saku. Tapi melihat paras muka Ceng hoei yang penuh kegusaran, ia tidak berani mengeluarkan pil itu. "Auw Soemay," Bentak Ceng hoei. "Apa kau lupa sakit hati kita? Jika kau serahkan pil itu aku akan binasakan kau!" "Ceng hoei Soethay!" Bentak Boe Kie. "Kalau kau sendiri tak sudi, akupun tidka memaksa tapi mengapa kau menghalang-halangi orang lain." Ceng hoei tidak menyahut, sambil menaruh kedua tangannya di dada, ia mundur selangkah demi selangkah. "Auw Soemay, Kwa Soemay, berangkat!" Serunya. Melihat si pendeta mau kabur dalam hatinya Boe Kie segera muncul keinginan untuk merampas obat. "Ceng hoei Soethay," Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Katanya. "Apabila kau tetap tidak mau menolong, kau jangan salahkan aku." Seraya berkata begitu, ia merangsek, Ceng hoei angkat tangan kirinya dan tangan kanannya menyambar dari bawah tangan kiri, Boe Kie miringkan muka untuk menghindari pukulan itu sedang tangan kirinya menotok jalan darah di pundak Ceng hoei. Begitu tertotok, bagian atas badan pendeta itu tidak bisa bergerak lagi tapi dengan nekad ia menendang betis Boe Kie. Tendangan itu mampir tepat pada sasarannya tapi ia mendadak merasa Yong coan hiat dibawah kakinya panas, seluruh tubuhnya kesemutan dan ia berdiri terpaku. "Thio Kauwcoe, jangan lukai Soecieku!" Teriak si gadis she Auw. "Tidak, sedikitpun aku tidak berniat mencelakai Soecie- mu," Jawabnya. "Tapi tolonglah ambil obat dari sakunya." "Auw Soemay!" Bentak Ceng hoei. "Murid Go Bie boleh mati tidak boleh dihina. Aku mau lihat kalau kau berani ikut perintahnya." Diancam begitu, si nona tidak berani bergerak. Sekarang Boe Kie tidak lagi menghiraukan adat istiadat antara pria dan wanita. Ia segera merogoh saku Ceng hoei. Fui! Ceng hoei menyembur dengan ludahnya, Boe Kie miringkan kepalanya sambil menarik keluar tiga botol kristal. Saat itu gadis she Kwa mendadak menikam dari belakang. Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan ujung pedang menikam angin. Sesudah itu ia membuka tutup tiga botol itu dan memeriksa isinya. Kemudian ia mengambil dan mengunyah tiga butir Hoed kong Kie tok tan. Sesudah pil itu hancur, yang separuh ia masukkan ke mulut Tio Beng dan separuh lagi ia taburkan di lubang luka. Karena kuatir tak cukup ia segera memasukkan botol obat ke dalam sakunya. "Maaf!" Katanya seraya membuka jalan darah Ceng hoei. Akhirnya dengan mendukung Tio Beng ia lari ke jurusan barat. Boe Kie menoleh dan melihat berkelabatnya sehelai sinar hijau. Ia terkesiap karena tangan kiri memegang pedang, Ceng hoei sudah membacok putus lengannya sebatas pundak. Ia segera sadar bahwa perbuatan nekad itu adalah karena gerakannya sendiri. Tadi wkatu menangkis tikaman si gadis she Kwa, secara tidak sengaja menyentuk kulit tulang pi peo (tulang di antara lengan dan pundak) niekauw itu. Sebagai seorang pendeta wanita yang suci bersih sentuhan dari seorang pria dianggapnya sebagai suatu hinaan dan kejadian yang sangat memalukan. Dalam gusarnya ditambah dengan adatnya yang berangasan dan keras ia sudah memutuskan lengan kanannya sendiri, muali dari bagian yang disentuh Boe Kie. Sesudah melakukan perbuatan nekad itu dengan darah mengucur badan Ceng hoei bergoyang-goyang tapi dengan menggigit gigi ia mempertahankan diri supaya tidak roboh. Boe Kie kembali dan sesudah meletakkan Tio Beng di tanah, bagaikan kilat ia memberi tujuh totokan kepada Ceng hoei untuk menghentikan keluarnya darah. "Bangsat Mo Kauw, pergi!" Bentak si niekauw. Mendadak di sebelah kejauhan tiba-tiba terdengar suara suitan dan si nona she Kwa segera mengeluarkan sebuah suitan bambu yang lalu ditiupnya. Boe Kie tahu bahwa itulah tanda Go Bie pay untuk mengumpulkan kawan. Dilain saat, tujuh delapan orang sudah kelihatan mendatangi sambil berlari-lari. Boe Kie merasa bahwa datangnya bantuan itu jiwa Ceng hoei tak perlu dikuatirkan lagi. Maka itu buru-buru ia mendukung Tio Beng dan terus kabur. Sesudah kira-kira tiga puluh li, mendadak terdengar suara rintihan Tio Beng yang baru saja tersadar. "Apaapa aku masih hidup?" Tanyanya. Boe Kie girang. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya. "Pundakku sangat gatal," Jawabnya. "Hai!...Cioe Kouwnio sungguh hebat." Boe Kie lalu merebahkannya di tanah dan memeriksa pula lukanya. Ia sadar bahwa warna hitam belum berubah hanyak ketukan nadi si nona sudah lebih keras daripada tadi. Ia sekarang tahu bahwa Hoed kong Kie tok tan tidak cukup kuat untuk melawan racun itu. Sesudah berpikir sejenak, ia segera menghisap lubang luka itu menarik racun ke mulutnya membuangnya ke tanah. Sambil menahan bau amis yang sangat tajam, ia mengisap racun itu dan menyemburkannya berulang-ulang. Sambil mengusap-usap rambut Boe Kie, Tio Beng bertanya dengan rasa terima kasih yang sangat besar. "Boe Kie Koko, apa kau bisa menebak latar belakang peristiwa ini?" Boe Kie tidak menjawab, beberapa saat kemudia ia sudah mengisap habis semua racun dan pergi ke kolam untuk berkumur. Ia kembali dan sesudah duduk di samping nona Tio ia balik bertanya. "Latar belakang apa?" "Cioe Kauwnio adalah murid sebuah partai lurus bersih. Tapi mengapa ia memiliki ilmu yang sesat itu?" "Akupun merasa sangat heran, siapa yang sudah mengajarnya?" Tio Beng tertawa. "Tak bisa lain, orang dari penjahat Mo Kauw," Katanya. Boe Kie pun turut tertawa. "Di dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali kepala iblis," Katanya. "Tapi diantara mereka tak ada yang memiliki ilmu begitu. Hanya Ong yang bisa menghisap darah manusia dan ilmu Thio Boe Kie yang bisa menghisap pundak manusia yang agak mirip dengan ilmu itu." Dengan penuh rasa bahagia, Tio Beng menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie. "Boe Kie Koko," Bisiknya. "Hari ini aku sudah mengacaukan pernikahan. Apa kau marah?" Sungguh aneh, pada waktu itu sebaliknya daripada berduka, Boe Kie merasa senang. Kecuali memikirkan Cia Soen, ia bahkan merasa tenang dan beruntung. Mengapa bisa begitu? Ia sendiri tak tahu sebab musebabnya tapi ia tentu saja merasa malu untuk memberitahukan si nona perasaan hatinya yang sebenarnya. "Tentu saja aku marah," Jawabnya. "Di kemudian hari aku pun akan mengacaukan pernikahanmu." Muka Tio Beng segera berubah dadu. "Jika kau berani, aku akan bunuh kau," Katanya tersenyum. Mendadak Boe Kie menghela nafas. "Mengapa kau menghela nafas?" "Entah siapa yang pada penitipan dahulu telah melakukan perbuatan mulia sehingga dalam penitisan sekarang ia begitu beruntung untuk menjadi Koen bee ya." (Koen bee ya suami seorang putri raja muda) "Sekarang masih ada waktu untuk kau sendiri melakukan perbuatan mulia," Kata si nona. Jantung Boe Kie memukul keras. "Apa?" Tegasnya. Tapi si nona segera memalingkan kepala ke jurusan lain dan tidak menyahut. Sesudah pembicaraan tiba pada titik itu, mereka merasa jengah utnuk berbicara lagi. Sesudah mengaso, Boe Kie lalu menaruh obat baru pada lubang luka dan kemudian sambil mendukung nona Tio ia meneruskan perjalanan ke jurusan barat. Malam itu mereka tidur dibawah langit dan pada keesokan paginya mereka tiba di sebuah kota kecil. Karena Tio Beng masih sangat lemah dan belum bisa menunggang kuda maka Boe Kie hanya membeli seekor kuda untuk ditunggang berdua. Sesudah berjalan lima hari, mereka tiba di daerah Ho- lam. Pada hari keenam, selagi enak jalan di sebalah depan tiba-tiba kelihatan debu mengebul dan tak lama kemudian mereka mendengar suara kaki kuda yang sangat ramai. Mereka tahu bahwa itu pasukan angkatan darat Mongol. Boe Kie buru-buru minggir dan menahan tunggangannya di sisi jalan. Pasukan itu terdiri dari beberapa ratus serdadu dan tak memperdulikan Boe Kie dan Tio Beng. Sesudah mereka lewat, di sebelah belakang mengikuti sekelompok penunggang kuda yang tidak teratur. Tiba-tiba Boe Kie mengeluh. "Celaka!" Dan buru-buru melengos ke jurusan lain. Apa yang dilihatnya tidak lain adalah Sin cian Pat hiong, delapan jago panah itu adalah bawahan Tio Beng. Ia bukan takut tapi ia tahu bahwa jika ia dikenali mereka dia bakal berabe sekali. Kelompok itu yang terdiri kira-kira dua ratus orang lewat tanpa memperhatikan Boe Kie dan Tio Beng yang di sisi jalan. Sesudah mereka lewat, Boe Kie segera memutar tangannya untuk meneruskan perjalanan. Mendadak terdengar suara kaki kuda dan tiga penunggang kuda mendatangi dengan cepat. Begitu melihat orang-orang itu, Boe Kie terkesiap. Orang yang ditengah- tengah yang menunggang kuda putih mengenakan pakaian sulam dan topi emas sedangkan dua orang yang mengapitnya Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong. Secepat mungkin Boe Kie mencoba memutar kepala kuda, tapi sudah terlambat. "Koen coe Nio nio!" Teriak Ho Pit Ong. "Jangan takut!" Sehabis berteriak begitu ia bersiul keras dan kelompok Sin cian Pat hiong segera kembali. Dilain saat Boe Kie dan Tio Beng sudah dikurung. Dengan perasaan ragu Boe Kie mengawasi si nona. Apakah Tio Beng sudah lebih dulu mengatur datangnya bala bantuan ini? Tapi hatinya langsung lega sebab si nona sendiri kelihatannya bingung. Ia memastikan bahwa nona itu tidak menjual dia. "Koko," Seru Tio Beng. "Sungguh tak sidangka bisa bertemu dengan kau di tempat ini! Apa Thia-thia baik?" Mendengar perkataan "Koko" (kakak) Boe Kie segera mengawasi pemuda yang mengenakan pakaian sulam. Ia segera mengenali bahwa dialah Kuh-kuh Temur, kakak Tio Beng yang dikenal juga dengan nama Han Ong Po-po. Di kota raja ia sudah pernah bertemu dengan pemuda bangsawan itu tapi karena ia mencurahkan seluruh perhatian kepada Hian beng Jie-loo maka ia tidak memperhatikan kakak Tio Beng itu. Melihat adiknya, Ong Po-po kaget bercampur girang. Ia tidak mengenali Boe Kie. "Kaukau! Mengapa?...," Katanya. "Koko," Kata Tio Beng. "Aku dibokong musuh dan mendapat luka beracun. Untung ditolong oleh Thio Kauwcoe, tanpa pertolongannya aku tak akan bisa berjumpa lagi dengan Koko." "Siauw ong-ya, dia tidak lain adalah Kauwcoe Mo Kauw, Thio Boe Kie," Bisik Lok Thung Kek. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sudah lama Ong Po-po mendengar nama Boe Kie. Ia menduga bahwa adiknya bicara begitu karena diancam, maka itu ia segera memberi tanda dengan kibasan tangan. Melihat tanda itu, Hian beng Jie-loo segera mendekat dan empat anggota Sin cian Pat hiong segera memasang anak panah gendawa yang ditujukan ke punggung Boe Kie. "Thio Kauwcoe," Kata Ong Po-po. "Kau adalah pemimpin suatu agama dan seorang gagah terkenal. Dengan menghina adikku bukankah akan ditertawai oleh semua orang? Lepaskan adikku! Hari ini aku ampuni jiwamu." "Koko, mengapa kau berkata begitu," Kata Tio Beng. "Sebaliknya dari menghina, Thio Kongcoe telah melepas budi padaku." Ong Po-po masih menganggap bahwa adiknya berada dibawah tekanan. "Thio Kauwcoe!" Teriaknya. "Biarpun kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih tinggi, kau tidak akan bisa melawan jumlah yang besar. Lepaskanlah adikku! Hari ini kita berdamai, Ong Po-po tidak akan melanggar janji, kau tidak usah kuatir." Boe Kie merasa demi keselamatan Tio Beng, nona itu memang lebih baik mengikuti kakaknya supaya bisa diobati oleh tabib-tabib pandai daripada ikut ia terlunta-lunta. Maka itu ia segera berkata. "Tio Kauwnio, kakakmu sudah dating, sebaiknya kita berpisah saja. Aku hanya memohon agar kau memberitahukan di mana ayah angkatku berada supaya aku bisa mencarinya. Tio Kauwnio, di kemudian hari kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu." Sehabis berkata begitu, ia merasa sangat berduka dalam hatinya. Jawaban Tio Beng diluar dugaan. "Jika aku belum memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap karena mempunyai maksud yang dalam," Katanya. "Aku hanya berjanji akan membawa kau ke tempat itu tapi aku tak bisa memberitahukan tempat itu kepadamu." Boe Kie kaget. "Kau belum sembuh dan ikut aku sangat tidak baik bagi kesehatanmu," Katanya. "Paling baik kau ikut kakakmu." Tapi si nona menggelengkan kepala, sambil mengawasi Boe Kie dengan sinar mata berduka ia berkata. "Kalau kau tinggalkan aku, kau tidak akan dapat mencari Cia Tayhiap. Aku percaya bahwa aku akan sembuh dalam waktu singkat. Aku yakain bahwa melakukan perjalanan adalah baik untuk kesehatanku. Kalau aku pulang ke Ong hoe aku bisa mati jengkel." "Siauw ong-ya," Kata Boe Kie kepada Ong Po-po. "Cobalah kau bujuk adikmu." Ong Po-po merasa sangat heran tapi