Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 6


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 6


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   Melihat ini, seketika Nyo Ko naik darah dan timbul pikiran pemdek, mendadak ia berjongkok hendak terjun ke dalam jurang, syukur sebelum itu sekilas terlihat olehnya di samping terdapat sebuah batu besar dan letaknya miring.   Dalam keadaan gusar, Nyo Ko sudah tidak memikirkan akibat2nya lagi segera ia dorong batu besar itu yang memang kelihatan miring, betul juga ia merasakan batu besar ini ber-goyang2, segera ia melompat mundar ke belakang batu, sekuatnya ia dorong, maka terdengarlah suara gemuruh hebat memecah angkasa, batu besar itu menggelinding ke bawah bukit dengan cepat luar biasa, batu, kedua saudara Bu menyadari juga gelagat jelek.   Di lain pihak demi melihat Nyo Ko mendorong muka mereka menjadi pucat, segera akan menyingkir namun sudah kasip, dengan mata terbelalak mereka lihat pasir berhamburan dari atas kepala, seketika mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat.   Dalam detik yang sangat berbahaya itu, mendadak mereka merasa punggung mereka se-akan2 ditarik, tahu2 tubuh mereka mumbul ke udara, menyusul mana terdengarlah suara kaokan burung rajawali tubuh mereka sudah dibawa terbang melintasi bukit.   Kiranya sepasang burung rajawali itu lagi terbang memain di atas udara, menggelindingnya batu besar tadi telah dilihat mereka, syukurlah dengan cepat kedua burung ini masih sempat menolong jiwa Tun-si dan Siu-bun.   Sementara batu besar tadi dengan menerbitkan suara gemuruh keras, tidak sedikit pepohonan telah diterjangnya hingga akhirnya menggelinding masuk kelaut.   Ui Yong mendengar juga suara kaokan rajawali yang menandakan rasa kuatir tadi disusul pula suara gemuruh yang aneh, maka lekas2 ia berlari keluar dari rumah, tertampak olehnya debu pasir berhamburan puterinya kelihatan bersembunyi di semak2 pinggir gunung, dalam takutnya sampai anak perempuan ini tak sanggup mengeluarkan suara tangisan.   Dalam pada itu kedua burung rajawali yang mencengkeram kedua saudara Bu dengan pelahan kemudian turun kehadapan Ui Yong sambil tegang leher dan pentang sayap, kedua burung ini seperti lagi unjuk jasa mereka dihadapan sang majikan.   Dengan aleman Kwe Hu menjatuhkan diri ke dalam pangkuan sang ibu, lalu menangis ter-sedu2, sesudah menangis sejenak, kemudian baru ia ceritakan cara bagaimana ia telah dipukul Nyo Ko.   ia ceritakan juga bagaimana kedua saudara Bu telah membela dirinya dan Nyo Ko telah mendorong batu besar itu hendak menggilas mati kedua bocah itu.   Demikianlah ia tumplekkan semua kesalahan pada Nyo Ko, tetapi ia sendiri menginjak mati jangkerik orang dan cara bagaimana kedua saudara Bu memukul Nyo Ko, semua ini dia tutup dan tidak dituturkan Sehabis mendengar, Ui Yong kelihatan termangu2, ia tidak bersuara.   Dalam pada itu Kwe Ceng sudah menyusul datang juga, waktu ia lihat muka dan baju Tun-si berlepotan darah, ia kaget ia tanya sebab-musababnya, dalam hati iapun merasa marah.   Tetapi ia kuatir pula terjadi sesuatu atas diri Nyo Ko, maka lekas2 ia lari ke atas bukit buat mencarinya.   Akan tetapi meski ia sudah mencari kian kemari, dari depan sampai belakang bukit ternyata sama sekali tidak nampak bayangan bocah itu.   "Ko-ji, Ko-ji!"   Ia berteriak, Namun tetap tidak ada suara sahutan.   Teriakannya ini dia lakukan dengan keras dan di atas bukit, dalam lingkaran seluas belasan li pasti dengar akan suaranya, tetapi aneh, tetap Nyo Ko tidak kelihatan.   Sesudah menunggu lagi dan tetap masih belum berhasil, Kwe Ceng menjadi makin kuatir, segera ia dayung sebuah perahu kecil mengelilingi pulau buat mencari, tetapi sampai petang masih belum juga diketemukan jejak Nyo Ko.   Kiranya sehabis dorong batu pegunungan yang besar itu dan menyaksikan pula kedua rajawali berhasil menolong kedua saudara Bu, dari jauh Nyo Ko melihat pula Ui Yong keluar dari rumah, ia tahu sekali ini dirinya pasti akan didamperat habis2an, oleh karena itu ia lantas sembunyi di sela2 batu cadas yang besar dan tak berani keluar, ia dengar juga suara panggilan Kwe Ceng, namun ia tak berani menyahut.   Begitulah dengan menahan lapar Nyo Ko sembunyi di antara sela2 batu cadas, ia tak berani sembarang bergerak, ia lihat cuaca mulai remang2 hingga akhirnya menjadi gelap.   Selang tak lama, kerlipan bintang2 di langit diiringi pula hembusan angin laut yang silir semilir, Nyo Ko merasakan badannya rada menggigil.   Ia keluar dari tempat sembunyinya dan memandang ke bawah, ia lihat rumah yang terbangun bagus dibawah sana sudah ada sinar lampu, ia membayangkan saat itu tentunya Kwe Ceng dan Ui Yong suami isteri, Kwe Hu dan kedua saudara Bu sedang mengitari meja dan bersantap, terbayang pula olehnya diatas nnya yang penuh dengan lauk-pauk, daging ayam, itik dan lain2 yang enak2, tanpa terasa ia menelan liur beberapa kali.   Akan tetapi segera terpikir pula olehnya pasti mereka sedang mencaci maki habis2an padanya, teringat akan ini, tanpa tertahan Nyo Ko meluap juga amarahnya.   Bocah berusia sekecil dia ini, dalam malam gelap yang diselingi tiupan angin laut berdiri di atas bukit karang, dalam hatinya yang dipikir adalah nasibnya jing selalu dihina orang saja, maka terasalah olehnya se-akan2 setiap manusia di bumi ini semuanya memandang rendah padanya, perasaannya seketika bergolak, ia merasakan getirnya seorang anak piatu dan sesalkan akan nasib sendiri.   Padahal apa yang Nyo Ko bayangkan ini sebenarnya salah sama sekali justru karena tidak ketemukan Nyo Ko, Kwe Ceng tak bisa bersantap dengan hati tenteram ? Nampak suaminya merasa kesal, Ui Yong tahu percuma saja meski dia menghiburnya, maka iapun tidak jadi makan sendirian melainkan terus kawani sang suami duduk terdiam saja menghadap meja.   Begitulah suami-isteri itu tidak bisa tidur semalaman, Besok paginya, belum terang tanah kedua orang sudah lantas keluar buat mencari Nyo Ko lagi.   Dilain pihak sesudah Nyo Ko menderita lapar sehari semalam, besoknya pagi2 sekali bocah ini sudah tak tahan lagi, ia mengeluyur turun, ditepi sungai ia berhasil menangkap beberapa ekor Swike atau kodok hijau, ia beset kulitnya dan kumpulkan kayu kering, ia bermaksud akan makan kodok panggang, ia sudah biasa bergelandangan maka cara makan sedemikian ini sudah biasa dilakukannya.   Tetapi karena kuatir asap apinya dilihat Kwe Ceng, maka ia membakar kayu kering itu di dalam sebuah gua, selesai paha kodok yang dia panggang segera ia sirapkan api terus menggerogoti kodok itu dengan lahap, mungkin saking laparnya, ia merasakan lezat dan nikmat sekali Swike panggang itu.   Selagi ia mengunyah daging kodoknya dengan penuh cita rasa, tiba2 ia dengar ada suara kresekan di luar gua dan disusul dengan suara yang mendesis, ia kenali itu adalah suara merayap dan menyemburnya sebangsa ular.   Sambil masih menggerogoti paha kodoknya, segera Nyo Ko jalan ke mulut gua, betul saja di sana ia lihat ada seekor katak sedang menghadapi seekor ular kembang yang panjangnya hampir tiga kaki, kedua binatang ini sedang saling pandang tanpa bergerak, Selang tak lama, mendadak ular kembang itu melonjak terus terjang katak itu.   Namun katak itu sudah siap sedia, tiba2 terdengar suara "kok-kok"   Dua kali, katak ini mengap mulutnya dan menyemburkan uap yang tipis, berbareng ini tubuhnya berkelit sedikit untuk hindarkan tubrukan ular tadi.   Karena kena uap berbisa yang disemburkan katak tadi, ular kembang itu lantas berjumpalitan terus jatuh terjungkal ke tanah, habis ini segera ular itu melingkar dan tegak kepala menghadapi lawannya pula.   Nyo Ko jadi ketarik oleh pertarungan katak lawan ular ini, ia pikir tubuh katak kasar dan berat, pula tidak punya gigi, akan tetapi ternyata berani bertarung melawan seekor ular yang tidak terbilang kecil itu, sungguh harus dibuat heran.   Ia lihat kedua binatang itu masih saling gebrak dengan ramainya, tiap2 kali ular kembang itu menyerang dan menubruk, pasti si katak ada jalan buat batas menyerang, Kalau yang menyerang aneka macam gaya perubahannya, maka yang bertahan pun banyak sekali tipu akalnya untuk menjaga diri.   Meski gigi ular kembang itu sangat tajam, namun tetap tak dapat mengalahkan si katak.   Tak lama lagi, karena ber-ulang2 kena disembur uap berbisa si katak, gerak-gerik ular kembang itu mulai lamban dan kaku, makin lama malah makin terdesak di bawah angin, sampai akhirnya rupanya insaf bukan tandingan lawannya lagi, mendadak ular itu putar tubuh terus menyelinap masuk ke dalam semak.   Katak itu ternyata tidak membiarkan musuhnya lari begitu saja, sambil mengeluarkan suara "kok-kok-kok", segera ia menguber.   Melihat gerak-gerik katak itu dan mendengar suaranya, hati Nyo Ko tergerak, ia merasa gerak-gerik katak ini meski sangat aneh, tetapi tanpa terasa dirinya seperti lebih suka padanya, apa sebabnya, inilah ia sendiri tidak mengerti.   Waktu duduk di dalam gua, iapun mendengar suara panggilan Kwe Ceng.   "Hm, kau panggil aku keluar untuk kemudian menghajarku, kalau aku mau keluar kan tolol!"   Demikian ia membatin. Begitulah malamnya ia tidur dalam gua itu sambil terduduk, dalam keadaan layap2 tiba2 ia lihat Auwyang Hong masuk ke dalam gua dan berkata padanya.   "Marilah anakku, biar aku ajar kau berlatih ilmu!"   Nyo Ko menjadi girang, ia ikut keluar gua, di sana ia lihat Auwyang Hong lantas berjongkok sambil bersuara "kok-kok"   Beberapa kali, lalu kedua telapak tangannya mendorong ke depan.   Entah mengapa, Nyo Ko merasakan seluruh tubuhnya luar biasa gesitnya, ia tiru cara2 orang dan berlatih, terasa olehnya tiap pukulan dan tendangannya tiada satupun yang keIiru.   Hingga suatu saat tiba2 Auwyang Hong memukulnya, karena tak keburu berkelit "plak", ubun2 kepalang kena diketok hingga terasa sakit tidak kepalang, saking tak tahannya sampai ia menjerit dan melonjak.   Akan tetapi kembali terdengar suara "plok", lagi kepalanya kena diketok, dalam kagetnya Nyo Ko menjadi sadar dan...   busyet, hanya mimpi belaka.   Waktu ia raba2 kepalanya, ternyata sudah benjol benjut karena benturan pada dinding gua tadi.   ia menghela napas panjang dan keluar gua, ia lihat keadaan sunyi senyap, cakrawala yang membentang lebat di atas itu se-akan2 berlapiskan layar hitam, hanya beberapa bintik bintang yang berkelap-kelip sekedar penghias alam.   Nyo Ko coba merenungkan apa yang diajarkan Auwyang Hong dalam mimpi tadi, namun sedikitpun dia tidak ingat lagi, tatkala ia coba berjongkok sambil mulutnya menirukan suara "kok-kok"   Beberapa kali, ia bermaksud menggunakan Ha-mo-kang yang diperolehnya dari Auwyang Hong didekat kota Ling-oh-tin tempo hari untuk dipraktekkan sekarang, tapi bagaimanapun ia meng-ingat2nya tetap tidak dapat disalurkan melalui tangan atau kakinya.   Seorang diri ia berdiri dipuncak bukit sambil memandangi lautan yang begitu luas, terasa kekosongan hatinya semakin menjadi hampa.   Tiba2 dari arah lautan sana sayup2 terdengar suara teriakan orang yang keras panjang sedang memanggil-manggilnya.   "Ko-ji, Ko-ji!"   Mendengar suara panggilan yang penuh daya tarik ini, tanpa kuasa lagi Nyo Ko ber-lari2 turun ke bawah gunung.   "Aku berada disini, aku berada disini."   Demikian ia berseru menjawab.   Walaupun suara anak ini tidak begitu keras, tetapi Kwe Ceng sudah dapat mendengarnya, maka lekas2 perahunya didayung menuju ke tempat Nyo Ko berada, sesudah berjarak beberapa tombak dari pesisir, dengan sekali lompat segera Kwe Ceng meninggalkan perahunya, maka tertampaklah di bawah cahaya bintang yang remang2 dua sosok bayangan orang pe-lahan2 makin mendekat, dengan kencang kemudian Kwe Ceng telah berangkul Nyo Ko ke dalam pangkuannya.   "Marilah lekas pulang bersantap,"   Demikianlah kata2 yang tercetus dari mulut Kwe Ceng, Saking terharunya sampai suaranya rada serak dan gemetar.   Begitulah, setelah kedua orang berada kembali dalam rumah, segera Ui Yong siapkan nasi hangat dan lauk-pauk untuk Nyo Ko, terhadap kejadian yang telah lalu, sepatah-katapun tidak di-ungkat2nya.   Besok paginya, keempat anak.   Nyo Ko, Kwe Hu dan kedua saudara Bu, Tun-si dan Siu-bun, oleh Kwe Ceng telah dikumpulkan diruangan besar, lalu Kwa Tin-ok diundang hadir pula, kemudian keempat anak itu disuruh menjura di hadapan abu pemujaan Kanglam-lak-koay (enam orang kosen dari Kanglam) yang sudah dialam baka itu.   "Toa-suhu,"   Demikian Kwe Ceng berkata kepada Kwa Tin-ok.   "hari ini Tecu (anak murid) mohon idzin Suhu agar diperbolehkan menerima empat cucu muridmu ini."   "Bagus, bagus sekali,"   Sahut Kwa Tin-ok bergirang.   "Nah, terimalah ucapan selamatku ini!"   Nyo Ko bersama Tun-si dan Siu-bun lantas menjura pada Kwa Tin-ok. habis ini baru memberi hormat pada Kwe Ceng dan Ui Yong sebagai upacara pengangkatan guru.   "Apa akupun harus menjura, ibu?"   Dengan tertawa Kwe Hu bertanya.   "Sudah tentu,"   Sahut Ui Yong.   Karena itu, dengan tertawa haha-hihi anak nakal inipun menyembah pada ketiga orang tua itu.   Mulai hari ini kalian berempat adalah saudara seperguruan demikian Kwe Ceng memberi petuah dengan sungguh2 dan keren, oIeh karena itu juga seterusnya kalian harus hormat-menghormati daa cinta-mencintai, ada kesulitan sama2 dipikul.   Kalau kalian berempat berani berkelahi lagi, pasti tidak akan kuampuni."   Habis berkata ia pandang pula sekejap pada Nyo Ko.   "Tentu saja kau mengeloni anakmu sendiri,"   Demikian Nyo Ko membatin dalam hati.   "Biarlah selanjutnya aku tidak akan sentuh dia lagi."   MenyusuI sebagai kakek gurunya, Kwa Tin-ok ikut menjelaskan juga peraturan perguruan yang sudah umum, yakni tak boleh menganiaya orang yang lebih lemah, tak boleh membantu yang jahat sehingga semakin jahat, tak boleh mencelakai orang yang tak berdosa dan lain sebagainya.   "llmu silat yang kupelajari terlalu banyak macamnya,"   Demikian Kwe Ceng berkata lagi.   "kecuali dasar yang kudapat dari Kanglam-chit-koay (tujuh orang aneh dari Kanglam, Lak-koay tersebut di atas sudah wafat, ditambah Kwa Tin-ok), ilmu Lwekang dari Coan-cin-pay dan ilmu silat ketiga aliran persilatan terbesar dari Tang-Lam-Pak (Timur-Selatan-Utara, maksudnya, dari Tang-sia, Lam-te dan Pak-kay), tentang ini akan diceritakan tersendiri, kesemua meski hanya sedikit, tetapi kacang jangan lupa akan kulitnya, sebagai orang jangan lupa akan asalnya, biarlah hari ini aku ajarkan kalian kepandaian asal dari Kwa-suco (kakek guru she Kwa, maksudnya Kwa Tin-ok)."   Dan selagi ia hendak uraikan titik2 pokok ajarannya, tiba2 Ui Yong melihat Nyo Ko sedang menunduk dengan terkesima, pada wajah anak ini ada semacam tanda aneh yang sukar diucapkan, tanpa terasa ia jadi ingat pada berbagai kejadian yang mencurigakan tempo hari itu.   "Meski ayahnya bukan aku sendiri yang membunuhnya, tapi boleh dikatakan juga mati di tangan-ku, jangan2 piara macan mendatangkan bencana hingga menjadi bibit malabetaka yang besar,"   Demikian pikir Ui Yong. Setelah putar otak sejenak, segera ia mendapatkan suatu jalan.   "Seorang diri kau terlalu berat mengajar empat anak, biarlah aku yang mengajar Ko-ji,"   Katanya kemudian.   "Bagus, bagus sekali usulmu !"   Seru Kwa Tin-ok dengan ketawa sebelum Kwe Ceng menjawab.   "Dan kalian suami isteri boleh berlomba, lihat saja murid siapa kelak yang terpandai."   Mendengar usul isterinya ini, dalam hati Kwe Ceng bergirang juga, ia tahu kepintaran Ui Yong beratus kali di atas dirinya, cara mengajarnya pasti jauh lebih baik daripadanya, maka ber-ulang-2 ia pun menyatakan bagus dan akur.   "Tetapi kita harus menetapkan satu syarat,"   Demikian Ui Yong kemukakan pendapatnya lagi.   "Sekali-kali tak boleh kau mengajarkan Ko-ji, sebaliknya akupun tidak boleh mengajar mereka bertiga. Pula diantara keempat anak inipun tak boleh saling belajar, sebab kalau ilmu yang dilatihnya bercampur aduk, hanya ada jeleknya dan tiada paedahnya."   "Ya, sudah tentu."   Sahut Kwe Ceng setuju lagi.   "Nah, Ko-ji, ikutlah padaku,"   Kata Ui Yong.   Memang-nya Nyo Ko sedang benci pada Kwe Hu serta kedua saudara Bu itu, kini mendengar keinginan Ui Yong bahwa dirinya tidak akan berlatih setempat dengan mereka, ini justru cocok dengan pikirannya, maka ia lantas ikut Ui Yong masuk ke ruangan dalam.   Di luar dugaannya, bukannya Ui Yong membawanya ke lapangan berlatih silat melainkan ia dibawa ke kamar baea, disini Ui Yong- mengambil sebuah kitab dari rak buku dan berkata padanya.   "Gurumu mempunyai tujuh orang Suhu yang dijuluki Kanglam-chit-koay, Toasuhu ialah Kwa-kong-kong itu, Jisuhu (guru kedua) bernama Cu Jong dan berjuluk Biau-jiu-su-seng si sastrawan bertangan sakti), maka kini lebih dulu aku ingin ajarkan kepandaian Cu-suco saja."   Sembari berkata ia lantas buka kitab yang dia ambil dari rak tadi, dengan suara lantang segera ia membacanya.   Dalam hati Nya Ko menjadi heran, namun ia tak berani banyak bertanya, terpaksa ia ikut membaca dan belajar menulis, Begitulah be-runtun2 beberapa hari ia hanya di-ajar membaca oleh Ui Yong dan selamanya tidak pernah menyinggung tentang ilmu silat.   Suatu hari, sehabis berseko!ah, seorang diri Nyo Ko ber-jalan2 iseng ke atas gunung, tiba2 ia teringat pada nyali angkatnya yaitu Auyang Hong yang tidak diketahuinya berada dimana kini, Teringat pada sang ayah angkat tak tahan lagi ia lantas berjumpalitan dan menjungkir tubuh, ia menirukan cara yang pernah dipelajarinya itu, tubuhnya yang menjungkir itu segera berputar cepat Setelah ber-putar2 dengan menjungkir, kemudian ia ikuti petunjuk yang pernah diterimanya dari Auw-yang Hong untuk menjalankan jalan darah secara terbalik, terasa olehnya semakin berputar semakin lancar.   Kemudian waktu ia melompat bangun, mendadak ia berseru "kok"   Sekali berbareng kedua telapak tangannya dipukulkan ke depan, habis ini ia merasa seluruh badan menjadi segar dan enak sekali, segera pula mengeluarkan keringat hingga membasahi sekujur badan.   Nyata ia tidak tahu bahwa dengan latihannya ini tenaga dalamnya sudah maju jauh sekali.   Hendaklah diketahui bahwa ilmu yang diciptakan Auwyan Hong yang khas itu meski bukan tergolong ilmu yang baik, tetapi justru merupakan semacam ilmu kepandaian yang luar biasa lihaynya, pula pembawaan Nyo Ko memang berotak encer dan mudah menerima, apa yang dia pelajari dalam tempo yang singkat meski cuma sedikit, namun tanpa terasa dan diluar tahu ia sudah menuju ke aliran ilmu silat Pak to-san (gunung Onta putih).   Sejak itulah, maka tiap2 hari Nyo Ko lantas belajar sekolah dengan Ui Yong, kalau pagi atau petang-nya ada kesempatan segera ia pergi ke tempat sunyi di kaki bukit untuk melatih diri, sebenarnya bukan maksudnya ingin melatih diri agar bisa menjadikan seorang kosen yang disegani, tetapi entah mengapa, tiap2 kali sehabis ia berlatih, selalu dirasakannya luar biasa enak dan segar badannya.   Demikianlah secara diam2 Nyo Ko melatih ilmu sendiri, Kwe Ceng dan Ui Yong sedikitpun ternyata tidak tahu.   Maka tiada sebulan, kitab 'Lun-gi' (salah satu kitab ajaran Nabi Khongcu) yang Ui Yong jadikan mata pelajaran untuk Nyo Ko sudah selesai semua, Begitu apal isi kitab tsb, sampai Nyo Ko sanggup membaca-di luar kepala, cuma isi dan arti kitab yang diajarkan itu, sama sekali ia anti, tidak setuju, maka seringkali ia sengaja kemukakan bantahan2.   Padahal Ui Yong sendiripun seribu kali tidak sepaham dengan segala isi kitab yang diajarkan Khong-hucu itu, ia sendiri sesungguhnya juga jemu, hanya lapat2 perasaannya se-akan2 punya firasat.   "Kalau anak ini diberi pelajaran ilmu silat, kelak pasti akan menjadi bibit bencana saja, lebih baik kalau ajarkan dia ilmu sastra, biar dia kenyang dengan teori2 isi kitab saja, buat dia dan buat orang lain mungkin malah ada baiknya."   Dengan ketetapan itulah, dengan maksud baik ia mengajar Nyo Ko bersekolah, Maka sehabis kitab "Lun-gi"   Lantas disusul dengan kitab "Beng-cu".   Karenanya, beberapa bulan sudah lewat, selama itu tidak pernah Ui Yong berbicara sepatah-katapun tentang ilmu silat.   Nyo Ko cukup tahu diri juga, melihat orang tidak omong, iapun tidak mau tanya, hanya hidup di pulau ini dirasakan semakin hampa, ia tahu pula meski Kwe Ceng menerima dirinya sebagai murid, tetapi ilmu silat pasti tidak akan diajarkan padanya, Sedang kini saja ia bukan tandingan Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, apalagi setahun atau dua tahun lagi jika mereka mendapat pelajaran silat dari Kwe Ceng, bila mereka berkelahi lagi pasti ia akan mampus ditangan mereka.   Karena pikiran inilah, ia ambil keputusan, apabila ada kesempatan segera ia akan berdaya-upaya buat meninggalkan pulau, Pada satu sore hari, sehabis Nyo Ko belajar membaca pada Ui Yong, seorang diri ia ber-jalan2 iseng di tepi laut, dengan memandangi ombak laut yang men-dampar2 berdeburan, dalam hati ia pikir entah kapan baru bisa melepaskan diri dari kurungan ini, bila terlihat olehnya burung laut yang terbang kian kemari, ia menjadi terharu dan kagum akan kebebasan burung2 yang tak terbatas itu.   Tengah ia ter-menung2, tiba2 ia dengar di balik hutan pohon Tho sana ada suara berkesiurnya angin, ia jadi tertarik, diam2 ia memutar ke sebelah sana dan mengintip, maka tertampaklah olehnya, Kwe Ceng sedang memberi pelajaran silat pada kedua saudara Bu disuatu tanah lapang.   Ia lihat Kwe Ceng sedang memberi petunjuk3 sambil kaki-tangannya memberi contoh dan menyuruh ketiga saudara Bu itu menirukannya.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Bagi Nyo Ko yang cerdas, hanya sekali lihat saja ia sudah tahu di mana letak intisari jurus tipu ini, tapi bagi Bu Tun-si dan Bu Siu-bun, walau sudah belajar pergi datang, masih belum juga mereka pahami.   Kwe Ceng sendiri memangnya juga berotak puntuI, pada waktu kecilnya ia sendiri sudah merasakan pahit-getirnya belajar, maka kini sedikitpun ia tidak merasa jemu dan masih terus memberi dengan petunjuk dengan penuh sabar.   "Hm, jika Kwe-pepek mau ajarkan padaku, tidak nanti aku begitu goblok seperti mereka,"   Kata Nyo Ko di dalam hati sambil menghela napas diam2.   Oleh karena kesal hati, dia lantas kembali ke kamarnya untuk tidur.   Petangnya sehabis bersantap dan setelah mengulangi pelajaran kitabnya terasa olehnya luar biasa isengnya, maka ia pergi ke tepi laut lagi, di sana ia menirukan gerak-gerik ilmu silat yang dimainkan Kwe Ceng siang tadi.   Namun tipu silat yang cuma dua tiga gerakan ini, sesudah dimainkan pergi datang, akhirnya ia merasa bosen juga.   Tiba2 hatinya tergerak.   "Mulai besok, diam2 akan mengintip dan mencuri belajar ilmu silatnya, siapa yang melarang aku?"   Demikian ia pikir.   Oleh karenanya rasa mendongkolnya yang tertahan sekian lamanya segera menjadi lapang, dengan berpeluk dengkul ia duduk bersandar batu karang tepi laut, akhirnya iapun tertidur.   Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam alam impiannya ketika tiba2 ia dikagetkan bunyi suara rantai besi yang gemerincing hingga ia terjaga dari tidurnya, waktu ia mengintai dari belakang batu karang itu, kiranya di tepi laut sana telah bertambah dengan sebuah perahu layar, suara gemerincing rantai tadi kiranya disebabkan perahu layar itu membuang sauh buat berlabuh.   Tak antara lama, dari perahu itu muncul dua orang terus melompat ke daratan, gerak tubuh mereka ternyata cepat dan sebat luar biasa.   Setelah berada di daratan, mula2 kedua orang itu mendekam dan melongak-longok dahulu ke sekeliling habis ini pe-lahan2 mereka merayap maju ke tengah pulau.   Melihat kelakuan kedua orang ini terang tidak mengandung maksud baik, Nyo Ko berpikir.   "Jalanan di pulau ini belak-belok dan lika-liku, kalian ini hanya antar kematian belaka."   Oleh karena itu, ia mengkeret tubuhnya supaya tidak dilihat kedua orang itu, ia tidak berani bergerak, dalam pada itu kedua orang tadi sudah merayap semakin jauh.   Ketika pandangannya mengikuti bayangan kedua orang itu, mendadak ia lihat sesuatu di tempat jauh, tanpa tertahan ia terkejut.   Kiranya dibawah satu pohon Liu ada sesosok bayangan orang yang kecil berbaju putih dengan berjungkir sedang memutar dengan cepat dengan cara sebagaimana biasanya kalau dirinya berlatih ilmu ajaran Auwyang Hong itu, melihat bentuk tubuh orang berjungkiran itu jelas bukan lain lagi dari pada Kwe Hu adanya.   Tentu saja Nyo Ko ter-heran2 melihat kelakuan dara cilik itu.   "Apa Kwe-pepek juga ajarkan ilmu kepandaian semacam ini ?"   Demikian ia ber-tanya2 dalam hati. Tetapi segera pula ia mengerti .   "Aha, tentu pada waktu aku sedang berlatih telah dapat dilihat dia dan sekarang dia menirukan caraku itu untuk main-main."   Dalam pada itu, kedua sosok bayangan tadi sudah makin dekat dengan Kwe Hu, Mungkin saking asyiknya berputar kayun dengan tubuhnya itu, sama sekali Kwe Hu tidak berasa kalau ada orang lain mendekatinya, sesaat kemudian, mendadak kedua orang itu melompat maju, tubuh anak perempuan ini terus dirangkul, seorang lagi dekap mulut yang mungil itu dengan tangannya, sedang yang satu lagi, keluarkan seutas tali terus meringkus seluruh badan Kwe Hu, bahkan mulutnya disumbat dengan sepotong saputangan.   Perbuatan kedua orang itu ternyata cepat dan berhasil dengan baik, hanya sekejap saja mereka sudah meletakkan Kwe Hu yang tak bisa berkutiik itu ke dalam semak2, habis ini mereka melanjutkan merayap ke depan.   Menyakksikan kejadian aneh ini, mulut Nyo Ko sampai ternganga, hatinya pun berdebar-debar dan kuatir pula, ia tidak tahu apa maunya kedua pendatang itu.   Mata Nyo Ko cukup tajam, meski dalam keadaan gelap ia masih bisa melihat jelas gerak-gerik kedua orang tadi, ia lihat sesudah merangikak-rangkak maju lagi, setelah hampir sampai di jalan masuk ke perkampungan, rupanya mereka mengerti juga lihaynya Tho-hoa-to yang sudah diatur oleh Ui Yok-sau, maka mereka tak berani maju lagi, mereka lantas keluarkan sehelai kertas putih, seorang lantas meng-gambar2 di atas kertas itu dengan menggunakan alat tulis, melihat kelakuan mereka, rupanya mereka sedang mencuri melukis peta keadaan pulau ini untuk digunakan kemudian kalau melakukan penyerbuan ke sini.   "Jika sekarang juga aku bertariak, sebelum Kwe- pepek sempat keluar tentu aku sudah dibunuh mereka lebih dulu,"   Demikian diam2 Nyo Ko membikin perhitungan dalam hati..Mendadak pikirannya tergerak, tiba2 ia ambil suatu keputusan yang luar biasa beraninya.   "Ya, biar diam2 aku masuk ke dalam perahu mereka, jika beruntung tidak konangan mereka, tentu aku akan berhasil melarikan diri dari pulau ini,"   Demikian ia berpikir. Sesudah ambil keputusan ini, iapun tidak pusing apa perbuatannya ini berbahaya tidak, segera ia me-rayap2 mendekati perahu yang berlabuh itu. Setelah dekat, selagi ia hendak merayap ke atas perahu, tiba2 terdengar suara "krak"   Dari dalam perahu, menyusul ini papan geladak perahu itu terbuka, dari dalamnya menongol satu orang untuk kemudian melompat ke pesisir.   Tidak kepalang kaget Nyo Ko oleh munculnya orang yang se-konyong2 ini, lekas2 ia mendekam ke bawah lagi.   Sementara kedua orang yang duluan tadi rupanya telah mendengar juga, yang seorang memondong Kwe Hu, satunya lagi lantas kembali ke perahu hendak memeriksa apa yang terjadi.   Akan tetapi orang yang muncul belakangan ini telah sembunyi di belakang gundukan pasir tepi laut, ia tidak memapaki kedua orang yang duluan, nyata mereka bukan kawan sendiri.   Waktu itu Nyo Ko berada di belakang orang yang muncul belakangan itu, maka ia bisa menyakitkan semua dengan terang, makin lihat ia semakin heran, ia lihat yang pondong Kwe Hu itu telah kembali ke dalam perahu, sedang kawannya menengok sekelilingnya dan mendekati gundukan pasir tadi, namun orang yang sembunyi itu masih belum ber-gerak, ia menunggu ketika orang sudah dekat, se-konyong2 ia melompat keluar, diantara berkelebatnya sinar putih, sekali serang saja ia telah tancapkan belatinya di atas dada orang.   Tidak ampun lagi tanpa bersuara sedikitpun, orang yang diserang itu roboh terguling.   Mendengar suara gedebukan karena jatuhnya tubuh itu, orang yang berada di atas perahu tadi rupanya menjadi curiga.   "Lo-toa, ada apa ?"   Ia coba tanya sang kawan. Lekas2 penyerang tadi mencabut belatinya, ia sembunyi pula ke belakang gundukan pasir dan menjawab dengan suara yang ditahan dan di-bikin2.   ""Aneh, aneh !"   Mendengar suara yang samar2, tetapi lama juga tidak melihat kawannya kembali orang di dalam perahu menjadi khawatir, dengan langkah lebar segera ia menuju gundukan pasir tadi.   Melihat orang tinggalkan perahunya, Nyo Ko pikir jangan sia2kan kesempatan baik ini, maka dengan cepat ia merayap ke tepi perahu, ia niat mengangkat sauh untuk kemudian menjalankan perahunya.Pada saat itu juga terdengar olehnya suara jeritan ngeri, nyata belati si pembunuh tadi telah ambil korban lagi.   Sementara itu Nyo Ko lagi angkat rantai jangkar tapi sebelum jangkar kena ditarik, rantai besi itu sudah mengeluarkan suara gemerincing lebih dulu.   Karenanya ia tahu gelagat jelek, segera ia hendak melarikan diri, namun sudah terlambat, ia lihat si pembunuh tadi dengan mulut menggigit belati yang masih-teteskan darah telah melompat ke atas perahu.   Di bawah sinar bulan Nyo Ko dapat melihat pakaian orang yang compang-camping, mukanya penuh noda darah, rupanya beringas menakutkan.   Keruan Nyo Ko menjadi kelabakan bingung, Dalam keadaan demikian otomatis ia berjongkok, mulutnya bersuara "kak-kok"   Dua kali, kedua telapak tangannya mendadak didorong kedepan pula.   Tatkala itu kaki orang tadi belum sempat menancap di atas perahu, karena serangan Ha-mo-kang ini dalam keadaan masih terapung di udara orang itu mendadak jatuh terjengkang kebelakamg dan terbanting masuk laut habis ini sedikitpun tidak berkutik lagi.   Karena serangan ini, Nyo Ko berbalik terkesima malah, ia terpaku di tempatnya dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lebih lanjut.   "He, Ha-mo-kang ini kau dapat belajar dari mana ? Dan Auwyang Hong mana dia ?"   Tiba2 terdengar suara teriakan Ui Yong dari jauh.   Ketika Nyo Ko angkat kepalanya, terlihat bagaikan terbang cepatnya Kwe Ceng dan Ui Yong sedang mendatangi.   Agaknya karena mendengar suara2 yang mencurigakan dan kehilangan Kwe Hu, maka mereka lekas2 datang mencarinya.   Dalam pada itu saking ketakutan tadi, semangat Nyo Ko masih belum pulih, lebih2 ia tidak mengerti Ha-mo-kang yang biasa dilatihnya untuk main2 belaka ternyata bisa begini lihay, oleh karena itulah ia masih ter-mangu2 dan tidak menjawab seruan Ui Yong tadi.   Waktu kemudian Kwe Ceng menarik dan memeriksa orang yang kecemplung ke laut itu, tiba2 ia berseru kaget.   "Yong-ji, ini kawan dari Kay-pang" (kaum pengemis)."   Pada dada orang itu terdapat noda darah, napasnya sudah lama putus. Ui Yong menjadi gusar bercampur kaget, nampak keadaan luka orang itu, dengan sekali cengkeram ia pegang lengan Nyo Ko dan menanya dengan suara bengis .   "Hayo, katakan !"   Cengkeraman Ui Yong ini dirasakan sakit sekali pada lengan Nyo Ko, tetapi ia mengertak gigi dengan kencang, ia menahan sakit dan tetap tutup mulut tanpa menjawab.   Ketika Kwe Ceng menoleh, tertampak olehnya di belakang gundukan pasir sana menggeletak dua orang puIa, lekas ia melompat ke sana buat memeriksanya, ia dapatkan pula peta yang digambar kedua orang itu.   "He, Yong-ji, lekas sini!"   Serunya pada sang isteri.   Segera Ui Yong melepaskan Nyo Ko dan mendekati Kwe Ceng, di belakang gundukan pasir itu mereka berembuk dengan suara pelahan sampai lama.   Dalam pada itu kejadian ini telah diketahui Kwa Tin-ok juga, orang inipun menyusul tiba, maka mereka lantas berunding bertiga orang.   Sesudah bicara agak lama, kemudian Kwe Ceng melepaskan puterinya dahulu dari ringkusan musuh tadi, habis ini ia berkata pada Nyo Ko.   "Ko-ji, kau kurang cocok tinggal di pulau ini, biar aku antar kau ke Tiong-yang-kiong di Cong-lam-sam, di sana kau bisa belajar silat di bawah petunjuk Tiang-jim-cu Khu-cinjin dari Coan-cin-kau."   Keputusan yang diambil Kwe Ceng secara tiba2 ini, seketika Nyo Ko menjadi bingung se-akan2 kehilangan sesuatu, maka ia hanya mengangguk pelahan saja.   Maka besok paginya, setelah membekal perlengkapan seperlunya berangkatlah Kwe Ceng bersama Nyo Ko sesudah mohon diri pada Ui Yong serta Kwe Hu dan kedua saudara Bu, mereka berlayar menuju pantai timur daerah Tjiatkang.   Sesudah mendarat, Kwe Ceng beli dua ekor kuda dan melanjutkan perjalanan ke utara bersama Nyo Ko.   Selamanya belum pernah Nyo Ko menunggang kuda, tetapi karena Lwekang yang dia latih sudah ada dasarnya, maka setelah berlari beberapa hari sudah cukup pandai dan bisa menguasai binatang tunggangannya, Bahkan karena hati-mudanya, setiap hari ia malah melarikan kudanya didepan Kwe Ceng.   Tidak seberapa hari, sesudah menyeberangi Hong-ho (Huangho, sungai Kuning), mereka telah memasuki daerah Siamsay.   Tatkala itu negeri Kim (Chin) sudah dibasmi oleh bangsa Mongol (Jengis Khan beserta putera2nya), maka di utara Hong-ho boleh dikatakan merupakan dunianya bangsa Mongol.   Dimasa mudanya Kwe Ceng sendiri pernah menjabat sebagai panglima dalam pasukan Mongol (ia pernah diangkat menjadi menantu Tumujin yang kemudian terkenal sebagai Jengis Khan), ia kuatir kalau kesamplok dengan bekas bawahannya dan mungkin akan mendatangkan kesulitan, maka dia lantas tukarkan kuda mereka dengan keledai yang kurus dan jelek, ia ganti pakaian pula dengan baju yang terbuat dari kain kasar, ia menyamar seperti orang desa atau kaum petani saja.   Berlainan dengan Nyo Ko yang berhati muda, sesungguhnya dalam hati ia seribu kali tidak sudi memakai baju yang berbau kampungan seperti Kwe Ceng itu, tetapi selamanya ia tak berani bantah kata2 sang paman, maka terpaksa dia mengenakan baju kasar, kepalanya dibelebat pula dengan ikat kain biru.   dan menunggang keledai yang kurus jelek.   Justru keledai yang dia tunggangi ini buruk pula wataknya, jalannya sudah lambat, berulang kali masih ngambek lagi, maka sepanjang jalan selalu Nyo Ko cekcok saja dengan binatang tunggangannya ini.   Hari itu mereka telah sampai di daerah Hoanjoan, tempat ini indah permai pemandangan alamnya.   Melihat keindahan alam semesta yang menarik ini, meski sejak meninggalkan Tho-hoa-to dan karena mendongkol hatinya hingga selama ini tidak pernah Nyo Ko menyebut lagi tentang pulau bunga Tho itu, namun kini tanpa tertahan ia membuka suara.   "Kwe-pepek, tempat ini hampir mirip dengan Tho-hoa-to kita,"   Demikian ia bilang pada Kwe Ceng. Hati Kwe Ceng memang luhur dan berbudi, mendengar anak ini bilang "Tho-hoa-to kita", tanpa terasa ia jadi terharu.   "Ko-ji,"   Sahutnya kemudian.   "Cong-lam-san sudah tidak jauh lagi dari sini, ilmu silat Coan-cin-kau adalah ilmu kepandaian terkemuka di bumi ini, selanjutnya kau harus belajar secara baik2. Beberapa tahun lagi tentu aku akan datang lagi buat menjemput kau pulang ke Tho-hoa-to."   Mendengar kata2 terachir ini, cepat Nyo Ko melengos.   "Tidak, selama hidupku ini tidak akan kembali lagi ke Tho-hoa-to,"   Katanya kemudian. Sama sekali diluar dugaan Kwe Ceng bahwa anak semuda Nyo Ko ini bisa mengucapkan kata2 yang begitu ketus dan tegas, maka dia tertegun seketika tiada kata2 lain yang bisa dia ucapkan.   "Apa kau marah pada Kwe-pekbo (bibi)?"   Tanyanya kemudian.   "Mana Titji (keponakan) berani ?"   Sahut Nyo Ko.   "Malahan Titji selalu membikin Kwe-pekbo marah."   Jawaban yang tajam ini bikin Kwe Ceng bungkam, memangnya dia tidak pandai bicara, maka ia tidak menyambung lagi.   Perjalanan selanjutnya mulai menanjak, diwaktu lohor mereka sudah sampai di suatu kelenteng di atas bukit.   Waktu Kwe Ceng mendongak, ia lihat papan nama yang tergantung di atas pintu kelenteng itu tertulis tiga huruf besar 'Gu-tap-si"   Atau kelenteng kepala kerbau.   Mereka tambat keledai pada satu pohon di luar kelenteng, mereka masuk ke dalam untuk minta sedekah sekedar isi perut.   Didalam kelenteng itu ternyata ada tujuh-delapan paderi, nampak dandanan Kwe Ceng yang sederhana dan kotor, mereka mengunjuk sikap dingin, maka sedekah yang diberikan dua mangkok bubur dingin serta beberapa potong kue.   Namun Kwe Ceng menerima saja sedekah makanan seperti itu, bersama Nyo Ko mereka lantas duduk di atas bangku batu di bawah pohon cemara untuk makan.   Pada saat lain, ketika Kwe Ceng berpaling tiba2 ia lihat ada pilar batu di belakang pohon yang sebagian besar tertutup oleh rumput alang2 yang lebat, lapat2 hanya nampak dua huruf "Tiang-jun"   Pada pilar batu itu.   Kwe Ceng tergerak hatinya oleh tulisan itu, ia mendekati dan memeriksanya lebih jelas dengan menyingkap rumput alang2 yang menutupi batu itu, kemudian baru ia ketahui di atas batu itu terukir sebuah syair gubahan Tiang-jun-cu Khu Ju-ki, salah satu tokoh terkemuka angkatan kedua dari Coan-cin-kau yang hendak didatanginya sekarang ini.   Syair itu menyesalkan kehancuran negara yang terjatuh di tangan bangsa lain, Karenanya Kwe Ceng terbayang kembali pada kejadian di gurun Mongol belasan tahun yang lalu, ia terharu, sambil meraba pilar batu itu ia ter-mangu2 saja.   Ketika teringat tidak lama lagi bisa bertemu dengan Khu Ju-ki maka hatinya rada terhibur dan bergirang.   "Kwe-pepek, apakah maksud syair diatas batu ini ?"   Demikian Nyo Ko tanya.   "lni adalah syair buah karya kau punya Khu-cosu (kakek guru), Murid kesayangan Khu-cosu dahulu bukan lain adalah mendiang ayahmu,"   Sahut Kwe Ceng sambil menjelaskan sekadarnya arti yang terkandung pada syair itu.   "Mengingat ayahmu, tentu Khu-cosu akan layani kau baik2, maka kau harus belajar dengan giat pula agar kelak besar gunanya untuk nusa dan bangsa."   "Kwe-pepek, maukah kau beritahukan satu hal padaku,"   Tiba2 Nyo Ko berkata pula.   "Hal apa ?"   Tanya Kwe Ceng.   "Cara bagaimana meningggalnya ayahku ?"   Kata Nyo Ko. Muka Kwe Ceng berubah seketika oleh pertanyaan ini, teringat olehnya peristiwa di dalam kelenteng Thi-cio-bio di Kahin di mana Nyo Khong - ayah Nyo Ko - telah tewas, maka tubuhnya gemetar sedikit ia tidak menjawabnya.   "Siapakah sebenarnya yang menewaskan ayah ?"   Tanya Nyo Ko pula. Tetapi Kwe Ceng tetap tidak menjawab.   "Kau dan Kwe-pekbo yang menewaskan dia, ya bukan ?"   Seru Nyo Ko tiba2 dengan bernapsu. Kwe Ceng menjadi gusar, ia angkat tangannya dan menggablok sekerasnya sambil membentak.   "Tutup mulut, siapa yang suruh kau sembarang omong ?"   Tenaga dalam Kwe Ceng sekarang entah sudah betapa lihaynya, maka gablokan dalam keadaan gusar itu seketika membikin pilar batu tadi yang kena digebuk itu berantakan, batu krikil pun berhamburan. Kelihatan sang paman naik darah, Nyo Ko jadi mengkeret.   "Ya, Titji mengaku salah, selanjutnya tidak berani sembarangan omong lagi, harap paman jangan marah,"   Lekas2 ia minta maaf dengan kepala menunduk.   Sesungguhnya Kwe Ceng sangat sayang pada anak ini, kini demi mendengar ia mau mengaku salah, segera amarahnya lenyap.   Dan selagi ia hendak menghibur Nyo Ko agar jangan takut, tiba2 terdengar di belakang ada suara tindakan kaki yang pelahan, waktu ia menoleh, dilihatnya ada dua To-su (imam penganut Tao-isme) setengah umur berdiri di ambang pintu sedang memperhatikan gablokannya dipilar batu tadi, tentu perbuatannya tadi telah dilihat oleh kedua imam ini.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sesudah saling pandang sekejap, cepat kedua To-su itu keluar meninggalkan kelenteng itu.   "Tindakan kedua imam yang cepat dan gesit itu dapat dilihat Kwe Ceng dengan jelas, terang tidak lemah ilmu silat kedua orang itu. Kwe Ceng pikir letak Tiong-yang-kiong dari gunung Cong-lam-san itu tidak jauh dari kelenteng di mana dia berada ini, maka ia menduga kedua imam ini pasti orang dari Tiong-yang-kiong. Kalau melihat umur keduanya sudah kira2 empat puluhan, maka besar kemungkinan mereka adalah anak murid Coan-cin-chit-cu (tujuh tokoh dari Coan-cin-kau), itu aliran persilatan yang paling terkemuka dan disegani di kalangan Bu-lim. Memang sudah lama Kwe Ceng tinggal di Tho-hoa-to dan tidak saling memberi kabar dengan Ma Giok bertujuh, (Ma Giok adalah orang pertama dari Coan-cin-chit-cu), oleh karenanya anak murid Coan-cin-kau itu hampir tidak dikenal seluruhnya, ia hanya tahu bahwa paling belakang ini penganut Coan-cin-kau semakin banyak dan maju dengan pesat, Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ju-it cu, banyak menerima anak murid yang berbakat maka nama Coan-cin-kau di kalangan Bu-lim makin lama semakin cemerlang, tiada satupun orang kalangan Kangouw yang tidak menaruh hormat bila menyebut nama Coan-cin-kau. Begitulah, karena Kwe Ceng pikir dirinya toh akan naik ke atas gunung untuk menemui Khu Ju-ki, Khu-cin-jin (cinjin adalah sebutan pada imam Taoisme yang berilmu), maka ia merasa kebetulan bisa jalan bersama dengan kedua imam tadi. Karena itu, segera ia percepat langkahnya berlari keluar kelenteng ia lihat kedua imam tadi dengan langkah secepat terbang sudah berlari sejauh beberapa puluh tombak, sama sekali mereka tidak menoleh lagi.   "Hai, kedua Toheng (saudara yang berilmu), yang di depan itu berhentilah dahulu, ada sesuatu aku ingin tanya,"   Demikian Kwe Ceng teriaki mereka.   Suara Kwe Ceng memangnya lantang, pula tenaga dalamnya hebat, maka sekali menggembor suaranya se-akan2 menggetar lembah gunung.   Kedua imam itu rada terkejut mendengar suara tapi bukannya berhenti, sebaliknya mereka berlari lebih cepat.   "Eh, apa kedua orang ini tuIi?"   Demikian pikir Kwe Ceng. Sekali dia tutul kakinya, tiba2 ia melayang ke depan, hanya beberapa kali naik-turun saja tahu2 ia sudah mendahului di depan kedua imam itu.   "Baik2kah kedua To-heng,"   Kwe Ceng menyapa sambil saja (memberi hormat dengan mengepal kedua tangan) dan membungkuk pula.   Nampak gerak tubuh yang begini cepat, kedua imam itu kaget, ketika melihat Kwe Ceng membungkuk memberi hormat, mereka menyangka orang akan serang dengan tenaga dalam, maka dengan cepat pula mereka berkelit ke kanan dan kiri.   "Apa kau lakukan ?"   Demikian mereka membentak berbareng.   "Apa kalian adalah Toheng dari Tiong-yang-kiong di Cong-lam-san?"   Tanya Kwe Ceng.   "Kalau ya mau apa?"   Sahut salah satu imam itu dengan menarik muka.   "Cayhe (aku yang rendah) adalah kenalan lama Tiang-jun-cinjin Khu-totiang, maksud kedatanganku justru ingin ke atas gunung buat menemuinya, maka diharap Toheng suka menunjukkan jalannya,"   Kata Kwe Ceng pula.   "Kalau kau berani pergi sana sendiri! Hayo menyingkir!"   Sahut imam satunya lagi yang pendek gemuk.   Habis ini mendadak sebelah tangannya menyapu dari samping, serangan ini luar biasa cepatnya, terpaksa Kwe Ceng harus berkelit ke kanan.   Diluar dugaan, imam satunya yang kurus itu segera menyerang pula berbareng ia memukul dari sebelah kanan, dengan demikian Kwe Ceng jadi tergencet di tengah.   Kedua serangan yang dilontarkan ini disebut "Tay-kwan-bun-sik"   Atau gerakan menutup pintu, adalah tipu serangan yang lihay dari Coan-cin-pay, dengan sendirinya Kwe Ceng dapat mengetahuinya, cuma yang dia tidak mengerti ialah kenapa kedua imam ini mendadak menyerangnya dengan tipu yang mematikan, inilah yang bikin dia bingung, Oleh karena itu, dia tidak patahkan serangan orang2, juga tidak menghindar maka terdengarlah suara "plak-plok"   Yang keras, kedua telapak tangan imam itu kena menghantam di bawah bahunya, tetapi rasanya, seperti kena menghantam karung kosong saja.   Dengan menerima gebukan ini, segera Kwe Ceng dapat mengukur tinggi rendahnya ilmu silat lawan, ia pikir kalau bicara tentang kepandaian, kedua imam ini memang betul adalah anak murid Coan-cin-chit-cu dan masih terhitung seangkatan dengan dirinya pula, Tadi ia sudah kumpulkan tenaga untuk menahan pukulan kedua orang itu, ia bisa gunakan tenaga dalamnya dengan tepat sekali, ia bikin diri sendiri sedikitpun tindak terluka juga tidak sakit, sebaliknya ia pentalkan kembali tenaga pukulan lawan hingga tangan kedua imam itu terasa sakit dan bengkak.   Keruan tidak kepalang kejut kedua imam itu, sebab dengan keuletan silat mereka yang sudah dilatihnya lebih dua puluh tahun, ternyata pukulan mereka tadi hanya seperti kena di tempat kosong saja.   Maka mereka tidak berani ayal lagi, sekali teriak, mereka menerjang bersama, dua pasang kaki mereka segera menyamber mengarah dada Kwe Ceng.   Pembawaan Kwe Ceng memang sabar dan peramah, tidak gampang dia naik darah atau menjadi gusar, nampak kedua imam ini seruduk sini dan terjang sana tanpa sebab, diam2 ia menjadi heran.   "Coan-cin-chit-cu semuanya adalah imam berilmu, kenapa anak murid mereka bisa bersikap kasar?"   Demikian ia membatin. Dalam pada itu tendangan orang secara berantai dengan lihay sudah dekat tubuhnya, namun Kwe Ceng masih tetap tidak bergerak seperti tidak gubris, Maka terdengarlah segera "plak-plok, plak-plok"   Berulang sampai belasan kali, dadanya bertambah debu kotoran bekas kaki.   Kalau Kwe Ceng tetap anggap sepi saja, sebaliknya kedua imam itu entah berlipat berapa kali ngerinya daripada tadi demi nampak tendangan mereka tidak bikin orang tergoyah sedikitpun, bahkan tendangan mereka sama saja seperti mengenai karung pasir.   "Orang ini sebenarnya manusia atau setan ? Meski tingkatan guru dan paman2 guru kamipun tidak mempunyai kepandaian setinggi ini?"   Demikian mereka berpikir dengan jeri Waktu mereka meng-amat2i orang, terlihat Kwe Ceng bermata besar, alisnya tebal, mukanya kotor dengan debu, pakaiannya terbikin dari kain kasar, serupa saja seperti orang udik, sedikitpun tidiik nampak sifat2 istimewa, keruan mereka menjadi kesima tanpa bisa bersuara, Di lain pihak Nyo Ko yang menyaksikan pamannya digebuk dan ditendang kedua imam itu, sedangkan Kwe Ceng sama sekali tidak membalas, diam2 ia menjadi gusar.   "Hai, kalian imam busuk ini kenapa memukuli pamanku?"   Segera ia membentak.   "Ko-ji, tutup mulut,"   Cepat Kwe Ceng mencegah anak ini mencaci maki lebih ianjut.   "Lekas kemari dan memberi hormat kepada Totiang ini."   Mendengar kata2 Kwe Ceng ini, Nyo Ko tercengang dan penasaran.   "Kwe-pepek sungguh aneh, masa takut pada mereka ?"   Pikirnya. Dalam padu itu, kedua imam tadi agaknya belum kapok, sesudah saling pandang sekejap, mendadak mereka lolos pedang, dengan cepat mereka menyerang, imam yang pendek menusuk ke bagian bawah Kwe Ceng dengan tipu "tam-hai-to-liong"   Atau menjelajahi laut membunuh naga, sedang imam yang kurus membacok kaki Nyo Ko dengan gerakan "King-hong-sau-yap"   Atau angin lesus menyapu daun. Sebenarnya Kwe Ceng masih pandang enteng serangan2 orang ini, tetapi demi melihat Nyo Ko yang tak berdosa ikut diserang juga dengan tipu yang cukup keji, mau-tak-mau hatinya jadi dongkol juga.   "Anak ini toh tiada permusuhan dengan kalian, kenapa harus diserang dengan tipu yang ganas ini? Dengan bacokanmu ini apa kakinya takkan menjadi buntung ?"   Demikian ia pikir dengan gemas. Karena itu segera ia tolong dulu Nyo Ko yang terancam itu, ia mengegos tubuh sedikit ke samping, berbareng ini dengan gerak tipu "sun-cui-tui-du"   Atau menurut arus air menyurung perahu, dengan tangan kiri ia tempel batang pedang imam pendek yang serang dia tadi, lalu dengan pelahan ia dorong ke kiri, dengan demikian imam pendek itu tidak mampu pegang kencang senjatanya higgga memutar balik, pedang yang membalik ini saling beradu dengan demikian terdengarlah suara "trang"   Yang nyaring, pedang kawannya sendiri, si-imam kurus, hingga dengan demikian tanpa ditangkis tipu serangan imam kurus itu kena digagalkan temannya sendiri.   Tentu saja kedua imam itu merasakan tangan mereka kaku kesemutan, kembali mereka pandang Kwe Ceng dengan mata melotot, dalam hati mereka lagi2 tidak kepalang terkejutnya, tapi juga kagum atas kepandaian orang yang tinggi itu, Meski demikian, toh mereka masih penasaran, dengan berteriak kembali mereka merangsak maju.   Nampak gerak serangan orang, diam2 Kwe Ceng pikir.   "Kepandaian kalian ini sungguhpun terhitung Kiam-hoat yang hebat, tetapi kalian hanya berdua, pula belum matang latihanmu, apa gunanya kalian pamer dihadapanku?"   Tetapi karena kuatir Nyo Ko akan keserempet senjata mereka, maka sambil hindarkan sabetan pedang lawan, segera pula ia samber tubuhnya Nyo Ko.   "Cayhe adalah kenalan lama Khu-cinjIn, hendaklah kalian jangan bergurau lagi,"   Ia berteriak. Akan tetapi kedua imam itu ternyata tidak kenal aturan.   "Kau bilang kenal Ma-cinjin juga percuma", kata imam yang kurus.   "Ya, Ma-cinjin memang pernah juga mengajarkan kepandaian pada Cayhe,"   Sahut Kwe Ceng. Imam yang kate tadi wataknya paling berangasan segera ia mendamperat lagi.   "Bangsat, jangan kau asal ngoceh, jangan2 nanti kau bilang Tiong-yang Cosu kami juga pernah ajarkan kepandaian padamu ?"   Teriaknya murka, Menyusul ini, dengan sekali tusuk, ujung pedangnya mengarah dada Kwe Ceng puIa.   Kwe Ceng yang berpikiran sederhana, jadi tidak habis mengerti, kedua imam ini sudah terang adalah anak murid Coan-cin-kau, tapi mengapa dia dianggap sebagai musuh besar saja? Tetapi karena Kwe Ceng memang berbudi luhur, pula ia pikir Nyo Ko bakal belajar silat di Tiong-yang-kiong, maka sedapat mungkin jangan menyakiti hati imam2 itu, oleh karenanya, terus menerus ia hanya berkelit saja atas serangan lawan dan tidak pernah balas menyerang.   Oleh sebab tipu serangan mereka tetap tidak mampu mengenai sasarannya, akhirnya kedua imam tadi menjadi kewalahan sendiri, mereka menjadi gelisah, mereka insaf ilmu silat Kwe Ceng jauh diatas mereka, kalau hendak melukainya jelas tidak gampang, maka mereka lantas ganti siasat, tiba2 mereka ubah Kiam-hoat yang dimainkan tadi, be-runtun2 beberapa kali tusukan mereka dialihkan sasaran pada diri Nyo Ko.   Melihat kekurangajaran orang, sungguhpun Kwe Ceng orang sabar, akhirnya rada naik darah juga.   Sementara itu ia lihat imam yang kate sedang menusuk dengan gerakan yang cukup ganas, mendadak Kwe Ceng ulur tangan kanannya, dengan kedua jari- menjepit senjata orang, habis ini ia sodok batang hidung lawan dengan sikutnya.   Ketika senjata dijepit jari orang, imam pendek itu menarik2 sekuatnya, tetapi tidak berhasil, sebaliknya tahu2 sikut orang telah menyodok tiba, ia insaf kalau sampai mukanya dicium sikut orang, kalau tidak mampus sedikitnya akan luka parah juga, oleh karena itu terpaksa ia lepaskan senjatanya dan melompati mundur.   Kepandaian Kwe Ceng pada waktu ini boleh dikatakan sudah ditarap yang tiada taranya, ia bisa berbuat apa maunya, setiap kali tangannya bergerak atau kakinya melayang tentu kena sasaran dengan tepat dan hebat, maka ketika dengan pelahan ia menyentil dengan kedua jarinya, dengan mengeluarkan suara "creng"   Yang nyaring, tiba2 pedang yang dia rampas tadi menegak dan mental ke atas.   Dalam pada itu imam yang kurus sedang ayun pedangnya menusuk ke leher Nyo Ko, karena itu, ujung pedangnya telah kena ditumbuk oleh pedang yang disentil oleh Kwe Ceng ini, begitu keras benturan itu hingga si-imam kurus merasakan tangannya panas pedas, tubuhnya pun ikut tergetar, maka terpaksa iapun-melepaskan senjatanya terus melompat mundur.   "Maling cabul ini memang lihay, lekas lari!"   Seru kedua imam itu berbareng, Baru kini, mereka merasa kapok, Segera mereka putar tubuh terus angkat langkah seribu.   Mendengar cacian orang, semula Kwe Ceng tertegun sejenak, tetapi segera ia menjadi gusar, Selama hidupnya memang sering dia dimaki orang seperti "bangsat".   "jahanam".   "tolol".   "goblok"   Dan macam2 lagi, tetapi kata2 "maling cabul"   Selamanya belum pernah orang memaki padanya.   Dalam marahnya, iapun tidak turunkan Nyo Ko lagi, sambil menggendong anak ini segera ia mengudak dengan langkah cepat Setelah menyusul sampai di belakang kedua imam itu, begitu kakinya menutul, segera tubuhnya melayang lewat di atas kepala kedua To-su atau imam itu dan dalam keadaan masih terapung di udara segera ia membentak.   "He, tadi kalian memaki apa padaku ?"   Kedua imam itu luar biasa terperanjatnya imam pendek itu oleh kelihayan orang, walaupun jeri dalam hati, tapi mulutnya ternyata belum mau kalah, ia masih berani balas membentak.   "Bukankah kau ingin memiliki itu perempuan hina she Liong? Lalu untuk apa kau datang ke Ciong-lam-san?"   Demikian damperatnya. Meski keras di mulut, tapi kuatir kalau Kwe Ceng menghajarnya, maka tanpa terasa ia malah mundur ke belakang. Mendengar damperatan orang yang tak keruan juntrungnya ini, seketika Kwe Ceng hanya melongo.   "Aku ingin memiliki perempuan hina she Liong? siapakah perempuan she Liong itu? Kenapa aku ingin memiliki dia?"   Demikian serentetan pertanyaan timbul dalam hatinya hingga ia bingung sendiri.   Melihat orang ter-mangu2 seperti orang linglung, kedua imam itu pikir kesempatan baik jangan disia-siakan, maka sesudah saling memberi tanda, segera mereka menyerobot lewat di samping Kwe Ceng dengan langkah cepat terus lari pula ke atas gunung.   Melihat Kwe Ceng masih ter-mangu2, Nyo Ko lantas meronta turun dengan pelahan dari gendongannya.   "Kwe-pepek, kedua imam busuk itu sudah lari,"   Kata Nyo Ko. Karena itu, Kwe Ceng mengiakan sekali seperti orang baru sadar dari mimpi.   "Tadi mereka bilang aku ingin memiliki itu perempuan she Liong,"   Siapakah dia itu?"   Kata Kwe Ceng kemudian dengan masih bingung.   "Titji pun tidak tahu,"   Sahut Nyo Ko.   "Tetapi melihat kedua imam itu tanpa membedakan merah atau putih lantas menyerang kita, agaknya mereka telah salah wesel."   "Ya, ya, tentu begitu,"   Ujar Kwe Ceng dengan ketawa geli sendiri.   "Kenapa aku tidak pikir sampai disitu, Marilah kita naik ke atas gunung!"   Waktu Nyo Ko mengambil kedua pedang yang ditinggalkan kedua imam tadi, Kwe Ceng melihat pada batang pedang masing2 terukir tiga huruf kecil "Tiong-jang-kiong"   Mereka lantas mendaki ke atas gunung. setelah lebih satu jam, akhirnya mereka sampai di puncak "Bo-cu-giam"   Atau puncak ibu gendong anak, sesuai dengan namanya, puncak ini menonjol seperti seorang wanita yang membopong seorang anak. Di puncak ini mereka duduk mengaso.   "Apa kau letih, Ko-ji?"   Tanya Kwe Ceng. Nyo Ko tersenyum "Tidak,"   Sahutnya kemudian dengan geleng kepala.   "Baiklah kalau begitu, mari kita naik ke atas lagi,"   Kata Kwe Ceng.   Maka mereka lantas melanjutkan lagi perjalanan.   Tidak antara lama, tertampak oleh mereka di depan ada sebuah batu cadas yang sangat besar dengan corak yang seram, batu cadas raksasa ini setengah menggelantung di udara bagai seorang nenek yang sedang membungkuk melongok ke bawah.    Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung

Cari Blog Ini