Pendekar Pemanah Rajawali 27
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 27
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong "Heran, malam-malam begini ia hendak kemana?" Pikirnya. Ia membungkam, terus ia menguntit. Oey Yong lari ke luar kota. Ia rupanya tidak tahu ada orang yang membayanginya. Ia pergi ke tepinya sebuah kali kecil. Dibawah satu pohon yangliu ia duduk numprah. Dari sakunya ia keluarkan serupa barang, terus ia buat main di tangannya, tubuhnya dibungkukkan. Malam itu terang bulan, angin berdesir, meniup daun-daun yangliu dan juga ikat pinggangnya si nona. Air kali mengalir terus. Di sana sini terdengar suara rupa-rupa serangga. "Ini engko Ceng.ini Yong-jie" Terdengar nona itu mengoceh sendirian. Heran Kwee Ceng. Ia berindap-indap, menghampirkan ke belakang orang. Di bawah terangnya sinar rembulan, ia melihat tegas dua buah boneka, satu laki-laki dan satu perempuan, keduanya gemuk dan mungil. Itulah boneka buatan Bu-sek yang kesohor, ynag pun kesohor di Thay Ouw. Ia menjadi ketarik hatinya. Ia maju lagi beberapa tindak. Di depan boneka itu ada ditaruhkan beberapa mangkok dan cawan kecil, ynag berisi macam-macam bunga. Kembali terdengar suara perlahan dan halus dari nona itu; "Mangkok ini engko Ceng yang dahar, cawan ini ilah Yong-jie. Semua ini Yong-jie yang masak sendiri. Enak tidak?" "Enak! Enak sekali!" Kwee Ceng menyahuti. Oey Yong terperanjat, ia menoleh dengan cepat. Lalu ia tertawa, memperlihatkan wajahnya yang manis. Dengan gesit ia berlompat menghanpiri kepada anak muda itu. Mereka lalu berduduk di bawah pohon di tepian kali itu. Lantas mereka berbicara dengan asyik mengenai urusan mereka sejak perpisahan beberapa hari itu, tetapi yang mereka rasakan seperti sudah bulanan atau tahunan. Si nona saban-saban tertawa, hingga si pemuda menjadi berdiam saja. Katanya dalam hati. "Yong-jie begini mencintai aku, kalau di belakang hari kita tidak hidup bersama, bagaimana rasanya?" Ketika malam itu Oey Yong menceburkan diri, ia bersembunyi lama, sesudah menduga ayahnya telah pergi, barulah ia kembali ke Kwie-in-chung. Ia girang akan mendapatkan pemuda pujaannya itu tak kurang suatu apa. Ia menyesal juga ynag ia telah berlaku keras terhadap ayahnya. Ia terus menyembunyikan diri. Ketika besoknya pagi, ia lihat Kwee Ceng berangkat berdua dengan Yo Kang, ia lantas mendahului, untuk seterusnya saban-saban ia memesan barang makanan dan rumah penginapan. Ia tahu barang santapan yang digemari Kwee Ceng, selalu ia menyelipkan satu atau dua rupa. Tentu saja ia tidak tahu yang Kwee Ceng curiga dan lantas mendahului, hingga ia kepergok. Tapi ini cuma membuatnya gembira sekali. Asyik mereka pasang omong, sampai jauh malam, sampai si nona datang kantuknya, tanpa merasa ia kepulasan di pangkuannya anak muda itu. Kwee Ceng khawatir orang mendusin, ia tidak berani bergerak, ia diam menyanderkan diri di bongkol pohon yangliu. Tanpa merasa, ia pun ketiduran. Ketika itu ada di bulan keenam, hawa malam sejuk, sedang rembulan bercahaya terus. Kwee Ceng yang mendusin paling dulu tatkala kupingnya mendengar burung-burung berkicau, membuka matanya, ia mendapatkan sang fajar sudah mulai menyingsing. Ia pun dapat mencium semerbaknya bunga-bunga. Oey Yong tidur nyenyak, napasnya berjalan perlahan. Ia mengerutkan alisnya, tapi mukanya dadu, mulutnya yang mungil tersenyum, maka itu ia nampaknya manis sekali. Rupanya ia tengah bermimpi. "Biarlah ia tidur terus, aku tidak boleh menganggunya," Kwee Ceng berpikir. Pemuda ini mengawasi muka orang, ia seperti mau menghitungi bulu alisnya yang bagus dari si nona itu tatkala mendadak ia mendengar suara orang lain, datangnya kira-kira dua tombak lebih di sebelah kirinya. "Telah aku ketahui kamarnya nona Thia itu, ialah itu kamar di dalam taman yang letaknya di belakang rumah gadai Tong Jin," Demikian suara itu. "Baiklah, sebentar malam kita bekerja," Kata suara lain, terang suaranya orang tua. Mereka bicara dengan perlahan, tetapi di pagi yang sunyi itu nyata terdengarnya. Kwee Ceng terperanjat. Ia lantas menyangka pada penjahat tukang petik bunga, yang gemar mengganggu kesucian kaum wanita. Ingin ia melihat mereka itu. Tiba-tiba Oey Yong mencelat bangun. "Engko Ceng, hayo tangkap aku!" Katanya. Terus ia lari ke sebuah pohon besar. Kwee Cneg dapat menerka maksudnya nona cerdik ini, ia lantas mengejar, malah sambil tertawa geli, bagaikan mereka itu tengah bermain petak. Hanya larinya mereka dibikin berat, seperti larinya orang yang tidak mengerti ilmu silat. Dua orang itu terkejut, tidak mereka menyangka di pagi hari itu sudah ada orang lain di situ, bahkan dekat mereka, tetapi kapan mereka melihat dua muda-mudi, yang main lari-larian, mereka tidak bercuriga. Hanya karena itu, mereka lantas ngeloyor pergi. Kwee Ceng dan Oey Yong melihat belakang orang, yang pakaiannya compang-camping, tanda dandanan pengemis. Mereka menanti sampai orang sudah cukup pergi jauh, si nona tanya si pemuda, apa maunya dua orang itu mencari nona Thia. "Kebanyakan maksudnya tidak baik. Kita menolong orang, baik atau tidak?" Kata Kwee Ceng. "Memang baik sekali. Cuma kita tidak tahu dua pengemis itu orang-orangnya Ang Cit Kong atau bukan." Kata si nona. "Aku rasa bukan," Jawab si pemuda. Mereka lantas pulang ke penginapan untuk bersantap, habis itu mereka pergi pesiar, sampai ke kota barat. Di situ mereka mendapatkan rumah gadai Tong Jin, dengan huruf-hurufnya yang tinggi dan besar. Benar di belakang situ ada sebuah taman serta lauwtengnya yang tinggi, yang dialingi kere bambu bercat hijau. Memandang lauwteng itu mereka tersenyum, lantas mereka berjalan terus, akan pesiar ke lain bagian kota. Sorenya mereka pulang, untuk bersantap, akan kemudian beristirahat di kamar masing-masing. Lewat sedikit satu jam, keduanya keluar dari kamar, untuk lari ke kota barat. Mereka melompati taman, hingga mereka dapat memandang lauwteng dimana ada sinar api. Mereka terus naik ke atas lauwteng, akan menyangkel di payon, untuk mengintip ke dalam. Hawa malam panas, jendela tidak ditutup. Apa yang mereka lihat membikin mereka terperanjat. Di dalam kamar itu ada tujuh orang, semuanya wanita. Seorang nona umur delapan atau sembilanbelas tahun, yang cantik, lagi membaca buku di terangnya lampu. Mungkin dia si nona Thia, Thia Toa siocia yang dimaksudkan kedua pengemis itu. Enam lainnya dandan sebagai budak, tetapi mereka pada mencekal senjata, tiga memegang golok sebatang, tiga lainnya masing-masing pedang, sepasang roda serta sebatang tongkat besar yang panjang. Melihat keadaan mereka itu, Kwee Ceng dan Oey Yong mendugai si nona lihay. Sekarang keduannya berpikir lain. Hendak mereka menonton dulu. Mestinya ada apa-apa yang aneh mengenai si nona dan si pengemis. Tidak lama mereka mengintai, mereka mendengar satu suara di luar pekarangan. Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng, buat diajak bersembunyi. Segera mereka melihat dua bayangan, yang benar ada dari si pengemis tadi. Mereka ini langsung ke bawah lauwteng dimana mereka memperdengarkan siulannya perlahan. "Orang-orang gagah dari Kay Pang di sana?" Menanya satu budak seraya menyingkap kere. "Silahkan naik." Dua pengemis itu menggenjot tubuh mereka untuk naik ke lauwteng. Si nona sudah lantas menyambut. Ia memberi horamt sambil menanyakan she dan nama kedua tetamunya itu. "Aku yang rendah she Lee," Menyahuti si pengemis tua. "Ini keponakan muridku, Ie Tiauw Hin." Melihat muka orang yang penuh luka, Nona Thia mengingat sesuatu. "Bukankah locianpwee ada Hang Liong Ciu Lee Seng?" Ia menanya. "Tajam matamu, nona!" Tertawa si pengemis. "Aku yang rendah dan gurumu, Ceng Ceng Sanjin, pernah berjodoh bertemu satu kali, walaupun kita tidak bersahabat rapat, kita saling menghormati." Mendengar nama Ceng Ceng Sanjin itu, Kwee Ceng ingat orang adalah yang disebut Sun Put Jie Sun Siang-kouw, salah satu dari Coan Cin Cit Cu. Karenanya, nona Thia ini bukanlah orang luar. "Locianpwee baik sekali hendak menolongi, boanpwee sangat bersyukur," Berkata pula si nona. "Di dalam segala hal, boanpwee akan mendengar kata locianpwee." "Nona ada seorang terhormat, kalau kau dipandang lebih banyak oelh itu binatang, itu pun sudah hebat," Berkata Hang Liong Ciu Lee Seng si Penakluk Naga. Mendengar itu merah mukanya si nona. "Sekarang, silahkan nona beristirahat di kamar ibumu, di sini jangan ditinggalkan beberapa pelayanmu ini," Lee Seng memberi petunjuk. "Aku yang rendah ada mempunyai daya untuk menghadapi binatang itu." "Boanpwee tidak gagah, tetapi boanpwee tidak jeri terhadap binatang itu," Berkata si nona. "Loacianpwee hendak bertanggungjawab sendiri, sungguh aku malu." "Jangan berkata demikian, nona," Berkata pula Lee Seng. "Ang Pangcu kami ada bersahabat kental dengan Ong Tiong Yang Cinjin dari Coan Cin Pay kamu, kita dengan begitu menjadi seperti orang sendiri." Sebenarnya nona Thia ingin sekali mencoba ilmu silatnya, tetapi menampak mata tajam dari Lee Seng, ia tidak berani membantah, maka ia lantas memberi hormat. "Baiklah, aku menurut saja kepada locianpwee," Bilangnya. Lantas ia turun dari lauwtengnya. Lee Seng segera menghampirkan pembaringannya si nona, akan menyingkap kelambunya. Pembaringan itu indah segalanya, tetapi ia naik ke atas itu tanpa membuka sapatu lagi, tak peduli sepatu dan pakaiannya dekil, ia terus merebahkan diri. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Pergi kau turun," Ia menitahkan Ie Tiauw Hin. "Ramai-ramai kamu menjaga di bawah. Tanpa titahku, aku larang kamu lancang turun tangan!" Tiauw Hin menurut, ia lantas berlalu. Lee Seng menutup diri dengan selimut indah, ia suruh budak-budak menurunkan kelambu dan memadam api juga. Kemudian barulah mereka itu mengundurkan diri pula. Oey Yong tertawa di dalam hatinya menyaksikan kelakuan Lee Seng itu. "Semua orang Kay Pang telah meneladan tingkah pola pemimpinnya," Semua suka berbuat jenaka, tidak peduli di tempat apa." Karena sudah ketahui ada penjagaan, nona ini bersama Kwee Ceng mendekam terus di bawah payon, berdiam menanti dengan mulut bungkam. Lantas terdengar suara kentongan orang ronda tanda jam tiga. Menyusul itu terdengar suara membeletuknya batu masuk ke dalam taman. Itulah batu tanda menanya dari orang yang biasa keluar malam. Oey Yong menarik ujung baju Kwe Ceng untuk memberitahu. Hanya sebentar, di luar tembok terlihat melompat masuknya tujuh atau delapan orang, yang semuanya lompat lebih jauh naik ke atas lauwteng. Mereka itu menyalakan api sebentar, habis itu mereka menuju ke pembaringan. Hanya sejenak itu, Oey Yong telah dapat melihat mukanya orang-orang itu. Dua yang menjadi kepala adalah orang-orangnya Auwyang Kongcu, yaitu dua pria yang biasa membawa-bawa galah panjang peranti menggiring ular. Enam yang lain adalah murid-murid wanita Auwyang Kongcu itu. Si dua pria berdiri di kiri kanan pembaringan, empat wanita menungkrup tubuh Lee Seng dengan sehelai selimut lebar. Lalu dua yang lain mementang sebuah kantung besar ke dalam tubuh Lee Seng dibelesaki, lalu karung itu di ikat kuat-kuat. Semua mereka bekerja sebat sekali, seperti sudah terlatih mahir, tanpa ada yang bersuara. Dua wanita menggendong kantung itu, lantas mereka lompat turun dari lauwteng. Kwee Ceng hendak berbangkit, untuk menyusul, Oey Yong mencegah padanya. "Biarkan orang-orang Kay Pang jalan lebih dulu," Si nona membisiki. Kwee Ceng menurut, ia mengawasi. Kantung berisi manusia itu digotong berdelapan. Di belakang mereka itu lalu mengiringi lebih dari sepuluh orang lainnya, mereka itu mencekal tongkat bambu, rupanya mereka adalah orang-orang Kay Pang. Menanti sampai orang sudah berpisah beberapa tombak dari mereka, baru Oey Yong dan Kwee Ceng keluar dari tempat persembunyian mereka, untuk menguntit. Seorang pengemis berjalan di paling belakang. Kedua rombongan itu menuju ke luar kota, pergi ke sebuah rumah besar. Rombongan Auwyang Kongcu terus masuk ke dalam rumah, rombongan pengemis lantas memencarkan diri mengurung. Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, buat diajak ke belakang, dari mana mereka melompat tembok masuk ke pekarangan dalam. Sekarang ketahuan rumah besar itu adalah rumah abu satu keluarga Lauw, di pendopo ada sejumlah sincie, dan ada pian-pian yang besar memutar nama-nama almarhum yang dihormati itu, semunya pernah memangku pangkat. Pendopo diterangi lima batang lilin besar. Duduk di tengah ada satu orang, yang tangannya mengipas perlahan-lahan. Menduga ialah Auwyang Kongcu, Oey Yong dan Kwee Ceng berlaku hati-hati. Mereka bersembunyi dan mengintai di bawah jendela, hati mereka menduga-duga, apa Lee Seng sanggup melayani pemuda yang lihay itu. Sebentar kemudian muncullah delapan penggotong kantung manusia itu. "Kongcu, nona Thia sudah disambut!" Kata satu di antaranya. Auwyang Kongcu mengasih dengar suara tertawa dingin, bukannya ia menyambuti orangnya itu, hanya ia memandang ke luar pendopo seraya berkata. "Sahabat, setelah dengan baik hati kamu datang berkunjung kemari, kenapa kamu tidak masuk saja untuk minum teh?" "Hebat orang ini," Pikir Kwee Ceng. Orang-orang Kay Pang tetap bersembunyi. Tanpa tanda dari Lee Seng, tidak berani mereka lancang bertindak. Auwyang Kongcu tidak berkata pula, hanya ia memandang kepada kantung. "Aku tidak sangka si nona Thia begini gampang diundangnya!" Katanya. Ia bertindak menghampirkan, perlahan tindakannya. Ketika ia mengibaskan kipasnya, kipas itu tertutup rapat merupakan sepotong besi mirip dengan pit (alat tulis tionghoa) Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. Mereka menduga orang sudah ketahui musuhlah yang berada di dalam kantung itu. Diam-diam mereka menyiapkan kong-piauw, bersedia menolongi Lee Seng. Mendadak ada terdengar suara sar-ser dari jendela, lalu dua batang panah tangan menyambar ke arah Auwyang Kongcu. Rupanya orang-orang Kay Pang sudah merasakan pemimpim mereka terancam bahaya. Auwyang Kongcu membawa tangan kirinya ke samping lantas telunjuk dan jari tengahnya menjepit, sebatang panah tangan itu patah seketika. Orang-orang Kay Pang terkejut, malah Ie Tiauw Hin lantas berseru. "Paman Lee, keluarlah!" Menyambut seruan itu, tiba-tiba terdengar suara memberebet pecahnya kantung, lantas dua batang golok menyambar, disusul mana bergelinding keluarnya tubuh Lee Seng, tangan siapa terus memegangi kantung sebagai daya pembelaan diri. Sesudah itu pengemis ini berlompat berdiri. Lee Seng ketahui Auwyang Kongcu lihay, ia menggunai akalnya ini, untuk membokong, tapi ternyata ia gagal. Auwyang Kongcu bebas dari sambaran golok, bukannya kaget, ia justru tertawa. "Si nona cantik berubah menjadi pengemis tua, sungguh ilmu sulap kantong yang jempolan!" Katanya tertawa. Lee Seng tidak menggubris ejekan itu. "Selama tiga hari ini, tempat ini beruntun kehilangan empat nona-nona, bukankah itu perbuatan bagus dari kau, tuan yang terhormat?" Ia balas mengejek. Kongcu itu tertawa pula. "Kota Po-eng ini bukannya kota melarat miskin, kenapa sih orang-orang polisi dapat berubha menjadi segala tukang minta-minta?" Ia berkata dengan ejekannya. Lee Seng pun tidak menjadi gusar. "Sebenarnya aku pun tidak mengemis nasi di sini," Menyahut Lee Seng. "Tetapi kemarin ini aku mendengar pembilangnya beberapa pengemis cilik tentang lenyapnya tak berbekas dari beberapa nona cantik manis, adri itu timbullah kegembiraan aku si pengemis tua, maka aku jadi datang melongok!" Dengan ogah-ogahan Auwyang Kongcu berkata. "Sebenarnya beberapa nona itu tidak cantik luar biasa, kalau kau menginginkannya, dengan memandang mukamu, sukalah aku membayarnya pulang!" Ia pun terus mengebasi tangannya, maka beberapa murid perempuannya lantas masuk ke dalam untuk mengajak keluar empat nona. Mereka ini kusut pakaiannya, kucal romannya, semuanya pada menangis. Murka Lee Seng menyaksikan keadaannya keempat nona itu. "Tuan yang terhormat, apakah shemu yang mulia dan namamu yang besar?" Ia menanya. "Murid siapakah kau ini?" Auwyang Kongcu tetap membawa sikapnya acuh tak acuh. "Aku she Auwyang. Saudara, kau ada pengajaran apakah untukku?" "Mari kita main-main!" Lee Seng berkata keras. "Tidak ada yang terlbeih baik dari itu!" Kata si anak muda menyambut. "Silahkan kau mulia dulu!" "Bagus!" Seru Lee Seng, yang segera menggeraki tangan kanannya. Tapi belum sempat ia menyerang, di depan matanya berkelebat satu bayangan putih dan angin pun mendesir. Ia menjadi sangat kaget, ia mencelat. Tidak urung, lehernya terlanggar juga satu jari tangan. Syukur ia cukup sebat, kalau tidak, lehernya itu bisa tercekuk! Lee Seng ini berkedudukan tinggi di dalam partainya, Kay Pang, Partai Pengemis, dia lihay. Semua pengemis di empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Ciat-kang dan Kangsouw tunduk dibawah perintahnya. Siapa tahu dalam satu gebrak saja, hampir ia celaka. Maka mukanya menjadi merah. Begitu ia hendak memutar tubuh, tangannya sudah mendahului melayang. "Dia juga mengerti Hang Liong Sip-pat Ciang. "Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng. Dan si anak muda mengangguk. Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, yang ia lihat hebat sekali. Selagi ia berkelit, Lee Seng memutar tubuhnya. Lantas ini pengemis meju satu tindak, kedua tangannya di angkat ke depan dada, untuk kembali menyerang, menyusul penyerangannya yang gagal itu. "Itulah jurus dari ilmu silat Po-giok-kun," Kwee Ceng berbisik pada kekasihnya. Si nona pun mengangguk. Mendapat kenyataan orang lihay, Auwyang Kongcu tidak berani berlaku acuh tak acuh seperti semula lagi. Ia selipkan kipasnya dipinggang, setelah berkelit, ia membalas menyerang, menghajar pundak orang itu. Lee Seng menangkis, habis mana ia menyerang pula, tetap dengan satu jurus dari Po-giok-kun. Kali ini Auwyang Kongcu memperlihatkan kepandaiannya. Ia menangkis dengan tangan kiri, sembari menangkis tubuhnya mencelat ke samping lawan, terus ke belakang lawan itu. Luar biasa gesit gerakkannya itu. Maka juga segera ia dapat menyerang ke arah punggung lawan ini. Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut. "Inilah serangan yang sukar di tangkis!" Kata mereka dalam hati, kaget. Ketika itu orang-orangnya Lee Seng, yang tadinya mengurung di luar, sudah pada masuk ke dalam. Mereka melihat pemimpin mereka terancam bahaya, di antaranya ada yang berniat berlompat membantu. Lee Seng sendiri merasakan ancaman bahaya. Desiran angin sudah mengenai bajunya. Tapi ia pun gesit sekali. Ia memutar tubuhnya sambil menangkis. Kembali ia menggunai ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, jrus "Naga Sakti menggoyang ekor". Auwyang Kongcu tidak berani menangkis serangan itu, ia melenggakkan tubuh, terus dia berlompat mundur. "Sungguh berbahaya!" Kata Lee Seng dalam hatinya. Sekarang dia sudah memutar tubuh, untuk menghadapi pula lawannya. Tapi segera ternyata, dalam ilmu silat ia kalah unggul, selama tigapuluh jurus lebih, saban-saban ia terancam bahaya. Syukur untuknya ia selalu ketolongan sama jurusnya "Sin liong pa bwee" - "Naga Sakti memgoyang ekor itu" Itu. "Rupanya Ang Cit Kong baru mengajari ia ini satu jurus pembela diri," Oey Yong berbisik pada Kwee Ceng. Anak muda ini mengangguk. Ia lantas ingat lelakonnya sendiri ketika melayani Nio Cu Ong dengan "Hang liong yu hui" Atau "Naga menyesal". Mengingat ini, ia jadi sangat bersyukur kepada Ang Cit Kong. Lee Seng yang menjadi salah satu pemimpin baru diajari satu jurus yang lihay itu, ia sendiri dalam tempo satu bulan sudah dapat limabelas jurus. Pertempuran itu berjalan terus. Auwyang Kongcu mendesak lawannya hingga dipojok. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lee Seng sudah berpengalaman, ia dapat menerka maksud lawannya.mMaka ia lantas berdaya akan menggelakkan diri, guna kembali ke tengah ruangan. Sekonyong-konyong Auwyang Kongcu tertawa lama, selagi tertawa kepalannya menyambar, tepat menggenai janggut lawannya itu. Lee Sneg terkejut, ia mengulur tangannya, untuk membalas, tetapi ia telah kena didului. Tangan kiri Auwyang Kongcu sudah menemui pula sasarannya. Habis itu beruntun tiga empat kali lagi ia kena tertinju pula, kepalanya dan dadanya. Ia menjadi sakit, kepalanya pusing, ia begitu terhuyung, ia roboh. Beberapa pengemis berlompat maju untuk menolongi pemimpinnya itu, tetapi Auwyang Kongcu menyambar dua orang, yang ia angkat dengan membentrokkan kepalanya satu dengan lainnya, menampak mana, yang lain-lainnya menjadi keder. "Kau kira aku ini siapa yang dapat kena terjebak kaum bangsa pengemis busuk?!" Berkata Auwyang Kongcu tertawa mengejek. Ia terus menepuk kedua tangannya, maka dari dalam lantas keluar dua murid wanitanya, mendorong tubuhnya seorang nona yang tertelikung kedua tangannya, yang romannya kucal sekali. Dialah si nona Thia yang hendak dilundungi oleh kawanan pengemis itu. Semua orang terkejut, tak terkecuali Oey Yong dan Kwee Ceng. Auwyang Kongcu mengebasi tangannya, atas itu nona Thia dibawa masuk pula. Dengan roman sangat bangga ia berkata pula. "Selagi si pengemis tua nelusup masuk ke dalam kantong, aku yang rendah menantikan di bawah lauwteng, lantas aku mengundang nona Thia, terus aku pulang terlebih dahulu untuk menunggui kamu di sini!" Semua pengemis itu terbengong, mereka saling mangawasi. Pikir mereka, mereka benar-benar roboh. Auwyang Kongcu mengipasi dirinya, ia tertawa ketika ia berkata pula. "Nama Partai Pengemis sangat kesohor sehingga nama itu membuatnya orang tertawa hingga giginya copot! Apa yang dinamakan ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, apa ynag disebut pukulan mengemis nasi dan menangkap ular, semua itu telah dikeluarkan! Dibelakang hari, masihkah kau berani usilan urusan kongcu kamu? Sekarang ini suka aku memberi ampun pada jiwanya ini pengemis bangkotan, asal aku dapat meminjam dia punya kedua cahaya terang sebagai tanda mata!" Sembari berkata begitu, pemuda ini mengulur tangannya, untuk dengan kedua jerijinya mencongkel mata orang yang ia menyebutnya "Cahaya terang" Kalau mata Lee Seng kena dicongkel, butlah dia. "Tahan!" Mendadak terdengar satu seruan, disusul sama orangnya, yang berlompat masuk ke dalam ruangan, untuk terus menolak ke arah Auwyang Kongcu. Pemuda ini terperanjat, ia telah merasakan sambaran angin hingga ia terhuyung. Inilah hebat sebab semenjak ia keluar dari wilayah Barat, sering ia menghadapi lawan yang berat tetapi belum pernah seberat ini. Ketika ia sudah melihat orangnya, ia menjadi heran sekali. Sebab orang itu ialah si anak muda bernama Kwee Ceng, dengan siapa ia pernah hadir bersama dalam pestanya Chao Wang. Ia tahu orang berkepandaian biasa saja. Kenapa ia sekarang menjadi begini lihay. "Kau sesat dan buruk, bukannya kau mencoba mengubah kelakuan, kau justru mencelaki orang!" Orang itu menegur. "Apakah kau benar-benar tidak memlihat mata pada semua orang gagah di kolong langit ini?" Dia memang Kwee Ceng, yang melihat saat untuk tak berdiam lebih lama pula. Auwyang Kongcu melirik, ia tertawa. "Jadi kaukah si orang gagah di kolong langitnini?" Dia mengejek. "Aku yang muda tidak berani menyebut diriku orang gagah," Manyahut Kwee Ceng denagn merendah. "Aku hanya hendak membesarkan nyaliku untuk memberi nasehat kepada kau, kongcu. Aku minta sukalah kau memerdekakannya nona Thia, habis itu lekas-lekas kau pulang ke Wilayah Barat!" Auwyang Kongcu tertawa pula. "Jikalau aku tidak sudi dengar nasehatmu, sabahat cilik?" Dia menanya. Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong dari luar jendela telah mendahului. Katanya; "Engo Ceng, kau hajarlah ini telur busuk!" Auwyang Ongcu terperanjat. Ia dengar suara orang dan mengenali. "Nona Oey!" Ia lantas berkata. "Kau menghendaki aku memerdekakan Nona Thia, inilah tidak susah, asal kau sendiri yang sudi ikut padaku! Jikalau kau sudi, bukan melainkan Nona Thia, juga wanita-wanita disampingku, akan aku merdekakan semuanya! Bahkan aku akan berjanji, selanjutnya di belakang hari aku tidak akan cari lain wanita lagi! Tidakkah ini bagus?" "Itulah bagus!" Menyahut Oey Yong, yang lompat masuk sambil tertawa. "Kita pergi ke Wilayah Barat untuk pesiar, sungguh menarik! engko Ceng, bukankah bagus begitu?" Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Auwyang Kongcu sudah mendahului. "Aku hanya menghendaki kau sendiri yang turut aku pergi bersama," Katanya. "Buat apa inibocah busuk turut bersama?!" Mendadak Oey Yong menjadi gusar, tangannya menyambar. "Kau berani memaki dia?!" Serunya. "Kaulah si bocah busuk!" Auwyang Kongcu kesemsem melihat Oey Yong datang dengan senyumannya berseri-seri, orang nampaknya boto dan manis sekali, maka itu ia berlaku ceriwis, ia pun tidak menyangka si nona bisa gusar secara tiba-tiba itu. Ia pun tidak bersiaga, maka "Plok!" Pipi kirinya kena ditampar. Sebab si nona menggunai jurus dari "Lok Eng Ciang" Yang lihay itu. Beruntung untuknya, si nona tidak menggunai seluruh tenaganya, ia hanya merasa pipinya itu panas dan sakit. "Fui!" Berseru si kongcu yang menjadi penasaran, seraya tangannya menjambak ke dada si nona. Oey Yong tidak mau menyingkir dari tangan si pemuda itu, sebaliknya dengan kedua tangannya ia menyerang ke arah kepala orang. Auwyang Kongcu adalah satu pemuda ceriwis, melihat nona itu menangkis taua berkelit, ia girang bukan main. Begitulah tanpa pedulikan kepalanya, ia mengulur terus tangannya itu. Hanya ketika jari tangannya mengenakan dada orang, ia kaget sekali. Tangannya itu terasa tertusuk dan sakit. "Oh!" Ia menjerit. "Dia mengenakan baju lapis berduri" Baru sekarang ia ingat. Maka syukur untuknya, karena berlaku ceriwis, ia tidak menjambak keras, ia cuma meraba. Karena ini ia lekas-lekas menangkis kedua tangan si nona. "Tidak gampang untuk kau menghajar aku!" Kata Oey Yong tertawa. "Cuma kau yang verhak menghajar kau, kau sebaliknya tidak!" Auwyang Kongcu kewalahan, karena ini, ia tumplak kedongkolannya terhadap Kwee Ceng, yang berdiam saja mengawasi aksi mereka berdua. "Biarlah aku mampuskan dulu bocah ini, supaya dia mati hatinya!" Pikirnya. Dengan "dia" Ia maksudkan si nona manis itu. Ia mengawasi Oey Yong tetapi kakinya bergerak menyentil ke belakang di mana Kwee Ceng berdiri, mengarah dada si anak muda. Itulah tendangannya yang lihay, ajarannya SeeTok Auwyang Hong, pamannya yang kesohor itu. Kwee Ceng seperti terbokong, tidak dapat ia mengelakkan diri. Tapi ia tak sudi mandah saja dihajar, ia segera membalas menyerang. Jadi keras lawan keras. Maka berbareng dua-dua serangan mereka berhasil. Yang satu tertendang kempungannya, yang lainnya terhajar pahanya yang dipakai menendang itu. Dua-dua lantas merasakan sangat sakit. Akan tetapi dua-duanya penasaran, maka itu, bukannya mereka mundur, mereka malah maju pula. Karena itu keduanya jadi bertempur. Semua orang Kay Pang heran, apapula mereka mengenali pukulannya Kwee Ceng. "Itulah jurus istimewa dari Lee Seng yang biasa dipakai untuk menolong diri." Kata mereka. "Kenapa dia pun mengerti dan gerakannya cepat melebihkan Lee Seng?" Kwee Ceng memang menyerang dengan "Sin liong bwee" Dilain pihak sudah ada beberapa pengemis yang menolongi Lee Seng, yang mereka angkat bangun, maka itu, pemimpin pengemis itu pun jadi bisa menyaksikan pertempuran orang itu, hingga ia pun heran. "Hang Liong Sip-pat Ciang itu adalah ilmu rahasia Ang Pangcu ynag tidak sembarangan diturunkan," Memikir pemimpin pengemis ini. "Aku sudah berjasa untuk partai, aku cuma diajarkan satu jurus, tetapi anak muda ini lain, agaknya ia mengerti banyak. Mungkinkah ia telah dapat mewariskannya semua?" Juga Auwyang Kongcu sendiri heran bukan main. Baru berselang dua bulan atau pemuda ini telah maju demikian pesat. Cepat sekali mereka sudah ebrtempur empatpuluh jurus. Kwee Ceng telah gunai semua limabelas jurusnya Hang Liong Sip-pat Ciang, ia telah memutar balik itu. Dasar kalah jauh dari Auwyang Kongcu, ia tidak dapat merobohkannya, ia cuma dapat bertahan. Maka itu, lewat lagi belasan jurus, ia kewalahan. Auwyang Kongcu berlaku sangat gesit, ia berlompatan ke segela penjuru, tinjunya saban-saban menyambar. Satu kali Kwee Ceng kena didupak kempolannya hingga ia terhuyung. Syukur ia tangguh, ia tidak dapat celaka. Ia melawan terus, ia mengulangi jurus-jurusnya. Untuk sementara ini Auwyang Kongcu tidak berani mendesak, berselang lagi sepuluh jurus lebih, setelah ia dapat memahami ilmu silat orang, baru ia merangsak pula. Karena ini ia mulai mencari lowongan untuk turun tangan. Kwee Ceng sudah habis menjalankan limabelas jurus, ia lantas memulai lagi pula dari seperti semula. Inilah ketika yang justru ditunggu Auwyang Kongcu. Kongcu ini lantas mendahulukan menyambar ke pundak lawannya itu. Kaget sekali Kwee Ceng. Tidak ada jalan untuk dia melindungi diri dengan limabelas jurusnya itu. Disaat sangat berbahaya itu, ia berlaku nekat. Ia menubruk seraya menepuk tangannya lawan. Itulah ilmu silat menurut caranya sendiri. Ini justru diluar terkaan Auwyang Kongcu yang menjadi kaget, karena ia tidak menyangka bakal disambut secara demikian. Tidak ampun lagi, lengannya kena dihajar. Bahna kaget, ia lompat mundur ke belakang beberapa tindak. Syukur untuknya, ia melainkan merasakan sakit, tulang lengannya tidak panah atau remuk. Kwee Ceng girang melihat hasilnya itu, yang pun diluar dugaannya. Ia bahkan jadi insyaf akan dapat diputarbalikkannya ilmu silat itu tanpa menurut aturannya. Ia hanya menginsyafi, karena belum terlatih, tenaganya jadi berkurang banyak. Tidak demikian, celakalah tangannya pemuda dari Wilayah Barat itu. Karena ini, hendak ia mencoba terus. Lagi sekali mereka mulai bergerak pula, selagi Kwee Ceng hendak mencoba, Auwyang Kongcu sebaliknya penasaran dan hendak menuntut balas. Kesudahannya, pemuda she Auwyang ini menjadi heran sekali. Ia mendapatkan kenyataan, disebelah jurus-jurus yang biasa, lawannya mempunyai tiga jurus tambahan lainnnya, hingga sulit untuk dia memberi hajaran tepat seperti tadi. Sekarang ini Kwee Ceng dapat menutup kempolan kirinya dan pinggangnya kanannya, dua lowongan yang diarah oleh lawannya. Kwee Ceng berkelahi dengan bernapsu, ia mengulangi dan mengulangi tambahan tiga jurusnya itu hingga ia seperti telah membikin lengkap delapanbelas jurus Hang Liong Sip-pat Ciang. Ia pun menjadi semakin hapal, pertempuran itu seperti merupakan latihannya. Segera Auwyang Kongcu melayani dengan sabar, gerakannya jadi rada kendor. Ia memikir hendak menanti musuhnya itu letih sendirinya. Dangan berkelahi secara begini, berbareng ia memahami pula cara berkelahinya musuhnya. Ia cerdik, belum lama ia sudah dapat melihat kekosongannya musuhnya itu. Atas ini, ia tidak mau mensia-siakan ketika lagi, mendadak ia mengirim serangannya. Dengan tangan kiri ia menggertak dengan menjambak, diam-diam kakinya melayang naik! Kwee Ceng terkejut. Sulit untuk ia menangkis atau berkelit. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Oey Yong menonton dengan waspada, ia melihat pemudanya itu terancam bahaya, karena ia senantiasa siap sedia, segera ia mengayun sebelah tanganya, maka tujuh atau delapan jarum kongcian menyambar kepada Auwyang Kongcu. Kaget itu pemuda dari Wailayah Barat, tetapi ia masih sampat menebas denagn kipasnya. Hanya selagi ia merasa berhasil menyingkirkan semua jarum, kakinya toh dirasai sakit dengan mendadak, seperti ada benda yang menancap di jalan darahnya. Karena ini, meskipun tendangannya mengenai sasarn, kenanya tidak hebat. Dengan kaget ia melompat mundur. "Tikus mana membokong kongcumu!" Ia membentak. "Kalau kau berani, mari berlaku terus terang." Belum lagi pemuda ini menutup mulutnya, satu benda berkelebat menyambar kepadanya, sia-sia belaka ia hendak berkelit, tahu-tahu mulutnya kemasukan serupa barang yang memberi rasa sari asin dan keras. Ia kaget dan gusar, lekak-lekas ia melepehkannya. Untuk kemendongkolannya, ia melihat sepotong tulang ayam. Karena ia tahu darimana datangnya sambaran, ia lantas angkat kepalanya, dongak melihat ke penglari. Justru ia mengangkat kepalanya, justru ada debu yang meluruk jatuh. Ia berlompat ke samping, terus ia dongak pula, seraya membuka mulutnya untuk mendamprat. Kali ini belum sempat ia bersuara, mulutnya itu kembali kemasukan tulang - tulang kaki ayam, maka juga giginya kebentur hingga ia merasakan sakit pada giginya itu! Bukan alang kepalang mendongkolnya pemuda ini, yang seumurnya belum peranh ada orang hinakan atau mempermainkan secara demikian. Lekas-lekas ia membuang tulang dari mulutnya itu. Diwaktu itu dia melihat berkelebatnya suatu bayangan, ynag lompat turun dari penglari itu. Dalam murkanya, ia pun berlompat untuk memapakinya, guna menyerang bayangan itu. Tapi heran, bukannnya ia dapat menyerang, ia justru kena memegang serupa barang. Tempo ia sudah melihat barang itu, mendongkolnya bukan kepalang. Itu adalah dua potong ceker ayam yang besar digeragoti, yang sudah tidak ada dagingnya! Berbareng dengan itu, di atas penglari itu terdengar suara orang tertawa lebar yang disusul dengan pertanyaan. "Bagaimana? Bagaimana dengan ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing dari si pengemis tua?" Kapan Kwee Ceng dan Oey Yong mendengar suara itu, keduanya girang bukan main. "Cit Kong!" Mereka berseru tanpa tertahan lagi. Semua orang lantas mengangkat kepalanya, maka di atas penglari itu mereka lihat Ang Cit Kong tengah duduk dengan enteng sekali, mulutnya lagi mengegerogoti sepaha ayam berikut dadanya, ynag dipegangi sebelah tangannya. Mengenali orang tua itu, hatinya Auwyang Kongcu menjadi dingin sekali. "Ang Siepee di sana?" Ia berkata. "Di sini titjie memberi hormat!" Benar-benar ia lantas menekuk kedua lututnya dan mengangguk-angguk. "Oh, kau mengenal si pengemis tua?" Tanya Ang Cit Kong seraya terus menggayam ayamnya. Ia menanya acuh tak acuh. "Memang pernah titjie bertemu sama Ang siepee," Menyahut Auwyang Kongcu, yang menyebut dirinya titjie, keponakan. "Titjie ada punya mata tetapi titjie tidak mengenal gunung Tay San, seharusnya titjie mati saja. Dahulu hari itu titjie sudah lantas mengirim pesuruh burung ke Barat, akan memohon petunjuk dari pamanku, setelah itu barulah titjie mengetahui siepee. Pamanku itu memesan, apabila titjie bertemu pula sama siepee, mesti titjie menyampaikan hormatnya seraya mengharap kesehatan siepee." "Si Racun Tua itu pandai sekali berpura-puar!" Berkata Ang Cit Kong, yang menyebut si racun Tua kepada See Tok Auwyang Hong. "Dia pun banyak mulutnya! Aku si pengemis tua, dapat aku mencuri, dapat aku gegares, tetapi aku tidak merampas anak dara orang, maka kenapa aku bolehnya tidak sehat? Bukankah pamanmu tidak sakit dan tidak tumbuhan juga?" Auwyang Kongcu malu dan jengah, ia menyahuti sembarangan saja. "Barusan aku mendengar kata-katamu," Berkata lagi Ang Cit Kong. "Bukankah kau menyebut-nyebut tentang ilmu silat mencuri ayam dan meraba-raba anjing, tentang pukulan mengemis nasi dan menangkap ular? Bukankah kau sangat memandang enteng kepada semua ilmu silat itu?" Di dalam hatinya Auwyang Kongcu kata. "Aku tidak menyangka bahwa dia telah bersembunyi di atas penglari" Tapi toh ia menyahuti. "Siepee, aku mohon sukalah siepee memaafkan keponakanmu ini. Tadi aku telah mengoceh tidak karuan karena aku tidak mengetahui ketua Partai lo-enghiong ini justru siepee adanya" Ang Cit Kong tertawa terkakak, selagi tertawa, tubuhnya berlompat turun. "Kau menyebut dia lo-enghiong, tetapi dia tidak sanggup melawan kau, maka itu kaulah si enghong!" Berkata ketua pengemis itu. "Apakah kau tidak malu? Haha-haha!" Enghiong ialah pendekar dan lo-enghiopng adalah pendekar tua. Auwyang Kongcu malu sekali dengan hatinya mendongkol bukan main, tetapi ia insyaf orang bukanlah tandingannya, tidak berani ia turun tangan, tidak berani ia lancang mulut, maka ia terpaksa merendahkan diri. "Kau mengandalkan ilmu silatnya si Racun Tua, kau datang ke Tionggoan, ke tenggara ini untuk malang melintang! Hm! Hm! Tapi ketahui olehmu, selama si pengemis belum mampus, aku khawatir kau tidak akan mendapatkan tempatmu di sini!" Berkata pula si pengemis tua itu. Auwyang Kongcu terus mesti mengendalikan diri. "Siepee bersama pamanku ada sama kesohornya, maka itu aku menurut saja segala perintah siepee," Ia berkata, merendah. "Bagus, ya!" Berseru Cit Kong. "Kau maksudkan aku si besar menghina si kecil, si tua menghina kamu si anak muda?" Bab 33. Kemaruk Kebesaran Auwyang Kongcu tidak membuka suara, ia melawan diam. "Dibawah perintahku si pengemis tua," Berkata Cit Kong. "Meski benar ada si pengemis besar, si pengemis pertengahan dan si pengemis kecil, mereka itu bukanlah murid-muridku! sekalipun ini si orang she Lee, dia barulah belajar serupa ilmu silatku yang kasar, ia masih bukan muridku yang dapat menjadi ahli warisku! Bukankah kau memandang enteng ilmu silatku mencuri ayam dan meraba anjing? Bukankah aku si pengemis bangkotan omong besar, apabila aku hendak mengangkat satu murid langsung, belum tentu ia seperti kau!" "Itulah sudah sewajarnya," Menyahut Auwyang Kongcu. "Di mulut kau mengatakan begini, di dalam hatimu kau mencaci aku," Kata pula Ang Cit Kong. "Itulah keponakanku tidak berani," Membilang Auwyang Kongcu. "Cit Kong jangan percaya obrolannya!" Oey Yong menyelak. "Di dalam hatinya dia memang sedang mencaci kau, malah mencaci lebih hebat sekali!" "Bagus ya, bocah ini berani mencaci aku!" Seru Cit Kong dengan gusar. Mendadak ia mengulur tangannya, bagaikan kilat, kipas di tangan si anak muda telah kena dirampas, hingga orang melengak. Dia membeber kipas itu, di situ terlihat lukisan beberapa tangkai bunga bouwtan serta tulisannya Cie Hie dari jaman Song Utara, di samping mana ada lagi sebaris tulisan, bunyinya "Pek To San Cu", artinya tuan dari Pek To San. Itulah tulisannya Auwyang Kongcu sendiri. "Hm!" Cit Kong memperdengarkan suara dingin. Kemudian ia menanya Oey Yong. "Bagaimana kau lihat ini beberapa huruf?" Sepasang alis matanya si nona terangkat. Ia menjawab. "Sungguh menyebalkan! Itulah mirip tulisannya kuasa dari toko penukar uang perak!" Auwyang Kongcu biasa mengagulkan diri sebagai pemuda yang pandai ilmu silat dan ilmu surat, sekarang ia mendengar celaannya Oey Yong, ia mendongkol bukan main, dengan mata melotot ia memandang si nona. Tapi ia melihat wajah orang yang terang, yang seperti tertawa bukannya tertawa, ia menjadi tercengang. Ang Cit Kong membeber kipas di telapakan tangannya yang satu, ia bawa itu ke mulutnya untuk dipakai menyusuti beberapa kali. Ia baru saja habis menggerogoti ayam, di bibirnya masih berbelepotan minyak, maka bisa di mengerti kalau kipas indah itu bukannya menjadi kipas lagi, setelah mana ia merangkap jari-jari tangannya, hingga kipas itu jadi teremas menjadi sehelai kertas rongsokkan, sesudah mana ia melemparkannya! Untuk lain orangm kejadian itu bukan berarti apa-apa, untuk Auwyang Kongcu, itulah hebat sekali. Itulah kipas yang menjadi alat senjatanya untuk bertempur, tulang-tulangnya terbuat dari baja pilihan, dengan diremas itu, baja itu turut menjadi tidak karuan. Hanya di sebelah itu, ia pun kagum untuk tenaga besar dari si pengemis tua, yang dengan gampang saja dapat meremas remuk itu! "Jikalau aku sendiri yang melawan kau, sampai mampus juga kau tentu tidak puas," Berkata Ang Cit Kong. "Maka sekarang juga hendak aku mengangkat seoarng murid supaya segera dia melawan kau.." Benar-benar Auwyang Kongcu penasaran, dengan berani ia pun berkata. "Saudara ini barusan telah bertempur beberapa puluh jurus denganku, jikalau siepe tidak turun tangan, sudah tentu keponakanmu yang beruntung memperoleh kedudukan di atas angin." Sembar tertawa, ia menunjuk kepada Kwee Ceng. Cit Kong mendongak ke langit, ia tertawa terbahak-bahak. "Anak Ceng, adakah kau muridku?" Ia menanya. Kwee Ceng ingat itu hari ia berlutut kepada orang tua ini, untuk memberi hormat tetapi si orang tua dengan tersipu-sipu membalas berlutut dan mengangguk-angguk kepadanya, maka itu ia lekas-lekas menjawab. "Aku yang muda tidak mempunyai rejeki untuk menjadi muridmu." "Nah, kau telah dengar, bukan?" Berkata Cit Kong kepada pemuda she Auwyang itu. Auwyang Kongcu menjadi heran sekali. "Pengemis bangka ini pastilah tidak memperdaya orang," Pikirnya. "Habis bocah ini, darimanakah dia mendapatkan kepandaiannya itu?" Cit Kong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir. Ia memandang Kwee Ceng. "Sekarang hendak aku mengambil kau sebagai murid, kau senang atau tidak?" Dia tanya. "Apakah kau tidak mencele aku si pengemis tua? Apakah enak mendengarnya kau kalau orang katakan gurumu adalah aku si pengemis tua?" Tapi Kwee Ceng girang bukan kepalang, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan si raja pengemis itu, untuk paykui delapan kali. "Hai, anak tolo!" Kata si guru. "Mengapa kau tidak memanggil suhu?" "Sebenarnya teecu sudah mempunyai enam guru, maka itu teecu pikir." Untuk sejenak bocah ini merandak, ia bersangsi. "Teecu memikir untuk menanyakan dulu pikirannya keenam guruku itu" "Benar-benar!" Berkata Ang Cit Kong. "Seorang kuncu memang tidak melupakan asal usulnya! Baiklah, sekarang aku mengajarkan kau dulu dengan tiga jurus." Lalu di depan Auwyang Kongcu sendiri, Cit Kong mengajarkan Kwee Ceng sisanya tiga jurus lagi Hang Liong Sip-pat Ciang. Sudah tentu ketiga jurus itu beda dengan tiga jurus ciptaan Kwee Ceng sendiri. Cit Kong tunggu sampai Kwee Ceng sudah dapat menghapalkan tiga jurus itu, abru ia kata. "Baik, anak yang baik, cukup sudah! Sekarang kau tolongi aku mengajar adat pada ini bandit cabul!" Kwee Ceng memang sangat sebal terhadap itu pemuda ceriwis dan jumawa, tanpa membilang apa-apa lagi, ia lansung meninju. Auwyang Kong tidak takut, ia pun lagi mendongkol, maka habis berkelit, lantas ia balas menyerang, maka kembali di situ keduanya bertarung. Rahasianya Hang Liong Sip-pat Ciang adalah tenaga yang dikerahkan di satu saat, tentang ilmu silatnya sendiri sangatlah sederhana, dipelajarinya pun gampang, yang sulit adalah melatihnya hingga mahir. Orang-orang seperti Nio Cu Ong, Bwee Tiauw Hong dan Auwyang Kongcu, itu bukanlah tandingannya Kwee ceng, tetapi kenapa ia sanggup melayani mereka bertiga? Itulah rahasianya. Pula kali ini. Auwyang Kongcu menghadapi sendiri si pengemis tua mengajari Kwee Ceng, kalau perlu ia dapat menyangkoknya, tetapi sekarang setelah bergebrak, ia merasakan kesulitannya. Sekarang Kwee Ceng dapat menggunai delapanbelas jurus, ia dapat menyambung itu kepala dengan buntut dan buntut dengan kepala. Karena ia telah pandai menjalankan limabelas jurus, mendapat tambahan tiga jurus yang terakhir ini, tenaganya lantas saja bertambah. Auwyang Kongcu melayani bekas tandingannya ini dengan bersungguh-sungguh, dia sudah menggunai empat macam ilmu silat, ia tapinya cuma dapat berimbang saja - mereka ini jadi sama tangguhnya, sedang tadinya ia terlebih unggul. Sesudah lewat lagi beberapa jurus tanpa hasil, ia menjadi bingung. "Jikalau hari ini aku tidak memperlihatkan ilmu silat istimewa dari keluargaku, pasti sekali sukar untuk aku merebut kemenangan." Ia berpikir. "Semenjak masih kecil aku telah dididik pamanku, kenapa aku tidak dapat merobohkan muridnya si pengemis tua ini - murid yang baru saja diberi pengajaran? Tidakkah dengan begitu aku akan meruntuhkan kesohoran dari pamanku di tangannya si pengemis bangkotan ini?" Karena ini, mendadak ia mengirim tinjunya yang hebat. Melihat serangan itu, Kwee Ceng segera menangkis. Tapi mendadak ia seperti kehilangan tangan lawan, yang menjadi lemas dengan sekonyong-konyong, atau dilain saat "Plok!" Batang lehernya telah kena ditinju tanpa ia dapat berdaya. Ia menjadi kaget sekali, sambil tunduk ia lompat, tangannya membalas menyambar. Auwyang Kongcu berkelit sambil menggeser kaki, sambil berkelit, ia juga menyerang. Kali ini Kwee Ceng tidak berani menangkis, ia berkelit dengan cepat. Tapi aneh gerakan tangannya kongcu ini, entah bagaimana, tangannya seperti menuju ke kiri, tahunya ke kanan, maka "Plok!" Lagi sekali tangannya ini mengenakan pundak. Hebat untuk Kwee Ceng, lekas juga ia terhajar untuk ketiga kalinya. "Anak Ceng, tahan!" Berkata Ang Cit Kong. "Hitunglah kau yang kalah satu kali ini." Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kwee Ceng menurut, ia lompat keluar gelanggang. Ia merasakan sakit pada tempat-tempat yang terpukul, tapi ia pun memberi hormat pada lawannya seraya berkata. "Benar kau lihay, aku bukanlah tandinganmu." Auwyang Kongcu puas sekali, ia lantas melirik Oey Yong. Ang Cit Kong lantas berkata. "Si Racun tua setiap hari memelihara ular, ini ilmu silatnya Kulit Ular Emas tentulah ia ciptakan dari tubuhnya ular berbisa. Kau beruntung sekali, karena sekarang belum aku si pengemis tua dapat memikir daya untuk memecahkannya. Nah, kau pergilah baik-baik." Auwyang Kongcu tercekat hatinya. Ia pikir. "Paman telah pesan wanta-wanti padaku, kalau bukan menghadapi bencana kematian, tidak boleh aku menggunai ini tiou silatnya yang diberi nama Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas, sekarang si pengemis tua mengetahuinya, apabila pamanku mengetahui juga, aku bisa di hukum berat." Karena ini lenyaplah kepuasan hatinya. Ia memberi hormat kepada Ang Cit Kong, lantas ia bertindak keluar dari rumah abu itu. "Eh, tunggu dulu, hendak aku bicara denganmu!" Oey Yong mencegah. Auwyang Kongcu menghentukan tindakannya, ia menoleh. Oey Yong memberi hormat dan menjura kepada Ang Cit Kong. "Cit Kong," Katanya. "Baiklah hari ini kau menerima dua murid. Kau sekarang berat sebelah, aku tidak mau mengerti!" Ang Cit Kong menggeleng kepala tetapi ia tertawa. "Sebenarnya aku telah melanggar aturan dengan menerima murid," Katanya. "Maka itu tidak dapat dalam satu hari aku melanggar pula aturan dengan menerima dua murid. Ayahmu sendiri sangat lihay, mana dapat ia membiarkan kau mengangkat aku si pengemis tua menjadi gurumu" Oey Yong menunjuki rupa kaget dan sadar. "Oh, kau jeri terhadap ayahku!" Katanya. Cit Kong kena dibikin panas hatinya. "Takut?" Katanya. "Hm! Baiklah, aku terima kau sebagai murid! Mustahil Oey Lao Shia di Bangkotan Tersesat nanti gegares tubuhku!" Oey Yong girang, ia tertawa. "Baiklah, satu patah menjadi kepastian" Ujarnya. "Jangan kau menyesali! Suhu, kamu kaum pengemis, bagaimana caranya kamu menangkap ular? Coba suhu mengajari aku." Cit Kong berpikir. Ia tak tahu maksudnya nona ini tetapi ia tahu orang sangat cerdik, ia menduga tentulah putrinya Tong Shia Oey Yok Su ini mengandung sesuatu maksud. "Menangkap ular menangkap di tempat tujuh dim," Ia memberi keterangan. "Kedua jeriji tangan mesti merupakan sebagai sepit. Asal tepat kenanya, ular bagaimana beracun juga tidak bakalan bergeming lagi." "Kalau ular yang kasar sekali?" Tanya pula si nona. Ia maksudkan ular besar. "Ajukan tangan kiri, untuk memancing ia menggigit jari tangan kiri kita," Cit Kong mengajari. "Lalu dengan tangan kanan menghajar dia di tempat tujuh dim juga." "Apakah menhajarnya mesti cepat sekali?" "Tentu saja. Tangan kiri itu mesti dipakaikan obat, supaya toh kalau kena digigit, akibatnya tidak membahayakan." Oey Yong mengangguk, ia melirik kepada si pengemis tua itu, ia mengedipi matanya. "Suhu, sekarang kau boleh torehkan obat padaku." Ia minta. Ia memanggil suhu, guru. Biasanya Ang Cit Kong ini, kalau ia menghadapi ular, biar yang sangat beracun, ia mengeemplangnya dengan tongkatnya, dari itu ia tidak seia obat, akan tetapi si nona melirik padanya, mengedipi mata, ia lantas mengasih turun cupu-cupu di bebekongnya, dari dalam itu, ia menuang sedikit arak, dengan itu ia menorehkan kedua tangan ini murid yang baru. Oey Yong membawa kedua tangannya ke hidungnya, untuk menciumny, lantas ia memperlihatkan wajah yang luar biasa. Ia pun segera menghadapi Auwyang Kongcu. "Hallo!" Tegurnya. "Aku ini muridnya Ang Cit Kong, sekarang aku ingin belajar kenal dengan ilmu silatnya Kulit Ular Lemas! Paling dulu hendak aku menjelaskan padamu, tanganku ini sudah ditorehkan obat pemunah racun ularmu, dari itu kau haruslah waspada!" Auwyang Kongcu tidak takut. Pikirnya. "Dengan menempur kau, bukannya dengan segebrakan saja dapat aku mencekukmu! Tidak peduli tanganmu ada apanya yang aneh, cukup untukku asal aku tidak membenturnya!" Maka ia tertawa dan menyahuti. "Jikalau aku sampai terbinasa di tanganmu, aku puas!" "Semua ilmu silatmu yang lainnya biasa saja," Berkata si nona. "Karena aku cuma mau belajar kenal sama kutauw ularmu yang bau busuk itu, maka jikalau kau menggunakan kainnya macam ilmu silat, kau terhitung kalah!" "Apa yang kau bilang Nona, aku mengiringi saja," Sahut Auwyang Kongcu Oey Yong tertawa. "Aku tidak sangka, kau telur busuk, pandai sekali kau bicara!" Katanya. "Lihat tanganku!" Kata-kata ini disusul serangannya, dengan jurus po-giok-kun ajarannya Ang Cit Kong. Auwyang Kongcu sudah lantas berkelit ke samping. Oey Yong menyerang terus, mulanya dengan tendangan kaki kiri, lalu itu disusul dengan bangkolan tangan kanan. Ini pun ada ajarannya karena namanya pukulan "Sutera Terbang". Melihat orang gesit, Auwyang Kongcu tidak berani memandang enteng. Ia mengulur tangan kanannya, ia tekuk itu, lalu mendadak ia menhajar ke pundak si nona. Inilah jurus dari Kim Coa Kun, Kuntauw Ular Emas itu. Sungguh sebat serangannya itu. Hampir tangannya mengenakan sasarannya, mendadak ia sadar, cepat-cepat ia menarik pulang. Sejenak itu ia ingat si nona mengenakan baju lapis berduri, kalau serangannya mengenai, tangannya pasti berdarah. Justru orang membatalkan serangannya itu, justru Oey Yong menyerang. Dua-dua tangannya melayang ke arah muka. Auwyang Kongcu mengebaskan tangan bajunya, dengan itu ia menangkis serangan si nona. Oey Yong mengenakan baju lapis dan kedua tangannya dipakaikan obat, maka itu kecuali mukanya, tidak ada lain anggota tubuhnya yang dapat dijadikan sasarn. Karena itu Auwyang Kongcu menjadi mendapat rintangan. Untuk menyerang ke bawah, ia tidak mempunyai harapannya, karena ini, ia jadi kena terdesak, ia mesti main berkelit atau lompat sana lompat sini saja. "Kalau aku serang mukanya dan berhasil, aku berlaku lancang," Pikirnya ini anak muda. "Kalau aku jambak rambutnya, itulah terlebih hebat lagi, aku jadi berlaku kasar. Habis, kemana aku mesti menyerang?" Tetapi ia cerdik, ia lantas mendapat akal. Selagi berkelit, ia merobek ujung bajunya, ia pakai itu untuk membalut kedua tangannya, maka sebentar kemudian, ia mulai berkelahi dengan mencoba untuk menangkap tangan lawannya. Tiba-tiba Oey Yong lompat keluar gelanggang. "Kau kalah!" Serunya. "Itulah bukan ilmu silatmu yang bau!" "Oh, aku lupa..!" Berkata si anak muda, jengah. "Sekarang teranglah ilmu silat ularmu yang bau itu tak dapat berbuat apa-apa terhadap muridnya Ang Cit Kong," Kata si nona yang licin itu. "Itu artinya ilmu silat itu tak ada keanehannya. Selama di istana Chao Wang, kita pun pernah bertempur, itu waktu aku malas mengeluarkan tenaga, aku kalah. Karena itu, kita sekarang seri. Mari kita bertempur lagi, untuk memastikan menang atau kalah!" Mendengar itu Lee Seng semua heran. Mereka berpikir. "Ini nona memang lihay tetapi dia tak dapat melawan musuhnya, barusan ia menang karena menggunai akal, tidakkah itu bagus? Kenapa dia mau bertempur lagi, seperti orang melukiskan ular di tambah kaki?" Ang Cit Kong sebaliknya tertawa haha-hihi. Ia tahu nona ini sangat pintar dan nakal, dia rupanya hendak menggunai hadirnya ia disitu untuk mempermainkan keponakannya Auwyang Hong itu. Maka ia membiarkan saja, ia lebih perlu menggerogoti sisa ayamnya. "Ah, kenapa kita mesti main sungguh-sungguhan?" Tertawa Auwyang Kongcu. "Kau yang kalah atau aku yang menang toh sama saja, bukan? Tapi, kalau ada mempunyai kegembiraan, baiklah aku yang rendah suka menemani kau main-main." Oey Yong berkata pula; "Selama di istana pangeran Chao Wang itu, di kiri kananmu semua ialah sahabat-sahabatmu, andaikata aku menang, terang sudah mereka bakal menolongi kau. Itulah sebabnya kenapa aku malas melayani kau. Tapi disini ada sahabat-sahabatmu" Ia menunjuk kepada semua gundik orang yang mengenakan pakaian serba putih itu. "Dan aku pun ada kawan-kawanku. Memang benar sahabatmu berjumlah lebih banyak, tetapi tidak apa, aku dapat melayani kerugian di pihakku itu. Sekarang begini saja, mari kita menggurat satu lingkaran bulat. Siapa yang lebih dulu keluar dari lingkaran, dia yang kalah!" Mendengar suara orang yang agaknya mendesak itu, tetapi toh ada pantasnya, Auwyang Kongcu mendongkol berbareng geli di hatinya. Ia suka menerima baik usul itu, bahkan ialah yang segera membikin lingkaran itu. Ia menggurat dengan kakinya. Ialah kaki kiri ditancap di tengah-tengah, kaki kanannya berputar mengikuti tubuhnya. Ia membuat lingkaran lebar bundar enam kaki. Rombongan Kay Pang bensi ini anak muda, tetapi melihat kepandaian orang itu, mereka kagu dan memuji dalam hati. Oey Yong lantas bertindak masuk ke dalam lingkaran itu. "Kita bertempur secara bun atau secara bu?" Dia tanya. Bun itu berarti lunak dan Bu itu berarti keras. "Hebat kau, banyak keanehanmu" Pikir Auwyang Kongcu. Ia menanya. "Bagaimana caranya bun dan bagaimana caranya bu?" "Cara bun itu ialah aku menyerang kau tiga kali, kau tidak boleh membalas," Menerangkan si nona. "Kau juga menyerang kepadaku dan aku pun tidak boleh membalasi. Kalau cara bu ialah kita bertarung sesuka kita, kau boleh pakai ilmu silat ular mampus atau kuntauw tikus hidup, sesukamu, asal siapa yang keluar terlebih dahlulu dari lingkaran, dialah yang kalah!" "Aku pikir baiklah kita ambil cara bun," Berkata si anak muda. "Dengan begitu kita tidak menggangu persahabatan kita" "Kalau cara bu, sudah pasti kau bakal kalah!" Si Rase Hitam Karya Chin Yung Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo