Pendekar Pemanah Rajawali 2
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 2
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Ia membuka jalan untuk istrinya Lie-sie yang bernama Peng. Beberapa perwira tidak dapat mencegah kedua orang gagah itu, terpaksa mereka menitahkan menggunai anak panah. "Enso, lekas naik!" Seru Tiat Sim, yang hampiri Lie-sie. Ia pun lantas lompat turun dari kudanya. "Tidak bisa." Berkata Lie-sie. Diwaktu demikian, tidak ada lagi aturan sungkan, maka tanpa bilang suatu apa, Tiat Sim cekal tubuh iparnya, untuk segera diangkat naik ke punggung kuda, kemudian ia bersama Siauw Thian mengikuti dari belakang, untuk melindungi. Lolos belum jauh, di sebelah depan mereka dicegat oleh satu pasukan lain. Riuh suara tentera itu, hebat serbuannya. Tiat Sim dan Siauw Thian mengeluh di dalam hati. Karena terpaksa, mereka jadi memikir untuk cari jalan lolos. Sekonyong-konyong terdengar suara panah sar-ser, lalu Pauw-sie menjerit keras. Kuda putih terpanah, kaki depannya tertekuk, lalu tubuhnya ngusruk. Pauw-sie rubuh bersama Lie-sie, yang pun ikut berteriak. Tiat Sim kaget tetapi ia tabah. "Toako, lindungi mereka, akan aku rampas kuda pula!" Serunya. Lalu dengan memutar tombaknya, ia menerjang musuh. Kwee Siauw Thian berpikir lain daripada saudara angkatnya itu. "Terang kita berdua tidak bakal dapat menerobos kurungan musuh ini, atau istri kita sukar ditolongi. Karena kita tidak bersalah dosa, daripada antarkan jiwa disini, baiklah kita menemui pembesar negeri untuk berbicara dengannya." Maka itu, ia teriaki adik angkatnya itu. "Adik, mari kita ikuti mereka ke kantor!" Tiat Sim heran, akan tetapi ia hampiri saudaranya itu. Perwira pemimpin tentera itu menitahkan menunda penyerangan, tetapi mereka mengurung rapat-rapat. "Letaki senjatamu, kami akan beri ampun jiwa kamu!" Ia berteriak. "Toako, jangan kena diperdayakan!" Tiat Sim memberi ingat. Siauw Thian menggeleng kepala, ia lemparkan sepasang tombaknya. Tiat Sim lihat istrinya ketakutan, hatinyapun menjadi lemah, maka seraya menghela napas, ia lemparkan panah dan tombaknya. Atas itu belasan tombak tajam dipakai mengurung empat orang itu, kemudian delapan serdadu maju mendekati, untuk membelenggu mereka berempat. Tiat Sim berdiri tegak, dia tertawa dingin. Sikap ini tidak menyenangi si pemimpin tentara, ia ayun cambuknya seraya mendamprat. "Pemberontak bernyali besar, benarkah kamu tidak takut mampus?!" "Bagus!" Kata jago she Yo itu. "Siapakah namamu?!" Perwira itu menjadi semakin gusur, cambuknya disabetkan berulang-ulang. "Tuan besarmu tak pernah ubah she dan namanya!" Katanya dengan jumawa. "Tuan besarmu she Toan namanya Thian Tek. Thian Tek itu berarti kebijaksanaan Tuhan, kau mengerti? Ingatkah kau? Supaya kapan nanti kau bertemu Giam Kun, kau boleh ajukan dakwaanmu!" Tiat Sim tidak takut, ia malah mengawasi dengan bengis. "Ingat olehmu, tuanmu ada cacat luka di jidatnya dan tanda biru di pipinya!" Thian Tek membentak pula. Ia angkat pula cambuknya. Pauw-sie menangis. "Dia orang baik, ia belum pernah berbuat jahat, kenapa kau aniaya dia sampai begini?" Tanya istri ini yang tidak tega melihat suaminya dicambuki. Tiat Sim meludah tepat mengenai mukanya perwira she Toan itu. Dia menjadi sangat murka, ia lalu cabut golok di pinggangnya. "Aku akan bunuh dulu padamu, pemberontak!" teriaknya. Tiat Sim tidak sudi mandat dibacok, ia berkelit ke samping. Tapi segera ia merasa ada tombak-tombak yang menahan tubuhnya. Thian Tek membacok pula. Tiat Sim tidak melihat lain jalan, ia berkelit mundur dengan mengkeratkan tubuhnya. Melihat bacokkannya kembali gagal, Thian Tek terus menikam. Kali ini goloknya yang tajam bagaikan gergaji dapat melukakan pundaknya orang she Yo itu. Dia tapinya belum puas, kembali ia ulangi bacokannya. Siauw Thian lihat adik angkatnya terancam bahaya, ia lompat maju seraya mendupak. Thian Tek terkejut, ia batal menyerang, terus dia menangkis. Siauw Thian lihay, ia tarik kakinya untuk ayun kakinya yang lain. Itulah tendangan saling susl dari ilmu tendangan Wan-yo-twie, maka tak ampun lagi, perwira itu terjejak pinggangnya. "Hajar mampus dia!" Dia berseru. Beberapa serdadu segera menyerang. Siauw Thian melawan, ia dapat menendang terguling dua serdadu, tetapi karena ia terbelenggu tangannya, akhirnya ia kena dibokong Thian Tek yang sambar ia dari belakang, hingga tangan kanannya terbacok kutung! Bukan main panasnya hati Tiat Sim menampak kakaknya itu menjadi korban keganasan si perwira, entah darimana datangnya tenaganya ketika ia berteriak keras sekali, belengguan pada tangannya terputus terlepas, maka sambil melompat maju, ia hajar rubuh satu serdadu, untuk rampas tombaknya yang panjang dengan apa ia terus mengamuk. Thian Tek menginsyafi bahaya, ia sudah mendahului mundur. Yo Tiat Sim menyerang bagaikan kalap, matanya menjdi merah. Semua serdadu mejadi kalah hati, dengan ketakutan mereka lari bubaran.. Tiat Sim tidak mengejar musuh, hanya ia menubruk kakak angkatnya yang telah mandi darah. Tanpa merasa ia kucurkan airmata. "Adik sudah kau jangan pedulikan aku," Kata Siauw Thian lemah. "Lekas, lekas kau singkirkan diri" "Akan aku merampas kuda, mari kita pergi bersama!" Kata Tiat Sim. Siauw Thian tidak menyahut, ia hanya pingsan. Tiat Sim buka bajunya, hendak ia membalut luka kakak itu, tetapi lukanya lebar sekali, dari pundaknya merembet ke dada, sulit untuk membalutnya. Siauw Thian sadar pula. " Adik, kau pergilah" Ia kata dengan suara yang sangat lemah. "Pergi kau tolong teehu serta ensomuaku, aku sudah habis" Dan ia meramkan matanya untuk selamanya. Hampir Tiat Sim menyemburkan darah, sangking berduka dan mendongkol. Ia lantas berpaling ke arah di mana istrinya dan ensonya, istri Siauw Thian. Untuk kagetnya ia tidak dapat melihat mereka itu. "Toako, aku akan balaskan sakit hatimu!" Ia berteriak. Lalu dengan membawa tombaknya, ia lari kepada barisan serdadu, yang sekarang sudah berkumpul pula. Toan Thian Tek memberi perintahnya, maka barisannya itu menyambut dengan hujan anak panah. Tiat Sim maju terus seraya putar tombaknya, akan halau setiap busur. Ketika satu perwira dekati dia dan membacok, ia berkelit sambil mendak, akan nelusup ke bawahan perut kuda. Si perwira membacok sasaran kosong, hendak ia putar kudanya, tetapi tombaknya Tiat Sim tahu-tahu sudah menikam tepat kepadanya, maka ketika tubuhnya rubuh, orang she Yo itu gantikan ia lompat naik ke atas kudanya itu hingga dengan apa punya binatang tunggangan, Tiat Sim bisa menyerang dengan terlebih hebat. Sekali lagi barisan serdadu itu lari buyar. Tiat Sim mengejar, hingga ia lihat satu perwira lagi kabur sambil peluki seorang perempuan. Ia tidak mengejar, hanya ia lompat turun dari kudanya, akan rampas gendawanya satu serdadu Song lalu diantara terangnya api obor, ia panah perwira itu. Tepat panahnya ini, si perwira rubuh dari kudanya yang jatuh ngusruk. Dia rubuh bersama si wanita dalam pelukannya, hingga orang jadi terlepas. Lagi sekali Tiat Sim memanah. Selagi orang merayap bnagun. Kali ini perwira itu rubuh pula untuk tidak dapat bangun lagi. Tiat Sim lari kepada wanita itu untuk kegirangannya ia dapatkan pada istrinya. Sek Yok kaget dan girang, ia lompat ke dalam rangkulan suaminya itu. "Mana enso?" Tiat Sim tanya. Dia lantas ingat istrinya Siauw Thian. "Ia ada di sebelah depan, ia pun dibawa lari serdadu jahanam itu!" Sahut Pauw-sie. Kapan Tiat Sim menoleh, ia tampak mendatanginya satu barisan lain. "Toako telah menemui ajalnya, biar bagaimana aku mesti tolongi enso!" Ini adik angkat ambil keputusan, ia bicara sama istrinya. "Turunan toako mesti dilindungi. Kalau Thian mengasihi kita, kita berdua dapat bertemu pula" Sek Yok rangkul keras leher suaminya itu, ia menangis menggerung-gerung. "Tak dapat kita berpisah!" Ia kata. "Kau yang bilang sendiri, kalau kita mesti binasa, kita mesti binasa bersama! Bukankah benar kau pernah mengatakan demikian?" Tiat Sim peluki istrinya, hatinya karam. Tapi ia tiba-tiba keraskan hati, ia menolak dengan keras, ia sambar pula tombaknya, untuk lari. Ketika sudah lari beberapa puluh tindak, ia lihat istrinya menangis bergulingan di tanah, dan barisan serdadu yang mendatangi sudah mendekati istrinya itu. Ia usap mukanya, peluhnya bercampur sama darah muncratan. Ia lari pula. Telah bulat tekadnya untuk menolongi Lie-sie. Di sebelah depan, ia dapat rampas seekor kuda, maka itu ia jadi tambah semangat. Kebetulan ia dapat bekuk satu serdadu, atas pertanyaannya, serdadu itu bilang Lie-sie berada di sebelah depan. Maka ia kaburkan kudanya. Tiba-tiba dari samping jalanan mana ada perpohonan lebat, terdengar cacian seorang wanita. Ia lekas tahan kudanya, yang ia putar untuk hampirkan tempat lebat itu. Dengan tombaknya ia menyingkap cabang-cabang pohon.Maka di hadapannya terlihat dua serdadu sedang menyeret-nyeret Lie-sie. Tidak ampun lagi, Tiat Sim tikam mampus mereka satu demi satu. Lie-sie berbangkit dengan rambut kusut dan pakaian penuh tanah tidak karuan. Diwaktu begitu, tidak ada ketika untuk omong banyak, maka Tiat Sim angkat tubuh iparnya itu, dikasih naik ke atas kudanya, untuk mereka menunggang bersama. Ia lari balik untuk cari istrinya di tempat dimana tadi mereka berpisah. Untuk kedukaannya ia tak dapatkan Pauw-sie, tempat itu sunyi senyap dari segala apa. Ia turun dari kudanya untuk memeriksa tanah. Ketika itu sudah fajar. Ia lihat tapak-tapak kaki dan tanda bekas orang diseret, maka sakitlah hatinya. Ia percaya istrinya telah jatuh pula ke dalam tangan musuh. "Mari!" Katanya seraya melompat naik ke atas kudanya yang ia terus kasih lari, perut kudanya pun dijepit hingga binatang itu kesakitan dan lari kabur. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sedang kuda lari keras mendadak dari samping jalanan muncul belasan orang yang hitam semua pakaiannya, orang yang terdengar segera menyerang dengan toyanya. Tiat Sim sempat menangkis, dapat ia menikam. Orang itu sebat dan gesit, ketika ia membuat perlawanan, nyata permainan toyanya pun lihay. Hal ini membuat heran kepada orang she Yo itu. Pernah Tiat Sim dan Siauw Thian berbicara tentang ilmu silat, bahwa dijamannya kawanan Liang San, Pek-lek-hwee Cin Beng adalah yang terlihay ilmu toyanya, tetapi dijaman itu orang Kim-lah yang terkenal. Maka itu sekarang ia curigai lawannya itu ada satu perwira Kim. Ia hanya heran, kenapa perwira Kim bisa muncul di situ. Tapi ia tidak bisa berpikir lama-lama, ia lantas menyerang dengan hebat. Kali ini ia berhasil membuat lawan itu terjungkal, karena mana barisan serdadunya lantas kabur. Segera Tiat Sim menoleh, hatinya lega akan dapatkan iparnya tak kurang satu apapun. Ia masih mengawasi iparnya itu ketika "Ser!" Sebatang gendewa menyambar kepadanya, menyambar dari arah pepohonan yang lebat, hingga ia tidak sempat menagkis atau berkelit, busur itu tembus di punggungnya. "Encek, kau kenapa?" Tanya Lie-sie kaget. Tiat Sim tidak menyahuti, hanya di dalam hatinya ia kata. "Aku tidak sangka bahwa aku bakal habis disini Sebelum aku terbinasa, aku mesti labrak dulu musuh, supaya enso dapat lolos!" Ketika ia geraki tombaknya, ia menjadi kaget. Ia merasa sakit hingga ke peparunya. "Cabut panah ini!" Ia kata. Lie-sie tapi hatinya lemah, tenaganya tidak ada, tak dapat ia menolong. Tiat Sim lantas mendekam di atas kudanya, tangan kirinya diapakai mencekal gagang panah, dengan satu kali sentak, ia cabut busur itu terus ia pandangi. Anak panah itu nancap dalam kira tiga dim, gagangnya memakai bulu burung rajawali, batangnya terbuat dari perunggu. Itu bukanlah sembarang busur. tempo ia memeriksa lebih jauh, pada gagang itu ada terukir tiga huruf "Wanyen Lieh" Ia terkejut. "Wan-yen" Itu adalah she, yaitu nama keluarga dari bangsa Kim, dari golongan keluarga raja. Biasanya dari raja hingga jenderalnya, bangsa itu memakai nama keluarga tersebut. "Bagus!" Serunya. "Benar-benar si pembesar jahanam itu telah bersekongkol sama bangsa asing, bersama-sama mereka mencelakai rakyat negeri!" Ia serahkan busur itu kepada Lie-sie. "Enso ingat baik-baik nama ini!" Ia pesan. "Pesanlah anakmu untuk menuntut balas.!" Habis berkata, ia putar tombaknya, ia menerjang ke antara musuh, tetapi darah di punggungnya membanjir keluar, tiba-tiba matanya menjadi gelap, tak dapat ia menahan diri lagi, ia rubuh dari kudanya. * * * Hatinya Pauw-sie sakit bagai disayat-sayat karena tolakan suaminya, tempo ia mengawasi suaminya itu, sang suami sudah lantas lenyap, di pihak lain, rombongan serdadau telah mendatangi ke arahnya. Ia mencoba lari, tetapi sudah kasep, ia kena kecandak dan ditawan, tubuhnya segara dikasih naik ke atas seekor kuda. "Aku tidak sangka dua orang itu demikian kosen hingga mereka dapat mencelakai tak sedikit saudara- saudara kita!" Berkata satu perwira sambil tertawa. "Tapi sekarang kita toh peroleh hasil!" Kata satu perwira lain. "Eh, sahabatku Ciong, untuk cape kita ini kita bakal dapat persen tiga atau empat puluh tail perak!" "Hm!" Menyahut si Ciong itu. "Aku harap asal saja potongannya dikurangi sedikit!" Terus ia menoleh kepada barisannya, akan beri titahnya. "Kumpulkan barisan!" Serdadu tukang terompet sudah lantas kasih dengar suara alat tiupnya Pauw-sie menangis tersedu-sedu, ia lebih memikirkan suaminya yang ia tidak tahu bagaimana jadinya. Ketika itu sang fajar telah tiba, dijalanan sudah ada beberapa orang yang berlalu lintas, akan tetapi mereka nampak serdadu, mereka lalu menyingkir jauh-jauh. Mulanya Pauw-sie berkhawatir sangat kawanan serdadu itu nanti perlakukan kasar atau kurang ajar terhadapnya, kemudian ia merasa sedikit lega. Ia tidak saja tidak diganggu, ia malah diperlakukan dengan manis dan hormat. Barisan ini baru berjalan beberapa lie, tiba-tiba mereka dicegat oleh belasan orang yang mengenakan pakaian serba hitam, yang semua berbekal senjata. Mereka itu muncul dengan tiba-tiba dari pinggir jalanan. Seorang yang berada di paling depan sudah lantas kasih dengar suaranya yang bengis. "Kawanan serdadu tak tahu malu dan kejam, tukang ganggu rakyat, kamu semua turun dari kuda kamu dan serahkan diri!" Perwira yang pimpin barisan itu menjadi gusur. "Kawanan berandal dari mana ynag berani mengacau di wilayah kota raja?!" Dia balas membentak. "Lekas menggelinding pergi!" Pihak baju hitam itu tidak menggbris bentakan itu, sebaliknya mereka buktikan ancaman mereka, ialah tanpa bilang suatu apa lagi, mereka maju menerjang, dengan begitu pihak jadi bertempur kalut. Kawanan baju hitam itu berjumlah lebih kecil akan tetapi mereka mengerti ilmu silat denag baik, dengan begitu pertempuran menjadi berimbang. Menyaksikan pertempuran itu, diam-diam Pauw-sie bergirang. "Bukankah mereka ini dalah kawan-kawannya suamiku, yang mendengar kabar dan telah datang menolong?" Demikian ia menduga-duga. Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba satu busur nyasar menyambar punggung kudanya Pauw Sek Yok. Binatang itu kaget dan kesakitan, ia berlompat dan lari kabur. Sek Yok kaget dan ketakutan, ia mendekam di kudanya itu yang lehernya ia peluki keras-keras. Ia takut jatuh. Kuda itu kabur terus hingga beberapa lie, sampai di sebelah belakangnya, terdengar datangnya kuda lain, lalu tertampak satu penunggang kuda datang memburu. Cepat sekali larinya kuda pengejar ini segera ia menyandak dan lewat di samping Pauw-sie, si penunggangnya sendiri sambil melarikan kudanya itu memutar sehelai dadung panjang di atasan kepalanya, apabila ia melepaskan sebelah tangannya, dadung itu ialah lasso, lantas menyambar ke kudanya Sek Yok. Sekarang kedua kuda jadi lari berendeng, si penunggang kuda menahan dengan perlahan-lahan, dari itu sesaat kemudian kedua kuda itu larinya perlahan, akan akhirnya selang beberapa puluh lie, kuda si penunggang berhenti dengan tiba-tiba, sebab mulutnya penunggang itu perdengarkan tanda. Dengan begitu kuda Sek Yok pun berhenti seketika. Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya. Pauw-sie kaget dan ketakutan, ia pun ngantuk dan lelah, karena kuda itu berlompat berdiri habislah tenaganya, tak dapat ia memeluki lagi leher kuda lantas saja ia rubub ke tanah dan pingsan. Ia mendusin setahu beberapa lama kemudian, ia hanya dapatkan tubuhnya rebah di atas sebuah pembaringan yang empuk kasurnya dan tubuhnya pun dikerebongi selimut kapas yang membuat ia merasa hangat. Ia buka matanya perlahan-lahan. Yang pertama ia lihat ialah langit kelambu kembang. Maka sadarlah ia yang ia telah tidur di atas pembaringan. Ia menoleh ke samping, ia dapatkan sebuah meja dan satu pelitanya. Di tepi pembaringan berduduk satu orang laki-laki dengan pakaian serba hitam. Kapan pria itu melihat orang mendusin dan tubuhnya bergerak, lekas-lekas ia bangun berdiri, untuk singkap kelambu dan menggantungnya. "Oh, kau sudah mendusin?" Pria itu tanya, perlahan suaranya. Biar bagaimana, Sek Yok belum sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia mengawasi. Si pria ulur tangannya, untuk meraba jidat si nyonya. "Oh, panas sekali!" Katanya. "Tabib akan segera datang" Sek Yok meramkan pula matanya, terus ia tidur pula. Ia baru sadar tempo dengan samar-samar ia merasa orang pegang nadinya, disusul mana orang memberi ia makan obat. Ia masih tak sadar benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak. " Engko Tiat! Engko Tiat!" Lalu ia merasa ada tangan pria yang dengan perlahan-lahan mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah lembut. Kapan kemudian Sek Yok mendusin pula, hari sudah terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit untuk berduduk. Seorang menghampiri dia. "Minum bubur?" Tanya ia itu dari luar kelambu. Pauw-sie kasih dengar suara perlahan, atas mana pria itu singkap kelambunya. Sekarang dua muka saling berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok dapat melihat denagn tegas, maka ia menjadi terkejut. Ia tampak satu wajah yang tampan, yang tersungging senyuman manis. Itulah si anak muda yang beberapa bulan yang lalu ia tolongi selagi orang terluka dan rebah tak berdaya di atas salju, yang kemudian menghilang tidak keruan paran dari gudang kayu. "Tempat ini tempat apa?" Nyonya ini kemudian tanya. "Mana suamiku?" Pemuda itu menggoyang tangan, melarang orang berbicara. "Sebenarnya aku bersama beberapa kawan kebetulan lewat di sini," Ia berkata dengan perlahan. "Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak puas, maka aku telah tolongi kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang telah menunjuki aku justru tolongi penolongku" Ia berhenti sebentar, lalu ia melanjuti. "Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang bearad dirumahnya seorang petani,maka itu jangan Nyonya sembarang munculkan diri. Harap Ynonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah suami Nyonya" Mukanya Sek Yok menjadi merah, akan tetapi ia mengangguk. "Mana suamiku?" Ia tanya. "Sekarang kau letih dan lemah sekali, Nyonya," Kata pula si anak muda. "Nanti saja setelah kesehatanmu pulih, aku berukan keteranganku. Sekarang baiklah kau beristirahat dulu." Sek Yok terperanjat. Dari caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah menampak sesuatu kecelakaan. "Diadia kenapa, suamiku itu?" Ia tanya, tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur. "Nyonya, jangan bergelisah tidak karuan," Orang itu menhibur. "Untukmu paling baik adalah merawat diri" "Apakah diadia telah meninggal dunia?" Sek Yok menanya. Pemuda itu mengangguk. "Ya, ia telah dibinasakan oleh rombongan serdadu itu" Ia beri pebyahutan. Sek Yok kaget, ia lantas pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan. "Sudahlah," Si anak muda menghibur pula. "Bagaimana caranya ia meninggal dunia?" Pauw-sie tanya. "Bukankah suami Nyonya berumur duapuluh kurang lebih, tubuhnya tinggi dan lebar, yang bersenjatakan sebatang tombak panjang?" Si anak muda tegaskan. "Benar dia." "Aku tengah melawan tiga musuh ketika satu musuh jalan mengitar ke belakangnya suamimu itu yang dia tombak punggungnya," Si anak muda beritahu. Lagi-lagi Sek Yok pingsan. Besar sangat cintanya kepada suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau minum. Ia berkeputusan nekad untuk binasa bersama suaminya itu. Si pria kelihatan halus budi pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan membujuki untuk nyonya legakan hati. "Apa she dan nama Tuan?" Kemudian Sek Yok menanya. Ia menjadi tak enak hati untuk bersikap tawar terus. "Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan kau dapat menolongi?" Pria itu bersangsi agaknya. ia telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian barulah ia bisa omong juga. "Aku ada orang she Yen dan namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu satu dengan lain." Ia menyahut akhirnya Merah mukanya Sek Yok akan dengar itu perkataan "jodoh", ia balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tetapi hatinya bukan tidak bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya. "Apakah kau dan tentera negeri itu datang dari satu jurusan?" Ia tanya "Kekenapa?" Yen Lieh tanya. "Bukankah baru ini kau dapat luka karena kau bersama tentera negeri hendak mencoba menawan Khu Totiang?" Sek Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan pemuda itu. "Kejadian hari itu sungguh membuat aku penasaran!" Bsahut Yen Lieh. "Aku datang dari utara, hendak aku pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba sebatang busur nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku, Nyonya, pastilah aku terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya imam siapa yang hendak mereka tawan itu?" "Oh, kiranya kau kebenaran lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka itu?" Berkata Sek Yok, romannya heran. "Aku tadinya menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu Totiang, hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau." Sampai di situ, Pauw-sie tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentera negeri, karena mana imam itu telah membuatnya perlawanan dahsyat. Yen Lieh mengawasi orang berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok dapat lihat kelakuan orang itu. "Eh, kau hendak dengari ceritaku atau tidak?" Ia menegur. Yen Lieh terkejut, lalu ia tertawa. "Ya, ya aku tengah memikirkan cara bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongna serdadu itu," Ia menjawab. "Tidak ingin aku yang kita nanti kena di bekuk mereka" Sek Yok menangis. "Suamiku telah terbinasa, untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama?" Katanya. "Baik kau pergi sendiri saja" "Tetapi Nyonya!" Peringatkan Yen Lieh. "Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu belum terbalas, bagaimana kau Cuma ingat kematian saja? Nanti suamimu, yang berada di tanah baka, matanya tak meram" Nyonya itu terkejut, tetapi ia lemah hatinya. "Aku seorang perempuan, bagaimana dapat aku membalas dendam?" Tanyanya. Yen Lieh kelihatannya murka. "Biarnya aku bodoh, akan aku coba membalas dendam untukmu, Nyonya!" Katanya keras. "Apakah nyonya tahu, siapa musuh nyonya suamimu itu?" Nyonya Yo Tiat Sim berpikir sejenak. "Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya, namanya Toan Thian Tek," Sahutnya kemudian. "Dia mempunyakan tanda biru di mukanya." "Dia telah diketahui she dan namanya, gampang untuk mencari dia," Berkata si anak muda. Ia terus pergi ke dapur, untuk sendok semangkok bubur serta satu biji telur asin. "Jikalau kita tidak pelihara kesehatanmu, cara bagaimana kau bisa menuntut balas?" Katanya perlahan setelah ia bawakan bubur dan telu asin itu kepada si nyonya. Pauw-sie anggap perkataan itu benar, ia sambuti bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan. Besok paginya, Pauw-sie turun dari pembaringannya, setelah rapikan pakaiannya ia hadapi kaca untuk sisiri rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu merupakan setangkai bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia berkabung untuk suaminya. Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang cantik bagikan bunga akan tetapi npemiliknya telah tak ada yang satu tetap menjadi seorang manusia, yang lain telah menjadi setan. Ia menjadi sedih sekali, maka ia menangis dengan mendekan di meja. Yen Lieh bertindak masuk selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah sedikit reda, ia berkata. "Tentera di luar sudah berlalu, mari kita berangkat." Sek Yok susut air matanya, ia berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu. Yen Lieh serahkan sepotong perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda, satu diantaranya adalah kudanya Sek Yok, yang terkena panah, yang sekarang telah diobati lukanya. "Kita menuju kemana?" Tanya Pauw-sie. Yen Lieh kedipi mata, untuk cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain, kemudian ia membantui nyonya itu naik ke atas kuda, maka di lain saat, keduanya sudah jalankan kuda mereka berendeng menuju ke utara. Belasan lie telah mereka lalui. "Kau hendak bawa aku kemana?" Akhirnya Sek Yok menanya pula. "Sekarang kita cari dahulu tempat sepi untuk tinggal sementara waktu," Yen Lieh jawab. "Kita tunggu sampai suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah suamimu, untuk dikubur dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian tek si jahanam itu guna menuntut balas." Sek Yok lemah hatinya, lemah lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia bersyukur sekali. "Yen, Yen Siangkong, bagaimana kau harus membalas budimu ini?" Katanya. "Jiwaku ini adalah nyonya yang tolongi," Sahut Yen Liah. "Maka itu tubuhku ini aku serahkan kepada nyonya untuk nyonya suruh-suruh, walaupun badanku hancur dan tulang-tulangku remuk, meskipun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah selayaknya saja." Dua hari mereka berjalan, sore itu mereka singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang didatangi, Yen Lieh mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya ia meminta satu kamar. Sek Yok tidak bilang suatu apa, akan tetapi hatinya tidak tentram, karena itu diwaktu bersantap, ia bungkam, diam-diam ia meraba pedang peninggalan Khu Cie Kee, didalam hatinya ia bilang. "Asal dia berlaku kurang ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!" Yen Lieh menitahkan jongos ambil dua ikat rumput kering, ia tunggu sampai si jongos itu sudah keluar, ia lantas kunci pintu, rumput kering itu ia delar di lantai, di situ ia rebahkan dirinya terus ia tutupi dengan gudri. "Nyonya silakan tidur!" Ia berkata, sesudah mana terus ia meramkan matanya. Hatinya Nyonya Yo berdebar-debar, matanya memandang ke satu arah. Ia jadi ingat suaminya, hatinya menjadi sangat berduka. Ia tidak lantas rebahkan diri, untuk setengah jam ia masih duduk bercokol. Di akhirnya ia menghela napas panjang, habis padamkan api lilin, baru ia tidur tanpa buka pakaian luar lagi, pedang pendeknya tergenggam di tangannya. Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa Kapan besok paginya Pauw-sie bangun dari tidurnya, Yen Lieh sudah tidak ada di kamarnya, pemuda itu telah pergi siapkan kuda mereka dan sudah pesan jongos menyediakan barang makanan. Diam-diam nyonya ini jadi sangat bersyukur, ia menemui orang satu kuncu, laki-laki sejati. Oleh karena itu semakin kurang penjagaan dirinya. Barang hidangan itu terdiri dari masakan ayam, daging asin, ikan dan bubur yang semuanya harum, sedap dan lezat. Akan tetapi mendahar ini, hatinya Pauw-sie kurang tenang. Ia ada dari satu keluarga sederhana, dan biasanya, dedaharannya setiap hari adalah sayur dan ikan asin, baru di hari raya atau tahun baru ia dapat hidangan istimewa. Tak lama sehabisnya dahar, jongos datang menyerahkan satu bungkusan. Itu waktu, Yen Lieh sudah keluar dari kamar. "Apakah itu?" Tanya si nyonya. "Inilah barang yang tadi pagi tuan belikan untuk Nyonya, ialah pakaian baru," Jawab jongos itu. "Tuan pesan supaya nyonya suka salin pakaian." Sek Yok buka bungkusan itu yang membuat dia melengak. Ia tampak seperangkat pakaian baru warna putih, berikut sepatu dan kaos kaki putih juga, yang lainnya ada pakaiaan dalam, baju pendek, sapu tangan dan handuk. "Dia seorang pria, cara bagaimana ia dapat memikir begini sempurna?" Katanya dalam hati, yang sangat bersyukur. Memang ketika ia keluar dari rumah, pakaiannya tidak karuan, sesudah itu untuk satu malaman ia mesti lari-larian, maka pakaiannya jadi kotor dan pecah disana sini. Sekarang setelah tukar pakaian, ia berubah seperti seorang baru. Perjalanan sudah lantas dilanjuti. Sore itu selagi mendekati dusun Kiap-sek-tin, tiba-tiba mereka mendengar jeritan hebat dari sebelah depan. Pauw-sie kaget sekali, ia putar balik kudanya untuk lari. Bukankah ia baru saja lolos dari bahaya yang menakuti? "Jangan takut!" Kata Lien Yeh sambil tertawa. "Mari kita liat!" Pemuda ini berlaku tenang, dengan begitu dapat ia menentramkan sedikit hati si nyonya kawan seperjalanannya itu. Mereka maju terus, hingga di sebuah tikungan. Di situ terlihat lima serdadu, dengan mencekal golok panjang, lagi pegat seorang lelaki tua yang ada bersama satu anak muda serta satu nona. Dua serdadu lagi memeriksa mengaduk-aduk buntalannya si orang tua, yang uangnya dan lainnya barang mereka pindahkan ke saku mereka sendiri. Tiga serdadu lainnya tengah mengurung si nona yang mereka perlakukan dengan ceriwis. Si nona menangis. Dialah ynag tadi menjerit. "Lagi-lagi serdadu mengganggu rakyat jelata," Kata Sek Yok ketakutan. "Mari kita lekas menyingkir" Yen Lieh sebaliknya tersenyum simpul. Satu serdadu segera hampiri dua orang ini yang mereka dapat lihat. "Diam!" Dia membentak. "Kamu bikin apa?" Yen Lieh benar-benar tidak takut, sebaliknya dari angkat kaki, ia justru maju mendekati. "Kamu ada bawahan siapa?" Ia tanya, membentak. "Lekas pergi!" Pada waktu itu tentera Song, kalau menghadapi musuh bangsa Kim, tentu mereka kalah dan lari, akan tetapi terhadap rakyat jelata, mereka galak bukan kepalang, malah mereka main merampas dan paksa. Maka itu melihat Yen Lieh cuma berdua dengan satu nyonya manis, mereka anggap inilah untung mereka. Serdadu itu lantas berseru, lalu ia maju mendekati, dituruti empat kawannya. Sek Yok takut bukan main, ia mengeluh dalam hatinya. Tapi justru itu, kupingnya mendengar suara menyambar "Serr!" Lalu satu serdadu menjerit dan rubuh, dadanya tertumblaskan sebatang busur. Segera si nyonya lihat di tangan kawannya ada gendewa yang bersinar kuning emas, malah gendewa itu dipakai memanah pula beruntun-runtun, hingga lagi tiga serdadu rubuh seperti rekannya yang pertama. Tinggal serdadu yang kelima, ia ketakutan, dia lalu putar tubuhnya untuk lari merat. Menyaksikan orang lari ngiprit, Yen Lieh tertawa enteng. Ia lantas siapkan pula busurnya. Tepat orang lari kira enampuluh tindak, ia berpaling kepada si nyonya, sambil tertawa, ia berkata. "Tunggu sampai ia lari lagi tiga tindak, akan aku panah batang lehernya!" Selagi pemuda ini berkata, si serdadu lari terus, maka gendewa ditarik, busur meleset mengejar dengan cepat sekali, tidak ada ampun lagi serdadu itu terpanah batang lehernya, ujung panah tembus ke tenggorokannya. "Hebat!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Memuji Sek Yok tanpa terasa. Yen Lieh lompat turun dari kudanya, ia hampiri lima serdadu itu, untuk cabuti anak panahnya dari tubuh mereka, anak panah mana dikasih masuk ke dalam kantungnya, habis itu ia melompat naik pula ke atas kudanya. Ia tertawa girang sekali. Justru ia hendak ajak Pauw-sie melanjuti perjalanan, dari samping kiri muncul dengan tiba-tiba sepasukan serdadu dengan suara mereka yang berisik. "Celaka!" Sek Yok menjerit karena kaget dan takut. Yen Lieh cambuk punggung kuda si nyonya selagi ia pun kasih lari kudanya dengan begitu kedua ekor kuda segera lari keras. "Tangkap!" Berteriak tentera yang di belakang itu apabila mereka melihat mayat-mayat rekannya, lalu sambil terus berteriak-teriak, mereka mengejar. Setelah lari serintasan, Pauw-sie menoleh ke belakang, lantas ia menjadi kaget sekali dan ketakutan, ia dapatkan sejumlah tentara pengejar lebih dari seribu jiwa, kopiahnya kopiah besi dan bajunya lapis besi juga. Seorang diri, mana bisa Yen Lieh melawan mereka itu walaupun pemuda ini lihay ilmu panahnya? Celaka adalah kudanya si nyonya Yo ini. Karena lari terlalu keras, lukanya yang belum sembuh telah pecah pula dan mengeluarkan darah, larinya pun menjadi tambah perlahan. Kerananya ia jadi ketinggalan Yen Lieh. Lagi selintasan, selagi tentera pengejar mendatangi semakin dekat, tiba-tiba Yen Lieh tahan kudanya, akan tunggu kudanya Pauw-sie rendengi ia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa mengucap sepatah kata, ia sambar si nyonya untuk ditarik dan dipindahkan ke kudanya, setelah mana ia kaburkan kudanya itu. Akan tetapi ketika itu sudah terlambat. Karena tadi ia menunda kudanya, Yen Lieh kena dicandak pengejarnya, terutama oleh pengejar yang motong jalan dari samping. Segera ia tidak punya jalan lagi, maju tidak, nyampingpun tidak. Karena itu terpaksa ia tahan kudanya. Pauw-sie takut bukan main, mukanya pucat pasi. Yen Lieh sebaliknya tenang. Satu perwira yang bersenjatakan sebatang golok besar, maju menghampiri. "Kau tidak hendak turun dari kudamu untuk manda dibelenggu?" Perwira itu menegur."Kau hendak tunggu apalagi?" Sebaliknya daripada serahkan diri atau ketakutan, Yen Lieh tertawa gembira. "Apakah kamu adalah pengawal pribadi dari Han Sinsiang?" Ia tanya. Heran perwira itu, hingga ia tercengang. "Kau siapa!" Ia membentak. Yen Lieh rogoh sakunya, akan keluarkan sepucuk surat. "Apakah kau tidak kenali aku?" Dia bertanya. Dia tertawa pula. "Nah, kau lihatlah surat ini!" Perwira itu melirik kepada satu serdadu di sampingnya. Ia mengedipi mata. Serdadu itu lantas sambuti surat itu untuk dihanturkan kepada pemimpinnya. Kapan perwira itu sudah membaca, mukanya menjadi pucat, dengan tergesa-gesa ia lompat turun dari kudanya untuk memberi hormat. "Pie-cit, tidak kenali tayjin, dosaku berlaksa kali mati," Katanya. "Pie-cit mohon diberi ampun." Tidak saja perwira itu membasakan dirinya "pie-cit" Yang artinya "bawahan yang rendah", surat itu pun segera ia ancungkan ke atas kepalanya, selaku tanda hormat, dan wajahnya terus menunjuki ia bergelisah. Yen Lieh sambuti kembali surat itu. "Nampaknya tentera mu kurang kenal tata tertib ketenteraan!" Katanya sambil tertawa. Sementara itu, Pauw-sie mengawasi kejadian denga hatinya heran bukan main. Perwira itu menjura dalam. "Nanti pie-cit melakukan pemeriksaan untuk memberi hukuman," Ia berkata, suaranya dan sikapnya sangat merendah. Yen Lieh tertawa pula. "Kami masih kekurangan seekor kuda," Katanya. "Perwira itu tuntun kudanya sendiri. "Silahkan hujin pakai kudaku ini," Pintanya. Ia bicara terhadap Pauw-sie. Sek Yok heran yang ia dipanggil "hujin" Atau nyonyanya si anak muda, mukanya menjadi merah. Yen Lieh manggut perlahan ia lantas sambuti kudanya si perwiara. "Pergi kau sampaikan kepada Han Sinsiang," Katanya. "Bilang aku ada punya urusan penting dan mesti pulang lantas, dari itu aku tak dapat pamitan lagi." "Baik, baik, tayjin, pie-cit mengerti," Kata perwira itu tetap dengan sangat hormat. Yen Lieh tidak pedulikan lagi pemimpin pasukan itu, ia pondong Pauw-sie untuk dipindahkan ke kuda yang baru, lalu bersama-sama mereka lanjuti perjalanan mereka ke utara. Sesudah jalan beberapa puluh tindak, Sek Yok menoleh ke belakang. Untuk herannya ia lihat si perwira dan barisannya masih belum pergi, agaknya mereka itu masih mengasih selamat jalan.. Ia berpaling kepada si anak muda, ingin ia menanya, tapi anak muda itu, sambil tertawa mendahulukan dia. "Walaupun Han To Cu sendiri yang melihat aku, dia jerih tiga bagian," Katanya. "Maka itu, apapula segala perwira itu." "Jikalau begitu, pastilah gampang untuk kau membalaskan sakit hatiku," Kata Pauw-sie. "Soal itu ada lain," Sahut si anak muda. "Sekarang ini kita telah ketahuan siapa adanya, pihak tentera tentu telah membuatnya persediaan, apabila kita pergi menuntut balas sekarang juga, tidak melainkan kita bakal gagal, kita pun bisa mendapat celaka." "Habis bagaimana?" Si nyonya tanya pula. Ia tidak mengerti. Yen Lieh berdiam sejenak. "Nyonya , dapatkah kau mempercayai aku?" Bia tanya. Pauw-sie mengangguk. "Sekarang ini mari kita balik dahulu ke utara," Yen Lieh berkata. "Kita tunggu sampai suasana reda, baru kita berangkat pula ke selatan ini untuk maksud menuntut balas itu. Nyonya legakan hati, tentang sakit hati suamimu itu serahkan kepada tanggungjawabku seorang." Sek Yok bingung tidak berdaya. Percaya saja ia ragu-ragu. Bukankah ia sudah rudin dan tak bersanak kandung juga? Kemana ia mesti pergi untuk pernahkan diri? Bukankah lebih baik ia turut pemuda ini? Tapi dia ada satu janda, orang pun bukan sahabat bukan sanak, cara bagaimana ia bisa terus ikuti pemuda itu? Dia jadi menjublak karena kesangsiannya itu. "Jikalau nyonya anggap saranku kurang sempurna, silahkan kau beri petunjukmu," Kata Yen Lieh melihat orang berdiam saja. "Akan aku turut segala titahmu." Menampak sikap orang itu, Sek Yok menjadi tak enak sendirinya. "Baiklah, sesukamu" Katanya perlahan, sambil tunduk. Yen Lieh menjadi girang sekali. "Budimu yang besar, Nyonya, tak nanti aku lupakan," Dia bilang. "Nyonya." "Harap kau tidak sebut-sebut tentang budi" Kata Sek Yok. "Baik, baik, Nyonya." Lantas keduanya larikan pula kuda mereka, kadang-kadang yang satu di depan yang lain di belakang, atau setempo dengan berendang. Hawa udara ada nyaman karena itu waktu pun ada di musim pertama yang indah. Di sepanjang jalan ada kedapatan pohon-pohon yangliu dan bunga. Untuk melegakan hati si nyonya, Yen Lieh sering membuka pembicaraan. Sek Yok heran dan kagum untuk si anak muda, ini kawan seperjalanannya yang sebenarnya asing untuknya. Ia dapati orang halus sikapnya dan menarik kata-katanya. Luas pengetahuannya si anak muda, pandai ia memilih bahan pembicaraan. Orang pun tampan dan menyenangkan untuk dipandang. Pada tengah hari di hari ketiga, mereka tiba di Kee-hin, sebuah kota besar di Ciat-kang barat, kota dari sutera dan beras. Memangnya kota sudah ramai pada asalnya, sekarang ia terletak dekat dengan kota raja, keramaiannya menjadi bertambah sendirinya. "Mari kita cari hotel untuk singgah dan beristirahat dulu," Yen Lieh mengajak. "Hari masih siang, sebenarnya kita masih dapat melanjutkan perjalanan," Sek Yok mengutarakan pikirannya. "Disini ada banyak toko, Nyonya," Yen Lieh bilang. "Pakaianmu sudah terpakai lama, nanti aku belikan yang baru." Sek Yok melengak. "Bukankah ini baru dibeli?" Tanyanya. "Apanya yang dibilang lama?" "Kita jalan jauh dan ditengah jalan banyak debu," Terangkan si anak muda. "Dengan dipakai baru satu dua hari, pakaianmu sudah tak mentereng lagi. laginya dengan wajah ini, Nyonya, mana boleh kau tidak memakai pakaian dari bahan yang terbaik?" Diam-diam senang hatinya Sek Yok karena orang puji kecantikannya. "Aku tengah berkabung" Katanya perlahan. "Terang itu aku tahu," Yen Lieh bilang. Nyonya itu lantas membungkam. Yen Lieh terus tanya-tanya orang, akhirnya ia ajak nyonya itu ke hotel Siu sui yang paling besar untuk kota Kee-hin. Di sini mereka paling dulu bersihkan tubuh, lalu duduk bersantap. "Kau tunggu , Nyonya, hendak aku pergi berbelanja," Kemudian kata si pemuda. Pauw-sie mengangguk. Yen Lieh lantas pergi keluar, baru ia sampai di muka hotel, ia lihat seorang mendatangi, orang mana menyolok perhatiannya. Orang mirip dengan satu sastrawan tetapi ia jalan sambil menyeret sepatu kulit, sepatu itu berbunyi ketrak-ketruk walaupun ia jalannya perlahan. Dia pun tidak karuan dandannya, ialah pakaiannya kotor, berminyak, kotor juga mukanya yang penuh debu. Mungkin sudah belasan hari ia tidak pernah mandi. Di tangannya ia mencekal satu kipas kertas minyak warna hitam yang sudah buntut, sembari jalan dia mengipas-ipas tak hentinya. Yen Lieh ada apik, walaupun orang mirip sastrawan, tetapi karena orang demikian jorok, tak mau ia jalan di dekatnya, khawatir tubuhnya nanti kena terlanggar, maka itu sambil mengerutkan kening, ia gancangi tindakannya. Tiba-tiba orang jorok itu tertawa, suaranya kering, bagaikan siulannya burung malam. Dia tertawa terus beberapa kali, tertawanya itu tajam menusuk telinga. Tepat ketika keduanya impas-impasan, si jorok itu ulur tangannya, dengan kipas bututnya dia tepuk pundaknya Yen Lieh. Anak muda ini gagah, akan tetapi, atas tepukan itu tak keburu ia berkelit. Ia menjadi tidak senang. "Eh, kau bikin ap?" Ia menegur. Orang itu perdengarkan pula tertawanya yang kering itu, ia jalan terus, tindakan kakinya terus berbunyi ketrak-ketruk. Ketika ia tiba di ujung hotel, ia menoleh kepada jongos hotel seraya berkata dengan keras. "Eh, jongos, kau jangan pandang tak mata kepada baju tuanmu yang rubat-rabit ini! Kau tahu, tuan besarmu ada punya uang perak! Di pihak lain, ada bocah yang tersesat, dengan pakaiannya yang mentereng, dia pentang aksi untuk bikin orang silau guna menipu, untuk mengakali kaum wanita, buat anglap makanan dan hotel! Terhadap bocah begitu macam, kau mesti awas mata! Paling baik kau minta dia membayar uang sewa di muka!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lalu dengan tak menantikan jawaban, dia ngeloyor terus, sepatunya terus berbunyi. "Truk! Truk! Truk!" Panas hatinya Yen Lieh. "Binatang!" Katanya dalam hatinya. "Bukankah dia maksudkan aku?" Jongos itu melirik kepada pemuda ini, mau tidak mau timbul kecurigaannya. Dengan lekas ia menghampiri. "Tuan, harap kau tidak kecil hati, bukannya aku kurang ajar" Katanya sambil memberi hormat. Yen Lieh bisa duga hati orang. "Kau pegang uang ini!" Katanya menyela. Sementara itu tangannya meragoh ke sakunya, tetapi segera ia melongo. Ia tahu, dia ada membekal uang empat atau lima puluh tail perak akan tetapi sekarang kantungnya kosong. Jongos itu lihat air muka orang, ia jadi menduga terlebih keras. Sekarang ia tak sungkan-sungkan lagi. "Apa?! Kau tidak membawa uang?" Katanya. "Kau tunggu sebentar, hendak aku balik ke kamarku untuk mengambil," Kata Yen Lieh. Ia mau menyangka tadi karena terburu-buru ia lupa bawa uangnya. Setibanya di dalam kamar, ia menjadi tercengang pula. Ia dapatkan buntalannya tidak ada uangnya. Ia heran, tak tahu ia di mana lenyapnya uangnya itu. Jongos mengikuti ke kamar, ia tangal-tongol di muka pintu dengan begitu ia jadi dapat lihat orang tidak punya uang. Ia menjadi berani. "Apakah wanita ini benar istrimu?" Dia tanya. "Apakah kau tengah menipu dia? Janganlah kau nanti rembet-rembet kami!" Sek Yok tidak tahu apa yang sudah terjadi tetapi ia dapat menduga, mukanya menjadi merah. Ia malu dan bergelisah. Dengan tiba-tiba Yen Lieh mencelat ke pintu dan tangannya menyambar. "Plok!" Demikian suara di mukanya si jongos yang pipinya menjadi bengap dan giginya rontok beberapa biji. Tentu ia menjadi gusur, sambil pegangi pipinya dia menjerit. "Bagus, ya bagus betul! Kau sewa kamar tidak mau bayar, kau juga berani pukul orang!" Dengan murkanya Yen Lieh mendupak, hingga orang itu jungkir balik. "Mari kita lekas pergi!" Sek Yok mengajak. "Jangan kita nginap disini!" "Jangan takut!" Kata Yen Lieh. Kali ini ia tertawa. "Kita tidak punya uang tetapi kita boleh suruh mereka mengadakannya!" Ia lantas sembat sebuah kursi yang ia letaki di ambang pintu. Di situ ia lantas bercokol. Jongos tadi yang telah kabur keluar segera kembali bersama belasan orang, yang romannya seperti buaya darat, tangan mereka membawa toya dan ruyung, sikap mereka garang. "Apakah kamu hendak berkelahi?" Tanya Yen Lieh sambil tertawa. Kata-kata itu disusul sama mencelatnya tubuhnya, lalu tahu-tahu ia telah rampas toyanya satu orang denagn apa terus ia menghantam kalang kabutan. Sekejap saja empat lima orang telah terguling rubuh. Menampak demikian, sisa yang lainnya lantas lemparkan senjata mereka dengan memutar tubuh, mereka sipat kuping, akan kemudian diturut oleh kawan-kawan yang telah terima hajarab, yang repot merayap bangun. "Ah, urusan menjadi hebat, mungkin nanti datang pembesar negeri," Kata SekYok dengan berkhawatir. Yen Lieh tetap tertawa. "Itulah yang aku kehendaki!" Sahutnya. Nyonya Yo bungkam. Tak tahu ia maksudnya pemuda ini. Untuk kira setengah jam, hotel menjadi sunyii. Pihak hotel atau tetamu, tidak ada yang berani banyak mulut lagi. Baharu kemudian, di luar terdengar suara berisik lalu muncul belasan orang polisi, yang bersenjatakan golok dan thie-cio, ialah ruyung pendek yang bercagar atau gagangnya bergaetan. Mereka pun bekal borgol yang rantainya berkontrangan. "Sudah menipu wanita, masih berani galak, aturan dari mana?" Demikian di antarannya pentang bacot. "Mana dia si penjahat!" Yen Lieh bercokol tidak bergeming. Menyaksikan sikap orang itu, rombongan oppas itu tidak berani lantang maju. "Eh, kau she apa?" Menegur yang menjadi kepala. "Mau apa kau datang ke Kee-hin ini?" Yen Lieh tetap tidak bergerak. "Pergi kau panggil Khay Oen Cong kemari!" Ia bilang, suaranya keren. Hamba negeri itu terkejut. Khay Oen Cong itu adalah namanya pembesar mereka, tiehu atau residen dari Kee-hin. Kemudian mereka menjdi gusur. "Apakah kau edan?" Si kepala polisi tanya."Bagaimana kau berani sembarang sebut namanya Khay Toaya kami?" Yen Lieh rogoh sakunya, untuk mengeluarkan sepucuk surat yang mana ia lemparkan ke atas meja, kemudian sambil matanya memandang mega, ia berkata. "Kau bawa suratku ini, kasihkan pada Khay Oen Cong. Hendak aku lihat, ia datang ke mari atau tidak!" Orang polisi itu jumput surat itu, setelah membaca sampulnya ia terkejut, akan tetapi agaknya ia masih sangsi. "Kamu jaga dia, jangan kasih dia buron" Pesannya pada orang-orangnya, lalu ia terus pergi. Sek Yok saksikan itu semua, hatinya terus goncang. Tak tahu ia urusan bakal jadi bagaimana hebatnya. Karena ini, hebat ia menunggu kira setengah jam, sesudah mana di luar hotel terdengar pula suara berisik dari orang banyak. Itulah suara beberapa puluh orang polisi, yang mengiringi dua pembesar dengan pakaian dinasnya. Kapan mereka berdua sampai di depan Yen Lieh, keduanya lantas saja memberi hormat sambil tekuk lutut. "Piecit adalah Khay Oen Cong, tiehu dari Kee-hin dan Kiang Bun Kay tiekoan dari Siu-sui-koan," Berkata mereka."Piecit tidak ketahui tayjin tiba disini, kami tidak datang menyambut, harap tayjin suka memaafkannya." Yen Lieh ulapkan tangannya, ia membungkuk sedikit. "Aku telah kehilangan uang di dalam kecamatan ini, aku mohon Tuan-tuan suka tolong periksa dan mencarinya," Ia berkata, terutama terhadap Kiang Bun Kay si camat. Khay Oen Cong menyahuti dengan cepat. "Ya, ya," Katanya, habis mana, ia menoleh ke belakang seraya geraki tangannya, atas mana muncul dua orang polisi yang membawa dua menampan-menampan, yang satu bermuatkan emas berkilau kuning dan yang satunya lagi bersis perak yang berkeredep putih. "Di tempat kami ada penjahat yang main gila, itulah kealpaan kami," Berkata Khay Oen Cong. "Sekarang ini sudilah kiranya Tayjin menerima dahulu ini jumlah yang tidak berarti." Yen Lieh tertawa, ia mengangguk. Dengan cara hormat, Khay Tiehu lantas angsurkan suratnya pemuda itu. "Piecit telah siapkan tempat beristirahat, silahkan Tayin dan hujin singgah di sana," Tiehu itu memohon kemudian. "Tempat di sini lebih meyenangkan," Berkata Yen Lieh. "Aku lebih suka tempat yang tenang. Kamu jangan ganggu aku." Dengan tiba-tiba wajah si anak muda menjadi keren. "Baik, baiklah," Kata Oen Cong dan Bun Kay dengan cepat. "Tayjin masih membutuhkan apalagi, tolong sebutkan, nanti piecit siapkan." Yen Lieh dongak, ia tidak menyahuti, Cuma tangannya diulapkan. Dengan tidak bilang apa-apa lagi, Oen Cong dan Bun Kay mengundurkan diri dengan hormat dan tanpa berisik semua polisi mengikuti mereka. Jongos saksikan itu semua, mukanya menjadi pucat, lenyap darahnya. Bukankah residen dan camat pun mesti berlutut terhadap tetamunya itu? Tidak ayal lagi dengan dipimpin kuasa hotel, dia berlutut seraya memohon ampun. Yen Lieh mengambil sepotong perak dari atas nenapam,, ia lemparkan itu ke atas tanah. "Aku persen ini kepadamu!" Katanya sambil tertawa. "Lekas pergi!" Jongos itu melengak, ia bersangsi, tetapi kapan kuasa hotel lihat wajah si tetamu tenang dan ramah, khawatir orang gusar, lekas-lekas ia pungut uang itu, ia berlutut dan manggut-manggut, lalu dengan cepat ia seret si jongos pergi. Sampai disitu Pauw Sek Yok menjadi heran, hatinya pun lega, hingga ia bisa tertawa. "Sebenarnya suratmu itu wasiat apa?" Ia tanya. "Satu pembesar sampai ketakutan demikian rupa!" Yen Lieh tertawa. "Sebenarnya tidak ku niat pedulikan mereka," Ia menyahut. "Pembesar itu sendirinya tak punya guna, orang-orang sebawahannya Tio Kong semua bangsa kantong nasi, kalau negara mereka tidak lenyap, benar-benar tidak pantas!" Sek Yok heran. "Siapa itu Tio Kong?" Tanyanya. "Tio Kong ialah Kaisar Leng Cong yang sekarang!" Sahut Yen Lieh. Nyonya Yo Tiat Sim menjadi terperanjat. "Dia mengaku sebagai sahabatnya Han Sinsiang, semua pembesar sipil dan militer hormati dan takuti dia, aku menyangka dialah sanaknya kaisar," Dia berpikir. "Atau setidaknya dia pembesar berpangkat sangat tinggi. Kenapa dia sekarang berani terang-terangan menyebut nama kaisar? Kalau hal ini di dengar orang, apa ini didengar orang, apa itu bukan artinya sangat kurang ajar..?" Maka lekas-lekas ia berkata " Bicara hati-hati! Nama raja mana boleh sembarangan disebut-sebut?" Senang Yen Lieh akan mengetahui nyonya ini menyayangi dia. "Tidak ada halangannya untuk aku menyebeutkan namanya," Ia menyahut sambil tertawa. "Setibanya kita di utara, jikalau kita tidak panggil dia Tio Kong, habis kita mesti memanggil apa?" Lagi sek Yok terkejut. "Ke Utara?" Dia bertanya. Yen Lieh mengangguk. Ia baharu mau menyahuti, tapi di luar hotel terdengar tindakan dari beberapa puluh kuda yang terhenti tepat di muka hotel. Ia lantas saja mengerutka kening, nampaknya ia sangat tidak puas. Sek Yok sebaliknya terkejut. Segera terdengar tindakan banyak kaki yang bersepatu kulit memasuki ruang hotel, terus ke muka kamarnya si anak muda. Itulah beberapa puluh serdadu denag pakaiannya yang tersulam. Begitu mereka melihat Yen Lieh, semua menunjuki wajah sangat girang, hampir berbareng mereka menyerukan. "Ongya!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dan lantas semuanya memberi hormat sambil berlutut. "Akhir-akhirnya kamu dapat cari aku!" Kata Yen Lieh sambil tertawa Sek Yok dengar orang dipanggil "ong-ya" "sri paduka", ia tidak terlalu heran. Ia hanya heran menyaksikan rombongan serdadu itu, yang terus berbangkit untuk berdiri dengan tegak. Mereka semua bertubuh besar dan kekar. Peragamannya rapi. Mereka beda daripada tentera Tionggoan. "Semua keluar!" Kemudian Yen Lieh berkata, tangannya diulapkan. Dengan berbareng menyahuti semua serdadu itu mundur teratur. "Bagaimana kau lihat semua orangku dibandingkan dengan tentara Song?" Ia tanya. "Apakah mereka bukannya tentara Song?" Si nyonya membaliki. Yen Lieh tertawa. "Sekarang baiklah aku omong terang padamu!" Katanya, riang gembira. "Semua serdadu itu adalah tentara pilihan dari negara Kim yang besar!" Dan dia tertawa pula, panjang dan puas sekali. "Kalau begitu kau jadinya, kau" Katanya Sek Yok dengan suara yang gemetar. Yen Lieh kembali tertawa. "Bicara terus terang nyonya, namaku mesti ditambah satu huruf "Wan" Di atasnya," Dia menyahuti. "Sebenarnya aku yang rendah ini adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari Raja Kim, Pangeran Tio Ong adalah aku yang rendah." Mau atau tidak Sek Yok terperanjat, ia tercengang. Pernah dahulu ia dengar ayahnya bercerita bagaimana bangsa Kim telah menggilas-gilas wilayah Tionggoan, bagimana dua kaisar Tionggoan telah ditawan, dibawa pulang ke negeri Kim itu, bahwa rakyat di utara telah diperlakukan dengan kejam oleh bangsa Kim itu. Kemudian, setelah ia menikah dengan Yo Tiat Sim, ia juga ketahui bagimana hebat suaminya itu membenci bangsa Kim itu. Sekarang diluar tahunya, orang dengan siapa siang dan malam ia berada bersama selama beberapa hari, adalah putranya raja Kim itu, yang menjadi musuh Tionggoan. Tentu saja oleh karena ini ia menjadi tidak dapat membuka mulutnya. Wanyen Lieh lihat air muka orang berubah, lenyap senyumnya si nyonya. Ia lantas berkata. " Telah lama aku kagumi keindahan wilayah selatan, karenanya pada tahun baru yang baru lalu telah aku mohon Ayahanda raja mengirim aku ke Lim-an sebagai utusan yang datang untuk memberi selamat tahun Baru kepada kaisar Song. Di samping itu kebetulan kaisar Song belum membayar upeti tahunannya yang berjumlah beberapa puluh laksa tail perak, dari itu Ayahanda raja menitah aku menagihnya sekalian." "Upeti tahunan?" Sek Yok heran. "Ya," Sahut putra raja Kim itu. "Kerajaan Song mohon negaraku tidak menyerang dia, dia janji saban tahu mengirim upeti uang dan cita, tetapi dengan alasan penghasilan negaranya tidak mencukupi, sering-sering kaisar Song tidak menepati janjinya, maka kali ini aku tidak sungkan-sungkan lagi menghadapi Perdana Menteri Han To Cu, aku tandaskan kepadanya, apabila dalam tempo satu bulan upeti tidak dibayar penuh, aku sendiri bakal mengepalai angkatan perang untuk mengambilnya dan dia tak usah capekkan hati lagi mengurusnya!" "Apa katanya Han Sinsiang?" Sek Yok tanya. "Apa lagi dia bisa bilang? Belum lagi aku meninggalkan Lim-an, uang dan cita sudah diseberangkan sungai. Hahaha!!" Sek Yok berdiam. Alisnya kuncup. "Menagih upeti ada urusan yang remeh, cukup dengan utus satu menteri," Berkata pula Wanyen Lieh. "Aku tetapi datang sendiri, karena ingin aku menyaksikan kepermaian wilayah selatan ini, maka adalah diluar dugaanku, aku bertemu dengan Nyonya, sungguh aku sangat beruntung." Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung Pendekar Bunga Karya Chin Yung Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung