Kembalinya Pendekar Rajawali 69
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 69
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung "Numpang tanya saudara, bagaimana keadaan di kota Simgyang yang terkepung itu?" "Keganasan orang MongoI kiranya sudah kalian dengar dan tidak perlu kujelaskan lagi," Tutur tamu Ouwpak tadi. "Tahun itu pasukan Mongol menyerang Siangyang secara besar2an, panglima yang menjaga kota itu Lu-tayjin adalah manusia yang tidak berguna, syukurluh Kwe-tayhiap dan isterinya telah membantu dengan sepenuh tenaga." Mendengar nama Kwe-tayhiap dan isterinya disebut, tampak airmuka nyonya cantik tadi berubah riang pula. Sementara itu tamu berlogat Ouwpak tadi sedang menyambung ceritanya. "Beratus ribu penduduk siangyang juga bersatu padu menghadapi musuh dan bertahan dengan mati2an, seperti diriku ini, aku hanya pedagang gerobak surungan, tapi akupun ikut berjuang dengan mengangkut pasir dan mengangkat batu untuk memperkokoh benteng kota, lihat ini, codet pada mukaku ini adalah bekas luka kena panah orang Mongol." Waktu semua orang mengawasi, benar juga terlihat pipi kirinya ada bekas luka panah sebesar gobang, Tanpa terasa semua orang sama menaruh hormat padanya. "Negeri Song kita sedemikian luas dengan penduduknya begini banyak, kalau setiap orang berjiwa patriot seperti saudara, hah, biarpun Tartar Mongol lebih ganas sepuluh kali lipat juga takkan mampu menginjak tanah air kita," Demikian kata si orang Kwitang dengan bersemangat. "Tepat!" Ujar si orang Ouwpak. "Lihatlah, sudah belasan tahun pasukan Mongol menggempur Siangyang, tapi selama ini selalu gagal, sebaliknya tempat2 lain selalu dibobolnya dengan mudah. Kabarnya belasan negeri di benua barat sana juga sudah ditumpas oleh orang Mongol, sedangkan Siangyang kita masih tetap berdiri dengan tegaknya, walau-pun raja mongoI Kubilai sendiri yang memimpin penggempuran juga tetap tidak berhasil." "Ya, kalau saja Siangyang jatuh, tentu sudah lama tanah air Song Raya kita sudah lama dicaplok orang Mongol," Kata orang Kwitang, Begitu semua orang penuh semangat bicara tentang pertahanan Siangyang, orang Ouwpak itu telah menjunjung Kwe Cing dan Ui Yong setinggi langit se-akan2 malaikat dewata dan semua orang juga tiada hentinya memberi pujian. Tiba2 seorang tamu berlogat Sucoan ikut bicara dengan gegetun. "Sesungguhnya pembesar yang menjaga benteng di-mana-2 juga ada, soalnya pemerintah kerajaan tidak dapat membedakan antara yang baik dan jahat, seringkali kaum dorna justeru menikmati segala kejayaannya, sedangkan pembesar setia malahan mati penasaran Seperti Gak Hui pujaan kita yang sudah almarhum itu tidak perlu dibicarakan, sekarang saja di daerah Sucoan kami sudah ada beberapa pembesar pembela rakyat telah menjadi kaum dorna." "Hei pembesar siapakah itu mohon penjelasan," Tanya orang Ouwpak tadi. "Sudah belasan tahun juga pasukan Mongol menggempur wilayah Sucoan, berkat perlawanan Sia Kay yang bijaksana itu, segenap rakyat jelata di Sucoan sama tunduk di bawah pimpinannya dan memujanya se-akan2 Budha penolong," Demikian tutur si orang Sucoan. "Siapa tahu raja kita yang berkuasa sekarang telah mempercayai laporan si dorna Ting Tay-coan. katanya Sia-tayjin menyalah gunakan kekuasaan dan membangkang perintah pusat, maka perlu diambil tindakan dan dikirimlah racun untuk memaksa Sia-tayjin membunuh diri lalu kedudukannya diganti seorang pembesar tak becus yang menjadi komplotan kaum dorna itu. Ketika kemudian pasukan Mongol menyerbu tiba pula, hanya sekejap saja Sucoan lantas jatuh, pihak kerajaan tidak menyesali dirinya sendiri yang salah membunuh pembesar baik, sebaiknya malah menuduh panglima tentara Ong Wi-tiong Ciangkun yang bertahan mati2-an itu bersekongkol dengan musuh dan menangkapnya bersama segenap anggota keluarganya ke ibukota, di sana Ong-ciangkun telah dihukum penggal kepala." Bicara sampai di sini suaranya menjadi rada tersendat Semua orang sama menghela napas terharu mendengar kisah sedih, orang Kwetang tadi berkata dengan gusar "Hancurnya negara selalu menjadi korban kaum dorna begitu, Kabarnya kerajaan selatan sekarang ada tiga ekor anjing dan pembesar dorna Ting Tay-coan itu adalah salah seekor di antaranya." Seorang pemuda berwajah putih yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini mendadak menimbrung. "Benar, kaum dorna kerajaan selatan dikepalai Ting Tay-coan, Tan Tay-hong dan Oh Tay-jiang. Karena nama mereka sama2 memakai "Tay", maka orang2 di Liman (ibukota Song Selatan) menambahkan nama mereka itu dengan satu coretan sehingga menjadi "Khian" (anjing) dan mereka bertiga dianggap tiga ekor anjing." Sampai di sini, semua orang sama tertawa puas. Orang Sucoan tadi lantas bertanya. "Dari logat saudara cilik ini, tampaknya engkau orang dari Lim-an?" "Benar," Jawab si pemuda. "Jika begitu, waktu Ong Wi-tiong Ciangkun menjalani hukuman mati, apakah saudara juga mengetahuinya?" "Ya, malahan ikut menyaksikan sendiri," Jawab pemuda itu. "Menghadapi ajalnya Ong ciangkun tanpa gentar, dengan gagah berani beliau malah mencaci Ting Tay-coan dan Tan Tay-hong sebagai pembesar dorna penjual negara dan bangsa, Bahkan terjadi pula sesuatu yang aneh." "Kejadian aneh apa?" Tanya orang banyak. "Yang memfitnah Ong-ciangkun jelas adalah Tan Tay-hong", tutur si pemuda. "Waktu menuju kelapangan hukuman, di tengah jalan Ong-ciang-kun berteriak-teriak dan mencaci maki Tan Tay-hong, katanya setelah mati pasti akan mengadu kepada Giam lo-ong untuk merenggut nyawa dorna she Tan itu. Anehnya tiga hari sesudah Ong ciang-kun menjalani hukuman, Tan Tay-hong itu benar2 mati mendadak di rumahnya dan kepalanya telah dipenggal dan tergantung tinggi di menara lonceng di pintu gerbang timur Lim an. Begitu tinggi menara itu, jangankan manusia, monyet sekalipun sukar merambat ke sana, Coba pikir, jika bukan Giam lo-ong yang merenggut jiwa menteri dorna itu, perbuatan siapa lagi, peristiwa itu diketahui setiap penduduk Lim-an dan sekali2 bukan dongeng belaka." Semua orang sama bersuara mengatakan heran mereka. Orang Sucoan itu berkata. "Kejadian itu memang bukan dongengan, cuma yang membunuh Tan Tay-hong itn bukanlah Giam-!o-ong melainkan perbuatan seorang ksatria sejati." "Di rumah menteri doma itu tidak sedikit pengawalnya, penjagaan tentu sangat ketat, orang biasanya manabisa membunuhnya, bahkan menggantung kepalanya di tempat setinggi itu, apa memangnya orang itu bersayap?" Si pemuda sambil menggeleng. "Di dunia ini tidak kurang orang kosen, jika aku tidak menyaksikan sendiri menang juga tidak percaya," Kata orang Sucoan itu. "Kau menyaksikan sendiri memanjat ke tempat setinggi itu? Cara bagaimana kau dapat menyaksikan nya?" Tanya si pemuda. Orang Sucoan itu ragu2 sejenak, akhirnya ia menutur pula. "Ong-ciangkun mempunyai seorang anak lelaki yang berhasil kabur waktu keluarganya ditangkap. Demi membabat sampai akar2nya kawanan dorna telah mengirim begundalnya menguber mencari putera Ong-ciangkun itu. Meski putera Ong-ciangkun juga mahir ilmu silat, namun dia cuma sendirian dan tidak mampu melawan orang banyak, ketika dia dikejar dan hampir tertangkap tiba2 datang seorang penolong yang berhasil mengocar- kacirkan pasukan pengejar itu. Lalu putera Ong-ciangkun itu menuturkan apa yang terjadi atas keluarganya, Tentu saja Tayhiap (pendekar besar) yang menolongnya itu tidak tinggal diam dan menyusul ke Lim-an dengan maksud hendak menolong Ong-ciangkun, tapi sayang, beliau terlambat satu hari, Ong-ciangkun sudah dipenggal kepalanya. Dalam gusarnya Tayhiap itu lantas mendatangi kediaman Tan Tay-hong serta memotong kepalanya, Meski menara lonceng itu sangat tinggi dan sukar dicapai manusia, namun bukan soal bagi Tayhiap itu, hanya sekali loncat saja dapatlah beliau naik ke situ." "Siapakah Tayhiap itu? Bagaimana bentuknya?" Tanya si orang Kwitang. "Aku tidak tahu nama pendekar besar itu, yang jelas dia tidak mempunyai lengan kanan, wajahnya cakap, sikapnya gagah, dia selalu membawa seekor burung raksasa yang berbentuk aneh dan buruk." Belum habis ceritanya, seorang laki2 lain lantas menanggapi "Betul, itulah "Sin-tiau-hiap" Yang termashur di dunia Kangouw." "Ya, pendekar besar itu suka membantu yang lemah dan menolong yang miskin, tapi selamanya tidak mau menyebutkan namanya sendiri," Tutur laki2 itu. "Karena dia selalu membawa burung yang aneh itu, kawan2 Kangouw lantas memberi nama julukan "Sin-tiau-tay-hiap" (pendekar besar rajawali sakti) padanya, Tapi beliau mengatakan arti "Tay-hiap" Terlalu berat baginya, maka tidak berani menerima, terpaksa orang hanya menyebutnya "Sin-tiau-hiap" Saja. padahal berdasarkan tindak perbuatannya yang luhur budi itu, sebutan Tayhiap juga pantas diterima olehnya, Kalau dia takdapat disebut pendekar besar, lalu siapa lagi?" "Huh, di sini Tayhiap, di sana juga Tayhiap, kan bisa kebanjiran Tayhiap nanti," Tiba2 si nyonya cantik tadi menimbrung. "Ah, kenapa nyonya ini bilang begitu?" Bantah-orang Sucoan itu dengan tegas. "Meski urusan Kangouw kurang kupahami, tapi demi menolong Ong-ciangkun, Sin-tiau-tayhiap itu telah berangkat dari Hopak ke Lim-an, selama empat hari empat malam tanpa berhenti padahal beliau tidak pernah kenal siapa Ong-ciangkun, hanya karena kasihan padanya panglima yang difitnah menteri dorna itu, maka beliau telah bertindak tanpa menghiraukan bahaya sendiri. Coba, perbuatan begitu apakah tidak pantas disebut Tayhiap?" Nyonya cantik itu mendengus dan baru hendak mendebat, tiba2 anak dara disampingnya me-nyela. "Cici, perbuatan kesatria yang terpuji itu kan tidak salah kalau diberi gelaran Tayhiap?" Suara anak dara itu sangat nyaring dan merdu, enak didengar, segar rasanya bagi pendengaran setiap orang. Nyonya cantik tadi lantas mengomeli adiknya. "Huh, kau tahu apa?" Lalu ia berpaling kepada orang Sucoan tadi dan berkata pula. "Darimana kau dapat mengetahui sejelas itu? Bukankah kaupun mendengar dari obrolan orang di tepi jalan atau berita angin di dunia Kangouw? Huh, sembilan bagian pasti takdapat dipercaya." Orang Sucoan itu termenung sejenak, akhirnya ia berkata dengan sungguh. "Aku she Ong, Ong Wi-tiong Ciangkun itu adalah ayahku almarhum. jiwaku sendiri diselamatkan oleh Sin-tiau-tayhiap. walaupun saat ini diriku menjadi buronan pemerintah, tapi soalnya menyangkut nama baik tuan penolongku, terpaksa kujelaskan asal usul diriku ini." Semua orang melengak mendengar ucapan orang Sucoan ini, serentak orang Kwitang tadi mengacungkan ibu-jarinya dan berseru. "Ong-ciangkun cilik, kau memang seorang laki2 sejati, Kalau di sini ada manusia rendah yang berani melaporkan dirimu kepada yang berwajib, biarlah kita be-ramai2 menghadaprnya." Maka bergemuruhlah orang banyak menyatakan setuju, Terpaksa nyonya cantik tadi tidak dapat membantah pula. Dalam pada itu si anak dara jelita tadi sedang ter-mangu2 memandangi salju yang bertebaran di luar itu sambil bergumam pelahan. "Sin-tiau tayhiap, Sin-tiau-tayhiap " Mendadak ia berpaling kepada si orang Sucoan dan bertanya. "Ong-toako, kalau Sin-tiau-tayhiap itu mempunyai kepandaian setinggi itu, sebab apa pula sebelah lengannya buntung?" Air muka si nyonya muda tampak berubah demi mendengar persoalan lengan buntung Sin-tiau-tayhiap disinggung bibirnya tampak ber-gerak2 ingin bicara, tapi urung. Si orang Sucoan she Ong itu menjawab sambil menggeleng. "Entah, nama asli Sin-tiau-tayhiap saja takdapat kuketahui, seluk-beluk pribadi beliau tentu saja lebih2 tidak tahu. "Tentu saja kau tidak tahu," Jengek si nyonya muda. Tiba2 si pemuda Lim-an berkata pu!a. "Tentang menteri dorna Ting Tay-coan itu, sekarang mukanya mendadak berubah hijau gosong dalam semalam, tentu kejadian ini karena hukuman Allah." "Aneh, mengapa dalam semalam mukanya berubah menjadi gosong?" Tanya si orang Kwitang. "Memang aneh, karena kulit mukanya berubah mendadak, sekarang penduduk Lim-an memberi nama Ting Je-bwe (Ting si kulit hijau) padanya," Tutur pemuda Lim-an. "Asalnya kulit muka Ting Tay-coan itu putih mulus, maklum, hidupnya mewah dan makannya enak Tapi semalaman mendadak kulit mukanya berubah jadi hijau gosong, biarpun sudah diobati oleh tabib paling pandai juga takdapat menghilangkan warna kulitnya yang lucu itu, Konon Sri Baginda pernah menanyakan hal ini, tapi menteri dorna itu malah melapor, katanya lantaran sibuk mengurusi pekerjaan sehingga beberapa malam tidak tidur, maka kulit mukanya menjadi hijau. Akan tetapi setiap penduduk Lim-an sama anggap perubahan kulit muka menteri dorna itu adalah karena kutukan Allah." "Sungguh aneh kejadian itu," Ujar si orang Kwitang. "Hahaha!" Mendadak si lelaki kekar tadi bergelak tertawa dan bersemi "Ketahuilah bahwa kejadian itupun atas tindakan Sin-tiau-tayhiap. sungguh menyenangkan sungguh menarik." "He, bagaimana bisa jadi perbuatan Sin-tiau tayhiap lagi?" Tanya semua orang. Laki2 kekar itu hanya bergelak tawa saja dan tidak bercerita lebih lanjut, tampaknya ia sengaja tahan harga, ingin jual mahal. Lantaran ingin tahu duduk perkaranya lebih jelas, si orang Kwitang lantas memanggil pelayan agar membawakan dua kati arak Ko-tiang yang enak untuk lelaki kekar itu, setelah dicekoki arak, semangat orang itu lantas terbangkit, segera ia bercerita lagi. "Tentang peristiwa ini, bukan aku sengaja membual, tapi aku sendiri ikut berjasa, Malam hari itu Sin-tiau-hiap tiba2 datang ke Lim-an dan suruh kupimpin para kawan meringkus semua opas yang dinas jaga di kantor walikota, seragam mereka dicopot dan disuruh pakai para kawan. Kami merasa tertarik dan juga heran entah apa yang akan dilakukan Sin-tiau-hiap, tapi kami yakin permainan menarik pasti sedang menanti maka segala perintah beliau selalu kami laksanakan. Kira2 lewat tengah malam, Sin-tiau-hiap tiba di kantor walikota, beliau sendiri lantas memakai jubah kebesaran walikota dan duduk di meja sidang, sekali palu diketok, beliau lantas membentak "Bawa hadir menteri berdosa Ting Tay-coan!" - Sampai di sini ia lantas angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis. "Tatkala mana saudara kerja apa di Lim-an sana?" Tanya si orang Kwitang. "Kerja apa?" Lelaki itu menegas dengan mata mendelik "Memangnya apa lagi? Minum arak pakai mangkuk besar, makan daging enak, bagi rejeki dengan timbangan, itulah kerjaku, berusaha tanpa pakai modal." Orang Kwitang itu terkejut dan tidak berani bertanya pula, ia tahu apa artinya berusaha tanpa pakai modal itu. Yakni merampok, membegal dan sebagainya. Orang itu lantas bercerita pula. "Aku melenggong ketika mendengar nama Ting Tay-coan disebut, bukankah pembesar anjing ini adalah perdana menteri sekarang, mengapa Sin-tiau-hiap dapat menyeretnya ke sini? Terdengar palu diketok lagi, dua petugas benar2 mengiring seorang ke depan sidang, mungkin saking ketakutan, orang itu menjadi gemetar, ingin berlutut, tapi enggan pula. Seorang kawan lantas mendepak belakang dengkulnya hingga dia jatuh bertekuk lutut. Haha, sungguh lucu dan mcnarik. Sin tiau-hiap lantas menanyai dia. "Ting Tay-coan, apakah kau mengetahui dosamu?" Ting Tay- coan menjawab. "Tidak tahu." Sin-tay-hiap membentak. "Kau korupsi dan main kekuasaan, memfitnah dan membunuh menteri setia serta membikin sengsara rakyat, bersekongkol dengan negara musuh, semua perbuatanmu yang jahat lekas kau mengakui." Ting Tay-coan menjawab. "Engkau ini siapa? Berani menculik pembesar negeri, apakah kau tidak tahu undang-undang kerajaan?" Sin-tiau-hiap menjadi marah dan membentak pula. "Hah, kau juga tahu undang-undang segala? Bagus, hayo anak buah, rangket dia 40 kali lebih dulu!" Memangnya setiap orang sangat benci kepada menteri dorna ini, kini diperintahkan merangketnya, keruan mereka sangat bersemangat cara merangketnya juga diperkeras, tentu saja menteri dorna itu ber-kaok2 minta ampun dan jatuh pingsan beberapa kali, ia tidak berani kepala batu lagi, apa yang ditanya Sin-tiau-hiap lantas diakuinya semua. Sin-tiau hiap lantas menyuruhnya menulis sendiri pengakuan dosanya, jika dia ragu2 menulisnya, segera Sin tiau hiap menyuruh menggebuk pantatnya lagi atau menempeleng dia." Si anak dara cantik tadi mengikik tawa senang, desisnya. "Hihi, sungguh menarik!" Laki2 itu menenggak habis pula semangkok arak, katanya dengan tertawa. "Ya, memang sangat menarik, Rupanya Ting Tay-coan itu sangat ketakutan, apalagi Sin tiau hiap ber-ulang2 mendesak agar cepat menulisnya, kalau sedikit merandek segera para kawan disuruh menggebuknya, akhirnya Ting Tay coan sampai terkencing2 dan ter-berak2. Untung baginya, tidak lama fajarpun menyingsing dan di luar kantor walikota itu sudah ramai dengan petugas yang datang dinas pagi, malahan menyusul ada pasukan yang datang pula, mungkin kebocoran berita dan ada orang yang melapor Sin-tiau-hiap menjadi gusar dan berteriak. "Penggal saja kepalanya!" Kutahu Sin-tiau-hiap tidak suka sembarangan membunuh orang, tapi kulolos juga golokku terus kuayunkan ke batang leher Ting Tay-coan, ketika golok terangkat ke atas telah ku-putar sekali, lalu dengan tepat mengetuk kuduk Ting Tay-coan, kontan saji menteri dorna itu roboh terguh'ng, tapi tidak mati melainkan jatuh pingsan. Rupanya yang mengenai adalah punggung golok yang tidak tajam, tapi sudah cukup membuatnya ketakutan setengah mati. Sin-tiau-hiap bergelar tertawa dan suruh kami mengundurkan diri melalui pintu belakang agar tidak kebentrok dengan pasukan pemerintah. Konon besoknya Sin-tiau hiap telah mengirim sendiri pengakuan dosa Ting Tay coan itu kepada si tua kaisar, tapi entah ocehan apa Ting Tay-coan telah membuat si kaisar tetap percaya penuh padanya dan tetap menyuruhnya menjabat perdana menteri hingga sekarang." "Kalau saja Sri Baginda tidak ngawur dan lemah, tentu kaum dorna takkan berkuasa, tampaknya tanah air kita yang jaya ini sukar dipertahankan lagi." Ujar Ong ciangkun cilik. "Ya, kecuali Sin-tiau hiap yang menjadi perdana menteri barulah pasukan musuh dapat dikalahkan dan dunia inipun aman," Kata lelaki tadi. "Huh, dia sesuai menjadi perdana menteri?" Tiba2 si nyonya cantik menyeletuk. Laki2 tadi menjadi gusar dan menjawab. Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dia tidak sesuai, memangnya kau yang sesuai?" Nyonya cantik itu naik pitam dan membentak "Kau ini kutu macam apa, berani kasar padaku?" - Dilihatnya laki2 itu sedang memegang sepotong besi pengaduk api dan lagi menyurung kayu bakar ke orggokan api unggun agar berkobar lebih keras, sekenanya ia jemput sepotong kayu dan menyeruk ke besi pengaduk api itu. Seketika tangan lelaki itu tergetar kesemutan. "trang", pengaduk api itu jatuh ke lantai dan memercikkan lelatu dari unggun api itu sehingga beberapa jenggotnya terbakar hangus. Semua orang berteriak kaget, waktu mereka memandang besi pengaduk itu, ternyata sudah bengkok. Biarpun watak lelaki tadi rada berangasan, tapi demi melihat kelihayan si nyonya cantik, ia menjadi mengkeret dan tidak berani bersuara lagi, bahkan arakpun lupa diminum lagi. Si anak dara cantik lantas ikut bicara. "Cici, orang sedang bercerita tentang Sin-tiau-hiap yang baik budi itu, mengapa kau seperti tidak suka mendengarkan nya?" Lalu ia berpaling pada lelaki tadi dan berkata dengan tersenyum manis. "Toasiok, jangan kau marah ya!" Sebenarnya laki2 tua itu sangat mendongkol tapi karena senyuman manis anak dara ini, seketika api amarahnya sirna tanpa bekas, iapun membalasnya dengan tertawa, mestinya ingin mengucapkan beberapa patah kata rendah hati, tapi urung. "Toasiok," Demikian si anak dara berkata pula. "silahkan engkau berkisah pula mengenai Sin-tiau-hiap itu. Apakah engkau kenal dia?" Laki2 itu memandang sekejap ke arah si nyonya cantik dan ragu2 untuk bicara. Anak dara itu lantas berkata. "Silahkan bercerita saja, asalkan engkau tidak membikin marah Ciciku tentu takkan terjadi apa2. Cara bagaimana engkau kenal Sin-tiau-hiap? Beberapa umurnya kira2? Apakah burungnya rajawali itu sangat bagus?" Tanpa menunggu jawaban lelaki itu, ia berpaling kepada si nyonya muda dan bertanya. "Cici, entah bagaimana kalau rajawalinya itu dibandingkan dengan sepasang rajawali kita?" "Dibandingkan sepasang rajawali kita?" Tukas si nyonya muda. "Hah, di dunia ini mana ada burung lain yang dapat menandingi kedua rajawali kita itu?" "Ah, juga belum tentu," Ujar si anak dara. "Ayah sering mengatakan kita bahwa orang belajar silat harus tahu bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai, sekali2 tidak boleh bangga dan puas. Kalau manusia saja begitu, kukira burung yang lebih daripada rajawali kita itu pasti juga ada." "Huh, anak kecil tahu apa?" Omel si nyonya wuda. "Waktu berangkat, ayah ibu menyuruh kau menurut pada perkataanku, apakah kau sudah lupa?" "Menurut ya menurut, tapi kan kudu tahu apa yang kau katakan itu betul atau tidak?" Jawab si anak dara. "Eh, adik, coba katakan, ucapanku yang betul atau ucapan Cici yang betul?" Pemuda di samping anak dara itu ragu-2 sejenak, kemudian menjawab. "Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas ayah bilang kita harus menurut perkataan Taci dan suruh kau jangan adu mulut dengan Taci." "Nah, benar tidak?" Kata si nyonya muda dengan senang. Tapi si anak dara juga tidak marah meski adiknya mengeloni sang Taci. dengan tertawa ia berkata. "Ah, adik memang tidak paham apa2" -Lalu ia berpaling dan tanya laki2 kekar tadi. Toasiok, silakan kau bercerita lagi tentang Sin-tiau-hiap." Lelaki itu menjawab. "Baik, jika nona senang mendengarkan, tentu akan kuceritakan. Meski kepandaian orang she Song ini rendah, paling tidak akupun seorang Iaki2, satu bilang satu dua ya bilang dua. sepatah katapun tidak berdusta, Tapi kalau nona tidak percaya, ya lebih baik tidak kuceritakan saja." "Mana aku tidak percaya? Lekas engkau bercerita lagi," Kata si anak dara sambil mengangkat poci arak dan menuangkan satu mangkok lagi bagi orang itu, malahan ia terus memanggil pelayan. "He, pelayan, tambah lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging rebus, Taciku menjamu para paman dan bibi ini minum arak sekadar menolak hawa dingin." Pelayan mengiakan dan berteriak menyampaikan pesanan itu, Semua orang sama tertawa gembira dan mengucapkan terima kasih kepada si anak dara. Tidak lama, tiga pelayan lantas mengantarkan arak dan daging yang dipesan. Tapi si nyonya cantik tadi menjadi tidak senang, katanya dengan cemberut. "Hm, umpama aku ingin menjamu tamu juga takkan menjamu orang yang suka mengaco belo ini. He, pelayan, rekening arak dan daging itu tidak boleh diperhitungkan padaku." Si pelayan melengak bingung, ia pandang si nyonya cantik sebentar, lalu pandang si anak dara lagi. Anak dara cantik itu lantas mengambil tusuk kondai emasnya dan disodorkan kepada pelayan, katanya. "lni tusuk kondai dari emas murni, sedikitnya bernilai beberapa puluh tahil perak, Nah, tukarkan saja bagiku, Lalu bawakan lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging kambing rebus. " Nyonya cantik tadi menjadi marah, omelnya. "Jimoay, Kau sengaja membikin keki aku, bukan? Melulu mutiara yang terbingkai di tusuk kondai itu saja bernilai beberapa ratus tahil perak, tapi benda berharga begitu sembarangan kau berikan untuk mentraktir minum arak sembarangan orang. Nanti kalau pulang dan ditanyakan ibu, coba cara bagaimana kau akan menjawab?" Anak dara itu melelet lidah, lalu berkata dengan tertawa. "Akan kukatakan hilang di tengah jalan, sudah kucari tapi tidak ketemu." "Huh, masakah aku mau berdusta bagimu?"" Omel si nyonya muda. Si anak dara lantas mendahului menyupit sepotong daging rebus dan dimakan, lalu berkata. "Nah, barang sudah dimakan masakah boleh dikembalikan? Eh. hayolah para paman dan mamak, jangan sungkan-2, silakan minum dan makan!" Melihat kedua kakak beradik itu beradu mulut, semua orang merasa tertarik, mereka sama menyukai si anak dara yang polos ke-kanak 2an, maka dalam hati mereka memihak si anak dara. Rupanya si nyonya muda cantik itu mendongkol ia terus memejamkan mata dan menutupi telinganya. "Nah, Song toasiok, Taciku sudah tidur silakan kau bercerita lagi, tentu takkan mengganggunya," Kata si anak dara dengan tertawa. "Bilakah aku tidur?" Semprot si nyonya muda dengan marah. "Ah, bagus, tentunya engkau menjadi lebih tak terganggu," Jawab si anak dara dengan tertawa. Dengan suara keras si nyonya muda lantas ber-kata; "Yang-ji, dengarkan kataku, jika kau selalu ngotot dengan aku, besuk aku takkan berangkat bersama kau." "Ah, tak jadi soal, aku brrangkat bersama Samte (adik ketiga)," Ujar si nona cilik. "Tidak, Samte akan ikut aku," Kata si nyonya. ""Eh, Samte, kau akan berangkat bersama siapa?" Tanya anak dara itu. Anak muda tadi menjadi serba susah, kalau membantu sang Taci, tentu Jici kurang senang, jika mengeloni Jici, sang Taci yang akan marah, Dengan tergagap2 kemudian ia menjawab. "Kata ibu, kita bertiga harus selalu bersamak tak boleh terpencar." "Nah, betul tidak? Kalau Taci tidak membawa serta diriku, nanti kalau pulang dan ditanyai ibu, tentu Taci tak bebas dari tanggung jawab," Jawab si nona cilik dengan tertawa. Dengan mendongkol si nyonya menjawab. "Tahu kau selalu bandel begini, dulu waktu kau masih kecil dan diculik orang jahat, tentu aku tidak perlu berkuatir dan ikut mencari kau." Mendengar begitu, nona cilik itu menjadi lunak hatinya, ia terus merangkul bahu sang Taci dan memohon. "O, Taci yang baik, jangan marah ya! Anggaplah aku yang salah." Si nyonya muda sengaja bermuka merengut dan tidak menggubris. "Jika Taci tidak mau tertawa, akan ku-kitik2 kau," Kata si anak dara. Tapi nyonya muda itu malah melengos ke sana. Mendadak anak dara itu menggunakan tangan kanan untuk mengelitik ketiak sang Taci dari belakang, Tanpa menoleh nyonya muda itu menggunakan siku kiri untuk menyikut ke belakang, Tapi tangan kiri si anak dara sempat menangkap sang Taci dan tangan lain tetap hendak mengelitik. segera si nyonya muda sedikit memutar tubuh dan sikutnya menyodok untuk memaksa si anak dara menarik kembali tangannya, keduanya bergerak dengan lemah gemulai dan bergaya menarik. Hanya sekejap saja keduanya sudah saling gebrak beberapa jurus, Si anak dara tetap tidak mampu mengelitik sang Taci, si nyonya muda juga tidak dapa menangkap tangan adiknya. "Kepandaian bagus!" Tiba2 seorang berseru tertahan di pojok ruangan sana. Kedua kakak beradik serentak berhenti dan memandang ke pojok sana, tertampak seorang duduk meringkuk menjadi satu gulungan, kepala terbenam di antara kedua lututnya, agaknya sedari tidur nyenyak, Sejak duduk di tepi api unggun kedua kakak beradik itu sudah melihat cara orang tidur meringkuk begitu tanpa bergerak sedikitpun orang lain tidak dapat melihat cara bagaimana kedua kakak beradik itu bercanda. Agaknya suara sorakan itu bukan dilakukan olehnya. Tiba2 si pemuda berkata. "Taci dan Jici, ayah sudah pesan agar kita jangan sembarangan memperlihatkan kungfu kita." "Ah, sok kemaki!" Si anak dara berseloroh. "Tapi benar juga kau." -Lalu dia berpaling kepada lelaki kekar tadi. "Maaf, Song toasiok, kami kakak beradik ribut sendiri sehingga lupa mendengar ceritamu Hayolah lekas mulai!" LcIaki she Song itu menjawab. "Tapi sekali2 aku bukan mendongeng, apa yang kuceritakan ini adalah kisah nyata." "Tentu saja cerita Song-toasiok adalah kejadian nyata," Ujar si anak dara dengan tertawa. Lelaki itu menenggak dulu araknya, lalu berkata "Sudah kuminum dan makan suguhan nona, andaikan tidak bercerita juga rikuh rasanya, Kalau saja semalam duitku tidak amblas di meja dadu, tentu akan kujamu kembali engkau nona manis ini, memangnya panggilan Toasiok ber-ulang2 hanya panggilan percuma saja? -Eh, bicara tentang perkenalanku dengan Sin-tiau-hiap, kejadiannya hampir sama dengan pengalaman Ong-ciangkun cilik ini, jiwaku juga telah diselamatkan oleh Sin-tiau-hiap. Cuma sekali ini beliau tidak menggunakan kekerasan melainkan dibeli dengan uang." "Sungguh aneh, masakah dia membeli kau dengan uang?" Si anak dara menegas. "Memangnya berapa sih harganya satu kilo dirimu ini?" Lelaki itu ter-bahak2, katanya. "Hahaha, daging orang macamku yang berbau tengik ini ternyata jauh lebih mahal daripada daging sampi maupun babi, Tahukah kau berapa Sin-tiau-hiap menghargai diriku ini? Hah, 4000 tahil perak, tidak kurang. Begini kejadiannya. Lima tahun yang lalu ketika membela sesuatu urusan di Celam, Soatang, aku telah membunuh mati seorang bicokok setempat bunuh orang ganti nyawa, bukan soal bagiku. Pada suatu hari aku harus menjalani hukuman mati, yang mendongkolkan aku adalah aku diharuskan mati berbarengan dengan seorang buaya darat setempat yang maha jahat. Sungguh brengsek, masakah seorang laki2 sejati macamku harus mati di tempat yang sama dengan seorang penjahat? Wah, betapapun aku sangat penasaran." "Tak terduga, selang beberapa hari, buaya darat itu telah menyogok walikotanya sehingga tuduhan menculik orang, memeras, membuka rumah perjudian dan rumah pelacuran, semuanya ditumpukkan atas diriku dan buaya darat itu telah dibebaskan. Dari kepala penjara kudengar bahwa buaya darat itu lelah menyogok dua ribu tahil perak kepada walikota sehingga semua kesalahannya ditambahkan seluruhnya atas namaku. Katanya toh sama saja, suatu pelanggaran dihukum mati, sepuluh pelanggaran juga dihukum mati, daripada mati dua orang biarlah mati satu orang saja " "Keruan aku merasa difitnah dan sangat penasaran aku ber-teriak2 mencaci maki pembesar durjana itu, Tapi apa dayaku ? Lewat beberapa hari lagi aku dibawa ke sidang, sungguh aneh bin ajaib, tahu2 buaya darat itu dihadapkan sidang pula bersamaku. Kontan saja aku mengumpat habis2an. Tapi pembesar korup itu lantas berkata dengan ter-tawa. "He, Song Ngo, tidak perlu kau mencak2 begitu, persoalannya sudah kuselidiki dengan jelas bahwa kau memang tidak bersalah, Bicokot itu bukan dibunuh olehmu, tapi dia pembunuhnya!" Sembari bicara ditudingnya pula buaya darat tadi, lalu akupun dibebaskan. Tentu saja aku meng-garuk2 kepalaku yang tidak gatal ini, sudah jelas akulah yang membunuh bicokot itu, mengapa sekarang kesalahan ini ditimpakan kepada orang lain?" "Hihi, sungguh pembesar yang konyol dan linglung," Ujar si anak dara dengan mengikik tawa. "Mana dia linglung," Ujar lelaki she Song itu. "Setiba di rumah, ibuku memberitahukan padaku bahwa ketika aku diputus hukuman mati, ibu menangis setiap hari di jalan raya, suatu hari kebetulan dilihat Sin-tiau-hiap dan ditanya sebab musababnya, Beliau menyatakan sedang ada urusan penting dan takdapat membereskan perkara itu, ibu di beri uang empat ribu tahil perak untuk menebus diriku. Selang tiga bulan kemudian, tersiarlah berita yang menggegerkan, katanya bapak walikota marah2 lantaran habis kecurian delapan ribu tahil perak, Kuyakin kejadian itu pasti perbuatan Sin-tiauhiap. kami tak berani tinggal lagi di tempat asal dan terpaksa pindah ke Lim-an. Lewat setahun lagi kudengar ada seorang tuan bertangan buntung sebelah bersama seekor burung raksasa selalu berada di pantai laut dan memandangi ombak samudera dengan ter-mangu2, Cepat kuburu ke sana dan dapatlah menemui beliau, disitulah dapat ku-aturkan terima kasih padanya." "Apa yang kau terima kasihkan?" Tiba2 si nyonya muda menyela. "dia mengeluarkan empat ribu tahil perak dan masuk delapan ribu tahil perak, jadi masih untung empat ribu tahil bersih. Memangnya orang she Nyo itu mau berbuat sesuatu yang membuatnya rugi?" "She Nyo? Sin-tiau-hiap itu she Nyo maksud-mu?" Tanya si anak dara. "Entah, siapa yang bilang dia she Nyo?" Jawab si nyonya muda. "Jelas baru saja Taci menyebutnya she Nyo," Kata anak dara itu. "Ah, kau sendiri yang salah dengar," Bantah si nyonya. "Baiklah, tak perlu kuribut dengan kau," Ujar si anak dara. "Seumpama betul Sin-tiau-hiap untung bersih empat ribu tahil perak pasti juga akan dipergunakan untuk membantu kaum miskin dan menolong orang sengsara." Serentak semua orang bersorak merauji. "Bagus! Memang tepat ucapan nona!" Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Eh, Song-toasiok, Sin-tiau-hiap itu memandangi ombak laut? Apakah dia sedang menunggu sesuatu di sana ?" Tanya si anak dara pula. "Entahlah, akupun tidak tahu," Jawab lelaki She Ong sambil menggeleng. Si anak dara mengambil dua potong kayu bakar dan dilemparkan ke gundukan api unggun, iapun ter-menung2 memandangi api yang berkobar itu, kemudian ia menggumam pelahan. "Meski Sin-tiau-hiap suka menolong orang lain, bisa jadi ia sendiripun menyimpan sesuatu persoalan pelik, Sebab apakah dia termenung memandangi laut? Ya, sebab apakah memandangi laut dengan termangu2?", Seorang wanita setengah umur yang duduk di sudut kiri sana tiba2 menyeletuk "Aku mempunyai seorang adik misan dan beruntung dapat bertemu dengan Sin-tiau hiap yang sedang memandangi laut dengan ter-mangu2 itu, karena heran, adik misan pernah tanya beliau, menurut keterangan Sin-tiau-hiap, katanya isterinya berada di seberang lautan sana dan takdapat berjumpa." "Ahhh!" Semua orang sama bersuara heran. "Kiranya Sin-tiau-hiap juga punya isteri," Kata si anak dara cantik. "Entah sebab apakah isterinya berada di seberang lautan sana, Dia memiliki kepandaian setinggi itu, mengapa dia tidak menyeberang ke sana untuk mencari isterinya?"" "Adik misanku juga pernah tanya begitu padanya," Tutur si wanita setengah umur tadi. "Tapi beliau menjawab bahwa lautan seluas itu. entah ke mana baru dapat menemukannya?" "Ai, kupikir tokoh demikian pasti seorang yang berbudi dan berperasaan halus, ternyata memang benar," Kata si anak dara dengan menghela napas pelahan. Lalu ia tanya pula. "Adik misanmu tentu sangat cantik bukan? Diam2 dia menyukai Sin tiau-hiap. betul tidak?" "Hus! Jimoay, kau bicara yang aneh2 lagi!" Bentak si nyonya cantik tadi. Tapi wanita setengah umur itu lantas berkata. "Ya, adik misanku memang tergolong cantik. Sin-tiau-hiap telah menyelamatkan jiwa ibunya dan membunuh ayahnya Apakah diam2 adik misan menyukai Sin-tiau-hiap sukar diketahui orang lain-Cuma sekarang dia sudah menikah dengan seorang petani yang baik, Sin-tiau-hiap telah memberi sejumlah uang, penghidupannya cukup lumayan." "Sin-tiau-Hap menyelamatkan jiwa ibunya, membunuh ayahnya sungguh kejadian aneh, aku menjadi rada sangsi apakah betul bisa terjadi begitu?" Ujar si anak dara tadi. "Kenapa mesti sangsi?" Kata sang Taci, si nyonya cantik. "watak orang itu memang aneh dan sebentar2 berubah, kalau senang dia menolong jiwa orang, kalau tidak suka lantas dia membunuh, Yu, memang sudah begitu sejak kecilnya." "Sudah begitu sejak kecilnya? Taci tahu darimana?" Tanya si anak dara. "Tentu saja kutahu." Jawab si nyonya muda., Dan meski telah ditanya dan didesak lagi oleh si anak dara, tetap dia tidak mau menjelaskan. "Baiklah, kau tak mau bercerita ya sudahlah, memangnya siapa pingin tahu?" Kata si anak dara dengan rada mendongkol "Rasanya seumpama kau mau bercerita juga cuma membual belaka." Lalu ia berpaling kepada si wanita setengah umur dan berkata pula. "En, Toasoh, maukah kau bercerita mengenai pengalaman adik misanmu?" "Baiklah, akan kuceritakan," Jawab wanita itu. "Usiaku dengan adik misan sebaya, rumah adik berada di Holam, Tahun itu orang Mongol telah menyerbu sampai di wilayah sana dan Kohtio (paman) telah diculik pasukan musuh untuk dijadikan kuli kerja paksa, Bibi membawa adik misan mencari paman ke utara dengan cara minta2 sepanjang jalan. Susah payah juga perjalanan mereka itu, terutama jika diingat bahwa wajah bibi dan adik tidaklah jelek, tentu banyak mendatangkan kesuIitan. Sebab itulah bibi dan adik telah memoles muka dengan hangus agar tidak merangsang pikiran orang jahat" "Mengapa muka mereka dibeji hangus menjadi tidak merangsang orang jahat?" Tanya si anak dara. Karena pertanyaan ini, sebagian orang2 itu, terutama kaum lelakinya, sama tertawa geli. "Jimoay!" Omel si nyonya muda. "kalau tidak tahu, hendaklah jangan sembarangan bertanya, Nona sebesar ini hanya menimbulkan tawa orang saja!" "Justeru lantaran aku tidak tahu, makanya aku tanya, kalau sudah tahu buat apa tanya," Gerundel si anak dara. "Ah, urusan kurang pantas diceritakan itu lebih baik nona tidak paham saja," Ujar wanita setengah umur tadi. "Selama empat tahun bibi dan adik misan menjelajahi Mongol dan kemudian sampai ke Soasay, akhirnya dapatlah paman diketemukan menjadi budak di bawah seorang Mongol ber-pangkat Jian-hou-tiang (kepala Seribu Jiwa), Jian-hou-tiang itu sangat jahat ketika paman diketemukan kebetulan bibi menyaksikan sebelah kakinya baru saja dipukul patah oleh orang Mongol itu. Tentu saja bibi sangat berduka dan memohon suaminya dibebaskan Orang Mongol itu bersedia melepaskan paman apabila ditebus dengan seribu tahil perak, sebab katanya dia beli paman dengan harga seratus tahil sedangkan sepuluh tahil saja bibi tidak punya darimana seribu tahil perak itu diperoleh? Setelah putus asa dan menghadapi jalan buntu, bibi menjadi nekat, terjunlah dia ke dunia gelap, bersama adik misan dan ia sendiri dijual ke Ca bo-keng (rumah pelacuran)" Karena tidak tahu apa artinya "Ca bo-keng" Si anak dara cantik itu hendak bertanya lagi, tapi karena tadi pertanyaannya telah menimbulkan tertawa orang, tiba2 ia urungkan maksudnya bertanya. Terdengar wanita setengah baya itu melanjutkan ceritanya. "Begitulah bibi dan adik misan hidup menderita setengah tahun, sedikit2 mereka sudah ada tabungan, tapi untuk mencukupi seribu tahil perak sungguh tidak mudah. untunglah para tetamu mengetahui cita2 luhur ibu beranak yang ingin menolong suami itu, maka waktu memberi uang sengaja dilebihkan daripada tarip umum. Dengan susah payah dan kenyang hina derita, pada malaman tahun baru dapatlah mereka menabung cukup seribu tahil perak, Dengan riang gembira mereka membawa uang tabungan itu ke rumah Jian-hou-tiang untuk diserahkan sebagai harga tebus paman, mereka pikir malam itu juga antara suami isteri dan anak dapat berkumpul kembali sehingga dapat merayakan tahun baru dengan gembira." Sampai di smi, si anak dara ikut bergembira juga bagi ibu beranak yang beruntung itu. Tapi si wanita setengah baya lantas berkata. "Namun kenyataan ternyata berlainan daripada harapan, setelah menerima seribu tahil perak, Jian hou-tiang itu memang benar mengeluarkan paman untuk bertemu bibi dan adik, tapi ketika mereka bertiga menghadap Jian-hou tiang itu untuk mohon diri, tiba2 timbul lagi pikiran jahat pada orang MongoI itu karena melihat adik misan ku yang cantik itu, katanya. "Bagus sekali kalian mau menebus budak ini, nah, boleh serahkan uang tebusannya! - Keruan bibi terkejut, padahal seribu tahil perak itu sejak tadi sudah diserahkan kepada kasir Jian-hou tiang itu, mengapa sekarang menagih lagi? Namun Jian-kou-tiang itu tidak mau terima alasan bibi, dengan marah ia malah membentak. "Huh, masakah seorang berpangkat seperti aku ini sudi anglap duit -kaum budak? Kalian sengaja hendak mencemarkan nama baikku ya?" Tentu saja bibi menjadi takut dan berduka pula, tanpa tahan lagi ia menangis ter gerung2 di tempat. "Jian-hou tiang itu lantas berkata -. "Baik!ah, mengingat malam ini adalah malaman tahun baru, biarlah kuberi kesempatan berkumpul kalian suami-isteri. Tapi budak ini mungkin akan kabur, maka sebagai jaminan anak gadis kalian harus ditinggalkan di sini." Sudah tentu bibi tahu maksud busuknya dan tidak dapat menerima kehendak orang, Segera Jian-hou-tiang itu mem-bentak2 gusar dan memerintahkan anak buahnya mengusir bibi dan paman." "Karena tidak tega meninggalkan anak perempuannya, bibi menangis sesambatan di depan rumah Jian-hou-tiang itu. Walaupun setiap orang mengetahui kesusahan bibi, namun di bawah kekuasaan orang Mongol, membunuh seorang Han ibarat kan memites seekor semut, siapa yang berani membela keadilan? Tapi yang paling celaka adalah pamanku, dia malah bilang. "Kalau tuan besar Jian-hou-tiang penujui anak gadis kita, inilah rejeki yang sukar dicari bagi orang lain, kenapa kau malah menangis?" Rupanya paman sudah terlalu lama menjadi budak sehingga jiwa raganya sampai tulang sungsum-nya benar2 sudah berbau budak. Kemudian iapun menanyakan bibi darimana mendapatkan seribu tahil perak untuk menebusnya. Semula bibi tidak mau menjelaskan, karena didesak, akhirnya diceritakan juga. Tak tahunya paman menjadi marah dan menuduh bibi telah mencemarkan nama baiknya, katanya perempuan yang tidak dapat menjaga kepribadian dan suka melacurkan diri, bibi dianggapnya terlalu hina dina. Segera paman membuat suratce-rai dan menceraikan bibi." Sampai di sini, semua orang sama menggerutu dan menganggap nasib bibinya itu sungguh malang dan pamannya itu terlalu kejam. "Bibi menjadi putus asa," Demikian tutur wanita lebih lanjut. "diam2 beliau pergi ke hutan dan hendak menggantung diri dengan tali pinggangnya, Untung Sin-tiau-hiap kebetulan lewat dan dapat menyelamatkan jiwanya, setelah mengetahui duduknya perkara. Sin-tiau-hiap sangat gusar, malam itu juga beliau masuk ke tempat Jian-hou-tiang itu dan melihat adik misan sedang dipaksa untuk menuruti kehendaknya, celakanya paman juga di situ dan malah membujuk agar adik misan menuruti saja. Kontan Sin-tiau-hiap memukul mati pamanku itu dan menyeret Jian-hou-tiang itu dan melemparkan ke sungai, adik misan juga ditolong keluar. Begitulah kisahnya Sin-tiau-hiap menyelamatkan bibi dan membunuh pamanku. Menurut Sin-tiau-hiap, selama hidupnya paling benci kepada manusia yang tak berbudi dan tak berperasaan, apalagi rela diperbudak musuh segala, paman telah melanggar pantangan Sin tiau hiap itu, maka tanpa sungkan2 lantas dibunuhnya." Saking kesemsemnya mendengar cerita menarik itu. tanpa terasa anak dara cilik itu lantas mengangkat mangkok arak dan minum seceguk. "Ah, pedas!" Katanya sambil meringis, Karena tidak biasa minum arak, seceguk saja telah membuat mukanya menjadi merah sehingga makin menambah kecantikannya. Dengan pelahan ia berkata pula. "Kalian beruntung sudah pernah melihat Sin-tiau-hiap, jika akupun dapat berjumpa dan bicara sejenak dengan dia, andaikan umurku harus berkurang tiga tahun juga aku rela." "Jimoay, kenapa kau sembarangan percaya kepada obrolan orang?" Seru si nyonya cantik. "llmu silat orang itu memang tinggi, tapi kalau dibandingkan ayah masih terlalu jauh, padahal orang itupun sudah pernah kau lihat, malahan dia pernah memondong kau." Air muka si anak dara menjadi merah jengah, semprotnya. "Cis, mengapa Taci juga sembarangan omong, siapa mau percaya?" "Kalau tidak percaya, setelah pulang nanti boleh kau tanya ayah dan ibu," Kata si nyonya cantik. "Apa yang dikatakan Sin-tiau-hiap itu sebenarnya she Nyo bernama Ko, waktu kecilnya juga pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, Lengannya yang buntung itu justeru... justeru... Waktu kau baru lahir dia sudah lantas memondong kau-" Kiranya nyonya cantik ini bukan lain daripada Kwe Hu dan anak dara itu adalah Kwe Yang, sedang pemuda itu adalah adik kembar Kwe Yang, Kwe Boh-lo. Ketiga kakak beradik ini disuruh ayah-bundanya ke Cinyang untuk mengundang Khu Ju-ki, itu tokoh tertinggi Coan-cin-kau pada masa itu, untuk memimpin Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para pahlawan) yang akan diadakan di Siang-yang. Hari itu mereka bertiga baru pulang dari Cin-yang, setiba di tempat penyeberangan ini merekapun teralang oleh cuaca yang buruk dan masuk ke hotel itu sehingga dapat mendengarkan cerita orang2 tadi mengenai Sin-tiau-hiap, si pendekar sakti rajawali alias Nyo Ko itu. Dengan cepat 16 tahun berlalu dan sementara itu Kwe Hu sudah menikah dengan Yalu Ce, Kwe Yang dan Kwe Boh-lo juga sudah besar. Kwe Yang ber-seri2 mendengar ucapan Kwe Hu tadi, ia bergumam sendiri. "Begitu aku lahir sudah pernah dipondong olehnya." Ia berpaling dan tanya sang Taci. "Cici bilang waktu kecilnya Sin-tiau-hiap pernah tinggal di Tho-hoa-to kita, mengapa belum pernah kudengar hal ini dari ayah dan ibu?" "Kau tahu apa?" Sahut Kwe Hu. "Masih banyak soal lain yang tidak diceritakan padamu oleh ayah ibu." Kiranya tentang buntungnya Nyo Ko serta keracunannya Siao-Iiong li, karena semua itu akibat tindakan Kwe Hu yang ceroboh, setiap kali kejadian itu disinggung selalu menimbulkan amarah Kwe Cing, meski Kwe Hu sudah dewasa dan sudah menikah, tetap Kwe Cing mendamperatnya tanpa kenal ampun. Sebab itulah setiap anggota keluarga tidak suka menyinggung lagi selama beberapa tahun ini sehingga Kwe Yang dan Kwe Boh-lo tidak pernah mendengar orang bercerita kisah si Nyo Ko. "lika begitu, kan dia mempunyai hubungan erat dengan keluarga kita, mengapa selama ini dia tak pernah datang ke rumah kita?" Kata Kwe Yang. "Ah, pada Eng-hiong-thay-hwe yang akan diadakan di Siangyang tangggal 15 bulan tiga nanti Sin-tiau-hiap itu pasti akan hadir." "Tindak tanduk orang itu sangat aneh dan wataknya juga angkuh, belum tentu dia mau datang," Ujar Kwe Hu. "Cici, kita harus berusaha mencari jalan untuk menyampaikan kartu undangan padanya," Kata Kwe Yang. Lalu ia berpaling kepada lelaki kekar tadi. "Song-toasiok, dapatkah kau menyampaikan surat kepada Sin-tiau-hiap?" Orang she Song itu menggeleng dan menjawab. "Sin-tiau-hiap menjelajahi seluruh jagat, jejaknya sukar diketemukan untuk mencarinya tidaklah mudah." Kwe Yang sangat kecewa, dia benar2 sangat tertarik oleh kisah keluhuran budi dan kepahlawanan Sin-tiau-hiap, sungguh ia ingin bisa bertemu dengan pendekar rajawali sakti itu, ia merasa gegetun bahwa Sin-tiau-hiap yang dikaguminya itu tak dapat hadir pada Eng-hiong-thay-hwe nanti. Katanya kemudian sambil menghela napas. "Ai, orang yang hadir nanti belum tentu semuanya ksatria sejati, sebaliknya ksatria sejati belum tentu mau hadir ke sana." "Bluk", mendadak terdengar suara gedebuk yang keras, seorang mendadak melompat berdiri dari pojok ruangan sana, rupanya orang yang sejak tadi tidur meringkuk itulah. Segera semua orang merasa ada suara gemuruh laksana bunyi guruh, kiranya orang itu sedang berkata. "Apa sulitnya jika nona ingin menemui Sin-tiau-hiap, biarlah malam ini juga akan kubawa kau untuk menjumpai beliau." Memangnya semua orang terkaget oleh suara orang yang gemuruh keras itu, apalagi setelah melihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya, semua orang tampak heran. Kiranya perawakan orang itu tidak lebih dari satu meter, tubuhnya juga kurus kecil namun kepalanya yang besar, telapak tangannya dan telapak kakinya ternyata jauh lebih besar dari pada orang biasa. Sejak tadi dia meringkuk di pojok ruangan sehingga tidak diperhatikan oleh siapapun juga, siapa tahu begitu dia berdiri ternyata bentuknya begini aneh dan lucu. Dengan girang Kwe Yang lantas menanggapi ajakan orang aneh itu. "Bagus jika engkau mau membawaku ke sana, cuma selamanya aku tidak kenal Sin tiau-hiap, entah beliau mau menemui aku atau tidak?" "Tapi kalau malam nanti kau tidak menemui dia, selanjutnya mungkin kau takkan dapat melihat dia lagi," Kata orang cebol itu dengan suaranya yang mengguruh. "Sebab apa?" Tanya Kwe Yang heran. Kwe Hu lantas berdiri dan tanya si cebol. "Mohon tanya siapakah namamu yang terhormat?" "Hehehe!" "orang pendek itu ter-kekek2, katanya "Orang buruk rupa macamku ini masakah di dunia ini ada keduanya? Kalau kau tidak kenal diriku, pulang saja tanya kepada ayah-ibumu." Pada saat itulah sayup2 terdengar suara seruan berkumandang dari jauh. "Komplotan setan dari Se-san, sepuluh sudah datang sembilan. Wahai Hong thian-fui, kau tidak datang sekarang, mau tunggu sampai kapan?" Suara sayup2 itu seperti terputus lalu bersambung pula, lirih dan seram kedengarannya, tapi sekata demi sekata dapat terdengar dengan jelas. Si cebol melongo sejenak, mendadak ia menggertak keras2, debu pasir lantas berhamburan disertai percikan pecahan batu dan genting. Semua orang sama memejamkan mata dan waktu membuka mata lagi ternyata si cebol sudah menghilang entah ke mana. Semua orang terkejut, waktu menengadah, tertampak atap rumah telah berlubang besar, Kiranya orang cebol itu menerjang keluar dengan menjebol atap. "Lihay benar orang itu, cici," Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kata Kwe Boh-lo. Kwe Hu sudah cukup berpengalaman dan banyak tokoh persilatan yang dikenalnya, tapi betapa lihay kepala si cebol ini belum pernah dia dengar dari ayah-ibunya, seketika iapun melenggong dan tak dapat menanggapi ucapan adiknya itu. Kwe Yang lantas nyeletuk. "Di antara guru2 yang pernah mengajar ayah juga ada seorang pendek bernama Ma-ong-sin Han Pok-ki. Sam-te sembarangan menyebut orang sebagai si cebol, kalau didengar ayah tentu beliau akan marah. Kau harus menyebutnya sebagai Locianpwe." Belum lagi Kwe Boh-lo menjawab, tiba2 terdengar pula suara "blang" Yang keras, seketika debu pasir bertebaran Iagi, malahan muka beberapa orang terkena cipratan batu kerikil dan menjerit kesakitan. Di tengah suara ribut itulah tahu2 terlihat si cebol tadi sudah berdiri pula di tengah ruangan, dinding sebelah timur sana telah bobol suatu lubang setinggi tatu meteran dan lebarnya lebih setengah meter. Kiranya orang cebol ini menerjang masuk dengan menjebol dinding. Ilmu silat Kwe Hu sekarang sudah tentu jauh lebih tinggi daripada belasan tahun yang lalu, tapi tidak urung iapun terkejut melihat kelihayan Nge-kang (kekuatan luar) si cebol, cepat ia melompat maju mengadang di depan kedua adiknya untuk menjaga kalau2 si cebol mendadak menyerang. Orang cebol itu menjulurkan kepalanya yang sebesar gentong itu dan melongok ke belakang Kwe Hu, katanya kepada Kwe Yang. "Eh, nona cilik, kalau kau ingin bertemu dengan Sin-tiau-hiap, marilah ikut padaku." "Baiklah!" Jawab Kwe Yang tanpa pikir. "Hayo Taci dan Samte, kita pergi bersama." "Ah, untuk apa menemui dia? Kau jangan pergi, apalagi kita belum pernah kenal tuan ini," Ujar Kwe Hu. "Kupergi sebentar dan segera kembali, kalian tunggu saja di sini," Kata Kwe Yang. Mendadak orang she Song tadi berbangkit dan berseru. "Nona cilik, sekali2 kau jangan pergi. Orang ini... orang ini adalah tokoh gerombolan setan dari Se-san, jika kau ikut pergi, besar, ..besar kemungkinan akan celakai "Hehehe, kau juga tahu gerombolan setan dari Se-san?" Si cebol mengekek tawa. "Maksudmu kami adalah orang jahat?" Habis itu sebelah tangannya mendadak menyodok ke depan, belum tangannya menyentuh tubuh Song Ngo, tahu2 tubuh Song Ngo sudah tergetar mundur dan menumbuk dinding, seketika mukanya pucat, kedua kaki lemas dan terkulai ke lantai, kepalanya bergelantungan lemas di depan dada, entah sudah mati atau masih hidup. Kwe Hu menjadi gusar, walaupun tahu kepandaian si cebol lebih tinggi juga tidak boleh kena digertak hingga diam saja, segera ia berteriak. "Engkan silakan pergi saja, Adikku masih kecil, mana boleh mengikuti kau kian kemari di tengah malam buta?" Pada saat itu pula suara sayup2 terputus2 tadi berkumandang pula. "Gerombolan setan dari Se-san sepuluh sudah datang sembilan, Hong-thian-lui, wahai Hong-thian-lui, arwahmu tidak muncul, orang sudah Iama menunggu!" Suara itu kedengaran sangat jauh, tiba2 seperti sangat dekat dan mengiang di kanan-kiri sehingga membuat merinding orang. Kwe Yang sudah bertekad harus bertemu dengan Sin-tiau-hiap sekalipun nanti akan kepergok setan iblis, maka segera ia menjawab. "Baiklah, Cian-pwe, bawalah aku!" Berbareng ia terus melompat ke sana dan menerobos keluar melalui lubang dinding yang dibobol si cebol tadi. "He, kau!" Seru Kwe Hu sambil meraih tangan sang adik, tapi luput, cepat iapun melompat ke sana hendak mengejar keluar melalui lubang dinding. Siapa tahu baru saja tubuhnya hendak menerobos keluar, mendadak lubang dinding itu menghilang. Untung kepandaian Kwe Hu kini sudah cukup sempurna dan dapat mengendalikan tubuh sendiri sesuka hati, cepat ia anjiok ke bawah sehingga daya terobosnya tadi dihentikan seketika, begitu kakinya menyentuh lantai, ternyata dirinya tepat berdiri di depan dinding, jaraknya cuma belasan senti saja. Waktu ia dapat melihat jelas, hampir saja ia menjerit kaget. Ternyata tubuh si cebol tadi dengan tepat terisi di lubang dinding itu, kepalanya yang besar dan bahunya yang lebar itu persis seperti dicetak pada dinding itu. Kwe Hu berdiri berhadapan dengan makhluk aneh bermuka buruk itu, malahan tadi mukanya hampir mencium muka si cebol, keruan saja ia terkejut, cepat ia melompat mundur lagi Segera terasalah angin dingin meniup, dinding itu kembali berlubang bentuk tubuh manusia cebol lagi, tapi si cebol sendiri sudah menghilang. "Jimoay, kembali!" Seru Kwe Hu sambil menerobos keluar, didengarnya suara tertawa keras di kejauhan, mana ada bayangan si Kwe Yang cilik? Rupanya setelah si cebol menggertak mundur Kwe Hu, segera pula ia melompat keluar dan mendekati Kwe Yang, katanya. "Bagus, nona cilik sungguh pembrani!" Segera ia pegang tangan Kwe Yang dan diajak melompat ke depan, sekali lompat dua-tiga meter jauhnya, jangan dikira orang cebol itu kakinya cekak, lompatannya ternyata sangat jauh dan cepat lagi, yang digunakan ternyata adalah Ginkang yang lain daripada yang lain, seperti katak saja ia terus melompat2 ke depan, biarpun membawa serta Kwe Yang, namun gerak-geriknya tetap sangat lincah dan enteng. Tangan Kwe Yang yang digenggam si cebol itu rasanya seperti dijepit oleh tanggam sehingga terasa sakit, hatinya menjadi berdebar kuatir, entah dirinya hendak dibawa ke mana oleh orang cebol ini? Sejak kecil Kwe Yang langsung mendapat didikan dari Kwe Cing dan Ui Yong, dasarnya anak dara itu pintar dan cerdik, semula ia masih sanggup mengikuti lompatan orang cebol itu, tapi lama2 ia menjadi lelah dan perlu ditarik dan diangkat baru dia dapat sama naik dan sama turun dengan si cebol. Setelah berlompatan begitu beberapa li jauhnya, tiba2 dari balik bukit sana ada orang tertawa dan berkata dengan suara halus. "Hai, Hong-thian-lui, mengapa kau datang terlambat? Eb, malahan kau membawa anak dara secantik itu!" "Nona cilik ini adalah puteri Kwe Cing dan ingin melihat Sin-tiau-hiap, maka aku membawanya kemari," Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Si Rase Hitam Karya Chin Yung Keris Maut Karya Kho Ping Hoo