Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 37


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 37


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   Kakek itu ternyata sangat nakal, semakin ke empat orang itu kelabakan, semakin senang dia.   Mendadak ia berseru .   "Bim-salabim! Dua orang menyembah padaku, dua lagi terjengkang ! Satu-dua-tiga !"   Selesai "tiga"   Diucapkan, berbareng tangannya sedikit bergerak, kontan ujung keempat tumbak patah semua, Tapi tenaga yang dikeluarkan jari tangannya ternyata berbeda, dua batang tumbak ditolak ke sana, sebaliknya dua tumbak yang kiri di-betot, maka terdengarlah suara mengaduh kesakitan keempat orang Mongol itu, yang dua orang jatuh tiarap seperti orang menyembah, dua lagi jatuh terjengkang ke belakang.   Habis itu si kakek bertepuk tangan dan menyanyikan lagu kanak-kanak, yaitu lagu yang umumnya didendangkan orang tua untuk menghibur anak kecil yang menangis karena jatuh.   Tiba-tiba Siau-sang-cu teringat kepada satu orang, cepat ia bertanya.   "Apakah Cianpwe she Ciu?"   Kakek itu terbahak-bahak, jawabnya.   "Ya, kau kenal padaku ?"   Tanpa ayal Siau-siang-cu"   Berbangkit dan memberi hormat, katanya.   "Kiranya Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Ciu-locianpwe yang tiba,"   Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh baru pertama kali ini datang di Tionggoan, mereka belum kenal siapa itu Ciu Pek-thong, mereka hanya merasa ilmu silat si kakek she Ciu ini tinggi luar biasa dan sukar diukur, tapi tingkah lakunya jenaka dan nakal pula, pantas berju!uk "Lo-wang-tong", (si nakal tua)..   Karena itu rasa permusuhan mereka jadi lantas berkurang, malahan mereka sama tersenyum geli oleh julukan orang yang lucu itu.   Segera Kim-lum Hoat-ong berkata.   "Maafkan keteledoranku yang tidak kenal orang kosen dari dunia persilatan Bagaimana kalau silakan duduk saja di sini. Ongya sedang mencari orang pandai, kini orang kosen berada di sini, tentu Ongya merasa sangat gembira."   Kubilai juga memberi salam dan berkata.   "Benar, silakan Ciu-losiansing berduduk, ada banyak persoalan yang kurang jelas perlu kuminta petunjuk padamu."   Tapi Ciu Pek-thong menggeleng kepala, jawabnya.   "Tidak, aku sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi, Di mana Kwe Cing? Apakah dia berada di sini?"   Hati Nyo Ko tergetar mendengar nama Kwe Cing disebut, dengan dingin ia tanya.   "Ada urusan apa kau mencari dia?"   Dasar watak Ciu Pek-thong memang kocak dan kekanak-kanakan, dia paling suka bergaul dengan anak kecil, melihat Nyo Ko berusia paling muda diantara orang yang hadir di situ, hal ini sudah membuatnya suka lebih dahulu, kini mendengar pula Nyo Ko menyebutnya dengan kata "kau"   Dan tidak pakai "Locianpwe"   Dan "Ciu-siansing"   Segala, ini membuatnya lebih-lebih senang. Maka cepat Ciu Pek-thong menjawab.   "Kwe Cing adalah saudara angkatku, apakah kau kenal dia? Sejak kecil dia suka bergaul dengan orang Mongol, maka begitu melihat orang Mongol di sini segera kumenerobos ke sini untuk mencarinya."   "Ada urusan apa kau mencari Kwe Cing?"   Tanya Nyo Ko pula sambil mengerut kening. Ciu Pek-thong memang orang polos dah tidak bisa berpikir, mana dia tahu urusan apa yang harus dirahasiakan atau tidak, tanpa ragu ia terus menjawab.   "Dia telah kirim berita padaku agar aku menghadiri Eng-hiong-yan (perjamuan ksatria)."   Jauh-jauh aku berangkat ke sana, di tengah jalan aku mampir dan pesiar sehingga terlambat datang beberapa hari, mereka ternyata sudah bubar, sungguh mengecewakan."   "Apakah mereka tidak meninggalkan surat untukmu?"   Ujar Nyo Ko. Mendadak Ciu Pek-thong mendelik dan berkata.   "Mengapa kau hanya bertanya melulu ? sebenarnya kau kenal Kwe Cing tidak?"   "Mengapa aku tidak kenal ?"   Jawab Nyo Ko.   "Nyonya Kwe bernama Ui Yong, betul tidak? Anak perempuan mereka bernama Kwe Hu, ya bukan ?"   Tapi Ciu Pek-thong mendadak menggoyangkan tangannya dan berseru dengan tertawa.   "Salah, salah ! Si budak Ui Yong sendiri juga seorang anak perempuan kecil, mana mereka mempunyai anak perempuan segala ?"   Nyo Ko melengak bingung, tapi ia lantas paham persoalannya, segera ia tanya pula.   "Sudah berapa tahun kau tidak bertemu dengan mereka suami-isteri?"   Ciu Pek-thong tidak lantas menjawab, ia tekuk jarinya satu demi satu, sepuluh jari secara rata di-hitungnya ulang dua kali, lalu berkata.   "Sudah ada 20 tahun."   "Nah, masakah sudah 20 tahun dia masih anak perempuan kecil ?"   Kata Nyo Ko dengan tertawa. Ciu Pek-thong tertawa ngakak sambil garuk2 kepala, lalu berkata.   "Ya, ya, kau yang benar, kau yang benar ! Apakah anak perempuan mereka itu pun cakap ?"   "Suka anak perempuan mereka itu lebih banyak mirip nyonya Kwe dan sedikit saja memper Kwe Cing, nah, cakap tidak menurut pendapatmu ?"   Tanya Nyo Ko.   "Hahahaha! Bagus kalau begitu !"   Kata Ciu Pek-thong dengan tertawa.   "Anak perempuan kalau beralis tebal dan bermata besar serta bermuka hitam seperti saudaraku Kwe Cing itu, dengan sendirinya bukan cakap lagi namahya."   Nyo Ko tahu kini Ciu Pek-thong tidak ragu lagi, tapi untuk memperkuat kepercayaannya kembali ia menambahkan.   "Ayah Ui Yong, yaitu Tho-hoa-tocu Ui Yok-su, kakak Yok-su ada hubungan persaudaraan denganku, apakah kau kenal dia ?"   Berganti Ciu Pek-thong melengak heran sekarang, ia pikir masakah anak muda ini berani mengaku bersaudara dengan Ui-losia, lantas apa kedudukan orang muda ini? Segera ia bertanya pada Nyo Ko.   "siapakah gurumu ?"   "Kepandaian guruku teramat hebat, jika kukatakan bisa jadi kau mati ketakutan,"   Jawab Nyo Ko.   "Masakah aku dapat ditakut-takuti?"   Ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa, Berbareng tangannya bergerak, piring kosong bekas wadah daging kambing tadi terus melayang ke arah Nyo Ko dengan maha dahsyat.   Sebenarnya Nyo Ko tidak tahu asal-usul aliran perguruan orang kosen macam Ciu Pek-thong ini, samberan piring "kosong yang keras itu sebenarnya tak berani ditangkapnya, tapi ketika melihat gaya Ciu Pek-thong itu ternyata berasal dari aliran Coan-cin-pay, padahal ilmu silat Coan-cin-pay baginya boleh dikatakan sudah apal di luar kepala, maka.   tanpa pikir ia hanya gunakan jari telunjuk tangan kiri, ia tunggu ketika piring kosong itu melayang tiba, dengan cepat dan tepat jarinya menyanggah pantat piring, seketika laju piring itu terhenti terus berputar pada ujung jarinya.   Kejadian ini sungguh membikin Ciu Pek-thong sangat gembira, malahan Kim-lun Hoat-ong, Nimo Singh dan Iain-Iain juga melengak.   Lebih-lebih Siau-siang-cu, semula ia lihat pakaian Nyo Ko kotor dan robek, usianya muda pula, maka ia tidak pandang sebelah mata padanya, tapi sekarang mau-tak-mau ia harus berubah sikap, ia heran siapakah dan dari manakah pemuda lihay ini? Di sebelah sana Ciu Pek-thong telah berseru memuji beberapa kali kepada Nyo Ko, malahan ia pun dapat melihat gaya permainan jari Nyo Ko itu adalah gaya aliran Coan-cin-pay, maka ia lantas tanya .   "Apakah kau kenal Ma Giok dan Khu Ju-ki?"   "Kedua hidung kerbau itu masakah aku tak kenal?"   Jawab Nyo Ko tak acuh.   Ciu Pek-thong tambah kegirangan.   Maklumlah, meski dia terhitung, tokoh tertua Coan-cin-pai, tapi lantaran dia tak dapat mematuhi peraturan agama, maka selama ini dia tak pernah menjadi Tojin.   Mendiang Ong Tiong-yang, yaitu cakal bakal Coan-cin-kau yang juga Suhengnya, kenal watak Ciu Pek-thang yang polos dan suka bertindak menuruti jalan pikiran sendiri kalau saja dipaksa menjauhi dunia ramai dan memeluk agama dan menjadi Tojin, tentu kuil Tiong-yang-kiong akan tambah kacau dibuatnya.   Sebab itulah Ciu Pek-thong tidak diharuskan menjadi Tosu dan hal ini pun cuma berlaku atas diri Lo-wan-tong saja.   Walau Kwe Cing, Nyo Khong dan Nyo Ko juga belajar ilmu silat Coan-cin-pay, tapi mereka bukanlah anak murid Coan-cin-pay, kedudukan mereka berbeda dengan Ciu Pek-Thong.   Meski antara Ciu Pek-thong dan Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya tiada persengketaan apapun, dia hanya menganggap mereka itu terlalu kaku dan terikat oleh macam-macam peraturan dan pantangan, maka dalam hati dia merasa cocok.   Selama hidupnya kecuali sang Suheng, yaitu Ong Tiong-yang, yang paling dihormati dan dikagumi adalah Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan.   Selain itu iapun rada cocok dengan kelatahan Ui-Yok-su dan kejahilan Ui Yong.   Kini mendengar Nyo Ko menyebut Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya sebagai "hidung kerbau (kata olok-oIok kepada kaum Tosu), kata-kata ini ternyata sangat cocok bagi pendengaran Ciu Pek-thong, segera ia tanya pula.   "Dan bagaimana dengan Hek Tay-thong?"   Mendengar nama "Hek Tay-thong", seketika Nyo Ko menjadi gusar dan memaki.   "Hm, hidung kerbau ini paling brengsek, pada suatu hari pasti akan kerjai dia, agar dia tahu rasa."   Ciu Pek-thong menjadi semakin tertarik, cepat ia tanya.   "Cara bagaimana akan kau kerjai dia dan apa rasanya ?"   "Akan kuringkus dia, kuikat tangan dan kaki-nya, lalu kurendam dia di kembangan kakus seharian,"   Kata Nyo Ko. Tidak kepalang senangnya Ciu Pek-thong, ia berbisik dengan suara tertahan.   "Sst, nanti kalau dia sudah kubekuk, jangan kau rendam dia dahulu, beri kabar dulu kepadaku agar aku dapat mengintipnya secara diam-diam."   Sebenarnya tiada maksud buruknya terhadap Hek Tay-thong, hanya watak Ciu Pek-thong memang suka pada permainan yang kocak, orang lain berbuat nakal dan onar, hal ini terasa sangat cocok dengan kegemarannya, maka iapun ingin ikut ambil bagian.   Dengan tertawa Nyo Ko lantas menjawab.   "Baiklah, kuingat akan pesanmu, Tapi mengapa kau harus mengintip secara diam-diam, apakah kau takut pada kawanan hidung kerbau dari Coan-cin-kau?"   Ciu Pek-thong menghela napas dan menjawab.   "Aku kan paman gurunya Hek Tay-thong itu!"   Ucapan ini membikin Nyo Ko bersuara kaget. Lalu Ciu Pek-thong menyambung lagi.   "Bila dia melihat diriku, tentu dia akan minta tolong padaku. Dalam keadaan begitu, jika aku tidak menolongnya akan terasa tidak enak, sebaliknya kalau kutolong dia, pertunjukan menarik akan gagal kulihat."   Diam-diam Nyo Ko pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi meski wataknya polos dan lugu, apa pun juga dia adalah orang Coan-cin-pay, jelas tidak mungkin mengajaknya memusuhi Kwe Cing, maka jalan paling baik adalah berusaha membinasakan dia saja.   Sebenarnya pembawaan Nyo Ko tidaklah jahat, soalnya dia tak pernah melupakan sakit hati kematian ayahnya, untuk mencapai tujuan menuntut balas, segala cara dapat diIakukannya.   Sudah tentu Ciu Pek-thong tidak tahu Nyo Ko sudah berpikir jahat padanya, ia malah tanya lagi.   "He, kapan kau akan menangkap si Hek Tay-thong itu?"   "Sekarang juga aku akan berangkat, kau ingin lihat keramaian, bolehlah kau ikut saja padaku,"   Kata Nyo Ko. Dengan girang Ciu Pek-thong lantas berbangkit tapi mendadak ia berduduk pula dengan Iesu, katanya.   "Ai, tidak bisa jadi, aku harus pergi ke Siang-yang."   "Masakah menarik kota Siangyang? Kukira janganlah kau pergi ke sana,"   Ujar Nyo Ko.   "Adik Kwe meninggalkan surat bagiku, katanya pasukan Mongol telah menyerbu ke selatan dan pasti akan menyerang Siangyang,"   Tutur Ciu Pek-thong.   "Dia telah memimpin semua pahlawan ke Siang-yang, akupun diminta ke sana untuk membantunya, sepanjang jalan kucari dia dan tidak ketemu, terpaksa kususul ke Siangyang saja."   Kubilai saling pandang sekejap dengan Kim-lun Hoat-ong, mereka sama pikir.   "Adanya bala bantuan para pahlawan yang dipimpin Kwe Cing itu, mungkin Siangyang sukar diduduki."   Bicara sampai di sirii, tiba-tiba masuklah seorang Hwesio setengah umur, dari tingkah laku dan wajahnya jelas Hwesio ini adalah seorang terpelajar.   Dia mendekati Kubilai, lalu kedua orang bicara dengan suara tertahan.   Kiranya Hwesio ini adalah bangsa Han, namanya Cu-cong, terhitung seorang stafnya Kubilai.   Aslinya Cu-cong bernama Lau An, menurut catatan sejarah, Lau An adalah seorang pintar dan serba tahu, karena itu dia sangat disayang oleh Kubilai.   Dari penjaga Lau An mendapat laporan bahwa di kemah Kubilai ada orang kosen, maka lebih dulu ia telah mengatur penjagaan seperlunya di luar kemah, habis itu barulah masuk menghadap Kubilai.   Ciu Pek-thong tepuk-tepuk perutnya yang rada gendut, katanya.   "Eh, Hwesio, kau menyingkir dulu, aku lagi bicara dengan adik cilik itu. Hai, saudara cilik, siapa namamu?"   "Aku she Nyo bernama Ko."   Jawab Nyo Ko.   "Sebenarnya siapa gurumu?"   Tanya Ciu Pek-thong pula.   "Guruku seorang perempuan cantik, ilmu silatnya maha sakti tapi namanya tak boleh diketahui orang luar,"   Jawab Nyo Ko.   Ciu Pek-thong merinding mendengar perempuan cantik, ia teringat kepada kekasihnya dahulu, Eng Koh, seketika ia tak berani tanya lagi ia berbangkit dan mengebut debu di tubuhnya, maka berhamburanlah debu memenuhi kemana2 Cu-cong bersin dua-tiga kali karena debu yang mengepul itu, Ciu Pek-thong tambah gembira, lengan bajunya mengebut semakin keras, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata .   "Aku mau pergi!"   Berbareng empat potong ujung tumbak patah tadi terus disambitkan ke arah Siau-siang-cu, Nimo Singh, In Kik-si dan Be Kong-co.   Terdengar suara mendesing menyambernya ke empat ujung tumbak itu, karena jaraknya sangat dekat, dalam sekejap saja ujung tumbak itu sudah menyamber sampai di depan mata keempat orang sasarannya.   Siau-siang-cu berempat terkejut, mereka merasa sukar untuk mengelak, terpaksa mereka mengerahkan tenaga dalam dan menangkap ujung tumbak Siapa tahu keempat tangan mereka itu ternyata menangkap angin.   "plok", tahu-tahu keempat ujung tumbak itu menancap di atas tanah. Kiranya tenaga sambitan Ciu Pek-thong itu sangat spesial, begitu disambitkan segera disertai tenaga tarikan, maka ketika ujung tumbak menyamber, sampai di depan sasarannya, mendadak terus ganti arah dan membelok ke bawah dan menancap di atas tanah. Be Kong-co adalah seorang lugu, sekali tangkap tidak kena, ia malah merasa geli dan bergelak tertawa, serunya.   "Hei, jenggot putih, sungguh hebat permainan sulapmu !".. Tapi Siau-siang-cu bertiga menjadi tidak kepalang kagetnya, tanpa terasa air muka mereka berubah hebat. Bayangkan saja, ujung tombak itu tidak berhasil mereka tangkap, tapi sempat berganti arah, maka pada detik itu sesungguhnya jiwa sendiri sudah tergenggam di tangan lawan, kalau saja ujung tombak itu bukan menancap di tanah, tapi menyamber ke perut mereka, apakah jiwa mereka dapat diselamatkan ? Karena berhasil mempermainkan keempat orang itu, Ciu Pek-thong sangat senang, baru saja dia mau keluar kemah, tiba2 Cu-cong berseru .   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Eh, Ciu-losiansing, kesaktianmu sungguh jarang ada di dunia ini. Biarlah kuberi selamat padamu dengan suguhan secawan arak ini!"   Berbareng ia terus menyodorkan secawan arak yang sudah disiapkan ke hadapan Ciu Pek-thong. Tanpa pikir Ciu Pek-thong terima suguhan itu dan sekali tenggak habislah isi cawan itu. Kembali Cu-cong menghaturkan satu cawan arak dan berkata.   "Sekarang aku mewakili Ongya menyuguh engkau satu cawan,"   Segera Ciu Pek-thong menghabiskan lagi arak itu, baru saja Cu-cong hendak menyuguh lagi cawan ketiga, se-konyong2 Ciu Pek-thong berteriak.   "Haya, celaka ! Perutku mules, aku mau berak !" - Berbareng itu ia terus berjongkok sambil membuka kolor celana terus hendak memberak di tengah kemah. Dengan menahan rasa gelinya Kim-lun Hoat-ong membentak untuk mencegah perbuatan Ciu Pek-thong yang tidak senonoh itu. --------- Keterangan gambar --------Dengan menggunakan sumpit masing2 Siau-siang-ca adu betot daging melawan Kim-lun Hoat-ong. Dalam waktu sekejap mereka sudah beradu kekuatan tiga babak. ------------------------------------Ciu Pek-thong tampak melengak sejenak, habis itu berteriak pula.   "He, muIesnya perut ini tidak beres, rasanya bukan kebelet mau berak !"   Nyo Ko memandang sekejap ke arah Cu-cong, pahamlah dia duduknya perkara, ia tahu Hwesio itulah menaruh racun di dalam arak yang disuguhkan kepada Ciu Pek-thong, tapi ia merasa tidak tega bila orang tua yang polos dan jenaka itu sampai mati keracunan, baru saja dia mau memperingatkan agar Kubilai ditawan untuk memaksa Cu-cong memberikan obat penawar racun, mendadak didengarnya Ciu Pek-thong berseru pula.   "Ah, salah, salah ! Kiranya arak beracun yang kuminum terlalu sedikit, lantaran itulah perut menjadi mules, Hei, Hwesio, lekas, tuangkan lagi tiga cawan arak beracun !"   Keruan semua orang saling pandang dengan bingung, sedangkan Cu-cong menjadi ketakutan kalau-kalau Ciu Pek-thong mendadak ngamuk sebelum ajalnya, mana dia berani mendekatinya, jangankan disuruh memberi arak lagi.   Karena itu Ciu Pek-thong lantas maju mendekati meja, cepat Kim-lun Hoat-ong mengadang di depan Kubilai untuk melindunginya.   Tapi Ciu Pek-thong ternyata tidak bermaksud menyerang, dengan sebelah tangan memegangi celana yang kedodoran, tangan lain terus angkat poci yang berisi arak teracun, sekaligus ia tenggak habis seluruh isi poci itu, satu tetespun tidak tersisa.   Di tengah rasa bingung dan kaget semua orang, Ciu Pek-thong malah tertawa ter-bahak2, katanya.   "Nah, beginilah baru segar rasanya,"   Perut terlalu banyak barang kotor dan beracun, harus serang racun dengan racun !" - Habis itu mendadak mulutnya terbuka, suatu arus arak terus menyembur ke arah Cu-cong.   Cepat Kim-Iun Hoat-ong samber meja di sebelahnya untuk menangkis, arak berbisa itu tepat menyerempet di muka meja dan muncrat ke mana-mana.   Sambil bergelak tertawa Ciu Pek-thong melangkah pergi, sampai di depan kemah, mendadak timbul lagi pikirannya yang jahil, ia tarik tali kemah dan dibetot sekuatnya, kontan tiang penyanggah kemah itu patah, seketika kemah besar yang terbuat dari kulit itu ambruk, Kubilai, Kim-lun Hoat-ong, Nyo Ko dan lainnya terkurung semua di bawah.   Ciu Pek-thong kegirangan, ia melompat ke atas kemah ambruk itu dan berlari-lari kian kemari beberapa kali sehingga semua orang yang terkurung di bawah kemah itu seluruhnya terinjak olehnya.   Dari bawah kemah Kim-Iun Hoat-ong melontarkan suatu pukulan dan tepat mengenai telapak kaki Ciu Pek-thong, karena tidak tersangka-sangka, Ciu Pek-thong terpental dan berjumpalitan di udara sambil berteriak.   "Haha, menarik, menarik!"   Lalu pergilah dia tanpa pamit ! Waktu Kim-Iun Hoat-ong dan lainnya merangkak keluar dengan melindungi Kubilai, para pangawal juga cepat memasang kemah baru, sementara itu Ciu Pek-thong sudah menghilang.   Hoat-ong dan lainnya sama minta maaf kepada Kubilai atas kelalaian mereka yang kurang cermat mengawal sang pangeran, Namun Kubilai cukup bijaksana, sedikitpun ia tidak menyalahkan mereka, hanya berulang ia memuji kelihayan Ciu Pek-thong, dan menyesal karena tak dapat menarik orang kosen begini ke pihaknya.   Dengan sendirinya Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa iri dan malu pula.   Kemudian perjamuan diperbarui, Kubilai berkata.   "Sudah sekian kali pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi tak berhasil. Kabarnya para pahlawan Tionggoan sama berkumpul dan bertahan di sana, sekarang Ciu Pek-Thong ini pergi ke sana, lagi untuk membantu, sungguh sulit urusan ini, entah kalian mempunyai akal bagus tidak?"   Nimo Singh berwatak berangasan segera ia mendahului buka suara.   "Meski ilmu silat tua bangka she Ciu itu sangat tinggi, tapi kepandaian kita juga tidak rendah, Harap saja Ongya melancarkan serangan sekuatnya, biarlah kita menghadapi mereka, perajurit lawan perajurit, panglima lawan panglima, biarpun di Tionggoan banyak pahlawan, tapi benua barat juga banyak jagoan."   "Meski betul juga ucapanmu, tapi segala sesuatu harus ditimbang secara masak,"   Kata Kubilai.   "untuk memenangkan suatu pertempuran kita harus dapat menilai kekuatan lawan dan kekuatan sendiri."   Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar kemah ada orang berteriak.   "Sudah kukatakan aku tak mau pergi, mengapa kalian terus memaksa saja, sekali kubilang tidak mau ya tetap tidak mau."   Dari suaranya itu jelas dialah Ciu Pek-thong.   Entah mengapa sudah pergi dia datang lagi dan sedang bicara dengan siapa? Tentu saja semua orang sangat tertarik dan lari keluar kemah untuk melihat apa yang terjadi, tapi sebelum Kubilai memberi tanda, tiada seorangpun yang berani meninggalkan tempat duduknya.   Rupanya Kubilai tahu pikiran mereka, katanya dengan tertawa.   "Marilah kita melihatnya, entah sedang bertengkar dengan siapa si orang tua nakal itu?"   Waktu mereka keluar kemah, tertampaklah Ciu Pek-thong berdiri jauh di tanah lapang sebelah barat sana, ada empat orang lagi yang berdiri mengelilinginya dalam posisi mengepung, hanya sebelah timur saja yang terluang, Sambil mengepal dan ngotot, berulang Ciu Pek-thong hanya menyatakan.   "Tidak mau ! Tidak mau!"   Nyo Ko menjadi heran, kalau saja orang tua nakal itu bilang tak mau pergi, siapa lagi yang mampu memaksanya dan perlu ribut mulut begitu ?!"   Waktu mengawasi keempat orang itu, ternyata semuanya berseragam jubah hijau model kuno, jelas bukan pakaian model pada jaman itu, tiga di antaranya lelaki memakai kopiah besar, seorang lagi perempuan muda.   Keempat orang bersikap tenang dan ramah, Terdengar lelaki yang berdiri di sebelah utara berkata.   "Kami tidak ingin membikin susah padamu, soalnya engkau telah mengobrak-abrik tempat kami, menjungkirkan tungku, mematahkan lengci (sejenis rumput obat), merusak kitab pusaka dan lainnya yang merusak, kalau engkau tidak menjelaskan sendiri duduknya perkara kepada guru kami, apabila diketahui guru kami sungguh kami tidak berani menanggung hukuman yang akan dijatuhkan beliau."   "Kau dapat mengatakan semua itu adalah perbuatan seorang hutan yang kebetulan menerobos ke situ, kan segala urusan menjadi beres ?"   Ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa seperti anak kecil.   "Jadi tuan sudah pasti tak mau ikut pergi ?!"   Tanya lelaki kekar tadi. Ciu Pek-thong hanya menggeleng kepala saja. Mendadak lelaki itu menuding ke belakang Ciu Pek-thong dan berseru.   "He, siapa itu?" - Dan begitu Ciu Pek-thong menoleh, cepat lelaki itu beri tanda kepada kawan-kawannya, serentak keempat orang membentangkan sebuah jaring hijau terus menutup ke atas kepala Ciu Pek-thong. Gerakan keempat orang itu sudah terlatih, caranya aneh pula, biarpun ilmu silat Ciu Pek-thong maha sakti, sekali terkurung oleh jaring ikan, seketika ia menjadi kelabakan dan tak berdaya ? Dengan cepat keempat orang itu lantas meringkus tubuh Ciu Pek-thong dengan tali jaring, setelah kencang, dua lelaki itu lantas memanggulnya, perempuan muda dan lelaki satunya lagi mengawal dari samping, mereka terus berlari. Kejadian ini sungguh aneh dan langkah keempat orang itu secepat terbang. Gaya Ginkang mereka ternyata belum pernah dikenal. Segera Nyo Ko memburu dan berseru.   "He, kalian hendak membawanya ke mana?"   Akan tetapi keempat orang itu tidak menggubrisnya dan tetap berlari ke depan, Karena tertarik, Nyo ko terus mengejar.   Hoat-ong dan lainnya juga menyusuInya.   Beberapa li kemudian, sampailah ditepi sebuah sungai tertampak Ciu Pek-thong digotong ke atas sebuah perahu terus didayung pergi oleh keempat orang itu.   Cepat Nyo Ko dan lainnya mencari sebuah perahu dan memburu dengan kencang, Arus sungai itu ternyata berliku-liku, setelah memutar beberapa tikungan, mendadak kehilangan jejak perahu tadi Nimo Singh melompat ke atas tebing, seperti kera gesitnya ia merangkak ke atas, dari situ ia memandang sekelilingnya, Dilihatnya perahu kecil yang ditumpangi keempat orang berseragam hijau tadi sedang menyusuri sebuah sungai yang sangat sempit, sungai kecil itu adalah cabang sungai tadi, ujung sungai kecil yang bertemu dengan muara sungai besaran itu tertutup oleh semak pohon yang lebat, kalau tidak dipandang dari ketinggian siapa pun takkan mengetahui di balik lembah pegunungan itu ternyata masih ada "dunia"   Lain.   Lekas Nimo Singh melompat turun, dengan pelahan ia tancapkan kakinya di atas perahu, perahu kecil itu hanya bergoyang sedikit saja tanpa menimbulkan guncangan berarti Hoat-ong dan lain sama berseru memuji melihat Ginkangnya yang bagus itu.   Nimo Singh lantas menunjukkan arahnya dan cepat perahu itu didayung balik, lalu menerobos semak pohon lebat itu.   Perahu itu terus meluncur dengan cepat, tertampak tebing gunung menjulang tinggi di kedua tepi sungai yang sempit itu sehingga langit kelihatannya seperti satu garis saja.   Setelah beberapa li lagi, bagian depan di tengah sungai itu teralang oleh sembilan potong batu besar yang menonjol di permukaan sungai sehingga perahu mereka tidak dapat melintasi "Wah, celaka ! Perahu ini tak dapat digunakan lagi!"   Seru Be Kong-co.   "Tubuhmu segede kerbau, boleh kau angkat perahu ini ke sebelah sana,"   Kata Siau-siang-cu dengan suara melengking.   "Mana aku kuat, kecuali kau?"   Jawab Be Kong-co dengan gusar.   Memangnya Kim-lun Hoat-ong lagi ragu cara bagaimana melintasi rintangan kesembilan batu karang itu, Demi mendengar pertengkaran Be Kong-co dan Siau-siang-cu, -tiba2 pikirannya tergerak.   Kalau mengandalkan tenaga seorang tentu siapapun tak mampu mengangkat perahu itu, tapi kalau enam orang bergotong royong, kan segala persoalan menjadi mudah dipecahkan? Karena itu ia lantas berkata .   "He, bagaimana kalau kita berenam lakukan bersama saja? Adik Nyo, In-heng dan diriku di-sisi sini, saudara Nimo, Siau-heng dan Be-heng di sisi sana."   Serentak semua orang bersorak setuju dan menuruti petunjuk Kim-lun Hoat-ong, enam orang terbagi dan berdiri dua sisi, karena sungai itu sangat sempit, dengan berdiri di sisi tepian tangan mereka masih dapat meraih pinggir perahu.   Begitulah ketika Kim-lun Hoat-ong memberi komando, serentak enam orang mengerahkan tenaga, kontan perahu itu terangkat melintasi sepotong batu karang yang mengalang di tengah sungai itu.   Tukang perahu yang berduduk di atas perahu belum lagi menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu terasa seperti terbang di udara, saking kagetnya ia jerit kuatir.   Di tengah jerit kaget dan tertawa senang, berturut perahu itu telah melintasi sembilan batu pengalang itu, lalu semua orang melompat kembali ke atas perahu dengan tertawa gembira, lalu tukang perahu yang masih melongo itu diperintahkan lekas mendayung lagi.   Sebenarnya keenam orang itu saling curiga mencurigai dan suka bertengkar, tapi setelah mendalami kerja sama ini, tanpa terasa mereka menjadi lebih akrab dan mulai pasang omong.   Kata Siau-siang-cu.   "Betapapun kepandaian kita berenam ini boleh dikatakan terhitung jago kelas satu di dunia persilatan, dengan tenaga gabungan kita memang tidak sulit untuk mengangkat perahu ini, akan tetapi mereka."   "Ya, benar, mereka hanya empat orang, masakah merekapun mampu mengangkat perahu dan melintasi sembilan batu karangtadi?"   Tukas Ni-mo Singh. Teringat hal itu, mereka sama merasa heran. Tidak lama, berkatalah In Kik-si.   "Perahu mereka memang lebih kecil, tapi jumlah mereka juga lebih sedikit daripada kita. Kalau mereka berempat mampu mengangkat perahu itu, maka kepandaian merekapun harus dipuji."   "Nona cantik muda belia, apapun juga pasti tidak mempunyai kemampuan sebesar itu,"   Kata Nimo Singh.   "Kukira mereka pasti mempunyai cara lain yang seketika tak dapat kita pecahkan."   Kim-Iun Hoat-ong tersenyum dan berkata.   "Manusia tak boleh dinilai dari lahiriahnya, misalnya saudara Nyo kita ini, meski usianya masih muda, tapi memiliki ilmu maha tinggi, jika kita tidak menyaksikan sendiri, siapa yang mau per-caya?"   "Ah, sedikit kepandaianku ini apa artinya?"   Ujar Nyo Ko dengan rendah hati.   "Tapi keempat orang berseragam hijau itu mampu meringkus Ciu Pek-thong yang maha sakti itu, tentu merekapun mempunyai kepandaian sejati"   Kini lagak lagu Nyo Ko sudah sejajar dengan Siau-siang-cu dan lainnya, karena semua orang sudah menyaksikan caranya menyambut samberan piring yang disambitkan Ciu Pek-thong tadi, maka tiada seorangpun yang berani lagi meremehkan dia.   Di antara keenam orang usia Nyo Ko paling muda, sedangkan Kim-lun Hoat-ong, Be Kong-co dan Nimo Singh bertiga baru sekarang ini menginjak daerah Tionggoan, Siau-siang-cu juga lebih sering tirakat di pegunungan sunyi dan jarang bergaul dengan khalayak ramai, hanya In Kik-si saja yang sangat paham terhadap kejadian di dunia persilatan daerah Tionggoan dengan aneka macam aliran serta tokohnya.   Tapi bagaimana asal usul keempat orang berbaju hijau tadi ternyata tak diketahuinya.   Selagi mereka berbincang keanehan orang berbaju hijau itu, sementara itu perahu telah sampai di ujung sungai kecil itu, jalan menjadi buntu, terpaksa mereka menyuruh tukang perahu tinggal di perahunya mereka berenam lantas melempat ke tepi sungai, dengan mengikuti sebuah jalanan kecil mereka terus menyusuri lembah gunung yang rindang itu.   Untungnya jalan kecil itu hanya satu sehingga mereka tidak sampai salah arah, namun jalanan itu makin lama makin meninggi dan makin terjal, sampai akhirnya sukar dibedakan lagi mana jalannya di antara batu padas yang berserakan itu.   Kim-lun Hoat-ong dan lainnya bertenaga dalam tinggi, dengan sendirinya mereka tidak susah menempuh jalan pegunungan yang curam itu, hanya Be Kong-co seorang saja, karena Ginkangnya tidak setinggi kelima orang kawannya, ia sudah mulai terengah-engah, kalau saja dia tidak ditarik Nyo Ko, In Kik-si dan Kim-lun Hoat-ong, beberapa kali ia hampir terjerumus ke dalam jurang.   Baru sekarang Be Kong-co merasakan kelemahannya sendiri, meski memiliki tenaga sebesar kerbau, tapi bicara tentang tenaga dalam jelas masih selisih jauh dengan orang lain, Meski dia seorang kasar, tapi diam-diam japun tahu diri dan malu hati.   Sementara itu hari sudah mulai gelap, tapi jejak keempat orang berbaju hijau masih belum di ketemukan, Selagi mereka merasa gelisah, tiba-tiba di kejauan tertampak beberapa gunduk api unggun yang sedang menyala, seketika mereka bergirang bahwa di lembah pegunungan itu ada cahaya api, dengan sendirinya di sana juga ada penduduknya, Kecuali beberapa orang berbaju hijau tadi, orang biasa tentunya juga tak dapat bertempat tinggal dj tempat securam ini.   Begitulah mereka lantas berlari lebih cepat ke sana, dalam sekejap saja Be Gong-co sudah tertinggal jauh di belakang, Kecuali Nyo Ko, empat orang lainnya sudah banyak berpengalaman biar-pun berlari secepatnya, tapi merekapun menyadari sedang berada di daerah berbahaya, maka mereka sama was-was terhadap segala kemungkinan.   Namun begitu merekapun bertambah tabah mengingat kini mereka datang berenam, dengan gabungan tenaga mereka berenam, rasanya tidak perlu gentar terhadap siapapun juga.   Tidak lama sampailah mereka di suatu tanah lapang di atas puncak gunung itu, terlihat empat gundukan api yang sangat besar sedang berkobar dengan hebatnya.   Waktu mereka mendekati, maka tertampaklah dengan jelas bahwa gundukan api besar itu masing-masing mengitari sebuah rumah batu kecil di tengah, di pinggir rumah batu itulah tertimbun kayu bakar yang berkobar itu.   entah barang apa di dalam rumah batu itu yang lagi dibakar.   Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok, dia mahir ilmu Yoga dan tidak takut pada api, segera ia melompat maju dan mendekati rumah batu di ujung timur sana, ia mendorong pintunya dan terpentanglah seketika, tertampak rumah batu itu kosong melompong tiada isinya, hanya di lantai duduk, seorang lelaki baju hijau, kedua tangannya tersingkap di depan dada sebagai penganut agama Budha, tubuhnya kelihatan menggigil air mukanya tampak meringis menahan derita.   Heran sekali Nimo Singh, ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan orang itu? Apakah sedang berlatih semacam Lwekang? Tapi tampaknya bukan? Waktu mengamat-amati lebih jelas, kiranya kaki dan tangan orang itu terikat oleh rantai besi dan terikat pula pada tiang di belakangnya.   Ia coba memeriksa lagi rumah batu kedua dan ketiga, keadaannya ternyata serupa dengan rumah pertama, Rumah keempat rada berbeda, sebab yang terikat di situ adalah seorang gadis berbaju hijau, jelas keempat orang ini adalah orang yang menangkap Ciu Pek-thong dengan jaring ikan itu.   Cuma si tua nakal itulah yang tak kelihatan bayangannya.   Nyo Ko dan lain-lain ikut memandang ke dalam rumah itu dan semuanya ikut heran dan terkesiap, kelihatan api semakin berkobar dan pasti luar biasa panasnya, keempat orang itu menjadi seperti dipanggang hidup-hidup.   Tindak-tanduk Nyo Ko biasanya memang tidak suka memikirkan bagaimana akibatnya, selain itu ia justeru dilahirkan dengan perasaan yang suka kepada keindahan dan dengan sendirinya juga suka kepada perempuan cantik ia pikir ketiga lelaki itu tidak menjadi soal biarpun mampus terpanggang, tapi nona jelita ini kan harus dikasihani.   Segera ia mengambil sepotong ranting pohon dan digunakan memadamkan api yang berkobar di tepi rumah batu yang didiami si nona.   Tidak lama Be Kong-co juga menyusul tiba, tanpa bertanya iapun membedol sebatang pohon kecil dan membantu Nyo Ko memadamkan api, tidak lama api dapat diatasinya.   Nyo Ko bermaksud memadamkan api pada rumah yang lain, tiba-tiba si nona baju hijau berkata.   "Tuan tamu harap berhenti agar tidak menambah dosa kami"   Selagi Nyo Ko merasa bingung dan hendak tanya apa artinya, tiba-tiba dari balik rumah muncul seorang dan berseru.   "Kokcu (pemilik lembah) ada perintah, karena ada tamu, maka hukuman sementara ditunda, keempat murid diperintahkan melayani tamu sebaiknya."   Nona baju hijau itu mengiakan dan menyatakan terima kasih, Lalu orang yang bicara itu melompat masuk rumah batu, ia mengeluarkan sebuah kunci yang amat besar untuk membuka gembok pada rantai si nona, begitulah ber-turut2 keempat, orang itu telah dibebaskan, habis itu dia terus berlari pergi tapi memandang sekejap kepada Nyo Ko dan Iain-lain.   Keempat orang yang terantai di dalam rumah batu tadi lantas keluar semua dan memberi hormat seorang di antaranya berkata.   "Maafkan jika tadi kami tak dapat menyambut kedatangan tuan sekalian." - lalu ia tuding tanah lapang di sebelah timur sana dan menyambung.   "Silakan duduk saja di sana, rumah terlalu panas terbakar, sukar untuk menerima tamu di dalam rumah."   Kim-lun Hoat-ong mengangguk tanda setuju, baru saja mau melangkah ke sana, mendadak Nimo Singh berkata.   "semakin panas semakin menyenangkan." - Habis itu dengan lagak tak takut mati ia terus melangkah masuk ke dalam rumah batu yang terletak di tengah dan masih dikelilingi oleh api yang berkobar itu. -------- gambar ---------"Hei, adik cilik, siapa namamu?"   "Aku she Nyo bernama Ko"   "Siapakah gurumu?"   "Guruku seorang perempuan jelita, ilmu silatnya, tinggi, orang lain dilarang menyinggung namanya." ---------------------------Semua orang melengak dan tahu kakek keling cebol itu sengaja pamer kepandaian, Siau-siang-cu mendengus satu kali, segera iapun menyusul ke dalam rumah itu.   "Wah, jangan sampai orang Persi berubah menjadi daging panggang,"   Ujar In Kik-si dengan tertawa, walaupun begitu katanya, tanpa ragu ia pun ikut masuk ke dalam rumah.   Kim-lun Hoat-ong paling tenang dan pendiam, tanpa bicara iapun masuk ke situ.   Sudah tentu Be Kong-co juga tidak mau ketinggalan tapi baru sampai di ambang pintu, se-konyong2 hawa panas terasa membakar, ia berseru.   "Ah, lebih baik kucari angin saja di bawah pohon sana."   Habis itu ia terus berlari kebawah pohon dan duduk istirahat. Kini tertinggal Nyo Ko saja, baru saja dia mau masuk ke rumah itu, mendadak si nona baju hijau tadi berkata padanya.   "Jika tuan tamu ini takut panas, bagaimana kalau silakan berduduk istirahat di sana bersama tuan itu?"   Rupanya dia merasa terima kasih atas bantuan.   Nyo Ko tadi yang telah memadamkan api, pula melihat usianya masih muda, ia pikir Nyo Ko pasti tidak mampu menahan hawa panas di dalam rumah yang mirip dipanggang itu.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tak terduga Nyo Ko tetap melangkah kesana, ia Ijetpaling dengan tertawa dan berkata ."   "Biarlah aku duduk sebentar di dalam, kalau tidak tahan tentu aku akan keluar,"   Sesudah di dalam rumah, ia duduk di sebelah Kim-lun Hoat-ong, keempat lelaki-perempuan berseragam hijau itupun ikut masuk dan duduk di sisi Iain sebagai tuan rumah, seorang di antaranya lantas bertanya.   "Maaf, sekiranya boleh kami mengetahui nama tuan-tuan yang terhormat ?"   Ln Kik-si paling lancar main mulut, dengan tersenyum ia memperkenalkan kelima orang ka-wannya, akhirnya ia berkata.   "Cayhe sendiri bernama In Kik-si, berasal dari Persi, kepandaianku selain makan nasi adalah cari duit, berbeda dengan beberapa kavvanku ini, mereka memiliki ilmu sakti yang sukar kuterangkan."   "Tempat kami ini bernama Cui-sian-kok, biasanya jarang dikunjungi orang luar,"   Kata orang tadi.   "Maka kami merasa beruntung dapat kunjungan tuan-tuan sekarang. Entah tuan-tuan ini ada keperluan apa, sudilah kiranya memberitahu?"   "Kami melihat kalian meringkus Lo-wan-tong Ciu Pek-thong dan dibawa ke sini, karena rasa ingin tahu, maka kami telah ikut kesini tak terduga kami dapat menyaksikan peristiwa aneh pula di sini."   Jawab In Kik-si.   Selama tanya jawab kedua orang itu, suhu panas di dalam rumah telah bertambah hebat, Nimo Singh dan Siau-siang-cu sudah lantas duduk bersila begitu mereka masuk ke dalam rumah, satu patah-katapun mereka tidak buka suara, soalnya lwekang yang mereka latih itu di kala mengerahkan tenaga sekali-kali tidak boleh membuka mulut.   Dalam pada itu, akhirnya In Kik-si sendiripun terengah-engah napasnya, suarapun terputus-putus.   Rupanya Lwekang keempat orang baju hijau itu berbeda Lwekang orang lain, juga sudah biasa melawan hawa panas itu, meski kepandaian mereka terbatas, tapi masih sanggup bertahan.   Maka orang pertama tadi berkata pula.   "Jadi orang tua yang mengacau itu she Ciu? Pantas dia berjuluk Lo-wan-tong, nyatanya sudah tua masih nakal seperti anak kecil."   "Apakah kalian juga sehaluan dengan si tua nakal itu?"   Tanya orang baju hijau kedua. In Kik-si menjawab.   "Kami... kami ti.... tidak..."   Melihat kawannya sudah megap-megap dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambung.   "Kami juga baru kenal dia tadi, bdleh dikatakan tiada hubungan apa-pun."   Meski perkataan Kim-Iun Hoat-ong dapat diucapkan dengan lancar, tapi sebenarnya cukup makan tenaga, Diam-diam ia mendongkol terhadap Nimo Singh yang sejak tadi duduk diam saja, padahal gara-gara Nimo Singh yang sok aksi dan mendahului masuk rumah ini, kalau tidak, tentu mereka tidak perlu tersiksa, sekarang Nimo Singh duduk terpekur tanpa menggubris orang lain, kalau sebentar para teman tak sanggup membuka mulut, bukankah akan ditertawai pihak lawan ? Karena rasa gemas itu, tanpa terasa Kim-lun Hoat-ong melotot kepada Nimo Singh, namun orang keling itu tetap pejam mata dan bersemadi tanpa ambil pusing.   Hanya Nyo Ko saja ternyata dapat duduk dengan tenangnya, ia pernah tidur selama beberapa tahun di atas dipan kumala dingin yang terdapat di kuburan kuno itu, biarpun dalam keadaan tidur nyenyak tubuhnya secara otomatis telah biasa mengatur suhu yang berubah setiap waktu, maka untuk melawan hawa panas sekarang sedikitpun dia tidak merasa sulit.   Begitulah orang baju hijau pertama tadi membuka suara lagi.   "Lo-wan-tong itu telah menyusup ke Cui-sian-kok kami ini dan membikin kacau...".   "Membikin kacau bagaimana? Apakah benar dia telah membakar rumah, merobek kitab dan sebagainya seperti tuduhan kalian?"   Tukas Nyo Ko.   Semua orang menjadi terheran-heran melihat Nyo Ko masih sanggup membuka suara dengan lancar, sedikit tiada ubahnya seperti biasa, padahal pemuda ini juga sudah duduk sekian lamanya di dalam rumah batu yang panas ini.   Karena itu semua orang sama memandang padanya, kecuali Nimo Sing yang masih tetap memejamkan mata dan tidak pusing terhadap kejadian di sekitarnya.   Terdengar orang baju hijau tadi menjawab pula.   "Memang begitulah. Waktu itu aku diperintahkan guruku menunggui anglo yang menggembleng obat, entah cara bagaimana mendadak tua bangka itu menerobos masuk ke situ dan mengajak ngobrol padaku ke timur dan ke barat, dia mengajak main teka teki segala dan menantang taruhan padaku, sungguh sinting dia. Padahal aku sedang sibuk menunggui anglo yang sedang menyala, aku tidak sempat mengusir dia, terpaksa ku anggap tidak mendengar ocehannya, Tak terduga mendadak dia mengayun kakinya, anglo yang kutunggu itu telah ditendangnva hingga terguling."   "Dan dia malah menyalahkan kau karena kau tidak menggubris dia, betul tidak ?"   Kata Nyo Ko dengan tertawa.   "Benar, memang begitulah,"   Kata si nona baju hijau tadi.   "Waktu kudengar suara ribut, ku tahu telah terjadi keonaran, baru aku hendak meninggalkan kamar penyimpan Leng-ci-cau yang ku tunggui itu, mendadak kakek aneh itu sudah menerobos tiba, sekali pegang, kontan dia bedol dan dipatahkan menjadi dua sebatang Leng-ci-cau yang sudah berumur lebih 400 tahun."   "Wah, Lo-wan-tong itu sungguh terlalu, sebatang Leng-ci-cau yang sudah hidup lebih 400 tahun. tentulah benda mestika yang perlu disayang"   Ujar Nyo Ko sambil geleng kepala dengan tertawa.   "Padahal ayahku telah merencanakan Leng-ci-cau ini akan dimakan bersama ibu tiriku pada hari pernikahan mereka nanti, siapa tahu tua nakal telah membikin kacau semuanya itu, maka tidak perlu dijelaskan lagi apabila ayahku menjadi murka!"   Kata si nona baju hijau.   "Apa boleh kami mengetahui nama ayahmu yang terhormat?"   Tanya Nyo Ko.   "Tanpa sengaja kami menyusup ke sini, tapi nama tuan rumah sampai saat ini belum diketahui sungguh terasa kurang sopan."   Nona baju hijau itu tampak sangsi untuk menjawab, maka seorang lelaki baju hijau yang lain lantas berkata.   "Sebelum diidzinkan Kokcu, maafkan jika kami tidak dapat memberi keterangan"   Nyo Ko pikir orang-orang ini tentulah orang kosen yang hidup di dunianya sendiri maka tidaklah heran jika mereka tidak mau menjelaskan asal usul mereka. Maka ia lantas bertanya pula.   "Dan kemudian bagaimana dengan Lo-wan-tong itu?"   Pada saat itulah terlihat In Kik-si berbangkit lalu melangkah cepat ke luar rumah dengan sempoyongan. Rupanya orang Persi itu sudah tidak tahan lagi hawa panas. Maka orang baju hijau, ketiga ikut bicara.   "Orang tua she Ciu itu tidak mau kepalang tanggung, dia menerobos lagi ke dalam kamar tulis guru kami dan merobek beberapa buah kitab pusaka, dalam pada itu kedua suhengku dan Sumoay ini telah memburu tiba, kami berempat akhirnya tetap tak dapat merintangi dia..."   Belum habis ucapannya, mendadak terlihat tubuh Siau-siang-cu melayang keluar rumah, dia tidak berdiri, tapi masih tetap duduk bersila. Gerakan tubuhnya yang gesit itu tanpa berdiri itu sungguh luar biasa. Nyo Ko tersenyum, lalu berkata pula.   "Watak lo-wan-tong itu sungguh teramat aneh, ilmu silatnya juga sudah mencapai tingkatan yang sukar di ukur, pantas kalau kalian tak dapat menghalangi dia."   "Malahan dia belum selesai, dia masuk lagi ke kamar senjata,"   Tutur orang kedua.   "tapi lantaran di situ cuma senjata melulu, dia terus menyalakan api sehingga lukisan dan seni tulisan yang bergantung di dinding semuanya terbakar. Kami sibuk memadamkan api, peluang itu telah digunakan olehnya untuk kabur."   "O, makanya kemudian kalian mengejarnya dan berhasil menawannya dengan jaring ikan,"   Kata Nyo Ko. Mendadak Kim-lun Hoat-ong juga berbangkit sambil menggeliat pinggang yang pegal, katanya dengan tertawa.   "Adik cilik, akupun merasa tidak tahan lagi, perlu cari angin keluar saja, Kaupun jangan paksakan diri, racun api ini tidak boleh dibuat permainan"   Habis berkata ia terus melangkah keluar dengan tenang. Si nona baju hijau berkata. kepada Nyo Ko.   "Hampir semua tetamu telah keluar, kami berempat sesungguhnya juga tak tahan lagi, bagaimana kalau kita bicara di bawah pohon di luar sana?"   Nyo Ko tersenyum dan mengiakan, lalu ia berdiri dan berkata kepada Nimo Singh.   "He, saudara tua, kau mau keluar tidak?". Siapa duga Nimo Singh masih tetap pejam mata dan diam saja, waktu Nyo Ko mendorong pelahan pundaknya, kontan Nimo Singh roboh di lantai Nyo Ko tetkejut, cepat ia membangunkannya.   "Rupanya dia pingsan karena hawa yang teramat panas ini, setelah mendapat angin silir di luar tentu akan siuman kembali,"   Ujar si lelaki baju hijau pertama tadi.   Diam-diam Nyo Ko merasa geli terhadap kemampuan dengan keling tua yang sok aksi itu, segera ia jinjing tubuh Nimo Singh yang kurus kecil itu dan dibawa keluar.   Begitulah semua orang lantas duduk mengitar di bawah pohon, keempat orang baju hijau itu tiada hentinya memuji kehebatan Lwekang si Nyo Ko.   "Kami berempat harus bicara secara bergiliran,"   Setelah buka mulut harus mengerahkan tenaga untuk melawan suhu panas dan pembicaraan disambung oleh yang lain, tapi tuan Nyo ini dapat sekaligus melayani pembicaraan kami berempat tanpa berhenti sungguh sangat mengagumkan tenaga dalamnya yang Iihay,"   Demikian kata orang pertama tadi. Tiba-tiba orang kedua menyambung.   "Eh, Su-ko, aliran Lwekang tuan Nyo ini tampaknya sangat mirip dengan ibu guru kita yang baru itu?"   Hati Nyo Ko tergerak tanpa pikir ia terus tanya.   "Siapakah ibu guru kalian ?" - Tapi segera ia menyadari ketidak sopanan pertanyaannya itu. ketika keempat orang baju hijau itu saling pandang dengan air muka yang aneh tanpa menjawab. In Kik-si tahu Nyo Ko merasa kikuk dan perlu dialihkan pokok- pembicaraan mereka, maka cepat ia menimbrung.   "Sebenarnya sebab apakah Lo-wan-tong itu mengamuk, padahal tabiatnva tidaklah jelek meski kelakuannya memang nakal"   "Dia bilang usia ayahku sudah sebanyak itu, tapi masih ingin..."   Belum si nona baju hijau habis berbicara, mendadak kawannya yang pertama tadi menyambung.   "Ah, Lo-wan-tong itu memang sinting, mana ucapannya dapat dipegang buntutnya, O, ya, kalian datang dari jauh, tentu sudah lapar, silakan dahar sekadarnya ke sana."   "Bagus ! Bagus !"   Kontan Be Kong-co bersorak bicara makan, dia paling bernapsu.   Sementara itu pernapasan Nimo Singh belum lagi lancar kembali dia terus angkat tubuh sang kawan yang kecil itu dan dikempit terus mendahului menuju ke arah yang ditunjuk lelaki baju hijau tadi.   Tempat bersantap juga sebuah rumah batu yang sederhana, tidak banyak alat perabotnya, tapi sangat luas.   Keempat orang baju hijau tadi masuk dapur sendiri untuk menyiapkan daharan, Tidak lama perjamuan lantas dimulai, meja penuh dengan sayur mentah dan buah-buahan belaka, tiada makanan dari daging atau ikan dan juga tiada satu pun yang dimasak.   Makan tanpa ikan daging bagi Be Kong-co jelas tidak menarik, maka ia menjadi kecewa melihat meja itu tiada sesuatu daharan enak selain sayur mentah dan buah-buahan.   "Di sini selamanya tidak kenal makanan berjiwa dan tidak pakai asap api, maka diharap tuan-tuan suka maklum,"   Kata orang pertama tadi.   "Masakah tidak pakai api segala ? Tadi kalian kan membakar rumah dengan api?"   Ujar Be Kong co...   "Itu adalah cara hukuman Kokcu,"   Kata orang kedua. Lalu lelaki baju hijau ketiga menyambung.   "Silahkan dahar !" - Lalu ia ambilkan sebuah botol dan menuangkan setiap orang satu mangkoK air jernih. Be Kong-co mengira disuguh arak, ia tidak makan daging juga tak jadi soal asalkan dapat minum arak. Tanpa pikir ia terus angkat mangkoknya dan ditenggak, tapi rasanya tawar, baru sekarang ia tahu isi mangkok itu adalah air. Dasar, wataknya memang kasar, segera ia berteriak.   "He, majikan kalian itu sungguh kikir, masakah arak saja tidak disuguhkan kepada tamu."   "Di lembah ini dilarang minum arak, peraturan ini sudah turun temurun selama beratus tahun, harap tuan tamu suka memaafkan,"   Kata orang pertama tadi. Si nona baju hijau juga berkata.   "Hanya dalam kitab saja kami pernah membaca tulisan arak, tapi sebenarnya bagaimana rasanya arak, selama hidup tak pernah kami lihat, Menurut tulisan dalam kitab, katanya arak dapat mengacaukan pikiran sehat, tentunya juga bukan barang baik"   Nyo Ko dan lainnya adalah orang yang sudah biasa hidup bebas di dunia kangouw, mereka merasa kurang cocok dengan lagak lagu keempat orang itu, apalagi sejak mulai bicara tadi belum pernah tertampak air muka mereka mengunjuk senyum, walaupun juga tidak menjemukan, tapi boleh dikatakan tidak menarik.   Karena itu mereka hanya makan nasi saja.   Celakanya nasi itupun mentah, yaitu beras yang digiling halus dan dicampur air melulu, tentu saja rasa katulnya sangat terasa sehingga sukar ditelan saja sekadar tangsal perut.   Hanya Be Kong co yang bertubuh besar kekar, setiap kali makan sedikitnya delapan sampai sembilan mangkok besar, tentu saja dia tidak puas akan suguhan itu, sambil makan nasi beras mentah itu ia terus menggerundel tiada hentinya.   Aneh juga, keempat orang baju hijau itu ternyata tidak ambil pusing terhadap gerundelan Be Kong-co, semula mereka masih minta maaf kepada tamunya, tapi kemudian merekapun tidak menanggapi apapun, mereka anggap makan nasi mentah dan minum air tawar adalah kehidupan yang wajar.   Selesai bersantap, Be Kong-co berkaok ingin pulang saja malam itu juga, tapi kelima orang kawannya merasa tertarik oleh macam-macam keanehan di lembab gunung ini, mereka sama ingin mencari tahu duduknya perkara, maka In Kik-si coba memberi pengertian- kepada Be Kong-co, katanya.   "Be-heng, kita sudah datang di sini dan sepantasnya besok kita harus menemui Kokcu, mana boleh pulang begitu saja,"   "Tidak ada arak tidak daging, nasipun tidak keruan, aku merasa tersiksa di sini,"   Seru Be Kong-co pula. Mendadak Siau-siang-cu menarik muka dan berkata.   "Semua orang bilang tinggal dulu di sini, kau sendiri ribut apa?"   Be Kong-co paling takut kepada Siau-siang-cu karena potongannya yang mirip mayat hidup itu, karena itu ia tidak berani mengomel lagi Malamnya mereka berenam lantas tidur di dalam rumah batu itu, lantai batu dingin sekali, jangankan kasur dan selimut, bahkan tikar dan sejenisnya juga tidak ada sama sekali.   "Eh, Hwesio gede,"   Kata Nimo Singh kepada Kim-lun Hoat-ong.   "kau adalah otak kita berenam, coba katakan, menurut pendapatmu orang macam apakah Kokcu ini? Apakah orang baik atau orang busuk, besok kita harus bersikap ramah tamah atau labrak dia habis-habisan?"   "Seperti juga kalian, aku sendiripun belum tahu bagaimana Kokcu mereka ini, biarlah besok kita bertindak menurut keadaan saja,"   Jawab Kim-lun Hoat-ong tertawa. Dengan suara pelahan In Kik-si berkata.   "Kepandaian keempat orang ini sudah begini bagus, dengan sendirinya sang Kokcu akan jauh lebih lihay. Besok kita harus selalu waspada, sedikit lengah bisa jadi kita berenam akan terkubur di sini."   Tapi Be Kong-co masih terus menggerundel tentang makanan tak enak dan sebagainya, sama sekali ia tidak menghiraukan peringatan In Kik-si yang suka berpikir itu. Maka Nyo Ko sengaja menakuti Be Kong-co, katanya.   "Besok kalau kau tidak bertindak hati2 dan kena ditawan mereka, selamanya kau hanya akan merasakan air tawar dan sayur mentah belaka."   Baru sekarang Be Kong-co terkejut dan cepat menjawab.   "Baik, adik cilik, baiklah, aku akan menuruti kalian!"   Karena berada di tempat berbahaya, maka tidur mereka semalaman boleh dikatakan tidak nyenyak, hanya Be Kong-co saja yang dapat pulas, suara mendengkurnya begitu keras laksana guntur Setelah bangun pagi-pagi, Nyo Ko keluar rumah batu itu dan memandang sekelilingnya, semalam karena hari sudah gelap, maka keadaan setempat belum terlihat jelas.   Ternyata sekitar pepohonan menghijau permai dengan bunga mekar harum semerbak, sungguh suatu tempat dengan pemandangan alam yang indah.   Karena terpesona oleh pemandangan yang menarik itu, Nyo Ko mengayunkan langkah ke depan, tertampak di tepi jalan bangau putih bergerombol dua-tiga sekalian di sana sini menjangan putih berkelompok, tupai dan kelinci berlari kian kemari tanpa menghiraukan manusia yang berlalu di situ.   Setelah membelok ke sana, terlihat si nona baju hijau kemarin itu sedang memetik bunga di tepi jalan, nampak Nyo Ko, nona itu lantas menyapa.   "Selamat pagi! Silakan sarapan !" - Sembari bicara ia lantas memetik dua tangkai bunga dan disodorkan kepada Nyo Ko. Tanpa ragu Nyo Ko menerima bunga itu, ia ragu apakah mesti makan bunga ini sebagai sarapan pagi? Melihat si nona mengeleteki kelopak bunga dan dimakan, Nyo Ko meniru dan makan juga beberapa sayap kelopak bunga itu, ia merasa kelopak itu ada rasa manis yang sangat tipis, tapi dikunyah lebih jauh, terasa pula rasa sepat dan pahit, ia merasa tidak sopan kalau memuntahkan kembali kelopak bunga yang dimakannya itu, tapi untuk ditelan rasanya sukar pula masuk tenggorokan. Ia coba mengamati pohon bunga itu, ternyata ranting daunnya penuh duri kecil, tapi warna kelopak bunga indah sekali, mirip bunga mawar tapi lebih harum, menyerupai melati tapi lebih cantik, entah apa nama bunga yang aneh ini.   "Bunga apakah ini, belum pernah kulihat,"   Tanya Nyo Ko.   "Namanya Bunga Cinta, memang jarang ada di dunia ini,"   Jawab si nona.   "Enak tidak rasanya dirasakan?" .   "Mula-mula terasa manis, tapi kemudian terasa pahit,"   Ujar Nyo Ko sembari mengulur tangannya untuk memetik bunga lagi.   Karena melihat ranting bunga itu berduri, maka dia memetik dengan sangat hati-hati.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tak terduga, di balik kuntuman bunga yang hendak dipetik itu tersembunyi juga duri yang kecil itu dan jarinya terluka hingga meneteskan beberapa tetes darah segar.   Aneh juga, batang pohon bunga itu mirip kapas saja, begitu darah menetes di dahan pohon, seketika darah segar itu terisap lenyap tanpa bekas.   "Menurut cerita ayahku, bunga cinta ini paling suka kepada darah manusia,"   Tutur si nona baju hijau.   "Dengan mengisap beberapa tetes darahmu ini, pasti bunganya akan mekar terlebih indah dan harum, Lembah ini bernama "Lembah Patah Hati", tapi di sini justeru tumbuh bunga cinta sebanyak ini, aneh bukan ?"   Nyo Ko merasa nama lembah itu sangat aneh, katanya.   "Mengapa bernama lembah patah Hati, nama ini sungguh luar biasa."   Nona baju hijau itu menggeleng, jawabnya.   "Akupun tidak tahu apa maksudnya, nama ini sudah turun temurun, bisa jadi ayah, mengetahui asal-usul nama ini"   Sembari bicara mereka lantas berjalan berendeng ke depan, Hidung Nyo Ko mengendus bau harum yang sedap, terlihat pula menjangan kecil yang berlari kian kemari di tepi jalan itu sangat menarik, hatinya menjadi lapang dan semangat segar, terpikir olehnya tiba-tiba .   "Alangkah bahagianya apabila yang berjalan berendeng denganku sekarang ini adalah Kokoh, sungguh aku ingin tinggal selamanya di lembah sunyi ini."    Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini