Kembalinya Pendekar Rajawali 2
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 2
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung "Minggir" - badanpun menyingkir ke samping hendak menghindari tarikan tangan orang, Kepandaian jumpalitan ditengah udara adalah ilmu Ginkang tingkat tinggi, walau dia pernah melihat ayah bundanya memainkannya, dia sendiri belum pernah mempelajarinya, dengan sedikit berkisar itu, jari2-nya sudah tidak dapat meraih tembok, ditengah teriakan kagetnya, badannya langsung jatuh ke bawah, Melihat Bu-siang jatuh, anak laki-laki yang berada di kaki tembok segera memburu maju dan ulur tangan memeluk badannya. Tapi tembok itu setinggi beberapa tombak, meski badan Bu-siang kecil, tenaga luncuran setinggi ,itu jelas amat berat, meski anak laki2 itu berhasil memeluk pinggangnya, tak tertahan keduanya terbanting jatuh dengan keras. Terdengarlah suara "krak", tulang kaki kiri Liok Bu-siang "patah, demikian pula jidat anak laki-laki itu kebentur batu runcing, darah mengucur keluar, Thia Eng dan anak laki2 di atas tembok itu memburu maju untuk menolong. Anak laki2 itu merangkak bangun sambil mendekap jidatnya yang bocor, sementara Liok Bu-siang jatuh semaput. Sambil memeluk Piaumoaynya Thia Eng segera berteriak. "lh-tio, Ah-i (paman, bibi), lekas datang !" Mendengar teriakannya, Liok-toanio segera memburu keluar, tiba2 terasa di atas kepalanya angin kencang menyamber, sesuatu benda berat menindih kepalanya Sebat sekali Liok-toanio berkelit ke samping, dilihatnya yang dilempar ke arahnya itu ternyata mayat seseorang. Tak sempat membawa goloknya segera ia melompat ke wuwungan rumah, belum lagi ia berdiri tegak, dua sosok mayat tahu2 dilempar pula memapak mukanya, ketika Liok-toanio membungkukkan tubuh, tahu2 kedua lututnya menjadi lemas dan tidak kuasa berdiri tegak, kontan ia terjungkal jatuh ke pelataran. Kebetulan Liok Lip-ting sedang memburu keluar, melihat Liok-toanio terjungkal jatuh dari atas, segera ia melompat ke depan dengan ilmu Ginkang yang dia yakinkan selama berpuluh tahun, meski jaraknya masih tiga tombak jauhnya, namun sekali lompat badannya melesat seperti anak panah, telapak tangannya sempat menyanggah punggung istrinya, Karena tenaga sanggahan ini badan Liok-toanio terlempar naik, diwaktu meluncur turun pula, Liok Lip-ting dengan ringan dapat menurunkan badan istrinya di atas tanah. Tak sempat menanyai keadaan istrinya, sekilas dilihatnya tidak apa-apa, segera ia melompat ke atas rumah, matanya menjelajah sekelilingnya, tertampak bulan sabit tergantung tinggi di cakrawala, angin menghembus sepoi2, namun tidak kelihatan bayangan seorangpun Liok Lip-ting segera kembangkan Ginkang, dalam sekejap saja ia sudah meronda keadaan rumahnya satu keliling, namun tidak menemukan apa-apa, segera ia melompat turun ke bawah pelataran dan masuk ke dalam rumah. Di situ terlihat seorang nyonya pertengahan umur sedang membopong Liok Bu-siang dan anak laki-laki tadi masuk ke ruang tengah, tanpa menghiraukan kucuran darah anak laki-laki itu, si nyonya berusaha menyambung dulu tulang kaki Liok Bu-siang yang patah. Liok Lip-ting semula mengira puterinya sudah dicelakai orang, kini melihat hanya tulang kaki yang patah, hatinya rada lega, tanyanya kepada istrinya. "Kau tidak apa-apa bukan ?" Liok-toanio menggeleng kepala, ia sobek lengan baju untuk membalut jidat anak laki2 itu yang terluka, ingin dia memeriksa luka kaki puterinya, tak terduga baru saja melangkah, kaki sendiri terasa linu lemas, tanpa kuasa ia jatuh terduduk. Nyonya pertengahan umur itu menutuk Hiat-to Pek-hay-hiat dan Hwi-tiong-hiat dikedua paha Liok Bu-siang untuk menghilangkan rasa sakit, lalu kedua tangan menekan pada kedua sisi tulang yang patah untuk menyambungnya. Melihat gerak-gerik orang yang cekatan, ilmu tutuknya terang tingkat tinggi, makin curigalah Liok Lip-ting, serunya. "Siapakah Toanio ini ? Ada petunjuk apa berkunjung ke sini ?" Nyonya itu tumplek seluruh perhatian untuk menyambung tulang kaki Liok Bu-siang yang patah, sedikitpun tidak menghiraukan pertanyaannya, Diam-diam Liok Lip-ting perhatikan tangan kiri orang yang memegangi kaki puterinya, sementara tangan kanan diangkat dan berputar setengah lingkaran terus menutuk turun pelan-pelan, itulah gerakan It-yang-ci yang menurut cerita ayahnya merupakan kepandaian khas musuh besarnya, maka tanpa ragu2 lagi, kedua telapak tangan Liok Lip-ting terus menghantam ke punggung orang. Mendengar deru angin dari belakang, tangan kanan nyonya itu tetap menutuk Pek-hay-hiat Liok Bu-siang, telapak tangan lain menepuk balik ke belakang menangkis pukulan Liok Lip-ting. Kontan Liok Lip-ting merasakan tenaga dahsyat mendorong ke arah dirinya, seketika dada terasa sesak, tanpa kuasa ia tergentak mundur dua langkah. Karena menggunakan telapak tangan kiri sehingga si nyonya tidak dapat memegangi sebelah kaki Liok Bu-siang, maka telunjuk jarinya yang menutuk turun itu ikut tergetar miring, tulang kaki Liok Bu-siang yang patah itu kembali lepas, sekali menjerit seketika anak dara itu jatuh pingsan lagi. Pada saat itulah dari atas genteng terdengar suara tertawa seorang, serunya. "Aku hanya membunuh sembilan jiwa keluarga Liok, orang luar harap segera keluar!" Waktu Liok Lip-ting angkat kepala, dilihatnya di atap genteng berdiri seorang Tokoh, di bawah cahaya bulan yang remang2, jelas kelihatan parasnya yang elok, berusia delapan atau sembilan belas, kulitnya putih halus, sikapnya garang, di punggungnya terselip sepasang pedang. Liok tip-ting segera berseru lantang. "Aku inilah Liqk Ljp-ting, apa Toyu datang dari Jik-lian-to ?" Si Tokoh mendengus. "Baik sekali kalau sudah tahu, lekas kau bunuh isteri dan puteri serta semua pembantumu, lalu kau bunuh diri pula supaya aku tidak perlu turun tangan !" - sikapnya congkak, kata2-nya pedas, sedikitpun tidak pandang sebelah mata pada tuan rumah, Meski Liok Lip-ting tidak pernah angkat nama di kalangan Kangouw, betapapun dia keturunan seorang pendekar besar, mana mandah dihina di hadapan orang luar, segera ia memburu keluar dan melompat ke atas seraya membentak. "Biar kau kenal dulu kelihayanku !" Sikap si Tokoh acuh tak acuh, disaat kedua kaki Liok Lip-ting hampir menginjak genteng, badan masih terapung di udara, mendadak kedua pedangnya bergerak laksana bianglala, tahu-tahu sinar pedang lawan itu sudah mengurung seluruh badannya, serangan kedua pedang ini amat lihay dan hebat sekali, meski ilmu silat Liok Lip-ting amat tinggi, betapapun dia kurang pengalaman menghadapi musuh tangguh, tahu2 hawa pedang musuh yang dingin itu sudah menyamber lehernya, dalam keadaan begitu jelas dia tidak akan mampu menangkis atau menyelamatkan diri, terpaksa ia pejamkan mata menunggu ajak "Trang," Tiba2 seseorang telah menangkiskan pedang yang menyerang lehernya itu, waktu Lip-ting membuka mata, dilihatnya nyonya setengah umur tadi sedang menempur si Tokoh dengan bergaman sebatang pedang panjang, Nyonya itu berpakaian warna abu2, sementara Tokoh muda itu mengenakan jubah kuning, tertampak bayangan abu2 dan kuning saling berputar menari di bawah cahaya bulan diselingi samberan sinar kemilau yang berhawa ,dingin, sedemikian sengit pertempuran itu, namun tidak terdengar suara benturan kedua senjata masing2. Betapapun Liok Lip-ting keturunan keluarga persilatan, meski gerak-gerik kedua orang yang bertempur itu amat cepat, setiap jurus dan tipu serangan kedua pihak dapat diikutinya dengan jelas, Tertampak Tokoh itu menyerang dan menjaga diri dengan rapat, ganti-berganti ia mainkan ilmu pedangnya yang hebat, sebaliknya si Nyonya melayaninya dengan tenang dan mantap, setiap kesempatan pasti tidak disia-siakan untuk melancarkan serangan yang mematikan. Se-konyong2 terdengar "tring", dua pedang beradu, pedang di tangan kiri si Tokoh mencelat terbang ke udara, Sebat sekali ia melompat mundur keluar dari arena pertempuran, mukanya yang putih halus bersemu merah, matanya mendelik gusar, bentaknya. "Aku mendapat perintah guru untuk membunuh habis keluarga Liok, apa sangkut pautnya dengan kau ?" Nyonya itu menjengek dingin. "Kalau gurumu berani dan punya kepandaian, seharusnya dia mencari Liok Tian-goan sendiri, kini dia sudah mati, tapi gurumu tidak tahu malu mencari perkara kepada keturunannya ?" Si Tokoh kebutkan lengan bajunya, tiga batang jarum menyamber, dua batang menyamber si nyonya, jarum ketiga ternyata menyerang Liok Lip-ting yang berdiri di pekarangan serangan mendadak dan cepat lagi, lekas si nyonya ayunkan pedangnya menangkis, terdengar Liok Lip-ting menggerung gusar, dua jarinya dapat menjepit batang jarum yang menyerang tenggorokannya itu. Si Tokoh tersenyum dingin, dengan tangkas ia jumpalitan terus keluar, tiba2 terdengar suitan panjang di kejauhan sana, dalam sekejap saja dia sudah berlari puluhan tombak jauhnya. Melihat Ginkang orang begitu hebat, nyonya itupun rada tercengang, lekas ia melompat turun kembali ke dalam ruangan, melihat Liok Lip-ting sedang pegangi sebatang jarum, segera ia berseru. "Lekas buang !" Sekarang Liok Lip-ting tidak curiga lagi kepada orang, lekas ia lemparkan jarum itu ke tanah, Cepat nyonya itu mengeluarkan seutas tali kain dari dalam bajunya terus mengikat pergelangan tangan Lip-ting dengan kencang, Baru sekarang Liok Lip-ting dibuat kaget, serunya. "Jarum itu berbisa ?" "Ya, racun yang tiada bandingannya." Sahut nyonya itu, lalu ia keluarkan sebutir pil dan suruh Lip-ting menelannya. Liok Lip-ting rasakan kedua jarinya sudah mati rasa, tak lama kemudian melepuh sebesar tebak Lekas si nyonya bekerja pula mengirisnya dengan ujung pedang, darah hitam segera mengalir keluar dan berbau busuk, Sungguh kejut Liok Lip-ting bukan kepalang, batinnya. "Jariku tidak lecet atau terluka, hanya tersentuh sedikit saja, racun sudah bekerja sedemikian lihay, kalau jariku kena tertusuk sedikit saja, jiwaku tentu sudah melayang ?" Baru sekarang nyonya itu sempat memayang Liok-toanio, lalu ia memeriksa luka-lukanya. Ternyata Hui-tiong-hiat di bagian lututnya masing2 terkena sambitan sebatang jarum, Tapi jarum2 ini adalah jarum emas milik Liok Lip-ting yang biasanya untuk menolong orang, Meski bencana belum berlalu, namun sementara keluarganya masih dalam keadaan selamat, hati Liok Lip-ting rada bersyukur, waktu ia berpaling melihat ketiga mayat tadi, berkobar pula amarahnya disamping bergetar hatinya. Ternyata ketiga mayat itu bukan lain adalah Liong, So dan Cu-piauthau dari An-wan Piaukiok, Waktu ia periksa luka mereka bertiga, dilihatnya jarum2 yang dia gunakan kini sudah berpindah tempat, semula tusukan jarumnya untuk menghilangkan rasa sakit, kini jarum2 itu menusuk pada Hiat-to yang mematikan. Cukup sebatang saja sudah amat men-derita, apa lagi tertusuk sembilan batang ? Cuma tusukan jarum pada badan Liong-piauthau rada meleset, maka jiwanya belum melayang, sorot matanya memancarkan rasa belas kasihan, se-olah2 mohon pertolongan pada Liok Lip-ting. Liok Lip-ting tidak tega, namun melihat luka2-nya, meski ada obat dewapun tidak akan bisa menolong jiwanya, katanya sambil menghela napas. "Liong-piauthau, berangkatlah dengan tenang." Liong-piauthau menarik napas panjang, ia angkat badan bagian atas, katanya tersendat. "Liok... Liok-ya, aku tiada harapan lagi, kau lekas kau lari. iblis itu berkata, dikolong langit ini hanya Liok Tian-goan yang boleh mengobati aku, putera tunggalnya pun tidak boleh... kau lekas lari, sebentar dia akan tiba !" - beberapa patah kata terakhir diucapkan dengan suara lirih hampir tidak terdengar, kejap lain iapun sudah menutup mata dan berhenti bernapas. Nyonya itu mendengus gusar. "Hm, iblis keparat! iblis keparat!" Liok Lip-ting menjura serta bertanya. "Aku punya mata tapi tak bisa melihat, mohon tanya siapa she dan nama Toanio ?-" "Suamiku she Bu," Sahut nyonya itu. "Kiranya tepat dugaanku, Melihat kepandaian It-yang-ci Toanio, sudah lantas kuduga pastilah anak murid It-teng Taysu dari Tayli di Hun-lam, Silahkan masuk ke dalam menikmati secangkir teh." Maka mereka lantas masuk ke dalam rumah. Liok Lip-ting membopong Bu-siang tertampak mukanya pucat, namun sedapatnya menahan sakit, tidak menangis dan tidak mengeluh, timbul rasa kasih sayang Lip-ting tak terhingga kepada puteri tunggalnya ini. Bu Sam-nio, nyonya tadi berkata. "Begitu murid iblis itu pergi, gembong iblis itu segera akan datang sendiri Liok-ya, bukan aku pandang rendah dirimu, kalau cuma tenaga kalian berdua suami isteri, meski ditambah aku seorang juga bukan tandingan iblis ganas itu. Kukira laripun tak berguna, terpaksa kita pasrah nasib, biarlah kita tunggu kedatangannya di sini saja." Liok-toanio bertanya. "Sebetulnya orang macam apa gembong iblis itu ? Ada dendam permusuhan apa pula dengan keluarga kita ?" Bu Sam-nio melirik kepada Liok Lip-ting, katanya kemudian. "Memangnya Liok-ya tidak menjelaskan kepadamu ?" "Katanya persoalan menyangkut mertuaku yang sudah meninggal itu, sebagai putera yang berbakti, tidak enak membicarakan persoalan ayah bundanya, dia sendiripun tidak begitu jelas akan seluk-beluk persoalan ini," Tutur Liok-toanio. "Disitulah soalnya", ujar Bu Sam-nio menghela napas. "Aku orang luar, tiada halangan kuterangkan Mertuamu Liok Tian-goan, Liok-loenghiong diwaktu mudanya adalah pemuda ganteng, dia disebut pemuda romantis nomor satu di kalangan Bu-lim. Gembong iblis Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu itu..." Mendengar nama Li Bok-chiu disebut, Liok Lip-ting seketika merinding seperti dipagut ular berbisa, Bu Sam-nio melihat perubahan air muka orang, katanya lebih lanjut. "Sekarang kaum persilatan bila menyinggung nama Jik-lian-sian-ci, pasti gemetar ketakutan, tapi puluhan tahun yang lalu dia adalah gadis rupawan yang halus budi dan lemah lembut. Mungkin memang sudah takdir, begitu bertemu dengan mertuamu, hatinya lantas jatuh cinta, Belakangan setelah mengalami berbagai rintangan, perubahan dan pertikaian mertuamu akhirnya menikah dengan Ho Wan-kun, mertua perempuan sekarang, Bicara soal mertua perempuanmu, mau tidak mau aku harus menyinggung suamiku juga. Soal ini cukup memalukan bila dituturkan, tapi keadaan hari ini sudah amat mendesak, terpaksa aku tidak perlu! simpan rahasia lagi." Sejak kecil Liok Lip-ting sudah mendengar penuturan ayah bundanya bahwa selama hidup mereka mempunyai dua musuh besar yang paling tangguh, seorang adalah Jik-lian-sian-cu, seorang lain adalah Bu Sam-thong, salah seorang murid kesayangan It-teng Taysu dari negeri Tayli di Hunlam, Semula It-teng Taysu adalah raja negeri Tayli, tapi ia meninggalkan " Takhta dan cukur rambut menjadi Hwesio, lalu menerima empat murid, satu diantaranya ialah Bu Sam-thong ! Sewaktu mudanya Bu Sam Thong menjabat pangkat yang tinggi di negeri Tayli, Cuma bagaimana Liok Tian-goan suami isteri sampai mengikat permusuhan dengan dia tidak pernah dituturkan kepada puteranya. Maka waktu melihat Bu Sam-nio menggunakan It-yang-ci menyambung tulang kaki puterinya yang patah tadi, sudah tentu Liok Lip-ting kaget dan curiga, tak nyana Bu Sam-nio malah bantu menghalau murid Jik Lian sian-cu dan menolong jiwanya, hal ini sungguh di luar dugaannya. Bu Sam-nio mengelus pundak anak laki2 yang terluka jidatnya itu, matanya mendelong mengawasi api lilin. "Suamiku dan mertuamu sejak kecil bertentangan, hubungan mereka sangat intim, meski sifat2 mereka tidak cocok, namun suamiku amat mencintainya. Siapa tahu akhirnya dia menikah dng mertuamu, saking gusar suamiku lantas minggat jauh ke Tayli, menjabat panglima pemimpin tentara, menjadi anak buah Toan-hongya, Pernah suamiku bertemu dengan mertuamu terjadilah perang tanding yang seru, suamiku memang berangasan dan terlalu mengumbar nafsu karena patah hati, akhirnya dia bukan tandingan mertuamu, sejak itu tindak tanduknya agak sin-ting, baik sahabat karibnya atau aku sendiri tak dapat menyadarkan dia, Dulu dia pernah berjanji dengan mertuamu bahwa lima belas tahun kemudian bertanding lagi, siapa tahu kedatangannya kali ini, kedua mertuamu ternyata sudah meninggal." Liok Lip-ting amat gusar, serunya sambil menggablok meja. "Kalau dia punya kepandaian, kenapa tidak datang sejak dulu, kini setelah tahu ayahku sudah almarhum baru meluruk datang dan menculik jenazahnya, terhitung perbuatan orang gagah macam apa ?" "Omelan Liok-ya memang benar," Ujar Bu Sam-nio. "Suamiku sudah kehilangan kesadaran-nya, tingkah laku dan tutur katanya sudah tidak genah lagi, Hari ini aku membawa kedua anakku ini kemari, bukan lain adalah hendak mencegah perbuatannya yang tidak keruan, dalam dunia sekarang ini, mungkin hanya aku seorang saja yang rada ditakutinya." Sampai di sini segera ia berkata kepada kedua puteranya. " Lekas menyembah kepada Liok-ya dan Liok-toanio." Kedua anak laki2 itu segera berlutut dan menyembah, Liok-toanio . lekas membimbingnya bangun serta menanyakan nama mereka. Yang jidatnya terluka bernama Bu Tun-ji, usianya dua belas tahun, adiknya bernama Bu Siu-bun, satu tahun lebih muda. "Sungguh tak nyana suamiku tidak kunjung tiba, malah Jik-lian-sian-pu keburu membuat perkara di rumahmu... ai," Demikian kata Bu Sam-nio lebih lanjut. "Dua pihak sama2 tidak dapat melupakan cinta masa lalu, cuma yang satu lelaki dan yang lain perempuan." Baru dia bicara sampai di sini, mendadak di-atas rumah ada orang berteriak. "Anak Ji, anak Bun, ayo keluar !" Suara ini datangnya tiba2, sedikitpun tidak terdengar suara langkah di atas genteng, mendadak suaranya kumandang ditengah malam buta, keruan Liok Lip-ting suami istri sangat kaget, mereka tahu Bu Sam-thong telah tiba, Thia Eng dan Liok Bu-siang pun kenal suara si orang gila yang mereka temui siang tadi. Tertampak sesosok bayangan berkelebat, Bu Sam-thong melompat turun, seorang satu tangan, ia angkat kedua puteranya terus lari secepat angin, sebentar saja ia sudah tiba di hutan pohon Liu, tiba2 ia turunkan Bu Siu-bun, dengan hanya membawa Bu Tun-ji bayangannya lantas lenyap dalam sekejap mata, putera kecilnya dia tinggal demikian saja didalam hutan itu. Bu Siu-bun berteriak2. "Ayah ! Ayah !". Tapi Bu Sam-thong sudah menghilang, terdengar suaranya berkumandang dari kejauhan. "Kau tunggu di situ, sebentar aku kembali menjemput kau." Bu Siu-bun tahu tindak tanduk ayahnya rada sinting, maka ia tidak heran, Tapi seorang diri berada dalam hutan yang gelap, hatinya rada takut, namun teringat sebentar sang ayah akan kembali, maka dengan termenung ia duduk saja dibawah pohon. Duduk punya duduk, teringat olehnya akan kata2 ibunya bahwa ada musuh lihay entah yang mana hendak menuntut balas, belum tentu sang ibu bisa menandingi lawan, Meski usianya masih kecil, namun Siu-bun sudah tahu berkuatir akan keselamatan ibunya, Setelah menunggu sekian lamanya dan sang ayah tidak kunjung datang, akhirnya dia menggumam sendiri. "Biar aku pulang mencari ibu saja !" - lalu ia menggeremet dan meraba2 menuju ke arah datangnya tadi, Bocah kecil berada dalam hutan seorang diri, apalagi malam pekat, mana bisa menentukan arah dan tujuan ? Semakin jalan ia menuju ke arah hutan belukar yang makin dalam, Akhirnya ia tiba di sebuah lekukan gunung, di bawah adalah selokan setinggi tujuh delapan tombak, selayang pandang sekelilingnya hitam melulu. Saking gugup dan ketakutan Bu Siu-bun lantas berteriak. "Ayah, ayah ! Ibu, ibu !" - Terdengar gema suaranya berkumandang dilembah pegunungan Disaat hatinya cemas dan gundah itulah tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang memualkan disusul hembusan angin keras, ditengah kegelapan tampak dua titik sinar seperti pelita minyak sedang bergerak ke arahnya. Bu Siu-bun heran, mendadak didengarnya suara gerangan yang keras, kedua titik terang seperti sinar pelita itu memburu cepat ke arahnya, Sungguh kagetnya bukan main, teriaknya. "Harimau !" - tanpa banyak pikir segera ia melompat ke atas menangkap dahan pohon terus merayap naik dengan mengerahkan segenap tenaganya, terasa pantatnya se-o!ah2 kena terpukul oleh sesuatu, segera kaki tangan bekerja sekuat tenaga merambat ke puncak pohon. Didengarnya binatang buas itu menggerung2 serta berputar2 mengitari pohon, Melihat binatang itu tidak bisa naik ke atas pohon barulah hati Siu-bun sedikit lega, tiba2 terasa pantatnya pedas dan perih, waktu ia merabanya, ternyata celananya sudah robek tercakar kaki harimau tadi, Dasar bocah nakal, segera teringat olehnya akan , cerita ibunya bahwa harimau tidak bisa naik pohon, maka sambil menuding ke bawah ia lantas memaki kalang kabut. "Harimau keparat, harimau brengsek, harimau busuk !" Mendengar suara manusia, harimau itu menggerung semakin keras. Begitulah satu sama lain bertahan di atas dan berputar di bawah pohon, meski Bu Siu-bun sangat kantuk dan letih, mana dia berani tidur ? sebentar lagi hari akan terang tanah, maka pandangan mulai jelas keadaan sekelilingnya, Semula dia tidak berani langsung mengawasi harimau di bawahnya, akhirnya ia membesarkan nyali menunduk ke bawah, saking kejutnya hampir saja ia terjungkal jatuh dari atas pohon, Ternyata harimau loreng di bawah itu kira-kira sebesar anak sapi,. duduk menengadah sambil menyeringai buas, matanya menatap dengan penuh nafsu, mulut melelehkan liur kental. Memang harimau itu sedang kelaparan, menunggu semalam suntuk tanpa - dapat mencaplok mangsa di depan mata, rasa laparnya makin mengobarkan kebuasannya, mendadak ia menggerung sekeras-kerasnya terus menerjang ke atas. Lompatan ini setombak lebih tingginya, cakar depannya berhasil mencapai batang pohon sehingga sesaat lamanya badannya tergantung ditengah udara. Harimau ini cukup besar dan rada gemuk, berat badannya tidak kurang dua ratus kati, sudah tentu batang pohon itu tidak kuat menahan berat badannya. "peletak", sekali membal dahan pohon itu patah dan jatuh ke bawah, Bu. Siu-bun ikut terpental dan terjungkal ke bawah, Sejak kecil ia dididik ilmu silat oleh ayah bundanya, waktu meluncur ke bawah dia bisa kendalikan badan dan menggelinding ke samping, sedikitpun tidak terluka, begitu merangkak bangun segera ia lari sipat kuping. Tanpa hiraukan rasa sakitnya, harimau itu segera mengejar dengan kencang. Walau Bu Siu-bun sudah punya dasar latihan Ginkang, namun usianya masih kecil, kaki pendek lagi, maka langkahnya tidak bisa cepat dan jauh, mana bisa menandingi kecepatan lari seekor harimau, terpaksa ia lari berputar-putar mengitari pohon, ia bermain petak dengan pengejarnya, Kalau lari lurus harimau itu memang cepat dan gesit, tapi untuk putar2 dan main menyelinap kian kemari gerak geriknya menjadi lamban, maka gerungan-nya semakin keras, ia menubruk membabi buta, debu pasir dan dedaunan sama beterbangan Melihat harimau itu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dirinya, Bu Siu-bun menjadi senang, sambil memaki kalang kabut ia berlari pula berputar mengelilingi pohon dan batu. Saking senang sehingga kurang ber-hati2 dan menginjak sebutir batu bundar, kontan ia tergelincir dan jatuh, Tanpa ayal harimau itu lantas menubruk ke arahnya. Bu Siu-bun berteriak. "Ibu, ibu l" Se-konyong2 dilihatnya dua gulung bayangan hitam meluncur dari tengah angkasa menubruk ke arah dirinya, tahu2 harimau itu terangkat naik ke tengah udara, menyusul badan sendiripun ikut terapung ke angkasa, Kaget dan takut pula Bu Siu-bun, waktu ia membuka mata, pohon di bawah tertampak menjadi kecil, dirinya sedang terbang di-awang2 waktu ia menengadah ternyata se-ekor burung besar mencengkeram baju punggungnya sedang terbang dengan pentang sayap yang lebar. Semula hatinya amat takut, tak lama kemudian, ia merasa burung raksasa itu tidak bermaksud jahat. Tiba2 didengarnya gerungan keras di sebelah belakang, ia berpaling, tertampak harimau besar itu dicengkeram oleh seekor burung raksasa lainnya dan dibawa terbang juga, kakinya mencak2 sambil menggerung keras, cakar burung raksasa itu mencengkeram kuduk dan pangkal ekornya hingga tergantung ditengah udara. Sekali kembangkan kedua sayap, burung raksasa di belakang itu terbang lebih tinggi memasuki awan, tiba2 cengkeraman kedua cakarnya dilepaskan, kontan harimau itu meluncur jatuh ke bawah dari ketinggian ratusan tombak dan akhirnya terbanting hancur lebur. Melihat adegan yang mengerikan ini, seketika Bu Siu-bun berteriak kaget, teringat olehnya. "Kalau burung besar inipun melepaskan diriku, mustahil aku tidak akan hancur lebur ?" - karena takut cepat ia memeluk ujung kaki burung besar itu. Se-konyong2 terdengar lengking suitan panjang di bawah, suaranya nyaring dan merdu, terang suitan dari mulut perempuan, Kedua ekor burung besar itu pelahan terbang turun, lalu meletakkan Bu Siu-bun di atas tanah, Gesit sekali Siu-bun melompat bangun, tertampak sekelilingnya pohon Liu melulu, bumi seperti ditabur bunga yang mekar beraneka warnanya, suatu tempat yang indah dan permai, Dari balik pohon sana berlenggang keluar seorang anak perempuan, sekilas ia melirik kepada Bu Siu-bun, lalu ia tepuk2 kedua paha burung besar tadi, katanya. "Tiau-ji elok, Tiau-ji bagus !" Bu Siu-bun membatin. "Kiranya kedua burung ini bernama "Tiau-ji" (rajawali), dilihatnya kedua burung itu berdiri gagah dan angker, jauh lebih besar dan tinggi daripada anak perempuan itu. Bu Siu-bun tidak paham berterima kasih segala, katanya sambil mendekat anak perempuan itu. "Apakah kedua ekor Tiau-ji ini peliharaanmu ?" Anak perempuan itu mencibirkan bibir, sikapnya memandang hina, jengeknya. "Aku tidak kenal kau, tidak sudi bermain dengan kau !" Bu Siu-bun tidak perduli akan sikap kasar orang, ia ulur tangan mengelus kaki burung besar itu. Anak perempuan itu mendadak bersiul ringan, sayap burung besar itu segera terpentang dan menyapu dengan ringan, kontan Bu Siu-bun tersabet jumpalitan dan terguling di tanah, lalu kedua ekor burung itu segera terbang rendah menubruk ke arah mayat harimau tadi dan mulai berpesta pora. Cepat Bu Siu-bun melompat bangun dan mengawasi kedua rajawali itu, hatinya amat ketarik, katanya. "Sepasang burung ini amat bagus, mau dengar perintahmu, kalau pulang biar akupun minta ayah menangkapnya sepasang untukku !" Anak perempuan itu mendengus. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hm, memangnya ayahmu mampu menangkapnya ?" Berulang-ulang menghadapi sikap yang kurang simpatik, barulah Bu Siu-bun sekarang sempat mengamati anak perempuan di hadapannya ini, tertampak orang mengenakan pakaian yang amat mewah, lehernya mengenakan kalung mutiara sebesar kelengkeng, kulit mukanya halus putih seperti air susu, biji matanya jeli, mulutnya kecil mungil sepasang biji mata anak perempuan itupun sedang mengawasi seluruh badan Bu Siu-bun, tanyanya. "Siapa namamu ? Kenapa keluar bermain seorang diri, tidak takut digigit harimau ?" "Aku bernama Bu Siu-bun, sedang menunggu ayahku, Dan siapa namamu ?" Anak perempuan itu mencibirkan bibir, katanya. "Aku tidak bermain dengan anak liar !" -. lalu ia putar badan tinggal pergi. Bu Siu-bun tertegun. "Aku bukan anak liar !" Teriaknya sambil mengintil, Melihat anak perempuan itu berusia dua-tiga tahun lebih muda, badan rendah kaki pendek, ia pikir untuk mengejar tentu tidak sukar, siapa tahu baru saja ia kembangkan Ginkang, bagai anak panah terlepas dari busurnya anak perempuan itu sudah lari tujuh-delapan tombak jauhnya, sehingga dirinya ketinggalan jauh di belakang, Lari beberapa langkah pula mendadak anak perempuan itu berhenti katanya sambil berpaling. ""Hm, kau mampu mengejarku ?" Sambil berlari Bu Siu-bun menyahut. "Tentu bisa !" 3. TOKOH JUBAH PUTIH YANG CANTIK Anak perempuan itu putar badan terus lari kencang pula, tiba-tiba ia menyelinap ke depan dan sembunyi di belakang pohon, Tak lama kemudian Bu Siu-bun sudah menyusul tiba, sesudah dekat, tiba2 kaki kiri anak dara itu diulur keluar menjegal kaki orang. Bu Siu-bun tidak ber-jaga2, kontan badannya doyong ke depan, cepat ia gunakan cara mengendalikan keseimbangan badan tapi tahu2 kaki kanan anak perempuan itu mendepak sekali lagi pada pantatnya, tanpa ampun Bu Siu-bun jatuh terjungkal hidungnya menerjang sepotong batu runcing, darah segera membasahi pakaiannya. Melihat darah bercucuran, anak perempuan itu menjadi gugup juga, tiba-tiba didengarnya orang membentak di belakangnya. "Hu-ji, kau nakal lagi dan menganiaya orang ya ?" Anak perempuan itu tidak berpaling, sahutnya. "Siapa bilang ? Dia jatuh sendiri, perduli amat dengan aku ? jangan kau sembarangan lapor kepada ayah lho!" Bu Siu-bun meraba hidung, sebetulnya tidak sakit, namun melihat kedua tangan berlepotan darah, hatinya gugup juga. Mendengar anak perempuan itu bicara dengan orang, segera ia angkat kepala, dilihatnya seorang kakek pincang dan bertongkat rambut sudah jarang2 dan jenggot pun sudah ubanan, badannya kurus kerempeng, namun semangatnya masih menyala-nyala. Terdengar orang tua itu mendengus. "Jangan kau sangka mataku buta tidak bisa melihat, apa yang terjadi dapat kudengar dengan jelas, Kau budak kecil ini sekarang sudah begini nakal, kelak kalau sudah besar pasti lebih nakal lagi ?" Anak perempuan itu maju menghampiri serta menarik lengan si kakek, katanya memohon dan merengek. "Kongkong, jangan kau katakan kepada ayah ya ? Hidungnya keluar darah, lekas kau mengobatinya !" Kakek pincang itu maju setapak, sekali raih ia tangkap lengan Bu-siau-bun, lalu memijat beberapa kali di Bun-hiang-hiat di pinggir hidungnva, hanya sekali urut dan usap, darah kontan berhenti mengalir Terasa oleh Bu Siu-bun jari2 tangan orang seperti jepitan besi mencengkeram lengannya, hatinya menjadi takut, ia meronta, tapi sedikitpun tak bergeming. Pelahan tangannya ditarik lalu diputar, ia lancarkan Siau-kim-na-jiu-hiat yang diajarkan ibunya, telapak tangannya ikut berputar setengah lingkaran, terus melintir dari dalam untuk melepaskan pegangan si kakek, Kakek itu tidak menduga dan ber-jaga2, sungguh tak nyana bocah sekecil ini ternyata membekal ilmu silat selincah itu, karena gerakan ronta membalik itu, pegangannya terlepas, sambil bersuara heran tangannya menyamber pula menangkap tangan orang, Bu Siu-bun kerahkan sepenuh tenaganya berusaha membebaskan diri, namun pegangan orang tak bergeming lagi "Adik kecil jangan takut," Kata kakek itu. "Aku tidak melukai kau, kau she apa?" "Aku she Bu," Jawab Siu-bun. Kakek itu menengadah seperti mengingat sesuatu, lalu katanya menegas. "She Bu ? Ayahmu murid It-teng Taysu bukan ?" Bu Siu-bun berjingkrak girang. "Ya, kau kenal Hong-ya kami ? Kau pernah melihatnya tidak ? Aku sendiri tidak pernah melihatnya," "Dimana ayah bundamu ? Kenapa seorang diri kau kelayapan di sini ?" Kata si kakek sambil lepaskan tangannya. Bu Siu-bun mewek2 ingin menangis teringat pada kejadian semalam dan terkenang kepada ayah ibunya. Anak perempuan itu lantas mengolok-olok. "Cis, tidak tahu malu, sudah besar suka menangisi." Bu Siu-bun tegak kepala dan berkata. "Hm, siapa bilang aku menangis." - lalu ia ceritakan bahwa ibunya sedang menunggu kedatangan musuh di Liok-keh-cheng. Ayah entah pergi kemana membawa kakaknya, lalu dirinya kepergok harimau buas itu. Karena gugup dan pikiran tidak tenang, ceritanya putar balik tak teratur, namun kakek itu dapat memahami sebagian besar ceritanya itu, tanyanya. "Tahukah kau siapa musuh yang di tunggu ayah bundamu ?" "Seperti bernama Jik-lian-coa apa, pakai Chiu apa lagi," Tutur Siu-bun. Kakek itu menengadah pula, mulutnya menggumam. "Jik-lian-coa apa ?" Mendadak ia ketuk tongkat besinya di atas tanah, teriaknya keras. "Pastilah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu adanya !" "Betul, betul!" Bu Siu-bun bersorak gembira. "Memang Jik-lian-sian-cu" Karena tebakan si kakek yang tepat itu, maka ia kegirangan, namun si kakek ternyata sangat tegang, katanya. "Kalian berdua boleh bermain di sini, setapakpun jangan meninggalkan tempat ini, biar kutengok kesana !" "Kongkong, aku ikut kau !" Rengek anak perempuan tadi. Kakek itu menjadi gugup. "Ai, ai, tidak boleh ! iblis perempuan itu sangat jahat, aku sendiri bukan tandingannya. Soalnya tahu teman baik sedang menghadapi bahaya, terpaksa aku harus menyusul kesana, Kalian harus menurut kataku. Habis berkata segera ia berlalu dengan langkah terincang-incut. Meski pincang, tapi dengan bantuan tongkat besi segera ia kembangkan Ginkang, larinya amat cepat, tidak kalah dari pada tokoh2 silat kelas tinggi Tatkala itu hari sudah terang, para petani sudah bekerja di sawah, dengan riang gembira sedang menuai padi sambil berdendang, Kakek itu berlari bagai terbang tanpa hiraukan suasana gembira kaum tani yang bekerja keras itu. sekejap saja dia sudah tiba di depan Liok-keh-cheng. Kedua matanya memang buta, namun daya pendengarannya amat tajam, jaraknya masih kira2 satu li, namun dari kejauhan ia sudah mendengar suara bentrokan senjata keras, suara orang sedang bertempur dengan sengit. Ia tidak kenal keluarga Bu atau keluarga Liok dan tiada hubungan, iapun tahu ilmu silat sendiri jauh bukan tandingan Jik-lian-sian-cu, kedatangan dirinya ini mungkin hanya mengantar jiwa belaka, namun selama hidupnya selalu bantu kaum lemah demi kebenaran dan keadilan, selamanya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri, Maka langkah kakinya dipercepat waktu tiba di depan perkampungan didengarnya di atas genteng ada empat orang sedang bertempur dengan seru. Sebelah kanan satu orang melawan tiga orang, tapi agaknya ketiga orang itu terdesak di bawah angin malah. Ternyata setelah Bu Sam-thong membawa pergi Tun-ji dan Siu-bun, Liok Lip-ting - suami isteri semakin cemas dan heran, mereka tidak tahu apa maksud orang gila itu. sebaliknya Bu Sam-nio menjadi senang, katanya tertawa. "Selamanya suamiku bertindak angin2an, kali ini ternyata bisa tahu kasih sayang dan dapat melihat bahaya." Liok-toanio mohon keterangan, tapi Bu Sam-nio hanya tersenyum saja, katanya. "Nanti sebentar kau akan tahu sendiri." Waktu itu sudah larut malam, Liok Bu-siang sudah tertidur dalam pangkuan ayahnya, Thia Engpun sudah kantuk dan tidak kuasa membuka matanya lagi. Liok-toanio berdiri hendak membawa kedua anak itu masuk kamar, lekas Bu Sam-nio berseru mencegah. "Tunggulah lagi sebentar". Benar juga tak lama kemudian, terdengar suara di atas genteng. "Lemparkan ke atas !" Itulah suara Bu Sam-thong. Pergi datangnya ternyata tidak berbekas, Liok Lip-ting suami istri sebelumnya tidak tahu sama sekali. Segera Bu Sam-nio bopong Thia Eng keluar terus dilemparkan ke atas, Bu Sam-thong ulur tangan meraihnya. Baru saja Liok Lip-ting berdua kaget dan ingin tanya, Bu Sam-nio sudah lemparkan Liok Bu-siang ke atas pula, Keruan Liok Lip-ting kuatir, serunya. "Apa yang kau lakukan ?" - segera ia melompat ke atas genteng, namun sekelilingnya sunyi sepi, bayangan Bu Sam-thong dan kedua anak perempuan itu sudah tidak kelihatan Baru saja Liok Lip-ting hendak mengejar, dari bawah Bu Sam-nio keburu berteriak. "Liok-ya tidak perlu kejar, dia bermaksud baik," Liok Lip-ting ragu2, segera ia turun ke pelataran tanyanya kuatir. "Maksud baik apa ?" Liok-toanio sudah maklum lebih dulu, katanya. "Bu-samya kuatir iblis perempuan itu turun tangan keji kepada anak2, maka sebelumnya hendak disembunyikan di tempat yang rahasia!" Baru sekarang Liok Lip-ting sadar, ber-kali2 ia mengiakan, namun teringat Bu Sam-thong juga mencuri jenazah ayah bundanya, hatinya berkuatir pula. Bu Sam-nio tertawa, ujarnya. "Biasanya suamiku tidak suka anak perempuan, entah kenapa kali ini dia mau melindungi kedua puterimu, benar2 di luar dugaanku, Waktu dia membawa pergi anak Ji dan anak Bun tadi, beberapa kali ia melirik kepada putri2mu, sikapnya amat prihatin, betul juga dia kembali membawa mereka. Ai, semoga sejak kini wataknya berubah, tidak linglung lagi." - Lalu ia menghela napas, katanya lebih lanjut. "Silahkan kalian pergi istirahat, iblis itu amat membanggakan kepandaian sendiri, selamanya tidak mau menyergap musuh diwaktu malam, sebelum terang tanah pasti dia tidak akan datang." Semula Liok Lip-ting suami isteri memang menguatirkan keselamatan puteri dan keponakannya, kini setelah kekuatiran itu tidak membebani benak mereka, rasa takutpun hilang, timbul keberanian mereka untuk menghadapi musuh. Mereka sudah membekal senjata masing2, semua duduk bersimpuh di ruang besar itu, bertiga dengan Bu Sam-nio mulai semadi menghimpun tenaga. Sang waktu berjalan cepat, tidak lama fajar pun menyingsing, biasanya waktu seperti itu, suasana diramaikan oleh kokok ayam dan gonggongan anjing, namun sekarang keadaan sepi nyenyak Di tengah kesunyian pagi itulah tiba2 terdengar suara "blang" Yang menggetarkan hati, entah diterjang apa pintu besar itu tiba2 terbuka dan semplak pecah, Pintu besar itu sudah dipantek dengan dua batang besi, menurut kebiasaan A Kin, si jongos, setiap malam juga palang pula pintu itu dengan batang kayu. Kini palang besi dan kayu luar dalam itu sama putus, tahu-tahu seorang Tokoh pertengahan umur mengenakan jubah putih mulus melangkah masuk, dia bukan lain adalah Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu. Saat itu A Kin sedang menyapu di pelataran, segera ia membentak. "Siapa itu ?" Cepat Liok Lip-ting berteriak. "A Kin, lekas menyingkir !" Tapi sudah terlambat, sekali kebut di tangan Li Bok-chiu terayun, seperti pula kematian anjing, babi dan lain, tanpa bersuara kepala A Kin terpukul remuk dan melayanglah jiwanya tanpa bersuara. Liok Lip-ting segera menjinjing golok menerjang keluar terus membacok, Li Bok-chiu miringkan badan berkelit terus melesat lewat disamping-nya, sekali kebutnya bergerak pula, dua pelayan perempuan seketika tersabet mati, lalu tanyanya dengan tertawa. "Dimana kedua bocah itu ?" Melihat musuh bertindak begitu ganas, meski sadar bukan tandingan lawan, namun Liok Lip-ting berdua tetap merangsak dengan sengit dengan senjata masing2. Li Bok-chiu sudah angkat kebut hendak memukul, tiba2 dilihatnya Bu Sam-nio berdiri disamping, ia tersenyum manis, katanya. "O, masih ada orang luar di sini, terpaksa aku bunuh kalian di luar rumah saja," -. suaranya merdu, gerak geriknya genit, tak terlihat bagaimana dia bergerak, tahu2 badannya mengapung ke atas genteng, segera mengejar juga ke atas, Belum lagi mereka berdiri tegak, kebut Li Bok-chiu sudah menyapu datang sehingga senjata" Mereka terpental balik, Agaknya ia sengaja hendak permainkan ketiga lawannya, dalam puluhan jurus itu ia tidak pernah melancarkan serangan mematikan, ia cuma desak ketiga lawannya berputar2 seperti kucing mempermainkan tikus layaknya, Keruan Liok Lip-ting bertiga mandi keringat dan gusar pula dibuatnya. "Mau bunuh lekas bunuh saja!" Damperat Liok Lip-ting. Tiba2 Li Bok-chiu bersiul nyaring panjang ia melayang turun ke tanah langsung menubruk ke arah seorang kakek pincang bertongkat be yang berdiri di pinggir kali, Dimana kebut Li Bo chiu bergerak, tahu2 kebutnya membelit ke leher si kakek pincang dan buta itu. jurus serangan ini dilancarkan disaat kakinya belum menyentuh tanah, namun kebutnya bagai ular hidup tahu.2 sudah menyerang tempat mematikan dibadan lawan, Walau kakek tua itu buta, namun kupingnya dengan jelas mendengar serangan musuh yang lihay ini, lekas tongkatnya terangkat dan mendadak menutul ke depan, ia balas menjojoh pergelangan tangan kanan musuh, Tongkat besi merupakan senjata berat, umumnya piranti untuk menyapu, menggebuk, mengemplang atau menggencet, namun kakek tua ini justru menjojoh dengan gaya seperti pedang menusuk, tongkat seberat itu ternyata dapat ia mainkan dengan ringan dan lincah seperti pedang. Lekas Li Bok-chiu sedikit gentakan kebutnya, ujung kebut memutar balik untuk membelit ujung tongkat terus ditarik dan disendal sambil membentak. "Lepas tangan !" Jurus ini merupakan ilmu pinjam tenaga lawan untuk memukul lawan, ujung kebutnya meminjam tenaga jojohan tongkat tadi serta ditarik dan disendal, seketika si kakek merasakan seluruh lengannya bergetar hebat, hampir saja ia tidak kuasa pegang tongkatnya, dalam keadaan yang gawat itu, lekas ia melompat miring mengikuti tarikan orang, dengan begitu barulah ia berhasil punahkan daya tarikan kebutan lawan, diam2 ia terkejut. "Gembong iblis ini ternyata tidak bernama kosong." Li Bok-chiu tadi sudah menyerukan "lepas tangan," Namun ia tidak berhasil merebut tongkat besi lawan, hal ini betul2 di luar dugaannya, pikirnya. "Siapa kakek pincang yang punya kepandaian selihay ini ?" Sekilas dilihatnya biji mata orang memutih, kiranya seorang buta, barulah ia sadar dan teringat teriaknya. "Kau ini Tin-ok ?" Kakek pincang buta ini memang tertua Kang-lam-chit-koay (tujuh manusia aneh dari Kanglam) Hwi-thian-pian-kok (si kelelawar) Kwa Tin-ok adanya, seperti diketahui sejak Hoa-san-lun-kiam pertandingan ilmu pedang di Hoa-san dulu. Kwe Ceng dan Ui Yong menikah setelah mendapat restu Ui Yok-su, lalu mereka mengasingkan diri di pulau Tho-hoa-to. Sifat Ui Yok-su memang lain dari pada yang lain, suka menyepi tidak suka keramaian, setelah beberapa bulan berkumpul bersama puteri dan menantunya, lama kelamaan ia menjadi bosan dan tidak kerasan tinggal dirumah, secara diam-diam ia meninggalkan Tho-hoa-to, ia hanya meninggalkan sepucuk surat, katanya ia hendak mencari tempat lain yang sepi dan nyaman. Ui Yong kenal watak ayahnya, meski hati merasa berat, namun apa boleh buat dan tidak bisa berbuat apa-apa. Semula ia mengira dalam beberapa bulan Ui Yok-su pasti akan pulang atau paling tidak mengirim kabar, tak tahunya seka!i berpisah tahunan sudah lewat, namun Ui Yong tidak pernah mendapat kabar berita sang ayah, Karena kangen pada ayahnya, Ui Yong ajak suami-nya, Kwe Cerig keluar untuk mencarinya, selama beberapa bulan mereka berkelana di Kangouw, terpaksa mereka pulang ke Tho-hoa-to, sebab waktu itu Ui Yong ternyata sedang hamil. Perangai Ui Yong biasanya jahil dan suka aneh2, hampir tidak suka ketentraman sekejap pun, karena hamil segala sesuatunya dirasakan serba repot dan kurang leluasa, hatinya menjadi kesal dan risau, dalam keadaan itu ia menjadi uring-uringan, ia anggap biang keladi yang membikin susah padanya itu ialah Kwe Ceng, Bagi perempuan yang sedang hamil memang sering bersifat kasar dan suka marah, walau Ui Yong amat mencintai Kwe Ceng, ada kalanya ia sengaja mencari kesalahan orang dan mengajak bertengkar Dasar Kwe Ceng berwatak polos dan lugu, jika sang istri sedang marah tanpa alasan, paling2 ia hanya tertawa-tawa saja tanpa menghiraukan-nya. Tanpa terasa sepuluh bulan telah berselang, akhirnya Ui Yong melahirkan seorang anak perempuan dan diberi nama Kwe Hu.,, Waktu hamil hatinya kurang senang, setelah melahirkan ia amat kasih sayang kepada puterinya, selalu dimanjakan Belum lagi genap satu tahun puterinya ini sudah teramat nakal. Ada kalanya Kwe Ceng merasa anaknya keterlaluan lalu dia memarahinya, namun Ui Yong segera membela dan melindunginya, lama kelamaan sang puteri semakin menjadi nakal Waktu Kwe Hu berusia tiga tahun, Ui Yong mulai mengajarkan ilmu silat padanya, Karena itu, celakalah binatang piaraan di Tho-hoa-to, kalau bukan bulunya digunduli, tentu ekornya dicabuti Tho-hoa-to yang biasanya aman tenteram dan damai itu, lama kelamaan menjadi tempat jagal binatang. Hari berganti bulan dan beberapa tahun telah berselang pula, Suatu hari mereka kedatangan seorang tamu, dia bukan lain adalah guru Kwe Ceng, Kwa Tin-oh adanya. Setelah menetap beberapa tahun dikampung halamannya di Kang-lam, dulu di sana ada Cu Jong, Han Po-ki, Lam Hi-jin, Thio Ah-seng, Coan Kim-hoat dan Han Siau-eng, mereka bertujuh biasa malang melintang ke mana saja, sekarang tinggal Kwa Tin-ok seorang, usia semakin lanjut lagi, lama kelamaan ia merasa kesepian Hari itu ia teringat akan muridnya suami istri, segera ia jual segala harta miliknya buat ongkos menuju ke Tho-hoa-to. Kedatangan sang guru sudah tentu membuat Kwe Ceng dan Ui Yong sangat senang, maka mereka tahan beliau menetap saja di pulau itu, betapapun mereka tidak mengijinkan Tin-ok meninggalkan mereka lagi, Kwa Tin-ok menganggur tak punya pekerjaan, maka ia menjadi teman bermain Kwe Hu yang paling setia, satu tua satu anak, ternyata mereka dapat bergaul rukun dan menjadi sahabat kental. Hari itu Ui Yong merasa kangen kepada sang ayah, maka esoknya ia meninggalkan pulau bersama Kwe Ceng untuk mencari ayahnya, sebelum berangkat ia berpesan kepada Kwa Tin-ok untuk tinggal dirumah saja menemani puterinya, Siapa tahu usia Kwe Hu meski kecil, namun dia sudah mewarisi watak pemberani dan tidak takut tingginya langit dan tebalnya bumi setelah ayah bundanya pergi, segera ia merengek2 kepada Kwa Tin-ok agar mengajaknya keluar untuk mencari kakeknya juga, Ui Yok-su. Keruan Kwa Tin-ok kaget, ia goyang tangan dan berteriak. "Tidak boleh jadi ? Tidak boleh jadi ?" Kalau ada ayah bundanya Kwe Hu sih tidak berani mengumbar adat, setelah ayah, ibunya pergi, tiada yang perlu dia takuti lagi Segera ia lari ke pinggir, laut lalu terjun ke dalam air, teriaknya. "Baiklah Kwa-kongkong, biar aku berenang saja kesana sendiri!". Kwa Tik-ok tidak bisa berenang, mendengar deburan ombak yang besar itu, ia menjadi gugup sendiri, kuatir Kwe Hu ketimpa malang, lekas ia berteriak. "Kembali, lekas kembali, dari sini ke daratan sana ratusan li jauhnya, mana bisa kau berenang ke sana ?" "Aku tidak perduli, kalau kau mati tenggelam, kaulah penyebabnya!" Seru Kwe Hu. Saking gugup Kwa Tin-ok sampai garuk-garuk kepala tak berdaya, terpaksa teriaknya pula. "Lekas kau naik sini, marilah berunding dulu." "Kalau kau berjanji mau bawa aku pergi mencari Gwakong, baru aku mau naik ke atas." Kwa Tin-ok kewalahan, terpaksa ia berkata. "Baiklah, ku lulusi permintaanmu." Kwe Hu menirukan cara2 orang dewasa, serunya. "Seorang Kuncu (laki2 sejati) hanya sepatah kata !" Tanpa terasa Kwa Tin-ok segera menyambung. "Kuda lari sekali pecut !" Sebagai seorang kawakan Kangouw yang pernah malang melintang puluhan tahun, sekali Kwa Tin-ok sudah keluarkan janjinya, selama hiduppun tidak akan menyesal Dulu dia pernah bertaruh dengan Khu Ju-ki, hingga selama delapan belas tahun ia menyekap diri di padang pasir yang berhawa panas dingin itu, tidak lain juga cuma untuk memenuhi janji kedua kalimat yang diucapkannya itu. Begitulah Kwe Hu lantas naik ke daratan, sebaliknya Kwa Tin-ok menghela napas berulang kali, terpaksa mereka berkemas dan menunggang kedua ekor rajawali terbang ke barat menuju ke daratan besar. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo -oooo000oooo4. PEMUDA PENGGEMBALA ULAR. Hari itu mereka tiba di kabupaten Ouwciu, Kwa Tin-ok mengajak Kwe Hu bermalam di rumah seorang petani, maklum sudah tua, gampang capai sehingga tidurnya teramat nyenyak, di luar tahunya pagi-pagi benar Kwe Hu sudah membawa kedua ekor rajawali itu keluyuran di luar. Memang kebetulan juga, secara tidak terduga ia berhasil menolong Bu Siu-bun dari terkaman harimau buas. Begitulah setelah beberapa gebrakan melawan Li Bok-chiu, Kwa Tin-ok tahu bahwa dirinya bu kan tandingan orang, segera ia kembangkan ilmu permainan tongkat, Hok-mo-tiang-hoat, dengan rapat ia mempertahankan diri Diam2 Li Bok-chiu memuji dalam hati. "Tua bangka ini dikenal sebagai pentolan Kang-lam chit-koay, kiranya tidak bernama kosong, matanya buta kakinya pincang, sudah tua dan tenaga lemah lagi, namun masih kuat melawan puluhan jurus seranganku." Didengarnya Liok Lip-ting dan isterinya ber-kaok2 sedang memburu datang bersama Bu Sam-nio, diam2 ia berkeputusan. "Kabarnya tua bangka ini adalah guru Kwe Ceng, Kwe-tayhiap, jangan aku sampai melukainya, kalau sampai Kwe Ceng suami isteri mencari perkara padaku, tentu akan serba menyulitkan, biarlah hari ini aku memberi kelonggaran kepadanya." Segera kebutnya bergerak, ujung kebut mendadak tegak kaku, seperti ujung sebuah tombak terus didorong menusuk ke dada Kwa Tin-ok. Meski kebut itu terdiri dan benda2 lemas, namun dengan Lwekangnya yang hebat, daya tusukan ini sungguh luar biasa. Lekas Kwa Tin-ok ketukan tongkat besinya ke tanah, badannya lantas tertolak mundur ke belakang beberapa langkah, Li Bok-chiu maju se-tapak, agaknya seperti hendak mengejar dan menyerang, siapa tahu se-konyong2 badannya mendorong ke belakang, pinggangnya lemas gemulai se-olah2 tidak bertulang, tahu2 pundaknya hanya terpaut satu dua kaki di depan Bu Sam-nio. Keruan Bu Sam-nio kaget, lekas ia lancarkan ilmu It-yang-ci, ia menutuk ke jidat orang, Sayang ilmunya ini belum mencapai tingkat tinggi, gerak geriknya kurang cekatan dan cepat, begitu pinggang li Bok-chiu meliuk, se-olah2 setangkai bunga teratai yang tertiup angin, tahu2 ia sudah menggeliat ke samping, malah "plak", tahu2 perut Liok-toanio terkena sekali gablokannya. Jik-lian-sin-ciang Li Bok-chiu sudah termasyhur dan menggetarkan setiap jago persilatan, kontan Liok-toanio roboh terguling, Liok Lip-ting tidak lagi menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, golok segera ia timpukan ke arah Li Bok-chiu, berbareng ia pentang kedua tangannya menubruk maju hendak memeluk pinggang orang untuk mengadu jiwa, sebagai perawan suci bersih, karena patah hati perangai Li Bok-chiu berubah sadis dan tidak kenal kasihan lagi, terutama ia amat membenci hubungan asmara muda mudi, kini melihat Liok Lip-ting hendak memeluk badannya, terlihat raut mukanya lapat2 rada mirip ayahnya diwaktu muda dulu, rasa bencinya semakin berkobar, setelah ia pukul jatuh golok orang dengan kebutnya, sekali ayun pula. "sret", telak sekali kebutnya memukul batok kepala Liok Lip-ting. Kasihan Liok Lip-ting yang membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi, selama hidup tidak pernah menanam permusuhan dengan orang lain, tak nyana hari ini dia terjungkal habis-habisan. Beruntun ia melukai Liok Lip-ting suami istri, kejadian berlangsung dalam waktu yang amat pendek Kwa Tin-ok dan Bu- Sam-nio berusaha meno-long, namun terlambat. Li Bok-chin, serunya. "Dimana" Kedua bocah perempuan itu ?" Tanpa menanti jawaban, bayangan berkelebat langsung ia melesat masuk ke dalarn perkampungan dalam sekejap saja ia sudah periksa setiap pelosok rumah, namun tidak kelihatan bayangan Thia Eng dan Liok Bu-siang. Dari tungku di dapur ia mengambil api terus menyulutnya di-gudang kayu bakar, tak lama kemudian dia sudah berlari keluar pula, katanya dengan tersenyum. "Dengan Tho-hoa-to dan It-teng Taysu aku tidak bermusuhan kalian silahkan pergi saja !" Kwa Tin-ok dan Bu Sam-nio terhitung golongan pendekar, mereka menyaksikan orang meng-ganas panta dapat berbuat banyak, keruan gusar mereka bukan kepalang, sebatang tongkat dan sebilah pedang serempak menubruk maju pula, Li Bok-chiu bergerak lincah seperti kupu2 menari, ia miringkan badan menghindari sambaran tongkat besi, sementara kebutnya terayun membelit pedang Bu Sam-nio, tenaga dalam tersalur melalui ujung kebutnya, sekali tarik dan dorong pula, terdengar "pletak !", pedang itu putus menjadi dua potong, ujung pedang melesat ke arah Bu Sam-nio, sementara gagang pedang menyamber ke muka Kwa Tin-ok. Bahwa pedangnya terkebut lawan Bu Sam-nio sudah amat kaget, di luar dugaan orang dapat mematahkan pedangnya dengan kebut yang lemas saja untuk menyerang dirinya pula, kutungan pedang itu melesat cepat, lekas ia menunduk kepala untuk berkelit, terasa kepala menjadi dingin dan silir, ujung pedang menyamber lewat memotong sebagian gelungan rambutnya. Dilain pihak, mendengar samberan angin ke-keras, ujung tongkat Kwa Tin-ok sapukan ke depan untuk menyampuk gagang pedang itu ke samping, didengarnya Bu Sam-nio menjerit kaget. dan ketakutan, lekas ia putar tongkatnya hingga menderu kencang dan merangsak maju, sebetulnya tangan kirinya sudah menggenggam senjata rahasia, tapi ia tahu Ping-pok-ciau milik Jik-lian-sian-cu amat ganas dan keji, mata sendiri tidak bisa melihat, jangan2 malah memancing orang mengeluarkan jarumnya yang berbisa itu, sudah tentu dirinya tidak akan mampu melawan, oleh karena itu meski situasi sangat gawat, ia tidak berani sembarangan menimpukkan senjata rahasianya. Sejak mula Li Bok-chiu selalu memberi kelonggaran kepadanya, pikirnya. "Kalau tidak ku unjuk kelihaianku yang sejati, tua bangka ini tentu tidak tahu aku sengaja mengalah kepadanya." Ujung kebutnya segera membelit ujung tongkat orang, Kontan (Kwa Tin-ok merasa segulung tenaga hebat membetot tongkatnya, lekas ia, kerahkan tenaga untuk menarik balik, siapa tahu baru saja tenaganya tersalur ke ujung tongkat, mendadak" Kekuatan betotan kebut musuh sirna tanpa bekas, seketika ia merasakan kaki tangan menjadi lemas se-olah2 kosong melompong tak kuasa mengerahkan tenaga lagi. Sedikit menggerakkan tangan kirinya Li Bok-chiu sendal tongkat orang ke samping, telapak tangannya hanya satu dua dim saja di depan dada Kwa Tin-ok, katanya tertawa. "Kwa-loyacu, Jik-lian-sin-ciang sudah mengusap di depan dadamu lho!" Dada Kwa Tin-ok terbuka lebar dan tidak mampu menangkis atau membela diri, tapi ia lantas memaki dengan gusar. "Perempuan keparat, tepukkan saja ke dadaku, kenapa cerewet ?" Melihat gelagat yang jelek ini Bu Sam-nio kaget dan memburu hendak menolong. Tangkas sekali Li Bok-chiu sudah melejit ke udara, disaat badannya masih terapung di udara, telapak tangannya sempat mengusap sekali dimuka Bu Sam-.nio. Katanya tertawa. "Kau berani mengggebah muridku, nyalimu cukup besar juga!" - Habis berkata ia tertawa cekikikan, sekali lompat badannya melayang jauh dan sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi, Terasa oleh Bu Sam-nio jari orang yang meraba mukanya itu sedemikian halus dan licin, kulit mukanya terasa dingin nyaman, dilihatnya bayangan orang berkelebat ke dalam hutan dan menghilang, Hanya beberapa jurus saja ia melabraknya, namun gebrakan yang berlangsung tadi boleh dikata berbahaya sekali, ia kerahkan seluruh kekuatannya, akhirnya toh roboh dan tak mampu bergerak Kwa Tin-ok tadipun merasakan dadanya seperti ditindih batu besar ribuan kati, napas sesak terasa mual, segera ia menarik napas dalam2 beberapa kali, barulah pernapasannya dapat lancar kembali. Dengan susah payah Bu Sam-nio merangkak bangun, didengarnya suara gemuruh dan angin menderu, hawa terasa sangat panas, ternyata Liok-keh-ceng sudah tertelan jago merah yang membara, Dengan Kwa Tin-ok mereka mengangkat tubuh Liok Lip-ting suami isteri, tampak kedua orang sudah kempas kempis, terang tinggal menunggu ajal saja, pikirnya. Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Karya Hong San Khek