sesaat kemudian ia berkata dengan suara tawar. "Kau jangan bercanda! Aku tahu jari tanganmu memegang hiat yang membinasakan adikku. Kau paksa dia untuk bicara begitu." Melihat dirinya masih dicurigai, Boe Kie melompat turun dari tunggangannya. Selagi ia melompat turun, dua anggota Sin cian Pat hiong mengira ia mau menyerang Ong Po-po segera melepaskan anak panah ke punggungnya. Untuk memperlihatkan kepandaiannya ia mengibas dengan Kian koen Tau lo ie Sin kang. Kedua anak panah iu terpental balik dan tepat menghantam kedua gendewa yang segera menjadi patah. Kalau tidak lekas berkelit, kedua orang itupun pasti sudah terluka berat. Melihat kepandaiannya yang luar biasa itu kecuali Hian beng Jie-loo, semua orang termasuk Ong Po-po sendiri merasa kagum sekali. "Tio Kauwnio," Kata Boe Kie. "Sebaiknya kau pulang dulu untuk berobat, setelah kau sembuh kita bisa bertemu lagi." Tapi si nona menggelengkan kepalanya. "Tidak," Jawabnya. "Tabib di Ong hoe mana bisa menandingi kau? Thio Kongcoe, kalau menolong orang, kau harus menolong sampai akhir." Mendengar perkataan adiknya, Ong Po-po kaget bercampur gusar. Saat itu Boe Kie berdiri agak jauh dari Tio Beng maka Ong Po-po segera menoleh ke Hian beng Jie-loo dan berkata. "Tolong kalian lindungi adikku. Ayo berangkat!" "Baik!" Jawab mereka yang lalu mendekati Tio Beng. "Lok Hi Jie we Sian seng!" Kata si nona dengan nyaring. "Ada satu urusan penting yang harus diselesaikan olehku dan Thio Kauwcoe. Tenaga kami berdua justru tak cukup maka kuminta kalian sudi untuk membantu." Kedua kakek itu melirik Ong Po-po. "Sepak terjang kepala siluman Mo Kauw selalu menyeleweng dan Koencoe Nio nio tidak boleh mendekati dia," Kata Lok Thung Kek. "Paling baik Koencoe Nio nio ikut Siauw ong- ya." Alis si nona berdiri. "Apa sekarang Jie wie hanya mau menuruti perkataan kakakku dan tak sudi lagi mendengar perkataanku?" Tanyanya dengan marah. "Ajakan Siauw ong-ya adalah untuk kebaikan Koencoe Nio nio sendiri," Kata Lok Thung Kek sambil tertawa. "Nasihatnya keluar dair hati yang mencintai." Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. "Koko," Katanya. "Atas seijin Thia-thia aku berkelana di dunia Kang ouw, kau tak usah kuatir. Aku bisa menjada diri sendiri jika bertemu Thia-thia sampaikanlah hormatku." Ong Po-po tahu bahwa si adik sangat disayang oleh ayah mereka dan sebenarnya ia tidak berani terlalu mendesak tapi perginya adik seorang diri dengan Boe Kie biar bagaimanapun juga tak dapat diijinkan olehnya. Melihat si adik sudah mengedut tali untuk segera berangkat, ia segera menghadang dan berkata. "Hian moay, Thia-thia akan segera tiba di sini. Kau tunggulah sebentar, beritahukan dulu Thia-thia sebelum kau berangkat." "Begitu Thia-thia datang aku tentu dihalangi," Kata si nona. "Koko aku tidak ikut campur urusanmu kaupun jangan ikut campur urusanku." Ong Po-po melirik Boe Kie, melihat pemuda yang gagah dan tampan romannya itu dan mendengar perkataan adiknya, ia tahu si adik sudah cinta. Tapi Beng Kauw telah memberontak dan Kauwcoe Beng Kauw adalah kepala pemberontak. Ia gusar bercampur bingung. Terang-terang adiknya sudah dipengaruhi oleh kepala pemberontak itu. Bencana yang dihadapi bukan bencana kecil, demikian pikirnya. Sesudah berpikir sejenak, sambil mengibas tangan kirinya ia membentak. "Tangkap kepala siluman itu!" Hian beng Jie-loo segera menerjang, Lok Thung Kek menggunakan tongkat tanduk menjangan sedang Ho Pit Ong menyerang dengan pit-nya. Lweekang dari Hian beng Jie-loo agak lebih tinggi daripada orang-orang seperti Ia Thian Geng dan Cia Soen dan sekarang mereka mengerubuti seorang musuh adalah kejadian yang baru pertama kali terjadi. Melihat penyerangnya kedua lawan yang tangguh Boe Kie pun tidak berani bertindak sembrono dan segera melayani dengan menggunakan segenap kepandaiannya. Tio Beng tahu kehebatan kedua kakek itu, ia merasa sangat kuatir akan keselematan Boe Kie. "Hian beng Jie- loo!" Teriaknya. "Jika kau melukai Thio Kauwcoe aku akan memberitahu Thia-thia dan Thia-thia pasti tak akan mengampuni kau." "Omong kosong!" Bentak Ong Po-po. "Setiap orang berusaha untuk membunuh penjahat pemberontak. Hian beng Jie-loo! Setelah kalian bunuh penjahat itu, Thia-thia dan aku akan memberi hadiah besar." Ia terdiam sejenak dan berkata pula. "Sok Sianseng, aku akan mempersembahkan empat wanita cantik untukmu." Hian beng Jie-loo serba salah, pihak mana yang harus diikuti? Sesaat kemudian, Lok Thung Kek memberi isyarat kepada soetenya dengan kedipan mata dan berkata dengan suara perlahan. "Tangkap hidup-hidup saja." Tiba-tiba Boe Kie mengubah cara bersilatnya. Ia menggunakan ilmu silat Seng hwe teng. Dilain detik dengan satu pukulan aneh yang dikirim dari satu sudut yang tak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain ia berhasil menggaplok pipi Lok Thung Kek. "Coba tangkap hidup- hidup!" Bentaknya dengan suara mengejek. Si kakek gusar sekali, tapi sebagai ahli silat kelas utama dalam kegusarannya pemusatan pikirannya tidak terpecah. Ia segera menambah tenaga dan menyerang bagaikan hujan dan angin. Saat semua orang mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, tiba-tiba Tio Beng mengedut tali dan kuda yang ditungganginya segera melompat. Ong Po-po terkejut dan menyabet dengan cambuknya yang mampir di mata kiri binatang itu sehingga sambil meringkik keras dia mengangkat kedua kakinya. Tubuh Tio Beng miring dan karena masih sangat lemah ia hampir jatuh terjengkang. "Koko, apa kau benar-benar mau menghalangi aku?" Bentaknya. "Adik yang baik, dengarlah perkataanku," Jawabnya. "Jika kau menurut, aku akan menghaturkan maaf." "Koko, jika sekarang kau menghalangi aku, aku pasti akan mati. Thio Kauwcoe akan membenci aku sampai di sumsumadikmusukar hidup lebih lama lagi." "Hian moay, mengapa kau berkata begitu? Gedung Jie lom ong dijaga oleh banyak orang pandai yang tentu akan bisa melindungi kau sebaik-baiknya. Jangankan melukai kau, sekalipun hanya bertemu muka dengan kau, iblis kecil itu tak akan bisa lagi." Si adik menghela nafas. "Aku justru kuatir tak bisa bertemu muka lagi dengannya," Katanya. "Kalau sampai begituakuaku lebih suka mati." Pada jaman itu wanita Mongol memang lebih berani daripada wanita Han. Selain hubungan kakak dan adik itu sangat erat, mereka biasanya selalu bicara terus terang. Maka itu dalam keadaan terdesak, Tio Beng membuka rahasia hatinya secara terang-terangan. "Moaycoe, mengapa kau bicara yang tidak-tidak?" Bentak Ong Po-po dengan gusar. "Kau adalah anggota keluarga raja muda Mongol. Ibarat pohon, kau bercabang emas berdaun giok. Mana bisa kau jatuh cinta kepada anjing itu? Jika tahu, Thia-thia bisa mati berdiri!" Seraya berkata begitu, ia mengibaskan tangan kirinya dan tiga jago segera turun ke gelanggang untuk membantu mengepung Boe Kie. Tapi mereka tak bisa mendekati sebab saat itu Boe Kie dan Hian beng Jie-loo sedang bertempur menggunakan Sin kang yang tertinggi sehingga dalam jarak beberapa tombak angin tenaga dalam menyambar-nyambar bagaikan tajamnya pisau. "Thio Kongcoe!" Teriak Tio Beng. "Jika kau mau menolong Giehoe, kau harus lebih dulu menolong aku." Mendengar itu Ong Po-po tidak bisa menahan sabar lagi. Ia segera memeluk adiknya dan menendang perut kuda yang segera kabur. Ilmu silat Tio Beng sebenarnya lebih tinggi dari kakaknya tapi dalam keadaan terluka ia tidak bertenaga untuk melawannya. Ia hanya bisa berteriak. "Thio Kongcoe tolong! Thio Kongcoe tolonglah aku!" Boe Kie terkejut, dengan menggunakan seluruh tenaga ia mengirimkan dua pukulan sehingga Hian beng Jie-loo terpaksa mundur beberapa langkah. Dengan menggunakan kesempatan itu ia melompat dan mengejar Ong Po-po. Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hian beng Jie-loo dan tiga jago segera mengejar. Tapi begitu mereka mendekat, Boe Kie segera memukul dengan Sin- liong Pah hwee (Naga sakti menyabetkan ekornya), yaitu salah satu pukulan dari Han liong Sip pat ciang. Biarpun belum menyelami inti sari dari pukulan itu tapi karena memiliki Kioe yang Sin kang, tenaga pukulan itu dahsyat sekali sehingga Hian beng Jie-loo dan tiga kawannya tidak berani terlalu dekat. Dilain saat Ong Po-po sudah terkejar oleh Boe Kie. Sambil melompat tinggi ia mencengkram jalan darah dibatang leher pemuda bangsawan itu yang segera tidak bisa bergerak lagi yang lalu diangkat dan dilemparkan ke arah Lok Thung Kek. Karena kuatir majikannya terluka, si kakek buru-buru menyambuti. Dilain detik Boe Kie sudah mendukung Tio Beng melompat turun dari punggung kuda dan terus kabur ke lereng gunung. Ho Pit Ong dan jago lain segera menguber tapi dari lereng Boe Kie lari ke atas puncak yang tingginya beberapa ratus tombak sehingga untuk mengejarnya orang harus mempunyai ilmu ringan badan yang tinggi. Hian beng Jie- loo adalah ahli silat kelas utama tapi ilmu ringan badan mereka tidak seberapa tinggi dan mepat lima jago yang lain bahkan tidak bisa lari lebih cepat daripada Ho Pit Ong. Melihat dirinya dikejar, Boe Kie menjumput beberapa batu dan menimpuk. Dua orang roboh dan menggelinding ke bawah sehingga yang lain tidak berani mengejar terlalu keras. Dalam sekejap Boe Kie sudah lari jauh. Ong Po-po jadi kalap. "Lepaskan anak panah! Lepaskan anak panah!" Teriaknya sambil mementang busurnya sendiri dan lalu melepaskan sebatang anak panah ke punggung Boe Kie tapi karena jaraknya terlalu jauh, jatuh di tanah tanpa mengenai sasarannya. Setelah memastikan bahwa kaki tangan kakaknya tidak akan bisa mengejar lagi barulah Tio Beng merasa lega. Sambil memeluk leher Boe Kie ia menghela nafas dan berbisik. "Untung aku berjaga-jaga untuk tidak segera memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap, kalau tidak, kau tentu tidak akan mau menolongku." "Bukankah aku sudah mengatakan bahwa sebaiknya kau pulang untuk berobat?" Kata Boe Kie. "Untuk apa kau bentrok dengan kakakmu dan ikut aku menderita." "Aku rela menderita," Jawabnya. "Mengenai kakak, sekarang atau nanti aku pasti bentrok dengan dia. Hal terpenting bagiku adalah kuatir kau tidak mau mengajak aku. Yang lainnya hal kecil." Boe Kie tertegun. Ia tak pernah menduga sama sekali bahwa cinta Tio Beng terhadapnya sedemikian besar. Sudah lama ia tahu bahwa si nona menyukai dirinya. Tapi pada hakekatnya ia menganggap rasa cinta itu hanyalah rasa cinta yang tidak berdasar teguh dari seorang gadis remaja yang pikirannya mudah berubah-ubah. Baru sekarang ia menyadari bahwa cinta Tio Beng tulus dan murni. Untuk mengikuti dia, si nona rela melemparkan segala kekayaan dunia. Berpikir begitu ia menunduk dan mengawasi muka yang pucat tapi cantik luar biasa. Pada saat itu sebagai manusia biasa ia tidak dapat menahan gejolak hatinya lagi dan dengan rasa cinta yang meluap-luap ia menempelkan bibirnya ke bibir si nona. Muka Tio Beng segera berubah merah, kejadian itu merupakan goncangan yang terlampau berat bagi badannya yang sangat lemah dan ia pingsan. Boe Kie yang paham ilmu ketabiban tidak menjadi bingung. Pingsannya Tio Beng hanya memperlipat rasa terima kasih dan rasa cintanya. Tiba-tiba dalam otaknya berkelabat sebuah pertanyaan. "Cinta Cie Jiak terhadapku mana bisa menandingi cinta Tio Kauwnio?" Beberapa saat kemudian Tio Beng tersadar. Melihat Boe Kie seperti sedang memikirkan sesuatu ia bertanya. "Apa yang dipikirkan olehmu? Cioe Kauwniokah?" Boe Kie mengangguk. "Aku merasa bersalah terhadapnya," Jawabnya. "Kau menyesal?" "Waktu aku mau bersembahyang dengan dia sebagai suami istri, aku ingat padamu dan aku sedih. Sekarang aku ingat dia dan aku merasa bersalah terhadap dia." "Tapi dalam hati kau lebih mencintai aku, bukankah begitu?" "Bicara terus terang, terhadapmu aku cinta dan aku benci, terhadap Cie Jiak aku menghormati dan aku takut." Si nona tertawa geli. "Aku lebih suka terhadapku kau cinta dank au takut," Katanya. "Terhadap dia kau menghormati dan kau benci." Boe Kie ikut tertawa. "Tapi sekarang sudah jadi lain," Katanya tersenyum. "Terhadapmu kubenci dan kutakut. Kubenci karena kau sudah menggagalkan pernikahanku, kutakut sebab aku takut kau tidak mau membayar kerugian." "Bayar kerugian apa?" "Bayar kerugian dengan dirimu sendiri, dengan menjadi istriku sebagai gantinya Cie Jiak." Muka Tio Beng segera berubah merah. "Tidak segampang itu," Katanya dengan sikap malu-malu. "Terlebih dulu aku harus ijin dari ayah, aku harus lebih dulu menyadarkan kakak." "Tapi bagaimana jika ayahmu menolak?" Si nona menghela nafas. "Kata orang tua, menikah dengan iblis harus ikut iblis," Katanya. "Kalau sampai begitu, bagiku tiada jalan lain kecuali mengikuti si iblis kecil." "Perempuan siluman!" Bentak Boe Kie. "Kau berkomplot dengan penjahat cabul dan pemberontak Thio Boe Kie! Hukuman apa yang harus dijatuhkan atas dirimu?" "Di dunia ini, kamu berdua dihukum menjadi suami istri yang hidup beruntung sampai berambut putih. Di akhirat kamu berdua harus masuk ke delapan belas lapis neraka dan tidak bisa menitis lagi sebagai manusia!" Bicara sampai disitu, mereka berdua tertawa terbahak- bahak. Mendadak di sebelah depan terdengar teriakan seseorang. "Koencoe Nio nio, siauw ceng sudah lama menunggu di sini!" Teriakan itu nyaring dan tajam, suatu tanda bahwa orang itu memiliki Lweekang yang sangat kuat. Boe Kie terkejut dan segera menghentikannya. Dilain saat, dari sebuah tikungan muncul tiga orang hoan ceng (pendeta asing), yang satu mengenakan jubah warna merah, yang lain memakai jubah kuning, yang ketiga bertubuh kate kecil mengenakan jubah warna kuning emas. Si jubah merah merangkap kedua tangannya dan berkata sambil membungkuk. "Atas titah Ong-ya, siauw ceng menunggu di sini untuk menyambut Koencoe Nio nio pulang ke Ong hoe." Tio Beng tak kenal ketiga pendeta itu. "Siapa kalian?" Tanyanya. "Aku belum pernah mengenal kalian." "Siauw ceng Mohan Fa," Jawabnya. Ia menunjuk si kate kecil dan berkata pula. "Yang itu Soepeh Kioe Coen cia sedang yang ini kakak seperguruan siauw ceng, Mohan Singh. Kami bertiga datang dari Thian tiok (India) dan bekerja di Ong hoe. Waktu kami datang Koencoe sudah berkelana maka tak heran jika Koencoe tak mengenal kami." Setelah berkata begitu, ia membungkuk diikuti oleh kedua kawannya. "Lweekang orang itu tidak lemah," Piker Boe Kie selagi Mohan Fa bicara. "Paman dan kakak seperguruannya tentu lebih hebat lagi. Seorang diri aku belum tentu bisa melawan mereka bertiga." "Perlu apa kalian mencegat aku di sini?" Tanya Tio Beng. Mereka tidak menyahut hanya Mohan Singh mengangkat tinggi-tinggi seekor merpati putih yang dipegangnya. Tio Beng tahu bahwa itulah merpati pos yang membawa warta dari kakak kepada ayahnya. Ia menduga bahwa ayahnya yang berkepandaian tinggi sudah turun tangan sendiri. Ia melirik Boe Kie dan melihat paras yang muram. "Apa ketiga pendeta itu sukar dimundurkan?" Bisiknya. Boe Kie mengangguk. Sesudah berpikir sejenak, Tio Beng segera mengambil keputusan. "Aku akan beritahukan kau di mana Cia Tayhiap berada," Bisiknya pula. " Apa yang akan terjadi di kemudian hari, apa kau akan menyia-nyiakan aku atau tidak aku serahkan kepadamu." Ia tahu bahwa Boe Kie sendiri dengan mudah akan bisa meloloskan diri dari kepungan, ia tak mau demi kepentingan pribadi, jiwa Cia Soen sampai terancam. Tapi sekarang, Boe Kie sendiri sungkan berpisah lagi dengan Tio Beng. Ia menolak untuk kabur sendirian. "Kau jangan kuatir, kita harus menerjang keluar bersama-sama," Katanya. Mereka dicegat di jalan gunung yang sangat sempit. Di sebelah kiri terdapat jurang yang dalam dan disebelah kanan berdiri lereng gunung yang menjulang ke atas bagaikan tembok, jalan satu-satunya ialah menerjang dengan kekerasan. "Koencoe terluka berat dan Ong-ya sangat kuatir," Kata Mohan Fa. "Maka itu beliau telah memerintahkan siauw ceng untuk mengantar Koencoe pulang ke Ong hoe secepat mungkin." Walaupun orang asing, ia bisa bicara Tionghoa secara lancar, kedua kawannya tak mengeluarkan sepatah kata. Kioe Coen cia menundukkan kepala sambil memejamkan mata seperti orang bersemedi sedang Mohan Singh berdiri tegak dengan membusungkan dada. "Di mana Thia-thiaku?" Tanya Tio Beng. "Ong-ya menunggu di kaki gunung," Jawabnya. "Beliau ingin sekali bertemu dengan Koencoe." Tio Beng tertawa. "Bahasa Tionghoamu sangat baik," Katanya. "Baiklah! Thio Kongcoe mari kita berangkat!" Dengan berlagak menurut ia sudah mencari cara untuk segera kabur begitu mereka berada di tempat yang lebih terbuka. Tapi diluar dugaan, Mohan Fa mengambil sekarung kain dari punggungnya dan dengan sekali dikibaskan karung itu berubah menjadi kain panjang yang kedua ujungnya dipegang olehnya dan Mohan Singh. "Koencoe, naiklah ke joli ini," Katanya sambil membungkuk. "Aku tak suka duduk di joli," Kata Tio Beng sambil tertawa. "Aku lebih senang didukung olehnya." Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Boe Kie mengerti bahwa ia tak boleh lengah, hampir bersamaan ia maju dengan langkah lebar. Sesudah membaca surat yang dibawa merpati pos, ketiga pendeta itu tahu bahwa Boe Kie berkepandaian tinggi. Mohan Singh segera memapakinya dengan benturan sikut. Boe Kie melompat tinggi melewati kepala Kioe Coen cia. Mendadak ia merasa sambaran angin yang sangat dingin ke arah kakinya. Bagaikan kilat ia membaba dengan tangan kiri untuk menyambut pukulan itu, mendadak angin dingin itu berubah menjadi sangat panas. Ternyata dalam sekejap si pendeta sudah dapat mengubah tenaga pukulannya dari dingin menjadi panas. Itulah Ciang hoat yang sangat hebat dari Thian tiok dan yang sangat berbeda dengan pukulan di wilayah Tiong goan. Tapi Kioe yang Sin kang yang dimiliki oleh Boe Kie adalah gubahan Tat mo Couwsoe yang berasal dari Thian tiok, begitu mendengar bahwa ketiga pendeta itu datang dari Thian tiok, ia segera berhati-hati. Dalam sambutannya itu ia menggunakan delapan bagian tangannya, begitu tangan kebentrok dengan meminjam tenaga lawan dan dengan menggunakan kesempatan itu Boe Kie melompat jauh dan kemudian dengan mendukung Tio Beng ia kabur secepatnya. Sesudah menjajal tenaga ia tahu bahwa Lweekangnya masih lebih tinggi setingkat dari tenaga dalam si pendeta. Ketiga pendeta itu segera menguber sambil berteriak- teriak. Ilmu ringan badan mereka cukup tinggi tetapi mereka masih belum bisa menandingi Boe Kie yang memiliki Lweekang luar biasa. Biarpun mesti mendukung Tio Beng makin lama pemuda itu lari makin cepat dan sesudah melewati sebuah lereng ia sudah meninggalkan pengejarnya jauh sekali. Tapi baru saja mau cari jalanan kecil untuk menyembunyikan diri, mendadak terdengar suara terompet yang berulang-ulang dan dilain saat tigapuluh lebih serdadu Mongol yang bersenjata gendewa dan anak panah sudah menghadang di depannya. Hampir bersamaan di atas tanjakan muncul pula sejumlah serdadu yang melemparkan balok-balok dan batu-batu ke bawah tanjakan itu. Tapi karena kuatir melukai Tio Beng, balok dan batu itu tidak ditujukan ke arah Boe Kie. Karena jalanan di depan sudah tercegat ia segera berlari ke tanjakan sebelah kiri, tapi baru lari beberapa tombak sudah terdengar suara gembereng dan diatas tanjakan muncul lagi pasukan Mongol lain yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kalau seorang diri ia tentu akan menerjang, tapi dengan mendukung Tio Beng, ia tidak berani mengambil tindakan yang nekat itu. Andaikata si nona terkena anak panah atau balok batu dan terbinasa, seumur hidup ia akan menyesal. Setelah berpikir sejenak, ia segera lari balik ke jalanan yang tadi dilaluinya tapi baru setengah li ia sudah berhadapan dengan ketiga pendeta asing. Ia menaruh Tio Beng di tanah dan membentak. "Kalau masih mau hidup, mundurlah!" Kioe Coen cia maju selangkah dan segera memukul dada Boe Kie dengan kedua telapak tangannya dalam pukulan Pay san ciang. Dalam menghadapi jalan buntu, Boe Kie tidak dapat berbuat lain selain melawan. Dengan sepenuh tenaga ia segera menangkis dengan tangan kirinya. Sesudah tertangkis tangannya, Kioe Coen cia terhuyung dan mundur beberapa langkah. Mohan Singh dan Mohan Fa menahan punggungnya dan mendorongnya kembali ke depan. Untuk kedua kalinya Kioe Coen cia mengirim pukulan Pay san ciang. Karena ingin menyimpan tenaga kali ini Boe Kie tidak mau melawan kekerasan dengan kekerasan. Ia menangkis dengan Kian koen Tay lo ie. Tapi ia segera terkejut karena telapak tangannya mendadak tersedot dan melekat pada telapak tangan si pendeta. Dua kali mencoba menarik kembali tangannya tapi tidak berhasil. Karena terpaksa, ia segera mengerahkan Kioe yang Sin kang dan mendorong lawannya. Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo