Pendekar Pemanah Rajawali 11
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 11
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Kata Siauw Eng yang selalu ingat Thio A Seng. "Sejak dahulu kala ada dibilang, permusuhan harus dilenyapkan, tetapi jangan diperhebat," Ma Giok bilang. "Tuan-tuan telah binasakan suaminya, bukankah berarti sakit hati itu telah terbalas? Dia sebatang kara, dia pun buta matanya, dia harus dikasihani." Liok Koay berdiam. "Dia melatih diri secara demikian hebat, setiap tahun ia telah bunuh berapa banyak orang yang tidak bersalah dosa," Kata Po Kie kemudian. "Maka itu totiang, dapatkah kau membiarkannya saja?" "Laginya sekarang ini dia yang mencari kami, bukan kami yang emncari dia," CU Cong berkata pula. "Taruh sekarang kita menyingkir dari dia," Coan Kim Hoat menyambungi. "Kalau benar dia hendak menuntut balas, untuk selanjutnya tak dapat kita tidak berjaga-jaga. Inilah sulit!" "Untuk itu pinto telah dapat pikir suatu jalan untuk menghindarkannya," Berkata Ma Giok. "Jalan ini ada sempurna, asal tuan-.tuan suka berlaku murah dan suka mengasihani dia untul membuka satu jalan baru untuknya." Cu Cong semua berdiam, mereka awasi kakak mereka, untuk dengar putusan si kakak. "Kami Kanglam Cit Koay biasa sembrono, kami Cuma gemar berkelahi," Kata Tin Ok emudian. "Kalau totiang sudi menunjuki suatu jalan terang, kami pasti akan bersyukur. Silahkan totiang bicara." Tin Ok mengerti, imam ini bukan melulu memintakan ampun untuk Bwee Tiauw Hong, hanya orang lagi melindungi juga mereka sendiri. Selama sepuluh tahun ini, entah bagaimana kemajuannya si Mayat Besi. Suara kakaknya ini membikin heran saudara-saudaranya yang lain. "Kwa tayhiap berhati mulia, Thian tentu akan memberkahi," Kata Ma Giok seraya mengangguk. "Satu hal hendak pinto memberitahukannya. Turut pikiranku, selama sepuluh tahun ini, mungkin sekali Bwee Tiauw Hong telah dapat pengajaran baru dari Oey Yok Su. Cu Cong semua terkejut. "Hek Hong Siang Sat adalah murid-murid murtad dari Oey Yok Yu, cara bagaimana dia dapat ajarakan pula ilmu?" Ia tanya. "Itulah memang benar," Berkata Ma Giok. "Hanya setelah mendengar Kwa tayhiap berusan perihal pertempuran pada belasan tahun yang sudah lalu itu, pinto dapat menyatakan kepandaiannya Bwee Tiauw Hong telah maju pesat seklai, tanpa dapat penunjuk dari guru yang lihay, dengan belajar sendiri, tidak nanti ia dapat peroleh itu. Umpama kata sekarang kita dapat singkirkan Bwee Tiauw Hong, kemudian Oey Yok Su mendapat tahu, bagaimana nanti?" Tin Ok semua berdiam. Mereka pernah mendengar perihal kepandaian Oey Yok Su itu, mereka masih kurang percaya sepenuhnya. Mereka mau menyangka orang bicara secara dilebih-lebihkan. tapi aneh kenapa Ma Giok ini nampaknya jeri kepada pemilik pulau Tho Hoa To itu? "Totiang benar," Cu Cong berkata kemudian. "Silakan totiang beri petunjuk kepada kami." "Pinto harap tuan-tuan tidak menertawainya," Ma Giok minta. "Harap totiang tidak terlalu merendah," Kata Cu Cong. "Ada siapakah yang tidak menghormati Cit Cu?" Dengan "Cit Cu" Dimaksudkan tujuh persaudaraan Tiang Cun Cu. "Bersyukur kepada guru kami, memang Cit Cu ini ada juga nama kosongnya di dalam dunia kangouw," Kata Ma Giok. "Pinto percaya, terhadap kami dari Coan Cin Kauw, mungkin Bwee Tiauw Hong tidak berani lancang turun tangan. Karena ini juga, pinto hendak menggunai suatu akal untuk membikin ia kabur" Lantas imam itu tuturkan tipunya. Sebenarnya Tin Ok tidak sudi mengalah, tetapi untuk membari muka kepada Ma Giok, terpaksa mereka menurut. Maka itu, habis bersantap, mereka sama-sama mandaki jurang. Ma Giok dan Kwee Ceng yang jalan di muka, Tin Ok berenam jalan di belakang Kwee Ceng, murid mereka itu. Mereka dapat lihat cara naiknya ma Giok. Mereka percaya, imam ini tidak ada di sebawahannya Khu Cie Kee, Cuma tabiatnya itu dua saudara seperguruan saja yang berbeda. Setibanya Ma Giok dan Kwee Ceng di atas, mereka lantas kasih turun dadung mereka, guna bnatu menggerek naik kepada Kanglam Liok Koay. Sesempai di atas, enam saudara itu segera dapat lihat tumpukan tengokraknya Bwee Tiauw Hong. Sekarang ini baharu mereka percaya habis imam itu. Lantas semua orang duduk bersamedhi, sambil beristirahat, mereka menantikan sang sore. Dengan lewatnya sang waktu, cuaca mulai menjadi guram, lalu perlahan-lahan menjadi gelap. Masih mereka menantikan, hingga tibanya tengah malam. "Eh, mengapa dia masih belum datang?" Tanya Po Kie, mulai habis sabarnya. "St! Dia datang!" Kata Tin Ok. Semua orang berdiam, hati mereka berdenyut. Kesunyian telah memerintah di atas jurang itu. Sebenarnya Tiauw Hong masih jauh tetapi kuping lihay dari Tin Ok sudah mendengarnya. Sungguh gesit si Mayat Besi ini. Dia muncul dalam rupa seperti segumpal asap hitam. Dia terlihat nyata di bawah sinar rembulan. Setibanya di kaki jurang, ia lantas mulai mendaki. Ia seperti tidak menggunai kakinya, Cuma kedua tangannya. Dia seperti naik di tangga saja. Cu Cong semua yang mengawasi, mejadi kagum. Kapan Cu Cong berpaling pada Coan kim Hoat dan Han Siauw Eng, dia tampak wajah orang tegang. Ia percaya, wajahnya sendiri tentu begitu juga. Segera juga Tiauw Hong tiba di atas. Di bebokongnya ia menggendol satu orang, yang lemas, entah mayat atau orang hidup. Kwee Ceng terkejut kapan ia sudah lihat pakaian orang itu, yang adalah dari kulit burung tiauw yang putih. Itulah Gochin Baki, putrinya Temuchin, kawan kesayangannya. Tak dapat dicegah lagi, mulutnya bergerak, suaranya terdengar. tapi disaat itu juga, Cu Cong bekap mulutnya, seraya guru yang kedua ini berkata terus. "Kalau Bwee Tiauw Hong, si wanita siluman itu terjatuh ke dalam tanganku, - aku Khu Cie Kee pasti aku tidak akan mau sudah saja!" Tiauw Hong dengar seruan kaget dan suaranya Kwee Ceng itu, ia heran, sekarang ia dengar suara orang bicara dan menyebut-nyebut Khu Cie Kee dan namanya juga, ia menjadi terlebih kaget. Ia lantas saja bersembunyi di samping batu untuk memasang telinga. Ma Giok semua telah dapat lihat tingkah laku si Mayat Besi ini, di dalam hati mereka tertawa. Cuma Kwee Ceng yang hatinya goncang, karena ia pikirkan keselamatannya Gochin. "Bwee Tiauw Hong atur tulang-tulangnya di sini, sebentar dia bakal datang," Berkata Han Po Kie. "Kita baik tunggui saja padanya." Tiauw Hong sembunyi tanpa berani berkutik. Ia tidak tahu ada berapa orang lihay yang bersembunyi di situ. "Dia memang banyak kejahatannya," Ia dengar suaranya Han Siauw Eng. "Tapi karena Coan Cit Kauw mengutamakan wales asih, baiklah ia diberi jalan baru." Cu Cong tertawa. "Ceng Ceng San-jin sangat murah hati, pantas suhu pernah bilang kau gampang untuk mencapai kesempurnaan!" Katanya. Siauw Eng bicara sebagai juga ia adalah Ceng Ceng San-jin. Kauwcu Ong Tiong Yang ada punya tujuh murid yang mendapat nama baik, tentang mereka itu, tidak seorang juga kaum kangouw yang tidak mengetahuinya. Murid kepala, si toa-suheng, ialah Tan-yang-cu Ma Giok. Yang kedua adalah Tiang-cin-cu Tam Cie Toan, yang ketiga Tiang-sen-cu Lauw Cie Hian. Yang keempat ialah Tang Cun Cu Khu Cie Kee, yang kelima Giok-yang-cu Ong Cie It. Yang keenam Kong-leng-cu Cek Tay Thong. Dan yang terakhir adalah Ceng Ceng San-jin Sun Put Jie, istrinya Ma Giok pada sebelum Ma Giok sucikan diri. "Tam Suko, bagaimana pikiranmu?" Tanya Siauw Eng. Ia tanya Hie Jin, yang disini menyamar sebagai Tam Cie Toan. "Dia berdosa tak terampunkan!" Sahut Hie Jin sebagai Cie Toan. "Tam Suko," Berkata Cu Cong. "Selama ini telah maju pesat sekali kau punya ilmu Cie-pit-kang, kalau sebentar si siluman perempuan datang, silahkan kau yang turun tangan, supaya kami yang menjadi saudara-saudaramu dapat membuka mata kami. Kau akur?" Hie in sengaja menyahut. "Lebih baik minta Ong Sutee yang gunai kaki besinya untuk dupak dia, untuk antarkan dia pergi ke sorga di Barat" Dalam Coan Cin Cit Cu, Khu Cie Kee yang namanya paling tersohor, yang kedua adalah Ong Cie It, yang mendapat julukan Thie Kak Sian si Dewa Kaki Besi, karena lihaynya tendangannya dan pernah ia bertaruh mendaki jurang yang tinggi hingga ia dapat menakluki beberapa puluh orang gagah di Utara. Sembilan tahun ia mengeram di dalam gua, untuk menyakinkan kekuatan kakinya itu. Cie Kee sendiri puji padanya. Demikian mereka ini berbicara, seperti sandiwara. Cuma Tin Ok yang bungkam, karena ia khawatir suaranya dikenali Bwee Tiauw Hong. Pembicaraan itu membikin gentar hatinya si Mayat Besi, hingga ia berpikir. "Coan Cin Cit Cu telah berkumpul semua, kepandaian mereka juga maju pesat, kalau aku terlihat mereka, mana bisa aku hidup lebih lama?" Cu Cong berkata pula. "Malam ini gelap sekali sampai lima jeriji tangan sukar terlihat, kalau sebentar kita turun tangan, baik semua berlaku hati-hati. Kita mesti mencegah si siluman perempuan itu dapat meloloskan diri!" Girang Tiauw Hong mendengar itu. "Syukur langit gelap," Katanya dalam hati. "Kalau tidak, dengan mata mereka yang lihay, mereka tentulah telah dapat lihat aku. Berterima kasih kepada Langit dan Bumi yang sang rembulan tidak muncul!" Kwee ceng sendiri mengawasi Gochin, perlahan- lahan si nona membuka matanya. Ia menjadi lega hatinya. itu tandanya si nona tidak dalam bahaya jiwa. ia lantas menggoyangi tangan, untuk mencegah si nona itu berbicara. Si nona tapinya tidak mengerti. "Engko Ceng lekas tolongi aku!" Ia berteriak. Kwee Ceng menjadi sangat bingung. "Jangan bicara!" Katanya. Tapi dia toh bicara dengan suara keras! Kagetnya Tiauw Hong tidak kalah dengan kagetnya si anak muda. Segera ia totok urat gagu si tuan putri itu. Ia lalu menjadi heran dan curiga. "Cie Peng, apakah kau yang barusan berbicara?" Tanya Coan Kim kepada muridnya, yang disamarkan sebagai In Cie Peng. Kwee Ceng tahu peranannya. "Barusan teecu seperti dengar suara wanita," Ia menyahut. Tiba-tiba Tiauw Hong ingat apa-apa. "Coan Cin Cit Cu ada disini semua? Benarkah ada begini kebetulan? Bukankah orang lagi menghina aku karena aku buta dan sengaja mereka mengatur sandiwara?" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia mulai geraki tubuhnya. Ma Giok kasih lihat gerakan si Mayat Besi itu, mengertilah ia bahwa orang mungkin mulai curiga. Ia menjadi berkhawatir. Kalau terjadi pertempuran, pihaknya tak usah takut, Cuma dikhawatirkan keselamatan Kwee Ceng dan Gochin. Dipihak Liok Koay juga mungkin bakal ada yang bercelaka. Cu Cong mengawasi gerak-geriknya Bwee Tiauw Hong, ia lihat bahaya mengancam, segera ia berkata dengan nyaring. "Toa suko, bagaimana dengan penyakinan pelajaran yang suhu ajarakan beberapa tahun ini, yaitu Kim-kwan Giok-cauw ie-sie Koat? Pastilah kau telah peroleh kemajuan. Coba kau pertunjuki untuk kami lihat." Ma Giok tahu Cu Cong ingin dia perlihatkan kepandaiannya guna menakluki Bwe Tiauw Hong, ia lantas menjawab. "Sebenarnya walaupun aku menjadi saudara yang tertua, lantaran aku bebal, tak dapat aku lawan kau, saudara-saudaraku. Apa yang aku dapati dari guru kita, dalam sepuluh tahun tidak ada dua. Imam ini bicara secara merendah akan tetapi ia telah gunai tenaga dalamnya, maka itu suaranya nyaring luar biasa, terdengar tedas sampai jauh, berkumandang di dalam lembah. Bwee Tiauw Hong mengkerat mendengar suara orang itu. Perlahan-lahan ia kembali ke tempat sembunyinya. Ma Giok llihat kelakuan orang, ia berkata pula. "Kabarnya Bwee Tiauw Hong telah buta kedua matanya, kalau benar, ia harus dikasihani juga, umpama kata ia menyesal dan suka mengubah kesalahannya yang dulu-dulu dan tidak tidak lagi mencelakai orang-orang yang tidak bersalah dosa serta tidak akan mengganggu pula kepada Kanglam Liok Koay, baiklah kita beri ampun kepadanya. Khu Sutee, kau bersahabat serat dengan Kanglam Liok Koay, pergi kau menemui mereka itu, untuk mohon mereka jangan membuat perhitungan pula dengan dia. Aku pikir, kedua pihak baiklah menyudahi urusan mereka." "Itulah perkara gampang," Sahut Cu Cong. "Penyelesaiannya berada di pihak Bwee Tiauw Hong sendiri, asal dia suka mengubah perbuatannya." Tiba-tiba terdengar suara dingin dari belakang batu. "Terima kasih untuk kebaikannya Coan Cin Cit Cu! Aku, Bwee Tiauw Hong ada di sini!" Semua orang terperanjat sangking herannya. Mereka duga Tiauw Hong jeri dan bakal menyingkirkan diri secara diam-diam, tidak tahunya dia benar bernyali besar, dia malah menghampiri mereka. Tiauw Hong berkata pula. "Aku adalah seorang wanita, tidak berani aku memohon pengajaran dari totiang beramai, tetapi telah lama aku dengar ilmu silatnya Ceng Ceng San-jin, ingin aku memohon pengajaran daripadanya" Habis berkata, ia berdiri, siap sedia dengan cambuknya yang panjang itu. Kwee Ceng lihat Gochin rebah di tanah, tubuhnya diam saja, ia berkhawatir. Memang persahabatannya erat sekali dengan itu putri serta Tuli. Maka sekarang, tanpa pedulikan lihaynya Bwee Tiauw Hong, ia lompat kepada kawannya itu, untuk mengasih bangun padanya. Tahu-tahu tangan kirinya si Mayat Besi sudah lantas menyambar dan mencekal tangan kirinya. Tentu sekali, tidak dapat ia berdiam saja. Di satu pihak ia lemparkan tubuh Gochin kepada Siauw Eng, dilain pihak ia geraki tangan kirinya itu, untuk berkelit. Ia dapat lolos. Tapi Tiauw Hong benar-benar lihay, ia menyambar pula, kali ini ia memegang nadi orang, maka anak muda itu menjadi mati daya. "Siapa kau?" Tanya si buta. Cu Cong memberi tanda dengan tangan kepada muridnya itu, atas mana Kwee Ceng segera memberikan penyahutan. "Teecu adalah In Cie Peng, murid dari Tiang Cun Cin-jin." Tiauw Hong segera berpikir. "Muridnya begini muda tetapi tenaga dalamnya sudah bagus sekali, ia dapat meloloskan diri dari tanganku. Baiklah aku menyingkir dari mereka" Dengan perdengarkan suara. "Hm!" Ia lepaskan cekalannya. Kwee Ceng lantas lari menjauhkan diri, apabila ia lihat tangannya, di situ ada petahan lima jari tangan, dagingnya melesak ke dalam. Coba si Mayat Besi tidak jeri, mungkin tangannya itu sudah tidak dapat ditolong lagi. Oleh karena ini, Tiauw Hong pun tidak berani mengulangi tantangannya untuk mencoba menempur Sun Put Jie. Tapi ia ingat suatu apa, maka ia tanya Ma Giok. "Ma totiang, timah dan air perak disimpan denagn hati-hati, apakah artinya itu?" Ma Giok menyahuti. "Timah itu sifatnya berat, diumpamakan dengan rasa hati. Itu artinya, rasa hati harus dikendali, dengan berdiam, peryakinan berhasil." Tiauw Hong tanya pula. "Nona muda dan anak muda, apakah artinya itu?" Pertanyaan itu membuat Ma Giok terkejut. Itu bukanlah pertanyaan biasa. Kata-kata itu ialah istilah dalam kalangan agama To Kauw. Maka ia lantas membentak. "Silumanm, kau hendak mendapatkan pelajaran sejati? Lekas pergi!" Tiauw Hong tertawa lebar. "Terima kasih atas petunjukmu, totiang!" Katanya. Terus ia berlompat, cambuknya digeraki melilit batu, apabila ia menarik dan tubuhnya mencelat, ia lompat ke arah jurang, gerakannya sangat enteng dan pesat, hingga orang semua kagum. Di lain pihak, orang berlega hati melihat perginya wanita bagaikan siluman itu. Ma Giok segera totok sadar kepada Gochin yang diletaki di atas batu untuk beristirahat. "Sepuluh tahun ia tak tertampak, tidak disangka si Mayat Besi telah jadi begini lihay," Berkata Cu Cong. "Coba tidak totiang membantu kami, sudah tentu kami sukar lolos dari nasib celaka." "Jangan mengucap begitu," Berkata Ma Giok, yang keningnya berkerut, suatu tanda bahwa ia ada mendukakan apa-apa. "Totiang, apabila kau memerlukan sesuatu, walupun kami tidak punya guna, kami bersedia untuk menerima titah-titahmu," Cu Cong tawarkan diri. Ia lihat imam itu berduka. "Harap totiang jangan segan-segan menitah kami." "Oleh karena kurang pikir, sejenak barusan pinto telah kena tertipu wanita yang sangat licin itu," Berkata imam itu setelah menghela napas panjang. Cu Cong semua terkejut. "Adakah totiang dilukai senjata rahasia?" Mereka tanya. "Itulah bukan," Sahut imam itu. "Hanya tadi ketika ia menanya padaku, tanpa berpikir lagi, pinto telah jawab dia. Pinto khawatir jawaban itu nanti menjadi bahaya di belakang hari" Cu Cong semua mengawasi, mereka tidak mengerti. "Ilmunya si Mayat Besi ini, yaitu yang disebut Gwa-mui atau ilmu luar, telah berada di atasan pinto dan saudara-saudara," Sahut si imam kemudian. "Umpama kata Khu Sutee dan Ong Sutee berada di sini, masih belum tentu kita dapat menangkan dia. Hanya dalam Iweekang, atau ilmu dalam, dia belum menemui jalannya yang benar. Setahu darimana, dia rupanya telah dapat cari jalan itu, hanya karena tidak ada orang yang tunjuki, dia belum berhasil menyakinkannya. Tadi ia menanyakan jalan itu kepada pinto. Mestinya itu adalah jalan yang ia belum dapat tangkap artinya. Benar pinto telah baharu menjawab sekali, akan tetapi itu satu juga bisa membantu banyak padanya untuk ia peroleh kemajuan" "Harap saja ia insyaf dan tidak nanti melakukan pula kejahatan," Kata Siauw Eng separuh menghibur. "Harap saja begitu. Kalau dia tambah lihay dan tetap ia berbuat jahat, dia jadi terlebih sukar untuk ditakluki. Ah, dasar aku yang semberono, aku tidak bercuriga.!" Selagi Ma Giok mengatakan demikian, Gochin perdengarkan suara, lalu ia sadar. Terus ia angkat tubuhnya, untuk berduduk di atas batu. Ia rupanya sadar seluruhnya, karena ia lantas berkata kepada Kwee Ceng. "Engko Ceng, ayahku tidak percaya keteranganku, ayah sudah ajak orang pergi kepada Wang Khan" Kwee Ceng kaget. "Kenapa Khan tidak percaya kepada kau?" Ia tanya. "Tempo aku beritahukan bahwa kedua paman Sangum dan Jamukha hendak membikin ayah celaka, ayah tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang, lantaran aku tidak sudi menikah denagn Tusaga, aku jadi hendak memperdayainya. Aku telah jelaskan bahwa hal itu kau dengar dengan kupingmu sendiri, ayah malah jadi semakin tidak percaya. Ayah bilang, sepulangnya nanti, ia hendak hukum padamu. Ayah pergi dengan mengajak ketiga kakakku serta belasan pengiring. Karena itu aku segera berangkat untuk cari kau, tetapi di tengah jalan aku dibekuk perempuan buta itu. Adakah dia yang membawa aku menemui kamu?" Putri ini tak sadar akan bahaya yang mengancam padanya tadinya, maka itu Cu Cong dan yang lainnya kata dalam hati mereka. "Coba tidak ada kita disini, tentulah batok kepalamu sudah berlobang lima jari tanga" "Sudah berapa lama Khan pergi?" Tanya Kwee Ceng yang hatinya cemas. "Sudah sekian lama," Sahut Gochin. "Mereka menunggang kuda pilihan. Tidak lama lagi tentulah mereka akan sudah sampai di tempatnya Wang Khan. Engko Ceng, Sangum dan Jamukha bakal celakai ayahku itu, bagaimana sekarang?" Lantas saja ia menangis. Kwee Ceng menjadi bingung. Inilah yang pertama kali ia menghadapi soal sulit itu. "Anak Ceng lekas kau pergi!" Berkata Cu Cong. "Kau pakai kuda merahmu itu untuk susul Khan yang agung! Umpama kata ia tidak mempercayaimu, dia harus mengirim orang untuk mencari keterangan terlebih dahulu. Dan kau, tuan putri, lekas kau pergi kepada kakakmu Tuli, untuk minta ia lekas siapkan tentara guna segera pergi menyusul dan menolongi ayahmu!" Kwee Ceng menginsyafi keadaan, tanpa ayal lagi, ia mendahului turun dari atas jurang, sedang Ma Giok denagn mengikat tubuh Gochin, telah turunkan tuan putri itu. Setibanya di lembah. Kwee Ceng kabur ke kemah di mana ia ambil kudanya, untuk menaikinya, guna dikasih lari sekeras-kerasnya. Ia khawatir Temuchin keburu sampai di tempat Wang Khan dan itu artinya bahaya untuk Khan yang maha agung itu. Di lain pihak ia menjadi girang sekali, ia puas benar dengan kudanya yang larinya sangat pesat, apapula di tanah rata. Pernah ia mencoba menahan, untuk berjalan perlahan-lahan, ia khawatir hewan itu terlalu letih, tetapi si kuda tidak mau berhenti, terus ia lari, nampaknya ia tidak takut capek. Selang dua jam, baru kuda itu mau juga diistirahatkan sebentar, habis mana, ia kabur pula. Sesudah lari lagi satu jam, tibalah Kwee Ceng di tempat datar dimana kedapatan tiga baris tentera yang jumlahnya mungkin tiga ribu jiwa. Dari benderanya ketahuan, itulah pasukan Wang Khan, yang siap sedia denagn panah dan golok terhunus. Di dalam hati Kwee Ceng mengeluh. Terang Temuchin telah lewat di situ, dan itu berarti, jalan pulang dari Khan agung itu telah terpegat. Karena ini, ia keprak kudanya untuk dikasih lari lewat di sini tentara itu. Ketika si opsir dapat ketahui dan berseru, untuk mencegah, ia sudah lewat jauh! Di tengah jalan Kwee Ceng tidak berani berlambat, malah tiga jagaan telah ia lewatkan terus. Maka itu kemudian ia sudah mulai dapat melihat bendera yang besar dari Temuchin. Setelah ia mendatangi lebih dekat, ia tampak rombongan dari belasan orang yang tengah maju terus, ia keprak kudanya, untuk tiba di samping khan itu. "Kha Khan, lekas kembali!" Ia berteriak. "Jangan pergi lebih jauh!" Temuchin heran, ia tahan kudanya. "Ada apa?" Ia menanya. "Ada bahaya," Sahut Kwee Ceng, yang terus tuturkan persekutuannya Wanyen Lieh. Ia pun beritahukan perihal tentera pencegat di belakang mereka. Dengan roman bersangsi, Temuchin awasi bocah tanggung ini. Ia pun berpikir. "Memang Sangum tidak akur dengan aku, tetapi ayah angkatku, Wang Khan, tengah mengandali tenagaku. Saudaraku Jamukha ada sangat baik denganku, kita sehidup semati, apa mungkin nia hendak mencelaki aku?" Kwee Ceng tahu khan itu bersangsi, ia kata pula. "Kha Khan, cobalah kirim orang untuk periksa benar atau tidak ada tentara pencegat jalan!" Biar bagaimana, Temuchin adalah seorang yang teliti. Ia pun berpendirian. "Lebih baik terpedaya satu kali tetapi jangan mati konyol!" Maka ia terus berpaling pada Ogotai, putranya yang kedua itu dan Chilaun, panglimanya, untuk mengatakan. "Lekas kamu pergi menyelediki!" Dua orang itu sudah lantas lari balik. Temuchin memandang ke sekelilingnya. "Naik ke bukit itu!" Ia kasih perintah. "Siap sedia!" Dalam keadaan seperti itu, khan ini tidak jeri. Ia pun ada bersama orang-orangnya ynag gagah, malah mereka ini tahu tugasnya, begitu naik ke atas bukit, mereka lantas menggali lobang dan memindahkan batu, buat berjaga-jaga diiri dari serangan anak panah. Tak lama dari selatan terlihat debu mengepul naik, disusul sama munculnya satu pasukan tentara terdiri dari beberapa ribu jiwa. Dipaling depan pasukan itu terlihat Ogotai dan Chilaun lari kabur mendatangi. Jebe ada sangat awas, ia tampak tentara itu tengah mengejar. "Benar-benar pasukannya Wang Khan!" Ia berseru. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Segera terlihat pula, pasukan pengejar itu memecah diri dalam diri dalam jumlah ratusan jiwa, mereka ambil sikap mengurung, guna memegat Ogotai dan Chilaun, siapa sudah lari terus, tubuhnya mendekam di punggung kuda, cambuknya dipecut berulang-ulang. "Anak Ceng, mari kita sambut mereka!" Jebe berteriak. Dan ia keprak kudanya, diturut oleh muridnya. Hebat lari kudanya kwee Ceng, mendahulukan gurunya, ia tiba lebih dahulu kepada Ogotai dan Chilaun, terus ia gunai panahnya, kapan tiga anak panahnya melesat, tiga pengejar terdepan rubuh dari kuda mereka. Cepat luar biasa, ia menyusuli dengan anak panahnya yang keempat. Jebe lebih lihay daripada muridnya ini, ia turut memanah, dengan berulang-ulang, maka denagn berulang-ulang sejumlah serdadu musuh rubuh terguling. Akan tetapi musuh berjumlah besar, mereka maju bagaikan gelombang! Ogotai dan Chilaun telah tahan kuda mereka dan berbalik, mereka sekarang turut menyerang denagn panah mereka, sembari menyerang mereka mundur ke bukit dimana Temuchin menanti. Di sini khan itu bersama Borchu, Juji dan lainnya, sudah lantas memanah juga. Panah mereka tidak pernah gagal, denagn begitu pihak pengejar dapat tertahan majunya. Temuchin naik ke tempat yang lebih tinggi, akan memandang jauh ke empat penjuru. Ia telah menyaksikan tentaranya Wang Khan tengah mendatangi di empat jurusan itu. Kemudian pada sebuah pasukan ia tampak seorang yang menunggang seekor kuda yang besar, yang ditawungi bendera kuning yang besar juga. Orang itu ialah Sangum, putranya Wang Khan. Ia lantas saja berpikir. Ia anggap ia mesti menang tempo, dengan memperlambat segala apa. Sendirian saja, sukar buat ia menoblos kurungan, Tuli sendiri belum tentu tepat datangnya, karena ada kemungkinan tentaranya tak mau dengar putra yang masih muda itu. "Adik Sangum, aku minta sukalah kau datang ke mari untuk bicara!" Ia lanats teriaki itu saudara angkat. Dengan diiringi pasukan pengawalnya, Sangum mendekati bukit. Beberapa puluh tentara lain pun melindungi dia dengan mereka, siap sedia tameng besi mereka guna menangkis panah gelap. Ia berlaku jumawa. Ketika ia buka mulutnya, ia pun nyata sekali kepuasannya. "Temuchin, lekas menyerah!" Demikian ia berteriak. Temuchin tidak menyahuti, ia hanya menanya. "Apakah salahku terhadap ayahku Wang Khan, maka kau bawa pasukanmu untuk menyerang aku?" Sangum pun menjawab dengan pertanyaannya. "Adakah sejak jaman dahulu kala bangsa Mongol tinggal pada masing-masing sukunya, ternaknya kambing dan kerbau adalah kepunyaan beramai satu suku, tetapi kau kenapa, kau langgar aturan leluhur kita? Kenapa kau hendak persatukan semua suku?" "Bangsa Mongolia telah diperhina oleh negara Kim, negara itu menghendaki kita setiap tahun membayar upeti beberapa laksa ekor kerbau, kambing dan kuda, adakah itu selayaknya?" Temuchin balik tanya. "Asal saja kuta bangsa Mongolia tidak saling menyerang, kenapa kita mesti takuti bangsa Kim itu?" Kata-kata ini tajam, kapan orang-orangnya Sangum mendengarnya, hati mereka goncang. Mereka setujui perkataan itu. Temuchin lanjtui perkataannya. "Bangsa Mongolia bangsa orang-orang peperangan yang pandai, kenapakah kita tidak hendak pergi mengambil emas dan perak dan permatanya bangsa Kim itu? Kenapa kita mesti tiap tahun membayar upeti terhadap mereka? Kita bangsa Mongolia ada diantaranya yang rajin memelihara kerbau dan kambing, ada juga yang malas dan cuma doyan gegares! Kenapa mereka yang rajin mengasih makan mereka yang malas itu? Kenapa kita tidak hendak memberikan lebih banyak kerbau dan kambing kepada yang rajin? Kenapa kita tidak mau membiarkan si malas itu mati kelaparan?" Dijaman dahulu bangsa Mongolia hidup dalam suatu keluarga atau suku, ternaknya adalah kepunyaan suku bersama, kemudian karena tenaga pertumbuhan mereka bertambah dan adanya pemakaian alat-alat dari besi, perlahan-lahan sifat itu berubah, ialah kebanyakan bangsa penggembala itu memakai cara memiliki sendiri-sendiri. Temuchin sengaja singgung sifat itu, ia membuatnya tentaranya Sangum menyetujuinya, diam-diam mereka itu pada mengangguk. Sangum mengerti orang lagi menghasut tentaranya. "Jikalau kau tidak mau menyerah!" Ia membentak. "Asal aku menuding dengan cambukku ini, berlaksanaan anak panah bakal dilepaskan terhadap dirimu! Jikalau itu sampai terjadi, jangan kau memikir untuk hidup lebih lama pula!" Kwee Ceng menjadi cemas sekali. Keadaan