Kembalinya Pendekar Rajawali 8
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 8
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung Cepat Kwe Ceng menoleh, maka tertampaklah olehnya di belakangnya sudah berdiri dua orang. Kedua orang ini yang satu adalah paderi Tibet yang berjubah merah, kepalanya memakai kopiah berlapis emas, wajahnya kurus, Sedang yang satu lagi memakai baju kuning, tangan mencekal sebuah kipas lempit, angkuh dan tampan, nyata sekali seorang putera bangsawan. Kedua orang ini berdiri dengan sikap yang tenang dan tidak banyak bicara, terang sekali mereka adalah dua musuh tangguh, sama sekali berbeda dengan para musuh yang lain. Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh yang lain. Oleh karenanya Kwe Ceng tak berani pandang enteng kedua musuh ini, dengan membungkuk badan ia lantas memberi hormat dahulu. "Siapakah kalian berdua? Ada keperluan apakah datang ke sini?" Demikian ia menegur. "Dan kau sendiri siapa? Untuk apa kau datang kemari ?" Dengan tertawa putera bangsawan tadi balas bertanya. "Tayhe (aku yang rendah) she Kwe bernama Ceng, adalah murid beberapa guru yang berada di sini ini," Sahut Kwe Ceng tetap dengan ramah. "Sungguh tidak nyana dalam Coan-cin-kau ternyata masih ada tokoh seperti kau ini," Ujar si putera bangsawan itu dengan tertawa. Meski umur putera bangsawan itu belum ada tiga puluhan, namun cara mengucapkan kata2nya ternyata berlagak seperti orang tua saja, seperti tidak pandang sebelah mata pada Kwe Ceng. Sebenarnya Kwe Ceng hendak terangkan bahwa dirinya bukan anak murid Coan-cin-kau, tetapi karena kata2 orang yang pandang rendah padanya, mau-tak-mau rada panas juga hatinya. Memangnya iapun tidak pandai bicara, maka ia tidak ingin banyak pmong, ia hanya menjawab singkat saja. "Kalian berdua ada permusuhan apakah dengan Coan-cin-kau ? (Mengapa perlu mengerahkan kekuatan begini banyak dan kobarkan api membakar kuil ini ?" "Siapakah kau ini ? Berdasarkan apa kau berani jikut campur urusan ?" Sahut Kui-kong-cu (putera bangsawan) itu dengan ketawa. "Aku justru ingin ikut campur tahu," Sahut Kwe Ceng ketus. Dalam pada itu berkobarnya api semakin hebat dari telah menjalar lebih dekat lagi, tampaknya tidak lama lagi kuil Tiong-yang-kiong itu pasti akan terbakar menjadi tumpukan puing. Tiba2 putera bangsawan itu geraki kipas lempitnya, dikembangkan terus ditutup lagi, maka sekilas tertampaklah pada kertas kipasnya yang putih itu terlukis setangkai bunga Bo-tan yang indah. "Kawan2 ini aku yang bawa kemari," Kemudian ia berkata dengan ketawa sambil melangkah maju. "asal kau mampu menerima tiga puluh gebrakan dari aku, segera aku mengampuni kawanan imam hidung kerbau ini!" Mendengar kata2 orang yang sombong ini, Kwe Ceng pun sungkan bicara lebih banyak lagi, tiba2 ia ulur tangan kanannya, sekali bergerak ia pegang kipas lempit orang terus ditarik dengan keras. Dengan tarikan ini, kalau putera bangsawan itu tidak melepaskan kipasnya, maka seluruh tubuhnya pasti akan ikut terseret. Diluar dugaan, begitu Kwe Ceng membetot badan Kui-kong-tju itu hanya sempoyongan sedikit saja, sedang kipasnya masih belum terlepas dari cekalannya. Tentu saja Kwe Ceng terkejut, pikirnya. "Orang ini masih begini muda, namun sudah sanggup menahan tenaga tarikanku tadi, di jagat ini ternyata masih ada orang pandai seperti dia, kenapa selamanya aku belum pernah mendengarnya ?" Oleh karena pikiran itu, segera pula ia tambah tenaga tarikannya terus menjambret lagi sambil membentak . "Lepas !" Se-konyong2 muka putera bangsawan itu bersemu guram, tetapi hanya sekilas saja lantas lenyap lagi, mukanya kembali sudah putih bersih pula. Kwe Ceng mengerti orang lagi menahan tenaga tarikannya dengan Lwekang yang tinggi, jika pada saat ini juga ia tambahi tenaga tarikan-nya, asal muka orang tiga kali mengunjuk semu guram, maka dapat dipastikan jerohannya (isi perut) akan terluka parah. Akan tetapi hati Kwe Ceng memang berbudi, ia pikir orang ini bisa berlatih diri sampai tingkatan sedemikian, sesungguhnya bukan soal gampang, maka ia tidak ingin melukai orang dengan tenaga berat, ia tersenyum dan mendadak lepaskan tangannya. Meski Kwe Ceng sudah buka tangannya, tapi nyatanya kipas lempit itu masih terletak di telapak tangannya, pula tenaga Kui-kong-cu yang membetot kembali masih tetap besar, namun aneh, tenaga telapak tangan Kwe Ceng ternyata telah dia salurkan dari kipas ke tangan lawan, meski putera bangsawan itu sudah merebut dengan sekuat tenaga, toh tenaga menariknya selalu dipatahkan Kwe Ceng, dengan demikian kedua belah pihak menjadi bertahan, tidak maju dan tidak mundur, sungguhpun putera bangsawan itu sudah mengeluarkan seluruh kemahirannya, tetapi satu sentipun belum sanggup ia tarik kepihaknya. Maka insaflah dia bahwa ilmu silat lawan masih jauh di atasnya, karena ingin memberi muka padanya, maka lawan tidak rebut kipasnya. Mengingat akan ini, segera ia lepaskan tangannya terus melompat pergi, mukanya menjadi merah malu. "Mohon tanya she dan nama tuan yang terhormat," Katanya kemudian sambil membungkuk badan. "Ah, nama Tjayhe tiada harganya disebut, cuma Ma-cinjin, Khu-cinjin dan Ong-cinjin yang berada di sini ini memang semuanya adalah guru Tjayhe yang berbudi," Sahut Kwe Ceng. Karena jawaban ini, Kui-kong-cu itu setengah percaya setengah sangsi, ia pikir tadi pihaknya sudah gempur Coan-cin-chit-to (tujuh imam Coan-cin-kau) dan yang tertampak lihay hanya barisan bintang Thian-keng-pak-tau-tin mereka, jika bergebrak satu lawan satu, maka tiada satupun Tosu itu mampu menandingi dirinya, kenapa anak muridnya malah bisa begini lihay ? Dalam sangsinya, kembali ia mengamat-amati Kwe Ceng lagi, sudah tentu yang tertampak olehnya, Kwe Ceng memakai baju dari kain kasar yang tiada bedanya dengan petani biasa saja. Dan selagi ia hendak buka mulut pula mengucapkan beberapa kata2 halus untuk kemudian membawa begundalnya buat mundur teratur, tiba2 dari luar terdengar suara mengaungnya tabuhan khim (kecapi), suara khim ini sangat lembut tetapi merdu, karena itu setiap orang yang mendengar sama tergetar hatinya. Mendengar suara tabuhan khim itu, air muka Kui-kong-cu itu kelihatan rada berubah. "llmu silatmu sungguh mengejutkan orang, aku merasa sangat kagum, sepuluh tahun lagi aku akan datang kembali minta petunjuk, karena masih ada urusan lain yang belum selesai, baiklah sekarang juga aku mohon diri," Demikian katanya pada Kwe Ceng. Habis berkata, kembali ia memberi hormat pula. "Sepuluh tahun kemudian tentu aku tunggu kau disini," Sahut Kwe Ceng membalas hormat orang. Sementara itu putera bangsawan itu sudah putar tubuh dan jalan keluar, tetapi baru sampai depan pintu, tiba2 ia menoleh dan berkata pula. "Urusanku dengan Coan-cin-kau hari ini aku terima mengaku kalah, hanya kuharap To-yu (kawan dalam agama) dari Coan-cin-kau janganlah ikut campur lagi atas urusan pribadiku." Menurutt peraturan Kangouw, kalau seseorang sudah mengaku kalah dan terima menyerah, pula sudah menentukan harinya untuk kemudian adu kepandaian lagi, maka sebelum tiba hari yang dijanjikan meskipun saling pergok lagi di tengah jalan, sekali-kali tidak boleh saling labrak dulu. Oleh karena itulah, maka Kwe Ceng lantas menjawab . "Ya, sudah tentu." Maka tersenyumlah Kui-hong-cu itu, segera ia hendak melangkah pergi pula. Diluar dugaan, mendadak Khu Ju-ki telah menyentaknya dengan suara keras. "Tidak perlu sampai sepuluh tahun aku Khu Ju-ki pasti pergi mencari kau." Mendengar suara bentakan yang kuat hingga anak telinga tergetar se-akan2 pecah, hati putera bangsawan itu menjadi keder, ia ragu2 apa orang tadi belum mengeluarkan seluruh kepandaian untuk melawannya? Karenanya ia tak berani tinggal lebih lama lagi, segera ia bertindak pergi dengan cepat. Sesudah memandang Kwe Ceng sekejap dengan mata melotot, paderi Tibet itu pun ikut pergi bersama kawan2nya yang lain. Kwe Ceng lihat kawanan musuh ini berwajah lain dari biasanya, hidung besar dan berewokan, rambut keriting serta mata dekuk, tampaknya seperti bukan orang dari negeri sendiri maka dalam hati ia tidak habis mengerti serta menaruh curiga, sementara ia dengar suara saling adunya senjata dan suara bentakan di ruangan depan sudah mulai berhenti juga, ia tahu tentu musuh sudah mundur pergi Dalam pada itu ia lihat Ma Giok bertujuh sudah pada berdiri, disamping itu terdapat pula satu orang yang menggeletak terlentang di lantai, waktu Kwe Ceng maju melihatnya, ia kenal bukan lain dari Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu diantara Coan-cin-chit-cu atau tujuh tokoh dari Coan-cin-kau. Kiranya Ma Giok dan lain meski terancam oleh bahaya api, tapi mereka tetap duduk tenang tanpa bergerak sebabnya karena ingin melindungi kawan yang terluka ini. Waktu Kwe Ceng memeriksanya, ia lihat muka Hek Tay-thong pucat seperti kertas, napasnya lemah dan matanya tertutup rapat, terang sekali menderita luka berat, Ketika Kwe Ceng buka jubah orang, ia menjadi lebih terkejut lagi, ia lihat di dada imam terdapat bekas lima jari tangan dengan terang sekali, warna bekas jari ini matang biru dan dekuk ke dalam daging. "Di kalangan Bu-lim belum pernah kudengar ada yang mempunyai ilmu kepandaian semacam ini. Apa karena belasan tahun aku terasing di Tho-hoa-to dan semua kejadian di bumi ini sudah berubah jauh?" Demikian ia pikir, Maka segera ia berjongkok dan mengeluarkan ilmu It-yang-ci atau tutukan jari sakti, berulang dua kali ia tutuk bagian bawah bahu Hek Tay-thong. Dua kali tutukan ini meski tidak bisa menyembuhkan luka dan hilangkan racun pada luka Hek Tay-thong itu, namun dalam duabelas jam keadaan luka boleh dipercaya tidak bakal meluas dan memburuk, Sementara itu api sudah makin hebat berkobarnya dan sukar ditolong lagi, lekas2 Khu Ju-ki angkat Hek Tay-thong. "Hayo, lekas keluar !" Demikian ajaknya cepat. "He, dimanakah anak yang aku bawa ? siapakah yang menahan dia? jangan sampai ia dimakan api!" Tanya Kwe Ceng tiba-tiba. Tadi Khu Ju-ki cs. sedang melawan musuh dengan segenap perhatian mereka, dengan sendirinya ia tidak tahu seluk-beluk urusan Nyo Ko yang dibawa kemari mereka menjadi bingung. "Anak ? Anak siapa? Dimana dia?" Demikian tanya mereka berbareng. Dan sebelum Kwe Ceng menjawab, diantara sinar api yang ber-kobar2 itu, tiba2 ada berkelebatnya bayangan orang, sesosok tubuh yang kecil tahu2 telah melompat turun dari atas belandar rumah. "Aku berada di sini, Kwe-pepek," Demikianlah seru anak kecil itu dengan ketawa. Siapa lagi dia kalau bukan Nyo Ko ? Tentu saja Kwe Ceng terkejut bercampur girang. "Kenapa kau bisa sembunyi di atas belandar rumah ?" Lekas ia tanya. "Tadi, waktu aku dengan ketujuh imam busuk itu..." "Hus, kurangajar !" Bentak Kwe Ceng memotong sebelum Nyo Ko meneruskan "Hayo, lekas memberi hormat kepada para Co-su-ya (kakek guru)." Karena bentakan itu, Nyo Ko me-lelet2 lidah-nya, ia tak berani membantah, segera ia berlutut ke hadapan Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga untuk menjura. Ketika sampai gilirannya harus menjura pada In Ci-peng, Nyo Ko lihat orang masih muda, maka lebih dulu ia berpaling menanya Kwe Ceng. "Kwe-pepek, apakah dia Co-su-ya juga ? Agaknya tidak perlu lagi aku menjura, ya ?" "Dia ini In-supek (paman guru), lekas menjura," Sahut Kwe Ceng. Terpaksa Nyo Ko harus menjura lagi, sungguhpun dalam hati seribu kali tidak sudi. Habis ini, Kwe Ceng lihat Nyo Ko lantas berdiri dan tidak menjura pula pada tiga imam setengah umur yang lain, maka kembali ia membentak. "Ko-ji, kenapa kurangajar ? Hajo, menjura lagi!" "Kalau harus menunggu aku selesai menjura, mungkin tidak keburu lagi, nanti jangan Kwe-pepek salahkan aku," Dengan tertawa Nyo Ko menjawab. Kwe Ceng sudah kenal anak ini kelakuannya sangat aneh dan nakal, banyak pula tipu akalnya, Maka ia lantas tanya . "Soal apa yang tidak keburu lagi ?" "ltu, di sana ada satu paman To-su diringkus orang dalam kamar, kalau tidak ditolong, mungkin akan terbakar mati oleh api," Sahut Nyo Ko. "Kamar yang mana? Lekas katakan !" Tanya Kwe Ceng dengan cepat. "Eeeh, nanti dulu, coba aku ingat2 dulu, ai, kenapa aku jadi lupa," Demikian Nyo Ko menjawab dengan ketawa. Tentu saja In Ci-peng menjadi gemas, ia melototi sekejap pada Nyo Ko, habis ini dengan langkah cepat ia berlari ke kamar sebelah timur, ia dobrak pintu kamar, tapi tiada seorangpun yang tertampak, kembali ia berlari ke kamar murid angkatan ketiga yang biasa buat melatih, ketika ia tendang terpentang pintu kamar ini, ternyata seluruh kamar sudah penuh dengan asap yang tebal, remang2 kelihatan pada satu imam yang teringkus di tiang ranjang, mulutnya menganga dan sedang ber-teriak2 minta tolong dengan suara yang serak, mungkin saking lamanya ia men-jerit2. Melihat keadaan sudah mendesak, cepat In Ci-peng cabut pedangnya, dengan sekali tabas, ia potong tali pengikat dan bebaskan imam itu dari ancaman maut. Sementara itu Khu Ju-ki, Kwe Ceng, Nyo Ko dan lain sudah selamatkan diri keluar kuil, mereka sudah berdiri di atas tanah tanjakan dan sedang menyaksikan mengamuknya jago merah yang men-jilat2 semakin hebat itu, oleh karena diatas gunung memang tidak gampang didapatkan air yang cukup, maka tanpa berdaya mereka menyaksikan kuil yang megah itu lambat laun ambruk untuk achirnya menjadi tumpukan puing belaka. Watak Khu Ju-ki sangat keras dan berangasan kini menyaksikan kuil mereka yang bersejarah ini ditelan mentah2 oleh api, ia mengutuk tidak habisnya pada musuh yang mengobarkan api itu. Selagi Kwe Ceng hendak tanya siapakah sebenarnya musuh yang datang itu dan kenapa turun tangan sejara keji begini, tiba2 ia lihat sebelah tangan In Ci-peng mengempit satu imam sedang menerobos keluar di antara gumpalan yang tebal. Karena kepelepekan oleh asap tebal itu, imam yang dikempit In Ci-peng masih ter-batuk2 hingga kedua matanya mengucurkan air mata,tapi demi nampak Nyo Ko, dadanya hampir meledak saking gusarnya, tanpa pikir lagi segera ia ulur tangan terus menubruk bocah itu. Akan tetapi perbuatan orang hanya diganda tertawa oleh Nyo Ko, ketika imam itu menubruk tiba, dengan cepat ia sembunyi kebelakang Kwe Ceng. Rupanya imam itu belum kenal siapa adanya Kwe Ceng, maka dia telah mendorong dadanya dengan maksud kesampingkan orang agak lebih leluasa menangkap Nyo Ko, Siapa duga dorongannya itu laksana kena pada dinding saja, sedikitpun Kwe Ceng tidak bergerak Karena itu, sesaat imam itu menjadi kesima, tapi segera ia tuding Nyo Ko dan mencaci maki. "Anak jadah, berani kau pedayai To-ya (tuan imam), hampir aku terbakar mampus karena perbuatanmu !" Demikian teriaknya murka. "Ceng-kong, apa yang kau katakan ?" Tiba2 Ong Ju-it membentaknya dari samping. Kiranya Tosu atau imam yang kena "dikerjai" Nyo Ko ini adalah cucu-murid Ong Ju-it dan bernama Ceng-kong, tadi ia beruntung bisa diselamatkan dari elmaut atas pertolongan In Ci-peng, dalam sengitnya begitu nampak Nyo Ko segera ia menubruk maju untuk adu jiwa, sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa para paman guru dan kakek gurunya juga berada disitu. Kini mendadak dibentak Ong Ju-it, baru dia ingat telah berlaku kurang sopan, keruan ia berkeringat dingin saking takutnya. "Ya, Tecu patut mampus", katanya kemudian dengan tangan lurus ke bawah. "Urusan apakah sebenarnya, katakan ?" Bentak Ong Ju-it lagi. "Semuanya karena Tecu sendiri yang tak becus, harap Cosuya memberi ampun," Sahut Ceng-kong. Karena jawaban yang lain daripada yang ditanya, Ong Ju-it mengkerut kening. "Memangnya siapa yang bilang kau becus ? Aku hanya tanya ada urusan apakah sebenarnya?" Ulangi Ong Ju-it. "Tadi, Tecu diperintah Thio Ci-goan-Susiok menjaga di belakang, kemudian Thio-susiok membawa anak... anak..." Sebenarnya Ceng-kong hendak berkata "anak jadah," Untung ia lantas ingat sedang berhadapan dengan Cosuya, maka tak berani ia keluarkan kata2 kotor, lekas ia ganti. "anak... anak kecil ini dan diserahkan padaku, ia bilang anak ini ikut naik gunung bersama musuh tetapi dapat ditawan Thio-susiok, maka aku diperintahkan mengawasinya, dan jangan sampai anak ini melarikan diri. Oleh karena itu, Tecu lantas membawanya ke dalam kamar latihan di sebelah timur itu, Siapa duga, duduk tidak lama mendadak anak... anak kecil ini pakai tipu muslihat, katanya ingin kencing, dan minta aku lepaskan tali yang meringkus tangannya itu, Tecu tidak mau diakali, maka dengan tanganku sendiri kubukakan celananya biar kencing, Siapa tahu, bocah ini memang berhati jahat, habis kencing hingga bikin sebagian lantai basah kuyup, waktu aku mengikat celananya lagi, mendadak dia dorong aku dengan keras." Bercerita sampai disini, mendadak terdengar Nyo Ko ketawa ngikik, karuan Ceng-kong menjadi gusar. "Anak... anak apa yang kau tertawakan ?" Damperatnya dengan gemas. Tetapi Nyo Ko hanya angkat kepala ke atas, pandang saja tidak ia menjawab . "Aku tertawa sendiri, peduli apa dengan kau ?" Sudah tentu Ceng-kong tidak menyerah mentah2, ia hendak adu mulut dengan bocah ini kalau saja Ong Ju-it tidak membentaknya. "Tak perlu kau ribut2 dengan anak kecil, lekas teruskan ceritamu," Kata Ong Ju-it. "Ya, ya," Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sahut Ceng-kong ketakutan. "Engkau tak tahu, Cosuya, anak ini licin luar biasa. Pada waktu aku didorong jatuh telentang di atas lantai yang basah kuyup dengan air kencingnya itu dan selagi aku hendak melompat bangun buat persen dia beberapa kali tamparan, tiba2 dengan cengar-cengir ia malah mendekati aku dan berkata . "Wah, To-ya, aku telah bikin kotor pakaianmu !" Mendengar cara Ceng-kong menirukan suara perkataan Nyo Ko yang masih kanak2 hingga kedengaran lucu sekali, semua orang diam-diam merasa geli. Hanya Ong Ju-it yang mengkerut kening lagi, dalam hati ia damperat habis-habisan cucu-muridnya yang bikin malu di depan orang banyak ini. "Mendengar kata2-nya itu, aku mengira dorongannya padaku tadi disebabkan tidak sengaja, maka akupun tidak menyalahkan dia lebih jauh," Demikian Ceng-kong melanjutkan ceritanya. "Sementara itu ia mendekati aku, tampaknya seperti hendak bantu membangunkan aku, tapi kedua tangannya terikat, maka tidak bisa berbuat apa-apa, tak tahunya, mendadak dia melompat dan mencemplak ke atas tubuhku, ia menunggangi aku yang masih telentang, bahkan mulutnya terus ditempelkan keleherku dan menggigit tenggorokanku". Bercerita sampai di sini, tanpa terasa Ceng-kong me-raba2 lehernya, agaknya masih terasa sakit oleh bekas gigitan tadi itu. "Dengan sendirinya aku terperanjat," Sambungnya lagi. "aku berusaha membaliki tubuh buat banting dia, siapa duga, ia menggigit lebih kencang, kalau sekali lagi dia gigit mungkin jalan pernapasanku bisa putus, Karena terpaksa, aku tak berani berkutik, dengan jalan halus aku lantas memohon. "Sudahlah, tentu kau ingin aku lepaskan tali pengikatmu, bukan ?" Ia angguk2 atas pertanyaanku ini, sebaliknya aku masih ragu-ragu, maka kembali ia perkeras lagi gigitannya, saking sakitnya sampai aku ber-teriak2. Pikirku waktu itu. "Biarlah aku lepaskan talinya, asal dia tidak menggigit lagi, masakan satu anak kecil saja aku kalah ?" Maka aku lantas lepaskan tali pengikatnya, Tak terduga, begitu tangannya merdeka, segera ia cabut pedangku terus menodong ulu hatiku dan mengancam, bahkan senjata berbalik makan tuan, ia malah gunakan tali yang mengikat dia tadi untuk meringkus diriku pada tiang ranjang, ia mengiris sepotong kain bajuku pula dan menyumbat mulutku, belakangan kuil kita terbakar hendak lari aku tak dapat, ingin berteriak juga tak bisa, kalau bukan In-susiok tadi yang menolong, tentu Tecu sudah terbakar hidup2 karena anak kecil ini?" Habis bercerita, dengan mata melotot ia pandang Nyo Ko dengan murka. Sesudah mendengar penuturunnya, semua orang sebentar pandang Nyo Ko, saat lain memandang Ceng-kong pula, yang satu tubuhnya kurus kecil, sedang yang lain berperawakan tinggi besar, tetapi yang gede kena dikibuli hingga tak berdaya, saking gelinya, semua orang itu sama tertawa ter-bahak-bahak. Ceng-kong menjadi bingung, ia cakar2 kuping dan garuk2 kepala dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. "Ceng-ji," Kata Ma Giok kemudian dengan tertawa. "apakah ini puteramu? Agaknya dia telah lengkap menurunkan tabiat sang ibu, oleh karena itu begini nakal dan cerdik." "Bukan," Sahut Kwe Ceng. "dia adalah putera tinggalan dalam perut dari adik angkatku, Nyo Khong." Ketika mendadak dengar nama Nyo Khong disebut, hati Khu Ju-ki terkesiap, Kemudian ia coba mengamat-amati Nyo Ko, betul juga ia lihat wajah bocah ini rada2 mirip dengan Nyo Khong. Khu Ju-ki ada hubungan guru dan murid dengan Nyo Khong, walaupun kemudian Nyo Khong berkelakuan kurang baik, tamak kedudukan dan serakah akan kemewahan, terima mengaku musuh sebagai bapak, namun bila Khu Ju-ki ingat semua itu, selalu ia merasa dirinya kurang sempurna mendidik anak muridnya itu, hingga akibatnya Nyo Khong tersesat, maka seringkali dalam hati ia merasa menyesal. Kini demi mendengar Nyo Khong mempunyai keturunan tentu saja ia sangat girang, lekas2 ia bertanya lebih jelas. Begitulah tanpa menghiraukan Tiong-yang-kiong mereka sudah habis ditelan api, sebaliknya Ma Giok dan Khu Ju-ki mendengarkan penuturan Kwe Ceng tentang diri Nyo Ko dengan penuh perhatian. "Ceng-ji, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini boleh dikatakan sudah jauh di atas tingkatan kami, kenapa tidak kau sendiri mengajar dia?" Demikian kata Khu Ju-ki kemudian setelah mendengar bahwa Kwe Ceng sengaja membawa Nyo Ko ke Cong-lam-san buat belajar silat." Hal ini akan kuterangkan kelak," Sahut Kwe Ceng. "Hanya kedatangan Tecu sekarang telah banyak bikin ribut para To-heng, inilah, yang bikin hatiku terasa tidak enak sekali." Habis ini ia lantas menuturkan pula tentang kesalahan paham sewaktu ia naik gunung tadi sehingga saling gebrak dengan para imam yang memasang jaring2 Pak-tau-tin buat mencegatnya. Mendengar cerita ini, seketika Khu Ju-ki menjadi marah. "Sungguh tak berguna, Ci-keng memimpin barisan luar, kenapa kawan atau lawan tidak bisa mem-beda2kan," Katanya. "Memangnya aku merasa heran kenapa barisan yang kita pasang begitu kuat di luar itu bisa begitu cepat dibobol musuh hingga menerjang ke atas gunung, kita diserang dalam keadaan belum siap. Hm, kiranya dia telah kerahkan Pak-tau-tin yang dia pimpin untuk merintangi kedatanganmu." Semakin berkata, tertampak Khu Ju-ki semakin menjadi gusar. "Mungkin itu disebabkan salah paham," Ujar Kwe Ceng. "ketika berada di bawah gunung, tanpa sengaja Tecu telah tepuk hancur batu pilar yang terukir syair buah tangan Totiang, mungkin inilah yang menimbulkan salah paham." Mendengar keterangan ini, air muka Khu Ju-ki berubah menjadi tenang kembali. "O, kiranya begitu, kalau demikian tidak bisa menyalahkan mereka," Ujarnya. "Memangnya begitu kebetulan, sebab musuh yang hendak menyerang Tiong-yang-kiong kita hari ini justru diketahui memakai tanda serangan dengan menepuk pilar batu yang kau katakan itu." "Siapakah sebenarnya orang2 yang datang tadi? Kenapa begitu besar nyali mereka?" Tanya Kwe Ceng. "Cerita ini terlalu panjang, Ceng-ji," Sahut Khu Ju-ki dengan menghela napas. "lni, biar aku tunjukan sesuatu benda dulu padamu." Habis ini ia lantas berjalan menuju ke belakang gunung. "Ko-ji, kau tinggal disini, jangan sembarang pergi," Pesan Kwe Ceng pada Nyo Ko, Lalu ia ikut di belakang Kho Ju-ki. Agak lama mereka menanjak, akhirnya mereka sampai di atas satu puncak yang tinggi, Khu Ju-ki membawa Kwe Ceng menuju belakang satu batu pegunungan yang besar. "Disini juga terukir tulisan2," Katanya. Waktu itu hari sudah magrib, di belakang batu besar ini terlebih gelap lagi, ketika Kwe Ceng meraba batu yang diunjuk, betul juga ia rasakan di atas batu itu terukir tulisan, ia meraba lagi tiap2 huruf, akhirnya tahulah dia, kiranya itu adalah sebaris syair. Oleh karena ia meraba huruf2 itu menuruti goresan yang terukir di atas batu, mendadak Kwe Ceng terkejut, terasa olehnya bahwa goresan tulisan itu persis cocok dengan jari tangannya, seperti orang itu menulis di batu ini dengan jari tangan saja. "Ditulis dengan tangan?" Tanpa tertahan ia berseru. "Ya, kejadian ini kalau diceritakan memang terlalu mengejutkan orang, memang betul ditulis dengan jari tangan !" Kata Khu Ju-ki. "Mana bisa? Apa di dunia ini terdapat dewa?" Kata Kwe Ceng ragu2. "Orang yang menulis ini bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi tiada bandingannya, bahkan banyak tipu akalnya, meski bukan dewa, namun terhitung seorang luar biasa yang sukar diketemukan," Sahut Khu Ju-ki. Tentu saja Kwe Ceng menjadi sangat kagum. "Siapakah dia? Dapatkah lotiang memperkenalkannya pada Tecu?" Tanyanya cepat. "Aku sendiri belum pernah melihat orang-nya," Sahut Ju-ki. "Duduklah kau, biar aku ceritakan sebab musababnya sehingga terjadi peristiwa seperti hari ini." Kwe Ceng menurut, ia duduk di atas batu itu. "Arti bunyi syair ini apa kau paham?" Tiba2 Khu Ju-ki menanya. Waktu itu usia Kwe Ceng sudah menginjak setengah umur, tetapi lagu suara pertanyaan Khu Ju-ki masih tetap seperti belasan tahun yang lalu sewaktu Kwe Ceng masih muda, akan tetapi Kwe Ceng sedikitpun tidak pikirkan hal ini, ia tetap menjawabnya dengan sangat menghormat. "Bagian depan Tecu masih paham, tetapi bagian belakang yang menguraikan urusan pribadi Tiong-yang Cosu, itulah Tecu tidak begitu mengerti," Demikian sahutnya. "Tahukah kau orang macam apakah Tiong-yang Co-su itu?" Tanya Khu Ju-ki lagi. Kwe Ceng jadi tercengang mendengar orang mendadak tanya tentang diri Ong Tiong-yang, itu cakal-bakal dari Coan-cin-kau. "Tiong-yang Cosu adalah "Khay-san-pi-co" (cakal-bakal) Coan-cin-kau, dahulu ketika Hoa-san-lun-kiam, ilmu silatnya diakui nmnor satu di jagad ini," Sahutnya kemudian. "Itu memang tidak salah, tetapi waktu mudanya?" Tanya Ju-ki pula. "ltulah aku tidak tahu," Sahut Kwe Ceng sambil menggoyang kepala. "Nah, tahulah kau bahwa asalnya Tiong-yang Co-su bukan imam," Kata Khu Ju-ki. "Diwaktu mudanya dia sangat benci pada tentara Kim yang menjajah tanah air kita dan membunuhi rakyat kita, pernah dia kerahkan pasukan sukarela untuk melawan pasukan Kim hingga terjadi suatu pergerakan yang menggemparkan belakangan karena pasukan Kim terlalu kuat, beberapa kali ia mengalami kekalahan hingga banyak panglimanya tewas dan perajuritnya hancur, saking menyesalnya kemudian dia menjadi To-su (imam), Tatkala itu ia menyebut dirinya sebagai "Hoat-su-jin" (orang mati yang masih hidup), terus-menerus beberapa tahun ia menetap di dalam satu kuburan kuno di atas gunung ini, selangkahpun tak pernah ia keluar dari pintu kuburan itu, maksud kiasannya, yalah meski orangnya masih hidup, namun tiada seperti orang yang sudah mati, ia hidup tidak sudi hidup berdampingan di tanah air sendiri dengan musuh bangsa Kim." "O, kiranya begitu," Ujar Kwe Ceng. "Kejadian itu berlangsung sampai beberapa tahun," Ju-ki melanjutkan pula. "tidak sedikit sobat-andai mendiang guruku itu telah datang mencari padanya, banyak yang minta dia keluar dari kuburan untuk membikin pergerakan yang lebih hebat lagi, Akan tetapi mendiang guruku rupanya sudah putus asa dan patah hati, iapun merasa tiada muka buat bertemu dengan bekasnya di kalangan Kangouw, maka ia tetap tidak mau keluar dari kuburan. Keadaan demikian itu berlangsung sampai delapan tahun kemudian, tiba2 kedatangan seorang lawan yang dianggapnya paling kuat, musuh ini telah mencaci-makinya dengan segala kata2 yang mencemoohkan dan menghina diluar kuburan, ber-turut2 musuh itu memancing selama tujuh hari tujuh malam, agaknya Sian-su (mendiang guruku) menjadi tak tahan, ia lantas keluar dari kuburan buat bergebrak dengan musuh tadi. Tak terduga, begitu dia keluar, segera orang itu menyambut padanya dengan bergelak ketawa. "Haha, akhirnya kau keluar juga, maka tidak perlu lagi kau kembali kedalam!" Karena itu Sian-su sadar bahwa dirinya telah kena tertipu, tetapi maksud tujuan orang itu adalah baik, yalah sayang terhadap kepandaian Siau-su yang begitu bagus harus terpendam lenyap di dalam kubur, oleh karenanya sengaja pakai kata2 yang pedas untuk memancingnya keluar dari kuburan. Setelah mengalami kejadian itu, kedua orang dari lawan berubah menjadi kawan dan dengan bahu-membahu pergi mengembara Kangouw lagi." "Siapakah gerangan cianpwe (orang angkatan tua) itu ?" Tanya Kwe Ceng dengan kagum. "Apa dia satu di antara Tong-sia, Se-tok, Lam-te atau Pak-kay ?" "Bukan," Jawab Khu Ju-ki. "Kalau soal ilmu silat, orang ini masih berada di atas keempat tokoh besar itu, cuma karena dia adalah wanita, biasanya tidak suka unjuk diri di kalangan umum, maka orang luar jarang yang tahu akan dia, namanya pun tidak tersohor." "Ah, kiranya dia seorang wanita, itulah lebih hebat lagi," Ujar Kwe Ceng rada kaget. "Ya, sebenarnya cianpwe ini menaruh hati terhadap Sian-su, ia sudah menyerahkan diri untuk mengikat perjodohan dengan Sian-su," Tutur Ju-ki lagi "Tetapi Sian-su mengatakan bahwa musuh belum dihancurkan, mana boleh berumah tangga, Oleh karena itu, terhadap asmara yang dilontarkan Cianpwe itu ia hanya berlagak bodoh dan pura2 tidak tahu saja. Tak tahunya cianpwe itu juga berambekan besar dan tinggi hati, ia menyangka Sian-su telah pandang rendah padanya, ia menjadi gusar sekali, Kedua orang yang tadinya lawan dan sudah berubah menjadi kawan itu, oleh karena cinta berbalik menjadi sakit hati lagi, mereka kemudian berjanji untuk bertanding di atas Cong lam-san ini untuk menentukan siapa yang lebih unggul" "ltu sebenarnya tidak perlu," Kata Kwe Ceng. "Memangnya !" Ujar Khu Ju-ki. "Sian-su pun tahu akan maksud baik orang, maka sepanjang jalan ia selalu mengalah, Siapa tahu cianpwe itu ternyata berwatak aneh, ia bilang. Semakin kau mengalah, semakin nyata kau pandang rendah padaku - Karena tiada jalan lain, terpaksa Sian-su bergebrak dengan dia, sampai beberapa ribu jurus mereka bertempur, selama itu Sian-su tidak keluarkan tipu serangan yang mematikan. Tak tahunya cianpwe itu menjadi gusar malah, katanya. "Baik, memang kau tidak niat bertarung dengan aku, kau anggap aku ini orang macam apa?" - Tetapi kata Sian-su . "Daripada bertanding secara kasar, tidakkah lebih baik bertanding secara halus ?" - jawab orang itu. "Begitupun boleh, jika aku kalah, selamanya tidak akan kutemui kau lagi, dengan demikian biar kau merasa tenang dan senang" Tetapi Sian-su balas menanya . "Dan jika kau yang menang, lalu apa yang kau inginkan ?" - Karena pertanyaan guruku itu, cianpwe wanita itu menjadi merah mukanya, ia menjadi gelagapan tak bisa menjawab, akhirnya dengan kertak gigi ia menjawab . "Jika aku me-nang, kau punya kuburan Hoat-su-jin-bong ini harus serahkan untuk aku tinggal." Syarat ini bikin Sian-su menjadi serba susah, harus diketahui sekali tinggal dia sudah delapan tahun mendiami kuburan kuno itu, tidak sedikit tinggalan karya jeri-payahnya, kini jika begitu saja direbut orang, inilah yang dia sayangkan, tapi Sian-su membatin kepandaiannya masih sedikit lebih tinggi daripada orang, ia pikir terpaksa harus kalahkan dia agar kelak tidak banyak rewel dan di-goda tiada habisnya, maka ia lantas tanya. Cara bagaimana akan bertanding. "Hari ini kita sudah sama2 letih, biarlah besok malam kita tentukan siapa yang menang atau kalah," Demikian sahut Cianpwe itu. "Besok malamnya, kembali kedua orang bersua lagi di sini, Kata orang itu. "Sebelum kita bertanding, kita harus sama2 bersumpah dahulu." Jawab guruku. "Bersumpah apa lagi ?" Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Begini," Kata cianpwe itu," Jika kau bisa mengalahkan aku, segera juga aku bunuh diri di sini, dengan begitu pasti tidak akan bertemu dengan kau lagi, sebaliknya jika aku yang menang, kau harus sucikan diri, terserah kau mau menjadi Hwesio atau menjadi Tosu. Tapi tidak peduli jadi Hwesio atau Tosu, kau harus mendirikan kuil di atas gunung ini dan mengawani aku selama sepuluh tahun." Dalam hati mendiang guruku mengerti bahwa dengan syarat itu, dirinya disuruh menjadi Hwesio atau Tosu, itu berarti selama hidupnya diharuskan tidak beristri "Tetapi buat apa aku harus menangkan kau hingga memaksa kau bunuh diri ? Dan kalau aku harus mengawani kau sepuluh tahun di atas gunung ini, hal inipun sulit," Demikianlah pikir guruku, Oleh karenanya ia menjadi ragu2 tidak bisa menjawab. "Kemudian cianpwe itu lantas berkata pula. "Pertandingan secara halus kita ini sangat mudah begini, kau gunakan jari tanganmu untuk mengukir beberapa tulisan di atas batu ini, demikian pula akupun mengukirnya beberapa huruf, lalu kita lihat tulisan siapa yang lebih baik, itulah dia yang menang." Mendengar cara ini, Sian-su tercengang, katanya . "Menulis di atas batu dengan jari tangan ?" "Ya, itu namanya bertanding ilmu tenaga jari, kita boleh lihat siapa yang mengukir lebih dalam." - Namun Sian-su geleng2 kepala saja, jawabnya kemudian. "Aku toh bukan dewa, mana sanggup aku mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan ?" "Tetapi kalau aku bisa, apa kau mau mengaku kalah ?" Tanya orang itu. Dalam keadaan demikian Sian-su jadi di pojokkan pada keadaan yang serba susah, maju salah, mundurpun keliru, Tetapi kemudian ia pikir dijagad ini pasti tidak mungkin ada orang yang sanggup mengukir tulisan di atas batu dengan jari tangan, kebetulan urusan ini bisa di selesaikan sampai disini, dengan demikian pertandingan ini dapat dianggap tidak pernah ada, maka ia lantas berkata. "Sudah tentu jika kau bisa, aku lantas ngaku kalah, Tetapi kalau kaupun tak bisa, kita boleh anggap seri, tiada yang menang dan tiada yang kalah, selanjutnya kita pun tidak perlu bertanding lagi." Karena itu, tiba2 orang itu tertawa dengan rasa pedih . "Bagus, kalau begitu sudah pasti kau akan jadi Tosu," Demikian katanya sambil dengan tangan kiri me-raba2 sejenak di atas batu, habis ini ia ulur jari telunjuk tangan kanan terus menggores di atas batu itu. "Sian-su menjadi ternganga ketika menyaksikan debu, batu itu bertebaran, betul saja orang telah menulis sehuruf demi sehuruf, dalam kagetnya sampai tak sanggup ia bicara lagi, Dan tulisan yang terukir dengan tangan itu bukan lain adalah bagian depan dari syair ini. "Tentu saja Sian-su menjadi lesu dan terima kalah, ia tidak bisa bicara lagi, besoknya dia lantas sucikan diri menjadi Tosu, dia mendirikan sebuah kuil kecil di dekat kuburan itu, dan itu adalah Tiong-yang-kiong yang asli." Kwe Ceng jadi ter-herah2 oleh cerita itu, waktu ia merabanya lebih terang, betul saja memang tulisan di atas batu itu bukannya ditatah, juga bukan ukiran, melainkan betul2 digores dengan jari tangan. "Kalau begitu, ilmu kepandaian dalam hal tenaga jari cianpwe itu sesungguhnya sangat mengejutkan orang," Katanya kemudian. Karena ucapannya ini, tiba2 Khu Ju-ki mendongak dan ketawa ter-bahak2. "Ceng-ji, kejadian ini bisa mengelabui mendiang guruku, bisa menipu aku, juga bisa menipu kau, tetapi kalau waktu itu isterimu berada disini, pasti tidak bisa mengelabui matanya," Demikian katanya. Kwe Ceng menjadi lebih heran hingga kedua matanya terpentang lebar. "Apa? Apa didalam hal ini terdapat sesuatu yang tidak beres?" Tanyanya. "Sudah tentu, hal itu tak perlu dikatakan lagi," Sahut Khu Ju-ki. "Coba kau pikir, pada jaman ini, kalau soal tenaga jari, siapa jago yang nomor satu?" "Sudah tentu ialah Toan Hong-ya, It-teng Taysu punya It-yang-ci," Kata Kwe Ceng. "Nah, dengan tenaga jari It-teng Taysu saja, sekalipun di atas kayu, belum tentu dia mampu menulis sesuka hatinya, apa lagi di atas batu? Lebih2 lagi orang lain?" Ujar Khu Ju-ki. "Karena itu juga sesudah Sian-su menjadi imam, terhadap kejadian itu ia masih terus memikirnya dengan tidak habis mengerti. Belakangan dia telah berjumpa dengan bapak mertuamu, Ui Yok-su Cianpwe, secara tak langsung guruku telah menyinggung kejadian itu, setelah Ui-tocu berpikir sebentar, kemudian ia bergelak ketawa, katanya. "Kepandaian itu akupun bisa. Cuma sekarang aku belum melatihnya, sebulan lagi pasti aku datang kembali kesini," Habis berkata, dengan ter-bahak2 ia lantas mohon diri dari guruku. "Betul saja sebulan kemudian Ui-tocu telah datang lagi, lalu bersama Sian-su mereka datang ke sini memeriksa batu ini. Tadinya syair yang ditulis cianpwe wanita itu sebenarnya masih belum selesai, baru bagian depan yang maksudnya menghendaki Sian-su tirakat saja meniru caranya Thio Liang di jaman ahala Han. Sesudah Ui-tocu pakai tangan kiri me-raba2 rada lama di atas batu, kemudian ia ulur tangan kanan terus menulis di atas batu, dia telah menyambung syair cianpwe wanita yang masih belum selesai itu yang artinya menghormat dan memuji diri guruku. "Melihat jari tangan mertuamu bisa menulis diatas batu, sama halnya seperti dahulu dilakukan cianpwe wanita itu, Sian-su menjadi lebih2 heran dan terkejut, pikirnya dalam hati. ilmu silat Ui Yok-su jelas masih kalah setingkat di bawahku, kenapa diapun memiliki tenaga jari yang begini lihay?" Begitulah sesaat itu guruku merasa tidak habis mengerti - Mendadak, iapun ulur jari tangannya menutul ke atas batu itu, sungguh aneh, batu itu ternyata lantas berlubang oleh tusukan jarinya, Tempatnya disini, coba kau boleh merabanya" Berbareng itu Khu Ju-ki tarik tangan Kwe Ceng ke suatu tempat di tepi batu itu, Ketika Kwe Ceng meraba dan dapatkan satu lubang kecil, ia coba masukkan jari telunjuknya, betul saja seperti cetakan, persis dapat dimasuki jarinya, Tetapi Kwe Ceng masih sangsi, ia pikir jangan2 batu cadas ini memang lunak dan berlainan dengan batu umumnya, maka coba2 ia gunakan tenaga jarinya dan dikorek dengan keras, namun yang dia rasakan kesakitan belaka, sebaliknya batu itu sedikitpun tidak bergerak. Khu Ju-ki tertawa berbahak-bahak. "Memang, kalau kau tentu tak akan mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kejadian ini," Demikian katanya kemudian. "Kiranya sebelum tangan cianpwe wanita itu menulis di atas batu, lebih dulu ia telah raba2 agak lama di atas batu dengan sebelah tangannya yang lain, tangan yang buat me-raba2 itu menggenggam "Hoa-sek-tan (obat penglebur batu), ia telah bikin permukaan batu itu menjadi lunak dan dalam waktu sekira setengah jam, permukaan batu tidak akan mengeras kembali. Rahasia ini rupanya dapat dipecahkan oleh Ui-tocu, ia bilang sebulan buat melatih kepandaian itu kepada guruku, sebenarnya ia turun gunung untuk mengumpulkan obat buat bikin "Hoa-sek-tan", habis itu baru ia datang lagi dan menirukan cara orang menulis di atas batu." Kwe Ceng menjadi kagum sekali atas kecerdasan bapak mertuanya itu. Tiba2 ia menjadi ingat orang tua itu telah lama tinggalkan Tho-hoa-to, ia menjadi rindu terhadap Ui Yok-su. Sudah tentu Khu Ju-ki tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kwe Ceng, maka ia telah menyambung lagi ceritanya. "Ketika mula2 Sian-su menjadi Tosu, perasaannya sebenarnya sangat tertekan, tetapi setelah banyak membaca kitab2 ajaran To (Tao), akhirnya ia menjadi pandai dan menginsafi segala apa di dunia ini tergantung jodoh dan tidak, maka iapun lebih mendalam lagi mempelajari ilmu agama kita untuk lebih mengembangkannya. Kalau dipikir, jika bukan gara2 pancingan itu cianpwe wanita, mungkin dijagat ini tidak bakal terdapat Coan-cin-kau, aku Khu Ju-ki tentu pula tidak bisa seperti hari ini dan kau Kwe Ceng lebih2 tidak diketahui akan berada di mana." Kwe Ceng angguk2 membenarkan ucapan itu. "Entah cara bagaimana harus menyebut nama Licianpwe (wanita tingkatan tua) itu, apa dia masih hidup kini ?" Tanyanya kemudian. "Kecuali guruku sendiri, dijagat ini tiada orang lain lagi yang mengetahui nama aslinya, sedang Sian-su pun tidak pernah katakan pada orang," Sahut Ju-ki. "Jauh sebelum terjadi Hoa-san-lun-kiam yang pertama kali cianpwe itu sudah meninggal kalau tidak, dengan ilmu silatnya yang tinggi serta wataknya yang tinggi hati itu, mana mungkin dia tidak ikut serta dalam pertandingan Hoa-san itu." "Dan entah dia meninggalkan keturunan tidak?" Ujar Kwe Ceng. Tiba2 Khu Ju-ki menghela napas panjang. "Soalnya justru terletak disini," Katanya kemudian. "Seumur hidup Locianpwe itu tidak pernah menerima murid, dia hanya punya satu dayang yang selalu mendampingi dan melayani segala keperluannya, kedua orang ini tinggal bersama di dalam kuburan kuno itu, selama belasan tahun ternyata tidak pernah melangkah keluar dan seluruh ilmu silat Locianpwe itupun diturunkan semua pada dayangnya, Dayangnya ini biasanya tidak pernah injakkan kakinya dikalangan Kangouw, di kalangan Bu-lim pun jarang yang kenal dia, tetapi ia malah mempunyai dua orang murid, yang besar she Li, mungkin kau pernah mendengar namanya, di kalangan Kangouw orang menyebut dia Jik-lian Sian-cu Li Bok-chiu." "Ah, kiranya dia ini," Seru Kwe Ceng mendadak "Perempuan ini keji sekali, kiranya asalnya dari sini." "Kau pernah ketemu dia ?" Tanya Khu Ju-ki. "Ya, beberapa bulan yang lalu pernah bergebrak sekali dengan dia di daerah Kanglam, ilmu silatnya memang sangat hebat," Sahut Kwe Ceng. "Dan kau telah melukai dia ?" Tanya Ju-ki lagi. "Tidak," Jawab Kwe Ceng menggoyang kepala "Tapi dia yang turun tangan keji dan bunuh beberapa orang sekaligus, kelakuannya memang terlalu ganas dan keji, kalau dibandingkan Tang-si (Si-mayat tembaga) Bwe Ciau-hong dahulu, mungkin melebihi jahatnya," "Lebih baik kalau kau tidak melukai dia, kalau tidak, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan saja," Ujar Khu Ju-ki. "Dan dia punya Sumoay she Liong..." "Ha, kiranya wanita she Liong itu ?" Potong Kwe Ceng dengan hati terkesiap. Mendengar lagu suara Kwe Ceng ini, air muka Khu Ju-ki rada berubah juga. "Kenapa ? Apa kau pernah lihat dia ? Apa telah terjadi sesuatu ?" Tanyanya cepat. "Tidak, Tecu tidak pernah bertemu dia," Sahut Kwe Ceng demi nampak wajah Khu Ju-ki rada aneh. "Cuma waktu aku naik gunung tadi, para To-yu di sini ber-ulang2 memaki aku sebagai maling cabul, pula bilang kedatanganku ini disebabkan oleh wanita she Liong itu, keruan aku sendiri menjadi bingung." Khu Ju-ki bergelak ketawa pula setelah tahu duduknya perkara, Tetapi segera ia menghela napas pula. "Ya, rupanya memang Tiong-yang-kiong harus mengalami bencana seperti hari ini," Katanya kemudian "Kalau bukannya kejadian2 yang menimbulkan salah paham itu, bukan saja Pak-tau-tin besar yang berjaga di luar pasti dapat menahan datangnya kawanan penyatron itu, bahkan kaupun bisa lebih cepat sampai di atas gunung, dan tentu pula Hek-sute tidak sampai kena dilukai musuh." Melihat air muka Kwe Ceng penuh mengunjuk rasa bingung, maka Khu Ju-ki lantas menerangkan lagi. "Hari ini adalah ulang tahun ke-20 dari si nona she Liong itu," Demikian ia kata. "Oh, ulang tahunnya yang ke-20?" Mengulang Kwe Ceng. Tetapi ulang tahun ke-20 seorang wanita kenapa bisa menimbulkan malapetaka bagi Coan-cin-kau, dalam hatinya masih tetap tidak mengerti barang sedikitpun." "Gadis she Liong bernama apa sudah tentu orang luar tiada yang tahu, cuma kawanan pendatang itu pada menyebut dia Siao-liong-li (gadis cilik she Liong), maka kitapun boleh menyebutnya dengan nama ini," Sambung Khu Ju-ki. "Pada suatu malam dua puluh tahun yang lalu, di luar Tiong-yang-kiong kita mendadak terdengar suara tangisan bayi, tentu saja para kawan dalam istana merasa heran, ketika mereka pergi melihatnya, kiranya di luar pintu terdapat satu buntalan yang membungkus satu orok dan terletak di lantai. "Sudah tentu para kawan menjadi bingung karena semua orang yang tinggal di Tiong-yang-kiong ini adalah imam, semua lelaki, mana bisa memelihara seorang orok sedemikian ini, akan tetapi sebagai imam yang berdasarkan welas-asih tidak bisa tinggal diam, Selagi serba susah itu, tiba2 dari belakang gunung muncul seorang wanita setengah umur, sesudah menyapa lalu ia bilang. "Bayi ini sungguh kasihan, biarlah aku yang memeliharanya !"" "Tatkala itu kami tiada tinggal di istana, para kawan menjadi girang demi mendengar wanita itu suka menerima orok itu tanpa syarat, maka segera orok itu diserahkan padanya. Belakangan sesudah Ma-suheng dan aku pulang, mereka telah ceritakan kejadian itu dan menjelaskan rupa serta dandanan wanita setengah umur itu, maka tahulah kami dia ialah itu dayang yang tinggal di dalam kuburan Dia pernah beberapa kali melihat kami dari Coan-cin-chit-cu, cuma selamanya tidak pernah pasang omong. Maski kedua keluarga boleh dibilang tetangga dekat, tapi karena persengketaan orang tua, maka seperti tidak kenal saja, selamanya tidak pernah saling berhubungan Dan setelah kami dengar cerita itu, kamipun tidak perhatikan urusan itu dalam hati. "Belakangan setelah muridnya si Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu turun gunung, orang ini berhati kejam, ilmu silatnya justru sangat tinggi, maka dunia Kangouw telah morat-marit oleh perbuatannya yang menggemparkan. Beberapa kali Coan-cin-kau mengadakan sidang dan bermaksud memberi hajaran padanya, namun selalu teringat pada wanita tua dalam kuburan itu hingga selama itu belum pernah turun tangan, Kami lantas tulis surat yang panjang lebar dengan ramah dan di kirim kedalam kuburan." Akan tetapi, surat itu seperti batu yang tenggelam ke dalam laut, selamanya tidak pernah terima balasan, sebaliknya terhadap kelakuan Li Bok-chiu masih tetap dibiarkan, sedikitpun tidak mengurusnya. "Kira2 lewat sepuluh tahun lagi, tiba-tiba diluar kuburan itu kami lihat dipasang kain putih di antara semak2 yang tumbuh lebat, kami lantas tahu itu To-yu (kawan se-agama) telah meninggal, maka kami berenam (tatkala itu Coan-cin-chit-cu sudah kehilangan Tam Ju-toan yang tewas ditangan Auwyang Hong, cerita ini pada kesempatan lain akan disajikan) lantas melayat ke kuburan itu. Tapi baru selesai kami menjalankan penghormatan tiba2 di dalam semak2 lebat itu keluar satu gadis cilik yang umurnya antara sepuluh tahun, ia membalas hormat kami dan menyatakan terima kasih. Katanya pula. "Sewaktu Suhu hendak mangkat, beliau telah pesan Tecu menyampaikan kepada para Totiang bahwa orang itu (maksudnya Li Bok-chiu) yang banyak melakukan kejahatan, Suhu sendiri ada jalan buat hajar dia, maka diharap kalian tak perlu kuatir" Habis berkata, ia putar tubuh dan masuk kembali ke dalam kuburan, sebenarnya kami ingin menanya lebih jauh, namun sudah tidak keburu lagi, Sian-su sendiri pernah meninggalkan pesan bahwa siapa saja dilarang melangkah barang selangkahpun ke pintu kuburan itu. Hanya dalam hati saja kami merasa heran, sebab To-yu itu sudah mati, dengan cara apa lagi yang dia tinggalkan untuk menghajar muridnya ? "Kami melihat gadis cilik itu sebatang-kara dan harus dikasihani kami lantas berdaya-upaya buat membantunya, kami coba mengirim sedikit makanan padanya, tetapi aneh, tiap2 kali selalu ditolaknya kembali. Tampaknya dara cilik ini wataknya juga aneh serupa dengan Cosu (kakek guru) dan Suhu-nya. Belakangan oleh karena kami banyak urusan dan jarang tinggal di rumah, lalu kabar berita tentang nona kecil inipun sedikit sekali terdengar lagi. Dan entah mengapa, tiba2 Li Bok-chiu pun menghilang dari kalangan Kangouw dan tidak cari gara2 1agi. Kami mengira To-yu itu memang benar mempunyai akal bagus buat bikin takut muridnya, maka diam2 kami sangat kagum padanya. "Lalu kembali lewat beberapa tahun lagi, itulah kejadian tiga tahun yang baru lampau, tatkala itu aku dan Ong-sute (Ong Ju-it) ada urusan harus pergi ke daerah barat, di sana kami tinggal di rumah seorang pendekar terkemuka dan mendengar suatu kabar yang sangat mengejutkan Katanya tiga tahun lagi, semua kaum setan iblis dan golongan agama liar akan berkumpul di Cong-lam-san untuk melakukan sesuatu. Cong-lam-san adalah pangkalan Coan-cin-kau, mereka berani naik ke sini sudah tentu tujuannya hendak menyatroni golongan agama kita, mana boleh kita tidak berjaga2? Tetapi aku dan Ong-sute masih kuatir kabar itu tidak benar, kami selidiki pula melalui pihak ketiga, tapi nyata hal itu bukan bikinan belaka dan memang sungguh2. Cuma maksud tujuan mereka ke Cong-lam-san ternyata bukan menyatroni agama kita, melainkan mempunyai maksud tertentu terhadap Siao-liong-Ii yang tinggal di dalam kuburan kuno itu." Kwe Ceng menjadi heran oleh cerita ini. "Dia hanya satu dara cilik yang selamanya tidak pernah keluar pintu pula, kenapa para penyatron itu bisa ikat permusuhan dan taruh dendam padanya?" Tanyanya dengan tidak mengerti "Memang apa sebab musabab yang sebenarnya di belakang layar itu, kita adalah orang luar, maka tidak begitu jelas," Sahut Khu Ju-ki. "Tetapi dasar Ong-sute paling suka cari tahu, dia telah menyelidiki ke mana2, akhirnya diketahui bahwa peristiwa itu sengaja diusik dan dikobarkan oleh Siao-liong-li punya suci (kakak seperguruan perempuan) sendiri." "Ha, Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu?" Sela Kwe Ceng heran. "Ya, tidak salah," Kata Khu Ju-ki. "Katanya sesudah Suhu mereka mengajarkan ilmu silat beberapa tahun pada Li Bok-chiu, kemudian dapat dilihatnya bahwa jiwa perempuan itu tidak baik, maka dengan alasan sudah tamat belajar, Li Bok-chiu lantas disuruh turun gunung. "Diwaktu gurunya masih hidup, meski Li Bok-chiu sudah banyak melakukan kejahatan, namun masih rada jeri, tapi sesudah gurunya mati, ia lantas pakai kedok hendak melayat buat serbu ke dalam kuburan itu, ia bermaksud usir sang Sumoay dan mengangkangi semua benda mestika yang tersimpan di dalamnya. Tak tahunya, di dalam kuburan itu ternyata banyak terpasang alat2 rahasia jebakan yang aneh2 dan bagus, meski Li Bok-chiu cukup lihay, namun setelah banting tulang akhirnya dia bisa menembus dua lapis pintu kuburan itu, di depan pintu lapisan ketiga dia melihat ada sepucuk surat tinggalan Suhu padanya. Kiranya gurunya sebelumnya sudah menduga akan kedatangannya, Maka dalam surat wasiat itu tertulis bahwa pada tahun ini, bulan dan hari itu adalah genap ulang tahun ke-20 Sumoay-nya, pada saat itu Sumoay ini akan turun gunung buat mencari ayah-bunda kandungnya, maka kalau bersua di kalangan Kangouw, hendaklah dia mengingat hubungan seperguruan suka banyak memberi bantuan dan perlindungan. Dalam surat wasiat itu dipesan pula agar dia suka perbaiki kelakuannya yang jahat, kalau tidak, akhirnya pasti akan menelan akibat perbuatannya sendiri. "Tak terduga, bukannya Li Bok-chiu insaf, bahkan ia sangat gusar oleh isi surat sang guru itu, segera ia serbu masuk ke dalam pintu lapisan ke-tiga, tetapi disini ia telah terjebak oleh jarum berbisa yang memang sudah dipasang sebelumnya oleh gurunya, kalau bukan Siao-liong-li memberi obat dan menyembuhkan lukanya, mungkin seketika itu juga jiwanya sudah melayang. Karena itu ia baru kenal lihaynya kuburan itu, terpaksa ia keluar kembali dan turun gunung. Tetapi kalau hanya begitu saja, mana dia terima? Belakangan kembali beberapa kali dia menyerbu kuburan itu,tiap2 kali selalu dia menderita kecelakaan, Bahkan penghabisan kalinya ia malah bergebrak dengan Sumoay-nya. Tatkala itu usia Siao-liong-li baru 16 atau 17 tahun saja, namun ilmu silatnya ternyata sudah jauh di atas kakak seperguruannya ini, kalau bukan sengaja dia bermurah hati, untuk melayangkan jiwa Li Bok-chiu mungkin bukan soal sulit...." "Kejadian itu mungkin disebabkan berita yang tersiar di kalangan Kangouw itu kurang benar," Tiba2 Kwe Ceng memotong cerita orang. "Kenapa kau tahu?" Tanya Ju-ki. "Tecu sendiri sudah pernah mengetahui kepandaian Li Bok-chiu," Sahut Kwe Ceng. "llmu silat perempuan ini sesungguhnya ada bagian unggulnya yang tersendiri, kalau umur Siao-liong-li belum ada 20 tahun, betapa bagus lagi ilmu silatnya kukira susah juga buat menangkan dia." "Cerita itu Ong-sute mendengar dari salah seorang kawannya dari Kay-pang, soal Siao-liang-li mengalahkan Li Bok-chiu, apa itu benar atau tidak, karena waktu itu toh tiada orang ketiga yang melihatnya, sudah tentu tiada seorangpun yang tahu dengan pasti, cuma di kalangan Kangouw memang tersiar cerita itu," Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ujar Khu Ju-ki. "Dan karena itulah, hati Li Bok-chiu semakin dendam, ia tahu Suhunya telah pilih kasih dan menurunkan ilmu silat yang lebih lihay pada sang Sumoay, Maka ia sengaja menyiarkan kabar bahwa pada nanti tahun ini, bulan dan hari itu, Siao-liong-li dari kuburan "Hoat-su-jin-bong" Akan mengadakan sayembara buat memilih jodoh. Bahkan dia tambahi pula bahwa siapa saja yang bisa menangkan Siao-liong-li, bukan saja Siao-liong-li akan menyerahkan diri-nya, bahkan semua harta mestika dalam kuburan itu, kitab2 ilmu silat dan macam2 lagi akan di-hadiahkan seluruhnya pula. Para penyatron itu sebenarnya tidak mengetahui siapa dan macam apakah Siao-liong-li itu, tetapi Li Bok-chiu justru sengaja bikin propaganda, katanya dia punya sumoay masih jauh lebih cantik dari pada dia. Seperti kau sendiri sudah lihat, kecantikan Jik-lian-sian-cu itu jarang ada bandingannya di kalangan Bu-lim, sekalipun puteri bangsawan atau gadis hartawan juga tak bisa menandingi dia." Mendengar orang memuji kecantikannya Li Bok-chiu, dalam hati Kwe Ceng diam2 berkata. "Begitu saja kenapa harus heran? Aku punya Yong-ji saja sudah beratus kali lebih ayu dari pada dia." Padahal ini hanya pendapat pribadi Kwe Ceng saja yang tentu memuji isterinya sendiri. Memang, kalau bicara tentang kecantikan, keluwesan, Ui Yong memang jauh lebih unggul tetapi kalau soal gaya, sebaliknya Li Bok-chiu lebih menarik. "Dan justru memang tidak sedikit manusia serong di kalangan Kangouw yang terpikat oleh kecantikan Li Bok-chiu, cuma, kesatu karena usianya sudah tidak muda lagi, kedua, disebabkan pula tangannya yang gapah dan tidak kenal ampun, maka tidak sembarang orang berani "sir" Padanya. " Demikian sambung Khu Ju-ki pula. "Dan kini demi mendengar bahwa Li Bok-chiu mempunyai Sumoay yang maha cantik, bahkan secara te-rang2an mengadakan sayembara untuk mencari jodoh, keruan saja, siapapun pingin coba2 peruntungan?" Sampai disini, maka mengertikah Kwe Ceng akan duduknya perkara sebenarnya. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo