Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 59


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 59


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   "Kokoh, persetan tentang guru dan murid atau soal kebersihan nama segala, asalkan kita berdua saling mencintai, masakah di dunia ini ada soal nasib buruk segala? Bagaimana orang lain akan berpikir dan bicara mengenai diri kita, peduli amat, biarkan mereka pusing kepala sendiri."   Senang sekali hati Siao-liong-li, ia pandang anak muda itu dan bertanya.   "Ucapanmu ini apakah timbul dari lubuk hatimu sungguh2 atau demi untuk menyenangkan aku sengaja kau ucapkan kata2 enak didengar ini?"   "Sudah tentu sungguh2,"   Jawab Nyo Ko.   "Tanganku buntung dan kau tambah kasih sayang padaku. Kau mengalami bencana, akupun semakin kasih sayang padamu."   "Benar, di dunia ini kecuali kita berdua sendiri memang tiada orang lain yang mau perhatikan kita,"   Ujar Siao-Iiong-li dengan pelahan.   Beberapa ratus Tosu yang sudah lama tirakat dan jauh dari urusan kehidupan manusia itu menjadi serba runyam ketika mendadak mendengar u-capan kedua muda mudi yang penuh kasih mesra itu, semuanya saling pandang dengan wajah merah jengah.   Segera Sun Put-ji membentak.   "Lekas kalian pergi saja dari sini, Tiong-yang-kiong adalah tempat suci, tidak pantas kalian mengucapkan kata2 tidak sopan di sini."   Akan tetapi Nyo Ko malah berseru pula.   "Dahulu Tiong-yang Cosu dan Lim-cosu sebenarnya adalah suatu pasangan yang setimpal, tapi entah sebab tata adat apa yang menyebabkan gagalnya perjodohan mereka dan meninggalkan penyesalan selama hidup, Kokoh justeru kita menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang Cosu untuk melampiaskan rasa dongkol Lim-cosu kita."   Siao-liong-li tertawa manis, ia menghela napas dan menjawab.   "Koji, kau sungguh baik padaku,"   Tentang hubungan cinta antara mendiang Ong Tiong-yang dan Lim Tiau-eng, hal ini cukup diketahui oleh Coan-cin-ngo-cu. Maka hati mereka tergetar demi mendengar Nyo Ko mengungkat urusan itu. Sun Put-ji lantas membentak pula.   "Mendiang guru kami mendirikan Coan-cia-kau ini dengan kepintaran dan keyakinan yang penuh, jika kau berani sembarangan omong dan bertindak di sini, jangan menyesal jika pedangku tidak kenal ampun padamu,"   Sret, segera ia melolos pedangnya.   padahal melulu kepandaian Sun Put-ji sendiri sejak dulu juga bukan tandingnan Nyo Ko, tapi sekali bergerak, tentu be-ratus2 Tosu itu takkan tinggal diam.   Maka Nyo Ko hanya melirik sekejap saja padanya dan tidak menggubris, ia membatin .   "Betapapun aku harus segera menikah dengan Kokoh, Kalau tidak dilaksanakan di sini, jangan2 setelah meninggalkan Tiong-yang-kiong ini Kokoh lantas tak tertolong lagi, tentu Kokoh akan meninggal dengan menyesali Biasanya Nyo Ko memang suka bertindak menuruti kehendaknya, sekali dia menyatakan ingin menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang Cosu, maka apapun yang akan terjadi pasti akan dilaksanakannya. Dilihatnya sebagian besar kawanan Tosu itu sudah menghunus pedangnya dan siap tempur ia lantas berkata .   "Sun- totiang, jadi kau sengaja mengusir kami?"   Dengan suara ketus Sun Put-ji membentak pula.   "Pergi, lekas pergi! selanjutnya Coan-cin-kau putus hubungan dengan Ko-bong-pay, paling baik kalau kita tidak bertemu lagi!"   Tadinya Nyo Ko berdiri menghadapi Tiong-yang-kiong, ia menghela napas panjang mendengar ucapan Sun Put-ji yang tegas itu, ia membalik tubuh dan melangkah ke kuburan kuno, dua langkah ia berjalan, berbareng ia mengembalikan pedang pada pinggangnya, lengan baju kanan mengebas dan memayang Siao-liong-Ii.   Tiba2 ia menengadah dan tertawa ter-bahak2.   Begitu keras suara tertawanya hingga mengejutkan semua orang.   Baru selesai tertawa, mendadak ia melepaskan Siao-Iiong-Ii-dan melompat mundur, tahu2 Hjat-to bagian pergelangan tangan kanan Sun Put-ji kena dipegangnya, Ketika Siao Iiong-ir kehilangan sang-gahan dan mulai sempoyongan pada saat itu juga Nyo Ko sudah melompat tiba pula dengan membawa Sun Put-ji.   Gerakan melompat mundur dan maju sungguh cepat dan gesit luar biasa, belum lagi para Tosu menyadari apa yang terjadi, tahu2 Sun Put-ji sudah berada dalam cengkeraman Nyo Ko dan tak bisa berkutik.   Sebenarnya tokoh berpengalaman sebagai Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Sun Put-ji dan lain2 juga sudah waswas sebelumnya kalau mendadak Nyo Ko melancarkan serangan dan menawan salah seorang kawannya untuk dijadikan sandera.   Mereka menyaksikan Nyo Ko menyimpan kembali senjatanya dan melangkah pergi, tangan satunya digunakan pula untuk memayang Siao-liong-li, siapa tahu anak muda itu sengaja mengacaukan perhatian lawan dengan tawanya, lalu mendadak melakukan sergapan dan berhasil menawan Sun Put-ji.   Serentak para Tosu itu ber-teriak2 dan merubung maju dengan pedang terhunus, tapi mereka menjadi mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak karena Sun Put-ji berada dalam genggaman musuh.   Dengan suara pelahan Nyo Ko berkata.   "Maaf, Sun-totiang, terpaksa kulakukan begini dan membikin susah kau."   Ia terus gandeng tangan Sun Put-ji itu, bersama Siao-liong-Ii mereka lantas melangkah pelahan ke pendopo Tiong-yang-kiong, Para Tosu mengikut dari belakang, semuanya merasa gusar dan kuatir pula, tapi tidak berani bertindak.   Setelah memasuki pintu halaman dan menyusun serambi samping, akhirnya Nyo Ko dan Siao-liong-li sampai di ruangan induk Tiong-yang-kiong dengan Sun Put-ji sebagai sanderanya, Nyo Ko menoleh dan berseru kepada para Tosu.   "Hendaknya kalian menunggu di luar ruangan, siapapun dilarang masuk, Kami berdua sudah tidak memikirkan jiwa lagi, kalau sampai bergebrak, biarlah kami gugur bersama Sun-totiang sekaligus."   "Bagaimana, Khu suheng?"   Tanya Ong Ju-it pelahan.   "Tenang saja dan bertindaklah menurut keadaan"   Jawab Khu Ju-ki.   "Tampaknya dia tidak bermaksud jahat pada Sun-sumoay."   Coan-cin-ngo-cu selamanya malang melintang di dunia Kangouw, namanya dihormati kawan dan disegani lawan, tak tersangka sekarang mereka malah mati kutu menghadapi seorang anak muda yang masih hijau begitu, sungguh mereka mendongkol tapi juga geli sendiri.   Nyo Ko lantas mengambil sebuah kasuran bundar untuk tempat duduk Sun Put-ji sambil menutuk pula Hiat-to bagian punggungnya,agar tidak dapat bergerak, Para Tosu ternyata tidak berani masuk sebagaimana telah diperingatkannya tadi, lalu ia memayang Siao-liong-li ke depan lukisan Ong Tiong yang, mereka berdiri berjajar.   Karena waktu kecilnya pernah belajar di Tiong-yang-kiong, bagi Nyo Ko lukisan Ong Tiong-yang itu sudah tidak asing lagi, sekarang ia coba memandang beberapa kali lukisan itu, terlihat Tojin yang terlukis itu menghunus pedang dengan gagahnya, usianya antara 30 tahun, di tepi lukisan ada tiga huruf.   "Hoat-su-jin" (orang hidup mati, artinya orang yang hidup ini tiada ubahnya seperti orang sudah mati), Lukisan itu cuma terdiri dari beberapa goresan saja, tapi orang yang terlukis itu tampak gagah perkasa, jelas goresan itu berasal dari tangan pelukis yang mahir. Tiba2 Nyo Ko teringat bahwa di dalam kuburan kuno itu juga ada sebuah lukisan diri Ong Tiong-yang, meski lukisan di Tiong-yang-kiong, ini tokoh yang dilukiskan ini berdiri menghadap ke depan dan lukisan di kuburan itu bagian samping, namun gaya goresan pelukisnya jelas sama, Segera ia berkata.   "Kokoh, lukisan inipun buah tangan Lim cosu."   Siao-liong-li mengangguk dan tersenyum manis padanya, katanya dengan suara lirih.   "Kita menikah di hadapan lukisan Tiong-yang Cosu, sedangkan lukisan ini adalah buah tangan Lim-cosu, sungguh sangat kebetulan dan baik sekali."   Nyo Ko lantas menggeser dua buah kasuran bundar dan dijajarkan di depan lukisan, lalu berseru.   "Tecu Nyo Ko dan perempuan she Liong sekarang mengikat menjadi suami- isteri di depan Tiongyang-Cosu, beberapa ratus Totiang dari Coan-cin-kau yaing hadir di sini adalah saksi semua." - Sembari berkata ia terus berlutut di atas sebuah kasuran, ketika melihat Siao-liong-li masih berdiri tegak, segera ia berkata puIa.   "Kokoh, sekarang juga kita melangsungkan upacara nikah, hendaklah kaupun berlutut di sini!" . Siao-liong-li termenung diam, kedua matanya tampak merah dengan air mata berIinang2. sejenak barulah ia berkata.   "Ko-ji, tubuhku sudah tidak bersih lagi, pula ajalku sudah dekat, buat apa.... buat apa kau begini baik padaku?"   Sampai di sini tak tertahankan lagi air matanya bercucuran laksana butiran mutiara. Nyo Ko lantas berdiri lagi dan mengusapkan air mata si nona, katanya dengan tertawa.   "Kokoh, masakah kau masih belum memahami hatiku?"   Siao-liong-li mengangkat kepalanya memandangi Nyo Ko, terdengar anak muda itu berkata pula.   "Sungguh kuharap kita berdua dapat hidup seratus tahun lagi agar kusempat membalas budi kebaikanmu dahulu padaku, andaikan tidak dapat, kalau Thian (Tuhan) cuma berkenan memberi hidup satu hari saja kepada kita, maka bolehlah kita menjadi suami-isteri satu hari, jika cuma diberi hidup lagi satu jam, biarlah kitapun menjadi suami-isteri satu jam."   Tidak kepalang rasa haru Siao-Siong-li melihat kesungguhan hati anak muda itu dengan sorot matanya yang penuh kasih mesra, wajahnya yang pedih pelahan2 menampilkan senyuman manis, air mata masih meleleh di pipinya, namun jelas tak terkatakan rasa bahagianya, pelahan iapun berlutut di atas kasuran itu.   Nyo Ko lantas berlutut pula, keduanya lantas menyembah kepada lukisan itu, hati mereka merasa bahagia, segala duka derita di masa lalu serta ajal yang sudah dekat sama sekali tidak berarti apa2 bagi mereka.   BegituIah mereka saling pandang dengan tersenyum, dengan suara pelahan Nyo Ko ber-doa.   "Tecu Nyo Ko dan Siao-liong-li saling mencintai dengan setulus hati, semoga selalu dilahirkan menjadi suami isteri, kekal dan abadi."   Dengan suara pelahan Siao-liong-li juga mengikuti doa Nyo Ko itu dengan khidmat.   Sun Put-ji duduk di sebelah mereka, meski tubuh tak bisa bergerak, tapi dia dapat melihat dan mendengar, sikap dan ucapan,kedua anak muda itu dapat diikutinya dengan jelas.   Semakin melihat semakin dirasakannya tindak tanduk kedua orang muda itu sungguh suci murni, biarpun perbuatan mereka itu melanggar adat, namun semua itu timbul dari pikiran yang bersih, dari jiwa yang luhur.   "Kini kami sudah terikat menjadi suami-isteri, sekalipun harus mati dengan segera juga tidak menyesal lagi,"   Demikian pikir Nyo Ko. Semula ia kuatir kawanan Tosu itu akan menyerbu ke dalam ruangan untuk merintangi perbuatan mereka itu, kini rasa kuatir itu telah lenyap semuanya. Dengan tertawa ia berkata.   "Kokoh, diriku adalah murid yang murtad Coan-cin-pay, hal ini sudah terkenal di dunia persilatan Engkau sendiri ternyata juga seorang murid maha murtad."   "Benar,"   Jawab Siao-liong-li.   "Suhu,melarang aku memikirkan cinta, melarang aku menerima murid lelaki, lebih2 dilarang menikah, tapi sebuahpun aku tidak mematuhinya, jadi penderitaan kita ini memang juga setimpal."   "Biarlah, sekali murtad tetaplah murtad,"   Seru Nyo Ko.   "Ong-cosu dan Lim-cosu jauh lebih perkasa, lebih ksatria daripada kita, namun mereka justeru tidak berani menikah. Kalau kedua Cosu itu mengetahui di alam baka belum tentu beliau2 itu akan menyalahkan kita."   Selagi Nyo Ko menyatakan tekadnya itu dengan penuh bersemangat dan bangga, pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara gemuruh di atap rumah disertai dengan berhamburnya genting pecah dan kasxti pecah, menyusul sebuah genta seberat beberapa ratus kati anjlok dari atas tepat di atas kepala Sun Put-ji.   Tergerak hati Nyo Ko dan seketika iapun paham duduknya perkara, secepatnya ia melompat maju, tangan kiripun sudah melolos Hian-tiat-pokiam, pedang tumpul yang berat itu.   Kiranya perbuatan Nyo Ko dan Siao-liong-li yang melangsungkan upacara nikah di ruangan besar Tiong-yang-kiong itu telah menimbulkan rasa gusar para Tosu Coan-cinkau.   Diantara Coan-cin ngo-cu itu Lau Ju-hian paling banyak tipu akalnya, ia tahu kalau menyerbu ke dalam mungkin Sun Put-ji akan menjadi korban lebih dulu.   Tiba2 ia mendapatkan akal, ia bisik2 berunding dengan Ong Ju-it, Khu Ju ki dan Hek Tay-thong bertiga, habis itu ia memberi pesan kepada anak muridnya agar mengambil genta raksasa yang beratnya ribuan kati di belakang istana, Khu Ju-ki berempat lantas menggotong genta raksasa itu dan meloncat ke atas wuwungan, lalu mendadak genta itu dijatuhkannya ke bawah sehingga atap rumah berlubang, genta itu dijatuhkan tepat di atas tubuh Sun Put ji.   Asalkan Sun Put-ji tertutup di dalam genta dan Nyo Ko tidak dapat mencelakai dia, maka be-ramai2 kawanan Tosu itu akan dapat mengerubut dan menawan Nyo Ko berdua.   Akal itu sebenarnya sangat bagus, tapi Lau Ju-hian tidak tahu bahwa kini ilmu pedang Nyo Ko benar2 sudah maha sakti, tenaga dalamnya juga maju banyak, sekali pedang tumpul itu ditusukkan ke depan.   "trang", tahu2 genta raksasa itu tergeser menceng sedikit ke samping dan jatuhnya tepat akan menindih tubuh Sun Put-ji. Kejadian ini dapat disaksikan dengan jelas Lau Ju-hian berempat dari atas, mereka sama menjerit kaget dan berduka, sama sekali mereka tidak mengira tenaga anak muda itu sedemikian hebatnya, Lau Ju-hian sampai memejamkan matanya untuk menyaksikan nasib buruk Sun Put-ji yang akan tertimpa genta itu. Tak terduga segera terdengar Khu Ju-ki berseru.   "Terima kasih atas kemurahan hatimu!"   Waktu Lau Ju-hiaa membuka kembali matanya, ia menjadi heran, ternyata genta itu telah mengurung rapat Sun Put-ji di dalamnya, di samping genta tiada sesuatu tanda bekas tertindihnya Sun Put-ji bahkan ujung jubahnya juga tidak kelihatan.   Rupanya waktu Nyo Ko melihat genta yang ditolak oleh pedangnya itu bakal menimpa Sun Put-ji dan pasti akan membuatnya binasa, tiba2 teringat olehnya bahwa baru saja kami menikah, tidaklah baik kalau mencelakai jiwa orang, apalagi To-koh tua itu juga tidak jahat, hanya wataknya saja yang rada aneh.   Karena pikiran itulah, secepat kilat ia mengebaskan lengan bajunya untuk mendorong kasur yang diduduki Sun Put ji itu sehingga tepat tertutup rapat di dalam genta.   Khu Ju-ki berempat menjadi serba salah sekarang, mereka merasa tidak pantas lagi memusuhi Nyo Ko, namun anak muridnya tadi sudah diberi pesan bila genta itu sudah dijatuhkan ke bawah, serentak mereka harus menyerbu ke dalam pendopo, Anak murid mereka tentu tidak dapat menyaksikan apa yang terjadi di bagian dalam, maka saat itu kawanan Tosu itu be-ramai2 sudah mulai menyerbu.   Melihat suasana rada gawat, cepat Nyo Ko gantungkan pedang pada pinggangnya, ia rangkul Siao-liong-li terus dibawa, lari ke ruangan belakang.   "Perhatian para anak murid, jangan sekali2 mencelakai jiwa mereka berdua,"   Seru Khu Ju-ki dengan suara lantang.   Dalam pada itu para Tosu itu lantas mengudak ke belakang sambil ber-teriak2.   Sebelum itu Lau Ju-hian juga sudah menyiapkan 21 murid pilihan di halaman belakang pendopo, baru saja Nyo Ko keluar, tertampak sinar pedang gemerdapan, mereka telah dipapak oleh barisan pedang.   Tiba2 Nyo Ko berpikir bahwa lebih baik menerjang keluar melalui lubang atap yang jebol oleh genta raksasa tadi, meski di atas atap ada dijaga oleh keempat tokoh utama Coan cin-pay, tampaknya mereka berempat takkan melancarkan serangan maut padaku.   Karena pikiran ini, segera ia berlari kembali ke ruangan pendopo, Kedua tangan Siao-liong-li merangkul kencang di leher Nyo Ko, katanya dengan suara lembut.   "Kita sudah terikat menjadi suami-isteri, cita2 hidup kita sudah tercapai. Adalah baik kalau kita dapat menerjang keluar, andaikan tidak dapat juga tidak menjadi soal."   "Benar,"   Kata Nyo Ko, begitu kakinya bekerja .   "blakbluk", kontan dua Tosu yang mengadangnya didepaknya hingga terjungkal sementara itu ruangan pendopo itu sudah penuh berjubel kawanan Tosu, karena itu barisan pedang Coan-cin-pay itu sukar dikerahkan Namun lengan kiri Nyo Ko digunakan memondong Siao-liong-li, hanya dengan kakinya saja ia dapat merobohkan musuh dan dengan sendirinya sukarlah baginya untuk lolos dari kepungan. Diam2 ia menjadi gemas terhadap para Tosu itu.   "Blang", kembali seorang Tojin ditendangnya terjungkal dan menumbuk jatuh pula dua kawannya. Tengah ribut2 sekonyong2 dari luar sana berlari masuk seorang tua berjenggot dan berambut ubanan semua, di belakang si kakek mengikut suatu gerombolan besar tawon madu, orang itu ternyata Ciu Pek-thong adanya. Pendopo Tiong-yang-kiong itu kacau balau sehingga bertambah seorang Ciu Pek-thong juga tidak menjadi perhatian orang Coan-cin-kau. Tapi begitu tiba, segera kawanan tawon mencari sasarannya untuk disengat, keruan keadaan tambah gaduh, Ka-wanan tawon madu itu bukanlah tawon biasa, tapi adalah tawon putih piaraan Siao-liong-li di kuburan kuno itu. Begitu tersengat tawon itu, seketika timbul rasa sakit dan gatal yang tak tertahankan. saking tidak tahan, sebagian Tosu itu sama ber-guling2 di lantai sambil ber-teriak2, keruan suasana tambah kacau. Kiranya Ciu Pek-thong teramat kagum dan tertarik setelah menyaksikan Siao-liong-li dapat mengundang dan memimpin gerombolan tawon di luar kota Siangyang tempo hari, di luar tahu Siao-liong-li ia telah mencuri botol madu tawon nona itu dengan maksud akan menirukan kepandaian Siao-liong-li mengumpulkan barisan tawon. Tak terduga, biarpun beberapa puluh ekor tawon dapat dipancing datang, tapi lantaran caranya tidak tepat, segerombolan tawon itu tidak mau tunduk pada perintahnya. Ketika permainannya itu kemudian kepergok Siao-liong-li, Ciu pek-thong jadi malu dan cepat2 kabur. Tadinya dia bermaksud mencari Kwe Cing, tapi kuatir ketemu Siao-liong-li lagi di sana, ia batalkan maksudnya ke kota itu, setelah ditimbang, akhirnya ia ambil keputusan mengunjungi Cong-lam-san, tujuan utama dapat bertemu dengan para Sutit (murid keponakan) yang sudah belasan tahun tidak bcrjumpa, selain itu iapun ingin mencari Tio Ci-keng untuk ditanyai mengapa berani mengapusi dan mencelakai sang Susiokco? Sepanjang jalan Ciu Pek'thong mempelajari madu tawon yang dicurinya dari Siao-liong-li itu, lama2 iapun dapat meraba sedikit cara2 memerintah kawanan tawon. Perlu diketahui bahwa sifat Ciu Pek-thong memang kocak, ke-kanak2an, suka humor, senang gara2 dan cari perkara serta ugal2an, sebab itulah dia di beri julukan "Lo wan-tong"   Atau si anak tua nakal, tapi sesungguhnya dia bukan orang bodoh, bahkan sebenarnya otaknya sangat cerdas dan pintar, kalau tidak masakah ilmu silatnya dapat mencapai setinggi itu? Begitulah karena hasratnya ingin meniru Siao-liong-li main-main dengan tawon, setibanya di Conglam-san ia benar2 ketemu batunya.   Tawon putih itu berbeda daripada tawon madu biasa, bentuk badannya lebih besar, sengatannya juga berbisa, begitu mencium bau madu yang dibawa Ciu Pek-thong, serentak datanglah kawanan tawon itu sehingga membikin Ciu Pek-thong merasa kewalahan malah.   Kawanan tawon putih itu sudah biasa mengikuti suara dan gerak tangan Siao-liong-li, dengan sendirinya sukar bagi Ciu Pek-thong untuk menghalaunya, tidak hanya itu saja, bahkan terus mengikutinya.   Melihat gelagat jelek, Ciu Pek-thong berlari ke Tiong-yang-kiong dengan tujuan mencari suatu tempat sembunyi yang baik.   Kebetulan saat itu Tiong-yang-kiong sedang kacau balau dan ramainya bukan main.   Sekilas ia melihat Siao-liong-li berada di situ, ia terkejut dan bergirang pula, cepat ia melemparkan botol madu kepada Siao-liong-li sambil berseru.   "Wah, celaka, aku tidak sanggup melayani tuan2 besar tawon ini, lekas kau menolong aku!"   Sekali kebas lengan bajunya dapatlah Nyo Ko menangkap botol madu itu, dengan tersenyum Siao liong-li menerima botol itu.   Dalam pada itu gerombolan tawon itu beterbangan memenuhi ruangan pendopo, Khu Ju-ki berempat cepat melompat turun dari atap rumah untuk memberi hormat kepada sang Susiok.   Segera Hek Tay-thong berseru.   "Lekas ambil obor, ambil obor!"   Para anak murid Coan-cin-kau menjadi sibuk, ada yang memutar pedang untuk mengusir kawanan tawon, ada yang cari selamat dengan menutupi muka dan kepala dengan lengan jubah, ada pula yang berlari pergi mengambil obor.   Ciu Pek-thong tidak pedulikan Khu Ju-ki dan lain2, batok kepala anak tua nakal itu sendiri sudah benjal-benjol tersengat tawon, yang dia harapkan adalah mencari suatu tempat sembunyi yang ia dapat diselundupi oleh tawon, Ketika tiba2 melihat sebuah genta besar terletak di situ, ia menjadi girang, Cepat ia mengungkap genta itu, tapi dilihatnya di bawahnya sudah ada seorang, tanpa diperhatkan siapa orang itu, ia lantas berkata.   "Maaf, silakan menyingkir dulu."   Berbareng ia dorong Sun Putji keluar, ia sendiri lantas menyusup ke dalam genta, sekali lepas tangan.   "blang", genta itu segera menutup rapat lagi. Girang luar biasa Ciu Pek thong berada di dalam genta, ia pikir biarpun gerombolan tawon yang ber-laksa2 jumlahnya juga tak dapat mengejarnya serta menyengatnya lagi. Dalam pada itu Nyo Ko telah membisiki Siao liong-li.   "Cepat kau memerintahkan bantuan tawon, kita terjang keluar saja,"   Biasanya yang selalu memberi perintah adalah Siao-liong-li, sekarang baru saja menjadi isterinya, untuk pertama kalinya ia dengar si Nyo Ko bicara seperti memberi perintah padanya, hati Siao-liong-li merasa sangat bahagia, pikirnya.   "Ternyata dia tidak anggap aku sebagai gurunya lagi dan sungguh2 menganggap diriku sebagai isterinya."   Segera Siao-liong-li mengiakan dengan suara lembut dan penurut, ia lantas angkat botol madu dan diguncangkan beberapa kali sembari berseru beberapa kali.   Karena bertemu dengan majikannya, kawanan tawon lantas bergerombol menjadi satu dalam waktu sekejap saja, Siao-liong-li terus memberi tanda dan membentak pula, gerombolan tawon itu lantas terbagi menjadi dua barisan, baris pertama mendahului di depan, barisan lain berjaga di belakang, Siao-liong-li dan Nyo Ko se-akan2 di-kawal oleh kedua barisan tawon itu terus menerjang ke belakang Tiong-yang-kiong.   Karena gara2 kedatangan Ciu Pek-thong, Khu Ju-ki dan kawan2nya menjadi serba runyam, tampaknya Nyo Ko berdua sudah mundur ke belakang istana, segera ia memberi perintah agar anak muridnya tidak mengejar.   Ong Ju-it lantas membuka Hiat-to Sun Put-ji yang tertutuk itu, sedang Khu Ju-ki berusaha membuka genta.   Ciu Pek-thong yang sembunyi di dalam genta dengan sendirinya tidak tahu apa yang terjadi di luar, ketika merasakan genta itu hendak dibuka orang, ia menjadi kuatir dan berteriak.   "Haya, celaka! Dengan kedua tangannya ia menahan dinding genta dan ditekan ke bawah. Karena tenaga dalam Khu Ju-ki tidak lebih kuat daripada sang Susiok.   "trang", baru tersingkap sedikit, segera genta itu jatuh lagi ke bawah. Dengan tertawa Khu Ju-ki berkata kepada para Sutenya.   "Susiok kembali bergurau lagi. Ma-rilah kita bekerja sama."   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Segera Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Lan Ju-hian dan Hek Tay-thong berempat sama sama menggunakan sebelah tangan untuk menahan genta itu, sekali bentak seketika genta itu terangkat ke atas, Tapi mereka lantas bersuara heran ketika tidak melihat bayangan seorangpun di bawah genta, Ciu Pek-thong ternyata sudah lenyap entah ke mana.   Selagi mereka melongo heran, tiba2 sesosok bayangan menyelinap keluar, Ciu Pek-thong sudah berdiri di situ dengan bergelak tertawa, Rupanya tadi dia sengaja pentang kaki dan tangannya menahan di dinding genta bagian dalam sehingga tubuhnya ikut terangkat ke atas, kalau genta itu tak di jungkir atau orang melongok ke bagian dalam genta tentu takkan melihatnya.   Khu Ju-ki dan lain2 lantas mengulangi lagi memberi hormat, tapi Ciu Pek-thong telah goyang2 tangannya dan bersem.   "Sudah, anak2 tidak perlu banyak adat"   Padahal usia Khu Ju-ki dan kawan2 nya itu sudah berusia lanjut, tapi Ciu Pek-thong masih tetap menyebut mereka "anak2"   Saja. Baru saja mereka hendak tanya sang Susiok, sekilas Ciu Pek-thong melihat Tio Ci-keng hendak mengeluyur pergi, sambil membentak segera ia melompat ke sana dan membekuknya seraya memaki.   "Eh, hendak lari kau? jangan kau harap, hidung kerbau bangsat!"   Segera ia menyingkap genta raksasa itu -Cikeng terus dilemparkan ke dalam, sekali lepas tangan, genta itu lantas menutup rapat lagi, malahan mulut Ciu Pek-thong belum berhenti memaki.   "Hidung kerbau bangsat, hidung kerbau maling!"   "Hidung kerbau"   Adalah istilah olok2 pada kaum Tosu, Padahal yang hadir di situ sekarang, kecuali Ciu Pek-thong sendiri, selebihnya adalah Tosu semua, maka makian Ciu Pek-thong itu sama saja -memaki seluruh anggota Coau-ciu kau, Tapi lantaran sudah kenal sifat sang Susiok, Khu Ju-ki berlima hanya saling pandang dengan menyengir saja.   "Susiok,"   Ong Ju-it coba bertanya.   "entah cara bagaimana Ci-keng bersalah kepada Susiok? Tecu pasti akan memberi hukuman setimpal padanya."   "Hehe, hidung kerbau bangsat ini memancing aku ke gua itu untuk mencuri panji, tapi di sana banyak tersembunyi labah2 besar, untung ada nona cilik itu, wah mana nona cilik itu? Nyo Ko mana pula?"   Begitulah Ciu Pek-thong menutur dengan tidak teratur Sudah tentu Ong Ju-it tidak paham apa yang dimaksudkan sang Susiok, hanya kelihatan orang tua itu celingukan kian kemari ingin mencari Siao-hong-li.   Pada saat itulah ada murid memberi laporan bahwa Nyo Ko dan Siao-liong-Ii telah mengundurkan diri ke belakang gunung dan masuk ke Cong-keng-kok (ruangan perpustakaan) Keruan Khu Ju-ki berlima terkejut, Cong-keng-kok adalah tempat penting Coan-cin-kau, di mana tersimpan berbagai kitab pusaka serta dokumen2-rahasia yang menyangkut kepentingan agama mereka, kalau terjadi sesuatu akan berarti bahaya besar bagi nasib Coan-cin-kau mereka.   Cepat Khu Ju-ki berseru.   "Marilah kita menyusul ke sana! Tadi Nyo Ko itu tidak melukai Sun-sumoay, sebaiknya permusuhan ini diubah menjadi persahabatan."   Sun Put-ji mengiakan, be-ramai2 mereka lantas berlari ke belakang.   Hanya Ong Ju-it saja merasa kuatir Ci-keng mati sesak napas di dalam genta, betapapun Ci-keng adalah muridnya yang tertua, apalagi tindak tanduk sang Susiok biasanya terkenal angin2an, dalam urusan ini belum pasti Ci-keng yang bersalah, maka nanti masih harus ditanyai lebih jelas.   Karena itu ia lantas mengambil sepotong batu, ia singkap sedikit genta itu dan batu itu diganjalkan di bawahnya sebagai jalan hawa.   Habis itu barulah ia berlari menyusul ke sana.   Setiba di depan Cong-keng-kok, terlihat ber-ratus2 anak murid sedang ber-kaok2, tapi tiada seorangpun yang berani naik ke loteng Cong-keng kok itu.   Segera Khu Ju-ki berseru.   "Nona Liong dan Nyo-siauhiap, segala persoalan biarlah kita anggap selesai dan marilah kita berkawan saja bagai-mana?"   Selang sejenak ternyata tidak terdengar sesuatu suara jawab, Khu Ju-ki lantas berkata pula.   "Nona liong terluka, silakan turun saja dan berdaya untuk menyembuhkannya. Kami berjanji pasti takkan membikin susah kalian."   Akan tetapi sekian lamanya tetap tiada sesuatu suara apapun, pikiran Lau lu-hian tergerak, katanya.   "Khu-suko, tampaknya mereka sudah pergi."   "Mana bisa?"   Ujar Ju-ki.   "Lihatlah kawanan tawon yang beterbangan serabutan itu,"   Kata Ju-hian sambil mengambil sebuah obor dari seorang muridnya, lalu ia mendahului berlari ke atas loteng.   Be-ramai2 Khu Ju-ki dan lain2 juga ikut ke sana, benar juga ruangan perpustakaan itu ternyata kosong tiada seorangpun, di meja tengah ruangan itu tertaruh botol madu tawon itu, Seperti menemukan jimat saja, cepat Ciu Pek-thong menyamber botol itu dan dimasukkan bajunya.   Semua orang coba memeriksa sekitar Cong-keng-kok, tetap tiada menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan, hanya pada lantai di pojok ruangan sana ada setumpuk kitab, namun tiada tanda berkurangnya jumlah kitab, hanya peti tempat kitab2 itu sudah lenyap, Tiba2 Hek Tay-thong berseru.   "He, mereka kabur melalui sini" . Semua orang mendekati jendela itu di bagian belakang loteng itu, terlihat seutas tali terikat pada jendela itu, ujung tali yang lain terikat pada pohon di tebing sebelah sana. Antara Cong-keng-kok dan tebing sana teralang oleh sebuah jurang yang lebarnya belasan meter, sebenarnya buntu tiada jalan tembus, sama sekali tak terduga bahwa Nyo Ko dapat menyeberang ke sana dengan melalui seutas tali itu dengan Ginkangnya yang hebat. Nyo Ko dan Siao-liong-li melangsungkan upacara nikah di pendopo Tiong-yang-kiong, betapapun orang2 Coan-cin-kau merasa kehilangan muka karena takdapat mencegah perbuatan kedua muda-mudi itu kini kedua lawan telah pergi, Coan-cin-ngo-cu saling pandang dengan senyum kecut, namun hati terasa lega juga. Yang paling dongkol dan penasaran sebenarnya adalah Sun Put-ji, tapi setelah menyaksikan cinta kasih Nyo Ko dan Siao-liong-li yang suci murni itu, pula pada detik yang berbahaya Nyo Ko juga menyelamatkan dia, tanpa terasa Sun Put-ji seperti kehilangan apa2 dan bungkam saja. BegituIah Coan-cin-ngo-cu dan Ciu Pek-thong lantas kembali lagi ke ruangan pendopo untuk menanyai seluk-beluk datangnya utusan raja Mongol kita pertengkaran antara golongan In Ci-peng dengan komplotan Tio Ci-keng dan mendadak Siao-liong-li muncul sehingga terjadi pertarungan sengit itu. Dengan sejujurnya Li Ci-siang dan Song Tek-hong lantas memberikan laporan secara jelas. Khu Ju-ki meneteskan air mata dan berkata.   "Meski Ci-peng berbuat salah, tapi dia juga telah membela Coan-cin-kau dengan mati2an dan tidak sudi menyerah pada Mongol, jasanya juga tidak kecil."   "Benar, kesalahan Ci-peng tidak lebih besar daripada jasanya, betapapun kita tetap mengakui dia sebagai pejabat lama,"   Kata Ong Ju-it dan di-tunjang oleh Lau Ju-hian dan Iain2.   Kalau Khu Ju-ki dan lain2 sedang sibuk menanyai Li Ci-siang untuk membereskan persoalan selanjutnya, Ciu Pek-thong ternyata tidak mau ambil pusing, ia lagi sibuk memainkan botol madu itu, beberapa kali ingin membuka botol itu untuk memancing kedatangan kawanan tawon, tapi iapun takut kalau sekali tawon sudah datang tak bisa di balau pergi lagi.   Dalam pada itu seorang murid memberi laporan bahwa ada lima orang murid lainnya sedang menderita tersengat tawon dan mohon paraguru berusaha mengobatinya, Hek Tay-thong lantas teringat pada pemberian madu tawon oleh Sun-popoh dahulu! Segera mendekati Ciu Pek-thong dan berkata.   "Kebetulan Susiok membawa sebotol madu tawon ini, mohon kemurahan hati Susiok agar sudi membagikan madu ini untuk para cucu murid yang tersiksa itu."   Mendadak Ciu Pek-thong mengangkat kedua tangannya, ternyata botol madu tadi sudah tak kelihatan lagi, katanya.   "Aneh, entah mengapa, botol madu itu lenyap mendadak."   Padahal dengan jelas Hek Tay-thong melihat barusan saja botol madu itu masih dipegangi sang Susiok, mana bisa hilang mendadak, tentu sang Susiok sengaja tidak mau memberi, namun terhadap paman guru dengan sendirinya tidak sopan mendesaknya dengan kata-, maka Hek Tay-thong menjadi serba sulit.   Kembali Ciu Pek-thong tepuk2 bajunya dan mengebas lengan baju beberapa kali, lalu berkata pula.   "Nak, aku kan tidak menyembunyikan botol madu itu. jangan kau anggap aku pelit dan tidak mau memberi!"   Rupanya si "anak tua nakal"   Ini memang suka jahil dan gemar mainan seperti anak kecil, sampai tua sifatnya ini tetap tidak berubah, ia pikir kalau cuma disengat tawon saja, paling2 cuma kesakitan dan takkan mampus, sebaliknya madu tawon yang sukar dicari ini tidak boleh diberikan begitu saja.   Sebab itulah baru saja Hek Tay-thong membuka mulut segera ia selusupkan botol madu itu ke lengan baju, ketika ia mengangkat tangannya, botol itu terus menyusup ke kelek dan menerobos ke dada sampai ke perut, waktu ia kerut kan perutnya, kembali botol itu menerobos ke dalam celananya dan dari kaki celana botol itu jatuh pelahan di belakang tungkak kaki, Karena Lwekang Ciu Pek-thong sudah sangat tinggi sehingga kulit daging sekujur badannya dapat dikuasai dengan sesukanya, maka sedikitpun tidak mengeluarkan suara ketika botol madu yang kecil itu diselundupkannya sampai di lantai.   Melihat sang Susiok tidak mau memberi, Ong Ju-it dan lain2 tidak berani memaksa, ia pikir tunggu nanti saja kalau sang paman guru lagi memainkan botol madu itu, lalu secara mendadak diminta lagi, tentu tiada alasan baginya untuk menolak, ia pikir urusan penting sekarang adalah menyelesaikan dulu soal penghianatan Tio Ci-keng.   Maka dengan tegas ia lantas menyatakan pendiriannya itu.   "Hek-sute, urusan lain kita tunda dahulu, kita harus membereskan dulu soal murid khianat Tio Ci-keng."   Serentak semna orang menyatakan setuju.   Semua saudara seperguruannya cukup kenal watak Ong Ju-it yang jujur dan adil, biarpun murid sendiri juga pasti tidak dibela kalau berbuat kesalahan, apalagi sekarang melakukan penghianatan yang tak terampunkan.   Tapi pada saat itu juga dari bawah genta tiba2 Ci-keng berkata dengan suara lemah.   "Ciu-susiok-co, jika engkau menolong jiwaku, segera akan kukembalikan madu tawon ini, kalau tidak akan kuminum habis, bagaimanapun juga aku toh akan mati."   Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia membalik ke belakang, benar juga botol madu itu sudah lenyap.   Kiranya dia berdiri tepat di samping genta raksasa itu.   Ci-keng mendekam di dalam genta dan botol madu kebetulan jatuh di depannya, ia dengar Hek Tay-thong memohon madu pada Ciu Pek-thong dan tidak berhasil, maka botol itu lantas dicomotnya melalui lubang genta yang diganjal batu itu.   Dengan botol madu itu sebagai alat pemerasan untuk menyelamatkan jiwanya, cara ini sebenarnya terlalu ke-kanak2an dan tipis harapan, tapi di antara putus harapan itu sedikitnya masih ada setitik harapan untuk hidup, untuk itulah Ci-kcng berusaha sebisanya Ternyata Ciu Pek-thong menjadi kuatir mendengar ancaman Ci-keng itu, cepat ia berseru.   "He, he, jangan kau minum madu itu, segala urusan dapat kita rundingkan."   "Jika begitu engkau harus berjanji akan menyelamatkan jiwaku,"   Kata Ci-keng pula. Khu Ju-ki dan lain2 juga terkejut, mereka kenal sang Susiok yang berjuluk "Lo-wan-tong"   Itu berwatak lain daripada yang lain, kalau saja paman guru itu menyanggupi permintaan Ci-keng itu, maka sukar lagi menghukum murid murtad itu, Cepat Ju-ki bicara.   "Susiok, dosa murid murtad ini tak terampunkan, jangan sekali engkau mengampuni dia."   Ciu Pek-thong berjongkok dan mendekatkan kepalanya ke celah genta dan berseru pula "He... he, jangan kau minum madu itu""   "Jangan gubris dia, Susiok,"   Kata Lau Ju-hian.   "Apa sulitnya jika Susiok ingin mendapatkan madu itu, kini permusuhan kita dengan nona Liong sudah berakhir, sebentar kita dapat pergi ke tempatnya untuk memohon beberapa botol madu seperti itu, Kalau nona Liong sudah mau memberi sebotol padamu, tentu dia akan memberi lagi sebotol sedikitnya."   Tapi Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab.   "Belum tentu, belum tentu!"   Sudah tentu ia tak berani memberitahu bahwa madu itu adalah hasil copetannya dari Siao-liongli dan tadi setelah dikembalikan kepada si nona, rupanya botol itu tertinggal di Cong-keng-kok, kalau meminta pada Siao-liong-li lagi belum tentu nona itu mau memberi lagi, andaikan diberi juga akan digunakan sebagai obat dan dia takkan mendapatkan bagian.   Dalam pada itu tiba2 terdengar suara mendengung pelahan, ada beberapa ekor tawon putih tampak terbang masuk ke pendopo situ dan mengitari genta.   Pikiran Ciu Pek thong tergerak, cepat ia melongok lagi ke bawah genta dan berseru.   "Ci-keng yang kau ambil itu mungkin bukan madu tawon."   "Benar, benar madu tulen, mengapa bukan?"   Ujar Cikeng gugup.   "Kukira bukan, bisa jadi madu palsu,"   Ujar Ciu Pek-thong.   "Supaya aku percaya, coba kau buka tutup botol agar aku dapat mencium baunya, tulen atau palsu segera akan terbukti. Tanpa pikir Ci-keng membuka sumbat botol dan berkata.   "Baiklah, coba kau menciumnya! Wah, harum dan sedap baunya, masakah palsu?"   Ciu Pek-thong sengaja menarik napas panjang beberapa kali dengan hidungnya, lalu berkata.   "Uh, rasa2nya bukan madu, seperti bau sirup! Coba ku-cium beberapa kali!"   Ci-keng genggam botol madu itu sekcncangnya dengan kedua tangannya, kuatir kalau orang mendadak menyingkap genta terus merampas botolnya, berulang ia menyatakan "Harum dan sedap sekali, betul tidak?"   Dalam pada itu bau harum madu tawon itu sudah teruar memenuhi ruangan pendopo itu, Ciu iPek-thong sengaja bersin satu kali dan berkata dengan tertawa.   "Wah, aku sedang pilek, hidungku mampet!" - Sembari bicara iapun kucek hidung dan memicingkan sebelah mata kepada Khu Ju-ki dan lain-lain. Sudah tentu Cikeng juga menduga orang sedang main akal ulur waktu, segera ia mengancam pula.   "Awas, jangan kau menyentuh genta ini, sekali tanganmu memegang genta segera kuminum habis madu ini."   Sementara itu tawon putih yang berdatangan sudah tambah menjadi puluhan ekor dan sedang mengitari genta besar itu dengan suaranya yang mendengung, Mendadak Ciu Pek-thong mengebaskan lengan bajunya sambil membentak.   "Masuk ke sana dan sengat dia!"   Kawanan tawon itu belum tentu mau tunduk pada perintahnya, tapi saat itu bau harum madu itu semakin keras, benar saja beberapa ekor tawon itu lantas menerobos ke dalam genta melalui celah2 yang diganjal batu itu.   Segera terdengar Ci-keng menjerit, menyusul terdengar suara jatuhnya benda pecah disertai bau harum yang semakin keras, nyata Ci-keng telah kena disengat tawon, saking kesakitan botol madu yang dipegangnya terjatuh dan hancur berantakan.   "Bangsat keparat!"   Bentak Ciu Pek-thong dengan gusar.   "Memegang botol saja tidak becus!"   Segera ia bermaksud menyingkap genta itu untuk memberi beberapa kali tamparan pada Ci-keng yang dianggapnya tak becus, tiba2 segerombol tawon putih membanjir tiba karena tertarik oleh bau madu yang harum itu, be ramai2 kawanan tawon itu lantas menyusup ke dalam genta.   Ciu Pek-thong sudah merasakan betapa lihay sengatan tawon itu, ia sudah kapok mendekatinya, Dilihatnya tawon yang menyusup ke dalam genta itu bertambah banyak, sedangkan tempat luang di dalam genta itu terbatas, tubuh Ci-keng berlepotan madu tawon, setiap kali bergerak pasti menyenggol kawanan tawon itu, keruan berpuluh, beratus bahkan beribu sengatan tawon memenuhi badannya.   Semula orang masih mendengar jeritan ngerinya, sebentar kemudian suaranya menjadi lemah dan akhirnya tak terdengar lagi, jelas karena terlalu hebat kena racun sengatan dan telah melayang jiwanya.   Mendadak Ciu Pek-thong pegang baju dada Lau Ju-hian dan berteriak.   "Baik, Ju-hian, sekarang kau harus memohonkan sebotol madu kepada nona Liong bagiku."   Lau Ju-hian menyeringai serba susah, tadi dia cuma berharap Ciu Pek-thong jangan mudah menyanggupi pemerasan Ci-keng, maka dia menyatakan akan memintakan madu tawon kepada Siao liong-li bagi sang Susiok, sekarang dia dicengkeram, terpaksa ia menjawab.   "Susiok, lepaskan tangahmu, akan kumintakan niadunya."   Lalu ia membetuIkan bajunya dan melangkah ke arah kuburan kuno Khu Ju-ki tahu kepergian Lau Ju-bian ini sangat berbahaya, kalau Siao- liong-li selamat tidaklah menjadi soal, tapi kalau lukanya parah dan tak bisa sembuh, entah berapa banyak orang Coan-cin-kau yang akan dibunuh lagi oleh Nyo Ko.   Karena itu ia lantas berseru.   "Marilah kita ber-sama2 ikut ke sana!"   Hutan di dekat kuburan kuno itu sudah lama dilarang masuk oleh anak murid Coan-cin-kau sesuai ketentuan mendiang Ong Tiong-yang, maka setiba di pinggir hutan itu, dengan suara lantang Khu Ju-ki berseru.   "Nyo-siauhiap, apakah luka nona sudah baikan? Di sini adalah beberapa biji obat, silakan ambil ini!"   Akan tetapi sampai sekian lama tiada terdengar jawaban orang.   Khu Ju-ki mengulangi lagi seruannya dan tetap sunyi senyap saja keadaannya hutan.   Kelihatan rimbun dengan pohon2 tua yang tumbuh di bawah pohon juga penuh semak beluka, mereka coba menyusuri tepian hutan itu dan tidak tampak tanda ada orang menuju ke arah kuburan kuno, tampaknya Nyo Ko dan Siao-Iiong-li tidak pulang ke sana melainkan meninggalkan Cong-Iam-san.   Dengan girang dan kuatir pula semua orang kembali ke Tiong-yang-kiong, mereka bergirang karena Nyo Ko dan Siao liong-Ii sudah pergi jauh, tapi juga kuatir kalau luka Siao-liong-li tak bisa disembuhkan, untuk itu tentu Nyo Ko akan membalas dendam dan celakalah Coan-cin-kau.   Ternyata si anak tua nakal Ciu Pek-thong juga tampak senang dan sedih, dia sedih karena tidak berhasil mendapatkan madu tawon, senangnya karena dia tidak perlu bertemu lagi dengan Siao-liong-li sehingga perbuatannya mencopet madu takkan terbongkar.   Selama berpuluh tahun tinggal di Cong-lamsan ternyata orang2 Coan-cin-kau itu sama sekali tidak dapat menerka ke mana perginya Nyo Ko dan Siaoliongli.   Kiranya waktu suasana di Tiong-yang-kiong menjadi kacau oleh datangnya gerombolan lebah, segera-Siao-liong-li memimpin barisannya sebagai pengaman dan menerjang ke belakang gunung, dilihatnya ada sebuah bangunan kecil berloteng di atas bukit situ, Nyo Ko tahu itulah Cong-keng-kok yang merupakan salah satu tempat penting di Tiong-yang kiong ini, segera ia pondong Siao-liong-li ke atas loteng itu.   Baru saja mereka sempat mengaso sejenak, segera terdengar pula suara hiruk pikuk di bawah, berpuluh Tosu sudah menyusul tiba, cuma tangga loteng itu rada sempit dan sukar memainkan barisan pedang, maka kawanan Tosu itu tidaki berani sembarangan menyerbu ke atas.   Setelah mendudukkan Siao-liong-li di atas kursi, Nyo Ko coba memeriksa keadaan sekitar loteng itu, dilihatnya di belakang Cong-keng-kok itu adalah sebuah sungai gunung yang dalam, namun sungai itu tidak begitu lebar, Tiba2 ia mendapatkan akal, ia keluarkan tali yang biasanya diikat pada dua batang pohon digunakan tempat tidur, ia ikat ujung tali itu pada tiang Cong-keng-kok dan ujung tali yang lain dibawanya melompat ke seberang sungai dan diikat pada sebatang pohon.   Lalu ia melompat kembali ke Cong-keng-kok dan bertanya kepada Siao-Iiong-li.   "Sebaiknya kita pulang ke mana?".   "Kau bilang ke mana, aku hanya ikut saja padamu,"   Jawab Siao liong-li sambil menghela napas.   Dari air muka si nona dapat lah Nyo Ko menerka pikirannya, tentu yang diharapkannya adalah pulang kembali ke kuburan kuno itu.   Cuma cara bagaimana masuk ke sana, inilah yang menjadi persoalan Dalam pada itu suara ribut di bawah sana tambah ramai rasanya tak dapat tahan lebih lama lagi di sini.   Nyo Ko dapat memahami pikiran Siaoliong-li, tapi si nona juga dapat meraba pikiran anak muda itu, dengan suara halus ia berkata.   "Akupun tidak harus pulang ke kuburan kuno itu, jangan kau pikirkan hal ini." - ia tersenyum manis, lalu menambahkan "Asalkan senantiasa berada bersamamu, ke manapun aku setuju,"   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Inilah cita2 Siao-liong-li yang pertama setelah mereka menikah, maka Nyo Ko bertekad akan melaksanakan keinginan si nona, kalau tidak ia merasa tidak sesuai sebagai suaminya ia coba memandang ruangan loteng itu, dilihatnya di belakang rak buku di sudut sana ada sebuah peti kayu, tiba2 tergerak pikirannya, cepat ia mendekati peti itu, ternyata peti itu digembok dengan sebuah gembok besi.   "Dengan mudah saja Nyo Ko puntir patah gembok itu dan membuka tutup peti ternyata penuh terisi kitab dan sejenisnya. Segera ia angkat peti itu sehingga isi peti itu tertumplek semua di lantai. Peti itu terbuat dari kayu kamper, tebalnya lima senti dan sangat kukuh, ia coba melompat dan meraba atas rak buku, benar juga penuh tertutup oleh kain minyak. yaitu untuk menjaga kalau kebocoran agar tidak merusak kitab2 itu. Dia tarik dua helai kain minyak itu dan dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu diseberangkan lebih dulu dengan melalui jembatan tali tadi, kemudian ia kembali lagi untuk memondong Siao-Iiong-ii ke sana.   "Marilah, kita pulang ke rumah asal"   Katanya dengan tertawa. Siao-liong-li sangat girang, jawabnya dengan tersenyum.   "Bagus sekali caramu mengatur!"   Kuatir si nona berkuatir, Nyo Ko lantas menambahkan.   "Pedangku ini sangat hebat, apapun di dasar sungai yang merintangi peti ini tentu dapat kubereskan dengan pedang ini, aku akan berjalan dengan cepat, engkau pasti takkan sumpek di dalam peti,"   "Cuma ada sesuatu yang tidak baik bagiku"   "Apa itu?"   Tanya Nyo Ko dengan me1engak.   "Untuk waktu tertentu aku takdapat melihat kau,"   Jawab si nona. Sambil bicara merekapun sudah sampai di seberang. Nyo Ko jadi teringat kepada Kwe Yang yang tertinggal di gua itn, katanya segera.   "Nona keluarga Kwe juga kubawa ke sini. Apa yang harus kulakukan menurut pendapatmu?"   Siao-liong-li melenggong, tanyanya dengan suara rada gemetar.   "Apa katamu? Kau.. kau membawa puteri Kwe-tayhiap itu ke sini?"   Melihat sikap si nona yang aneh itu, Nyo Ko melengak juga, tapi cepat ia paham sebab musababnya, tentu Siao-liong-li salah paham dan mengira dia membawa Kwe Hu ke sini, segera ia mencium pelahan pipi si nona dan berkata.   "Ya, puteri Kwe-tayhiap yang kubawa ke sini, tapi bukan nona yang membuntungi lenganku melainkan orok yang baru lahir tiada sebulan itu."   Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah, ia rangkul Nyo Ko kencang2 dan tak berani memandangnya, selang sejenak barulah ia berkata.   "Bolehlah kita membawanya serta ke kuburan kuno. Jika ditinggalkan lebih lama di hutan ini, boleh jadi jiwanya akan melayang."   Nyo Ko menjadi kuatir juga, sudah sekian lama dia teralang di Tiong-yang-kiong, entah bagaimana keadaan Kwe Yang yang disembunyikan di dalam gua itu.   Cepat ia menuju ke gua itu, ternyata keadaan sunyi sepi tiada suara tangisan anak kecil, ia tambah kuatir, lekas2 ia menyingkirkan belukar kering dan masuk ke gua, dilihatnya Kwe Yang sedang tidur dengan lelapnya, kedua pipi bayi itu kelihatan ke-merah2an menyenangkan "Biar kubopong dia,"   Kata Siao liong-li.   kuatir si nona kurang tenaga karena belum sehat, Nyo Ko mengusulkan anak itu ditaruh saja di dalam peti, lalu ia mencari belasan Lamkwa (wa-toh, sebangsa labu besar warna kuning) hasil tanaman kawanan Tosu Coan-cin-kau, ia memasukkan waloh itu ke dalam peti dan diseret ke tepi sungai.   Setelah Siao-liong-li juga didudukkan di dalam peti sambil memondong Kwe Yang, pelahan Nyo Ko lantas menutup peti itu dan dibungkus pula dengan kain minyak, habis itu barulah memasukkan peti itu ke sungai.   ia menarik napas panjang terus menyelam ke dasar sungai sambil menarik peti itu melalui jalan waktu keluar dari kuburan kuno itu tempo hari.   Sejak digembleng di bawah air terjun itu, kini tenaga dalam Nyo Ko boleh dikatakan tiada taranya, berjalan di bawah sungai kecil itu bukan soal lagi baginya.   Dasar sungai itu ternyata tidak rata, terkadang meninggi, lalu merendah lagi.   Nyo Ko terus menyusuri sungai itu, kalau teralang oleh batu karang sehingga peti itu tak dapat lewat, segera ia menahannya dengan pedang dan segala rintangan dapatlah dibereskan, ia kuatir Siap-liong-li sumpek di dalam peti, maka jalannya sangat cepat, tidak lama kemudian ia sudah timbul lagi ke atas sungai dan sampai di jalan rahasia di bawah tanah yang menuju ke kuburan kuno.   Lekas2 ia membuka peti itu, dilihatnya Siao-Ijong-li dalam keadaan lemas dan setengah sadar, mungkin karena terluka parah sehingga tidak tahan dikurung dalam peti yang rapat itu, sebaliknya Kwe Yang tampak ber-teriak2 dan menangis penuh semangat.   Rupanya orok itu diberi minum susu macan selama sebulan sehingga jauh lebih sehat daripada bayi biasa.   Dengan lemah Siao liong-li tersenyum bahagia dan berkata.   "Akhirnya kita pulang juga ke rumah!" - Habis berkata ia tak tahan lagi dan memejamkan mata Nyo Ko tidak memandangnya lagi dan mem-biarkannya tetap duduk di dalam peti, ia seret peti itu ke tempat tinggal mereka di dalam kuburan kuno itu. Dilihatnya segala sesuatu di situ masih tetap serupa seperti waktu ditinggalkan dahulu, Sambil memeriksa kamar2 batu di situ dan mengamat-amari pula barang2 yang pernah dipakainya sejak kecil, tiba2 anak muda itu timbul semacam perasaan yang sukar dilukiskan, seperti girang rasanya, tapi juga mengandung rasa haru dan duka. Waktu ia menoleh, dilihatnya Siao liong-li berdiri berpegang pada samakan kursi dengan air mata berlinang-linang. Kini kedua orang sudah terikat menjadi suami-isteri, cita2 yang terkandung selama ini sudah terkabul merekapun sudah pulang di kediaman lama, selanjutnya tidak akan tersangkut pula dengan macam2 suka-duka dan permusuhan di dunia fana, namun dalam hati kedua orang sama2 merasa berduka dan sedih tak terkatakan. Keduanya sama tahu bahwa luka Siao-liong-li teramat parah, sudah terkena hantaman roda Kim-lun Hoat ong, terkena pula pukulan gabungan Coan-cin-ngo-cu yang hebat itu, dengan tubuhnya yang lemah gemulai itu jelas tidak tahan. Walaupun sebelumnya kedua orang sudah berulang2 memikirkan asalkan cita2 mereka terkabul dan dapat berkumpul kembali, sekalipun harus mati seketika juga rela. Tapi setelah keduanya benar2 sudah menikah dan berkumpul menjadi satu, rasanya menjadi berat sekali untuk berpisah dan mati. Mereka sama2 masih muda dengan kisah hidup yang menderita, selama ini belum pernah merasakan bahagianya orang hidup, kini mendadak mencapai cita2 paling utama orang hidup, tapi dengan segera mereka akan berpisah puIa. Nyo Ko termangu sejenak, ia ke kamar Sun-popoh dan membongkar tempat tidurnya untuk di pindahkan ke samping "dipan kemala dingin", ia atur bantal kasurnya dengan baik dan membaringkan Siao-liong-li di situ. Sisa bahan makanan sudah rusak, namun ber-botol2 madu tawon yang dikumpulkan Siao liong-li dahulu tetap baik, Nyo Ko menuang setengah mangkuk madu yang kental itu dan dicampur dengan air untuk diminumkan pada Siao-liong-li serta Kwe Yang cilik, habis itu ia sendiri juga minum satu mangkuk. Ia coba memandang sekeliling kamar batu itu, pikirnya.   "Aku harus bersemangat untuk menggirangkan hati Kokoh, kesedihanku tidak boleh kentara sedikitpun pada wajahku."   Begitulah ia lantas mencari dua batang lilin yang paling besar serta dibungkusnya dengan kain merah, lalu disulutkan dan ditancapkan di atas meja, katanya dengan tertawa.   "lnilah kamar pengantin kita dengan lilin bahagianya."   Cahaya lilin menambah semaraknya kamar batu itu. Siao liong-li duduk di tempat tidurnya, terlihat tubuh sendiri penuh kotoran dan noda darah, dengan tersenyum ia berkata.   "Macamku ini mana mirip pengantin baru!"   Tiba2 ia ingat sesuatu, katanya pu'a.   "Ko-ji, coba kau ke kamarnya Lim-cosu dan bawa kemari peti berlapis emas itu."   Meski pernah tinggal beberapa tahun di kuburan ini, tapi kamar bekas tempat tinggal Lim Tiau-eng tak berani dimasukinya, apalagi barang2 tinggalannya, tentu saja tidak berani dijamahnya.   Kini Siao-liong-li menyuruhnya, segera Nyo Ko ke sana dan mengambilkan peti yang diminta itu.   Peti itu tidak terlalu berat, juga tidak digembok, tapi tepian peti dilapis emas dan banyak ukiran yang indah.   "Menurut Sun-popoh, katanya peti ini berisi pakaian pengantin Lim-cosu, tapi kemudian beliau urung menikah, maka barang2 inipun tidak jadi dipakai,"   Kata Siao-liongli.   Nyo Ko mengiakan saja dan meletakkan peti itu di batu kemala dingin itu, setelah tutup peti di buka, benarlah di dalamnya tersimpan sebuah kopiah berukir burung Hong dengan hiasan mutiara, ada sepotong baju sulaman emas serta gaun sutera merah.   Semuanya terbuat dari bahan pilihan, meski sudah selang berpuluh tahun, tapi tampaknya masih seperti baru.   "Coba keluarkan isinya, ingin kulihat."   Kata Siao-liong-li.   Nyo Ko lantas mengeluarkan satu persatu isi peti itu, di bawah pakaian pengantin ternyata ada sebuah kotak rias dan sebuah kotak barang2 perluasan Gincu dan pupur dalam kotak rias itu sudah kering, tapi minyak wanginya ternyata masih ada sisa setengah botol kecil.   Ketika kotak perhiasan dibuka, seketika pandangan mereka menjadi silau, macam2 perhiasan yang jarang terlihat, ada tusuk kundai bermutiara, gelang kemala dan mutu manikam yang lain.   Biasanya Siao-liong-li dan Nyo Ko jarang melihat benda2 mestika seperti itu, merekapun tidak tahu betapa bernilainya barang2 perhiasan itu, yang jelas mereka melihat barang2 itu terbuat dengan sangat halus dan indah, maka merekapun sangat tertarik.   "Bagaimana kalau kubersolek menjadi pengantin baru?"   Ujar Siao-liong-li dengan tersenyum.   "Kau sudah terlalu lelah, mengasoJsipleBaf latti, bersoleklah besok,"   Kata Nyo Ko. Siao-liong-Ii menggeleng, katanya.   "Tidak, inilah hari bahagia pernikahan kita, Aku suka menjadi pengantin baru, Tempo hari di Coat-ceng-kok itu Kongsun Ci ingin menikah dengan aku dan akupun urung berdandan sebagai pengantin baru."   "Hah, masakah itu dapat dianggap menikah? itukan cuma khayalan Kongsun Ci saja!"   Ujar Nyo Ko dengan tersenyum Begitulah Siao-liong-li lantas mencampuri bedak dan Gincu dengan sedikit air dan mulailah bersolek menghadap cermin.   Selama hidup untuk pertama kali inilah dia memakai pupur dan gincu.   Air mukanya sebenarnya memang putih bersih dan tidak perlu berbedak lagi, cuma dia habis terluka parah, mukanya pucat pasi, setelah kedua pipinya diberi pupur dan sedikit gincu, sungguh kecantikannya sukar dilukiskan.   Ia berhenti sejenak, lalu menyisir rambut, katanya dengan gegetun.   "Bicara menyisir rambut, sama sekali aku tidak bisa, Ko-ji, kau bisa tidak?"   "Akupun tidak bisa! Kukira engkau lebih cantik jika rambut tidak tersisir,"   Ujar Nyo Ko.   "Apa ya?"   Siao-liong-Ii tersenyum.   ia lantas memakai anting2 dan gelang serta perhiasan kepala lainnya, di bawah cahaya lilin sungguh cantik molek tak terperikan.   Dengan ber-seri2 ia menoleh pada Nyo Ko, maksudnya supaya dipuji beberapa patah kata oleh anak muda itu.   Tapi dilihatnya wajah Nyo Ko ada bekas air mata, jelas anak muda itu sedang berduka, Siao-liong-li berusaha menahan perasaan dan anggap tidak tahu, dengan tersenyum ia bertanya pula.   "Ko-ji, bagus tidak dandananku ini?"   "Ba... bagus sekali!"   Jawab Nyo Ko dengan rada terguguk.   "lni kupasangkan kopiahnya."   Segera ia angkat kopiah pengantin ke belakang si nona dan dipasang di atas kepalanya.   Dari bayangan cermin dapatlah Siao-liong-li melihat anak muda itu telah mengusap air matanya dengan lengan baju, ketika berada di belakangnya anak muda itu sengaja memperlihatkan wajah riang-nya serta berkata.    Pengelana Rimba Persilatan Karya Huang Yi Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung

Cari Blog Ini