Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 63


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 63


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   Setelah terjadi pertandingan di puncak Hoa-san dahulu, dia telah menyadari segala dosanya di masa lampau dan mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, iapun menjadi Hwesio.   Dan Pek-bi-ceng atau Hwesio alis putih ini bukan lain daripada It-teng Taysu, namanya sejajar dengan Ong Tiang-yang, Ui Yok-sui.   Auyang Hong dan Ang Jit-kong itu.   Sesudah menerima agama Budha, Kiu Jian yim mendapatkan nama agama sebagai Cu-in.   Dengan giat dia mempelajari agamanya dan telah memperoleh kemajuan pesat.   Cuma dahulu dia sudah terlalu banyak berdosa, akar kejahatannya sukar dibasmi seluruhnya, kalau kutemukan daya pikat yang kuat dari luar, terkadang dia masih suka umbar kemurkaannya dan mencelakai orang, sebab itulah dia telah membuat dua pasang belenggu besi, apabila pikirannya sedang judek, ia lantas membelenggu kaki tangan sendiri untuk mengekang tindak jahatnya.   Suatu hari lt-teng Taysu menerima berita minta tolong dari muridnya, yaitu Cu Cu-liu, maka dari negeri Tayli It-teng Taysu lantas membawa Cu-in berangkat ke Coat-ceng-kok.   Tak terduga di pegunungan sunyi ini mereka bertemu dengan Peng-tianglo dan tanpa sengaja Cu-in telah membunuh satu orang pula.   Sejak menjadi Hwesio, selama belasan tahun baru pertama kali ini ia membunuh orang meski ada juga pelanggaran yang diperbuatnya, seketika hatinya menjadi bimbang, ia merasa latihannya selama belasan tahun telah hanyut ke laut seluruhnya.   Dengan pelahan ia menoleh dan memandang Peng-tianglo dengan mata berapi.   It-teng Taysu tahu saatnya sangat gawat, kalau mengalangi dia dengan kekerasan, tentu pikiran jahatnya akan semakin menumpuk dan pada suatu hari pasti akan meluap laksana air bah yang tidak terbendungkan.   Hanya dengan jalan menimbulkan rasa welas-asih kepada sesamanya barulah pikiran-jahatnya dapat dilenyapkan dan menuju ke jalan yang bersih.   Begitulah sambil berdiri di samping Cu-in, pelahan- It-teng Taysu menyebut."   "O-mi to-hud!" -Sampai hampir ratusan kali ia menyebut nama Budha barulah sorot mata Cu-in mulai meninggalkan tubuh Peng-tianglo, lalu berduduk di tanah dan napasnya ter-engah2 pula. Sudah sejak dulu Peng-tianglo tahu ilmu silat Kiu Jian-yim maha hebat, tapi kalau ia dapat dipengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, maka dapatlah dia peralat sesukanya. Siapa tahu kemana sinar mata It-teng Taysu menyorot, seketika perasaannya seperti tertekan oleh sesuatu yang maha berat dan sukar mengeluarkan ilmunya. Maklumlah, Liap-hun-tay-hoat itu kira2 serupa dengan sebangsa ilmu bipnotis atau telepati pada jaman kini, dengan kekuatan batin untuk mengendalikan pihak lawan, kalau kekuatan batin lebih kuat daripada dirinya, maka ilmu itu takkan berhasil sama sekali. Dalam hal ini pikiran It-teng ternyata lebih kuat daripada Peng-tianglo sehingga sukar dipengaruhinya. Kini Peng-tianglo sudah menginsyafi keadaannya yang berbahaya. ia pikir Hwesio tua yang senantiasa menganjurkan orang berbuat bajik ini semoga dapat mempengaruhi Kiu Jian-yim. Kalau dirinya melarikan diri sekarang, betapapun pasti sukar lolos dari kejaran Kiu Jian yim yang Ginkangnya terkenal maha hebat. Terpaksa ia meringkik di pojok rumah dengan hati kebat-kebit, pandangannya sekejap saja-tidak berani meninggalkan gerak-gerik Kiu Jian-yim. Tidak lama kemudian suara napas Cu-in semakin memburu pula, tiba2 ia berseru.   "Suhu, pembawaanku memang orang jahat, Thian tidak berkenan menerima penyesalanku, meski aku tidak sengaja membunuh orang, akhirnya mencelakai juga jiwa orang. Aku tidak mau menjadi Hwesio lagi."   "Ampun! Ampun Akan kuceritakan pula sebuah kisah padamu,"   Kata It- teng. Mendadak Cuin berteriak dengan suara keras.   "Kisah apa lagi? Sudah belasan tahun kau menipu diriku, aku tak percaya lagi padamu."   Krak-krek, tahu2 belenggu pada kaki dan tangannya itu retak dan terlepas. Dengan suara halus It-teng berkata pula.   "Jika perbuatan yang sudah terlanjur terjadi tidak perlu dirisaukan, jangan kau sesalkan lagi."   Namun Cu-in lantas berbangkit ia meng-geleng2 kepada It-teng, habis itu ia memutar tubuh dan menghantamkan kedua tangannya.   "blam", tahu2 tubuh Peng-tianglo mencelat dan menumbuk dinding gubuk terus melayang keluar. Di bawah pukulan telapak tangan besi yang maha dahsyat itu jelas otot tulangnya pasti hancur, biarpun jiwanya rangkap sepuluh juga pasti tamat riwayatnya. Nyo Ko dan Siao-liong-li juga kaget mendengar suara gedubrakan yang keras itu, cepat mereka memburu keluar dari ruangan dalam, terlihat kedua tangan Cu-in terangkat ke atas, dengan sorot mata bengis ia membentak mereka berdua.   "Apa yang kalian pandang? Satu tidak berbuat, dua tidak berhenti (artinya kalau sudah telanjur berbuat, ya sekalian kerjakan saja), hari ini sengaja kuIanggar pantangan membunuh,"   Habis berkata, tenaga yang sudah terkumpul pada kedua tangannya segera akan dihantamkan. Dengan tenang It-teng Taysu melangkah maju dan mengadang di depan Nyo Ko berdua, di situ ia berduduk dan mcngucap Budha, air mukanya kereng, katanya.   "Belum jauh kau tersesat, masih sempat kembali jika kau mau. Cu-in, apakah benar2 kau ingin terjerumus ke alam yang tak tertolong pula."   Wajah Cu-in sebentar merah sebentar pucar kusut sekali pikirannya, terjadilah pertentangan batin antara baik dari jahat.   Rupanya pikiran jahatnya akhirnya berkobar lebih hebat, mendadak sebelah tangannya menghantam ke arah It-teng taysu.   Dengan satu tangan terangkat di depan dada It-teng menahan serangan itu dengan tubuh rada tergeliat.   "Bagus, jadi kau benar2 ingin memusuhi aku?"   Teriak Cu-in dengan gusar, menyusul tangan kiri lantas menghantam pula. !t-teng tetap"   Menangkis saja dan tidak balas menyerang. Dengari gusar Cu-in lantas mendamperat.   "Hm, nntuk apa kau mengalah? Hayolah membalas! Mengapa kau tidak balas seranganku? Huh apanya yang hebat antara kalian Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pakkay dan Tiong-sin-thong segala? Belum tentu kalian mampu menandingi telapak tangan besi orang she Kiu ini, Hayolah balas, kalau kau tidak balas menyerang, jangan kau penasaran jika jiwamu melayang percuma."   Meski pikiran Cu-in dalam keadaan kacau tapi ucapannya itu juga tidak salah, ilmu pukulan telapak tangan besinya boleh dikatakan mempunyai keunggulannya sendiri dibandingkan lt-yang-ci yang menjadi andalan It-teng Taysu itu.   Dalam hal ajaran agama memang It-teng jauh lebih daripada cukup untuk menjadi guru Cu-in, tapi bicara tentang ilmu silat, kalau bertempur sekuat tenaga mungkin It teng lebih unggul setingkat, tapi kalau melulu di hantam tanpa membalas, lama2 juga pasti akan terluka parah sekalipun jiwanya tidak melayang.   Akan tetapi It teng sudah bertekad lebih suka mengorbankan diri untuk menolong orang lain, lebih suka binasa kena pukulan tangan besi itu daripada balas menyerang dengan harapan Cu-in akhirnya dapat diinsafkan, jadinya sekarang mereka tidak lagi bertanding iimu silat atau tenaga dalam, tapi lebih tepat dikatakan pertarungan antara pikiran bajik dan pikiran jahat.   Nyo Ko dan Siao-liong li menyaksikan pukulan sakti Cu-in itu terus menerus dilontarkan ke arah It-teng, sampai pada pukulan ke-14, tertumpas lah darah segar dari mulut It-teng.   "Apakah kau tetap tidak mau membalas?,"   Bentak Cu-in melengak demi melihat darah yang mengucur dari mulut It teng itu. Dengan tersenyum It-teng menjawab.   "Untuk apa aku membalas? Apa gunanya jika kukalahkan kau? Apa pula paedahnya kalau kau kaIahkan diriku? Yang paling sukar adalah mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaannya sendiri."   Cu-in tampak tertegun dan bergumam.   "Mengalahkan dirinya sendiri, mengekang perasaan sendiri inilah yang sukar?"   Beberapa kalimat ucapan It-teng itu laksana bunyi geledek yang menggetar hati Nyo Ko. Pikirnya.   "Untuk mengalahkan kehendak diri sendiri dan mengekang hasrat buruk sendiri memang jauh lebih sukar daripada mengalahkan musuh yang tangguh."   Ucapan pendeta agung ini benar2 sangat tepat dan bernilai. Dalam pada itu dilihatnya kedua tangan Cu-in berhenti sejenak di atas, habis itu terus menghantam pula ke depan.   "Brak", tubuh It-teng terhuyung, darah segar kembali tersembur keluar, jenggotnya yang putih dan jubahnya sama berlepotan darah... Dari caranya menerima serangan lawan serta daya tahannya, Nyo Ko tahu ilmu silat It-teng asebenarnya terlebih tinggi daripada Hek-ih-ceng itu, tapi kalau melulu terima pukulan saja, biarpun tubuh terbuat dari besi juga akhirnya akan meleyot. Kini Nyo Ko luar biasa kagum dan hormatnya kepada It-teng Taysu, ia tahu It-teng sengaja mengorbankan diri untuk menginsafkan orang jahat, tapi iapun tak dapat menyaksikan orang baik seperti lt teng tewas begitu saja, karena itulah ia lantas mengangkat pedangnya dan mengitar ke samping It-teng, waktu Cu-in melancarkan pukulan lagi.   "sret", iapun membarengi dengan tusukan pedang. Guncangan angin pukulan yang dahsyat itu menumbuk angin pukulan Cu-in, tubuh kedua orang sama tergetar. Cu-in bersuara heran, tak tersangka olehnya bahwa di pegunungan sunyi ini ada seorang pemburu muda yang memiliki ilmu silat setinggi ini. It-teng memandang Nyo Ko sekejap, hatinya juga heran luar biasa.   "Siapa kau? Apa kehendakmu?"   Bentak Cu-in dengan bengis.   "Gurumu memberi nasihat secara baik2, mengapa Taysu tidak mau sadar?"   Jawab Nyo Ko.   "Tidak mau menerima nasihat sudah keliru, malahan kau membalas kebaikan dengan kebencian dan melancarkan pukulan keji kepada gurumu. Manusia macam demikian bukankah jauh lebih rendah daripada binatang?"   Dengan gusar Cu-in membentak.   "Apakah kaupun orang Kay-pang? Begundal si Tianglo konyol tadi?"   "Kedua orang ini memang orang busuk Kay-pang"   Jawab Nyo Ko dengan tertawa.   "Bahwa Taysu telah membinasakan mereka, menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan, mengapa engkau merasa menyesal?"   Untuk sejenak Cu-in melengak, lalu menggumam.   "Menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan... menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan..."   Setelah mengikuti percakapan It-teng dan Cu-in tadi, lapat2 Nyo Ko sudah paham isi hati mereka yakni lantaran Cu-in merasa menyesal sehingga timbul rasa benci, dari benci lantas timbul pikiran jahat. Maka ia lantas berkata pula.   "Kedua orang itu adalah anggota khianat Kay-pang, yang berkomplot dengan pihak musuh dan bermaksud menjual tanah air kita kepada bangsa lain, sekarang Taysu membunuh mereka, ini adalah pahala yang maha besar. Kalau kedua orang ini tidak mati, entah betapa orang baik2 akan menjadi korban kejahatan mereka"   Cuin merasa ucapan Nyo Ko itu sangat tepat, pelahan2 ia menurunkan tangannya yang siap menghantam itu.   Tapi segera teringat olehnya dahulu dirinya juga pernah bekerja bagi kerajaan Kim dan pernah membantu bangsa asing itu menjajah negerinya sendiri, jadi ucapan Nyo Ko itu tiada ubahnya seperti mencaci maki kesalahannya itu, mendadak pukulannya dilancarkan ke arah Nyo Ko sambil membentak.   "Kau mengaco-balo apa, binatang cilik?"   Tadinya Nyo Ko menyangka ucapannya tadi telah membangunkan hati nurani Cu-in, siapa duga mendadak orang malah melancarkan serangan maut, serangan yang cepat lagi keji itu dalam sekejap saja sudah sampai di depan dadanya, dalam keadaan gawat ia tidak sempat menangkisnya, terpaksa ia ikuti daya pukulan musuh dan melompat mundur.   "blang-blang"   Dinding papan rumah ambrol dan tubuh Nyo Ko mencelat keluar rumah. lt-teng Taysu terkejut, pikirnya.   "Apakah pemuda ini akan binasa begitu saja? tampaknya ilmu silatnya juga tidak rendah."   Pada saat lain, mendadak api unggun yang berkobar di dalam rumah itu menyurut gelap, lubang dinding yang ambrol itu dihembus angin keras, tahu2 Nyo Ko melayang masuk lagi sambil menusukkan pedangnya ke arah Cu-in dengan membentak.   "Baik, hari ini boleh kita coba2 ukur tenaga."   Rupanya Nyo Ko tadi dapat mundur lebih cepat daripada tenaga pukulan musuh, dengan menumbuk ambrol dinding rumah, dapatlah ia terhindar dari pukulan maut itu.   Kini pedangnya menusuk lurus ke depan kekuatan yang dahsyat dan sukar di tahan.   Cu-in memukulkan tangannya agar tenaga pukulan dapat mengguncang pergi daya tusuk Nyo Ko itu.   Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Nyo Ko ini adalah ajaran Tokko Kiu-pay yang tiada tandingnya, apalagi sudah digembleng di tengah air bah serta tambahan tenaga dari buah merah dibantu pula oleh rajawali sakti, kini ilmu pedang yang dikuasi Nyo Ko sudah tiada ubahnya seperti kesaktian Tokko Kiu-pay dahulu, maka telaga pukulan Cu-in itu hampir tiada artinya bagi Hyo Ko, pedang anak muda itu masih tetap menyelonong ke depan.   Keruan Cu-in kaget, cepat mengelak agar tubuhnya tidak tertembus.   Setelah bergebrak barulah sama2 mengetahui ilmu silat pihak lawan memang sangat lihay dan tidak berani lagi meremehkan musuh, It teng ter-heran2 menyaksikan semua itu, ia pikir usia anak muda ini paling2 baru Iikuran, tapi ternyata mampu menandingi ilmu pukulan tangan besi Kiu Jian-yim yang pernah menggetarkan dunia kangouw di masa lampau, malahan gaya ilmu pedang anak muda ini tidak diketahui berasal dari aliran mana meskipun pengalaman sendiri tergolong sangat luas, lebih2 pedangnya yang hitam berat itu jelas merupakan senjata yang aneh pola.   Bahkan Siao-liong-li yang cantik molek itu mengikuti pertarungan itu di samping dengan tenang2 saja, diam2 iapun yakin nona ini pasti juga tokoh yang lain daripada yang lain, Ketika ia mengawasi lebih teliti, dilihatnya diantara dahi si nona samar2 bersemu hitam, tanpa terasa ia bersuara kaget.   Siao-liong-li tersenyum melihat sikap It-teng Taysu itu, katanya.   "Oh, kau sudah tahu?"   Dalam pada itu pertarungan Nyo Ko lebih beruntung dalam hal senjata sebaliknya Cu-in lebih banyak sebuah lengan, jadinya seimbang. Terdengai pula suara "blang", papan kayu jebol sebuah, menyusul "krek"   Sekali, tiang rumah patah sebuah, padahal luas rumah itu sudah kecil bangunan kurang kukuh pula, betapapun tidak mungkin digunakan sebagai arena pertarungan dua tokoh kelas wahid, ke mana serangan mereka tiba, di situ papan kayu bertebaran, akhirnya terdengarlah suara gemuruh, sebuah tiang patah lagi serentak atap rumah lantas ambruk.   Cepat Siao-liong-li pondong Kwe Yang dan menerobos keluar melalui jendela, Di luar salju masih turun dengan lebatnya dengan angin yang menderu, Nyo Ko dan Cu-in telah mengobrak-abrik kedua rumah gubuk itu secara mentah2 dan pertandingan tetap berlangsung dengan sengitnya di bawah badai salju.   Sudah belasan tahun Cu-in tidak pernah bertempur sesengit ini dengan orang, saking bersemangat nya pukulan telapak besinya yang dahsyat itu disertai pula dengan raungan yang keras.   Sampai ratusan jurus, tenaga pedang pusaka Nyo Ko itu ternyata semakin berat, karena usia Cu-in memang sudah lanjut, lambat-laun ia merasa kewalahan untuk menahannya.   Ketika Nyo Ko menusuk lagi dari depan, Cu-in, lantas menggeser ke samping.   Tapi pedang Nyo Ko lantas menyapu sehingga menimbulkan angin keras dengan hamburan salju menyambar ke muka Cu-in.   Karena matanya tertutup bunga salju, cepat Cu-in mengusap mukanya.   Pada saat itulah pedang Nyo Ko terus memutar dari atas dan menempel di atas pundak Cu-in.   Seketika Cu in merasa seperti ditindihi oleh benda yang beribu kati beratnya dan tidak sanggup berdiri tegak, ia jatuh telentang, Ujung pedang Nyo Ko terus mengancam di dada lawan, biarpun ujung pedang itu tidak tajam, tapi beratnya tak terperikan sehingga Cu-in merasa sesak napas.   Pada saat demikian sekilas terbayang "mati"   Dalam benak Cu-in.   Sejak dia menjadi gembong Tiat-ciang-pang dan malang melintang di dunia Kangouw, selamanya dia hanya membunuh dan mencelakai orang, jarang sekali mengalami kekalahan, biarpun pernah dikalahkan Ciu Pek-thong dan lari ke wilayah barat, akhirnya dia juga dapat menggertak lari si Anak Tua Nakal itu, sekarang ia merasakan ajalnya sudah dekat pintu gerbang neraka, inilah belum pernah dialaminya selama hidup, mau-tak-mau timbul rasa penyesalannya, kalau tamat begini saja riwayatnya, ia merasakan segala dosa yang pernah diperbuatnya menjadi tak bisa ditebus lagi.   Selama ini kuliah It-teng Taysu tidak dapat membuka pikirannya yang gelap, kini ancaman pedang Nyo Ko ternyata merupakan bunyi guntur yang dapat memecahkan segala persoalan dan seketika membuatnya teringat, ternyata begini mengenaskan kalau dibunuh orang, jika begitu orang2 yang pernah kubunuh dahulu tentu juga mengenaskan seperti ini.   Diam2 It-teng sangat kagum menyaksikan Nyo Ko akhirnya dapat menaklukkan Cu-in, segera ia melangkah maju, jarinya menyelentik pelahan pada batang pedang, seketika Nyo Ko merasa lengan kiri kesemutan, pedang lantas bergetar ke samping, serentak Cu-in melompat bangun dan menjura kepada It-teng sambil berseru.   "Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati!"   It-teng tersenyum dan meraba punggungnya, katanya.   "Tidaklah mudah kau dapat menginsafl segalanya, kau harus berterima kasih kepada anak muda ini."   Tadinya Nyo Ko juga sudah sangsi kalau Hwe-sio tua beralis putih ini adalah It-teng Taysu, setelah pedangnya terselentik ke saraping, tanpa sangsi lagi akan dugaannya, sebab soal tenaga jari sakti pada jaman ini selain Ui Yok-su hanya It-yang-ci saja yang dapat mengimbanginya dan tokoh nomor satu It-yang-ci tiada lain adalah It-teng Taysu, segera iapun menyembah dan berkata.   "Tecu Nyo Ko memberi salam hormat kepada Taysu." - Dilihatnya pula Cu-in mendekatinya dan menjura padanya. Cepat ia membalas hormat dan berkata.   "Wah, mana kuberani terima penghormatan sebesar ini, Locian-pwe,"   Lalu ia tuding Siao-liong-li dan menambahkan pula.   "lni adalah isteriku she Liong, Eh,liong-ji, lekas memberi hormat kepada Taysu."   Dengan ber-gegas2 Siao-libng-li melangkah maju dengan memondong Kwe Yang serta memberi hormat.   "Kedua rumah ini sungguh malang sehingga kitapun tiada tempat berduduk untuk ber-bincang2"   Kata It-teng dengan tertawa.   "Tadi pikiran Tecu menjadi gelap dan hilang akal, apakah luka Suhu berbahaya?"   Tanya Cu-in.   "Kau sendiri apakah sudah sehat?"   Tanya It-teng sambil tersenyum.   Cu-in merasa sangat menyesal dan tidak tahu apa yang harus diucapkan, ia coba menegakkan tiang rumah gubuk itu, dinding papan dibetulkan sehingga sekedarnya sebuah gubuk dapat didirikan kembali sekadar tempat bernaung, sementara itu Nyo Ko juga menceritakan pengalamannya berkenalan dengan Bu Sam-kong dan Cu Cu-liu serta terkena racun di Coat-ceng-kok, lalu Paderi Hindu dan Cu Cu-liu berusaha mencarikan obat baginya.   "Kedatangan kami berdua ini justeru hendak pergi ke Coat-ceng-kok,"   Tutur It-teng Taysu.   "Apakah kau tahu hubungan Cu-in Hwesio ini dengan penguasa wanita Coat-ceng-kok itu?"   Karena beberapa kali mendengar Peng-tianglo dan Cu-in menyebut "Kiu-pangcu", maka Nyo Ko lantas bertanya.   "Apakah asalnya Cu-in Taysu she Kiu, yaitu Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang dahulu?" - Ketika dilihatnya Cu-in mengangguk pelahan, lalu ia berkata pula padanya.   "Jika kegitu penguasa wanita Coat ceng-kok itu adalah adik perempuanmu."   "Benar,"   Jawab Cu in.   "apakah adik perempuanku baik2 saja?"   Nyo Ko merasa sukar untuk menjawabnya. Kaki dan tangan Kiu Jian-jio telah dibikin cacat oleh sang suami, jadi bagaimanapun tak dapat dikatakan "baik."   Melihat anak muda itu ragu2 menjawabnya, Cu-in berkata pula.   "Adik perempuanku itu suka menuruti adatnya sendiri, kalau dia mengalami sesuatu juga tidak perlu diherankan."   "Adikmu hanya cacat tangan dan kaki saja, badannya sih sehat2 saja,"   Kata Nyo Ko. Cu-in menghela napas, katanya.   "Selang sekian tahun, semua sudah tua..., biasanya dia cuma akur dengan Toako kami saja..."   Sampai disini ia lantas ter-mangu2 mengenang masa lampau It-teng Taysu tahu pikiran Cu-in belum bersih dari urusan kehidupan manusia, kalau tadi dia menyesal dan insaf adalah karena menghadapi detik antara mati dan hidup, maka pikiran jahatnya mendadak lantas Ienyap, padahal pikiran jahat dalam benaknya belum hilang sampai akarnya, kelak kalau terpengaruh lagi daya kuat dari luar mungkin penyakitnya akan kambuh lagi dan sukarlah dibayangkan apakah kelak mampu mengatasinya atau tidak.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Melihat It-teng memandangi Cu-in dengan sorot mata yang kasihan, tiba2 Nyo Ko merasa tindakannya tadi bisa jadi malah membikin urusan semakin runyam, maka ia lantas bertanya.   "Taysu, tindakanku yang bodoh tadi apakah salah, mohon Taysu memberi petunjuk."   "Hati orang sukar dijajaki, seumpama aku dihantam mati olehnya juga belum tentu dia akan sadar dan mungkin malah kejeblos lebih dalam,"   Jawab It-teng.   "Yang jelas kau telah menyelamatkan jiwaku, mana bisa salah? Sungguh aku sangat berterima kasih padamu."   Lalu dia berpaling jkepada Siao-liong-Ii dan berianya.   "Cara bagaimana nyonya ini terkena racun?"   Mendengar pertanyaan itu, seketika Nyo Ko rSeperti melihat setitik sinar harapan dalam kegelapan, cepat ia menjawab.   "Dia terluka dan waktu itu sedang berusaha dengan penyembuhan melancarkan urat nadi, tak terduga pada saat yang gawat itu mendadak terserang rahasia berbisa, Apakah Taysu sudi menaruh belas kasihan dan menolong jiwanya?"   Habis berkata tanpa terasa ia berlutut lagi di hadapan It-teng Taysu. It-teng membangunkan anak muda itu dan berkata.   "Cara bagaimana penyembuhan dengan melancarkan urat nadi itu dilakukan?"   "Dia mengerahkan tenaga dalam secara terbalik berbaring di dipan kemala dingin serta ditambah bantuanku,"   Tutur Nyo Ko serta menceritakan secara ringkas apa saja yang telah dilakukannya.   Maka pahamlah It-teng, berulang2 ia menyatakan rasa herannya, ia coba memegang nadi pergelangan tangan Siao-liong-li, lalu kelihatan sedih tanpa membeli keterangan.   Dengan ter-mangu2 Nyo Ko juga memandangi It-teng dengan penuh harapan dari mulut Hwesio agung itu akan bercetus ucapan.   "Dapat ditolong", sedangkan pandangan Siao-liong-li terarahkan kepada Nyo Ko, sudah sejak mula tak terpikir olehnya bahwa jiwanya dapat bertahan sampai sekarang, maka ia coba menghibur Nyo Ko yang kelihatan menanggung sedih tak terkatakan itu.   "Ko-ji, hidup atau mati sudah ditakdirkan mana bisa dimohon secara paksa, untuk ini hendaklah kau dapat berpikir panjang dan jangan terlalu merisaukannya."   Baru pertama kali ini It-teng Taysu mendengar Siao-liongli buka suara, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perempuan muda seperti ini dapat bicara seterang itu, biasanya setiap orang pasti cemas dan sedih menghadapi persoalan mati hidup sendiri, tapi ucapan Siao-liong-li tadi se-akan2 seorang alim yang sudah tinggi ibadatnya, mati seakan2 pulang saja.   Diam2 It-teng memuji sepasang muda-mudi ini sungguh manusia luar biasa, yang lelaki sangat hebat ilmu silatnya, yang perempuan memiliki ketinggian batin yang tiada bandingannya, Cuma sayang, karena racunnya sudah merasuk terlalu dalam, aku sendiripun terluka dan tak dapat menggunakan ilmu jari sakti It-yang-ci.   Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata.   "Meski usia kalian berdua masih muda, tapi sudah memiliki kebatinan yang tinggi, biarlah kukatakan terus terang saja...."   Mendengar sampai di sini, hati Nyo Ko serasa tertekan, kedua tanganpun terasa dingin.   "Racun dalam tubuh nyonya memang sudah mendalam,"   Demikian It-teng menyambung.   "kalau saja aku tidak terluka, dapat kubantu menyetop bekerjanya racun dengan lt-yang ci, habis itu berusaha mencarikan obat mujarab baginya, tapi sekarang ya, untung Lwekang nyonya sudah terlatih amat tinggi, akan kuberi lagi satu biji obat ini, setelah diminum dapat di jamin selama tujuh hari tujuh malam takkan terjadi alangan apapun, Kita segera berangkat pula ke Coatceng-kok untuk mencari Suteku".   "Benar."   Seru Nyo Ko sambil berdiri.   "Memang kepandaian mengobati keracunan rahib sakti Hindu itu maha hebat, beliau pasti mempunyai cara pengobatannya."   "Andaikan Suteku juga tidak mampu menolongnya, maka anggaplah memang sudah takdir"   Kata It-teng.   "Di dunia ini banyak anak2 yang belum lama dilahirkan sudah lantas mati pula, sedangkan nyonya sudah menikah barulah mengalami kejadian ini sehingga tidak dapat dikatakan pendek umur."   Selesai berkata, lt-teng lantas termenung karena teringat kepada anak yang dilahirkan selirnya yaitu Lau-kwi hui, hasil hubungan gelap selir itu dengan Ciu Pek-thong, akibat dendam dan cemburu dirinya dan berkeras tidak mau mengobati anak itu dengan It-yang-ci, akhirnya bocah itupun meninggal sedangkan orang yang menyerang anak itu bukan lain daripada Cu-in Hwesio ini.   Dahulu It-teng juga tidak tahu bahwa Cu-in memukul anak itu, baru diketahui setelah Kiu Jian-yim alias Cu-in itu mengangkat dia sebagai gurunya serta mengaku semua dosa yang pernah diperbuatnya.   Namun satu katapun It-teng tidak menyesali Cu-in, cuma dalam lubuk hatinya tidak urung timbul semacam perasaan bahwa nasib jelek sendiri adakah karena gara2 perbuatan Cu-in itu.   Begitulah dengan mata terbelalak Nyo Ko memandangi It-teng Taysu, pikirnya.   "Dapat tidak mengobati Liong-ji belum bisa dipastikan, tapi mengapa engkau sama sekali tidak menghibur sepatah katapun"   Dalam pada itu Siao-liong-li hanya tersenyum tawar saja dan mengiakan setiap ucapan It-teng Taysu, Tiba2 It teng mengeluarkan sebutir telur ayam dan diserahkan kepada Siao-liong-li, katanya.   "Coba katakan, ada ayam lebih dulu atau telur ada lebih dulu."   Ini memang teka-teki yang belum terpecahkan, Nyo Ko menjadi heran dalam keadaan begini si Hwesio tua ini sempat bertanya soal yang tidak penting ini.   Siao-liong-li lantas menerima telur ayam itu, ketika diperiksa ternyata bukan telur ayam biasa melainkan tiruan terbuat dari porselen, baik warna maupun besarnya serupa dengan telur asli.   Setelah berpikir sejenak Siao-liong-li lantas tahu maksud orang, katanya.   "Telur menetaskan ayam, ayam besar bertelur, kalau ada lahir tentu juga ada mati."   Segera ia pencet telur itu dan tertampaklah satu biji obat warna kuning di dalamnya mirip kuning telur.   "Lekas diminum,"   Kata lt-eng, taysu.   Tanpa pikir Siao-Hong-ii terus memasukkam obat itu ke mulut, ia tahu obat itu pasti sangat berharga.   Esok paginya hujan salju masih belum mereda.   m .Nyo Ko pikir jarak dari sini ke Coat-ceng-kok tidak dekat, meski It-teng Taysu menyatakan obatnya dapat mempertahankan jiwa Siao-liong li selama tujuh hari tujuh malam, untuk mencapai lembah itu masih harus menempuh perjalanan secepatnya baru dapat tiba tepat pada waktunya.   Maka ia lantas berkata.   "Taysu, apakah lukamu sendiri tidak beralangan?"   Sebenarnya luka It-teng cukup parah, tapi demi menolong sang Sute, Cn Cu-liu serta Siao-liong-li yang takdapat di-tunda2 lagi, segera ia menyatakan tidak beralangan dan mendahului berangkat, sekali melesat tahu2 sudah beberapa meter jauhnya Cepat Nyo Ko bertiga mengikut kencang dari belakang Setelah minum obat tadi, Siao-liong-ii merasa bagian perutnya terasa hangat, semangat terbangkit, ia melancarkan Ginkangnya dan sekaligus sudah melampaui di depan It-teng Taysu.   Cu-in terkejut, tak disangkanya bahwa nona cantik molek begini juga memiliki ilmu silat setinggi ini.   Semalam melulu menghadapi Nyo Ko saja dirinya sudah kalah, apalagi kalau perempuan muda inipun ikut maju, jelas dirinya pasti kalah terlebih cepat.   Tiba2 timbul rasa ingin menangnya, segera "tancap gas"   Dan menguber cepat ke depan.   Yang seorang adalah ahli waris Ko-bong pay dengan Ginkangnya yang tiada bandingannya di dunia ini, seorang lagi adalah jago tua yang pernah termasyhur dengan julukan "Tiat-ciang-cui-siang-hui" (telapak tangan besi mengapung di atas air) yang menggambarkan betapa hebat ilmu pukulannya seru kecepatan berlarinya.   Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling uber menguber di kejauhan dan sejenak pula hanya tampak dua titik hitam saja di tanah salju sana.   Kuatir pikiran jahat Cu-in mendadak timbul lagi dan mencelakai Siao liong-li, cepat Nyo Ko mengejar ke sana.   Ginkangnya sebenarnya bukan tandingan kedua orang itu, tapi dia miliki tenaga dalam yang kuat, dengan sendirinya tenaga kakinya juga lain daripada yang lain, semula jaraknya dengan kedua orang itu sangat jauh, tapi setelah sekian lamanya, bayangan kedua orang di depan itu muIai nampak dan semakin jelas kelihatan.   Selagi Nyo Ko asyik mengejar, tiba2 terdengar It-teng menegur di belakang.   "Hebat benar tenaga dalammu, siapakah gurumu, bolehkah kuketahui."   Nyo Ko terkejut, dia mengejar kedua orang didepan itu tanpa menoIeh, disangkanya It-teng- sudah jauh ditinggalkan di belakang, siapa tahu tanpa besuara Hwesio tua itu tetap mengintil rapat di belakangnya.   Segera ia mengendurkan langkah dan jalan berjajar dengan paderi itu, jawabnya.   "Kepandaianku ini adalah ajaran isteriku."   "Tapi tampaknya isterimu toh tidak lebih hebat daripadamu?"   Ujar It-teng heran.   "Entah mengapa selama beberapa bulan terakhir ini tenagaku mendadak bertambah kuat luar biasa, Cayhe sendiri tidak tahu apa-sebabnya."   "Apakah kau makan suatu obat penambah tenaga? seperti Jinsom atau Lengci dan sebagainya?"   Nyo Ko. menggeleng, Tapi tiba2 teringat sesuatu olehnya, cepat katanya pula.   "Wanpwe pernah makan beberapa puluh biji buah warna merah segar, habis makan buah2an itu tenaga lantas-banyak bertambah, entah buahan itu ada sangkut-pautnya atau tidak dalam hal ini?"   "Buah merah segar? Apakah besarnya hampir sama jeruk nipis, rasanya manis dan tanpa biji?"   "Benar, buah itu memang tiada terdapat biji Wanpwe merasa heran, kalau buah tidak berbiji lalu cara bagaimana membibitnya?"   "Barimana kaudapat buah itu?"   Tanya It-teng.   "Tecu diberi oleh seekor burung rajawali raksasa,"   Jawab Nyo Ko.   "Wah, sungguh suatu penemuan yang sukar dicari. Buah merah segar itu namanya Cu-koh (buah merah), jauh lebih sukar dicari dan bernilai daripada Jinsom dan Lengci yang paling bagus. Cu-koh itu niscaya tumbuh di lereng2 gunung yang sukar di jangkau manusia, biasanya berbuah beberapa puluh tahun sekali, bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekalipun. Agaknya rajawali raksasa itu benar2 rajawali sakti."   "Ya, memang rajawali sakti!"   Tukas Nyo Ko.   iapun berpikir kalau rajawali itu dapat diminta mencarikan beberapa biji buah merah itu untuk Liong-ji, tentu akan besar manfaatnya bagi kesehatannya.   Tapi menurut keterangan Taysu ini, katanya buah merah itu bisa jadi ratusan tahun juga tidak pernah berbuah sekali, entah kesempatan mendapatkan buab merah itu kelak masih terluka atau tidak? Begitulah sambil bicara kaki merekapun tidak lemah berhenti, beberapa lama kemudian, jarak mereka dengan Siao-liong-li dan Cu-in sudah bertambah dekat, It-teng dan Nyo Ko saling pandang dengan tersenyum.   Rupanya Ginkang mereka memang tidak sehebat Siao-liong-Ii dan Cu-in, tapi dalam hal lomba lari jarak jauh, kepastian terakhir terletak pada tenaga dalam dan bukan bergantung kepada Ginkang, Ginkang hebat tak didukung oleh tenaga dalam yang tahan lama, akhirnya pasti mengendur larinya.   Di antara kedua orang yang berlomba di bagian depan itupun ada perbedaan, Siao-Iiong-li tampak ketinggalan beberapa meter pula di belakang.   Agaknya soal kekuatan Siao-liong-li juga kalah sedikit daripada Cu in.   Tengah berlari dan setelah melintasi sebuah tanjakan, tiba2 Nyo Ko menuding ke depan dan berkata kepada It-teng.   "He, aneh, mengapa di depan sana ada tiga orang?"   Benar juga, tidak jauh di belakang Siao liong-li ternyata ada seorang pula yang ikut berlari dengan cepat.   sekilas pandang saja Nyo Ko lantas merasakan Ginkang orang ketiga ini tidak di bawah Siao-liong-li dan Cu-in, malahan orang ketiga ini tampak memanggul sesuatu benda yang amat besar, seperti sebuah peti, namun langkahnya tetap gesit dan cepat, jaraknya selalu beberapa meter saja di belakang Siao-Iiong-li.   It-teng Taysu juga heran, sama sekali di luar dugaannya bahwa di pegunungan sunyi ini ber-turut2 bertemu dengan orang kosen, semalam bertemu dengan sepasang suami isteri muda yang hebat, sekarang orang yang ikut berlari di depan itu jelas adalah seorang kakek.   Sementara itu Siao-liong-li yang ketinggalan di belakang Cu-in itu semakin menjauh jaraknya, ketika didengarnya di belakang ada suara langkah orang, disangkanya Nyo Ko yang telah menyusul tiba, maka ia lantas berkata.   "Ko-ji, Ginkang Toa-hwesio ini teramat hebat, aku tidak sanggup menandingi dia, coba saja kan menyusulnya."   Tiba2 orang di belakangnya itu tertawa dan berkata.   "Silakan kau mengaso dahulu di atas petiku ini, setelah tenagamu pulih, tentu kau akan melampaui Hwesio itu,"   Merasa suara orang bukan Nyo Ko, cepat Siao liong-li mcnoleh, dilihatnya seorang tua berjenggot dan berambut putih, siapa lagi kalau bukan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si Anak Tua Nakal, Dengan tertawa simpatik orang tua itu sambil menunjuk peti yang dipangguInya itu "Sini, mari sini, naik ke atas peti ini!"   Peti itu adalah barang Tiong-yang-kiong, mungkin tempat menyimpan kitab Coan-cin-kau, untuk menyelamatkannya dari amukan api, maka Ciu Pek thong telah menggondolnya lari.   Selagi Siao-liong-li tersenyum dan belum menjawab atas tawaran orang tua itu, mendadak Ciu pek thong menyelinap maju ke depan Siaoliong-li, sekali tangannya menolak pinggang si nona dengan enteng, Siao-liong-li di dukungnya ke atas peti yang di pangguInya itu.   Gerakannya sangat cepat, caranya aneh pula, sebelum Siao-liong-ii menghindar atau menolak, tahu2 ia sudah diangkat ke atas peti.   Mau-tak mau Siao-liong-li memuji betapa hebat ilmu silat Coan-cin-pay yang memang mempunyai keunggulan sendiri itu, bahwa para Tosu di Tiong-yang kiong itu tidak mampu menandingi dirinya hanya karena mereka belum menguasai sampai puncaknya ilmu silat perguruan mereka.   Sementara itu Nyo Ko dan It-teng juga sudah mengenali Ciu Pek-thong adanya.   Hanya Cu-in saja yang kuatir disusul Siao-liong-li, ia masih ngebut ke depan tanpa menyadari di belakangnya telah bertambah seorang lagi.   Dengan langkah cepat dan mantap Ciu Pek-thong terus mengintil di belakang Cu-in, dengan suara tertahan ia membisiki Siao-Iiong-li.   "Sebentar lagi langkahnya pasti akan lamban."   "Dari mana kau tahu?"   Tanya Siao-Iong-li dengan tertawa.   "Aku pernah berlomba lari dengan dia, dari Tionggoan kami udak mengudak sampai di wilayah barat dan dari sana memutar balik lagi ke Tionggoan, berpuluh ribu li kami telah berlari, tentu saja kutahu kemampuannya,"   Tutur Ciu Pek-thong dengan tersenyum. Duduk diatas peti itu, Siao-liong-li merasa sangat anteng dan setabil melebihi naik kuda, dengan suara pelahan ia tanya dengan tertawa.   "Lo-wan-tong, untuk apa kau membantu aku?"   "Siapa yang tidak suka membantu nona cantik seperti kau ini, kaupun tidak nakal dan centil seperti si Ui Yong,"   Jawab Ciu Pek thong.   "Malahan kaupun tidak pernah marah biarpun aku telah mencuri madumu."   Begitulah mereka berlari dengan Siao-liong-li membonceng di panggul Ciu Pek-thong, benar juga, tidak lama kemudian lambat laun langkah Cu-in mulai mengendur. Pada saat itulah Ciu Pek-thong lantas berkata.   "Pergilah!" - Berbareng pundaknya terus menyembul dan tubuuh Siao-liong-li lantas melayang jauh ke depan. Karena cukup istirahat begitu mulai lari lagi, hanya sejenak saja Siao-liong-li sudah dapat melampaui Cu-in, setelah itu ia sengaja menoleh dan tersenyum. Keruan Cu-in terkejut, lekas2 ia "tancap gas"   Pula dan ngebut sekuatnya.   Namun Ginkang kedua orang memangnya selisih tidak jauh, kini yang seorang sudah cukup beristirahat, yang lain sejak tadi ber-lari2 tanpa berhenti, maka jarak kedua orang makin lama makin menyolok dan sukar lagi bagi Cu-in untuk menyusuInya.   Selama ini Cu-in sangat bangga akan dua macam kepandaiannya yang khas dan merasa tiada tandingannya di dunia ini, tapi dalam sehari semalam saja ilmu pukulannya telah dikalahkan Nyo Ko, kini Ginkangnya dikalahkan pula oleh Siao-liong-li, seketika ia lantas lesu dan patah semangat, kedua kakinya terasa lemas se-akan2 tidak mau menurut perintah lagi Diam2 ia berkuatir apakah ajalnya sudah dekat sehingga nona jelita begitu saja mampu menyusulnya? Semalam napsu jahatnya memuncak dan melukai sang guru, sehabis itu hatinya tidak tenteram, kini dia tak sanggup lagi menyusul Siao-liong-li meski sudah mengerahkan segenap tenaganya, keruan pikirannya semakin kacau dan merasa segala urusan di dunia ini sama sekali sukar dibayangkan.   Kejadian Ciu Pek-thong membantu Siao-liong-li itu dapat dilihat dengan jelas oleh Nyo Ko yang mengintil di belakang, ia tertarik juga oleh perbuatan jahil si Anak Tua Nakal, segera ia percepat pula langkahnya mendekati Ciu Pek-thong serta menegur dengan tertawa.   "Terima kasih banyak2, Ciu-locianpwe"   "Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan si tua Kiu Jian-yim ini, mengapa semakin tua semakin konyol sehingga akhirnya cukur rambutnya hingga kelimis dan menjadi Hwesio."   "Dia telah mengangkat It-teng Taysu sebagai guru, masakah engkau tidak tahu?", tutur Nyo Ko sambil menuding ke belakang. Ciu Pek-thong terkejut, serunya.   "He, apakah Toan-hongya juga datang?"   Waktu ia menoleh dan melihat bayangan It-teng, cepat ia berseru pula.   "Wah, tidak enak, paling selamat angkat langkah seribu saja. Habis ini mendadak ia berlari menjurus ke samping terus menyusup ke dalam pepohonan yang rimbun. Nyo Ko sendiri tidak tahu apa itu "Toan Hongya" (raja she Toan) yang diucap Ciu Pek-thong itu, dilihatnya dalam sekejap saja Anak Tua Nakal itu sudah menghilang tanpa bekas, diam-diam ia merasa tindak tanduk orang tua itu sungguh aneh dan jarang ada bandingannya. Melihat Ciu Pek thong telah kabur menjauhi dirinya, It teng lantas mendekati Nyo Ko, dilihatnya Cu-in lesu dan Iemas, sikapnya semula yang bersemangat dan tangkas mendadak hilang dan entah ke mana, maka dengan suara halus ia coba menghiburnya.   "Masakah jalan pikiranmu masih belum terbuka menghadapi soal kalah dan menang begini?"   Cu-in melenggong bingung. It-teng berkata puIa.   "Setiap kehendak tentu ada kelemahannya dengan kepandaianmu yang tinggi, kalau saja engkau tidak berkeras ingin menang, masakah kau tidak mengetahui bahwa di belakangmu telah bertambah seorang penguntit?"   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sampai di sini, tiba2 terdengar Siao-Iiong-Ii berseru di depan sana ."He, lekas kemari, lihatlah ini..   Cepat Nyo Ko bertiga menyusul kesana, tertampak Siao-liong-li menunjuk pada sebatang pohon, kulit batang pohon itu terkupas, sebagian terlukis sebuah ujung panah yang mengarah ke utara, di bawah panah ada tisi kan beberapa huruf kecil yang berbunyi.   "Arah ke Coat-ceng-kok."   Huruf2 itu dicocok dengan jarum dan bersemu ke-hitam2an. Agaknya huruf2 ini dicocok dengan jarum berbisa Li Bok-chiu,"   Kata Nyo Ko.   "Benar,"   Jawab Siao-Iiong-li.   "Tapi Suciku selamanya tidak pernah ke Coat-ceng-kok, dia tidak mengenal jalanan ke sana."   Nyo Ko termenung sejenak, lalu berkata pula.   "Kwe-hujin dan nona Kwo masih menyimpan Pek-pok-gin-ciam bekas milik Li Bok-chiu. Paman Bu tahu jalanan ke Coat-ceng-kok, mungkin tulisan ini dibuat oleh rombongan mereka."   "Untuk ditujukan kepada siapa petunjuk ini?"   Tanya Siao Iiong-li.   "Muridku she Cu itu banyak tipu akalnya, dia terkurung di sana dan sempat mengirim berita mohon bantuan padaku, bisa jadi Sam-thong juga mengetahui aku akan datang ke sini,"   Kata It-teng Taysu.   Begitulah mereka berempat lantas mempercepat perjalanan mereka, lima hari pertama mereka dapat berjalan dengan cepat, tapi pagi hati keenam luka It-teng tenyata bertambah parah dan mulai tidak tahan berjalan..   Segera Cu-in berjongkok dan memaksa menggendong It-teng Taysu, dengan begitu mereka melanjutkan perjalanan tanpa terhenti Lewat lohor, sampailah rombongan mereka di mulut lembah Coat ceng kok itu.   "Apakah kita perlu memberitahukan kedatangan kita agar adikmu menyambut kedatangan Taysu,"   Tanya Nyo Ko kepada Cu-in.   Belum lagi Cu-in menjawab tiba2 terdengar di tengah lembah sana sayup2 ada suara beradunya senjata.   Kuatir akan keselamatan adik perempuan nya itu yang mungkin sudah bergebrak dengan Bu Sam-thong dan lain2, cepat Cu-in berkata."   Marilah kita masuk saja langsung ke sana untuk mencegah pertarungan mereka.   "   Be-ramai2 mereka lantas berlari ke arah datangnya suara itu.   Sesudah dekat, terlihat beberapa orang berseragam hijau dengan senjata terhunus sedang berjaga di luar semak2 pohon sana dan suara beradunya senjata berkumandang dari dalam pepohonan yang rimbun itu, sedangkan orang2 yang bertempur tidak kelihatan sama sekali.   Melihat kedatangan musuh lagi, orang2 berbaju bijau itu.   berteriak-teriak sambil menyingkir ke sayap kanan dan kiri dengan maksud hendak mendesak musuh ke tengah pepohonan.   Tapi sesudah berhadapan, mereka mengenali Siao-liong-li dan Nyo Ko, serentak mereka merandek dengan melenggong.   Salah seorang yang menjadi kepala rombongan orang2 berbaju hijau itu lantas menegur Nyo Ko.   "Cubo (majikan perempuan - Cukong majikan Ielaki) menugaskan Nyo-kongcu ke Siangyang, apakah tugas itu sudah berhasil dengan baik?"   Sudah tentu tugas yang dimaksudkan itu adalah membunuh Kwe Cing dan Ui Yong, Nyo Ko tidak menjawab sebaliknya malah bertanya.   "Siapa yang sedang bertempur itu?"   Orang itu tidak menjawab, tapi melirik dengan sangsi, karena tidak tahu kedatangan Nyo Ko ini adalah kawan atau lawan.   "Kedatanganku ini tidak bermaksud buruk,"   Jawab Nyo Ko tersenyum.   "apakah Kongsun-hujin baik2 saja, begitu pula nona Kongsun?"   Hilanglah rasa waswas orang berbaju hijau itu mendengar jawaban Nyo Ko itu, katanya kemudian.   "Terima kasih, Cubo dan nona baik2 semuanya."   Cu-in bergirang mendengar adik perempuannnya baik2 saja. Orang berbaju hijau tadi bertanya pula.   "Dan siapakah kedua Toa-hwesio ini? Apakah sehaluan dengan keempat perempuan di dalam hutan itu? "Keempat perempuan? siapakah mereka?"   Tanya Nyo Ko....   "Keempat perempuan itu telah menyerbu dalam doa jurusan, Cubo memberi perintah agar mereka diusir, tapi mereka membangkang dan sekarang telah dipancing ke dalam lingkaran bunga cinta, di luar dugaan, begitu keempat perempuan itu saling, bertemu, mereka lantas saling labrak malah,"   Demikian keterangan orang itu.   Nyo Ko terkejut mendengar keempat perempuaa itu terkurung di tengah lingkaran bunga cinta, seketika iapun tidak tahu siapakah keempat perempuan yang dikatakan itu.   Kalau Ui Yong, Kwe Hu, Wanyan Peng dan Yalu Yan, mengapa mereka berempat saling labrak? Karena itulah ia lantas berkata.   "Jika tidak keberatan, tolong, perlihatkan padaku, kalau kukenal mereka, boleh jadi dapat kulerai mereka untuk ber-sama2 menghadap Kokcu."   Orang berbaju hijau itu yakin keempat perempuan yang sudah terkurung di tengah tetumbuhan bunga cinta itu pasti sukar meloloskan diri, maka ia tak menolak permintaan Nyo Ko, segera ia membawa Nyo Ko berempat ke dalam hutan, Maka tertampaklah di suatu tanah yang rendah yang penuh dilingkari bunga2 yang indah permai ada empat perempuan yang terbagi dalam dua partai sedang bertempur dengan sengit.   Menyaksikan keadaan pertarungan keempat orang itu, serentak Nyo Ko dan Siao-liong-li terkejut bahkan Siao-liong-li sampai berseru kuatif.   Kiranya tempat di mana keempat perempuan itu bertempur adalah sebuah tanah rumput seluas tiga empat meter persegi yang sekitarnya penuh dipagari bunga cinta yang berduri itu, pagar bunga cinta yang mengitari tanah rumput dibagian tengah itu rata2 melebar sampai belasan meter jauhnya, biarpun orang yang memiliki Ginkang maha tinggal dunia ini juga tidak mampu ke luar dari pagar bunga cinta itu dengan sekali lompat, bahkan dua kali lompatan juga sukar.   It-teng Taysu dan Cu-in tidak begitu heran menyaksikan keadaan itu karena mereka tidak tahu betapa lihaynya bunga cinta itu, tapi Nyo Ko dan Siao-liong-li sudah merasakan siksaan bunga itu, maka begitu melihat mereka lantas berkuatir bagi keempat perempuan itu.   "Kiranya Suci adanya,"   Kata Siao-liong-li kemudian.   "Dia datang terlebih dulu dari pada kita"   Kiranya dua di antara keempat perempuan itu memang Li Bok-chiu dan muridnya, yaitu Ang Leng-po.   Mereka sama2 bersenjatakan pedang, mungkin setelah kebutnya patah di dalam kuburan kuno Li Bok-chiu belum sempat membuat kebut baru, sedangkan ke dua perempuan yang menjadi lawan mereka masing2 menggunakan senjata Liu yap-to (golok panjang.   sempit) dan seorang lagi memegang sebangsa seruling, potongan tubuh keduanya sama2 langsing, langkah mereka cepat dan gesit, tampaknya ilmu silat mereka juga tidak lemah walaupun jelas bukan tandingan Li Bok-chiu.   "Kiranya kedua saudara misan inilah,"   Demikianlah Nyo Ko membatin setelah mengenali kedua orang yang bukan lain daripada Thia Eng dan Liok Bu-siang.   Bertempur di tengah arena yang cuma tiga-empat meter luasnya memerlukan kecermatan yang luar biasa, sedikitpun tidak boleh salah langkah, dengan demikian bagi yang lemah ilmu silatnya menjadi rada kerepotan.   Untungnya Li Bok-chiu kurang leluasa menggunakan pedangnya yang bukan senjatanya se-hari2, sedangkan Thia Eng sejak mendapatkan didikan langsung dari Ui Yok-su, sebagian kepandaiannya yang bagus itu juga telah diajarkan kepada Liok Bu-siang, selama beberapa bulan ini mereka sudah maju pesat, ditambah lagi Ang Leng-po merasa kasihan pada Bu-siang yang pernah belajar bersama di bawah pimpinan Li Bok-chiu, ia tidak tega melancarkan serangan maut, karena itulah Bu-siang dan Thia Eng masih sanggup bertahan meski keadaan mereka sudah mulai payah.   "Tanpa sebab apa2 mengapa mereka berempat bisa menerobos ke tengah pagar bunga cinta itu dan bertempur di situ?"   Tanya Nyo Ko kepada orang berbaju hijau. Orang itu sangat bangga dan bercerita dengan pongahnya.   "lnilah perangkap rahasia yang diatur oleh Kongsun-kokcu, sekali mata2 musuh menyusup ke tengah pagar bunga cinta itu, begitu kami tutup jalan masuknya, maka semua jalan menjadi buntu dan tak mungkin bisa keluar lagi."   "Apakah mereka sudah terkena racun bunga cinta itu?"   Tanya Nyo Ko kuatir.   "Seumpama belum kena, kukira cuma soal waktu saja, sebentar lagi,"   Kata orang itu, Nyo Ko menjadi heran cara bagaimana orang2 ini mampu memancing atau memaksa Li Bok-chiu ke dalam pagar bunga cinta itu.   Akhirnya ia ingat, pasti orang2 berbaju hijau ini telah menggunakan barisan berpisau yang lihay itu.   ia menjadi kuatir kalau Thia Eng dan Bu-siang juga kena racun bunga cinta, maka di dunia ini tiada obat lagi yang dapat menyembuhkan mereka.   Dengan suara lantang ia lantas berseru.   "Thia-cici dan Liok-cici, ini-ku diriku Nyo Ko berada di sini. Kalian harus hati2 terhadap bunga2 berduri di sekitar kalian itu, tidak kepalang lihaynya racun bunga itu, awas jangan sampai tertusuk !"   Li Bok-chiu yang cerdik itu sejak mula sudah menduga pasti ada sesuatu pada bunga cinta itu, kalau musuh mengurung mereka dengan tumbuh2an berduri itu tentu ada sebabnya, maka diam2 ia teIah membisiki Ang Leng--po agar ber-hati2 dan sebisanya menjauhi bunga berduri itu.   Thia Eng dan Liok Bu siang juga bukan nona bodoh, tentu saja merekapun melihat keadaan yang tidak beres itu, sebab itulah mereka bertempur dengan waspada dan menghindari sentuhan pada tetumbuhan itu.   Kini demi mendengar peringatan Nyo Ko, di antara keempit orang itu dua orang merasa terkejut dan dua orang bergirang, tapi merekapun bertambah was-was terhadap tetumbuhan di sekitar mereka itu, pertarungan merekapun bertambah sengit mencari selamat sendiri.   Bahwasanya Thia Eng din Liok Bu-siang bertempur demi menuntut balas kematian keluarga mereka, maka mereka sudah tidak memikirkan kelamaan sendiri asalkan dapat membinasakan musuh.   sebaliknya Li Bok-chiu berhasrat harus membunuh kedua "nona"   Itu agar dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melompat dari kepungan pagar bunga cinta itu.   Kedatangan Siao liong-li dan Nyo Ko sebenarnya telah membikin Li Bok-chiu menjadi kuatir, untunglah mereka teralang oleh pagar bunga cinta dan tidak dapat memberi bantuan.   Segera ia membentak.   "Leng-po, lekas menyerang jika kau tidak ingin lekas mati di sini"   Sejak kecil Ang-Leng-po sangat takut kepada sang guru, cepat ia mengiakan dan pedangnya lantas menusuk ke arah Thia Eng.   Tekanan kepada Liok Bu-siang menjadi kendur, tapi Thia Eng lantas terancam bahaya.   Ketika Thia Eng angkat serulingnya menangkis serangan Ang Leng po dari belakang itu, mendadak secepat kilat pedang Li Bok-chiu juga menyerang ke tenggorokannya.   Dengan sendirinya Bu-sing tidak tinggal diam, segera goloknya menangkis.   Namun Li Bok-chiu telah angkat pedangnya berbareng sebelah kakinya kena memegang pergelangan tangan Bu-siang sehingga goloknya terlepas dari pegangan dan jatuh ke tengah bunga cinta.   Menyusul itu pedang Li Bok Chiu bergerak pula, ber-turut2 dia, menusuk tiga kali sehingga Thia Eng tidak mampu menangkisnya dan terpaksa mundur ke belakang, kalau dia mundur lagi selangkah tentu akan menginjak bunga berduri itu.   "Awas, Eng-ci, jangan mundur lagi!"   Seru Bu-siang kuatir.   "Tidak mundur boleh maju saja!."   Jengek Li Bok-cniu sambil melangkah mundur satu tindak. Thia Eng tahu, orang pasti tidak bermaksud baik, tapi tempat berdirinya itu memang sangat berbahaya, maka tanpa pikir ia lantas melangkah maju.   "Hm, berani amat kau !"   Jengek Li Bok-chiu pula, pedangnya bergerak, serentak sinar pedangnya mengurung rapat tubuh Thia Eng bagian atas.   Dari jauh Nyo Ko dapat menyaksikan permainan ilmu pedang Li Bok chiu yang lihay itu, kalau tidak memaharai gaya serangan itu, kebanyakan orang tentu akan berusaha melindungi tubuh sendiri bagian atas, karena itu bagian perut menjadi tak terjaga dan pasti akan terserang.   Tanpa ayal lagi Nyo Ko-lantas pungut sepotong batu kecil dan mendadak diselentikkan.   Begitu cepat batu itu meluncur ke depan mengarah Li Bokchiu yang tinggal satunya itu.   Pada saat itu pula ujung pedang Li Bok-chiu juga sedang menyerang bagian perut Thia Eng.   Ketika tiba2 mendapat serangan batu, kalau serangan pada Thia Eng diteruskan dan dapat membinasakan gadis itu, namun mata sendiri juga sukar diselamatkan Terpaksa ia menarik kembali pedangnya untuk menyampuk batu itu.   "trang", batu itu tersampuk jauh. Sambitan batu Nyo Ko itu adalah ilmu jari sakti ajaran Ui Yok-su, cuma belum sempurna dilatihnya, maka dia hanya dapat menggunakannya untuk menggertak musuh dan menolong teman, Untung sejak sebelah mata Li Bok-chiu buta, sisa mata satu2nya itu selalu dijaganya dengan baik, kalau tidak mungkin dia berani mengambil risiko membinasakan Thia Eeng lebih dulu, habis itu baru berusaha menundukkan kepala untuk menghindari sambitan batu. Kalau serangan itu dilakukan oleh Ui Yok-su tentu batu itu akan menggetar jatuh pedang Li Bok-chiu atau sedikitnya membuat pedang itu terpental walaupun tidak sehebat Ui Yok-su, namun sedikit-ilmu ajarannya itu juga telah berhasil menyelamatkan jiwa murid kesayangannya. Setelah lolos dari renggutan sang maut, wajah Thia Eng yang memang putih itu menjadi semakin pucat, Melihat itu, segera Li Bok-chiu membentak.   "Awas, datang lagi!"   Pedangnya bergerak, serangan seperti tadi kembali dilancarkan pula.   Thia Eng sudah mendapatkan pengalaman tadi dan ia tahu sasaran musuh adalah bagian perutnya, maka serulingnya lebih diutarnakan melindungi bagian tubuh tersebut.   Di luar dugaan, serangan Li Bok-chiu ternyata beraneka macam perubahannya ujung pedangnya benar2 menusuk pula ke perut Thia Eng, tapi berbareng iapun menubruk maju, jarinya berhasil menutuk "Giok-tong-hiat"   Di dada nona itu, ketika Thia Eng melenggong, segera kaki Li Bok chiu menyapu pula hingga Liok Bu-siang didepak jatuh, menyusul ujung kakinya menendang pula Hiat-to di bagian dengkul Thia Eng.   Beberapa gerakan itu berlangsung dengan cepat luar biasa, dalam sekajap saja Thia Eng dan Liok Bu-siang kena dirobohkan semua, meski Nyo Ko hendak menolongnya juga tidak keburu lagi.   "Suhu!"   Seru Ang Leng-po kuatir. Tapi Li Bok-chiu lantas cengkeram punggung Thia Eng dan di lempar kesana menyusut Bu siang juga dilemparkannya sambil berkata.   "Leng-po, cepat lompat keluar dengan menginjak tubuh mereka berdua...."   Belum habis ucapannya, mendadak Nyo Ko melompat maju dan sempat menangkap tubuh Thia Eng sebelum nona itu terjatuh ke tengah bunga cinta".   Habis itu lantas melompat maju lagi.   Meski Hiat-to bagian dada dan kaki tertutuk, tapi kedua tangan Thia Eng masih dapat bergerak, segera ia merangkul Liok Bu-siang yang saat itu sedang melayang ke arahnya itu sambil berseru.   "Nyo-toako, engkau..."   Seketika darah bergolak dalam dalam dadanya, memangnya dia sudah jatuh cinta pada Nyo Ko, kini pemuda itu menerjang ke tengah bunga cinta itu untuk menoIongnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri, sungguh ia menjadi sangat terharu dan terima kasih tak terhingga.   Rupanya waktu melihat Thia Eng dan Liok Busiang dilemparkan Li Bok-chiu ke tengah semak2 bunga cinta, semula Nyo Ko dapat meraba maksud keji Li Bok-chiu yang hendak menggunakan kedua nona itu sebagai batu loncatan untuk keluar dari kepungan pagar bunga cinta itu, maka tanpa pikir ia terus menerjang maju untuk menolong kedua nona itu.   Setelah berhasil menangkap tubuh kedua orang itu, cepat ia melompat mundur menurunkan mereka.   Kaki Thia Eng tertutuk sehingga tidak dapat berdiri, cepat Siao-liong-li membukakan Hiat-to yang tertutuk itu....Ketiga nona sama memandangi Nyo Ko, tertampak kaki celananya sudah robek terkena duri, kakinya juga berlumuran darah, entah berapa banyak duri bunga berbisa itu telah melukainya.   Thia Eng mengembeng air mata dan tidak sanggup membuka suara, Liok Bu-siang juga cemas dan berkata.   "Mestinya engkau.... tidak perlu menolong diriku mengapa... mengapa engkau bertindak begini ?"   Dengan tertawa Nyo Ko menjawab "memangnya aku sudah terkena racun bunga itu", kalau tercocok lagi duri bunga itu juga tidak ada bedanya."   Sudah tentu semua orang tahu banyak dan sedikit terkena racun bunga itu besar perbedaannya. Ucapannya itu jelas hanya untuk menghibur ketiga nona ini saja. Tiba2 Liok Bu-siang-berseru pula.    Perintah Maut Karya Buyung Hok Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Geger Solo Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini