Kembalinya Pendekar Rajawali 52
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 52
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung "Trang", kedua pedang beradu, Sioklikiam kutung menjadi dua. Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tak disangkanya Ci-wi-kiam itu begitu lihay. Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Nyo Ko tadi. Kwe Hu pikir biarpun kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu, Ketika itu kaki Nyo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani Kwe Hu menjadi gemas, segera pedangnya ditabaskan lebih ke bawah lagi.... Bagaimana akibat dari tabasan pedang Kwe Hu itu merupakan kunci utama cerita ini maka untuk sementara ini kita tinggalkan dahulu, Marilah kita kembali dulu pada Siao-liong-li ketika dia menunggang kuda merah menyusul Nyo Ko dan Kim-lun Hoat-ong, tapi dia telah kesasar ke jurusan yang lain. Kuda merah itu teramat cepat jarinya, sekejap sudah belasan li jauhnya, ketika dia putar balik, sementara itu Nyo Ko sudah menghilang di lembah pegunungan itu. Tanpa kenal lelah Siao-liong-li terus mencari di sekitar Siangyang, Sampai tengah malam barulah ia mendengar suara raung tangis Bu Sam-thong di kejauhan. Cepat Siaoliong-li mencari ke arah datangnya suara, tidak lama dapatlah didengarnya suara pertempuran kedua saudara Bu, menyusul terdengar pula suara bicara Nyo Ko. Tentu saja ia girang, ia kuatir Nyo Ko ketemukan musuh tangguh, maka ia ingin membantunya secara diam2 saja, segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang pohon, lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk mengintip cara bagaimana Nyo Ko menghadapi musuh. Celakanya yang terdengar adalah ucapan Nyo Ko yang ber-ulang2 menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu, nona itu disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Cing dan Ui Yong dipanggilnya ayah dan ibu mertua. Didengarnya pula Nyo Ko mengaku menerima ajaran ilmu silat secara diam2 dari Ui Yong, dilihatnya pula Nyo Ko sangat marah kepada kedua saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu kemudian menyebut nama Kwe Hu. Begitulah setiap Nyo Ko mengucapkan hal itu, setiap kali pula Siao liong-Ii seperti disambar petir, pikirannya menjadi kacau, dunia mendadak dirasakan seperti sudah kiamat. Kalau orang lain, tentu akan timbul rasa sangsinya melihat kata dan perbuatan Nyo Ko itu sama berbeda, namun Siao-liong li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya sederhana, sedikitpun tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia. Biasanya Nyo Ko juga tidak pernah membual sedikitpun padanya sekalipun terhadap orang lain anak muda itu memang suka juga, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap apa yang diucapkan Nyo Ko. Begitulah ketika melihat kedua Bu cilik bukan tandingan NyoKo, Siao-liong-Ii yang sedang berduka dan menyesali nasibnya itu tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang sebagaimana yang didengar oleh Nyo Ko itu sehingga dia hampir saja berseru memanggilnya. Pada saat itu juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan air mata. Sambil menuntun kuda merah itu Siao-liong-li berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau dan bingung. Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama hidupnya berdiam di dalam kuburan kuno itu, seluk-beluk kehidupan manusia sedikitpun tidak dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan bersih seperti anak kecil. ia pikir. "Nyo Ko sudah terikat jodoh dengan nona Kwe, dengan sendirinya tak dapat menikahi diriku lagi. Pantas Kwe-tayhiap suami-isteri ber-ulang2 merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku, Bahwa selama ini Ko-ji tidak memberitahukan padaku tentang ikatannya dengan nona Kwe, tentunya karena dia kuatir aku akan berduka, Ai dia memang sangat baik padaku." Begitulah lantaran dia juga mencintai Nyo Ko, walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda itu mengatakan hendak menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikitpun kepada anak muda itu, ia hanya berduka dan menyesali nasibnya sendiri Malahan lantas terpikir lagi olehnya. "Sebabnya Ko-ji tidak cepat2 membunuh Kwetayhiap untuk membalas sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona Kwe inilah yang membuatnya bimbang, jika begitu tampaknya dia juga sangat baik kepada nona Kwe. Kalau sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia akan teringat lagi kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin akan terganggu lagi. Rasanya lebih baik kupulang sendirian saja ke kuburan kuno itu, dunia yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku saja." Setelah berpikir pula, akhirnya ia membulatkan tekad, meski hatinya terasa di-sayat2, cintanya kepada Nyo Ko terasa berat sekali untuk diputuskan, tapi terpikir pula olehnya menyelamatkan jiwa anak muda itu terlebih penting. Karena itulah malam itu juga dia pulang ke Siangyang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka mengantarkan kuda merah kepada Nyo Ko yang masih berada di lembah sunyi itu. Waktu itu Siangyang belum tenang kembali, Kwe Cing serta Ui Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan kota diurus oleh Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu. Di tengah kemelut itulah Siao-liong-li membawa kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya mengantar kuda itu kepada Nyo Ko agar anak muda itu lekas pergi ke Coatcengkok dan menukar obat penawar dengan bayi yang baru dilahirkan Ui Yong. Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung oleh penuturan yang tak diketahui awal mulanya itu, la, coba bertanya lebih jelas, tapi Siao liong li sendiri sedang kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia hanya mendesak Cu Cu-liu lekas berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang. Sama sekali Siao-liong-li tidak pedulikan bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu, ia pikir adikmu itu dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tidak beralangan, apalagi demi menyelamatkan jiwa bakal suamimu. Biasanya Siao-Iiong-li dapat menguasai perasaanya, suka atau duka jarang dipikirkan olehnya, tapi sejak jatuh cinta kepada Nyo Ko, segala ilmu menguasai perasaan sendiri yang dilatihnya sejak kecil hampir tak dapat digunakan lagi, guncangan perasaannya bahkan jauh lebih hebat daripada orang biasa. Maka sesudah memberi pesan kepada Cu Cu liu lantaran beberapa kali menyebut nama Nyo Ko, tanpa terasa air matanya lantas bercucuran, cepat ia lari kembali kekamar sendiri dan menangis sedih di tempat tidur. Biarpun Cu Cu-liu adalah seorang cerdik pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan, uraian Siao-Iiong-li yang tak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung. Tapi ingat bahwa kalau terlambat bisa jadi jiwa Nyo Ko akan melayang", ia pikir terpaksa harus cepat ke lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana. Tetapi ketika dia mau berangkat ternyata kuda merah yang dibawakan Siao-liong-Ii itu sudah hilang, waktu ditanyakan penjaga, katanya nona Kwe yang membawanya pergi. Ketika Kwe Hu dicari bayangan nona itupun tak dapat diketemukan. Karena menguatirkan keselamatan Nyo Ko, terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan anggota Kay-pang menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li itu. Di situ dilihatnya Nyo Ko dan ayah beranak keluarga Bu itu sama menggeletak tak bisa berkutik. Cepat mereka dibawa pulang ke Siangyang dan kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari negeri Tayli, paderi inilah yang menyadarkan Nyo Ko dan lain2. Begitulah Siao-liong-li terus menangis di kamarnya, makin dipikir makin sedih, air matapun sukar dibendung lagi sehingga membasahi baju dan tempat tidurnya, ia bermaksud mengambil saputangan untuk mengusap air mata, tiba2 tangannya menyentuh Siok-li-kiam yang terselip di tali pinggangnya. Tiba2 timbul pikirannya akan memberikan pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Nyo Ko benar2 menjadi suatu pasangan yang setimpal. Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta kepada Nyo Ko, segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu rela dilakukannya Karena itulah ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu. Tatkala itu sudah lewat tengah malam, Kwe Hu sudah tidur, Tanpa mcngetok pintu segala segera Siao-liong-ii membuka daun jendela dan melompat masuk ke kamar serta membangunkan Kwe Hu serta mengatakan "kalian memang pasangan setimpal sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu kepada Nyo Ko itu. setelah menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segeru Siao-liong-li tinggal pergi. Sudah tentu Kwe Hu ter-heran2 dan bertanya apa yang dimaksud, Namun Siao-Iiong li tidak menjawab terus melompat keluar jendela pula. "Kembalilah, Liong-kokoh!" Cepat Kwe Hu teriaknya sambil melongok keluar, tapi terlihat Siao-liong-li sudah melangkah pergi tanpa berpaling pula. Dengan menunduk kepala menahan rasa sedih Siao-liong-li masuk ke taman bunga, bau bunga mawar yang sedang mekar mewangi mengingatkan dia ketika bersama Nyo Ko berlatih Giok-li-sim-keng diseling oleh semak2 bunga dahulu. Untuk berkumpul lagi seperti dahulu itu rasanya sukar terjadi lagi. Selagi melayang pikirannya, tiba2 dari pojok rumah di sebelah kiri sana ada seorang sedang ber-kata. "Kau sebentar2 mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat berhenti menyebutnya?" Keruan Siao-liong-li terkejut, ia heran siapakah yang selalu menyebut namaku? Segera ia berhenti di situ untuk mendengarkan lebih cermat. Segera terdengar pula suara seorang lain tertawa mengejek dan berkata. "Kau sendiri boleh berbuat, masakah aku tidak boleh menyebutnya?" Terdengar orang- pertama tadi -menjawab. "lni adalah rumah orang lain, mata telinga teramat banyak kalau didengar orang lain, ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan ditaruh?" "Hehe, ternyata kau masih ingat kepada nama baik Coan-cin-kau kita?" Jengek pula orang kedui tadi. "Hehe, malam itu di tepi semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa nikmat naik surga itu .... Wah, hahahaha!" Sampai disini ia hanya terkekeh2 saja dan tidak melanjutkan. Siao-liong-Ii tambah kaget dan sangat curiga, ia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan cintanya padaku telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini? Dari suara kedua orang itu Siao-liong-li sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Tio Ci-keng. Maka diam2 ia mendekati jendela rumah itu dan berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih Ianjut. Sementara itu suara bicara kedua orang itu berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat dekat, pendengarannya tajam pula, biarpun kedua orang bisik2 cara bicaranya juga dapat didengarnya dengan jelas. Terdengar Ci-peng lagi berkata. "Tio-suheng, setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku, sebenarnya apa tujuanmu?" "Kau sendiri paham, masakah perlu kuterangkan?" Jawab Ci-keng. "Apa yang kau kehendaki dariku telah kusanggupi aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut lagi, tapi makin lama makin sering kau mengungkatnya, apakah sengaja hendak menyiksa aku sampai mati seketika di depanmu sini?" "Hm, akupun tidak tahu, yang jelas aku tidak tahan dan harus kuucapkan," Jengek Ci-keng pula. Mendadak In Ci-peng perkeras suaranya dan berkata. "Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu? Yang benar kau cemburu, kau cemburu padaku pada saat menikmati surga dunia itu." Ucapan Ci-peng ini sangat aneh, Ci-keng ternyata tidak menjawab seperti hendak mengejek, tapi tak terucapkan. Selang sebentar kembali Ci-peng bicara lagi. "Ya, memang benar, malam itu di balik semak2 bunga mawar itu dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertutuk oleh Auyang Hong sehingga cita2ku dapat terpenuhi. Ya, tidak perlu aku menyangkal didepanmu, andaikan tak kukatakan padamu juga kau takkan tahu, betul tidak? Karena sudah terlanjur kuberitahukan padamu, lalu kau terus menerus menggoda aku dan menyiksa pikiranku. Akan tetapi, akan tetapi aku tidak menyesal, tidak, sedikitpun tidak menyesal...." Sampai akhirnya suaranya berubah menjadi halus dan lembut se-akan2 orang sedang mengingat. Sambil mendengarkan hati Siao-liong-li serasa mendelung ke bawah, otaknya serasa mengingat "Masakah dia dan bukan Ko-ji yang kucintai itu? Tidak, tidak mungkin pasti Ko-ji adanya, dia berdusta, dusta!" Terdengar Ci-keng berkata pula dengan suara kaku dingin. "Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal sedikitpun, sebenarnya kau tidak perlu katakan padaku, akan tetapi saking senangnya karena kau telah melakukan hal itu dan merasa perlu diutarakan pada seseorang. Nah, karena itu akupun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku mengingatkanmu, tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?" Mendadak terdengar suara "blang-blung" Beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-bentur2kan kepala sendiri pada tembok, lalu berkata. "Baiklah, bicaralah, bicara lagi agar setiap orang di dunia ini tahu semua, akupun tidak takut. .. .tidak... tidak..." "O, Tio-suheng, aoa yang kau inginkan dariku sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan mengungkapnya lagi." Dalam waktu yang singkat saja ber-turut2 Siao-liong-li mendengar dua pertanyaan yang membuat hancur hatinya, seketika dia berdiri ter-mangu2 di luar jendela, meski dapat mendengar jelas pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng itu, tapi arti percakapan mereka itu seketika sukar dipahami. Sementara terdengar Ci-keng lagi berkata dengan tertawa. "Orang beragama seperti kita ini sekali kejeblos harus dapat mengendalikan diri agar bisa kembali kearah yang terang, bahwa senantiasa aku mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li supayai kau menjadi biasa mendengarnya dan kemudian menjadi jemu, dari jemu menjadi benci, ini kan maksud baikku untuk menyelamatkanmu dari jalan tersesat." "Dia adalah jelmaan bidadari manabisa kujemu dan benci padanya?" Ujar Cipeng, Habis ini mendadak suaranya berubah keras. "Hm, tidak perlu kau bicara muluk2, pikiranmu yang keji dan berbisa masakah aku tidak tahu? Yang benar adalah kau iri kepadaku, kedua karena kau dendam pada Nyo Ko, kau ingin mengungkapkan peristiwa ini untuk menghancurkan kehidupan mereka guru dan murid, menyesal selama hidup." Hati Siao-liong-li berdetak keras demi mendengar nama Nyo Ko disebut, tanpa terasa iapun menggumam pelahan nama anak muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tak terhingga, dia berharap kedua Tosu akan terus membicarakan si INyo Ko, asal ada orang menyebut nama anak muda itu maka gembiralan hatinya. Terdengar Ci-keng juga perkeras suaranya dan berkata dengan gemas. "Hm, kalau aku tak dapat membikin anak jadah itu sekarat, hm, rasanya tak terlampias dendamku ini. Cuma.. cuma..." "Cuma ilmu silatnya teramat tinggi dan kita bukan tandingannya begitu bukan?" Jengek Ci peng. "ltuIah belum pasti," Kata Ci - keng. "Sedikit ilmu silat golongannya yang liar itu kenapa mesti di-herankan? In-sute, boleh kau lihat saja. suatu ketika kalau dia kepergok olehku, hm, tentu dia akan tahu rasa, tidak nanti kubiarkan dia mati dengan enak saja, kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua tangannya agar mati tidak hidup tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu boleh menyaksikannya supaya senang hatinya." Siao-liong-li bergidik mendengar itu, kalau waktu biasa tentu dia sudah menerjang ke situ dan menghabisi jiwa kedua orang itu, tapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki tangan terasa lemas tak bertenaga..Sementara itu In Ci-peng sedang mendengus "Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan kita rasanya sukar menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu." "Keparat, kau ada main dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kan puji setinggi langit," Damperat Cikeng. Rupanya Ci-peng sudah kenyang dihina selama ini, sekarang iapun tidak tahan lagi, segera ia balas membentak. "Apa katamu? Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu batas2 tertentu." Ci-keng merasa titik kelemahan orang sudah tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu di-umumkan di Tiong-yang-kiong, akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab itulah dia menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng tak berani melawan Sedikitpun. Tapi sekarang Ci-peng ternyata berani melawannya dengan kata2 kasar, ia menjadi gusar, mendadak ia melangkah maju terus menggampar. Ci-peng tidak menduga sang Suheng akan meng-hantamnya, cepat ia menunduk. "plok", dengan tepat kuduknya yang kena tampar. Betapapun Ci-keng adalah jago kelas satu dari Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulanya itu cukup berat, tubuh Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup. Saking gemasnya ia cabut pedang dan balas menusuk. Tapi Ci-keng sempat mengegos ke samping dan mengejek. "Bagus, ternyata kau berani bergebrak dengan aku." Segera iapun mencabut pedangnya dan balas menyerang. "Setiap hari kau menyiksa aku, paling2 juga cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan bereslah segalanya," Ucap Ci peng dengan geram. Habis itu ia terus melancarkan serangan, Dia adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan Tio Ci-keng tidak berbeda banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka sebenarnya sukar dibedakan unggul dan asot. Tapi lantaran dendamnya sudah menumpuk, yang diharapkan sekarang biarlah mati bersama saja. Akan tetapi Ci-keng mempunyai perhitungan lain, dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah setelah dua-tiga puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke pojok kamar. Dengan sendirinya suara pertengkaran kedua Tosu itu segera diketahui anggota Kay-pang yang dinas jaga dan cepat pula dilaporkan kepada Kwe Hu. Lekas2 nona itu mendatangi tempat itu, dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela, ia lantas menyapanya. "Liong-Kokoh!" Siao liong-Ii berdiri ter-mangu2 saja di situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu. Tentu saja Kwe Hu heran, iapun tidak lantas masuk ke rumah itu melainkan ikut berdiri di situ, maka terdengarlah suara olok2 dan sindiran kasar Ci keng sambil menangkis serangan Ci-peng, setiap ucapannya semuanya menyangkut diri Siao-liong-li. Sebagai nona muda yang sopan, Kwe Hu merasa tidak pantas berdiri di situ mendengarkan kata2 kotor kedua orang yang bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal pergi saja. Tapi dilihatnya Siao-liong-li tetap berdiri terkesima, kata2 kotor kedua orang itu se-akan2 tak dihiraukan-nya sama sekali, Kwe Hu menjadi heran, ia coba tanya dengan suara pelahan. "Apakah betul apa yang mereka katakan itu?" "Aku... akupun tidak tahu." Jawab Siao-liong-li dengan bingung. "Tampaknya memang begitu." . Seketika timbul perasaan menghina dalam hati Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa bicara lagi. Ci-peng dan Ci-keng tergolong jago silat pilihan, meski dalam pertempuran sengit selera mereka mendengar ada suara orang bicara diluar. "Trang" Begitu kedua pedang beradu terus ditariknya kembali bersama dan serentak bertanya. "Siapa itu?" "Aku," Jawab Siao-liong-li. Seketika seluruh badan Ci-peng merinding, ia menegas dengan suara gemetar "Kau? Kau siapa?" "Siao-liong-li!" Begitu nama ini diucapkan, bukan saja In Ci-peng terkesima seperti patung, bahkan Ci-keng juga kaget setengah mati dan menggigil ketakutan. Dengan mata kepala sendiri Ci-keng menyaksikan betapa Siao-liong-li telah mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong, sampai paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong juga kalah dan hampir saja mati bunuh diri. Sama sekali ia tak menduga bahwa Siao-liong-li juga berada di Siangyang, ia pikir ucapannya sendiri tadi besar kemungkinan telah didengar semua oleh si nona. Seketika ia menjadi ketakutan setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri. Perasaan In Ci-peng aneh luar biasa sehingga tak terpikir olehnya akan menyelamatkan diri, sebaliknya ia terus membuka daun jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang perempuan jelita berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang dan malam itu. "Kau....kau" Ci-peng menegas dengan melongok "Benar, aku." Jawab Siao-liong-li. "Apa yang kalian katakan tadi apakah betul seluruhnya?" "Be.... betul" Ci-peng mengangguk. "Boleh kau bunuh saja diriku!" Habis berkata ia terus menyodorkan pedangnya keluar jendela. Sorot mata Siao-liong li memancarkan sinar yang aneh, hatinya pedih dan pilu tak terperikan, begitu sedih dan begitu gemas, rasanya biarpun membunuh seratus orang atau seribu orang juga dirinya bukan lagi seorang nona yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Nyo Ko secara mendalam seperti dahulu. Ketika Ci-peng menyodorkan pedangnya, Siao-liong-li tidak menerimanya, ia hanya pandang kedua Tosu itu dengan bingung. Ci-keng melihat kesempatan baik, ia pikir perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudak gila, kalau sekarang tidak lekas kabur hendak tunggu kapan lagi? Maka cepat ia tarik Ci-peng dan berkata dengan menyeringai. "Lekas pergi saja, tampaknya dia merasa berat untuk membunuh kau-" Habis berkata ia menarik Ci-peng sekuatnya dan berlari keluar pintu sana. Ci-peng menjadi linglung melihat wajah Siao-liong-Ii, seluruh badan terasa lemas tak bertenaga, karena tarikan Ci-keng itu ia menjadi ter-huyung2 dan ikut berlari keluar. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cepat Ci-keng mengeluarkan Ginkangnya untuk berlari cepat, semula Ci-peng ditarik oteh Ci-keng tapi segera iapun dapat mengeluarkan Ginkang sendiri. Kedua adalah jagoan Coan-cin-pay angkatan ke tiga, maka lari mereka ini sungguh cepat melebihi lari kuda, mereka menyusur kian kemari di jalan2 dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di pintu gerbang sebelah timur. Di pintu gerbang itu ada penjaga belasan anggota Kay-pang dan dua regu perajurit, anggota Kay-pang yang menjadi pemimpin kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan - cin - pay, bicara tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Cing, maka demi mendengar Ci-keng bilang ada urusan penting harus keluar benteng, kebetulan waktu ku tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan membuka pintu benteng. Begitu pintu gerbang baru terbuka sedikit, cepat sekali Ci-keng lantas melompat keluar disusul oleh Ci-peng, Selagi orang Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu, mendadak sesosok bayangan putih berkelebat keluar benteng pula, dengan terkejut ia membentak. "Siapa itu?" Namun bayangan orang itu sudah lenyap, waktu ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing, belasan meter di depan masih remang2 tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatupun yang kelihatan. Diam2 anggota Kay-pang itu mengomel. Ia pikir barangkali matanya sendiri yang mulai lamur sehingga pandangannya kabur. Ci-keng berdua masih terus berlari hingga belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka. Dengan kuatir dan bersyukur pula Ci-keng mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya sambil menggumam. "Wah, bahaya, sungguh bahaya!" Tapi waktu ia berpaling ke belakang, tanpa terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja jatuh ter-jungkal. Kiranya tidak jauh di belakangnya itu sudah berdiri seorang perempuan muda berbaju putih dan sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau bukan Siau-liong-li. Sungguh kaget Ci-keng tak terperikan, ia menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk diajak lari pula, Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang dikiranya sudah jauh ditinggalkan di kota Siangyang sana tahu2 masih mengintil dibelakangnya, cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil dalam jarak dekat juga tidak diketahuinya. Sekaligus ia berlari agak jauh barulah dia coba menoleh ke belakang, dilihatnya Siao-liong li menguntit di belakang dalam jarak tetap, seperti tadi. Dengan pikiran bingung dan takut Ci-keng segera "tancap gas" Lebih kencang sambil menyeret Ci-peng. Dia tidak berani lagi sering2 menoleh, sebab setiap kali memandang kebelakang, setiap kali pula hatinya bertambah takut, lambat-laun kakinya mulai lemas, rasanya tangan yang memegangi lengan Ci-peng mulai tak bertenaga lagi. "ln-sute," Katanya kemudian. "kalau sekarang dia mau membunuh kita boleh dikatakan sangat mudah, tapi dia tidak melakukan hal ini, kukira dia pasti mempunyai maksud tertentu." "Maksud tertentu apa?" Tanya Ci-peng... "Kukira dia ingin menawan kita, lalu membongkar perbuatanmu yang kotor itu di depan para ksatria agar nama baik Coan-cin-pay akan runtuh habis2an." Hati Ci-peng terkesiap, terhadap mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya, kalau saja Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai nama baik Coan-cin-pay, betapapun ia harus membelanya mati2an, apalagi jika runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya. Teringat alasan ini dia menjadi kuatir juga, segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng. Kedua orang berlari ke daerah yang sunyi dan sukar dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tapi Siao-liong-Ii selalu berada dalam jarak puluhan meter di belakang, Dengan Ginkang Ko-bong-pay yang tiada tandingannya itu, kalau mau sebenarnya dengan mudah Siao-liong-li dapat melampaui kedua buruannya. Cuma dia memang masih polos, jalan pikirannya sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia menjadi bingung dan tidak tahu cara bagaimana harus bertindak. Karena itu terpaksa ia hanya mengintil saja di belakang mereka, selalu dalam jarak itu2 saja tapi juga tidak membiarkan lolosnya kedua orang itu. Pikiran Ci-peng dan Ci-keng memangnya sangat bingung, apalagi Siao-liong-li terus menguntit dan tidak diketahui apa maksud tujuannya, makin dipikir makin takut mereka. Mereka berlari dari pagi hingga siang, dari siang hingga sore hari sudah 6-7 jam mereka ber-lari2 kesetanan, betapapun kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis, langkahpun mulai sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi. Dalam pada itu panas matahari yang menyengat itu telah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan haus, ketika tiba2 nampak di depan ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi nekat. Mereka pikir andaikan akan tertangkap di situ masa-bodohlah, Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di tepi sungai kecil itu dan minum air sekenyangnya. Dengan pelahan Siao-liong-li juga mendekati sungai bagian hulu, iapun meraup air untuk diminum, permukaan air sungai mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih dengan ikal rambut hitam dan wajah cantik molek laksana dewi kahyangan. Tapi, perasaan Siao-liong-li serasa hampa, dukanya tidak kepalang sehingga cermin dirinya itu tidak menariknya melainkan termangu2 saja memandangi bayangan sendiri di dalam air itu. Sambil minum air, Ci-keng berdua senantiasa, melirik Siao- liong li, melihat nona itu ter-mangu2 se-akan2 lupa daratan pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi i syarat, dengan pelahan mereka berbangkit dan berjalan ber-jengket2 menjauh ke sana. Beberapa kali mereka menoleh dan melihat si nona masih termenung memandang air sungai, segera mereka percepat langkah terus berlari ke depan. Mereka mengira sekali ini pasti dapat lolos dari kuntitan Siao-liong-li, siapa duga, ketika kebetulan Ci-peng berpaling, ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka. Seketika muka Ci-peng pucat pasi seperti mayat, serunya. "Sudahlah, sudahlah Tio suheng, kita toh tak dapat lolos, terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang kita." Habis berkata ia terus berhenti dan berdiri di situ. Ci-keng menjadi gusar dan membentak. "Kau mati juga pantas, tapi mengapa aku harus mati bersamamu?" Segera ia tarik tangan sang Sute untuk diajak lari pula. Akan tetapi Ci-peng sudah putus asa dan tidak ingin lari lagi, Dasar Ci-keng memang pemberang, tanpa bicara lagi sebelah tangannya terus menggampar. "Mengapa kau pukul aku?" Teriak Ci - peng dengan gusar. Melihat kedua orang itu saling hantam lagi, Siao-liong-li menjadi heran. Pada saat itulah dari depan sana tampak mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang bertugas mengirim surat atau berita. pikiran Ci-keng bergerak, dengaa suara tertahan ia berkata pada Ci-peng. "Mari kita rebut kuda mereka. Kita pura2 berkelahi supaya tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li." Ci-peng-menurut, mereka pura2 berhantam lagi sambil menggeser ke jalan raya, Karena jalan terhalang, kedua perajurit MongoI itu menahan kuda mereka sambil mem-bentak2. Tapi Ci-keng mendadak melompat ke atas, seorang satu seketika kedua perajurit Mongol itu disodok terjungkal ke bawah kuda rampasan itulah mereka terus kabur cepat ke utara. Kedua ekor kuda itu adalah kuda perang piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat. Waktu mereka menoleh, ternyata Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka. Mereka terus melarikan kuda ke utara, belasan li kemudian sampailah mereka pada jalan persimpangan tiga. "Dia melihat kita kabur ke utara, sekarang justeru membelok ke timur," Kata Ci-keng sambil membelokkan kuda ke kanan dan diikuti Ci-peng. Menjelang magrib, sampailah mereka di suatu kota kecil. Sehari suntuk mereka berlari tanpa mengisi perut barang sedikitpun, sudah tentu mereka sudah lelah dan lapar. Segera mereka mencari suatu warung makan dan pesan satu piring daging dan beberapa bakpau. Sambil duduk menunggu daharan, hati Ci-keng masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapi nya tadi, ia tidak tahu mengapa Siao liong-li melulu menguntit saja dan tidak segera turun tangan. Dilihatnya Ci-peng juga duduk menunduk dengan muka pucat dan seperti orang linglung. Tidak lama makanan yang dipesan telah disuguhkan, segera mereka makan minum. Belum seberapa lama, tiba2 terdengar suara ribut di luar, seorang sedang mem-bentak2 dan bertanya "Siapa pemilik kedua ekor kuda ini? Mengapa berada di sini?" Dari logat suaranya agaknya orang Mongol. Ci-keng berdiri dan mendekati pintu, dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa anak buah sedang bertanya mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua itu, pelayan rumah makan tampak ketakutan dan menyembah. Lantaran seharian diuber Siao-liong-li dan rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan kini ada orang mencari gara2, segera ia tampil ke muka dan berteriak. "Kudaku, ada apa?" "Dapat darimana?" Tanya perwira itu. "milikku sendiri, peduIi apa dengan mu?" Jawab Ci-keng. Tatkala mana di utara Siangyang sudah berada dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di bawah penindasan secara kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap perwira Mongol? Tapi lantaran melihat perawakan Ci-keng gagah dan kuat, membawa pedang pula, diam2 perwira itu rada jeri, ia lantas tanya pula. "Kau dapat beli atau mencuri?" "Beli atau mencuri apa?" Jawab Ci-keng dengan gusar. "Kuda ini adalah piaraanku sendiri." "Tangkap" Mendadak perwira itu memberi aba2. serentak beberapa perajurit itu mengerubut maju dengan senjata terhunus. "Hm, berdasarkan apa kalian menangkap orang." Bentak Ci keng sambit meraba pedangnya. "Berani kau melawan, maling kuda?" Jengek perwira Mongol itu. "Haha, barangkali kau sudah makan hati macan, maka berani melawan perwira markas besar? Hayo kau mengaku mencuri tidak?" - Berbareng ia menyingkap bulu paha belakang kuda hingga kelihatan cap bakar dua huruf Mongol. Rupanya setiap kuda perang Mongol pasti di tandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk pasukan dan kelompok mana, Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah tentu ia tidak tahu seluk-beluk tanda cap bakar sega!a. Karena itu ia menjadi tak bisa menjawab. Tapi dia sengaja berdebat secara ngotot. "Siapa bilang kuda perang Mongol? Di tempat kami banyak juga kuda yatg kami beri cap bakar seperti ini? Memangnya tidak boleh dan melanggar aturan?" "Perwira itu menjadi gusar, belum pernah ada orang yang berani membantah padanya, masakah sekarang ada maling kuda yang malah menantang-nya. Segera ia melangkah maju terus hendak mencengkeram baju dada Ci-keng. Akan tetapi tangan kiri Ci-keng menagkis dan membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya. Menyusul tangan kanan Ci-keng terus mencengkram punggung perwira itu dan diangkat ke atas, setelah diputar beberapa kali terus dilemparkan Tanpa ampun -perwira itu terbanting ke dalam sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara gemerantang nyaring ber-turut2, rak mangkok piring dan barang2 porselin lain sama roboh dan hancur berantakan... Muka perwira itupun babak belur terluka oleh pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk. Cepat para perajurit Mongol memberi pertolongan sehingga lupa menangkap orang. Ci-keng ter-bahak2 gembira dan masuk kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi. Karena ribut2 itu, toko2 yang tadinya buka dasar seketika sama tutup pintu. Tetamu yang sedang makan diwarung itupun segera buyar. Maka jumlah tentara Mongol terkenal ganas dan kejam, tapi sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya dapatlah dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi-hanguskan. Belum banyak Ci-keng mengisi perutnya, tiba2 kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di depannya. Ci-keng tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena getahnya, maka minta penyelesaian se-baik2nya. Dengah tertawa ia lantas berkata. "jangan kuatir kau, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki dari sini." Tapi kuasa rumah makan itu tetap menyembah dengan muka pucat. Ci-peng lantas berkata kepada Ci-keng. "Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan Mongol akan datang minta pertanggungan jawabnya." Ia memang lebih cerdik daripada Ci-keng, setelah berpikir sejenak," Segera ia berkata pula kepada kuasa rumah makan itu. "Lekas ambilkan lagi dataran yang lezat, apa yang telah kami perbuat, adalah tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti takut?" Kuasa rumah makan itu mengiakan dengan girang, cepat ia merangkak bangun dan memerintahkan daharan ditambah dan membawakan arak pula. Sementara itu perwira Mongol yang babak belur itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi. Dengan tertawa Ci-keng berkata kepada Ci-peng. "ln-sute, sudah seharian kita kenyang tersiksa, sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya." Ci-peng hanya mendengus saja tanpa menanggapi sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan, Sesudah makan lagi sekadarnya, mendadak Ci-peng berbangkit, pelayan yang ladeni disebelah-nya dihantamnya hingga terjungkal. Keruan si kuasa rumah makan kaget, cepat ia mendekati dan minta maaf bila ada kesalahan pelayanan Tapi kaki Ci-peng lantas melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan itu didepak sehingga jatuh terguling. Ci-keng tidak tahu maksud tujuan sang Sute, disangkanya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan atas diri si pelayan. Ja berusaha mencegahnya tapi mendadak Ci-peng mendomplangkan meja yang penuh mangkok piring makanan itu, menyusul dua orang pelayan dipukul roboh lagi. Cara memukul Ci-peng itu disertai dengan tutukan Hiat-to, maka setelah jatuh, orang2 itu sama tergeletak tak bisa berkutik. Habis "ngamuk", Ci-peng kebut2 baju sendiri, lalu berkata. "sebentar kalau pasukan Mongol datang dan melihat kalian ku labrak sedemikian rupa, tentu kalian takkan di-marahi, Nah, paham tidak? Kalau perlu kalian boleh saling hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur." Baru sekarang orang2 itu mengerti apa maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka, setelah menyatakan akal bagus. segera mereka saling hantam pula hingga baju robek dan hidung bengkak. Pada saat itulah terdengar suara derapan kaki kuda, ada beberapa orang mendatang pula, serentak orang2 rumah makan itu sama merebabkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta minta ampun segala. Setiba di depan rumah makan itu, benar juga penunggang2 kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat perwira Mongol, dibelakangnya ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh tinggi kurus dan seorang asing yang pendek dan hitam, orang asing itu sudah buntung kedua kakinya, kedua tangan memegang tongkat penyanggah ketiak. Melihat keadaan rumah makan yang porak poranda itu, para perwira Mongol itu sambil me-ngerut kering, segera pula mereka membentak. "Lekas bawakan santapan enak, kami buru2 mau berangkat lagi!" Kuasa rumah makan tadi melengak, baru sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama tadi, ia menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi datang kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya? Tengah sangsi, perwira2 Mongol itu menjadi tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya, Kuasa rumah makan itu terpaksa mengiakan dengan menahan rasa sakit, celakanya dia tak dapat bangun, syukur ada pegawai lain telah melayani kawanan Mongol itu dan mengaturkan meja kursi. Paderi Tibet itu bukan lain daripada Kim-lun Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung itu adalah Nimo Singh. Mereka merawai diri beberapa hari di lembah sunyi itu. sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai sembuh barulah mereka meninggalkan lembah itu serta bertemu dengan perwira2 Mongol itu di tengah jalan, lalu bersama2 pulang ke markas besar Kubilai. Tentu saja Ci-peng dan Ci-keng terkejut melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong, mereka sudah pernah menyaksikan kelihayan paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu yang dulu pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sukar ditandingi tokoh2 Coan-cin-pay, apalagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam2 mereka kebat-kebit. Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan buat meloloskan diri. Meski Ci-keng berdua kenal Kim-lun Hoat-ong, sebaliknya Hoat-ong tidak kenal kedua Tosu itu, Walaupun keadaan rumah makan itu berantakan, namun suasana perang tatkala itu tidak membuatnya heran jika menyaksikan keadaan rusak itu. Karena kepergiannya ke Siangyang sekali ini mengalami kekalahan, ia merasa malu bila nanti bertemu dengan Kubilai, maka yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus bicara kepada tuannya itu, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini tidak digubris olehnya. Pada saat itu tiba2 terjadi kegaduhan di luar rumah makan. sekawanan perajurit Mongol menerjang masuk, begitu melihat Ci-keng berdua, sambil mem-bentak2 terus hendak menangkapnya. "Lari melalui pintu belakang". demikian kata Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng sembari mendomplangkan sebuah meja sehingga mangkuk piring berserakan di lantai, berbareng mereka terus melompat menuju ke pintu belakang. Sebab Kim-lun Hoat-ong duduk dekat pintu depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan mengalangi mereka. Ketika hampir menuju ke ruangan belakang, sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik minum tanpa gubris kekacauan di rumah makan itu, diam2 ia tergirang, asalkan paderi itu tidak ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur. Tak terduga mendadak sesosok bayangan melayang tiba, orang cebol buntung tahu2 melompat ke sana, sebelah tongkatnya lantas menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng. Sudah tentu Ci-pehg berdua belum kenal siapa Nimo Singh, cepat mereka mengelak. Heran juga Nimo Singh karena serangannya tidak mengenai sasarannya, ia merasa kedua Tosu ini ternyata bukan jago Iemah. Segera kedua tongkatnya bergantian yang satu dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang, dari bagian luar ia terus desak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya. Ci-peng berdua balas menyerang dan berusaha meloloskan diri. Meski kepandaian Nimo Singh lebih tinggi dari pada Ci-peng berdua, tapi lantaran kedua kakinya buntung belum lama, tenaganya belum pulih seluruhnya, apalagi belum biasa memakai tongkat begitu, lama2 ia sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng dan Ci-keng. Melihat kawannya rada kerepotan, pelahan Hoat-ong mendekati mereka, ketika pedang Ci-keng menusuk dada Nimo Singh dan orang Keling ini menangkisnya dengan tongkat, namun pedang Ci-peng sekaligus juga mengancam iga kanan Singh yang tak terjaga, kalau tidak ingin tertembus perutnya terpaksa Nimo Singh harus melompat ke samping. Ketika Hoat-ong melangkah tiba, kebetulan Nimo Singh melompat ke atas, maka tangan kiri Hoat-ong lantas digunakan mendukung bokong Nimo Singh dan memondongnya, sedang tangan kanan memegangi lengannya. Saat itu tongkatnya masih menempel pedang Ci-keng, ketika Hoat-ong menyalurkan tenaga dalamnya melalui tongkat Nimo Singh, seketika Ci-keng merasa tangan kanan tergetar dan dada terasa sesak. "trang", pedang terpaksa dilepaskan dan jatun ke lantai. Meski tenaganya belum cukup kuat, namun perubahan serangan Nimo Singh sangat cepat begitu pedang Ci-keng jatuh, segera ia memutar tongkatnya dan menempel pula pedang Ci-peng. Ketika Hoat-ong menyalurkan lagi tenaga dalamnya, sekuatnya Ci-peng juga melawan tenaga dalam, akan tetapi cara menguasai tenaga dalam Kim-lun Hoat-ong memang luar biasa bisa keras bisa lunak. "krek", tahu2 pedang Ci-peng juga patah, yang terpegang-olehnya hanya setengah potong pedang saja. Dengan pelahan Hoat-ong menurunkan Nimo Singh, begitu kedua tangannya meraih, tahu2 pundak kedua Tosu sudah terpegang olehnya, katanya dengan tertawa. "Kita belum pernah kenal, kenapa saling labrak? Kepadaian kalian boleh dikatakan Jagopedang kelas satu di sini, Bagaimana kalau duduk dulu dan marilah omong2." Cara memegang Hoat-ong itu biasa saja, tapi ternyata sukar dielakkan Ci-peng berdua, mereka merasa ditindih oleh tenaga maha kuat cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk melawan dan tidak berani menjawab. Sementara itu pasukan Mongol yang menerjang masuk itu telah mengepung semua orang, perwira yang memimpin adalah seorang Cian-hu-tiang komandan seribu orang, dia kenal Kim-Iun Hoat-ong sebagai Koksu atau Imam Negara yang sangat dihormati pangeran Kubilai, cepat ia mendekati dan memberi hormat sambil menyapa. "Koksuya, kedua Tosu ini mencuri kuda perang dan memukul anggota tentara kita, harap Koksuya suka..." Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sampai di sinj, tiba2 ia mengamat-amati In Ci-peng, lalu berkata mendadak. "Hei, bukankah engkau ini In Ci-peng, In-totiang?" Ci-peng mengangguk dan tidak menjawab, ia merasa tidak kenal perwira Mongol yang menegurnya ini. Pegangan Hoat-ong lantas dikendurkan, diam2 iapun mengakui Lwekang kedua Tosu itu ternyata cukup hebat meski usia mereka rata2 baru 40-an. Perwira Mongol itu lantas berkata pula dengan tertawa. "Apakah In-totiang sudah pangling padaku? 19 tahun yang lalu kita pernah berkumpul di gurun pasir sana dan makan panggang kambing, masakah sudah lupa, Namaku Sato!" Setelah mengamati dan mengingat sejenak, Ci-peng menjadi girang dan berseru. "Aha, betul, betul! sekarang kau berewok lebat sehingga aku pangling padamu." "Selama ini kami terus berjuang kian kemari sehingga rambut dan jenggot juga putih semua, tapi wajah Totiang ternyata tidak banyak berubah," Ujar Sato dengan tertawa. "Pantas Jengis Khan Agung kami mengatakan kaum beragama seperti kalian ini hidup laksana malaikat dewata," Lalu ia berpaling kepada Hoat-ong dan menutur. "Koksuya, In-totiang ini dahulu pernah berkunjung ke negeri kami atas undangan Jengis Khan Agung kita, kalau dibicarakan kita adalah orang sendiri" Hoat-ong manggut2, lalu melepaskan pundak Ci-peng berdua. Supaya diketahui, dahulu waktu Jengis Khan mulai jaya, dia pernah mengundang kaum Tosu dari Coan-cinkau ke Mongol agar mengajarkan ilmu panjang umur kepadanya. Untuk itu Khu Ju-ki telah berangkat ke sana dengan membawa 18 anak muridnya, In Ci-peng adalah murid tertua dengan sendirinya ia ikut serta. Untuk mereka, Jengis Khan telah mengutus 200 perajurit sebagai pengawal rombongan Khu Ju-ki itu, tatkala mana Sato cuma seorang perajurit biasa saja dan termasuk dalam pasukan pengawal itu, sebab itulah dia kenal In Ci-peng. Selama 20 tahun Sato terus naik pangkat hingga menjadi Cian-hu-tiang dan secara kebetulan bertemu kembali dengan Ci-peng, tentu saja ia sangat gembira, segera ia suruh menyediakan makanan untuk menghormati Ci-peng, urusan kuda dan memukuli perajurit Mongol dengan sendirinya tak diusut pula. Kim-Iun Hoat-ong juga pernah mendengar nama Khu Ju-ki dan mengetahui dia adalah tokoh nomor satu Coan-cin-pay, sekarang dilihatnya kepandaian Ci-peng berdua juga tidak lemah, diam2 ia mengakui ilmu pedang dan Lwekang Coan-cin-pay memang lihay. Dalam pada itu Sato sibuk menanyai Ci-peng tentang kesehatan ke-18 murid Coan-cin-kau yang lain, bicara kejadian dimasa lalu, Sato menjadi bersemangat dan sangat gembira, Pada saat itulah tiba2 masuk seorang perempuan muda berbaju putih. serentak Hoat-ong, Nimo Singh, Ci-peng dan Ci-keng sama terkesiap, Ternyata pendatang ini adalah Siao-liong-Ii. Diantara orang2 itu hanya Nimo Singh yang tidak punya rasa dendam, segera ia menegur. "Hai, pengantin perempuan Cui-sian-kok, baik2 ya kau?" Siao-liong-li hanya mengangguk saja tanpa menjawab, ia pilih meja dipojok sana dan berduduk tanpa gubris orang lain, ia memberi pesan seperlunya kepada pelayan agar membuatkan santapan. Air muka Ci-peng berdua menjadi pucat dan hati berdebar, Hoat-ong juga kuatir kalau segera Nyo Ko menyusul tiba, selamanya dia tidak gentar apapun kecuali permainan ganda ilmu pedang Nyo Ko dan Siao-liong-li. Begitulah ketiga orang sama memikirkan urusan sendiri dan tidak bicara lagi melainkan makan saja, Ci-peng berdua sebenarnya sudah kenyang makan, tapi kalau mendadak terdiam bisa jadi akan menimbulkan curiga orang lain, terpaksa mereka makan lagi tanpa berhenti agar mulut tidak mengangur. Hanya Sato saja yang tetap gembira ria, ia tanya Ci-peng . "ln-totiang, apakah engkau pernah bertemu dengan Pangeran kami?" Ci-peng hanya menggeleng saja tanpa bicara. Sato lantas menyambung. "Wah, pangeran kita ini sungguh pintar dan bijaksana, beliau adalah putera keempat pangeran Tulai, setiap perajurit sayang padanya, sekarang aku hendak menghadap beliau memberi laporan keadaan, kalau kedua Totiang tiada urusan lain, bagaimana kalau ikut serta menghadap beliau?" Ci-peng sedang bingung, maka tanpa pikir ia menggeleng pula, Tapi pikiran Cikeng lantas tergerak ia tanya Hoat-ong. "Apakah Taysu juga hendak menghadap Ongya?" "Ya," Jawab Hoat-ong "Pangcran Kubilai adalah pahlawan yang tiada bandingannya di jaman ini, kalian harus berkunjung dan berkenalan dengan beliau." "Baiklah," Cepat Ci-keng menanggapi "Kami akan ikut Taysu dan Sato-ciangkun ke sana." Habis ini kakinya menyenggol pelahan kaki Ci-peng serta mengedipinya. Sebenarnya Ci-peng terlebih cerdik daripada Ci-keng, cuma saja begitu melihat Siao-liong-li seketika ia menjadi linglung, Selang sejenak barulah dia ingat apa maksud tujuan Ci-keng itu, rupanya ingin meloloskan diri dari kejaran Siao liong-li dengan bernaung di bawah lindungan Kim-lun Hoat-ong. Begitulah setelah makan, ber-turut2 semua orang lantas berangkat. Diam2 Hoat-ong merasa lega karena selama ini Nyo Ko tidak kelihatan muncul, pikirnya. "Coan-cin-kau adalah suatu sekte agama berpengaruh di Tionggoan, kalau saja dapat dirangkul tentu akan banyak bermanfaat bagi pihak Mongol. Apalagi tujuannya ke Siangyang telah mengalami kegagalan total, kalau dapat mengajak pulang kedua Tosu Coau-cin-kau ini kan juga suatu jasa besar." Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka terus melarikan kuda dengan cepat, ketika di belakang terdengar pula derapan kaki binatang, Ci-keng menoleh dan samar2 kelihatan Siao-liong-li masih mengikuti dari jauh dengan menunggang seekor keledai. Kim-luo Hoat-ong juga merinding setelah mengetahui Siao-liong-li membuntuti mereka, Diam2 iapun heran mengapa Siao-liong-li berani mengikutinya sendirian, padahal satu-lawan-satu jelas nona itu pasti bukan tandinganku, jangan2 dia membawa bala bantuan secara tersembunyi? Demikianlah Kim-lun Hoat-ong menjadi sangsi, padahal kalau sekarang dia berani menyongsong kedatangan Siao-liong-li dan melabraknya, tentu nona itu akan celaka, kalau tidak terbunuh juga tertawan, Tapi Hoat-ong baru saja berkenalan dengan Ci-peng berdua dari Coan cin-pay, ia menjadi kuatir kalau kebetulan kecundang, hal ini tentu akan menurunkan pamornya, sebab itulah dia lebih suka cari selamat dan pura2 tidak tahu penguntitan Siao-liong-li. Setelah menempuh perjalanan setengah malaman, sampai di suatu hutan, Sato memerintahkan pasukan berhenti mengaso, Masing2 duduk istirahat di bawah pohon, kelihatan Siao-liong-li juga turun dari keledainya dan duduk di sana dalam jarak beberapa puluh meter jauhnya. Semakin misterius gerak-gerik si nona, semakin menimbulkan curiga Kim-lun Hoat-ong dan tidak berani sembarangan bertindak Yang paling ketakutan tentu saja, In Ci-peng, memandang saja dia tidak berani. sesudah cukup mengaso, kemudian pasukan berangkat lagi, setelah jauh meninggalkan hutan itu, terdengar suara "keteplak-keteplak" Yang samar2, ternyata Siao-liongli tetap menguntit di belakang dengan keledainya. Sampai pagi mendatang, Siao-liong-li tetap mengintil di belakang dalam jarak itu2 juga. Sementara itu rombongan mereka sampai di suatu tanah datar yang luas, sepanjang mata memandang tiada menampak suatu bayangan apapun. Diam2 timbul pikiran jahat Kim-lun Hoat-ong, ia membatin. "Sejak kudatang ke Tionggoan belum pernah ketemu tandingan, tapi akhir2 ini ber-turut2 dikalahkan oleh ilmu pedang gabungan Nyo-Ko dan nona ini. sekarang dia terus membuntuti aku, tentu dia mempunyai maksud buruk, sebelum dia bertindak, kenapa tidak kubinasakan dia dahulu secara tak terduga olehnya, seumpama nanti bala bantuannya tiba tentu juga tidak keburu menoIongnya. Dan jika nona ini sudah mati, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu melebihi aku." Setelah ambil keputusan itu, baru saja dia mau menahan kudanya untuk menantikan datangnya Siao-liong-li, tiba2 dari depaa ada suara gemuruh datangnya serombongan orang disertai debu mengepul dan suara keleningan kuda atau unta. "Wah, terlambat jika tahu bala bantuannya akan datang sekarang, tentu sejak tadi kubinasakan dia," Demikian Hoat-ong membatin karena tidak sempat lagi menindak Siao-liong-li. Pada saat lain tiba2 terdengar Sato berseru menyatakan herannya, Waktu Hoat-ong melongok jauh ke sana, terlihat rombongan yang datang itu sangat aneh, seluruhnya empat ekor unta tanpa penunggang, pada punggung unta pertama di sisi kanan terpancang sebuah bendera besar, ujung tiang bendera itu ikut berkibaran pula tujuh ikat bulu putih, itulah panji pengenal Kubilai. "Barangkali Ongya yang datang?" Guman Sato sambil keprak kudanya menyongsong ke depan, Kira2 beberapa puluh meter dari rombongan unta itu. Sato lantas turun dari kudanya dan berdiri di tepi jalan dengan hormat. Kim-lun Hoat-ong merasa tidak leluasa lagi untuk membunuh Siao-liong-li jika betul Kubilai yang datang, ia ingin menjaga harga diri, sebab kalau sampai dilihat Kubilai bahwa dia membunuh seorang perempuan muda, tentu dia akan dipandang hina. Sementara itu keempat unta tadi masih terus berlari cepat mendatangi tapi Hoat-ong tidak turun dari kudanya melainkan pelahan2 memapak kedepan. Terlihat di antara tempat luang keempat ekor unta itUi ada berduduk seorang secara terapung, orang itu berjenggot dan beralis putih dengan wajah selalu tersenyum, kiranya adalah Ciu Pek-thong yang baru mengacaukan Cui-sian-kok itu. Terdengar Ciu Pek-thong berteriak dari jauh. "Bagus, bagus! Hwesio gede dan si cebol hitam, kita berjumpa kembali di sini, ada lagi nona cilik yang cantik molek itu!" Hoat-ong sangat heran, ia tidak mengerti mengapa Cui Pek-thong bisa duduk terapung di tengah2 keempat unta itu. Tapi sesudah dekat barulah dia tahu duduknya perkara, kiranya di antara unta2 itu terbentang beberapa utas tali yang ujungnya terikat pada punuk tiap2 unta dan di tengah - tengah persilangan tali itulah Ciu Pek-thong berduduk. Ciu Pek-thong adalah Sute cikal-bakal Coan-cin-kau, yaitu Ong Tiong-yang yang pernah menjalin cinta dengan nenek guru Siao-liong-li, bicara tentang kedudukan di Coan-cin-kau sekarang dialah paling top, tapi selangkahpun dia tidak pernah menginjak Tiong-yang-kiong dan jarang pula berhubungan dengan Ma Giok, Khu Ju-ki dan lain2, sebab itulah Ci-peng dan Ci-keng tidak mengenalnya. Meski, mereka pernah mendengar cerita dari guru masing2 bahwa mereka mempunyai seorang Susiokco (kakek guru muda), tapi sudah lama tidak ada kabar beritanya, besar kemungkinan sudah meninggal dunia, maka sekarang merekapun tidak menduga bahwa tokoh aneh ini adalah sang Susiokco yang maha sakti itu. BegituIah Hoat-ong mengernyitkan dahinya melihat kelakuan Ciu Pek-thong itu, ia pikir ilmu silat orang ini teramat tinggi dan sukar dilawan, ia coba menanyainya. "Apakah Ongya berada di belakang sana?" "Kira2 40 li dibelakang sana adalah perkemahannya," Jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa sambil menuding ke belakang "Eh, Toa-hwesio, kunasehati kau sebaiknya kau jangan pergi ke sana," "Sebab apa?" Tanya Hoat-ong heran. "Sebab dia sedang marah2. jika kau ke sana, mungkin kepalamu yang gundul itu akan dipenggal olehnya," Ujar Pek thong. "Ngaco-balo!" Omel Hoat-ong dengan mendongkoI. "Sebab apa Ongya marah?" Sambil menuding panji tanda pengenal Kubilai itu, Pek-thong berkata dengan tertawa. "Lihat ini, panji kebesaran Ongyamu ini kena kucuri, mustahil dia tidak marah2 ya" Hoat-ong meIengak, diam2 iapun percaya apa yang dikatakan itu, ia yakin Ciu Pek-thong pasti tidak berdusta, Segera ia tanya pula. "Untuk apa kau mencuri panji kebesaran Ongya?" "Kau kenal Kwe Cing bukan?" Tanya Pek-thong "Ya, ada apa?" Raja Silat Karya Chin Hung Golok Sakti Karya Chin Yung Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo