Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 56


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 56


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   "Saudara Singh, hadapi Siau-yau-li ini lebih penting!"   Namun Nimo Singh sudah murka, teriakan Hoat ong itu tak digubrisnya, ular besinya berputar lebih kencang serangannya seiafu ditujukan kepada Coan cin-ogo-cu.   Karena perubahan keadaan ini, kedua pedang Siao-liong-li sempat melancarkan serangan, beberapa kali terhadap Kim-lun Hoat-ong, sendirian Hoat-ong bukan tandingan nona, terpaksa ia mundur dua-tiga tindak.   Pada saat itulah mendadak Siao-liong-li menjerit tajam dengan wajah pucat, kedua pedangnya lantas terlepas jatuh pula ke tanah sambil memandang terkesima ke arah semak2 bunga mawar di sebelah sana, mulutnya berkomat-kamit.   "Ko-ji! Apakah betul kau, Ko-ji?"   Hampir bersamaan saatnya roda emas Kim-un Hoat-ong juga menghantam dari depan, sedangkan jurus "Pek-joan-hui-hay"   Yang dikerahkan Coan-cin ngo-cu juga menghantam dari belakang.   serangan tokoh2 Coan-cin-pay ini sebenarnya ditujukan kepada Nimo Singh, tapi si Hindu cebol ini rupanya sudah kapok dan tak berani menangkisnya, cepat ia mengelak sehingga tenaga pukulan dahsyat itu hampir seluruhnya mengenai punggung Siao-liong-li.   Ternyata Siao-liong-li seperti orang linglung saja sama sekali ia tidak berusaha menghindar jadinya punggung terkena pukulan dahsyat, dada juga terhantam roda, tubuh lemah lunglai seorang nona jelita sekaligus menerima gencetan dua tenaga dahsyat namun begitu pandangannya masih saja tetap terarah ke semak2 bunga mawar sana, dalam sekejap itu pikirannya melayang dan jiwanya ter-guncang, gencetan dua tenaga raksasa itu se-akan2 tak dirasakan olehnya.   Karena terpengaruh oleh sorot mata si nona tanpa terasa semua orang juga berpaling ke arah semak2 bunga mawar dan ingin tahu keanehan apa yang menarik perhatian Siao-liong-li sehingga tidak menghiraukan jiwanya sendiri.   Dan baru saja semua orang berpaling, se-konyong2 sesosok bayangan orang berkelebat dari semak2 sana menerobos ke tengah2 Kim-lun Hoat-ong dan Coan-cin-ngo-cu.   "trang"   Pedang dibuang ke tanah, tangan orang itu melayang ke semak2 sana dan duduk dibawah pohon, di tepi semak2 bunga mawar sambil memeluk Siao-liong-li.   Orang ini ternyata betul Kyo Ko adanya! Siao-liong-Ii tertawa manis tapi air mata lantas berlinang, katanya.   "Oh, Ko-ji, betulkah kau ini? Bukan sedang mimpi?"   Nyo Ko menunduk kepalanya dan mencium pipi si nona, lalu menjawab dengan suara halus .   "Bukan, bukan mimpi! Bukankah kau berada dalam pelukanku?"   Ketika melihat baju si nona berlepotan darah, ia menjadi terkejut dan berseru kuatir.   "He, lukamu parah tidak?"   Setelah terkena hantaman dahsyat dari muka belakang, ketika mendadak melihat Nyo Ko muncul di situ, Siao-liong-li lupa rasa sakitnya, tapi sekarang lantas terasa isi perutnya se-akan2 berjungkir balik, ia merangkul kencang leher Nyo Ko dan berkata.   "Aku... aku...."   Saking sakitnya ia tidak sanggup melanjutkan lagi. Melihat keadaan begitu, Nyo Ko merasa ikut menderita, dengan suara pelahan ia berkata.   "Kokoh, kedatanganku ini ternyata terlambat sedikit!"   "Tidak, tidak, kau datang tepat pada waktu-nya!"   Ujar Siao-liong-li lemah.   "Tadinya kukira selama hidup ini takdapat bertemu lagi dengan engkau."   Se-konyong2 ia merasa menggigil, lapat2 terasa sukma se-akan2 meninggalkan raganya, tangannya yang merangkul Nyo Ko pelahan2 juga melemah, Kata-nya pula dengan lirih "Ko-ji, peluklah aku!"   Nyo Ko mengencangkan tangan kirinya dan mendekap Siao-liong-li di depan dadanya, macam2 pikiran berkecamuk air matapun bercucuran dan menetes di atas pipi si nona.   "Kuingin kau mendekap aku, memeluk dengan kedua tanganmu!"   Pinta Siao-liong-Ii. Tapi segera dilihatnya lengan baju kanan anak muda itu kempis tak berisi, keadaannya luar biasa, seketika ia menjerit kaget.   "He, Koji kenapa lengan kananmu?"   Nyo Ko menggeleng dengan tersenyum getir, jawabnya dengan lirih.   "Jangan pikirkan diriku, lekas pejamkan matamu dan jangan menggunakan tenaga, biar kubantu menyembuhkan lukamu."   "Tidak!"   Jawab Siao liong-li.   "Kenapa lengan kananmu itu? Mengapa tidak ada lagi? Mengapa?"   Meski jiwanya sendiri sedang bergulat dengan maut, tapi sedikitpun ia tidak memikirkannya dan justeru ingin tahu sebab apa Nyo Ko kehilangan sebelah lengannya, soalnya dalam hatinya anak muda yang cakap ini betapapun jauh lebih penting daripada dirinya sendiri, segenap pikiran dan perhatiannya dicurahkan untuk menjaga kepentingannya.   Hal ini sudah terjadi sejak mereka tinggal bersama di kuburan kuno itu, cuma waktu itu Siao-Iiong-li tidak menyadari bahwa inilah cinta kasih, Nyo Ko sendiri juga tidak tahu.   Mereka merasa kasih sayang antara mereka itu adalah kewajiban yang layak antara guru dan murid.   Jadi sebenarnya keduanya sudah lama cinta mencintai di luar tahu mereka sendiri.   Maka sekarang setelah mereka menyadari betapa cinta kasih antara mereka, betapapun mereka tidak ingin hidup sendirian tanpa didampingi kekasihnya, jiwa kekasih menjadi beribu kali lebih penting daripada jiwa sendiri.   Bagi Siao-liong-li, sebelah lengan Nyo Ko itu jauh lebih penting daripada soal jiwanya masih dapat hidup atau tidak, sebab itulah ia berkeras ingin tahu.   Dengan pelahan ia meraba lengan baju anak muda itu, dengan pelahan, dan benar saja di dalam lengan baju memang kosong tak berisi.   Seketika ia melupakan keadaan sendiri yang parah itu, hatinya penuh rasa kasih sayang dan haru, dengan suara lembut ia berkata.   "O, Ko-ji yang malang! Apakah sudah lama kehilangan lenganmu ini? Apakah sekarang masih sakit?"   Nyo Ko menggeleng dan menjawab.   "Sudah tidak sakit lagi. Asalkan kudapat bertemu lagi dengan engkau dan takkan berpisah selamanya dengan kau, apa artinya kehilangan sebelah lengan bagiku? Bukankah dengan lengan kiri saja akupun dapat memeluk kau?"   Siao-liong-li tersenyum kecil, ia merasa ucapan Nyo Ko sangat tepat, berbaring dalam pangkuan anak muda itu, meski hanya lengan kiri saja yang merangkulnya juga terasa puas dan bahagia, Tadinya dia cuma berharap sebelum ajalnya dapat bertemu sekali lagi dengan Nyo Ko, sekarang keinginannya itu sudah terkabul, bahkan saling mendekap, sungguh bahagia melebihi harapannya.   Di sebelah lain Kim-lun Hpat-ong, Siau-siang cu, In Kik-si, Nimo Singh, Coan-cin-ngo-cu, para Tosu dan kawanan Busu Mongol, semuanya terdiam dan melongo memandangi sepasang kekasih ini.   sesaat itu tiada seorangpun yang ingin menyerang mereka atau boleh dikatakan juga tiada seorangpun yang berani menyerang mereka.   Meski dirubung oleh orang sebanyak itu, tapi bagi Nyo Ko dan Siao-Iiong-Hi se-akan2 dunia ini mereka punya dan tiada orang lain di sekitar mereka.   Cinta sejati, cinta yang murni, cinta yang mencapai puncaknya, bukan saja kaya miskin, pangkat atau hidup mewah sama sekali tak terpikir oleh mereka, bahkan mati atau hidup juga bukan soal bagi bagi mereka.   Kalau Nyo Ko dan Siao-liong-li tidak memikirkan soal mati atau hidup lagi, maka biarpun semua tokoh disekelilingnya itu menyerang serentak, bagi mereka juga tidak lebih hanya mati belaka dan seorang hanya mati sekali.   Sudah tentu Kim-Iun Hoat-ong dan lain2 tidak takut kepada Nyo Ko berdua, mereka cuma merasa heran dan luar biasa, jelas Siao-liong-Ii terluka parah sebelah lengan Nyo Ko sudah buntung, mereka pasti takkan sanggup melawan lagi, tapi kedua muda-mudi itu sedang asyik-masyuk dibuai cinta dengan sendirinya timbul semacam hawa keangkeran yang membuat orang lain, tak berani menindaknya secara sembarangan.   Akhirnya Siao-liong-li bertanya pula.   "Sebab apakah lenganmu buntung? Lekas katakan padaku."   Dengan tersenyum getir Nyo Ko menjawab.   "Lengan buntung, dengan sendirinya lantaran di-tabas orang."   Siao-Iiong li memandanginya dengan perasaan pedih, tiada hasratnya buat bertanya lagi siapa yang mengutungi tangan sang kekasih, kalau bernasib jelek, siapapun yang melakukannya kan sama saja.   Dalam pada itu luka di dada dan punggungnya terasa sakit luar biasa, ia tahu jiwanya tak bisa tahan lama lagi, dengan suara pelahan ia berkata.   "Ko-ji, aku ingin memohon sesuatu padamu."   "Kokoh, masakah kau sudah lupa, ketika kita berdiam di kuburan kuno kan sudah pernah kusanggupi kau bahwa apa yang kau ingin kulakukan bagimu pasti akan kulaksanakan,"   Jawab Nyo Ko.   "Ya, itu sudah lama berselang!"   Ujar Siao-liong-li sambil menghela napas panjang.   "Tapi bagiku selamanya tetap begitu,"   Jawab Nyo Ko tegas. Siao liong-li tersenyum pedih, katanya pula dengan lirih.   "Hidupku takkan lama lagi, kuingin kau mendampingi aku, menunggui aku dan memandangi aku hingga kumati, jangan kau tinggal pergi mendampingi nonamu si Kwe Hu itu."   Hati Nyo Ko menjadi berduka dan mendadak merasa gemas pula, jawabnya.   "Kokoh, sudah tentu aku akan mendampingi kau, Nona Kwe itu ada sangkut-paut apa denganku? Justeru dia yang menabas kutung lenganku ini!"   "Hah, dia. dia yang melakukan?"   Siao liong li menegas dengan kaget "Mengapa dia begitu keji? Apakah.... apakah disebabkan kau tidak suka padanya?"   "Kita berdua begini baik, mengapa engkau meragukan diriku?"   Kata Nyo Ko.   "Selain kau, selamanya belum pernah kucintai gadis lain, Tentang nona Kwe ini, hm...."   Tapi sebelum Siao-Iiong li mendengar ucapannya ini, dia sudah pingsan dalam pangkuan Nyo Ko.   Lengan kanan Nyo Ko itu memang betul ditabas kutung oleh Kwe Hu.   sebagaimana sudah diceritakan waktu kedua orang bertengkar selagi Nyo Ko masih berbaring di tempat tidurnya karena belum sembuh dari lukanya, saking gusarnya Kwe Hu telah samber Ci-wi-kiam, pedang lemas yang terletak di meja terus ditabaskan tanpa pikir.   Dalam keadaan kepepet, sekenanya Nyo Ko rampas Siok-li-kiam yang dibawa ke situ oleh Kwe Hu itu untuk menangkis.   Tapi pedang yang dipegang Kwe Hu itu adalah senjata maha tajam dan sangat berat, yaitu pedang yang pernah digunakan mendiang Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia Kangouw tanpa ketemu tandingan walaupun Siok ii-kiam juga tergolong pedang mestika, tapi tetap tertabas kutung oleh pedang Kwe Hu itu.   Malahan saking gemasnya si nona menabas sehingga sukar baginya untuk menahan lajunya pedang, tahu2 sebelah lengan Nyo Ko juga ikut tertabas kutung.   Sama sekali tak terduga bahwa serangan itu akan mendatangkan akibat sehebat itu, kalau Nyo Ko kaget dan gusar, tak terkatakan, Kwe Hu juga melongo kesima, ia menyadari telah berbuat sesuatu kesalahan yang sukar diperbaiki lagi.   Dilihatnya darah segar terus merembes-dari lengan Nyo Ko yang sudah buntung itu, ia menjadi bingung dan tidak tahu apalagi yang harus dilakukannya.   Selang sejenak mendadak ia menjerit dan menangis terus berlari keluar sambil menutupi mukanya, Setelah bingung sejenak, segera pula Nyo Ko dapat menenangkan diri, cepat ia menggunakan tangan kiri untuk menutuk Ko-cing-hiat di bahu kanan sendiri dan merobek kain seperei untuk membalut lengan buntung itu agar darah tidak keluar lebih banyak, kemudian ia bubuhi obat luka pula, ia pikir dirinya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di situ dan harus lekas pergi.   pelahan ia berjalan beberapa langkah sambil berpegangan dinding, tapi lantaran terlalu banyak kehilangan darah, mendadak pandangannya menjadi gelap dan hampir saja jatuh pingsan.   Pada saat itulah didengarnya suara Kwe Cing sedang berteriak.   "Lekas, lekas! Bagaimana keadaannya? Darahnya sudah mampet belum?"   Nada suaranya penuh rasa kuatir dan cemas, Nyo Ko tahu sang paman yang belum sehat itu sengaja datang buat menjenguknya, tiba2 timbul pikirannya untuk tidak menemui Kwe Cing lagi.   Maka sekuatnya ia mengumpulkan tenaga terus menerjang keluar kamar.   Kwe Cing sendiri waktu itu belum sehat, ketika tiba2 Kwe Hu datang memberi tahu dengan menangis bahwa nona itu telah menguntungkan lengan Nyo Ko, Kwe Cing menjadi kaget, cepat ia samber palang pintu untuk digunakan sebagai tongkat sambil menahan rasa sakit ia memburu ke kamar Nyo Ko.   Tapi sebelum masuk kamar, mendadak dilihatnya Nyo Ko berlari keluar dengan berlumuran darah.   Tanpa menoleh Nyo Ko terus berlari keluar rumah, ia cemplak ke atas kuda yang tertambat di depan rumah terus dilarikan ke pintu gerbang benteng, penjaga pintu benteng pernah menyaksikan Nyo Ko dengan tangkasnya menyelamatkan Kwe Cing dari serangan pasukan mongol, maka ia tidak berani merintanginya walaupun melihat sikap anak muda itu rada aneh segera ia membukakan pintu gerbang dan membiarkan Nyo Ko pergi.   Sementara itu pasukan Mongol sudah mundur beberapa puluh li jauhnya dari benteng Siangyang, Nyo Ko tidak mengambil jalan raya melainkan melarikan kudanya ke jalan kecil yang sepi.   ia membatin.   "Racun bunga cinta yang mengeram di dalam diriku ternyata tidak mematikan aku meski -sudah lewat batas waktunya, bisa jadi seperti apa yang dikatakan paderi sakti Than-tiok itu bahwa racun bunga cinta mungkin dikalahkan oleh racun jarum berbisa milik Li Bok-chiu yang kuisap itu sehingga jiwaku malah tertolong. Dalam keadaan terluka parah seperti sekarang ini, kalau kucari Kokoh ke Cong-lam-san yang jauh itu pasti tidak tahan, apakah memang sudah ditakdirkan jiwaku harus melayang di tengah perjalanan begini?"   Teringat kepada nasib sendiri yang kenyang duka derita, kecuali hidup tenteram bersama Siao liong-li di kuburan kuno itu boleh dikatakan jarang hidup dalam keadaan gembira, sekarang jiwanya sudah dekat ajalnya, satu2nya orang yang dikasihinya di dunia ini sekarang juga sudah pergi, malahan anggota badannya dibikin cacat orang pula, terpikir semua ini, tanpa terasa air matanya lantai bercucuran.   Dia mendekap di atas kuda dalam keadaan sadar-tak-sadar ia terus melarikan kudanya kedepan, yang dia harap asalkan tidak ditemukan Kwe Cing dan tidak kepergok pasukan Mongol, maka ke manapun tak menjadi soal baginya.   Karena itu tanpa-sengaja dia telah menuju ke lembah sunyi, di sana kemarin malam baru saja terjadi perkelahiannya dengan kedua saudara Bu.   Sementara itu hari sudah gelap, sekeliling sunyi senyap dan semak2 rumput belaka, ia pikir di sekitar situ pasti tiada orang lain, segera ia turun dari kudanya terus merebahkan diri, ia sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi, kemungkinan di serang binatang buas atau digigit ular berbisa juga tak dihiraukannya, terus saja ia tertidur.   Akan tetapi sampai tengah malam ia sudah terjaga karena kesakitan pada lukanya dan tak dapat pulas lagi.   Paginya waktu ia berbangkit terlihat di sisi tempat berbaringnya itu ada dua ekor kelabang besar menggeletak kaku di situ, badan kelabang2 itu loreng merah hitam dan sangat menyeramkan dengan kepala berlepotan darah.   Nyo Ko terkejut, dilihatnya pula di samping kedua bangkai kelabang itu ada bekas lumuran darah.   setelah dipikir sejenak, tahulah dia akan persoalannya.   Rupanya darah itu merembes keluar dari lukanya waktu dia tidur tadi, sedangkan dalam darahnya itu mengandung kadar racun bunga cinta, kedua ekor kelabang itu mati oleh darah beracun itu.   Nyo Ko menyeringai sendiri, tak terpikir olehnya bahwa darahnya ternyata jauh lebih berbisa daripada binatang sehingga kelabangpun tidak tahan.   Hatinya terasa pedih, duka dan penasaran tak terlampiaskan, ia menengadah dan tertawa keras2...   Tiba terdengar suara burung berkotek di atas bukit sana, waktu ia memandang ke sana, terlihat si rajawali raksasa tempo hari itu berdiri di puncak bukit dengan bersitegang leher dan membusungkan dada, meski tampang burung itu jelek dan menakutkan, tapi juga membawa kegagahannya yang berwibawa.   Nyo-Ko sangat girang, seperti bertemu dengan kenalan lama saja ia lantas berteriak.   "He, kakak rajawali kita bertemu pula di sini"   "Rajawali itu berbunyi panjang satu kali terus menerjang turun dari bukit itu. Karena badannya besar dan kuat sayapnya pendek, bulunya jarang2, maka rajawali itu tidak dapat terbang, tapi larinya sangat cepat melebihi kuda, dalam sekejap saja ia sudah berada di samping Nyo Ko. Ketika melihat sebelah lengan anak muda itu buntung, dengan mata tak berkedip burung itu memandanginya sa-akan2 heran.   "Tiau-heng (kakak rajawali), aku sedang tertimpa malang maka sengaja datang ke sini mencari kau,"   Kata Nyo Ko dengan menyeringai.   Entah rajawali itu paham ucapannya tidak, yang jelas burung itu tampak manggut2, lalu memutar tubuh dan melangkah ke sana, Segera Nyo Ko menuntun kudanya dan mengintil dari belakang.   Tapi baru beberapa langkah saja, mendadak raja wali sakti itu membalik, se-konyong2 sebelah sayapnya menjulur dan "bluk", dengan keras sayapnya menyabet punggung kuda.   Betapa hebat tenaga hantaman sayapnya itu, tanpa ampun kuda itu meringkik terus roboh terkulai tak bernyawa lagi.   "Ya, benar, kalau aku sudah berada di tempat Tiau-heng tentu tidak perlu pergi lagi dan apa gunanya kuda ini?"   Ujar Nyo Ko.   BegituIah Nyo Ko lantas mengikuti lagi rajawali itu, Tidak lama sampailah mereka di gua tempat menyepi Tokko Kiu-pay dahulu, Melihat makam batu itu, menjadi sangat terharu, tokoh maha sakti yang tiada ketemukan tandingan semasa hidupnya itu akhirnya toh meninggal juga di lembah sunyi ini.   Melihat tingkah lakunya ini, tentu ilmu silatnya maha tinggi dan wataknya menjadi nyentrik dan sukar bergaul dengan orang lain, makanya lantas menyepi bersama rajawali sakti ini.   Cuma sayang rajawali ini meski cerdik, tapi tak dapat bicara sehingga sukar diketahui kisah hidup Tokko Kiu-pay yang pasti sangat menarik itu.   Selagi Nyo Ko duduk termenung di dalam gua, sementara itu rajawali itu telah datang dari luar gua dengan membawa dua ekor kelinci.   Cepat Nyo Ko membuat api untuk memanggang dan dimakan nya dengan kenyang.   Cara begitulah beberapa hari telah berlalu, luka lengan Nyo Ko yang buntung itu juga mulai merapat, kesehatannya semakin pulih, Setiap kali terkenang pada Siao-liong-li tentu dadanya terasa sesak dan sakit, tapi sudah jauh lebih ringan daripada dulu.   Dasar watak anak muda itu memang suka bergerak sepanjang hari dia hanya berkawan rajawali itu di pegunungan yang sunyi, betapapun ia menjadi iseng dan merasa kesepian.   Selang beberapa hari pula, kesehatan Nyo Ko sudah pulih seluruhnya.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dilihatnya di belakang gua banyak pepohonan rindang dan pemandangan indah, dalam isengnya ia lantas melangkah ke sana.   Kira2 satu-dua li jauhnya, sampailah dia di depan sebuah tebing yang sangat curam.   Tebing itu menjulang tinggi sehingga mirip sebuah pintu angin raksasa, kira2 tiga puluh meter dibagian tengah tebing itu mencuat keluar sepotong batu seluas beberapa meter persegi sehingga menyerupai panggung terbuka.   Pada batu besar itu santar2 seperti ada ukiran huruf.   Waktu ia mengamati lebih cermat, agaknya kedua huruf itu berbunyi.   "Kiam-bong" (makam pedang) Nyo Ko menjadi heran, masakah pedang juga dimakamkan apakah barangkali pedang kesayangan Tokko Kiu-pay itu patah, lalu ditanam di sini? Ia coba mendekati tebing itu, dilihatnya dinding batunya halus licin, sungguh sukar untuk dibayangkan cara bagaimana orang dahulu itu dapat memanjat ke atas. Sampai lama sekali ia memandangi panggung batu itu dan semakin tertarik, ia pikir orang itu juga manusia, mengapa dapat memanjat ke atas tebing setinggi itu, tentu ada sesuatu yang aneh dan rahasia. Setelah diteliti lagi sejenak, tiba2 dilihatnya dinding tebing itu memang ada sesuatu yang menang yaitu tumbuhan lumut hijau yang berjumlah puluhan rumpun secara lurus dari bawah ke atas dalam jarak satu-dua meter, Tergerak hati Nyo Ko. ia coba melompat ke atas, ia meraba rumput lumut hijau yang paling rendah itu, hasilnya tangannya menggenggam secomot tanah, jelas lumut itu tumbuh pada sebuah dekukan, agaknya dicukil oleh senjata tajam oleh Tokko Kiu-pay dahulu, karena sudah ber-tahun2 kena air hujan, sinar matahari, dekukan itu tertimbun kotoran dan tumbuhan lumut itu. Karena iseng, Nyo Ko menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang terdapat pada makam pedang itu, Cuma sebelah tangannya buntung, untuk memanjat kurang leluasa. Namun dia anak muda yang berkemauan keras, segera ia kencangkan ikat pinggang, ia kumpulkan tenaga dan melompat setinggi-nya ke atas, begitu sebelah kakinya menginjak dekukan dinding itu segera melompat lagi ke atas, sebelah kakinya mendepak tepat pada rumpun lumut tingkat kedua, ternyata tempatnya lunak, kakinya dapat menghinggap di situ. Dan begitulah seterusnya ia melompat lebih 20 kali ke atas dengan menggunakan tangga dekukan dinding itu, namun akhirnya terasa tenaga mulai lemas, untuk memanjat lebih tinggi terasa tidak kuat, terpaksa ia merosot ke bawah pula. Ia lihat sudah tiga perempat anak tangga dekukan dinding itu dipanjatinya, kalau diulangi lagi sekali pasti akan mencapai panggung batu itu. Segera ia duduk mengumpulkan tenaga dalam, sesudah cukup kuat, dengan cara seperti tadi ia memanjat pula ke atas dan sekaligus panggung batu itu dapat dicapainya. Diam2 Nyo Ko bersyukur bahwa Ginkang sendiri tenyata tidak berkurang dari pada semula, meski kini tangannya buntung sebelah, ia lihat di samping kedua hurup besar "makam pedang"   Itu ada pula ukiran dua baris tulisan yang lebih kecil yang berbunyi.   "Karena tidak menemukan tandingan lagi di dunia ini, maka pedangpun kutanam di sini, Oho, semua pahlawan tak berdaya, pedangpun tiada gunanya lagi, alangkah sedihnya bagiku"   Heran dan kagum pula Nyo Ko terhadap tokoh sakti itu, ia merasa Locianpwe itu tentu sangat angkuh dan mengagulkan kemampuannya sendiri.   Cuma untuk mencapai tingkatan tiada tandingan di seluruh dunia, jelas dirinya tidak mampu, apalagi sekarang sebelah lengan sudah buntung, hal ini jelas tiada harapan selama-lamanya.   Nyo Ko duduk termenung di situ, sebenarnya pingin sekali mengetahui bagaimana macamnya senjata yang di makamkan itu, tapi ia tidak berani merusak petilasan tokoh angkatan tua itu.   Tiba2 terdengar di bawah sana ada suara barang berkotek, ia coba melongok ke bawah, tertampak rajawali sakti itu sedang melompat keatas dengan menggunakan cakarnya yang tajam mencengkeram setiap dekukan dinding tebing, Meski berat tubuhnya, tapi kakinya sangat kuat, sekali lompat dapat mencapai beberapa meter tingginya, hanya sekejap saja ia sudah berada di samping Nyo Ko.   Sesudah celingukan kian kemari sejenak, rajawali itu manggut2 pada Nyo Ko sambil berbunyi beberapa kali dengan suara yang aneh, Sudah tentu Nyo Ko melongo bingung karena tidak paham maksud burung itu.   Setelah berbunyi lagi beberapa kali, lalu rajawali itu menggunakan cakarnya yang kuat itu untuk mencakar batu2 di atas makam itu, tiba2 timbul pikiran Nyo Ko, ia menduga di makam pedang itu mungkin tertanam sebangsa kitab ilmu pedang tinggalan Tokko Kiu-pay yang maha sakti itu.   Dilihatnya rajawali itu terus mencakar dengan kedua kakinya, sebentar saja batu itu sudah tersingkir semua dan tertumpuk lah tiga batang pedang berjajar, di antara pedang pertama dan kedua terselip pula sepotong lapisan batu tipis.   Ketiga pedang dan batu tipis itu terletak berjajar di atas batu hijau yang cukup besar.   Nyo Ko coba mengangkat pedang pertama di sebelah kiri itu, dilihatnya di atas batu tempat pedang itu tertaruh ada terukir sebaris tulisan.   Setelah di baca, kiranya cuma catatan belaka yang menerangkan pedang itu sangat tajam dan semasa mudanya pernah digunakan untuk menempur jago2 silat.   Waktu ia mengamat-amati pedang itu panjangnya satu meteran itu, cahaya hijau tampak gemerdep dan memang senjata sangat tajam.   Ia coba berjongkok dan memegang batu tipis itu, di atas batu besar tepat di bawah batu tipis itupun ada ukiran tulisan yang menjelaskan.   "Pedang lemas Ciwi-kiam, digunakan semasa usia 30-an, salah membunuh orang baik, senjata yang beralamat jelek, maka kubuang ke jurang sunyi"   Tergetar hati Nyo Ko, ia pikir lengan sendiri justeru terkutung oleh pedang Ci-wi-kiam itu, rupanya pedang itu dibuang di jurang sunyi itu oleh Tokko Kiu-pay dan ditelan oleh ular raksasa, tapi secara kebetulan telah diketemukan olehnya.   Kalau saja di dunia ini tiada pedang tajam itu, meski dalam keadaan sakit juga lengannya takkan tertabas kutung oleh Kwe Hu.   Untuk sejenak ia ter-mangu2, ketika ia angkat juga pedang kedua, baru saja terangkat sedikit, se-konyong2 terjatuh pula di atas batu hingga menerbitkan suara keras dan mencipratkan lelatu api, keruan ia terkejut.   Padahal pedang itu berwarna gelap kotor dan tiada sesuatu tanda aneh, namun bobotnya ternyata tidak kepalang beratnya, panjangnya tiada satu meter, tapi beratnya ada 60-70 kati, beberapa kali lebih berat daripada senjata panjang yang biasa digunakan orang di medan perang, ia pikir mungkin tadi dirinya sendiri belum siap sehingga kurang kencang memegangi pedang itu.   Segera ia taruh kembali pedang pertama dan batu tipis tadi, lalu ia angkat lagi pedang yang berat itu.   Karena sudah bersiap, pedang yang beratnya 6070 kati itu bukan soal lagi baginya, ia lihat ke dua mata pedang itu puntul semua, malahan ujung pedang berbentuk setengah bundar dan tidak runcing seperti pedang umumnya, ia menjadi heran, sudah begitu berat, ujung dan mata pedang juga puntul segala apa gunanya? Di atas batu di bawah pedang itupun ada ukiran dua baris huruf yang artinya menjelaskan pedang puntul dan berat itu digunakan Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia persilatan pada waktu berusia sekitar 40-an, ia menjadi heran pula cara bagaimana orang menggunakan pedang seberat itu dan tidak tajam pula.   Selang sejenak, ia mengambil lagi pedang ke tiga, Sekali ini dia kecele lagi, Disangkanya pedang itu pasti lebih berat daripada pedang puntul itu maka sebelumnya ia telah kumpulkan tenaga untuk mengangkatnya.   Siapa tahu benda yang diangkatnya ternyata enteng sekali seperti tidak berbobot.   Waktu ia mengamati, kiranya pedang itu terbuat dari kayu, lantaran sudah terlalu tua, gagang dan batang pedangnya sudah lapuk, batu di bawah, pedang itu juga terukir keterangan "Setelah berusia 40 tahun, tidak mementingkan senjata lagi, segala benda dapat kugunakan sebagai pedang, sejak itu latihanku semakin sempurna, mulai mencapai tingkatan tanpa pedang melebihi memakai pedang"   Dengan khidmat Nyo Ko meletakkan kembali pedang kayu itu ke tempat semula, ia sangat gegetun akan ilmu sakti tokoh Tokko Kiu-pay yang sukar dibayangkan, ia pikir di bawah batu hijau yang besar itu bisa jadi terpendam benda2 lain lagi.   Maka se-kuatnya ia eoba menggeser batu itu, namun di bawah batu bijau itupun cuma batu gunung saja tanpa sesuatu benda lain, tanpa terasa ia menjadi sangat kecewa.   Mendadak rajawali raksasa itu berbunyi sekali, pedang puntul yang berat itu tiba2 dipatuknya, lalu diangsurkan kepada Nyo Ko, habis itu ia berkaok dua kali lagi.   "O, kakak rajawali apakah kau ingin menjajal kepandaianku?"   Kata Nyo Ko dengan tertawa.   "Baiklah, daripada iseng, bolehlah kita main2 beberapa jurus."   Akan tetapi ia merasa sukar memainkan pedang puntul yang berat itu, ia lemparkan pedang itu dan menjemput pedang tajam yang pertama tadi.   Tak terduga, mendadak rajawali sakti menarik sayapnya, lalu membalik tubuh ke sana tanpa menggubris Nyo Ko lagi, sikapnya seperti mencemoohkan.   Sebagai anak muda yang cerdik pandai, segera Nyo Ko tahu maksud rajawali itu, katanya dengan tetawa.   "Apakah kau ingin kugunakan pedang berat itu? Tapi kepandaianku sangat terbatas, apalagi bergebrak di tempat yang berbahaya ini, tentu aku bukan tandinganmu, untuk ini perlu kau mengalah sedikit."   Habis berkata ia terus menukar pedang, ia coba mengerahkan segenap tenaga pada tangan kiri- lalu mulai menyerang, pedang menusuk pelahan ke depan.   Rajawali itu tidak memutar tubuh lagi, mendadak sayapnya membentang ke belakang dan tepat menyampuk pedang, untuk seketika Nyo Ko merasakan arus tenaga yang maha dahsyat mendesaknya melalui batang pedang sehingga napasnya terasa sesak.   Keruan Nyo Ko kaget, cepat ia kumpulkan tenaga untuk melawan "brak", batang pedangnya bergetar seketika pandangannya terasa gelap dan tak sadarkan diri lagi.   Entah sudah berapa lama barulah ia siuman kembali, dirasakannya ada bekas cairan dalam mulutnya yang manis2 sedap, agaknya dalam keadaan tak sadar ia telah makan sesuatu.   Waktu ia membuka matanya, kiranya rajawali sakti itu menggigit satu biji buah warna merah sedang dilolohkannya, ia coba mengunyahnya, rasanya persis sisa rasa dalam mulutnya tadi, agaknya sudah beberapa biji buah semacam itu telah dimakannya tanpa sadar.   Ketika ia coba mengumpulkan tenaga, rasanya pernapasan sangat lancar dan badan juga segar, cepat ia berbangkit dan coba mengulur tangan dan gerakkan kaki, rasanya malah lebih kuat daripada sebeIumnya.   Diam2 ia heran, pantasnya setelah berkelahi dan dipukul lawan hingga pingsan, walaupun tidak terluka parah sedikitnya juga akan pegal linu sekian lama, apakah barangkali buah merah yang dimakannya ini berkhasiat sebagai obat penyembuh luka serta pemulih tenaga? Waktu ia jemput lagi pedang puntul itu, rasanya sekarang terlebih ringan daripada tadi, Pada saat itu juga kembali si rajawali sakti berkaok lagi satu kali, sayapnya terus menyabet pula, ia tidak berani menyambutnya, cepat ia mengegos, tapi burung itu terus mendesak maju dan kedua sayapnya menampar sekaligus dengan tenaga dahsyat.   Nyo Ko tahu rajawali itu tidak bermaksud jahat padanya, tapi betapapun baiknya juga tetap binatang, kalau dia takdapat menahan sabetan sayapnya, bukankah jiwanya bisa melayang secara konyol? Karena itu cepat ia mundur lagi dua tindak dan rasanya dia sudah berada di tepi panggung batu itu.   Namun rajawali itu sedikitpun tidak kenal ampun, kepalanya menjulur, paruhnya yang bengkok besar itu malah terus mematuk kepala Nyo Ko.   Karena sudah kepepet, tiada jalan lain terpaksa Nyo Ko angkat pedangnya untuk menangkis.   "Prak"   Batang pedang itu terpatuk dengan tepat, Nyo Ko merasa tangannya tergetar dan pedang se-akan2 terlepas dari cekalan.   Dilihatnya pula burung raja wali itu pentang sayap kanan lagi terus menyabet dari samping.   Keruaa Nyo Ko terkejut, cepat ia melompat ke atas dan melayang lewat di atas kepala rajawali itu, setiba di bagian dalam panggung batu, kuatir burung itu menyusu ikan serangan lagi, segera ia memutar pedangnya ke belakang.   "brek", dengan tepat pedang beradu pula dengan paruh rajawali. Nyo Ko berkeringat dingin karena sempat lolos dari bahaya, cepat ia berseru.   "He, Tiau-heng jangan kau anggap aku seperti Tokko-tayhiap!"   Rajawali sakti itu berkaok dua kali dan tidak menyerang pula, sebaliknya Nyo Ko lantas teringat kepada cara menyerang rajawali itu tadi, burung raksasa itu pernah mendampingi Tokko Kiu-pay, besar kemungkinan ketika Tokko Ktu-pay hidup terpencil di pegunungan ini, di waktu latihan rajawali inilah yang dianggap sebagai lawannya.   Kini Tokko Kiu-pay sudah meninggal, ilmu silatnya yang maha sakti itu sudah punah, tapi dari burung ini bisa jadi akan dapat ditemukan bekas2 kesaktian tokoh angkatan lalu itu.   Berpikir demikian, ia menjadi girang dan segera, berseru.   "Tiau-heng, awas seranganku ini!"   Begitulah ia lantas mendahului menyerang malah ke dada rajawali itu, Sudah tentu burung itu tidak tinggal diam, sayapnya terus balas menyabet.   Sehari penuh Nyo Ko terus berkutak-kutik dengan rajawali sakti itu di atas panggung batu, tenaga rajawali itu sungguh sangat kuat, sekali sayapnya menyabet, seketika berjangkit angin keras laksana tenaga pukulan beberapa tokoh terkemuka sekaligus.   Dalam keadaan demikian segala ilmu pedang yang pernah dipelajari Nyo Ko sama sekali tak dapat dikeluarkan, terpaksa ia hanya bertahan dan menghindar secara gesit, kalau balas menyerang juga menusuk secara begitu2 saja tanpa sesuatu perubahan.   Sampai hari sudah gelap, keduanya lantas pulang ke gua.   sepanjang hari Nyo Ko bertempur, mestinya dia merasa lelah, tapi aneh, sedikitpun dia tidak merasakannya, sebaliknya terasa lebih segar daripada biasanya, ia pikir mungkin berkat khasiat buah merah itu.   Esok paginya waktu dia bangun, rajawali sakti itu sudah membawakan pula beberapa biji buah merah, segera Nyo Ko memakannya, habis itu ia duduk semadi mengatur pernapasan, terasa semuanya lancar dan tenaga penuh.   Girang sekali anak muda itu, cepat ia melompat bangun dan membawa pedang berat itu ke panggung batu itu untuk berlatih pula dengan si rajawali.   Kalau kemarin terasa sukar memanjat ke atas panggung itu, sekarang dia membawa pedang seberat berpuluh kati malah dengan enteng saja dapat naik kesitu, tahulah dia seharian kemarin tenaganya telah banyak lebih kuat, maka dalam latihannya dengan rajawali itu sekarang menjadi lebih tangkas.   Begitulah dia terus berlatih beberapa hari ber turut2, pedang yang tadinya terasa berat itu sekarang sudah mirip senjata biasa saja, setiap gerak serangannya dapat dilakukan sesuka hatinya.   Dasarnya memang pintar, beberapa bulan yang lalu iapun sudah menciptakan aliran ilmu silatnya sendiri, sekarang tenaganya berlipat ganda, setiap hari dia berlatih dengan rajawali itu dengan menggunakan pedang yang berat, maka semakin dirasakan ilmu pedang yang dipelajarinya dahulu terlalu banyak variasinya, terlalu banyak perubahannya, sekarang dirasakannya setiap jurus serangannya yang tampaknya begitu2 saja tanpa kembangan justeru lebih sukar ditangkis oleh pihak lawan.   Misalnya pedangnya menusuk lurus ke depan, asalkan tenaganya maha kuat, maka daya tekanannya menjadi jauh lebih besar daripada ilmu pedang Coan-cin-pay atau Ko-bong-pay yang banyak variasinya itu.   Meski sekarang dia cuma menggunakan tangan kiri saja, tapi setiap hari dia makan buah merah yang dibawa si rajawali, maka tanpa terasa tenaga dalamnya bertambah lipat ganda, hanya beberapa hari saja dia sudah sanggup melawan tenaga sakti si rajawali yang luar biasa dahsyatnya itu.   