Kembalinya Pendekar Rajawali 9
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung Bagian 9
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya dari Chin Yung "O, jadi para pendatang ini hendak meminang?" Katanya kemudian. "Pantas makanya para To-heng disini pada mencaci maki padaku sebagai maling cabul segala." Ju-ki ketawa ter-hahak2 oleh penuturan Kwe Ceng ini. "Begitulah, maka setelah aku dan Ong-sute mendapat berita itu, kami pikir meski Siao-liong-li dengan kami hanya sekedar kenal saja, tetapi hubungan tetangga dekat, pula pergaulan orang tua kedua belah pihakpun lain dari pada yang lain. Laginya para siluman dan maling cabul itu jika betul2 berani mengeluruk kesini, ini berarti pula sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Coan-cin-kau, apakah kami bisa antapi begitu saja orang malang-melintang di atas gunung Cong-lam-san kita ? Oleh sebab itulah, lantas kami undang semua jago Coan-cin-kau dari berbagai angkatan, sepuluh hari sebelumnya kami sudah berkumpul di Tiong-yang-kiong. Di samping kami giat berlatih Pak-tau-tin-hoat, kami mengirim surat pula pada Siao-liong-li di dalam kuburan untuk memperingatkan dia agar ber-jaga2. Siapa duga, surat kami itu tetap seperti batu tenggelam di samudera raya saja, Siao-liong-li sama sekali tidak menggubris kemauan baik kami itu." "Jangan2 dia sudah tiada di dalam kuburan itu lagi," Ujar Kwe Ceng. "Tidak, setiap hari kami memandangnya dari jauh di atas gunung, masih tetap kami lihat ada asap dapur yang mengepul keluar dari kuburan," Sahut Khu Ju-ki. "Kau boleh lihat itu, di sebelah sana itu !" - sembari berkata ia tunjukkan dengan jarinya ke arah barat. Waktu Kwe Ceng memandang menurut arah yang ditunjuk, ia lihat sebelah barat gunung lebat dan rindang, tanah seluas belasan li yang tertampak hanya hutan belaka, iapun tidak tahu dimana letak "Hoat-su-jin-bong" Yang dimaksudkan itu. "Dan sesudah kami berunding, kami ambil keputusan akan wakilkan Siao-liong-li buat menghadapi musuh," Kata Khu Ju-ki lagi. "Kami kirim orang pergi mencari berita, lima hari sebelumnya, para penyelidik itu telah kembali semua dan betul saja diperoleh kabar bahwa tidak sedikit kawanan penjahat yang bernyali besar hendak naik Cong-lam-san untuk ikut sayembara dan melamar Siao-liong-li. Ada beberapa di antaranya yang keder terhadap Tiong-yang-kiong yang letaknya berdekatan, mereka telah mundur teratur, tetapi selebihnya karena mendapat dukungan dua orang pentolan besar, mereka telah ambil kepastian naik ke sini. Mereka telah berjanji berkumpul di kuil di bawah gunung itu dan memakai tanda tepukan tangan pada pilar batu itu. Dan karena tidak sengaja kau telah tepuk pilar batu itu, pula kau unjuk kepandaianmu yang cukup mengejutkan pantas kalau para cucu muridku itu menjadi geger dan salah sangka padamu. "Tentang kedua pentolan iblis itu kalau dibicarakan memang cukup besar juga nama mereka, cuma selama ini mereka tidak menginjakkan kaki ke daerah Tionggoan, kaupun sudah belasan tahun menetap di Tho-hoa-to, maka kau tidak kenal mereka, itu putera bangsawan adalah Pangeran dari Monggol, katanya masih anak-cucu keturunan lurus Jengis Khan. selamanya dia tinggal di tanah barat, entah dapat ajaran dari pendekar mana, meski umurnya masih muda, namun sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan mengejutkan. Orang menyebut dia Pangeran Hotu. Kau pernah tinggal lama di tanah gurun itu, pula sangat dekat pergaulanmu dengan bangsawan Monggol, apa kau ingat akan asal-usul orang ini?" "Pangeran Hotu, pangeran Hotu ?" Demikian Kwe Ceng komat-kamit mengulangi beberapa kali nama itu, iapun mengenangkan kembali wajah putera bangsawan yang cakap itu, tetapi sama sekali dia tidak ingat anak keturunan siapakah dia ini. ia hanya merasa sikap putera bangsawan ini memang agung, diantara mata-alisnya pun mengunjuk sikap2 yang angker berwibawa, ia cukup kenal Jengis Khan dengan keempat puteranya, rupa keem-pat putera Jengis Khan itu sama sekali tiada yang sama dengan Pangeran Hotu ini. "Ya, mungkin dia hanya sengaja menaikkan harga diri saja dan membual", kata Khu Ju-ki pula. "Tetapi permulaan tahun ini, begitu dia datang di daerah Tionggoan, sekaligus ia melukai Ho-lam-sam-hiong (tiga jagoan dari Holam), belakangan di Kamsiok seorang diri dia bunuh pula Lanciu-chit-pa (tujuh buaya darat dari Langciu), karena itu, namanya seketika terpandang tinggi dan berkumandang, tetapi kami sama sekali tidak duga bahwa dia justru bisa ikut dalam urusan Siao-liong-li ini. "Sedang tokoh lain lagi adalah paderi Tibet, dia adalah Ciangkau (penjabat ketua agama) dari sekte Bitcong di Tibet, namanya Darba, dia memang sudah lama terkenal kalau dihitung dia masih sama tingkatannya dengan aku. Dia adalah Hwesio, dengan sendirinya tujuan kedatangannya ini bukan buat melamar Siao-liong-Ii, maka maksudnya kalau bukan memamerkan kepandaian dan menggemilangkan namanya, tentunya dia mengincar harta mestika yang tersimpan dalam kuburan milik mendiang guruku itu, bukan, mustail tujuannya meliputi kedua2nya tadi. "Sedang para penyatron yang lain itu, karena tampilnya kedua orang tadi, mereka sudah tiada pikiran buat melamar puIa, mereka pikir asal bisa ikut serbu ke atas gunung dan membongkar kuburan kuno, sedikit banyak tentu mereka bisa membagi rejeki, oleh karena ituIah, hari ini yang naik ke Cong-lam-san ternyata berjumlah ratusan orang banyaknya. Sebenarnya Pak-tau-tin yang kami pasang itu masih bisa menahan seluruh penyatron kelas rendahan itu di bawah gunung, sekalipun tidak bisa tangkap hidup2 mereka, sedikitnya tidak nanti mereka mampu mendekati Tiong-yang-kiong. Tetapi rupanya memang Coan-cin-kau kita harus mengalami malapetaka ini hingga terjadi salah paham atas dirimu, ya, apa yang perlu dikatakan lagi ?" Kwe Ceng menjadi sangat menyesal oleh kejadian itu, ia ingin mengucapkan beberapa kata yang bersifat mohon maaf, Tetapi dengan tertawa Khu Ju-ki sudah keburu mencegahnya. "Tidak perlu kau menyesal benda2 yang musna itu hanya barang2 di luar tubuh, jiwa raga sendiri saja tidak perlu dibuat sayang, kenapa harus urus lagi bendai di luar tubuh itu ?" Katanya pula. "Kau sudah latih Lwekang selama belasan tahun, apakah sedikit pengertian ini saja kau belum paham?" Kwe Ceng tersenyum, ia mengiakan kata-kata orang. "Begitulah, selagi kau dikerubuti Pak-tau-tin dengan seluruh kekuatannya tadi, di lain pihak kedua pentolan iblis itu berkesempatan membawa begundalnya menyerbu sampai di depan Tiong-yang-kiong. Begitu datang mereka lantas kobarkan api, ketika Hek-sute mendahului maju melabrak pangeran Hotu, rupanya dia terlalu pandang enteng pihak musuh, pula ilmu silat Hotu memang berlainan dari pada orang biasa dan sangat aneh, karena sedikit lengah, Hek-sute kena sekali pukulannya di dada. Dengan sendirinya lekas2 kami pasang barisan bintang2 untuk melindunginya. Tetapi karena kekurangan tenaga Hek-sute, anak murid yang menggantikan tempatnya masih selisih jauh kepandaiannya, maka daya tekanan barisan kita sukar dikerahkan seluruhnya. Coba, kalau kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin hari ini Coan-cin-kau sudah dihancurkan orang. "Kini kalau diingat lagi, bila kau tidak ke sini, sungguhpun para penyatron tingkat rendahan pun tidak mampu naik ke atas, tetapi untuk menahan Pangeran Hotu dan Darba berdua jelas juga tidak bisa. Kedua orang ini kalau bahu-membahu menempur Pak-tau-tin kita, walaupun kami belum pasti dikalahkan, tapi sukar juga memperoleh kemenangan..." Bercerita sampai disini, tiba2 terdengar suara bunyi "hauuuuh hauuuh hauuuuuh" Di jurusan barat, mendadak ada orang membunyikan tanduk Suara tiupan tanduk itu begitu seram, sayup2 seperti mengandung maksud bunuh membunuh dan seperti suatu tantangan yang ditujukan pada seorang. "Binatang, binatang !" Mendadak Khu Ju-ki memaki dengan gusar, Sambil memandang ke rimba di sebelah barat gunung, ia berkata pula pada Kwe Ceng. "Ceng-ji, bangsat itu telah adakan perjanjian sepuluh tahun dengan kau, ia mengira dalam sepuluh tahun ini dapat berbuat sewenang-wenang sesukanya, dengan demikian supaya kau tidak bebas ikut campur urusannya, tetapi di bumi ini mana ada persoalan yang begini mudah. Mari, kita ke sana !" "Apakah pangeran Hotu itukah ?" Tanya Kwe Ceng. "Siapa lagi kalau bukan dia," Sahut Ju-ki. "Dia justru sedang menantang Siao-liong-Ii!" Sembari berkata, iapun bertindak cepat turun gunung, Tanpa ayal lagi segera Kwe Ceng menyusul di belakangnya. Setelah beberapa li mereka tempuh, terdengarlah oleh mereka suara bunyi tanduk tadi di-sebul semakin keras, diantara suara "hu-hu" Itu bahkan masih terseling pula suara "ting-ting-ting" Yang nyaring dari bunyi keleningan suara keleningan ini menunjukkan tanda bahwa itu padri Tibet Darba pun sudah ikut turun tangan. Khu Ju-ki menjadi gusar oleh kelakuan kedua orang itu. "Hm, dua jago terkemuka sama2 menghina seorang gadis cilik, sungguh tidak tahu malu," Demikian damperatnya pula. Sambil berkata, kakinya pun tidak pernah kendor, ia lari makin cepat, maka sekejap kemudian mereka sudah sampai di pinggang gunung, Dari sini setelah membelok satu tebing lagi, maka tertampaklah oleh Kwe Ceng di depan sana tumbuh sebuah hutan, di luar hutan itu berdiri beberapa puluh orang yang beraneka macam potongannya, ada yang tinggi, besar, pendek atau gemuk, jelas kelihatan mereka bukan lain adalah kawanan penyatron yang menyerbu Tiong-yang-kiong tadi. Karena itu, Khu Ju-ki dan Kwe Ceng tidak lantas unjukkan diri, mereka sembunyi dulu di belakang dinding batu itu untuk melihat gelagat. Sementara tertampak Pangeran Hotu bersama Darba berdiri sejajar, yang satu meniup tanduk dan yang lain menabuh keleningan, suaranya teratur dan sahut menyahut, maksudnya memancing keluar Siao-liong-li yang mereka inginkan. Tetapi meski sudah lama mereka ribut2 sendiri di dalam hutan itu masih tetap sunyi tiada suara yang membalas. Sebab itu, Hotu meletakkan alat tiupnya, lalu dengan suara lantang ia berteriak. "Aku adalah Pangeran Hotu dari Monggol, dengan hormat aku menghaturkan selamat berulang tahun kepada Siao-liong-li!". Baru habis ia berkata, tiba2 dari dalam hutan bergema tiga kali suara "creng-creng-creng", mungkin itulah jawaban Siao-liong-li dengan menabuh Khim (semacam alat musik, kecapi). Pangeran Hotu menjadi senang karena dirinya digubris, Maka dia lantas buka suara pula. "Menurut kabar, nona Liong telah sesumbar hendak mengadakan sayembara pada hari ini untuk memilih jodoh, karena itu, aku yang bodoh sengaja datang meminta petunjuk, harap nona Liong tidak segan2 memberi tuntunan !" Diluar dugaannya, mendadak suara Khim tadi berbunyi keras dan tinggi nadanya, agaknya tanda merasa gusar. Meski para penyatron itu tidak paham tentang seni suara, tetapi mendengar suara Khim yang lain itu, merekapun tahu itu adalah tanda sedang mengusir tetamu. Akan tetapi Hotu ternyata belum mau sudah, dengan ketawa dia pentang mulut lagi. "Keluargaku cukup mampu, wajahku pun tidak jelek, lamaranku ini rasanya belum merendahkan dirimu, nona Liong sendiri adalah gadis pendekar di jaman ini, kiranya engkaupun tidak perlu kikuk2." Dan baru selesai ia bicara, mendadak suara Khim berubah menjadi santar dan cepat, lapat2 seperti mengandung arti mendamperat. Begitu hebat suara tahunan Khim itu, sehingga bagi yang mendengarkan terasa sangat tidak enak sekali beberapa orang diantara kawanan penyatron itu sam pai menutup kuping tak berani mendengarkan lagi. Karena itu, Hotu pandang sekejap pada Darba, paderi Tibet itu meng-angguk2. Maka Hotu lantas berseru lagi. "Jika nona sudah tidak mau unjuk diri, terpaksa aku mengundang secara kekerasan" Habis berkata, sekali ia memberi tanda pada para begundalnya, segera ia mendahului masuk ke hutan lebat itu dengan langkah lebar, tindakannya ini segera diikuti kawan2nya secara be-ramai2. Dalam hati mereka memikir. "Sampai Coan-cin-kau yang terhitung golongan paling lihay dikalangan Bu-lim saja tak sanggup menahan kami, apa lagi hanya seorang Siao-liong-li, apa yang dia bisa berbuat ?" Karena kuatir didahului kawan yang lain, mereka jadi saling berebut di depan agar bisa lebih cepat mendapat bagian rejeki harta mestika dalam kuburan kuno itu. Melihat musuh sudah bertindak lekas Khu Ju-ki melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berseru. "Hai, tempat ini adalah tempat keramat mendiang guruku Tiong-yang Cinjin, lekas kalian mundur kembali!" Mendengar suara teriakan itu, semua orang itu rada terkesiap juga, akan tetapi toh langkah mereka tidak pernah berhenti, mereka masih terus menyerbu ke dalam hutan. "Ceng-ji, hayo turun tangan saja !" Ajak Khu Ju-ki pada Kwe Ceng, ia menjadi gusar akan perbuatan kawanan bandit itu. Tetapi baru mereka akan menyusul masuk ke dalam hutan yang lebat itu, mendadak terdengar suara teriakan dan jeritan para penyatron itu, tahu-tahu mereka berlari kembali seperti kesetanan. Karuan Khu Ju-ki dan Kwe Ceng ter-heran2, sementara itu terlihat beberapa puluh orang sudah berlari keluar seperti terbang cepatnya, dan mati-matian menyusul Hotu dan Darba pun berlari keluar dengan langkah lebar, keadaan mereka yang menyedihkan itu, dibanding sewaktu mereka di-gempur mundur dari Tiong-yong-kiong oleh Kwe Ceng tadi entah berapa kali lipat lebih hebat. Diam2 Khu Ju-ki dan Kwe Ceng menjadi bingung, mereka heran dengan ilmu kepandaian apakah Siao-liong-Ii mampu mengusir kawanan penyatron ini ? Tetapi pikiran mereka itu hanya timbul sekilas saja, sebab tiba2 terdengar suara "ngaung-ngaung-ngaung" Yang riuh ramai suara mendengung itu tadinya masih jauh, tapi sebentar saja sudah mendekat, di bawah sinar rembulan yang remang2 itu tertampak segumpal benda abu2 entah binatang apa dengan cepat terbang keluar dari dalam hutan dan sedang mengudak di atas kepala para penyerbu itu. Kwe Ceng menjadi heran oleh kejadian ini. "Apakah itu ?" Tanyanya. Akan tetapi Khu Ju-ki sendiri tidak tahu, ia geleng kepala tidak menjawab, dengan mata tidak berkesip ia pandang ke depan terus, ia lihat diantara petualang2 itu ada beberapa yang lambat larinya, kepala mereka segera disamber gerombolan binatang tadi, habis itu, beberapa petualang itu seketika jatuh terguling, mereka men-jerit2 sambil dekap kepala, tampaknya rasa sakitnya sukar ditahan. "He, tawon, kenapa warna putih ?" Seru Kwe Ceng terkejut sesudah kemudian mengenali binatang terbang itu. Selagi ia berkata, gerombolan tawon putih itu kembali sudah membikin terguling beberapa orang lagi dengan antupannya. Dalam sekejap saja di rimba raya itu terdapat belasan orang yang bergelimpangan sambil men-jerit2 kesakitan dengan suara yang mengerikan. "Aneh, diantup tawon, seumpama memang sakit, seharusnya tidak sampai begitu jahat, apakah mungkin antupan tawon putih ini luar biasa lihaynya ?" Demikian Kwe Ceng ber-tanya2 dalam hati Dalam pada itu ia lihat bayangan abu2 tadi masih menyamber kian kemari, seperti sesosok asap tebal saja yang menyembur dengan cepat, gerombolan tawon putih itu mendadak menyamber dari depan Khu Ju-ki. Melihat datangnya gerombolan tawon putih ini begitu ganas dan hebat, agaknya sukar ditahan, maka Kwe Ceng berpikir hendak menyingkir tetapi tidak demikian dengan Khu Ju-ki, tiba2 imam Coan-cin-kau ini mengumpulkan napasnya, sekali pentang mulut ia terus meniup dengan sekuatnya. Gerombolan tawon itu sebenarnya sangat cepat terbangnya, ketika mendadak terasa tiupan angin yang keras memapak dari depan, keruan daya serbuan mereka tertahan, dan ketika Khu Ju-ki untuk kedua kalinya menyebul pula, kembali angin santar menyarnber lagi Kwe Ceng dapat mengikuti cara itu dengan baik, maka iapun meniru dengan menyebulkan ha-wanya dengan keras, ia gabungkan kekuatan angin tiupannya dengan tiupan Khu Ju-ki. Keruan saja kekuatan angin ini menjadi sangat kuat, rombongan tawon putih jadi tak tahan hingga beberapa ratus tawon yang paling depan terpaksa menggeser arah dan menyamber lewat disamping kedua orang ini terus mengudak Hotu dan Darba Iagi. Belasan petualang yang bergelimpangan di tanah itu makin ngeri jeritan mereka, saking menderitanya sampai mereka me-ratap2 dan me-rintih2, berteriak bapak dan memanggil ibu, malahan ada yang minta2 ampun. "Kami berbuat salah, mohon dewi Siao-liong-li suka ampuni jiwa kami!" Demikian mereka memohon. Diam2 Kwe Ceng menjadi heran oleh kelakuan para petualang ini. "0rang2 ini tergolong manusia yang tak kenal takut di kalangan Ka-ngouw, sekalipun sebelah lengan atau sebelah kaki mereka ditabas kutung, belum tentu mereka mau merintih kesakitan dan meminta ampun, kenapa antup tawon sekecil ini saja ternyata begini lihay ?" Demikian ia pikir. Sementara itu ia dengar suara tabuhan Khim berkumandang pula dari dalam rimba raya itu, menyusul mana dari pucuk pohon yang rindang itu tertampak mengepul keluar asap putih yang tipis2, segera Khu Ju-ki dan Kwe Ceng mencium bau wangi bunga yang sedap sekali. Selang tak lama, suara "ngung-ngung-ngung" Tadi dari jauh kembali mendekat lagi, rombongan tawon putih itu dami mencium bau wangi telah terbang kembali ke dalam rimba, kiranya Siao-liong-li sengaja bakar dupa untuk menarik kembali pasukan tawonnya, Meski sudah dua puluh tahun Khu Ju-ki menjadi tetangga Siao-liong-li, tapi selamanya tidak pernah mengetahui bahwa gadis jelita ini ternyata memiliki kepandaian begini tinggi, ia menjadi kagum dan ketarik. "Kalau sebelumnya tahu tetangga cantik kita ini begini besar kesaktiannya, Coan-cin-kau kita tentunya tidak perlu banyak urusan lagi," Demikian ia kata. Ucapan ini sebenarnya dia tujukan pada Kwe Ceng, suaranya tidak keras, Tetapi aneh, Siao-liong-li yang berada dalam rimba itu seperti mengetahui maksudnya itu, tiba2 suara Khim tadi berubah menjadi lunak dan merdu yang mengandung maksud pernyataan terima kasih. "Hahaha, hendaklah nona jangan pakai adat istiadat lagi," Kata Khu Ju-ki dengan suara lantang sambil bergelak ketawa" Khu Ju-ki bersama anak murid Kwe Ceng, dengan hormat mengucapkan selamat atas ulang tahun nona." Atas ucapan ini, tiba2 suara Khim itu berbunyi "creng-creng" Dua kali lagi, habis ini lantas berhenti, suara lenyap, keadaan pun kembali sunyi. Dalam pada itu mendengar jeritan dan teriakan orang2 yang bergelimpangan di tanah itu, hati Kwe Ceng menjadi kasihan. "Totiang, Cara bagaimana kita bisa tolong orang2 ini ?" Ia coba tanya Khu Ju-ki. "ltu tidak perlu," Sahut Ju-ki. "Liong-kohnio (nona Liong) sendiri tentu bisa bereskan sendiri Marilah kita pergi saja." Begitulah, maka mereka lantas kembali ke arahnya sendiri, sepanjang jalan Kwe Ceng ceritakan pula secara ringkas mengenai diri Nyo Ko. Mendengar kisah-derita bocah yang mengharukan itu, Khu Ju-ki telah menghela napas panjang. "Memangnya patriot seperti pamanmu Nyo Thi-sim itu, mana boleh terputus keturunan ?" Demikian katanya kemudian. "Kau tak usah kuatir, pasti aku akan lakukan sepenuh tenagaku untuk mendidik anak itu dengan baik." Tentu saja Kwe Ceng sangat girang oleh kesanggupan itu, di tengah jalan juga ia lantas menjura menghaturkan terima kasihnya. "Tadi kau cerita bahwa ada orang menyelundup ke Tho-hoa-to untuk membuat peta rahasia, pula terdapat anak murid Kay-pang yang tersangkut di dalamnya, sebenarnya ada urusan apakah ?" Kemudian Khu Ju-ki bertanya lagi "Totiang mungkin masih ingat didalam Kay-pang itu terdapat seorang murid murtad yang disebut Peng-tianglo ?" Kata Kwe Ceng. "Aha, kiranya dia itu," Sahut Ju-ki. "Sungguh tidak kecil nyali orang ini, apa mungkin dia berani cari gara2 ke pulaumu Tho-hoa-to ?" "Sesudah aku tukar pikiran dengan Yong-ji, dia bilang kalau hanya Peng-tianglo seorang diri saja, tidak nanti dia berani main gila, tentu di belakangnya masih ada orang lain lagi yang menjadi tulang punggungnya," Ujar Kwe Ceng. "Tetapi dengan ilmu kepandaian Yong-ji sekarang ini, ditambah keadaan pulau yang diatur sedemikian itu, jika ada orang berani coba main gila ke sana, maka orang itu sesungguhnya sudah bosan hidup, urusan ini kau justru boleh tak usah kuatir," Kata Khu Ju-ki. Kwe Ceng mengangguk setuju dengan kata2 orang. Begitulah sambil ber-cakap2 kemudian mereka tiba kembali di depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu, tatkala itu hari sudah terang, para imam sedang sibuk membersihkan reruntuhan puing, ada pula yang sedang tebang kayu untuk membangun tempat meneduh darurat. Kemudian Khu Ju-ki mengumpulkan semua Tosu Coan-cin-kau itu, ia perkenalkan Kwe Ceng kepada mereka. "Dia adalah murid Ong-sute, namanya Thio Ci-keng," Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Demikian Khu Ju-ki perkenalkan pada Kwe Ceng imam berjenggot panjang yang pernah memimpin Pak-tau-tin di bawah gunung buat merintangi dirinya itu. "Tentang kepandaian, di antara murid angkatan ketiga dia terhitung yang paling tinggi, maka boleh suruh dia saja yang memberi pelajaran pada Ko-ji." Kwe Ceng sudah pernah bergebrak dengan Thio Ci-keng, ia tahu ilmu silatnya memang betul hebat, maka dalam hati ia sangat girang, segera dia perintahkan Nyo Ko menjalankan penghormatan angkat guru pada Thio Ci-keng. Habis itu Kwe Ceng tinggal beberapa hari lagi di Cong-lam-san, iapun pesan wanti2 pada Nyo Ko agar belajar dengan giat, kemudian baru dia mohon diri kembali ke Tho-hoa-to. Apabila teringat oleh Khu Ju-ki pada waktu memberi pelajaran silat pada Nyo Khong (ayah Nyo Ko) dahuIu, dia membiarkan Nyo Khong tinggal di dalam istana kerajaan Kim dengan segala kemewahan dan kejayaan hidupnya, sehingga membuat suatu kesalahan yang maha besar, maka ia pikir sekali ini Nyo Ko harus dilakukan pengawasan yang keras dan diberikan pelajaran se-baik2-nya supaya anak ini tidak sampai terjerumus menuju jalan yang sama dengan mendiang ayahnya. Karena itu, dia lantas panggil menghadap Nyo Ko, dengan kata2 pedas dan suara bengis dia memberi petuah harus turut ajaran guru, tidak boleh malas dan teledor sedikitpun. Untuk tinggal di Cong-lam-san saja sebenarnya Nyo Ko sudah merasa tak betah, apalagi kini kena didamperat habis2an, sudah tentu sukar dijelaskan perasaannya, dengan menahan melelenya air mata dia mengiakan saja, tetapi begitu Khu Ju-ki pergi, tak tertahan lagi ia lantas menangis sedih. "Kenapa ? Apa Co-su-ya salah mengatai kau ?" Tiba2 dari belakang seorang menegur pada-nya. Nyo Ko kaget, lekas2 ia usap air matanya dan menoleh, ia lihat orang yang berdiri di belakangnya itu bukan lain adalah Suhunya sendiri, Thio Ci-keng. Maka lekas2 tangannya dia luruskan dan menjawab dengan hormat. "Bukan ?" "Kalau begitu, kenapa kau menangis ?" Tanya Thio Ci-keng pula. "Tecu terkenang pada Kwe-pepek, maka hati menjadi sedih," Sahut Nyo Ko. Tadi terang2an Thio Ci-keng mendengar paman gurunya, Khu Ju-ki, dengan suara bengis memberi pesan pada Nyo Ko, tapi sekarang anak ini justru pakai alasan terkenang pada Kwe Ceng, tentu saja dalam hati ia semakin kurang senang, pikirnya. "Anak sekecil ini tabiatnya sudah begini licin, kalau tidak diberi hukuman yang berat, nanti kalau sudah besar mana bisa dibina lagi?" Oleh karena itu, dengan menarik muka ia lantas membentak. "Hm, terhadap Suhu sendiri, kau berani berdusta ?" Karena Nyo Ko menyaksikan sendiri para imam Coan-cin-kau ini kena dihajar hingga tunggang-langgang oleh Kwe Ceng, ia lihat pula Khu Ju-ki dan lain2 kena dilabrak hingga kerepotan oleh Hotu dan Darba dengan begundalnya, semua itu berkat bantuan Kwe Ceng baru mereka bisa terhindar dari bahaya, maka dalam hati dia sudah yakin bahwa ilmu silat para imam ini biasa saja dan tiada yang dapat dikagumi. Terhadap Khu Ju-ki saja dia tidak kagum, apalagi terhadap Thio Ci-keng ? Memang hal ini adalah kesalahan Kwe Ceng yang telah berbuat teledor, dia tidak menjelaskan dahulu pada Nyo Ko bahwa Coan-cin-kau adalah sumber asli ilmu silat, dahulu ilmu silat Ong Tiong-yang telah diakui sebagai nomor satu di muka bumi ini, tiada satu jago pun dari golongan lain yang mampu melawannya. Sedang Kwe Ceng bisanya kalahkan para imam itu, soalnya karena imam2 itu belum terlatih sampai dipuncaknya ilmu, sekaIi2 bukan ilmu silat Cona-cin-kau yang tak berguna, Oleh karena kekurangan penjelasan dari Kwe Ceng inilah hingga mengakibatkan peristiwa2 yang banyak terjadi di kemudian hari. Begitulah, ketika Nyo Ko melihat gurunya marah, dalam hati ia pikir. "Aku angkat guru padamu sebenarnya karena terpaksa, sekalipun kelak aku bisa belajar sepandai kau, tetapi apa gunanya kalau cuma sepandai itu saja ? Untuk apa sekarang kau berlagak galak ?" Oleh karena pikiran yang memandang hina orang ini, maka Nyo Ko telah berpaling kesamping, ia tidak menjawab Thio Ci-keng tadi. Tentu saja Ci-keng menjadi gusar ! "Aku tanya kau, kenapa kau tidak menjawab?" Ia membentak pula dengan suara yang lebih keras. "Suhu ingin aku menjawab apa, segera akan kujawab apa," Demikian sahut Nyo Ko dengan bandel. Mendengar kata2 yang ketus ini, amarah Thio Ci-peng tak bisa ditahan lagi, tangannya terus me-nampar. "plak", seketika pipi Nyo Ko merah bengap. Nyo Ko menjerit dan menangis, mendadak ia angkat kaki terus lari pergi. Akan tetapi dengan cepat Ci-keng dapat menjambretnya. "Hendak kemana kau?" Tanyanya. "Lepaskan aku, tidak sudi aku belajar silat padamu lagi," Teriak Nyo Ko. Tentu saja Ci-keng bertambah panas hatinya. "Anak haram, kau bilang apa?" Bentaknya. Namun Nyo Ko sudah pepet, ia menjadi nekat "lmam busuk, imam anjing, boleh kau pukul mati aku saja !" Demikian segera ia balas mencaci maki. Di jaman feodal dulu, hubungan antara guru dan murid dipandang penting sekali, di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, hubungan guru dan murid dipandang seperti ayah dan anak saja, sekalipun sang guru hendak hukum mati muridnya, yang menjadi muridpun tak berani membantah. Kini Nyo Ko sebaliknya berani mencaci maki gurunya, sungguh ini suatu perbuatan murtad yang terkutuk yang selamanya jarang terlihat dan terdengar. Karena itu, dalam gusarnya, muka Ci-keng menjadi merah padam, ia angkat tangannya terus hendak menempeleng lagi. Diluar dugaannya, se-konyong2 Nyo Ko melompat maju terus merangkul lengannya yang terangkat itu, bahkan bocah ini pentang mulutnya menggigit sini sana hingga akhirnya jari Thio Ci-keng kena digigit dengan kencang. Kiranya sejak Nyo Ko mendapat ajaran rahasia ilmu silat dari Auyang Hong, meski dia berlatih tidak teratur, tapi soal Lwekang sedikit banyak dia sudah punya landasan, Dalam keadaan marah, Thio Ci-keng menganggap Nyo Ko hanya satu anak kecil, maka sedikitpun dia tidak ber-jaga2 hingga kena dirangkul dan dicokot, dia ternyata tak sanggup lepaskan gigitan Nyo Ko meski dia sudah kipat2kan lengannya. Justru jari tangan adalah anggota badan orang yang paling lemah, sakitnya paling susah di-tahan, Dalam kesakitan Ci-keng angkat sebelah tangan yang Iain terus menggebuk pundak Nyo Ko dengan keras. "Kau cari mampus ? Hajo, lepas !" Ia membentak lagi. Akan tetapi Nyo Ko dilahirkan dengan watak yang keras dan tidak kenal apa artinya takut, apa lagi kini dalam keadaan murka dan nekad, sekali pun dibawah ancaman senjata belum tentu dia mau lepaskan begitu saja. Tetapi karena digebuk pundaknya hingga terasa kesakitan, gigitannya semakin tambah kuat, maka terdengarlah suara "kletak", tulang jari kena digigit patah. Dalam keadaan demikian, Thio Ci-keng tak bisa pikir panjang lagi, ia ayun tinjunya terus me-ngetok dengan gemas ke atas batok kepala Nyo Ko dipentangnya, jari telunjuk tangan kanannya barulah bisa ditarik keluar dari mulut kecil yang masih terkatup kencang itu. Maka tertampaklah tangannya berlumuran darah, tulang jarinya sudah patah, meski dia bisa gunakan obat luka untuk menyambung tulang jari, tapi sejak itu jarinya tidak bertenaga lagi, dengan sendirinya ilmu silatnya lantas banyak terhalang, Dalam sengitnya, tak tahan lagi Ci-keng tambahi pula beberapa kali tendangan ke tubuh Nyo Ko yang sudah menggeletak di tanah itu. Kemudian Ci-keng robek sedikit kain baju untuk membalut luka jarinya, waktu dia memeriksa sekelilingnya, untung tiada orang lain, ia pikir kalau kejadian ini sampai dilihat orang luar dan disiarkan ke kalangan Kangouw, pasti dia akan kehilangan muka, Lalu dia ambil satu ember air dingin dan disiram ke muka Nyo Ko. Tetapi setelah sadar, kembali Nyo Ko menyeruduk maju lagi sambil menghantam kalang-kabut bagai banteng ketaton. "Binatang, apa betul2 kau tidak ingin hidup lagi ?" Bentak Thio Ci-keng sambil jamberet dada Nyo Ko. Akan tetapi Nyo Ko tetap tidak mau menyerah "Kau bangsat, imam anjing, imam busuk, kau sendiri yang binatang !" Balasnya memaki. Karena tak tahan gusarnya oleh caci-maki balasan ini, kembali Thio Ci-keng ayun tangannya memberikan sekali tamparan pula, sekarang dia sudah ber-jaga2, jika Nyo Ko berani balas menghantam tentu takkan bisa mendekatinya, Maka dalam sekejap saja Nyo Ko telah ditendang beberapa kali hingga jungkir-balik dan jatuh-bangun. Dalam keadaan demikian, jika Thio Ci-peng mau melukai Nyo Ko, sebenarnya dengan gampang saja bisa dia lakukan, namun apapun juga anak ini adalah muridnya sendiri, jika gunakan pukulan berat, kemudian kalau ditanya para paman guru dan Suhu, cara bagaimana harus menjawabnya ? Sebaliknya Nyo Ko masih terus menggeluti orang dengan ngawur dan nekat meski tubuhnya beberapa kali kena digenjot Ci-keng, rasanya juga tidak kepalang sakitnya, tetapi sedikitpun dia pantang mundur. Akhirnya Thio Ci-keng menjadi kewalahan sendiri, meski ia masih pukul dan tendang Nyo Ko yang masih terus menyeruduk secara membabi-buta, tetapi dalam hati tidak kepalang menyesalnya, ia lihat bocah ini meski tubuhnya sudah babak-belur, tetapi makin lama malah semakin berani sampai akhirnya, karena tiada jalan lain, ia tutuk Hiat-to di bahu Nyo Ko dan membuatnya tidak berkutik lagi Nyo Ko menggeletak di tanah, tetapi diantara sinar matanya jelas kelihatan penuh mengandung rasa murka. "Kau murid murtad ini, sekarang kau menyerah tidak ?" Kata Thio Ci-keng. Akan tetapi Nyo Ko hanya menjawab dengan mata melotot, sedikitpun dia tidak unjuk rasa takluk. Ci-keng duduk di atas sepotong batu, napas nya empas-empis, Kalau dia bertanding dengan jagoan tinggi, meski berlangsung satu jam atau tiga perempat jam, se-kali2 tidak akan memburu, kini kaki-tangannya tidak capek, tetapi dalam hati luar biasa gusarnya hingga dia tak bisa berdiri. Begitulah guru dan murid ini saling mendelik berhadapan seketika itu Ci-keng menjadi kehabisan akal, ia tidak tahu cara bagaimana agar mendapatkan jalan yang baik untuk membereskan perkara anak binal ini. Selagi ia merasa kesal, tiba2 terdengar suara genta ditabuh keras, ia kenal itu adalah tanda panggilan Ciangkau mereka, Ma Giok, yang sedang mengumpulkan semua anak murid Coan-cin-kau. Keruan Ci-keng terkejut. "Jika kau tidak bandel lagi, aku lantas bebaskan kau," Katanya pada Nyo Ko, Habis ini ia lantas menutuk pula buat lancarkan jalan darah orang. Siapa tahu, begitu Nyo Ko melompat bangun, segera ia hendak menyeruduk maju lagi. "Aku sudah tidak pukul kau, kau mau apalagi ?" Dengan gusar Ci-keng membentak. "Tapi selanjutnya kau pukul aku tidak ?" Tanya Nyo Ko. Sementara suara genta tadi terdengar ditabuh makin riuh, Ci-keng tak berani ayal, terpaksa ia menjawab . "Jika kau berlaku baik2, kenapa aku harus pukul kau ?" ""Baiklah kalau begitu, Suhu," Kata Nyo Ko. "Kau tidak pukul aku, aku lantas panggil kau Suhu, tetapi sekali kau pukul aku, selamanya tidak nanti aku mau mengaku kau sebagai guru Iagi." Ci-keng tersenyum getir oleh kepala batu si bocah ini. "Ciangkau sedang memanggil para anak murid, mari lekas ikut ke sana," Katanya kemudian. Tetapi demi melihat baju Nyo Ko sudah robek dan kumal, mukanya pun babak belur, Ci-keng kuatir kalau ditanya orang, maka dia bersihkan tubuh Nyo Ko, habis ini ia tarik tangan bocah ini terus berlari ke depan Tiong-yang-kiong yang sudah runtuh itu. Sementara itu tempat bekas Tiong-yang-kiong oleh para imam Coan-cin-kau sudah didirikan belasan buah rumah atap alang2, ketika Ci-keng dan Nyo Ko sampai di sana, para imam yang lain sudah berbaris berdiri di sana dengan teratur, sedang Ma Giok, Khu Ju-ki dan Ong Ju-it bertiga kelihatan berduduk menghadap keluar. Kemudian Ma Giok menepuk tangan sekali, seketika keadaan menjadi sunyi senyap, para imam tak berani berisik lagi. "Kita telah terima berita dari Tiang-seng cinjin dan Jing-ceng Sanjin yang dikirim dari Soasay, katanya urusan di sana sangat sulit diselesaikan, maka Tiang-jun Cinjin dan Giok-yang Cinjin (Khu Ju-ki dan Ong Ju-it) berdua hari ini juga akan berangkat membantu ke sana, untuk itu mereka perlu membawa serta sepuluh anak murid," Demikian dengan suara lantang Ma Giok berpidato, Karena pengumuman ini, para imam banyak yang saling pandang, ada yang kaget dan heran, ada pula yang murka. Kemudian dengan suara keras Khu Ju-ki lantas menyebut nama sepuluh anak murid Coan-cin-kau, ia pesan. "Lekas masing2 menyiapkan apa yang perlu, supaya besok pagi2 bisa lantas ikut berangkat. Yang 1ain2 bolehlah bubar sekarang !" Sesudah itu, maka suara berisik segera terdengar iagi, para imam itu sama mempercakapkan tentang urusan penting itu yang ternyata ada hubungannya dengan Jik-lian-sian-cu Li Bok-chiu. Tengah mereka saling berunding, Khu Ju-ki sendiri telah mendekati Thio Ci-keng dan berkata padanya. "Sebenarnya aku hendak bawa serta kau, tetapi karena kuatir pelajaran Ko-ji terhalang, maka sekali ini tidak perlu kau ikut pergi!" Habis ini sekilas tertampak olehnya muka Nyo Ko babak-belur dan matang-biru, tentu saja ia kaget. "He, kenapa kau ? Dengan siapa kau telah berkelahi ?" Tanyanya cepat. Keruan Thio Ci-keng kerupekan, ia gugup sekali, ia kuatir kalau2 Nyo Ko menceritakan apa yang terjadi dengan terus terang, tentu paman gurunya ini akan mendamperat habis2an padanya, maka lekas2 ia mengedipi mata memberi tanda pada Nyo Ko agar jangan bilang. Akan tetapi Nyo Ko sudah mengambil keputusannya sendiri, waktu melihat Ci-keng kerupekan, ia pura2 tidak tahu, dia sengaja bicara dengan tidak jelas dan tidak menjawab pertanyaan orang, Dengan sendirinya Khu Ju-ki menjadi gusar. "Siapakah yang berani pukul kau sedemikian rupa ? Hayo katakan, sebenarnya siapa yang salah ? Lekas bilang !" Bentaknya Ju-ki lagi. Mendengar suara Khu Ju-ki yang makin bengis ini, dalam hati Ci-keng semakin ketakutan. "Bukan berkelahi, tetapi Tecu sendiri jatuh kesandung dan tergelincir ke jurang," Sahut Nyo Ko kemudian. Sudah tentu Khu Ju-ki tidak gampang percaya. "Kau bohong, tanpa sebab kenapa bisa jatuh kesandung?" Desaknya lagi. "Tadi Co-su-ya telah ajar Tecu agar belajar secara giat..." "Ya, kenapa ?" Sela Khu Ju-ki. "Dan sesudah Co-su-ya pergi, Tecu pikir memang benar apa yang Co-su-ya ajarkan itu," Demikian Nyo Ko menyambung. "maka selanjutnya Tecu pasti akan giat belajar supaya lekas maju, dengan begitu baru tidak mengecewakan harapan Co-su-ya." Dengar obrolan Nyo Ko ini, lambat laun air muka Khu Ju-ki berubah tenang kembali, ia bersuara sekali lagi tanda membenarkan. "Tapi siapa duga mendadak datang seekor anjing gila," Demikian sambung Nyo Ko lagi. "tiba2 anjing gila itu menubruk ke arah Tecu sambil mencakar dan menggigit serabutan, Tecu balas tendang dan hantam untuk mengusir anjing gila itu, tetapi makin lama anjing gila itu semakin ganas. Karena Tecu takut kena digigit, maka terpaksa angkat langkah seribu, dan karena kurang hati2, Tecu telah tergelincir ke jurang, Syukur Suhu keburu datang hingga aku dapat ditolongnya." Atas keterangan ini Khu Ju-ki masih setengah percaya dan separoh sangsi, ia coba pandang Thio Ci-keng, maksudnya bertanya apa yang dituturkan Nyo Ko itu betul atau tidak ? Dalam hati tidak kepalang gusar Thio Ci-keng, ia sedang membatin. "Bagus, kau anak busuk ini berani mencaci maki aku sebagai anjing gila?" Akan tetapi karena keadaan terdesak, ia tak berani menyangkal pembohongan Nyo Ko tadi maka terpaksa ia mengangguk dan menjawab . "Yar memang Tecu yang menolongnya." Karena kepastian ini barulah Khu Ju-ki mau percaya. "Sesudah aku berangkat, kau harus ajarkan ilmu dasar aliran kita padanya dengan sesungguh hati, tiap2 sepuluh hari Ma-supek akan mengadakan pemeriksaan ulang untuk memberi petunjuk tempat2 yang penting," Demikian ia memberi pesan pula sebelum melangkah pergi. Dalam hati Ci-keng sebenarnya seribu kali tidak rela, tetapi kata2 sang paman gurunya ini, mana ia berani membantah, terpaksa ia mengangguk mengiakan. Sebaliknya Nyo Ko merasa sangat senang karena berhasil paksa gurunya menyerah dengan mengaku diri sebagai anjing gila, maka apa yang dikatakan Khu Ju-ki tadi boleh dikatakan tiada yang dia dengar. Begitu Khu Ju-ki bertindak pergi beberapa puluh langkah Thio Ci-keng tak bisa menahan api amarahnya yang membara, tanpa pikir segera tangannya diangkat terus hendak menghantam batok kepala Nyo Ko. "Khu-suco !" Cepat Nyo Ko memanggil Khu Ju-ki sebelum tangan orang mampir di kepalanya. Mendengar teriakan ini, Khu Ju-ki menoleh dengan bingung. "Apa apa ?" Tanyanya. Dalam pada itu tangan Ci-keng masih terangkat ke atas, karena menolehnya sang paman guru, tak berani ia menabok terus, keruan lagaknya menjadi kikuk dan serba salah, terpaksa ia pura2 meng-garuk2 rambut di pelipisnya. Sedang Nyo Ko lantas berlari pada Khu Ju-ki, katanya "Co-su-ya, nanti kalau kau pergi, karena tiada yang melindungi aku, banyak Supek dan susiok di sini akan menggebuki aku." Tentu saja pengaduan ini bikin Khu Ju-ki menarik muka. "Ngaco-belo, mana bisa terjadi begitu !" Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bentaknya. Akan tetapi meski di luarnya dia bersikap bengis, dalam hati sebenarnya Khu Ju-ki orangnya welas-asih, tiba2 ia jadi teringat Nyo Ko memang sudah piatu dan harus dikasihani, maka segera ia pesan lagi dengan suara keras. "Ci-keng, kau harus menjaga bocah ini dengan baik, jika terjadi apa2 atas dirinya, sekembaliku hanya kau yang kumintai pertanggungan jawab." Terpaksa, kembali Ci-keng menyanggupi lagi. Begitulah, petang harinya sehabis bersantap malam, dengan perasaan masih kebat-kebit kuatir dihajar gurunya lagi, Nyo Ko datang di ruangan tempat sang Suhu, sesudah berhadapan dengan Ci-keng, ia memanggil dengan tangan lurus ke bawah. "Suhu !" Tatkala itu adalah waktunya mengajarkan ilmu silat, Thio Ci-keng duduk semadi di pembaringannya, sejak tadi ia sudah ber-pikir2. "Anak ini begini nakal, kalau kini tidak dikendalikan dengan baik, kelak kalau ilmu silatnya sudah tinggi, siapa lagi yang sanggup pengaruhi dia ? Akan tetapi Khu-supek dan Suhu justru perintahkan aku mengajarkan ilmu silat padanya, jika aku tidak mengajarkan, hal ini tak boleh jadi pula." Begitulah lama ia pikir dan masih belum ambil sesuatu keputusan, ketika melihat datangnya Nyo Ko yang seperti takut2, tapi sinar matanya mengerling terang, wajahnya seperti ketawa tetapi tidak ketawa, keruan lagak Nyo Ko ini semakin bikin marah padanya. "Ah, ada satu akal," Tiba2 tergerak pikirannya. "sementara ini sedikitpun dia belum paham akan ilmu kepandaian golongan sendiri, asal aku melulu mengajarkan dia istilah2nya, tetapi caranya berlatih sedikitpun tidak kukatakan padanya, dengan demikian meski beratus kali dia ingat akan istilah2 ilmu Lwekang yang aku ajarkan juga tiada gunanya. Dan kalau, Suhu dan para Supek menanyakan, aku boleh pakai alasan bahwa dia sendiri I yang tidak mau giat belajar." Begitulah, setelah ambil ketetapan ini, lalu dengan tersenyum dan suara halus ia memanggil. "Ko-ji, maju sini!" "Kau akan pukul aku tidak ?" Tanya Nyo Ko ragu-ragu. "Aku akan ajarkan ilmu padamu, untuk apa pukul kau ?" Sahut Ci-keng. Nampak sikap orang yang berubah ramah tamah ini, hal ini sama sekali tak Nyo Ko duga. Maka dengan pelahan ia melangkah maju, hanya dalam hati ia tetap waspada dan ber-jaga2 akan segala kemungkinan, ia kuatir kalau orang pakai tipu muslihat Sudah tentu kelakuan bocah ini dapat dilihat Thio Ci-keng, namun ia pura2 tidak tahu. "llmu kepandain Coan-cin-kau kita harus dilatih mulai dari dalam sampai keluar, berbeda sekali dengan ilmu Gwa-keh yang melatihnya justru dari luar kedalam," Demikian kemudian ia berkata. "Dan kini aku akan ajarkan intisari ilmu kita padamu, kau harus meng-ingat2nya dengan baik" Habis ini dia lantas uraikan istilah kunci berlatih Lwekang dari Coan-cin-kau pada Nyo Ko. Dasar kecerdasan Nyo Ko memang melebihi orang biasa, meski hanya mendengarkan sekali saja, namun dia sudah bisa ingat betul Dia juga berpikir sendiri. "Suhu terang benci dan marah padaku, mana bisa dia ajarkan aku ilmu kepandaian sejati ? Jangan2 dia sengaja ajarkan aku dengan segala istilah2 palsu yang tak berguna ?" Oleh karena itulah, lewat tak lama, ia pura2 lupa apa yang diajarkan padanya tadi, ia meminta petunjuk lagi pada Thio Ci-keng. Namun Ci-keng dapat mengulangi lagi sama seperti semula. Besoknya, ketika Nyo Ko pura2 tanya pula, ia dengar Ci-keng menguraikan lagi tetap sama dengan yang kemarin, barulah dia mau percaya ajaran bukanlah palsu, Sebab kalau palsu atau bikinan belaka, be-runtun2 menyebut tiga kali pasti tidak sama tiap2 kata atau istilahnya. Begitulah, ber-turut2 sudah lewat sepuluh hari, selama itu Ci-keng hanya ajarkan istilah kosong saja pada Nyo Ko, tetapi cara atau praktek belajarnya sama sekali tidak diajarkannya. Pada hari kesepuluh Ci-keng membawa Nyo Ko pergi menemui Ma Giok dan melaporkan bahwa dia sudah mengajarkan bocah itu dengan dasar2 ilmu silatnya bahkan dia suruh Nyo Ko membaca diluar kepala dihadapan Ciangkau Co-su-ya. Melihat Nyo Ko betul2 membaca diluar kepala dengan tepat, satu huruf saja tiada yang salah, keruan Ma Giok menjadi senang, berulang kali ia puji anak ini memang pintar. Ma Giok adalah seorang imam berilmu dan tidak suka berpikir kearah yang jelek, dengan sendirinya dia tidak menyangka akan tipu muslihat Thio Ci-keng. Begitulah, sang tempo berlalu dengan cepat, sekejap mata saja beberapa bulan sudah lalu. Selama ini, Nyo Ko boleh dikatakan sudah kenyang mengapal istilah2 Lwekang yang diajarkan Thio Ci-keng, akan tetapi prakteknya sedikitpun belum pernah diajarnya, maka soal ilmu silat hakekatnya dia masih sama saja seperti mula2 naik gunung, Tetapi Nyo Ko pintar luar biasa, mana bisa dia tidak tahu bahwa kepandainya terhalang ? Hanya dalam belasan hari saja dia lantas tahu bahwa gurunya sengaja mempermainkan dirinya, tetapi kalau orang tak mau memberi pelajaran, iapun tak berdaya, terpaksa ia harus menunggu kembalinya Khu Ju-ki untuk melaporkan padanya. Tetapi tunggu sampai sekian lama, belum juga Khu Ju-ki kembali Meski usia Nyo Ko masih kecil, tetapi dia pintar membawa diri, kalau dalam hati rasa bencinya terhadap Suhu semakin hebat dan makin menjadi, sebaliknya diluar dia justru bertambah menghormat dan menurut. Diam2 Thio Ci-keng menjadi senang melihat tipu muslihatnya berhasil, katanya dalam hati. "Hm, kau berani membangkang terhadap guru, lihat saja, akhirnya siapa yang rugi ?" Sementara itu tibalah waktunya akhir tahun, menurut kebiasaan Coan-cin-kau yang turun temurun sejak Ong Tiong-yang, tiap2 tahun, tiga hari sebelum tahun baru, para anak murid harus mengadakan pertandingan besar dari ilmu silat yang mereka latih, dengan demikian untuk mengetahui sampai dimana kemajuan masing2. Dan karena temponya sudah dekat, maka para anak murid Coan-cin-kau itu kelihatan sibuk sekali berlatih diri siang dan malam. Hari itu adalah sepuluh hari sebelum tiba hari pertandingan, para anak murid Coan-cin-kau biasanya pada membagi diri dalam kelompok2 kecil untuk saling latih, ini disebut "repetisi", Begitu pula, hari itu Thio Ci-keng dan Cui Ci-hong cs. yang menjadi muridnya Ong Ju-it telah berkumpul disuatu lapangan di sebelah timur untuk berlatih, Oleh karena Ong Ju-it tiada di rumah, dengan sendirinya urusan diserahkan dibawah pimpinan murid yang tertua, ialah Thio Ci-keng. Di samping sana anak murid angkatan keempat sedang sibuk sendiri, ada yang terlatih ilmu pukulan, ada yang main senjata atau pertunjukan Lwekang mereka. Ada pula yang melepaskan Am-gi atau senjata rahasia, semua ini diunjukkan dihadapan Thio Ci-keng untuk diberi penilaian siapa diantaranya yang paling bagus. Apa yang disebut anak murid angkatan ke-empat itu yalah seangkatan dengan Nyo Ko. Oleh karena Coan-cin-kau didirikan oleh Ong Tiong-yang, maka dia adalah cakal-bakalnya, sedang Ma Giok bertujuh yang disebut Coan-cin-chit-cu itu adalah muridnya Ong Tiong-yang, mereka disebut anak murid angkatan kedua. Thio Ci-keng, In Ci-peng, Cui Ci-hong dan Nyo Khong, mendiang ayah Nyo Ko, mereka adalah murid Coan-cin-chit-cu, maka disebut angkatan ketiga. akhirnya tingkatannya Nyo Ko inilah yang disebut angkatan keempat. Oleh karena Nyo Ko paling lambat masuk perguruan, maka dia menduduki tempat yang paling belakang, bila dia menyaksikan para imam kecil yang umurnya sebaya dengan dirinya itu semua pandai pukulan dan paham silat, masing2 mempunyai kemahirannya sendiri, dalam hati kecilnya bukannya merasa kagum dan iri, sebaliknya dia justru merasa dendam dan sakit hati. Di lain pihak Ci-keng dapat melihat wajah-Nyo Ko yang mengunjuk rasa penasaran, maka dia sengaja hendak bikin malu anak ini dihadapan orang banyak, ia menanti sesudah selesai pertandingan dua imam kecil, lalu dengan suara keras ia memanggil namanya Nyo Ko. Mendengar dirinya disebut, Nyo Ko menjadi tertegun "Sedikitpun kau tidak ajarkan ilmu silat padaku, untuk apa kau panggil aku maju kedepan ?" Demikian ia pikir. Akan tetapi Thio Ci-keng sudah mengulangi teriakannya lagi. "Ko-ji, kau dengar tidak ? Hayo lekas maju !" Terpaksa Nyo Ko tampil ke muka, ia membungkuk badan memberi hormat sambil berkata . "Tecu Nyo Ko menghadap Suhu disini!" "Umurnya tidak seberapa tua dari pada kau, bolehlah kau bertanding dengan dia," Demikian Ci-keng menunjuk salah satu imam kecil yang menang dalam pertandingan tadi. "Tecu sama sekali tidak bisa silat, mana sanggup bertanding dengan Suheng ?" Sahut Nyo Ko. Thio Ci-keng menjadi marah. "Telah setengah tahun aku mengajar padamu, kenapa kau bilang tak bisa silat ? Lalu apa yang kau lakukan selama setengah tahun ini ?" Demikian ia mendamperat. Nyo Ko tak bisa menjawab dan menunduk. "Kau sendiri yang malas, tak mau giat belajar, dengan sendirinya kau ketinggalan jauh," Demikian kata Ci-keng pula. "Sekarang aku ingin tanya kau apa yang sudah kuajarkan dan kau harus menjawab." Habis ini berulang kali ia menyebut empat istilah yang pernah dia ajarkan pada Nyo Ko, dengan sendirinya semuanya dijawab Nyo Ko dengan tepat. "Nah, bagus, sedikitpun tidak salah, maka bolehlah kau pergunakan intisari keempat istilah itu untuk turun kalangan dan bergebrak dengan Suheng," Dengan tersenyum Ci-keng berkata. Kembali Nyo Ko tercengang. "Tecu tidak bisa," Jawabnya lagi. Dalam hati Thio Ci-keng menjadi senang melihat kelakuan Nyo Ko yang serba susah itu, tetapi wajahnya sebaliknya dia sengaja unjuk rasa gusar.. "Kau sudah apalkan istilah2 penting tadi tapi kau tidak berlatih, sekarang kau pakai alasan segala, hayo, lekas saja turun kalangan," Bentaknya pula. Para imam mendengar sendiri Nyo Ko mengapalkan istilah2 pelajaran di luar kepala tanpa sedikitpun yang salah, tapi kini tak berani maju ke tengah kalangan, maka diantaranya sama menyangka anak ini merasa jeri, diantaranya ada yang berhati baik lantas menganjurkan maju saja, sebaliknya banyak pula yang tak suka padanya lantas pada bergirang, bahkan diam2 mentertawai. Mendengar banyak suara yang mendesak dan menganjurkannya, sebaliknya banyak pula yang bersuara menyindir, akhirnya api amarahnya membakar segera Nyo Ko tekadkan hati, ia pikir biarlah aku adu jiwa saja hari ini. Karenanya segera dia melompat ke tengah kalangan, begitu berhadapan, tanpa bicara lagi dia ajun kedua tangannya, ke atas dan ke bawah, terus menghantam kalang-kabut mengarah kepala imam kecil tadi. Melihat datangnya Nyo Ko ketengah kalangan, pertama tidak menjalankan penghormatan seperti lazimnya, pula tidak menurut peraturan perguruan yang harus merendah diri minta petunjuk pada pihak lawan, diam2 imam kecil itu sudah merasa heran, apalagi kini melihat Nyo Ko menghantam dan menyerangnya dengan membabi-buta seperti orang gila, keruan ia terkejut, terpaksa dia main mundur terus-menerus. Di lain pihak Nyo Ko sudah tidak menghiraukan mati-hidup sendiri lagi, ia sudah nekat, mendadak ia menerjang maju. Kembali imam kecil itu dipaksa harus mundur beberapa tindak, tetapi segera ia lihat bagian bawah Nyo Ko tak terjaga, tanpa ayal lagi segera ia miring kesamping terus ajun sebelah kakinya, dengan gerak tipu "hong-sau-lok-yap" Atau angin santar menyapu daun rontok dengan cepat ia menyerampang kaki Nyo Ko. Karena tidak me-nyangka2, keruan Nyo Ko tak mampu berdiri tegak lagi, ia terpelanting jatuh hingga hidungnya bocor mengeluarkan kecap, mukanya pun babak-belur. Melihat jatuhnya Nyo Ko sangat mengenaskan dan lucu, tidak sedikit imam yang menonton itu mentertawainya. Akan tetapi Nyo Ko betul2 bandel, begitu ia merangkak bangun, tanpa mengusap dulu darah hidungnya yang mengucur, dengan kepala menunduk segera ia seruduk lagi si imam kecil tadi. Nampak datangnya orang cukup hebat, lekas2 imam kecil itu mengegos. Diluar dugaannya, tipu serangan Nyo Ko ini sama sekali tidak menurut aturan, tahu2 ia pentang kedua tangan terus merangkul karenanya kaki kiri lawannya kena dipegangnya. Namun imatn cilik itupun tidak lemah, segera ia angkat telapak tangan kanan terus meng-genjot pundak Nyo Ko, tipu ini disebut "Thian-sin-he-hoan" Atau malaikat langit turun ke bumi, ini adalah tipu serangan yang tepat untuk menghalau musuh bila bagian bawah sendiri terserang. Tetapi Nyo Ko sama sekali tak pernah belajar silat dalam pratek, baik di, Tho-hoa-to maupun di Cong-lam-san ini, maka tipu serangan apa yang dilontarkan pihak lawan sama sekali ia tidak kenal, keruan tidak ampun lantas terdengar suara "plak" Yang keras, pundaknya kena dihantam mentah2 hingga terasa sakit. Namun meski sudah berulang kali ia digebuk orang, bukannya Nyo Ko mundur teratur, sebaliknya makin kalah menjadi makin kalap, kembali ia gunakan kepalanya buat menyeruduk lagi, sekali imam cilik itu kena ditumbuk perutnya, hingga jatuh terjengkang, bahkan segera ditunggangi Nyo Ko di atas tubuhnya. Kesempatan ini telah digunakan Nyo Ko untuk ayun bogemnya dan menjotos kepala orang dengan gemas. Namun imam kecil itu tidak mandah dijotos, dalam kalahnya dia coba berusaha memperoleh kemenangan, mendadak ia pakai sikutnya untuk menyodok dada Nyo Ko, dan selagi Nyo Ko meringis kesakitan, segera ia meronta melepaskan diri terus melompat bangun, berbareng pula ia baliki tangannya untuk mendorong, karena Nyo Kotidak ber-jaga2, maka kembali ia kena dibanting jatuh dengan berat. "Syukur Nyo-sute suka mengalah," Demikian imam cilik itu berkata sambil membungkuk, Ini adalah adat-istiadat Coan-cin-kau apabila mengakhiri suatu pertandingan Menurut biasa, jika salah satu diantara saudara seperguruan itu sudah menang atau kalah, segera kedua pihak harus berhenti semua. Siapa tahu Nyo Ko ternyata tidak kenal aturan segala, seperti kerbau gila saja kembali ia menyeruduk dengan nekat, tetapi hanya dua-tiga kali gebrakan kembali dia mencium tanah pula, namun semangat tempur Nyo Ko yang tidak kenal menyerah ini harus dipuji makin dihajar, semakin berani pula, bahkan iapun geraki kaki tangannya semakin cepat buat melawan. "Nyo Ko, sudah terang kau kalah, masih hendak bertanding apa lagi ?" Demikian Ci-keng berteriak padanya. Tetapi mana Nyo Ko mau gubris, ia masih terus menendang, menyepak, tangannya juga memukul dan menggebuk serabutan, sedikitpun dia pantang mundur. Semula para imam sama merasa geli juga oleh kelakuan bocah ini, dalam hati mereka berpikir . "Dalam ilmu silat Coan-cin-kau mana ada cara main seruduk seperti ini ?" Tetapi kemudian sesudah menyaksikan Nyo Ko makin kalap, mereka menjadi kuatir akan terjadi bencana, maka be-ramai2 mereka lantas berseru. "Sudahlah, sudahlah, sesama saudara seperguruan jangan jadi sungguhan !" Namun Nyo Ko masih tidak mau berhenti Setelah berlangsung lagi beberapa saat, akhirnya imam cilik itu menjadi keder sendiri, sekarang dia hanya main berkelit dan menghindar saja dan tak berani berdekatan dengan Nyo Ko lagi Kata pribahasa. "seorang adu jiwa, seribu orang tak bisa melawan. Begitu juga dengan keadaan Nyo Ko yang sedang mengamuk Apalagi selama setengah tahun ini ia telah kenyang segala hinaan di atas Cong-lam-san, kini ia justru hendak melampiaskan semua sakit hatinya itu, sedang soal mati-hidup dirinya sendiri sudah tak terpikir olehnya. Karena itulah, sungguhpun ilmu silat imam cilik itu jauh menang, namun dia tak memiliki semangat bertempur seperti Nyo Ko, sehingga akhirnya ia menjadi pecah nyali ia tak berani layani Nyo Ko lagi melainkan terus berlari mengitari kalangan dan diuber oleh Nyo Ko dari belakang. "lmam busuk, imam maling, enak saja kau pukul orang, sesudah gebuki aku sekarang kau hendak lari ?" Demikian dari belakang Nyo Ko terus mencaci-maki. Tentu saja caci-makinya, yang tidak pandang bulu ini menyinggung pula orang Iain, sebab sembilan dari sepuluh orang yang menonton disamping itu justru adalah Tosu atau imam, kini Nyo Ko mencaci-maki semaunya, mereka menjadi dongkol dan geli "Bocah ini betul2 harus dihajar !" Demikian mereka membatin. Dalam pada itu Nyo Ko masih terus mengudak imam kecil tadi Mungkin saking gugupnya karena diuber terus, akhirnya imam cilik itu berteriak minta toIong. "Suhu, Suhu !" Demikian ia menggembor dengan takut. Thio Ci-keng lantas bersuara, ia mem-bentak2 agar Nyo Ko berhenti, Tak tahunya, sedikitpun Nyo Ko tidak menggubrisnya, ia masih kejar imam cilik itu dengan nekat. Tugas Rahasia Karya Gan KH Bara Naga Karya Yin Yong Rahasia Si Badju Perak Karya GKH