Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 62


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 62


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   Siao-liong-li tidak tega melihat kepedihan hati anak muda itu dan kuatir dia bertindak nekad, cepat ia menghiburnya.   "Ko-ji, agaknya sudah suratan nasib kita harus begini, janganlah kau salahkan, orang lain dan bersedih."   Lebih dulu ia mencabut jarum di paha anak muda itu, lalu mencabut jarum yang menancap di bahu sendiri, jarum berbisa itu berasal dari perguruannya dan berbeda daripada racun pukulan berbisa ajaran Auyang Hong, jadi dapat disembuhkan dengan obat perguruan yang selalu dibawanya.   Segera ia mengeluarkan satu biji obat kepada Nyo Ko, lalu ia sendiripun minum satu biji.   Hati Nyo Ko tak terperikan pedih dari gemas-nya.   "berrrr", ia menyemburkan obat penawar itu ke tanah. Kwe Hu jadi gusar, serunya.   "Aduh, besar amat lagakmu!,Memangnya aku sengaja hendak membikin celaka kalian? Kan sudah kuminta maaf pada-mu, mengapa kau masih marah2 saja?"   Dari air muka Nyo Ko yang penuh rasa duka nestapa, lalu rasa gusarnya semakin memuncak serta menjemput kembali pedangnya yang ke-hitam2an itu, Bu Sam-thong tabu gelagat bisa runyam, maka cepat ia menghibur anak muda itu.   "Janganlah marah adik Nyo, soalnya kami berlima terkurung oleh iblis she Li itu di kamar batu sana dan dengan susah payah akhirnya berhasil lolos, karena kecerobohan nona Kwe sehingga dia..."   "Mengapa kau anggap aku yang ceroboh?"   Sela Kwe Hu mendadak.   "Salah siapa dia sembunyi di situ dan diam saja, malahan kau sendiripun mengira dia Li Bok chiu."   Bu Sam-thong menjadi serba salah, ia pandang NyoKo dan pandang pula Kwe Hu dengan bingung. Siao liong-li lantas mengeluarkan pula satu butir obatnya, katanya dengan suara lembut.   "Ko-ji, minumlah obat ini. Masakah perkataanku juga tak-kan kau turut?"   Tanpa pikir Nyo Ko lantas minum obat itui Suara Siao-liong-Ii yang lembut dan penuh kasih sayang itu mengingatkannya selama ber-hari2 ini mereka berdua senantiasa bergulat antara mati dan hidup, tapi akhirnya semua harapannya telah buyar, sungguh sedihnya tak terkatakan, ia tidak tahan lagi, ia mendekap di atas peti batu itu dan menangis keras2.   Bu Sam-thong dan lain2 saling pandang dengan bingung,- biasanya hati Nyo Ko sangat terbukaj menghadapi urusan apapun tidak mudah menyerah, mengapa sekarang cuma terkena sebuah jarum saja lantas menangis sedih begitu? Dengan pelahan Siao-"iong-li membelai rambut Nyo Ko, katanya.   "Ko-ji, boleh kau suruh mereka itu pergi saja, aku tidak akan kumpul bersama mereka."   Selamanya Siao-liongli tidak pernah bicara keras, kalimat "aku tidak suka berkumpul bersama mereka"   Sudah cukup menunjukkan rasa jemu dan marahnya, Segera Nyo Ko berbangkit dimulai dari Kwe Hu, sorot matanya terus menyapu setiap orang itu, biarpun marah dan gemas, tapi iapun tahu bahwa serangan Kwe Hu tadi sesungguhnya tidaklah sengaja, kecuali ceroboh, rasanya tiada kesalahan lain, apalagi seumpama nona itu dibunuh juga tak-dapat lagi menyelamatkan jiwa Siao-liong-li.   Begitulah Nya Ko berdiri dengan sinar mata berapi dan menghunus pedang, mendadak pedangnya membacok sekuatnya.   "trang", tahu2 peti batu yang dibuatnya sembunyi tadi telah ditabasnya menjadi dua potong, bukan saja tenaganya maha kuat bacokannya itu, bahkan mengandung penuh rasa duka dan marah, Yalu Ce dan lain-2 sama melenggong melihat betapa dahsyatnya pedang Nyo Ko itu, Padahal peti batu itu tebal dan kuat, tapi sekali bacok saja pedang ke-hitam2an itu ternyata mampu memotongnya, bahkan jauh lebih mudah memotong sebuah peti mati kayu. Melihat kelima orang itu saling pandang dengan bingung Nyo Ko lantas membentak dengan bengis.   "Untuk apa kalian datang ke sini?"   "Adik Nyo, kami ikut Kwe-hujin ke sini untuk mencari kau,"   Jawab Sam-thong "Hm, kalian ingin merebut kembali puterinya betul tidak?"   Bentak Nyo Ko pula dengan gusar.   "Demi anak kecil ini, kalian tega menewaskan isteri kesayanganku."   "lsteri kesayanganmu?"   Sam-thong menegas.   "O ya, nona Liong ini! Dia terkena racun jarunr untung Kwe hujin mempunyai obat penawarnya, beliau sedang menunggu diluar sana."   "Huh, kalau ada Kwe-hujin lantas bisa apa? Memangnya dia mempunyai kepandaian menghidupkan orang yang jelas pasti akan mati?"   Jengek Nyo Ko dengan gusar.   "Justeru gangguan kedatangan kalian serta jarum berbisa tadi, kadar racun sudah mengeram di segenap Hiat-to penting tubuhnya,"   Lantaran utang budi, maka Bu Sam-thong sangat hormat dan segan kepada Nyo Ko, biarpun didamperat juga diterimanya, ia menggumam kaget.   "Kadar racun telah mengeram di tubuhnya? Wah lantas bagaimana baiknya?"   Ternyata Kwe Hu tidak menyadari kesalahannya. sebaliknya ia menjadi marah karena ucapan Nyo Ko tadi kurang menghormat pada ibunya, dengan gusar ia lantas membentak.   "Memangnya salah apa ibuku padamu? Waktu kecil kau terluntang Iantung seperti orang gelandangan, bukankah ibu yang membawa kau ke rumah, diberi makan dan diberi baju, tapi kau justeru lupa budi dan tak tahu diri, malah mau menculik adik perempuanku."   Padahal sekarang iapun tahu jelas sebabnya Kwe Yang berada di tangan Nyo Ko bukanlah karena anak muda itu bermaksud jahat, soalnya dia telah telanjur mengomel maka segala apa yang dapat mencemoohkan Nyo Ko lantas diucapkannya.   Nyo Ko lantas mendengus pula.   "Hm, memang aku sengata lupa budi dan tidak tahu diri, kau menuduh kuculik adikmu, maka benar2 akan kuculik anak ini dan takkan kukembalikan selamanya, ingin kulihat kau dapat mengapakan diriku?"   Karena ancaman itu, segera Kwe Hu memondong adiknya dengan kencang, tangan lain memegang obor dan diacungkan ke depan, Bu Sam-thong berseru.   "Adik Nyo, jika isterimu keracunan, sebaiknya lekas berusaha menolongnya "   "Tak berguna lagi, Bu-heng."   Kata Nyo Ko dengan pedih, mendadak ia bersuit panjang,"   Lengan baju kanannya terus mengebas. Seketika Kwe Hu dan kedua saudara Bu mera-sakan angin keras menyamber, muka mereka panas pedas seperti tcrsayat, lima buah obor padam serentak dan keadaan menjadi gelap gulita.   "Celaka!"   Jerit Kwe Hu.   Kuatir nona itu dicelakai Nyo Ko, cepat Yelu Ce menubruk maju, Tapi lantas terdengar pekik tangis Kwe Yang, suaranya sudah berada di luar kamar sana.   Keruan semua orang terkejut, ketika mereka menyadari apa yang terjadi, tahu2 suara tangisan tadi sudah berada sejauh ratusan meter, betapa cepat gerakan Nyo Ko itu sungguh laksana hantu saja.   "Adik telah dirampas lagi olehnya,"   Seru Kwe Hu cemas.   "Adik Nyo! Nona Liong!"   Ber-ulang2 Bu Sam, thong memanggil Akan tetapi tiada sesuatu jawaban.   "Lekas keluar, jangan sampai kita terkurung di sini,"   Seru Yalu Ce. Dengan gusar Bu Sam-thong berkata.   "Adik Nyo adalah orang berbudi, manabisa dia berbuat demikian,"   "Lebih baik lekas keluar, buat apa tinggal di sini?"   Ujar Kwe Hu. Baru habis ucapannya, tiba2 terdengar suara "kxek-krek"   Beberapa kali, suara itu timbul dari peti mati itu. cuma teraling oleh tutup peti sehingga suaranya kedengaran agak tersumbat dan seram.   "Ada setan!"   Teriak Kwe Hu sambil memegangi tangan Yalu Ce. Dengan jelas Bu Sam-thong dan lain2 juga mendengar suara itu keluar dari peti mati itu seakan2 ada mayat hidup akan merangkak keluar, keruan mereka sama merinding. Yalu Ce berbisik pada Bu Sam-thong.   "Bu-siok-siok, kau jaga di situ dan aku di sini, jika mayat hidup itu keluar, serentak kita menghantam-nya, mustahil dia takkan hancur luluh."   Berbareng itu ia tarik Kwe Hu ke belakangnya agar tidak dicelakai setan yang mendadak muncul. Pada saat itulah.   "blang", terdengar suara keras, dari dalam peti mati mendadak melayang keluar sesuatu, serentak Yalu Ce dan Bu Sam-thong memukulkan tangan2 mereka, Tapi begitu tangan menyentuh benda itu, berbareng mereka berseru.   "Celaka!" - Kiranya benda yang kena hantam itu adalah sepotong batu, yaitu bantalan batu didalam peti mati itu. Kontan bantal batu itu hancur membentur peti batu, hampir pada saat yang sama sesuatu benda melayang lewat puIa, baru saja Yalu Ce dan Bu Sam-thong hendak memukuI, namun benda itu sudah melayang jauh ke sana, terdengar suara tertawa orang mengekek, lalu lenyap dan sunyi kembali.   "He, Li Bok-chiu."   Seru Sam-thong kaget.   "Bukan, tapi mayat hidup!"   Ujar Kwe Hu.   "Mana bisa Li Bok-chiu berada di dalam peti mati ini.". Yalu Ce tidak ikut menanggapi, ia tidak percaya di dunia ini ada setan segala, tapi bilang Li Bok-chiu rasanya juga tidak masuk diakal Jelas Li Bok-chiu datang bersama mereka, sedangkan Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah tinggal sekian lama di kuburan kuno ini, mana bisa terjadi Li Bok-chiu sembunyi di dalam peti mati yang terletak di bawah tempat sembunyi Nyo Ko tadi? "Habis ke mana perginya Li Bok-chiu?"   Tanya Bu Sam-thong.   "Banyak keanehan di dalam kuburan ini sebaiknya lekas kita keluar saja,"   Ajak Yalu Ce.   "Bagaimana dengan adikku?"   Tanya Kwe Hu.   "lbumu banyak tipu dayanya tentu dia mempunyai akal yang baik, marilah kita keluar ke sana dan minta petunjuknya,"   Ujar Sam-thong.   Begitulah mereka lantas mencari jalan keluar dengan melalui sungai itu.   Tapi baru saja mereka muncul di permukaan air, pemandangan yang mereka lihat adalah merah membara, pepohonan di kanan kiri sungai ternyata sudah terbakar semua, hawa panas serasa membakar muka mereka.   "lbu, ibu!"   Teriak Kwe Hu kuatir, tapi tidak mendapatkan jawaban, Se-konyong2 sebatang pohon yang sudah terbakar roboh dan mengeluarkan suara gemuruh, Melihat keadaan sangat berbahaya, cepat Yalu Ce menarik Kwe Hu dan berenang ke hulu menjauhi tempat pohon roboh itu.   Tatkala itu adalah musim kerirrg, pepohonan dan rerumputan mudah terbakar, di-mana2 api me-ngamuk, seluruh gunung sudah menjadi lautan api, Meski mereka terendam di dalam air sungai, muka merekapun terasa panas tergarang oleh api yang berkobar dengan hebat itu.   "Pasti pasukan Mongol yang gagal menyerang Tiong-yang-kiong itu yang melampiaskan dendam dengan membakar Cong-lam-san ini."   Kata Bu Sam thong.   "lbu, ibu! Di mana kau?"   Teriak Kwe Hu pula kuatir. Tiba2 di kiri sungai sana ada bayangan seorang perempuan sedang ber lompat2 kian kemari menghindari api. Kwe Hu menjadi girang dan berseru.   "lbu!"   Tanpa pikir ia terus melompat keluar dari sungai dan memburu ke sana.   "He, awas!"   Seru Sam-thong.   Mendadak dua pohon besar roboh pula dan mengalingi pemandangan Bu Sam-thong.   Kwe Hu terus berlari ke sana, di bawah gumpalan asap dan menerjang api.   Karena ingin menemukan ibunya, maka tanpa pikir ia memburu maju, sesudah dekat barulah ia merasa bayangan orang itu menoleh dan ternyata Li Bok-chiu adanya.   Keruan kejut Kwe Hu tak terkatakan.   Sebenarnya Li Bok-chiu benar2 sudah putus asa setelah tertutup di dalam peti batu itu dan di-tindih lagi peti lainnya oleh Nyo Ko.   Tapi kemudian dalam gusarnya tanpa sengaja Nyo Ko telan membacok peti batu yang menindihnya itu hingga tutup peti bagian bawah juga ikut retak terbacok.   Li Bok chiu benar2 lolos dari renggutan maut, kesempatan itu tidak di-sia2kan olehnya, lebih dulu ia melemparkan keluar bantal batu, habis itu iapun melompat keluar Meski belum lama ia terkurung di dalam peti mati itu, tapi rasanya orang akan mati sesak napas itu benar2 keadaan yang paling menderita dan paling mengenaskan dalam waktu yang singkat itu pikirannya diliputi penuh rasa dendam, ia benci kepada setiap manusia yang hidup di dunia ini, pikirnya.   "Setelah mati aku pasti menjadi hantu yang jahat, akan kubinasakan Nyo Ko, bunuh Siaoliong-li, Bu Sam-thong, Ui, Yong dan lain2..."   Begitulah setiap orang akan dibunuhnya untuk membalas sakit hatinya.   Meski kemudian dia berhasil lolos dengan selamat meski secara kebetulan, tapi rasa dendam dan bencinya tidak menjadi ber-kurang.   Kini mendadak Kwe Hu muncul sendiri di-badapannya, ia menjadi girang dengan tersenyum ia menegurnya- "Eh kiranya kau, nona Kwe! Api berkobar dengan hebatnya, kau harus hati2."   Kwe Hu tidak menyangka orang akan bersikap begini ramah padanya-, segera ia bertanya.   "Apakah engkau melihat ibuku?"   Waktu Kwe Hu memandang ke arah yang di tunjuk, mendadak Li Bck-chiu menubruk tiba, sekali tangannya bekerja, Hiat-to di pinggang Kwe Hu sudah tertutuk olehnya, dengan tertawa Li Bok-chiu berkata.   "Sabarlah, kau tunggu saja di sini, segera ibumu akan datang."   Sementara itu api berkobar semakin hebat dan mendesak dari berbagai jurusan, kalau lebih lama di situ mungkin jiwa sendiripun akan melayang, Karena itulah Li Bok-chiu lantas melompat ke sana dan berlari cepat ke arah yang belum terjilat api.   Kwe Hu tergeletak tak bisa berkutik menyaksikan kepergian Li Bok-chiu.   Mendadak segumpal asap menyamber tiba, napasnya menjadi sesak, ia ter-batuk2 hebat.   Bu Sam-thong dan Yalu Ce berempat masih berdiri di tengah sungai, muka dan kepala mereka penuh hangus, antara Kwe Hu dan sungai kecil itu telah teraling oleh api yang berkobar dengan hebatnya.   Meski mereka mengetahui si nona berada dalam bahaya, tapi jiwa mereka pasti akan ikut melayang kalau mereka memburu maju untuk menoIongnya.   Dalam keadaan sesak napas dan rasa panas seperti dipanggang, Kwe Hu hampir2 tak sadarkan diri Iagi.   Pada saat itulah tiba2 dari jurusan timur sana ada suara men-deru2, waktu ia berpaling, dilihatnya sesosok bayangan seperti angin lesus saja ber-gulung2 menyamber tiba.   Waktu Kwe Hu mengawasi, kiranya bayangan itu adalah Nyo Ko.   Pemuda itu telah menanggalkan jubahnya yang basah kuyup untuk membungkus Hiat-tiat-po-kiam, dengan tenaga dalam yang kuat ia ayun2kan pedang itu untuk menyingkirkan kobaran api.   Tadinya Kwe Hu bergirang karena ada orang datang menolongnya, tapi setelah mengetahui orang itu adalah Nyo Ko, seketika perasaannya seperti di-siram air dingin meski di luar tubuh panas seperti dipanggang, Pikirnya.   "Sudah dekat ajalku toh dia sengaja datang buat menghina diriku."   Betapa pun dia adalah anak Kwe Cing, dengan gemas ia melototi Nyo Ko tanpa gentar, Tak terduga, bagitu sampai di samping Kwe Hu, segera Nyo Ko membuka Hiat-to si nona ydog tertutuk itu, pedangnya terus menusuk, tapi bukan menembus tubuhnya melainkan menerobos lewat di pinggangnya, sekali bentak.   "Awas!"   Tangan kirinya terus mengayun sekuatnya ke sana, bobot pedang pusaka yang amat berat itu ditambah tenaga dalamnya yang maha kuat, seketika Kwe Hu melayang ke udara seperti terbang di awang2 dan melintasi belasan pohon besar yang terbakar.   "plung", akhirnya ia jatuh ke dalam sungai. Lekas2 Yaiu Ce memburu maju untuk membangunkan Kwe Hu, tapi nona itu masih kepala pening dan mata ber-kunang2, ia serba runyam, entah senang entah sedih. Kiranya setelah Nyo Ko dan Siao-liong-li keluar dari kuburan kuno itu dengan membawa Kwe Yang, terlihat pasukan Mongol sedang membakar hutan di lereng Cong-lam-san itu. Sudah ber-tahun2 mereka hidup disekitar hutan yang rindang itu, mereka menjadi menyesal dan merasa sayang menyaksikan kebakaran hebat itu, tapi pasukan Mongol terlalu kuat dan sukar dilawan, terpaksa mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Nyo Ko tidak tahu Siao-liong-li sanggup bertahan berapa lama setelah racun bersarang dalam segenap Hiat-to penting, segera ia mencari suatu gua-yang jauh dari tetumbuhan untuk bersembunyi sementara, dari jauh mereka menyaksikan Kwe Hu dirobohkan Li Bok-chiu dan tampaknya segera akan terbakar mati. Dengan gegetun Nyo Ko berkata kepada Siao-Iiong-li.   "Liong-ji, nona itu telah membikin sengsara padaku dan mencelakai kau pula, akhirnya dia mendapatkan ganjarannya yang setimpal seperti sekarang ini."   Dengan heran Siao-liong-li memandang Nyo Ko dengan sorot matanya yang tajam.   "Ko-ji, masakah kau tak pergi menolongnya?"   "Dia telah membikin susah hingga begini, kalau tidak kubunuh dia sudah cukup baginya."   Ujar Nyo Ko dengan gemas.   "Ah, kita sendiri tidak beruntung, semua itu disebabkan suratan nasib, biarkan orang lain gembira dan bahagia, kan lebih baik begitu?"   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ujar Siao-liong-li. Walaupun di mulutnya Nyo Ko berkata begitu, tapi dalam hati merasa tidak tega ketika menyaksikan api sudah menjalar sampai di dekat Kwe Hu, Akhirnya ia berkata dengan pedih.   "Baiklah, nasib kita yang buruk, nasib orang lain yang beruntung!"   Segera ia membungkus pedang pusakanya dengan jubah sendiri yang basah itu dan setelah melemparkan Kwe Hu ke sungai, dia berlari kembali ke dekat Siao liong-li dengan baju dan rambut hangus, celananya juga terbakar sebagian, malahan pahanya telah timbul gelembung2 air akibat terbakar.   Siao-Iiong-li membawa Kwe Yang mundur ke tempat yang lebih jauh dari hawa panas, lalu ia membelai rambut Nyo Ko serta membetulkan pakaiannya, tidak kepalang rasa bangganya mendapatkan seorang suami ksatria dan gagah perkasa demikian ini, ia bersandar pada tubuh Nyo Ko dengan perasaan yang gembira dan bahagia.   Nyo Ko merangkul pinggang Siao-liong li dan memandangi dengan terkesima, si nona yang tersorot cahaya api itu bertambah molek, sesaat itu mereka sama sekali melupakan segala duka derita di dunia ini.   Mereka berdua berada di tempat lebih tinggi, Bu Sam-thong, Kwe Hu dan Yaiu Ce berlima yang berada di sungai itu memandang dari balik api yang ber-kobar2, tertampak pakaian kedua suami isteri itu berkibar2 tertiup angin, sikapnya agung berwibawa laksana malaikat dewata.   Biasanya Kwe Hu suka memandang hina si Nyo Ko, tapi sekarang ia menjadi malu diri.   Sejenak Nyo Ko berdua berdiri, sambil memandangi api yang mengamuk itu, Siao-Iiong-li berkata dengan gegetun.   "Setelah terbakar habis bersih, kelak kalau pepohonan tumbuh lagi di sini, entah bagaimana wujudnya nanti?"   "Api yang dibakar pasukan Mongol ini mungkin merupakan pesta bagi pernikahan kita,"   Ujar Nyo Ko dengan tertawa.   "Mari!ah kita mengaso saja ke gua sebelah sana."   Siao-liong-li mengiakan Keduanya lantas ber-jalan ke balik gunung sana. Tiba2 Bu Sam-tisong ingat sesuatu, cepat ia berteriak.   "Adik Nyo Susiok dan Cu-sute terkurung di Coat-ceng-kok, engkau mau menolong mereka tidak?"   Nyo Ko rada melengak, ia menggumam sendiri.   "Peduli amat urusan orang lain."   Sambii berkata begitu ia terus melangkah ke sana.   Meski racun mengeram hebat dalam tubuhnya, namun sementara ini belum bekerja, sebaliknya ilmu silatnya mulai pulih karena Hiat-to yang tadinya terganggu itu telah berhasil diterobos semuanya, Dengan memondong Kwe Yang ia dapat melangkah cepat ke depan.   Lebih satu jam mereka berjalan dan makin jauh meninggalkan Tiong-yang-kiong, dipandang dari jauh api masih berkobar di pegunungan itu.   Angin utara meniup semakin kencang sehingga muka si Kwe Yang cilik kedinginan ke-merah2an.   "Marilah kita mencari sesuatu makanan, anak ini kedinginan dan lapar pula, mungkin tidak tahan"   Kata Siao-liong-Ii.   "Ya, aku ini sungguh tolol, entah untuk apa kurebut anak ini, hanya menambah beban saja,"   Ujar Nyo Ko. Siao-liong-li mencium muka Kwe Yang yang memerah apel itu, katanya.   "Adik cilik ini sangat menyenangkan, apakah kau tidak suka padanya?"   "Anak orang lain, tetap anak orang Iain, paling baik kalau kita dapat melahirkan anak sendiri,"   Kata Nyo Ko dengan tertawa. Wajah Siao-liong-li menjadi merah, ucapan Nyo Ko ini menyentuh sifat keibuan lubuk hatinya, pikirnya.   "Ya, alangkah baiknya kalau kudapat melahirkan anak bagimu, akan tetapi ai...."   Kuatir si nona berduka, Nyo Ko tak berani mengadu pandang, ia menengadah memandangi langit tertampak awan tebal menggumpal bergeser dan sebelah barat-laut, begitu tebal dan luas gumpalan awan itu seakan2 jatuh menimpa kepala saja, katanya.   "Melihat gelagatnya, mungkin segera akan turun salju, kita perlu mencari rumah penduduk untuk mondok."   Tapj arah yang mereka tempuh adalah lereng pegunungan yang sunyi, di mana2 hanya batu padat dan semak belukar belaka, mana ada rumah penduduk segala.   "Wah, tampaknya salju yang turun nanti pasti sangat lebat, agar jalan kita tidak tertutup, sebaiknya kita harus memburu waktu dan turun gunung sekarang juga,"   Kata Nyo Ko sambil mempercepat langkahnya.   "Paman Bu dan nona Kwe mereka akan ke-pergok pasukan Mongol tidak? Para Tosu Coan-cin-kau itu entah dapat lolos dengan selamat tidak?"   Demikian Siao liong-li berucap dengan nada yang simpatik.   "Kau benar2 mempunyai Liangsim (hati nurani), orang2 itu berbuat jahat padamu, tapi kau tetapi tidak melupakan keselamatan mereka, pantas dahulu kakek guru mengharuskan kau berlatih ilmu yang bebas dari segala cinta rasa, urusan apapun tidak peduli dan tidak ambil pusing, akan tetapi karena kau menaruh perhatian padaku, hasil latihanmu selama 20-an tahun telah hanyut seluruhnya dan mulailah kau menaruh perhatian terhadap siapapun"   Siao-liong-li tersenyum, katanya.   "Sesungguhnya, pahit getir penderitaanku bagimu juga mendatangkan rasa mnais, yang kukuatirkan adalah kau tidak mau terima perhatianku kepadamu."   "Ya, merasakan pahit dan manis jauh lebih baik daripada tidak merasakan apa2!"   Kata Nyo Ko.   "Aku sendiri hanya suka ugal2an dan angin2an, tidak pernah hidup tenang dan aman tenteram."   "Bukankah kau mengatakan kita akan pergi ke selatan, di sana kita akan bercocok tanam dan beternak?"   Tanya si nona dengan tersenyum.   "Benar, semoga terkabul harapan kita,"   Ujar Nyo Ko dengan menghela napas.   Sampai di sini, tertampaklah kapas tipis mulai beterbangan dari udara, bunga salju sudah mulai turun.   Dengan Lwekang mereka yang tinggi, dengan sendirinya hawa dingin itu tidak menjadi soal bagi mereka, segera mereka melangkah dengan cepat.   "Eh, Ko-ji, coba kau terka ke mana perginya Suciku sekarang?"   "Kembali kau memperhatikan dia lagi, Akhirnya Giok-li-sim-keng dibawa lari olehnya dan terkabul cita2nya. Kuatirnya kalau isi kitab itu berhasil diyakinkan dan ilmu silatnya maju pesat, bisa jadi kejahatannya juga akan bertambah hebat."   "Sebenarnya Suci juga harus dikasihani,"   Ujar Siao-liong-li.   "Tapi dia sendiri tidak rela dan ingin membikin setiap orang di dunia ini juga berduka dan merana seperti dia.   "kata Nyo Ko. Tengah bicara, cuaca semakin gelap. Setelah membelok ke lereng sana, tiba2 terlibat di antara dua pohon Siong tua terdapat dua buah rumah gubuk, atap rumah itu sudah tertimbun salju setebal jari manusia.   "Aha, di sinilah kita lewatkan malam ini,"   Seru Nyo Ko kegirangan. Setiba di depan gubuk2 itu, terlihat daun pintunya setengah tertutup tanah salju di situ tiada tanda2 bekas kaki, ia coba berseru.   "Permisi! Karena hujan salju, kami mohon mondok semalam saja."   Tapi sampai sekian lama ternyata tiada suara jawaban, Nyo Ko lantas mendorong pintu di dalam rumah, tiada seorangpun.   Di atas meja kursi penuh debu, agaknya sudah lama tiada penghuninya, segera ia memanggil Siao liong li masuk, setelah menutup pintu, mereka lantas membuat api unggun.   "Dinding papan rumah itu tergantung busur dan anak panah, di pojok rumah sana ada sebuah alat perangkap kelinci, Tampaknya rumah ini adalah pondok darurat kaum pemburu. Dengan busur dan anak panah itu Nyo Ko keluar berburu dan mendapatkan buruan, maka mulailah mereka berpesta rusa panggang. Sementara itu salju turun semakin lebat, namun hawa dalam rumah cukup hangat oleh api unggun. Siao liong li mengunyah sedikit daging rusa dan dan menyuapi si Kwe yang cilik, dengan menikmati daging rusa panggang itu, Nyo Ko memandangi mereka berdua dengan tersenyum simpuI, suasana hangat dan mesra laksana pengantin baru yang sedang bertamasya. Se-konyong2 dari arah timur tanah salju itu berkumandang suara tindakan orang yang cepat, jelas itulah ginkang orang yang mahir ilmu silat. Nyo Ko berdiri dan melongok ke sana melalui jendela, dilihatnya dua kakek mendatang ke arah gubuk ini, seorang gemuk dan yang lain kurus, pakaian mereka rombeng, kakek kurus menyanggul sebuah HioIo-(buli2 dari sejenis labu besar) besar warna merah. Hati Nyo Ko tergetar, teringat olehnya bahwa benda itu adalah milik Ang Jit-kong. Dahulu Ang Jit-kong, itu ketua Kaypang yang berjuluk pengemis sakti berjari sembilan, bertempur mati2an dengan Auyang Hong di puncak tertinggi Thian san, akhirnya kedua orang sama2 kehabisan tenaga dan gugur bersama. Nyo Ko yang mengubur kedua orang tua itu dan Holo besar merah itupun ditanam di samping jasad Ang Jit-kong. Kemudian dalam pertemuan besar para ksatria, seorang pengemis tua pernah membawa Holo merah itu sebagai tanda perintah Ang Jit-kong, katanya sang ketua itu belum meninggal, bahkan menganjurkan kaum jembel berbangkit membela tanah air dan mengusir musuh. Tatkala mana Nyo Ko sangat heran darimana munculnya Holo merah itu? Tapi dalam pertemuan besar itu banyak terjadi persoalan sehingga tidak sempat mengusut urusan itu, kemudian juga tidak bertemu lagi dengan orang Kaypang, maka urusan itupun sudah terlupa, sekarang dandanan kedua kakek ini jelas juga anggota Kaypang. Nyo Ko jadi tertarik demi ingat kejadian dahulu itu, segera ia membisiki Siao-Iiong li.   "Di luar ada orang, kau rebah saja di pembaringan dan pura2 sedang sakit?"   Siao-liong-li menurut, ia pondong Kwe Yang dan berbaring di atas ranjang, ditariknya selimut butut yang terletak di ujung tempat tidur itu.   Nyo Ko lantas xnemolesi mukanya dengan hangus, topinya ditariknya hingga hampir menutupi mukanya, pedang pusaka juga disembunyikan.   Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mengetok pintu.   Cepat Nyo Ko meng-gosok2 tangannya yang berlepotan minyak daging rusa yang baru dimakannya itu sehingga lebih mirip seorang pemburu yang kotor, habis itu pintu lantas dibukanya.   Dengan tertawa si kakek gemuk lantas berkata.   "Hujan salju ini sangat hebat dan sukar meneruskan perjalanan, mohon kemurahan hati tuan sudi menerima pengemis untuk mondok semalam."   "Ah, pemburu macamku tidak perlu dipanggil tuan segala, silakan Lotiang (bapak) masuk dan bermalam di sini,"   Jawab Nyo Ko.   Ber-ulang2 pengemis gemuk itu mengucapkan terima kasih, Segera Nyo Ko lantas mengenali juga si pengemis kurus itu, jelas dia orang yang pernah menyampaikan perintah Ang Jit-kong dahulu dengan membawa Holo besar merah, diam2 ia menjadi kuatir kalau2 dirinya akan dikenali pengemis kurus itu, cepat ia merobek dua potong daging panggang dan diberikan kepada kedua orang itu, katanya.   "Mumpung masih hangat2, silakan makan seadanya, hujan salju begini kebetulan bagiku untuk menambah penghasilan. Besok pagi2 harus kupergi memasang perangkap untuk menangkap rase, maafkan aku tidak temani kalian lebih lama,"   "Oh, jangan sungkan2, silakan saja,"   Jawab si pengemis gemuk tadi. Segera Nyo Ko sengaja berseru dengan suara keras.   "He, ibunya bocah, apakah batukmu sudah baikan?"   "Wah, pergantian musim menambah dadaku makin sesak saja,"   Jawab Siao-liong-li sambil batuk lebih keras, berbareng ia sengaja menggoyangi si Kwe Yang sehingga anak itu terjjaga bangun, maka di antara suara batuk lantas terseling suara tangisan anak bayi, sandiwara keluarga pemburu benar2 dimainkan mereka dengan sangat hidup.   05 Nyo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta menutup pintu, lalu ia berbaring disamping Siao-liong-li, diam2 ia sedang mengingat2 muka si pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya, cuma di mana, seketika tak teringat.   Kedua pengemis gemuk kurus itu menyangka Nyo Ko benar2 seorang pemburu miskin, maka mereka tidak menaruh perhatian padanya, sembari makan daging rusa panggang mereka lantas mulai mengobrol Si pengemis kurus berkata.   "Melihat api yang berkobar di Cong-lam-san itu, agaknya sudah berhasil."   Dimana tiba pasukan Mongol disitu lantas ditaklukkan hanya sekawanan Tosu Coan-cin-kau saja apa artinya lagi?"   Ujar si pengemis gemuk dengan tertawa.   "Tapi beberapa hari yang lalu Kim-lun Hoat-ong dan begundalnya telah pulang dengan mengalami kekalahan yang mengenaskan,"   Kata si kurus.   "Itupun baik, biar Sri Baginda tahu bahwa untuk menduduki tanah air bangsa Han ini juga diperlukan tenaga bangsa Han sendiri, kalau melulu mengandalkan orang Mongol dan orang asing lainnya jelas tidak jadi."   Sampai di sini, tiba2 Nyo Ko teringat pada si gemuk ini juga pernah dilihatnya dalam pertemuan besar kaum ksatria dahulu, cuma waktu itu si gemuk ini memakai mantel kulit dan berdandan sebagai orang Mongol serta selalu ber-bisik2 di samping Kim-lun Hoat-ong, jelas inilah orangnya.   Diam2 ia merasa gemas, pikirnya.   "Apa yang mereka bicarakan melulu urusan pengkhianatan belaka, kebetulan kepergok olehku, tidak dapat kuampuni mereka."   Kiranya pengemis gemuk ini adalah satu di su-tay-tianglo (empat tertua) dalam Kay-pang, yaitu Peng-tiangIo. perbuatannya memang khianat sudah lama dia menyerah kepada pihak Mongol. Begitulah terdengar si pengemis kurus sedang berkata pula.   "Peng-tianglo, sekali ini apabila Kay-pang aliran selatan jadi didirikan, entah pangkat apa akan kau dapat dari raja Mongol?"   "Raja menjanjikan pangkat "panglima besar wilayah selatan"   Padaku,"   Jawab Peng-tianglo.   "Akan tetapi seperti kata pribahasa kita, mengemis tiga tahun lebih bebas daripada jadi raja tiga hari. Kaum pengemis seperti kita masakah ingin menjadi pembesar segala?"   Walaupun demikian katanya, namun dan balik ruangan sana Nyo Ko dapat menangkap nada ucapannya yang penuh ambisi dan harapan itu.   "Wah, untuk itu terimalah lebih dulu ucapan selamat dariku,"   Kata si kurus.   "Selama beberapa tahun terakhir ini, jasamu juga tidak kecil, kelak tentu kau juga akan mendapat bagian yang sesuai."   "Soal kedudukan tidak berani kuharapkan cuma engkau pernah menjanjikan Liap hun-tay-hoat (ilmu pengikat sukma, serupa hipnotisme sekarang), bilakah baru engkau akan mengajarkannya kepadaku?"   "Nanti kalau Kay-pang selatan sudah berdiri dengan resmi, setelah aku menjadi Pangcu dan begitu ada waktu luang segera akan kuajarkan padamu."   "Kukira setelah engkau menjadi Paagcu serta diangkat menjadi panglima, pekerjaanmu tentu semakin banyak dan sibuk, mana ada waktu luang?"   "Ah, masakah kau tidak percaya padaku,"   Ujar Peng-tianglo dengan tertawa. Si kurus tidak bicara lagi, hanya hidungnya mendengus pelahan, tampaknya dia masih ragu. Diam2 Nyo Ko membatin.   "seluruh dunia hanya ada satu organisasi Kay-pang tanpa membedakan utara dan selatan, untuk apa dia mau mendirikan Kay-pang aliran selatan segala, ini pasti permainan gila orang Mongol."   Terdengar Peng-tianglo sedang berkata pula dengan tertawa.   "Setelah berkeliling, hendaklah kau menyebarkan perintah si setan tua she Ang, katakan utara dan selatan teralang dan sukar mengadakan kontak, maka utara dan selatan perlu dipisahkan menjadi dua."   "Dan anggota bagian selatan dengan sendirinya berada di bawah pimpinanmu"   Kata si kurus dengan dingin.   "Juga tidak perlu begitu, biarlah kita mengangkat dulu Kan-tianglo sebagai ketua, usianya lebih tua, anak muridnya juga banyak, orang lain tentu tidak curiga, Nanti kalau dia sudah kupengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, tentu dia akan menyerahkan kedudukannya padaku, tatkala mana segalanya akan menjadi beres dengan sendirinya."   "sebenarnya Ang-lopangcu sudah lama wafat, kalau kusiarkan lagi perintah palsu beliau, mungkin akan lebih menimbulkan curiga orang, Melulu mengandalkan Holo palsu ini rasanya sukar mendustai orang terus menerus, kalau kepungan terhadap Siang-yang sudah mereda dan Ui-pangcu datang mengusut persoalan ini, wah, biarpun jiwaku pakai serep juga akan melayang semuanya."   "Hahaha!"   Peng tianglo tertawa.   "Asal kau bertindak secara cepat, maka urusan juga akan cepat beres, mengenai perempuan hina she Ui itu, kini dia terkepung di kota, jiwanya pasti sukar tertolong"   Sampai di sini barulah Nyo Ko mengetahui duduknya perkara, kiranya Holo merah itu adalah tiruan, lantaran tiada orang yang menyaksikan meninggalnya Ang Jit-kong, mereka berdua lantas membawa Holo palsu itu untuk mempengaruhi murid2 Kay pang, karena seruan yang mereka sebarkan itu mengenai tugas suci kaum pahlawan, demi negara dan bangsa, sebab itulah anggota Kay-pang tidak menaruh curiga.   Kalau semua anggauta sudah percaya penuh barulah Peng-tianglo itu akan berusaha mendirikan aliran cabang untuk memecah belah Kay-pang, itu organisasi terbesar pada jaman itu.   Meski Nyo Ko hanya berkumpul beberapa hari saja dengan Ang Jit-kong, tapi dia benar2 kagum dan hormat terhadap sifat ksatria tokoh tua itu, pikirnya.   "Ang-locianpwe sedemikian perkasa, nama baiknya sesudah meninggal tidak boleh dirusak oleh kaum tikus celurut begini."   Apalagi iapun teringat kepada keganasan pasukan Mongol yang dilihatnya di sepanjang jalan, maka diam2 ia bertekat akan membunuh kedua-jahanam ini. Begitulah terdengar si pengemis kurus tadi sedang berkata pula.   "Peng-tianglo, barang yang sudah kau janjikan, kapan2 juga harus kau berikan, cuma kulihat engkau rada2 lain di mulut lain di hati."   "Habis kau mau apa?"   Tanya Peng-tianglo dengan tak senang.   "Aku berani apa?"   Jawab si kurus.   "Hanya aku ini memang penakut, selanjutnya aku tak berani lagi menyiarkan perintah palsu Ang-pangcu."   Diam2 Nyo Ko anggap ucapan si kurus itu benar2 goblok, barangkali ingin mampus, makanya berani berkata begitu. Terdengar Peng-tianglo lantas bergelak tertawa katanya.   "Baiklah, urusan ini dapat kita rundingkan lagi, jangan kau sangsi."   Setelah berhenti sejenak, kemudian si kurus berkata pula.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Sisa daging rusa ini tidak kenyang kita makan, biar kupergi mencari buruan lain."- Habis itu ia lantas membawa busur dan anak panah dan melangkah keluar. Segera Nyo Ko mengintip dari sela2 dinding papan, dilihatnya begitu si kurus pergi, Peng-tiango itu juga lantas berbangkit dan mclolos belati serta mendengarkan gerak-gerik kawannya dari balik pintu, setelah mendengar suara tindakan si kurus sudah pergi jauh, dengan ber jengket2 iapun menyelinap keluar. Dengan tertawa Nyo Ko membisiki Siao-liong-li.   "jelas kedua jahanam ini akan saling bunuh, kebetulan bagiku, dapat ku irit tenaga, Ku-lihat si gemuk itu jauh lebih lihay dan sikurus bukan tandingannya.   "Paling baik kalau keduanya tidak datang kembali semua dan gubuk ini akan tenang dan tenteram tak terganggu,"   Ujar Siao -liong li. Nyo Ko mengiakan, Mendadak ia mendesis pula dengan suara tertahan.   "Dengarkan suara tindakan orang." - Terdengar ada orang berjalan dengan ber-jinjit2 di lereng sebelah barat terus memutar ke belakang gubuk.   "Agaknya si kurus tadi menyusup kembali hendak menyergap si gemuk,"   Bisik Nyo Ko pula dengan tersenyum.   Segera ia menolak daun jendela dan melompat keluar dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.   Benar juga dilihatnya si pengemis kurus sedang mengintip di antara sela2 dinding.   Rupanya ia menjadi ragu2 karena tidak menemukan bayangan si gemuk.   Pada saat itulah Nyo-Ko telah berada di belakangnya dan mendadak mengikik tawa Sudah tentu si kurus kaget, cepat ia berpaling dengan air muka ketakutan karena menyangka Peng tianglo yang berada di belakangnya, tapi si Nyo Ko lantas berkata dengan tertawa.   "Jangan takut, jangan takut!"   Berbareng itu cepat sekali ia menutuk tiga Hiat-to penting di bagian dada, iga dan kaki orang, lalu ia menjinjing tubuh si kurus ke depan gubuk. Ia memandang sekelilingnya yang sunyi dan salju belaka, itu, tiba2 timbul sifat kanak2nya, serunya.   "Liongji, lekas kemari, bantulah aku membikin orang2an salju,"- Habis itu ia terus mengeduk salju yang memenuhi bumi itu dan diurukkan pada tubuh si pengemis kurus. Siao-liong-li lantas keluar dari gubuk dan membantunya, dengan tertawa cekakak dan cekikik Nyo Ko dan Siao-liong-li benar2 seperti anak kecil saja, hanya sebentar seluruh badan pengemis kurus itu sudah penuh diuruki salju. Selain sepasang biji mata saja yang masih dapat bergerak, kini pengemis kurus itu telah berubah menjadi orang salju yang gemuk laksana "gajah bengkak", malahan pada punggungnya masih menggendong Holo besar yang juga berlapiskan bunga salju.   "Hahaha, kakek kurus kering ini hanya sekejap saja telah berubah menjadi gemuk dan putih,"   Kata Nyo Ko sambil tertawa.   "Dan kakek aslinya memang gemuk dan putih itu nanti akan kau permak menjadi apa?"   Ujar Siao-liong-ii dengan riang. Belum lagi Nyo Ko menjawab, terdengarlah Iangkah orang dari jauh. cepat anak muda itu mendesis.   "Ssssst, si gemuk sudah kembali, lekas kita sembunyi dulu."   Cepat mereka masuk lagi ke dalam rumah dan merapatkan pintu kamar, Siao liong-li sengaja menggoyangkan Kwe Yang agar anak itu menangis, tapi niatnya tiada berhenti menimangnya agar lekas tidur.   Selama hidupnya tidak pernah Siao-liong-li berdusta dan berbuat munafik, perbuatan yang aneh dan licik ini malahan belum terbayang olehnya, soalnya dia melihat Nyo Ko suka berbuat begitu, maka iapun ikut ramai2 saja.   Dalam pada itu Peng-tianglo telah kembali, sepanjang jalan ia mengikuti jejak kaki, dilihatnya jejak kaki si kurus itu memutar balik dan sembunyi di kiri belakang rumah, maka iapun mengikuti jejak itu ke belakang, lalu sampai pula di depan rumah.   Dari sela2 dinding Nyo Ko dan Siao-liong-li dapat melihat si gemuk sedang mengintip ke dalam rumah dengan menggenggam belati dan siap siaga.   Meski pengemis kurus yang diuruki salju itu merasa kedinginan setengah mati, tapi dia masih sadar, di lihatnya Peng-tianglo justeru berada disampingnya, tapi sedikitpun pengemis gemuk itu tidak menyadari hal ini, asal si kurus ayun tangannya ke bawah pasti dapat membinasakan si gemuk, celakanya tiga tempat Hiat-to si kurus tertutuk dan takbisa berkutik.   Tampaknya Peng-tianglo sangat heran ketika mengetahui si kurus tidak berada di dalam rumah, ia lantas mendorong pintu dan sedang memikirkan ke mana perginya pengemis kurus itu, pada saat itulah tiba2 terdengar suara orang berjalan mendatangi.   Muka Peng-tianglo tampak berkerut lalu sembunyi di balik pintu untuk menanti pulangnya si kurus.   Siao-liong-li dan Nyo Ko juga sangat heran, jelas pengemis kurus itu sudah menjadi orang salju, mengapa ada orang datang pula? Baru mereka berpikir, segera terdengar bahwa yang datang itu seluruhnya dua orang, jelas adalah pendatang baru dan bukan si kurus.   Karena Peng-tianglo itu bertujuan jahat dan bertekad akan membinasakan si kurus, pula daya pendengarannya memang kalah tajam daripada Nyo Ko dan Siao-liongli, maka dia tidak mendengarnya dan baru tahu dugaannya meleset dan setelah kedua pendatang itu sudah berada di depan rumah..   "0-mi-to-hud. (Adhi Budaya)!"   Terdengar seorang di antaranya mereka menyebut Budha.   "Karena kehujanan salju, kami mohon Sicu suka memberi mondok semalam di sini."   Peng-tianglo lantas menyelinap keluar, dilihatnya di tanah salju sana berdiri dua Hwesio tua, seorang alis jenggotnya sudah putih, wajahnya welas asih, seorang lagi jenggot hitam kaku dan memakai jubah hitam, walaupun di musim dingin, namun pakaian kedua pendeta itu sangat tipis.   Selagi Peng-tianglo melengak dan belum menjawab, tahu2 Nyo Ko sudah keluar dan berseru.   "Silakan masuk, Toa hwesio! Orang dalam perjalanan memangnya membawa rumah sendiri?"   Pada saat itu juga mendadak Peng-tianglo melihat Holo besar dipungguhg si pengemis kurus yang telah berubah orang salju gemuk itu, ia terkejut dan heran melihat keadaan kawannya yang aneh itu.   Waktu ia menoleh pada Nyo Ko, dilihatnya anak muda ini bersikap biasa saja seperti tidak mengetahui sesuatu.   Dalam pada itu Nyo Ko telah menyilakan kedua Hwesio tua itu ke dalam rumah, dari gerak-gerik kedua Hwesio itu ia yakin mereka pasti bukan sembarangan pendeta agama Budha, terlebih Hwesio jubah hitam yang berwajah bengis dan bersorot mata aneh itu, ia menjadi sangsi jangan2 adalah orang segolongan Peng-tianglo.   "Silakan tinggal saja di sini, Toahwesio,"   Kata Nyo Ko kemudian.   "cuma orang gunung miskin seperti kami ini tiada alat perlengkapan tidur segala"   Eh, kalian suka makan daging panggang tidak?"   Padahal dia tahu umumnya kaum Budha tidak makan barang berjiwa, Maka cepat si Hwesio alis putih telah menjawab.   "Ampun, ampun! Kami sendiri membawa sekedar rangsum kering, Sicu tidak perlu repo2"   "Baiklah, kalau begitu,"   Kata Nyo Ko, lalu iapun masuk ke kamarnya dan membisiki Siao-liong li.   "Kedua Hwesio tua ini tampaknya adalah tokoh yang sangat tangguh, sebentar kita harus dua lawan tiga. Siao-liong-li mengernyitkan keningnya, katanya dengan suara tertahan.   "Orang jahat di dunia ini sungguh banyak sekali, orang ingin hidup tenang di pegunungan sunyi begini juga tetap terganggu,"   Nyo Ko coba mengintip gerak-gerik kedua Hwesio tua, dilihatnya si Hwesio alis putih mengeluarkan empat potong kue tawar, dua potong diberikan si Hwesio baju hitam, ia sendiri makan dua biji.   Dari wajah dan sikap Hwesio alis putih itu Nyo Ko percaya pendeta itu pasti tinggi ibadat agamanya, cuma di dunia ini juga tidak kurang manusia jahat berwajah alim, contoh di depan mata juga ada, yaitu Peng-tianglo, bukankah sikapnya juga ramah tamah dan wajahnya selalu berseri2, tapi hatinya ternyata busuk.   Yang aneh adalah Hwesio jubah hitam itu, mengapa sinar matanya begitu bengis buas.   Tengah berpikir, se-konyong2 terdengar suara gemerinctng, si Hwesio jubah hitam mendadak mengeluarkan dua potong benda ke-hitam2an terbuat dari besi.   Tadinya Peng-tianglo duduk dibangku, mendadak ia melompat bangun sambil siap melolos senjata, Tapi Hwesio jubah hitam tidak menggubris-nya.   "krek-krek", benda hitam itu telah digembol pada kakinya sendiri, kiranya benda itu adalah sepasang belenggu besi. sepasang belenggu lagi lantas dipasang pula pada kedua tangan sendiri. Tentu saja Nyo Ko dan Peng-tianglo sangat heran dan tidak dapat menerka apa maksud dan artinya perbuatan Hwesio itu membelenggu kaki dan tangan sendiri Tapi dengan demikian rasa was-was mereka juga lantas berkurang beberapa bagian. Paderi alis putih tampaknya menaruh perhatian kepada kawannya, dengan suara pelahan ia bertanya.   "Apakah hari ini waktunya?"   "Sepanjang jalan Tecu sudah merasakan gelagat tidak enak", bisa jadi hari ini,"   Jawab si Hwesio jubah hitam, mendadak ia terus berlutut, kedua tangan terangkap di depan dada serta berdo'a.   "Mo-hon pertolongan Budha- yang maha welas asih."   Habis berucap begitu, Hwesio baju hitam itu lantas menunduk dari meringkukkan tubuhnya tanpa bergerak, Selang sejenak, tubuh bagian atas rada gemetar, napasnya mulai ter-engah2, makin lama makin ngos2an, sampai akhirnya suara napasnya menjadi seperti raungan kerbau yang sekarat, sampai rumah papan itu bergetar oleh suara raungannya dan bunga salju di atas atap sama rontok.   Tidak hanya Peng-tianglo saja yang terkejut dan kebat-kebit hatinya, tapi Nyo Ko dan Siao-liong-li juga saling pandang dengan bingung, mereka tidak tahu apa yang dilakukan Hwesio baju hitam itu, dari suara raungannya itu tampaknya dia sedang menderita siksaan yang maha hebat.   Tadinya Nyo Ko berprasangka buruk terhadap Hwesio baju hitam itu, sekarang mau tak-mau timbul rasa kasihannya.   pikirnya.   "Entah penyakit aneh apa yang dideritanya, mengapa Hwesio alis putih tidak ambil pusing, bahkan anggap tidak tahu dan tidak lihat suara napasnya yang keras itu?"   Selang sebentar pula, suara napas Hwesio baju hitam semakin memburu, dengan pelahan Hwesio alis putih berkatalah "Tidak seharusnya diperbuatnya tapi telah diperbuatnya, seharusnya diperbuat malah tidak diperbuatnya, terbakar oleh mengamuk nya api penyesalan terjerumuslah ke jalan sesat di-jelmaan mendatangi...."   Kalimat sabda Budha itu diucapkan Hwesio itu dengan pelahan, tapi ternyata dapat terdengar dengan jelas di tengah suara napas Hwesio baju hitam yang gemuruh, Nyo Ko terkejut akan Lwekang si Hwesio tua yang hebat itu, rasanya di jaman ini jarang ada bandingannya.   Terdengar Hwesio alis putih meneruskan membaca weda Budha "Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya, dengan begitu hatipun tenteram, tidak perlu lagi memikirkannya pula, jangan karena rasa penyesalannya itu, tidak melakukan apa2 yang seharusnya dilakukannya, kejahatan2 yang sudah diperbuatnya, tidak mungkin ditariknya kembali."   Lambat laun napas Hwesio baju hitam menjadi pelahan dan akhirnya berhenti, sambil berenung iapun menggumam.   "Kalau orang berdosa mau -menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya. Suhu, Tecu menyadari macam perbuatan di masa lalu itu berdosa, Tecu sangat menyesal dan hampir tak dapat mengatasi perasaan berdosa sendiri ini. Yang Tecu pikirkan adalah. kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak dapat ditarik kembali Karena itu hati Tecu tidak jadi tenang dan gembira, bagaimana sebaiknya ini?"   "Berbuat salah dan mau menyesalinya, biasanya sukar terjadi,"   Ujar Hwesio alis putih.   "Manusia bukan Nabi, manabisa tanpa berbuat salah. Berbuat salah dan mau memperbaikinya, itulah yang maha muIia."   Sampai di sini mendadak Nyo Ko teringat kepada namanya sendiri, yakni "Ko" (salah), menurut ibunya dia juga mempunyai nama alias "Kay-ci" (perbaikilah), jadi persis seperti apa yang diucapkan Hwesio alis pulih tadi, ia menjadi ragu apakah pendeta tua ini adalah seorang maha sakti yang sengaja datang buat membuka pikirannya? Mau-tak-mau timbul rasa kagum dan hormatnya kepaaa pendeta yang ucapannya penuh filsafat hidup ini.   Terdengar Hwesio baju hitam berkata pula.   "Akar kejahatan Tecu sukar dilenyapkan sepuluh tahun yang lalu. Tecu sudah lama mengikuti ajaran Suhu dan tetap terjadi menewaskan jiwa tiga orang, sekarang darah Tecu terasa bergolak dan sukar diatasi mungkin sekali Tecu akan berbuat dosa pula, Untuk ini mohon welas asih Suhu, sukalah potong saja kedua tangan Tecu ini."   "Syahdu! Syahdu! Biarpun kudapat potong ke dua tanganmu, tapi pikiran jahat dalam hatimu harus kau babat sendiri. Kalau pikiran jahat belum lenyap, meski kaki dan tanganmu putus juga percuma saja, Coba dengarkan, akan kuceritakan sebuah kisah "lnduk menjangan dan si pemburu, bagimu."   "Tecu siap mendengarkan,"   Jawab si baju hitam sambil duduk bersila, Di balik ruangan sana Nyo Ko dan Siao-liong-Ii juga lantas duduk tenang ikut mendengarkan cerita pendeta itu.   "Ada seekor induk menjangan dengan dua ekor anak menjangan,"   Demikian Hwesio alis putih mulai berkisah.   "Malang bagi induk menjangan itu karena tertangkap oleh seorang pemburu, Pemburu akan membunuh induk menjangan, dengan sangat induk menjangan minta dikasihani katanya.   "Aku mempunyai dua anak, masih kecil dan lemah, belum mahir mencari makan dan minum. Mohon di beri kelonggaran sementara waktu agar dapat mengajarkan cara mencari makan bagi anakku, habis itu pasti kudatang kembali untuk menyerahkan diri" - pemburu tidak mengidzinkan, Induk menjangan memohon pula dengan memelas, akhirnya hati pemburu terharu dan meluluskannya, induk menjangan menemukan kedua anaknya dan saling bermesraan dengan girang dan sedih pula induk menjangan menceritakan nasibnya yang malang dan berharap kedua anaknya menjaga diri. Sudah tentu anak menjangan yang masih kecil itu tidak paham maksud sang induk. Lalu induk menjangan membawa kedua anaknya ke tempat yang banyak rumput dan sumber air, setelah memberi petunjuk cara2 mencari hidup lain, dengan berlinang air mata kemudian induk menjangan lantas mohon diri."   Mendengar sampai disini, Siao-liong-li jadi teringat kepada jiwa sendiri yang sudah dekat ajalnya, tanpa terasa iapun mencucurkan air mata, walaupun tahu cerita Hwesio itu cuma dongeng belaka, tapi cinta kasih ibu dan anak dalam cerita itu sangat mengharukan hati Nyo Ko.   Dalam pada itu Hwesio alis putih sedang melanjutkan ceritanya.   "Sehabis memberi pesan, induk menjangan lantas melangkah pergi. Kedua anak menjangan lantas menangis sedih dan terus mengikutinya dari belakang, walaupun kecil dan lemah, larinya lambat dan jatuh bangun, namun tetap tidak mau berpisah dengan sang induk. induk menjangan lantas berhenti dan menoleh, katanya.   "O, anakku, janganlah kalian ikut, kalau dilihat pemburu itu, tentu jiwa kita akan tamat semuanya, ibu rela mati, cuma kalian yang masih kecil dan lemah, Di dunia ini menang tiada suatu yang abadi, setelah berkumpul akhirnya juga akan berpisah. Nasibku yang jelek sehingga membikin kalian kehilangan ibu sejak kecil." - Habis berkata ia terus berlari ke tempat si pemburu. Kedua anak menjangan sangat menginginkan kasih sang induk, tanpa gentar kepada panah si pemburu merekapun mencari sampai di sana. Melihat induk menjangan menepati janji dan rela untuk mati, kejujuran dan kesetiaannya sukar dibandingi manusia. Dilihatnya pula antara induk dan anak menjangan itu merasa berduka dan berat untuk berpisah, si pemburu merasa tidak tega dan akhirnya membebaskan induk menjangan."   Habis mendengar cerita itu, air mata bercucuran memenuhi muka si Hwesio jubah hitam, katanya.   "Menjangan saja mengutamakan janji, induknya baik hati dan anaknya berbakti, betapapun Tecu tak dapat meniru mereka."   "Asal timbul perasaan kasih, seketika napsu membunuh akan lenyap,"   Kata Hwesio alis putih sembari memandang sekejap ke arah Peng-tianglo. Dengan sujud Hwesio baju hitam mengiakan Lalu Hwesio alis putih berkata pula.   "Jika ingin menebus kesalahan, jalan satu2 nya adalah berbuat amal. Dari menyesali perbuatan yang seharusnya dilakukan di masa lalu, ada lebih baik selanjutnya lebih banyak berbuat sesuatu yang harus dikerjakan."   Habis ini ia menghela napas pelahan dan menambahkan pula.   "Sekalipun aku sendiri selama ini juga banyak berbuat kesalahan." - Lalu ia memejamkan kan mata seperti orang semedi. Setelah mendengarkan cerita sang guru, Hwesio baju hitam seperti mulai sadar, tapi gejolak perasaannya selalu sukar diatasi. Waktu ia mengangkat kepalanya, dilihatnya Peng-tianglo sedang memandangnya dengan tersenyum simpul, kedua matanya menyorotkan cahaya yang sangat tajam dan kuat. Hwesio baju hitam terkesiap, ia merasa pernah bertemu dengan orang ini, terasa pula sorot mata orang menimbulkan perasaan sangat tidak enak, cepat ia berpaling ke arah lain, tapi hanya sejenak kembali ia menoleh ke sana.   "Wah, lebat sekali salju yang turun ini,"   Kata Peng tianglo dengan tertawa.   "Ya, ya, lebat sekali,"   Jawab Hwesio baju hitam.   "Marilah kita pergi melihat pemandangan hujan salju ini,"   Kata Peng-tianglo pula sambil membuka pintu.   "Baiklah, kita pergi melihat pemandangan hujan salju,"   Jawab si Hwesio sambil berbangkit dan berdiri di luar pintu di samping Peng-tianglo. Dari balik dinding Nyo Ko juga merasakan sorot mata Peng-tianglo yang aneh itu, samar2 ia merasakan sesuatu alamat yang tidak enak.   "Ucapan gurumu sangat tepat, membunuh orang sekali2 jangan, tapi seluruh tubuhmu penuh tenaga yang me luap2, kalau tidak bergebrak dengan orang rasanya tidak tahan, begitu bukan?"   Demikian Peng-tianglo berkata pula dengan tertawa. Secara samar2 si Hwesio baju hitam mengiakan, Lalu Peng-tianglo berkata pula.   "Boleh coba kau hantam orang salju ini, pukul saja, kan tidak berdosa."   Hwesio baju hitam memandang orang salju itu dan mengangkat tangannya, hasratnya ingin sekali melancarkan pukulannya.   Sementara itu tubuh si pengemis kurus itu sudah teruruk lagi oleh bunga salju yang bertebaran sejak tadi, maka kedua matanya juga tertutup oleh salju.   "HayoIah, pukul saja dengan kedua tanganmu, hantam orang salju ini! Pukul, hayo pukul!"   Demikian Peng-tiangIo menganjurkan pula, suaranya halus, tapi penuh daya memikat.   "Baik, akan kupukul."   Kata si Hwesio baju hitam sambil mengumpulkan tenaga pada tangannya. Si Hwesio alis putih mengangkat kepala dan menghela napas panjang, dengan pelahan ia menggumam.   "Sekali napsu membunuh timbul, seketika terjadi mala petaka,"   Segera terdengar suara "blang"   Yang keras, kedua tangan Hek-ih-ceng (Hwesio baju hitam) menghantam sekaligus. salju berhamburan dan terdengar jeritan pengemis kurus. Rupanya Hiat-to yang tertutup tergetar buka terkena pukulan Hek-ih-ceng"   Jeritan itu sangat ngeri dan menyeramkan dan berkumandang hingga jauh menggema angkasa pegunungan itu. Siaoliong-li juga bersuara kaget dan memegangi tangan Nyo Ko dengan erat.   "Ha, di dalam salju ada orang!"   Teriak Hek-ih-ceng kaget Cepat Pek-bi-ceng (Hwesio alis putih) berlari keluar dan memeriksa keadaan sang korban, ternyata pengemis kurus itu sudah binasa terkena pukulan tangan besi yang maha sakti si Hek-ih-ceng"   Seketika Hwesio baju hitam ini melongo dengan bingung, sedangkan Peng tianglo berlagak kaget dan berseru.   "He, benar2 aneh, untuk apakah orang ini sembunyi didalam gundukan salju? Eh, mengapa dia membawa senjata?"   Meski dengan Liap-hun tayhoatnya dia berhasil mempengaruhi Hek-ih-ceng membinasakan si pengemis kurus, sudah tentu ia sangat senang, tapi iapun merasa heran pula mengapa si kurus sanggup bertahan tanpa bergerak bersembunyi di dalam gundukan salju dan tidak mendengar suaraku menyuruh orang menghantamnya? "Suhu...   Suhu!"   Dengan melongo bingung ber-ulang2 Hek-ih-ceng memanggil sang guru.   "Karma! karma!"   Ucap Pekbiceng.   "Orang ini tidak dibunuh olehmu, tapi juga kau yang membunuhnya."   Hek-ih-ceng mendekap di atas tanah salju dan bertanya dengan suara gemetar.   "Tecu tidak paham artinya."   "Kau mengira hanya orang salju belaka dan hatimu tiada bermaksud mencelakai orang,"   Kata Pek-bi-ceng.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Tapi tenaga pukulanmu maha dahsyat waktu melancarkan serangan, masakah sama sekali tiada pikiranmu hendak membunuh orang!"   "Sesungguhnya Tecu memang berkehendak membunuh orang"   Jawab Hek-ih-ceng.   Pek-bi-ceng lantas memandangi Peng-tianglo hingga sekian lama, sorot matanya halus penuh welas asih, Tapi hanya sekali pandang saja, Liap-hun tay-hoat yang menggetar sukma orang, ilmu andalan Peng tianglo itu lantas sirna tanpa bekas.   Mendadak Hek-ih ceng berteriak.   "He... kau... kau adalah Tianglo di Kay-pang dahulu itu, ya, ya, betul ingatlah aku sekarang!"   Seketika wajah asli Peng-tianglo timbul dari balik sikapnya yang selalu ramah tamah dan tersenyum simpul itu, air mukanya lantas penuh rasa bertentangan batin, katanya.   "Ah, engkau adalah Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang, mengapa engkau menjadi Hwesio?"   Kiranya Hwesio baju hitam ini memang betul ialah Kiu Jian yim, ketua Tiat-ciang-pang.    Bangau Sakti Karya Chin Tung Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong

Cari Blog Ini