Setelah ilmu silatnya mencapai tingkatan ini, maka dia seperti berada tinggi di puncak gunung memandang bukit2 kecil di bawahnya, kini dia merasakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dahulu seakan2 sama sekali tiada artinya lagi.   "Pagi hari ini cuaca mendung, air hujan seperti dituang dan langit Nyo Ko coba bertanya si rajawali.   "Tiau-heng, hujan sehebat ini, apa kita masih harus berlatih?"   Rajawah itu menggigit ujung bajunya dan diseretnya berjalan ke arah timur laut, sesudah itu terus mendahului melangkah ke sana dengan cepat.   Nyo Ko menjadi heran apakah di arah sana ada sesuatu benda aneh lagi? Dengan membawa pedang berat itu ia lantas mengikutinya di bawah hujan deras.   Beberapa li sudah mereka tempuh, terdengar suara gemuruh yang keras, jelas itu suara gemuruhnya air bah.   Setelah membelok ke suatu selat gunung, suara gemuruh air semakin memekak telinga, Terhhat diantara dua puncak gunung mengalir air terjun laksana naga putih raksasa, air terjun itu menggerujuk masuk ke sebuah sungai kecil di bawahnya, di antara air itu terselip pula tangkai kayu dan batu yang ikut terjun ke sungai dan lenyap terbawa arus dalam waktu sekejap saja.   Sementara itu hujan semakin lebat pakaian Nyo Ko sudah basah kuyup, melihat air bah yang semakin gemuruh itu, diam2 anak muda itu rada jeri.   Rajawali itu menarik baju Nyo Ko lagi dan mengajaknya ke tepi sungai kecil itu, melihat gelagatnya, burung itu seperti menyuruhnya turun ke sungai.   "Untuk apa turun ke situ?"   Ujar Nyo Ko dengan heran.   "Air bah begini dahsyat, bisa terhanyut."   Tiba2 rajawali itu berbunyi satu kali dengan menegakkan lehernya, lalu dia terjun ke tengah sungai, kedua kakinya tepat berdiri di atas sepotong batu karang yang berada di tengah sungai, ketika sayap kirinya menyampuk ke depan, kontan sebuah batu besar yang terhanyut air bah dari hulu itu ter-tolak ke atas.   Waktu batu itu menerjang tiba lagi terbawa arus, kembali rajawali menyabet dengan sayapnya dan batu itu tertolak balik pula.   Begitulah terjadi beberapa kali, batu itu tetap tidak dapat lewat di samping si rajawali.   Ketika untuk sekali lagi batu itu terhanyut tiba, mendadak rajawali itu menghantam sekuatnya dengan sayap, batu itu terus mencelat dan jatuh di tepi sungai.   Habis itu si rajawali lantas melompat kembali ke samping Nyo Ko.   Sekarang Nyo Ko dapat menangkap maksud si rajawali, ia tahu mendiang Tokko Kiu pay pasti sering berlatih pedang di tengah air bah ini setiap hari hujan.   Akan tetapi ia sendiri tidak mempunyai kemampuan sehebat ini, maka tidak berani mencobanya.   Selagi sangsi, mendadak si rajawali mengebas pantat Nyo Ko dengan sayapnya, karena keduanya berdiri sangat dekat, pula tidak terduga, tanpa ampun tubuh Nyo Ko terus mencelat ke tengah sungai, Karena sudah telanjur, terpaksa Nyo Ko mengincar baik2 dan tancapkan kakinya di atas batu karang tempat berdiri si rajawali tadi, Begitu kedua kakinya tergenang air, segera ia diterjang air bah hingga sempoyongan dan serasa mau terhanyut.   Tiba2 terpikir oleh Nyo Ko.   "Tokko-locianpwe itu adalah manusia, akupun manusia, kalau dia sanggup berdiri di sini, mengapa aku tidak?"   Karena dorongan semangat ini, sekuatnya ia melawan terjangan air bah, tapi untuk menggunakan pedang buat menyingkirkan batu yang terbawa arus benar2 ia tidak mampu.   Cukup lama Nyo Ko bertahan di tengah damparan air bah yang kuat hingga tenaganya terasa mulai lemas, segera ia gunakan pedangnya untuk menahan di batu karang itu terus melompat ke tepi sungai.   Belum sempat ia mengaso, tahu2 sayap si rajawali telah menyabet pantatnya lagi.   Sekali ini Nyo Ko sudah waspada, maka sabetan itu tidak kena, namun terpaksa ia harus melompat sendiri ke dalam sungai.   Diam2 ia mengakui rajawali itu benar2 merupakan "guru yang keras dan sahabat yang baik", ia pikir kalau dia mau mendesak aku giat berlatih tanpa kendur sedikitpun, masakah aku malah tidak mempunyai hasrat ingin maju dan mengabaikan maksud baiknya? Segera ia perkuat tenaga kakinya dan berdiri tegak, makin lama semakin disadarinya cara menggunakan tenaganya, meski air bah juga semakin deras hingga batas pinggangnya mulai tergenang, tapi dia malah tambah kuat dan tidak goyah lagi.   Selang tak lama, air bah semakin membanjir dan mulai menggenang sampai di dadanya, lalu naik lagi dekat muIutnya, Bisa2 mati tenggelam kalau berdirinya tidak kukuh, Karena pikiran itu, segera Nyo Ko melompat ke tepi sungai.   Tak terduga si rajawali yang berjaga di tepi sungai sudah bersiap juga, begitu melihat Nyo Ko melompat naik, sebelum kakinya menyentuh tanah, cepat sayapnya menyabet, terpaksa Nyo Ko menahannya dengan pedang dan dengan sendirinya pula ia terdorong lagi ke dalam sungai.   "plung", ia kecebur pula ke dalam amukan air bah. Baru saja kakinya menginjak batu karang di dalam sungai tadi, terasa air sudah menggenangi kepalanya dan airpun masuk mulutnya, Kalau dia menyemburkan air dan mengerahkan tenaga, tentu tenaga kakinya akan berkurang dan bisa terhanyut oleh arus yang deras itu. Cepat ia berdiri sekuatnya dengan menahan napas, selang sejenak, ia menutulkan kedua kakinya dan meloncat ke atas, ia semburkan air yang sudah ditahannya sekian lama itu, kemudian dia turun lagi ke bawah, sekali ini ia dapat berdiri dengan kukuh di dalam air dan membiarkan dirinya diamuk oleh air bah yang dahsyat itu. Sesudah pikirannya tenang, ia pikir kalau pedang tidak kugunakan mencungkil batu, tentu akan dipandang hina oleh si rajawali, Dasar watak Nyo Ko memang suka unggul, biarpun terhadap seekor burung juga dia tidak mau kehilangan muka, segera ia bersiap, begitu melihat di antara air bah itu ada batang kayu atau batu gunung, segera ia menjungkitnya atau menyampuknya dengan pedang ke bagian hulu. Di dalam air dengan sendirinya batupun berubah enteng, pedang pantul itupun jauh lebih enteng karena tersanggah oleh tekanan air sehingga Nyo Ko dapat memainkannya dengan leluasa. Begitulah ia terus menyampuk dan menghantam, ia terus berlatih hingga otot lemas, dan tenaga habis, kakipun terasa lunglai, dengan begitulah baru ia melompat ke atas tepi sungai. Ia kuatir si rajawali akan mendorongnya ke dalam air lagi, padahal dia sudah lemas betuI2, kalau tidak mengaso dulu tentu tidak sanggup menahan damparen air bah yang dahsyat itu. Benar saja, rajawali itu tidak membolehkan dia naik, begitu melihat dia melompat keluar dari air, seketika sayapnya menyabetnya.   "Tiau heng, caramu ini bisa bikin mati aku!"   Seru Nyo Ko dan terpaksa menceburkan diri ke dalam sungai lagi, ia berdiri lagi sejenak dan sungguh2 terasa tidak tahan, tiada jalan lain kecuali melompat lagi ke atas.   Di lihatnya si rajawali menyabetkan sayapnya lagi, karena kepepet, terpaksa Nyo Ko balas menusuk dengan pedangnya, setelah tiga gebrakan rajawali itu ternyata dapat didesaknya mundur setindak.   "Maaf, Tiau-heng!"   Seru Nyo Ko sambil menusukkan pedangnya pula.   Terdengar suara mendesing ujung pedangnya, ternyata daya serangannya sudah jauh berbeda daripada biasanya, Malahan rajawali itupun tidak berani menangkis lagi, begitu mendekat tusukan Nyo Ko itu, cepat burung itu melompat mundur.   Tahulah Nyo Ko bahwa selama setengah harian berlatih di tengah damparan air bah itu, kini tenaga tangan kirinya sudah tambah kuat, keruan ia kejut2 girang, ia merasa untuk menumbuhkan tenaganya itu seharusnya diperlukan waktu sepuluh atau dua puluh hari, ternyata cuma digembleng setengah hari di dalam air sudah maju sepesat ini, ia pikir buah merah yang dibawakan si rajawali setiap hari itu pasti berkhasiat memupuk tenaga dan mengikatkan otot sehingga tanpa terasa tenaga dalamnya telah tambah sehebat ini.   Begitulah setelah duduk istirahat sejenak di tepi sungai dan terasa tenaga segera pulih, kini tanpa dipaksa si rajawali lagi segera ia melompat ke dalam sungai untuk berlatih pula.   Ketika kemudian dia melompat kembali ke atas sungai rajawali itu sudah tidak nampak di situ dan entah ke mana perginya, sementara hujan sudah mulai mereda, ia pikir air bah tak lama lagi pasti juga akan menyurut, kalau datang lagi besok belum tentu tenaga air akan sekuat ini, mumpung sekarang tidak terasa telah, ada baiknya kulatih lebih lama lagi Karena pikiran ini, segera ia melompat pula ke dalam sungai untuk berlatih Iagi.   Waktu untuk keempat kalinya dia melompat kembali ke tepi sungai, dilihatnya di situ tertaruh beberapa buah merah, sungguh ia sangat berterima kasih atas kebaikan rajawali itu.   sekaligus ia lantas habiskan buah2 itu, lalu berlatih pedang pula ke tengah sungai.   Ia terus berlatih hingga jauh malam, aneh juga bukannya tambah capek, sebaliknya semakin bersemangat dan semakin kuat, namun air bah sudah mulai surut.   Semalaman ia tidak tidur, ia terus merenungkan hasil latihannya di dalam sungai itu, sekarang baru di pahaminya betapa cara memainkan pedangnya dengan berbagai gaya dan gerakan di dalam air, dengan cara begini ia memainkan pedangnya maka benda apapun juga pasti akan dihancurkannya, dan jika sudah begitu, lalu apa gunanya pedang yang tajam.   BegituIah dari amukan air bah itu Nyo Ko telah berhasil menyelami teori ilmu pedangnya, ia tahu cara bagaimana memainkan pedang puntul yang berat itu kini sudah dikuasainya benar2 dan tidak perlu dilatih lagi, ia pikir biarpun Tokko Kiu-pay itu hidup kembali, yang dapat diajarkan padanya paling2 juga cuma begini saja.   Tiba2 terpikir olehnya apa gunanya dengan ilmu pedang yang telah dipahaminya kalau saja dia tetap tinggal di pegunungan sunyi ini? Kalau racun bunga cinta mendadak kumat dan membinasakannya, bukankah ilmu pedang maha sakti ini akan lenyap pula dari dunia ini? Teringat begini seketika terbangkit jiwa kesatriaannya.   "Tidak, aku harus juga meniru Tokko-locianpwe, harus kugunakan ilmu pedang ini untuk mengalahkan semua jago silat di dunia ini, dengan begitu barulah aku rela meninggalkan dunia fana ini,"   Demikian ia menggumam sendiri. Tanpa terasa ia meraba lengan kanan sendiri yang buntung itu. teringat dendamnya kepada Kwe Hu, tanpa terasa darahnya bergolak, pikirnya.   "Budak ini mengira ayah-ibunya berpengaruh dan di segani, sejak dulu juga sudah memandang hina padaku, Waktu aku mondok di rumahnya dahulu sudah kenyang aku di hina dan dianiaya, Bahwa aku berdusta pada kedua saudara Bu sesungguhnya demi kebaikannya, kalau saja salah seorang kedua Bu itu mati karena memperebutkan dia, bukankah dia sendiri yang berdosa? Hm, dia mengutungi lenganku ini selagi aku sakit dan takbisa mengelakkannya, kalau tidak kubalas sakit hati ini aku bukan lagi laki2 sejati."   Selamanya Nyo Ko paling tegas membedakan budi dan sakit hati, waktu lengannya dibuntungi tempo hari dia terus sembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya, hal ini karena terpaksa.   Sekarang luka lengan sudah sembuh, ilmu silatnya berbalik maju pesat, maka segenap pikirannya sekarang terpusat pada soal menuntut balas.   Begitulah setelah ambil keputusan, segera ia pulang ke gua itu dan mohon diri kepada si rajawali dan menyatakan terima kasihnya atas kebaikan burung itu, bila ada kesempatan ia menyatakan kelak akan datang lagi, mengenai pedang puntul yang berat milik Tokko Kiu-pay itu akan dipinjamnya untuk sementara.   Habis itu ia memberi hormat kepada rajawali itu serta menyembah di depan makam batu Tokko Kiu-pay, lalu melangkah pergi.   Rajawali itu mengantarkan hingga mulut lembah barulah berpisah dengan perasaan berat.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Pedang puntul itu sangat berat, kalau digantungkan pada pinggang tentu tali pinggang akan putus seketika, Nyo Ko mencari tiga utas rotan tua dan dipuntir menjadi tali, ia ikat pedang itu dan digendongnya di punggung, lalu pergilah dia ke Siangyang dengan Ginkangnya yang tinggi.   Setiba di luar kota Siangyang, hari dekat magrib, karena semalaman tidak tidur, ia merasa perlu istirahat dulu untuk menghadapi pertempuran dahsyat nanti terutama kalau kepergok tokoh2 semacam Kwe Cing dan Ui Yong.   Segera ia mencari suatu tempat sepi di tanah pekuburan, di semak2 rumput yang lebat ia merebahkan diri untuk tidur.   Waktu ia bangun, ia merasa tenaga cukup segar ia mencari pula buah2an pula sekedar isi perut, menjelang tengah malam barulah dia mendekati benteng kota.   Benteng kota Siangyang itu sangat megah dan tinggi, tempo hari waktu Kim-Iun Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun juga perlu menggunakan tubuh manusia sebagai batu loncatan, sekarang hendak memanjat ke atas dari luar benteng tentu juga perbuatan yang tidak mudah.   Waktu masih mengaso di tanah pekuburan tadi Nyo Ko sudah memikirkan cara melintasi benteng kota, ia pikir cara bagaimana Tokko-locianpwe memanjat dinding tebing, dengan cara itu pula aku akan memanjati benteng kota.   Begitulah ia coba mendekati bagian yang sunyi di samping pintu gerbang timur, dilihatnya perajurit penjaga sedang berjalan jauh ke sana, segera ia melompat ke atas, dengan pedang berat itu ia menusuk dinding benteng.   Meski ujung pedang itu puntul, tapi tusukannya sangat kuat, terdengailah suara "brak"   Yang keras, dinding benteng yang tersusun dari batu2 besar itu pecah seketika dan berlubang.   Nyo Ko tidak menduga tusukannya itu membawa tenaga sekuat itu, diam2 ia terkejut sendiri dan bergirang pula, Waktu ia melompat lagi,ke atas untuk kedua kalinya, sebelah kakinya lantas berpijak pada lubang dinding benteng itu lalu ia membuat lubang lagi di bagian atas, sekali ini dia menusuk dengan pelahan saja agar tidak mengeluarkan suara keras dan mengejutkan penjaga.   Dengan begitulah setindak demi setindak ia memanjat ke atas benteng, Kira2 beberapa meter terakhir, tanpa membuat lubang lagi ia terus merambat ke atas dengan "Pia-hou-yu-jiang-kang"   Atau ilmu cecak merayap dinding, maka dengan enteng saja ia sudah berada di atas benteng dan sembunyi di tempat yang gelap.   Di bagian dalam benteng itu ada undak2an batu, ia menunggu penjaga berjalan lagi ke sana, cepat ia menyelinap ke bawah dan berlari ke tempat tinggal Kwe Cing.   Sejak makan buah2an merah itu, tenaga dalam Nyo Ko telah banyak bertambah, sekaligus gerak-geriknya juga lebih lincah dan gesit, ginkangnya jauh lebih maju daripada dulu.   Tapi diapun tahu ilmu silat Kwe Cing bukan sembarangan melulu Hang-liong-sip-pat-ciang (pukulan sakti penakluk naga) saja mungkin tiada tandingannya di seluruh jagat, belum lagi ketambahan Pak-kau-pang-hoat Ui Yong yang hebat itu.   Sebab itulah dia tidak berani sembrono setiba di luar rumah kediaman keluarga Kwe, pelahan2 dan hati2 ia melintasi pagar tembok.   Dia cukup lama tinggal di situ, maka seluk-beluk rumah itu sangat apal baginya, begitu mengitari taman bunga, segera tertampaklah kamar yang pernah ditinggalinya tempo hari.   Sesudah dekat ia coba pasang kuping, terasa tiada seorangpun di dalam, pelahan ia menolak pintu dan segera terbuka, segera ia melangkah ke dalam kamar.   Dia dapat memandang di malam gelap seperti di siang hari, maka dilihatnya segala sesuatu di dalam kamar itu masih tetap seperti dulu tanpa perubahan, hanya selimut bantal di atas ranjang sudah di singkirkan ia duduk di tepi ranjang, teringat lengan sendiri yang baik2 itu justeru tertabas di tempat tidur itu, tanpa tertahan ia menjadi berduka dan gemas pula.   Nyo Ko dilahirkan dengan tampang cakap, wataknya juga rada dugal dan sok romantis, meski cintanya kepada Siao-liong-Ii sangat mendalam dan tak tergoyahkan, namun banyak perempuan cantik lain juga sama jatuh cinta padanya, seperti Thia Eng, Liok Bu-siang, Wanyen Peng, Kongsun Lik-oh dan lain2 semuanya kesemsem padanya baik secara samar2 maupun berterus terang, sekarang dia meraba tangan sendiri yang sudah buntung itu, ia pikir kalau ketemu lagi dengan gadis2 jelita itu, dalam pandangan mereka sekarang dirinya pasti akan berubah menjadi manusia yang harus dikasihani dan lucu, biarpun tinggi ilmu silatnya, paling2 juga cuma makhluk hidup yang aneh saja.   Begitulah dalam kegelapan ia duduk termenung pikirannya timbul tenggelam mengenangkan kejadian-kejadian di masa lampau.   Pada saat itulah tiba2 dari sebelah sana samar2 ada suara orang bertengkar jelas itulah suaranya Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko menjadi heran dan ingin tahu apa yang sedang diributkan suami isteri itu.   Dengan pelahan ia merunduk ke kamar Kwe Cing, dari luar jendela dapat didengarnya dengan jelas Ui Yong sedang berkata.   "Sudah jelas mereka membawa anak Yang kita ke Coat-ceng-kok untuk menukar obat penawar racunnya, tapi kau masih terus bilang Nyo Ko itu adalah anak baik. Belum ada satu jam orok itu lahir lantas jatuh di tangan mereka, saat ini masakah jiwanya masih hidup?"   Sampai disini, suaranya terdengar tersendat2 dan menangis.   "Ko-ji pasti bukan manusia begitu,"   Terdengar Kwe Cing menjawab "Pula dia telah menyelamatkan kita beberapa kali, andaikan kita gunakan anak Yang untuk menukar jiwanya juga rela dan ikhlas bagiku."   "Kau rela, aku yang tidak rela "   Belum habis ucapan Ui Yong, tiba2 terdengar suara tangisan anak bayi, suaranya keras dan nyaring.   Nyo Ko menjadi heran apakah bayi perempuan itu telah direbutnya kembali dari tangan Li Bok-caju, tapi mengapa barusan Ui Yong menyangsikan jiwa bayi itu apakah masih hidup? Ia coba mengintip ke dalam kamar melalui celah2 jendela, terlihat Ui Yong memondong seorang bayi, karena muka anak bayi itu menghadap jendela, maka Nyo Ko dapat melihat jelas bayi itu bermuka lebar dan bertelinga besar, kulit rada ke-hitam2an, jelas bukan bayi perempuan yang pernah digendongnya itu.   Dalam pada itu terdengar Ui Yong sedang menina bobokkan bayi itu, lalu berkata "Sepasang anak sebaik ini, sekarang cuma tinggal adiknya saja, hendaklah kau lekas berusaha menemukan kakaknya kembali."   Baru sekarang Nyo Ko menyadari duduknya perkara, kiranya Ui Yong melahirkan anak kembar, bayi yang lahir lebih dulu adalah perempuan yang sebelumnya sudah disediakan nama oleh Kwe Cing, yaitu Kwe Yang, kemudian menyusul lahir pula bayi lelaki yang diberi nama Kwe Be-loh.   Ketika bayi lelaki ini lahir, sementara itu bayi perempuan sudah dibawa pergi oleh Siao-liong-ii.   Begitulah Kwe Cing sedang mondar mandir di dalam kamar dan berkata kepada sang isteri.   "Yong-ji, biasanya kau sangat bijaksana mengapa sekarang kau menjadi berpikiran sesempit ini mengenai urusan kanak-2 suasana sekarang sangat genting, mana boleh kutinggalkan kota ini hanya karena seorang bayi?"   "Tapi kuhendak pergi mencari sendiri, kaupun tidak mengidzinkan!"   Ujar Ui Yong.   "Apakah kita harus membiarkan jiwa anak kita itu melayang begitu saja?"   "Kesehatanmu belum pulih, mana boleh pergi?"   Kata Kwe Cing.   "Habis bagaimana? Sang ayah tidak pedulikan anaknya, ibunya yang harus menderita, apa boleh buat?"   Seru Ui Yong dengan gusar.   Biasanya Nyo Ko melihat suami-isteri itu hidup rukun dan saling mencintai, sekarang keduanya bertengkar dan tidak mau saling mengalah, jelas keduanya sudah bertengkar beberapa kali mengenai urusan ini.   Kalau Ui Yong bicara sambil menangis, maka Kwe Cing terus mondar mandir di dalam kamar dengan muka bersungut.   Selang tak lama Kwe Cing membuka suara pula.   "sekalipun anak itu dapat ditemukan kembali, kalau kau tetap memanjakan dia seperti anak Hu sehingga bertingkah semaunya, anak perempuan begitu lebih baik tidak ada."   "Memangnya anak Hu kurang baik apa?"   Seru Ui Yong.   "Dia sayang pada adiknya sehingga wajar kalau dia menyerang secara gemas, jika aku, mungkin lengan kiri Nyo Ko juga sudah kutabas bila dia tidak mengembalikan anakku."   "Kau bilang apa Yong-ji?"   Bentak Kwe Cing dengan gusar sambil menggebrak meja, seketika ujung meja sempal sebagian, Bayi yang tadinya sedang menangis itu lantas berhenti oleh karena bentakan dan suara gebrakan itu.   Saat itu juga Nyo Ko melihat di jendela sebelah sana ada berkelebatnya bayangan orang, sambil munduk2 orang itu terus menyingkir pergi.   Nyo Ko menjadi ingin tahu siapakah orang Kwe Hu.   Dengan Ginkangnya yang tinggi ia coha menguntit dilihatnya perawakan orang itu tinggi ramping, jelas Kwe Hu adanya, seketika hati Nyo Ko terbakar, ia pikir kebetulan sekali, memang kau yang ingin kucari.    Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Rahasia Si Badju Perak Karya GKH

Cari Blog Ini