Kembalinya Pendekar Rajawali 35
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 35
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung Sambung Sah Koh sambil menyingsing lengan baju dan menggosok kepalan. Li Bok-chiu membuka mata dan memandang sekejap kepada kelima orang itu, lalu memejamkan matanya lagi, sedikitpun ia tidak mengacuhkan lawan tangguh yang berada di depan mata ini. Thia Eng memandang sang guru untuk menantikan perintahnya. Tapi Ut Yok-su berkata sambiT menghela napas. "Sudahlah, memang Ui-losia" Mempunyai anak murid banyak, andaikata salah seorang muridku diantara Tan, Bwe, Ki dan Tiok berada di sini, mana kau mampu lolos dari tangannya, Ialu ia memberi tanda dan berkata pula . "Hayolah, pergi!" Tentu saja Thia Eng berempat tidak paham maksudnya dan terpaksa ikut kembali ke gubuknya. Tertampak Ui Yok-su muram durja, makan malam pun tidak dihabiskan lantas pergi tidur. Meski Thia Eng adalah murid Ui Yok-su, tapi dia sama sekali tidak mengetahui kejadian di masa lampau tentang Ui Yok-su pernah menganiaya dan mengusir anak muridnya dari Tho-hoa-to, ia mengira sang guru mendongkol karena diolok-olok oleh tulisan Li Bok-chiu itu, ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ui Yok-su bersedih dan menyesalkan tindakan sendiri di masa lampau, kini anak muridnya itu sudah meninggal dan cacat, kalau tidak dirinya pasti takkan diolok-olok oleh manusia macam Li.Bok-chiu. Nyo Ko yang tidur menyebelah dengan Ui Yok-su juga sedang mengingat kembali apa yang dikatakan Sah Koh siang tadi, iapun memikirkan olok-olok Li Bok-chiu itu, ia pikir kini lukaku sudah sembuh, rasanya aku cukup kuat untuk melawannya, lebik baik diam-diam aku menempur sendiri, selain dapat menuntut balas penghinaannya terhadap Kokoh, sekaligus dapat menghilangkan rasa dongkol Ui-tocu. Setelah ambil keputusan itu, segera ia bangun dengan pelahan, ia menyadari Li Bok-chiu adalah lawan tangguh, sedikit lengah tentu jiwa sendiri bisa melayang. Karena itu diperlukan persiapan yang baik, Segera ia duduk bersemadi di atas pembaringan sendiri untuk mengumpulkan tenaga dan nanti akan menempur Li Bok-chiu dengan mati-matian. Bersemadi sekian lamanya, mendadak pandangannya terbeliak, di depan seperti cahaya yang terang benderang, segenap anggota badannya serasa penuh tenaga, tanpa terasa dari mulut mengeluarkan suara raungan yang keras dan berkumandang jauh, Kiranya Lwekang seorang kalau sudah mencapai tingkatan sempurna, tanpa terasa akan dapat mengeluarkan suara aneh. Ui Yok-su sudah mengetahui gerak-gerak Nyo Ko ketika pemuda itu bangun, sungguh tak terduga olehnya bahwa Lwekang pemuda itu ternyata sudah mencapai setinggi ini, tentu saja ia terkejut dan bergirang pula.. Suara Nyo Ko yang kuat itu terus bertahan hingga lama dan pelahan mulai berhenti Ui Yok-su sangat heran akan tingkatan yang dicapai Nyo Ko itu, padahal ia sendiri baru mencapai tingkat setinggi itu setelah menginjak pertengahan umur, kini usia Nyo Ko masih muda belia, tapi sudah sehebat ini, sungguh suatu bakat yang sukar ada bandingannya, entah pengalaman dan penemuan mukjijat apa yang pernah dialami pemuda itu. Sesudah Nyo Ko selesai berlatih, kemudian Ui Yok-su bertanya padanya . "Nyo Ko, coba katakan, apakah ilmu kepandaian Li Bok-chiu yang paling lihay?" Nyo Ko tidak merasakan suara raungan sendiri, cuma dari pertanyaan Ui Yok-su itu, ia tahu maksud hatinya sendiri tentu sudah diketahui orang tua itu, maka iapun menjawab. "Jelas adalah Ngo-tok-sin-ciang dan permainan kebutnya" "Benar," Kata di Yok-su. "Dengan dasar Lwekangmu sekarang, rasanya tidaklah sulit jika ingin mematahkan ilmu kepandaiannya itu." Girang sekali Nyo Ko, cepat ia menyembah, sebenarnya watak Nyo Ko sangat angkuh, meski ia mengakui Ui Yok-su sebagai kaum cianpwe dan tahu kepandaian orang yang serba mahir itu, tapi lahirnya dia tak mau tunduk padanya, Kini didengarnya kepandaian Li Bok-chiu yang maha lihay itu akan dapat dipatahkan dengan mudah, kesan ia menjadi kagum dan tunduk. Ui Yok-su lantas mengajarkan ilmu "jari sakti" Padanya, ilmu ini dapat mengatasi Ngo-tok-sin-kang, lalu diajarkan pula ilmu pedang yang diubah dari permainan seruling untuk menghadapi permainan kebut musuh. Setelah mendapatkan petunjuk dan kunci ilmu kepandaian itu, kemudian Nyo Ko menimang, untuk bisa menggunakan kepandaian itu dengan baik, maka diperlukan latihan satu tahun dan jika pasti menang atas Li Bok-chiu, rasanya perlu dilatih tiga tahun. Karena itu ia coba bertanya. "Ui-tocu, bila ingin segera mengalahkan dia, agaknya tiada harapam lagi".. "Waktu tiga tahun dalam sekejap saja berlalu", ujar Ui Yok-su sambil menghela napas, kini usiamu baru 22 tahun dan sudah berhasil mencapai setingkatan ini, memangnya kau merasa belum cukup?" Dengan kikuk Nyo Ko menjawab. "Maksudku bukan... bukan untuk diriku." Ui Yok-su menepuk bahunya dan berkata "Asal kau dapat membunuhnya tiga tahun yang akan datang, untuk itu aku sudah puas dan berterima kasih padamu. Dahulu aku telah menghancurkan anak muridku sendiri, jika sekarang aku mendapatkan sedikit ganjaran atas perbuatan sendiri juga pantas." Tanpa pikir Nyo Ko lantas berlutut dan menyembah kepada Ui Yok-su sambil memanggil "Suhu!" Kiranya keduanya sama-sama orang yang maha cerdik dan saling memahami pikiran masing2. Nyo Ko tahu tujuan Ui Yok-su mengajarkan ilmu padanya adalah ingin dia membalaskan penghinaan Li Bok-chiu, yang telah mengolok-oloknya dengan tulisan itu, untuk mana antara Nyo Ko dan Ui Yok-su harus ada ikatan guru dan murid secara resmi. Sebaliknya Ui Yok-su tahu keakraban hubungan Nyo Ko dengan Ko-bong-pay, betapapun pemuda ini pasti tidak mau berguru lagi pada pihak lain. Karena itu Ui Yok-su lantas Nyo Ko dan berkata padanya. "Selanjutnya begini saja, apa bila kau bertempur dengan akan ilmu ajaranku, pada saat itulah kau muridku, di luar itu kau tetap adalah kau. Nah, adik Nyo Ko, mengerti tidak ?" "Baiklah, kakak Yok-su, sungguh beruntung mendapatkan sahabat baik seperti engkau," Jawab Nyo Ko dengan tertawa. "Akupun merasa berbahagia dapat bertemu dengan kau!" Ujar Ui Yoksu. Lalu kedua orang saling berjabat tangan dan bergelak tertawa gembira. Ui Yok-su lantas menuturkan lebih jauh. semua kunci rahasia kedua ilmu kepandaian yang di-ajarkannya tadi. Melihat cara mengajar Ui Yok-su yang begitu jelas dan lengkap Nyo Ko tahu orang tua itu tentu akan segera pergi meninggalkan dia. Dengan murung ia lantas berkata. "Kakak Yok-su, kapan kita baru dapat berjumpa pula?" "Jauh di mata dekat di hati, asal hati kita tetap bersatu, biarpun berpisah jauh kita tetap seperti berhadapan selalu." Ujar Ui Yok-su dengan tertawa. "Kelak bila kutahu ada orang hendak merintangi perkawinanmu, biarpun jauh berada di ujung langit sana juga aku pasti memburu ke sini untuk membantu kau." .. Nyo Ko sangat terhibur oleh dukungan moril Ui Yok-su itu, dengan tertawa ia berkata. "Tapi orang pertama yang akan merincangi maksudku itu mungkin ialah puteri kesayanganmu sendiri." "Dia sendiri dahulu juga kepala batu ketika mendapatkan kekasih pilihan sendiri, masakah sekarang dia tidak memikirkan penderitaan rindu dendam orang lain?" Ujar Ui Yok su. setelah memikir sejenak, dalam kegelapan ia lantas mengambil bungkusan alat tulis dan menuliskan sepucuk surat, lalu diserahkan kepada Nyo Ko dan berkata. "Jika puteriku itu merintangi lagi kehendakmu, maka boleh kau perlihatkan suratku ini.".- Habis berpesan ia lantas melangkah pergi dengan bergelak tertawa, hanya sekejap saja suara tertawanya sudah berada jauh, sejenak pula orang dan suara tertawanya telah ditelan kegelapan malam. Untuk sesaat Nyo Ko duduk termenung, mengingat kembali keadaan yang baru dipelajarinya tadi. Tidak lama fajarpun menyingsing, tertampak di atas meja tertaruh keranjang jahitan Thia Eng. ia coba mengambil gunting di dalam keranjang rotan itu dan dibuat memain sejenak, kemudian tiba2 pintu terdorong dan masuklah Thia Eng dengan bersenyum dan membawa sepotong baju warna hijau. "Silakan coba baju ini, apakah cocok tidak?" Kata Thia Eng dengan tersenyum. Alangkah rasa terima kasih Nyo Ko, waktu menerima baju baru- itu, tanganpun sedikit gemetar. Ketika dia beradu pandang sekejap dengan si nona, tertampak sorot matanya yang lembut penuh arti, ia coba memakai baju baru itu dan terasa pas. "Sungguh aku sangat ber... berterima kasih padamu," Kata Nyo Ko. Kembali Thia Eng tersenyum, tapi di antara sorot matanya lantas mengunjuk rasa sedih, katanya. "Dengan kepergian Suhu ini, entah kapan baru dapat bertemu lagi." Mestinya ia ingin berbicara lagi dengan Nyo Ko, tapi tampak dilihatnya bayangan orang berkelebat di luar, ia tahu itulah Liok Bu-siang yang berseliweran diluar, ia tahu sang Piau-moay juga hati terhadap Nyo Ko, maka ia lantas meninggalkan kamar pemuda itu. Kemudian Nyo Ko meneliti baju tersebut, tampak jahitannya sangat rapi, dalam ia bergetar, pikirnya. Nona ini jatuh hati padaku, bini cilik juga, namun hatiku sudah terisi dan tidak mungkin lagi, jika aku tidak lekas pergi dari sini tentu akan banyak menimbulkan kesukaran," Sehari suntuk ia memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya, ia kuatir pula bila dirinya pergi dan mendadak Li Bok-chiu melancarkan serangan, maka ia coba mengintai ke balik gunung sana, dilihatnya gubuk bekas tempat tinggal Li Bok-chiu itu hanya setumpuk puing belaka, gubuk itu sudah terbakar, rupanya Li Bok-chiu telah pergi setelah membakar gubuknya sendiri. Maka tekad Nyo Ko menjadi bulat untuk pergi, malamnya ia menulis surat untuk ditinggalkan kepada kedua nona itu, Bila teringat kepada kebaikan hati kedua nona itu, tanpa terasa hati Nyo Ko menjadi muram. Malam itu ia bergulang-guling tak dapat pulas. Saat pagi, selagi layap2, tiba-tiba terdengar suara Liok Bu-siang memanggilnya, suara si nona kedengaran gugup, Cepat Nyo Ko melompat bangun dan keluar. Terasa angin pagi meniup silir, hari belum lagi terang benderang, tapi tampak jelas Liok Bu-siang merasa takut dan menuding pada daun pintu sebelah-sana. Waktu Nyo Ko memandangnya, ia menjadi kaget, Kiranya di daun pintu itu jelas tertera empat buah cap tangan merah. Terang itulah tanda pengenal Li Bok-chiu. Agaknya semalam iblis itu telah datang dan mengetahui Ui Yok-su sudah pergi, maka dia sengaja meninggalkan daftar calon yang akan dibunuhnya yaitu Nyo Ko, Thia, Eng, Liok Bu-siang dan ditambahkan pula si Sah Koh. Tidak lama Thian Eng juga muncul, iapun merasa sedih melihat cap tangan itu. Mereka bertiga lantas masuk ke dalam rumah untuk berunding... "Tempo hari iblis itu telah dihajar oleh "garpu api Sah Koh dan melarikan diri mengapa sekarang dia tidak takut lagi?" Ujar Liok Bu-siang. "Permainan garpu Sah Koh hanya begitu-begitu saja, setelah direnungkan tentu iblis itu sudah mendapatkan cara mematahkan serangan garpu Sah Koh" Kata Thia Eng. "Tapi luka si Tolol kini sudah sembuh, jika kedua orang tolol bergabung kan jadi maha kuat?" Kata Bu-siang pula. Nyo Ko tertawa, katanya. "Tolol laki ditambah tolol perempuan tentu keadaan menjadi tambah runyam, mana bisa menjadi kuat segala?" Begitulah mereka menjadi tak berdaya, tapi mengingat betapapun gabungan kekuatan mereka berempat sedikitnya cukup untuk menjaga diri walaupun tak dapat mengalahkan musuh, maka mereka bertekad besok akan menempur iblis itu dengan mati-2an. "Besok barlah kami berdua orang tolol menghadapi dia dan kalian berdua saudara mengerubutnya dari kanan dan kiri," Ujar Nyo Ko. "Marilah kita mencari Sah Koh untuk berlatih lebih dulu" Mereka menyadari keganasan Li Bok-chiu yang tak kenal ampun itu, sedikit lengah saja jiwa mereka akan melayang, maka mereka tak berani gegabah. Segera mereka mencari Sah Koh, tapi ternyata tak diketemukan. Mereka menjadi kuatir dan cepat mencari sekeliling situ. Akhirnya di balik gundukan batu sana Thia Eng menemukan Sah Koh menggeletak dalam keadaan kempas-kempis. Waktu diperiksa, pada punggung Sah Koh ada bekas telapak tangan yang merah, jelas itulah pukulan berbisa Li Bok-chiu, Ngo-tok-sin-ciang, Cepat ia memanggil Nyo Ko dan Liok Bu-siang, segera pula ia memberi minum obat mujarab perguruannya, yaitu Giok-loh-wan. Nyo Ko masih ingat dalam kitab pusaka milik Li Bok-chiu yang dicuri Liok Bu-siang itu tertera cara menyembuhkan akibat pukulan berbisa itu, maka cepat ia mengerahkan lwekang untuk melancarkan Hiat-to si Sah Koh. Sejenak tampak Sah Koh tersenyum ketolol-tololan dan berkata. "Tokoh busuk itu menyerang dari... dari belakang, tapi kupersen ia dengan... dengan sekali gamparan." Kiranya gamparan dengan tangan membalik ke belakang yang dimaksud Sah Koh adalah salah itu ilmu ajaran Ui Yok-su. Meski Li Bok-chiu berhasil menyergap Sah Koh, tapi pergelangan tangan pun juga kena digampar oleh Sah Koh, saking kesakitan ia tidak berani menyerang lebih, lanjut sehingga jiwa Sah Koh dapat diselamatkan. Begitulah mereka lantas menggotong Sah Koh kembali ke gubuk itu, mereka berduduk terpekur sedih, antara mereka berempat kini salah seorang cidera, besok tentu lebih sukar menghadapi musuh ganas itu. Sambil memandang Thia Eng dan lain saat memandang Bu-siang, secara iseng Nyo Ko mengambil gunting yang berada di keranjang jahitan Thia Eng itu dan mengguntingi seutas benang hingga menjadi potongan kecil-kecil. Sekonyong-konyong Sah Koh yang rebah di pembaringan itu berseru. "Gunting saja, itu kebut si Tokoh busuk, gunting putus dia!" Mendadak hati Nyo Ko tergerak, ia pikir kebutan iblis itu adalah benda lemas, senjata tajam apapun sukar menabasnya, jika ada sebuah gunting raksasa dan sekaligus ujung kebut musuh itu digunting putus, maka segalanya menjadi beres, iblis itu tentu akan berkurang keganasannya. Tanpa terasa gunting yang dipegangnya itu lantas bergaya ke sana dan ke sini seperti sedang mematahkan serangan musuh Melihat itu, pahamlah Thia Eng dan Bu-siang apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Thia Eng berkata. "Beberapa li di sebelah barat sana ada seorang pandai besi..." "Benar marilah kita pergi ke sana dan minta dia membuatkan sebuah gunting besar" Sahut Bu-siang cepat. Nyo Ko pikir dalam waktu singkat tentu sukar juga membuat senjata demikian itu, tapi tiada jeleknya untuk dicoba, sebenarnya ia ingin pergi sendiri ke tempat pandai besi itu, tapi kuatir kalau mendadak Li Bok-chiu melakukan serangan, Kalau Sah Koh ditinggalkan sendirian tentu lebih berbahaya pula. Kini mereka berempat tak dapat berpisah sejenakpun. Terpaksa Thia Eng dan Bu siang memasang kasur di atas kuda untuk tempat merebahkan si Sah Koh, lalu mereka berangkat ke tempat pandai besi. Bengkel itu ternyata sangat jorok dan sederhana keadaannya, begitu memasuki pintu bengkel, segera tertampak sebuah tatakan besi, yaitu tempat untuk menggembleng, lantai penuh karatan besi dan debu arang, dinding sebelah sana tergantung beberapa buah arit dan cangkul buatan pandai besi itu, suasana sunyi senyap tiada seorangpun. Melihat keadaan bengkel itu, Nyo Ko pikir pandai besi begini masakah mampu membuatkan senjata apa segala? Tapi sudah terlanjur datang, tiada jeleknya ditanyai dulu. Maka ia lantas berseru. "Hai, adakah yang punya rumah ?" Sejenak kemudian keluarlah seorang kakek yang sudah ubanan meski usianya tampaknya baru 50-an, mungkin penderitaan kehidupan dan sepanjang tahun hanya menggembleng besi melulu, maka punggungnya membungkuk kedua matanya juga menyipit dan merah, malahan banyak kotoran pada kelopak matanya, sebelah kakinya juga pincang. Sambil berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, orang tua itu menegur. "Tuan tamu ada keperluan apa?" Baru saja Nyo Ko hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda, dua penunggang kuda telah berhenti di depan bengkel, kedua penunggangnya adalah tentara-tentara Mongol seorang yang mukanya penuh berewok, lantas bertanya. "Mana si pandai besi she Pang?" Orang tua bungkuk tadi mendekati dan memberi hormat, jawabnya. "Hamba adanya !" "Perintah atasan, agar segenap pandai besi diwilayah ini dalam tiga hari harus berkumpul ke dalam kota untuk wajib dinas bagi pasukan kerajaan," Seru opsir itu pula. "Nah, besok juga kau harus lapor ke kota, jelas tidak?" Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tapi hamba sudah tua..." Belum selesai pandai besi she Pang itu berkata, cepat opsir Mongol itu telah menyabetnya dengan cambuk sambil membentak. "Besok tidak datang, awas dengan kepalamu !" Habis berkata kedua opsir itu lantas membedalkan kuda mereka. Pandai besi tua itu menghela napas dan berdiri terkesima. Thia Eng merasa kasihan padanya, ia mengeluarkan 20 tahil perak dan ditaruh di atas meja, lalu katanya . "Pak pandai besi, engkau sudah tua, jalanpun tidak leluasa, jika diwajibkan bekerja bagi pasukan Mongol tentu jiwamu akan melayang percuma. Kukira lebih baik engkau lari saja mencari selamat dengan sedikit sangu yang kuberi ini" "Terima kasih atas kebaikan hati nona," Jawab pandai besi itu sambil menghela napas. "Sebenarnya hidup atau mati bagi orang tua macam diriku ini tidak ada artinya, sayangnya dalam waktu singkat berpuluh ribu jiwa bangsa kita mungkin akan tertimpa malapetaka." Myo Ko bertiga terkejut dan cepat bertanya. "Malapetaka? Ada urusan apa?" "Panglima Mongol sedang mengumpulkan segenap pandai besi, jelas tujuannya senjata Mongol biasanya sangat lengkap dan cukup, kalau sekarang mereka membuat senjata baru secara besar-besaran, terang ada rencana hendak menyerbu ke selatan," Tutur kata pandai besi tua itu ternyata masuk di akal dan bukan ucapan seorang pandai besi kampungan biasa, Selagi mereka hendak tanya lagi, pandai besi itu telah tanya mereka ada keperluan apa? "Sebenarnya tidak enak bagi kami untuk mengganggu orang yang sedang ada urusan, tapi lantaran terdesak keperluan penting, terpaksa kami minta pertolonggan bapak," Jawab Nyo Ko. Lalu iapun menjelaskan maksud kedatangannya dan memberikan gambar contoh gunting yang diperlukan. Kalau orang memberi pekerjaan misalnya minta dibuatkan cangkul atau arit atau golok tentulah tidak mengherankan tapi kini barang pesanan Nyo Ko adalah sebuah gunting raksasa, hal ini sebenarnya luar biasa, tapi pandai besi itu ternyata tidak mengunjuk rasa heran, setelah mendapatkan keterangan pola gunting yang diperlukan ia hanya manggut-manggut, Ialu menyalakan api tungku dan membakar dua potong besi besar untuk digembleng. "Entar, malam ini dapat jadi tidak?" Tanya Nyo Ko. "Akan kuusahakan secepatnya," Jawab si pandai besi she Pang itu. Habis itu ia percepat bara dalam tungku, hanya sekejap saja kedua potong besi tadi sudah merah dan mulai lunak. Nyo Ko bertiga berasal dari daerah Kanglam, meski sejak kecil sudah meninggalkan kampung halaman, tapi demi mendengar kampung halaman bakal tertimpa bencana, betapapun mereka merasa masgul sedih. Sah Koh mendekap di atas meja, setengah berduduk dan setengah bersandar, memang keadaannya sangat lelah, maka apapun yang terjadi di sekitarnya tak sempat diperhatikannya. Selang tak lama, kedua potong besi yang dibakar itu sudah lunak, segera pandai besi Pang mengangkat potongan besi itu dan mulai digembleng dengan sebuah palu besar, Meski usianya sudah lanjut, tapi tenaga lengannya ternyata sangat kuat, palu besar itu dapat diayunnya dengan leluasa tanpa susah payah, kedua potongan besi itu digembleng lagi, kemudian memanjang dan melengkung dalam bentuk gunting. "Tolol, tampaknya guntingmu itu dapat jadi petang nanti," Kata Bn-siang dengan girang. Pada saat itulah mendadak di belakang mereka ada suara orang berkata. "Hm, untuk apa membikin gunting sebesar itu? Hendak digunakan memotong kebutku bukan?" Nyo Ko bertiga terkejut, cepat mereka berpaling dan ternyata Li Bok-chiu sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan memegang kebutnya yang lihay itu. Sungguh celaka, senjata yang diandalkan belum jadi dibuat, tapi musuh tangguh sudah tiba lebih duIu. Cepat Thia Eng dan Liok Bu-sang melolos pedang, Nyo Ko juga mengincar sebatang besi di sebelahnya, asal musuh menyerang segera besi itu akan disambernya untuk digunakan sebagai senjata. "Hm, memotong ksbutku dengan gunting, pintar juga jalan pikiranmu," Demikian jengek Li Bok-chiu pula. "Tapi boleh dicoba juga, akan kutunggu di sini sampai guntingmu itu jadi, habis itu barulah kita bertempur." Habis berkata ia seret sebuah bangku ke dekat pintu dan berduduk di situ dengan tenangnya, lawan-Iawan yang dihadapinya itu dianggapnya seperti barang sepele saja. "Bagus sekali jika begitu, tampaknya nasib kebutmu itu harus dipotong putus oleh guntingku nanti," Kata Nyo Ko. Melihat si Sah Koh mendekap di atas meja, diam-diam Li Bok-chiu merasa heran akan kekuatan orang, padahal orang yang terkena pukulannya yang berbisa itu biasanya takkan tahan hidup beberapa jam saja, Kemudian ia bertanya pula. "Mana Ui Yok-su?" Mendengar disebutnya nama "Ui Yok-su", si pandai besi tua itu rada bergetar dan menoleh sekejap kepada Li Bok-chiu, lalu menunduk lagi meneruskan pekerjaanmu. "Hm, jelas kau mengetahui guruku tidak berada di sini, tapi sengaja tanya," Ejek Thia Eng "Jika beliau masih tinggal di sini, hm, biarpun nyalimu sebesar gajah juga takkan berani datang." Li Bok-chiu balas mendengus sekali, ia mengeluarkan sehelai kertas dan berkata pula. "Ui Yok-su hanya bernama kosong saja, paling-paling main kerubut karena bermurid banyak. Tapi, hm, antara murid-muridnya itu masakah ada seorangpun yang betul-betuI berguna?" Habis berkata, sekali tangannya bergerak, kertas itu mendadak melayang ke depan dan "crit", kertas itu terpaku pada tiang kayu oleh sebuah jarum perak yang disambitkannya. Lalu Li Bok-chiu menyambung. "Nah, biarkan tulisan ini sebagai bukti. Kelak kalau Ui-losia kembali ke sini supaya dia mengetahui siapakah yang membunuh muridmu ini " Mendadak ia berpaling dan membentak si pandai besi. "Hayo, lekas! Tempoku tidak banyak menunggu kau." Sambil memicingkan matanya si pandai besi she Phang itu memandangi kertas yang bertuliskan kaia-kata yang mengolok-olok Ui Yok-su itu, habis itu dia menengadah dan memandangi atap rumah dengan termangu-mangu. "Hayo, kenapa kau berhenti?" Bentak Li Bok-chiu. "Ya, ya, baik !" Pandai besi itu seperti tersadar dari lamunannva, ia mulai bekerja lagi Tapi sebelah tangannya mendadak gunakan tanggam besi nya yang panjang itu untuk menjepit jarum perak berikut kertas surat tadi terus dimasukkan ke dalam tungku, tentu saja hanya sekejap kertas itu, sudah terbakar menjadi abu. Li Bok-chiu menjadi gusar, segera kebutnya diayun hendak dihantamkan kepada pandai besi itu, Tapi dia sudah berpengalaman luas, mendadak terpikir olehnya bahwa seorang pandai besi tua renta dan kampungan ini masakan begini berani, bukan mustahil dia seorang luar biasa. Tadinya ia sudah berbangkit, maka pelahan ia duduk kembali, lalu menegur. "Siapakah kau ini?" "Tidakkah kau lihat sendiri, aku cuma seorang pandai besi," Jawab orang she Pang itu. "Mengapa kau membakar kertasku itu?" Tanya Li Bok-chiu pula. "Yang tertulis di situ tidak betul maka janganlah ditempel di tempatku ini," Jawab si orang tua. "Apa katamu?" Bentak Li Bok-chiu. "Tho-hoa-tocu mempunyai kepandaian maha sakti, setiap anak muridnya asalkan memperoleh sejenis kepandaiannya saja sudah cukup untuk malang melintang di dunia ini," Kata pandai besi itu. "Muridnya yang tertua bernama Tan Hian-hong, sekujur badannya keras laksana otot kawat tulang besi tak mempan senjata, apakah kau pernah mendengar namanya?" Sambil bicara palunya masih terus memukuli lempengan besi yang digemblengnya itu. Mendengar disebutnya nama Tan Hian-hong, tidak saja Li Bok-chiu terkejut dan heran, bahkan Nyo Ko dan lain-Iain juga merasa aneh, sama sekali mereka tidak menduga secrang pandai besi tua kampungan ternyata kenal juga tokoh-tokoh Kang-ouw termashur. Terdengar Li Bok-chiu menanggapinya . "Em, konon Tan Hian-hong mati ditusuk oleh seorang anak kecil, di mana letak kelihayannya?" "O," Terdengar pandai besi itu bersuara ragu, Lalu disambungnya. "Dan murid kedua Tho-hoa-tocu bernama Bwe Ciau-hong, terkenal dengan Ginkangnya yang maha hebat dan kecepatan menyerangnya." "Ya, begitu cepat gerakan orang she Bwe itu sehingga lebih dulu matanya kena dibutakan oleh Kanglam-jit-koay (tujuh tokoh aneh dari Kanglam), Kemudian mampus di tangan Se-tok (si racun dari barat) Auyang Hong." "Begitukah?" Tukas si pandai besi, ia termenung haru sejenak, lalu berkata pula. "Tapi sama sekali aku tidak mengetahui kejadian itu. Dan murid ketiga Tho-hoa-tocu yang bernama Ki Leng-hong terlebih lihay lagi, terutama Pi-kong-ciang (pukulan dari jauh) terkenal amat ganas." "Memang ada cerita di dunia Kangouw, katanya ada seorang pencuri berani masuk ke keraton raja yang bertahta sekarang dan telah dibinasakan oleh pengawal keraton, tentulah orang itu ialah Ki Leng-hong yang maha lihay dengan Pi-kong-ciang-nya? Hehe" Tiba-tiba si pandai besi tua itu menunduk "ces-ces", dua tetes butiran air jatuh di atas lempengan besi yang membara itu dan terbakar menjadi uap. Liok Bu-siang berduduk paling dekat dengan orang tua itu dan dapat melihat jelas kedua tetes air itu adalah air mata yang mengucur dari mata orang tua itu, Diam-diam ia merasa heran, Tertampak orang tua itu mengangkat palunya terlebih tinggi dan memukul dengan lebih keras. Sejenak kemudian pandai besi she Pang itu membuka suara lagi. "Tho-hoa-to terkenal dengan empat murid utamanya, masing-masing she Tan, Bwe, Ki dan Liok, Murid keempat, Liok Seng-hong, selain terkenal lihay ilmu silatnya juga termashur karena kemahirannya dalam ilmu-ilmu mujizat, jika kau bertemu dengan dia tentu kau bisa celaka." "Hm, ilmu mujizat apa gunanya?" Jengek Li Bok-chiu. "Liok Seng-hong membangun sebuah perkampungan Kui-in-ceng di tepi danau Thay-ouw, tapi hanya dengan sebuah obor saja orang telah membumi hanguskan perkampungannya itu pula dia lantas kehilangan jejak, bisa jadi iapun sudah terbakar menjadi abu oleh api itu." Mendadak si pandai besi she Pang menatap Li Bok-chiu dan berseru dengan bengis. "Kau Tokoh ini berani mengaco-belo, setiap anak murid Tho-hoa-tocu cukup lihay, manabisa semuanya terbinasa. Hm, kau kira aku orang udik dan tidak tahu apa-apa?" "Jika tidak percaya boleh kau tanya ketiga bocah ini," Jengek Li Bok-chiu. Si pandai besi paling suka kepada Thia Eng, maka ia berpaling kepada nona itu, sorot matanya memancarkan sinar yang penuh mengandung tanda tanya. Dengan muram Thia Eng lantas berkata. "Sungguh malang perguruanku yang telah kekurangan tenaga andalannya kini, Wanpwe juga merasa malu karena belum lama masuk perguruan sehingga belum mampu membela nama kehormatan Suhu. Apakah engkau ada hubungannya dengan Suhuku?" Pandai besi tua itu tidak menjawab, ia hanya mengamat-amati Thia Eng dengan sikap yang sangsi, kemudian ia bertanya. "Apakah paling akhir ini Tho-hoa-tocu mengambil murid Iagi?" Melihat sebelah kaki si pandai besi cacat, tiba-tiba hati Thia Eng tergerak, jawabnya. "Suhu merasa kesepian dan perlu orang meIayaninya. sebenarnya anak muda macam diriku ini mana berani mengaku sebagai anak murid Tho-hoa-tocu, malahan sampai detik ini Wanpwe belum pernah menginjakkan kaki di Tho-hoa-to." Dengan ucapan Thia Eng itu sama saja ia telah mengaku dirinya memang betul adalah anak murid Tho-hoa-to. Tertampak pandai besi tua itu manggut2, sorot matanya mengunjuk rasa simpatik terhadap si nona seperti sanak keluarga sendiri lalu menunduk dan menggembleng besi lagi beberapa kali, tampaknya sambil merenungkan sesuatu. Melihat gerakan palu si pandai besi sangat mirip dengan gaya ilmu pukulan Lok-hoa-ciang-hoat dari Tho-hoa-to, mau-tak-mau Thia Eng menjadi lebih paham persoalannya, ia berkata. "Di waktu iseng Suhu suka bicara padaku mengenai kejadian beliau mengusir anak muridnya dahulu, bahwa Tan dan Bwe berdua Suheng itu adalah akibat perbuatannya sendiri yang jahat tidak perlu disayangkan, tapi Ki, Liok, Bu dan Pang berempat Suheng benar-benar ikut kena getahnya karena mereka berempat sebenarnya tidak berdosa, terutama Pang Bik-hong, Pang-suheng itu berusia paling muda, kisah hidupnya juga pantas dikasihi, bila teringat akan hal itu sering Suhu merasa menyesal" Padahal watak Ui Yok-su sangat eksentrik, biarpun hatinya berpikir begitu, tidak mungkin sampai diucapkannya dengan mulut Soalnya Thia Eng adalah gadis cerdik dan berperasaan halus, di kala sang guru kesepian dan bicara iseng dengan dia, dari nada ucapan Ui Yok-su itu dapatlah diterka akan jalan pikiran sang guru itu, maka sekarang ia sengaja memperbesar apa yang didengarnya itu. Dasar watak Li Bok-chiu memang kejam dan keji, di samping itu perasaannya sebenarnya juga mudah terguncang, dari tanya jawab dan sikap si pandai besi dan Thia Eng dapatlah diterka sembilan bagian hubungan antara kedua orang itu. Dilihatnya si pandai besi menghela napas panjang, air matapun bercucuran dan menetes pada lempengan besi yang membara itu sehingga terdengar suara mendesis terbakarnya butiran air. Melihat keadaan itu, perasaan Li Bok-chiu ikut terharu juga, Tapi dalam sekejap saja pikirannya sudah berubah dan kembali pada wataknya yang kejam, ia pikir pihak lawan telah bertambah lagi seorang pembantu, tapi pandai besi ini cacad, betapapun kepandaiannya juga terbatas. Begitulah Li Bok-chiu lantas menjengek "Hm., Pang Bik-hong, selamat atas pertemuan kalian sesama saudara seperguruan !" Memang betul pandai besi tua she Pang ini adalah murid terkecil Ui Yok-su yang bernama Pang Bik-hong. Dahulu Tan Hian-hong dan Bwe Ciau-hong melarikan diri dari Tho-hoa-to dengan menggondol Kiu-im-sin-keng, tentu saja Ui Yok-su sangat murka, akibatnya semua muridnya terkena getahnya, ia patahkan kaki para muridnya itu dan mengusir mereka dari Tho-hoa-to. Ki Leng-hong dan Liok Seng-hong dipatahkan kedua kakinya, tapi Ui Yok-su paling sayang kepada murid terkecil yaitu Pang Bik-hong, maka hanya kaki kiri saja yang dipatahkannya walaupun begitu Pang Bik-hong tidak menjadi sakit hati kepada sang guru, ia merasa utang budi karena jiwanya juga diselamatkan oleh gurunya itu, maka ia tidak dendam terhadap apa yang dilakukan sang guru kepadanya itu, hanya saking berdukanya ia lantas mengasingkan diri ke pedesaan ini dan sudah lebih 30 tahun tinggal di sini sebagai pandai besi, sama sekali ia tidak berhubungan lagi dengan orang Kangouw meskipun ilmu silatnya tak pernah dilakukannya. Sebab itulah Liok Seng-hong dan kakak seperguruannya yang lain mengira dia sudah meninggal Tak tersangka hari ini dia dapat bertemu dengan Thia Eng dan mendengar berita tentang sang guru, saking terharunya air matanya lantas bercucuran. Sudah tentu Nyo Ko dan Liok Bu-siang kegirangan demi mengetahui si pandai besi she Pang ini adalah Suhengnya Thia Eng, mereka yakin anak murid Ui Yok-su pasti bukan jago lemah dan itu berarti pihaknya telah bertambah bala bantuan. Tapi Li Bok-chiu telah menjengek pula. "Hm, gurumu sudah mengusir kau, tapi kau masih terkenang padanya, sungguh aneh, pokoknya begini, ketiga bocah ini akan kubunuh, sebaiknya kau jangan ikut campur." ---------------- gambar -----------Dengan bertopang pada tongkat besi dan berlangkah pincang, Pang Bik-hong ayun palu melawan serangan ilmu kebut Li Bok-chiu yang lihay. -------------------------------------"Meski aku pernah belajar silat, tapi selama hidupku tak pernah berkelahi dengan siapapun, apalagi aku sudah cacat kaki, untuk berkelahi juga tidak dapat," Ujar Pang Bik-hong, si pandai besi tua. "Ya, memang begitulah, tidak perlu jiwamu ikut dikorbankan," Kata Li Bok-chiu. "Tidak," Tiba2 Pang Bik-hong menggeleng kepala. "betapapun kau tak boleh mengganggu seujung rambut Sumoayku, beberapa orang ini adalah teman Sumoayku, kaupun tidak boleh mengganggu mereka." Screntak timbul napsu keganasan Li Bok-chiu, jengeknya. "Hehe, jika begitu kalian berempat boleh maju saja seluruhnya !" - Habis berkata ia lantas berdiri dan siap menghadapi pertempuran. Namun Pang Bik-hong tetap tenang saja menggembleng besinya, dengan pelahan ia berkata. "Sudah lebih 30 tahun kutinggalkan perguruan, ilmu silatku sudah lama kulupakan, sekarang aku harus mengingat-ingatnya dahulu dan mengatur seperlunya." Li Bok-chiu bergelak tertawa, katanya. "Sekian lamanya aku malang melintang di dunia ini, belum pernah kulihat orang macam kau, di medan perang baru mengasah tombak, Pang Bik-hong, apa betul selama hidupmu belum pernah bergebrak dengan orang?" "Selamanya aku tak pernah bersalah kepada siapapun, orang memukul atau memaki aku juga kubiarkan saja, dengan sendirinya takkan terjadi perkelahian," Kata Pang Bik-hong. "Hehe, anak murid Ui-losia benar-benar tak becus semua dan memalukan," Ejek Li Bok-chiu. "Li-totiang," Kata Pang Bik-hong. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "kuharap engkau jangan mengolok-olok guruku." "Hahaha, sudah lama orang tak mengakui kau sebagai murid, tapi kau masih terus menyebutnya guru ini dan itu, memangnya kau tidak malu?" Jengek Li Bok-chiu pula. Sambil menggembleng besinya, Pang Bik-hong menjawab. "Selama hidupku penuh derita, di dunia ini hanya Suhu saja sanak kadangku, jika aku tidak mengenangkan dan menghormati beliau, habis siapa yang harus kupikirkan lagi? Eh, Siau su-moay, apakah Suhu baik-baik saja?" "Beliau sangat baik," Jawab Thia Eng. Seketika air muka Pang Bik-hong tampak mengunjuk rasa girang. sementara itu besi yang di-gemblengnya itu sudah membeku, pandai besi tua itu menanggamnya pula untuk dibakar lagi ke dalam tungku. Tapi lantaran pikirannya sedang melayang, maka yang disodorkan ke dalam tungku ternyata bukan besi yang sedang digembleng melainkan palu besar yang dipegangnya itu. Maka Li Bok-chiu tertawa mengejek puIa. "Pang Bik-hong, boleh kau pikirkan kembali kepandaian ajaran gurumu dan tidak perlu bingung." Pang Bik-hong tidak menanggapinya, ia memandangi api tungku dengan terkesima, selang sejenak kembali ia memasukkan pula tongkatnya ke dalam tungku. "He, jangan keliru, itulah tongkatmu !" Seru Nyo Ko dan Liok Bu-siang. Tapi Pang Bik-hong tetap tidak menjawab dan tetap menatapi api tungku. Aneh juga, tongkatnya ternyata tidak terbakar di dalam tungku, sebaliknya lama-lama berubah merah membara, kiranya tongkatnya adalah tongkat besi. Selang tak Iama palu besar tadi juga terbakar hingga merah, tapi tangannya yang memegangi palu dan tongkat itu ternyata tidak merasakan panasnya besi yang membara itu. Baru sekarang Li Bok-chiu mulai waspada, ia menyadari pandai besi tua ini tidak boleh diremehkan, kuatir kalau orang mendadak melancarkan serangan dan masuk perangkapnya, segera Li Bok-chiu melompat keluar rumah dan berseru. "Pang Bik-hong, keluar sini!" Sekali lompat Pang Bik-hong segera menyusul keluar rumah, gerak-geriknya ternyata sangat cepat sedikitpun tidak kelihatan tanda-tanda sebagai seorang cacat, Tongkatnya yang merah membara itu ditancapkannya di tanah, lalu berkata. "Li-to-tiang, kuharap jangan kau memaki guruku lagi juga jangan membikin susah sumoayku, sudilah engkau mengampuni pandai besi tua macam diriku ini!" Sungguh heran Li Bok-chiu oleh sikap Pang Bik-hong ini, masakah sudah maju di medan perang malah minta ampun kepada lawan, Segera iapun menjawab. "Aku boleh mengampuni jiwamu, kalau kau takut sebaiknya jangan ikut campur urusanku ini." "Jika begitu silakan kau membunuh diriku dahulu !" Jawab Pang Bik-hong dengan mengertak gigi, tubuhnya tampak gemetar, agaknya disamping takut juga pantang mundur. Li Bok-chiu angkat kebutnya terus menyabet kepala lawan, Tapi Pang Bik-hong mengelak ke samping dengan gaya yang indah, lantaran tangan gemetar, ia ternyata tidak berani balas rnenyerang, Berturut tiga kali Li Bok-chiu menyerangnya dan Pang Bik-hong selalu menghindarkan diri dengan gerakan yang indah dan gesit, tapi tetap tidak berani balas menyerang. Sementara itu Nyo Ko bertiga ikut keluar dan menonton di samping, mereka mencari kesempatan untuk maju membantu bila perlu. Serangan, Li Bok-chiu semakin gencar, tapi Pang Bik-hong memang belum pernah bertempur dengan orang, ditambah wataknya memang ranah, betapapun serangannya tidak dapat dilontarkan. Melihat gelagat jelek, Nyo Ko pikir untuk memancing semangat tempur tokoh yang berkepandaian tinggi ini tiada jalan lain kecuali membuatnya marah, karena itu ia sengaja berteriak. "Li Bok-chiu, mengapa kau memaki Tho-hoat-tocu manusia rendah, orang yang tidak berbudi dan tidak tahu diri?" Sudah tentu Li Bok-chiu sangat penasaran karena merasa tidak pernah berkata begitu. Namun ia tidak menanggapi ocehan Nyo Ko itu, sebaliknya serangannya bertambah gencar. Segera Nyo Ko berseru pula. "Li Bok-chiu, kau menuduh Thoa-hoa-tocu suka berzinah dengan isteri orang dan sering memperkosa anak perempuan orang, memangnya kau pernah menyaksikannya sendiri? Kau memaki beliau suka mengkhianati kawan dan menjual teman, apakah betul tuduhanmu itu?" Sudah tentu Thia Eng merasa bingung, sebaliknya Pang Bik-hong mengira apa yang dikatakan Nyo Ko betul terjadi, ia menjadi murka terhadap Li Bok-chiu, serentak timbul keberaniannya palu dan tongkat bekerja sekaligus terus menghantam ke arah Li Bok-chiu dengan membawa hawa panas. Li Bok-chiu tak berani menyambut serangan hebat ini, cepat ia melompat ke samping dan mencari peluang untuk balas menyerang. Segera Nyo Ko berseru pula. "Li Bok-chiu, kau memaki Tho-hoa-tocu sebagai manusia tidak tahu malu, kulihat kau sendiri yang tidak kenal malu !" Makin gusar Pang Bik-hong, palu dan tongkatnya terus menghantam musuh dengan tangkas luar biasa, semula dia rada kaku memainkan kedua macam senjatanya itu, tapi lambat-laun dia mulai biasa dengan permainan ilmu silatnya. Kalau bicara tentang keuletan, sebenarnya selisih kedua orang tidak jauh, tapi Li Bok-chiu sudah lama malang melintang di dunia Kangouw. entah sudah berapa banyak pertempuran yang di-alaminya, pengetahuan dan pengalamannya entah berapa kali lebih banyak daripada Pang Bik-hong, apalagi Pang Bik-hong cacat sebelah kaki, lama-2 tentu kewalahan dan kalah. Benar saja, setelah rasa murka Pang Bik-hong rada mereda, semangat tempurnya menjadi kendur, lambat-laun ia mulai terdesak di bawah angin. Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, mendadak kebutnya menyabet ke dada lawan, Cepat Pang Bik-hong menangkis dengan palu, tapi ujung kebut terus memutar dan melilit ujung palu. Sebenarnya gerakan kebut itu adalah kepandaian khas Li Bok-chiu yang biasanya sangat lihay untuk merampas senjata musuh, asal ujung kebut sudah melilit terus dibetot maka senjata lawan pasti akan terlepas dari cekalan.. Tak terduga mendadak terdengar suara mencicit disertai kepulan asap yang berbau sangit, ternyata ujung kebutnya telah hangus terbakar, jadinya Li Bok-chiu tidak berhasil merampas senjata lawan, sebaliknya kehilangan senjatanya sendiri. Namun Li Bok-chiu tidak menjadi bingung dan gugup, ia buang tangkai kebutnya yang sudah gundul itu, kini dia menggunakan ilmu pukulan andalannya, yaitu Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca-bisa. Meski ilmu pukulannya yang berbisa lima macam itu sangat lihay, tapi untuk menggunakannya larus dilakukan dari jarak dekat, sedangkan lawannya sekarang bersenjatakan palu dan tongkat yang panjang serta diputar sedemikian kencangnya, tertampaklah di antara dua sosok bayangan orang itu mengepulkan asap pula. Kiranya jubah pertapaan Li Bok-chiu telah bersentuhan dengan palu dan tongkat yang membara dan sebagian demi sebagian terbakar, Keruaa tidak kepalang gusar Li Bok-chiu, sudah jelas dirinya pasti menang, tapi justeru kewalahan dalam hal senjata, betapapun ia merasa penasaran dan bertekad akan menghantam pandai besi tua itu dengan suatu pukulan maut untuk melampiaskan rasa gemasnya. Untuk pertama kalinya Pang Bik-hong bertempur dengan orang, jika begitu maju lantas kalah, tentu semangat tempurnya akan semakin surut, tapi sekarang dia berada di atas angin, tongkat dan palunya dimainkan sedemikian lihaynya sehingga tiada peluang bagi Li Bok-chiu untuk memukulnya, sebaliknya Li Bok-chiu sendiri beberapa kali hampir termakan oleh palunya, kalau tidak cepat berkelit tentu tangannya sudah terbakar hangus. Sejenak kemudian, tiba2 Pang Bik-hong berseru . "Sudahlah, berhenti, aku tidak mau bertempur lagi dengan kau ! Macam apa keadaanmu ini!" Habis itu ia terus melompat mundur. Li Bok-chiu tertegun, ketika angin meniup tiba, baju yang dipakainya sepotong demi sepotong terbang terbawa angin, ternyata bajunya telah berlubang di sana sini kelihatan jelas kulit dagingnya di bagian lengan, pundak dan dada. Padahal tubuh Li Bok-chiu masih suci bersih, masih tubuh perawan, keruan ia menjadi malu sekali baru saja ia hendak melarikan diri mendadak dekat bokong terasa silir dingin, kiranya sepotong kain baju bagian itu robek pula terbawa angin. Melihat keadaan orang yang runyam dan konyol itu, cepat Nyo Ko tanggalkan baju sendiri terus dilemparkan sekuatnya ke punggung Li Bok-chiu, Begitu kuat baju Nyo Ko itu melayang ke depan sehingga mirip seorang yang mendadak mendekap Li Bok-chiu dari belakang. Cepat Li Bok-chiu memasukkan tangannya pada lengan baju itu dan mengencangkannya dengan tali pinggang, Dalam keadaan demikian, biarpun selama hidupnya sudah banyak mengalami pertempuran besar, tidak urung ia menjadi serba salah, mukanya sebentar pucat dan sebentar merah, pikirannya. "Jika kulanjutkan pertarungan ini, sebentar baju ini akan terbakar lagi, Biarlah pil pahit ini kutelan saja sekarang, kelak akan kucari kesempatan untuk menurut balas." Ia lantas mengangguk kepada Nyo Ko sebagai tanda terima kasih atas pemberian bajunya, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pang Bik-hong. "Caramu menggunakan senjata aneh ini ternyata sesuai benar dengan jalan pikiran Ui-losia yang eksentrik itu, Coba katakan terus terang menurut perasaanmu jika bertarung dengan kepandaian sejati, dapatkah kau mengalahkan aku? Anak Ui-losia kalau bertempur satu lawan satu dengan aku, apakah di antaranya bisa mengalahkan aku?" Pada dasarnya Pang Bik-hong adalah orang yang jujur dan polos, maka dengan terus terang ia menjawab. "Ya, jikalau kau tidak kehilangan senjata andalanmu, lama-lama kau pasti akan mengalahkan aku." "Asal kau tahu saja" Ujar Li Bok-chiu dengan angkuh. "Dan apa yang kutulis tadi bahwa anak murid Tho-hoa-to kebanyakan memang tidak becus menjadi tepat kan?" Pang Bik-hong berpikir sejenak, lalu berkata . "Tidak, anggapanmu itu tidak betul. Kalau saja keempat suhengku berada di sini, salah seorang di antaranya pasti lebih kuat dari padamu. Tidak perlu Tan-suheng atau Ki-suheng yang lihay, hanya Bwe-suci saja yang sesama kaum wanita seperti kau, betapapun kau tak dapat mengalahkan dia." "Hm, orang sudah mati tak dapat dibuktikan, apa gunanya dibicarakan" Jengek Li Bok-chiu. "Yang jelas kepandaian Ui-losia juga cuma begini saja, tadinya aku bermaksud menguji kepandaian puterinya yaitu Kwe-hujin, tapi sekarang kukira tidak perlu lagi." - Habis berkata ia terus hendak melangkah pergi "Nanti dulu!" Tiba-tiba Nyo Ko berseru. "Ada apa?" Jawab Li Bok-chiu dengan kurang senang. "Kau bilang kepandaian Tho-hoa-tocu hanya begini saja, ucapanmu ini salah besar," Kata Nyo Ko. "Pernah kudengar dari beliau bahwa dia punya Giok-siau-kiam-hoat (permainkan seruling sebagai ilmu pedang) sudah cukup untuk mematahkan permainan kebutmu." Lalu ia ambil sepotong besi dan menggores-gores di atas tanah sambil memberi penjelasan misalnya Li Bok-chiu menyerang begini segera akan ditangkis dengan begitu terus disusul dengan serangan balasan begini dan seterusnya, dan dalam keadaan kepepet akhirnya kau harus membuang kebutmu dan menyerah kalah. Lebih jauh Nyo Ko berkata. "Bicara tentang Ngo-tok-ciang-hoat andailanmu, Tho-hoa-tocu sudah siap menghadapi seranganmu - dengan kuku jarinya yang cukup panjang, setiap seranganmu akan "dipatahkan, jika pukulanmu tetap diteruskannya, segera beliau menggunakan tenaga jari sakti, dengan kuku tajam akan menyelentik telapak tanganmu dan bila kena, seketika tanganmu akan lumpuh, sedangkan beliau dapat segera memotong kukunya dan terhindarlah dari penjalaran panca-bisa pukulanmu itu." Keterangan Nyo Ko itu membuat wajah Li Bok-chiu sebentar pucat sebentar merah padam, sebab setiap kata pemuda itu memang masuk di akal dan memang tepat benar untuk menghadapi serangannya. Kemudian Nyo Ko menambahkan. "Tho-hoa-tocu sangat gusar akan ucapanmu yang kurangajar, cuma beliau adalah seorang tokoh maha besar dan tidak sudi bergebrak sendiri dengan kau, beliau telah mengajarkan semua kepandaian tadi kepadaku dan suruh aku membereskan kau, tapi mengingat kau dan guruku ada hubungan saudara seperguruan maka aku telah membeberkan kelihayan Tho-hoa-tocu kepadamu agar kelak bila kau bertemu dengan anak muridnya ada lebih baik menghindari saja sejauhnya," Li Bok-chiu termangu sejenak, akhirnya ia berkata dengan lesu. "Sudahlah!" - Segera ia memutar tubuh dan melangkah pergi, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik bukit sana. Diam-diam Pang Bik-hong bersyukur melihat musuh lihay itu sudah pergi, Padahal meski Ui Yok-su telah mengajarkan ilmunya kepada Nyo Ko, untuk bisa digunakan secara tepat dan mengalahkan musuh, sedikitnya Nyo Ko perlu berlatih setahun dua tahun, Tapi Li Bok-chiu ternyata gentar dan takluk benar-benar lahir batin atas uraian Nyo Ko tadi, sejak itu ia tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata menghina terhadap Ui Yok-su. Dengan kepergian Li Bok-chiu, rasanya yang paling girang adalah Liok Bu-siang, maklumlah nona itu sudah lama berada di bawah pengaruh iblis itu, mendengar suaranya saja ketakutan jangankan lagi berhadapan dengan dia. Maka dia tidak habis kagum akan kecerdikan Nyo Ko, berulang ia memuji "si tolol" Itu. Selagi mereka hendak masuk lagi ke dalam bengkel si pandai besi mendadak terdengar suara gemuruhnya orang banyak disertai suara derapan lari kuda yang riuh. Thia Eng terkejut Cepat Nyo Ko berkata. "Coba kupergi melihatnya!" - Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan dilarikan ke sana, setelah membelok ke balik bukit sana dan beberapa li kemudian sampailah dia di jalan raya, Tertampak debu mengepul panji berkibaran, kiranya pasukan Mongol sedang bergerak ke arah selatan. Selamanya Nyo Ko belum pernah menyaksikan gerakan pasukan sebanyak itu, ia menjadi terkesima. Tiba-tiba dua perajurit Mongol menyentaknya sambil menerjang ke arahnya . "Hei, kau lihat apa?" Cepat Nyo Ko memutar kudanya dan kabur, kedua perajurit itu segera pentang busur dan melepaskan anak panah, Tapi sekali meraup ke beIakang, dengan mudah saja dua batang anak panah itu sudah kena ditangkap Nyo Ko, ia merasa sam-beran anak panah itu cukup kuat, kalau saja dirinya tidak mahir ilmu silat tentu sudah mati tertembus kedua panah itu. Melihat Nyo Ko mampu menangkap panah mereka, kedua perajurit itu menjadi jeri terhadap kelihayan Nyo Ko, mereka menahan kuda dan memutar balik ke sana. Nyo Ko lantas kembali ke bengkel si pandai besi dan menuturkan apa yang dilihatnya itu. "Pasukan besar Mongol ternyata benar bergerak ke selatan, maka rakyat jelata bangsa Han kita kembali akan menderita," Kata Pang Bik-hong dengan gegetun. "Ya, ketangkasan menunggang kuda dan memanah pasukan Mongol memang sukar dilawan oleh pasukan Song, malapetaka yang bakal menimpa sungguh hebat," Ujar Nyo Ko. Pang Bik-hong berkata pula. "Nyo-kongcu muda usia, mengapa tidak pulang ke selatan untuk ikut berjuang melawan serbuan musuh?" Nyo Ko melenggong sejenak jawabnya kemudian . "Tidak, aku harus ke utara untuk mencari Kokoh, Begitu kuat pasukan Mongol, hanya tenagaku seorang apa gunanya?" "Tenaga seorang memang kecil, tapi kalau tenaga orang banyak bergabung kan menjadi kuat," Kata Pang Bik-hong. "Apabila setiap orang berpendirian seperti Nyo-kongcu, lalu siapa lagi yang mau berjuang demi bangsa dan tanah air?" Walaupun merasa ucapan orang tidak salah, tapi Nyo Ko tetap merasa lebih penting mencari Siao-liong-li dahulu. Sejak kecil ia hidup terlunta-lunta di daerah Kanglam dan sudah kenyang derita siksaan kaum penguasa, ia merasa meski orang Mongol tampak kejam dan jahat, tapi kaisar Song juga belum tentu manusia baik dan tidak perlu jual tenaga baginya. Karena itu ia hanya tersenyum saja dan tidak menanggapi ucapan Pang Bik-hong tadi. Sctelah meringkaskan barang bawaannya dan dipanggul, lalu Pang Bik-hong berkata kepada Thia Eng. "Sumoay, kelak bila bertemu dengan Suhu, harap kau suka menyampaikan kepada beliau bahwa murid Pang Bik-hong tidak pernah melupakan ajaran beliau, Kini aku akan menyusup ke tengah pasukan Mongol, betapapun aku harus membinasakan satu-dua panglimanya yang telah menyerbu tanah air kita ini." Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling. Seperginya Pang Bik-hong, mereka bertiga masuk lagi ke dalam bengkel dan melihat Sah Koh terkulai di lantai, mereka kaget dan cepat menggotongnya ke atas pembaringan Kelihatan muka Sah Koh merah padam, kedua matanya melotot tak bersinar, jelas racun pukulan sakti Li Bik-chiu telah bekerja pula. Cepat Thia Eng memberi minum obat lagi dan Nyo Ko mengurut Hiat-tonya. Sah Koh terbeliak memandangi pemuda itu, mendadak air mukanya mengunjuk rasa ketakutan dan berteriak. "Saudara Nyo, jangan kau minta ganti nyvwa padaku, bukan aku yang mencelakai kau..." "Jangan takut, Suci," Bujuk Thia Eng dengan suara halus. "dia takkan..." Nyo Ko pikir selagi pikiran Sah Koh dalam keadaan linglung, kesempatan ini dapat digunakan untuk memaksanya memberi keterangan Maka cepat ia cengkeram pergelangan tangan Sah Koh dan membentak dengan bengis. "Jika bukan kau, habis siapa yang mencelakai diriku? Hayo lekas mengaku jika tidak ingin kucekik mati kau untuk mengganti jiwaku!" Dengan suara gemetar Sah Koh memohon "Jangan, saudara Nyo, jangan, bukan aku!" "Kau tetap tidak mau mengaku?" Bentak Nyo Ko pula dengan gusar "Baik, biar kucekik mampus kau!" Berbareng sebelah tangannya lantas mencengkeram tenggorokan Sah Koh sehingga perempuan itu menjerit ketakutan. Sudah tentu Thia Eng dan Liok Bu-siang sadar tahu maksud tujuan Nyo Ko, mereka sama mencegahnya dan meminta jangan merecoki Sah Koh. Tapi Nyo Ko tidak menggubris dan menambahi tenaga cekikannya, dengan lebih beringas ia membentak pula . "Aku adalah setan saudara Nyo, aku mati penasaran, tahukan kau?" "Ya, ya, aku tahu," Jawab Sah Koh dengan gemetar "Setelah kau mati, burung gagak memakan dagingmu." Perasaan Nyo Ko seperti disayat sembilu, tadinya ia cuma mengira ayahnya mati secara tak wajar, siapa tahu sesudah mati mayatnya tidak terkubur pula dengan baik, bahkan menjadi mangsa burung gagak, maka ia tambah murka, dengan suara keras ia membentak pula. "Hayo lekas katakan, siapa yang membunuh diriku ?" Dengan suara serak Sah Koh menjawab . "Kau sendiri memukul Kokoh, pada badan Kokoh ada jarum berbisa, lalu kau mati." Duduk perkara kematian Nyo Khong dahulu terjadi secara kebetulan saja, Semula Auyang Hong menggunakan racun ular membinasakan Lam Hi-jin (salah seorang Kanglam-jit-koay dan guru Kwe Cing), waktu Lam Hi-jin hampir mati, secara tak sadar ia menghantam pundak Ui Yong satu kali sehingga darah beracun dari tangannya itu tertinggal di atas "baju landak" Yang dipakai Ui Yong, hal ini sama sekali diluar tahu Ui Yong sendiri. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka kemudian ketika Nyo Khong juga menghantam pundak Ui Yong di suatu kelenteng di kota Kah-hin, kebetulan tempat hantamannya itu adalah bagian tempat yang dihantam Lam Hi-jin. Sebab itulah Nyo Khong mati keracunan oleh "duri baju landak!" Berbisa yang dipakai Ui Yong itu. Begitulah Nyo Ko berteriak menanya pula "Kokoh? Siapa itu Kokoh?" Karena cekikan Nyo Ko yang tambah kencang, hampir saja Sah Koh tidak dapat bernapas dan hampir kelenger, dengan suara lemah ia menja-javvab . ""Kokoh ya Kokoh," "Kokoh she apa? Siapa namanya ?" Desak Nyo Ko. "Aku... aku tak tahu, kau le... lepaskan aku!" Jawab Sah Koh dengan serak. Melihat gelagat tidak enak, Liok Bu-siang bermaksud menarik tangan Nyo Ko. Tapi kini keadaan Nyo Ko menyerupai orang yang kehilangan akal sehat, sekuatnya ia mengipatkan tangannya, keruan Bu-siang tak tahan, ia terlempar ke belakang dan tertumbuk pada dinding dengan rasa sakit tidak kepalang. Melihat Nyo Ko yang biasanya ramah tamah itu kini berubah seperti orang gila, Thia Eng menjadi ketakutan hingga kaki dan tangan terasa lemas. Nyo Ko pikir kalau sekarang tak dapat mengetahui nama pembunuh ayah, tentu dirinya bisa mati penasaran Maka berulang ia tanya pula . "Siapa Kokohmu? Dia she Ki atau she Bwe?" - ia pikir Sah Koh adalah putri Ki Leng-hong, tentu Kokohnya (bibinya) juga she Ki, bisa jadi adalah Bwe Ciau-hong yang dimaksudkan Maklumlah, Kwe Cing dan Isterinya memperlakukan dia seperti anaknya sendiri sejak kecil betapapun Nyo Ko tak berani membayangkan bahwa yang membinasakan ayahnya itu adalah Ui Yong adanya. Begitulah Sah Koh meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Nyo Ko. tapi karena Hiat-to bagian pergelangan tangan juga terpegang pemuda itu, terpaksa ia tidak mampu berkutik hanya berseru dengan suara serak. "Kau minta ganti jiwa kepada Kokoh saja dan jangan mengganggu diriku." "Kokoh berada di mana?" Tanya Nyo Ko pula. "Entahlah, waktu aku dan Suhu berangkat, dia dan lakinya masih tinggal di pulau sana," Jawab Sah Koh. Mendengar keterangan yang cukup berarti ini, seketika hati Nyo Ko tergetar hebat dengan suara gemetar ia coba menegas . "Kokoh memanggil Suhumu dengan sebutan apa?" "Sudah tentu ayah, apa lagi?" Jawab Sah Koh. Serentak air muka Thia Eng dan Liok Bu-siang juga berubah demi mendengar keterangan itu. Kuatir salah, Nyo Ko coba mengulangi lagi pertanyaannya . "Jadi laki Kokohmu itu bernama Kwe Cing?" "Ya, masakah kau tidak tahu?" Jawab Sah Koh sambil memancal-mancalkan kakinya dan mendadak berteriak . Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Golok Sakti Karya Chin Yung