Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 14


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 14


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Kwee Ceng melawan, dari itu, mereka menjadi bergumul pula.   Kali ini pemuda ini berlaku waspada, tidak lagi ia kena dipancing.   ia kalah pandai tapi ia bersemangat, maka kewalahan juga si kongcu.   Pertempuran seru itu ditonton semakin banyak orang.   Bok Ek jadi merasa tidak enak hati.   Ia tahu, kalau datang polisi, ia bisa dapat susah, sedikitnya ia bakal diseret ke kantor pembesar setempat.   Ia juga berkhawatir untuk banyaknya orang, i antara siapa ia tampak beberapa yang matanya tajam dan air mukanya luar biasa, ada juga yang membekal senjata.   Di sebelah mereka, yang bicarakan silat kedua anak muda itu, ada yang bertaruh untuk siapa yang bakal menang.   Dengan perlahan-lahan Bok Ek menggeser ke tempat pengiring-pengiringnya si kongcu, segera ia lihat, diantara mereka itu ada tiga orang yang menarik perhatiannya.   Yang satu adalah satu pendeta bangsa Tibet, tubuhnya besar, kopiahnya disalut emas, jubahnya merah dan gerombongan.   Dia berdiri tegar hingga ia melebihkan tingginya semua orang.   Orang yang kedua sudah lanjut usianya, sebab rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang saja, hanya mukanya bercahaya segar, dan tidak keriputan.   Dia pun bermata tajam.   Karena romannya yang luar biasa itu, tak bisa diduga usianya yang tepat.   Orang yang ketiga bertubuh kate dan kecil, nampaknya sangat gesit, mukanya pun bersinar merah, matanya mencorong tajam.   Maka juga, mengawasi mereka, tukang jual silat ini terkejut hatinya.   "Leng Tie Siangjin,"   Berkata satu pengiring.   "Baik kau maju dan hajar bocah itu, kalau mereka bertempur terus dan siauw-ongya salah tangan hingga ia terluka, hilanglah jiwa kami semua" Itulah se pendeta Tibet yang ditegur. Dia tersenyum, dia tidak menjawab. Adalah si rambut ubanan yang berkata sambil tertawa.   "Paling juga kakimu dikemplang patah! Mustahil ongya hendak mengehndaki jiwamu?"   Bok Ek terperanjat.   Orang disebutnya siauw-ongya dan ongya, pangeran muda dan pangeran.   Kalau begitu, benar juga, bencana akan datang kalau sampai siauw-ongya itu terluka.   Tidakkah di antara pengiring-pengiringnya si siauw-ongya adalah orang-orang yag gagah dan lihay?"   "Jangan takut!"   Berkata si orang kate dan kecil. "Siauw-ongya lebih lihay daripada lawannya itu!"   Orang ini kate dan kecil akan tetapi suaranya mengejutkan.   Suara itu nyaring, hingga beberapa orang disampingnya menjadi terkejut, semua pada berpaling memandang dia, yang matanya bersinar, hingga mereka lekas-lekas melengos.   Si rambut putih tertawa, dia pun berkata.   "Siauw-ongya telah belajar ilmu silat belasan tahun, kecewa kalau itu tidak dipertontonkan di muka orang banyak. Dia tentu tidak senang ada orang yang membantu padanya"   "Eh, saudara Nio, coba bilang,"   Berkata si kate kecil.   "Ilmu silat siauw-ongya itu ada dari partai mana?"   Kali ini ia berbicara dengan perlahan. Si rambut putih tertawa.   "Haouw Laotee, kau lagi uji mataku, bukan?"   Ia berkata.   "Kalau mataku tidak salah, itulah ilmu silatnya kaum agama Coan Cin Kauw."   "Sungguh begitu, sungguh aneh!"   Kata si kate kecil itu.   "Bukankah kaum Coan Cin Kauw itu bangsa aneh? Kenapa mereka justru mewariskan kepandaiannya pada siauw-ongya?"   "Ongya pandai bergaul, siapa saja tak dapat ia undang?"   Kata pula si rambut ubanan itu.   "Umpama kau sendiri, Haouw Laotee. Kau biasa menjagoi di dua propinsi Shoatang dan Shoasay, kenapa kau juga berada di istana ongya?"   Si kate kecil itu mengangguk.   Si ubanan sudah lantas mengawasi kedua anak muda yang lagi bertempur itu.   Ia dapatkan Kwee Ceng berubah silatnya, ialah gerakannya jadi ayal tapi tubuhnya terjaga rapat, sia-sia saja beberapa kali siauw-ongya menyerang padanya.   "Haouw Laotee, coba lihat, dari partai mana asalnya ilmu silat si bocah itu?"   Ia tanya. "Kelihatannya kepandaiannya itu kacau, dia tentu bukan satu gurunya,"   Sahut si kate kecil itu kemudian. "Pheng Ceecu benar,"   Berkata seorang di pinggiran.   "Bocah ini adalah muridnya Kanglam Cit Koay."   Bok Ek pandang ornag itu, yang mukanya kurus dan sinarnya biru, di jidatnya ada tiga tahi lalatnya. Ia kata di dalam hatinya.   "Dia memanggil Pheng Ceecu, mungkinkah si kate kecil ini adalah kepala berandal? Nama Kanglam Cit Koay sudah lama tidak terdengar, apa benar mereka masih hidup?"   Selagi Bok Ek berpikir, si muka biru dan kurus itu sudah berlompat maju ke tengah kalangan seraya ia berseru.   "Hai bocah, kau ke sini!"   Dia pun menarik keluar sebatang kongce atau cagak dari dalam sakunya.   Orang banyak terkejut, ada yang berteriak.   Bok Ek pun tidak kurang kagetnya, tapi ia segera bersiap, untuk membantu Kwee Ceng.   Tentu saja ia tidak kenal si orang ini, ialah Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay, paman gurunya Hong Ho Su Koay.   Hauw Thong Hay bukan menyerang Kwee Ceng, dia hanya maju ke antara orang banyak, di antara siapa ada satu anak muda yang tubuhnya kurus lemah, yang pakaiannya compang-camping, kapan anak itu dapat lihat dia, dia menjerit "Ayo!"   Seraya terus memutar tubuh, untuk angkat langkah panjang.   Thong Hay mengejar terus, ia diikuti empat orang lainnya yang bukan lain daripada Hong Ho Su Koay.   Kwee Ceng sedang bertempur, ia heran atas itu suara bentakan, kapan ia lihat siapa yang dikejar Thong Hay, ai terkejut.   Pemuda dengan pakaian tidak karuan itu adalah Oey Yong, sahabat barunya.   Karena ini, ia sudah lantas kena ditendang si kongcu.   "Tahan dulu!"   Ia berseru seraya lompat keluar kalangan.   "Aku hendak pergi sebentar, segera aku kembali!"   "Lebih baik kau mengaku kalah!"   Mengejek si kongcu.   Kwee Ceng tidak berniat berkelahi terus, pikirannya lagi kusut, ia khawatirkan keselamatannya Oey Yong, tetapi justru ia hendak melompat lari, tiba-tiba ia tampak sahabatnya itu lari mendatangi, sepatu kulitnya diseret hingga berisik kedengarannya.   Dia pun terus tertawa.   Di belakangnya tampak Thong Hay tengah mengajar tengah mengejar, mulutnya mencaci kalang kabutan, setelah datang dekat, berulang-ulang ia tikam bebokong orang yang ia kejar itu! Oey Yong sangat lincah, selalu dapat ia kelit tubuhnya.   Kongce itu ada cagak tiga, semuanya tajam, di bawah cahaya matahari, sinarnya berkilauan, sinar itu ditimpali tiga gelangnya yang bergerak dan berbunyi nyaring setiap kali digeraki.   tapi senjata itu tidak dihiraukan Oey Yong.   Ia nyelusup sana dan nyelusup sini di antara orang banyak.   Segera juga orang banyak tertawa riuh.   Mukanya Hauw Thong Hay, pada pipinya yang kiri dan kanan, tambah tanda tapak lima jari tangan, tanda arang hitam.   Terang sudah dia telah kena ditampar oleh lawannya yang licin itu.   "Mari! Mari!"   Oey Yong menantang, setiap kali ia dapat pisahkan diri jauh-jauh dari lawannya, yang ia tinggalkan lalu ia berdiri diam, menoleh dan mengejek, tangannya menggapai berulang-ulang.   "Jikalau aku tidak berhasil menggeset kulitmu dan mematahkan tulang-tulangmu, aku Sam-tauw-kauw tidak sudi menjadi manusia!"   Thong Hay sesumbar.   Ia berteriakan, ia mengejar.   Oey Yong menanti sampai orang sudah datang dekat, kembali ia lari.   Kelakuannya ini, ditimpali sama kalapnya Thong Hay, membuatnya orang banyak saban-saban tertawa riuh.   Dalam saat itu, terlihatlah datang memburunya tiga orang yang napasnya tersengal-sengal.   Merekalah tiga Siluman dari Hong Ho.   Song-bun-hu Cian Ceng Kian, Siluman yang keempat, tidak tampak.   Itu waktu barulah Kwee Ceng menginsyafi bahwa sebenarnya Oey Yong itu lihay ilmu silatnya, bahwa ialah yang selama di hutan cemara Hek-siong-lim di Kalgan sudah menggantung Hong Ho Su Koay di atas pohon dan memancing kepada Hauw Thong Hay.   "Bagus perbuatannya,"   Ia pikir.   Kelakuan Hauw Thong Hay itu, yang dipermainkan Oey Yong, menyebabkan rombongannya Leng Tie Siangjin memperbincangkannya.   Leng Tie itu adalah paderi dari Tibet, dari partai Cong Gee, keistimewaannya ialah ilmu Tay-ciu-in, Tapak Tangan yang lihay, kawannya yang ubanan tapi mukanya tampak segar bagai muka anak kecil, adalah Nio Cu Ong, ketua dari partai Tiang Pek Pay dari Gunung Tiang Pek San.   Ia tetap awet muda sebab sejak masih kecil ia doyan makan jinsom serta lainnya pohon obat, hingga ia dijuluki Som Sian Lao Koay, Dewa Jinsom-Siluman Tua.   Julukan ini harus dipecah dua.   Siapa yang menghormati dia, memanggilnya Som Sian, Dewa Jinsom, dan siapa bukan orang-orang partainya, dibelakangnya, menyebut ia Lao Koay, si Siluman Tua.   Dan orang ynag matanya tajam bagaikan kilat itu adalah orang ynag sangat terkenal di Tionggoan, namanya Pheng Lian Houw, julukannya Cian-ciu Jin Touw, Pembunuh Sribu Tangan.   Di selatan www.kangzusi.com   dan utara Sungai Besar, sekalipun wanita umumnya kenal namanya itu, dan anak-anak yang lagi nangis, kalu ditakut-takuti;   "Peng Lian Houw datang!"   Tentulah berhenti tangisnya.   Berkatalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong.   "Selama aku di Kwan-gwa, telah aku dengar nama besar dari Kwie Bun Liong Ong, bahwa ia lihay sekali, kenapa adik seperguruannya ini begini tidak punya guna, sampai satu bocah pun dia tidak sanggup layani?"   Pheng Lian Houw mengkerutkan keningnya, dia bungkam.   Dia bersahabat erat dengan Kwie-bun Liong Ong See Thong Thian si Raja Naga Pintu Iblis, sering mereka "bekerja tanpa modal", dan ia tahu baik Houw Thong Hay lihay, maka kenapa hari ini orang she Hauw itu jadi demikian tidak berdaya? Selagi Oey Yong permainkan Hauw Thong Hay, pertempuran di antara Kwee Ceng dan si siauw-ongya, pangeran muda, telah berhenti.   Siauw-ongya telah robohkan Kwee Ceng lima-enam kali, dia sangat letih, tangan dan kakinya dirasakan ngilu, dia pun berdahaga dan lapar, dengan sapu tangannya, ia susuti peluhnya.   Dipihak lain, Bok Ek telah kasih turun bendera Pie-bu Ciauw-cin, ia hampirkan Kwee Ceng untuk dihiburkan, untuk diajak pulang ke penginapannya, untuk beristirahat.   Tapi, belum kebeuru mereka berangkat, mereka sudah dengar ramainya tindakan kaki serta berisiknya gelang konce, lalu terlihat Oey Yong berlari-lari kembali dengan tetap dikejar oleh Hauw Thong Hay.   Tangannya Oey Yong sambil mengibar-ibarkan dua potong kain.   Hauw Thong Hay sebaliknya, pakiaannya menjadi tidak karuan macam.   Baju di dadanya robek putus, hingga kelihatan baju dalamnya yang putih.   Jauh di belakang mereka terlihat Gouw Ceng Liat serta Ma Ceng Hiong, yang satu bersenjatakan tombak, yang lainnya ruyung, lari mendatangi dengan napas memburu.   Ketika mereka ini datang dekat, Oey Yong dan Hauw Thong Hay saudh lenyap pula.   Semua orang banyak, yang menjadi penonton, heran berberang merasa lucu, mereka menjadi tertarik untuk menonton terus.   Justru itu, mereka lantas dengar bentakan-bentakan riuh yang datang dari arah barat, lalu mereka tampak belasan orang polisi serta pengiring, dengan cambuk di tangan, lagi menyerang kalang-kabutan ke kira dan ke kanan, kepada orang banyak, yang mereka usir pergi.   Maka itu, orang banyak itu lantas saja mundur ke kedua pinggir jalan.   Menyausul rombongan hamba-hamba galak itu, terlihatlah enam orang menggotong sebuah joli besar yang indah.   "Ong-hui datang! Ong-hui datang!"   Pengikut- pengikutnya si siauw-ongya berseru berulang-ulang setelag mereka melihat joli itu. Siauw-ongya lantas mengerutkan keningnya. "Rewel!"   Ia menggerutu.   "Siapakah telah pergi membawa berita kepada ong-hui!?"   Tidak ada berani ynag menjawab. Segara juga joli telah sampai di lapangan pibu, semua pengikut maju untuk memberi hormat. Dari dalam joli, yang tertutup rapat, lantas terdengar suaranya seorang wanita, suara yang halus.   "Kenapa berkelahi? Baju luar pun tidak dipakai! Nanti masuk angin!"   Bok Ek dapat mendengar tegas sekali suara itu, hatinya tercekat. Suara itu seperti mengaung di kupingnya, ia menjadi diam sambil berpikir keras. "Kenapa suara ini sama suaranya orangku ini?"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Katanya di dalam hatinya. Tiba-tiba ia tertawa sendirinya. Ia berpikir pula.   "Orang ini adalah onghui dari negeri Kim, aku memikir kepada istriku, apakah aku sudah pikun? Sungguh gila untuk memikir yang tidak-tidak" Tidak dapat ia lantas melenyapkan pikirannya itu, maka ia bertindak, untuk mendekati joli indah itu. Kebetulan itu waktu, dari dalam joli diulur keluar sebelah tangan yang putih dan halus, yang memegang sapu tangan putih, dengan apa mukanya si siauw-ongya disusuti, untuk singkirkan peluh dan debunya, sembari berbuat begitu, si wanita masih mengucapkan beberapa kata-kata, yang halus dan perlahan, hingga si penjual silat ini tak dapat mendengarnya dengan tegas. Mungkin si saiuw-ongya ditegur dan dihiburi oleh onghui ini, onghui ialah selir seorang pangeran atau raja. "Ibu, aku senang bermain-main,"   Terdengar suaranya pangeran muda itu.   "Tidak apa-apa"   "Lekas pakai bajumu, mari kita pulang bersama!"   Kata si onghui kembali. Kembali si Bok Ek terperanjat.   "Benarkah di kolong langit ini ada dua orang yang suaranya sangat mirip satu dengan lainnya?"   Ia menanya dalam hatinya, yang terus berdebaran. Satu pengiring menjumput jubah sulam dari siauw-ongya, sembari berbuat begitu, ia pandang Kwee Ceng dengan bengis dan memdamprat.   "Binatang cilik! Lihat, kau telah bikin kotor jubah ini!"   Satu pengiring lain, yang tangannya mencekal cambuk, terus saja menghajar ke arah kepala si anak muda, atas mana, Kwee Ceng berkelit, sebelah tangannya diangkat, untuk menangkap lengan orang, berbareng dengan mana, satu kakinya menyapu.   Tidak ampun lagi, pengiring itu roboh terguling.   Tapi Kwee Ceng tidak berhenti sampai disitu, ia rampas cambuk orang itu, guna dipakai menyabet hingga tiga kali.   "Siapa suruh kau menganiaya rakyat jelata!"   Ia menegur. Orang senang melihat kejadian itu. Belasan serdadu maju, untuk menolongi kawannya itu, tetapi tempo mereka mulai menyerang Kwee Ceng, satu demi satu, mereka ditangkap si anak muda, lalu dilemparkan saling susul. Siauw-ongya menjadi gusar.   "Kau masih berani main gila?!"   Tegurnya. Ia terus lompat, untuk tolongi dua serdadu yang dilemparkan paling belakang, habis mana, ia tendang itu anka muda. Kwee Ceng berkelit, lalu ia menyerang. Dengan begitu, keduanya jadi bertempur lagi. "Jangan! Jangan berkelahi!"   Onghui berseru mencegah. Terhadap ibunya, siauw-ongya itu agaknya tidak takut, malah ia seperti termanjakan. Ia berkelahi terus, sembari berkelahi, ia menyahuti.   "Tidak, ibu , tidak dapat tidak, ini hari aku mesti labrak dia ini!"   Setelah belasan jurus, siauw-ongya itu berkelahi dengan hebat sekali, rupanya ia hendak banggakan kegagahannya di depan ibunya.   Kwee Ceng lantas terdesak lagi, dua kali ia kena dibikin memegang tanah.   Selama itu, Bok Ek tidak pedulikan segala apa disekitarnya, sepasang matanya terus diarahkan kepada joli indah itu.   Maka tempo tenda tersingkap, ia dapat melihat satu wajah dengan sepasang mata jeli dan rambut yang bagus, sinar mata itu ayu sekali, mengawasi kedua anak muda yang lagi bertarung itu.   Mengawasi mata orang itu, Bok Ek berdiri menjublak bagaikan patung.   Kwee Ceng dirobohkan dua kali, dia bukan menyerah kalah, ia menjadi lebih kosen, maka kali ini, ia tidak dapat dirobohkan pula.   Ia bertubuh kuat, ia dapat melayani pukulan berulang-ulang kepada tubuhnya itu.   Ia pun menang kang-lat atau tenaga latihan, ia menjadi ulet sekali.   Itu waktu, Oey Yong dan Thong Hay telah berlari-lari balik, sekarang di rambutnya Sam-tauw-kauw, Ular Naga Kepala Tiga itu, ada ditancapkan cauw-piauw atau tanda barang hendak dijual, dengan begitu berarti, Thong Hay hendak menjual kepalanya itu! Ia hanya tidak tahu bahwa ia telah dipermainkan oleh Oey Yong, lawannya yang lincah dan licik itu.   Di belakang mereka tidak tertampak dua Siluman, mungkin mereka telah kena dirobohkan pemuda itu.   Nio Cu Ong bertiga menjadi heran, hingga mereka menduga-duga, Oey Yong itu sebenarnya orang macam apa.   Selagi bertempur, lengan Kwee Ceng kena dihajar satu kali, lalu ia membalas memukul paha siauw-ongya.   Mereka jadi semakin sengit berkelahinya.   Kwee Ceng berkelahi dengan ilmu silat Hun-kin Co-ku-hoat, untuk merabu otot dan tulang musuh, siauw-ongya sebaliknya dengan Kim-na-ciu, ilmu menangkap yang terdiri ari tujuh puluh dua jurus.   Maka itu, kedua-duanya saling terancam hilang jiwa atau terluka parah.   Karena ini Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong lantas menyiapkan senjata rahasia mereka, untuk menolong apabila siauw-ongya benar-benar terancam jiwanya.   Mereka adalah orang-orang tua yang kosen, sungkan mereka mengepung Kwee Ceng, sebaliknya mereka merasa, kapan perlu, bisa mereka mencegah Kwee Ceng menurunkan tangan jahat terhadap si pangeran muda.   Makin lama Kwee Ceng makin gagah.   Inilah tidak heran sebab ia hidup di tanah gurun.   Sebaliknya siauw-ongya biasa hidup di istana, ia termanja, ia kalah ulet, maka ia lantas terdesak.   Satu kali Kwee Ceng menyambar ke muka siauw- ongya itu.   Siauw-ongya berkelit, terus ia membalas meninju.   Atas itu, Kwee Ceng mendahulukan, dengan tangan kanannya, ia membentur sikut kanan si pemuda agung, berbareng dengan itu, ia maju, tangan kirinya membangkol tangan lawan itu, lalu tangan kanannya diteruskan untuk memegang leher lawan.   Siauw-ongya terkejut, ia membalas membangkol dan memegang leher lawannya itu.   Maka keduanya menjadi berkutat, yang satu hendak mematahkan tangan, yang lain hendak mencekik.   Semua orang kaget, onghui sampai berparas pucat, separuh mukanya keluar dari tenda.   Putrinya Bok Ek, ynag tadinya numprah di tanah, berlompat bangun, parasnya pun pucat.   Disaat itu terdengar suara menggelepok.   Nyata muka Kwee Ceng kena digaplok, sebab siauw-ongya merubah siasat.   Keras pukulan itu, Kwee Ceng merasakan matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing.   Tapi ia masih sadar, sambil berseru, ia sambar bajunya siuaw-ongya, terus ia kerahkan tenaganya, ia angkat tubuh siauw-ongya, untuk dilemparkan.   Ia nyata telah menggunai ilmu silat bangsa Mongolia, yang ia peroleh dari Jebe.   Siauw-ongya dilemparkannya, tapi sebelum tubuhnya dilepas, ia sudah berdaya, dengan cepat ia ayun tubuhnya itu, Kedua tangannya menyambar tanah, dengan begitu, ia tidak terbanting.   Habis itu sama sebatnya, ia menyambar kedua kaki lawannya itu, ia menarik keras, maka Kwee Ceng kena ditarik roboh hingga saling tindih, hanya siauw-ongya berada disebelah atas.   Dia ini sebat, dia lompat, tangannya menyambar tombak di tangan seorang serdadu yang berada dekat dengannya, dengan tombak itu, segera ia menikam Kwee Ceng.   Dengan menggulingkan tubuh, Kwee Ceng menghindarkan diri, tapi ia didesak, ia dikam terus, lagi dua kali, terpaksa ia kembali bergulingan, hingga sukar untuk ia melompat bangun, terpaksa sambil bergulingan, ia layani tombak musuhnya itu.   Karena didesak tak hentinya, ia berguling hingga ke dekat tiang bendera Pibu Tiauw-cin.   Di sini ia gunai kesempatannya, ia sambar tiang itu, terus ia pakai menangkis, sesudah mana ia berlompat bangun, untuk melakukan penyerangan membalas.   Maka sekarang mereka bertempur dengan bersenjata, meskipun Kwee Ceng hanya bergenggaman tiang bendera.   Tiang bendera itu terlalu panjang, kurang tepat untuk Kwee Ceng, ynag bersilat denagn tipu Hang Mo Thung-hoat, pengajaran dari gurunya yang pertama, Hek Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Hitam, akan tetapi, ia dapat mainkan itu dengan baik.   Siauw-ongya tidak kenal permainan silat lawannya itu, ia lantas saja kena didesak hingga ia mesti selalu membela diri.   Bok Ek tetap perhatikan ilmu silat tombak dari siauw-ongya, makin lama ia menjadi makin heran.   Itulah terang Yo Kee Ciang-hoat, yaitu ilmu tombak Keluarga Yo, ilmu mana diturunkan hanya kepada anak laki-laki, tidak kepada anak perempuan.   Yang menegrti ilmu itu, untuk bagian Selatan Tionggoan saja sudah jarang, maka heran kenapa di negara Kim ada yang dapat memainkannya itu? Ia terus mengawasi, sampai akhirnya ia merasa sedih sendirinya, tidak dapat ia mencegah mengucurnya air matanya.   Nona Bok pun memperhatikan jalannya pertempuran, ia juga agaknya berpikir keras.   Diakhirnya terdengar teriakannya onghui.   "Berhenti! Berhenti! Jangan berkelahi lagi!"   Karena nyonya agung itu mendapatkan putranya telah bermandikan keringat.   Mendengar suaranya onghui, Peng Lian Houw bertindak ke dalam kalangan.   ia segera geraki tangan kirinya, untuk menyampok tiang bendera.   Atas itu, Kwee Ceng merasakan telapak tangannya sakit, tiang bendera lantas terlepas dari cekalannya, mental ke udara, hingga benderanya berkibar-kibar bagus.   Anak muda itu terkejut.   Seumurnya kecuali Bwee Tiauw Hong, belum pernah ia menemui tandingan selihay ini.   Belum sempat ia memandang orang, atau satu pukulan telah menjurus ke mukanya.   Ia berkelit dengan cepat, tetapi tidak urung, lengannya kena terhajar.   Tidak ampun lagi, ia terguling roboh.   Setelah merobohkan bocah itu, Pheng Lian Houw berpaling kepada si pangeran muda dan berkata sambil tertawa.   "Siauw-ongya, akan aku bereskan dia ini, supaya dia jangan mengganggu terlebih jauh"   Sembari berkata, ia maju ke Kwee Ceng, ia ulur tangan kanannya ke arah kepala orang, justru si anak muda lagi merayap bangun.   Kwee Ceng kaget, lebih-lebih ia tahu, kedua tangannya sakit.   Untuk tolongi dirinya, ia memaksa menangkis juga.   Disaat anak muda ini terancam bahaya maut, sekonyong-konyong datang teriakan dari antara orang banyak.   "Perlahan!"   Lalu terlihat melesetnya satu bayangan abu-abu perak disusul serangan semacam senjata, yang terus saja melibat tangannya si orang she Pheng itu, hingga serangan itu batal.   Tetapi Lian Houw tidak diam saja, ia segera menarik pulang tanagnnya, begitu keras, hingga senjata yang melibatnya ia terputus.   Orang yang baru datang itu agaknya terperanjat, hingga ia tercengang, tetapi lekas juga ia sambar Kwee Ceng, yang pinggangnya ia peluk, setelah mana, ia lompat mundur.   Sekarang orang bisa lihat, dia adalah satu tojin atau imam usia pertengahan, jubahnya warna abu-abu, tangannya mencekal sebatang hudtim atau kebutan, hanya kebutan itu tinggal sepotong, sepotong yang lain masih melibat ditangannya Lian Houw.   Ia terus mengawasi pada Lian Houw, yang kemudian berkata.   "Tuan, adakah kau Pheng Cecu yang namanya sangat tersohor? Hari ini aku dapat bertemu denganmu, sungguh aku merasa sangat girang!"   "Tidak berani aku menerima yang namaku yang rendah dijunjung sedemikian tinggi olehmu,"   Sahut Lian Houw.   "Aku mohon ketahui gelaran suci dari totiang."   Semua orang lantas mengawasi kepada imam itu, yang romannya toapan, yang kumis dan janggutnya terbelah tiga.   Kaos kakinya yang putih serta sepatunya yang abu-abu bersih sekali.   Ia tidak menjawab, hanya Ia ulur kakinya, untuk dimajukan satu tindak, lalu ia menarik pulang, tetapi karena injakan atau tindakannya itu, di tanah lalu tertapak dalam.   Sedang di tanah utara ini, tanah kering dan keras.   Melihat tapak sepatu itu, Peng Lian Houw terperanjat.   "Jadinya totiang adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu Ong Cinjin?"   Ia menanya. Imam itu menjura.   "Teecu terlalu memuji kepadaku,"   Ia menyahut.   "Memang benar, pinto adalah Ong Cie It. Tidak berani pinto menerima itu sebutan cinjin."   Peng Lian Houw, begitu juga Som Sian Lao Koay, Nio Cu Ong dan Leng Tie Siangjin mengawasi imam itu, yang mereka tahu namanya tidak kalah daripada Tiang Cun Cu Khu Cie Kee.   Sudah lama mereka ketahui hal imam ini, baru sekarang mereka menemui sendiri orangnya.   Mereka dapatkan orang sungguh alim dan agung.   Coba tadi mereka tidak telah menyaksikan gerakan yang gesit dan melihat itu tapak kaki, tidak nanti mereka mau percaya dia adalah Thie Kak Sian Giok Yang Cu si Dewa Kaki Besi yang pernah menakluki jago-jago di Utara.   Ong Cie It tersenyum, terus ia menunjuk pada Kwee Ceng dan berkata.   "Pinto tidak kenal anak ini, hanya karena kemuliaan hatinya dan kegagahannya berusan, hatiku menjadi sangat tertarik, maka itu dengan besarkan nyali, pinto mohon Pheng Ceecu memberi ampun kepada jiwanya."   Melihat sikap orang yang demikian hormat, sedang orang pun dari Coan Cin Kauw, Peng Lian Houw suka berbuat baik, maka itu sambil membalas hormat, ia memberikan persetujuannya.   Ong Cie It menjura pula seraya menghanturkan terima kasih, ketika ia memutar tubuh, ia menghadapi si siauw-ongya dengan wajahnya keren sekali.   "Siapakah namamu?"   Ia menanya bengis.   "Siapakah gurumu?!"   Siauw-ongya itu telah merasa kurang enak hati. Sebenarnya ia sudah memikir untuk berlalu, tetapi ia terlambat. Ia berdiri diam dan menyahuti.   "Namaku Wanyen Kang. Nama guruku tidak dapat aku beritahukan padamu."   "Bukankah gurumu ada tanda tahi lalat merah pada pipinya yang kiri? Ong Cit It tanya pula. Wanyen Kang tertawa hihi-hihi, hendak ia menjawab secara jenaka, atau mendadak matanya si imam bersinar tajam bagaikan kilat, maka hatinya terkesiap, batal ia untuk main gila. Ia lantas mengangguk. "Memang telah aku duga, kau adalah muridnya Khu Suhengku itu,"   Berkata Ong Cinjin.   "Hm, bagus benar perbuatanmu ya? Pada mula kali gurumu hendak mengajarkan silat padamu, apakah ia telah bilang padamu? Apakah pesannya?"   Wanyen Kang perlihatkan roman cemas. Ia dapat lihat suasana buruk. "Anak, lekas pulang!"   Demikain terdengar suara ibunya dari dalam joli.   Anak ini dapat dengar panggilan itu, justru berbareng dengan itu, ia mendapat satu pikiran.   Ia insyaf, kalau gurunya ketahui perbuatannya, inilah hebat.   Maka itu, lekas ia ubah sikapnya.   Dengan sabar, ia berkata.   "Totiang kenal guruku itu, terang totiang adalah satu cianpwee, oleh karena itu boanpwe mohon sukalah totiang datang ke rumahku, untuk boanpwe anti mendengar segala pengajaranmu."   Dengan lantas siauw-ongya ini membahasakan diri "boanpwe", orang dari tingkat lebih rendah, karena ia tahu ia lagi berhadapan dengan satu cianpwee, orang yang tingkat derajatnya terlebih tua. "Hm!"   Ong Cie It perdengarkan suaranya. Wanyen Kang benar-benar cerdik, tanpa tunggu orang buka mulut lagi, ia sudah lantas menjura kepada Kwee Ceng, sembari tersenyum, ia berkata.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Saudara Kwee, kalau kita tidak bertempur, pasti kita tidak kenal satu sama lain. Ilmu silat kau saudara, aku sangat mengaguminya. Maka itu, aku pun minta suka kau bersama totiang berkunjung ke rumahku. Sukalah kau kalau kita mengikat persahabatan?"   Kwee Ceng tidak menjawab, ia hanya menunjuk kepada Bok Ek dan gadisnya serta bertanya. "Bagaimana urusan jodohmu dengan nona itu?"   Wanyen Kang menjadi likat.   "Hal itu kita perlahan-lahan saja kita bicarakan pula,"   Katanya. Mendengar itu, Bok Ek tarik tangannya Kwee Ceng. "Engko Kwee kecil, mari kita pulang!"   Berkata ia.   "Buat apa kau layani pula manusia hina dina ini?"   Wanyen Kang dengar suara orang menghina itu, ia tidak menjadi gusar, ia hanya menjura pula kepada Ong Cie It seraya berkata.   "Totiang, bownpwe menantikan segala kehormatan atas kedatangan totiang ke rumahku. Totiang tanyakan saja istananya Chao Wang."   Habis berkata begitu, ia sambar les dari seekor kuda pilihan yang satu pengiringnya bawa kepadanya, terus ia lompat naik ke atas kuda itu, yang pun ia kasih lari ke antara orang banyak, hingga mereka itu berlari-lari untuk menyingkir dari bahaya kena diterjang kuda.   Ong Cie It mendongkol untuk sikap keagung- agungan itu.   Tapinya ia berkata kepada Kwee ceng.   "Engko kecil, kau turut aku,"   "Aku hendak menantikan dulu sahabatku"   Kwee ceng menjawab. Belum berhenti suaranya bocah ini, Oey Yong muncul dari antara orang banyak, lantas saja ia berkata sambil tertawa.   "Aku tidak kenapa-kenapa! Sebentar aku pergi mencari padamu!"   Baru ia mengucap, kemudian ia menyelinap di antara orang banyak itu.   Ia memang bertubuh kecil dan lincah.   Di lain pihak, lantas terlihat Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay lari mendatangi.   Melihat si Ular Naga Kepala Tiga ini, Kwee Ceng tertawa di dalam hati.   Tapi ia pun cerdik, ia lantas menjatuhkan diri di depan Ong Cinjin.   "Totiang, banyak-banyak terima kasih,"   Ia berkata.   Ong Cie It tidak bilang suatu apa, ia cekal tangan si bocah, untuk diajak pergi, hingga dilain saat mereka sudah tinggalkan orang banyak itu dan tengah menuju keluar kota.   Cepat tindakannya si imam, sebentar saja mereka sudah berada diluar kota.   Selang lagi beberapa lie, tibalah mereka di belakang sebuah puncak buklit.   Di sini si imam berjalan semakin cepat.   Memang ia hendak menguji enteng tubuhnya si bocah.   Sampai sebegitu jauh, Kwee Ceng dapat mengikuti denagn baik kepada si imam itu.   Ia sudah belajar lari keras, tubuhnya enteng, dan dibawah pimpinan Tan Yang Cu Ma Giok, ia dapat manjat puncak, maka itu, ia bisa berlari-lari tanpa napasnya memburu atau hatinya berdenyutan.   Ong Cie It cekala tangan orang, ia lari terus-terusan, tiba-tiba ia melepaskannya.   Ia terperanjat dan mengawasi bocah itu.   "Dasarmu tidak jelek!"   Ia berkata dalam herannya itu.   "Kenapa kau tidak dapat mengalahkan dia itu?"   Kwee Ceng tidak tahu bagaimana harus menjawab, ia cuma tertawa saja. "Siapakah gurumu?"   Ong Cinjin menanya lagi.   Kwee Cneg tahu di antara adik seperguruan dari ma Giok ada yang bernama Ong Cie It, ialah ini imam, dari itu, tidak mau ia mendusta.   Ia menyebutkan Kanglam Cit Koay dan Ma Giok.   Mendengar itu Ong Cie It menjadi girang sekali.   "Toasuko telah ajarkan kau ilmu silat, bagus!"   Katanya. "Sekarang aku tidak usah mengkhawatirkan apa-apa lagi!"   Kwee Ceng heran, ia mengawasi imam itu. "Orang dengan siapa tadi kau bertempur, yang dipanggil setahu apa siauw-ongya Wanyen Kang itu adalah muridnya suhengku Tiang Cun Cu, kau tahu atau tidak? bertanya si imam. Bocah itu tercengang.   "Apa?"   Dia menanya.   "Aku tidak tahu"   Ma Giok mengajarkan Kwee Ceng tanpa penjelasan, bocah ini menjadi tidak tahu tentang ilmu silat kaum Coan Cin Kauw, sekarang setelah mendengar pertanyaannya Ong Cie It, ia menjadi ingat kepada pertempurannya sama In Cie Peng hingga ia ingat juga, ilmu silat Wanyen Kang sama dengan ilmu silatnya In Cie Peng itu.   Ia lantas menunduki kepala.   "Teecu tidak tahu siauw-ongya itu adalah muridnya Khu Totiang, teecu telah berlaku kurang ajar, teecu mohon totiang suka memberi maaf,"   Ia memohon. Ong Cie It tertawa bergelak. "Hatimu mulia, aku suka sekali! Mustahil aku nanti persalahkan kau!"   Ia berkata.   Kemudian ia meneruskan dengan sikapnya sungguh-sungguh .   "Kami kaum Coan Cin Kauw ada punya aturan yang keras, kalau ada murid yang bersalah, dia dapat dihukum berat, tetapi tidak nanti dilindungi atau dieloni.   Siauw-ongya itu sombong dan ceriwis, nanti aku suka minta toasuko menghukum padanya!"   "Asal ia suka menikah dengan nona Bok, baiklah totiang memberi ampun padanya,"   Berkata Kwee Ceng, yang tidak mendendam, hatinya masih ingin merekoki jodohnya nona Bok.   Ong Cie It menggeleng kepala, ia tidak bilang suatu apa, di dalam hatinya tapinya ia suka bocah ini yang jujur dan hatinya pemurah.   kemudian setelah berpikir, ia berkata-kata seorang diri.   "Toasuko biasanya benci kejahatan sebagai musuh besarnya, dia lebih-lebih membenci bangsa Kim, maka itu kenapa dia bolehnya mengajari silat kepada satu pangeran Kim? Sungguh membikin pusing kepala"   Terus ia mengawasi Kwee Ceng dan berkata pula.   "Khu Toasuko telah menjanjikan aku bertemu di Yan-khia, dalam beberapa hari ini tentulah ia bakal tiba, maka setelah bertemu dengannya, aku akan menanya jelas segala apa. Toasuka telah menerima satu murid she Yo, dia kata hendak ajak muridnya itu pergi ke Kee-hin untuk dicoba pibu denganmu. Entah bagaimana kepandaiannya murdi she Yo itu, nanti kau jangan khawatir. Di sini ada aku, tidak nanti aku bikin kau memdapat susah."   Kwee Ceng telah terima titah gurunya untuk sebelum tanggal duapuluh empat bulan tiga sampai di Kee-hin, Ciat-kang untuk apa ia dimestikan pergi ke Kee.hin itu, gurunya tidak memberikan keterangan apa-apa, maka itu ia heran atas kata-katanya imam ini.   "Totiang, pibu apakah itu?"   Ia bertanya. Ong Cie It dapat menduga, ia menghela napas. "Gurumu belum membilang suatu apa kepadamu, tak baik aku mewakilkan mereka memberi keterangan,"   Ia menjawab.   Ong Cie It ketahui maksudnya Kanglam Cit Koay.   Dia telah mendengar lelakonnya kedua keluarga Yo dan Kwee itu, bahwa dalam pibu, Kanglam Cit Koay pasti menghendaki kemenangan, maka itu tidak heran Tujuh Manusia Aneh dari Kanglam itu tidak mau menjelaskan sesuatu kepada Kwee Ceng, maksudnya pasti untuk mencegah Kwee Ceng menjadi bersusah hati hingga pernyakinan ilmu silatnya menjadi terganggu.   Atau mungkin disebabkan musuh adalah turunan sahabat ayahnya, Kwee Ceng itu nanti berkelahi tidak dengan sungguh-sungguh dan karenanya menjadi tidak memperoleh kemenangan.   Kwee Ceng juga tidak berani menanya apa-apa lagi, dia cuma manggut-manggut.   "Sekarang masri kita lihat itu orang she Bok dan gadisnya,"   Berkata Ong Cie It kemudian.   "Nonan itu bertabiat keras, aku khawatir dia nanti menerbitkan bencana jiwa" Kwee Ceng terkejut. ia menjadi ingat kepada nona itu. Maka keduanya lantas berjalan dengan cepat ke kota barat, terus ke rumah penginapan Kho Seng di jalan besar utama. Baharu mereka sampai di depan pintu, dari dalam hotel sudah muncul beberapa pengiring dengan pakaian seragam bersulamnya, semua lantas memberi hormat kepada Ong Cinjin seraya berkata.   "Kami diperintahkan siauw-ongya mengundang totiang serta Tuan Kwee menghadiri pesat di gedung kami."   Mereka lantas menyerahkan sehelai kartu nama di atas mana ada tertera.   "Hormat dari teecu Wanyen Kang."   "Sebentar kita datang,"   Berkata Ong Cie It. "Dan ini kue-kue dan bebuahan, siauw-ongya minta totiang dan Tuan Kwee sudi menerimanya,"   Berkata pula si pengiring.   "Dimana totiang dan Tuan Kwee tinggal? Nanti kami pergi mengantarkan ke sana."   Beberapa pengiring lainnya lantas maju untuk mengsih lihat barang antaran mereka, yang terdiri dari duabelas, isinya semua adalah makanan dan bebuahan yang istimewa. "Oey Yong suka dahar makanan semacam ini, baik aku tinggalkan untuk dia,"   Kwee Ceng berpikir. Ia polos, ia bersedia menerima antaran itu. Ong Cie It tak berkesan baik terhadap Wanyen Kang, hendak ia menampik, akan tetapi kapan ia melihat sikap Kwee Ceng, ia lantas terima itu. Ia tersenyum, di dalam hatinya ia berkata.   "Dasar bocah! Dia tidak harus dipersalahkan." Bab 18. Mengadu Kepandaian Habis menerima antaran itu, Ong Cie It menanyakan keterangan kamarnya Bok Ek, lalu ia terus masuk ke dalam kamar orang, hingga ia dapatkan orang she Bok itu sedang rebah dengan muka pucat dan di tepi pembaringan, gadisnya duduk smabil menangis. Kapan mereka lihat tetamu, si nona berbangkit berdiri, Bok Ek sendiri berbangkit untuk berduduk di atas pembaringan. Ong Cinjin periksa lukanya Bok Ek, yang setiap belakang telapakan tangannya bertanda lima lobang jari tangan, hingga nampak tulang-tulangnya dan kedua lengannya bengkak besar. Luka itu telah ditorehkan obat, tetapi mungkin dikhawatir menjadi nowa, sudah tidak dibalut. "Aneh,"   Pikir Ong Cie It.   "Ilmu silat Wanyen Kang terang adalah ajarannya toasuko, maka darimana dia dapatkan ilmu pukulan jahat ini? Pada ini mesti ada rahasianya?"   Lantas ia pandang si nona dan menanya.   "Nona, siapakah namamu?"   Nona itu menunduki kepalanya.   "Namaku Bok Liam Cu,"   Ia menyahut perlahan. "Luka ayahmu ini tak enteng, dia perlu dirawat baik-baik,"   Kata Cie It, yang terus merogoh sakunya, untuk mengeluarkan uang perak dua potong, yang mana ia letaki di atas meja, seraya menambahkan.   "Besok aku akan datang untuk menjenguk pula padamu."   Lalu menanti jawaban si nona, ia tarik tangan Kwee Ceng buat meninggalkan hotel itu.   Di luar hotel, mereka dipapaki empat pengiring, setelah mereka itu memberi hormat, yang satunya memberitahukan bahwa siauw-ongya mereka lagi menentikan di gedung dan imam serta bocah itu diundang ke sana.   Ong Cie It mengangguk.   "Totiang, kau tunggu sebentar,"   Berkata Kwee Ceng, yang terus lari masuk pula ke dalam hotel, ke dalam kamar di mana ada bingkisan kue dan buah dari Wanyen Kang.   Ia pilih empat rupa kue, ia bungkus itu dengan sapu tangan, sesudah masuki itu ke dalam sakunya, ia lari pula ke luar, untuk bersama si imam pergi mengikuti keempat pengiring itu pergi ke onghu, gedungnya Wanyen Kang.   Tiba di muka gedung, atau lebih tepat istana, Kwee Ceng paling dulu lihat dua lembar bendera berkibar di tiang yang tinggi, di kiri dan di kanan pintu ada nongkrong masing-masing seekor cio-say, atau singa batu, yang rimannya bengis.   Undakan tangga dari batu putih semua, batu mana dipasang terus sampai di thia depan.   Di pintu besar ada dituliskan tiga huruf besar air emas, bunyinya.   "Chao Wang Hu"   Atau istana pangeran Chao Wang. Kwee Ceng tahu, Chao Wang itu adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari raja Kim. Maka itu tanpa merasa, hatinya tercekat. "Mungkinkah si pangeran muda itu adalah putranya Wanyen Lieh?"   Ia kata di dalam hatinya.   "Wanyen Lieh mengenali aku, kalau di sini aku bertemu dengannya, inilah cade."   Selagi si bocah terbenam dalam keragu-raguan, lantas ia dengar ramainya suara tetabuhan, yang rupanya diperdengarkan untuk menyambut ia dan Ong Cie It, menyusul mana ia tampak si siauw-ongya keluar menyambut, pakaiannya jubah merah dengan gioktay atau ikat pinggang kumala, sedang kepalanya ditutupi kopiah emas.   Melihat dandanan pangeran itu, Ong Cie It mengkerutkan keningnya.   ia diam saja, ia turut dipimpin ke dalam thia, dimana ia lantas dipersilakan duduk di kursi atas.   "Totiang bersama saudara Kwee sudi datang kemari, sungguh aku merasa sangat beruntung!"   Berkata tuan rumah yang muda ini. Ong Cie It tidak puas, bahkan ia mendongkol. Pangeran itu tidak berlutut didepannya dan tidak juga memanggil susiok atau paman guru kepadanya. "Sudah berapa lama kau ikuti gurumu belajar silat?"   Ia tanya. "Mana boanpwe mengerti ilmu silat?"   Sahut Wanyen Kang sambil tertawa.   "Aku ikuti suhu buat dua tahun lamanya, selama itu aku main-main kucing kaki tiga hingga aku membikinnya totiang dan saudara Kwee menertawai aku."   "Hm!"   Ong Cie It kasih dengar suaranya.   "Walaupun ilmu silat Coan Cin kauw tidak tinggi tetapi ilmu itu bukannya ilmu kucing kaki tiga! Gurumu bakal tiba di sini, kau tahu tidak?"   "Guruku ada di sini, apakah totiang ingin bertemu dengannya?"   Wanyen Kang balas menanya. Ong Cie It menjadi heran sekali.   "Ada di mana ia sekarang?"   Ia tanya. Wanyen Kang menepuk tangan dua kali.   "Siapakan meja santapan!"   Ia memberi perintah kepada pengiringnya.   Pengiring itu berlalu untuk menyampaikan titah lebih jauh.   Wanyen Kang sudah lantas ajak kedua tetamunya pergi ke hoa-thia, untuk mana mereka melintasi sebuah lorong, mengitari lauwteng yang indah, hingga mereka mesti jalan sekian lama.   Selama itu, Kwee Ceng dapak menyaksikan keindahannya istana, sampai ia merasakan matanya berkunang-kunang.   Hatinya pun tidak tentram, tidak tahu ia mesti bersikap bagaimana andaikata ia bertemu dengan Wanyen Lieh.   Setibanya di hoa-thia, di sana sudah menantikan enam-tujuh orang, yang tubuhnya jangkung dan kate tidak rata, di antara siapa yang kepalanya benjut tiga, yaitu Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dia itu mengawasi anak muda kita ini dengan sorot mata bengis! Biar bagaimana, Kwee Ceng terkejut juga hingga ia pernahkan dirinya dekat sekali dengan si imam.   Wanyen Kang bergirang ketika ia kata pada Ong Cie It.   "Totiang, beberapa tuan ini sudah lama mengagumi kau dan semuanya merasa sangat ingin bertemu denganmu!"   Ia lantas menunjuk Peng Lian Houw dan kata.   "Inilah Pheng Cecu, kedua pihak sudah saling mengenal."   Kedua orang itu saling memberi hormat. "Dan ini adalah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, locianpwe dari Tiang Pek San,"   Wanyen Kang memperkenalkan pula orang yang rambutnya putih tapi mukanya segar sebagai muka seorang bocah. Ong Cie It heran hingga ia berpikir.   "Kenapa Siluman Tua ada disini juga?" io Cu Ong sudah lantas memberi hormat dan berkata.   "Di sini lohu dapat bertemu sama Thie Kak Sian Ong Cinjin, maka tidaklah kecewa yang lohu sudah datang ke Tionggoan ini."   Dan lantas ia perkenalkan paderi di sampingnya, katanya.   "Ini adalah Leng Tie Siangjin, ahli Tay-ciu-in dari partai Bit Cong dari Tibet. Kami berdua, satu dari timur utara, satu lagi dari barat selatan, dari empat ribu lie, maka pertemuan ini benar-benar satu jodoh!"   Ong Cie It memberi hormat kepada paderi dari Tibet itu dengan menjura dan si paderi membalasnya seraya menakopi kedua tangannya. Justru itu seorang yang suaranya serak terdengar berkata nyaring.   "Kiranya Kanglam Cit Koay didukung dari belakang oleh Coan Cin Pay, maka juga mereka menjadi begini malang melintang."   Ong Cie It awasi orang yang pentang bacot itu, kepala siapa lanang, tidak ada selembar rambutnya, matanya merah, biji matanya menonjol keluar.   Dengan melihat roman orang saja, ia sudah lantas mengenalinya.   "Bukankah tuan adalah Kwie-bun Liong Ong See Locianpwee?"   Ia bertanya. "Benar!"   Sahut orang itu, suaranya menandakan kemarahannya.   "Kiranya kau masih kenal aku!"   Cie It heran, hingga kata dalam hati kecilnya.   "Kita ada bagaikan air kali dan air sungai yang tidak saling menerjang, kapan dan di dalam hal apa aku pernah berbuat salah terhadapnya?"   Ia menunjuki sikap sabar, ia kata.   "Nama besar dari See Locianpwee memang telah lama aku pangeni." Orang she See ini tidak ambil mumat sikap orang yang halus itu, ia tengah diliputi kemarahan besar. Memangnya dia bertabiat keras. Dia bernama Thong Thian dan gelarannya, Kwie-bun Liong Ong ialah Raja Naga dari Pintu Iblis. Dia banyak lebih lihay daripada Hauw Thong Hay, adik seperguruannya. Sebab tabiatnya itu, di waktu mengajari silat, ia tetap berangasan dan galak. Inilah sebabnya kenapa murid-muridnya tidak dapat wariskan tiga bagian saja dari sepuluh ilmu kepandaiannya, tidak heran kalau Hong Ho Su Koay gagal mengepung Kwee Ceng. Thong Thian gusar bukan main waktu ia dengar kekalahan empat muridnya itu, ia hajar mereka, dia mendamprat habis-habisan. Sesudah itu ia kirim Hauw Thong Hay untuk menuntu balas, supaya Kwee Ceng dibekuk. Celakanya Thong Hay telah kena dipermainkan oleh Oey Yong, hingga adik seperguruan ini juga gagal. Karena ini, tak terkira gusarnya Thong Thian, maka juga, sekalipun di depan orang banyak, tak dapat ia mengatasi diri, tak peduli ia bahwa perbuatannya melanggar adat sopan santun. Demikian ia ulur sebelah tangannya, akan jambak Kwee Ceng. Bocah itu mundur, sedang Ong Cie It segera maju, untuk menghalang di depannya. "Bagus! benar-benar kau melindungi binatang cilik ini!"   Ia berseru, tangannya terus menyambar si imam.   Melihat orang demikian galak, Ong Cie It tidak dapat mundur, maka ia pun angkat tangannya, untuk menangkis.   Disaat kedua tangan hampir bentrok, dari samping mereka tiba-tiba muncul satu orang, tangan kirinya menyambar lengan See Thong Thian, tangan kanannya menyambar lengan Ong Cinjin, terus ia mengibas keluar, maka dengan berbareng, dua orang itu dapat dipisahkan, diundurkan satu dari yang lain.   Dua-dua See Thong Thian dan Ong Cie It terperanjat.   Mereka bukan sembarang orang, maka mereka heran ada seorang yang dapat pisahkan mereka secara demikian gampang.   Tanpa merasa keduanya lantas mengawasi si pemisah itu, ialah seoarng dengan jubah putih, sikapnya tenang sekali, umurnya ditaksir tigapuluh lima atau tipuluh enam tahun, alisnya panjang hingga ujungnya mengenai rambut di pelipisnya, romannya tampan, hingga ia mirip dengan satu sastrawan, siucay.   Dandanannya, seumumnya, seperti dandanan seorang bangsawan.   Segera juga Wanyen Kang menghampirkan, sembari tertawa ia berkata.   "Tuan ini adalah Auwyang Kongcu, sancu dari Pek To San dari pegunungan Kun Lun San di Tibet. Dia belum pernah datang ke Tionggoan, maka itu ini adalah pertama kalinya ia bertemu sama tuan-tuan!"   Bukan melainkan Ong Cie It dan Kwee Ceng yang belum pernah melihat sancu- pemilik bukit dari Pek To San itu, juga Nio Cu Ong dan Peng Lian Houw serta lainnya hadiran di situ.   Dan semua mereka kagum akan caranya sancu ini datang menengah.   Mereka belum pernah mendengar nama Pek To San Bukit Unta Putih itu.   Auwyang Kongcu ini sudah lantas rankap kedua tangannya, terus ia berkata.   "Sebenarnya aku telah mesti siang-siang tiba di kota Yankhia ini, sayang di tengah jalan aku mendapatkan satu urusan penting dan karenanya menjadi terlambat beberapa hari. Untuk itu aku mohon tuan-tuan suka memaafkannya."   Kwee Ceng tidak kenal sancu ini, tetapi mendengar nama bukit Pek To San itu, ia lantas ingat kepada si nonan-nona serba putih yang di tengah jalan sudah mencoba merampas kudanya. Ia menjadi menduga-duga.   "Mungkinkah enam guruku sudah bertempur dengan dia ini?"   Ong Cie It pandai berpikir, ia tidak hunjuk kemurkaan. Ia mengerti, semua hadirin di situ itu ada bangsa lihay, percuma kalau ia melayani mereka itu. Maka ia lantas pandang tuan rumah. "Mana gurumu?"   Ia tanya.   "Kenapa tidak kau minta ia keluar?"   "Ya,"   Sahut Wanyen Kang denagn sederhana. Lantas ia berpaling kepada pengiringnya dan memrintah dengan singkat.   "Undang suhu!"   Pengiring itu sudah lantas mengundurkan diri. Cie It merasakan hatinya lega. Ia telah berpikir. "Dengan adanya Khu Suheng disini, musuh boleh tambah lagi, masih dapat kami membela diri"   Tidak lama lantas terdengar tindakan sepatu, lalu di depan pintu thia terlihat seseorang bertubuh gemuk yang mengenakan seragam baju sulam, suatu tanda ia adalah seorang opsir.   Dia berjanggut lebat, usianya empat puluh lebih, romannya sangat keren.   "Suhu!"   Wanyen Kang lantas memanggil.   "Totiang ini hendak bertemu sama suhu, malah ia sudah menanyakan beberapa kali"   Melihat orang itu dan mendengar perkataan si pangeran, hatinya Ong Cie It menjadi panas sekali. Ia telah berpikir.   "Bocah binatang ini, kau permainkan aku..!"   Tapi ia mencoba untuk mengendalikan diri. "Untuk urusan apakah kau hendak bertemu sama aku, imam?"   Si opsir menanya, sikapnya jumawa. "Adalah sudah biasa bagi aku, aku paling tidak senang terhadap segala paderi, imam atau paderi perempuan!"   Dengan paksakan diri, Ong Cinjin tertawa.   "Tayjin hendak memohon derma,"   Ia berkata.   "Ingin aku minta buat banyaknya seribu tail perak!"   Heran opsir itu atas permintaan derma tersebut.   Ia bernama Thung Couw Tek, kepala barisan pengiring dari Wanyen Lieh di masa Wanyen Kang masih muda sekali, pernah ia ajarkan ilmu silat kepada pangeran itu, karenanya ia dipanggil guru.   Yang lain-lain pun turut memanggil guru padanya.   "Itulah selayaknya,"   Berkata Wanyen Kang, yang mendahului gurunya itu. Ia lantas kata pada pengiringnya.   "Lekas kau siapkan uang itu, sebentar kau antarkan ke hotelnya totiang."   Thung Couw Tek celangap, ia mengawasi imam itu, dari kepala ke kaki, dari kaki ke kepala. Tidak dapat ia menduga, imam ini orang macam apa. "Tuan-tuan, silakan duduk!"   Wanyen Kang mengundang.   "Totiang baharu pertama ini tiba disini, silakan duduk di kursi kepala."   Ong Cie It merendahkan diri tetapi ia didesak terus, akhirnya ia duduk juga di kursi pertama itu. Setelah tiga edaran arak, ia berkata.   "Sekarang ini telah hadir banyak cianpwee kaum Rimba Persilatan, maka bolehlah kita bicara dari hal keadilan. Tentang si orang she Bok yah dan anak itu, bagaimana urusannya itu harus diatur?"   Mendengar pertanyaan itu, semua mata diarahkan kepada Wanyen Kang. Pangeran itu mengisikan sebuah cangkir, ia berbangkit untuk bawa itu kepada Ong Cie It seraya terus berkata.   "Silahkan totiang keringkan dahulu cawan ini. Tentang itu, bagaimana juga hendak diaturnya, boanpwe selalu bersedia untuk menuruti."   Cie It heran hingga ia tercengang. ia tidak sangka pangeran ini dapat bersikap demikian. Ia lantas hirup arak itu. Ia berkata kemudian.   "Bagus! Sekarang baik si orang she Bok itu diundang kemari, untuk kita membicarakan urusannya."   "Bagus begitu,"   Menyahut Wanyen Kang.   "Aku minta saudara Kwee saja yang pergi mengundang tuan Bok itu."   Ong Cie It menagngguk dan Kwee Ceng segera berbangkit, untuk pergi ke hotel dimana Bok Ek dan gadisnya menumpang.   Tiba di sana, ia menjadi heran.   Ayah dan anak dara itu tidak ada di kamarnya, barang-barangnya pun telah dibawa pergi.   Ketika jongos ditanya, jawabannya adalah Bok Ek dan gadisnya itu ada yang undang sudah pergi entah ke mana, uang sewa kamar pun sudah dibayar lunas.   Kwee Ceng heran.   Ia tanya jongos, siapa itu yang mengundang.   Jongos itu tidak dapat memberikan keterangan.   Maka terpaksa pemuda ini pulang ke onghu dengan tangan hampa.   Sambil tertawa, Wanyen Kang sambut tetamunya.   "Banyak cape, tuan Kwee!"   Katanya.   "Mana tuan Bok itu?"   "Ia telah pergi, entah kemana,"   Sahut Kwee Ceng, yang treus tuturkan kepergiannya Bok Ek serta anaknya itu. "Oh, aku menyesal"   Berkata Wanyen Kang cepat. Terus ia menoleh pada pengiringnya, untuk memerintah.   "Kau lekas ajak orang pergi mencari tuan Bok dan putrinya itu, dia mesti dapat diundang datang kemari!"   Pengiring itu menyahuti, terus ia undurkan diri. Ong Cie It menjadi membungkam, tetapi ia bercuriga. Akhirnya, ia berkata.   "Tidak peduli orang bermain sandiwara apa, urusan toh akan ketahuan akhirnya!"   "Totiang benar,"   Berkata Wanyen Kang sembari tertawa.   Sementara itu Thung Couw Tek heran dan mendongkol.   Tidak karu-karuan cukongnya kehilangan uang seribu tail perak.   ia penasaran sekali, selagi si pangeran berlaku manis, si imam bersikap seperti tidak tahu aturan.   Akhirnya ia menegur.   "Eh, tosu, kau asal kuil mana? Kenapa kau datang kemari untuk main gila?!"   Ong Cie It tidak menyahuti, ia hanya balik bertanya. "Jenderal, kau ada asal negara mana? Kau mengandal apa maka kau datang kemari dan menjadi pembesar negeri?"   Couw Tek gusar sekali.   Bukankha ia orang Han yang bekerja pada bangsa Kim? Kenapa ia mesti ditanya lagi kalau bukan orang hendak menghina padanya? Ia justru paling tidak senang orang menyebut-nyebut kebangsaannya.   Ia memang tidak puas dengan kedudukannya.   Ia anggap dirinya gagah, ia sudah bekerja mati-matian untuk negara Kim, tetapi pemerintah Kim tidak pernah mengijinkan ia memimpin pasukan tentara sendiri.   Sudah duapuluh tahun ia bekerja, pangkatnya bukan kecil tetapi ia tetap ditempatkan di onghu.   Maka juga perkataannya Ong Cie It membikin ia merasa tersinggung.   Lantas ia lompat bangun, walaupun di depannya ada Nio Cu Ong dan Auwyang Kongcu, ia ulur tangannya meninju mukanya Ong Cinjin! Cie It tertawa.   "Kau tidak hendak memberitahu pun tidak apa, ciangkun,"   Ia berkata.   "Maka perlu apa kau bergusar dan menggunakan kekerasan?"   Ia angkat sumpitnya untuk menjempit kepalan orang. Kepalan Couw Tek kena tertahan, tak dapat ia meneruskan meninju. "Imam siluman, kau menggunai ilmumu!"   Ia membentak, kaget dan gusar menjadi satu. Dia terus menarik pulang tangannya itu, tetapi dia tidak berhasil. Maka mukanya menjadi merah, dia jengah sekali. "Jangan gusar, ciangkun,"   Berkata Nio Cu Ong, yang berada di sampingnya.   "Baiklah ciangkun duduk dan keringkan arakmu!"   Ia ulur tangannya, akan tekan pundak si jenderal.   Thie Kak Sian Giok Yang Cu tahu, sumpitnya dapat mempengaruhi Couw Tek tetapi tidak si orang she Nio ini, maka selagi orang menekan pundak si jenderal itu, cepat luar biasa, ia melepaskan jepitannya, sumpitnya itu terus ia pakai menyambar sepotong paha ayam, yang segera dibawa masuk ke dalam mulutnya orang she Thung itu, untuk disuapi dengan paksa! Couw Tel menjadi gelagapan, selagi mulutnya tersumpel, tubuhnya jatuh terduduk di kursinya akibat tekanannya Nio Cu Ong.   Ia malu bukan main, ia sangat mendongkol, maka ketika ia berbangkit pula, terus ia lari ke dalam.   Menyaksikan kejadian itu, semua hadirin tertawa.   "Coan Cin Pay berpengaruh di Selatan dan Utara, sungguh namanya bukan kosong belaka!"   Berkata See Thong Thian.   "Aku hendak memohon sesuatu kepada totiang, sudikah totiang meluluskannya?"   "Tidak berani aku menerima pujianmu, See Locianpwe,"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Berkata Giok Yang Cu.   "Silakan locianpwe mengatakannya."   "Pihak kami tidak ada sangkutannya sama Coan Cin Pay,"   Berkata Kwie-bun Liong Ong.   "Maka itu aku mohon keterangan, kenapa pihakmu berdiri sepenuhnya dibelakang Kanglam Cit Koay dan dengan begitu menyusahkan pihakku? Walaupun Coan Cin Pay banyak anggotanya dan sangat berpengaruh, aku yang bodoh tidak merasa takut."   "See Locianpwe, pada ini terang ada salah mengerti,"   Berkata Giok Yang Cu.   "Pinto tahu tentang Kanglam Cit Koay, tetapi dengan mereka itu, tidak satu pun yang pinto kenal, hanya salah satu suhengku ada punya sangkutan dengan mereka. Maka itu sama sekali tidak ada soal pihakku membantu Kanglam Cit Koay menghadapi Hong Ho Su Koay."   "Bagus, kalau begitu!"   Berseru See Thong Thian. "Sekarang kau serahkan ini bocah kepadaku!"   Ia lantas berbangkit, akan ulur sebelah tangannya, guna menjambak batang lehernya Kwee Ceng.   Ong Cie It mengerti, bocah itu tidak bakal lolos dari jambakan itu, sedikitnya ia tentu terluka enteng, maka itu, ia lekas berbangkit, untuk menghalang, lengan kirinya berbareng dipakai membentur bocah itu, hingga tubuhnya Kwee Ceng tertolak mental.   Menyusul itu jambakannya si orang she See itu mengenai kursi yang diduduki Kwee Ceng, hingga kursi itu tercengkeram rusak seraya menerbitkan suara keras.   Jambakan itu adalah jambakan dari Gwa-kang, ilmu Bahagian Luar, hebatnya tak sama dengan Kiu-im Pek-ku Jiauw dari Hek Hong Siang Sat akan tetapi toh tidak kalah.   "Hau, kau lindungi bocah ini?"   Menegur Thong Thian karena kegagalannya itu. "Sabar, locianpwe,"   Berkata Cie It tenang.   "Anak ini pinto yang bawa datang ke istana ini, maka itu sudah selayaknya kalau nanti pinto membawanya keluar secara baik-baik. Kalau benar saudara tidak sudi melepaskan padanya, tidak dapatkah kau mencari ia dilain hari?"   Auwyang Kongcu lantas campur bicara. "Bagaimana caranya bocah ini mendapat salah dari saudara See?"    Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Si Rase Hitam Karya Chin Yung Darah Daging Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini