Kembalinya Pendekar Rajawali 50
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 50
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung Segera ia mengerahkan segenap tenaganya. "trang", kembali pedangnya membacok tubuh ular. Tapi mendadak tangannya terasa enteng, Kun cu kiam itu tinggal setengah saja yang terpegang di tangannya, badan ular juga lantas menyemburkan darah merah segar, namun tubuhnya belum tertabas putus. Karena lukanya cukup parah, lilitan badan ular nampak agak mengendur, kesempatan ini segera gunakan rajawali sakti itu untuk memberosot keluar, waktu turun ke bawah paruhnya yang bengkok itu secepat kilat mematuk sehingga mata ular yang satunya juga terpatuk buta. Ular itu pentang mulutnya yang lebar dan memagut kian kemari secara ngawur, kini kedua matanya sudah buta, tentu saja tidak dapat menggigit sasarannya. Siapa tahu rajawali itu justeru sengaja menyodorkan kepalanya dau membiarkan jengger merahnya digigit lagi oleh ular. Kembaii Nyo Ko terkesiap, tapi setelah dipikir segera ia paham maksud tujuan si rajawali, tentunya jengger merah burung itu adalah benda berbisa atau mungkin merupakan bagian yang anti ular. Kalau ular sawa itu tidak mempan ditabas senjata tajam, jalan paliag baik adalah membinasakannya dengan racun. Taring ular tampak menggigit jengger, gumpalan daging kepala rajawali itu, tubuhnya lantas terus melingkar pula, tapi sekali ini rajawali itu tidak membiarkan badahnya terbelit lagi. cakarnya bekerja, ekor ular dicengkeram dan dibetot hingga putus. Sementara itu ular sawa sudah keracunan hebat, mendadak badannya terguling dan melepaskan gumpalan daging yang digigitnya itu. Meski rajawali itu tahu si ular sudah dekat ajalnya, tapi dia tidak membiarkan lawannya main gila lagi, kepala ular terus dicengkeram dan ditekan ke dalam tanah. Rajawali itu buruk rupa, tapi tenaga saktinya sungguh kuat luar biasa, ular sawa itu tak bisa berkutik lagi dan tidak lama kemudian matilah ular itu. Si rajawali lantas mengangkat kepala dan berbunyi tiga kali, habis itu ia berpaling kepada Nyo Ko dan berkicau dengan suara halus. Dari suara burung itu Nyo Ko merasakan nada persahabatan pelahan ia mendekatinya dan berkata. "Tiau-heng (kakak rajawali), tenaga saktimu sungguh mengejutkan aku sangat kagum." Entah burung itu paham ucapannya atau tidak, hanya terdengar dia "berkicau" Lagi beberapa kali, mendadak ia melangkah maju dan mematuk setengah potong Kun-cu-kiam yang dipegang Nyo Ko itu, tahu2 pedang itu sudah direbutnya. Padahal kepandaian Nyo Ko sekarang sudah tokoh kelas satu, biarpun jago silat tertinggi juga tidak dapat merampas senjatanya dalam sekali gebrak saja, akan tetapi sekarang rajawali buruk rupa ini ternyata dapat menaklukannya dengan cepat luar biasa... Tentu saja Nyo Ko terkejut dan cepat melompat mundur, ia bersiap siaga kalau itu burung menubruk maju Iagi. Tapi dilihatnya rajawali itu telah membuang Kun-cu-kiam kutung itu dengan sikap yang menghina. Pahamlah Nyo Ko akan maksud rajawali itu, katanya. "Aha, tahulah aku. Kau melarang aku mendekati kau dengan bersenjata. padahal kita membunuh musuh bersama, mana aku dapat membikin susah padamu." Rajawali itu bersuara pelahan dan mendekati Nyo Ko sambil menjulurkan sayapnya dan menepuk pelahan beberapa kali di punggung anak muda itu. Melihat burung itu sangat cerdik dan dapat memahami ucapan manusia, Nyo Ko sangat girang iapun balas me-raba2 punggungnya. Melihat bangkai ular sawa yang masih menggeletak di situ, Nyo Ko menjadi heran apa sebabnya ular itu mampu mematahkan Kun-cu-kiam, Segera ia memotong sepotong ranting kayu, ia menusuk bangkai ular, rasanya lunak, tiada sesuatu yang aneh. Ketika kayu itu ia tusuk ke luka bekas bacokan pedang, tiba2 terbentur pada sesuatu benda yang keras, sedangkan bagian itu adalah perut dan bukan bagian tulang ular. Nyo Ko bertekad mencari tahu sejelasnya, sekuatnya ia tusukan kayunya, waktu ia tarik kembali ujung kayu itu ternyata sudah terbelah menjadi dua, tampaknya di dalam tubuh ular itu pasti ada sesuatu benda yang tajam. Ia coba berjongkok dan mengamati lebih teliti, dilihatnya di antara rembesan darah yang merah itu samar2 memancarkan kabut ungu yang tipis, jarak muka Nyo Ko dengan bangkai ular cukup jauh, tapi merasakan semacam hawa dingin yang aneh, semakin mendekat kepalanya ke bangkai rasa dingin itu semakin keras. Segera Nyo Ko menjemput kembali kutungan Kun-cu-kiam tadi, ia mengupas kulit daging ular bagian yang terluka itu, seketika hawa dingin tadi bertambah kuat. la terkejut disangkanya ada benda berbisa yang sangat lihay, cepat ia gunakan kutungan Kun-cu-kiam untuk membacok. "trang", tahu2 pedang yang sudah kutung itu patah lagi menjadi dua. Sekarang Nyo Ko sudah dapat menduga duduknya perkara, pasti di dalam tubuh ular itu terdapatsesuatu senjata tajam. Segera ia gunakan pedang kutung untuk mengupas kulit daging ular agar lebih bersih, akhirnya kelihatanlah sebatang pedang panjang satu meter yang bercahaya ungu. Dengan girang Nyo Ko menggunakan pedang, kutung untuk mencungkil batang pedang ungu itu, mendadak "srrr,... ,cret", pedang ungu itu tercungkil mencelat dan menancap pada batang pohon di sebelah sana hingga lebih setengah batang pedang yang ambles. padahal cara mencungkil tadi tidak terlalu keras, namun pedangnya itu dapat menancap ke batang pohon seperti batang pisang saja empuknya, sungguh senjata yang maha tajam dan belum pernah dilihat Nyo Ko. Waktu Nyo Ko menyembelih ular dan mengambil pedang ungu, selama itu si rajawali sakti juga terus mengawasi iapun tertarik melihat pedang ungu yang luar biasa itu, se-konyong2 ia menyerobot maju, gagang pedang digigitnya dan dicabut jenis dibawa lari ke tebing gunung sana. Dalam semalam Nyo Ko telah berulang mengalami peristiwa aneh, ia merasa rajawali buruk rupa itu tak dapat diduga, segera ikut melompat turun ke bawah sana, Dilihatnya tepi tebing sana ada sebuah sungai kecil, dengan menggigit pedang ungu tadi, rajawali itu lantas rendam pedang itu dalam air sungai, agaknya untuk mencucinya. Diam2 Nyo Ko mengangguk dan paham maksud si rajawali, pedang itu sudah lama mengeram di dalam perut ular berbisa. dengan sendirinya racun juga melekat pada batang pedang itu. Setelah sekian lamanya si rajawali mencuci pedang, kemudian ia berpaling dan melemparkan pedang itu kepada Nyo Ko. Pedang itu se-akan2 berbentuk selarik sinar ungu menyambar ke arah Nyo Ko, tapi dengan cepat anak muda itu dapat menangkap gagang pedang, katanya dengan tertawa "Terima kasih atas kebaikan Tiau-heng." Ia periksa, dilihatnya gagang pedang itu tertulis dua huruf Hindu kuno. "Ci-wi" Atau mawar ui Nyo Ko pegang pedang itu lurus ke depan menyendalnya perlahan, seketika batang pedang bergetar dan mengeluarkan suara mendengung, nyata batang pedang itu sangat lemas. Barulah mengerti akan persoalannya. "Ah lantaran pedang sangat lemas sehingga dapat mengikuti lenggak-lenggok tubuh ular, makanya tidak sampai mencelakai dan menembus perut ular meski mengeram sekian lamanya di dalam perut ular itu. la coba mengayun pedang ungu itu ke samping, sebatang pohon yang cukup besar kontan tertabas putus, sedikitpun tidak memerlukan tenaga. Rajawali tadi bersuara pelahan beberapa kali pula dan mendekati Nyo Ko, dengan paruhnya yang bengkok itu ia tarik2 ujung baju Nyo Ko, lalu mendahului melangkah ke sana. Nyo Ko menduga perbuatan rajawali itu pasti mengandung arti yang daiara, ia segera mengikuti dibelakangnya. Langkah rajawali itu sangat cepat seperti kuda lari saja meski berjalan di antara batu pegunungan dan semak belukar, Nyo Ko keluarkan kemahiran Ginkangnya, tapi rasanya sukar menyusulnya, syukur rajawali itu lantas menunggunya kalau Nyo Ko ketinggalan jauh. Makin lama tempat yang mereka tuju itu makin rendah dan akhirnya sampai di suatu lembah gunung yang dalam, Tidak lama kemudian sampailah mereka di sebuah gua besar, Rajawali itumengangguk kepala tiga kali di depan gua dan bersuara tiga kali, lalu menoleh, memandangi Nyo Ko. Dari sikap rajawali itu Nyo Ko menduga, binatang itu seperti sedang menjalankan penghormatan ke dalam gua, ia pikir gua ini pasti didiami oleh orang kosen angkatan tua dan rajawali ini tentunya adalah piaraannya, jika demikian aku harus menurut adat istiadat. Maka Nyo Ko lantas berlutut dan menyembah beberapa kali di depan gua dan berkata. "Tecu Nyo Ko menyampaikan salam hormat kepada cianpwe, agar sudi memaafkan kedatanganku yang sembrono ini." Selang sejenak, tiada terdengar sesuatu jawaban apapun, Rajawali itu menarik lagi ujung bajunya terus melangkah ke depan gua. Keadaan dalam gua gelap gulita, entah betul dihuni oleh orang kosen tokoh persilatan atau didiami oleh setan gendruwo, meski hatinya kebat-kebit, tapi mati-hidup tidak dipikirkan lagi, dengan menjinjing pedang pusaka "Ci-wi-kiam yang ditemunya itu, ia terus mengintil di belakang si rajawali sakti. Sebenarnya gua itu sangat cetek, hanya beberapa langkah sudah buntu. di dalam gua, selain sebuah meja dan sebuah bangku batu tiada sesuatu benda lain Iagi. Rajawali tadi berkaok tiga kali ke pojok gua sana, waktu Nyo Ko memandangnya tertampak di sudut sana ada segundukan batu yang menyerupai kuburan, ia pikir. "Tampaknya ini adalah makam seorang kosen, cuma sayang burung ini takdapat bicara sehingga sukar diketahui asal-usul tokoh ini" Ketika ia menengadah, tiba2 dilihatnya dinding gua seperti ada tulisan, cuma lembab dan berlumut dinding itu, pula gelap, maka tidak tertampak jelas, Segera Nyo Ko membuat api dan menyalakan sebatang kayu kering, ia kesut lumut dinding gua, benar di situ ada tiga baris huruf. Goresan tulisan sangat halus, tapi melekuk dalam pada batu dinding, tampaknya diukir dengan senjata yang sangat tajam, besar kemungkinan diukir dengan Ci-wi-kiam ini. Ketiga baris tulisan itu kira2 berarti "Malang melintang lebih 30 tahun di dunia Kangouw, membunuh habis semua musuh, mengalahkan seluruh jago di dunia ini tidak menemukan lawan lagi, maka bertirakat di lembah sunyi ini memperisterikan dan berkawankan rajawali Oho, sungguh sayang, selama hidup hanya mengharapkan seorang lawan sama kuat pun sukar ditemukan, pada bawah ketiga baris huruf itu disebut pula nama penulisnya, yakni. "Kiam-mo Tokko Kiu-pay" "Kiam-mo Tokko Kiu-pay", demikian Nyo Ko mengulangi kata2 ini beberapa kali, hatinya merasakan sesuatu yang sukar dilukiskan, dari tulisan di dinding gua itu dapat ditarik kesimpulan bahwa orang kosen itu lantaran tidak mendapatkan tandingan karena jengkel lalu dia mengasingkan diri dilembah sunyi ini, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silat orang ini tentu sukar diukur. Bahwa orang kosen itu berjuluk Kiam-mo (iblis pedang), dengan sendirinya ilmu pedangnya maha sakti, dia she Tokko dan bernama Kiu-pay (minta dikalahkan), mungkin dia telah menjelajahi seluruh jagat untuk mencari seorang yang mampu mengalahkan dia dan cita2nya itu tidak pernah terkabul, sebab itulah dia merasa masgul dan hidup menyendiri. Membayangkan betapa hebat tokoh yang entah hidup di jaman apa itu, tanpa terasa Nyo Ko sangat kagum. Nyo Ko angkat obornya dan memeriksa pula keadaan dalam gua, namun tidak ditemukan lagi sesuatu bekas lain, diatas makam itupun tidak ada tanda2 lain pula, Ia menduga mungkin setelah tokoh kosen itu meninggal lalu rajawali sakti inilah yang menguruki jenasahnya dengan batu. Mengenai pedang pusaka "mawar ungu" Bisa tertelan ke perut ular sawa itu, karena rajawali sakti ini tidak dapat bicara, tampaknya teka-teki ini ta kkan terungkap selamanya. Begitulah Nyo Ko ter-menung2 sejenak di situ, kemudian ia padamkan api obor, dalam kegelapan pedang pusaka yang dipegangnya itu memancarkan canana ungu yang remang2, teringat olehnya pedang ini pernah digunakan orang kosen Tokko Kiu-pay malang melintang di dunia persilatan tanpa terkalahkan, dan sekarang pedang pusaka ini jatuh ke tangannya, maka ia lantas berlutut dan menyembah lagi beberapa kali di depan makam batu tadi. Melihat Nyo Ko sangat menghormati makam batu itu, rupanya rajawali sakti sangat senang, kembali ia menjulurkan sayapnya menepuk pundak anak muda itu. Nyo Ko menjadi teringat tulisan tadi, dimasa Tokko Kiu-pay menyebut si rajawali sakti ini sebagai kawannya, jadi rajawali ini meski binatang kan terhitung angkatan tua pula, kalau kusebut dia Tiau-heng" (kakak rajawali) rasanya juga tak berlebihan. BegituIah ia lantas berkata kepada burung itu. "Tiau-heng, tanpa sengaja kita bertemuu, agaknya memang ada jodoh antara kita, sekarang kumohon diri untuk pergi. Engkau ingin mendampingi makam Tokko-locianpwe di sini atau hendak berangkat saja bersamaku?" Rajawali itu berbunyi beberapa kali sebagai jawaban. Sudah tentu Nyo Ko tidak paham artinya, yang jelas burung itu tetap berdiam saja di samping makam, maka Nyo Ko menarik kesimpulan rajawali itu merasa berat untuk meninggalkan kediaman yang sudah ratusan tahun dihuninya ini. Segera ia merangkul leher rajawali itu dan ber-mesra2an sekian lama dengan dia barulah tinggal pergi. Selama hidup Nyo Ko tiada mempunyai seorang sahabat karib kecuali saling cinta dengan Siau-liong-li, sekarang bertemu dengan rajawali sakti ini secara kebetulan, walaupun manusia dan binatang, tapi entah mengapa, rasanya sangat cocok sekali, sekeluarnya dari gua itu, terasa berat untuk meninggalkannya, maka setiap melangkah beberapa tindak ia lantas menoleh. Akhirniya setiap kali ia menoleh, selalu si rajawali sakit berbunyi satu kali sebagai tanggapan menolehnya itu, meski jaraknya sudah semakin jauh, tapi rajawali itu dapat melihat dengan jelas dalam kegelapan dan selalu menjawab dengan berbunyi satu kali bila Nyo Ko menoleh. Sungguh hati Nyo Ko sangat terharu, mendadak ia berseru. "O, Tiau-heng, jiwaku sudah tidak lama lagi, nanti kalau urusan puteri Kwe - pepeh sudah selesai dan setelah kumohon diri pada Kokoh? segera kudatang ke sini, rasanya tidak sia2 hidupku ini apabila aku dapat terkubur di samping Tokko locianpwe." Habis berkata ia memasukkan Ci-wi-kiam ke dalam sarung Kun-cu-kiam, lalu melangkah pergi dengan cepat Sambil berjalan, dalam hati Nyo Ko terus merenungkan pengalaman aneh tadi, terpikir pula olehnya Kun-cu-kiam dan Siok-li-kiam yang dimilikinya bersama Siao-liong-li itu, sepasang pedang ini sebenarnya memberi ramalan yang baik, siapa tahu Kun-cu-kiam akhirnya patah, tampaknya dirinya memang sudah ditakdirkan tak dapat hidup bersama Siao-liong-Ii sampai hari tua, berpikir sampai di sini ia berduka dan tanpa terasa mencucurkan air mata. Tengah berjalan, mendadak dari sebelah kanan menyambar tiba sesuatu senjata warna hitam, menyusul dari sebelah kiri juga ada orang menyergapnya. Saat itu pikiran Nyo Ko sedang bergolak dan sama sekali tidak menduga akan diserang oleh musuh dilembah sunyi begini. Apalagi serangan dari kanan kiri ini juga sangat cepat, dapat menghindarkan yang kiri tentu sukar mengelakkan yang kanan. Dalam keadaan kepepet Nyo Ko juga tidak sempat melolos pedang, sepat ia meloncat setinggi nya, ia menduga musuh pasti akan melancarkan serangan susulan waktu ia turun ke bawah, maka selagi terapung di atas, sekaligus ia cabut Ci- wi-kiam dan diputar dengan kencang untuk menjaga diri, dengan begitulah ia turun ke bawah. Akan tetapi sebelum dia melabrak lawannya, se-konyong2 sesosok bayangan menubruk tiba dari belakang, ternyata si rajawali sakti itu. Dengan cepat rajawali itu menubruk ke semak2 di sebelah kanan, sekali patuk segera seekor ular tergigit olehnya terus dilemparkan ke tanah, menyusul ia lantas menubruk pula ke sebelah kiri, tertampak sinar emas berkelebat, sebuah roda emas menghantamnya rajawali itu bermaksud mematuk roda itu untuk merampasnya, tapi tidak berhasil, sedikit berputar segera paruhnya mematuk lagi..Dari semak2 pohon situ lantas melompat keluar seorang dengan sepasang rodanya, kiranya Kim-lun Hoat-ong adanya. Kuatir rajawali itu dicelakai Hoat-ong yang lihay, cepat Nyo Ko berseru. "Silahkan mundur, Tiau-heng, biar aku yang melayani dia." Namun sayap kiii si rajawali mendadak membentang ke belakang untuk mencegah Nyo Ko, sedangkan sayap kanan terus menyampuk ke depan. Serangkum angin keras terus menyamber ke muka Hoat-ong, luar biasa tenaga sabetan sayap itu, biarpun jago silat kelas satu juga tidak sekuat itu. Kiranya Hoat-ong dan Nimo Singh bergumul dan terjerumus ke jurang, untung ditepi jurang ada sebatang pohon besar, pada detik berbahaya itu Hoat-ong sempat menggunakan sebelah tangannya untuk merangkul batang pohon. Saat itu Nimo Singh sudah dalam keadaan setengah sadar, namun dia masih tetap merangkul tubuh Hoat-ong dengan mati2an, setelah Hoat-ong mengawasi keadaan sekitarnya, kemudian ia lepaskan rangkulannya pada batang pohon sambil kakinya memancal, dengan tepat kedua orang jatuh pada onggokan semak2 rumput yang lebat terus menggelinding ke bawah mengikuti tebing yang miring itu. Belasan meter jauhnya mereka ber guling dan baru berhenti setelah sampai di dasar lembah yang dalam itu. Tentu saja sekujur badan mereka babak belur oleh duri dan batu kerikil. Segera Hoat-ong menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk menelikung tangan Nimo Singh sambil membentak "Lepaskan tidak?" Dalam keadaan setengah sadar Nimo Singh merasa tidak bertenaga lagi untuk melawan, terpaksa ia lepaskan sebelah tangan dan tangan lain masih mencengkeram punggung orang. "Hm, kedua kakimu sendiri keracunan hebat dan tidak lekas berusaha menolongnya masih main gila apa kau?" Jengek Hoat-ong. Ucapan ini seperti kemplangan diatas kepala Nimo Singh, cepat ia menunduk, tertampak kedua kaki sendiri sudah membengkak besar dua kali lipat daripada biasanya, ia tahu bila tidak lekas ditolong sebentar lagi kalau racun menjalar keatas tentu jiwanya melayang, ia menjadi nekat, ia melolos ular baja yang terselip di tali pinggang, sambil menggertak gigi ia bacok putus kedua kakinya itu sebatas lutut Seketika darah segar memuncrat, kontan iapun semaput. Melihat betapa tegas dan perkasanya Nimo Singh, mau-tak-mau Hoat-ong merasa kagum juga. Mengingat orang sudah cacat kedua kaki dan tidak bakalan bersaing lagi dengan dirinya, segerat Hoat - ong menutup beberapa Hiat-to di kaki Nimo Smgh untuk menghentikan cucuran darahnya, habis itu ia mengeluarkan pula obat dibubuhkan pada lukanya serta membalutnya dengan robekan kain baju Nimo Singh. Pada umumnya Busu (jago silat, Bushu kata orang Jepang) di negeri Thian-tiok mengalami gemblengan fisik yang hebat, rata2 pernah berlatih tidur di atas papan berpaku atau berpisau dan jenis2 ilmu yang menyakitkan lainnya. Nimo Singh juga ahli dalam ilmu2 itu, maka begitu darahnya mampet, segera ia sanggup bangkit berduduk dan berkata kepada Hoat-ong. "Baiklah, kau telah menolong aku segala sengketa kita yang sudah lalu tak perlu di-ungkat lagi." Hoat-ong tersenyum getir, dalam hati ia merasa keadaan sendiri malahan lebih buruk daripada Nimo Singh yang sudah buntung itu, meski buntung, tapi Nimo Singh sudah bebas dari keracunan. Maka Hoat-ong lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak keluar hawa beracun di telapak kakinya itu. Lebih satu jam barulah beberapa tetes air hitam dapat ditolak keluar, itupun sudah membuatnya jantung berdebar dan napas terengah. Seharian itu mereka lantas istirahat di dasar-lembah itu. Tak terduga menjelang tengah malam. tiba2 terdengar suara tindakan orang mendatang dari kejauhan. Cepat Hoat-ong gusur tubuh Nimo Singh ke dalam semak2, ia sendiri lantas sembunyi di balik pohon. Sesudah dekat, dikenalinya pendatang itu adalah Nyo Ko, anak muda itu mengintil di belakang seekor burung raksasa aneh, sekejap saja sudah lewat ke sana. Mengingat racun dalam tubuhnya seketika sukar dibersihkan, timbul pikiran Hoat-ong hendak merobohkan Nyo Ko untuk merampas obat penawarnya, Sebab itulah mereka lantas sembunyi di situ begitu Nyo Ko kembali lagj, segera mereka menyergapnya. Untung kedua orang itu habis terluka dan banyak berkurang tenaganya, kalau tidak pasti Nyo Ko bisa celaka. Begitulah sesudah Nyo Ko terhindar dari sergapan, dilihatnya si rajawali sakti pedang melabrak Hoat-ong dengan sengit, caranya menubruk dan menyabet dengan sayapnya serta caranya mengelak seluruhnya bergaya dan beraturan, tentunya burung ini sudah lama mengikuti orang kosen yang tak terkalahkan sebagai Tokko Kiu-pay, maka sudah apal sekali semua jurus ilmu silat sehingga tokoh semacam Hoat-ong juga cuma bertempur sama kuatnya saja melawan rajawali. Makin lama Hoat-ong makin heran dan kuatir Nyo Ko berdiri di samping dengan pedang terhunus, kalau anak muda itu ikut mengerubutnya pasi dirinya bisa celaka, iapun heran darimana datangnya burung raksasa, kalau saja majikannya juga muncul maka tamatlah riwayatnya hari ini. Berpikir sampai di sini, mendadak kedua roda-nya menyilang di depan dada untuk menahan patokan si rajawali, habis itu cepat ia melompat mundur sambil berseru. "Bocah she Nyo, darimanakah kau mendatangkan makhluk ini?" Sebelah tangan Nyo Ko merangkul leher rajawali dengan mesra, lalu menjawab. "Ini adalah sahabat karibku, kakak Sin-tiau (rajawali sakti), Hendaknya jangan kau bikin marah dia. kalau dia terbang dan menubruk dari atas, sekali patuk tentu kepalamu akan berlubang besar." Hoat-ong percaya ucapan Nyo Ko itu, berdiri saja sudah begitu tinggi rajawali itu, apalagi kalau terbang ke atas, cara bagaimana melawannya nanti? Karena itu ia cuma berdiri saja dan bungkam. Terdengar Nyo Ko berkata pula. "Tiau-heng, engkau mengantar aku ke sini, kawanan penjahat ini menjadi ketakutan melihat kesaktianmu, rasanya tiada aral melintang lagi di depan sana, bolehlah kita berpisah di sini saja." Sin-tiau itu memandang sekejap ke arah Hoat-ong dan Nimo Singh, habis itu cuma diam saja. "Baiklah, jika engkau suka boleh awasi kedua orang ini, aku mohon diri buat berangkat lebih dulu." Kata Nyo Ko sambil memberi hormat dan melangkah pergi. Karena kuatirkan bayi puteri Kwe Cing itu, maka ia berlari secepatnya ke gua itu, baru sampai di mulut gua sudah terdengar suara Li Bok-chiu menegurnya. "Ke mana kau sejak tadi? Di sini ada setan gentayangan yang terus menerus menangis saja, sungguh mengganggu dan menjemukan." "Mana ada setan?" Ujar Nyo Ko. Belum lenyap suaranya, tiba2 dari jauh berkumandang suara orang-menangis keras, Keruan ia terkejut, ia pikir masakah di dunia ini benar2 adalah setan segala? Suara tangisan yang tadi kedengaran sangat jauh itu, dalam sekejap saja sudah mendekat, rasanya cuma beberapa puluh meter saja di luar gua sana. Segera Nyo Ko melolos pedang Ci-wi-kiam dan mendesis pada Li Bok-chiu. "Kau jaga anak itu, biar kubereskan dia, Li-supek." Serentak Li Bok-chtu merasakan hawa dingin dilihatnya sinar ungu yang samar2 dalam kegelapan, jelas senjata yang dipegang Nyo Ko adalah sebuah pedang mestika, Dengan heran ia tanya. "Darimana kau mendapat pedang ini?" Belum lagi Nyo Ko menjawab, tiba2 terdengar orang di luar gua itu sedang berteriak dan menangis. "Oh, buruk amat nasibku ini isteriku dibunuh orang, kedua putraku hendak saling bunuh membunuh pula." Mendengar itu, legalah hati Nyo Ko, jelas itulah suara manusia dan sama sekali bukan setan segala. ia coba melongok keluar, di bawah cahaya bintang yang remang2 kelihatan seorang lelaki tinggi besar dengan rambut semerawut, pakaiannya robek dan compang camping, tangan menutupi muka sambil menangis dan ber-putar2 dengan cepat di situ, bagaimana wajahnya tak terlihat jelas. "Huh, rupanya seorang gila, lekas usir dia agar tidak mengganggu tidur anak ini," Jengek Li Bok-chiu. Sementara itu lelaki tadi sedang menangis dan sesambatan pula. "di dunia ini aku cuma mempunyai dua anak ini, tapi mereka justeru hendak saling membunuh, lalu apa artinya hidupku ini?" Sambil berkata ia terus menangis ter-gerung2 dengan sedihnya. Hati Nyo Ko tergerak, ia pikir mungkin inilah dia? Segera ia memasukkan pedang kesarungnya. "Apakah di situ Bu-locianpwe adanya...?" Orang itu menangis di ladang sunyi, soalnya karena hatinya teramat berduka, tak diduganya di lereng pegunungan ini ada orang lain, segera berhenti menangis balas menegur dengan suara bengis. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan secara sembunyi2 di sini?" Nyo Ko memberi hormat dan menjawab. "Cayhe bernama Nyo Ko, apakah cianpwe she Bu dan bernama Sam-thong?" Orang ini memang betul adalah Bu Sam thong, dahulu dia dilukai Li Bok-chiu dengan jarum berbisa dan jatuh kelengar, waktu siuman kembali, dilihatnya Bu Sam-nio, isterinya sendiri sedang mengisap darah beracun dari lukanya itu, ia terkejut dan berseru mencegah sambil mendorong sang isteri. Akan tetapi sudah terlambat, air muka sang isteri kelihatan hitam membiru. Nyata Bu Sam-nio telah mengorbankan diri sendiri demi untuk menyelamatkan sang suami, ia tahu ajalnya sudah dekat, sambil mengelus kepala kedua puteranya ia menyatakan penyesalannya yang tidak dapat membahagiakan suami sejak mereka menikah, sebab sang si suami mencintai perempuan lain. Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, harapannya sekarang hanya memohon sang suami suka jadi manusia berguna bagi negara dan bangsa serta hidup rukun selamanya. Habis meninggalkan pesan itu Bu Sam-nio lantas menghembuskan napasnya yang penghabisan. Karena kematian isterinya itu, saking berdukanya penyakit Bu Sam-thong kembali kumat, melihat kedua puteranya mendekap diatas mayat ibunya dan sedang menangis sedih, pikiran Bu Sam-thong serasa kosong, apapun tidak tahu lagi dan segera pergi tanpa arah tujuan. Begitulah ia terus luntang lantung selama beberapa tahun di dunia Kangouw dalam keadaan tidak waras, It-teng Taysu mendapat berita itu dan mengirim anak muridnya untuk menjemput Bu Sam-thong ke Tayli, disitulah Bu Sam-thong akhirnya dapat disembuhkan. Kemudian Bu Sam-thong mendapat kabar pula dari Cu Cu-liu yang menghadiri pertemuan besar para ksatria, bahwa kedua puteranya itu kini sudah dewasa serta sudah diajari It-yang-ci oleh Cu Cu-liu. Tentu saja Bu Sam-thong sangat girang dan terkenang kepada putera2nya, ia lantas mohon diri pada sang guru dan berangkat ke Siangyang untuk menjenguk anak2nya. Setiba Bu Sam-thong di Siangyang, kebetulan Kim lun Hoat-ong habis mengacau di kota itu, Kwe Cing terluka dan Ui Yong baru melahirkan, setelah menemui Cu Cu-liu dan Kwe Hu, Bu Sam-thong mendapat keterangan bahwa kedua puteranya itu telah minggat untuk saling berkelahi. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tentu saja Sam-thong sangat berduka dan teringat kepada pesan sang isteri, cepat ia memburu keluar kota untuk mencari Bu Siu-bun dan Bu Tun-si. Akhirnya Bu Sam-thong dapat menemukan kedua puteranya disuatu kelenteng rusak. Sudah tentu kedua saudara Bu sangat gembira dapat bertemu kembali dengan sang ayah. Tapi ketika persoalan Kwe Hu dibicarakan, kedua bersaudara itu tidak mau mengalah. Meski didamperat atau dibujuk dengan halus oleh sang ayah agar kedua pemuda itu jangan memikirkan Kwe Hu lagi, namun sukar terlaksana gagasan demikian. Di depan sang ayah memang kedua saudara Bu tidak berani bermusuhan, tapi dibelakang ayahnya mereka lantas ribut. Malamnya kedua saudara itu berjanji akan mengadakan pertarungan menentukan di tempat sepi. Bu Sam-thong sangat mendongkol dan berduka setelah mencuri dengar pembicaraan kedua anaknya serta mendahului mendatangi tempat yang telah ditentukan kedua anak muda itu dengan maksud mencegah pertarungan mereka. Semakin dipikir semakin berduka hatinya hingga akhirnya Bu Sam thong menangis sesambatan di ladang pegunungan yang sunyi itu. Bu Sam-thong belum pernah kenal Nyo Ko, dalam keadaan sedih, tanpa terasa ia menjadi gusar karena merasa terganggu, segera ia membentak "Siapa kau? Darimana kau kenal namaku?" "Paman Bu," Jawab Nyo Ko. "Siautit (keponakan) pernah mondok di tempat Kwe-tayhiap di Thoa-ho-to bersama kedua saudara Tun-si dan Siu-bun waktu kami sama2 kecil. Selama ini nama paman sudah kukenal dan kukagumi." Bu Sam-thong mengangguk. "Dau apa yang kau lakukan di sini? Aha, tentu kau hendak menjadi wasit dalam pertandingan Siubun dan Tun si ini. Hm, kau mengaku sahabat mereka, mengapa kau tidak berusaha melerai, sebaliknya malah mendorong dan ingin melihat keramaian, macam sahabat apa kau ini?" Makin bicara makin bengis, segenap rasa gusarnya se-akan2 hendak di-lampiaskan atas diri Nyo Ko, maka sambil mendamprat terus melangkah maju dan angkat telapak tangan. Melihat berewok orang se-akan2 menegak, sikapnya garang, Nyo Ko pikir sebagai murid It-teng Taysii, tentu ilmu silat orang sangat tinggi, kenapa mesti bergebrak dengan dia tanpa sebab. Karena itu ia lantas menyurut mundur dan berkata. "Sesungguhnya siautit tidak tahu kedua saudara Bu hendak bertanding di sini, harap paman jangan salah paham padaku." "Omong kosong!" Bentak Bu Sam-thong. "Kalau kau tidak tahu, mengapa kau berada di sini? Dunia sebesar ini, kenapa kau justeru berada di lembah sunyi ini?" Diam2 Nyo Ko mendongkol, ia pikir orang ini benar2 gila dan sukar diajak bicara, apalagi pertemuan-nya di tempat sunyi ini memang betul jaga sangat kebetuIan, karena itu ia menjadi serba susah untuk menjawab. Melihat orang ragu2 dan diam saja, Bu Sam-thong menganggap bocah ini pasti bukan orang baik2, dasar otaknya pernah terganggu, pula, sudah pernah patah hati, maka setiap kali melihat pemuda cakap tentu timbul rasa jemunya. Apalagi dia sedang gemas dan tak terlampiaskan, tanpa bicara lagi segera menabok ke pundak Nyo Ko. Namun Nyo Ko sempat mengegos sehingga serangan tangan Bu Sam-thong itu mengenai tempat kosong" Cepat Bu Sam-thong tarik tangannya terus menyikut. Nyo Ko tidak berani ayal, melihat serangan orang yang keras itu, cepat ia menggeser ke samping untuk menghindar lagi. "Hebat juga Ginkangmu," Seru Bu Sam-thong "Hayolah lekas keluarkan pedangmu!" Pada saat itulah tiba2 bayi di dalam gua terjaga bangun dan menangis pula, pikiran Nyo Ko tergerak ia tahu Bu Sam-thong sangat benci kepada Li Bok chiu yang telah membunuh isterinya, kalau kepergok pasti akan bergebrak mati2an. sedangkan kedua orang sama2 lihaynya, sekali mulai bertarung pasti tidak kenal ampun lagi, bisa jadi si bayi akan keserempet bahaya. Karena itu Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa. "Paman Bu, siautit mana berani bergebrak dengan engkau? Tapi kalau engkau tetap menyangsikan pribadiku, akupun tidak berdaya, Begini, asal kubiarkan engkau menyerang tiga kali dan Siautit pasti takkan balas menyerang, jika engkau tidak berhasil membinasakan aku, maukah engkau segera pergi dari sini" Bu Sam-thong menjadi marah, bentaknya. "Anak setan, temberang benar kau ini, tadi aku sengaja menahan diri dan tidak menyerang sungguh2, lalu kau berani memandang enteng padaku?" Mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depan, ia telah mengeluarkan ilmu jari sakti It - yang - ci ajaran It-teng Taysu. Diam2 Nyo Ko prihatin, tertampak jari orang bergerak pelahan, tapi Hiat-to setengah badan sendiri se-akan2 terkurung oleh jarinya ini, bahkan sukar diketahui Hiat-to mana yang akan diarah jari orang, justeru tidak diketahui arah serangan lawan, terpaksa janji "takkan balas menyerang44 tidak dapat ditepati lagi, Dalam keadaan tiada jalan lain, cepat Nyo-Ko menyelentik dengan kedua jarinya, inilah Sian-ci-sin-thong" (selentikan jari sakti) ajaran Ui Yok-su. Sian-ci-sin-thong dan lt-yang-ci sama2 terkenal selama berpuluh tahun ini dan masing2 mempunyai keunggulannya sendiri. Tapi latihan Nyo Ko masih cetek, dengan sendirinya sukar menandingi latihan Bu Sam-thong yang sudah berpuluh tahun lamanya itu. Maka begitu jari kedua orang saling bentrok, seketika lengan kanan Nyo Ko tergetar, sekujur badan terasa panas dan terdesak mundur beberapa tindak barulah dapat berdiri tegak kembali. Bu Sam-thong bersuara heran, katanya. "Eh, tampaknya kau memang pernah berdiam di Tho-hoa-to." Dan karena merasa segan terhadap Ui Yoksu, pula merasa sayang terhadap Nyo Ko yang masih muda tapi sudah mampu menandinginya, maka ketika serangan kedua kalinya ia lantas memperingatkan lebih dulu. "Awas tutukan kedua ini, kalau tidak mampu menangkis janganlah menangkis agar tidak rusak badanmu, aku takkan mencelakai jiwamu." Habis berkata ia terus menubruk maju dan jarinya kembali menutuk pula, sekali ini yang di arah adalah perut Nyo Ko yang meliputi berbagai Hiat-to di bagian itu. Nyo Ko merasa tidak sanggup menahan lagi dengan Sian-ci-sin-thong apabila jarinya tidak mau dipatahkan, dalam keadaan kepepet, tiba2 ia tarik pedang Ci-wi-kiam dan dibuat tameng di depan perutnya. Batang pedang Ci-wi-kiam cuma beberapa senti lebarnya, namun berhawa dingin dan berbatang lemas, sedikit tergetar saja, sudah memancarkan cahaya ungu. Ketika jari Bu Sam-thong mendekat dan merasakan ketajaman pedang itu, cepat ia menarik kembali jarinya. Hanya terkejut sebentar saja, menyusul tutukan ketiga kalinya dilontarkan lagi oleh Bu Sam-thong, sekali ini secepat kilat mengarah batok kepala di tengah alis Nyo Ko, ia menduga betapa hebat pedangnya, juga tidak sempat diangkat untuk membela diri. Tak terduga, sekilas timbul akal aneh dalani benak Nyo Ko, mendadak ia memutar Ci-wi-kiam ke atas, bukannya untuk menangkis, sebaliknya ujung pedang diacungkan ke dada sendiri terus di-tusukkannya. Gerakan ini sangat berbahaya, Bu Sam-thong terkejut, cepat tutukan jarinya itu diurungkan dan tangannya menyamber ke bawah dengan maksud merebut pedang Nyo Ko untuk menyelamatkan jiwanya. Ternyata gerakan menusuk dada sendiri ini adalah tipuan Nyo Ko belaka, ketika ujung pedang menyentuh bajunya, segera ia tarik ke bawah dan segera diputar pula untuk melindungi seluruh tubuh nya, betapapun cepat gerakan Bu Sam-thong ini tetap terlambat sedetik sehingga tangannya hampir saja tertabas oleh pedang pusaka Nyo Ko itu. Sekarang Nyo Ko benar2 telah mengalah tiga kali serangan tanpa balas menyerang, ia mulai mengeluarkan ilmu pedangnya, seketika Bu Sam thong merasa terkurung oleh hawa dingin yang tak tertahankan meski lihay It-yang-ci juga tidak dapat menghadapi pedang- mestika Nyo Ko ini. Setelah melengak dan merasa kewalahan, Bu Sam-thong melompat mundur, dengan lesu ia berkata. "Hai, benar2 ksatria timbul dari kaum muda, tua bangka macamku sudah tak berguna lagi." Nyo Ko merasa rikuh karena telah mengibul orang tua itu, cepat ia simpan kembali pedangnya, katanya sambil memberi hormat. "Kalau paman tidak bermaksud baik merampas pedang untuk menyelamatkan jiwaku, tentu siautit sukar menghindari tutukan ketiga kalinya tadi." Hati Bu Sam thong rada terhibur karena Nyo Ko membeberkan sendiri tipu akalnya tadi, katanya gegetun. "Dahulu Ui Yong telah mengalahkan aku dengan akalnya, sekarang aku dikalahkan pula olehmu, ya orang kasar macam kami ini, memang bukan tandingan kaum muda yang cerdik pandai..." Belum habis ucapannya, tiba2 dari jauh ada suara orang mendatangi jelas yang datang ada dua orang. Cepat Nyo Ko menarik Bu Sam thong sembunyi di balik semak2 pohon sana. Sesudah dekat, nyata kedua pendatang itu memang betul Bu Tun-si dan Bu Siu-bun. Siu-bun berhenti dulu di sini dan memandang sekitarnya, lalu berkata. "Toako, tempat ini cukup lapang, boleh di sini saja," "Baik," Jawaban Tun-si. Dia tidak suka banyak bicara, sret, segera pedang diIolosnya. sebaliknya Siu-bun tidak lantas mencabut pe-dangnya, katanya pula. "Toako, pertarungan ini andaikan aku kalah dan kau tidak mau membunuh aku, apapun juga adikmu ini juga tak ingin hidup lagi di dunia ini. Mengenai menuntut balas kematian ibu dan merawat ayah serta melindungi adik Hu, ketiga tugas besar ini hendaklah Toako yang memikulnya semua," Mendengar ini, hati Bu Sam-thong menjadi pedih dan meneteskan ar mata. Sementara itu Bu Tun-si lagi menjawab "Asal kan sama2 tahu, buat apa banyak bicara lagi. Kalau aku yang kalah, juga begitulah harapanku." Habis ini ia angkat pedangnya dan pasang kuda. Namun Bu Siu-bun tetap tidak melolos pedangnya, tiba2 ia melangkah maju beberapa tindak dan berkata. "Toako, sejak kecil kita sudah kehilangan ibu dan jauh berpisah dengan ayah, kita kakak beradik hidup berdampingan dan tak pernah bertengkar bahwa sampai terjadi seperti sekarang ini, apakah Toako marah kepada adik?" Tun-si menjawab. "Agaknya kejadian ini sudah takdir adikku, kita tidak berkuasa." "Baiklah, tak peduli siapa yang hidup dari mati, selamanya jangan membocorkan rahasia kejadian ini agar ayah dan adik Hu tidak berduka," Kata Siu-bun. Bu Tun-si mengangguk dan menggenggam tangan Siu-bun dengan erat, kedua bersaudara berdiri berhadapan tanpa bicara sampai sekian lama. Bu Sam-thong tak dapat menahan- perasaan nya dan bermaksud melompat keluar untuk menegur perbuatan bodoh kedua anak muda itu, tiba2 terdengar kedua orang itu sama2 berseru. "Baiklah, mulai!" - Berbareng mereka lantas melompat mundur. Cepat sekali Siu-bun lantas melolos pedangnya dan "sret-sret-sret" Tiga kali tanpa bicara lagi ia menyerang dengan cepat. Namun Tun-si dapat menangkisnya dan balas menyerang dua kali ke tempat mematikan di tubuh adiknya. Bu Sam-thong berkuatir melihat serangan lihay itu, dilihatnya Siu-bun dapat mengelakkan serangan maut itu dengan mudah. Di lembah sunyi itu terdengar suara benturan pedang yang nyaring, kedua kakak beradik ternyata bertempur dengan mati2an tanpa kenal ampun. Tentu saja Bu Sam-thong jadi sedih dan kuatir pula, keduanya sama2 putera kesayangannya, selamanya ia pandang sama, tidak pernah pilih kasih. Serang menyerang kedua anak muda itu semakin ganas seperti menghadapi musuh saja layaknya, kalau pertarungan itu berlangsung terus, akhirnya pasti ada yang celaka, Saat ini kalau Bu Sam-thong mau perlihatkan dirinya dan mencegah, pasti kedua anak muda itu akan berhenti bertempur. Tapi sekarang ini, besok juga pasti akan mengadu jiwa puIa, betapapun ia tak dapat senantiasa mengawasi kedua anak muda itu. Begitulah Bu Sam-thong semakin sedih memikirkan betapa malang nasib keluarganya itu, tanpa terasa air matanya bercucuran. Sejak kecil Nyo Ko memang tidak akur dengan kedua saudara Bu kecil itu, sesudah dewasa dan bertemu juga tetap tidak cocok. Seperti juga umumnya manusia, kalau melihat orang lain susah, maka timbul rasa senangnya. Semula Nyo Ko juga bersyukur kedua saudara Bu itu saling genjot sendiri Tapi ketika melihat Bu Sam-thong sangat berduka, tiba2 timbul rasa bajiknya, terutama bila mengingat jiwa sendiri sudah tidak panjang lagi, pikirnya. "Selama hidupku tidak pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, setelah kumati tentu Kokoh akan berduka, selain itu yang akan teringat pada diriku paling2 juga cuma Thia Eng, Liok Bu-siang dan Kongsun Lik-oh beberapa nona cantik itu saja. Apakah tidak lebih baik sekarang kulakukan sesuatu yang berguna agar paman Bu ini selama hidup akan selalu ingat pada kebaikanku ini?" Setelah ambil keputusan itu, segera ia membisiki-Bu Sam-thong. "Paman Bu, aku ada suatu akal yang dapat menghentikan pertarungan kedua kakak Bu." Hati Bu Sam-thong bergetar, ia berpaling dengan penuh rasa terima kasih dan air matanya masih bercucuran namun tampaknya ia masih ragu2 karena tidak tahu Nyo Ko mempunyai akal bagus apa untuk memecahkan persoalan pelik ini? "Cuma terpaksa aku harus bikin susah kedua saudara Bu, hendaknya paman jangan marah padaku," Bisik Nyo Ko pula. Dengan kencang Bu Sam-thong genggam kedua tangan Nyo Ko, saking terharu hatinya hingga tidak sanggup bicara, Sejak muda ia sudah tergoda oleh urusan cinta, tapi sejak isterinya meninggal rasa terharu atas budi kebaikan sang isteri yang rela mengorbankan jiwa sendiri untuk menyelamatkannya itu lambat laun membuat cinta kepayangnya kepada kekasihnya dahulu mulai hambar setelah tambah tua harapannya hanya tercurah pada kedua puteranya saja, biarpun jiwa sendiri harus dikorbankan iapun rela. Karena itu ketika mendengar ucapan Nyo Ko tadi pada saat ia sudah putus harapan, tentu saja ia sangat girang se-akan2 mendapatkan wahyu. Melihat sikap Bu Samthong, Nyo Ko menjadi terharu dan pedih hatinya, ia pikir kalau ayahku masih hidup, tentu beliau juga sayang padaku seperti ini. Dengan suara tertawa ia lantas berkata pula. "Hendaklah paman Bu diam saja di sini dan jangan se-kali2 diketahui mereka, kalau tidak akalku akan gagal total," Dalam pada itu pertarungan kedua saudara Bu semakin sengit dan benar2 mengadu jiwa, Walaupun begitu dalam pandangan Nyo Ko, kepandaian kedua Bu cilik itu sesungguhnya belum ada tiga bagian daripada seluruh kepandaian Kwe Cing. Pada saat itulah mendadak Nyo Ko bergelak tertawa terus memperlihatkan dirinya. Tentu saja kedua saudara Bu terkejut, berbareng mereka melompat mundur, bentak mereka sambil menatap tajam kepada Nyo Ko. "Untuk apa kau datang ke sini?" "Kalian sendiri untuk apa berada di sini?" Jawab Nyo Ko dengan tertawa. Bu Siu-bun ter-bahak2, katanya. "Karena iseng di malam sunyi im, maka kami bersaudara berlatih ilmu pedang di sini." Diam2 Nyo Ko mengakui Bu cilik itu lebih cerdik, meski berdusta tapi cara, bicaranya seperti sungguh2, segera ia menjengek. "Hm, berlatih kok serang menyerang secara mati2-an? Hehe, giat amat cara kalian terlatih?" Bu Tun-si menjadi gusar damperatnya. "Enyah lah kau, urusan kami tidak perlu kau ikut urus!" "Ha, kalau benar2 berlatih sudah tentu aku tidak perlu urus," Jengek Nyo Ko pula. "Tapi setiap kali kalian serang menyerang, yang kalian pikirkan melulu adik Hu belaka, mau-tak-mau aku harus ikut urus," Mendengar ucapan "adik Hu" Yang sengaja dibikin mesra oleh Nyo Ko itu, seketika hati kedua saudara Bu itu tergetar Dengan gusar Siu-bun lantas mendamperat pula. "Kau mengaco belo apa?" Dengan tegas Nyo Ko berucap lagi. "Adik Hu... kau dengar tidak? Adik Hu-ku tersayang itu puteri kandung paman dan bibi Kwe, betul tidak? urusan perjodohan harus berdasarkan idzin ayah ibu, benar tidak? sedangkan paman Kwe sudah lama menjodohkan adik Hu kepadaku, hal ini kan sudah kalian ketahui, tapi kalian malah bertanding pedang di sini untuk memperebutkan bakal isteriku itu, memangnya kalian ini anggap aku Nyo Ko ini manusia atau bukan?" Kata2 Nyo Ko tegas dan bengis, seketika dua saudara Bu tak mampu menjawab. Mereka memang tahu Kwe Cing ada maksud memungut Nyo Ko sebagai menantu, tapi Ui Yong dan Kwe Hu sendiri tidak suka padanya. Kini isi hati mereka mendadak dibongkar oleh Nyo Ko, kedua saudara Bu itu menjadi saling pandang dengan bingung. Dasar Siu-bun memang lebih cerdik, segera ia belas mendengus. "Huh, bakal isteri apa? Berani juga kau mcngucapnya! Apa buktinya kau sudah dijodohkan dengan adik Hu? Adakah comblangnya? Apa kau sudah memberi panjer? sudahkah ber-tunangan?" "Haha, memangnya kalian berdua yang sudah dijodohkan dengan dia, sudah ada comblangnya dan telah diluluskan orang tuanya?" Balas Nyo Ko menjengek. Maklumlah pada jaman dinasti Song, adat istiadat urusan perkawinan dipandang sangat penting, setiap perjodohan harus seidzin orang tua dan harus ada saksi2 comblangnya. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sudah tentu hubungan kedua saudara Bu dengan Kwe Hu belum sampai sejauh itu, mereka menjadi bungkam oleh pertanyaan Nyo Ko. Setelah berpikir sejenak, kemudian Siu-bun menjawab. "Bahwa Suhu bermaksud menjodohkan adik Hu padamu, hal itu memang betul. Nantun Subo (ibu guru) justeru menjatuhkan pilihannya atas satu diantara kami berdua. jadi sesungguhnya kedudukan kita bertiga sekarang adalah sama, siapapun belum punya hak. Soal siapa yang keluar sebagai pemenang kelak adalah sukar diramalkan.?" Nyo Ko tidak menjawab, ia menengadah dan bergelak tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" Damperat Siu-bun dengan gusar. "Memangnya ucapanku salah?" "Ya, salah, salah besar!" Jawab Nyo Ko. "Bahwa paman Kwe suka padaku sudah tidak perlu di sangsikan lagi, malahan bibi Kwe juga sangat suka padaku, kalian berdua mana dapat di bandingkan dengan diriku." "Hm, yang penting kenyataannya tiada berguna beromong kosong," Jengek Siu-bun pula. "Haha, untuk apa aku beromong kosong?" Ujar Nyo Ko. "Bibi Kwe diam2 sudah menjodohkan puterinya padaku, kalau tidak buat apa kutolong ayah dan ibu mertuaku dengan mati2an, itu lantaran mengingat akan adik Hu itulah. Nah, coba katakan, apakah Subomu pernah berjanji kepada kalian?" Kedua Ba cilik itu saling pandang dengan bingung, mereka merasa sang ibu guru memang tidak pernah memberi janji ucapan apapun, malahan hanya saja belum pernah mengunjuk keinginan hendak memungut menantu salah seorang di antara mereka. jangan2 ibu gurunya itu memang betul telah menjodohkan Kwe Hu kepada bocah she Nyo ini? Tadinya kedua saudara itu hendak mengadu jiwa sendiri, tapi sekarang mendadak diantara mereka diselipi seorang lawan, seketika timbul rasa persatuan kedua saudara itu untuk menghadapi musuh bersama. Seperti diketahui Nyo Ko pernah mengintip dan mendengar percakapan Kwe Hu dengan kedua saudara Bu itu, maka ia sengaja hendak memancing rasa cemburu mereka, dengan tertawa ia berkata pula "Adik Hu pernah berkata padaku bahwa kedua kakak Bu bersaing memperebutkan dia, karena tak dapat menolak, terpaksa adik Hu menyatakan menyukai ke-dua2nya. Padahal, hahaha, masa ada perempuan baik2 di dunia ini sekaligus mencintai dua orang lelaki. Adik Hu adalah gadis yang suci bersih, tidak mungkin terjadi begitu, Nah biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa menyukai ke-dua2nya berarti satupun tidak disukainya." Lalu ia sengaja menirukan lagak lagu ucapan Kwe Hu pada malam itu. "O, Kakak Bu cilik, mengapa engkau selalu merecoki aku, masakah kau tidak tahu perasaanku padamu? O, kakak Bu besar rasanya lebih baik aku mati saja." Seketika air muka kedua saudara Bu berubah ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri tatkala itu tiada orang ketiga yang hadir disitu. Kalau saja Kwe Hu tidak menceritakan kembali padanya, darimana Nyo Ko mengetahuinya? Hati mereka terasa sakit seperti disayat, rupa nya memang beginilah makanya selama ini Kwe Hu tidak mau menerima lamaran mereka... Paras air muka kedua saudara Bu itu dapatlah Nyo Ko mengetahui bahwa akalnya telah mencapai sasarannya, segera ia berkata pula dengan sungguh2- "Pendek kata, adik Hu adalah bakal isteriku, sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek2 dan nenek2..." - Sampai di sini, tiba2 terdengar di belakang ada suara orang menghela napas pelan, kedengarannya mirip benar dengan suara Siao-liong-li. Nyo Ko terkejut dan hampir2 saja berseru memanggil, tapi segera ia menyadari suara itu adalah suara Li Bok chiu di dalam gua, orang ini se-kali2 tidak boleh dipertemukan dengan keluarga Bu ini. Segera ia berkata pula kepada kedua saudara Bu. "Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang2 tenaga percuma, Mengingat kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan kalian ini tidak kupikirkan lagi, kalian boleh pulang saja ke Siangyang untuk membantu ayah mertuaku menjaga benteng itu, kukira itulah tugas yang lebih utama bagi kalian." BegituIah terus menerus ia menyebut Kwe Cing dan Ui Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya. Sedih dan lesu kedua saudara Bu dan saling genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah. "Baiklah, Nyo-toako, kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia, kami bersaudara akan pergi jauh di rantau dan anggaplah di dunia ini- tak pernah ada kami berdua ini." Habis berkata mereka lantas membalik tubuh, diam2 Nyo Ko bergirang karena maksud tujuannya kelihatan akan tercapai ia pikir meski kedua Bu cilik itu akan dendam padanya, tapi kelak keaua bersaudara itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang diharapkan Bu Samthong. Bu Sam-thong juga bergirang setelah menyaksikan Nyo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti bertempur sendiri, dilihatnya kedua anak muda itu bergandengan tangan dan melangkah pergi, tanpa tertahan ia terus berseru. "Anak Bun dan anak Si, marilah kita berangkat bersama." Kedua Bu cilik melengak kaget, mereka menoleh dan memanggil "ayah" Berbareng, Bu Sam-thong lantas memberi hormat kepada Nyo Ko dan berkata. "Adik Nyo, selama hidupku ini takkan melupakan budi pertolonganmu." Nyo Ko mengerut kuning, ia pikir sungguh sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu cilik, baru saja ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu Siu bun sudah mulai curiga, katanya tiba2 kepada Tun-si. "Toako, apa yang dikatakan bocah she Nyo tadi belum tentu betul." Meski Bu Tun-si tidak banyak omong, tapi kecerdasannya tidak di bawah sang adik, ia pandang sekejap kepada ayahnya, lalu mengangguk kepada Siu-bun. Melihat urusan bisa runyam, cepat Bu Samthong menambahkan. "Eh, kalian jangan salah wesel, sama sekali aku tidak minta adik Nyo ini untuk melerai kalian." Sebenarnya kedua Bu cilik cuma curiga saja dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka menjadi curiga setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya, segera mereka ingat hubungan Nyo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok pula Nyo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Nyo Ko besar kemungkinan tidak betul. "Toako," Kata Siu-bun kemudian. "Marilah kita pulang ke Siangyang untuk menanyai adik Hu sendiri." "Benar," Jawab Tun-si. "Ocehan orang lalu masakah dapat menipu kita," Segera Siu-bun berkata kepada Bu Sam-thong. "Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siangyang, Temuilah Suhu dan Subo, mereka kan sahabatmu." "Aku... aku..." Muka Bu Sam-thong menjadi merah, ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang ayah untuk mengomeli kedua. ,puteranya, tapi kuatir kedua anak muda itu hanya mengiakan di depannya, tapi di belakangnya akan bertarung mati2an pula. Nyo Ko lantas menjengek. "Saudara Bu, memangnya sebutan "adik Hu" Boleh kau panggil se-sukamu? selanjutnya kularang kau menyebutnya, bahkan dalam hatipun tidak boleh kau pikirkan dia." Siu-bun menjadi gusar, teriaknya. "Bagus, di dunia ini ternyata ada manusia se-wenang2 macam kau. "Adik Hu" Sudah kusebut selama sepuluh tahun, mengapa kau berani melarang aku menyebutnya"? "Hm, bukan saja sekarang aku tetap memanggil adik Hu, bahkan besok, lusa dan selanjutnya aku tetap akan memanggilnya. Adik Hu, adik Hu, adik Hu, ....." Belum habis ucapannya. "plok", mendadak pipinya kena ditempeleng satu kali oleh Nyo Ko. Segera Siu-bun mengacungkan pedangnya dan berkata dengan geram. "Baik, orang she Nyo, sudah lama kita tidak berkelahi, ya? "He, anak Bun, berkelahi apa maksudmu?" Cepat Bu Sam-thong mencegahnya. Mendadak Nyo Ko berpaling kepada Bu Sam-thong dan bertanya. "Paman Bu, kau membantu pihak mana?" Menurut aturan, adalah wajar kalau Bu Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Nyo Ko sekarang jelas demi untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena itulah Bu-. Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka. "Begini saja," Kata Nyo Ko pula. "Silahkan paman Bu duduk tenang di situ, aku takkan mencelakai jiwa mereka, rasanya merekapun tidak mampu mencelakai aku, engkau boleh menonton pertunjukan menarik ini saja." Usia Nyo Ko berselisih jauh daripada Bu Sam thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atas-nya, jadi apa yang dikatakan tanpa kuasa terus di turut saja oleh Bu Samthong, segera ia berduduk di atas batu padas di samping sana. Nyo Ko lantas melolos Ci wi-kiam, seketika cahaya dingin gemerlapan, ia menyabet pelahan pedang lemas itu, terdengar suara mendesir, sepotong batu besar di sebelahnya di sabetnya cara bersilang, waktu kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi empat bagian, bagian yang retak itu halus licin seperti insan tahu saja. Melihat betapa tajamnya pedang orang, kedua saudara Bu saling pandang dengan jeri, mereka menjadi ragu cara bagaimana akan dapat menandingi Nyo Ko dengan pedang selihay itu. Tapi Nyo Ko lantas menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata dengan tertawa. "Pedangku ini masakah kugunakan untuk menghadapi kalian?? sekenanya ia memotong sebatang dahan pohon, ia buang daunnya hingga berwujud. sebatang pentung sepanjang satu meteran, lalu berkata pula. "Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong padaku, tapi kalian tidak percaya. sekarang boieh kalian saksikan, aku akan menggunakan pentung ini untuk melayani pedang kalian, kalian boleh maju sekaligus dan mengeluarkan segenap kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta ajaran paman Cu Cu-liu, Sebaliknya aku hanya akan menggunakan ilmu silat ajaran ibu mertuaku saja, asalkan aku salah menggunakan sejurus dari aliran lain, segera anggap saja aku kalah." Kedua saudara Bu sebenarnya jeri pada kepandaian Nyo Ko yang hebat, mereka sudah menyaksikan dia menempur Kim-lun Hoat-ong dengan cara aneh, tapi mereka menjadi naik pitam pula demi mendengar ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyebut "ayah dan ibu mertua" Segala, se-akan2 Kwe Hu benar2 sudah menjadi isterinya, sungguh gemas mereka tidak kepalang. Malahan dengan sombongnya Nyo Ko menyatakan bersedia dikerubuti serta melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan terbatas pada ilmu silat ajaran Ui Yong melulu. Dalam keadaan begini kalau mereka tidak dapat mengalahkan Nyo Ko juga keterlaluan dan buat apalagi hidup di dunia ini. Maka cepat Siu-bun menegas. "Baik, kau sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta. Kalau kau salah menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?" "Pertandingan kita ini bukan disebabkan permusuhan di masa lampau atau karena kebencian sekarang, kita bertempur demi adik Hu," Kata Nyo-Ito. "Maka kalau aku kalah, asalkan aku memandang sekecap padanya atau bicara sepatah saja dengan dia, katakanlah aku ini manusia rendah yang tidak tahu malu. Tapi bagaimana pula jika kalian yang kalah?" Pertanyaan Nyo Ko sengaja memaksa kedua saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama Ialu Siu-bun telah menjawab "Jika kami kalah, kamipun takkan menemui adik Hu untuk selamanya." Legenda Pendekar Ulat Sutera Karya Huang Ying Raja Silat Karya Chin Hung Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo