Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 19


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 19


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   Gadis itu tertawa demi mendengar jawaban orang, rupanya ia menjadi gembira.   "Dan dimanakah Bapa dan Mak-mu ?"   "Sudah mati semua,"   Sahut Nyo Ko.   "Dan kau sendiri bernama siapa ?"   "Tak tahu, Buat apa kau tanya ?"   Kata si gadis.   "Dia tak mau katakan, biarlah aku pancing dia,"   Demikian pikir Nyo Ko karena orang tak mau memberitahukan namanya. Lalu dengan berlagak ber-seri2 ia berkata pula .   "Hahaa, aku tahu, kaupun bernama si tolol, maka kau tak mau mengatakan namamu."   Tentu saja gadis itu menjadi gusar, segera ia melompat maju, ia angkat kepalan terus menggetok dengan keras ke atas kepala Nyo Ko.   "Siapa bilang aku bernama si tolol, kau sendiri yang tolol,"   Demikian damperatnya pula. Karena kepala digetok orang, Nyo Ko pura2 kesakitan sambil menutup kepala dengan tangan-nya.   "Ya, sebab kalau orang tanya nama ku, bila aku katakan tak tahu, lantas orang panggil aku si tolol, sekarang kaupun bilang tak tahu, dengan sendirinya kaupun bernama si tolol,"   Kata Nyo Ko dengan mewek2 bikinan.   "Siapa bilang aku tak tahu ?"   Bentak si gadis sengit "Hanya aku tak suka katakan padamu, Aku she Liok, mengarti tidak ?"   Kiranya gadis ini adalah Liok Bu-siang, itu gadis cilik pemetik ubi teratai yang sudah kita kenal pada permulaan cerita ini.   Sebagaimana masih ingat, dahulu waktu dia main panjat pohon bersama Piaoci-nya, yaitu Thia Eng, dan kedua saudara Bu, ia telah jatuh dari atas pohon hingga tulang kakinya patah, Syukur secara kebetulan Bu-samnio numpang menginap dirumahnya dan telah menyambungkan tulang kakinya yang patah itu.   Tetapi karena ayah Bu-siang, jakni Liok Lip-ting mencurigai Bu-samnio, akhirnya mereka saling gebrak sehingga sambungan tulang kaki Bu-siang rada terganggu dan sedikit meleset sesudah sembuh, kaki kirinya yang patah itu telah mengker sekira satu senti, maka bila berjalan menjadi sedikit pincang pula.   Walaupun kulit badan Liok Bu-siang tidak begitu putih, tetapi dasar pembawaannya cantik raut mukanya, setelah besar ia bertambah manis pula, tapi karena pincang kakinya, inilah yang menjadi penyesalan selama hidupnya.   Sesudah seluruh keluarganya dibunuh habis oleh Li Bok-chiu, sebenarnya Bu-siang pun tidak terluput dari kematian, tetapi setiap kali bila melihat saputangan sulaman yang menggubet di leher Bu-siang, lantas Li Bok-chiu teringat pada cinta Liok Tian-goan dahulu hingga selalu ia tak tega menghabisi jiwa anak dara itu.   Liok Bu-siang sendiri meski usianya masih kecil, tetapi ia sudah pandai berpikir, ia mengerti dirinya terjeblos di dalam cengkeraman iblis perempuan ini, jiwanya boleh dikatakan seperti telur di ujung tanduk yang setiap saat terancam bahaya, oleh sebab itu ia berlaku sangat hati2 dan berusaha sedapat mungkin me-narik2 hati orang, dan karena pintarnya Bu-siang membawa diri dan rajin melayani sehingga Jik-lian-sian-cu yang biasanya bunuh orang tanpa berkedip itu lambat laun menjadi reda juga maksud membunuhnya pada Liok Bu-siang.   Kadang2 Li Bok-chiu terkenang pada peristiwa di masa mudanya yang sangat menyesatkan itu, segera Bu-siang dipanggil ke hadapannya, lalu nona kecil itu disiksa dan dihina untuk melampiaskan dendamnya.   Namun Bu-siang pintar pura2, ia sengaja bikin mukanya kotor dan rambutnya serawutan sambil berjalan pincang sebagaimana seorang gadis yang harus dikasihani maka bila melihat macamnya ini, mestinya Li Bok-chiu hendak umbar dendamnya lantas tak sampai hati dilontarkan lagi.   Begitulah caranya Liok Bu-siang mencari selamat bagi dirinya sendiri, beruntung juga seorang gadis cilik seperti dia itu ternyata bisa hidup terus berdampingan dengan Li Bok-chiu yang kejam itu.   sungguhpun demikian, dalam hati Bu-siang tidak pernah melupakan sakit hati ayah-bundanya yang dibunuh Li Bok-chiu secara kejam, sebaliknya apabila Li Bok-chiu coba menanyakan tentang ayah-ibunya, selalu Bu-siang berlagak linglung dan pura-pura tidak mengingatnya lagi.   Bila Li Bok-chiu sedang mengajarkan ilmu silat pada Ang Ling-po, ia lantas menunggunya di samping untuk melayani bila orang perlu diambilkan handuk atau Iain2, atau dia pura2 menyapu dan bersihkan meja kursi.   Memangnya ilmu silat Bu-siang sudah ada dasarnya, maka diam2 ia mengingatnya dengan baik apa yang dilatih kedua orang tadi, lalu di waktu malam diam2 ia sendiri lantas melatihnya kembali.   Ditambah lagi di waktu biasa ia sengaja membaiki Ang Ling-po hingga belakangan ketika sang guru sedang gembira, Ang Ling-po lantas memohon bagi Liok Bu-siang untuk diterima sekalian sebagai murid Li Bok-chiu.   Dengan begitulah beberapa tahun telah lalu, ilmu silat Bu-siang sudah banyak maju pula, hanya perasaan Li Bok-chiu betapapun masih terdapat sisa-sisa rasa benci padanya, jangankan ilmu silat yang paling tinggi, meski ilmu kepandaian kelas dua saja tak sudi diajarkan padanya, baiknya ada Ang Ling-po yang merasa kasihan padanya dan diam2 suka memberi petunjuk2, maka ilmu silatnya walau tak bisa dikatakan tinggi, namun dibilang rendah pun tidak rendah.   Hari itu, ber-turut2 Li Bok-chiu dan Ang Ling-po telah berangkat ke Hoat-su-jin-bong untuk mencuri "Giok-li-sim-keng", karena sampai lama belum nampak kedua orang itu kembali, maka Bu-siang telah ambil keputusan untuk pulang ke daerah Kanglam buat mencari tahu mati-hidup ayah-bundanya yang sebenarnya, sebab waktu kecil ia hanya melihat ayah-ibunya dipukul Li Bok-chiu hingga luka parah, tentunya banyak celaka daripada selamatnya, tetapi karena belum melihat meninggalnya kedua orang tua dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun dalam hatinya masih selalu menaruh sedikit sinar harapan semoga ayah-bundanya masih hidup, maka ingin sekali dia mencari tahu keadaan yang sebenarnya.   Oleh karena kaki kirinya cacat, yakni pincang, ciri2 ini telah merubah sifatnya hingga rada rendah diri, dia paling benci apabila ada orang memandang kakinya pincang itu.   Hari itu di tengah jalan justru kedua imam telah memandang beberapa kali pada kakinya yang cacat itu hingga menimbulkan amarahnya, kontan Bu-siang melontarkan kata2 yang menghina, dasar kedua imam itu juga bertabiat buruk, maka dari perang mulut akhirnya berubah menjadi perang senjata, dalam pertarungan itu, dengan golok-sabitnya yang melengkung itu Bu-siang telah tabas daun kuping dan batang hidung kedua imam itu, sebagai ekornya kemudian terjadi pertarungan sengit di Cay-long-kok itu.   Dulu tatkala Bu-siang digondol pergi oleh Li Bok-chiu, di gua pegunungan dekat Oh-chiu sebenarnya dia sudah pernah berjumpa sekali dengan Nyo Ko, tetapi waktu itu sama2 masih kecil, sekarang keadaan mereka berdua pun sudah banyak berubah, dengan sendirinya perkenalan kilat dahulu itu sudah tidak mereka ingat lagi.   BegituIah setelah Bu-siang menghabiskan dua potong daging paha kijang panggang, iapun merasa kenyang.   Di lain pihak sebaliknya Nyo Ko sedang memandangi wajah si nona yang manis.   "Saat ini Kokoh, entah berada di mana ? Gadis di depanku ini kalau Kokoh adanya, lalu kuberi dia paha kijang panggang, bukankah akan sangat menyenangkan ?"   Demikian pikirnya diam2.   Karena hatinya memikir, maka matapun menatap orang terlebih kesima.   Melihat begitu rupa orang pandang padanya, Bu-siang menjengek sekali, habis ini ia berdiri hendak menyingkir Mendadak dari jauh terdengar seorang sedang mendatangi dengan menyeret sandalnya yang menerbitkan suara "srat-sret, srat-sret", sambil mendekat orang itu sembari gunakan hidungnya untuk mengendus se-keras2nya.   "Ehm, wangi, sedap !"   Demikian ia berseru.   Dan sesudah dekat, maka jelas kelihatanlah baju yang dipakai orang itu penuh tambal-sulam di sana-sini, kiranya seorang kere, seorang pengemis.   Walaupun kere, tetapi dia mendekati orang dengan lagak tuan besar, lalu dia duduk di samping Nyo Ko, tanpa disuruh pun tanpa permisi segera dia samber sepotong daging kijang panggang yang masih digarang di atas api unggun tadi terus digeragoti dengan lahap seperti orang yang sudah tujuh hari tujuh malam tidak makan.   Nyo Ko sih tidak menggubris diri orang, tetapi Bu-siang yang mencium bau busuk tubuh orang yang kotor, memangnya dia sudah mendongkol, kini melihat kelakuannya yang tak kenal aturan, rasa mendongkolnya bertambah lipat, mendadak dia berdiri lantas tinggalkan orang hendak masuk kedalam rumah untuk tidur.   Rupanya sikap Bu-siang ini dapat diketahui si jembel tadi, tiba2 ia mendongak dan memandang sekejap pada si gadis sambil tersenyum, habis ini ia menunduk kembali untuk makan daging panggangnya.   Bu-siang menjadi gusar melihat kelakuan orang.   "Apa yang kau tertawakan ?"   Damperatnya segera.   "Aku tertawa sendiri, sangkut-paut apa dengan kau ?"   Sahut pengemis itu dengan dingin. Dalam gusarnya Bu-siang sudah pegang goloknya dan berniat bunuh orang, syukur dia memikir pula.   "Jangan dulu, kalau aku bunuh dia si tolol itu tentu akan ketakutan dan melarikan diri, biarlah aku bersabar sementara."   Maka dengan menahan rasa gusarnya, tanpa berpaling lagi ia lantas masuk ke rumah batu itu. Di luar dugaan, baru saja dia melangkahi am-bang pintu, tiba2 terdengar si pengemis membuka suara pula dan sedang bertanya pada Nyo Ko .   "Siapakah dia tadi, apa dia binimu ? Kenapa kakinya pincang ? Tidak laku dijual ?"   Sungguh tidak kepalang rasa gusar Liok Bu-siang oleh serentetan kata2 yang semuanya sangat menusuk hatinya, per-tama2 orang bilang dia adalah bini si tolol yang kotor dan berbau busuk itu, kedua, kakinya yang cacat di-olok2 dan ketiga dia dianggap seperti khewan saja, bukan saja harus dijual, bahkan dikatakan tidak laku.   Sejak kecil Bu-siang sudah kenyang oleh segala siksa-derita yang diperoleh dari Li Bok-chiu, oleh sebab itu, dalam pandangannya setiap orang di jagat ini dianggap sebagai musuh semua dan setiap orang pasti akan membikin susah padanya, ditambah kakinya pincang sehingga tabiatnya berubah aneh, yakni merasa rendah harga diri, maka bila siapa saja berani coba2 memandang sekejap pada kakinya yang cacat itu, tentu akan menimbulkan amarahnya, apa lagi si pengemis tadi telah mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina itu, keruan dia tak tahan lagi, dengan cepat golok-sabitnya dilolos, begitu memutar, secepat angin dilabraknya si jembel itu.   Si pengemis itu terhitung anak murid Kay-pang (Persatuan Pengemis) angkatan keenam, di kalangan pengemis mereka ilmu silatnya tergoIong tengahan, maka kepandaiannya pun tidak terlalu rendah.   Persatuan Pengemis itu sejak Ang Chit-kong menjabat ketua, anggotanya banyak terpengaruh-oleh sifat ketua mereka, yakni menganggap di mana-mana adalah kediaman mereka, berpikiran jujur dan suka terus terang, suka bersahabat dengan siapapun juga yang dijumpai.   Oleh sebab itulah demi bertemu dengan Nyo Ko yang lagi panggang daging di tempat sepi, pula melihat pakaian Nyo Ko compang-camping, maka pengemis tadi pikir meski orang bukan sesama anggota, sedikitnya masih terhitung segolongan, golongan kere.   Karena itu iapun tidak sungkan2 lagi, begitu datang ia lantas duduk terus ikut makan, siapa tahu Bu-siang telah mengunjuk muka jemu dan kurang senang, bahkan terus berdiri dan menyingkir pergi karena tak tahan ia telah tertawai orang beberapa kata, tak terduga si gadis ternyata sangat pemarah, begitu putar kembali lantas main senjata.   BegituIah, maka atas serangan Bu-siang tadi pengemis itu telah berteriak sambil melompat bangun.   "Haya, jangan ngamuk, jangan ngamuk, aku telah makan panggang daging lakimu. biarlah aku muntahkan kembali saja!"   Justru Bu-siang paling benci kalau orang berkelakar atas dirinya, keruan ia bertambah murka, tanpa berhenti lagi goloknya membabat dari kiri dan memotong pula dari kanan, be-runtun2 dua kali mengarah tempat lawan yang berbahaya.   Namun dengan cepat pengemis itu dapat menghindarkan diri, ketika serangan ketiga menyamber lagi, karena arah yang dituju tidak tetap, sedikit meleset saja dugaan pengemis itu, maka terdengarlah suara merobeknya kain, ternyata bajunya yang memang rombeng telah tertabas robek.   Keruan pengemis itu terkejut.   "Eh, tidak nyana ilmu silat anak dara ini ternyata sangat lihay,"   Demikian katanya dalam hati.   Dalam pada itu untuk keempat kalinya Bu-siang telah menyerang lagi, maka tak berani pula si pengemis pandang enteng lawannya, segera tongkat yang terselip di pinggangnya dia cabut terus ditangkiskan.   Tetapi setelah saling gebrak belasan jurus, rangsakan Bu-siang semakin lama semakin ganas, diam2 pengemis itu mengelak.   "Anak dara ini entah dari golongan dan aliran mana datangnya, perlu apa aku terlibat permusuhan dengan dia tanpa sebab ? Asal aku tancap gas se-kencang2nya terus mengeluyur pergi, masakan gadis pincang ini sanggup mengejar padaku ?"   Demikian pikirnya, Demi ingat kaki orang pincang, tanpa terasa ia memandang sekejap lagi ke arah anggota badan orang yang cacat itu.   Sebenarnya kalau dia sudah ambil keputusan buat angkat kaki, asal dia putar tubuh terus kabur mungkin segala persoalan akan menjadi selesai, tetapi celaka baginya, justru karena pandangannya tanpa sengaja itu kepada kaki orang yang pincang, habis ini baru dia melarikan diri, kelakuannya ini telah menyinggung perasaan Liok Bu-siang yang paling benci kalau kakinya yang cacat itu dipandang orang, sebab inilah dikemudian hari telah banyak menimbulkan ekor panjang.   Ketika Bu-siang mengetahui orang menatap kakinya yang pincang sambil mengunjuk rasa senang, habis ini tongkat ditarik terus kabur, keruan rasa gusarnya me-Iuap2 tak bisa ditahan lagi.   "Pengemis maling, apa kau kira aku tak bisa berjalan leluasa dan tak sanggup mengejar kau ?"   Damperatnya sengit.   Habis ini segera dia mengudak.   Melihat pengemis itu lari ke arah utara, segera Bu-siang putar goloknya yang melengkung itu, setelah diayun beberapa kali, se-konyong2 ia lepaskan se-keras2nya ke arah tenggara hingga membawa samberan angin yang santer.   Tatkala itu dengan se-enaknya Nyo Ko sedang makan daging panggang dan menyaksikan perkelahian orang sambil duduk, ia menjadi sangat senang melihat si pengemis sengaja bikin Bu-siang marah2.   Tetapi ia menjadi heran ketika mendadak melihat Bu-siang menimpukkan goloknya ke arah tenggara, namun baru saja ia tercengang atau tiba2 terlihat golok-sabit itu memutar sendiri di udara seperti dikemudikan saja.   Golok-sabit yang melengkung ini bentuknya sangat aneh, mata goloknya begitu tipis seperti kertas, diwaktu Liok Bu-siang menimpuk, tenaga yang digunakan sangat tepat pula, maka tertampaklah golok itu membawa suara ngaungan terus menyamber ke tubuh si pengemis tadi.   Saat itu si jembel sedang berlari dengan cepat, siapa duga golok ini seperti punya mata saja, se-konyong2 menyamber tiba terus menancap di atas punggungnya.   Saking sakitnya oleh tusukan golok itu, tanpa ampun lagi pengemis itu jatuh terjungkal.   Tentu saja Bu-siang tidak sia2kan kesempatan itu, dengan gunakan ilmu entengkan tubuh ia memburu maju dengan niat cabut goloknya yang menancap di punggung orang untuk kemudian menambahi orang dengan sekali bacokan lagi.   Namun pengemis itu tidak menyerah mentah2, belum sampai orang datang dekat, sekuat tenaganya ia telah merangkak bangun terus berlari pula ke depan seperti kesetanan, sekejap kemudian orangnya sudah menghilang tanpa bekas di kegelapan.   Sesudah dicoba dan merasa tidak bisa menyandak larinya orang, akhirnya Liok Bu-siang tidak mengudak lebih jauh, ia kembali ke tempatnya tadi.   "Lekas pergi mengambil kembali golokku itu."   Bentaknya tiba-tiba sesudah berhadapan dengan Nyo Ko.   "Golok apa ? Aku tak tahu !"   Sahut Nyo Ko acuh tak acuh.   "Bukankah kau melihat golokku menancap di punggungnya ?"   Kata Bu-siang pula.   "Lekas pergi mengambil !"   "Tak bisa mengambilnya lagi,"   Ujar Nyo Ko sambil goyang2 tangannya. Bu-siang tahu percuma saja meski banyak bicara, karena itu, ia putar tubuh terus masuk rumah batu tadi untuk tidur sendiri, Baiknya padanya masih terdapat sebilah belati, maka katanya dalam hati.   "Walaupun golok-sabit sudah tak ada, dengan belati inipun cukup untuk bikin beberapa lubang di badanmu."   Tengah malam, diam2 Bu-siang bangun, dengan ber-indap2 ia keluar rumah, ia lihat Nyo Ko sedang menggeros di tepi gundukan api itu tanpa bergerak sedikitpun.   Gundukan api itu sudah lama padam, rembulan pun mulai doyong ke barat, hanya remang2 masih kelihatan bayangannya.   Segera Bu-siang cabut belatinya, dengan pelahan ia mendekati orang, begitu sudah dekat, tanpa pikir lagi belati diangkat terus ditusukkan se-keras2nya ke punggung orang, tapi mendadak tangannya kesemutan, tangannya terguncang sakit, karena itu tak kuat lagi ia genggam lebih kencang, dengan menerbitkan suara nyaring, belatinya terlepas dari cekalan, terasa olehnya tempat yang kena tusukan belatinya itu seperti mengenai besi atau batu yang keras.   Keruan saja bukan buatan terkejutnya Bu-siang, tanpa pikir lagi ia putar tubuh terus lari menyingkir dalam hati ia pikir.   "Jangan2 Si tolol ini telah melatih diri begitu rupa sehingga tubuhnya kebal tak mempan senjata ?"   Sesudah berlari pergi beberapa tombak jauhnya, karena tak mendengar suara kejaran Nyo Ko, kemudian Bu-siang menoleh, dilihatnya masih meringkik di samping gundukan api yang sudah padam itu tanpa bergerak sedikitpun.   Dengan sendirinya Bu-siang menjadi curiga.   "Tolol, he, Tolol !"   Ia ber-teriak2 memanggil Tetapi meski sudah berulang kali ia memanggil toh orang masih tetap tidak menyahut Waktu Bu-siang menegasi, ia lihat tubuh Nyo Ko dalam keadaan meringkuk, bentuknya sangat aneh dan mencurigakan.   Maka dengan tabahkan hati ia mendekati.   Setelah dekat, nyatanya barang yang meringkuk itu tidak mirip bentuk manusia, ketika ia coba meraba, rasanya sangat keras, barang yang berada di bawah baju itu laksana batu.   Tanpa ayal lagi segera Bu-siang singkap baju itu, betul saja di dalamnya berisi sebuah batu padas yang panjang besar, jadi hanya baju membungkus batu, tetapi bayangan Nyo Ko sudah tak kelihatan.   Seketika Bu-siang terkesima oleh kejadian di luar dugaan itu, kembali ia memanggil pula .   "He, Tolol."   Namun tetap tiada jawaban, Ketika ia coba pasang kuping mendengarkan tiba2 terdengar dalam rumah batu itu sayup2 seperti ada suara orang mengorek.   Keruan saja Bu-siang ter-heran2, segera ditujunya tempat datangnya suara itu, betul saja ia lihat Nyo Ko sedang tidur pulas di atas meja yang tadi digunakan dirinya.   Karena serangannya tadi tidak mengenai sasarannya, dalam gusarnya Bu-siang tidak berpikir pula secara teliti kenapa orang bisa mendadak tidur di atas mejanya, mendadak ia melompat maju, belati diangkat dengan sekali tusuk kembali ia tikam pula punggung orang.   Bu-siang menjadi senang karena sekali ini ia telah tepat menikam orang yang sesungguhnya ia lihat Nyo Ko tidak melompat bangun pula tidak menjerit kesakitan, maka tanpa ayal ia cabut belatinya dan tambahi pula sekali, tempat dimana melatinya menusuk terang sekali adalah daging tubuh orang, sedikitpun tiada perbedaan lain, cuma aneh, sama sekali tidak tertampak mengalirnya darah.   Karena itu, kembali Bu-siang terkejut tetapi gusar pula, susul menyusul ia menusuk lagi beberapa kali, tetapi yang terdengar malah suara meng-gerosnya Nyo Ko yang semakin keras.   "Ai, siapakah yang mengitik-ngitik punggungku ? Hihi, jangan guyon ! Haha jangan main2, aku tak tahan geli!"   Demikian terdengar Nyo Ko malah menginggau. Saking terperanjatnya Bu-siang sampai mukanya pucat lesi, akhirnya kedua tangannya pun menjadi gemetar sendiri "Jangan2 orang ini adalah setan atau siluman ?"   Katanya dalam hati. Oleh karena pikiran itu, segera ia putar tubuh hendak melarikan diri, akan tetapi, entah saking takutnya atau mengapa, seketika kedua kakinya seperti tak mau turut perintahnya, dia masih terpaku di tempatnya.   "Ai, pungungku kenapa begini geli, tentu ada tikus yang hendak colong daging kijangku,"   Demikian kembali terdengar Nyo Ko menempati lagi.   Habis itu ia malah ulur tangan ke punggung, dari dalam bajunya ditarik keluar sepotong dagang kijang panggang terus dibanting ke lantai.   Melihat ini barulah Bu-siang menarik napas Iega, kini baru dia mengerti duduknya perkara.   "Kiranya si tolol ini simpan daging kijang dekat punggungnya, pantas belasan kali tikamanku tidak membikin jiwanya melayang sebab semuanya mengenai daging kijang, sebaliknya aku sendiri malah dibikin takut!"   Begitulah ia pikir. Karena dua kali menikam dan dua kali tidak berhasil tewaskan orang, rasa benci Bu-siang terhadap Nyo Ko menjadi tambah pula.   "Si tolol busuk, lihat sekali ini jiwamu melayang tidak ?"   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dengan geregeten Bu-siang berkata dengan suara pelahan, menyusul ini tiba2 ia menubruk maju, lagi2 dengan belatinya ia menikam punggung Nyo Ko, ia menduga sekali ini pasti Nyo Ko tak terluput dari kematian.   Siapa tahu pada waktu belatinya hampir mengenai tubuh Nyo Ko, mendadak dalam keadaan masih mengorek pemuda itu telah membaliki tubuhnya, keruan tusukannya menjadi luput hingga mengenai meja sampai ambles sebatas gagang belati Selagi Bu-siang sekuatnya hendak cabut kembali belatinya, di lain pihak Nyo Ko seperti mimpi saja, tiba2 berteriak .   "Tolong, Mak ! Tolong, ada tikus busuk hendak gigit aku !"   Menyusul itu kedua kakinya yang kotor dan bau itu bahkan menjulur ke depan, tahu2 kaki kiri tepat ditaruh di atas siku Bu-siang tempat kiok-ci -hiat"   Dan kaki kanan sebaliknya menggeletak di atas pundak si gadis tepat mengenai tempat "ko-cing-hiat".   Kedua tempat yang disebut itu adalah kedua Hiat-to yang berbahaya di tubuh manusia, ketika Nyo Ko ulur kedua kakinya, entah sengaja atau secara kebetulan, secara persis telah membentur kedua tempat jalan darah itu.   Keruan seketika Bu-siang merasakan tubuhnya menjadi kesemutan lalu tak bisa berkutik lagi ia hanya berdiri membisu saja di tempatnya dan dijadikan penyanggah kaki Nyo Ko.   Sungguh bukan buatan murka Liok Bu-siang oleh kejadian ini, meski tubuhnya tak bisa bergerak, tetapi mulutnya masih bisa buka suara, Karena itu segera ia membentak mendamperat.   "Hai, ToloI, lekas singkirkan kakimu yang bau ini!"   Tetapi jawaban yang dia peroleh hanya suara mengoroknya Nyo Ko yang semakin keras.   Tidak kepalang gemasnya Bu-siang hingga dia kehabisan akal, dalam keadaan murka, tiba2 ia pentang mulut terus meludahi tubuh Nyo Ko.   Tak kira lagi2 Nyo Ko membaliki tubuhnya, sedang ujung kaki kanannya seperti tak disengaja saja tiba2 melayang dan dengan tepat membentur pelahan "pi-su-hiat"   Di bawah dagu Liok Bu-siang.   Karena benturan itu, seketika seluruh tubuh Bu-siang menjadi kaku semua, kini mulut saja tak bisa dipentang lagi, hanya hidungnya yang kenyang mencium bau kaki Nyo Ko yang bacin.   Bcgitulah gadis itu telah dibuat tempat penyanggah kaki Nyo Ko hingga sekian lama, saking dongkolnya sampai Bu-siang hampir semaput, Dalam hati tiada hentinya ia mengutuk dan menyumpahi Nyo Ko.   "Jahannam kau si Tolol ini, besok kalau aku sudah bisa bergerak bebas, pasti kucincang kau hingga menjadi baso."   Tidak lama, rasanya Nyo Ko sudah cukup puas mempermainkan orang, tiba2 ia membaliki tubuh lagi berbareng melepaskan kedua kakinya dari atas tubuh orang, kini ia membalik menghadap keluar, karena itu, meski dalam keadaan gelap Nyo Ko masih bisa melihat cukup jelas air muka si nona yang penuh gusar dan mangkel itu.   Tetapi semakin Bu-siang mengunjuk gusar, rupanya semakin mirip Siao-liong-li hingga dengan ter-mangu2 Nyo Ko menikmati wajahnya seperti orang yang kehilangan semangat Di lain pihak, karena waktu itu rembulan mendoyong ke barat hingga sinar sang dewi malam menyorot masuk melalui pintu, maka muka Nyo Ko dapat dilihat dengan jelas oleh Liok Bu-siang, ia lihat pemuda ini sedang pentang kedua matanya lebar2 dan lagi memandang padanya dengan tersenyum-simpul.   Keruan hati Bu-siang terkesiap.   "Jangan2 si Tolol ini sengaja berlagak bodoh dan pura2 bebal ? Memang tak disengaja tadi ia menutuk jalan darahku ?"   Demikian ia ber-tanya2 pada diri sendiri.   Oleh karena pikiran itu, tanpa tertahan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.   Justru pada saat itu juga, tiba2 dilihatnya Nyo Ko sedang melirik ke lantai, waktu Bu-siang ikut melirik ke arah yang diincar Nyo Ko itu, maka tertampaklah olehnya di atas lantai itu terdapat tiga bayangan hitam yang sejajar, kiranya ada tiga orang telah berdiri di ambang pintu sana.   Waktu ia menegasi lagi, ternyata ketiga orang itu semuanya bersenjata.   "Celaka, celaka, ada musuh lagi menunggu, tetapi justru Hiat-to kena ditutuk si Tolol ini,"   Diam2 Bu-siang mengeluh.   Nyata, meski tadi dia sudah curiga, namun apapun juga sukar dipercaya bahwa seorang bocah angon yang bodoh dan kotor seperti dia ini memiliki ilmu silat yang tinggi Dalam pada itu demi dilihatnya bayangan orang2 itu, segera Nyo Ko pejamkan mata lagi dan pura2 tidur.   "Hayo, budak hina, lekas keluar, apa dengan berdiri tegak begitu saja lantas dikira Toya (tuan imam) bisa mengampuni kau ?"   Demikian terdengar salah seorang di luar itu berteriak.   "Ah, kiranya kaum imam lagi,"   Kata Nyo Ko di dalam hati demi mendengar tantangan orang itu.   "Kamipun tidak inginkan jiwamu, asal iris juga batang hidungmu, potong sebelah daun kuping dan sebelah telapak tangan saja sudah cukup,"   Terdengar seorang Iain berkata lagi.   "Kami sudah menunggu di sini, lekas keluar kau untuk turun tangan saja,"   Demikian kata orang ketiga. Habis itu, ketiga orang itu lantas melompat pergi, mereka kepung pintu keluar itu dengan rapat.   "He, suara teriakan apakah di luar itu, di manakah kau nona Liok ?"   Demikian kemudian Nyo Ko bangun terduduk dengan mengulet ke-maIas2-an.   "Eh, nona Liok, kenapa kau berdiri saja di situ ?"   Habis berkata, seperti tidak sengaja ia tarik2 lengan baju si gadis dan digoyangkan beberapa kali, Maka terasalah tiba2 oleh Liok Bu Siang ada suatu kekuatan yang besar sekali telah menggun-cang2kan seluruh tubuhnya hingga ketiga tempat Hiat-to yang tertutuk tadi seketika lancar kembali dan dapat bergerak bebas lagi.   Bu-siang pun tidak sempat berpikir secara teliti, segera ia jemput belatmya dari lantai terus melompat keluar rumah, di bawah sinar rembulan itu terlihatlah olehnya tiga orang lelaki sudah menantikan di situ, iapun tidak bicara lagi, begitu tangannya bergerak belatinya segera menusuk pada orang yang berdiri di sebelah kiri.   Orang itu bersenjatakan ruyung besi, karena serangan Bu-siang itu, ia incar2 dengan baik ruyungnya terus disebetkan ke bawah.   Ruyungnya ini memang cukup berat, ditambah lagi tenaganya juga besar, sabetannya itupun diincar dengan tepat sekaii, maka terdengarlah suara "trang"   Yang keras, belati Bu-siang seketika terlepas dari tangan.   Waktu itu Nyo Ko masih merebah miring di atas mejanya, ia lihat Bu-siang melompat ke samping, sedang tangan kirinya diangkat miring ke depan, segerapun Nyo Ko menduga imam yang diarah itu pasti tak mampu pertahankan goloknya.   Memang betul, ketika Bu-siang membaliki tangannya lagi, dengan ilmu silat Ko-bong-pay yang sangat hebat itu, tahu2 golok salah satu imam itu sudah kena disebutnya dan bahkan dibarengi pula sekali membacok, tidak ampun lagi pundak imam itu telah merasakan tajam goloknya sendiri.   Dengan disertai caci maki, lekas2 imam itu melompat ke samping untuk merobek kain bajunya buat membalut lukanya itu.   Sesudah mendapatkan goIok, seketika semangat Bu-siang bertambah, tanpa ayal lagi ia tempur lelaki yang memakai ruyung besi itu dengan sengit, Sedang seorang lainnya adalah lelaki pendek kecil dan memakai senjata tumbak, iapun tidak berpeluk tangan ia ikut terjun ke dalam pertempuran, tumbaknya bekerja cepat menusuk ke sini sana untuk bantu kawannya, cuma dia tak berani terlalu mendekati Bu-siang.   Ilmu silat lelaki yang pakai ruyung itu ternyata sangat tinggi, setelah belasan jurus, lambat laun Liok Bu-siang merasa kewalahan Agaknya lelaki itu mempunyai tingkat yang tidak rendah di kalangan Bu-lim, hal ini terbukti gerak-geriknya ternyata sangat beraturan, meski beberapa kali Bu-siang berbuat kesalahan dalam serangannya, namun orang itu ternyata tidak mau terlalu mendesak dan gunakan kesempatan itu untuk melukai Liok Bu-siang.   Sementara itu imam tadi sudah selesai membalut lukanya, dengan tangan kosong ia menerjang maju lagi.   "Darimana datangnya perempuan keparat seperti kau ini, kenapa cara turun tanganmu begitu keji ?"   Demikian dengan tangan menuding Bu-siang mencaci-maki, Habis ini, begitu kepalanya menunduk, segera ia menyeruduk Liok Bu-siang dengan cepat.   "Celaka !"   Diam2 Nyo Ko berteriak demi dilihat keadaan pertarungan keempat orang diluar itu.   Betul saja dibawah berkelebatnya sinar senjata, punggung imam itu kembali merasakan sekali bacokan lagi, bersamaan dengan itu tumbak si lelaki pendek itupun menusuk sampai di belakang Liok- Bu-siang, sedang telapak tangan si lelaki kuat tadipun sudah menghantam ke dada si gadis.   Karena keadaan berbahaya itu, dengan cepat dua batu kecil disamber Nyo Ko terus ditumpukkan sekaligus, sambitannya ini ternyata sangat jitu, yang sebuat tepat mengenai tumbak musuh hingga senjata ini terguncang pergi, sedang batu yang lain kena pula pergelangan tangan lelaki kuat tadi.   Lelaki itu ternyata sangat tinggi ilmu silatnya, meski tangan kanan kena sambitan batu dan seketika lemas tak bertenaga, tapi telapak tangan yang lain masih bisa bergerak secepat kilat dan mendadak dipukulkan lagi, maka terdengarlah suara "plak", dada Bu-siang kena digenjot dengan keras.   Keruan Nyo Ko terkejut Ya, bagaimanapun usia Nyo Ko masih muda dan pengalamannya cetek, sama sekali tak diduganya bahwa lelaki itu memiliki kepandaian lihay "Lian-goan-siang-ciang"   Atau pukulan berganda secara susul-menyusul.   Ketika pukulan kedua orang itu dilontarkan lekas2 Nyo Ko melayang maju buat menolong Liok Bu-siang, dengan sekali tarik saja ia dapat jambret baju leher lelaki itu, lalu dengan tenaga raksasa nya terus dilempar pergi se-jauh2nya.   Tubuh lelaki itu beratnya sedikitnya lebih dua ratus kati, tetapi oleh lemparan Nyo Ko ini, seketika ia ter-apung2 di udara untuk kemudian jatuh terbanting sejauh beberapa tombak Melihat Nyo Ko begini lihay, imam tadi dan si lelaki pendek menjadi jeri, Iekas2 mereka membangunkan kawannya terus pergi tanpa berpaling lagi.   Kemudian Nyo Ko memeriksa keadaan Bu-siang, ia lihat muka si gadis pucat kuning, napasnya sangat lemah, nyata lukanya tidak ringan.   ia ulur sebelah tangan ke bahu orang dengan maksud memayang Bu-siang supaya duduk kembali, siapa tahun tiba2 terdengar suara "gemerutuk"   Dua kali, suara saling gosoknya tl!ang, kiranya dua tulang iga Bu-siang telah patah oleh hantaman lelaki tangkas tadi.   Sebenarnya Bu-siang sudah jatuh pingsan, tapi karena terguncangnya tulang iga yang patah hingga menimbulkan sakit hebat, saking sakitnya berbalik ia sadar dari pingsannya itu, lalu ia merintih-rintih dengan kepala tunduk.   "Kenapa ? Apa sangat sakit ?"   Lekas2 Nyo Ko bertanya. Dalam sakitnya sampai jidatnya Bu-siang penuh berkeringat kini mendengar pertanyaan Nyo Ko, keruan ia mendongkol.   "Masih tanya, sudah tentu sangat sakit! demikian dengan mengertak gigi menahan sakit dia mendamperat.   "Hayo pondong aku ke dalam rumah !"   Nyo Ko tak membantah Iagi, ia pondong tubuh si nona, tapi tidak urung terjadi juga guncangan hingga tulang iga yang patah itu kembali saling gosok hingga Bu-siang kesakitan Iagi.   "Bagus ya kau si Tolol setan alas, kau sengaja siksa aku, ya ?"   Demikian ia me-maki2.   "Dan, dimanakah ketiga orang tadi ?"   Nyata pada waktu Nyo Ko turun tangan menolongnya, waktu itu ia kebetulan jatuh semaput oleh hantaman musuh, sebab itu tak diketahuinya "si Tolol"   Inilah yang telah menolong jiwanya.   "Mereka mengira kau sudah mati, maka mereka lantas pergi,"   Dengan tertawa Nyo Ko menjawab. Mendengar keterangan ini hati Bu-siang merasa lega.   "Apa yang kau tertawa ?"   Damperatmya pula demi dilihatnya Nyo Ko menyengir2.   "Kau kesenangan ya melihat aku kesakitan ?"   Mendengar orang mendamperat dan memaki terus-menerus padanya, setiap kali orang memaki, Nyo Ko lantas teringat pada kejadian dahulu ketika dirinya didamperat Siao-liong-li.   Selama beberapa tahun ia hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii di dalam kuburan Hoat-su-jin-bong, hari yang dilewatkannya itu dianggap masa yang paling menyenangkan selama hidupnya, sungguhpun Siao-liong-Ii selalu mendamperatnya dengan bengis, tapi karena, diketahuinya sang guru mengajarnya dengan sesungguh hati, meski mendapat damperatan, toh tetap dirasakannya sangat senang.   Kini karena tidak bisa ketemukan Siao-liong-li yang dia cari, tetapi kebetulan ada seorang gadis lagi yang mendamperatnya dengan kata2 yang bengis, tanpa terasa hati kecilnya lantas anggap orang sebagai duplikatnya Siao-liong-li sekedar pelipur hati yang kosong, dengan demikian rasa deritanya menjadi sedikit berkurang.   Begitulah, maka terhadap cacimaki Liok Bu-siang tadi, Nyo Ko hanya tertawa saja tanpa di-gubrisnya.   Melihat wajah orang mengunjuk ketawa, Bu-siang teringat pada dirinya sendiri yang sudah cacat, kini menderita luka parah pula, sebaliknya bocah angon ini meski kotor namun seluruh anggota badannya dalam keadaan baik.   Memangnya tabiat Bu-siang sudah ada kelainan, kini dalam keadaan luka ia menjadi iri terhadap Nyo Ko, ia gemas sekali bisa2 dengan sekali bacok hendak dibunuhnya Nyo Ko.   Nyo Ko pondong Bu-siang dan direbahkan di atas meja tadi, Karena gerakan merebahkan itu, kembali tulang iganya yang patah itu berbunyi lagi saling gosok, saking sakitnya Bu-siang men-jerit2 tak tahan.   Dan justru waktu menjerit itu pernapasannya menjadi tambah keras hingga menarik urat2 iganya, maka rasa sakitnya menjadi lebih hebat lagi.   "Maukah kusambungkan tulangmu yang patah ini ?"   Tanya Nyo Ko kemudian.   "Anak angon bau busuk, kau mampu sambung tulang apa ?"   Damperat Bu-siang.   "Pernah anjing piaraanku yang borokan berkelahi dengan anjing tetangga dan tulang kakinya patah tergigit, maka akulah yang sambungkan tuIangnya,"   Kata Nyo Ko.   "Dan ada lagi, babi betina kepunyaan tetanggaku terbanting patah tulang iganya, itupun aku yang menyambungkan tulangnya."   Bu-siang menjadi gusar karena dirinya disamakan dengan khewan, tetapi ia tak berani berteriak sebab akan mengakibatkan rasa sakit, terpaksa dengan suara tertahan ia mendamperat lagi.   "Kurangajar, kau memaki aku sebagai anjing borokan dan maki aku pula sebagai babi betina, Kau sendirilah yang anjing borokan dan babi betina."   "Tidak, salah, seumpamanya babi, aku kan babi jantan,"   Sahut Nyo Ko dengan tertawa.   "Lagipula, anjing borokan itupun betina, anjing jantan tak bisa borokan kulitnya."   Biasanya Bu-siang sangat pintar bicara dan pandai adu mulut, tetapi karena rasa sakitnya tidak kepalang setiap ia buka mulut, maka maksudnya balas makian orang itu ia urungkan, terpaksa ia pejamkan mata dan menahan rasa sakit, ia tak gubris lagi keceriwisan Nyo Ko.   "Tahukah kau, tulang anjing totokan itu lantas sembuh dalam beberapa hari saja sesudah ku sambung, ketika berkelahi lagi dengan anjing tetangga, keadaannya seperti tulangnya tak pernah patah,"   Demikian Nyo Ko sengaja menerocos terus.   "Eh, nona Liok, bagaimana dengan kau, mau tidak akupun sambung tulangmu ?"   Dalam keadaan kepepet, dalam hati Bu-siang berpikir juga.   "Boleh jadi bocah angon kotor ini betul2 bisa menyambung tulang, apa lagi disinipun tiada tabib, kalau tiada yang mengobati aku, tentu aku akan mati konyol kesakitan."   Tetapi lantas terpikir lagi olehnya.   "Tulang igaku yang putus, kalau dia menyambungkan tulangku ini tentu tubuhku akan kelihatan, bukankah ini sangat memalukan ? Hm, kalau dia tak bisa menyembuhkan Iuka2ku, biar kuhabiskan jiwaku bersama dia. Dan kalau bisa sembuh, akupun tidak membiarkan seorang yang pernah melihat tubuhku tetap hidup di jagat ini,"   Dasar sifat Bu-siang memang sudah menyendiri karena penderitaannya sejak kecil pula begitu lama ikut Li Bok-chiu hingga terpengaruh juga oleh sifat2 Jik-lian-sian-cu yang kejam dan enteng tangan, walaupun umurnya masih sedikit, tapi dalam pikirannya penuh dengan angan2 yang keji.   Begitulah, maka dengan suara rendah lalu ia berkata .   "Baiklah, boleh coba kau menyambungkan tulangku, sebenarnya kau bisa atau tidak ? jangan kau coba membohongi aku, bocah angon busuk, awas kau !"   Nyo Ko menjadi senang melihat orang akhirnya menyerah Katanya dalam hati.   "Jika dalam keadaan begini aku tidak goda dia, mungkin selanjutnya tiada kesempatan baik lagi."   Oleh karena itu, dengan lagak dingin saja dia berkata lagi.   "Sewaktu babi betinanya wak Ong tetanggaku itu patah tulang iganya, beribu kali anak gadisnya memohon padaku dan beruntun memanggil aku seratus kali "engkoh yang baik"   Baru aku mau menyambungkan tulangnya."   "Cis, cis, bocah angon busuk, cis... auuh..."   Damperat Bu-siang ber-ulang2, tetapi mendadak ia menjerit karena dadanya terasa sakit pula.   "Kau tak mau panggil aku, tak mengapalah,"   Kata Nyo Ko dengan tertawa.   "Nah, aku akan pulang sajalah, nona Liok, selamat tinggal, sampai ketemu lagi."   Sambil bicara, betul saja Nyo Ko lantas melangkah keluar pintu.   "Celaka, dengan kepergiannya ini, pasti aku akan mampus kesakitan di sini,"   Demikian pikir Bu-siang. Karena itu, terpaksa ia tanya dengan menahan amarahnya .   "Lalu apa yang kau kehendaki ?"   "Sebenarnya kaupun harus panggil aku seratus kali "engkoh yang baik", tetapi sepanjang jalan aku sudah kenyang dicaci maki olehmu, maka kau harus panggil aku seribu kali baru jadi,"   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sahut Nyo Ko. Betul2 Bu-siang mati kutu.   "BIarlah kusanggupi semuanya, nanti kalau aku sudah sembuh, satu persatu baru kubikin perhitungan padanya,"   Demikian pikirnya diam2. Karena itu, segera ia menurut.   "Baiklah, Engkoh yang baik, engkoh yang baik, engkoh yang baik... auuh..."   "Sudahlah, masih ada 997 kali, sementara ku catat saja sebagai utangmu, nanti kalau kau sudah baik barulah dilunaskan lagi,"   Kata Nyo Ko. Habis berkata, ia lantas mendekati Bu-siang terus hendak membuka bajunya. Karena kelakuan Nyo Ko ini, tanpa terasa Bu-siang sedikit mengkeret dan membentak.   "Pergi, apa yang hendak kau lakukan ?"   Karena bentakan itu, Nyo Ko menyurut mundur.   "Untuk menyambung tulangmu, kenapa bajumu tak boleh dibuka ? Aku pernah dengar orang bilang ada ilmu "ke-san-pak-gu" (memukul kerbau dari balik gunung), tetapi tak pernah mendengar ada ilmu "ke-ih-ti-gu" (mengobati kerbau dari balik baju),"   Demikian katanya dengan tertawa. Mendengar kata2 ini, Bu-siang merasa lucu juga akan kelakuannya tadi, tetapi kalau dibiarkan orang membuka bajunya, sesungguhnya rada malu juga. Karena itu ia menjadi ragu-ragu.   "Baiklah, tak bisa kutolak kau,"   Katanya kemudian dengan kepala menunduk dan berpikir lama.   "Kalau kau tak mau disembuhkan boleh tak usah saja, akupun tidak kepingin..."   Baru saja Nyo Ko berkata sampai disini, mendadak didengarnya di luar sana ada suara orang sedang berbicara .   "Budak hina ini pasti berada di sekitar sini, kita harus lekas menemukannya."   Bu-siang menjadi pucat lesi mendengar suara orang itu, dalam keadaan demikian rasa sakit dadanya tak terpikir lagi olehnya, dengan cepat ia mendekap mulut Nyo Ko yang sedang berkata tadi Kiranya yang bicara di luar itu tidak lain dari pada Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu, gurunya yang sangat ditakutinya itu.   Nyo Ko sendiripun sangat terkejut setelah dikenalnya suara siapa orang itu.   "Yang menancap di punggung pengemis itu terang adalah "Gin-ko-to"   Milik Sumoay, cuma sayang tak keburu kita mencabutnya buat mengenalinya lebih pasti,"   Demikian terdengar suara seorang wanita lain.   Orang ini dengan sendirinya Ang Ling-po adanya.   Kiranya sejak mereka guru dan murid terlolos dari kematian di Hoat-su-jin-bong, kemudian mereka telah pulang ke Jik-keh-ceng yang menjadi kediamannya, di sana diketahui bahwa Liok Bu-siang meninggalkan perkampungan mereka itu tanpa pamit, bahkan sebuah kitab Li Bok-chiu, yaitu "Ngo-tok-pit-toan" (kitab rahasia "Panca-bisa") telah ikut dicuri juga.   Sebabnya Li Bok-chiu disegani di seluruh jagat hingga tokoh2 Bu-lim pada jeri bila mendengar namanya, titik pokoknya bukan karena ilmu silat-nya, tetapi pada bisa jahat "Ngo-tok-sin-ciang"   "pukulan sakti panca-bisa, yakni lima macam racun) dan senjata "Peng-pek-gin-ciam" (jarum perak batu es). Justru kitab "Ngo-tok-pit-toan"   Itu memuat resep obat racun pembuatan jarum perak dan pukulan saktinya yang berbisa itu dengan obat pemunahnya pula, kalau kitab itu teruar di kalangan umum, lalu ditaruh kemana lagi nama baik dan wibawa Jik-Iian-sian-cu yang disegani itu? Li Bok-chiu sendiri sudah apal di luar kepala semua isi kitab pusakanya itu, dengan sendirinya tak perlu kitab itu selalu dibawa, pula penyimpanannya di Jik-he-ceng sangat dirahasiakan siapa tahu Liok Bu-siang yang pintar dan cerdik, segala apa selalu diperhatikannya hingga tempat penyimpanan benda2 rahasia gurunya telah diketahui olehnya, dan karena sudah ada niatannya hendak melarikan diri, maka jarum perak berbisa dan obat pemunah sang guru, bahkan kitab "Panca-bisa"   Itupun dicuri dan dibawa lari sekalian Keruan amarah Li Bok-chiu bukan buatan oleh perbuatan Liok Bu-siang itu, dengan membawa Ang Ling-po, siang malam segera diubemya, Terapi sudah lama Bu-siang kabur, pula yang ditempuh adalah jalanan kecil yang sepi, meski Li Bok-chiu berdua sudah menguber dari utara sampai selatan dan dari selatan kembali ke utara untuk mencegatnya, namun tetap tak kelihatan bayangan si gadis yang dicari itu.   Kebetulan juga malam hari itu, waktu mereka berdua sampai di sekitar kota Cingkoan, mereka mendengar berita dari anak murid Kay-pang yang mengatakan bahwa ada pertemuan golongan mereka di sesuatu tempat.   Li Bok-chiu pikir anggota persatuan kaum pengemis itu tersebar di mana2, kabar berita merekapun sangat cepat dan tajam, tentu diantara mereka ada yang pernah melihat Liok Bu-siang.   Oleh karena itu mereka berdua lantas pergi ke tempat pertemuan itu dengan maksud mencari kabar.   Tetapi di tengah jalan mereka telah ketemukan satu anak murid Kay-pang dari angkatan ke-enam yang digendong lari oleh seorang kawannya dalam keadaan luka2, selain itu ada belasan pengemis yang mengawalnya.   Dengan kejelian mata Li Bok-chiu, sekilas dapat dilihatnya di punggung pengemis yang di gendong itu menancap sebilah golok yang melengkung dan dapat dikenalinya adalah "Gin-ko-to"   Atau golok perak melengkung milik Liok Bu-siang.   Oleh karena tak ingin bikin onar dengan kaum pengemis yang berpengaruh besar itu, maka diam2 Li Bok-chiu mengintil dari belakang untuk mengintai kebetulan lapat2 dapat didengar percakapan kawanan pengemis itu dalam keadaan marah2, katanya yang melukai kawan mereka itu adalah seorang gadis pincang yang menimpukkan golok melengkung itu.   Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, ia pikir kalau pengemis itu baru saja dilukai, tentu Liok Bu-siang masih berada juga di sekitar sini, Karena itu dengan langkah cepat segera ia menguber lagi hingga sampai di depan rumah batu bobrok itu.   Disini tertampak olehnya ada segundukan abu bekas api unggun, hidungnya pun mengendus bau darah yang anyir, lekas2 ia nyalakan api dan coba periksa sekitarnya, betul saja di atas tanah diketemukannya lagi bekas2 noda darah yang masih baru, terang sekali terjadinya pertarungan sengit itu belum lama berselang.   Dari itu segera Li Bok-chiu tarik2 ujung baju sang murid sambil menuding ke arah rumah bobrok itu.   Ang Ling-po mengerti maksud sang guru, ia mengangguk habis itu pintu ramah yang setengah tertutup itu ia dorong, dengan putar pedang untuk melindungi tubuhnya segera ia terjang ke dalam.   Di Iain pihak, demi mendengar, suara percakapan antara Suhu dan Sucinya, Bu-siang insaf sekali ini tak luput lagi dari kematian, karena itu, ia malah kuatkan hatinya dan berlaku tenang saja merebah untuk menantikan ajalnya.   Begitulah ketika terdengar suara pintu didorong, menyusul satu bayangan orang menyelinap masuk yang bukan lain adalah sang Suci - Ang Ling-po.   Sejak kecil Bu-siang pandai ambil hatinya, maka terhadap sang Sumoay tidak jelek juga kasih sayang Ang Ling-po.   Sekali ini sang Sumoay telah melanggar peraturan besar perguruannya, pasti gurunya akan siksa habis2an dengan macam2 cara yang keji terhadap Bu-siang, habis itu sedikit demi sedikit baru dihukum mati, kini nampak si gadis masih rebah di atas meja, segera Ang Ling-po angkat pedangnya terus menusuk ke ulu hati sang sumoay, dengan demikian ia pikir anak dara ini boleh terbebas dari segala siksaan guru mereka.   Siapa duga, baru saja ujung pedangnya hampir menempel ulu hari Liok Bu-siang, tiba2 Li Bok-chiu telah tepuk pelahan pundaknya, karena ini, seketika Ling-Po merasakan tangannya menjadi lemas tak bertenaga, segera pula tangannya melambai ke bawah.   "Hm, apa aku sendiri tak bisa membinasakan dia ? Perlu apa kau kesusu ?"   Kata Li Bok-chiu dengan tertawa dingin. Habis ini ia berpaling dan ditujukan pada Liok Bu-siang.   "Hm, apa di hadapan Suhu kau tak melakukan penghormatan lagi?"   Tetapi Bu-siang sudah teguhkan hatinya.   "Hari ini aku sudah jatuh ke tangannya, baik minta ampun atau membangkang pasti juga akan merasakan siksaan yang kejam,"   Demikian pikirnya, Karena itu, dengan dingin saja ia jawab.   "Keluarga kami dengan kau sudah menanam dendam sedalam lautan, tidak perlu lagi kau banyak bicara."   Tetapi Li Bok-chiu hanya pandang anak dara itu dengan diam, entah rasa suka atau duka yang terkandung pada sorot matanya itu.   sebaliknya Ang Ling-po memandangi sang Sumoay dengan wajah yang penuh rasa duka dan kasihan, namun Bu-siang ternyata tidak gentar sedikitpun oleh sikap sang guru itu, bibirnya sedikit terjibir, tampaknya malah mengunjuk sikap yang angkuh dan menantang Dengan begitulah mereka bertiga telah saling pandang.   "Mana kitab itu, serahkan !"   Kata Li Bok-chiu kemudian sesudah terdiam agak lama.   "Sudah direbut seorang Tosu (imam) dan seorang pengemis !"   Sahut Bu-siang. Terkejut sekali Li Bok-chiu oleh jawaban itu. Dengan kaum pengemis itu meski tak pernah Li Bok-chiu bermusuhan, tetapi dengan "Coan-cin-kau"   Tidak sedikit dendamnya, iapun tahu antara Kay-pang dan Coan-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat rapat, kalau kitab "Ngo-tok-pit-toan"   Itu sampai jatuh di tangan mereka, itulah sungguh celaka ! Sayup2 Bu-siang dapat mendengar suara tertawa dingin sang guru, ia tahu pasti orang sedang memikirkan akal keji untuk siksa dirinya.   jika waktu melarikan diri sepanjang jalan selalu ketakutan ditangkap oleh gurunya, kini setelah betul2 tertangkap, ia malah tidak begitu takut lagi seperti semuIa.   "Eh, kemanakah si tolol itu telah pergi ?"   Demikian tiba2 ia jadi teringat pada Nyo Ko.   Dalam keadaan jiwanya terancam maut ini, tanpa terasa timbul semacam perasaan hangat terhadap bocah angon yang tolol dan kotor itu.   Pada saat itu juga, mendadak ada berkelebatnya sinar api, menyusul mana dengan membawa suara gedebukan tiba2 seekor banteng ngamuk menerjang masuk dari luar.   Waktu Li Bok-chiu dan Ang Ling-po menoleh, maka tertampaklah seekor sapi jantan yang tinggi besar telah menyerobot masuk, pada ujung tanduk kanan binatang itu terikat sebilah belati dan sebelah tanduk yang lain terikat pula seikat kayu dengan api yang me-nyala2.   Terjangan binatang itu ternyata hebat sekali, walaupun ilmu silat Li Bok-chiu sangat tinggi, tetapi tak berani juga ia menghadapi serudukan sapi jantan itu dari depan, segera ia berkelit ke samping, ia lihat binatang itu mengitar sekali di ruangan rumah itu, habis ini lantas berputar keluar lagi.   Tatkala menerjang masuk sapi itu main seruduk seenaknya, waktu keluarpun berlari secepat keranjingan setan, karenanya hanya sekejap saja sapi itu sudah lari pergi sejauh belasan tombak.   Dengan memandangi bayangan binatang itu mula2 Li Bok-chiu rada heran, tetapi segera terpikir olehnya.   "He, siapakah yang mengikat pisau dan kayu berapi itu di tanduknya ?"   Waktu mereka berpaling kembali, tanpa berjanji mereka - guru dan murid - menjerit berbareng, ternyata Liok Bu-siang yang tadi masih rebah di atas meja itu, kini sudah lenyap tanpa bekas.   Lekas Ling-po menggeledah seluruh rumah bobrok itu, habis ini ia melompat lagi ke atas atap rumah.   sebaliknya Li Bok-chiu menduga pasti sapi tadi yang bikin gara2, maka dengan sekali melayang, dengan enteng dan gesit segera diuber-nya binatang itu.   Dalam keadaan gelap itu, sinar api yang menyala pada tanduk sapi itu cukup jelas kelihatan nyata binatang itu sudah menerobos masuk ke sebuah hutan, Dari sorot api terlibat juga oleh Li Bok-chiu bahwa di atas punggung sapi itu tiada penunggangnya, tampaknya Liok Bu-siang toh bukan kabur dengan menunggang sapi Tetapi segera tergerak pikirannya.   "Ah, tentu tadi ada orang yang sembunyi di luar, sapi aneh itu digunakan untuk mengalihkan perhatianku dan dalam keadaan kacau budak hina itu lantas ditolongnya pergi."   Namun seketika ia menjadi bingung karena tak tahu ke jurusan mana harus mengejar, hanya langkahnya dia percepat hingga sebentar saja sapi jantan itu sudah dapat disusulnya, Waktu ia melompat ke atas punggung binatang itu dan diperiksanya teliti namun tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan.   Kemudian ia lompat turun dan tendang sekali bokong binatang itu, lalu dengan tekap bibir ia bersuit memberi tanda pada Ang Ling-po, mereka lantas menguber lagi dari dua jurusan, yang satu dari utara ke selatan dan yang lain dari barat ke timur.   Munculnya sapi jantan itu dengan sendirinya adalah perbuatan si Nyo Ko.   Tadi begitu mendengar suara Li Bok-chiu berdua, diam2 ia mengeluyur keluar melalui pintu belakang dan mengintip dari luar, mendengar satu kata saja segera ia tahu Li Bok-chiu mau membunuh Liok Bu-siang.   Meski Li Bok-chiu masih terhitung Supek atau "paman"   Guru Nyo Ko sendiri namun bencinya terhadap perempuan kejam itu sudah terlalu mendalam.   Semula ia bingung cara bagaimana harus menolong jiwa Liok Bu-siang, mendadak dilihatnya "dari jauh sapi jantan yang kemarin itu sedang menguak tak bertuan, keruan saja ia bergirang, ia ber-Iari2 memarani binatang itu, ia ikat belatinya Bu-siang dan seikat kayu yang dinyatakan dulu tanduk sapi, ia sendiri terlentang menggempit di bawah perut binatang itu, ia giring sapi itu menerjang ke dalam rumah.   Waktu sapi itu berlari mengitari ruangan, tubuh Bu-siang telah disambernya dengan masih tetap menggemblok sembunyi di bawah perut sapi.   Dasar ilmu silat Nyo Ko sudah terlalu hebat, gerak-geriknya pun dilakukan dengan cepat sekali, ditambah lagi rupa sapi jantan itupun aneh, maka sekalipun Li Bok-chiu luar biasa lihaynya, sesaat itu ia kena dikelabui juga oleh Nyo Ko.   Dan ketika ia berhasil menyusul sapi jantan yang kabur itu, tatkala mana Nyo Ko sudah menyembunyikan diri diantara semak2 rumput sambil pondong Liok Bu-siang.   Sudah tentu, karena guncangan hebat itu, rasa sakit Bu-siang menjadi melebihi di-sayat2, cara bagaimana Nyo Ko menolong dan cara membawa dirinya menggemblok di bawah perut sapi dan cara bagaimana melompat turun dan sembunyi di semak alang2, semuanya itu tak diketahuinya oleh karena keadaannya yang setengah pingsan.   Sesudah agak lama kemudian baru pikirannya sedikit pulih kembali, dalam sakitnya segera ia hendak berteriak.   "Jangan bersuara !"   Lekas2 Nyo Ko dekap mulutnya sambil membisikinya. Betul saja lantas terdengar suara tindakan orang yang tidak jauh dari tempat sembunyi mereka.   "He, kenapa sekejap saja sudah tak kelihatan ?"   Itulah suaranya Ang Ling-po.   "Marilah kita pergi saja, budak hina ini tentu sudah kabur jauh,"   Terdengar Li Bok-chiu menyahut dari jauh.   Habis itu lantas terdengar pula suara tindakan Ang Ling-po yang makin menjauh.   Saking sesak oleh karena mulutnya ditutup rapat orang, segera Bu-siang meronta dan hendak berteriak lagi, namun sedikitpun Nyo Ko tak melepaskannya, tangannya masih dekap kencang2 pada mulutnya.   Ketika Bu-siang meronta lagi dan merasa dirinya berada dalam pelukan si pemuda, ia menjadi malu tercampur gugup, segera ia bermaksud memukul orang, Namun sebelumnya tiba2 terdengar Nyo Ko membisikinya lagi.   "Ssst, jangan kau tertipu, gurumu sengaja akali kau !"   Baru selesai ia bicara, betul saja lantas terdengar Li Bok-chiu lagi berkata.   "Ah, rupanya memang tiada di sini lagi." - Begitu dekat suara nya se-akan2 berada di samping mereka saja. Keruan Bu-siang terkejut "Untung ada si tolol ini, kalau tidak, tentu aku sudah tertawan oIehnya."   Kiranya Li Bok-chiu memang cerdik, ia sangsi Bu-siang masih sembunyi di sekitar sini, maka sengaja ia bilang pergi, padahal dengan ilmu entengi tubuh "Chau-siang-hui" (terbang di atas rumput) diam2 ia putar kembali lagi tanpa terbitkan sesuatu suarapun, dan karena ini hampir saja Bu-siang terjebak kalau Nyo Ko kurang cerdik.   Sesudah Nyo Ko pasang kuping mendengarkan, kemudian dapat diketahuinya Li Bok-chiu berdua sekali ini betuI2 sudah pergi, barulah ia lepaskan tangannya yang mendekap mulut si nona.   "Baiklah sekarang tak perlu kuatir lagi."   Dengan tertawa ia berkata.   "Lepaskan aku,"   Bentak Bu-siang karena badannya masih dalam pelukan orang. Maka dengan pelahan Nyo Ko meletakkan Bu-siang ke tanah rumput itu.   "Segera juga kusambung tulangmu, kita harus lekas meninggalkan tempat ini, kalau sampai fajar mendatang mungkin tak bisa meloloskan diri lagi,"   Katanya.   Bu-siang manggut2 tanda setuju.   Karena kuatir orang kesakitan pada waktu menyambung tulangnya dan me-ronta2 hingga diketahui oleh Li Bok-chiu, segera Nyo Ko tutuk dulu jalan darah Bu-siang hingga gadis ini tak mampu berkutik, habis ini baru baju orang dibukanya.   "Se-kaIi2 jangan bersuara,"   Demikian ia pesan, Sesudah baju luar dibuka, tertampaklah baju dalam si gadis yang berwarna biru muda.   Tiba2 kedua tangan Nyo Ko rada gemetar, tak berani ia membuka baju orang lebih jauh, Waktu ia pandang si gadis, ia lihat Bu-siang pejamkan kedua matanya lengan alis berkerut rapat Dasar Nyo Ko memang baru menginjak masa remaja, ketika mencium bau wangi badan gadis, tak tertahan jantungnya memukul keras.    Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung

Cari Blog Ini