ada sangat mendesak dan sulit. Bagaimana bahaya dapat dihindarkan? Selagi ia berpikir, ia lihat satu penunggang kuda di kaki bukit itu. Penunggang kuda itu dandan sebagai satu panglima perang, di sebelahnya baju lapis, ia mengenakan juga mantel bulu kulit binatang tiauw yang mahal. Di tangannya panglima itu ada sebatang golok besar. Dengan aksi ia larikan kudanya mondar-mandir. Kwee Ceng kenali panglima yang masih muda itu, Tusaga adanya, putra Sangum, dengan siapa ia pernah berkelahi waktu kecil. Ia lantas ingat suatu apa, maka ia jepit kudanya, ia kasih lari turun gunung, untuk menghampiri pemuda itu. Celaka untuk Tusaga, begitu kena di cekal, ia mati kutu, tidak dapat ia berontak, maka tempo Kwee Ceng menarik, tubuhnya kena diangkat dari kudanya. Selagi Kwee ceng hendak geser pemuda itu, ia dengar suara anginnya senjata mengaung di arah belakangnya. ia berpaling lekas, sambil berpaling, tangan kirinya menangkis. Tepat tangkisan itu, sepasang tombak kena dibikin terpental ke udara. Segera ia bentur perut kudanya denagn dengkulnya yang kanan. Kuda itu pun lantas mengerti, ia lantas lari ke arah bukit untuk mendaki. Dia dapat lari tak kalah pesatnya seperti waktu turun tadi. "Lepas panah!" Orang-orangnya Sangum berteriak. Kwee Ceng tidak takut, ia pegang tubuhnya Tusaga, untuk dipakai menjadi tameng. Menampak itu, tidak ada satu serdadu pun yang berani memanah, mereka khawatir nanti kena memanah pemimpin mereka yang muda itu. Dengan tidak kurang suatu apa pun Kwee Ceng tiba di samping Temuchin. Ia lempar tubuh Tusaga ke tanah, ke dekatnya khan yang agung itu. Bukan main girangnya Temuchin. Ia segera menuding dada Tusaga dengan ujung tombaknya sembari berbuat begitu, ia teriaki Sangum. "Lekas kau suruh semua orangmu mundur seratus tombak!" Bab 14. Ujian Yang Pertama Sangum murka berbareng bingung. Ia kaget dan tidak menyangka putranya dapat ditawan musuh selagi putra itu berada dalam lindungan tentaranya yang berjumlah besar itu. ia tidak bisa berbuat lain daripada keluarkan titahnya untuk pasukannya itu mundur seratus tombak. Mereka Cuma mundur, tapi pengurungan tidak dibubarkan, malah kereta besar dikitarkan diseputar bukit itu, dalam tujuh dan delapan lapis! Temuchin puji Kwee Ceng, yang diperintah gunai dadung, untuk ringkus Tusaga. Tiga kali Sangum mengirim utusan, meminta putranya dimerdekaan, supaya Temuchin menyerah, nanti jiwanya Temuchin akan diberi ampun, katanya. tapi tiga-tiga kalinya, Temuchin usir utusan itu. Tanpa terasa, langit telah menjadi gelap. Temuchin khawatir Sangum menyerbu, ia kasih perintah orang-orangnya terus memasang mata. Kira-kira tengah malam, seorang denagn pakaian putih muncul di kaki bukit. ia lantas berteriak. "Di sini Jamukha! Aku ingin bicara dengan saudara Temuchin!" "Kau naiklah kemari!" Temuchin menjawab Jamukha mendaki dengan perlahan-lahan. Ia tampak Temuchin berdiri menantikan dengan romannya yang angker. Ia maju mendekati, ingin ia memeluk. Adalah adat istiadat bangsa Mongolia akan saudara muda memeluk dan merangkul saudara tuanya. Temuchin hunus goloknya. "Adakah kau masih anggap aku sebagai kakak angkatmu?" Ia menegur. Jamukha menghela napas. Ia lantas duduk bersila. "Kakak kau telah menjadi Khan yang agung, kenapa kau masih berambekan besar sekali?" Ia tanya. "Kenapa kau bercita-cita mempersatukan bangsa Mongolia?" "Kau sebenarnya menghendaki apa?" Temuchin tanya. "Pelbagai kepala suku pada membilangnya bahwa leluhur kita sudah turun temurun beberapa ratus tahun hidup secara begini, maka itu kenapa khan yang agung Temuchin hendak mengubahnya? Tuhan juga tidak memperkenankan itu," Katanya Jamukha lagi. "Apakah kau masih ingat cerita tentang leluhur kita Maral Goa?" Temuchin tanya. "Lima putra mereka tidak hidup rukun, ia masaki daging kambing kepada mereka, mereka juga masing-masing diberikan seorang sebatang anak panah, ia suruh mereka masing-masing mematahkannya. Dengan gampang mereka itu melakukannya. Lalu ia berikan mereka lima batang anak panah yang digabung menjadi satu, kembali ia menitahkan mereka untuk mematahkannya. Bergantian mereka berlima mencoba mematahkan anak panah itu, mereka gagal. Ingatkah apa pesan leluhur kita itu?" Dengan perlahan Jamukha mengatakan. "Jikalau kamu masing-masing bercerai-berai, kamu menjadi seperti anak panah ini, yang gampang sekali orang siapapun dapat mematahkannya; jikalau kamu berpadu hati bersatu tenaga, kamu menjadi seperti lima batang anak panah yang digabung menjadi satu ini, yang tak dapat dipatahkan siapa juga!" "Kau masih ingat itu, bagus!" Seru Temuchin. "Kemudian bagaimana?" "Kemudian mereka berlima bersatu padu bekerja sama, mereka menjadi leluhur kita bangsa Mongolia!" Sahut Jamukha. "Benar begitu!" Kata Temuchin. "Kita juga adalah orang-orang gagah, kenapa kita tidak hendak mempersatukan bangsa Monglia kita? Kita harus saling kepruk, kita bersatu hati bekerja sama untuk memusnahkan bangsa Kim itu!" Jamukha terkejut. Kata ia. "Negeri Kim itu banyak tentaranya dan banyak panglima perangnya, emasnya tersebar di seluruh negaranya, rangsumnya bertumpuk bagaikan gunung, cara bagaimana bangsa Mongolia bisa main gila terhadapnya?" "Hm!" Temuchin perdengarkan ejekannya. "Jadinya kau suka yang kita semua diperhina dan ditindih bangsa Kim itu?" "Mereka pun tidak menghina dan menindih kita," Kata Jamukha. "Raja Kim itu telah anugerahkan pangkat Ciauwtouwusu padamu." Temuchin menjadi mendongkol. "Mulanya akun juga menyangka raja Kim itu baik hati," Katanya. "Siapa tahu permintaannya kepada kita makin lama jadi makin hebat! Sudah minta kerbau dan kambing, dia minta kuda, dan sekarang dia menghendaki orang-orang peperangan kita membantu ia berperang!" "Wang Khan dan Sangum tidak ingin memberontak terhadap negara Kim itu,!" Kata Jamukha pula. "Berontak? Hm! Berontak!" Seru Temuchin menghina. "Dan bagaimana dengan kau sendiri?" "Aku datang untuk meminta kau jangan gusar, kakak. Aku minta supaya kau kasih pulang Tusaga kepada Sangum. Aku tanggung Sangum nanti melepaskan kau pulang dengan selamat!" "Aku tidak percaya Sangum! Aku juga tidak percaya kau!" "Sangum bilang, kalau satu putranya terbinasa, dia bakal melahirkan dua putra lagi! Kalau satu Temuchin terbinasa, untuk selamanya tidak bakal ada Temuchin lagi! Jikalau kau tidak merdekakan Tusaga, kau bakal tak dapat melihat lagi matahari besok!" Temuchin membacok ke udara. "Aku lebih suka terbinasa dalam perang, tak nanti aku menyerah!" Serunya. Jamukha bangkit berdiri. "Kita membagi-bagikan kerbau dan kambing rampasan kepada tentara, kau mengatakannya itu milik mereka pribadi, bukannya milik suku beramai. Mengenai itu, semua pelbagai kepala suku mengatakannya kau berlaku buruk, tak tepat itu dengan pengajaran leluhur kita!" Temuchin berseru. "Akan tetapi semau orang peperangan yang muda-muda senang dengan caraku itu!" "Baiklah saudara Temuchin," Kata Jamukha. "Harap kau tidak mengatakannya aku tidak berbudi!" Temuchin lantas keluarkan satu bungkusan kecil dari dalam sakunya, ia lemparkan ke depan Jamukha. Ia bilang. "Inilah tanda mata ketika angkat saudara untuk ketiga kalinya, sekarang kau terimalah kembali! Besok kau membawa golokmu untuk berperang di sini!" Sembari berkata begitu, ia geraki tangannya seperti hendak membacok batang lehernya. Ia tambahkan. "Yang dibunuh itu adalah musuh, bukannya kakak angkatmu!" Jamukha jemput bungkusan kecil itu. Ia pun keluarkan satu kantung kulit kecil dari sakunya, tanpa membilang apa-apa, ia letaki itu di samping kakinya Temuchin, lalu ia memutar tubuhnya untuk turun dari bukit itu. Temuchin mengawasi belakang orang, sekian lama ia diam asaj. Ia ada sangat berduka. Sungguh tidak ia sangka, saudara angkat itu yang bagaikan saudara kandungnya bisa berubah demikian rupa, hingga membaliki belakang kepadanya. Lalu dengan perlahan-lahan ia buka kantung kulit itu, akan tuang keluar isinya, ialah kepala panah dan biji piesek yang diwaktu muda mereka sering membuat main. Segera terbayang di hadapan matanya saat dahulu hari ketika mereka sama-sama bermain-main di es. Ia menghela napas. Dengan goloknya ia mencongkel sebuah liang di tanah, di situ ia pendam itu barang tanda mata dari adik angkatnya itu. Kwee Ceng di samping mengawasi dengan perasaan berat. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia mengerti, apa yang Temuchin pendam itu adalah persahabatan yang ia paling hargakan. Habis menguruk tanah dengan kedua tangannya, Temuchin bangun berdiri. Ia memandag ke depan. Ia nampak api yang dinyalakan tentaranya Sangum dan Jamukha, yang menerangi tanah datar seperti juga banyak bintang di langit. Ia berdiam sekian lama, kemudaian berpaling, hingga ia dapatkan Kwee Ceng berdiri diam di sampingnya. "Apakah kau takut?" Ia tanya. "Aku tengah memikirkan ibuku," Kwee Ceng menyahuti. "Kau ada seorang gagah, orang gagah yang baik sekali," Temuchin memuji. Ia menunjuk kepada api di kejauhan itu, ia melanjutkan. "Mereka itu juga orang-orang gagah! Kami bangsa Mongolia ada punya begini banyak orang gagah, sayang kami saling bunuh satu sama lain! Coba semua dapat berserikat menjadi satu" Ia memandang ke ujung langit, lalu menambahkan pula; ".kita pasti dapat membuat seluruh dunia, membuat seluruh dua menjadi ladang tempat kita menggembala ternak kita!" Kagum Kwee Ceng akan dengar itu cita-cita dari Khan yang agung ini. Ia lantas kata. "Khan yang agung, kita bisa menang perang, tidak nanti kita dapat dikalahkan Sangum yang berhati kecil dan hina dina itu!" Temuchin pun menjadi bersemangat. "Benar!" Sambutnya. "Mari kita ingat pembicaraan kita malam ini! Selanjutnya akan aku pandang kau sebagai anak kandungku!" Dan ia rangkul si anak muda! Sementara itu, cuaca sudah mulai terang. Di dalam pasukannya Sangum dan Jamukha segera terdengar suara terompet. "Bala bantuan tidak datang. Hari ini kita akan mati perang di gunung ini!" Kata Temuchin. Ini waktu terlihat tentara musuh sudah mulai bergerak, rupanya mereka hendak memulai penyerbuan mereka. Temuchin bersama ketiga putranya dan semua panglimanya mendekam di belakang tumpukan tanah, anak panah mereka diarahkan ke setiap jalanan di gunung itu, jalanan yang bisa diambil musuh untuk menerjang naik. Tidak antara lama, sebuah bendera kuning muncul dari dalam pasukannya Sangum. Di bawah bendera itu ada tiga orang, yang menuju ke sisi gunung. Mereka itu adalah, di kiri Sangum, di kanan Jamukha, dan di tengah-tengah adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Pangeran Kim ini memakai kopiah dan jubah perang bersalut emas, tangan kirinya mencekal tameng untuk pencegah panah. "Temuchin, adakah kau hendak memberontak terhadap negara Kim yang agung?!" Tanya itu pangeran. Juji, putra sulung Temuchin, tujukan panahnya dan memanah pangeran itu. Di belakang pangeran ini segera muncul satu orang, yang menyambuti anak panah itu dengan tangannya. Dia sangat gesit dan gapa. Wanyen Lieh lantas saja berseru dengan titahnya. "Tolongi Tusaga! Bekuk Temuchin!" Atas titah itu, empat orang berlompat maju, untuk lari mendaki ke atas gunung. Kwee Ceng terperanjat menyaksikan kegesitan empat orang itu. Mereka itu menggunai ilmu enteng tubuh. Jadi mereka adalah orang-orang Rimba Persilatan, bukannya orang peperangan yang biasa. Setibanya empat orang itu di tengah jalan, mereka dipapaki hujan panah oleh Jebe dan Borchu beramai, tetapi dengan tamengnya, mereka halau setiap anak panah itu. Kwee Ceng jadi berkhawatir. "Kita di sini adalah orang-orang peperangan semua, kita bukannya tandingan jago-jago Rimba Persilatan itu" Pikirnya. "Bagaimana sekarang?" Satu di antara empat orang itu, satu pemuda dengan pakaian hitam sudah lantas sampai di atas gunung. Dia dirintangi oleh Ogotai yang bersenjatakan sebatang golok besar. Dia ayun tangannya, lantas sebatang panah tangan menyambar ke batang lehernya putra Temuchin itu, disusul sama bacokan goloknya. Berbareng dengan itu, berkelebatlah sebatang golok putih mengkilap, menikam dari samping kepada lengan penyerang itu. Dia terkejut, sambil kelit lengannya, ia lompat mundur. Maka ia lihat di depannya ada satu anak muda dengan alis gompiak dan mata besar, yang mencekal pedang. Ia ini menghalang di depannya Ogotai. Dia heran dalam rombongannya Temuchin ada orang yang pandai ilmu pedang. "Kau siapa?" Dia menegur. "Beritahukanlah she dan namamu!" Dia bicara dalam bahasa Tionghoa. "Aku Kwee Ceng!" Sahut anak muda itu. "Tidak pernah aku dengar namamu! Lekas kau menyerah!" Kata orang itu sombong. Kwee Ceng sementara itu telah melihat, tiga kawannya orang ini sudah tiba di atas gunung dan tengah bertempur sama Chilaun, Boroul dan lainnya. Dilain pihak orang-orangnya Sangum hendak bergerak pula. Mukhali lantas saja tandalkan goloknya di lehernya Tusaga. "Siapa berani maju!" Ia berteriak. "Akan aku lantas memenggal!" Sangum menjadi khawatir dan bingung. "Tuan pangeran, titahkanlah mereka itu turun!" Ia mohon kepada Wanyen Lieh. "Mari kita memikir daya lainnya, supaya anakku jangan terbinasa!" "Tetapkan hatimu, anakmu tak bakal terbinasa!" Kata Wanyen Lieh sambil tertawa. Orang-orangnya Sangum tidak berani naik, sedang empat orangnya Wanyen Lieh itu melanjuti pertempurannya. Kwee Ceng telah gunai ilmu pedang Wat Lie Kiam pengajaran Han Siauw Eng, ia layani musuh yang bersenjatakan golok itu. Segera ia dapat kenyataan, berat tangannya lawan itu, yang goloknya tebal. benar-benar musuh ini bukan sembarang orang. Ia pun tidak mengerti cara bersilatnya orang, sedang dari enam gurunya pernah ia dengar pelbagai macam ilmu silat. Orang ini mengancam ke kanan, tiba-tiba ancamannya itu berubah di tengah jalan, menjadi bacokan ke kiri Mau tidak mau, Kwee Ceng main mundur. Segera juga ia ingat pengajaran gurunya yang kesatu. "Di waktu bertempur mesti mempengaruhi orang tetapi jangan kasih diri kena dipengaruhi. Sekarang aku main menangkis aja, apakah itu ukan berarti aku kena didesak?" Karena ini, waktu datang pula bacokan, ia tidak mundur lagi, sebaliknya ia menyambut seraya tekuk kaki kanan dan tangan kiri bersiap sedia. Keras sekali, tangan kanannya, ialah pedangnya, membalas menikam lempang. terkejut juga musuh menyaksikan orang seperti nekat, bersedia akan celaka bersama, ia lantas tarik pulang goloknya. Kwee Ceng lihat ini ia gunai ketikanya, ialah ia menikam pula, kapan musuh berkelit, ia ulangi serangannya dengan beruntun. Terus ia bersilat dengan Wat Lie Kiam-hoat. Kali ini, ialah yang membuat lawannya repot. Dipihak lain, tiga kawannya musuh itu sudah berhasil merubuhkan empat atau lima lawannya, kapan satu di antaranya melihat ia terdesak, dengan bawa tombaknya, dia lompat menghampirkan. "Toasuko, mari aku bantu kau!" Dia berteriak. "Kau lihat saja dari samping, kau lihat kepandaiannya toasukomu!" Berseru orang yang bergenggaman golok itu, yang dipanggil toasuko atau kakak seperguruan yang tertua. Dia ini menganggap dirinya adalah tertua kaum Rimba Persilatan, sebab ia adalah orang undangannya Wanyen Lieh, yang untuk itu telah mengeluarkan banyak uang, sedang hari ini adalah yang pertama kalinya ia muncul di medan pertempuran. Tentu saja di hadapan ribuan serdadu, ia malu mengaku kalah terhadap adik seperguruannya itu. Memangnya di antara empat saudara seperguruan ini ada perbedaan tabiat atau sikap, masing-masing tidak sudi mengalah. Kwee ceng gunai ketika orang bicara, ia tekuk kaki kirinya dan menikam dari bawah ke atas. Itulah gerakan "Kie hong teng kauw" Atau "Burung hong bangkit dan ular naga mencelat". Musuh kaget dan berlompat berkelit, tidak urung tangan bajunya yang kiri telah kena tersontek robek. "Lihat kepandaiannya toasuko!" Berseru saudaranya yang memegang tombka itu sambil tertawa. Itu waktu Temuchin telah dilindungi dengan dikurung oleh Jebe dan lainnya yang belum terluka, sikap garang mereka membuat dua musuh lainnya yang memegang ruyung besi dan dan sepasang kampak pendek, tidak berani sembarang merangsak. Mereka ini pun telah dengar suaranya jiesuko mereka, saudara yang kedua, maka mereka anggap baiklah mereka menonton kakak mereka yang kesatu. Mereka mau percaya musuh tidak bakal lolos lagi. Mereka hampirkan jiesuko itu, untuk berdiri berendeng bertiga, akan menonton pertempuran sang kakak tertua. Sebelum berkelahi terus, si pemegang golok itu lompat keluar kalangan. "Kau muridnya siapa?!" Ia tegur Kwee Ceng. "Kenapa kau datang kemari untuk antarkan jiwamu?!" Kwee Ceng lintangi pedangnya, ia bersikap tenang. "Teecu adalah muridnya Kanglam Cit Koay," Ia menjawab dengan terus terang. "Teecu mohon tanya suwie empunya she dan nama yang besar?" Ia terus berbalik menanya empat orang itu. "Suwie" Ialah "keempat tuan". Orang itu menoleh kepada ketiga saudaranya. Lalu ia berpaling pula, katanya. "Tentang nama kami berempat, taruh kami mengatakannya, kau satu anak kecil tentulah tak dapat mengetahuinya. Lihat golokku!" Ia lantas menyerang. Kwee Ceng sudah tempur orang, ia merasa orang ada terlebih terlatih daripadanya, akan tetapi ia adalah muridnya tujuh guru, telah banyak pengetahuannya, dan ilmun pedangnya pun sudah dapat mendesak musuh ini, maka itu ia melawan dengan berani, bukan ia mundur, ia mencoba mendesak terus. Sebentar saja, tigapuluh jurus telah dikasih lewat. Puluhan ribu serdadu musuh, juga Temuchin semua, berdiam menyaksikan pertempuran itu. Tidak terkecuali adik seperguruannya si toasuko. Ia ini cemas juga setelah banyak jurus, ia masih belum bisaberbuat suatu apa. Diakhirnya, ia menjadi seperti nekat. Demikian satu kali, dengan bengis ia membacok melintang. Kwee Ceng lihat pinggangnya terancam tebasan, ia mendahulukan menikam ke arah lengannya musuhnya. Musuh itu menjadi girang melihat lawan tidak berkelit hanya membalas menyerang. Di dalam hatinya ia berkata. "Belum lagi pedangmu tiba, golokku sudah mengenai tubuhmu." Ia menebas terus tanpa membuat perubahan. Tenang adanya sikap Kwee Ceng, jeli matanya, sebat tangannya. Ia tunggu sampai ujung golok hampir mampir di pedangnya, mendadak ia mengegos sedikit, sedang tangan kanannya menikam terus ke dada lawannya itu! Bukan main kagetnya si toasuko. Sambil berteriak, ia lepas dan lemparkan pedangnya, sebagai gantinya, dengan tangan kosong ia sampok pedang si anak muda. Keras sampokan ini, pedang Kwee Ceng terlepas dan jatuh ke tanah. Ia tertolong jiwanya tetapi pedangnya toh mampir juga di tangannya, maka tangan itu bercucuran darahnya! "Sayang!" Kata Kwee Ceng di dalam hati. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cuma karena kurang pengalaman, ia gagal, sedang sebenarnya, dengan sedikit lebih sebat saja, ia akan dapat tancapkam pedangnya di dada lawannya itu. Selagi musuh lompat undur, ia jumput golok musuh yang jatuh di dekatnya. Hampir pada itu waktu ada angin menyambar di belakangnya. "Awas!" Jebe teriaki muridnya. Kwee Ceng dengar pemberian peringatan itu, tanpa membalik tubuh lagi, sambil mendak sedikit, ia mendupak ke belakang. Tepat dupakannya ini, ia membuatnya tombaknya musuh terpental, habis mana, sambil memutar tubuh, ia membacok ke arah lengannya musuh. Kali ini ia gunai bacokan ajarannya Lam Hie Jin, yaitu jurus "Burung walet masuk ke sarangnya" Dari tipu silat "Lam Sam Too-hoat" ilmu pedang Lam San. "Bagus!" Seru lawan yang bersenjatakan tombak itu, yang membokong. Setelah berkelit dari bacokan, ia menikam ke dada pula. Kembali Kwee Ceng bebaskan diri dengan kelitan "Dalam mabuk meloloskan sepatu", untuk membarengi membalas menyerang, ialah sambil melayangkan kaki kanannya ke bahu musuh. Penyerang bertombak ini menggunai ketikanya yang baik. Ia lihat Kwee Ceng lihay dengan ilmu pedangnya, setelah pedang orang terlepas, ia membokong. Ia tidak sangka si anak muda luas pengetahuannya dan gesit, tikamannya itu dapat dihalau dan ia ditendang, terpaksa ia menarik pulang serangannya. Tapi ia penasaran, terus ia maju pula, hingga ia melayani musuh muda ini. Ia penasaran sebab ia tahu, dengan tombaknya itu ia sudah punyakan pengalaman dua puluh tahun Kwee Ceng berkelahi sambil matanya melitah dan otaknya bekerja. ia tahu musuh ingin menerbangkan goloknya, bahwa musuh itu ingin memperlekas kemenangannya. Maka ia melawannya dengan sabar dan hati-hati. Tapi ini bukan berarti ia berlaku kendor. Ia tetap berlaku cepta dan keras, seperti tadi melawan si toasuko, ia mencoba mendesak, guna mempengaruhi musuh. Karena ini ia tampaknya jadi semakin lihay, sehingga ia membuatnya si toasuko heran. Si toasuko ini tadinya menyangka orang hanya lihay dengan pedangnya, tak tahunya, goloknya sama aja. Lagi beberapa lama, Kwee Ceng dapatkan musuh mulai ayal gerakannya. ia lantas menantikan satu tikaman. Turut kebiasaan, ia mestinya menyampok tombak seraya membarengi membacok. Tiba-tiba ia merasa tenaga musuh berkurang, maka itu, ia batal membacok, ia terus memapas ke sepanjang batang tombak, ke arah jari tangan musuh itu. Celaka kalau musuh itu tidak lepaskan cekalannya. Musuh itu terkejut, ia lantas mendahului lompat mundur. Menghadapi lawan yang menggunai tombak ini, Kwee Ceng ada punya satu keuntungan. ia telah dipertaruhkan akan bertempur sama anaknya Yo Tiat Sim, karena Tiat Sim adalah keturunan kaum keluarga Yo yang terkenal untuk ilmu tombaknya keluarga Yo, yaitu Yo Kee Chio-hoat, maka Lam Hie Jin sengaja ajarkan muridnya ini tipu golok melawan tombak. Kebetulan sekali, sekarang ini Kwee Ceng ada kesempatan akan pakai ilmu goloknya yang istimewa itu dan ia berhasil. Apa yang tidak disangka, ilmu ini bukan digunai di Kee-hi hanya di sini. Setelah dapat merampas tombak musuh, Kwee Ceng lempar goloknya ke bawah gunung. Ia lantas berdiri diam mengawasi keempat musuhnya itu. Musuh yang keempat, yang paling muda, tidak tahan sabaran, dengan putar kampaknya, ia maju menyerang, mulutnya pun perdengarkan seruan. ia agaknya penasaran yang mereka kalah dari satu bocah. Siapa menggunai senjata pendek, ia mesti berkelahi rapat, baru ia bisa mengenai musuh, demikian ia ini, dia mencoba merapatkan Kwee Ceng. Tapi pemuda kita, dengan tombaknya, membuatnya orang kewalahan, sia-sia saja dia itu mencoba berulang-ulang. Sesudah lewat beberapa jurus, Kwee Ceng menggunai tipu. Dengan cara biasa, tidak dapat ia rubuhkan atau lukai musuhnya ini. Ia berhasil. Musuh tidak menduga jelek, ia mendesak, sambil membentak, ia lompat menubruk, sepasang kampaknya turun dengan berbareng. Kwee Ceng angkat tombaknya untuk menangkis. Hebat kampaknya itu, gagang tombak kalah dan kena terkampak patah hingga menjadi tiga potong. Disaat kemenangannya itu, musuh hendak mengulangi kampakannya. Diluar dugaannya, baru ia kerahkan tenaganya, tiba-tiba perutnya dirasainya sakit. Tanpa ia ketahui, sebelah kaki Kwee Ceng telah melayang ke perutnya, malah ia terdumpak mental. Berbareng ia mental, tangan kirinya terbalik, mengampak ke arah kepalanya sendiri. Melihat bahaya itu, si saudara yang ketiga melompat dengan ruyung besinya, akan hajar kampak di tangan kiri itu, maka di antara satu suara nyaring, kampak itu terlepas dan terpental, si pemiliknya sendiri jatuh numprah. Syukur untuknya, ia tertolong dari bahaya maut. Tapi ia bertabiat keras, ia gusar dan penasaran, ia lompat bangun untuk merangsak pula, mulutnya berteriakan tak henti-hentinya. Kwee Ceng tidak punya senjata, ia melawan dengan ilmu silat tangan kosong melawan senjata. Segera ia dikepung oleh musuhnya yang ketiga, yang bersenjatakan ruyung besi itu. Melihat orang main keroyok, tentara Mongolia di kaki gunung menjadi tidak senang, mereka membaut ribut dengan mencaci maki dua pengeroyok itu. Bangsa Mongolia adalah bangsa yang polos dan memuju orang gagah, maka itu tidak puas mereka menyaksikan empat orang mengepung bergantian kepada satu musuh, apapula satu musuh itu bertangan kosong. Sampai disitu, Boroul dan Jebe maju untuk membantu Kwee Ceng. Karena majunya mereka berdua, dua musuh lainnya turut maju juga. Berat untuk Jebe berdua, mereka adalah orang-orang peperangan biasa, mereka bukan orang kaum Rimba Persilatan, repot mereka menghadapi musuh-musuhnya yang lihay itu. Lekas juga senjata mereka dirampas musuh. Kwee Ceng lihat Boroul terancam bahaya, ia lompat kepada toasuheng yang bersenjatakan golok sebatang, untuk menghajar punggungnya, ketika si orang Hwee menebas tangannya, ia segera tarik pulang tangannya itu untuk terus dipakai menyikut si jiesuheng, hingga dengan begitu ia pun dapat menolongi Jebe. Orang itu rupanya bersatu pikiran, mereka lantas meluruk kepada anak muda she Kwee ini, mereka tidak menghiraukan lagi Jebe berdua. Segera juga Kwee Ceng terancam bahaya, karena tidak mempunya senjata, terpaksa ia melawan dengan menunjuki kelincahannya, ialah main berkelit dengan mengegos tubuh atau berlompatan. "Ini golok!" Teriak Borchu seraya ia melemparkan goloknya. Disaat Kwee Ceng hendak sambuti golok itu, ia diserang oleh musuhnya yang menggenggam ruyung besi hingga goloknya Borchu kena disampok mental, sedang musuh yang memegang sepasang kampak memberangi mengampak juga. Dia ini bersakit hati bekas kena didupak tadi. Kwee Ceng berkelit dengan berlompat, atau sebatang golok melayang ke arahnya. Ia masih sempat berkelit pula seraya ia angkat kakinya yang kiri untuk menendang musuh yang memegang kampak yang berada paling dekat dengannya. Hanya ketika itu, ia dibarengi musuh yang mencekal ruyung besri tadi, maka tidak ampun lagi, paha kanannya kena dihajar. ia merasakan sangat sakit, matanya pun kabur, hampir ia rubuh pingsan. Syukur untuknya, tulang pahanya itu tidak patah, tetapi gerakannya menjadi lambat, ia lantas kena ditubruk musuh yang bersenjatakan kampak, yang telah melepaskan kampaknya itu. Karena ini, ia roboh bersama-sama musuh itu, yang tak sudi melepaskan pelukannya. Kwee Ceng insyaf ia berada dalam bahaya, sekejab itu ia ingat ibunya, tujuh gurunya, Tuli dan Gochin, lalu semangatnya bangun, maka ia jambak dada musuh, denagn kerahkan semua tenaganya, ia angkat tubuh orang ke atasan tubuhnya snediri, denagn begitu ia pakai musuh sebagai tameng. Benar saja ketiga musuh lainnya berhenti menyerang karena mereka khawatir nanti mencelakai kawan sendiri. Kwee Ceng tetap bertahan secara demikian, hanya sekarang ia ubah caranya mencekal. denagn sebelah tangan ia memencat nadi musuh, untuk membikin dia itu tak dapat bergerak, denagn tangan yang lainnya, ia mencekik tenggorokan. Ia tidak pedulikan orang menendangi pundak atau kakinya. ia telah pikir. "Biar aku mati, asal aku pun telah membunuh seorang musuh!" Jebe berdua yang tadi telah terpukul mundur, maju pula untuk membantu kawannya. "Kamu pegat mereka ,nanti aku bunuh ini bocah haram!" Geger Solo Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Mustika Gaib Karya Buyung Hok