Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Pendekar Rajawali 68


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 68


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung   Atau kau yang harus "tetap tunduk kepada perintah guru"?"   "Ah, apapun yang kau katakan, itu pula yang kukerjakan,"   Jawab Nyo Ko dengan tertawa "Perintah guru tak berani kubantah, perintah isteri lebih2 tak berani kubangkang."   "Bagus, asal kau ingat saja,"   Kata Siao-liong-li.   Mereka duduk bersandar di tanah berumput itu, pemandangan sekeliling indah permai sehingha rasanya berat untuk berpisah..   Dari jauh mereka dengar suara Bu Sam-thong memanggil mereka ber-santap, Mereka saling pandang dengan tersenyum dan sama2 berpendapat untuk apa bersantap dengan meninggalkan pemandangan indah yang sukar dicari ini? Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka sudah teramat lelah sehari semalam, apalagi merekapun sama2 terluka, selang tak lama, tanpa terasa mereka sama tertidur.   Sampai tengah malam, layap-layap Nyo Ko memanggil.   "Apakah kau kedinginan, Liong-ji!" - Bcrbareng ia hendak merangkul nya, siapa tahu rangkulannya telah merangkul tempat kosong. Keruan ia terkejut dan cepat membuka mata, ternyata Siao-liong-li sudah menghilang entah ke mana. Segera ia melompat bangun, ia memandang sekitarnya, bulan sabit menghias di angkasa menyinari bumi, suasana sunyi senyap, mana ada bayangan Siao-liong-li? Nyo Ko ber-lari2 ke atas gunung sambil berteriak2.   "Liong ji! Liong-ji!"" -seketika suaranya bergema, kata2 "Liong-ji"   Itu berkumandang dari lembah pegunungan, namun tetap tiada jawaban Siao-liongli.   "Ke mana perginya?"   Tidak kepalang cemasnya Nyo Ko.   ia tidak menguatirkan Siaoliong-li dicelakai binatang buas, sebab diketahuinya di pegunungan ini tiada sesuatu binatang buas yang menakutkan, andaikan ada juga takdapat mengganggu Siao-liong-li, Jika ketemu musuh tangguh, mustahil dirinya tidak mengetahuinya mengingat mereka berdua tidur berdampingan.   Karena teriakan Nyo Ko inilah, serentak It-teng Taysu, Ui Yong, Cu Cu-liu dan lain2 terjaga bangun.   Ketika mendengar Siao-liong li menghilang entah ke mana, tentu saja semua orang merasa heran, be-ramai2 mereka lantas ikut mencari di segenap pelosok lembah pegunungan itu, namun tetap tidak ditemukan jejak.   "Tentu dia sengaja tinggal pergi sehingga aku sama sekali tidak mengetahuinya,"   Demikian pikir Nyo Ko.   "Tapi mengapa dia pergi begitu saja tanpa pamit? Hal ini pasti ada sangkut-pautnya dengan pembicaraannya dengan bibi Kwe siang tadi, Ketika itu dia tampak sedih dan mengajak aku ke sini, tentu juga disebabkan setelah berbicara dengan bibi Kwe."   Karena pikiran ini, segera ia tanya Ui Yong dengan suara keras.   "Kwe-pekbo, apa yang kau bicarakan dengan Liong-ji siang tadi?"   Ui Yong sendiri tidak habis mengerti mengapa mendadak Siao-liong li menghilang, ia lihat urat hijau di dahi Nyo Ko sama menonjol, cara bicaranya rada kasar, segera ia tahu gelagat tidak enak, cepat ia menjawab.   "Kuminta dia agar suka membujuk kau minum Toan-jong-cau itu agar racun dalam tubuhmu bisa dipunahkan."   Tanpa pikir Nyo Ko berteriak pula.   "Jika dia tak dapat hidup larna lagi, untuk apa aku hidup sendirian di dunia ini?"   "Jangan kuatir, Ko ji,"   Ui Yong berusaha menghibur "Seketika nona Liong entah pergi ke mana, tapi mengingat ilmu silatnya yang maha tinggi kukira dia takkan beralangan apapun, masakah kau bilang dia tak dapat hidup lama lagi?"   Saking cemasnya Nyo Ko takdapat menguasai perasaannya Jagi, teriaknya gemas.   "Puteri kesayanganmu telah menyarangkan jarum berbisa di tubuhnya, ketika itu dia sedang mengatur jalan darah secara terbalik untuk menyembuhkan lukanya, maka racun jarum itu telah terserot seluruhnya ke jantungnya, dalam keadaan begitu mana dia dapat hidup lama lagi, dia kan bukan dewa?"   Tentu saja Ui Yong tidak pernah menyangka akan kejadian itu, Meski dia mendengar dari Kwe Hu bahwa Nyo Ko dan Siao-liong li telah keliru dilukainya dengan jarum berbisa di kuburan kuno itu, tapi ia pikir Nyo Ko berdua adalah ahli waris Ko-bong-pay, suatu aliran der.gan Li Bokchiu, tentu mereka memiliki obat penawar perguruannya untuk menyembuhkannya, sekarang mendengar ucapan Nyo Ko ini, seketika mukanya menjadi pucat terkejut.   Cepat sekali Ui Yong menggunakan otaknya, segera terpikir olehnya.   "Kiranya Ko-ji tidak mau minum Coat-ceng-tan itu adalah karena jiwa isteri nya sudah pasti takkan tahan lama lagi, makanya dia tidak ingin hidup sendiri. Lantas ke mana perginya nona Liong sekarang?"   Ia memandang ke puncak gunung yang bergua dan telah menelan bulat2 Kiu Jian-jio dan Kongsun Ci itu, tanpa terasa ia merinding sendiri.   Tanpa berkedip Nyo Ko memandangi Ui Yong, dengan sendirinya iapun dapat meraba jalan pikiran nyonya cerdik yang gemetar memandangi puncak gunung sana, seketika ia kuatir dan gusar, kata-nya.   "Sudah jelas jiwanya sukar dipertahankan lantas kau membujuk dia agar membunuh diri untuk menyelamatkan jiwaku, begitu bukan? Mungkin kau mengira tindakanmu ini ada baiknya bagiku, tapi aku... aku O, betapa benciku padamu..."   Sampai di sini dadanya menjadi sesak, ia terus roboh pingsan. Cepat It-teng menurut gitok anak muda itu sejeuak, pelahan2 Nyo Ko siuman kembali, Ui Yong lantas berkata.   "Aku hanya membujuk dia supaya menyelamatkan jiwamu dan sekali tidak meminta . dia bunuh diri. Kalau kau tidak percaya ya terserah padamu!"   Semua, orang saling pandang dengan bingung, Tiba2 Thia Eng berkata.   "Lekas kita membuat tali panjang dari kulit pohon, biar kuturun ke dalam gua sana untuk mencannya, barangkali... barangkali Liong-cici tergelincir..."   "Ya, betapapun kita harus mencarinya hingga jelas persoalannya,"   Ujar Ui Yong.   Segera mereka bekerja keras mengupas kulit pohon untuk dipintal menjadi tali besar, orang banyak tenaga kuat, tidak lama tali yang ratusan meter panjangnya sudah jadi, Be-ramai2 para anak muda itu mengajukan diri untuk menyelidiki gua di bawah tanah itu.   "Biarlah aku sendiri yang turun ke sana,"   Kata Nyo Ko.   Semua orang memandang Ui Yong untuk menunggu keputusannya, Ui Yong tahu dirinya dicurigai Nyo Ko, kalau keinginan anak muda itu dicegah pasti juga takkan digugu, sebaliknya kalau dibiarkan turun ke bawah, mungkin Siao liong-li betul terjatuh dan meninggal di sana, maka pastilah anak muda itu takkan mau naik lagi di sini.   Selagi Ui Yong ragu2, tiba2 Thia Eng berkata pula dengan iklas.   "Nyo-toako, aku saja yang turun ke sana. Dapatkah engkau mempercayaiku?"   Selain Siao-liong-li, hanya Thia Eng saja yang paling digugu oleh Nyo Ko.   Apalagi ia sendiripun sedih dan bingung, kaki tangan terasa lemas, terpaksa ia mengangguk setuju.   Segera Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain2 yang bertenaga kuat memegangi tali panjang itu untuk menurunkan Thia Eng ke dalam gua bawah tanah itu.   Karena lubang gua di bawah tanah itu terletak dipuncak bukit, maka dalamnya gua juga sama tingginya dengan puncak itu.   Tali panjang itu terus di ulur hingga tertinggal beberapa meter saja barulah Thia Eng mencapai tanah.   Be-ramai2 semua orang berdiri mengelilingi lubang gua itu dan tiada seorangpun yang bicara.   Ui Yong hanya saling pandang dengan Cu Cu-liu, apa yang mereka pikir adalah sama, yakni kalau Siao-liong-li benar2 meninggal di bawah sana, pasti Nyo Ko akan terjun juga ke dalam gua, hal ini harus di cegah sebisanya.   Begitulah dengan perasaan cemas dan gelisah semua orang memandangi lubang gua itu dan menantikan berita yang akan dibawa oleh Thia Eng.   Sekian lama mereka menunggu dengan tidak sabar dan Thia Eng masih belum nampak memberi tanda untuk naik kembali ke atas.   Tidak lama kemudian, tiba2 tali yang dipegang Bu Sam-thong itu ber goyang2 beberapa kali, Kwe Hu dan lain2 lantas berteriak.   "Lekas kerek dia ke atas!"   Be-ramai2 mereka lantas menarik sekuatnya sehingga Thia Eng dapat di kerek ke atas. Sebelum keluar dari lubang gua itu Thia Eng sudah berteriak2 ."Tidak ada, tidak ada Liong-cici di bawah sana!"   Semua orang menjadi girang dan menghela napas lega, sejenak kemudian Thia Eng menongol keluar dari lubang gua, lalu berkata pula.   "Nyo-toako, sudah kuperiksa dengan teliti, di bawah sana hanya ada mayat Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio yang sudah hancur dan tiada terdapat benda lain."   "Kita sudah mencari rata segenap pelosok dan tidak menemukannya, kukira nona Liong saat ini pasti sudah meninggalkan lembah ini,"   Kata Cu Cu-liu setelah berpikir sejenak. Tiba2 Bu-siang berseru.   "He, masih ada suatu tempat yang belum kita longok, bisa jadi Liong-cici sedang berusaha menemukan Coat-ceng tan yang terbuang..."   Tidak sampai habis ucapan Bu-siang, hati Nyo Ko tergetar dan segera ia berlari ke tebing curam kemarin itu, sembari berlari iapun ber-teriak2.   "Liong-ji! Liong ji!"   Setiba di tebing itu, tertampak kabut membungkus permukaan jurang, awan mengapung di udara, kicau burung saja tak terdengar apalagi bayangan manusia.   Nyo Ko pikir Siao-Iiong-li adalah orang yang berhati polos dan lugu, apapun yang dia pikir pasti dikatakan padaku.   Ketika berbaring di tanah rumput itu dia hanya mengatakan agar aku ingat saja sumpahku akan patuh pada perkataannya, Sudah tentu aku tidak pernah membantah kehendaknya, mengapa perlu ditegaskan lagi? Namun dia kan tidak pernah memberi pesan apa2 padaku?"   Begitulah ia menengadah dan bergumam pelan.   "Liong ji, O, Liong-ji, ke manakah kau sesungguhnya? sebenarnya kau ingin mematuhi perkataanku tentang apa?" - ia memandang ke tebing di depan sana, samar2 tertampak bayangan nona berbaju putih dengan bunga merah tersunting di sanggulnya, bayangannya yang mengambang itu seperti saling bertempur melawan Kongsun Ci.   "Liong-ji!"   Nyo Ko berteriak lagi, tapi setelah diperhatikan lagi, mana ada bayangan Siao-liong-ii, hanya bunga salju belaka yang bertebaran tertiup angin, tapi bunga merah yang dipetiknya kemarin itu memang benar berada di bawah tebing sana.   Nyo Ko menjadi heran, padahal waktu Siao-liong-li menempur Kongsun Ci di situ kemarin belum ada bunga merah itu.   Tebing hanya batu karang belaka tanpa tetumbuhan apapun, mengapa ada bunga di situ? Kalau bunga itu jatuh ke situ tertiup angin, manabisa terjadi secara kebetulan begitu? Segera ia tarik napas panjang dan berlari ke tebing sana melalui jembatan batu yang sempit itu.   Sesudah dekat, seketika hatinya tergetar hebat, jelas bunga itu adalah merah yang dipetiknya untuk Siaoliong-li itu, kelopak bunga kelihatan sudah layu dan dapat dikenalnya dengan jelas waktu itu ia sendiri memberi nama "Liong-li-hoa"   Untuk bunga merah ini.   Kalau bunga ini terjatuh di sini, maki Siao-liong-ii pasti juga pernah datang ke sini.   Ia jemput bunga itu, dilihatnya dibawah bunga ada satu bungkusan kertas, cepat ia membuka bungkusan itu, kiranya isinya adalah setangkai rumput warna ungu, yaitu Toan-jong-cau yang tumbul di bawah semak2 bunga cinta itu.   Hati Nyo Ko ber-debar2 keras, ia coba meneliti kertas pembungkus rumput itu, namun tiada sesuatu tulisan apa2.   "Nyo-toako!"   Terdengar Bu-siang memanggil di seberang.   "apa yang kau lakukan di sana?"   Waktu Nyo Ko menoleh, tiba2 terlihat di dinding tebing terukir dua baris huruf dengan ujung pedang, huruf yang satu baris lebih besar dan tertulis.   "16 tahun lagi berjumpa pula di sini, cinta murni suami isteri, jangan sekali2 ingkar janji"   Sedang baris huruf yang lebih kecil tertulis.   "Dengan sangat Siao-liong-li menyampaikan pesan ke pada suamiku Nyo Ko agar menjaga diri baik2 dan harus berusaha berkumpul kembali"   Nyo Ko memandangi dua baris tulisan itu dengan ter-mangu2, seketika ia tidak paham apa maksud Siao-liong li. Pikirnya.   "Dia berjanji padaku untuk berjumpa pula di sini 16 tahun kemudian, lalu ke mana perginya sekarang? Dia mengidap racun jahat dan sukar disembuhkan mungkin sepuluh hari atau setengah bulan saja tak tahan, mana bisa dia mengadakan janji bertemu 16 tahun lagi? sudah jelas dia mengetahui Coat-ceng-tan yang dapat menyelamatkan jiwaku telah kubuang ke jurang, manabisa pula dia menunggu aku sampai 16 tahun lamanya?"   Begitulah makin dipikir makin ruwet sehingga tubuhnya menjadi sempoyongan.   Melihat keadaan Nyo Ko yang linglung itu, semua orang menjadi kuatir kalau anak muda itu tergelincir ke dalam jurang, Tapi untuk menyeberang ke sana dan membujuknya juga sulit karena jembatan itu sangat sempit, kalau mendadak dia menjadi kalap, ilmu silatnya sedemikian tinggi pula, lalu siapa yang mampu mengatasinya dan pasti akan ikut kejeblos ke jurang.   Ui Yong mengerut kening, katanya kemudian kepada Thia Eng.   "Sumoay, tampaknya dia masih mau menurut perkataanmu."   "Baiklah, coba kupergi ke sana,"   Jawab Thia Eng dan segera melompat ke atas jembatan batu dan melangkah ke sana. Mendengar suara tindakan orang dari belakang, segera Nyo Ko membentak.   "Siapapun tak boleh ke sini!"   Cepat iapun membalik tubuh dengan mata mendelik.   "Akulah, Nyo-toako!"   Seru Tbia Eng dengan suara lembut "Aku ingin membantu kau mencari Liong-cici dan tiada maksud lain."   Sejenak Nyo Ko mengawasi Thia Eng dengan termenung, kemudian sorot matanya mulai berubah halus. Thia Eng melangkah maju dan bertanya.   "Apakah bunga merah ini tinggalan Liong-cici?"   "Ya,"   Nyo Ko menjawab.   "Mengapa harus 16 tahun? Mengapa?"   Sudah tentu Thia Eng tidak paham apa yang dikatakan Nyo Ko itu, setelah berada di seberang-dapatlah ia membaca tulisan yang terukir di dinding tebing itu, iapun merasa heran. Katanya kemudian.   "Kwe-hujin banyak tipu dayanya, caranya memecahkan persoalan juga sangat jitu, marilah kita kembali ke sana dan tanya beliau, tentu akan mendapatkan keterangan yang memuaskan,"   "Benar,"   Ujar Nyo Ko.   "Awas, jembatan itu sangat licin, kau harus hati2!"   Segera ia mendahului melompat ke seberang sana serta menceritakan kedua baris tulisan itu kepada Ui Yong, Uhtuk sekian lamanya Ui Yong merenungkan arti tulisan itu, tiba2 matanya bercahaya dan ber-keplok tangan, katanya dengan tertawa.   "Wah, selamat, Ko-ji, selamat!"   Kejut dan girang Nyo Ko, cepat ia bertanya.   "Maksudmu maksudmu itu berita baik?"   "Ya, tentu saja,"   Jawab Ui Yong.   "Rupanya adik Liong telah bertemu dengan Lam-hay Sin-ni (Rahib sakti dari lautan selatan), sungguh penemuan yang sukar di cari."   "Lam-hay Sin-ni?"   Nyo Ko mengulang nama ini dengan bingung.   "Siapakah dia?"   "Lam-hay Sin-ni adalah nabi besar agama Buddha jaman kini,"   Tutur Ui Yong.   "Agama beliau sukar dijajaki, tingkatannya bahkan jauh lebih tinggi daripada It-teng Taysu ini. Lantaran dia jarang ke Tionggoan sini, maka tokoh dunia persilatan jarang yang kenal namanya, Dahulu ayahku pernah bertemu satu kali dengan beliau dan beruntung mendapat ajaran sejurus ilmu pukulan dari beliau. Yah 16, 32. 48, ya benar, kejadian itu sudah 48 tahun yang lalu."   Nyo Ko merasa sangsi "48 tahun yang lalu? "ia menegas.   "Benar,"   Jawab Ui Yong.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Usia Sin-ni itu mungkin kini sudah dekat seabad, Menurut cerita ayahku, tiap 16 tahun sekali ia datang ke Tionggoan ini. Celakalah orang jahat yang kepergok olehnya, Tapi beruntunglah orang baik yang berjumpa dengan beliau, Nona cantik seperti adik Liong itu pasti sangat disukai oleh Sin-ni dan bisa jadi telah menerimanya sebagai murid dan dibawa ke Lamhay."   "Setiap 16 th. satu kali?"   Nyo Ko menggumam, tiba2 ia berpaling kepada It-teng Taysu dan berta-nya.   "Apakah betul begitu, Taysu?"   Belum lagi It-teng menjavvab, cepat Ui Yong menimbrung.   "Meski agamanya tinggi, tapi tabiat Sin-ni ini rada aneh. Apakah Taysu juga pernah bertemu dengan beliau?"   "O, sayang, belum pernah kulihat dia,"   Jawab It-teng singkat.   "Benar2 orang tua yang agak kurang bijaksana,"   Kata Ui Youg pula.   "Masakah orang muda yang baru bersuami isteri diharuskan berpisah 16 tahun lamanya, bukankah terlalu kejam? Padahal ilmu silat adik Liong sudah begitu tinggi, kalau belajar lagi 16 tahun, memangnya supaya dia dapat mengatasi dan menundukkan sang suami? Hahaha!"   "Ah kukira bukan begitu, Kwe-pekbo,"   Kata Nyo Ko.   "Bagaimana?"   Tanya Ui Yong, Nyo Ko lantas mengulangi bercerita tentang Siao-liong-li yang sedang mengadakan penyembuhan luka dalam sendiri dan mendadak terkena jarum berbisa yang disambitkan Kwe Hu sehingga racun terseret ke jantung, akhirnya ia berkata.   "Jika benar Liong-ji mendapatkan perhatian Sin-ni, maka dalam 16 tahun ini Sin-ni pasti akan menggunakan kesaktiannya untuk menguras racun yang berkumpul dalam tubuh Liong-ji. Tadinya kukira... ku kira dia pasti takdapat disembuhkan lagi."   "Tentang secara semberono anak Hu mencelakai adik Liong juga baru kudengar dari adik Liong semalam,"   Tutur Ui Yong.   "Ko-ji, apa yang kau duga barusan ini memang masuk diakal. Kukira untuk menyembuhkan adik Liong memang sukar dilakukan dalam waktu singkat biarpun Sin-ni memiliki obat mujarab. Maka kita berharap saja semoga Sin-ni tiba2 menaruh belas kasihan dan dapat mengirim kembali adik Liong padamu sebelum waktu yang ditentukan."   Selamanya Nyo Ko belum penuh mendengar tokoh sakti bernama "Lam hay Sin-ni"   Segala, hatinya menjadi ragu2, hendak tidak percaya, namun bunga ditemukannya dan tulisan juga terukir jelas, semua itu adalah bukti nyata yang tak dapat di-bantah, jika Siao-liong-li mengalami sesuatu, mengapa dia menjanjikan pertemuan 16 tahun kelak? Setelah berpikir sejenak, tiba2 ia tanya Ui Yong.   "Kwe-pekbo, darimana engkau mengetahui Liong-ji dibawa pergi Lam-hay Sin-ni? Sebab apa pula dia tidak menuliskan kejadian yang sebenarnya agar aku tidak berkuatir baginya?"   "KesimpuIanku ini kutarik dari kalimat "16 tahun lagi"   Itu,"   Tutur Ui Yong.   "Kutahu setiap 16 tahun sekali Lam-hay Sin-ni pasti datang ke Tionggoan sini, kecuali dia rasanya tiada orang kosen lain yang mempunyai kebiasaan aneh begitu. It-teng Taysu, apakah engkau teringat ada oran kosen lain pula?"   It-teng menggeleng dan menyatakan tidak ada. Maka Ui Yong berkata pula.   "Malahan Nikoh sakti itupun sungkan namanya di-sebut2 orang, dengan sendirinya dia tidak mengizinkan adik Liong menulis namanya di atas batu, Cuma sayang Toan-jong-cau ini entah dapat menawarkan racun dalam tubuh atau tidak, jika, ...jika tidak, ai, 16 tahun kemudian adik Liong akan pulang dan bila tidak dapat bertemu lagi dengan kau, mungkin iapun tidak ingin hidup lagi."   Air mata Nyo Ko ber-linang2 di kelopak matanya sehingga pandangannya menjadi samar2.   lapat2 seperti dilihatnya ada bayangan putih di seberang sana, se-akan2 16 tahun sudah lalu dan Siao liong li sedang mencarinya di situ, tapi tidak bertemu sehingga sangat kecewa dan berduka.   Angin dingin meniup membuat Nyo Ko ter-gigil, segera ia berkata dengan tegas.   "Kwe-pekbo, biarlah kupergi ke Lam-hay untuk mencari Liong-ji, entah Sin-ni berdiam di mana?"   "Ko ji,"   Jawab Ui Yong.   "janganlah kau berpikir begitu, Tay ti-to yang menjadi pulau kediaman Lam-hay Sin-ni itu mana boleh diinjak orang luar. Bahkan setiap lelaki yang berani mendekati pulau itu akibatnya pasti akan binasa. Dahulu ayahku telah mendapat anugerah beliau, tapi ayah juga belum pernah berkunjung ke sana. Kalau adik Liong sudah diterima oleh Sin-ni, janji bertemu 16 tahun kelak dengan cepat akan lalu, mengapa engkau mesti ter-gesa2 mencarinya?"   Dengan mata membelalak Nyo Ko menatap tajam Ui Yong dan menegas.   "Ucapan Kwe- pekbo ini sesungguhnya betul atau tidak?"   "Terserah kau mau percaya atau tidak,"   Jawab Ui Yong.   "Boleh coba kau memeriksa lagi ukiran tulisan di dinding sana, kalau bukan tulisan tangan adik Liong, maka apa yang kukatakan mungkin juga tidak betul."   "Gaya tulisan itu memang betul tulisan tangan Liong-ji,"   Ujar Nyo Ko.   "Setiap kali menulis huruf Nyo, pada titik kanan itu selalu dia tarik agak panjang, hal ini tidak mungkin dipalsukan orang."   "Bagus jika begitu,"   Seru Ui Yong sambil keplok.   "Terus terang kukatakan, aku sendiripun merasa kejadian ini teramat kebetulan dan semula akupun mencurigai Cu-toako yang sengaja mengatur sandiwara ini untuk mengelabuhi kau."   Nyo Ko termenung sejenak, katanya kemudian.   "Baiklah aku akan coba2 minum Toan-jong-cau jni, jika tidak berhasil, 16 tahun yang akan datang tolong Kwe-pekbo memberitahukan kejadian ini kepada isteriku yang bernasib buruk itu."   Lalu ia berpaling dan tanya Cu Cu-liu.   "Cu-toasiok, bagaimana caranya minum obat rnmput ini?"   Cu Cu liu sendiri hanya tahu Toan-jong-cau itu mengandung racun yang keras, bagaimana caranya menggunakan racunnya untuk mengobati racun belum pernah di dengannya. Terpaksa ia bertanya kepada lt teng.   "Suhu, soal ini harus minta petunjuk engkau."   It-teng Taysu segera menggunakan It-yang-ci dan menutuk empat Hiat-to di bagian2 yang menyangkut ulu hati, serentak Nyo Ko merasakan hawa hangat menyalur ke dada, rasa sesak tadi lantas longgar.   "Karena racun bunga cinta ini berhubungan dengan hati dan perasaan, maka waktu Toan-jong-cau menawarkan racunnya pasti juga akan menyerang bagian hati, sebab itulah kututuk empat Hiat-to untuk melindungi urat nadi jantung hati, sekarang kau boleh coba minum satu tangkai dulu rumput rantas usus itu,"   Demikian kata It-teng.   Nyo Ko lantas mengucapkan terima kasih.   Waktu dia mendengar paderi Hindu itu dibinasakan Li Bok-chiu, ia merasa putus harapanlah usaha menyembuhkan Siao liong-li, maka ia sendiripun bertekad akan mati saja bersama sang isteri sekarang dia dijanjikan bertemu lagi 16 tahun kemudian, segera hasrat ingin hidupnya berkobar kembali cepat ia mengeluarkan setangkai Toanjong-cau atau rumput rantas usus itu terus dikunyahnya, ia merasa pahitnya luar biasa melebihi bratawali.   Tapi baik airnya maupun ampasnya Nyo Ko telan mentah2.   Kalau sebelum ini dia tidak ingin hidup sendirian tanpa Siao-Iiong-li, sekarang dia justeru kuatir akan mati lebih dulu sehingga 16 tahun kemudian Siao-liong-li takdapat menemukan dia di puncak gunung ini.   Ia lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi urat nadi jantung hati, selang tak lama, mendadak perutnya mulas, menyusul itu lantas kesakitan seperti di-iris2 dan laksana dicocok be-ribu2 jarum sekaligus, Tapi ia bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikitpun selang tak lama rasa sakit itu hampir merata di seluruh badan, ruas tulang seakan2 terlepas semuanya.   Rasa sakit itu berlangsung hingga lama, kemudian mulai berkurang dan cuma bagian perut saja yang masih mulas, mendadak ia menumpahkan darah warna merah segar seperti darah orang sehat.   Thia Eng dan Bu-siang sama menjerit kaget melihat anak muda itu tumpah darah.   Tapi It-teng tampak bergirang malah dan menggumam pelahan.   Wah Sute, meski sudah wafat engkau tetap meninggalkan pahala."   Serentak Nyo Ko melompat bangun dan berseru.   "Jiwaku ini adalah pertolongan paderi Thian -tiok, It teng Taysu dan Kwe-pekbo bertiga."   "He, apakah kadar racun dalam tubuhmu sudah punah seluruhnya?"   Tanya Bu-siang dengan girang.   "Mana bisa begitu cepat?"   Ujar Nyo Ko.   "Cuma sekarang sudah jelas kemanjuran obat ini, asalkan setiap hari minum satu tangkai tentu kadar racun akan semakin berkurang pula setiap hari."   "Tapi kalau tak dapat diketahui kapan berhasilnya racun dalam tubuhnya, jika engkau masih terus makan rumput rantas usus itu, jangan2 isi perutmu nanti ikut hancur semua?"   Kata Bu-siang.   "Hal ini tentu dapat kurasakan sendiri,"   Kata Nyo Ko.   "Jika kadar racun belum bersih, bila timbul... timbul rasa cintaku, segera dadaku akan kesakitan."   "Semoga engkau jangan banyak pikir dulu,"   Ujar Bu-siang. Sejak tadi Kwe Hu hanya mendengarkan saja, mendadak ia menimbrung.   "Hm, yang dipikirkan Nyo-toako tentulah Liong-cici, masakah dia memikirkan dirimu?"   Cepat Ui Yong membentaknya.   "Kau mengoceh apa, anak Hu!"   Muka Bu-siang menjadi merah. Malahan Kwe Hu terus menambahkan lagi.   "16 tahun lagi Liong-cici pasti akan pulang, sebaiknya kau jangan sembarang mimpi."   Bu-siang tidak tahan lagi.   "sret", mendadak ia melolos goloknya terus membentak sambil menuding Kwe Hu.   "Jika bukan gara2mu, masakah Nyo-toaku sampai terpisah selama 16 tahun dengan Liong-cici? Coba renungkan, betapa hebat kau membikin susah Nyo-toako?"   Segera Kwe Hu hendak membantah, tapi Ui Yong lantas membentaknya.   "Hu-ji, jika kau bersikap kurang adat lagi kepada orang, lekas kau pulang saja ke Tho-hoa-to dan sekali2 jangan kembali ke Siangyang."   Kwe Hu tidak berani bersuara lagi, ia hanya mendelik belaka kepada Liok Bu-siang. Nyo Ko menghela napas panjang, katanya kepada Bu-siang.   "Kejadian itu memang juga sangat kebetulan dan nona Kwe sendiri juga tidak sengaja hendak mencelakai Liong-ji. Maka urusan ini selanjutnya tidak usah diungkat lagi, adik Liok."   Mendengar dirinya dipanggil "adik", sebaliknya anak muda itu menyebut Kwe Hu sebagai "nona,"   Jelas sekali bedanya antara orang sendiri dan orang luar. Hati Bu-siang menjadi girang, segera ia masukkan golok ke sarungnya sambil mencibir pada Kwe Hu.   "Nyo-sicu telah makan Toan-jong-cau tanpa terganggu apapun, tampaknya rumput ini memang mujarab untuk menawarkan racun bunga cinta ini."   Kata Itteng kemudian.   "Cuma sebaiknya jangan diminum terus menerus, bolehlah tujuh hari kemudian baru minum untuk kedua kalinya."   Nyo Ko memberi hormat dan menerima saran itu. Melihat hari sudah terang benderang, Ui Yong lantas berkata.   "Sudah cukup Iama kita meninggalkan Siangyang, entah bagaimana situasi di sana, aku menjadi sangat kuatir dan sebentar juga akan berangkat pulang, Ko-ji kaupun ikut pulang saja ke sana, paman Kwe tentu sangat kangen padamu."   "Aku tinggal di sini saja untuk menunggu... menunggu dia,"   Jawab Nyo Ko.   "He, kau hendak menunggu dia selama 16 ta-hun di sini?"   Tanya Kwe Hu heran.   "Entahlah,"   Jawab Nyo Ko.   "Rasanya akupun tidak tahu harus pergi ke mana?"   "Baiklah, boleh juga kau menunggu dulu sepuluh hari atau setengah bulan lagi di sini,"   Ujar Ui Yong.   "Andaikata adik Liong benar2 tiada kabar beritanya, hendaklah segera kau datang ke Siangyang saja."   Nyo Ko memandang tebing curam di seberang sana dengan ter-mangu2 tanpa menjawabnya lagi, Semua orang lantas mohon diri kepada Nyo Ko untuk berangkat Melihat Liok Bu-siang tiada tanda2 mau ikut pergi, Kwe Hu tidak tahan dan bertanya.   "He, Liok Bu-siang, apakah kau hendak tinggal di sini menemani Nyo-toako?"   "Peduli apa dengan kau?"   Semprot Bu-siang dengan muka merah. Tiba2 Thia Eng berkata.   "Nyo-toako belum sehat, biarlah aku dan Piaumoay merawatnya beberapa hari lagi di sini."   Ui Yong tahu Sumoay cilik ini wataknya lembut di luar dan keras di dalam, jika puterinya sampai membikin sakit hati dia, kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran, Maka cepat ia melototi Kwe Hu agar jangan banyak bicara lagi. Lalu berkata."   Ko-ji mendapatkan perawatan Sumoay, tentu takkan beralangan apapun, Nanti kalau sudah sembuh hendaklah kalian bertiga datang ke Siangyang."   Begitulah Nyo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang memandangi kepergian It-teng Taysu, Ui Yong dan rombongannya hingga makin jauh dan akhirnya menghilang di balik pepohonan sana. Api yang berkobar semalaman kini sudah mulai padam, Nyo Ko lantas berkata.   "Kedua adik, ada suatu pikiranku yang kurang pantas, jika kukatakan hendaklah kalian jangan marah."   "Katakan saja, siapa akan marah padamu?"   Ujar Bu-siang.   "Sejak berkenalan, rasanya kita bertiga sangat cocok satu sama lain,"   Tutur Nyo Ko.   "Aku sendiri tidak mempunyai saudara, maka kuingin mengikat persaudaraan angkat dengan kalian berdua, selanjutnya kita benar2 menjadi kakak beradik seperti saudara sekandung Entah bagaimana pendapat kalian dengan usulku ini?"   Pilu rasa hati Thia Eng, ia tahu cinta Nyo Ko kepada Siao-liong-li tidak pernah buyar, lantaran ada janji bertemu 16 tahun lagi, maka dia mengajak mengangkat saudara agar hubungan mereka tidak menjadi kikuk.   Kelihatan Bu-siang menunduk dengan mengembeng air mata, cepat ia berkata.   "Jika begitu kehendak Toako, tentu saja kami setuju, Mempunyai Toako sebaik engkau, apalagi yang kami harapkan?"   Bu-siang lantas membubut tiga tangkai rumput dan ditancapkan di tanah serta berkata.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Di sini tidak ada Hiosoa (dupa sembayang), biarlah kita menggunakan rumput sebagai gantioya."   Ia berkata dengan tersenyum, tapi kemudian suaranya menjadi ter sendat2 dan sebelum Nyo Ko menjawab ia sudah mendahului berlutut dan memberi hormat.   Cepat Nyo Ko dan Thia Eng ikut berlutut dan saling memberi hormat delapan kali sebagai tanda pengikatan kakak beradik secara resmi.   Kata Nyo Ko kemudian.   "Jimoay dan Sammoay, barang yang paling jahat di dunia ini kukira tak lebih dari pada pohon bunga cinta ini. Bagaimana kalau kita membabatnya hingga akarnya supaya hancur dan lenyap seluruhnya?"   Tanpa pikir Thia Eng dan Bu-siang menyatakan setuju.   Be-ramai2 mereka lantas mencari cangkul dan sekop di perkampungan yang sudah menjadi tumpukan puing, dengan bersemangat mereka terus membabati dan mendongkel setiap pohon bunga cinta yang mereka lihat.   Karena tumbuhan bunga itu cukup banyak, pula berduri, mereka harus hati2 bekerja, setelah sibuk enam hari barulah tumbuhan berbisa itu dibasmi habis.   Sejak itu tumbuhan aneh yang membikin celaka manusia itupun tak pernah bersemi pula dan lenyap dari permukaan bumi ini.   Besoknya pagi2 Bu-siang sudah memberi setangkai rumput rantas usus kepada Nyo Ko dan ber-kata.   "Toako, hari ini kau harus minum lagi rumput berbisa ini."   Karena sudah berpengalaman tujuh hari yang lalu, Nyo Ko tahu rumput rantas usus itu berbisa, tapi dirinya mampu bertahan, maka begitu dia minum sebatang rumput itu segera ia mengerahkan tenaga dalam.   Karena sekarang kadar racun dalam tubuhnya sudah berkurang, rasa sakitnya juga ti -dak sehebat tempo hari lagi.   Selang agak lama, ia muntahkan darah segar puIa, lalu hilanglah rasa sakitnya.   Nyo Ko berdiri coba melemaskan kaki dan tangannya, dilihatnya Thia Eng dan Bu-siang ikut bergirang bagi kemajuan penyakitnya itu.   Pikirnya.   "Kedua adik angkat ini sungguh baik sekali pada-ku, cuma sayang aku tidak dapat membalas kebaikan mereka."   Setelah berpikir pula sejenak, timbul lagi pikirannya.   "Jimoay mempunyai guru kosen, asal berlatih lebih lania lagi tentu dia akan mencapai tokoh tingkatan atas. sedangkan nasib Sammoay jelas kurang beruntung dari pada Jimoay."   Karena itulah ia lantas berkata kepada Bu-siang.   "Sammoay, gurumu dan guruku adalah saudara seperguruan, jadi kita berdua sebenarnya masih sesama saudara seperguruan juga, ilmu silat tertinggi dari Ko-bong-pay kita tercantum semua di dalam Giok-li-sim-keng, sedangkan kitab itu telah direbut Li Bok-chiu dan ikut terkubur di lautan api. Untung aku masih ingat isi kitab itu, daripada iseng biarlah kuajarkan sedikit ilmu silat perguruan kita itu, bagaimana pikiranmu?"   Tentu saja Bu-siang kegirangan, jawabnya.   "Terima kasih, Toako, lain kali kalau ketemu Kwe Hu tentu aku tidak takut dia bertindak kasar lagi padaku."   Nyo Ko tersenyum, segera ia mulai menuturkan permulaan dari ajaran Giok-li-sim-keng beserta-kunci2nya, dimulai dari yang cetek dan kemudian mendalam. Kemudian ia memberi pesan pula.   "Hendaklah kau apalkan dulu kunci2nya, waktu latihan bila perlu boleh minta bantuan jimoay, di lembah ini sangat tenang, sungguh suatu tempat latihan yang baik."   Begitulah selama beberapa hari Bu- siang tekun mengapalkan ajaran Nyo Ko itu, memangnya ilmu yang pernah dipelajarinya adalah aliran Ko-bongpay, dengan sendirinya mudah baginya untuk menerima dan memahaminya.   jika ada bagian2 sulit yang sukar dipecahkan, Nyo Ko menyuruh Bu-siang mengapalkan saja untuk diulangi lagi lain hari.   Dengan begitu selama hampir sebulan dapatlah Bu-siang mengingat seluruh isi Giok-li-sim-keng di luar kepala.   Suatu hari, pagi2 dia dan Thia Eng sudah menyiapkan sarapan, tapi ditunggu sampai lama sekali tidak nampak munculnya Nyo Ko.   Mereka lantas mendatangi gua tempat tinggal Nyo Ko, terlihat di tanah sana tertulis huruf2 besar yang berbunyi "Berpisan untuk sementara, biarlah bertemu lagi kelak.   Hubungan baik kakak beradik tetap kekal dan abadi."   Bu-siang melonggong dan bergumam.   "Akhir-nya dia... dia telah pergi."   Ia ber-lari2 ke puncak gunung dan memandang jauh ke selatan.   Thia Eng segera menyusulnya, mereka memandang jauh ke sana, tapi yang kelihatan hanya awan mengambang diudara, pepohonan menghijau permai, mana ada bayangan Nyo Ko? Dengan rasa pilu Bu-siang berkata dengan ter-guguk2.   "Jici, kau kira dia... dia pergi ke mana? Apakah kelak kita dapat... dapat berjumpa pula dengan dia?"   "Sammoay,"   Jawab Thia Eng.   "lihatlah gumpalan awan itu yang bergerombol menjadi satu untuk kemudian terpancar lagi. Hidup manusia juga begitu, buat apa kau merasa susah?"   Meski begitu ucapannya, tapi dalam hati sendiri iapun bersedih.   Kiranya selama hampir sebulan Nyo Ko merasa sudah cukup mengajarkan isi Giok-lisim-keng kepada Bu-siang.   tapi selama itu tiada kabar berita Siao-Iiong-li, ia tahu menunggu lagi lebih lama juga tiada gunanya, Maka ia lantas meninggalkan tulisan di tanah dan pergi, ia pikir kalau pulang Cong-lam-san, tentu akan menambah rasa duka, maka seorang diri ia lantas mengembara di Kangouw.   Dengan cepat beberapa bulan telah lalu, dari musim dingin telah datang musim semi, suatu hari ia sampai di dekat Siangyang, dilihatnya bangunan di tepi jalan yang dahulu dibakar oleh pasukan Mongol kini sudah banyak yang dibangun kembali dalam bentuk rumah2 gubuk, walaupun tidak se-makmur dahulu, namun penduduk sudah mulai ramai lagi, agaknya selama ini pasukan Mongol tidak pernah menyerbu lagi ke sini.   Walaupun Nyo Ko juga terkenang kepada Kwe Cing, tapi ia tidak ingin bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka ia sungkan mampir ke Siangyang, pikirnya.   "Sudah lama berpisah dengan Tiau-heng (kakak rajawali), biarlah aku menjenguknya ke sana. Segera ia mencari jalan menuju ke arah, lembah pegunungan dahulu itu. Hampir seharian, akhirnya dekatlah dia dengan tempat pengasingan Tok-ko Kiu-pay dahulu. Segera ia bersuit panjang sembari berjalan ke depan, tidak lama kemudian di lereng bukit di depan sana berkumandang suara kaokan burung. Waktu Nyo Ko memandang ke sana, terlihatlah rajawali sakti itu mendekam di bawah pohon besar, kedua cakarnya mencengkeram seekor macan tutul. Berada dalam cengkeraman cakar rajawali yang hebat itu, sama sekali macan tutul itu tak bisa berkutik dan hanya mengeluarkan suara raungan belaka. Melihat kedatangan Nyo Ko, rajawali itu lantas melepaskan macan tutul itu, keruan cepat sekali binatang buas- itu memberosot ke semak2 pohon dengan mencawat ekor. Segera Nyo Ko merangkul leher rajawali itu dengan mesra dan gembira. Mereka, seorang manusia dan seekor burung, lantas kembali ke gua itu. Teringat pengalaman sendiri selama beberapa bulan yang penuh duka derita itu, sayang rajawali tidak dapat bicara diajaknya berbincang sekedar pelipur lara. BegituIah selama beberapa hari Nyo Ko berdiam saja di lembah pegunungan sunyi itu bersama rajawali sakti, Suatu hari, saking isengnya Nyo Ko mendatangi pula tebing tempat makam pedang Tokko Kiu-pang itu. Hian-tiat-pokian, itu pedang yang maha berat yang diambilnya dari sini, sudah dibuangnya di Coat-ceng-kok, segera ia melompat lagi ke atas tebing itu dan membaca kembali tulisan yang terukir di batu kuburan pedang kayu yang sudah lapuk itu dan berbunyi "Sesudah berusia 40 tahun, sungkan membawa senjata lagi, setiap benda dapat kugunakan sebagai pedang. Sejak itu latihanku semakin sempurna dan mendekati tingkatan tanpa melebihi memakai pedang", Nyo Ko coba merenungkan maksud tulisan itu, jgikirnya.   "Waktu aku membawa Hian-tiat-pokiam, boleh dikatakan hampir tiada tandingannya di seluruh jagat Tapi menurut pesan tinggalan Tok-koj Kiupay ini jelas pedang kayu lebih hebat daripada waktu dia menggunakan Hian-tiat-pokiam itu, masa lahan akhirnya tanpa menggunakan pedang menjadi lebih lihay daripada memakai pedang kayu, Kalau Liongji berjanji akan bertemu lagi 16 tahun kelak selama belasan tahun ini biarlah kugunakan untuk mempelajari dan meyakini ilmu pedang kayu melebihi pedang berat dan akhirnya tanpa pedang melebihi menggunakan pedang kayu sesuai ajaran Tok ko Kiu-pay. BegituIah ia lantas memotong setangkai kayu dan dibikin menyerupai pedang, ia pikin "Hian tiat-pokiam itu beratnya hampir 70 kati, bahwa pedang kayu yang enteng ini dapat mengungkulinya hanya ada dua jalan. Kebangunan ilmu pedang, dengan cepat mengalahkan kelambanan, Cara lain adalah menang kuat tenaga dalam, dengan keras mengatasi kelemahan."   BegituIah sejak itu iapun memupuk Lwekang dan meyakinkan ilmu pedang, setiap habis hujan deras ia lantas menggembleng diri di bawah air terjun untuk menambah kekuatan serangannya, Tanpa terasa musim berganti musim dan kembali datang lagi musim dingin, perpisahannya dengan Siao-liong-li sudah hampir setahun.   Nyo Ko merasa kemajuan tenaga dalam dan ilmu pedangnya selama setahun ini sangat lambat, mau-tak-mau ia menjadi kesal, Dalam pada itu bunga salju sudah mulai bertebaran Tiba2 rajawali itu berkaok kegirangan dan melompat ke tanah lapang pesta pentang sayap sehingga membangkitkan angin teras, bunga salju tersapu berhamburan.   Tergerak hati Nyo Ko melihat kelakuan burung itu, pikirnya.   "Musim semi tiada air bah, kalau ku latih ilmu pedang di tanah bersalju, rasanya juga suatu cara yang bagus."   Sementara itu dilihatnya si rajawali masih terus menyabet-nyabetkan kedua sayapnya sehingga membawa tenaga semakin keras, biarpun hujan salju lebat, namun tiada sepotong bunga salju yang jatuh di atas badannya.   semangat Nyo Ko terangsang juga, segera ia pegang pedang kayu dan dimainkan juga di bawah hujan salju, berbareng lengan laju tangan kanan juga dikebaskan, setiap ada bunga salju yang melayang turun, segera ia menyambutnya dengan angin putaran pedang atau tenaga kebasan lengan baju, Dengan begitu tanpa terasa hampir setengah hari telah berlalu, ia merasa tenaga dari pedang kayu dan lengan bajunya telah bertambah banyak sekali.   Hujan salju itu terus berlangsung hingga tiga hari lamanya, setiap hari Nyo Ko selalu menari pedang di bawah hujan salju itu bersama si rajawali sakti, Sampai petang hari ketiga, salju turun semakin lebat, selagi Nyo Ko mencurahkan segenap perhatiannya pada pedang kayu untuk menggempur bunga salju, mendadak sebelah sayap rajawali itu di sabetkan ke arahnya.   Karena tidak ber-jaga2, hampir saja Nyo Ko tersabet, cepat ia melompat minggir sehingga sabetan itu dapat dihindari walaupun begitu dahinya sudah ketetesan dua biji bunga salju.   Segera teringat olehnya dahulu rajawali sakti ini juga pernah main gempuran denganku di atas tebing itu sehingga ilmu pedangku maju pesat, sekarang jelas rajawali ini mengajak latihan bersama lagi.   Karena itu ia lantas putar pedang kayu dan balas menusuk satu kali, tapi lantas terdengar suara "krak"   Sekali, begitu kebentur sayap rajawali, seketika pedang kayu itu patah, Rajawali itupun tidak menyerang lagi, tapi berdiri tegak dan mengeluarkan suara ber-cicit2, sikapnya se-akan2 sedang mengomeli kecerobohan si Nyo Ko.   Diam2 Nyo Ko merenungkan cara bagaimana harus menghadapi rajawali sakti itu, pikirnya.   "Jika, kugunakan pedang kayu melawan tenagamu yang maha kuat, jalan satu2nya hanya mengelak dan menghindar, lalu balas menyerang pada setiap ada peluang,"   Setelah menentukan siasat itu, segera ia membuat lagi sebatang pedang kayu, lalu mulai menempur si rajawali pula di tanah salju itu, Sekali ini dia mampu bertahan hingga belasan gebrakan barulah pedang kayu terpatah.   BegituIah ia terus berlatih dengan tekun tanpa berhenti diam2 Nyo Ko sangat berterima kasih kepada si rajawali sakti yang telah menjadi teman berlatihnya tanpa mengenal lelah serta penuh disiplin itu, Pikirnya.   "Kalau aku tidak berhasil meyakinkan ilmu pedang kayu ini tentu akan mengecewakan harapan Tiau-heng ini. Apalagi kesempatan bagus yang sukar dicari ini mana boleh ku-sia2-kan pula?"   Dengan tekad itulah, meski dalam mimpi juga dia mengeraskan otak memikirkan gerak-gerik setiap jurus serangan, cara bagaimana menyerang dan mengelak serta cara bagaimana memperkuat tenaga, Karena kegiatan, latihan ilmu silatnya, rasa rindunya kepada Siao-liong-li menjadi rada berkurang sementara itu racun bunga cinta dalam tubuhnya sudah punah seluruh nya, tenaga dalamnya bertambah kuat, badan juga tampak sehat, kelesuan dan wajahnya yang pucat2 kurus dahulu kinipun sudah tidak kentara lagi.   Hawa semakin dingin, saju turun tiada henti2nya, sudah genap setahun perpisahannya dengan Siao-liong-li.   Berkatalah Nyo Ko kepada rajawali sakti itu.   "O, Tiau-heng, biarlah kita berpisah untuk sementara, kuingin pergi dulu ke Coat-ceng-kok."   Lalu dengan membawa pedang kayu ia meninggalkan pegunungan itu.   Dengan rasa berat rajawali itu mengikuti di belakang Nyo Ko, setiba dipersimpangan jalan Nyo Ko memberi hormat untuk mohon diri, lalu hendak melangkah pergi ke arah utara, Tak terduga mendadak rajawali itu menggigit ujung bajunya dan menyeretnya menuju ke selatan.   Tentu saja Kyo Ko heran, sayangnya di antara dia dan rajawali itu tidak saling mengerti bahasa masing2.   Tapi ia tahu burung itu sangat cerdik dan tiada ubahnya seperti manusia, maka tanpa rewel lagi ia lantas mengikutinya ke arah selatan, Melihat Nyo Ko menuruti kehendaknya, rajawali itu tidak menggigit lagi ujung bajunya dan membiarkannya jalan sendiri Tapi kelihatan Nyo Ko ragu2 dan hendak memutar balik, segera ia meng-gendoli lagi ujung bajunya.   Nyo Ko pikir kalau rajawali sakti ini ngotot mengajaknya ke selatan, tentu ada maksud tujuan tertentu Maka iapun membatalkan niatnya ke Coat ceng-kok dan ikut burung itu terus ke selatan.   Tiba2 hati Nyo Ko tergerak, pikirnya.   "Burung ini sangat pintar, jangan2 dia memberi petunjuk jalan padaku ke lautan selatan untuk menemui Liong ji?"   Teringat kepada Siao-liong-li, seketika ia bersemangat, segera ia melangkah lebar dan ikut rajawali itu berlari cepat ke tenggara, Tiada sebulan kemudian sampai mereka di pantai laut, Nyo Ko berdiri di atas batu karang dan memandang jauh ke lautan bebas sana, tertampak ombak men-dam-par2 dengan hebatnya, sedih dan girang bercampur, aduk dalam benaknya.   Selang tak lama, terdengar suara gemuruh di kejauhan seperti bunyi guntur meru, Karena waktu kecilnya dahulu ia pernah tinggal di Tho hoa-to, ia tahu itulah suara gelombang laut pasang, setiap hari antara lohor dan tengah malam air laut tentu pasang dua kali.   Kini sang surya sedang memancarkan sinarnya di tengah cakrawala, tentu tiba waktunya laut naik pasang.   Suara gemuruh air pasang itu makin lama makin keras dan berkumandang laksana be-ribu2 ekor kuda berderap serentak, Tertampaklah, dari jauh selarik garis putih menerjang ke arah pantai, suara gemuruh itu jauh lebih hebat daripada bunyi geledek dan samberan kilat.   Menyaksikan kedahsyatan alam itu, tanpa terasa air muka Nyo Ko berubah pucat.   Hanya sekejap mata saja gelombang air pasang sudah menerjang tiba dan mendampar ke batu karang tempat berdiri Nyo Ko.   Cepat ia melompat ke belakang, tapi mendadak punggungnya seperti di tubruk oleh suatu tenaga yang maha dahsyat, tanpa kuasa tubuhnya yang terapung di udara itu kecemplung ke laut, jatuh di tengah gelombang laut yang bergulung2, mulutnya terasa asin, tanpa kuasa ia telah minum dua ceguk air laut.   Ia menyadari keadaannya yang berbahaya, syukur ia sudah pernah di gembleng di bawah gerujukan air bah, maka sekuatnya ia tancapkan kaki di dasar laut dengan "Jian-kin tui", ilmu membikin berat tubuh.   Di permukaan air laut berombak, bergemuruh dengan hebatnya, tapi di dasar laut jauh lebih tenang.   Setelah merenungkan sejenak ia paham maksud rajawali itu mengajaknya ke pantai laut ini yakni agar dia berlatih pedang di tengah damparan gelombang laut itu.   Segera ia meloncat ke permukaan air, tapi segera segulung ombak laksana bukit menghantam kepalanya puIa.   Tiada jalan lain, terpaksa ia menarik napas panjang2, lalu selulup lagi menghindar ke dasar laut.   Begitulah ber-ulang2 Nyo Ko timbul dan selulup lagi ketika air laut mulai pasang surut sementara itu Nyo Ko sudah lelah, muka juga pucat namun ia bertambah semangat, tengah malam waktu pasang naik lagi, kembali ia membawa pedang kayu dan menceburkan diri ketengah amukan ombak samudera yang hebat itu, ia putar pedangnya di dalam air, terasa berat sekali karena damparan ombak yang membukit itu, jika terasa payah dan tidak mampu bertahan, cepat ia menyelam ke dasar laut untuk menghindar.   Ia terus berlatih secara begitu dua kali sehari, tidak sampai sebulan ia merasa tenaga dalamnya bertambah banyak, jika pedang kayu diputar di daratan sayup-2 menerbitkan suara seperti ombak mendampar.   Setiap kalau berlatih dengan rajawali itu, kini burung itu tak berani lagi menyambut serangannya dari depan, Suatu kali saking semangatnya Nyo Ko menusukkan pedang kayunya dengan sepenuh tenaga, Rajawali itu berkaok karena kaget dan melompat ke samping.   Karena tidak keburu menahan tenaga serangan-nya, pedang kayu itu menabas batang pohon di samping, pedang itu patah, batang pohon juga terkutung menjadi dua.   Nyo Ko melenggong sambil memegangi kutungan pedang kayu itu, pikirnya.   "Pedang kayu ini adalah benda lemah, tapi dapat mengutungi pohon, sudah tentu karena tenaga seranganku yang hebat Kalau nanti pohon patah dan pedang tidak patah, itulah baru mendekati ilmu sakti yang dicapai Tokko-Iocianpwe dahulu."   Musim semi berlalu, musim rontok tiba, sang tempo lewat dengan cepatnya, setiap hari Nyo Ko terus berlatih pedang di tengah gelombang laut tanpa mengenai lelah dan membedakan musim, Suara gemuruh yang dterbitkan pedangnya setiap kali ia menyerang menjadi semakin keras, sampai akhirnya telinga serasa pekak tergetar.   Tapi setelah beberapa bulan lagi, suara pedangnya mulai berkurang dan akhirnya lenyap tanpa suara lagi.   Ia berlatih lagi beberapa bulan, ternyata suara pedang kembali mendengung pula.   BegituIah terjadi perubahan sampai tujuh kali, akhirnya dapatlah ia menguasai pedangnya, ingin berbunyi lantas mengeluarkan suara, ingin tak bersuara lantas tanpa suara.   Ketika mencapai tingkatan setinggi ini, hitung punya hitung ternyata sudah enam tahun lamanya dia berdiam di pantai laut itu.   Kini dengan pedang terhunus dapatlah Nyo Ko bergerak bebas di tengah gelombang laut yang dahsyat itu, kekuatan yang timbul dari gerakan pedangnya sudah mampu menyampuk ombak laut yang mendampar dari depan.   Meski hidup terpencil di pantai laut dan selama itu tak pernah bergebrak dengan jago silat, namun tenaga si rajawali sakti yang luar biasa itu sudah tidak mampu menahan dua-tiga kali gebrakan pedang kayunya lagi, baru sekarang dia memahami perasaan Tokko Kiu-pay yang tidak pernah menemukan tandingan itu, waktu usianya sudah lanjut, pantaslah Tokko Kiu-pay bertambah terharu dan kesepian karena tiada seorangpun yang sanggup melawan ilmu pedangnya, akhirnya orang dan ilmu pedangnya terkubur semua di lembah sunyi itu.   Terpikir oleh Nyo Ko.   "Jika Tiau-heng dahulu tidak menyaksikan sendiri cara Tokko-locianpwe meyakinkan ilmu pedangnya yang maha sakti itu, mana bisa Tiau-heng mengajarkan lagi ilmu sakti ini padaku? walaupun kusebut burung Tiau heng tapi sesungguhnya dia adalah guruku, Bicara tentang umur, entah sudah berapa puluh tahun atau mungkin sudah ratusan tahun usianya, jadi umpama aku menyebut dia kakek atau buyut rasanya juga pantas."   Begitulah sembari berlatih ilmu pedang di pantai Iaut, iapun tiada hentinya mencari kabar berita tentang Nikoh sakti yang berdiam di lautan selatan sana.   Namun selama beberapa tahun itu ternyata tiada seorangpun pelaut atau pedagang seberang yang ditanyai itu dapat memberi keterangan sesuatu.   Lambat laun iapun putus harapan, ia pikir kalau belum tiba waktunya 16 tahun tentu sulit untuk bertemu lagi dengan Siao-liong-li.   Pada suatu hari, hujan rintik2, angin meniup keras timbul sesuatu perasaan Nyo Ko, segera ia membawa pedang kayu dan pakai mantel, bersama si rajawali sakti ditinggalkanlah pantai laut itu dan mulai mengembara menjelajahi setiap pelosok daerah Tionggoan dan terutama daerah Kanglam yang terkenal indah permai itu * * * Sang tempo berlaku dengan cepat beberapa tahun telah lampau pula.   Waktu itu adalah tahun pertama kaisar Song-li-cong yang bertahta di kerajaan Song Selatan dan terhitung tahun ke sembilan kaisar Goan-hian-cong (dinasti Yuan) dari kerajaan Mongol atau lebih terkenal dengan Kubilai Khan.   Ketika itu baru permulaan musim semi, pada Hong-Jeng-toh, sebuah kota tambangan di tepi utara Hong-ho (Sungai Kuning) tertampak sangat ramai dengan suara orang diseling ringkik kuda dan gemuruh roda kereta.   Rupanya selama beberapa hari ini cuaca berubah2 tidak menentu, terkadang dingin dan kemudian suhu menjadi hangat, mula2 air sungai Kuning itu sudah cair, tapi sejak semalam turun salju dengan lebatnya sehingga air sungai membeku lagi, sebab itulah kapal tambangan tidak dapat berjalan, keretapun tidak berani menyeberangi permukaan sungai yang beku itu.   Sebab itulah banyak saudagar yang hendak menyeberang ke selatan sama tertahan di kota tambangan kecil ini.   Meski di Hong-leng toh ini juga ada beberapa buah rumah penginapan, tapi karena pendatang dari utara masih tak ter-putus2nya, tiada setengah hari semua rumah penginapan sudah penuh sehingga banyak tetamu yang tidak mendapatkan pondokan dan tidak sedikit timbul ribut mulut antara tamu dan pemilik hotel.   Hotel yang paling besar di kota itu bernama "An toh Io-ttam"   Artinya hotel selamat menyeberang, Lantaran halaman hotel ini dan kamarnya terlebih luas daripada hotel lainnya.   maka tetamu yang tidak mendapatkan tempat pondokan lantas membanjiri An-toh-lo-tiam ini dan karena itulah suasana menjadi ramai dan berjubel menyebabkan kesibukan pengurus hotel, banyak kamar yang mestinya buat dua orang terpaksa diisi tiga orang, bahkan masih kelebihan belasan tamu yang tidak mendapatkan kamar, terpaksa duduk berkerumun saja di ruangan tengah, pelayan menyingkirkan meja kursi dan membuat api unggun di tengah2 ruangan untuk menghangatkan badan tetamu.   Menyaksikan bunga salju yang beterbangan dengan lebatnya di luar, para tetamu sama bersedih karena besok merekapun belum tentu dapat melanjutkan perjalanan.   Cuaca mulai gelap, tapi hujan salju semakin lebat tiba-2 terdengar suara derapan kaki kuda, tiga penunggang kuda mendatang secepat terbang dan terhenti di depan An-toh- lo-tiam.   "Kembali ada tamu lagi!"   Gumam seorang tamu yang berduduk di tepi api unggun. Benar juga lantas terdengar suara seorang perempuan berseru.   "He, pengurus berikan dua kamar kelas satu!"   Kuasa hotel menjawab dengan mengering tawa.   "Maaf, sudah sejak pagi kamar hotel kami terhuni penuh, sama sekali tiada kamar kosong lagi."   "Boleh satu kamar saja,"   Ujar perempuan tadi.   "Be ribu2 maaf, nyonya, sungguh sudah penuh semua,"   Jawab pengurus hotel. Tiba2 perempuan itu ayunkan cambuknya ke udara hingga menerbitkan suara "tarrrrr"   Sekali, lalu mengomel.   "Omong kosong! Memangnya kau tak bisa menyuruh orang mengalah sebuah kamar? Biar kutambahi sewanya."   Sembari bicara ia terus menerobos ke dalam hotel.   Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Pandangan para tamu sama terbeliak melihat perempuan itu, Usianya kira2 lebih 30 tahun, matanya jeli pipinya merah, mukanya cantik, perawakannya montok, berjaket kulit warna biru, bagian leher baju berlapiskan kulit berbulu halus, dan badannya sangat perlente.   Di belakang nyonya muda itu mengikut seorang lelaki dan seorang perempuan lagi, keduanya masih remaja, usianya antara 16-17, yang lelaki beralis tebal dan bermata besar, sikapnya kasar2 gagah, sebaliknya perempuan muda itu sangat cantik.   Ke-duanya sama memakai jaket satin hijau pupus, leher si anak dara memakai sebuah kalung mutiara, setiap biji mutiara itu sebesar jari dan bercahaya.   Para tamu sama terpengaruh oleh lagak lagu ketiga tamu baru, orang2 yang tadinya sedang bicara sama berhenti dan memandangi ketiga orang ini.   Dengan sigap pelayan hotel lantas memberi hormat dan menjelaskan kepada si nyonya muda.   "Lihatlah, nyonya, para tamu inipun tidak mendapatkan kamar. jika kalian tidak merasa kotor, silakan ikut duduk di sini sekedar menghangatkan badan dan lewatkan malam ini, besok kalau air sungai tambah keras membeku mungkin sudah cukup kuat untuk diseberangi."   Tampaknya nyonya muda itu tidak sabar, tapi keadaan memang begitu, terpaksa ia hanya mengerut kening dan tidak bersuara pula. Seorang perempuan setengah baya yang ikut duduk mengelilingi api unggun lantas berkata.   "Silakan duduk di sini, nyonya, hangatkan badan dulu, hawa sungguh dingin."   "Terima kasih,"   Jawab nyonya cantik itu Segera tamu lelaki yang duduk di samping perempuan setengah umur itu lantas bergeser untuk memberi tempat kepada si nyonya muda.   Duduk tidak lama, pelayan lantas mengantarkan daharan yang dipesan, ada daging ada ayam, arakpun tersedia, Nyonya muda itu sangat kuat minum arak, semangkok demi semangkok ditenggaknya hingga habis, lelaki muda itupun mengiringi minum, hanya si anak dara cantik itu saja setitikpun tidak minum arak.   Dari sapa menjaga mereka dapat diketahui bahwa mereka adalah kakak beradik, Usia pemuda itu tampaknya lebih tua daripada si anak dara, tapi ternyata memanggilnya "Cici", Habis makan semua orang berkerumun pula di sekitar api unggun, Suara angin yang menderu2 di luar membuyarkan rasa kantuk semua orang.   "Cuaca begini sungguh membikin susah orang,"   Demikian seorang lelaki berkata dengan logat daerah Soasay.   "sebentar hujan salju, sebentar membeku jadi es, lain saat mencair lagi, Thian benar2 ingin menyiksa orang."   "Sebaiknya kau jangan mengomeli Thian dan Te (langit dan bumi),"   Ujar seorang lelaki pendek dengan logat Ouw-pak.   "Adalah untung kita masih dapat menghangatkan badan dengan api dan makan enak di sini, Coba kalau kau pernah berdiam di kota terkepung Siangyang, kukira tempat yang paling sengsara di dunia ini juga akan berubah menjadi sorga bagimu."   Mendengar "kota terkepung Siangyang", nyonya cantik tadi memandang sekejap kepada kedua saudaranya. Lalu terdengar seorang tamu yang bcrlogat Kwitung bertanya.    Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Pendekar Misterius Karya Gan Kl

Cari Blog Ini